27
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Sistem Dinamis Dalam pandangan Menetsch dan Park seperti yang dikutip oleh Eriyatno (1999) setiap orang dapat menyampaikan terminologi sistem atas dasar pandangan pribadi maupun kegunaan untuk kelompoknya, yang penting harus ada visi tentang sesuatu yang “utuh” dan keutuhan. Oleh karenanya sistem dapat diartikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang komplek dan memiliki kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Sehingga secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan tertentu. Sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari berbagai komponen atau bagian yang saling berinteraksi membentuk suatu fungsi atau tujuan tertentu. Teori sistem berkembang lebih jauh lagi menjadi dua bidang ilmu manajemen utama, berpikir sistemik (system thinking) dan sistem dinamis (system dynamics). Berpikir sistemik merupakan cara pandang baru terhadap suatu kejadian yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu. Hal ini terjadi karena adanya kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang perlu dikaji atau dikendalikan oleh satu metode saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan tertentu. Permasalahan
yang
sebaiknya
menggunakan
pendekatan
sistem
dalam
pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara
28
pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efesiensi keputusan (Eriyatno, 1999). Oleh karena itu telaah tentang permasalahan dengan pendekatan sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk optimalnya pengambilan keputusan dalam permasalahan melalui pendekatan sistem memerlukan apa yang disebut dengan Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Keen dan Morton (1986) seperti yang dikutip oleh Eriyatno (1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mendukung manajemen pengambilan keputusan yang berhubungan dengan permasalahan yang bersifat semi terstruktur. Sedangkan Millet dalam Eriyatno (1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang menggunakan model yang berhubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan masalah yang dititikberatkan pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang berhubungan. Minch dan Burns (1983) seperti yang diacu oleh Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa konsepsi model SPK adalah menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu pengambilan keputusan, data dan model. SPK terdiri dari tiga elemen pembentuk utama, yaitu basis data, basis model dan manajemen dialog yang terakumalasi dalam suatu sistem yang dinamis. Sistem dinamis sangat erat hubungannya dengan berpikir sistemik. Sistem dinamis dibentuk untuk memberi para manajer suatu alat bantu dalam memahami sistem kompleks yang mereka hadapi. Metodologinya adalah menggunakan simulasi komputer untuk menghubungkan struktur sistem dengan perilaku sistem terhadap waktu. Dengan cara ini, sistem dinamis mampu menterjemahkan pemahaman yang diperoleh dari berpikir sistemik ke dalam model simulasi komputer. Sistem dinamis mampu menciptakan suatu learning environment – suatu laboratorium yang berperan seperti miniatur dari sistem. Simulasi sistem dinamis diatur berdasarkan prinsip: (1) cause-effect (sebab-akibat), (2) feedback (umpan-balik), dan (3) delay (tunda). Simulasi yang
29
lengkap dan komprehensif pasti menggunakan ketiga prinsip tersebut untuk menghasilkan perilaku sistem yang mendekati dunia nyata. Rancangan causalloop diagram (CLD) biasanya digunakan dalam system thinking (berpikir sistemik)
untuk
mengilustrasikan
hubungan
cause-effect
(sebab-akibat).
Hubungan feedback (umpan-balik) bisa menghasilkan perilaku yang bervariasi dalam sistem nyata dan dalam simulasi sistem nyata. Tidak semua hubungan sebab-akibat timbul secara instan. Sering terjadi hubungan sebab-akibat tersebut dipisahkan oleh waktu, bisa berupa detik, menit, jam, minggu, bulan, atau tahun. Delay terjadi dimanapun di dunia nyata. Adanya delay menghasilkan sesuatu hal yang menarik pada perilaku kompleks sistem, ketika sistem tersebut tidak memiliki feedback dan kompleksitas cause-effect yang terbatas. Variabel feedback yang penting adalah level dan flow. Level menunjukkan akumulasi, sedangkan flow menunjukkan perubahan pada yang terjadi pada variabel level.
2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan Perencanaan pembangunan dapat dikatakan identik dengan ekonomi pembangunan. Bila ruang gerak ekonomi pembangunan berusaha mencari strategi pembangunan, perencanaan pembangunan merupakan alat yang ampuh untuk menerjemahkan strategi pembangunan tersebut dalam berbagai program kegiatan yang terkoordinir. Koordinasi ini perlu dilakukan sehingga sasaran-sasaran, baik ekonomi maupun sosial, yang telah ditetapkan semula dapat dicapai secara lebih efisien untuk menghindari terjadinya pemborosan-pemboroan dalam pelaksanaan pembangunan (Hendra, 1995). Perencanaan pembangunan ekonomi bisa juga dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber-sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam rangka menciptakan nilai sumber-sumber daya swasta secara bertanggung jawab (Arsyad, 1999). Dengan demikian diharapkan perekonomian wilayah dapat mencapai keadaan perekonomian yang lebih baik pada masa yang akan datang dibanding dengan keadaan sekarang ini, atau minimal sama dengan keadaan ekonomi sekarang.
30
Hirschman (1958) menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan yang sangat jauh antara perkembangan ekonomi di daerah kaya dengan daerah miskin, akan terjadi proses pengkutuban (polarization effects), sebaliknya jika perbedaan diantara kedua daerah tersebut menyempit, berarti telah terjadi imbas yang baik karena ada proses penetesan ke bawah (trickle down effects). Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa perlunya perencanaan pembangunan itu semata-mata bukan hanya untuk kepentingan wilayah yang bersangkutan, melainkan yang lebih luas lagi seperti untuk kepentingan pembangunan nasional secara menyeluruh. Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyusun perencanaan pembangunan suatu wilayah, yaitu : (1) pendekatan atas-bawah (topdown), (2) pendekatan bawah-atas (bottom-up), (3) pendekatan obyek, sektoral atau bidang, (4) pendekatan gabungan atau campuran, (5) pendekatan komprehensif, (6) pendekatan terpadu, (7) pendekatan pengkerutan (reduced), (8) pendekatan parsial, (9) pendekatan proyek demi proyek (Mangiri, 2000). Perencanaan pembangunan yang disusun dengan pendekatan top-down merupakan perencanaan pembangunan yang sudah diatur pada tingkat atas pemerintah pusat atau daerah yang tidak melibatkan masyarakat, yang kemudian diturunkan ke tingkat lebih bawah dari suatu pemerintah (pusat atau daerah) untuk dilaksanakan sesuai dengan petunjuknya. Pendekatan ini menitikberatkan pada visi terlebih dahulu, kemudian misi, strategi, program dan proyek. Manfaat yang dapat diberikan dengan pendekatan ini adalah program pembangunan yang direncanakan akan lebih cepat terlaksana, karena yang menetapkan hanya beberapa orang pada tingkat pimpinan yang mempunyai persepsi dan wawasan pembangunan yang sama. Akan tetapi, sering juga pendekatan semacam ini menimbulkan permasalahan di lapangan. Karena perencanaannya diturunkan dari atas, bisa saja terjadi program-program pembangunan yang diajukan tidak sesuai dengan potensi atau permasalahan pada wilayah setempat. Akibatnya apa yang menjadi tujuan dari perencanaan tersebut tidak tercapai, bahkan bisa saja hasil yang didapat bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkan. Pendekatan kedua, bottom-up, tampaknya lebih operasional atau lebih menyentuh masyarakat, sehingga dianggap mampu memecahkan masalahmasalah pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun
31
demikian, pendekatan ini bisa menyebabkan terjadinya benturan-benturan antara masalah wilayah yang diangkat dengan tujuan makro, dan di samping itu menimbulkan sikap ego lokal yang lebih mementingkan wilayahnya sendiri. Perencanaan yang disusun dari bawah, menyebabkan pula masing-masing wilayah atau sekelompok masyarakat ingin lebih dipentingkan dari wilayah atau kelompok masyarakat yang lain. Akibatnya muncul konflik yang bersifat horizontal, yang akhirnya mengganggu proses pembangunan ekonomi yang dijalankan. Pendekatan
