II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa, aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan, hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan. Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan.
Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan
budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial (Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement). Kebijakan pemanfaatan potensi akuakultur bagi pengembangan ekonomi nasional yang akan ditempuh adalah melalui pengembangan kawasan budidaya
9
dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1% sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%. Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini
pada tahun 2005
diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar 770 buah (Pemda Situbondo 2005). Pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika disarikan, permasalahan tersebut dapat digolongkan kedalam 4 bagian yaitu masalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, masalah sosial-ekonomi, masalah kelembagaan dan masalah teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark dan Beveridge (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada kurangnya teknologi. Belum berkembangnya berkembang dengan baik di Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah. Sebagai gambaran, meskipun teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi teknologi kakap putih, beronang dan kerapu, namun diantara komoditas-
10
komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.
2.2. Komoditas Budidaya Laut 2.2.1. Rumput Laut Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp., dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004). Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta Class Ordo
: Rhodophyceae (Rumput laut merah) : Gigartinales
Family : Solieriaceae; Gracilariaceae Genus : Eucheuma Spesies : Eucheuma cottonii
Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan Eucheuma cottonii adalah salah satu kelompok algae Rhodophyceae penghasil karagian. Ciri fisik jenis ini adalah mempunyai thallus silindris,
11
permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil dan substrat batu karang mati. Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas. Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Yunizal dkk (2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan, rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. E. Cottonii dipanen setelah berumur 1,5 bulan atau lebih. Sedangkan oleh Mukti (1987) menyatakan bahwa pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Lebih lanjut oleh Departemen Pertanian (1995), bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai puncak pada saat beratnya mencapai ± 600 g/rumpun. Kandungan karaginannya mencapai puncak tertinggi pada umur 6 – 8 minggu dan dipanen dengan cara memotong bagian ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian Iksan (2005), bahwa semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka
12
semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat, kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah.
2.2.2. Ikan Kerapu Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung (Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik. Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp. 100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan. Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi, habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 – 0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006) Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging. Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim) kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006). Terdapat sekitar 91 jenis ikan kerapu di Indonesia yang berasal dari 7 (tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes, Epinephelus, Plecuropomus, dan Variola (DKP 2005 dan Sunyoto 1993). Menurut
Subiyanto
(2003),
bahwa
oleh
pemerintah
telah
berhasil
mengembangkan dan mensosialisasikan ikan kerapu terutama untuk jenis macan
13
(Epinephelus
fuscoguttatus),
tikus
(Chromileptes
altivelis),
dan
lumpur
(Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987), klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Class
: Osteichtyes
Sub-Class
: Actinopterygii
Ordo
: Percomorphii
Sub-Ordo
: Percoide
Family
: Serramidae
Genus
: Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus
Spesies
: Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis (kerapu
tikus),
Epinephelus
Epinephelus
coloides
bleckeri
(kerapu
(kerapu
lumpur),
lumpur),
Cromileptes
polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu)
2.3. Sistem Budidaya 2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA. Sistem KJA umumnya menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan
14
pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan hias (PKSPL 2005).
2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5 metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung). Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit), metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006).
A. Metode lepas dasar Metode ini sangat tepat diterapkan pada areal perairan antara intertidal dan subtidal dimana pada saat air surut terendah dasar perairan masih terendam air serta lebih banyak memanfaatkan perairan yang relatif dangkal (Sudjatmiko dan Angkasa 2006). Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pacang, Namun hal ini akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30 cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air). Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1 m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20 - 25 cm.
15
B. Metode rakit apung Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam. Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati.
C. Metode tali panjang Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah untuk didapat. Teknik budidaya rumput laut dengan metode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap
16
25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet sandal atau botol aqua bekas 500 ml. Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air; terbebas
dari
hama
yang
biasanya
menyerang
dari
dasar
perairan;
pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah; dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
D. Metode jalur Metode jalur merupakan salah satu metode yang baru berkembang di masyarakat menyesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi perairannya. Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 m x 7 m per petak. Satu unit terdiri dari 7 - 10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2 cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikat kemudian tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm x 30 cm
17
2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan 2.4.1. Lokasi Budidaya Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea (laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai berikut : 1. Teluk Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan. Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci. 2. Selat Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau. Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik. 3. Shallow water Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba (7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen (mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk lokasi budidaya laut.
18
2.4.2. Kualitas Perairan Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut. Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004 No
Parameter
Satuan
Baku Mutu
No.
karang : > 5 mangrove : lamun : > 3
6 7 8 9
0.015 0.0008 0.5 0.01 0.003 0.01
12 13 14 15
mg/l µg/l mg/l MBAS mg/l µg/l µg/l
1 2 3 4 5 6 7
LOGAM BERAT Raksa (Hg) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Tombal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
m
2 3
Kebauan Kekeruhan
NTU
alami <5
10 11
4
Padatan tersuspensi Total
mg/l
5 6
Sampah Suhu
karang : 20 mangrove : 80 lamun : 20 nihil coral : 28 -30 mangrove : 28-32 lamun : 28-30 nihil
7
Lapisan Minyak
-
1 2
KIMIA pH Salinitas
o
/oo
7 - 8.5 alami coral : 33-34 mangrove : s/d 34 lamun : 33-34
1 1 0.01 0.01
0.001 0.005 0.012 0.001 0.008 0.005 0.005
BIOLOGI
3
Oksigen Terlarut
mg/l
>5
1
Coliform (total)
4
BOD5 Amonia Total (NH3-N)
mg/l
20
2
Patogen
mg/l
0.3
3
Plankton
5
Baku mutu
mg/l mg/l mg/l mg/l
FISIKA Kecerahan
C
Satuan
Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) Senyawa fenol total PCB total Surfaktan (Deterjen) Minyak & lemak Pestisida TBT (Tribulintin)
1
o
Parameter
MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml
1000 nihil tidak bloom
19
2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir. Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah: • Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait • Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien. • Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan. SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan, mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian
20
rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.
2.6. Analisis Biaya Manfaat Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis dalam bidang pertanian).
Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem
(sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung. Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana, analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada periode-periode
tertentu
dalam
satu
rentang
waktu,
serta
menghitung
perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994), terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni: 1.
Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan dilakukan;
2.
Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan;
3.
Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut;
4.
Bandingkan manfaat dan biaya tersebut.
21
Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu (B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih.