EFEKTIVITAS PENANAMAN SIKAP KEBERAGAMAAN PADA SISWA TUNANETRA (Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh: Taopik Muarip 1111011000110
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
ABSTRAK Taopik Muarip 1111011000110 “Efektivitas Penanaman Sikap Keberagamaan Pada Siswa Tunanetra, Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan.” Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Fungsi agama yang membentuk moralitas manusia tidak serta-merta tertanam pada jiwa pemeluknya, diperlukan suatu usaha yang membangun interaksi antara pemeluk dengan ajaran keberagamaan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan bagian dari wadah dalam menjembatani manusia terkhusus dalam menanamkan nilai keislaman. Maka dari itu, ajaran keagamaan yang termuat dalam sistem pendidikan baik formal maupun non formal sepantasnya mampu menanamkan akan nilai keagamaan terhadap peserta didik yang dalam finalitasnya bisa membentuk sebuah sikap keberagamaan sebagai kualitas dari moralitas manusia religius. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan Metode kualitatif, dan jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, adalah menguraikan hasil penelitian sebagai usaha untuk menggambarkan kondisi lapangan yang telah diteliti. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan lapangan. Penulis melakukan kegiatan penelitian pada sebuah lapangan penelitian yang dalam hal ini adalah SLB A Pembina Tingkat Nasional yang bertempat di Lebak Bulus Jakarta Selatan. Penulisan Skripsi ini merupakan usaha untuk menggambarkan akan keberhasilan program keagamaan yang diadakan di SLB A Pembina Tingkat Nasional. Penelitian ini meliputi pengkajian terhadap sikap keberagamaan siswa tunanetra yang dalam hal ini menggunakan serangkaian teknik penelitian yang telah dimaksudkan, dengan berpijak pada berbagai teori yang menyangkut sikap keberagamaan secara umum disertai tambahan dari teori mengenai perkembangan keberagamaan pada fase remaja, karena informan yang diteliti adalah siswa tingkat SMP dan SMA-LB. Dalam penelitian ini kajian lebih dispesifikasikan
i
pada sikap keberagamaan dalam konteks agama Islam. karena semua siswa tunanetra yang diteliti beragama islam. Dengan demikian, kesimpulan dari hasil penelitian yang didapatkan adalah Sekolah luar Biasa memiliki usaha untuk memberikan penenaman keberagamaan melalui beberapa program keagamaan yang telah dicanangkan. Sedangkan menganai pengamalan keberagamaaan siswa tunanetra lebih dipengaruhi oleh bimbingan dari orang tua. Maka dari itu diperlukan sinkronisasi antara pihak SLB sebagai pengajar dan Orang tua siswa sebagai pengawas dan pembiasaan keberagamaan siswa tunanetra. Selain itu, latar belakang SLB A PTN yang merupakan sekolah Negeri dan tidak memiliki latar belakang sekolah islam secara langsung, tidak banyak memberikan pengetahuan keagamaan pada siswa tunanetra, menjadikan pembelajaran keagamaan di lembaga pendidikan keagamaan khusus tunanetra sebagai alternative dalam menanamkan nilai pengetauan dan pengamalan keagamaan bagi siswa tunanetra di luar jam formal SLB A PTN.
Kata kunci : Efektivitas Penanaman Sikap Keberagamaan pada Siswa Tunanetra. Pembimbing Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. Daftar Pustaka, 19842014.
ii
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia berupa kenikmatan tiada tara serta petunjuk-Nya kepada kita sebagai ummat islam baik yang disadari maupun yang tidak kita sadari. Hanya dengan rahmat-Nya lah skripsi ini bisa terwujud. serta kasih sayang dan petunjuk-Nya pula penelitian pada
skripsi
ini
bisa
berjalan
dengan
berbagai
hal
yang
mewarnai
keberlangsungan penulisan baik yang sifatnya mudah maupun sukar. Semua itu adalah kehendak Allah SWT yang patut disikapi dengan keikhlasan dan keridhaan. Semoga keberkahan diharapkan bisa hadir pada kesuksesan skripsi ini. Shalawat dan salam dihaturkan pada Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai panutan manusia. Dengan perjuangannya kita bisa mendapatkan ajaran Islam beserta karunia dan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Kiranya kita sebagai umat Nabi Muhammad sepatutnya meniru akan kegigihan dan perjuangannya, termasuk dalam penulisan skripsi ini. Meski tidak sebanding dengan pengorbanan Nabi Muhammad, perjuangan dan kegigihan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini diharapkan bisa mendatangkan rahmat ALLAH SWT. Terkait dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan bahwa dengan selesainya penelitian dan penyajian yang termuat dalam skripsi ini adalah tidak terlepas dari berbagai hal yang menunjang akan keberlangsugnan kegiatan penulisankarya ini. Termasuk berbagai pihak yang ikut andil atas kelancaran skripsi ini baik berupa doa dan dorongan semagnat yagn telah diberikan. Maka drai itu penulis mengucapkan banyak terimakasih Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kepada Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyyah Dan Keguruan UIN Jakarta. 2. Kepada Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., (dosen pembimbing Skripsi) 3. Kepada Dr. Abdul Majid Khon, MA., (ketua jurusan Pendidikan Agama Islam). serta Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA., (sekretaris Jurusan PAI). 4. Kepada Dr. Ahmad Sodiq, MA.,( dosen pembimbing akademik).
ii
iii
5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan pengajaran kepada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6.
Kepada Ibu dan Ayah penulis (Mamah dan Apa) yang senantiasa memberikan motivasi dan jasa, karena bagi saya Ibu adalah motivator yang selalu memberikan nasihat serta dorongan positif kepada anak-anaknya dan Ayah adalah pahlawan yang selalu berjuang dengan gigih untuk keluarganya. Karena atas doa dan jasa keduanyalah penulis termotivasi untuk selalu berjuang terutama berjuang untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Kepada Kakek dan Nenek baik dari pihak ibu maupun ayah, yang senantiasa memberikan doa dan dorongan baik materil maupun moril 8. Kepada Adik dan Kakak tercinta, Ernitasari dan Miya Amiyati 9. Kepada Keponakan dan Adik sepupu, Edshel Fathian Al-Ghaisan dan Muhammad Rizal Al-Ghifari. 10. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, baik dari pihak ibu Bibi Ela dan lainnya, maupun ayah Ua Any dan lainnya, yang telah memberikan semangat dan doa pada penulis. 11. Kepada semua teman baik teman di jurusan PAI maupun teman di Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA Persis), dan lainnya, yang telah memberikan bantuan atas kelancaran penyusunan skripsi ini, baik secara teknis maupun moral. 12. Kepada smua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan jasa pada penulis selama menimba ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikianlah skripsi ini telah penulis sajikan, terlepas akan keberhasilan pada penelitian skripsi ini, penulis tidak memungkiri banyak kekurangan baik di dalam penyajian maupun didalam pengkajian terhadap data dan teori yang digunakan. Maka dari itu penulis merasa butuh terhadap kritik yang bertanggungjawab dan saran yang membangun guna sebagai pelajaran bagi penulis dalam memperbaiki kemampuan penulis dalam melakukan penelitian dimasa yang akan datang.
iv
Penulis pun mengharapkan akan adanya suatu pengkajian skripsi kembali dengan tema yang sama sebagai gambaran akan adanya perbaikan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa lainnya. karenannya, kegiatan penelitian yang bersifat temporal dengan tema yang sama dan peneliti yang berbeda akan mewujudkan sebuah perbandingan suatu penelitian yang saling melengkapi.
Ciputat, 06 Juni 2016.
Penulis
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .............................
2
1. Identifikasi Masalah ............................................................
2
2. Batasan Masalah ..................................................................
3
3. Rumusan Masalah................................................................
4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................
4
1. Tujuan Penelitian .................................................................
4
2. Kegunaan Penelitian ............................................................
5
D. Kerangka Berpikir .....................................................................
6
E. Sistematika Penulisan ................................................................
8
SIKAP KEBERAGAMAAN A. Pengertian Sikap Keberagamaan ...............................................
10
B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan.....................................
14
1. Dimensi Ideologis (Keyakinan) ...........................................
15
2. Dimensi Ritualistik (Peribadatan) ........................................
20
3. Dimensi Eksperensial (Penghayatan) ..................................
24
4. Dimensi Konsekuensial (Pengamalan Keagamaan) ............
25
5. Dimensi Intelektual (Pengetahuan Keagamaan) ..................
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian....................................................
30
B. Objek Penelitian ........................................................................
31
C. Metode, Jenis dan Pendekatan Penelitian ..................................
32
D. Sumber Data ..............................................................................
34
v
vi
1. Jenis Data .............................................................................
34
2. Populasi dan Sampel ............................................................
34
E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ................................
36
1. Interview atau Wawancara ..................................................
37
2. Observasi .............................................................................
39
3. Dokumentasi ........................................................................
40
4. Catatan Lapangan ................................................................
40
F. Teknik Validasi Data .................................................................
41
G. Teknik Analisa Data ..................................................................
42
BAB IV HASIL PENELITIAN TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN SISWA TUNANETRA DI SLB A PTN (PEMBINA TINGKAT NASIONAL) A. Program Keagamaan SLB A PTN .............................................
44
1. Visi dan Misi .......................................................................
44
2. Praktik Keagamaan ..............................................................
45
B. Analisa terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra .........
49
1. Aspek Ideologis (keyakinan) Siswa Tunanetra ...................
50
a. Mengimani Agama Islam ..............................................
50
b. Intensitas Mengingat Allah SWT ..................................
58
2. Aspek Ritualistik (Peribadatan) Siswa Tunanetra ...............
61
a. Intensitas Shalat Siswa Tunanetra .................................
61
b. Intensitas Puasa Siswa Tunanetra ..................................
66
c. Intensitas Membaca Al-Qur’an .....................................
68
3. Aspek Eksprenensial (Penghayatan) Peribadatan Siswa Tunanetra .............................................................................
69
a. Nilai Penghayatan Dalam Ibadah Shalat .......................
69
b. Nilai Penghayatan Ibadah Puasa Siswa Tunanetra ........
70
4. Dimensi Konkesuensial (Akhlak) Siswa Tunanetra ............
72
a. Nilai Rasa Menerima dan Intensitas Syukur Siswa Tunanetra .......................................................................
72
b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra ..............................
75
vii
c. Nilai Solidaritas Siswa Tunanetra .................................
77
d. Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra ..........
78
e. Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis .................
81
f. Nilai Menjaga Lingkungan ............................................
82
5. Aspek
Intelektual
(Pengetahuan
Keagamaan)
Siswa
Tunanetra (Pengetahuan Keagamaan) .................................
85
a. Pengetahuan Tentang Fikih Ibadah ...............................
85
b. Ketrampilan Membaca al-Qur’an ..................................
87
c. Hafalan Qur’an Siswa Tunanetra ..................................
88
d. Pengetahuan Tentang Hadits Nabi ................................
89
C. Analisa Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN .........
91
1. Tinjauan Pengetahuan (Transfer of Knowledge) .................
91
2. Tinjauan Tindakan (Transfer of Action) ..............................
92
3. Tinjauan Prilaku (Transfer of value) ...................................
93
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program
BAB V
Keagamaan SLB A PTN............................................................
94
1. Faktor Pendukung .................................................................
94
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................
98
1. Tinjauan Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra .................
98
2. Tinjauan Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN...
99
B. Saran ..........................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara formal, pendidikan bukan hanya diperuntukan untuk siswa normal saja, melainkan ada lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus, semisal sekolah yang dikhususkan untuk siswa tunanetra. Menurut Agustyawati dan Solicha, ―Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra.Tunanetra adalah salah satu jenis hambatan fisik yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk melihat, baik menyeluruh (total blind) ataupun sebagian (low vision) dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus‖.1 Pada setiap pendidikan selalu diajarkan mengenai masalah keagamaan. Terlepas dalam lembaga pendidkan yang bernuansa keagamaan maupun yang bersifat umum. Semua memberikan jatah jam pelajaran keagamaan sebagai bukti akan pentingnya nilai keagamaan yang perlu ditanamkan pada peserta didik. Termasuk pada lembaga pendidikan luar biasa sekalipun. Pada tatanan realitas dalam pembelajaran tidak bisa secara langsung akan mewujudkan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Artinya sebuah program pembelajaran terkhusus keagamaan tidak secara mudah bisa membentuk perilaku siswa sesuai dengan apa yang menjadi misi pembelajaran tersebut. Penulis berkesempatan untuk mengajar mata pelajaran agama Islam pada siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat Nasional di Lebak Bulus Jakarta Selatan. Darinya selama melakukan kegiatan mengajar tersebut, penulis menjumpai beberapa hal terkait keberagamaan siswa yang dinilai kurang wajar, semisal ada peserta didik yang tidak bisa melafalkan shalawat nabi, ataupun mayoritas siswi tunanetra tidak memakai jilbab. 1
Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. Ke-1, h. 7.
1
2
Kondisi demikian mengundang tanya apakah memang siswa tunanetra tidak terlalu intens dalam mempelajari agama, ataukah karena dengan kondisi ketunanetraan berdampak pada kondisi keberagamaan siswa tunanetra. Tentu hal demikian menarik penulis untuk melakukan pengkajian lebih lanjut dalam memperoleh informasi
akan keberagamaan siswa, dan timbul rasa
keingintahuan untuk mengetahui keterkaitan antara kondisi keterbatasan siswa dengan kualitas keberagamaan. Maka dengan alasan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui mengenai sikap keberagamaan siswa dengan kaitannya terhadap tingkat keberhasilan suatu program keagamaan yang telah terwujud menimbang program keagamaan di sekolah sebagai jalan dalam menanamkan nilai keagamaan untuk membentuk sikap keberagamaan siswa. Dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai sikap keberagamaan yang dalam hal ini siswa tunanetra sebagai sumber penelitian untuk menggambarkan mengenai efektivitas program keagamaan tersebut. Maka dari itu, penulis memberikan judul pada karya ini dengan “Efektivitas Penanaman Sikap Keberagamaan Pada Siswa Tunanetra, Studi Kasus Pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan”. B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari uraian yang telah dipaparkan, penulis dapat mengidentifikasi permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini, dengan uraian sebagai berikut: a. Ajaran Agama bukan sesuatu yang alamiah yang langsung tertanam pada manusia sejak lahir. Maka dari itu manusia bila tidak mendapatkan pengenalan agama akan jauh dari moral ideal keagamaan dalam hidupnya. b. Pendidikan keagamaan merupakan salah-satu jalan untuk memberikan
3
informasi dan menanamkan nilai keagamaan pada pemeluknya. Di dalamnya memiliki tujuan tertentu untuk membentuk keberagamaan siswa, namun secara realitas kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan tidak relevan dengan perilaku yang terlihat pada peserta didik c. Penulis merupakan mahasiswa yang berkesempatan melakukan praktik mengajar di SLB A PTN, dalam pengalaman penulis menjumpai beberapa siswa yang tidak bisa melafalkan shalawat nabi, ataupun mayoritas siswi yang tidak menggunakan jilbab. d. siswa tunanetra yang penulis jumpai tidak hanya mengalami hambatan penglihatan dalam belajar, melainkan pula terdapat beberapa siswa yang memiliki hambatan lain yang menghambat proses pembelajaran. e. Pada tatanan lembaga pendidikan formal, terdapat dua jenis lembaga yaitu pendidikan untuk siswa umum, dan pendidikan untuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Kondisi demikian menunjukkan ada cirri khas antara kedua peserta didik yang tidak bisa disamaratakan. Sedangkan agama dibebankan pada semua makhluk yang berakal, namun apakah suatu kondisi khusus, memiliki ciri khas yang khusus pula dalam keberagamaan. 2. Batasan Masalah Sikap keberagamaan merupakan suatu kajian yang memiliki cakupan luas, dan terbentuk dari kompleksitas pengalaman peserta didik, baik dari lingkungan keluarga, sosial, pertemanan, pendidikan dan lainya. Dengan demikian, jangkauan pembahasan sikap keberagamaan teramat luas, maka penulis harus membatasi cakupan kajian dalam keberagamaan siswa dengan beberapa poin sebagai berikut: a. Lokasi yang menjadi penelitian sikap keberagamaan siswa tunanetra hanya terbatas pada SLB A Pembina Tingkat Nasional, sebagai lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian ini berlangsung. b. Sikap keberagamaan siswa tunanetra di dalam penelitian ini hanya meliputi pengaruh pembelajaran keagamaan yang dilakukan di SLB A
4
PTN, dan terbatas pada kajian terhadap efektivitas program keagamaan dalam menanamkan nilai keagamaan pada siswa tunanetra. 3. Rumusan Masalah Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis akan memaparkan
rumusan
masalah
yaitu
―Bagaimanakakah
sikap
keberagamaan siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan?‖. Dari rumusan tersebut, penulis akan mengkajinya melalui pendekatan yang akan diuraikan melalui sub masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah tingkat keyakinan keagamaan siswa tunanetra? b. Bagaimanakah intensitas peribadatan siswa tunanetra? c. Bagaimanakah penghayatan peribadatan siswa tunanetra? d. Seperrti apakah pengamalan nilai keagamaan siswa tunanetra? e. Seperti apakah tingkat pengetahuan keagamaan siswa tunanetra? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan merupakan suatu harapan dalam pencapaian terhadap sesuatu yang dilakukan dalam atau setelah kegiatan selesai. 2Sebagaimana pada Penelitian skripsi ini adalah usaha untuk mendeskripsikan sikap keberagamaan siswa tunanetra dengan mengunakan berbagai sumber data, baik yang bersumber dari siswa tunanetra, maupun dari guru dan lainnya yang dinilai relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. Bukan hanya itu, penulis pun menggunakan beberapa sumber tertulis untuk dijadikan pijakan dalam kajian penelitian ini. Semua itu merupakan bertujuan untuk mendeskripsikan sikap keberagamaan siswa tunanetra sebagai gambaran akan tingkat efektivitas program pembelajaran keagamaan yang telah diwujudkan di SLB, Pengkajian pada skripsi ini meliputi sikap keberagamaan serta perkembangannya, pada siswa tunanetra.
2
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. Ke-10,
h. 29.
5
Hal demikian dikarenakan sikap keberagamaan siswa merupakan representasi dari pengaruh pembelajaran keberagamaan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Semua itu akan menjadi bahan penelitian pada skripsi ini. Selain itu, perkembangan keberagamaan turut dikaji menimbang informal yang menjadi sumber utama penelitian ini adalah siswa tunanetra pada jenjang SMP-LB dan SMA-LB, yang secara psikologis berada pada fase perkembangan remaja yang dalam hal ini perkembangan keberagamaan pada masa remaja secara teoritis berpijak pada berbagai keterangan tentang sikap keberagamaan serta perkembangan keberagamaan yang dibahas dalam beberapa sumber tertulis baik dari para tokoh Islam secara umum, maupun dari psikologi agama. Dengan menggunakan berbagai teori mengenai sikap dan perkembangan keberagamaan secara teoritis, penulis memiliki harapan untuk bisa menjadi bagian dalam mengembangkan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terkhusus pada tema yang dibahas dalam skripsi ini. Maka tulisan ini memiliki tujuan mengekplorasi suatu teori terkait sikap dan perkembangan keberagamaan. Yang dalam hal ini siswa tunanetra sebagai sumber penelitiannya. Semoga tulisan ini bisa menambah
khazanah
ilmu
pengetahuan
terutama
tentang
sikap
keberagamaan serta perkembangannnya. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini dibuat bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan untuk menyelesaikan tugas akhir kelulusan dalam perkuliahan saja. Melainkan lebih dari itu. Dengan ditulisnya skripsi ini mudahmudahan bisa bermanfaat bukan hanya sekedar meramaikan khazanah keilmuan saja, tetapi juga turut mendatangkan kegunaan terkhusus terhadap sekolah tempat penelitian ini dilakukan. Karena sebagaimana telah diungkapkan bahwa skripsi ini adalah untuk mengulas sikap keberagamaan siswa tunanetra melalui pendeskripsian diharapkan bisa menjadi gambaran dalam mengetahui tingkat keberhasilan sekolah dalam menanamkan nilai keberagamaan pada siswa.
6
Dengan hal demikian, semestinya bisa mendatangkan manfaat bukan hanya kepada penulis, melainkan terkhusus pada sekolah tempat penelitian ini berlangsung, yaitu SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan. Yaitu bisa dimanfaatkan untuk menjadi bagian dalam sumber evaluasi sekolah terhadap program keagamaan guna mendatangkan kualitas program yang lebih baik di masa yang datang.
D. Kerangka Berpikir Penelitian
pada
skripsi
ini
mengunakan
judul
“Efektivitas
PenanamanSikap Keberagamaan pada Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan”. Ada tiga poin besar yang menjadi bahan pengkajian utama pada penelitian dilakukan dalam skripsi ini. Yaitu perihal program keagamaan yang diselenggarakan di SLB A Pembina Tingkat Nasional, kemudian Sikap Keberagamaan padasiswa tunanetra, dan efektivitas penanaman sebagai hasil usaha program keagamaan dalam membentuk sikap keberagamaan siswa tunanetra. Poin pertama terkait Program keagamaan yang diadakan di SLB APTN, dalam hal ini, penulis akan mencari data atau keterangan tersebut melalui pihak sekolah terkait. Guna sebagai bahan dalam menentukan arah kajian pada skripsi ini. Semua hal yang tercantum dalam program keagamaan tersebut, akan menentukan arah kajian pada skripsi ini. Pada bagian ini, penulis hanya sekedar mendapatkan data tanpa terlalu jauh dalam menganalisa program tersebut, karena objek kajian utama adalah sikap keberagamaan siswa. penulis hanya mencari rincian dari jenis program keagamaan yang dilaksanakan sebagai dasar dalam menentukan arah kajian pada skripsi ini, Kemudian poin kedua mengenai sikap keberagamaan. Poin ini adalah poin inti dalam penelitian ini, karena sebagai objek kajian utama yang akan menjadi bahan penelitian dan kajian pada skripsi ini. Dalam mengkaji sikap keberagamaan, penulis akan mencari berbagai sumber tertulis yang relevan
7
dengan pembahasan mengenai keberagamaan yang ditulis oleh para tokoh yang konsen di bidang ini. Poin ini merupakan dasar pijakan teoritis dalam mendukung kajian skripsi ini. Melalui teori mengenai sikap keberagamaan tersebutlah penulis akan melakukan pengkajian pada skripsi ini, sekaligus sebagai fokus penelitian sehingga pembahasan dalam kajian ini tidak jauh melebar. Bukan hanya itu, penulis dalam hal sikap keberagamaan akan membahas pula mengenai perkembangan keberagamaan. Karena sumber data utama pada penelitian ini adalah siswa pada jenjang SMP dan SMA yang secara psikologis berada pada fase remaja. Maka dari itu, relevan untuk mengkaji teori ini, sebagai bahan pertimbangan dalam mendukung data yang ditemukan dilapangan sehingga menjadi bahan untuk memvalidasi data tersebut. Adapun pendekatan dalam membahas sikap keberagamaann tersebut, penulis akan menggunakan pendekatan dari rumusan keberagaman yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark. Di dalamnya memuat lima dimensi keberagamaan,
yaitu dimensi keyakinan, ritual
ibadat, penghayatan,
pengamalan, dan dimensi pengetahuan keberagamaan. Pendekatan ini sangat dibutuhkan penulis dalam mengkaji objek penelitian pada skripsi ini. Dengan rumusan inilah penulis akan menentukan rincian dan poin-poin pembahasan tertentu dalam menentukan arah pada permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini Dan
poin
terakhir
mengenai
Efektivitas
penanaman
sikap
keberagamaan.Dalam hal ini, adalah efek program keagamaan sekolah yang dilaksanakan
dalam
membentuk
perkembangan
keberagamaan
siswa
tunanetra. Dalam mengukur tingkat efektivitas program tersebut, penulis akan berpijak pada rumusan yang digagas oleh Haidar Putra Daulay yang memaparkan tiga sasaran dalam pendidikan. Pendidikan setidaknya memiliki tiga sasaran.Pertama, sasaran pengisian otak (transfer of Knowledge). Di sini yang paling ditekannkan adalah mengisi kognitif peserta didik, mulai dari yang sederhana, sampai analisa. Kedua, mengisi hati yang melahirkan sikap positif (transfer of value).
8
Sasarannya menumbuhkan kecintaan kepada kebaikan, serta membenci kepada kejahatan. Ketiga, perbuatan (transfer of activity).Tujuannya adalah menumbuhkan keinginan untuk melakukan yang baik, serrta menjauhi prilaku yang buruk.3 Ketiga poin tersebut relevan dengan objek kajian pada skripsi ini yaitu mengenai sikap keberagamaan siswa tunanetra yang termuat di dalamnya mengenai pengetahuan keagamaan siswa, kemudian aplikasi siswa tunanetra terhadap nilai keberagamaan, serta dampak keberagamaan terhadap prilaku siswa tunanetra. Semua itu akan diukur melalui pendekatan tersebut, sebagai usaha penulis dalam mendapatkan hasil berupa kesimpulan dalam menentukan efektivitas penanaman program keberagamaan pada siswa tunanetra.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini mengacu pada panduan dalam buku pedoman penulisan skripsi yang dibekali oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis merangkai penulisan dengan jumlah lima bab yang penjelasannya sebagai berikut: Penulisan
akan dimulai dari BAB I. Bab ini adalah awal dari
pemaparan dalam penulisan ilmiah. Di dalamnya membahas mengenai pendahuluan yang terinci dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, serta sistematika penulisan. Semua itu akan dipaparkan guna menjadi penentuan awal dalam keberlangsungan penelitian pada skripsi ini. Kemudian berikutnya adalah BAB II, di dalamnya menjelaskan perihal landasan teori. Didalamnya akan memaparkan hal yang terkait objek penelitian pada penelitian ini. Yaitu perihal sikap keberagamaan yang bersumber dari berbagai literatur yang ditulis oleh para pemikir agama terkhusus Islam, maka pemikiran tersebut penulis akan menggali sebuah
3
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2004), h. 39.
9
esensi dari sikap keberagamaan serta berbagai literature yang mengulas mengenai
perkembangan
keberagamaan
terkhusus
perkembangan
keberagamaan pada masa remaja, menimbang informan pada penelitian ini adalah pada jenjang pendidikan SMP-LB dan SMA-LB, yang semua itu sebagai dasar pijakan teori dalam pengkajian pada data yang didapatkan di lapangan. maka bab ini akan mengulas mengenai sikap keberagamaan secara teoritis, serta perkembangan keberagamaan sebagai dasar dari informal yang diteliti adalah siswa yang menginjak fase remaja. Kemudian BAB III, akan menjelaskan perihal metodologi penelitian. Dalam pemaparannya akan diawali dengan pembahasan mengenai waktu dan tempat penelitian, setelah itu akan diuraikan mengenai objek, metode penelitian serta rangkaiannya, yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian bab ini merupakan alat penelitian serta modal dasar dalam pengumpulan dan pengolahan data. BAB IV, Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang hasil penelitian berupa pengkajian terhadap berbagai data yang telah diperoleh di lapangan, yang diolah berdasarkan analisa deskriptif. Maka dalam bab ini merupakan inti dari penelitian dan akan menentukan kesimpulan yang dibahas di BAB berikutnya. Poin terakhir adalah BAB V, di dalamnya akan memaparkan kesimpulan pada penelitian ini. Pada poin ini adalah poin terakhir sebagai puncak dari penelitian, maka BAB ini sebagai akhir penelitian yang di dalamnya memuat berbagai kesimpulan yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan rumusan masalah. serta memuat berbagai saran dan kritik beserta beberapa lampiran yang mendukung dalam keberlangsungan penelitian skripsi ini.
BAB II SIKAP KEBERAGAMAAN
A. Pengertian Sikap Keberagamaan Sikap keberagamaan dalam penyebutannya terdiri dari beberapa istilah diantaranya sikap keberagamaan, keagamaan, dan religiusitas. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Keberagamaan diartikan sebagai perihal beragama.4 Sedangkan Religiusitas diartikan sebagai pengabdian terhadap agama atau kesalehan.5 Dalam Kamus Sosiologi Antropologi diartikan sebagai ―ketaatan kepada religi (agama)‖6.Sedangkan dalam Kamus Konseling dan Terapi, ―religiosity, atau religiusitas diartikan sebagai pola, model, tipe, atau kualitas beragama (keberagamaan, religiusitas) yang dimiliki oleh individu atau sekelompok orang dengan sejumlah dimensinya, dalam pengertian tidak harus berkaitan dengan ketaatan beragama‖.7 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam berpendapat bahwa, ―Relegiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.‖8 Artinhya bisa dipahami bahwa keberagamaan memililki beberapa aspek yagn tekendung di dalamnya setidaknyha memiulkiiki lima aspek sebagaimana telah disebutkan di atas. Pendapat diungkapkan oleh Said Agil Al-Munawar bahwa, ―Substansi keberagamaan manusia adalah meyakini adanya suatu Zat di luar dirinya yang bersifat mutlak. Dalam diri manusia terdapat rasa kesadaran tentang kehadiran suatu kekuatan
yang
maha
dahsyat
yang
menjadi
referensi
mengalirnya
kebahagiaan, ketakutan, kegembiraan, kedamaian, dan sebagainya. Kesadaran
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 15. 5 Ibid, h. 1159. 6 M. Dahlan Yacub Al-Barry, Kamus Sosiologi Antropologi, (Surabaya: Indah, tt), h. 277. 7 MAPPIARE, Andi, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2006), h. 279. 8 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreatifitas Dalam Perspektif Psikologi Islami, (Jogyakarta: Menara Kudus Jogyakarta, 2002), h. 71.
10
11
itu, secara antropologis telah melahirkan berbagai kepercayaan-kepercayaan di dunia dari zaman ke zaman‖.9 Abdul MunirMulkhan berpendapat, ―Keberagamaan adalah tafsir-tafsir dengan kebenaran relatif, dan oleh karena itu, mengundang perbedaan sesuai kondisi objektif si penafsirnya. Oleh karena itu diperlukan sistem sosial politik yang bebas dari kekerasan‖.10 Di sini religiusitas dipandagn sebagai sesuatu yang besiat politis, bukan hanya sekedar kegiatuan individu atau kelompok keagamaan tertentu, mlainkan melibatkan berbagai aspek lain yang terkait pemerintahan yagn memberikan pengaruh terhadap keberqagamaan pada suatu bangsa. Ada beberapa poin besar mengenai sikap keberagamaan, yaitu sikap keberagamaan sebagai sebuah kesalehan, sikap keberagamaan sebagai sebuah penghidmatan dari berbagai aspeknya dimulai dari pengetahuan sampai tindakan konsekuensial, sikap keberagamaan sebagai sebuah perasaan ketulusan kepada yang transenden, dan sikap keberagamaan sebagai sebuah penafsiran parsial yang hanya dipahami oleh pemeluk agama tertentu. Namun keberagmaan pun bukan hanya ormalitas keagamaan, meliainkan lebih dari itu. Aritinua, sikap keberagamaan memiliki makna yagn jauh lebih luas yang terbentuk dari berbagai aspeknya yagn kompleks. Perbandingan antara Ciri khas agama dan keberagamaan, yaitu Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ―Dunia dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukumhukumnya, serta keseluruhan organisasi-organisasi sosial keagamaan dan sebagainya
yang
melingkupi
segi-segi
kemasyarakatan.
Sedangkan
Keberagamaan atau Religiusitas lebih melihat aspek yang ―di dalam lubuk hati nurani‖ pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang 9
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 199. 10 Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 147.
12
tampak formal, resmi.11 Sikap religius seperti berdiri khidmat dan rukuk secara khusyuk. Yang dicari dan diharapkan untuk anak-anak kita adalah bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik, namun sekaligus orang yang mendalam cita rasa religiusitasnya, dan yang menyinarkan damai murni karena fitrah religiusnya, meskipun barangkali dalam bidang keagamaannya kurang patuh. Itu dibandingkan dengan orang yang hebat keagamaannya, tetapi ternyata itu cuma kulit luarnya saja. Sedangkan kehidupan sesungguhnya serba tipuan semu‖.12 Jadi sikap keberagamaan tidak seutuhnya dikaitkan dengan tindakan keberagamaan formal, melainkan lebih dari itu, sikap keberagamaan sebagai hasil dari tindakan keberagamaan itu sendiri, dalam arti agama yang diyakininya telah membentuk sebuah kepribadian yang baik bagi pemeluknya, sehingga kepribadian itu terwujud dalam kehidupannya, yang secara agama disebut dengan kesalehan atau akhlak mulia, dan secara umum di sebut dengan moralitas. Agama di tengah masyarakat hadir bukan hanya mengenai sensasi individual, melainkan menjadi sebuah prilaku pemeluknya baik secara individu maupun kolektif. Karena Antara nilai keagamaan dengan tindakan pemeluknya secara normatif ikut menentukan sikap seseorang dalam mengantisipasi dan memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya.13 Maka sebuah sikap keagamaan berimbas pada kepribadian pemeluk dan interaksi antar manusia sebagai pedoman yang mengatur tata kehidupan yang bersumber dari nilai ajaran agama yang membentuk sistem moral. Adapun Kata ―moral‖, secara etimologi sama dengan ―etika‖, sekalipun sumber bahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti kata ―moral‖, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa dipakai sebagai nomina (kata benda) atau sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata ―moral‖ digunakan 11
Muhaimin,Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Kelima, h. 287-288. 12 Ibid, h. 288. 13 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), h. 6.
13
sebagai kata sifat artinya sama dengan ―etis' dan jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan ―etika‖. Dari pemaknaannya, moral diartikan nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan istilah Moralitas‖ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti dasarnya sama dengan ―moral‖, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang ―moralitas suatu perbuatan‖, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.14 Perlu kita pahami, bahwa agama mempunyai sifat mengikat kepada para pemeluknya,maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta mempunyai sifat ketulusan dan absolute yang tidak dapat ditolak oleh manusia, perintah manusia masih bisa dilawan, tapi Perintah Tuhan tak dapat ditentang. Faham inilah yang membuat norma-norma, akhlak yang diajarkan agama mempunyai pengaruhnya dalam membentuk manusia berakhlak dan berbudi pekerti luhur.15 Keberagamaan erat kaitannya dengan keimanan dan ritual keagamaan. Kedua hal tersebut memang selalu berdampingan dalam keberagamaan manusia. Hal demikianlah yang akan membentuk kepribadian baik bagi pemeluknya dalam berbuat kebajikan atau kesalehan. Maka menengahi antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah peribadatan. Hal demikian merupakan konkretisasi rasa keimanan, karena ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan (taqarrub). Dalam ibadat itu seorang Hamba Allah, merasakan kehampiran spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan
14
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. Kesebelas, h. 7. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. Kelima, h. 19 15
14
sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiositas.16 Keimanan terhadap Tuhan merupakan pokok dari keberagamaan, dengan keyakinan itulah prilaku keberagamaan akan terbentuk sebagai efek dari keterkaitan antara makhluk dengan Penciptanya. Kualitas keyakinan akan berpengaruh pada kualitas perilaku pemeluknya. Menurut Kamrani, secara berurutan perilaku seseorang digiring oleh tata nilai, yang tata nilai sendiri keluar dari keyakinan seseorang. Jadi dari keyakinan (believe or conviction) muncul nilai (value), kemudian muncul sikap (attitude) dan terakhir muncullah perilaku (behavior).17 Keterkaitan antara keimanan dan amal shaleh tidak serta merta menjadi hal
yang
padu
dalam
keberagamaan,
diperlukan
interaksi
yang
menghubungkan keduanya. Maka keimanan dan amal shaleh bisa terwujud dari tindakan ritual keagamaan atau ibadat. Ibadat bukan hanya sekedar ruang untuk berinteraksi dengan Khalik saja, tetapi juga bisa membentuk kepribadian bagi pelakunya. Karena disamping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental sebagaimana menurut Nurcholis Madjid, ―karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadat dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Sebagaimana Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial.18 Jadi disamping nilai vertical, ibadat pun bisa melahirkan nilai horizontal dengan sesama makhluk, dalam arti sebagai pembentuk moralitas. B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan Adapun mengenai dimensi keberagamaan, penulis akan mengacu pada teori yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark sebagaimana dibahas dalam buku Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso yang berjudul 16
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Terhadap Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), Cet. Keempat, h. 60-61. 17 Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikannya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 37. 18 Madjid, Op. cit, h. 61-62.
15
Psikologi Islami, di dalamnya menguraikan lima dimensi keberagamaan yaitu Dimensi keyakinan (Ideologis), dimensi praktik agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengetahuan keagamaan (intelektual), dan dimensi pengamalan (konsekuensial). Sdangkana dalam rinciannya penulis hanya akan membahas hal yhagn relevan dengan kebutuhan kebugtuhan kajian dalanm penelitiaqn skripsi ini. 1. Dimensi Ideologis (Keyakinan) Dimensi Idiologis berisi berbagai pengharapan, dimana penganut agama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
19
semua penganut agama memiliki
prinsip di dalam keyakinannya, maka dimensi inilah yang mendasari prinsip tersebut. Keberagamaan didasari oleh sebuah keyakinan yang teramat personal, sehingga dimensi ini merupakan sisi yang paling sensitif dalam beragama. adapun dimensi ideologis sama dengan akidah dalam Islam. dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran agama, serta masalah-masalah ghaib yang diajarkan agama.20 Ada tiga katagori kepercayaan, yaitu kepercayaan yang menjadi dasar esensi suatu agama, semisal dalam Islam kepercayaan pada kenabian Nabi Muhamad Saw. Kemudian kepercayaan-kepercayaan mengenai tujuan Ilahi dalam menciptakan manusia, hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Kemudian kepercayaan mengenai sebagaimana di dalam Islam ada ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan cara terbaik dalam melaksanakan tujuan Ilahi, seperti halnya seorang muslim percaya bahwa melaksanakan amal saleh ia harus melakukan pengabdian kepada Allah, serta penghigmatan kepada sesama manusia.21
19
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2, h. 77. 20 Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002), Cet. Ke-1, h. 78. 21 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Ke-3, h. 44-45.
16
Kompleksitas keagamaan pada masyarakat membawa seorang penganut agama harus dihadapkan pada dua hal, yakni ia harus menjalankan ajaran agama yang seutuhnya, dan dilain hal dihadapkan pada keyakinan lain yang secara sosial membawa penganut agama tertentu harus bisa menghargai keyakinan lain yang secara formal merupakan suatu hal yang dinilai salah oleh keyakinan lainnya. Dengan demikian keyakinan terhadap agama secara sosial harus diimbangi dengan pemahaman toleransi antar sesama manusia walaupun secara keyakinan mereka bertentangan. Secara umum boleh saja menyatakan semua agama itu benar, tapi bagi Islam ada pijakan yakni al-Quran yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. maka pernyataan tentang semua agama itu benar tidak boleh. Serta menyatakan Agama kita lebih baik dan meskipun memberikan pernyataan seperti itu akan mengganggu akidah‖.22 Sebuah keyakinan tidak serta merta tumbuh dalam diri manusia, diperlukan stimulus untuk menumbuhkannya, serta pemeliharaan keyakinan sebagai usaha dalam menjaga keutuhan akidah. Berhati-hati dalam berkeyakinan, bertindak dan berucap mesti dilakukan guna terhindar dari kerusakan akidah yang akan menjerumuskan umat muslim. Kehati-hatian menjaga akidah atau munculnya kecemburuan membuktikan keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya. Agama adalah sesuatu yang utama bagi manusia termasuk para pelajar. Keyakinan dan sikap seperti itu merupakan karekteristik kedewasaan dalam beragama membuktikan kematangan beragama. Diantara pertanyaan untuk menaksir kematangan beragama menurut Clark sebagaimana dikutip oleh Kamrani, ialah pertanyaan tentang apakah agama itu merupakan sesuatu yang utama.23 Ketauhidan merupakan unsur pokok keberagamaan dalam Islam Dengan tauhid itulah keberagamaan Islam bisa tegak, dan jika tauhid bisa tertanam dengan baik pada seorang muslim, maka dengan akan membentuk suatu kepribadian yang berkualitas baik dalam berkeyakinan maupun 22
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 27. 23 Ibid, h. 35
17
bersosial. Menurut M. Amien Rais, ―Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) bagi manusia tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk dari Allah.24 Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah Hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektifitas manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT (Al-Hujurat: 13).25 Umumnya bukti seorang beriman kepada Tuhan secara dzahir tergambar dari tindakan keagamaan semisal berdoa dan ikhtiar dalam perbuatan yang dilakukannya hanya karena Allah. Kesadaran akan adanya Tuhan bukan hanya sekedar dibuktikan dengan berdoa saja, tetapi ditambah pula dengan intensitas ingat terhadap Tuhan yang selalu menyertai dalam kehidupan ini.26 Oleh karenanya, sebuah keyakinan kepada Allah ditandai dengan intensitas rasa selalu diawasi dalam sertiap perbuatan yang kemudian akan menimbulkan sikap kepatuhan, sehingga selalu menunaikan apa yang diajarkan agama dengan baik dan tidak lalai. Dalam arti akan menimbulkan kedisiplinan dalam sikap orang yang beriman, sebagaimana menurut Nurcholis Madjid, ―Maka dalam rangka menanamkan budaya disiplin, 24
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, tt), h. 13. Ibid, h. 14. 26 Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 45-47. 25
18
penting sekali ditanamkan keimanan yang mendalam kepada Allah, khususnya keimanan dalam arti keinsafan akan adanya Dia Yang Maha Hadir (Omnipresent), yang selalu menyertai manusia dan tidak pernah absen barang sedetik pun dalam mengawasi tingkah laku manusia itu‖.27 Beriman kepada kitabullah merupakan bagian dari pokok akidah umat Islam,bukan hanya sekedar mengimani kitab suci al-Qur‘an, tetapi juga kitab yang diturunkan pula kepada para Rasul sebelum Nabi Muhammad. Khusus bagi umat Muhammad, mengimani al-Quran bukan sekedar mempercayainya akan tetapi menjadikannya sebagai bacaan, sebagai Hudan atau petunjuk, maupun sebagai furqan atau pemerjelas mana yang hak dan mana yang batil. Jika kitab suci ini tersusun dari hasil karya manusia, maka niscaya akan timbul berbagai pertentangan di dalamnya. Kalau hal itu terjadi, akan goncang dan cemaslah orang-orang yang beragama Islam itu sendiri.28 Artinya, seorang yang beriman kepada kitabullah akan membentuk ketenteraman dalam jiwanya. Upaya menjadikan Al-Quran sebagai hudan atau pemberi petunjuk dan furqan atau pemerjelas sesuatu antara yang benar dan yang salah, untuk selanjutnya menjadi penuntun dalam kehidupan manusia perlu dilakukan, misalnya dengan mengajarkan ayat-ayat tertentu yang maknanya menjawab tantangan psikologis sehingga bukan lagi sekedar dijawab dengan membaca verbal.29 Jadi nilai utama dari iman kepada kitabullah dalam konteks ajaran yang dibawakan Nabi Muhammad adalah intensitas dari seberapa sering seseorang
itu
membaca
dan
belajar
mengenai
Al-Qur‘an
serta
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Persoalan mengenai beriman kepada para rasul terutama mengimani kenabian Muhammad Saw merupakan bagian inti daripada mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam. Dalam pembinaan mental dan perkembangan 27
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), h. 89. Ibid, h. 61. 29 Kamrani Buseri, Op. Cit, h. 56-57. 28
19
kepribadian, sangat diperlukan adanya suatu tokoh yang akan diteladani dan dicontoh. Tokoh itu disebut juga Pribadi teladan (the ideal person). Proses untuk meniru segala sifat Pribadi teladan itu dinamakan identifikasi. 30
Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, kondisi Nabi Muhammad Saw sedang mengalami berbagai kesulitan yang luar biasa. Setiap dakwah yang dilakukannya selalu mendapatkan cacian dan hinaan dari kaum Quraisy. Namun kala itu ada dua orang yang senantiasa membela, menghibur dan membesarkan hati Nabi. Ialah Siti Khadijah (Isterinya) dan Abdul Muthalib (Pamannya). Tetapi kedua orang yang dicintainya tersebut meninggal pada tahun yang sama. Karena itu, Nabi menyebutnya sebagai tahun duka cita (ammul huzni).31 Nilai keteladanan Nabi Muhammad dengan kesabaran serta ketegaran hidupnya menjadi bahan kajian bagi kita untuk selalu meneladani dan mengambil hikmah atas budi pekertinya. Karena, dalam kondisi seperti itu, cacian dan penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy yang semakin menjadi-jadi, tetapi Nabi Muhammad tidak berputus asa, beliau tetap meneruskan dakwah sekalipun harapan keimanan kaum Quraisy sangat tipis.32 Bukan hanya merayakan isra mi‘raj saja, dalam tradisi masyarakat muslim, dirayakan pula hari kelahiran Nabi Muhammad Saw yang sering disebut dengan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam setiap peringatan maulid, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu bertindak, berpikir, memimpin orang dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. adalah kesempurnaan perilaku yang sudah sepatutnya ditiru oleh kita sebagai umatnya dan dijadikan semangat bagi kita untuk
30
Zakiah Daradjat, Op. Cit, h. 48. Armai Arief, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Majemuk, (Ciputat: Suara ADI, 2009), h. 155. 32 Ibid, h. 156. 31
20
terus maju dan berprestasi.33 Iman kepada takdir memberikan arti di mana kita wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam kehidupan dan diri manusia, adalah menurut hukum, berdasarkan suatu undang-undang universal atau kepastian umum atau takdir.34 Pada konteks penelitian ini penulis akan melakukan sebuah pengkajian terhadap sikap keberagamaan siswa tunanetra dari sisi keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam dan tentunya keyakinan terhadap Allah Swt serta segenap yang menyangkut akidah dalam Islam. dimensi ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat akidah siswa sebagai gambatan dari efek pembelajaran agama yang telah dialaminya. 2. Dimensi Ritualistik (Peribadatan) Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap keyakinan yang dianutnya.35 Semua agama memiliki prilaku yang khas, terutama dalam peribadatan. Maka peribadatan merupakan identitas yang paling terlihat dari pada dimensi keberagamaan yang lainnya. Selain itu, Peribadatan inilah sebagai bentuk interaksi antara Tuhan sebagai pemberi ruang dalam beribadah, dengan manusia sebagai pengemban amanat dengan melaksanakan ibadat. Dengan peribadatan inilah pemeluk agama akan terlihat bukan hanya sekedar prilaku beragama saja, melainkan pula sebagai sebuah tanda kesungguhan beragama. Maka pemeluk yang tidak melakukan peribadatan secara sengaja, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak patuh terhadap titah Tuhannya dan tidak memiliki komitmen keagamaan yang baik.Dimensi ritual sama halnya ibadah dalam Islam, hanya saja, ibadah dalam Islam teramat luas jangkauannya. Islam mengajarkan bukan hanya sekedar ibadah ritual saja, melainkan harus 33
Ibid, h. 172-173. Didiek Ahmad Supardi, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 198. 35 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2, h. 77. 34
21
melakukan peribadatan lain di luar itu. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di dalam Islam dikenal dengan istilah Syari‘ah. Syariah inilah yang menjadi jalan kehidupan umat Islam dalam menjalannkan kehidupan baik secara teologis maupun sosial. Artinya dimensi ritual memuat mengenai seberapa jauh tingkat kepatuhan seorang muslimm, dalam mengerjakan berbagai ritual peribadatan sebagaimana diperintahhkan dan serta dianjurkan oleh agamanya.36 Shalat memang erat hubungannya dengan latihan moral, di dalam surat Al-Ankabut ayat 45 diungkapkan bahwa “ Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.Kemudian didukung dengan Hadits Nabi yang mengungkapkan ―Shalat yang tidak menjauhkan pelakunya dari perbuatan tidak senonoh bukanlah shalat.‖ Kemudian ungkapan hadis lain, ―Shalat yang ku terima hanyalah shalat yang membuat pelakunya merendah terhadap kebesaran-Ku, tidak bersikap sombong terhadap makhluk-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku, tetapi senantiasa mengingat-Ku, menaruh kasih sayang terhadap orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, wanita yang kematian suami, dan orang yang ditimpa kesusahan‖.37 Shalat merupakan konsekuensi dari keyakinan tentang sifat-sifat Allah SWT yang menguasai Alam raya ini, termasuk manusia serta yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu. Keyakinan tersebut memerlukan pembuktian dalam bentuk kongkrit, karena keyakinan tidak hanya terbatas dalam hati, tapi harus dibuktikan dengan amal.38 Shalat bukan hanya sekedar kewajiban manusia saja, melainkan sebagai sarana manusia dalam mendekatkan diri dan mencari solusi atas berbagai keluh kesah yang dirasakan manusia. karena itu salat beriringan dengan keuletan dan ketabahan dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi
36
Ibid, h. 80 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. Kelima, h. 40. 38 M. Quraish Shihab, ―Falsafah Ibadah dalam Islam‖, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, , h. 184. 37
22
kebutuhan-kebutuhan sebagaimana ditekankan oleh ayat 45 dan 153 surat Al-Baqarah: Artinya: “Dan jadikanlah ketabahan dan salat sebagai penolongmu (sarana untuk memenuhi kebutuhanmu).39 Pada ibadah puasa, seorang muslim dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan sex, dan hal lainnya yang akan merusak ibadah dan pahala puasa. dengan demikian, seorang bisa merasakan penderitaan orang lain yang jauh di bawahnya dari segi sosial atau pun material. Oleh karenannya ibadah puasa akan mendobrak dinding yang menghalangi antara kaum kaya dan kaum miskin karna secara emosional akan diikat dari satu rasa ketika menahan dari berbagai hal yang akan mendatangkan keselarasan
sosial.
Oleh
karenanya,
pada
bulan
ramadhan
akan
menanamkan rasa ukhuwah, menumpuk rasa solidaritas, dan meningkatkan kepekaan sosial.40 Pengendalian dan pengarahan ini sangat dibutuhkan oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok (masyarakat), karena secara umum jiwa manusia sangat cepat terpengaruh oleh segala sesuatu khususnya apabila ia tidak memiliki kesadaran untuk mengendalikannya serta tekad yang kuat menghadapi bisikan-bisikan negatif. Masyarakat juga membutuhkan hal-hal di atas demi mengatasi problema-problemanya atau meraih kejayaannya. Tekad untuk menghadapi problema, dan meraih kejayaan harus dibarengi dengan kesadaran dan ketenangan jiwa dan ini yang menjadi penafsiran mengapa cara pengendalian diri dan pengarahan keinginan (puasa) dilakukan dalam bentuk tertentu sehingga tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali pelakunya bersama dengan Allah SWT dan dari sinilah kesadaran yang dimaksud di atas diperoleh, sedang niat melakukannya demi karena Allah akan menimbulkan ketenangan dan ketenteraman.41 Shalat dan Zakat merupakan dua pokok ibadah yang dalam berbagai 39
Ibid, h. 186. Ibid, h. 63 41 M. Quraish Shihab, ―Falsafah Ibadah dalam Islam‖, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, , h. 198. 40
23
dalil selalu disandarkan. Karena Pelaksanaan salat melambangkan baiknya hubungan seseorang dengan Tuhan, sedang zakat adalah lambang harmonisnya hubungannya dengan sesama manusia.42 Adapun hikmah serta urgensi zakat adalah Sebagai perwujudan dari keimanan kepada Allah dan keyakinan akan kebenaran ajarannya. Perwujudan
dari
Meminimalkan
syukur
sifat
nikmat,
kikir,
terutama
rnaterialistik,
nikmat
harta
benda.
Egoistik,
dari
hanya
mementingkan diri sendiri. karena Sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah membersihkan, menyucikan, dan membuat ketenangan jiwa muzakki (orang yang berzakat).43 Ibadah Haji juga merupakan pensucian roh. dalam mengerjakan haji di Mekkah, orang berkunjung ke Baitullah (Rumah Tuhan dalam arti rumah peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah. Sebagaimana halnya dalam salat, orang di sini juga merasa dekat sekali dengan Tuhan. Bacaan-bacaan yang diucapkan sewaktu mengerjakan haji itu juga merupakan dialog antara manusia dengan Tuhan. Usaha pensucian roh di sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan rasa bersaudara antara semua manusia, tdak ada perbedaan antara kaya dan miskin, raja dan rakyat biasa, antara besar dan kecil, semua sederajat.44 Pada intinya,ibadah haji adalah momentum kebersamaan ummat Islamyang beranekal ragam, mereka datang dari penjuru negeri yang berbeda pula, dengan latar belakang beraneka, baik kaya, miskin, kulit putih, kulit hitampostur tinggi, dan postur sederhana, dengan melepas semua sekat perbedaan diantara mereka dan memakai pakaian yang sama dan tak lebih dari beberapa lipatan kain yang tidak mewah menuju sebuah 42
M. Quraish Shihab, Op. Cit, h. 127. Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 87-89. 44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. Kelima, h38. 43
24
tujuan yang sama yakni beribadah kepada Allah Swt. Ini merupakan suatu keterpaduan yang terbentuk dari suatu ritual peribadatan yang secara maknawi bisa mendatangkan suatu emosional yang positif antara ummat Islam dengan latar belakang yang berbeda. Hal demikian yang diistilahkan Jalaluddin Rakhmat sebagai dasar Tauhidul Ibadah yang menjadi Tauhidul Ummah, yaitu suatu kesatuan berawal dari peribadatan dan berimplikasi pada kesatuan dalam persaudaraan ummat Islam.
3. Dimensi Eksperensial (Penghayatan) Dimensi ini memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu. Meski tidak tepat bila dikatakan
seorang yang beragama baik akan mendapatkan puncak dalam pengalaman keagamaan berupa mencapai sebuah kekuatan supra natural
tertentu.
Dimensi ini hanya mengenai pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi dan sensasi yang dialami seorang religius.45 Meski memang di dalam realita keberagamaan terutama di dialam Islam dikenal dengan wali yang umumnya dipahami sebagai sosok yang berkomitmen kuat dengan agamannya, serta memiliki kemampuan tertentu yagn dianggap luar biasa oleh kaum awam. Namun inti penghayatan keagamaan bukan itu, karena manusia beragama sebagai bentuk pengkhidmatan kepada Tuhan, bukan bertujuan mencari kesaktian. Adapun ada yang mengalami hal diluar kebiasaan, merupakan nilai tambah seorang yang beragama. Dimensi eksperensial sejalan dengan ihsan dalam Islam. dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seorang muslim merasa dekat dan dilihat oleh Tuhannya dalam kehidupan. Dimensi ini di dalam Islam mencakup perasaan dekat dengan Allah, SWT, perasaan nikmat dalam beribadah, dan hal lainya yang bernuansa menghadirkan Allah di setiap aspek kehidupannya.46 Maka dimensi eksperensial sebuah sensasi individu dalam beragama, sebagai efek dari penjiwaan akan tindakan keagmaan yang 45 46
Ancok. Op. Cit, H. 77-78. Nashori, Op. Cit, h. 81.
25
dipatuhinya. Pada penelitian ini, dimensi ekperensial digunakan untuk mengukur tingkat penghayatan siswa terhadap ibadat yang dijalaninya. Karena pada dasarnya seorang yang beribadat hendaknya megnalami suatu hal yang dirasakannya saat menjalani peribadatan tersebut. Dengan hal demikian akan terlihat tingkat keseriusan dan kedewasaan siswa dalam beragama. Maka dari itu dimensi ini relevan dalam mengakaji sikap keberagamaan siswa tunanetra, sebagai nilai lain dari keberhasilan pembelajaran agama yang dialaminya. 4. Dimensi Konsekuensial (Pengamalan Keagamaan) Dimensi pengamalan atau konsekuensial merupakan dimensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan keagamaan dari hari-kehari.47 Dimensi ini merupakan akumulasi dari berbagai sisi keberagamaan. Yang berpengaruh pada kepribadian pemeluknya dan bisa membentuk yang cara pandang dan perbuatan seseorang dalam kehidupannya. Hal ini menunjukan bahwa agama secara fungsional bukan hanya sebagai jalan untuk mencurahkan keyakinan dan ketaatan terhadap ajaran semata, melainkan bisa berpengaruh terhadap sisi psikologis pemeluknya yang bedampak pada segala aspek manusia. kemudian bisa melahirkan sebuah tindakan bernilai religi dalam bermasyarakat. Dimensi amal ini bisa dikatakan sebagai akhlak dalam Islam. suatu yang menyangkut dengan kegiatan pemeluk agama dalam merealisasikan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya48. Artinya dimensi eksperensial sebagai sebuah tindakan sosial yang didasari nilai keagamaan, termasuk sikap terhadap lingkungan sekitar. Bisa dikatakan dimensi ini sebagai sebuah sikap keberagamaan sebagai finalitas pengkhidmatan terhadap agama, yang 47
Ancok, Op. Cit, h. 78. Nashori, Op. Cit, h. 80.
48
26
membentuk moralitas dalam masyarakat religius. Nilai muamalah merupakan nilai yang melibatkan antara satu makhluk dengan makhluk yang lainnya. Disini mengatur masalah hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Karena manusia tidak bisa lepas dari keterlibatan orang lain di dalam kehidupannya, darinya manusia disebut dengan makhluk sosial. Begitu pula dengan alam, manusia hidup di tengah alam semesta yang menyediakan fasilitas dari berbagai kebutuhan manusia dimulai dari kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dari keduanya, manusia sebagai individu dan kelompok dituntut untuk menjalin hubungan dengan baik guna meraih keselarasan secara sosial. Hal demikian juga berlaku dalam berhubungan dengan alam beserta lingkungan tempat seseorang tinggal, diharuskan untuk menjaga keseimbangan alam sekitar supaya tidak terjadi kerusakan yang akan mendatangkan kemadlaratan kepada kehidupan baik individu maupun kelompok. Disini agama Islam meberikan pengarahan bagi pemeluknya. Hubungan sesama muslim yang begitu akrab sangat sejalan dengan nilai yang dikembangkan oleh Islam sendiri yaitu bahwa sesungguhnya setiap orang yang beriman itu bersaudara sebagaimana penegasan Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat (49):10. Begitu pula sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa ―Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lain‖, H.R. Bukhari.49 Dalam Muamalah bukan hanya sekedar hubungan baik secara interaktif, harus diperhatikan pula segala hal yang bisa menimbulkan perhatian atau kenyamanan antar sesama muslim. Dalam hal estetika berupa, pakaian yang merangsang dorongan seksual lawan jenis bertentangan dengan kaedah pergaulan dalam Islam. Perlakuan yang tidak wajar dalam hubungan lawan jenis, salah satunya disebabkan oleh rangsangan yang timbul dari cara berpakaian yang membangkitkan gairah 49
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 127.
27
seksual.50
Seorang muslim dituntut untuk menjalin hubungan Hubungan keluarga, sanak saudara, dan guru. Hubungan antara seoranganak kepada keluarga atau kedua orang tuanya terlihat dari intenistas hubungan baik dengan kedua orang tuanya. Biasanya seorang pelajar melakukan hubungan baik itu dengan cara bersalaman, meminta doa kepada kedua orang tua saat hendak berrangkat ke sekolah. Serta pula melakukan perilaku demikian kepada guru di sekolah.51 Manusia berkiprah di muka buni ini bukan sekedar kebetulan ataupun untuk menempatinya secara Cuma-Cuma. Manusia mengemban suatu tanggungjawab untuk memakmurkan bumi serta menjaga keselarasan dan kestabilan alam sekitar yang menjadi tempat kehidupannya. Dalam arti manusia harus menjaga kestabilan alam dan menjaga diri untuk berbuat kerusakan yang mengganggu ekosistem yang akan mendatangkan kemadlaratan. Dimensi konsekuensial digunakan untuk mengukur kepribadian atau sikap siswa dalam melakukan berbagai hal yang dikerjakannya. penulis akan melihat dari sisi maksud dan tujuan yang mendasari dari setiap perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu dilatarbelakangi agama, maka bisa dikatakan sikap keberagamaan telah tumbuh pada diri siswa tunanetra, dan jika sebaliknya, maka belum tumbuh sikap keberagamaan tersebut. Penulis pun akan mengukur tingkat penerimaan ssiswa terhadap berbagai kondisi yang dialami dalam kehidupoan siswa. dengan demikian akan terlihat rasa tingkat penerimaan siswa dalam menyikapi segala hal yang menjadi keluh kesah siswa, dan akan terlihat tingkat kesabaran dan keikhlasan pada konteks siswa tunanetra sebagai gambaran akan nilai agama yang tertanam pada diri siswa tunanetra.
50
Ibid, h. 130. Ibid, h. 138.
51
28
5. Dimensi Intelektual (Pengetahuan Keagamaan) Dimensi pengetahuan, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mendasar, baik mengenai ritus-ritus, kitab suci, serta tradisi-tradisi. Karena semua agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh pemeluknya. Semisal ilmu fikih dalam Islam yang memuat informasi mengenai peribadatan sebagai hasil dari fatwa para ulama sebagai hasil pengkajian terhadap sumber ajaran Islam.52 Masalah ilmu dalam Islam sangat urgensial, karena perkataan ilmu (al-il’m) dalam al-Qur‘an lebih banyak disebut setelah nama Allah. Bila ada persoalan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta dalam menyikapi persoalan kehidupan. maka Islam mendorong fleksibilitas dan pilihan rasional yang terefleksi dalam ijtihad, (kajian sungguh-sungguh dalam merumuskan kaidah hukum Islam, yang baru), Syura (musyawarah), dan ijma (konsensus). Penegasan tersebut menunjukkan bahwa dalam memahami sumber ajaran Islam sangat penting, agar religiusitas seorang muslim tidak sekedar atributif, dan hanya sampai pada tataran simbolisme esoterik. Maka dimensi ini meliputi empat dimensi lainnya yaitu dimensi akidah, ibadah, akhlak, serta ihsan.53 Maka bisa dipahami bahwa dimensi pengetahuan keagamaan adalah unsur mendasar yang bisa menggerakan perilaku keberagamaan.
Sebuah
konsekuensi logis bila penganut agama tidak memiliki pengetahuan akan agama yang diyakininya, maka keberagamaan sesorang bisa dikatakan sebagai tindakan reflektif atau hanya sebatas meniru tanpa didasari maksud dan tujuannya, karena tidak mengetahui alasan mendasar dari yang dilakukannya. Jika sebelumnya dimensi eksperensial sebagai finalitas dari keberagamaan, pada dimensi intelektual ini bisa dikatakan sebagai jalan dari keberagamaan yang meliputi seluruh aspek keberagamaan pemeluk dalam mencapai puncaknya ,termasuk dalam membentuk pengamalan atau 52
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Ke-3, h. 46. 53 Nashori, Op. Cit, h. 82.
29
moralitas masyarakat religius. Maka dimensi pengetahuan ini lebih universal yang mendasari semua dimensi, oleh karena itu, pengetahuan keagamaan merupakan suatu yang urgensial, sebagai pijakan dalam
keberagamaan.
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi yang menjadi tempat penelitian pada skripsi ini adalah Sekolah Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional yang bertempat di Lebak Bulus Jakarta selatan, peneliti akan melakukan kegiatan penelitian tersebut. Sekolah tersebut dikhususkan untuk siswa penyandang tunanetra.Darinya sisa yang peneliti jadikan sebagai informan adalah siswa tunanetra. Di sekolah tersebut memuat tiga jenjang pendidikan dimlai dari Sekolah Dasar, sampai Sekolah Menengah Atas. Namun yang akan peneliti kaji adalah siswa yang jenjang pendidikannya SMP dan SMA. Hal tersebur terkait dari tema dalam penelitian ini yaitu keberagamaan pada perkembangan masa remaja. Oleh karena itu remaja yang penulis teliti adalah remaja tahap awal yaitu SMP, dan remaja tahap akhir yang ukurannya adalah SMA. Dengan demikian jenjang tersebut relevan dengan kebutuhan dalam Kajian skripsi ini. Pada pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan secara total, tetapi mencakup juga mereka yang mampu nnelihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk ―setengah melihat‖, ―low vision‖, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra. Maka pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas54. Pada mulanya penelitian dimulai sekitar dua bulan setelah kegiatan praktik mengajar berlangsung, namun kegiatan penelitian tersebut kurang efektif sehingga secara serius penulis melakukan kegiatan perpanjangan waktu 54
T. Sudjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), Cet. Ke-4, h. 65.
31
penelitian yang dilakukan pada bulan maret sampai april 2016. Maka dalam kurun waktu tersebut sebisa mungkin penulis akan berusaha meneliti apa yang kiranya relevan dengan kebutuhan dalam kajian skripsi ini. Jika waktu dirasa kurang mencukupi untuk memperoleh data relevan atau kurang sesuai kebutuhan, peneliti akan melakukan perpanjangan penelitian disesuaian dengan kebutuhan penelitian. B. Objek Penelitian Sikap keberagamaan sebagai pokok utama dalam kajian skripsi ini, penulis akan menelusuri objek permasalahan dalam penelitian ini hanya meliputi sikap keberagamaan siswa tunanetra dan kaitannya dengan program keagamaan yang diadakan. Melalui data yang akan diraih dari informan yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan skripsi ini, penulis akan mengolahnya dan memaparkannya dalam bentuk pendeskripsian sebagai usaha untuk menggambarkan sejauh mana efektivitas program keagamaan yang dilakukan di sekolah yang berdampak pada sikap keberagamaan siswa tunanetra. Dari uraian tersebut penulis akan mengulasnya berdasarkan merinci objek penelitian sebagai berikut: 1. Sikap keberagamaan siswa tunanetra yang akan dipaparkan sebagai gambaran hasil pembelajaran atas program keagamaan di SLB A PTN, akan menjadi obejek utama dalam pencapaian hasil penelitian yang diharapkan.
Menimbang sikap
keberagamaan
tersebut
merupakan
representasi dari pada hasil pembelajaran keagamaan yang telah dilaksanakan. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penanaman sikap keberagaman dalam program keagamaan di SLB A PTN, akan menjadi objek kedua dalam pencapaian hasil penelitian pada skripsi ini. Karena berbagai faktor yang mempengaruhi jalannya program dan pencapaian dalam pembelajaran yang ideal tersebut. Akan di kaji sebagi identifikasi terhadap program keagamaan yagn tealh dilakukan, serta sebagai rujukan dalam melakukan kritik dan saran terhadap program keagamaan yang ada. Dengan kedua objek penelitian tersebutlah penulis akan berusaha
32
untuk mencapai hasil penelitian yang diharapkan. Dengan kedua poin tersebut juga penulis akan menentukan kesimpulan dan saran pada BAB penutup. Bisa dipahami bahwa obejek penelitian ini merupakan dua unsur utama dalam pendcapaian penelitian serta sebagai tujuan pokok penulisan skripsi ini. C. Metode, Jenis dan Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan adalah Metode kualitatif. penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan) analisa data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.55 Penulis
melakukan
kegiatan
penelitian
sehubungan
dengan
pembentukan sikap keberagamaan siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat Nasional. Penulis akan mengamati dan memperoleh data melalui berbagai perilaku dan tanggapan siswa terkait keberagamaan yang telah direncanakan. Sikap tersebut akan menjadi bahan kajian yang mengacu pada hubungannya dengan keberhasilan dalam penyelenggaraan program keagamaan yang diadakan di sekolah. Bukan hanya itu peneliti pun akan menelusuri hal yang terkait dengan keberagamaan siswa baik dari segi latar keluarga, pendidikan non formal semisal pembelajaran agama di rumah dan lainnya yang kirannya berpeluang membentuk sikap keberagamaan siswa. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sedang terjadi. Menurut Mardalis, ―Penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara
55
Ibid, h. 9.
33
variabel-variabel yang ada‖.56 Penelitian deskripsi atau description research memiliki berbagai jenis. Dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif murni. Penelitian deskriptif ini merupakan penelitian yang benar-benar hanya memaparkan apa yang terjadi dalam sebuah kancah, lapangan, atau wilayah tertentu. Data yang telah terkumpul diklasifikasikan atau menurut jenis, sifat, atau kondisinya. Setelah datanya diangkap mencukupi, kemudian dibuat kesimpulan.57 Penulis akan berusaha menyajikan hasil penelitian ini dengan mendeskripsikan data yang didapatkan dan diolah melalui analisa. Semua hal yang terkait keberagamaan tersebut akan dipaparkan secara deskriptif dan sebisa mungkin peneliti akan menemukan sebuah kesimpulan yang diharapkan.
Yaitu
mengidentifikasi
sikap
keberagamaan
siswa
dan
menggambarkannya guna menjadi sebuah gambaran dalam keberhasilan pembelajaran keagamaan. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan, adalah menggunakan pendekatan penelitian lapangan. Penelitian lapangan atau field research, adalah jenis penelitian yang bisa dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif, atau suatu metode untuk mengumpulkan data kualitatif. Ide pentingnya adalah bahwa penelitian berangkat ke ‗lapangan‘, untuk melakukan pengamatan tentang suatu fenomenon dalam suatu keadaan alamiah atau ‗in situ‘. Dalam hal demikian, maka pendekatan ini terkait erat dengan pengamatan berperan serta. Penelitian ini biasanya membuat catatan lapangan ssecara ekstensif, kemudian dibuatkan kodenya yang kemudian dianalisa dengan berbagai cara.58 Sebagimana telah disebutkan bahwa penelitian ini akan mengkaji tentang sikap keberagamaan siswa tunanetra. Darinya penulis akan melakukan 56
Mardalis, Metode Penellitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), Cet. 13, , h. 26. 57 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas, h. 3. 58 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-20, h. 26.
34
penelitian pada suatu lapangan yang dalam konteks penelitian ini adalah SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus. Penulis akan mengamati dan mengambil data dari kondisi yang tercipta di sekolah tersebut dengan segala tingkah laku dan tanggapan siswa maupun pendapat guru, semua itu akan dijadikan sebagai data primer yang kemudian akan dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan. Setelah data tersebut dibuat rapih atau sesuai kebutuhan, penulis akan menganalisa melalui pendeskripsian yang akan disajikan dalam laporan yang termuat dalam bab IV (Empat). D. Sumber Data 1. Jenis Data Sebelum menjelaskan perihal teknik pengumpulan data secara lebih lanjut, penulis akan memaparkan mengenai sumber data yang akan diperoleh dalam penelitian ini. Sumber data adalah suatu subyek, dari mana data dapat diperoleh.59 Adapun sumber data pada penelitian kualitatif adalah Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati merupakan sumber data utama.Sumber utama tersebut diperoleh melalui catatan tertulis, atau melalui perekaman, pengambilan foto atau film. Hal tersebut diperoleh melalui wawancara, atau pengamatan berperan serta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya.60 Penulis dalam usaha memperoleh data akan menjadikan siswa tunenetra sebagai bagian utama dalam pengambilan informasi, disamping guru dan kepala sekolah terkait, semuanya akan penulis minta keterangan terkait informasi yang relevan. Bukan hanya itu, perilaku siswa tunanetra sebagai informan utama serta ungkapan mereka menjadi unsur pokok dalam pencarian data. 2. Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.61 Namun dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi Spradley 59
Suharsimi Arikunto, Op.cit, h. 122. Lexy J. Moleong, Op.cit, h. 157. 61 Suharsimi Arikunto, Op.cit, h. 173. 60
35
menamakannya sebagai ―social situation‖ atau situasi social yang terdiri atas tiga elemen yaitu, tempat (place), pelaku (actory), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.62 Hal tersebut bisa diamati di rumah, lingkungan social, sekolah, dan lainnya. Semua hal tersebut meliputi segala aktivitas yang menjadi sumber pengamatan dalam penelitian kualitatif. Populasi atau situasi yang dimaksud dalam objek kajian skripsi ini adalah segala hal yang menjadi kegiatan siswa di Sekolah Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional, baik berupa kegiatan peribadatan formal, kegiatan keagamaan, sikap sosial siswa dalam arti hubungan dengan sesama siswa, guru, dan keluarga. Dengan segenap situasi dan kondisi yang terangkai dalam kegiatan yang dilakukan oleh siswa tunenetra yang meliputi jenjang SMP Dan SMA. Kondisi dan situasi yang mereka ciptakan srta tanggapan mereka akan menjadi sumber pokok dalam penelitian ini. Jumlah siswa yyang tidak terlalu banyak tersebut adalah bentuk dari populasi atau situasi yang menjadi sumber data. Adapun Sampel itu sebagai komponen-komponen dan yang mewakili populasi. Sedangkan dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel, karena memang tidak ada populasi. Dalam penelitian kualitatif yang dikenal adalah subjek, informan, atau responden. informan atau responden dalam penelitian kualitatif tidak mewakili populasi, tetapi mewakili informan. Maka penentuan subjek penelitian bukan dilihat pada besarnya jumlah orang yang memberikan informasi (data), melainkan siapa saja diantara mereka yang lebih banyak terlibat dalam peristiwa atau memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian.63Menurut Lexy J. Moleong, ―Maksud sampling dalam hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi
62
, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 13h. 215. 63 Rulam Ahmadi, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014), h. 183.
36
dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions.)‖.64 Jadi pada dasarnya maksud sampling yang dimaksud dalam kualitatif adalah usaha untuk mendapatkan informasi melalui situasi yang terjadi pada lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis menggunakan purposive sampling yaitu tekhnik pengambilan sampel terhadap sumber data dengan pertimbangan.65 Pertimbangan yang dimaksud adalah informan atau sumber data dinilai bisa memberikan informasi yang sesuai dengan harapan penelitian. Darinya penulis akan mengambil sampel dengan pertimbangan bisa memberikan informasi dengan baik dan jelas. Sebagaimana Moleongmenambahkan, ―maksud kedua dari sampling ialah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul .Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).66 Siswa tunanetra yang menjadi informan pokok tidak akan semuanya diwawancara. Hanya siswa-siswa tertentu yang dinilai bisa memberikan informasi terkait kebutuhan data pada penelitian ini secara lugas dan jelas. Kerena ada siswa yang karakteristiknya tertutup dan sulit memberikan keterangan dari pertanyaan yang diberikan. Oleh karenanya siswa yang cenderung tertutup akan menyulitkan peneliti dalam mendapatkan informasi. Penulis akan memperoleh informasi dari siswa yang dinilai bisa memberikan keterangan dengan jelas serta memudahkan penelitian dalam mendapatkan informasi.
E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hendaknya melakukan sebuah usaha untuk memperoleh data yang menjadi bahan kajian dalam suatu penelitian. Tindakan demikian bisa dikatakan sebagai usaha pengumpulan data yang dalam
64
, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-20, h. 224. 65 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 13, h. 218-219. 66 Moleong, Loc.cit.
37
pelaksanaannya menggunakan cara yang dalam penyebutannya sering disebut dengan instrument penelitian. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam penelitian kualitatif manusia sebagai instrument utama. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi insrumen atau alat penggali informasi dalam penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrument juga harus ―divalidasi‖ seberapa jauh seorang peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.67 1. Interview atau Wawancara Wawancara digunakan untuk meperoleh data dari informan yang dinilai bisa memberikan data relevan. Menurut Lexy J. Moleong, ―Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dil oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.68 Peneliti akan mewawancarai siswa tunanetra sebagai sumber data utama, ditambah lagi guru agama dan guru lainnya serta kepala sekolah yang mungkin akan memberikan informasi yang relevan terkait data yang keberagamaan dan situasi keagamaan siswa tunanetra. Secara garis besar, ada dua pedoman dalam wawancara yakni wawancara tidak terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Pada jenis ini kreativitas pewawancara amat menentukan bahkan hasil wawancara tergantung pewawancara itu sendiri. Sedangkan wawancara terstruktur adalah pedoman wawancara yang disusun secara terperinci .69 Wawancara tidak testruktur disebut pula wawancara informal. Pada
67
Ibid, h. 222. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-20h. 186. 69 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 270. 68
38
hal ini wawancara dilakukan dengan biasa tanpa ada rekayasa secara resmi. Pertanyaan yang diajukan bersifat spontan dan mengalir apa adanya. Menurut Moleong, ―jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada terwawancara‖.70 Adapun wawancara terstruktur disebut pula dengan wawancara baku. Pada wawancara ini pertanyaan bersifat sistematis dan alur pertanyaan yang terencana dengan jelas sejak semula. Menurut Moleong, ―jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku, urutan pertanyaaan, kata-katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden‖.71 Dari kedua teknik wawancara di atas kiranya menjadi pijakan dalam pengambilan data. Namun bagi penulis kedua jenis tersebut dinilai bisa dipakai dalam penelitian ini. Penulis akan menggunakan wawancara yang terstruktur, sekaligus tidak terlalu formal dalam mewawancara. Oleh karenanya penulis mengambil pendapat yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto bahwa pedoman wawancara yang banyak digunakan bentuk ―semi structured‖. Dalam hal ini mula-mula interviwer menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam dalam mengorek keterangan lebih lanjut.72 Pertanyaan yang akan diajukan adalah sebagaimana terdapat dalam bab II (dua), dengan menggunakan pendekatan melalui lima dimensi keberagamaan yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark serta berbagai hal yang relevan dengan penelitian sebagaimana termuat dalam nilai-nilai ilahiyah atau moral yang bersumber dari keagamaan. Dalam hal ini ada tiga bentuk pertanyaan yaitu terkait hubungannya dengan akidah, kemudian nilai ibadah yang bisa ditanamkan dalam kehidupan, ditanamkan serta muamalah sebagai bentuk sosial keberagamaan. Dengan 70
Moloeng, Op.cit, h. 187. Ibid, h. 188. 72 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 270. 71
39
demikian penulis akan menjadikan pertanyaan dalam wawancara akan dibuat lebih terstruktur dan terencana. Namun penulis menilai pertanyaan yang kaku kurang memberikan informasi yang mendalam. Oleh karenanya, penulis akan menanyakan pertanyaan lain yang sifatnya spontan guna mendapatkan informasi yang jauh lebih mendalam. 2. Observasi Observasi dalam pembagiannya, dibagi atas dua jenis yaitu observasi berperan serta (participant observation). Adalah seorang peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau orang yang menjadi sumber data penelitian. Sedangkan observasi non partisipan adalah seorang peneliti tidak terlibat dalam kegiatan informan dan berperan sebagai pengamat yang independen.73 Dalam hal ini peneliti memilih observasi lebih fleksibel, dalam satu kondisi penulis menggunakan observasi partisipan. Karena peneliti mengamati secara langsung dengan melibatkan diri dalam kegiatan di sekolah. Oleh karena itu, peneliti sembari melakukan kegiatan belajar mengajar, peneliti pun melakukan observasi atau pengamatan terhadap prilaku siswa. Namun di lain kondisi peneliti hanya mengamati dan tidak melibatkan langsung dalam kegiatan siswa tunanetra. Hal demikian bersifat kondisional. Pada intinya peneliti melakukan kegiatan pengamatan untuk memperoleh data yang relevan dengan penelitian. Adapun dalam instrument-nya observasi memiliki dua jenis yaitu observasi terstruktur dan observasi tidak terstruktur. Observasi terstruktur yaitu observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Sedangkan observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.74 Dalam hal ini, Peneliti menggunakan observasi terstruktur. Yaitu 73
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 13, h. 145. 74 Ibid, h. 146.
40
peneliti memiliki tujuan yang sudah jelas sebelumnya yaitu akan melakukan kegiatan penelitian yang terkait sikap keberagamaan siswa dengan waktu dan tempat ditentukan. 3. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah usaha mencari data melalui data-data berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan lainnya yang terkait dengan data yang sifatnya tertulis.75 Penulis dalam penelitian ini menggunakan data pendukung lain yaitu berbagai buku yang relevan dengan pengkajian skripsi ini. Melalui buku yang bertemakan keagamaan semisal buku yang ditulis oleh Nurcholis Madjid, Harun Nasution, dan lainnya. Semua buku tersebut turut menjembatani penulis dalam mengkaji serta memperoleh data yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini. Bukan hanya itu penulis-pun mencari data-data tertulis yang bersumber dari sekolah semisal data mengenai kegiatan sekolah, siswa, dan terkait program keagamaan yang diselenggarakan di sekolah. Semua data tersebut dinilai bisa memberikan dukungan dalam keberhasilan penelitian ini. Penulis akan melakukan pemotretan dari hasil pengamatan lapangan dan foto kegiatan keagamaan siswa yang di miliki sekolah. semua itu sebagai validitas data penelitian. Bukan hanya itu peneliti pun akan melakukan kegiatan perekaman yang dilakukan ketika kegiatan wawancara. Semua itu sebagai usaha dalam memvalidasi data yang didapatkan dari informan. 4. Catatan Lapangan Kegiatan penelitian yang dilakukan di lapangan, lazimnya mendapati berbagai situasi yang menjadi data penelitian, baik yang sudah terencana maupun yang spontan. Melalui pengamatan, mendengar, bertanya dan lainnya menjadikan peneliti berusaha untuk mengambil data 75
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 274.
41
relevan dari kondisi serta situasi yang kiranya menjadi bahan kajian dalam skripsi ini. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi peneliti berinisiatif untuk melakukan pencatatan yang secara istilah penelitian disebut catatan lapangan. Catatan lapangan terdiri dari beberapa jenis. Adapun yang peneliti gunakan adalah catatan pengamatan langsung. Yaitu seorang peneliti menulis segera setelah meninggalkan lapangan kemudian setelah itu, catatan harus disusun secara kronologis. Catatan tersebut merupakan suatu deskripsi terperinci tentang apa yang di dengar dan dilihat sebagai sesuatu yang dinilai kongkret dan khusus.76 Penulis akan menggunakan catatan lapangan sebagai bagian dari sumber data yang akan memberikan informasi pendukung. Maka setelah catatan lapangan dibuat, peneliti akan melibatkannya dengan berbagai data yang kirannya bisa bersesuaian dengan kajian dalam penelitian ini. F. Teknik Validasi Data Kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mengkaji data relevan dan memperoleh keabsahannya, adalah melakukan pengklasifikasian data. Pengklasifikasian data Adalah kegiatan penggolongan aneka ragam jawaban itu ke dalam katagori-katagori yang jumlahnya lebih terbatas.77 Jadi data yang telah terkumpul akan disederhanakan atau diringkas, dan mungkin tidak akan digunakan semua, melainkan akan lebih dipilih data yang lebih dibutuhkan atau lebih sesuai dengan kebutuhan penelitian. Menimbang ada kemungkinan data yang masih memerlukan pengamatan lebih lanjut serta Karena terbatasnya ruang penulisan membuat penulis harus lebih mengefektifkan penulisan dengan menggunakan data yang sesuai kebutuhan. Jika data dinilai kurang atau belum sesuai dengan harapan yang terencana, maka penulis akan melakukan validasi data dengan cara perpanjangan penelitian disebabkan belum mendapatkan data yang sesuai 76
Ibid, h. 194. S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), Cet. Ke-8, h. 191. 77
42
dengan kebutuhan skripsi. Atau pun penulis melakukan pengamatan secara tekun. Sebisa mungkin dalam memperoleh data yang relevan, penulis lebih berhati-hati atau melakukan beberapa kegiatan untuk memperoleh data yang valid, semisal penulis melakukan wawancara kembali terhadap suatu informan yang tujuannya untuk mendapatkan data yang valid. Sebagaimana menurut Moleong, ―ketekunan pengamatan bermaksud menemukan cirri-ciri dan unsure-unsur dalam situasi yang sangan relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusastkan diri pada hal-hal tertentu secara rinci‖.78 Yang pada intinya adalah melakukan pendalaman terhadap data penelitian. Kemudian tekhnik berikutnya dengan cara triangulasi. Menurut Moleong, ―Triangulasi adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan ssesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu‖.79 Penulis dalam hal ini akan melakukan pembandingan antara data yang telah diperoleh dari siswa, dengan data dari guru. Ataupun penulis akan melakukan pembandingan dengan teori yang dikemukakan oleh tokoh melalui pengutipan dari buku relevan yang ditulisnya. G. Teknik Analisa Data Analisa data bisa dipahami sebagai alat utama dalam mencapai sebuah tujuan penelitian. Dengan analisa itu pula finalitas sebuah penelitian bisa tercapai. Maka analisa adalah jalan dalam memperoleh hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Menurut sugiyono analisa adalah :Proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam katagori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun 78
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-20, h. 329. 79 Ibid, h. 330.
43
orang lain:.80 Jadi analisa merupakan usaha untuk menginterpretasikan data yang disajikan
melalui
sistematika
penelaahan.
Data
menyangkut
sikap
keberagamaan melalui wawancara dengan siswa, tidak akan digunakan semua, melainkan diambil data yang sesuai dan menyimpan data yang memerlukan penelaahan lebih lanjut. Kemudian melakukan kegiatan lain semisal pembandingan, pengecekan, penulisan ulang data dari catatan yang dinilai kurang baik, yang semuanya itu sebagai usaha untuk meraih data yang baik untuk disajikan sebagai hasil dari analisa yang dilakukan. Adapun Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini tidak jauh dari jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Diantara karakteristiknya, adalah bersifat deskriptif. Yaitu laporan yang penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dan berbagai dokumen lainnya.81 Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini akan disajikan secara deskriptif. Yaitu semua data yang diperoleh akan dideskripsikan secara sistematis dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Semua data yang disajikan sebelumnya telah diklasifikasikan sebagaimana telah dipaparkan bahwa untuk mengkaji data yang relevan akan dilakukan pengklasifikasian dengan mengambil data yang hanya sesuai dengan kebutuhan penelitian, dan akan menyimpan data yang masih perlu pengamatan lebih mendalam, serta kegiatan pembandingan, dan hal lainnya sebagai bentuk usaha dalam menganalisa data.
80
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 13, h. 244. 81 Moleong, Op.cit, h. 11.
BAB IV HASIL PENELITIAN TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN SISWA TUNANETRA DI SLB A PTN (PEMBINA TINGKAT NASIONAL) A. Program Keagamaan SLB A PTN Program keagamaan yang dilaksanakan di SLB A PTN adalah segala hal yang menyangkut kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di SLB. Semua itu akan menjadi bahan utama dalam pengkajian skripsi ini. Adapun kata program dalam kamus Istilah Populer, diartikan sebagai ―Ketentuan rencana dari pemerintah; acara, rencana, rancangan (kegiatan).82 bisa dipahami bahwa program sebagai sebuah rencana dari berbagai rancangan acara pada suatu kegiatan. Sedangkan kata keagamaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai ―yang berhubungan dengan agama‖.83 Artinya segala hal yang menyangkut agama dikatakan sebagai keagamaan. Jadi program keagamaan bisa disimpulkan sebagai sebuah rencana dari berbagai rancangan acara pada suatu kegiatan yang berhubungan dengan agama, yang dalam konteks penelitian ini adalah kegiatan keagamaan pada SLB A Pembina Tingkat Nasional. 1. Visi dan Misi a. Memahami dan menghayati keimanan kepada Allah melalui tandatanda kebesaran Allah b. Memahami dan menghayati makna ibadah kepada Allah melalui pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari c. Membiasakan membaca al-Qur‘an brille, dan menulis dengan benar. d. Mempraktikan ibadah dan membiasakan dengan baik dan benar. Bila kita telaah lebih lanjut, uraian di atas merupakan sebuah misi dari pada kegiatan yang dicanangkan SLB A PTN, namun mengenai visi 82
Pius A. Partanto dan M. Dahalan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
tt), h. 635. 83
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1 edisi IV, h. 15.
44
45
dari kegiatan keagamaan tidak penulis dapatkan, sehubungan dengan tidak terdapatnya sebuah dokumen resmi dengan segenap rancangan dan perencanaan yang tertera secara langsung. Di sini penulis hanya mendapatkan data dari hasil tulisan tangan guru agama84. Maka dari itu, secara formal, program keagamaan terlaksana secara praktis dan tidak ada konseptualisasi secara sistematis. 2. Praktik Keagamaan Sebagaimana dalam uraian visi dan misi program keagamaan yang tidak terdokumentasi secara sistematis, hal demikian tidak jauh berbeda dengan jenis kegiatan keagamaan yagn dilaksanakan di SLB. Penulis tidak mendapatkan keterangan melalui dokumen resmi sekolah, melainkan melalui data yang didapatkan dari salah seorang guru agama, dengan data yang diraih dari hasil tulis tangan. Adapun jenis kegiatan keagamaan yang terlaksana adalah sebagai berikut: a. Praktik shalat dan dzikir (gerakan dan bacaan) b. Praktik hafalan surat-surat pendek (SMP 10 surat dan SMA 15 surat) c. Praktik shalat dhuha secara berjamaah pada jumpat minggu pertama disertai tausiyah dari guru d. Menyelenggarakan pesantren ramadhan e. Memperingati hari-hari besar Islam f. Pelaksanaan qur‘ban Pada poin pertama, menganai pembinaan praktikum shalat dan dzikir, dilaksanakan setiap hari saat pelaksanaan shalat dzuhur. Mengenai shalat dzuhur berjamaah merupakan kegiatan harian yang senantiasa dilaksanakan, didalamnya melibatkan guru yang berkesempatan untuk membimbing, serta seluruh siswa tunanetra yang dihimbau untuk mengikuti kegiatan tersebut. Pada rangkaian kegiatannnya, selepas shalat dzuhur berjama‘ah, ada bimbingan dzikir secara bersama.85 84
Hasil Catatan Tangan Maksum S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Pada Kegiatan PPKT, September-Desember 2015. 85 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei, 2016
46
Adapun mengenai kegiatan keagamaan yang menyangkut dengan hafalan al-Qur‘an, sebelum masuk jam pelajaran, setia selalu diawali dengan pembacaan al-Qur‘an. Adapun mengenai surat yang dibaca, adalah yang berhubungan dengan hafalan siswa tunanetra yang telah ditetapkan, dan ada guru yang mendampingi siswa dalam kegiatan tersebut. Selain itu ada pula jadwal pembacaan al-Qur‘an secara bergilir pada setiap kelas, yaitu membacakan pada radio sekolah. kegiatan tersebut pun dilakukan setiap pagi kecuali ada kegiatan upacara.86 Pada SLB A Pembina Tingkat Nasional, pada jum‘at di bulan pertama sering diadakan kegiatan berupa bimbingan ibadah yang dalam rangkaiannya dimulai shalat dhuha bersama, yang setelahnya diiringi dengan ceramah keagamaan oleh guru serta bimbingan mengenai bacaan setelah shalat dan rangkaian do‘a shalat dhuha. Serta tadarus bersama dan menggalakan hafalan surat-surat pendek.87 Perlu dipahami bahwa kegiatan kegiatan keagamaan yang bersifat rutin semisal pembinaan shalat dan dzikir, hafalan surat pendek, dan praktik shalat duha di minggu pertama bisa dikatakan terintegrasi dalam satu acara. Dalam hal ini program keagamaan terkait hafalan al-Qur‘an yaitu bagi siswa SMP-LB dianjurkan untuk menghafal minimal 10 surat pendek, dan SMA-LB adalah minimal 15 surat pendek. Kegiatan hafalan tersebut sering digalakan pada pelaksanaan Shalat Dhuha berjamaah pada hari jum‘at di minggu pertama. Di antaranya membimbing siswa dalam menghafal berbagai surat pendek sekaligus pembinaan serta penugasan hafalan disertai pengetesannya. Siswapun dihimbau untuk bisa menghafal Surat Abasa, karena sebagai surat tentang Tunanetra, dan sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Tunanetra. Dengan surat ini, diharap bisa memperkuat ketauhidan serta membentuk
86
Hasil Wawancara degnan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
87
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
2016. 2016.
47
rasa percaya diri siswa88 maka bisa dipahami bahwa kegiatan keagamaaan yang bersifat rutin atau memiliki jangka waktu harian sampai bulanan merupakan kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Yaitu pembinaan mengenai shalat, dzilkir, dan pembinaan al-Qur‘an dan hafalannya. Adapun poin ke empat, adalah mengenai pesantren ramadhan. Pada setiap bulan Ramadhan, di SLB senantiasa mengadakan pesantren ramadhan dengan kurun waktu tiga sampai empat hari. Kegiatan tersebut meliputi ceramah disertai tanya jawab yang disampaikan guru, kuis dan game
yang
bernuansa
keagamaan.
Biasanya
kegiatan
tersebut
dilaksanakan sebelum kegiatan belajar mengajar formal. Tujuannya untuk menambah wawasan keagamaan, terkhusus mengenai rincian pengetahuan puasa, serta diiringi dengan cerita dari sejarah Islam, dan mengenai akidah dan akhlak.89 Poin ke lima adalah hari besar Islam. Memperingati hari besar yang dimaksud adalah memperingati Maulid Nabi dan Isra Mi‘raj. Kegiatan Maulid Nabi dan Isra Mi‘raj di SLB tidak setiap momen dilaksanakan, terkadang dilaksanakan dan terbentur dengan dana, maka dari itu kegiatan dilaksanakan tidak terlalu meriah, hanya sekedar mengumpulkan siswa di Mushola sekolah kemudian diadakan kegiatan ceramah yang berisi sejarah Nabi dan cerita keIslaman lainnya, yang terkhusus dengan Isra Mi‘raj mengenai pengetahuan tentang shalat. dilaksanakannya Shalat, dan hal tersebut merupakan kegiatan untuk menambah wawasan siswa.90 Dan poin terakhir adalah pelaksanaan qurban. Pada bulan haji, Di SLB, setiap hari raya Idul Adha senantiasa melaksanakan Qurban di sekolah, baik hewan tersebut dari guru, maupun orang tua siswa. siswa diberi kesempatan untuk memegang hewan yang hendak disembelih, serta
88
Hsil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
2016. 89
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Senin, 02, Mei, 2016. Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 022, Mei, 2016. 90
48
hasil sembelihan dibagikan kepada siswa. tujuan dari pelaksanaan kegiatan tersebut, untuk menanamkan sikap rela berkorban, serta keikhlasan terhadap apa yang telah dikorbankan, semisal harga hewan kurban yang mahal dan tak perlu memikirkan apa yang telah dikeluarkan berupa harta. Selain itu, mendidik siswa untuk tidak kikir, serta perduli terhadap sesama.91 Adalagi kegiatan tambahan. Pada SLB menjelang libur pihak sekolah tepatnya satu tahun sekali mengadakan kegiatan di luar program formal, berupa tadabur, yaitu kegiatan untuk mendidik siswa dalam merenungkan perihal kehidupan yang dilaksanakan di tempat tertentu semisal Masjid Kubah Emas yang berlokasi di Depok. Rangkaian kegiatan tersebut berupa ceramah, dzikir, dan do‘a. adapun substansinya, adalah pembelajaran mengenai kehidupan dan wisata religius. Tujuannya untuk mendidik
siswa
dalam
mempertebal
keimanan
serta
memahami
kehidupan.92 Maka terangkanlah bahwa sekolah mendidik siswa untuk senantiasa memperhatikan kehidupan yang di dalamnya bukan hanya sekedar mengenai masalah manusia tetapi dengan alam sekitar. Karena dijumpai pembelajaran mengenai menanam. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan terkhusus dalam kaitannya dengan menjaga ekosistem telah di tanamkan di SLB. Dari berbagai uraian diatas, bisa dipahami bahwa SLB A PTN memiliki berbagai rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan. Maka dari itu bisa dipahami bahwa SLB memiliki sebuah usaha dalam membina keberagamaan siswa tunanetra. Darinya penulis akan
menelusuri
keberagamaan
melalui
kajian
terhadap
sikap
keberagamaan siswa tunanetra sebagai dampak dari program keagamaan yang telah dijalankan.
91
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 92
Hasil Wawancara dengan Ahmad Sudarma, S. Pd, Guru Keterampilan SMP-LB, Senin, 02, Mei, 2016.
49
B. Analisa Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra Sebagaimana telah diuraikan bahwa sikap keberagamaan merupakan moralitas masyarakat religius. Maka dari itu, agama melalui ajaran yang berefek bukan hanya sensasi psikologis individu saja, melainkan pada pembentukan intera personal. Dalam hal ini akan berpengaruh pada pola hubungan antar individu yang memilii satu keyakinan, bahkan antar umat beragama sekalipun. Perbedaan keyakinan di tengah masyarakat merupakan sebuah keniscayaan dari banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat. Terkait demikian, suatu sikap toleransi ataupun konflik yang diakibatkan perbedaan tersebut merupakan bentuk sikap keberagamaan dari akumulasi atas keyakinan, pemahaman serta doktrin yang didapatkannya. Dari hal tersebut, Jalaluddin Rakhmat sebagai mana mengutif pendapat Gordon W. Allport, dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menyebutkan dua cara beragama yaitu sikap keberagamaan ekstrinsik dan intrinsik. Sikap Keberagamaan ekstrinsik yakni memandang beragama sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan. Di sini Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, dalam arti hanya melaksanakan agama dari sisi ritual saja tanpa memperhatikan aspek utama dari ajaran tersebut. Cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang melainkan sebaliknya, kebencian, iri hati dan fitnah masih akan tetap berlangsung.93 Sedangkan sikap keberagamaan yang bersifat intrinsik yakni agama dipandang sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying faktor). Dan cara beragama seperti ini lebih tertanam pada diri penganutnya, hanya dengan demikianlah kita menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang‖.94 Jadi bisa dikatakan bahwa sikap keberagamaan intrinsic sebagai 93
Jalaluddin Rakhmat, Islam alternative ceramah-ceramahdi Kampus, (Bandung: Mizan, 1986), h. 25. 94 Ibid, h. 26.
50
sebuah efek keberagamaan yang ideal terlepas dari hasil tulisan orang yang secara prinsip memiliki perbedaan pemahaman, serta dari teori yang dirumuskan oleh ilmuan barat, namun secara substansial hal demikian mesti hadir pada masyarakat religius. Terkhusus dalam lembaga pendidikan yang memberikan bimbingan keagamaan hendaknya bisa membentuk jiwa keberagamaan siswa bukan hanya sekedar mengenai masalah ketaatan yang bersifat ritual saja, melainkan bisa membentuk sebuah kepribadian peserta didik yang memiliki etika yang baik dan bisa membentuk peserta didik yang religius dan berbudi pekerti baik. Uraian di atas sejalan dengan tujuan dari pendidikan Islam, yaitu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, serta senantiasa mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam kehidupan baik dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.95Artinya penanaman keagamaan pada siswa memiliki harapan untuk membentuk sebuah manusia yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Maka dari itu, ajaran keagamaan yang termuat dalam sistem pendidikan baik formal maupun non formal mampu menanamkan akan nilai keagamaan pada peserta didik yang dalam finalitasnya bisa membentuk sebuah sikap keberagamaan sebagai kualitas dari moralitas manusia religius. Dalam membahas sikap keberagamaan siswa tunanetra, akan dirangkai dalam berberapa poin sebagaimana yang telah dirumuskan dalam BAB VI (empat). Dalam pembahasannya, ini penulis akan mengacu pada program keagamaan SLB A Pembina Tingkat Nasional sebagimana telah diuraikan sebelumnya. 1. Aspek Ideologis (keyakinan) Siswa Tunanetra a.
Mengimani agama Islam Sebuah keimanan dalam agama Islam secara terperinci terdapat dalam rukun iman yang menjadi fondasi keberagamaan dalam Islam. Dimulai dari iman kepada Allah SWT sampai iman kepada Qadha dan Qadhar. Namun dalam pembahasan skripsi ini akan ditambahkan
95
10, h. 29.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. Ke-
51
dengan keimanan terhadap agama Islam. Hal tersebut perlu dilakukan menimbang sebelum membahas keimanan terlebih lanjut, kita perlu membahas keyakinan seseorang terhadap agamanya sebagai jalan pertama dalam menelusuri keberagamaan seseorang. Pada beberapa siswa yang penulis wawancara96, yaitu Siswa Menengah Pertama dan Siswa Menengah Atas di Sekolah Luar Bisaa A Pembina Tingkat Nasional yang berlokasi di Lebak Bulus Jakrta Selatan, didapati beberapa tanggapan siswa yang beragam. Islam dimaknai sebagai agama yang damai, karena pemeluknya dinilai mencintai Allah. Islampun dipandang sebagai sebuah prinsip, karena manusia memiliki pendirian masing-masing. Dalam pandangan lain dinilai agama Islam sebagai agama yang suci yang dipahami sebagai agama yang paling benar, agama yang dianjurkan Allah dan dimuliakan-Nya, serta agama yang paten. Dan pendapat lain menuturkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kebenaran dan bukan agama yang mengajarkan kesesatan, Yang artinya secara kualitas, keberagamaan terlahir dari dua dasar yang berbeda yaitu agama didasari oleh sebuah kebenaran hakiki, dan agama didasari oleh sebuah keyakinan semu. Seorang siswi menyatakan, ―Islam itu adalah sebuah agama yang mempelajari tentang bagaimana kita untuk berserah diri pada Allah, beribadah, berbuat sopan pada semua orang, mengajarkan kita berbagai kebaikan‖.97 Ungkapan tersebut menunjukan bahwa siswa telah mengetahui bahwa Islam merupakan jalan untuk berserah diri kepada Allah. Sebagaimana dalam tinjauan terminologi, bahwa Islam merupakan Sebuah kepasrahan hamba kepada Penciptannya yaitu Allah. Siswi menyatakan bahwa Islam mengajarkan tentang kesopanan dan mengajarkan perihal kebaikan. Dalam hal ini siswi memahami Islam bukan hanya sebagai ajaran yang hanya menekankan ritual 96
Hasil Wawancara Pada Seluruh Informan Siswa Tunanetra, di SLB A Pembina Tingkat Nasional, Pada Tanggal 1-21 April 2016. 97 Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
52
semata, melainkan pula sebagai ajaran yang membimbing manusia untuk
membangun
sistem
tata
perilaku
intrapersonal,
yaitu
mengajarkan tentang moralitas. Sebagai mana siswa lain menyatakan, ―Islam adalah agama yang mengajarkan ketauhidan, mengajarkan adab, akhlak‖.98 Maka, sebagian siswa telah memahami bahwa agama Islam bukan hanya sekedar menyangkut mengenai Eskatologis, melainkan pula sebagai moralitas yang membentuk sistem tata masyarakat yang dibangun dalam nilai keIslaman. Karena Ajaran Islam dalam hal ini tersimpul pada ibdat yang mengambil bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran–ajaran mengenai moral atau akhlak Islam. Karena memang Nabi Muhammad diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.99
Maka bila kita membicarakan masalah moral dalam
kaitannya dengan Islam, maka kita sedang membicarakan akhlak Islam sebagai suatu sistem moral yang dasarnya telah diatur ajaran secara terperinci dari sumber utama agama Islam yaitu al-Qur‘an dan asSunnah. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa Islam dalam pandangan siswa tunanetra dipahami sebagai sebuah prinsip kehidupan manusia yang mengandung nilai kebenaran melalui ajaran mengenai ibadah, moral manusia dan kebajikan lainnya. Sehingga dari rangkaian tersebut terlahir sebagai sebuah keberagamaan yang dipandang hanif atau lurus, yang secara khusus dimuliakan oleh Allah SWT, dan agama yang dianjurkan untuk dipeluk oleh umat manusia dengan kualitas bahwa Islam sebagai agama yang paten. Artinya Islam adalah agama yang sempurna. Adapun
pengakuan
siswa
ketika
ditanyakan
mengenai
keyakinan mereka terhadap agama Islam, dengan seragam, siswa menjawab dengan jawaban yang sama. yaitu siswa meyakini 98
Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIII SMP-LB,. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. Kelima, h. 30-31. 99
53
kebenaran agama Islam. Namun ketika perbandingan kebenaran Islam dengan agama yang lain, siswa menjawab dengan jawaban yang beragam. Dari hasil wawancara100 kebanyakan siswa meyakini akan kebenaran agama Islam, dengan tidak menyalahkan agama yang lainnya. Siswa memandang bahwa setiap agama itu benar karena mengajarkan kebenaran. Pandangan lain menyatakan setiap agama memiliki kepercayaan masing-masing, serta mengajarkan kebaikan. Dalam pemahaman siswa bahwa setiap kebaikan disamakan dengan kebenaran , maka setiap agama yang mengajarkan kebaikan dipahami sebagai sebuah kebenaran. Pendapat lain menyatakan setiap agama memiliki tuhan masing-masing. Artinya siswa memahami akan banyak kepercayaan
akan
sosok
yang
dijadikannya
sebagai
objek
keberagamaan atau penyembahan. Tuhan merupakan sosok yang disembah, yang jika dipahami bahwa siswa memahami setiap tindakan penyembahan merupakan sebuah kebenaran atau setiap kepercayaan akan adanya tuhan dipandang sebagai sebuah kebenaran. Seorang siswi menuturkan, ―Islam itu agama yang benar, karena mengajarkan kebenaran, dan bukan agama yang menyesatkan. Agama yang lain benar, karena agama tidak mengajarkan kesesatan, karena orang yang menjalani yang mempercayai kebenaran itu.‖.101 Siswi memiliki pemahaman bahwa semua agama benar karena mengajarkan kebenaran. Namun siswi memberikan tambahan bahwa hanya
penganutnya
yang
mempercayai
kebenaran
tersebut,
menunjukkan bahwa ada sebuah sudut pandang siswi yang memahami bahwa kebenaran agama bersifat personal. Yaitu didasari atas kepercayaan penganut terhadap kebenaran agama tersebut. Penganut sebuah agama mempercayai agamanya berarti yakin akan kebenaran agama yang dianutnya, setiap penganut yang meyakini kebenaran 100
Hasil Wawancara dengan seluruh informan Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April,
101
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
2016.
54
agamanya secara otomatis mengingkari kepercayaan lain yang menganggap benar akan agamanya. Maka agama dipercayai sebagai kebenaran bersifat persepsional, bergantung masing-masing penganut terhadap agamanya. Beberapa penuturan lain mengungkapkan, ―Islam itu sempurna sebagai mana dalam al-Qur‘an, sedangkan agama yang lain benar, hanya saja tidak sempurna seperti agama Islam‖.102Dari pernyataan tersebut maka bisa dipahami bahwa agama dalam pandangan siswa dipandang sebagai sebuah kebenaran yang memiliki dua tingkatan yaitu Islam sebagai agama yang memiliki tingkatan sempurna, karena bersumber dari Allah yang secara langsung menghimbau manusia untuk memeluknya sebagaimana dalam al-Qur‘an, dan agama lain di luar Islam dianggap agama yang benar pula, namun kurang sempurna. Hal demikian bisa diartikan siswa mengkategorisasikan akan kebenaran agama, yaitu agama Islam sebagai agama yang benar dan sempurna, dan agama lain sebagai agama yang benar namun tidak sempurna. sebuah ungkapan salah seorang siswa, ―tidak bisa benar atau salah, kalau menilai salah, gimana?‖103. Dari uraian tersebut bisa terlihat bahwa ada sebuah keengganan siswa dalam menyalahkan agama lain di luar Islam, maka dari itulah terlahir sebuah kategorisasi yang menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna dan agama yang lain juga benar tapi kurang sempurna. Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa sebagian siswa tunanetra memahami agama semuanya benar dan agama merekalah yaitu Islam yang paling benar. Namun pemahaman nampak perlu ditelusuri lebih jauh, dengan pertimbangan ada salah seorang siswa yang mengungkapkan dua penuturan yang nampak kontradiktif, sebagai mana ungkapan seorang siswa, ―agama yang lain tidak salah karena memiliki kepercayaan masing-masing, kalau secara Islam, 102 103
Hasi Wawancara dengan Taufiq, Siswa KelasTiga SMA. Hasil Wawancara dengan Firdaus, Siswa Kelas VIIII SMP-LB.
55
mempercayai Tuhan selain Allah itu salah, agama yang lain salah karena memiliki tuhan selain Allah‖104. Dari ungkapan tersebut telihat dua anggapan yang berbeda, pertama, agama yang diluar isalam dianggap benar karena pertimbangan masing-masing pemeluk yang meyakini kebenaran agamanya. hal tersebut menunjukan ada sebuah pertimbangan yang bersifat perspektif yang menampakan adanya sebuah keniscayaan akan keberagamaan yang beragam, masing-masing pemeluk menganggap agamanya yang benar. Namun ada pula sebuah pertimbangan
yang
menyebutkan
bahwa
secara
Islam
yang
mempertuhankan selain Allah itu adalah sebuah kesalahan, dan menyimpulkan bahwa agama yang lain di luar Islam itu dianggap salah karena tidak mempertuhankan Allah. Di sini terlihat ada sebuah pertimbanng perinsipil bahwa sebagai muslim kita wajib menuhankan Allah dan menyalahkan agama yang tidak menuhankan Allah. Jadi siswa memahami agama sebagai sebuah kebenaran didasari atas dua pertimbangan yaitu pertimbangan sosial, yaitu agama sebagai sebuah kepercayaan yang beragam di tengah masyarakat yang masing masing mengklaim agamanya yang benar, maka agama secara sosial tersebut dimaknai sebagai sebuah kebenaran yang bersifat persepsional. Dan agama pun dianggap sebagai sebuah kebenaran berdasarkan pertimbangan prinsip. Maka secara prinsip, seorang muslim harus mentauhidkan Allah, dan mutlak menganggap salah agama yang di luar Islam dengan syarat tidak mengungkapkan secara premanistik melainkan cukup hanya dikalangan muslim. Ada pula siswa yang memberikan pandangan yang berbeda. Yaitu siswa meyakini agama Islam sebagai agama yang dianutnya, serta mengakui kebenaran agama Islam tanpa memperhatikan kebenaran dari agama lainnya. Sebagaimana menurut salah serorang siswa, ―agama saya agama yang paling sempurna, agama lain nocoment‖. Siswa lain menyebutkan ―agama yang lain tidak tahu, tidak 104
Hasil Wawancara denganFirdaus, Siswa Kelas VIIII SMP-LB.
56
mengurusi agama orang, tidak mau tahu benar atau salahnya karena takut diajakin105―. Dari dua pernyataan tersebut nampaklah bahwa ada sebagian siswa yang lebih memilih bersikap ekslusif dalam beragama dan menghindari untuk memperhatikan atau pun bergaul dengan nonmuslim
karena
memiliki
kekhawatiran
akan
terpengaruhi
keberagamaannya dengan agama lainnya. Hal tersebut menunjukkan ada sikap eksklusif yang ditonjolkan oleh sebagian siswa tunanetra, hal demikian dilatarbelakangi oleh adanya sikap prefentif, terhadap agama lainnnya jika melakukan sebuah hubungan baik secara sosial maupun intelektual khawatir akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap keyakinan yang telah dianutnya. Siswa
lain
menyatakan,
―Agama
lain
kalau
menurut
penganutnya benar, kalau menurut saya, cara mereka dibuat-buat jadi salah. Agama Islam mengajarkan sebenar-benarnnya, tidak bid‘ah.106―. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa memang seorang siswa mengakui akan keberagaman dalam beragama, dengan menganggap benar agama secara parsial. Jadi agama diyakini kebenarannya berdasarkan masing-masing penganutnya. Hanya saja, siswa memiliki dasar doktrin keagamaan yang kuat. Di dalam Islam, hanya Allah-lah yang patut disembah, sedangkan agama laani tidak lah menyembah Allah, maka secara prinsip , agama lain dianggap salah. Agama lain dianggap melakukan mengada-ngada, yang artinya menyembah tuhan yang dibuat oleh tangan penganutnya sendiri. Hal demikian lah yang dianggap mengada-ngadakan sesuatu hal yang sepantasnya tidak ada, yang dalam pemahaman siswa menganggapnya sebagai tindakan bid‘ah, yaitu yang menurutnya merupakan sesuatu yang diada-adakan atau dibuat-buat. Ada lagi seorang siswa yang menyatakan, ―agama lain itu salah, karena Tuhan itu satu. Tiada Tuhan Selain Allah. dan orang 105 106
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Naufal, Siswa Kelas XII SMA-LB, Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
57
yang lain itu salah, karena menyembah selain Allah‖.107 Hal demikian menunjukkan sebuah keyakinan yang diungkapkan dengan lebih ekstrim, yang memandang bahwa hanya Islamlah yang benar, dan agama yang lain merupakan sebuah kesesatan. Hal demikian memang sebuah prinsip yang patut dipertimbangkan, menimbang sebuah keyakinan terhadap agama merupakan dasar dari keberagamaan Islam. Bahkan jika kita lengah dengan akidah yang kita miliki, kemungkinan kita akan terjerumus kepada hal yang dianggap menyimpang atau bahkan musyrik dan bisa pula jatuh pada kekafiran diakibatkan kekurang hati-hatian kita dalam memelihara akidah yang kita miliki. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tanggapan siswa tunanetra terhadap keyakinan atas agama yang dianutnya, terdiri dari tiga kategori tanggapan. Yaitu tanggapan pertama dari kelompok siswa yang memahami agama Islam adalah agama yang sempurna. Hal demikian berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap agama di luar Islam yang menurut mereka merupakan sebuah kebenaran pula. Oleh karenanya, semua agama menurut sebagian siswa adalah benar berdasarkan
pertimbangan
bahwa
semua
agama
mengajarkan
kebaikan. Kebaikan dalam pemahaman siswa disamakan dengan sebuah kebenaran, maka dari itu agama yang mengajarkan kebaikan disimpulkan dengan kebenaran maka semua agama mengajarkan kebaikan, artinya semua agama adalah benar. Pendapat tersebut dilatarbelakangidari dua unsur utama yaitu unsure keberagamaan. Yaitu keberagaman dalam beragama merupakan sebuah kenyataan,
yang dalam perinsipnya, semua penganut
mempercayai sekaligus meyakini kebenaran agama masing-masing. Maka dari itu, agama bernilai kebenaran secara personal yang tergantung siapa penganut dari agama tertentu. Kemudian siswa pula merasa enggan untuk menilai benar dan salah agama lain di luar Islam. Hal demikianlah yang menimbulkan sikap apologetic terhadap 107
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
58
pembenaran agama lainnya sehingga timbul lah sebuah pernyataan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna, sedang agama lain kurang atau tidak sesempurna agama Islam. Dari ketiga pertimbangan di atas, sebagian siswa tunanetra memberikan tanggapan terhadap keyakinan dan kebenaran agama yang diyakininya. Kemudian sebagian siswa menangggapi bahwa hanya agama Islamlah yang paling benar, sedangkan agama yang lainnya tidak perlu ditanggapi
apakah
benar
ataukah
salahnya.
Hal
demikian
dilatarbelakangi atas dua hal, yang pertama siswa menanggapi bahwa agamanya yang paling benar karena Islam adalah agamanya sedangkan agama lain tidak perlu dinilai benar atau salah karena bukan agama mereka. Sikap tersebut merupakan sikap eksklusif yang secara prinsip tertutup terhadap ajaran yang lainnya, sehingga siswa tidak perlu menanggapi agama lain di luar Islam. Kemudian siswa merasa khawatir keyakinannnya akan terpengaruhi oleh ajaran lain. Dalam hal ini, sikap siswa pada kelompok ini lebih didasari sikap prefentif, siswa merasa enggan mengenal agama di luar Islam karena mereka khawatir jika mengenal agama di luar Islam akan berpengaruh terhadap keyakinannya, terlebih jika menjalin hubungan dengan penganut agama lainnya akan dicurigai mempengaruhi keyakinannya. Maka sisa pada kelompok kedua ini lebih eksklusif. Adapun katagori ketiga dari tanggapan siswa, yaitu siswa mengakui kebenaran agama lain di luar Islam, hanya saja kebenaran tersebut bukan artinya siswa mengakui kebenaran secara prinsip, melainkan mengetahui keberagaman agama di tengah masyarakat yang menurut masing-masing penganutnya meyakini agama mereka. Namun secara prinsip peribadi, siswa memandang agama yang lain itu salah dikarenakan
secara
konseptual,
keberagaman
di
luar
Islam
bertentangan dennga dengan Islam. b.
Intensitas Mengingat Allah SWT Dari hasil wawancara, semua siswa meyakini kepada Allah dan
59
merasa selalu diawasi. Umumnya siswa beralasan bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan lainnya sehingga siswa merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Seorang siswa menyatakan, ―kalau kita berbuat dosa, kita merasa amal ditulis‖.108 Di sini siswa merasa selalu diawasi oleh Allah berdasarkan perasaan bahwa tindakan keburukan siswa dicatat. Maka darinya siswa telah tumbuh perasaan akan kehadiran Allah.Ada pula siswa lain yang merasa diawasi dengan alasan jika tidak diawasi maka tidak akan ketahuan amal baik dan buruk, jika itu terjadi maka manusia akan berbuat sewenang-wenang109. Pernyataan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang didasari oleh pertimbangan moral dan rasional. Uraian di atas menggambarkan bahwa keberagamaan remaja yang sudah tumbuh kesadaran akan dosa dan pengawasan tuhan mempengaruhi cara pikir siswa terhadap pertimbangan moral siswa , disamlping
pertimbangan
rasionalnya.
Sebagaimana
Menurut
Ramayulis, ―perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi‖.110 Maka di sini menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran dan keberagamaan pada siswa tunanetra tidak jauh berbeda dengan siswa atau remaja pada umumnya. Nilai utama dari beriman kepada Allah adalah seorang muslim bisa menyadari bahwa setiap perbuatan manusia baik dan buruknya akan di minta pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Dari hasil wawancara seluruh siswa meyakini dan menyadari hal demikian. Namun yang lebih penting lagi, ketika timbul kesadaran tersebut, manusia bisa sadar dan senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi hari akhir tersebut, dengan selalu meningkatkan intensitas berbuat baik dan bertaubat atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Diantara sikap menyadari akan pentingnya petaubatan terhadap kesalahan, dalam konteks siswa tunanetra penulis mempertanyakan 108
Hasil Wawancara Dengan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-LB, Hasil Wawancara Dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB, 110 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. Keenam, h. 76. 109
60
mengenai pengalaman atau perbuatan buruk siswa terkhusus dalam berbuat dusta. Dalam hal ini, dari hasil wawancara111, hampir seluruh siswa mengaku bahwa mereka pernah berdusta baik terhadap orang tua mereka, maupun terhadap teman dan orang lainnnya. Siswapun menyadari kesalahan tersebut, sehingga melakukan istigfar, meminta maaf kepada orang yang didustai, serta berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Di sini terlihat telah tumbuhnya kesadaran akan sebuah kesalahan yang akan diminta pertanggungjawaban kelak. dengan melakukan istigfar, siswa memahami bahwa ada kehadiran Allah yang menyaksikan kesalahan yang dilakukannya, serta meminta maaf kepada orang yang didustai, menunjukan siswa sudah menyadari akan hubungan dengan sesama manusia. Siswa lain menyatakan ketika berbuat kesalahan berupa berdusta terhadap orang tua, ia memohon ampun terhadap Allah di dalam shalat wajib dan pernah pula ketika tahajjud.112 Dari uraian tersebut, menunjukkan siswa bukan hanya sekedar menyadari kesadaran akan kesalahannya, melainkan pula telah tumbuh kesadaran bahwa ibadat sebagai sebuah sarana untuk mencurahkan kesalahan dalam sebuah pertaubatan. Hal demikian menjadi gambaran bahwa siswa mulai memahami terhadap fungsi ritual ibadat. Seorang siswa mengaku bahwa dirinya tidak pernah berdusta. Ia menuturkan bahwa dirinya bingung akan dosa yang dilakukannya, dan berpendapat bahwa dalam kesalahan kecil tidak perlu bertaubat. Siswa yang tidak melakukan pertaubatan karena tidak begitu tahu akan kesalaan yang dilakukannya serta menganggap bahwa kesalahan kecil tidak perlu bertaubat, menunjukan seorang siswa kurang menyadari akan sebuah kesalahan yang semestinya menjadi bahan pengingat akan pertanggung jawaban di hari akhir, dan sebagai bentuk penebusannya dengan memohon ampunan terhadap Allah. Disini siswa kurang sadar 111
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21
april, 2016. 112
Hasil Wawancara dengan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-LB,
61
dan kurang memahami bahwa sebesar apapun atau sekecil apapun kesalahan, hendaklah memohon ampun kepada Allah dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa umumnya siswa pernah berdusta, dan sebagian besar siswa sudah memahami kesalahan yang dilakukannya, meski ada siswa yang belum sepenuhnya sadar, namun siswa sudah memahami kesalahan harus meminta ampun kepada Allah dan tidak mengulangi kesalahan tersebut. Serta siswa sudah memahmi bahwa ibadat sebagai sebuah sarana pertaubatan. Adapun siswa yang belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya, serta belum menyadari bahwa ibadah merupakan sbuah sarana dalam pertaubatan, menunjukkan siswa belum menyadari dan memahami akan sebuah kesalahan dan peribadatan sebagai sarana pertaubatan. 2. Aspek Ritualistik (Peribadatan) Siswa Tunanetra a.
Intensitas Shalat Siswa Tunanetra Umumnya,
secara
kognitif,
siswa
mengetahui
perihal
pengetahuan mengenai ibadah shalat baik shalat wajib semisal rangkaian dan do‘a-nya maupun shalat sunnat semisal tahajjud, rowatib, dhuha, istikharah dan lainnya. Namun mengenai intensitas siswa dalam menunaikan ibadah shalat, umumnya siswa menyatakan bahwa mereka terkadang meninggalkan shalat dengan alasan yang beragam. Seorang siswi menyatakan bahwa dirinya suka meningalkan shalat tatkala asyik menonton televisi, serta ketika mengerjakan tugas sekolah. siswa merasa berdosa dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut, namun selalu terulang lagi. Siswi mengetahui bahwa ketika tidak menunaikan shalat akan tidak mendapatkan pahala dan akan masuk neraka, bahkan menyebutnya sebagai kafir. Namun siswa berpendapat bahwa tidak termasuk kafir selama siswa masih menyadari bahwa ketika meningalkan shalat terbesit rasa berdosa. Mengenai keperdulian orang tua terhadap keberagamaan siswi,
62
menurut penuturannya, orang tua pasti mengajak untuk shalat, dan sesekali shalat berjamaah bersama. Menurutnya, ayah selalu shalat berjamaah di masjid, serta orang tua mengajarkan mengaji dan ayah mengajarkan hadis yang sumbernya terdapat dalam kitab ihiya ulumuddin. dan selalu memberikan nasihat perihal keagamaan.113 Uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa pendidikan agama baik secara kognitif maupun terapan yang dilakukan oleh orang tua siswi belum bisa menumbuhkan kesadaran dalam menunaikan kewajiban shalat. di sini siswi belum bisa mempertimbangkan antara keinginan menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolah dengan kewajiban menunaikan ibadah shalat. Maka bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga yang baik belum tentu bisa memberikan pengaruh yang lebih baik untuk perkembangan keberagamaan siswa tunanetra. Seorang siswa menyatakan bahwa dirinya sudah mengetahui rangkaian dan doa shalat wajib, adapun shalat sunnat hanya tahiyyatul masjid yang diketahui. Siswa menyatakan pernah mempelajari hal demikian di mesjid dengan guru ngaji serta belajar sendiri. Siswa menyatakan bahwa jarang shalat, dan jika siswa shalat tatkala semangat untuk shalat, namun ketika malas, siswa meninggalkan shalat. Siswa mengemukakan bahwa bermain game sebagai godaannya serta godaan syetan yang terlalu berat. Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai keinginan siswa untuk selalu menunaikan shalat, siswa menjawab bahwa siswa akan shalat kalau banyak temannya serta mengakui bahwa dirinya sulit untuk rajin menunaikan shalat.114 Dari uraian di atas, menggambarkan bahwa siswa bukan hanya sekedar kurang menyadari tentang kewajiban beragama, melainkan kurang bisa memahami bahwa ajaran agama merupakan pokok kehidupan. Dalam hal ini siswa belum tumbuh kedewasaan beragama, karena jiwa keberagamaaan siswa masih didominasi oleh kesenangan 113 114
Hasil Wawancara dengan Nurul, siswi Kelas VIIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Taufiq siswa Kelas XII SMA-LB,
63
yang kirannya merupakan hal yang kurang urgen dan cenderung kekanak-kanakan. Menurut penuturan siswa, lingkungan keluarga jarang ada yang mengajak untuk shalat, menurutnya semua atas kesadaran masing-mashing anggota keluarga. Siswa menuturkan bahwa ayah terkadang mengajarkan agama jika ada waktu luang.115 Disini bisa dipahami bahwa kondisi siswa yang belum bisa menyadari akan tanggungjawab beragama, serta berada dalam lingkungan keluarga yang kurang memberikan bimbingan agama baik secara kognitif maupun praktik, turut menambah kondisi negetif siswa dalam beragama. Maka jelaslah sifat kekanak-kanakan dalam beragama masih belum bisa berkembang. Siswa lain menuturkan bahwa ketika hendak melaksanakan shalat tahiyyatul masjid karena melihat orang lain berdiri menunaikan shalat sunnat tahiyatul masjid, siswa pun lekas menunaikannya karena melihat orang lain tersebut. Siswa pun menuturkan bahwa dirinya tadi pagi tidak menunaikan shalat subuh karena malas bangun, siswa beralasan sudah terlambat karena sudah siang, kemudian hal demikian dikarenakan hilap. siswa menyatakan bahwa dirinya tinggal bersama orang tua, Namun orang tua tidak memberikan contoh untuk selalu shalat di mesjid.116 Uraian di atas bisa dikatakan bahwa siswa yang menunaikan shalat sunnat karena melihat orang lain yang menunaikan shalat sunnat, menunjukkan bahwa jiwa keberagamaan siswa masih didasari oleh tindakan reflektif. Artinya keberagamaan siswa bukan didasari oleh kesadaran peribadi melainkan mengikuti orang lain disekitarnya. Hal demikian menunjukan keberagamaan siswa didasari oleh sikap meniru, sebagaimana keberagamaan pada masa kanak-kanak. Serta siswa tidak menunaikan shalat subuh karena malas bangun pagi, menunjukan belum sadarnya akan tanggungjawab beragama serta menjadikan waktu siangan sebagai alasan, artinya siswa belum 115 116
Hasil Wawancara dengan Taufiq Kelas XII SMA-LB, Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB.
64
mengerti bahwa shalat kalau memang tidak disengaja, maka mendirikan shalat subuh dan lainnya bisa ditunaikan di waktu ketika seorang menyadari dari kehilafan yang tidak disengaja. Peranan orang tua yang kurang member contoh langsung dalam menunaikan shalat, turut memberikan pengaruh kurang baik kepada siswa, kareana sepantasnya orang tua secara langsung mengajak dan memberikan bimbingan anaknya untuk menunaikan perintah agama, bukan hanya sekedar menyuruh saja tanpa ada tindakan praktis dalam memberi teladan pada anaknya.saja. Ada pula siswa yang menyatakan mengetahui jenis-jenis shalat sunnat dan siswa menunaikan bukan hanya ibadah wajib melainkan pula menunaikan ibadat sunnat di dekat masjid dekat rumah siswa. siswa menuturkan tindakan tersebut didasari atas inisiatif sendiri, serta ingin memperbaiki diri sendiri setelah sebelumnya siswa merasa banyak dosa, siswa pun mengakui bahwa dirinya tidak pernah meninggalkan shalat. Menurut penuturannya, siswa tinggal bersama kakak, dan tersering siswa tinggal di rumah sendiri karena ada suatu hal yang mengharuskan siswa tidak bersama saudara. Orang tua tinggal di kampung.117 Di sini bisa kita pahami bahwa siswa telah menyadari akan tanggung jawab beragama, serta telah memahami akan sebua tindakan keagamaan, yakni siswa sudah menyadari akan adanya kesalahan dan dosa, serta usaha untuk memperbaiki diri dalam menyikapi kesalahan tersebut dengan menjadikan perilaku beragama sebagi jalan untuk memperbaiki diri. Dan perlu dipahami juga, bahwa pendidikan dan bimbingan dari orang tua tidak selamanya menjadi patokan dalam membentuk kedewasaan siswa dalam beragama. Siswa secara individual bisa membangun kesadaran tersebut secara mandiri. Namun siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangat jarang sekali, oleh karena itu, mayoritas siswa masih belum bisa sadar akan tangung 117
Hasil Wawancara dengan Nurul Hakim Siswa Kelas XII SMA-LB,
65
jawab beragama serta belum tumbuhnya kedewasaan dalam beragama. Menurut keterangan dari guru agama SMA-LB, penyebab siswa berani untuk meninggalkan shalat karena ada contoh kurang baik dari orang tua siswa yang tidak shalat. Sebagaimana pernah dipertanyakan alasan siswa tidak shalat, siswa menjawab bahwa orang tuanya pun tidak melaksanakan shalat, dan terjadi ketidakseimbangan antara penanaman keberagamaan berupa pembiasaan shalat di sekolah, tanpa mendapat dukungan dari orang tua yang tidak memberikan bimbingan pada siswa dalam melaksanakan shalat.118 Jadi peranan orang tua sangat besar terhadap intensitas siswa dalam mengerjakan shalat, meskipun di sekolah diajarkan dan bimbingan mengenai keberagamaan, namun bila orang tua kurang mendukung proses pembiasaan di rumah, maka hasilnya kurang maksimal. Sebagaimana Maksum menambahkan, ―sikap itu terlihat di rumah, guru hanya menanamkan saja, pengetahuan, aplikasinya di rumah‖.119 Jadi bisa disimpulkan bahwa umumnya siswa tunanetra mempunyai keberanian untuk meninggalkan shalat. Siswa dalam melalaikan perintah agama dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu kurangnya pengetahuan siswa terhadap agama menjadikan siswa berani
meninggalkan
shalat,
serta belum
tumbuhnya kondisi
kedewasaan serta kesadaran akan kebutuhan siswa dalam beragama serta masih adanya sifat kekanak-kanakan dalam beragama. Adapun siswa yang telah menyadari akan tanggung jawab beragama, serta telah memahami akan sebuah tindakan keagamaan, yakni siswa sudah menyadari akan adanya kesalahan dan dosa, serta usaha untuk memperbaiki diri dalam menyikapi kesalahan tersebut dengan menjadikan perilaku beragama sebagai jalan untuk memperbaiki diri. Siswa secara individual bisa membangun kesadaran tersebut secara
118
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 119
Mei, 2016.
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
66
mandiri. Namun siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangant jarang sekali, oleh karena itu , mayoritas siswa masih melalaikan shalat. Adapun mengenai peranan keluarga, semua siswa mengakui bahwa orang tua mereka senantiasa mengajak, namun bila dilihat secara lebih lanjut, orang tua siswa yang kurang memperhatikan ketaatan beragama siswa, ataupun orang tua yang hanya sekedar menyuruh untuk shalat saja, tanpa memberikan contoh langsung untuk menunaikan shalat, turut mempengaruhi kondisi keberagamaan siswa yang masih kekanak-kanakan menjadi semakin sulit berkembang menuju kedewasaan beragama. Dan perlu dipahami juga, bahwa pendidikan dan bimbingan dari orang tua tidak selamanya menjadi patokan dalam membentuk kedewasaan siswa dalam beragama. Siswa secara individual bisa membangun kesadaran tersebut secara mandiri. Namun siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangat jarang sekali. b.
Intensitas Puasa Siswa Tunanetra Pada siswa tunanetra, bisa dikatakan semua informan yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka selalu menunaikan ibadah puasa dengan tidak batal saat berpuasa. Artinya semua siswa tunanetra selalu berpuasa dan jarang atau tidak ada yang batal ketika dibulan ramadhan, sampai idul fitri, kecuali siswi yang ada halangan untuk menunaikan puasa. Seorang siswa menyatakan senang menunaikan puasa, selain itu, puasa menurut pengetahuan siswa terkandung banyak hikmah untuk mengampuni dosa. Siswa lain menyatakan selalu berpuasa karena sudah terbiasa diajarkan orang tua sedari kecil, walau ketika sakit, siswa tetap berusaha menunaikan ibadah puasa. Siswa lain menyatakan bahwa puasa merupakan sebuah kewajiban, maka siswa senantiasa menunaikannya dan berusaha terhindar dari batal. Sedangkan siswa lain menyatakan bahwea siswa senantiasa berpuasa tanpa batal karena malas mengkadha.120
120
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas XII SMA-LB,
67
Dari uraian diatas bisa dinyatakan bahwa semua siswa senantiasa menunaikan puasa dengan beberapaalasan yaitu, dasar pertama siswa menunaikan puasa karena merasa senang dan menyadari ada banyak hikmah yang terkandung di dalamnya terutama dalam mengampluni dosa. Di sini siswa didasari atas rasa penerimaan yang baik karena merasa senang, serta kesadaran akan nilai puasa yang memiliki berbagai hikmah. Kemudian siswa yang menyatakan senantiasa berpuasa sedari kecil, walau sakit sekalipun, menunjukkan bahwa puasa siswa didasari oleh sbuah pembiasaan yang membentuk sebuah akhlak siswa. kemudian siswa yang menyatakan puasa merupakan kewajiban adalah siswa yang berpuasa didasari oleh rasa kesadaran akan perintah agama, yang jika siswa melanggarnya akan mendapat konsekuensi yang dinilai kurang menguntungkan secara religius. Dan siswa yang menyatakan malas mengqadha, menunjukkan dasar puasa siswa dikarenakan sebuah tuntutan bahwa puasa merupakan sebuah kewajiban yang jika meninggalkannya akan mendapat konsekuensi yang membuat siswa berat hati. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa semua siswa tunanetra senantiasa menunaikan puasa di bulan ramadhan, tanpa ada yang batal. Hal demikian didasari atas beberapa alasan, yang didasari atas empat alasan, yaitu dasar penerimaan, dasar kebisaaan, dasar kewajiban atau kesadaran beragama, dan dasar tuntutan atau keterpaksaan. Ada yang menarik jika kita bandingkan antara peribadatan puasa dan peribadatan shalat pada siswa tunanetra. Dalam da ibadah puasa seluruh siswa menunaikan ibadah puasa, sekalipun dalam keadaan sakit. Sedangkan pada ibadah shalat hamper seluruh siswa memiliki keberanian untuk meninggalkan shalat, walau kedua ibadat tersebut memiliki hukum yang sama. Sebagaimana pengakuan siswa yang senantiasa menunaikan puasa dengan alasan bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang paling
68
istimewa, dalam setahun dilaksanakan sekali dalam arti sebulan saja.121 Maka dari itu semarak ramadhan dengan segala keistimewaan dan uforia di dalamnya turut mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa tunanetra. dengan ibadah puasa yang ditunaikan selama sebulan itu memiliki kesan beda pada siswa, sehingga menumbuhkan gairah keberagamaan siswa. Berbeda dengan ibadah shalat yang setiap hari tidak pernah terlewatkan, siswa tidak begitu menganggapnya istimewa, dan siswa berani untuk meninggalkannya. c.
Intensitas Membaca al-Qur‘an Beriman kepada kitabullah terutama al-Qur‘an merupakan sebuah rukun iman yang muthlak diimani. Semua siswa menyatakan bahwa dirinya beriman kepada kitabullah dan mengetahui empat kitab yang mesti diketahui, terutama al-Qur‘an. Semua siswa tunanetra mengimani karena al-Qur‘an adalah kitab suci agama Islam. Di sini, dalam mengukur tingkat kesadaran siswa terhadap al-Qur‘an, akan terlihat dari intensitasnya dalam membaca al-Qur‘an. Seorang Siswi menyatakan setiap hari membaca al-Qur‘an selepas maghrib, baik membaca sendiri, maupun didampingi oleh bapak. Siswa lain menyatakan sekali setiap malam jum‘at saja. Sedangkan siswa lainnya membaca al-Qur‘an di masjid bersama orang lain.122 Dari uraian diatas menggambarkan bahwa intensitas siswa dalam membaca Al-Qur‘an terbagi atas dua kaagori, yaitu siswa yang belum rutin dan siswa yagn sudah rutin dalam membaca al-Qur‘an. yang hanya membaca sekali setiap malam jum‘at saja, menunjukkan bahwa kesadaran siswa dalam membaca kitab suci masih terpengaruh oleh momentum tertentu dan menunjukkan bahwa kesadaran siswa dalam membaca al-Qur‘an masih dipengaruhi oleh uforia lingkungan. Adapun siswa sudah terbiasa membaca al-Qur‘an setiap hari baik belajar dirumah didampingi orang tua, maupun di mesjid. demikian
121 122
Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas XSMA-LB, Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB,
69
menunjukan intensitas membaca al-Quran siswa belum menjadi rutinitas, dan motivasi membaca masih dipengaruhi oleh pendidikan di dalam rumah trutama orang tua, serta lingkungan sekitar. 3. Aspek Eksperenensial (Penghayatan) Peribadatan Siswa Tunanetra a. Nilai Penghayatan dalam Ibadah Shalat Meskipun mayoritas siswa melalaikan shalat, namun seorang remaja yang telah mengalami perkembangan pola pikir dan perasaanya, perlu kita lihat sejauh mana penghayatan siswa terhadap shalat yang ditunaikannya. Dari semua informan yang diwawancara, hampir semua siswa menyatakan bahwa ketika menunaikan shalat dan setelah menunaikannya, siswa merasakan ketenangan batin. Seorang siswi menyatakan ketika shalat hati merasa lebih tenang, serta jika ada masalah merasa ada Allah SWT yang mengatur dan memberikan jalan keluar atas kesukaran yang dihadapi. Siswa lain menyatkan ketika shalat hati merasa tenang, yang sebelumnya marah menjadi reda atau lebih tenang. Bahkan siswa lainnya mengaku air mata sampai menetes karena takut terhadap Allah, iman, ketakwaan bertambah, sehingga kekhusyuan pun bertambah.123 Jadi dari penuturan diatas bisa disimpulkan bahwa umumnya siswa sudah bisa menghayati shalat, sehingga berdampak pada suasana batin yang jauh lebih tenang. Siswa pun menyadari akan penghayatan shalat serta dampak shalat akan bertambahnya keimanan dan ketakwaan. Hanya saja perlu kita ketahui bahwa bahasa keimanan dan ketakwaan pada siswa tunanetra kirannya bisa kita pahami sebagai sebuah rasa ketenangan beragama serta rasa kehadiran Allah di dalam shalat yang ditunaikannya. Karena memang sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas siswa dalam waktu tertentu terkadang meninggalkan shalat. Namun tidak semua siswa bisa merasakan shalat, seorang siswa menuturkan bahwa ketika shalat tidak mersakan apapun, 123
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB.
70
siswa tidak beidssa menuturkan secara lebih jauh.124 Disini bisa dikatakan bahwa tidak semua siswa bisa menghayati shalat, ada sebagian kecil siswa yang masih belum bisa merasakan kenikmatan batin ketika atau setelah menunaikan shalat. Namun sedikitnya siswa yang belum bisa menghayati shalat, dan lebih banyak siswa yang bisa merasakan ketenangan dalam shalat, menunjukkan bahwa siswa tunanetra sudah tumbuh rasa penghayatan terhadap spritual shalat yang ditunaikannya. Jadi umumnya siswa sudah bisa mengahayati shalat, sehingga berdampak pada suasana batin yang jauh lebih tenang. Siswa pun menyadari akan penghayatan shalat serta dampak shalat akan bertambahnya keimanan dan ketakwaan. Hanya saja perlu kita ketahui bahwa bahasa keimanan dan ketakwaan pada siswa tunanetra kirannya bisa kita pahami sebagai sebuah rasa ketenangan beragama serta rasa kehadiran Allah di dalam hidupnya. Karena memang sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas siswa dalam waktu tertentu terkadang meninggalkan shalat. tidak semua siswa bisa menghayati shalat, ada sebagian kecil siswa yang masih belum bisa merasakan kenikmatan batin ketika atau setelah menuanaikan shalat. Namun sedikitnya siswa yang belum bisa menghayati shalat, dan lebih banyak siswa yang bisa merasakan ketenangan dalam shalat, menunjukkan bahwa siswa tunanetra sudah tumbuh rasa penghayatan terhada peribadatan yabng dituanaikannnya. b. Nilai Penghayatan Ibadah Puasa Siswa Tunanetra Sebagian siswa Tunanetra belum bisa menghayati peribadatan puasa yang dijalankannya. Adapun alasan siswa mengemukakan bahwa mereka tidak merasakan apapun kecuali lapar dan ingin makan, ataupun mengisi puasa dengan tertidur supaya lebih tidak terasa menuju waktu puasa. Seorang siswa mengungkapkan bahwa ketika puasa terasa enak 124
Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
71
dan tidak lapar, siswa senantiasa beribadah semisal shalat, baca Qur‘an, tadarus dibimbing oleh ustadz. Ketika lebih lanjut ditanyakan, siswa menjawab tidak mengetahui kenapa siswa memperbanyak ibadah. Sedangkan alasan siswa beribadah menurut penuturannya adalah pahala puasa yang banyak.125 Di sini ada dua ungkapan yang nampak kontradiksi yang menjadi catatan, yaitu siswa tidak mengetahui alasan dalam mengisi kegiatan di bulan ramadhan, namun menuturkan ada pahala yang banyak di bulan tersebut. Hal tersebut menunjukkan siswa tidak memahami maksud dan tujuan dari kegiatan peribadatan yang dilakukannya dalam mengisi bulan ramadhan. siswa pun kurang memahami maksud dari melimpahnya pahala di bulan ramadhan. artinya, melimpahnya pahala di bulan ramadhan hanya sebatas pengetahuan siswa, namun belum tumbuh penghayatan akan hal tersebut. Kemudian siswa tidak mersa lapar dan enak ketika berpuasa, menunjukkan bahwa lapar atau nikmatnya berpuasa secara fisik bukan merupakan dasar utama penghayatan dalam berpuasa. Serta banyaknya kegiatan positif yagn dilakukan siswa bukan cerminan dari tingginya penghayatan terhadap ibadah puasa yang dijalani. Namun siswa senantiasa berpuasa menunjukkan nilai penghayatan yang kurang tidak berpengaruh terhadap rendahnya intensitas peribadatan puasa siswa. Adapun siswa yang nampak menghayati ibadah puasa, umumnya menyatakan bahwa menjalani ibadah puasa dengan menerima peribadatan untuk memenuhi rukun iman yang ketiga. serta sadar untuk mengisi kebaikan dengan menuntut ilmu. Seorang siswa menyatakan ―tidak mengeluh, cukup jalani saja, harus belajar dan mengisi waktu dengan kebaikan. Siapa yang melakukan kebaikan, dibalas sepluluh kebaikan pahala‖.126 Dari uraian di atas terlihat Siswa dalam menjalankan puasa dibarengi dengan 125
Hasil Wawancara dengan Ibrohim Kelas VIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIISMP—LB,
126
72
ketulusan hati, di sini bisa dikatakan bahwa ketulusan beribadah merupakan dasar utama penghayatan ibadah puasa. Siswa pun menyadari akan tindakan yang baik akan memperoleh pahala yang banyak. Maka bisa dipahami bahwa pengetahuan siswa terhadap ibadah puasa cukup baik, serta memberikan pengaruh positif terhadap motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa. Jadi bisa disimpulkan bahwa Sebagian siswa tunanetra belum tumbuh
penghayatan
terhadap
ibadat
puasa.
Adapun
istilah
melimpahnya pahala di bulan ramadhan hanya sebatas pengetahuan siswa, namun belum tumbuh penghayatan akan hal tersebut. Kemudian rasa lapar atau nikmatnya berpuasa secara fisik bukan merupakan dasar utama penghayatan dalam berpuasa. Serta banyaknya kegiatan positif yang dilakukan siswa bukan cerminan dari tingginya penghayatan terhadap ibadah puasa yang dijalani. Maka nilai penghayatan yang kurang tidak berpengaruh terhadap rendahnya intensitas peribadatan puasa siswa tunanetra. adapun siswa yang telah tumbuh nilai penghayatan dalam berpuasa, dilatarbelakangi oleh dua hal yang mendasari penghayatan siswa, yaitu ketulusan beribadah merupakan dasar utama penghayatan ibadah puasa siswa tunanetra. serta pengetahuan siswa akan peribadatan puasa yagn baik, memberikan pengaruh positif terhadap motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa. 4. Dimensi Konsekuensial (Akhlak) Siswa Tunanetra a. Nilai Rasa Menerima dan Intensitas Syukur Siswa Tunanetra Nilai Imaniah kepada Allah, bukan hanya sekedar berkenaan dengan intensitas dalam mengingat-Nya saja, melainkan terkait pula dengan sikap kemanusiaan yang tercermin dalam keseharian. Seorang yang beriman kepada Allah akan menganggap bahwa Allah hadir dalam setiap kehidupanya, oleh karena itu, kehidupan manusia baik dan buruknya akan selalu dikaitkan dengan Allah Swt. Dalam hal ini, beriman kepada Allah terkait pula dengan beriman kepada Takdir Allah yang tercermin dari interaksi hamba melalui do‘a yang
73
dilakukannya. Dalam menyadari akan takdir Allah, semua siswa tunanetra mengakui bahwa setiap kehidupan mereka baik dan buruknya merupakan kehendak Allah Swt. Hal demikian menunjukan bahwa beriman kepada Allah akan berkaitan dengan beriman terhadap Takdir Allah SWT. Sebagai sebuah bukti atas keyakinan terhadap takdir tersebut, akan tercermin dari rasa menerima terhadap segala sesuatu yang dialami siswa dalam kehidupannya, terlepas dari baik dan buruknya pengalaman atau peristiwa kehidupan tersebut. Pada siswa Tunanetra, rasa menerima tersebut ditanggapi atas dua hal, yaitu siswa yang merasa dirinya menerima akan ketetapan Allah, dan Siswa yang merasa kurang dengan apa yang ditetapkan Allah. Seorang siswi menuturkan bersyukur kepada Allah Swt, karena telah memberikan nikmat
dan
sebagai
bentuk
ekspresi
syukur
tersebut,
siswi
mengucapkan hamdallah dan berdoa dengan bahasa sendiri disela rasa syukur tersebut127 Seorang siswi tersebut telah menyadari akan pentingnya rasa syukur terhadap kondisi yang dialaminya. Siswi pun menyadari akan ekspresi syukur dengan mengucapkan hamdalah serta melantunkan doa dengan bahasa sendiri. Dari uraian tersebut, sikap menerima siswa tercermin bahwa siswa merasa bersyukur terhadap Allah karena merasa telah diberikan nikmat yang berlimpah, sehingga serta merta mengungkapkan rasa syukur dengan berdoa dan hamdalah. Sikap tersebut, menggambarkan memang telah menyadari bahwa manusia seharusnya bersyukur dan menerima segala hal dengan penuh kesadaran. Adapula siswa yang mengaku ketika jengkel, siswa tidak bersyukur, namun tetap mengakui akan nikmat nafas, kesehatan, rizki, dan makanan.128 Hal demikian menunjukkan bahwa rasa menerima terhadap takdir Allah masih dipengaruhi oleh kondisi emosional yang 127 128
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan David, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
74
berdampak pada kurang menyadari akan kewajiban manusia dalam mensyukuri nikmat Allah. Di sini terlihat bahwa kondisi emosional atau perasaan berpengaruh terhadap jiwa keberagamaan seorang remaja. Dan siswa lainya menyatakan jarang bersyukur karena menurut siswa manusia selalu menginginkan lebih dan tidak merasa cukup dngan apa yang dimilikinya. Siswa mengakui dirinya tidak bahagia, dan menyatakan jika bahagia maka siswa akan bersyukur, siswa pun berpendapat bahwa manusia tidak luput dari kesalahan.129 darinya menunjukkan bahwa sikap menerima siswa terhadap takdir Allah dipengaruhi oleh sebuah anggapan bahwa manusia itu selalu merasa enggan untuk menerima pemberian yang telah ditetapkan Allah, serta anggapan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Kedua fram tersebut merupakan unkapan yang sering terdengar di masyarakat, yang membentuk pola pikir siswa dan berpengaruh pada jiwa keberagamaan. Hal demikian menunjukkan bahwa sikap menerima siswa lebih di dasari oleh sebuah paradigma atas berbagai fram yang mempengaruhi cara pandang siswa sehingga berdampak pada kurangnnya rasa syukur terhadap apa yang diberikan Allah SWT. Siswa pun terlihat lebih pragmatis dalam beragama, dalam arti siswa akan merasa bersyukur jika batin siswa merasa bahagia. Jadi bisa disimpulkan bahwa sebagian siswa telah tumbuh kesadaran akan besarnya nikmat yang telah dianugerahkan Allah, sehingga siswa bersyukur terhadap nikmat yang dirasakannya. Ada pula siswa yang jarang bersyukur dengan didasari dua hal, yaitu kondisi perasaan dan emosional siswa. siswa akan bersyukur ketika batinnya merasa senang, dan kondisi lingkungan atau adanya suatu anggapan tertentu di dalam masyarakat yang mempengaruhi pola fikir siswa, sehingga berdampak pada kurangnya rasa menerima dan 129
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB, pada Hari Senin tanggal 4 April 2016.
75
mensyukuri nikmat Allah SWT. Di sini jiwa keberagamaan siswa lebih labil dan pragmatis dalam arti agama akan diterima jika ada kesesuaian dengan kondisi kejiwaan siswa. Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa pada remaja telah tumbuh kesadaran beragama, namun masih dipengaruhi oleh kondisi emosional dan perasaan serta berbagai paradigma umum yang turut mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa. sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. 130 b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra Salah satu sasaran pendidikan agama pada SLB adalah untuk membentuk rasa percaya diri siswa melalui
pembelajaran Tauhid.
Karena agama yang paling sesuai untuk disabilitas adalah agama Islam. Karena memberikan bimbingan bukan hanya di dunia melainkan akhirat. Kemudian di dalam Islam Tidak ada marjinalisasi terhadap disabilitas, Sebagai bukti adanya Surat Abasa yang memberikan teguran bagi Nabi. Ada tiga nilai pada surat abasa, yaitu bahwasannya seorang tunanetra ―disucikan‖, dan disarankan untuk percaya diri, Kemudian Hal demikian menunjukkan sebuah himbauan untuk adanya pendidikan luar biasa.131,
maka dari itu, pada poin
bagian ini penulis akan merangkai pembahasan do‘a dengan nilai keimanan siswa. Nilai beriman kepada takdir Allah adalah senantiasa menerima segala bentuk pemberian-Nya baik yang diharapkan maupun yang 130
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005), h. 75. Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,
131
76
kurang diharapkan. Mengenai hal demikian, hampir seluruh siswa tunanetra mengakui bahwa mereka merasa minder dengan kondisi yang mereka alami. Siswa merasa iri dengan orang lain yang lebih sempurna daripada yang mereka alami. Hal demikian menunjukan ketunanetraan berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa. Seorang siswa mengakui bahwa dirinya merasa minder karena ada orang lain yang memberikan ejekan terhadap kondisi yang dialami siswa. lalu ada Siswa lain merasa minder walau tidak ada orang disekitarnya yang mencela, dan siswa lainnya merasa minder karena merasa takut ada orang yang mengejeknya. Namun ada siswa yang mengakui bahwa dirinya tidak merasa minder karena sekitar siswa tersebut dinilai baik dan tidak ada yang mempermasalahkan kondisi siswa.132 Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu kondisi emosional siswa
yang
belum
bisa
menerima
sepenuhnya
terhadap
ketunanetraaannya, serta kondisi lingkungan yang kurang baik menjadi faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri siswa, dan siswa yang kurang percaya diri karena khawatir akan ada yang memberikan tanggapan buruk terhadapnya menunjukan bahwa, persepsi negative siswa terhadap lingkungann siswa pun turut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri siswa. Sebagian kecil siswa merasa tidak minder dengan kondisi ketunanetraan yang dialami. Menurut salah seorang siswa, ―kita makhluk sosial, karena kita hidup berpasang-pasangan bersama orang (interaksi).133 Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pemahaman siswa terhadap kepentingan sosial akan berpengaruh terhadap persepsi positif siswa akan lingkungannya. Dengan demikian siswa merasa tidak minder dan lebih memilih untuk melakukan tindakan interaktif sebagai makhluk yang dihadapkan pada realitas sosial. 132 133
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
77
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Sebagian besar siswa tunanetra merasa minder dengan ketunanetraan yang mereka alami. Hal demikian dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, rasa penerimaan yang kurang terhadap ketunanetraan yang dialami, kondisi lingkungan yang memberikan tanggapan buruk terhadap ketunanetraan siswa, dan persepsi negatif siswa terhadap lingkungannya turut mempengaruhi kepercayaan diri siswa. adapun sebagian kecil siswa yang tidak minder dipengaruhi pemahaman siswa akan pentingnya interaksi sosial, yang menumbuhkan persepsi positif siswa terhadap lingkungannnya. c. Nilai Solidaritas Sosial Siswa Tunanetra Nilai utama Puasa dan zakat adalah timbulnya keperdulian kepadasesama, Pada siswa tunanetra. Dari hasil wawancara, semua siswa tunanetra menyampaikan bahwa mereka pernah menolong, dan yagn palng umum siswa memberikan pertolongan tidak jauh dari kemampuan atau kondisi kesanggupan siswa. semisal berupa membantu untuk menuntun atau menyebrang tunanetra lainnya yaitu sisswa tunanetra tidak total membantu tunanetra total. Ataupun dengan memberi pinjam alat tulis khusus tunanetra yaitu riglet. Artinya tolong-menolong pada konteks siswa tunanetra adalah tidak terlepas dari kondisi atau kapasitas kemampuan siswa. Seorang siswi menyatakan, ―harus saling tolong-menolong dan menolong orang dapat pahala‖.