perencanaan
dapat
juga
dilakukan
dengan
lebih
menitikberatkan terhadap pembangunan sektor-sektor atau bidang-bidang tertentu. Di sini tujuan perencanaan dapat diarahkan kepada pemecahan masalah pada sektor-sektor yang menjadi bottleneck dalam pembangunan, ataupun untuk mengembangkan sektor-sektor yang merupakan leader dalam perekonomian daerah. Pola perencanaan yang lebih mengedepankan pembangunan sektoral umumnya berpijak pada konsep pertumbuhan tidak berimbang yang dinilai oleh beberapa ahli ekonomi mempunyai keterbatasan-keterbatasan, di antaranya: (1) kurang perhatian terhadap komposisi, arah dan saat petumbuhan tidak berimbang, (2) mengabaikan pihak-pihak yang beroposisi terhadap pembangunan, (3) memunculkan tekanan inflasi, (4) sulit diterapkan untuk daerah-daerah yang kurang maju dimana fasilitas dasar dan mobilitas faktor menjadi kendala dalam pembangunan (Jhingan, 1993). Pendekatan ideal dalam penyusunan perencanaan pembangunan adalah dengan menggabungkan semua kepentingan atas, bawah, sektoral ataupun bidang pembangunan yang diakomodir dan diselaraskan dalam sebuah perencanaan yang sistematis dan dinamis. Sistem perencanaan pembangunan ini lebih bersifat simulasi dengan kendala tujuan target makro tetapi pelaksanaannya sesuai dengan tingkat bawah. Hasilnya menjadi perencanaan optimal antar pusat, wilayah dan sektor yang dianggap sebagai isu utama nasional atau daerah. Dalam prakteknya, sangat sulit melakukan perencanaan semacam ini. Karena belum tentu tujuan yang diutamakan bagi wilayah merupakan pula tujuan nasional, atau sebaliknya tujuan yang diutamakan bagi nasional belum temtu merupakan tujuan wilayah. Singkatnya, sangat sulit untuk mempertemukan antara tujuan wilayah dengan tujuan nasional.
32
Pendekatan perencanaan pembangunan yang komprehensif diartikan sebagai suatu pendekatan perencanaan yang terkoordinir dan terpadu dalam suatu wilayah pembangunan, dan salah satu bentuk lain dari pendekatan komprehensif adalah pendekatan terpadu. Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan semua komponen-komponen ekonomi, dan sosial ke dalam suatu perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan terpadu ini mempunyai empat aspek, yaitu (1) keterkaitan, (2) kuantitas, (3) optimasi, dan (4) risiko (Mangiri, 2000). Sedangkan pernyusunan perencanaan dengan pendekatan parsial lebih bersifat pemecahan persoalan (problem-solving) dalam proses pembangunan, sehingga dengan sendirinya dalam pendekatan ini terdapat berbagai bentuk pendekatan perencanaan. Dengan kata lain pendekatan parsial ini mirip dengan pendekatan gabungan atau campuran. Pendekatan terakhir yang dapat diterapkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah adalah pendekatan proyek demi proyek. Setelah ditetapkan pendekatan mana yang akan diterapkan, langkah berikutnya adalah menyusun perencanaan pembangunan yang dilakukan melalui beberapa tahapan, : (1) pengumpulan data dan analisis, (2) pemilihan strategi pembangunan wilayah, (3) pemilihan proyek-proyek pembangunan,
(4)
pembuatan rencana tindakan, (5) penentuan rincian proyek, dan (6) persiapan perencanaan secara keseluruhan dan implementasi (Blakely seperti yang dikutip oleh Arsyad, 1999). Selain itu perencanaan pembangunan tidak bisa terlepas dari pengetahuan tentang obyek perencanaan, apakah obyek itu berupa nasional, daerah, sektor, ataupun bidang pembangunan. Dengan mengetahui berbagai kecenderungan dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang mempengaruhinya, perencana dapat menetapkan strategi pembangunan suatu wilayah dengan lebih tepat agar diperoleh hasil seoptimal mungkin. Untuk semua ini, diperlukan suatu analisis yang teliti dan kompleks yang menyangkut berbagai aspek tentang obyek perencanaan pembangunan. Analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa untuk mengetahui penyebabnya, dan bagaimana duduk perkaranya. Sedangkan menganalisis ialah menyelidiki dengan menguraikan masing-masing bagiannya. Kegunaan model perencanaan menurut Jhingan (1993) adalah : (1) memberikan kerangka pengawasan terhadap konsistensi atau optimalisasi sasaran
33
rencana yang tertulis, (2) memberikan kerangka bagi penentuan sasaran yang sebenarnya, (3) memberikan kerangka bagi penilaian proyek, dan (4) memberikan pengertian yang mendalam mengenai struktur perekonomian, serta dinamikanya guna menunjang keputusan keputusan kebijaksanaan yang lebih baik. Oleh karena itu Jhingan (1993) membagi model-model perencanaan dalam tiga bentuk pula, yaitu (1) model agregat, (2) model desentralisasi, dan (3) model multisektor. Model agregat mengikuti garis optimal pertumbuhan agregat-agregat ekonomi seperti pendapatan, tabungan, konsumsi, investasi, dan sebagainya. Model Keynes, model Harrod-Domar, dan model two-gap adalah termasuk jenis ini. Model yang didesentralisasi mengandung variabel sektor atau variabel tingkat proyek yang dipakai untuk mempersiapkan model masing-masing sektor atau proyek. Model multisektor dibangun untuk menghubungkan agregat-agregat ekonomi makro dengan sektor-sektor yang merupakan materi operasional perencanaan. Pilihan model-model perencanaan pembangunan sangat tergantung kepada kemampuan tenaga perencanaan untuk mempergunakan model tersebut, tersedianya waktu, data dan berbagai fasilitas penunjang lainnya (aspek infrastruktur), dan bentuk pendekatan yang akan dipergunakan di dalam menyusun perencanaan pembangunan. Walaupun ketiga faktor tersebut sepertinya membatasi suatu wilayah di dalam memilih model perencanaan pembangunannya, bukan berarti setiap kali menyusun perencanaan pembangunan jangka pendek selalu menggunakan model-model yang sama dan sangat terbatas. Perekonomian itu berjalan dinamis, karena pola konsumsi dan produksi dalam masyarakat selalu berubah. Akibatnya orientasi pembangunan tidak mungkin terus sama setiap tahun. Konsep perencanaan pembangunan hanyalah merupakan alat dan cara untuk mencapai tujuan, target dan strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga menurut Arsyad (1999) perencanaan dalam pembangunan akan memiliki fungsi : (1) Sarana komunikasi bagi semua stakeholder, (2) dasar dalam mengatur sumberdaya dan sumberdana, (3) menjadi tolok ukur keberhasilan fungsi pengendalian, dan (4) alat untuk melakukan evaluasi. Dari fungsi
34
perenanaan
dalam
pembangunan
ini,
maka
dapat
dilihat
perencanaan
pembangunan yang baik, yaitu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Punya target yang jelas. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai target yang berbeda yang tercantum dalam renstra daerah masing-masing. Perencanaan yang baik apabila dari target yang dimiliki mempunyai langkahlangkah yang jelas untuk melaksanakannya. b. Konsisten dan Realistis. Yang sering terjadi adalah berbeda antara apa yang direncanakan dengan apa yang dikerjakan sehingga pekerjaan tidak sesuai lagi denga perencanaan yang dibuat dan disetujui bersama. Perencanaan juga harus mengukur sumberdaya yang dimiliki, sehingga perencanaan yang dibuat bukanlah yang tidak mungkin dilaksanakan. c. Mempunyai Pengawasan yang Berkesinambungan. Dengan membentuk alur dan sistim yang jelas sehingga perencaan akan menjadi alat kontrol yang kontinyu. d. Jelas Target Fisik dan Pembiayaannya. Perencanaan harus mempunyai target pencapaian apa yang dikerjakan termasuk kualitas dan persyaratan secara fisik lainnya. Di samping itu perencanaan juga jelas target anggarannya. e. Terukur. Sehingga dalam pelaksanaanya perencanaan akan memudahkan dalam menentukan indikator keberhasilannya. f. Ada batas waktu yang jelas dari setiap pekerjaan, Arsyad (1999).
2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Keberhasilan suatu pembangunan salah satu indikatornya dilihat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu wilayah dari satu tahun ke tahun berikutnya, membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan di suatu wilayah. Model Harrod-Domar memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda
35
yang dimiliki investasi, yaitu: (1) investasi menciptakan pendapatan, dan (2) investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua dampak penawaran investasi. Arsyad (1999) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan tersebut diukur dalam nilai riil atau dinyatakan dalam harga konstan. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu daerah perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Sukirno (1985) menyatakan bahwa ada beberapa faktor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
yang
suatu wilayah, yaitu: (1) tanah dan
kekayaan alam, (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerjanya, (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat, dan (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2004) komponen-komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu: (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumberdaya alam, (2) perkembangan pendududuk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pertumbuhan baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan wilayah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah dengan melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan. Kalau perhitungan pendapatan daerah menggunakan tingkat harga yang berlaku pada waktu tersebut, hasil perhitungannya adalah pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tahun bersangkutan. Jadi perhitungan pendapatan daerah
36
dapat menggunakan harga konstan atau pendapatan riil, dapat pula menggunakan harga yang berlaku saat itu atau pendapatan nominal. Setiap upaya meningkatkan pertumbuhan melalui pembangunan suatu wilayah yang dilakukan oleh pemerintah berserta masyarakatnya memiliki tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal maka pemerintah hendaknya selalu melibatkan
partisipasi
masyarakatnya
dalam
memanfaatkan
sumberdaya-
sumberdaya yang ada, serta harus mampu memperhitungkan potensi sumberdayasumberdaya yang diperlukan untuk meraancang dan membangun perekonomian.
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian dengan menggunakan sistem dinamik sudah banyak dilakukan di Indonesia di antaranya Tofik Hidayat, Subagyo dan Anna Maria Sri Asih (2008) membuat Model Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendekatan Sistem Dinamik. Metode yang digunakan adalah Metode Net Present Value dan Benefit Cost Ratio yang dipakai dalam penyelesaian investasi karena metode ini mempertimbangkan faktor uang selama dan kegunaan selama proses investasi dengan pendekatan sistem dinamik diharapkan akan terbentuk struktur industri yang memberikan feedback, sehingga akan memberikan hasil yang optimal. Dari hasil simulasi dan pengujian model dengan behavior reproduction test dengan t-spaired test diketahui bahwa tidak ada selisih yang signifikan antara output model dengan data histories. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa investasi yang ditanam mampu menekan kerugian perusahaan sebesar Rp. 67,854,605.10 dengan nilai NPV > 0 dan B-C ratio >1, maka investasi dinyatakan feasible secara teknis. Adapun kontribusi pada penerimaan PAD sebesar Rp. 222,136,546.93. Dari uji validitas model pada tiga perusahaan di tiga kabupaten/kota yang berbeda menunjukan bahwa model dapat bekerja dan diterima dengan baik. Yulia Asyiawati (2002) melakukan penelitian tentang sistem dinamik dalam penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Dengan menggunakan
37
