5
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumputrumputan. Padi berasal dari genus Oryza, famili Graminae, ada 25 spesies, dua diantaranya Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima Steud. Sementara itu subspesies Oryza sativa L., dua diantaranya adalah indica dan sinica atau japonica (Matsuo & Hoshikawa 1993). Padi memiliki bagian vegetatif seperti akar, batang, anakan, dan daun. Akar terdiri dari akar tunggang, akar serabut atau adventif, dan akar tajuk. Tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas. Panjang batang tergantung pada jenis dan kondisi lingkungan tumbuh (Matsuo & Hoshikawa 1993). Padi jenis unggul saat ini biasanya memiliki batang yang pendek, sedangkan tanaman lokal atau yang tumbuh di rawa dapat tumbuh lebih panjang (Haryadi 2006). Anakan tumbuh pada dasar batang, pembentukan anakan terjadi secara bersusun. Anakan primer adalah anakan yang tumbuh pada kedua ketiak daun pada batang utama, sedangkan anakan sekunder adalah anakan yang tumbuh pada ketiak anakan primer dan seterusnya dan biasanya bertambah kecil (Manurung & Ismunadji 1988). Bagian generatif tanaman padi terdiri dari malai dan buah padi. Malai adalah sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas. Pada malai terdapat cabang-cabang bunga, jumlah cabang mempengaruhi besar rendemen tanaman padi suatu varietas. Bunga padi merupakan bunga telanjang dan menyerbuk sendiri yang mempunyai satu bakal buah, enam buah benang sari, serta dua tangkai putik. Buah padi merupakan benih ortodoks yang ditutupi oleh palea dan lemma (Manurung & Ismunadji 1988). Syarat Tumbuh Tanaman Padi Gogo Padi gogo adalah padi yang dibudidayakan pada lahan kering. Selama pertumbuhan, semua kebutuhan air sepenuhnya tergantung dari curah hujan. Curah hujan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan padi gogo, yaitu curah hujan lebih dari 200 mm selama 3 bulan berturut-turut (De Datta 1981). Namun
6
demikian, walaupun jumlah curah hujan dalam satu bulan mencapai 200 mm, tetapi jika distribusi curah hujan per bulan dalam satu priode kurang dari 10 hari maka pertumbuhan padi gogo akan mengalami gangguan akibat kekurangan air (De Datta & Vergara 1975; De Datta 1981). Pertumbuhan padi gogo sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya. Selain ketersediaan air, faktor lingkungan lain seperti ketinggian suatu daerah dan intensitas cahaya matahari juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi gogo. Tanaman padi gogo dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1300 m dpl, akan tetapi tidak semua tanaman padi gogo dapat tumbuh pada dataran tinggi. Intensitas cahaya minimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan padi gogo sebesar 265 cal/cm2/hari. Intensitas cahaya kurang dari intensitas cahaya minimum akan menghambat pertumbuhan tanaman padi gogo tersebut (Las & Muladi 1986).
Vigor Benih dan Identifikasi Dini Vigor benih dapat didefinisikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi yang tidak optimum atau suboptimum. Benih yang vigor akan menghasilkan tanaman di atas normal jika ditumbuhkan pada kondisi optimum. Karena kondisi alam/lapangan tidak selalu optimum, maka benih yang vigor sangat diharapkan. Benih vigor yang mampu menumbuhkan tanaman normal pada kondisi suboptimum dikatakan memiliki Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) (Sadjad et al. 1999). Menurut Copeland & McDonald (2001) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi vigor benih, yaitu: 1) faktor genetik benih meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap kerusakan mekanik, dan komposisi kimia benih; 2) faktor lingkungan selama perkembangan benih yang meliputi kelembaban dan kesuburan tanah serta pemanenan benih; dan 3) faktor lingkungan penyimpanan yang mencakup waktu penyimpanan, lingkungan penyimpanan (suhu, kelembaban, dan persediaan oksigen), dan jenis benih yang disimpan. Menurut Sadjad et al. (1999) kekuatan tumbuh benih di lapangan selain ditentukan oleh faktor benihnya juga ditentukan oleh faktor dari luar benih, misalnya oleh penyakit, kesuburan lahan, kondisi kurang suplai air ataupun kelebihan air.
7
Deteksi vigor benih untuk menghadapi cekaman eksternal (lingkungan) di lapangan dapat diupayakan melalui simulasi pada metode uji laboratorium yang spesifik bagi masing-masing cekaman. Beberapa contoh simulasi yang dapat dilakukan adalah menggunakan media yang dilembabkan dengan larutan garam NaCl untuk simulasi cekaman salinitas tinggi, menggunakan media yang bertekanan osmotik tinggi untuk mensimulasi cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG sebagai pelembab medianya, serta memberi cendawan penyakit pada media tumbuh benih untuk menguji ketahanan terhadap penyakit (Sadjad 1993). Semakin dini suatu metode dapat mengindikasikan vigor benih dengan akurat, semakin dikehendaki sebagai informasi awal mengenai keunggulan suatu tanaman (Sadjad et al. 1999).
Peranan Air Bagi Perkecambahan Perkecambahan dapat didefinisikan sebagai kembalinya aktivitas embrionik baik anabolik maupun katabolik termasuk respirasi, sintesis protein dan mobilisasi cadangan makanan setelah proses penyerapan air (Desai et al. 1997). Air memiliki peran yang sangat penting dalam proses perkecambahan benih. Peranan air dalam perkecambahan antara lain: melunakkan kulit benih terjadinya perkembangan embrio dan endosperma, memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam benih, mengencerkan sitoplasma sehingga dapat mengaktifkan fungsinya dan sebagai alat transportasi larutan makanan dari endosperma ke titik tumbuh pada perkembangan embrio (Takahashi 1995). Penyerapan air oleh benih merupakan tahapan pertama dari proses perkecambahan yang berlangsung hingga munculnya radikula. Faktor penting yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih adalah sifat kulit pelindungnya dan jumlah air yang tersedia pada media di sekitarnya. Kebutuhan air oleh benih bagi proses perkecambahan bervariasi tergantung kepada jenis benih. Tingkat penyerapan air juga dipengaruhi oleh suhu, suhu yang tinggi menyebabkan peningkatan kecepatan penyerapan air oleh benih (Sutopo 2002).
8
Toleransi Kekeringan Turner (1979) menyatakan bahwa toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape) yaitu tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami stres berat, dengan berbunga lebih awal atau daun menggulung, (2) bertahan terhadap kekeringan dengan tetap mempertahankan potensi air yang tinggi dalam jaringan atau yang biasa dikenal sebagai mekanisme menghindar dari kekeringan (drought avoidance), dan (3) bertahan terhadap kekeringan dengan potensi air jaringan yang rendah. Tanaman memiliki mekanisme yang berbeda dalam beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan. Respon tanaman terhadap kekeringan tergantung sifat dasar tanaman dan dapat digolongkan sebagai tanggap fisiologi (penutupan stomata), aklimatisasi (peningkatan potensial osmotik, perubahan elastisitas dinding sel, perubahan morfologi) dan adaptasi (alokasi biomassa, modifikasi anatomi spesifik, mekanisme fisiologi yang lebih rumit) terhadap kekeringan (Pugnaire et al. 1999) Pertumbuhan dan produksi padi gogo dipengaruhi oleh stres air (kekeringan). Kekeringan memberikan pengaruh yang beragam pada fase vegetatif (perkecambahan, dan pembentukan anakan) maupun generatif. Pengaruh cekaman
kekeringan
pada
stadia
perkecambahan
adalah
menurunnya
perkecambahan benih padi gogo (Gupta & O’toole 1986). Salah satu diantara ciri varietas toleran kekeringan adalah perakaran yang mampu menyerap air tanah dalam kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian Fauzi (1997) juga menunjukkan bahwa tolok ukur panjang plumula, berat kering kecambah, berat kering akar dan berat kering plumula dapat digunakan untuk mengindikasi sifat toleran terhadap kekeringan. Kecambah padi yang toleran kekeringan akan memiliki akar yang panjang dan memiliki berat kering akar lebih besar dari kecambah yang tidak toleran, begitu juga panjang plumula dan berat kering plumulanya akan lebih besar dari kecambah yang tidak toleran.
9
Uji Toleransi terhadap Kekeringan pada Padi Penelitian mengenai uji toleransi terhadap kekeringan pada padi telah banyak dilakukan. Silitonga et al. (1993) mempelajari toleransi tanaman padi terhadap kekeringan, dengan mengamati gejala pertumbuhan yang tidak normal, daya cabut, dan menggulungnya daun. Salah satu varietas padi lokal yang relatif toleran terhadap kekeringan adalah Hawara Bunar. Suardi (2002) menguji daya tembus akar tanaman padi karena sifat perakaran menjadi salah satu penentu toleransi tanaman terhadap kekeringan. Ketahanan akar padi gogo terhadap kekeringan 17 kali lebih besar daripada padi sawah. Perakaran yang padat, dalam dan memiliki daya tembus yang tinggi akan meningkatkan serapan air dari tanah. Varietas Salumpikit, OS4, Dular, MI-48 dan galur IR442-2-58 mempunyai perakaran dalam dan padat serta relatif toleran terhadap kekeringan. Padi nasional seperti Cisadane, Ayung, Cipunegara dan Krueng Aceh mempunyai perakaran dan reaksi terhadap kekeringan relatif sama seperti Salumpikit. Suardi & Abdullah (2003) melakukan seleksi terhadap padi liar toleran kekeringan untuk mendapatkan aksesi padi liar yang akan dijadikan tetua dalam program persilangan dan diperoleh hasil bahwa aksesi padi liar O. glaberrima mempunyai sifat-sifat yang diharapkan sebagai tetua persilangan untuk mendapatkan galur toleran kekeringan. Suprihatno & Suardi (2007) menguji daya tembus akar sebagai salah satu faktor yang menunjang kemampuan tanaman menghadapi kekeringan terhadap 140 genotipe padi sawah generasi menengah, hasil penelitian menunjukkan lima galur yang diuji memberikan daya tembus akar relatif sama dengan varietas pembanding yang toleran kekeringan yaitu Gajahmungkur dan Cabacu. Penelitian mengenai toleransi kekeringan pada padi tidak hanya dilakukan di lapangan namun dilakukan juga melalui seleksi dini di rumah kaca dan di laboratorium. Lestari & Mariska (2006) mengidentifikasi beberapa varietas padi tahan kekeringan menggunakan PEG (BM 6000) untuk mendapatkan nomornomor harapan padi yang diduga toleran kekeringan pada somaklon yang berasal dari varietas Gajahmungkur, Towuti dan IR64 hasil radiasi dan seleksi in vitro. Pada penelitian tersebut diperoleh konsentrasi PEG 20% (setara –4 bar) merupakan konsentrasi yang paling efektif karena telah dapat memisahkan antara
10
kecambah/tanaman yang tahan dengan yang agak tahan terhadap kekeringan sejak hari ke-5 setelah perkecambahan. Satria (2009) melakukan pengujian toleransi kekeringan padi gogo pada stadia awal pertumbuhan dengan metode pengujian di laboratorium menggunakan media kompos dengan penyiraman tiga hari sekali yang merupakan metode paling efektif untuk menyeleksi genotipe padi gogo yang toleran kekeringan. Metode ini memiliki korelasi yang erat dengan pengujian di rumah kaca berdasarkan variabel persentase tanaman mati dan persentase daun mati. Metode kompos dapat memperlihatkan perbedaan antara genotipe yang toleran dan peka terhadap kekeringan karena penurunan kadar air media kompos tidak terlalu cepat dibandingkan media pada metode lain yang digunakan. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan kompos dalam menyimpan air lebih lama dan memiliki daya ikat air yang tinggi. Penurunan kadar air media yang tidak terlalu cepat dapat menunjukkan kemampuan adaptasi genotipe yang toleran kekeringan. Diantara 100 genotipe padi gogo yang diuji, dihasilkan sembilan genotipe yang toleran terhadap kekeringan.
Metode Pengusangan Cepat Terkontrol (PCT) Metode analisis vigor secara umum diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yaitu uji stres (uji cekaman), uji pertumbuhan dan evaluasi kecambah, dan uji biokimia. Uji cekaman mencakup: Accelerated Ageing Test (AAT) atau metode pengusangan dipercepat yang telah umum digunakan, Cold Test, dan Controlled Deterioration (CD) atau metode pengusangan cepat terkontrol (PCT) (Venter dalam Wafiroh 2010). Metode PCT pada prinsipnya sama dengan metode AAT. Hal yang membedakan adalah teknik yang digunakan selama pelaksanaannya. Metode AAT menggunakan
seperangkat
alat
pengusangan
khusus,
sedangkan
PCT
menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan kadar air benih diketahui dengan jelas dan terkontrol selama penderaan (Filho 1998). Powell & Matthews (2005) menambahkan bahwa metode PCT menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih. Kadar air benih yang sering digunakan dalam metode PCT adalah 20% dengan suhu 45oC dan periode penderaan 24 jam. Gambar 1 merupakan
11
modifikasi proses kemunduran benih pada metode PCT yang telah dikembangkan oleh Powell & Matthews (2005). a)
b) A
Lama penderaan yang tepat
B Ketepatan periode Penderaan dalam metode PCT
%Daya Berkecambah
%Daya Berkecambah
C
Waktu
A B
C Waktu
Sumber: Modifikasi Powell & Matthews (2005) Gambar 1. Proses kemunduran benih pada metode pengusangan cepat terkontrol
Titik A, B dan C pada Gambar 1 (a) merupakan kondisi vigor awal lot benih. Ketiga titik berada pada nilai vigor yang hampir sama meskipun lot A terlihat memiliki nilai vigor yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lot B dan C. Ketiga lot benih mengalami penurunan vigor yang signifikan ketika diberi stres PCT dengan kondisi yang tepat seperti terlihat pada Gambar 1 (b). Nilai vigor ketiga lot benih berubah dan berada pada selang yang sangat lebar seperti yang terlihat antara lot A dengan lot C ketika benih didera selama periode tertentu yang tepat sesuai dengan spesies yang digunakan. Lama penderaan merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan tingkat vigor benih (Powell & Matthews 2005). Hasil penelitian tentang penggunaan metode PCT telah banyak dilaporkan terutama pada benih-benih berukuran kecil dalam mendukung proses validasinya. Rodo & Filho (2003) menggunakan PCT pada KA 24% serta lama penderaan 24 jam pada suhu 45oC untuk menguji vigor benih bawang (Allium ceppa). Hasil penelitian Ali et al. (2003) menunjukkan bahwa metode PCT juga dapat
12
digunakan untuk mengidentifikasi mutu fisiologis benih padi (Oryza sativa L.) pada KA 24% dan lama penderaan 48 jam dengan suhu 45 ± 0.5oC. Menurut hasil penelitian Kikuti & Filho (2008), KA benih 20 dan 22% dan lama penderaan 24 jam suhu 45oC merupakan kondisi yang sesuai untuk menguji vigor benih kembang kol (Brassica oleracea L. var. botrytis). Demir & Mavi (2008) melaporkan bahwa pada benih ketimun (Cucumis sativus L.) dengan kondisi KA benih 20% dan lama penderaan 48 jam pada suhu 45oC merupakan kondisi optimum untuk menguji vigornya. Metode uji vigor dengan pengusangan cepat terkontrol dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara dini toleransi tanaman terhadap suatu cekaman. Hasil penelitian Alam et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan metode PCT dengan lama penderaan 36 hingga 48 jam dan suhu 45oC, dapat mengidentifikasi secara dini genotipe padi yang toleran terhadap salinitas setara dengan ketahanan pada konsentrasi NaCl 200 mM.