TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan manusia. Teknik bercocok tanam yang baik dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan kondisi lingkungan disekitar tanaman yang mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik sehingga dapat diperoleh hasil optimal. Peningkatan kemampuan berproduksi dapat diartikan suatu usaha untuk merubah sifat tanaman agar diperoleh tanaman yang lebih unggul dari pada varietas yang sudah ada dan usaha ini disebut memuliakan tanaman. Untuk memuliakan suatu tanaman, perlu ditempuh suatu proses yang terdiri dari : penentuan tujuan program pemuliaan, penyediaan materi pemuliaan, penilaian genotip
atau
populasi
untuk
dijadikan
varietas
baru,
dan
pengujian
(Poespodarsono, 1989). Tujuan dari pemuliaan tanaman adalah menghasilkan varietas tanaman dengan sifat-sifat (morfologi, fisiologi, biokimia, agronomi) yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Sasaran dalam program pemuliaan tanaman yaitu perbaikan potensi hasil, perbaikan kualitas, perbaikan resistensi terhadap hama dan penyakit, dan perbaikan tingkat adaptasi terhadap cekaman lingkungan. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi padi yaitu dengan perakitan varietas baru. Susanto et al. (2003) menyatakan bahwa upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai untuk kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat. Berbagai sasaran pemuliaan tanaman tersebut dapat tercapai melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu meliputi koleksi dan identifikasi keragaman dalam plasma nutfah, seleksi, rekombinasi, seleksi setelah rekombinasi, pembentukan galur-galur atau genotipe harapan, pengujian, dan pelepasan varietas. Susanto et al. (2003) menyatakan pembentukan varietas padi dilakukan dengan menyilangkan beberapa tetua, kemudian dari turunan persilangan tersebut dipilih tanaman-tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang baik. Persilangan
4
umumnya dilakukan dengan silang tunggal (single cross), silang puncak (top cross), silang ganda (double cross), dan silang balik (back cross). Galur yang telah dibentuk melalui proses persilangan kemudian diseleksi. Menurut Harahap (1982) metode seleksi yang umum digunakan dalam pemulian tanaman padi yaitu pedigree dan bulk. Kemudian Abdullah et al. (2008) menambahkan metode seleksi yang dilakukan pada padi tipe baru menggunakan kombinasi dari metode pedigree dan bulk, yaitu metode bulk pada generasi awal dan menengah (F1-F5) dan pedigree pada generasi lanjut (F6). Padi Tipe Baru Padi tipe baru (PTB) merupakan terobosan lanjutan dari stagnasi revolusi hijua. Sejak tahun 1980-an, saat produktivitas padi sawah relatif tidak meningkat karena keragaman genetik yang sempit, maka dilakukan upaya pembentukan arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan produktivitas tanaman. Padi yang dihasilkan kemudian dikenal dengan nama padi tipe baru (Susanto et al., 2003). Padi tipe baru mulai dikembangkan pada tahun 1989 oleh IRRI dan pada tahun 2000 didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih lanjut (Susanto et al., 2003). Di Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah merintis pembentukan PTB sejak tahun 1995, namun baru diintensifkan pada tahun 2000 (Las et al., 2003). PTB merupakan hasil persilangan antara padi jenis indica dengan japonica. Menurut Susanto et al. (2003) populasi dasar PTB banyak dibentuk dengan memanfaatkan tetua dari sub spesies indica dan japonica tropik sehingga latar belakang genetiknya cukup luas. Selanjutnya Les et al. (2003) menambahkan materi genetik yang digunakan sebagai tetua persilangan adalah varietas introduksi, varietas lokal Indonesia, dan padi liar. Karakteristik PTB menurut Peng et al. (1994) adalah potensi hasil tinggi, malai lebat (± 250 butir gabah/malai), jumlah anakan produktif lebih dari sepuluh dengan pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (± 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, senescence lambat, tahan rebah, perakaran kuat, batang lurus, tegak, besar, dan berwarna hijau gelap, sterilitas gabah rendah, berumur
5
genjah (100-130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi musim yang berbeda, IP mencapai 0.60, efektif dalam translokasi fotosintat dari source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat dan tahan terhadap hama dan penyakit. Las et al., (2003) menambahkan PTB memiliki sifat penting, antara lain jumlah anakan sedikit (7-12 batang) dan semuanya produktif, malai lebih panjang dan 1ebat (>300 butir/malai), batang besar dan kokoh, daun tegak, tebal, dan hijau tua, perakaran panjang dan lebat. Potensi hasil PTB 10-25% lebih
tinggi
dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini. Selanjutnya Abdullah et al. (2008) menambahkan PTB yang berpotensi hasil tinggi umumnya harus mempunyai sifat-sifat seperti, jumlah anakan sedang tetapi semua produktif (12-18 batang), jumlah gabah per malai 150-250 butir, persentase gabah bernas 85-95%, bobot 1.000 gabah bernas 25-26 g, batang kokoh dan pendek (80-90 cm), umur genjah (110-120 hari), daun tegak, sempit, berbentuk huruf V, hijau sampai hijau tua, 2-3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, gabah langsing, mutu beras baik, serta tahan terhadap hama dan penyakit utama. Dengan sifat-sifat tersebut, PTB mampu mempunyai potensi hasil 9-13 kg gabah kering giling per hektar. Hingga saat ini Balitpa telah menghasilkan varietas dan sejumlah galur PTB dalam beberapa generasi. Generasi pertama, dihasilkan sejumlah galur semi PTB, yang sebagian sifat-sifatnya menyerupai sifat PTB sebenarnya, antara lain jumlah anakan yang relatif sedikit (10-12 batang/rumpun) dan potensi hasil 5-10% lebih tinggi dibanding varietas IR64 dan Ciherang. Galur-galur tersebut antara lain adalah BP-10384-MR-1-8-3 (dilepas dengan nama Cimelati pada tahun 2001) dan BP-50F-MR-30-5 (dilepas dengan nama Gilirang pada tahun 2002). Generasi kedua, dihasilkan beberapa galur PTB yang potensial karena berdaya hasil lebih tinggi dan tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 2, tetapi relatif peka terhadap penyakit hawar daun bakteri. Generasi ketiga dan seterusnya, terdapat sekitar 80 galur harapan PTB generasi menengah yang masih dalam tahap pengujian (Las et al., 2003). Hasil penelitian Abdullah et al. (2002) menunjukan secara umum galur terpilih asal persilangan Indonesia telah menunjukkan malai yang lebat (>200 gabah/malai), anakan produktif lebih banyak daripada galur IRRI
6
(12-16 batang/rumpun) mempunyai ketahanan terhadap wereng coklat, dan umur genjah (110-120 hari), mutu beras baik, namun batang masih belum kokoh, daun masih tipis terkulai dan berwarna hijau muda, serta peka terhadap hawar daun bakteri dan kehampaan relatif tinggi (>25%). Sedangkan galur asal IRRI berpenampilan kokoh, malai lebat, daun tegak, tebal, dan berwarna hijau tua, tahan penyakit hawar daun bakteri tetapi berumur sedang (125-135 hari), peka terhadap wereng coklat, dan bentuk beras bulat. Fatmawati merupakan salah satu varietas PTB yang telah dilepas pada tahun 2003. Varietas Fatmawati memiliki potensi produksi mencapai 8 ton/ha lebih, akan tetapi memiliki beberapa kelemahan, yaitu kehampaan gabah sangat tinggi yang dapat mencapai 30%, gabah sulit dirontokkan, dan kualitas beras kurang baik. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, Fatmawati sampai saat ini kurang mendapat sambutan yang baik dari petani meskipun hasilnya tinggi. Uji Daya Hasil Uji daya hasil merupakan aspek penting dalam program perakitan varietas baru. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengevaluasi potensi hasil galur-galur terpilih pada berbagai kondisi lingkungan. Uji daya hasil meliputi tiga tahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjut (UDHL), dan uji multilokasi untuk melihat stabilitas dan adaptabilitas tanaman di berbagai lokasi sebelum dilepas menjadi varietas unggul baru dengan karakter-karakter yang dikehendaki. Nasir (2001) menyatakan uji daya hasil lanjut sebaiknya dilakukan minimal dua musim di beberapa lokasi untuk menekan tersingkirnya galur-galur unggul selama seleksi akibat adanya interaksi genotipe dengan lingkungannya. Arsyad et al. (2007) menambahkan ukuran petak pada uji daya hasil pendahuluan lebih kecil dibandingkan ukuran petak pada uji daya hasil lanjut dan uji multilokasi. Jumlah galur uji daya hasil pendahuluan lebih banyak dari pada uji daya hasil lanjut dan uji multilokasi, namun jumlah lokasi uji daya hasil pendahuluan lebih sedikit dibandingkan uji daya hasil lanjut dan uji multilokasi.
7
Heritabilitas Penampilan suatu tanaman atau fenotipe ditententukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan serta interaksinya. Faktor genetik sangat penting bagi pemulia karena faktor genetik diwariskan dari tetua ke keturunannya. Interaksi genetik dengan lingkungan ditunjukkan dengan adanya respon hasil pada suatu sifat berbeda di lingkungan yang berbeda. Pengetahuan tentang interaksi antara genotipe dan lingkungan mempunyai arti penting dalam program seleksi, karena seleksi sering tidak efektif karena adanya interaksi ini (Poespodarsono, 1989). Keragaman yang dapat diamati pada tanaman adalah ragam fenotipik (VP). Ragam fenotipik terdiri dari ragam genetik (VG), ragam lingkungan (VE) serta ragam interaksi genetik dengan lingkungan (VGE). Komponen ragam yang penting bagi seorang pemulia adalah komponen ragam yang dapat diwariskan yaitu komponen ragam genetik. Heritabilitas (h2) adalah suatu parameter yang menduga besar kecilnya faktor genetik terhadap faktor fenotipe, dinyatakan sebagai perbandingan atau proporsi varian genetik terhadap varian total (varian fenotipe) yang biasanya dinyatakan dengan persen (%). Heritabilitas dibagi menjadi dua macam, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas adalah perbandingan antara varian genetik total dengan varian fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah perbandingan antara varian aditif dengan varian fenotipe. Nilai heritabilitas dapat menggambarkan besarnya pengaruh genetik dalam menentukan keragaman fenotipe yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Menurut Sujiprihati et al. (2003) nilai heritabilitas digolongkan menjadi nilai heritabilitas tinggi (h2>50%), heritabilitas sedang (20%