software stella, penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika Pesisir Kabupaten Bantul, baik wisatawan maupun petani akan mengalami perubahan yang dipengaruhi tiga subsistem, yaitu (1) subsistem lahan, (2) subsitem penduduk, dan (3) subsitem kegiatan ekonomi pesisir. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya pertambahan penduduk dan pertambahan jumlah wisatawan pesisir pantai. Selain itu pula terjadi perubahan terhadap tingkap produksi petani terutama komoditas padi, cabe merah, ketela rambat dan kacang tanah. Penelitian yang berkaitan dengan sistem dinamis dilakukan pula oleh Hadi (2006) dengan kajian model dinamik penataan ruang kehutanan yang dilakukan di Kawasan Hutan di enam provinsi yang mewakili empat klaster wilayah berdasarkan fungsi kawasan yang berbeda yaitu: (1) klaster 1, dicirikan oleh luas areal hutan produksi yang tinggi, diwakili Provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Timur, (2) klaster 2, dicirikan oleh luas areal hutan konversi yang tinggi, diwakili Provinsi Sumatera Utara, (3) klaster 3, dicirikan oleh luas areal yang didominasi oleh hutan produksi terbatas, konservasi, dan lindung, diwakili Provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah, dan (4) klaster 4, dicirikan oleh luas areal penggunaan lain yang tinggi, diwakili Provinsi Bali. Metode dalam penelitian ini diawali dengan mengkaji Dokumen Teknis yang meliputi RTRWP, Laporan-Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Pembangunan, Rencana-Rencana sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian, dan Peta-Peta. Berdasarkan hasil kajian dokumen teknis disusun permasalahan-permasalahan teknis dan informasi berbagai potensi yang ada. Selanjutnya, dilakukan verifikasi lapangan atas informasi potensi dan permasalahan-permasalahan teknis berikut permasalahan lain; menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik serta manajemen. Berbagai parameter dalam aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, dan biofisik kawasan perlu ditetapkan sebagai dasar membuat perencanaan tata ruang, setelah identifikasi kondisi dilakukan. Model optimasi pemanfaatan ruang, selanjutnya dibangun berdasarkan parameter-parameter sosial dan ekonomi yang telah diturunkan dari kondisi riil di lapang. Alat yang digunakan untuk membantu menampung kedinamisan dalam kajian optimasi tata ruang ini adalah Program Stella Research 5.1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan terhadap jumlah PDRB dan luas kawasan hutan di tiap provinsi pada tahun 2004 dan 2024.
38
Hasil penelitian yang berkaitan dengan Kota Bandung di antaranya yang dilakukan oleh Dewi Kurniasih (2005) dengan penelitian tentang model skala prioritas
pembangunan
Kota Bandung berbasis Good
Governance. Dalam
penelitian ini mengungkapkan bahwa berbicara mengenai otonomi daerah, tidak terlepas dari isu kapasitas keuangan dari masing-masing daerah. Hal ini dikarenakan otonomi dan desentralisasi selalu dikaitkan dengan besaran uang yang dapat dimiliki daerah. Tentu saja hal tersebut akan berkaitan langsung dengan besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan prosentase terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menyediakan suatu program dasar perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan terpadu dalam kerangka Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (2) mengoptimalkan perencanaan pembangunan di Kota
Bandung melalui penjaringan kebutuhan
masyarakat, dan (3) menyusun skala prioritas kegiatan pembangunan di Kota Bandung tahun 2006. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif dengan teknik kuantitatif melalui penggunaan software sebagai salah satu bentuk aplikasi e-government. Berdasarkan hasil penelitian menyimpulkaan beberapa hal : a. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan musrenbang harus dipertahankan. Sejak saat itulah konsep skala prioritas kegiatan dapat mulai diajukan. b. Kelengkapan dan keseragaman data merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan skala prioritas. Hal ini akan mempengaruhi scoring dan ranking penilaian Daftar Skala Prioritas (DSP). c. Apabila telah disepakati metodologi penilaian DSP yang akan digunakan, seyogyanya dilakukan pelatihan guna memperoleh kesepemahaman mengenai komponen-komponen yang harus dinilai dalam menentukan skala prioritas. Penelitian yang berkaitan denga kawasan Gedebage dilakukan di antaranya oleh Maman Hilman (2004) dengan penelitian tentang perkembangan lokasi perumahan di wilayah Gedebage Kota Bandung akibat pemekaran kota. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemekaran kota terhadap perkembangan luas area perumahan; (2) melihat kecepatan perkembangan luas area perumahan; (3) mengetahui pola perkembangan lokasi perumahan. Metode
