POTRET BURUH INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DALAM KUMPULAN PUISI NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Disusun oleh Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki 1110013000020
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
Abstrak Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum. Puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul menampilkan banyak potret kehidupasn sosial yang terjadi di Indonesia. Salah satu dari sekian banyak potret kehidupan sosial yang ditampilkan oleh Wiji Thukul adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Penelitian yang menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk mengetahui sebuah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Berdasarkan penelitian, ditemukan 22 puisi yang menampilkan potret buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dari 169 puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh tersebut menampilkan berbagai potret buruh Indonesia seperti kehidupan ekonomi buruh yang sulit, permasalahan upah buruh yang rendah, permasalahan lembur paksa, jaminan kesehatan dan keselamatan buruh yang kuang mendapatkan perhatian oleh pihak perusahaan, serta tindakan represif dari pihak perusahaan kepada buruh. Kata kunci: potret buruh Indonesia, puisi, pembelajaran sastra
i
Abstract Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , A Portrait of Indonesian Labor in A Collection of Poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul: a Review of Sociology of Literature and Its Implications on Indonesia Languages and Literature Learning in School. Indonesia Language and Literature Education Departement, Faculty of Tarbiya and teaching science, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Jamal D. Rahman, M.Hum. The poems in a collection of poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul shows many potrait of social life what happened in Indonesia. Among the various a portrait of social life displayed by wiji thukul is a portrait of Indonesian labor in Orde Baru era. The research which sociology of literature review is conducted to determine a portrait of Indonesian labor in a collection of poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul and its implications on Indonesia language and literature learning in school . Based on the results of research, found 22 poetry which showing a portrait of Indonesian labor in the Orde Baru era of 169 poetry that has colected in a collection of poems Nyanyian Akar Rumput. 22 poetry about labor by Wiji Thukul is showing a variety of Indonesian labor as a portrait of their economy life, the number of low labor wage that are not in accordance with the burden of work performed by labor, forced overtime issues, health care and safety in the work that is underappreciated by the company, and a repressive actions done by the officers of the companies to workers. Keywords: a portrait of labor, poetry, literature learning
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah memberikan petunjuk dan kekuatannya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan kita sebagai pengikutnya sampai akhir zaman. Aamiin! Terselesaikannya skripsi yang berjudul Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ini merupakan hasil kerja saya yang tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik dukungan berupa doa, semangat, sumbangan pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan skripsi ini. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7. 8. 9. 10.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; Bapak Jamal D. Rahman, dosen pembimbing skripsi saya yang dengan penuh dedikasi tinggi telah bersedia membimbing saya dalam hal penulisan skripsi ini; Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A. selaku dosen penasihat akademik saya yang telah memberikan pengarahan sampai terselesaikannya perkuliahan saya; Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi yang begitu berguna dalam kehidupan saya; Kedua orangtua saya, Basuki, S.Pd. dan Nurhayati Sulistiyo Rahayu Ningsih, S.Pd. atas segala ketulusan dan pengorbanan yang senantiasa diberikan kepada saya; Kedua adik saya Arbiyan Billah Dini Nurhakiki dan Siti Khairunnisa Nurhakiki; Sahabat-sahabat saya yang tercinta: Arul, Meizar, Puguh, Anam, Teguh, Cecep, Ara, Habibah, Lintang, Papat, dan Rizka; Ema Fitriani yang beberapa kali membantu saya dalam menemukan sumber pustaka; Keluarga Besar Pojok Seni Tarbiyah yang tercinta;
iii
11. 12. 13.
Sahabat-sahabat seperjuangan di Kemangilodi: Amal, Lina, dan Sri (saat kita tidak punya apa-apa, karyalah yang membawa kita ke mana-mana); Sahabat-sahabat PBSI angkatan 2010; Sahabat senasib, semimpi, dan seperjuangan di Kareina, Mbenk Haryadi Kareina. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Terakhir, saya berharap semoga skripsi ini dapat memberikan konstribusi wawasan bagi cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin!
Ciputat, 27 November 2014
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ...........................................................................................................v
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Identifikasi Masalah .....................................................................................5 C. Pembatasan Masalah ....................................................................................5 D. Rumusan Masalah ........................................................................................6 E. Tujuan Penelitian..........................................................................................6 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................6 G. Metode Penelitian ........................................................................................7
BAB II: PUISI DAN BURUH A. Puisi ...........................................................................................................12 B. Pendekatan Sosiologi Sastra ......................................................................24 C. Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru...........................................28 D. Pembelajaran Sastra ...................................................................................33 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................36
v
BAB III: WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS A. Biografi Wiji Thukul .................................................................................40 B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra .......................................................48 C. Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput ...................................52
BAB IV: POTRET BURUH INDONESIA DALAM KUMPULAN PUISI NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL A. Thukul dan Puisi tentang Buruh ................................................................54 B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh.........................55 C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput ..84 D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul tentang Buruh terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah .......................................................................117
BAB V: PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................................122 B. Saran.........................................................................................................124
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................125 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejarah perburuhan di negeri mana pun, termasuk di Indonesia, dapat dikatakan tidak pernah menggembirakan. Kondisi dan nasib para buruh senantiasa menyedihkan. Mereka selalu saja terbelenggu dalam lingkungan industrial yang kerap menggerus mereka dalam keadaan tereksploitasi pikiran dan tenaganya. Sejak masa kolonial hingga saat ini, kondisi dan nasib buruh di negeri ini tetap saja memperihatinkan, tak ada banyak perubahan berarti ke arah yang lebih baik dalam kehidupan mereka. Bahkan, lahirnya serikat-serikat buruh sejak era kemerdekaan, Orde Baru hingga era Reformasi yang diharapkan mampu menjadi wadah bagi buruh untuk bersatu dan memperjuangkan nasib mereka ternyata hasilnya masih jauh dari kata memuaskan. Jika kita menyaksikan kondisi perburuhan di Indonesia, maka kita akan dapat menyadari betapa kompleks dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya dan hal itu tak kunjung ada penyelesaiannya. Buruh pun berada dalam sebuah dilema, di satu sisi, mereka membutuhkan pihak perusahaan untuk bekerja dan mendapatkan upah, namun di sisi lain, dalam pekerjaannya para buruh kerapkali dieksploitasi demi kepentingan pihak perusahaan tempat mereka bekerja. Persoalan tentang buruh dapat dikatakan sebagai persoalan yang krusial. Persoalan ini bukan sekadar persoalan industrial, tetapi juga menyangkut persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sistem ekonomi-politik suatu negara akan menentukan corak sistem perburuhan yang diberlakukan. Persoalan perburuhan sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dunia, khususnya kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, kaum buruh cenderung dieksploitasi. Bahkan, buruh kerap dikonotasikan sebagai mesin produksi, maka upah yang diberikan kepada kaum buruh harus disesuaikan dengan tingkat produktivitas mereka. Kondisi inilah yang membuat buruh terus-menerus terisap
1
2
dan termarjinalkan dalam dunia industrial. Maka, bukanlah suatu hal yang mengherankan
apabila
dari
masa
ke
masa
nasib
buruh
senantiasa
memperihatinkan. Di Indonesia, pada masa Orde Baru, penguasa kala itu mencanangkan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Hal ini kemudian diikuti dengan diterapkannya Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang membuka peluang intervensi negara. Sialnya, penerapan politik pembangunan dan HIP oleh ini tidak mampu memperbaiki kehidupan buruh. Kondisi buruh tetap memperihatinkan. Sistem kapitalistik yang semakin berkembang terus menggerus kehidupan buruh. Kondisi ini diperparah dengan intervensi yang kerap dilakukan pemerintah. Dengan dalih menjaga stabilitas, pemerintah kala itu tidak segan menggunakan aksi represif terhadap buruh yang mangadakan aksi protes sebagai alat untuk memperjuangkan diri mereka. Sementara, dalam kehidupan pekerjaannya, pihak perusahaan terus-menerus mengekploitasi mereka. Keadaan perburuhan di Indonesia yang seperti inilah yang kemudian menyadarkan para buruh untuk semakin bertekad memperjuangkan hak dan nasib mereka demi kehidupan yang lebih baik. Maka mulai lahirlah beberapa serikat buruh yang benar-benar berpihak pada buruh (bukan serikat buruh bentukan penguasa yang pada kenyataannya digunakan untuk kepentingan penguasa). Selain itu, para buruh pun mulai bersatu bersama pihak-pihak lain semisal para aktivis untuk sama-sama memperjuangkan keadilan bagi buruh. Kehadiran para aktivis dalam perjuangan buruh ini memiliki posisi yang penting sebagai motor penggerak bagi buruh untuk menyadari dan memperjuangkan hak mereka. Di antara aktivis buruh yang menonjol pada masa era Orde Baru adalah Wiji Thukul. Akan tetapi, dia bukan sekadar aktivis, ia juga seorang penyair yang sebelumnya juga pernah bekerja sebagai buruh. Sebagai seorang penyair, Wiji Thukul kerap menggunakan puisinya sebagai media protes sosial terhadap penguasa. Di antara hal yang sangat sering ia sampaikan dalam protes sosialnya adalah nasib buruh. Seperti yang sudah penulis katakan, Wiji Thukul sendiri juga pernah menjadi buruh, begitu pun dengan istrinya, Sipon. Pergaulannya yang
3
dekat dengan dunia buruh membuat Thukul bisa merasakan bagaimana nasib buruh pada masa Orde Baru yang begitu memperihatinkan. Di antara puisi Wiji Thukul yang menampilkan potret buruh adalah puisinya yang berjudul “Suti”. Melalui puisi tersebut, Thukul menampilkan potret seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya sebagai buruh tidak mencukupi. Sementara itu, dalam puisi “Leuwigajah”, Wiji Thukul menampilkan potret buruh (tenaga muda) yang terus diperah, diisap darahnya, seperti buah disedot vitaminnya. Dalam puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, bahkan Wiji Thukul dengan terang-terangan menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka: kaum buruh. Dengan keras Thukul mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh. Nasib buruh pada masa Orde Baru memang sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak di antaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesarbesarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Buruh saat itu dituntut untuk bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak diimbangi dengan upah yang sepadan. Belum lagi tentang banyaknya kisah penganiayaan terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja (ambil contoh kasus Marsinah, buruh dan aktivis yang meninggal sebab dibunuh oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja). Hal inilah yang banyak menjadi bahan protes sosial Wiji Thukul melalui puisi-puisinya. Pada tahun 2014, terbit kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama. Dari sekian banyak puisi yang terdapat dalam kumpulan lengkap puisi tersebut, terdapat beberapa puisi yang mengangkat tema tentang nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di antara puisi-puisi itu adalah puisi yang berjudul “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan
“Leuwigajah”. Melalui puisi-puisi tersebut, orang yang
4
membacanya akan dapat menyaksikan bagaimana nasib buruh Indonesia ketika masa Orde Baru lengkap dengan kondisi batin mereka. Potret nasib buruh pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya merupakan suatu hal yang menarik. Thukul bukan hanya sekedar menulis puisi, ia juga seorang mantan buruh dan setelah menjadi aktivis ia juga turut menggerakkan buruh untuk melakukan protes terhadap pemilik pabrik dan penguasa saat itu untuk memperjuangkan nasib mereka. Bahkan, aksinya dalam menggerakkan buruh itu pernah mengakibatkannya mendapatkan tindak kekerasan dari aparat. Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana Thukul telah berusaha memperjuangkan nasib buruh melalui puisi sekaligus aksi. Sebagai penyair, Wiji Thukul telah berhasil menampilkan potret kenyataan sosial yang pernah terjadi di negerinya dalam hal ini adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Bukan itu saja, ia juga menjadikan puisi-puisinya sebagai alat protes sosial terhadap penguasa dan pihak perusahaan yang di sisi lain mampu menggerakkan para buruh untuk bersatu dan memperjuangkan hak dan nasib mereka. Apa yang dilakukan oleh Thukul melalui puisi-puisinya menegaskan bahwa puisi dapat dijadikan sebagai media yang mengabadikan sebuah potret kenyataan sosial yang di sisi lain dapat digunakan sebagai alat protes sosial. Nama Wiji Thukul dalam sejarah sastra Indonesia seolah-olah terlupakan atau bahkan sengaja dilupakan yang mungkin saja akibat dari sosoknya sebagai penyair sekaligus aktivis pemberontak yang menjadi musuh penguasa. Begitulah, sejarah memang sering ditulis dan dilupakan demi kepentingan penguasa. Wiji Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup atau tidak, jika sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya setelah tragedi krisis 1998. Banyak yang mengatakan ia telah menjadi korban politik penguasa yang tak tahan oleh kritik dan aksinya sebagai penyair sekaligus aktivis. Dapat dikatakan, Wiji Thukul, baik sebagai penyair, aktivis, maupun manusia biasa telah mengalami peristiwa hidup yang tragis. Ia memilih hidup
5
sebagai seorang penyair dan aktivis yang memperjuangkan hak buruh maupun rakyat kecil lainnya dari kesewenangan penguasa, tetapi justru karena pilihan hidupnya itulah ia dianggap sebagai musuh oleh penguasa. Berdasarkan hal-hal tersebut yang telah penulis jelaskan, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul. Ada pun judul dari penelitian ini adalah “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Melalui penelitian ini, penulis berusaha menguraikan bagaimana kumpulan puisi Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian Akar Rumput mencerminkan nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
B. Identifikasi Masalah Di dalam penelitian tentu terdapat banyak faktor atau unsur yang diteliti. Faktor atau unsur-unsur tersebut memerlukan pengidentifikasian masalah. Tujuan adanya identifikasi masalah adalah agar memudahkan peneliti dalam mengkaji bahasan penelitiannya. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam skripsi ini. 1. Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan dalam puisipuisi Wiji Thukul merupakan usaha penyair untuk menguak fakta tentang kondisi buruh pada zaman itu yang seringkali diperlakukan secara tidak adil, namun fakta tersebut ditutupi oleh penguasa saat itu. 2. Puisi-puisi Wiji Thukul yang bertemakan tentang buruh merupakan usaha Wiji Thukul untuk memperjuangkan nasib buruh yang pada masa Orde Baru.
C. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka diperlukan batasan masalah. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi
6
Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul? 2. Bagaimana implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.
2. Untuk mengetahui implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian Untuk menguji kualitas yang dilakukan oleh seorang peneliti, maka suatu penelitian harus memiliki manfaat baik secara teoretis, maupun praktis. Berikut merupakan manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian skripsi ini. 1.
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang kritik sosial, khususnya mengenai permasalahan buruh di Indonesia dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi para guru Bahasa dan Sastra Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang menaruh minat terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
2.
Manfaat Praktis
7
a) Mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta relevansinya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut, serta sebagai inovasi baru bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
G. Metode Penelitian Penelitian yang baik adalah penelitian yang menggunakan metode yang relevan. Fungsi dari penggunaan metode penelitian adalah agar penelitian yang dilakukan
mendapatkan
hasil
yang
sistematis,
valid,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Berikut ini merupakan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi yang berjudul “Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Keterampilan Menyimak Sastra di Sekolah Menengah Atas”. 1) Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya, data penelitian dari hasil analisis, yaitu berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif adalah berupa teks. Sedangkan pendekatan teori menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra menurut Abrams adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan karya sastra sebagai imitasi dari realitas.1
1
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : Grasindo, 2008), h. 188.
8
Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.
2) Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena yang ditanggap.2 Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan data dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci untuk menggambarkan suatu hal, keadaan, dan fenomena yang meliputi analisis dan interpretasi terhadap objek yang diteliti. Dengan desain tersebut, maka penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi pokok masalah dalam puisi yang dikaji, yakni kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.
3) Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data langsung yang berkaitan dengan karya sastra yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan I: 2014, dengan tebal 248 halaman. Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.
2
Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1975), h. 133.
9
4) Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka merupakan teknik yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk meperoleh data penelitian. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat dan terarah terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya sastra yang diteliti. Dalam penelitian ini, sumber-sumber tertulis yang digunakan sesuai dengan analisis struktur yang membangun serta potret buruh Indonesia yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks puisi “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.
5) Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penlitian ini adalah teknik membaca heuristik. Menurut Riffatere dalam Sangidu, pembacaan heuristik merupakan
cara
kerja
yang
dilakukan
oleh
pembaca
dengan
10
menginterpretasikan
teks
satra
secara
referensial
lewat
tanda-tanda
3
linguistik. . Langkah awal dalam menganalisis kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput adalah dengan membaca secara heuristik. Membaca dengan heuristik bertujuan untuk mengetahui makna secara tersurat secara keseluruhan dari kumpulan
puisi
Nyanyian
Akar
Rumput.
Setelah
itu,
peneliti
mengklasifikasikan puisi Wiji Thukul mana saja yang mengandung potret buruh Indonesia hingga ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh. Ada pun 22 puisi tersebut adalah “Suti”, “Ayolah Warsini”,
“Teka-teki
yang
Ganjil”,
“Satu
Mimpi
Satu
Barisan”,
“Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. Kemudian, peneliti menganalisis unsur batin dan fisik 22 puisi tersebut. Lalu, peneliti menganalisis 22 puisi tersebut berdasarkan pendekatan mimetik untuk mengetahui segala potret buruh Indonesia yang terdapat dalam puisipuisi Wiji Thukul tersebut. Setelah puisi-puisi tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan mimetik, selanjutnya peneliti mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.
6) Validitas Data Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Adapun tringulasi yang digunakan adalah tringulasi teori, yaitu penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda dalam menganalisis data. 3.
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), h.45.
11
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tringulasi sumber. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen untuk menguji data yang sejenis tentang kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh.
12
BAB II PUISI DAN BURUH
A. Puisi 1.
Pengertian Puisi Sebagai karya kemanusiaan, puisi pada hakikatnya adalah ungkapan
kualitas kemanusiaan kita−yang disadari atau pun tidak, keberadaannya selalu hadir dalam kehidupan kemanusiaan kita. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, misalnya, seringkali kita menjumpai berbagai ekspresi puitis yang terlontar dari lisan kita. Bahkan, sudah sejak lama jenis puisi seperti mantra digunakan oleh sebagian masyarakat dalam kegiatan ritual spiritual seperti pemujaan roh nenek moyang hingga ritual untuk menolak bala. Dengan kata lain, dalam menjalani dan menyikapi kehidupannya, secara sadar maupun tidak, manusia terbiasa menggunakan sekaligus memanfaatkan puisi. Hal ini menegaskan pula, bahwa pada kenyataannya puisi dengan kehidupan manusia adalah dua sisi koin yang memang tidak dapat dipisahkan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya pengertian dari puisi itu sendiri? Puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait4. Zainuddin menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah karya sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan pengungkapannya tidak terperinci, tidak mendetail atau tidak meluas5. Pendapat lain dikemukakan oleh Waluyo yang mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasan penyair
secara imajinatif dan disusun
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.6 Sementara itu, Samuel Jhonson dalam Aswinarko mengatakan bahwa puisi adalah seni penyatuan kesenangan-kesenangan dengan kebenaran melalui
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.1112. 2 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 100. 6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : Grasindo, 2008), h. 108.
13
sentuhan imajinasi yang bernalar. Batasan tersebut berkaitan dengan bentuk batinnya saja.7 Selanjutnya, Winarko dan Ahmad Bahtiar mengemukakan pendapat tentang pengertian puisi bahwa puisi adalah ungkapan jiwa yang bersifat emosional dengan mepertimbangkan efek keindahan yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sanjak, dan kata-kata kias yang penuh makna8. Mengenai pengertian dari puisi, E. Kosasih berpendapat bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna9. Sementara itu, Donald A. Stauffer berpendapat bahwa poetry is concrete. Its significance is embodied in the symbols of all the senses; and moral statement, abstract speculations, convictions, hopes, and tenuous emotions, are all set forth to walk in images and actions.10 2. Struktur Puisi Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna.
E. Kosasih
mengatakan bahwa puisi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Mengenai unsur fisik puisi, akan dijelaskan secara lebih rinci berikut ini. A)
Unsur Fisik
a)
Diksi Ketika menulis puisi, seorang penyair haruslah cermat dalam memilih
kata-kata, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Diksi atau pilihan kata adalah hasil dari upaya memilih kata yang tepat untuk dipakai dalam suatu tuturan bahasa.11Sementara itu, Gorys Keraf berpendapat bahwa diksi mencakup
7Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, Kajian Puisi: Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra Press, 2013), h.8. 8 Ibid., h. 9 9 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), h. 97. 10 Donald A. Stauffer, The Nature of Poetry, (United States of America: Holt, Rinehart, and Winston, 1960), h.471. 11 Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press, 2009), h. 65.
14
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.12 Ada beberapa hal lain yang harus dipertimbangkan oleh penyair dalam memilih kata-kata dalam puisinya, yaitu perbendaharaan kata, ungkapan, urutan kata-kata, dan daya sugesti kata-kata. Berikut akan dijelaskan secara lebih detil. 1) Perbendaharaan kata Perbendaharaan kata penyair di samping sangat penting untuk kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih kata-kata, di samping penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Maka penyair satu berbeda dalam memilih kata dari penyair lainnya.13 2) Urutan kata Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan kata itu tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Di samping itu, urutan kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang diinginkan penyair. Jika urutan katanya diubah, maka perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula.14 3) Daya sugesti kata-kata Daya sugesti kata-kata ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya itulah yang membuat kata-kata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.15 b)
Pengimajian
12
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.
24. 13
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), h. 73 Ibid. 15 Ibid. 14
15
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.16 Pengimajinasian atau imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami oleh penyair.17 Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual (penglihatan), imaji auditif (suara), dan imaji taktil (cita rasa).18 Imaji visual adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Imaji auditif adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Sementara itu, imaji taktil adalah imaji rasa kulit yang menyebabkan pembaca seolah-olah merasakan di bagian kulit terasa nyeri, perih, panas, dingin, dan sebagainya.19 c)
Kata Konkret Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret
atau diperjelas. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Kata konkret adalah syarat atau sebab terjadinya pengimajian. Jika penyair mahir memperkonkret katakata, maka pembaca seolah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan penyair.20 d)
Bahasa Figuratif (Majas)
16
Herman J. Waluyo, op.cit., h. 78 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 115 18 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 79 19 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 81 20 E. Kosasih, op. cit., h.103 17
16
Bahasa figuratif merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata lain.21 Penggunaan bahasa figuratif ini menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang22 Berikut akan dijelaskan mengenai makna kiasan dan perlambangan. 1) Kiasan Kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya baha kiasan karena mewakili apa yang secara tradisonal disebut gaya bahasa secara keseluruhan. Tujuan penggunaan kiasan ialah untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa puisi.23 Berikut ini akan dijelaskan metafora (kiasan langsung), persamaan (kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, euphemisme, sinekdoke, dan ironi. a. Metafora Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh: bunga sedap malam, melati di tapal batas, dan sebagainya.24 b. Perbandingan Perbandingan atau yang disebut juga sebagai simile adalah kiasan yang tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai, bak, dan sebagainya. Contoh: kau bagai pelita dalam kegelapan, bola mata hitam bak malam yang dalam, dan sebagainya.25 c. Personifikasi
21
Ibid., h. 104. Herman J. Waluyo, op.cit., h. 83 23 Ibid., h. 84 24 Ibid., h. 84 25 Ibid., h. 85 22
17
Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona. Contoh: angin bernyanyi, pepohon pun menari, dan sebagainya.26 d. Hiperbola Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih saksama dari pembaca. Contoh: luka yang kau goreskan adalah kepedihan seribu tahun bagiku.27 e. Sinekdoke Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Terbagi atas parte pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro parte (menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian). Contoh: aku merindukan senyummu, „aku‟ merindukan diri seseorang yang dikasihinya, tetapi hanya menyebutkan senyum orang yang dikasihinya saja (parte pro toto), rakyat pun termangu meratapi kemiskinannya, untuk menggambarkan keadaan sebagian rakyat yang miskin, pada contoh ini disebutkan semua rakyat termangu meratapi kemiskinannya seolah-olah semua rakyat miskin.28 f. Ironi Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran.29 Wiji Thukul dalam sebuah puisinya pernah memberi sindiran kepada penyair yang terlalu mendewakan seni sastra yang tinggi melalui karyanya, namun tidak seolah-olah tuli dalam mendengar jeritan kehidupan dan kemiskinan serta kenyataan sosial yang terjadi sebenarnya