134
Di sini terlihat dua alasan siswi,
yaitu keharusan akan tolong-menolong, menunjukkan ada kesadaran kemanusiaan yang menarik siswa untuk memberikan pertolongan terhadap sesama. Kemudian hasrat ingin mendapatkan pahala, menunjukkan
tindakan
menolong
siswa
dilandasi
hasrat
keberagamaan. Seorang Siswa mengemukakan sebuah hadis, ―barang siapa yang menghilangkan kesusahan orang satu kesusahan di bumi,
134
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB,
78
maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan di hari kiamat.135 Dari uraian tersebut bisa terlihat dasar pengetahuan ajaran isalm yang kental pada siswa. di sini menunjukkan bahwa tolong-menolong siswa telah didasari oleh nilai keagamaan. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa, semua siswa memiliki rasa keperdulian terhadap sesama, terutama dengan sesama siswa tunanetra atau satu kondisi. Dan yang mendasari hal demikian atas dua alasan yaitu, dasar kemanusiaan. seorang siswa menolong sesama didasari atas kepedulian sosial. Kemudian dasar agama. Yaitu siswa menolong sesama didasari oleh adanya ganjaran yang baik atas perbuatan yang telah dilakukannya. d. Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra Nilai lain muamalah bagi siswa adalah mengenai cara berpakaian siswa. dalam hal ini seorang muslim hendaknya mengetahui batasan aurat dan cara berpakaian yang bisa menjaga aurat tersebut. Pada hasil wawancara136 seluruh sisswa umumya mengetahui bahwa seorang muslim harus menutup aurat. Namun mengenai batasan aurat tersebut, tidak seluruh siswa mengetahui, umumnya siswa hanya mengeatahui batasan aurat perempuan, sedangkan mengenai batasan aurat laki-laki kurang begitu mengetahui secara utuh. Adapun secara peraktis, nilai estetika siswi bisa terlihat dari jumlah siswi yang memakai jilbab atau memakai pakaian tertutup. Adapun nilai estetika siswi tidak ada yang harus dipermasalahkan. Dari pengamatan penulis137 semua siswi SMP dan SMA, tidak ada yang memakai jilbab. Penulis hanya mendapati siswi yang memakai jilbab hanya seorang dan kurang begitu mengingat apakah ada lagi siswi SD lain yang memakai jilbab. hal demikian menunjukkan tingkat permasalahan ketaatan siswi dalam menutup aurat yang tinggi. Seorang siswi menuturkan bahwa belum siap menutup aurat, 135
Hasil Wawancara dengan Alfathulloh, Siswa Kelas VIIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, Pada Tanggal, 1-21 April 2016. 137 Hasil Catatan Lapangan, dari bulan September-bulan desember 2015. 136
79
dan siswi akan menutup aurat ketika sudah masuk jenjang SMA. Siswi menyadari akan dosa, dan ibu dari siswi tersebut menutup aurat. 138 Di sini kita bisa memahami bahwa seorang siswi sudah menyadari akan kesalahannya namun belum memahami akan kewajibannya dalam menutup aurat. Siswi lain menyatakan bahwa menutup aurat merupakan cara berpakaian yang sepantasnya, sedangkan orang tua sudah mengajarkan dan menghimbau untuk mamakai jilbab. Siswi beralasan belum siap dan berkeyakinan jika berlum siap akan mendapatkan dosa pula, dan ia menyatakan aka nada waktunya untuk berjilbab.139
Siswi telah
mengetahui akan manfaat dan nilai dari pada menutup aurat, dan tentu belum bisa menyadari akan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan. Namun ada cara pandang yang perlu diluruskan, bahwa siswi berpendapat akan mendapat dosa jika memakai jilbab dengan setengah hati. Pendapat demikian tentu sulit dicari dasarnya, dan bisa dikatakan bahwa siswi memiliki cara pandang yang salah dalam jilbab. Adapun orang tua yang sudah mengajarkan dan menghimbau untuk memakai jilbab, menunjukkan siswi bukan hanya tidak patuh terhadap menutup aurat, malainkan juga kurang mematuhi nasihat orang tua. Di sini, yang menjadi masalah bukan pendidikan keluarga, sikap siswi yang belum bisa memahami akan pentingnya menutup aurat dan mematuhi nasihat orang tua. Siswi lain mengemukakan bahwa dirinya lupa akan batasan aurat, dan tidak memakai . Kakak siswi pun tidak memakai kerudung.140 Dengan mengakui siswi tidak begitu mengetahui akan batasan aurat, tentu kita perlu meninjau secara seksama. Siswi tidak menggunakan jilbab dan menuturkan kakak siswi pun tidak memakai jilbab. Di sini seorang siswi tinggal bersama kakaknya, yang tidak 138
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB, 140 Hasil Wawancara dengan Tiwi, Siswi Kelas XI SMA-LB, 139
80
memakai jilbab. Bisa kita pahami bahwa lingkungan keluarga siswi bukan termasuk dalam lingkungan yang mendukung akan menutup aurat. Hal demikian linear dengan pengetahuan siswi yang minim tentang batasan aurat. Maka bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga yang kurang mendukung akan jilbab, turut bepengaruh terhadap ketaatan siswi terhadap menutup aurat. Mengacu pada penuturan salah satu guru agama, bahwa sekolah tidak memiliki peraturan untuk mewajibkan untuk menutup aurat. Gurunya menegaskan bahwa hal dimikian merupakan urusan masing-masing, dan Guru pun menambahkan perlu ada kerajasama dengan orang tua, karena jangankan siswi yang memakai jlbab, orang tua nya pun belum bisa memberi contoh untuk memakai jilbab.141 Di sini bisa terlihat bahwa sekolah yang negeri yang bukan secara khusus sebagai sekolah Islam, tidak bisa memberikan pengaruh secara langusung secara langsung terhadap menanamkan ketaatan siswi dalam menutup aurat. Hanya saja, pada catatan penulis, ditemui siswi yang memakai jilbab pada hari jum‘at karena ada kegiatan keagamaan. Hal demikian menunjukkan siswi hanya memakai jilbab pada momen tertentu terkait kegiatan keagamaan sekolah. artinya, sekolah hanya mendidik secara simbolik tanpa memberian penanaman secara praktik. Jadi penulis bisa menyimpullkan bahwa SLB A Pembina Tingkat Nasional tidak bisa memberikan pengaruh langsung dalam membentuk
ketaatan
siswa
untuk
menutup
aurat,
melainkan
lingkungan keluarga yang dinilai bisa memberikan pengaruh terhadap ketaatan dalam menutup aurat. Adapun semua siswa tunanetra menyadari akan kewajiban untuk menutup aurat, namun secara kongnitif, umumnya siswa tidak mengetahui batasan rinci tentang menutup aurat. Dan semua siswi SMP-LB dan SMA-LB, tidak 141
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Pada Tanggal 27 April, 2016.
81
menutup aurat dengan beberapa faktor yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai menutup aurat, kurangnya ketaatan siswa terhadap nasihat orang tua untuk menutup aurat, dan lingkungan keluarga yang kurang ―mendukung‖ jilbab. e. Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis Selain menutup aurat, seorang muslimpun dituntut untuk menjagabatasan wawancara
142
antara
lai-laki
dan
perempuan.
Dari
hasil
seluruh informan menyatakan bahwa menjaga batasan
merupakan sebuah kewajiban bahkan siswa mengetahui bahwa hukum dasar bersentuhan antara lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram. Namun secara peraktis, ada beberapa informan yang secara kognitif mengetahui akan batasan namun secara praktis siswa melanggarnya. Seorang siswa menyatakan bahwa pernah melakukan pegangan tangan dengan bukan muhrim saat berjalan dengan pacarnya. Siswa menyadari akan larangan agama, namun siswa memandang bahwa pada remaja memegang tangan saja dianggap tidak bermasalah. Siswa lain menuturkan, bahwa dirinya tidak pernah bepegangan tangan karena tidak pernah memiliki teman dekat perempuan, siswa berujar, bahwa seandainya memiliki teman dekat perempuan pun akan melakukan hal yang sama.143 Dari penuturan di atas, bisa kita lihat ada dua sudut pandang siswa yang menjadi catatan, yaitu siswa memahami bahwa berpegangan tangan pada remaja merupakan sebuah kondisi yang biasa. Penuturan tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejiwaan remaja bisa merubah mempengaruhi cara remaja terhadap agamanya, sehingga cenderung menghindari akan realitas peraturan agama. Kemudian alasan siswa berpegangan dengan remaja, menunjukkan bahwa tindakan berpacaran bukan hanya dilakukan oleh siswa umum 142 143
Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April 2016. Hasil Wawancara dengan nurul hakim dan ahmad ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB,
82
saja, melainkan siswa tunanetra melakukan hal yagn sama. artian dari sisi perkembangan seksual remaja, tidak ada perbedaan antar siswa umum dengan siswa tunanetra. Jadi bisa dipahami bahwa Bukan hanya perkembangan pikiran saja, perkembangan perasaan pun turut mempengaruhi jiwa keagamaan remaja. Sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. 144 Penulis bisa menyimpulkan bahwa semua siswa tunanetra mengetahui kewajiban dalam menjaga batasan dengan lawan jenis. Dan secara praktis umumnya siswa menyampaikan bahwa mereka menjaga batasan dengan lawan jenis, adapun siswa yang tidak bisa menjaga interaksi lawan jenis dipengaruhi oleh kondisi perkembangan seksual yang lebih besar dari pada kesadaran keagamaan, serta pengaruh paradigama remaja yang kurang baik turut mempengaruhi cara pandang siswa terhadap ketaatan keagamaan yang diketahuinya. Dan yang penting pula, bahwa perkembangan seksual siswa tunanetra tidak berbeda dengan siswa pada umumnya. f. Nilai Menjaga Lingkungan Tadabur
merupakan
kegiatan
tambahan
yang
sifatnya
kondisional. Acara tersebut yang diadakan menjelang liburan dan bertujuan
untuk
membina
pemahaman
siswa
tunanetra
akan
kehidupannya, menunjukkan ada sebuah usaha penanaman akan kualitas kepribadian dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya itu, adanya pembelajaran yang terkait menanam menunjukan bahwa siswa tunanetra telah mendapat pembinaan akan kesadaran terhadap 144
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005), h. 75.
83
lingkungan alam sekitar. Dan sinkronisasi antara tadabur dengan pembelajaran menanam pohon adalah adanya sebuah kepekaan akan kehidupan termasuk di dalamnya kepekaan terhadap lingkungan alam. Dari hasil wawancara145 bisa dikatakan seluruh siswa memiliki jawaban yang hampir sama. siswa akan tanggungjawab untuk menjaga lingkungan baik dengan cara menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya dan lain sebagainya. Siswa pun menyadari ketika alam tidak dijaga akan terjadi berbagai bencana alam semisal longsor, banjir. Umumnya pendapat siswa, untuk menjaga lingkungan dengan cara membersihkan dan menjaga lingkungann dengan tidak membuang sampah sembarangan. Mengenai kebersihan dan melarang buang sampah sembarangan, secara umum siswa mengakui bahwa mereka melakukan tindakan tersebut baik sering maupun jarang. Seorang siswa menyebutkan, bahwa terpaksa membuang sampah sembarangan karena sukar menemukan tempat sampah. Siswa pun mengakui bahwa di rumah siswa suka bersih-bersih berupa mengepel, beres-beres tempat tidur. Siswa menuturkan bahwa kebisaaan tersebut untuk membangun kesadaran dan disiplin di masa depan pada saat berumah tangga.146 Kita bisa mengetahui bahwa pada dasarnya siswa telah menyadari akan sebuah kebersihan dan kedisiplinan. Bahkan siswa sudah bisa berpikir visioner dengan memperhatikan perilaku yang semestinya di bangun dalam hal kebersihan dan kedisiplinan. Namun dengan kesadaran tersebut, belum bisa membentuk sebuah kebijaksanaan untuk bisa membuang sampah pada tempatnya, ketika tidak menemukan tempat sampah. Disini, bisa terlihat bahwa siswa telah tumbuh kesadaran akan sebuah kedisiplinan, namun belum tumbuh sebuah kebijaksanaan ketika dihadapkan dengan sesuatu hal yang memaksa siswa untuk membuang sampah sembarangan. 145
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21 April 2016. 146 Hasil Wawancara dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB,
84
Seorang siswa menyatakan bahwa siswa jarang bersih-bersih di rumah karena malas. siswa menyampaikan bahwa di rumah tidak membuang sampah sembarangan karena ada tempat sampah, dan di luar
rumah
siswa
mengaku
tidak
membuang
sampah
pada
tempatnya.147 Disini bisa disimpulkan bahwa siswa membuang sampah bukan karena sadar akan kebersihan, melainkan karena kondisi yang membuat siswa terbisa membuang sampah pada tempatnya. Seorang siswa, menyatakan bahwa dirinya jarang buang sampah sembarangan Karena dapat merusak lingkungan. Siswa mengakui bahwa dirinya suka melakukan kebersihan di rumah, semisal mengepel, menyapu, dan membersihkan meja dari debu. Siswa megakui bahwa itu adalh kesadaran sendiri.148 Siswa terlihat telah menyadari akan pentingnya kebersihan. Dari kesadaran tersebut, maka dengan sendirinya siswa akan sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Jadi bisa disimpulkan bahwa semua siswa menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan, serta mengetahui dampak buruk ketika tidak menjaga lingkungan dengan baik. Namun hampir semua siswa pernah atau sering membuang sampah sembarangan dengan dua alasan, yaitu kondisi terpaksa, karena tidak menemukan tempat sampah, dan kondisi malas karena tidak menyadari akan pentingnnya sebuah kebersihan. Adapun siswa yagn jarang buang sampah sembarangan,
karena
telah
tumbuh
kesadaran
akan
menjaga
lingkungan. Bisa dikatakan bahwa seringnnya siswa melakukan kegiatan kebersihan di rumah bukan dasar utama dalam membentuk kesadaran siswa. melainkan tumbuhnya kesadaran akan menjaga lingkungan sebagai dasar utama siswa untuk tidak membuang sampah pada tempatnya. Di sini tidak terlihat alasan dari nilai keagamaan, artinya sikap keberagamaan siswa tunanetra tidak terlihat pada 147 148
Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB, Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas X SMA-LB,
85
kesadaran akan menjaga lingkungan. 5. Aspek
Intelektual
(Pengetahuan
Keagamaan)
Siswa
Tunanetra
(Pengetahuan Keagamaan) a. Pengetahuan Tentang Fikih Ibadah Diantara visi dan misi SLB A Pembina Tingkkat Nasional adalah ―membudayakan beribadah‖. Maksud dari istilah tersebut ialah kegiatan pembelajaran dan pembisaaan mengenai keberagamaan diantaranya membaca al-Qur‘an sebelum masuk jam pelajaran, penanaman kebisaaan shalat dhuha ketika awal bulan, program hafalan al-Qur‘an, shalat dhuhur berjamaah, dan lainnya. Bisa menjadi sebuah kebisaaan bukan hanya di sekolah melainkan di luar sekolah ketika siswa ada di rumah.149 Di dalam Islam, peribadatan termuat dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih ibadat yang diantaranya memuat empat pokok pembahasan sebagai mana tercantum dalam rukun Islam, kecuali syahadat sebagai ilmu tauhid. Terkait demikian, sebagian besar siswa menanggapi bahwa mereka belum begitu mengenal jauh menganai ilmu fikih. Hal demikian dilatarbelakangi siswa hanya mempelajari ajaran Islam ketika di SLB, saja, di luar itu, siswa kurang begitu mendalami pelajaran fikih. Ketika ditanyakan mengenai pengalaman siswa dalam mengikuti pesantren, seorang siswa mengakui pernah mesantren ketika SD di Raudhlatul Muta‘alimin Surabaya, sejauh pengetahuannya, ilmu fikih adalah suatu ilmu yang diidentikan dengan Imam Syafi‘i.150 Dengan demikian dalam pemahaman siswa tersebut dipahami fikih identik dengan Imam Syafi‘I, darinya menunjukkan bahwa sebuah madzhab yagn digunakan oleh mayoritas muslim bisa menyempitkan sudut pandang siswa. dalam hal ini, mayoritas muslimin Indonesia penganut Imam Syafi‘I, maka dalam pemahaman 149
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
150
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa kelas VIII SMP-LB,
2016.
86
siswa fikih adalah apa yang dikeemukakan oleh Madzhab tersebut. Sebagian siswa menuturkan bahwa mereka cukup mengetahui ilmu fikih. Siswa mengakui bahwa mereka belajar dari majelis ta‘lim yang diselenggarakan di masjid tempat siswa tinggal, serta mengikuti pembelajaran di madrasah yang bernama Raudhlatul Makfufin.151 Ada pula siswa yang cukup mengenal ilmu fikih, karena siswa tersebut mempelajari ilmu fikih yang dipelajari dari guru agama SLB secara khusus atas permintaan ibu siswa. siswa menuturkan bahwa dirinya saat ini telah mempelajari tentang jenazah, setelah sebelumnya mempelajari wudhlu, tayamum, dan shalat.152 Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar siswa yang kurang mengenal ilmu fikih umumnya memiliki intensitas pembelajaran agama yang kurang. Mereka hanya belajar agama di SLB saja, tanpa ada kelanjutan di luar. Sehingga mata pelajaran yang telah dibahas lupa atau-pun belum bisa dipelajari karena keterbatasan materi. Adapun siswa yang cukup mengenal ilmu fikih, umumnya siswa belajar di luar jam pelajaran agama secara formal di SLB. Siswa mengikuti pembelajaran di luar sekolah semisal di majelis ta‘lim yang diselenggarakan di masjid, serta lembaga keagamaan yang mengajarkan siswa tunanetra dalam mempelajari ajaran Islam. Serta adanya inisiatif orang tua untuk meminta guru khusus untuk mengajarkan siswa mengenai ilmu fikih, menunjukkan peranan orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan siswa tunanetra terutama dalam hal mempelajari dan memahami fikih ibadah. Maka kesinambungan dalam mempelajari agama Islam siswa di luar SLB, semisal kondisi lingkungan serta peranan orang tua untuk memasukkan siswa ke lembaga keagamaan atau mencari guru khusus untuk mengajarkan perihal agama, lebih berpengaruh terhadap jiwa keagamaan siswa dari pada sekedar melakukan pembelajaran di SLB 151
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-
152
Hasil Wawancara dengan Al-Fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
LB, .
87
yang seiring perjalanan waktu dan tidak ada kesinambungan dalam pembelajarannya, membuat siswa lupa. b. Ketrampilan Membaca al-Qur‘an Membaca
al-Qur‘an
bukan
hanya
sekedar
bisa
melantunkannya, namun ada aturan membaca yang terangkum di dalam ilmu tajwid yang harus dipahami. Sebagian besar siswa mengakui masih belum lancar membaca al-Qur‘an. Seorang siswa mengemukakan jarang belajar al-Qur‘an. Sedangkan sisa lainnya menuturkan masih belajar didampingi orang tua, namun kendalanya orang tua hanya menggunakan al-Quran brille. Pernyataan lain mengungkapkan bahwa siswa lumayan lancar membaca al-Qur‘an. Siswa menuturkan bahwa dirinya belajar di raudhlatul makfufin. 153 Uraian di atas bisa dipahami bahwa umumnya siswa yang belum lancar dalam membaca al-Qur‘an dipengaruhi oleh jarangnya intensitas siswa dalam mempelajari al-Qur‘an serta kendala media pembelajaran yang dialami oleh siswa yang belajar dengan orang tua. Adapun siswa yagn cukup lancar dalam membaca al-Qur‘an, siswa mengikuti pembelajaran di lembaga yang pendidikan keagamaan khusus bagi tunanetra. Hal demikian menunjukkan bahwa lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan al-Qur‘an menjadi sangat berpengaruh terhadap kualitas membaca Qur‘an bagi seorang siswa tunanetra. Perlu diketahui, bahwasanya pada pembelajaran siswa tunetra terkhusus dalam mempelajari al-Qur‘an Brille memiliki beberapa hambatan. Ada siswa yang memiliki hambatan mobilitas. Yaitu siswa kurang peka terhadap lingkungan atau sesuatu hal yang hendak dihadapi. Semisal siswa belum baisa peka unik duduk di atas kursi, atau belum bisa terbiasa untuk bisa mandiri. Ada pula siswa yang memiliki keterbatasan dalam sensorik motor, yaitu siswa memiliki perabaan yang kurang peka terhadap al-Qur‘an Brille, sehingga 153
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas XII SMA-LB,
88
terganggu dalam belajar. Ada pula siswa yang terkadang berkeringat telapak tangannya sehingga tidak bisa menulis dengan baik. Hambatan lain mengenai IQ. Ada siswa yang tingkat IQ-nya sekitar 75%, ada pula siswa yang tingkatnya 100%, yang lebih tidak kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.154 demikinlah yang menjadi dinamika pembelajaran siswa. c. Hafalan Qur‘an Siswa Tunanetra Salah satu tujuan dari digalakannnya tadarus al-Qur‘an dan hafalannya adalah untuk membiasakan siswa tunanetra untuk senantiasa membaca al-Qur‘an. Karena sebagian siswa SLB A PTN tidak mendapatkan bimbingan yang efisien saat di rumah dalam hal ini orang tua. Maka di SLB diusahakan untuk mengefektifkan pembelajaran keagamaan termasuk membaca dan menghafal alQur‘an, sebagai usaha dalam merangsang keberagamaan siswa tunanetra.155 Maka dari itu kita akan melihat sejauhmana intensitas siswa tunanetra dalam membaca dan menghafal al-Qur‘an termasuk hal lainnya sebagai fekek dari penanaman dalam menumbuhkan rasa kebutruhan terhadap kitab suci al-Qur‘an. Untuk mengawali, penulis akan mencoba menggali informasi terkait hafalan siswa. Pada Siswa SMP, sebagian siswa mengaku bahwa dirinya tidak hafal sampai sepuluh surat pendek sebagaimana yang dianjurkan sekolah. kemudian sebagian siswa lagi mengaku hafal lebih dari sepuluh surat, bahkan diantara siswa ada yang hafal alJumuah, al-Buruj, dan al-Balad. Siswa mengaku bahwa siswa belajar di mitra netra. Seorang siswa lain mengaku hafal surat al-Mursalat, alQiyamat dan an-Naba. Siswa mengaku diajarkan oleh salah seorang guru agama SLB (Pak Maksum) di SLB atas permintaan ibu siswa.156 dan tidak jauh berbeda dengan siswa SMP-LB, siswa SMA-LB 154 155
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016. 156
Hasil Wawancara dengan Firdaus dan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
89
sebagian pun mengaku ada yang belum hafal sampai lima belas surat pendek yang dianjurkan sekolah. Dan sebagian siswa lain mengaku sudah hafal lebih dari lima belas surat pendek yang dianjurkan sekolah. bahkan beberapa siswa mengaku sudah hafal dari surat al-Balad sampai An-nas. Yang artinya, siswa sudah hafal lebih dari lima belas surat.
Siswa
menuturkan
bahwa
mereka
mengikuti
program
pembelajaran hafalan di raudhlatul Makfufin.157 Dari uraian tersebut, hafalan surat pendek siswa SMP-LB dan SMA-LB, kebanyakan tidak sepenuhnya hafal, adapun siswa yang hafal lebih dari target sekolah umumnya mengikuti pembelajaran di luar Sekolah luar biasa tersebut. Hal demikian menunjukkan bahwa pendidikan di luar SLB lebih berpengaruh terhadap intensitas hafalan al-Qur‘an siswa. d. Pengetahuan Tentang Hadits Nabi Siswa dalam hal ibadah, bukan hanya sekedar mengetahui ilmu fikih semata, melainkan pula kita harus mengenal hadis, sebagai bagian dasar dari hukum Islam. Dari hasil
158
wawancara, umumnya
siswa yang mengenal hadis adalah siswa yang mengikuti pembelajaran di lembaga keagamaan di sekolah dan majelis ta‘lim di dekat rumah siswa. serta pembelajaran yang diberikan oleh ayah dan ibu siswa. Seorang siswa menuturkan bahwa pernah belajar hadis sewaktu SD, tetapi sekarang lupa, siswa menuturkan dalam mengenal hadis, siswa hanya menyaksikan program acara televisi yang berbentuk narasi semisal program acara yang sering ditayangkan di Trans TV, dan Trans 7.