39
penelitian yang digunakan adalah metode deskriftif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage Kota Bandung dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan faktor sosial ekonomi akibat pemekaran kota. Perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage dipengaruhi oleh pemekaran kota sebesar 89,29 persen. Kecepatan perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage lebih tinggi terjadi setelah pemekaran kota. Rata-rata perkembangannya setelah pemekaran kota sebesar 212.003,7 m2/tahun dan sebelum pemekaran kota 17.369 m2/tahun. Selain itu pola perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage menunjukkan pola yang tidak jelas. Selain itu penelitian di kawasan Gedebage LPM-UNPAD (2002) tentang kajian sosial pengembangan wilayah Gedebage
dengan menggunakan dua
pendekatan Policy Research dan Action Research. Policy Research (penelitian kebijakan) merupakan sebuah proses penelitian atau analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah sosial mendasar, sehingga temuan-temuan dalam analisanya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan masalah. Pendekatan ini sangat relevan dengan program pengembangan kawasan Gedebage yang masih dalam tahap perencanaan, pada pendekatan penelitian kebijakan ini mencoba mengidentifikasi kira-kira gejolak sosial apa yang akan terjadi pada masyarakat Gedebage, terutama di dalam program pembangunan terminal terpadu yang biasanya akan menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi penduduk sekitar. Di samping itu suatu permasalahan yang sangat mendasar yang harus diselesaikan secara serius adalah bagaimana alih profesi bagi masyarakat petani. Maka untuk menjaring informasi dan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya dapat dilakukan pendekatan partisipatory atau focus group disscusion melalui beberapa kelurahan di kawasan inti dan penyangga yang dilakukan pada komunitas yang dianggap homogen, seperti masyarakat petani, masyarakat ojek, masyarakat pegawai formal, masyarakat pedagang dan lain sebagainya. Adapun kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan beberapa hal yang perlu dicermati, di antaranya : a. Masalah proporsi peruntukan lahan yang belum seimbang di beberapa wilayah kelurahan di Gedebage
40
b. Masalah struktur kependudukan dan angkatan kerja c. Masalah struktur kepemilikan tanah d. Masalah kerajinan dan industri e. Masalah kesehatan dan keluarga berencana f. Masalah pendidikan dan kebudayaan Selanjutnya, hasil penelitian ini juga telah memberikan catatan terhadap isu-isu strategi yang dimunculkan, diantaranya : a. Delapan kelurahan yang menjadi objek kajian, menunjukkan adanya kebutuhan terhadap upaya-upaya alih profesi dan profesi baru bagi anggota masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan belum bekerja. b. Harapan-harapan dalam pengembangan Gedebage, tidak hanya menjadi perhatian masyarakat, melainkan juga oleh aparat pemerintah. Masyarakat menginginkan adanya perbaikan-perbaikan dalam berbagai sektor yang selama ini tidak atau belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah, seperti masalah perumahan, akses jalan tol, banjir, kesehatan masyarakat dan lingkungan, sarana dan prasarana yang diperlukan, dan lain-lain. c. Kelembagaan-kelembagaan yang ada tampaknya tidak mampu menampung keinginan banyak pihak, karenanya harapan-harapan yang muncul adalah pengembangan kelompok-kelompok potensial menjadi kelompok aktual.