26
Ibid. Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid., h. 86 27
18
2) Perlambangan Perlambangan digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah pembaca. Perlambangan digunakan penyair sebab ia merasa bahwa katakata dari kehidupan sehari-hari belum cukup untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Perlambangan dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan lambang warna, lambang benda, lambang suasana, dan lambang bunyi. Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan penyair untuk mengganti keadaan atau peristiwa itu.30 e)
Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum) 1) Rima Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi dalam puisi digunakan untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata 31. a. Onomatope Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada.32 Contoh: pada tip-tap-tip-tap langkahnya (pada contoh ini digunakan tiruan bunyi langkah orang yang berjalan, yaitu tip-tap-tip-tap). b. Bentuk intern pola bunyi Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa yang dimaksud bentuk intern pola bunyi ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan akhir persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi, dan sebagainya.33 Aliterasi adalah persamaan bunyi pada suku kata pertama sedangkan asonansi adalah ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan.34
30
Ibid. Ibid., h. 90 32 Ibid. 33 Ibid., h.92 34 Ibid. 31
19
c. Pengulangan kata Pengulangan tidak hanya berbatas pada bunyi, namum juga kata-kata atau ungkapan. Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni.35 Misalnya dalam puisi “Aku ingin”, Sapardi Djoko Damono menggunakan dua kali larik aku ingin mencintaimu dengan sederhana, yakni pada larik pertama bait pertama dan larik pertama bait kedua. 2) Ritma Ritma sangatlah erat kaitannya dengan bunyi dan berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma berbeda dari metrum (matra). Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Slamet Muljana dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa ritma adalah pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Membahas metrum dalam puisi Indonesia sangatlah sulit, sebab dalam bahasa Indonesia, tekanan tidak membedakan arti dan belum dilakukan, namun dalam deklamasi puisi peranan metrum sangat penting.36 f)
Tipografi (Perwajahan) Tipografi atau perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan
bait pada puisi.37Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan. Tepi kiri dan tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan.38
35
Ibid. Ibid., h. 94. 37 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 113 38 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 97 36
20
Kata-kata yang disusun mewujudkan larik-larik yang panjang dan pendek, yang membentuk suatu kesatuan padu. Pergantian larik panjang dan pendek sedemikian bervariasi secara harmonis sehingga menimbulkan ritma yang padu.39 B)
Unsur Batin Puisi Selain memunyai unsur fisik, puisi juga memunyai unsur batin. Berikut
adalah penjelasan mengenai unsur batin dalam puisi. a)
Tema Tema adalah gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.40
Tema juga berupa pengungkapan pokok pikiran dan persoalan manusia yang hakiki yang mengandung arti (cinta, benci, dendam, duka, keserakahan, keadilan, kesesangsaraan, penindasan, dan kebahagiaan). Secara umum, tema dapat dikatakan sebagai dasar untuk mengembangkan suatu puisi atau topik yang menjadi pokok utama yang disebut juga sebagai gagasan pokok.41 b)
Perasaan Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili ekspresi perasaan
penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau Sang Khalik.42 Puisi merupakan karya yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau penyair hendak mengagungkan kekaguman terhadap kekasih, alam atau Sang Pencipta.43 c)
Nada dan Suasana Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap
pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi.44 Sementara itu, suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada dan suasana puisi sangat berhubungan. Nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada 39
Ibid. E. Kosasih, op. cit., h.105. 41 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.53-54 42 E. Kosasih, op. cit., h. 105. 43 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 54 44 E. Kosasih, op. cit., h.109. 40
21
kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca.45 d)
Amanat Amanat adalah ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan
pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.46 Puisi mengandung amanat atau pesan yang dismapaikan penyair kepada pembaca. Setiap pembaca dapat menafsirkan sebuah puisi secara individual. Pembaca yang satu dengan yang lain mungkin akan berbeda dalam menafsirkan amanat yang terdapat dalam puisi.47 3.
Jenis-jenis Puisi Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan, puisi terbagi ke dalam jenis-jenis berikut. a)
Puisi Naratif Puisi naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair.48 Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair. Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh adalah kumpulan puisi Rendra yang berjudul Balada Orang-orang Tercinta. Sementara, romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih memesonakan.49
b)
Puisi Lirik Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadi aku lirik.50 Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Sebagai contoh puisi “Elegi Jakarta” karya Asrul Sani. Serenada adalah sajak percintaan yang dapat dinyanyikan. Sebagai contoh puisi “Serenada Biru” karya Rendra. 45
Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 53-54 E. Kosasih, op. cit., h.109. 47 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 55 48 Ibid., h.14. 49 Herman J. Waluyo, op.cit., h.135-136 50 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.14 46
22
Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal atau suatu keadaan. Sebagai contoh adalah puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar.51 c)
Puisi Deskriptif Puisi deskriptif adalah puisi yang penyairnya bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair.52 Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif di antaranya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Puisi kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau diri seseorang,
namun
dengan
cara
membeberkan
kepincangan
dan
ketidakberesan keadan/orang tersebut. Sedangkan puisi impresionistik adalah puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu hal.53 d)
Puisi Kamar Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendiri dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar.54
e)
Puisi Audiotorium (Puisi Mimbar) Puisi audiotorium, disebut juga puisi hukla, yaitu puisi yang cocok dibaca di hadapan orang banyak (acara seremonial) atau dibaca di audiotorium.55
f)
Puisi Pamflet Puisi pamflet mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan
rasa
tidak puas terhadap keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes
51
Herman J. Waluyo, op.cit., h.136 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15 53 Herman J. Waluyo, op.cit., h.137 54 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15 55 Ibid., h.14. 52
23
secara spontan tanpa proses pemikiran dan perenungan yang mendalam. Salah satu dari tokoh puisi pamflet adalah Rendra.56 g)
Puisi Epik Puisi epik adalah puisi yang mengungkapkan tentang petualangan atau perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur yang dilakukannya.57
4.
Fungsi Puisi dalam Masyarakat Seorang pemikir Yunani, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile,
dalam tulisannya berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra memunyai fungsi ganda, yakni, menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. 58 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik bukan hanya sekadar indah dan menghibur, tetapi juga mengandung pesan atau amanat yang bermanfaat bagi pembacanya. Herman J. Waluyo dalam Endah Tri Priyatni berpendapat bahwa fungsi sastra adalah sebagai wahana katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.59 Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik selalu bernilai relijius, artinya, sastra akan selalu mengajak menuju kehidupan yang lebih baik dan benar.60 Apabila pesan sastra yang baik tersebut benar-benar diamalkan dan dipatrikan dalam sikap hidup, niscaya ia akan sertamerta memantul lewat perilaku yang dekat dengan kebaikan.61 Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan puisi, mantan Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy pernah mengatakan bahwa jika
56
Ibid., h.141-142 Ibid., h.17. 58 Melani Budianta dan Kawan-kawan, op. cit., h.19. 59 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 22. 60 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), h. 16. 61 Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media), h. 3. 57
24
politik kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya.62 Apa yang dikemukakan oleh John F. Kennedy ini bukanlah sebuah bualan belaka, sebab dalam kenyataannya puisi memang tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosial politik dan keduanya saling memengaruhi. Dilihat dari sisi yang lain, puisi dapat pula dijadikan sebagai alat kontrol sekaligus kritik sosial. Rohinah M. Noor bahkan mengatakan bahwa ketika kekerasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi dengan fitrahnya maju sebagai penggugat dan pembela. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah, puisi juga turut merekamnya.63 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi puisi, yakni sebagai media perekam sejarah sekaligus alat protes sosial (penggugat). Ada kalanya, puisi juga dapat menjadi sebuah media perubahan sosial dan penyair menjadi agen perubahannya. Di Irak, terdapat penyair bernama Nazik Malaikah. Melalui puisi-puisinya, ia menyerukan perubahan dengan nada yang bergelora juga bertema kekecewaan dan keputusasaan atas kegagalan suatu rezim. Rakyat Irak menganggap Nazik sebagai pahlawan revolusi yang puisi-puisinya diakui oleh banyak pengamat telah menjadi sumber revolusi besar Irak pada 14 Juli 1958 yang mengkudetakan rezim Rasyid al-Kilani.64 B. Pendekatan Sosiologi Sastra 1.
Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi sastra menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan
karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.65 Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.66 Sementara itu, Aswinarko mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertitik-tolak dari asumsi bahwa sastra (puisi) merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial meliputi 62
Ibid., h. 29. Ibid, h. 31-32. 64 Ibid., h. 32-33. 65 Siswanto, op. cit., h.188. 66 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Centre for Academic Publising Service), h. 78. 63
25
peraturan kehidupan sosial, hubungan antarmasyarakat, interaksi antarkomunitas dalam masyarakat.67 Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Atar Semi yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.68 Pendekatan sosiologi sastra berasal dari dua bidang pengetahuan, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hubungan sosial antarmanusia dalam masyarakat dengan segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Vladimir Jdanov dalam Robert Escarpit bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah
dan
sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus mengabaikan sudut pandang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang independen dan berdiri sendiri.69 Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra.70 Suwardi Endraswara mengatakan bahwa secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: (1) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif, (2) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, dan (3) studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidup.71 Mengutip apa yang dikatakan oleh Laurenson dan Swingewood, lebih lanjut Suwardi Endraswara mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan
67
Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.92. Atar Semi, Metodologi Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 2012), h. 92. 69 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h.8. 70 Suwardi Endraswara, op. cit., h. 77 71 Ibid., h. 87-88 68
26
refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.72 Sosiologi sastra juga dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan menjadi life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif represif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. 73 Ada kalanya, penelitian sastra juga menjurus ke masalah-masalah politik, karena politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks sastra. Bahkan, kondisi politik juga sering memengaruhi kehidupan sastra itu sendiri74 Dalam kaitan itu, sosiologi sastra memang merupakan penelitian manusia dalam kaitannya dengan masyarakat dan teks sastra, karena memang antara manusia, kehidupan sosial, dan sastra tidak bisa dilepaskan. 2.
Hubungan Karya Sastra dan Masyarakat Sastra, sebagaimana menurut Rohinah M. Noor, merupakan sebuah
produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa sastra berada dalam tarikmenarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial yang di dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan
ideologis, bahkan doktrin
agama.75 Senada dengan Rohinah, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat yang mau tidak mau akan 72
Ibid., h. 79 Ibid., h. 80-81 74 Ibid., h. 90 75 Rohinah M. Noor, op. cit., h. 23. 73
27
menjadi
saksi
zaman.
Dalam
kaitan
ini,
pengarang
berupaya
untuk
mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.76 Pandangan yang amat populer adalah pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan cerminan sosial, dalam kata lain karya sastra merupakan cermin pada zaman ketika karya tersebut diciptakan. Konteks sastra sebagai cermin akan merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara sastra dengan kehidupan masyarakat. Konteks pandangan ini juga merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat. Perubahan dan cara individu dalam bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks (sastra).77 Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara sastra dengan masyarakat dan oleh karena masyarakat cenderung dinamis, karya sastra juga cenderung mencerminkan hal yang sama.78 Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, setiap teks sastra mengandung resonansi sosial, historis, dan politik. Karya sastra sering berada pada “ketaksadaran politik” yang mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga secara tak sadar mengungkapkan heterogenitas di luar teks. Di antara heterogenitas itu adalah masalah-masalah sosial yang memperkaya teks sastra.79 Pada konteks sosiologi sastra, sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, fungsi sastra dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan. 76
Suwardi Endraswara, op. cit., h. 89. Ibid., h. 88 78 Ibid., h. 89 79 Ibid., h. 90 77
28
Bahkan, mungkin juga sastra dianggap sebagai suatu hal yang mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya.80 C. Potret Buruh dalam Sejarah Industrial Indonesia Kata „buruh‟ bisa dipahami sebagai pekerja di bidang apa saja selama ia tidak berada pada posisi sebagai pengusaha atau pihak yang membela kepentingan pengusaha.81 Istilah buruh pada dasarnya dapat dikatakan sama dengan pekerja, tenaga kerja maupun karyawan. Akan tetapi, dalam kultur Indonesia, "buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja.82 Sejarah industrial di Indonesia dimulai dengan sistem perbudakan. Upah yang diterima oleh budak biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan. Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang.83 Potret perbudakan yang begitu memilukan misalnya pernah terjadi pada 1877 ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.84 Ini adalah salah satu contoh peristiwa tragis dalam dunia perbudakan yang pernah terjadi di wilayah yang sekarang ini bernama Indonesia (dulu Nusantara). Imam Soepomo dalam Abdul Jalil mengatakan pada zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles yang merupakan seorang anti perbudakan pada 1816 sempat mendirikan The Java Benevolent Institution, semacam lembaga yang bertujuan menghapus perbudakan. Sayangnya ia terlanjur
80
Ibid., h. 90-91 Anonim, “Sastra Buruh, Apa Itu”, (Tangerang: Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 1. 82 Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10 April 2014 Pukul 20:07. 83 Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008), h.33 84 Ibid., h.33-34 81
29
harus meninggalkan Hindia Belanda sebelum sempat mewujudkan cita-citanya itu.85 Pada 1817 ketika Indonesia dikuasai oleh Belanda, pemerintah kolonial membuat beberapa peraturan tentang perbudakan di antaranya larangan memasukkan budak ke pulau Jawa. Pemerintah kolonial juga membuat peraturan yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain menjadi merdeka sepulangnya dari negeri tuannya. Budak yang menolong tuannya dari bahaya maut juga dinyatakan merdeka.86 Pada masa penjajahan Belanda, masalah perbudakan tak kunjung jua terhapuskan, malah timbul sistem perbudakan baru: kerja rodi. Di Jawa, kerja rodi ini pada mulanya dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, dan para pegawai lainnya, serta untuk kepentingan bersama. Akan tetapi, tidak jarang para penguasa menggunakan kerja bersama ini untuk kepentingannya sendiri.87 Salah satu kerja rodi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia adalah kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia atas paksaan pemerintah kolonial pimpinan Deandles. Berdasarkan catatan koloni, Indonesia (yang dulu masih bernama Hindia Belanda) dikatakan bebas dari perbudakan pada tahun 1922 dan sistem kerja rodi dihapus pada 1 Februari 1938.88 Sistem hubungan kerja industrial pada 1930-an mulai bersifat kapitalistik. Hal itu dipicu adanya produksi komoditas internasional secara massal. Data statistik pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai buruh ada sekitar enam juta orang dan setengah jutanya adalah buruh yang sudah bersentuhan dengan teknologi seperti pertambangan, transportasi, dan perbengkelan. Sedangkan sisanya terdiri atas buruh industri kecil (2.003.200), dan buruh musiman yang umumnya terdiri atas buruh tani dan tani miskin.89 Kondisi buruh pada masa ini
85
Ibid., h.34 Ibid. 87 Ibid., h.39 88 Ibid., h.38-39 89 Ibid., h. 40 86
30
tetap tidak dapat dikatakan membaik, pemerintah kolonial banyak membuat peraturan yang kerap merugikan pihak buruh yang cenderung membuat para buruh terus dieksploitasi. Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial tampak diwarnai pergolakan politik, namun relatif berjalan baik. Serikat-serikat buruh memunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan politik praktis. Mereka pun berafiliasi dengan partai-partai politik dan aliran-aliran ideologi tertentu dengan tujuan menjadikannya sebagai alat perjuangan.90 Tumbuh suburnya serikat-serikat buruh pada awal kemerdekaan tak telepas dari diratifikasinya Kovensi ILO tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan
berorganisasi.
Pada
1956,
pemerintah
Indonesia
kembali
meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949. Implikasinya, pada periode 1960-an jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sulit dihitung. Meskipun demikian, tingkat kesejahteraan buruh ternyata tidak berubah secara signifikan.91 Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru Pada saat Orde Baru berkuasa di Indonesia, agenda industrialisasi mulai dijalankan secara serius. Arah umum kebijakan jangka panjang yang ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dengan industri manufaktur yang kuat dan maju didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.92 Dalam tempo yang relatif cepat, perubahan dalam dunia industrial di Indonesia ini membuat mulai tergeserkannya sektor pertanian sebagai motor utama pertumbuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian membentuk MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) mengonsolidasi
kehidupan
para
untuk membicarakan berbagai hal guna buruh
yang
kemudian
diikuti
dengan
dileburkannya dua puluh satu serikat buruh pada 1972 menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Akan tetapi, dalam perjalanannya federasi ini dinilai tidak demokratis. Tuduhan itu dilontarkan oleh WCL (World Convenderation of 90
Ibid., h.41 Ibid., h.43 92 Ibid., h.44 91
31
Labour) dan ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites) yang menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.93 Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian merumuskan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diharapkan dengan ini hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang tercermin
dalam
Pancasila
dan
UUD
1945.94
Akan
tetapi,
dalam
perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak, peraturanperaturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap merugikan kaum buruh.95 Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh. Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional (UMR), akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.96 Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh 93
Ibid., h.44-45 Ibid., h.45 95 Ibid., h.46-47 96 Ibid., h.47 94
32
dianggap bisa membahayakan stabilitas nasional. Tak pelak, hubungan industrial pada
masa
Orde
Baru
sangat
didominasi
oleh
pemerintah.