159
disini kita bisa melihat bahwa siswa yang mengikuti
pembelajaran sejak lama dan jarang dipelajari akan cenderung mudah lupa. Maka dari itu, intensitas pembelajaran hadis yang berlanjut bak dari lembaga kegamaaan maupun dari orang tua, akan memberikan 157
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-
158
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa tunanetra, pada tanggal 1-21 April,
159
Hasil Wawancara dengan Nauval Siswa Kelas XII SMA-LB,
LB,. 2016.
90
dampak yang baik terhadap pengenalan siswa terhadap hadits. Serta program acara televisi bisa menjadi alternative untuk belajar mengenai agama terkhusus dalam mengenal hadis. Salah seorang guru agama, menyatakan bahwa pengetahuan sisa mengenai agama memang diakui lebih banyak mendapatkan pembelajaran tersebut diluar SLB. Hal tersebut dilatar belakangi dengan kurikulum dan waktu
yang terbatas
yang membuat
pembelajaran kurang maksimal. Memang ketika pembelajaran agama semisal baca tulis al-Qur‘an dan menerjemahkannya, terkadang mengulas sedikit mengenai fikih. Namun hal tersebut tidak maksimal. Maka ddri itu, sangat disetujui bila siswa mengikuti pembelajaran agama di luar SLB, semisal di Raudhlatul Makfufin, yang dalam pembelajaran agama lebih dalam dan terinci. Selain itu pula, peranan orang tua sangat penting dalam mengembangkan keberagamaan siswa, jadi bukan hanya sekedar mengajarkan agama di rumah saja, melainkan mendorong siswa untuk belajar di masjid, yang artinya mengikuti berbagai pembelajaran agama di dekat rumah.160 Al-fathullah, adalah salah seorang murid kelas Delapan SMPLB yang paling menonjol mengenai pengetahuan agama baik mengenai fikih, hafalan al-Qur‘an dan Hadis Nabi. Siswa tersebut mempunyai keinginan yang tinggi untuk mempelajari agama. Di luar Jam pelajaran formal, siswa tersebut mempelajari agama di radio, baik dari pengajian, hafalan al- Qur‘an dan lainnya. Dengan hal tersebut, Ibu siswa khawatir pemikiran siswa yang belum mempuni anaknya akan terbentuk oleh paham keagamaan yang keras. Oleh karenannya, meminta pembelajaran tambahan (Ekskul) mengenai keagamaan kepada guru di SLB (Maksum, S. Ag, Mpd). Maka siswa pun belajar dimulai dari Iqra, sampai mempelajari fikih, Muhadatsah (percakapan bahasa arab sehari-hari). Maka pengetahuan siswa lebih menonjol dari
160
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,
91
siswa lain yang hanya belajar agama formal saja.161 Rasa keingintahuan siswa menjadi berpengaruh terhadap pengetahuan agama siswa, serta peranan orang tua yang peduli dan mengarahkan anaknnya untuk berlajara agama menjadi bagian penting dalam pengembangan keberagamaaan siswa baik secara praktis, maupun kognitif. Menurut salah seorang guru agama (Maksum S, Ag, M. Pd) bahwa harus ada pembelajaran agama tambahan baik di radio, Tv, maupun belajar di lembaga keagamaan semisal Raudhlatul Makfufien. Peranan orang tua pun sangat penting, dalam mengarahkan siswa, dan umumnya orang tua antusias terhadap program keagamaan di SLB.162
C. Analisa Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN 1. Tinjauan Pengetahuan (Transfer of Knowledge) Bila kita tinjau dari sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra, sebagaimana telah diuraikan bahwa siswa tunanetra yang menonjol dalam pengetahuan agama lebih didominasi pengetahuan dari luar pembelajaran formal di SLB A PTN. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran keagamaan di luar SLB baik dari sisi pengetahuan, fikih, hadits,
kemampuan
membaca
al-Qur‘an,
serta
hafalannya,
lebih
dipengaruhi oleh berbagai pembelajaran keagamaan di luar sekolah semisal di lembaga keagamaan khusus siswa tunanetra ataupun pendidikan agama yang ditanamkan oleh keluarga. Perlu dilihat pula bahwa siswa yang menonjol dalam pengetahuan agama hanya sebagian kecil saja, dan sebagian besar lebih mengandalkan pembelajaran keagamaan di SLB. Artinya efektivitas diukur bukan dari segi kuantitas pengetahuan siswa, melainkan dari sejauh mana dampak pembelajaran keagamaan di SLB pada siswa yang tidak belajar keagamaan 161
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 162
Mei, 2016.
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Pd, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
92
di luar SLB. Dalam hal ini, penulis tidak bisa memungkiri, bahwa dari hasil temuan lapangan siswa yang yang kemampuan ideal dalam memenuhi syarat keberahasilan program tersebut adalah siswa yang mengikuti pembelajaran keagamaan di luar SLB. Sedangkan siswa yang tidak mengikuti, tidak terlalu banyak memiliki kemampuan dalam memenuhi keberhasilan program keagamaan SLB. Semisal pengetauan fikih, hadis dan terutama hafalan Qur‘an yang menjadi bagian dari program tersebut, umumnya siswa yang bisa memenuhi syarat keberhasilan program tersebut secara kognitif adalah siswa yang mengikuti pembelajaran di luar SLB. Artinya siswa lainya kurang bisa memenuhi tuntutan dalam program keagamaan SLB. Maka bisa disimpulkan SLB A PTN tidak terlalu banyak memberikan pengaruh terhadap sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra. 2. Tinjauan Tindakan (Transfer of Action) Adapun mengenai nilai terapan pada konteks keberagamaan siswa tunanetra penulis akan mengukur dari intensitas peribadatan siswa dan tingkat ketaatan dalam mengamalkan ajaran keagamaan dalam hal ini penulis
mengkhususkan
mengenai
jilbab
pada
siswi
tunanetra.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa intensitas pelaksanaan peribadatan shalat siswa umumnya memiliki keberanian untuk meninggalkan shalat wajib, tetapi tidak memiliki keberanian untuk meninggalkan ibadat puasa. Hal demikian dilatarbelakangi jiwa keberagamaan siswa tunanetra yang masih dipengaruhi uforia lingkungan. Artinya intensitas ibadat puasa lebih dominan dari peribadatan shalat, namun dari segi penghayatan peribadatan siswa lebih terlihat dari ibadat shalat. Terlepas dari itu, sebagaimana telah diuraikan bahwa sekolah hanya sebatas mengajarkan keberagamaan adapun aplikasinya lebih didominasi di rumah. Artinya intensitas peribadatan siswa akan terlihat di rumah. dalam arti keluarga yang memberikan pengaruh besar terhadap intensitas peribadatan siswa tunanetra.
93
Uraian di atas menunjukkan bahwa intensitas peribadatan siswa dibentuk dari lingkungan keluarga, dalam arti SLB hanya sebagai fasilitator. Begitu pula dengan berjilbab pada siswi, pihak SLB tidak memiliki wewenang untuk membuat peraturan secara langsung, namun hanya sebatas simbolik saja, yaitu siswi memakai jilbab pada momentum keagamaan saja. Dari hal tersebut, SLB tidak memberikan begitu banyak pengaruh terhadap pengamalan keberagamaan siswa tunanetra, dan keluargalah yang memiliki dominasi keberagamaan tersebut. Maka bisa disimpulkan bahwa SLB A PTN tidak memiliki pengaruh besar terhadap efektivitas pengamalan Keberagamaan siswa tunanetra. 3. Tinjauan Prilaku (Transfer of value) Bila kita lihat perilaku siswa, bisa dikatakan tidak ada perilaku yang berandal, dalam arti siswa tunanetra tidak memiliki perilaku buruk yang membuat kegaduhan baik di sekolah maupun di masyarakat. Artinya perilaku siswa tunanetra relatif baik meskipun ada beberapa kesalahan tertentu dari pengalaman siswa yang kiranya merupakan sebuah kesalahan namun bukan berarti siswa memiliki sifat buruk. Dalam menganalisa mengenai prilaku siswa dan kaitannya dengan efektifitas penanaman sikap keberagamaan SLB A PTN, penulis merasa kesulitan menimbang prilaku siswa merupakan suatu yang abstrak dan lebih personal. Karena terbentuk dari kompleksitas yang memberikan pengaruh pada pola pikir dan perkembangan jiwa siswa. Bila dihubungkan perilaku keberagamaan dengan nilai ajaran agama, tentu hal demikian sejalan dengan pembahasan kognitif, yaitu pengetahuan keberagamaan siswa umumnya diperoleh dari luar jam formal SLB. bila dibandingkan antara program sekolah dengan kegiatan keagamaan tambahan siswa, yang lebih berpengaruh adalah kegiatan keagamaan di luar SLB. Artinya secara logis yang harusnya lebih dominan membentuk pola perilaku keberagaman siswa adalah berbagai lembaga yang memberikan pengajaran agama, dalam hal ini pendidikan di luar sekolah. namun hal demikian belum menjadi alasan, menimbang ada keluarga yang bisa mengarahkan siswa
94
untuk belajar agama ataupun membimbing siswa karena sebagai mana telah diuraikan bahwa orang tua siswa tunanetra memegang peranan penting dalam pendidikan siswa terutama dalam keberagamaan siswa. Termasuk dari nilai penghayatan peribadatan siswa yang kiranya merupakan perilaku keberagaaman yang lebih personal. Maka dari itu, penulis berkesimpulan bahwa perilaku siswa tidak bisa diukur dari efektivitas pendidikan SLB secara langsung, karena terbentuk dari kompleksitas yang bisa mempengaruhi pola pikir, dan perkembangan kejiwaan siswa, baik dari motivasi personal siswa, pengaruh
keluarga,
sekolah,
lingkungan,
terutama
dari
lembaga
keagamaan yang menanamkan nilai ilahiah pada siswa tunanetra. D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN 1. Faktor Pendukung Faktor pendukung keberlangsungan kegiatan keagamaan di SLB A PTN adalah sudah tersedianya Al-Qur‘an Braille, dan berbagai keterampilan akan kemampuan siswa terhadap teknologi sehingga dapat mendownload
hal
yang
menyangkut
dengan
keagamaan,
sudah
tersediannya tempat ibadah berupa mushala dengan jumlah dua lokasi, serta berbagai perlengkapan ibadah yang menunjang keberlangsungan kegiatan peribadatan siswa tunanetara. Bukan hanya itu, kemampuan siswa secara individu merupakan bagian dari pendukung keberlangsungan program keagamaan yang dipengaruhi oleh berbagai hal. Dalam hai ini bisaa disebut dengan faktor internal siswa, adalah pengaruh dari sekolah dan keluarga siswa, termasuk kegiatan keagamaan tambahan semisal kursus al-Qur‘an Braille, dan berbagai motivasi yang didapatkan siswa.163 Jadi hal yang menjadi faktor pendukung keberlangsungan program keagamaan bisa dikatakan meliputi dua faktor yaitu faktor media
163
2016.
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
95
pembelajaran, berupa sudah tersedianya al-Qur‘an Braille, adanya media internet yang sudah dipahami oleh siswa sehinga bisa dimanfaaatkan sebagai saran pendukung keberlangsungan pembelajaran agama, serta tersediannnya
tempat
peribadatan
berupa
musholla
dan
segenap
perlengkapannya baik perlengkapan shalat dan lainnya yang menjadi fasilitas bagai siswa tunanetra. Dalam hal ini SLB A PTN relatif sudah cukup
baik
dalam
hal
penyediaan
fasilitas
dalam
mendukung
keberlangsungan kegiatan keagamaan. Kemudian faktor pendukung kedua berupa keterampilan siswa. factor ini merupakan bagian yang memudahkan dalam pembelajaran keagamaan. Hal demikian dipengaruhi oleh berbagai hal baik dari sekolah itu sendiri, kelaurga, dan berbagai kegiatan lainnya yagn menyangkut keagamaan maupun hal yang membangun motivasi belajar siswa tunanetra. Bisa dikatakan faktor ini merupakan aspek yang dapat memudahkan
dalam
pembelajaran
keagamaan,
sehingga
program
keagamaan yang dilaksanakaan cenderung akan lebih mudah pula dalam mencapai keberhasilannya. Adapun faktor penghambatnnya, adalah latar belakang keluarga yang kurang memberikan dukungan terhadap perkembangan keagamaan siswa tunanetra. Siswa tatkala di rumah tidak ada yang memberikan motivasi untuk membimbing siswa untuk shalat berjamaah, membaca AlQur‘an, dan lainnya, termasuk lingkungan sosial siswa tunanetra. Selain itu, orientasi mobilitas siswa yang masih kurang, turut memberikan pengaruh untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Maka dari itu, siswa tunanetra perlu mendapatkan pendampingan dari orang tua dalam membina kualitas belajar dan ibadah siswa. karena kondisi siswa tunanetra terkadang bukan hanya terhambat dalam pengelihatan saja, tetapi memiliki keterbatasan lainnya yang bersifat fisik, maupun psikis. Dan yang paling memberatkan dalam pembelajaran adalah siswa tunanetra yang memiliki keterbatasan psikis semisal autis. Karena akan menimbulkan keterbatasan
96
dalam berkomunikasi.164 Bisa pengahambat
dikatakan dalam
bahwa
hanya
keberlangsungan
satu
faktor
program
yang
keagamaan
menjadi siswa
tunanetra, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan keagamaan siswa tunanetra, dalam hal ini keluarga yang menjadi pengaruh utama. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa keluarga atau orang tua adalah pendukung yang paling dominan dalam mengarahkan siswa tunanetra termasuk dalam pembinaan keagamaan siswa. kondisi ketunanetraan siswa turut membatasi kiprah siswa tunanetra dalam menjalani kesehariannya termasuk dalam belajar. Maka orang yang terdekatlah menjadi jalan pertama dalam mengarahkan siswa tunanetra. Termasuk lingkungan masyarakat sekitar, karena lingkungan siswa dapat mempengaruhi terhadap perkembangan psikologis dan berdampak pada perkembangan keagamaan siswa tunanetra. Bisa dipahami bahwa faktor lingkungan yang di dalamnya meliputi keluarga atau orang tua adalah pemberi pengaruh utama pada siswa tunanetra. Ini merupakan satu bagian penting dalam keberhasilan program keagamaan, Artinya lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap keberagamaan siswa tunanetra karena akan lebih memudahkan dalam menyesuaikan dengan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan disekolah. Maka program keagamaan yang telah tercanang memerlukan dukungan dari pihak lain untuk ikut membina yaitu orang tua. Karena kalau kita lihat dari program hafalan al-Qur‘an termasuk bimbingan shalat, adalah salah satu kegiatan yang bukan hanya dilaksanakan di sekolah saja, melainkan harus dilakakukan pula di rumah semisal mengahafal dan mengamalkan peribadatan shalat. Maka lingkungan rumahlah yang menjadi pendukung utama dalam keberagamaan siswa tunanetra. Disini diperlukan sinkronisasi antara pihak SLB A PTN dengan orang tua siswa. 164
2016.
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
97
sehingga bisa bekerjasama dalam membina perkembangan keagamaan siswa.
BAB V PENUTUP Dari hasil kajian yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis akan dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan Adapun
mengenai
kesimpulan
yang
akan
diuraikan,
penulis
menguraikannya melalui dua poin besar, yaitu sikap keberagamaan siswa tunanetra secara umum dan efektivitas program keagamaan SLB A PTN sebagai sarana dalam membentuk sikap keberagamaan siswa tunanetra. Hal demikian perlu dilakukan, karena penelitian ini mengulas bukan hanya sekedar untuk mengetahui sikap keberagamaan siswa saja, melainkan juga untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam membentuk sikap keberagamaan. 1. Tinjauan Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra a. Semua siswa tunanetra memiliki keyakinan baik terhadap Allah Swt, karena tidak ada satupun siswa tunanetra yang memiliki pendapat negatif terhadap ketuhanan dalam Islam. hanya saja, siswa tunanetra tidak memiliki keyakinan baik terhadap kebenaran ajaran agama. siswa umumnya berpendapat semua agama benar karena mengajarkan kebaikan, karena semua yang dinilai kebaikan dipandang sebagai sebuah kebenaran. Hal demikian dilatarbelakangi belum tumbuhnya pertimbangan logika beragama atas pemahaman terhadap konsep kebenaran yang prinsipil. b. Dari sisi intensitas peribadatan siswa, umumnya siswa tunanetra memilliki keberanian untuk meninggalkan shalat, namun seluruh siswa tunanetra tidak memiliki keberanian untuk meninggalkan puasa. Hal demikian dilatarbelakangi keberagamaan siswa tunanetra yang masih didasari uforia serta belum tumbuhnya kedewasaan beragama. Namun hal demikian bertolakbelakang dengan nilai penghayatan dalam peribadatan siswa yang justru siswa lebih merasakan efek psikologis dalam hal ini ketenangan batin ketika mengerjakan shalat. Maka 98
99
tingginya intensitas puasa dan dalamnya penghayatan shalat siswa menunjukan bahwa tingginya intensitas peribadatan bukan penyebab utama tingginya penghayatan dalam peribadatan siswa tunanetra. c. Dari sisi pengamalan nilai keagamaan, siswa tunanetra memiliki kualitas moral yang cukup baik, menimbang siswa tidak ada yang memiliki prilaku arogan dan berbuat keonaran di sekolah. termasuk pula dalam berhubungan dengan orang tua, guru, dan sesama teman. Siswa relative memiliki hubungan cukup baik. Hanya saja dari sisi estetika, siswi tunanetra semuanya tidak memakai jilbab, dan masih adanya beberapa siswa yang memiliki sikapakan kurangnnya menjaga batasan dengan lawan jenis. d. Adapun sisi pengetahuan keagamaan siswa tunanetra,umumnya siswa tunanetra tidak terlalu memiliki wawasan keagamaan yang cukup baik. Adapun sebagian kecil siswa yang memiliki wawasan agama yang baik adalah siswa yang mengikuti pembelajaran keagamaan di lembaga yang mengajarkan agama khusus tunanetra, dan ada pula yang privat dengan guru agama.
2. Tinjauan Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN a. Siswa tunanetra yang menonjol dalam pengetahuan agama lebih didominasi pengetahuan dari luar pembelajaran formal SLB A PTN, sedangkan siswa yang hanya belajar agama secara formal di SLB tidak begitu menonjol dari segi pengetahuan keagamaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran keagamaan di luar SLB baik dari sisi pengetahuan, fikih, hadis, kemampuan membaca alQur‘an, serta hafalannya, lebih didominasi oleh berbagai pembelajaran keagamaan di luar jam formal SLB. dari pada SLB A PTN itu sendiri. Maka bisa disimpulkan SLB A PTN tidak terlalu banyak memberikan pengaruh terhadap sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra. b. Intensitas ketaatan beragama siswa dibentuk dari lingkungan keluarga, dalam arti SLB hanya sebagai fasilitator. Maka keluargalah yang
100
memiliki dominasi dalam membentuk ketaatan beragama siswa. dan SLB A PTN tidak memiliki pengaruh
besar terhadap efektivitas
pengamalan Keberagamaan siswa tunanetra. c. Dari sisi prilaku keagamaan siswa tunanetra, Perilaku keberagamaan siswa merupakan suatu yang abstrak dan lebih personal. Karena terbentuk dari kompleksitas yang memberikan pengaruh pada pola pikir dan perkembangan jiwa siswa. Maka dari itu, perilaku siswa tidak bisa diukur dari efektivitas pendidikan SLB secara langsung, karena terbentuk dari kompleksitas yang bisa mempengaruhi pola pikir, dan perkembangan kejiwaan siswa, baik dari motivasi personal siswa, pengaruh keluarga, sekolah, lingkungan, terutama dari lembaga keagamaan yang menanamkan nilai ilahiah pada siswa tunanetra. d. Media pembelajaran sebagai faktor pendukung kelancaran program keagamaan. Dari sisi fasilitas pendukung kegiatan keberlangsungan program keagamaan, SLB A PTN relatif memiliki fasilitas yang baik. Diantaranya telah memiliki perpustakaan yang menyediakan al-Qur‘an brille sebagai penunjang keberlangsungan program tadarus dan hafaalan surat-surat tertentu. kemudian telah tersedianya tempat ibadat semisal telah memiliki dua lokasi mushala dengan segenap perlengkapan ibadat shalat sebagai penunjang kegiatan keagamaan. e. Keterampilan siswa pun sebagai bagian dari faktor penunjang keberlangsungan
kegiatan
siswa
tunanetra.
Melalui
kegiatan
pembelajaran keagamaan yang telah diikuti siswa baik dari SLB A PTN, terlebih dari berbagai lembaga yang terkhusus memberikan pengajaran keagamaan bagi siswa tunanetra. Darinya memudahkan dalam kelancaran program keagamaan di SLB A PTN. f. Faktor lingkungan keluarga yang kurang baik
sebagai
faktor
penghambat keberlangsungan program keagamaan SLB A PTN. dalam hal ini keluarga atau orang tua sebagai pendukung utama dalam membangun keberagamaan siswa tunanetra, kurang memberikan dukungan terhadap keberlangsungan program keagamaan. Karena
101
orang tua yang kurang memberikan bimbingan keagamaan bagi siswa tunanetra akan berpengaruh pada keberagamaan siswa yang menjadi penghambat dalam kelancaran dan tercapainya tujuan dari pada program yang telah diasdakan. B. Saran SLB perlu memperhatikan bahwa tidak semua siswa tunanetra memiliki kegatan pembelajaran di luar jam formal SLB. Umumnya siswa tunanetra hanya mengikuti pembelajaran keagamaan di SLB A PTN. Dengan demikian, jika SLB tida memiliki banyak kemampuan dalam membentuk keberagamaan siswa tunanetra, hendaknya memberikan dorongan untuk mengikuti kegiatan keagamaan diluar semisal pesantren khusus tunanetra, atau lembaga lainnya yang memfasilitasi untuk memberikan pengajaran agama bagi siswa tunanetra,. Hal demikian perlu dilakukan menimbang tidak semua orang tua siswa memiliki kesadaran untuk mendorong anaknnya dalam mempelajari agama secara intens. Peranan
lembaga
pendidikan
yang
memberikan
pembelajaran
keagamaan pada siswa tunanetra terkhusus SLB A PTN sebagai fasilitator dan orang tua atau keluarga terdekat sebagai pihak yang paling berpengaruh terhadap perkembangan keberagamaan siswa tunanetra, menunjukkan Perlu adanya sinkronisasi berupa kerjasama dalam membentuk keberagamaan siswa tunanetra.
Yaitu
SLB
yang
mengajarkan
prihal
keagamaan,
harus
mendapatkan dukungan dari orang tua di rumah sebagai pembimbing pengamalan keberagamaan dari apa yang telah dipelajari oleh siswa tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987) Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 147. Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. Ke-1, h. 147. Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. Ke-1 ArmaiArief, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Majemuk, (Ciputat: Suara ADI, 2009) Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998) Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) Didiek Ahamad Supardi, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 87-89. Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusiatas Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2 Fachruddin HS, Pembinaan Mental Bimbingan Al-Qur-an, (TK: PT.Bina Aksara, 1984) Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreatifitas Dalam Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002)
Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002), Cet. Ke-1 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasionaldi Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2004) Hamzah Yaqub, Ilmu Ma’rifah, (Jakarta: CV. Atlas, 1988), Cet. Ke-3 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UIPress, 1985), Cet. Kelima Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UIPress, 1985), Cet. Kelima Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternative Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bndung: Mizan, 1986) Jalaluddin Rakhmat, Membuka Tirai Keghaiban, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung:Mizan, 2000), Cet. Ke-11 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Ke-3 K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. Kesebelas Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004) Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. RosdaKarya, 2004), Cet. Ke-20 M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, tt) M. Dahlan Yacub Al-Barry, Kamus Sosiologi Antropologi, (Surabaya: Indah, tt) M. Quraish Shihab, “Falasafah Ibadah dalam Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: BumiAksara, 1992), Cet. Ke-2
MAPPIARE, Andi, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006) Mardalis, Metode Penellitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: BumiAksara, 2014), Cet. 13 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Kelima Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997) Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997) NurcholisMadjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Keritis Terhadap Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), Cet. Keempat Pius A. Partanto dan M. Dahalan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, tt) Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.Keenam Robert h, Pengantar Psikologi Agama, Terj. An Introduction to The Psychology of Religion, Penerjemah, Machnun Husein, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1995), Cet. Ke-2 Rulam Ahmadi, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014) Rusman Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kencana, 2014)
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. RinekaCipta, 2010), Cet. Ke-8, Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005), Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 13 SuharsimiArikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelima belas T. Sudjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), Cet. Ke-4 Yusuf Qardhawi, Pedoman Ideologi Islam, Terj, Al-Hallu’lIslamiy, Penerjemah, Saifullah Karnalie, (Bandung: Gema Risalah Press, 1988), Cet. Kedua Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. Ke-10 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental Pokok-Pokok Keimanan, (Jakarta: CV. Haji Masagung, tt)