2.5 Kerangka Pemikiran Aktivitas ekonomi muncul, tumbuh, dan terbangun dalam suatu ruang. Perusahaan, dan pelaku ekonomi secara umum akan memilih lokasi sebagaimana mereka memilih faktor produksi dan teknologi. Sumberdaya produksi terdistribusi secara tidak merata dalam suatu ruang: sumberdaya sering terkonsentrasi dalam suatu area tertentu sehingga terjadi ketidakseimbangan. Ruang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Pernyataan ini didasari oleh kenyataan bahwa setiap aktivitas produksi memerlukan ruang dan tidak semua area geografis memberikan kesempatan atau ketersediaan yang sama untuk (aktivitas) produksi dan pembangunan. Penyebaran bahan mentah, faktor produksi (modal dan tenaga kerja), dan permintaan yang tidak merata membuat perusahaan (dan aktivitas produksi secara umum) memilih lokasi sebagaimana
41
mereka memilih faktor produksi dan teknologi yang akan mempengaruhi kapasitas produksi dan posisi perusahaan di pasar, lokasi secara krusial akan menentukan kapasitas produksi perusahaan (secara agregat) dari area geografis di mana perusahaan itu berlokasi. Namun demikian pemilihan lokasi bukan satu-satunya yang dapat menjadikan suatu wilayah dapat berkembang secara maksimal. Perkembangan suatu wilayah yang baik dapat ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah tersebut, dalam hal ini terjadi transfer input output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Demikian juga pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan menciptakan peningkatan kegiatan sektor-sektor ekonomi di sekitar kawasan tersebut maupun Kota Bandung pada umumnya sebagai indikator keberhasilan pembangunan di wilayah tersebut. Di sisi lain pelaksanaan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan gagal apabila laju pertumbuhan meningkat tetapi pendapatan masyarakat rendah. Hal ini mengidentifikasikan bahwa pembangunan tersebut belum mampu menciptakan spread effect kepada masyarakat. Relevansi pemahaman ini dengan wilayah yang diteliti merupakan suatu landasan pemikiran mengenai komponen pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung yang meliputi penggunaan ruang di kawasan Gedebage, berbagai kegiatan ekonomi, serta dinamika populasi penduduk. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel state (pendukung) dalam membangun model konseptual. Kemudian ditentukan variabel non-state (variabel lainnya) yang meliputi variabel penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary), dan variabel tetap (constant) yang melengkapi suatu model yang dapat menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Desain sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung merupakan interaksi antar sub model ketersediaan ruang kawasan Gedebage (lingkungan), sub model populasi penduduk serta sub model ekonomi. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian
42
dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dalam rantai tertutup. Seperti
yang
digambarkan
dalam
kerangka
pemikiran
bahwa
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung menunjukkan ada beberapa faktor yang akan mempenguhi optimalisasi pembangunan kawasan ini. Faktor wilayah, penduduk dan ekonomi merupakan faktor yang dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif
antara lain terhadap faktor
ekonomi seperti adanya perubahan pendapatan asli daerah, pendapatan masyarakat serta PDRB. Pengaruh negatif dapat terjadi apabila perencanaan pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung kurang baik dalam. Selain itu juga masalah laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan penduduk di kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung karena pusat kegiatan ekonomi pada akhirnya menjadi tujuan bagi penduduk untuk melakukan perpindahan ke wilayah tersebut. Sedangkan faktor pendukung yang dapat membuka peluang berhasilnya sistem pengembangan kawasan Gedebage antara lain adalah ketersediaan ruang kawasan Gedebage. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 1 tentang Kerangka Pemikiran
Pengembangan
Kawasan
Gedebage
Terhadap
Pembangunan
Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik. Sebagai upaya realisasi dari Visi dan Misi Pembangunan Kota Bandung yang ditafsirkan dalam bentuk perumusan sasaran pembangunan dan dilandasi oleh hukum formal berupa Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 dan Nomor 03 Tahun 2006 serta sesuai dengan target makro pembangunan Kota Bandung, baik rencana yang bersifat jangka menengah maupun jangka panjang, maka Pengembangan Kawasan Gedebage dengan proyek utamanya pembangunan Pusat Primer Gedebage akan menjadi prioritas pembangunan Kota Bandung yang akan berpengaruh baik terhadap kegiatan pemerintahan maupun masyarakat, serta kegiatan ekonomi Kota Bandung Untuk lebih jelasnya tentang Kerangka Pemikiran tentang dampak pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung melalui pendekatan sistem dinamik. dapat dilihat dari Gambar 1.
43
Visi dan Misi Pembangunan Kota Bandung
Perumusan sasaran pembangunan sesuai dengan target makro pembangunan Kota Bandung
Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 dan Nomor 03 Tahun 2006
Implementasi
Stakeholders
Analisis kebutuhan
Subsistem wilayah
Pengembangan Kawasan Gedebage
Subsistem penduduk
Analisis Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung
Formulasi permasalahan
Identifikasi sistem
Pemodelan sistem
Model dinamik dampak pengembangan kawasan Gedebage Kota Bandung Optimalisasi kawasan Gedebage
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengembangan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik
Subsistem ekonomi