Dengan
mengatasnamakan demi menjamin stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi, pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk menekan dan mengorbankan kepentingan buruh.97 Maka dari itu, tidaklah mengeherankan apabila nasib kaum buruh tetap saja memperihatinkan dan bahwa kesejahteraan mereka masih berada di bawah standar. Mengamati kondisi buruh pada masa Orde Baru, Budiman Sudjatmiko, aktivis yang pernah menjadi ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengatakan, persoalan perburuhan di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang kompleks. Persoalan ini tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di dalamnya militer). Hal ini berkaitan dengan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Juga karena Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang memang membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini adalah intervensi militer akibat politik stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.98 Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa dalam era kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah mereka banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi dan politik mereka.99 Rupanya, potensi yang dimaksud oleh Budiman Sudjatmiko inilah yang paling ditakuti oleh kaum borjuis. Dengan berbagai cara, seluruh mesin politik yang menunjang kepentingan kaum borjuis dilakukan untuk merepresi buruh, baik secara ideologis maupun fisik. Lebih lanjut, Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa di Indonesia, secara ideologis, represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
97
Ibid., h.47-48 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000), h. 8. 99 Budiman Sudjatmiko,”Arti Penting Buruh”, (Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli 2000), h. 2. 98
33
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh. Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.100 D.
Pembelajaran Sastra
1.
Pengertian Pembelajaran Sastra Pendidikan, menurut Yudhi Munadi, pada hakikatnya merupakan suatu
peristiwa yang memiliki norma. Artinya, dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan sumber norma di dalam pendidikan.101 Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang terkandung dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.102 Kata pembelajaran sendiri dipakai sebagai padanan dari kata instruction (bahasa Inggris). Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar-mengajar yang tidak dihadiri oleh guru secara fisik.103 Sebagai perbandingan, dapat pula ditinjau pendapat Moh. Uzer Usman mengenai pengertian proses belajar-mengajar. Menurutnya, proses 100 101
Ibid. Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012),
h.3. 102 103
Rohinah M. Noor,op. cit., h. 108. Ibid., h.4.
34
belajar-mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.104 Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak harus bisa memberikan manfaat.105 Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran sastra hadir sebagai salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna, berkarakter, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang baik untuk peserta didik. Pembelajaran sastra, menurut Rahmanto, dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupan meliputi empat manfaat, yaitu mambantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.106 Pembelajaran sastra mencakup tiga genre sastra, yakni puisi, prosa, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.107 2.
Tujuan Pembelajaran Sastra Joan Glazer dalam Rohinah M. Noor berpendapat bahwa sastra membantu
perkembangan sosialisasi, yaitu (1) sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar serta alamiah; (2) sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut; (3) perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi tersebut; (4) sastra turut memperjelas, bahwa seorang manusia mengalami berbagai
104
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1997), h. 4. 105
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: JePe Press Media Utama, 2009), h.42. 106 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kaninus, 1988), h. 16 107 Rohinah M. Noor, op. cit., h.76
35
perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik.108 Dalam dunia pendidikan, penanaman moral pada diri anak didik (manusia) merupakan suatu hal yang penting sebab ketika seorang manusia telah memiliki moral yang baik, kepribadian yang menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatanperbuatan yang dapat merugikan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.109 Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui karya sastra itulah diharapkan pembaca mampu mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan.110 Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra, diharapkan para siswa mampu mengambil hikmah atau pelajaran untuk diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra tidak sekedar mengenalkan sastra kepada siswa. Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang berguna untuk memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat mengembangkan pemikirannya serta talenta dalam menulis sehingga dapat memaknai hidup.111 Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.112 Jika ditelisik lebih jauh, pengajaran sastra tidak hanya membentuk watak dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dari
108
Ibid., h. 38-39 Ibid., h. 64 110 Ibid., h. 64-65 111 Ibid., h. 66 112 Ibid., h.11-12 109
36
semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur.113 Selain itu, pembelajaran sastra juga dapat menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan di tengah kepenatan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang “berat”. Pada saat itu, peran guru sangatlah penting. Melalui pendekatan yang dilakukan dengan proses yang sedikit demi sedikit, pembelajaran sastra dapat mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat ekspresi/ungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama ini terendap.114 Singkatnya pembelajaran sastra bisa menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memberikan manfaat bagi siswa. Melalui pembelajaran sastra secara langsung maupun tidak langsung akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap
tradisi dalam
kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.115 Melalui kegiatan apresiasi sastra yang memadai tentunya akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya berperan dalam penanaman fondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, anak didik akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.116 E.
Tinjauan Pustaka Penelitian-penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul ini
dapat ditinjau dari beberapa penelitian skripsi. Berikut ini adalah tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul. 113
Ibid, h.12 Ibid. 115 Ibid., h. 82-83 116 Ibid, h.13-14 114
37
Hantisa Oksinata dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”. Penelitian saudara Hantisa Oksinata didasarkan atas hubungan antara karya sastra dan kenyataan sosial dan sejarah yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang dalam hal ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul terhadap situasi sosial yang tengah dialami oleh Indonesia pada suatu masa (masa Orde Baru). Penelitian saudara Hantisa Oksinata ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur batin dan kritik sosial yang terdapat dalam puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, dan (2) resepsi pembaca dalam puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Ada pun dalam penelitian itu, yang dikaji adalah sebelas dari 141 buah puisi yang mewakili tema kritik sosial.117 Kemudian, penelitian yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga dilakukan oleh Wahyu Widodo dari Universitas Negeri Malang dengan judul “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur puisi dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, mendeskripsikan latar belakang sosiobudaya penyair yang terefleksikan ke dalam puisi-puisi dalam Aku Ingin Jadi Peluru, dan mendeskripsikan ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa pandangan penyair terhadap kondisi sosial budaya masyarakat adalah sebagai berikut: (1) masyarakat bawah yang menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah melalui kebijakannya harus berani untuk menyatakan keberadaan dirinya. Hal ini tercermin dari pokok persoalan yang diangkat oleh penyair dalam puisi-puisinya, (2) masyarakat bawah memunyai kekuatan dan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah dengan banyaknya ditemukan penggunaan tanda seru sebagai sebuah seruan dan ajakan serta penegasan keyakinan yang ditempuhnya, yakni jalan melawan pemerintah. Ciri-ciri realisme sosialis dalam 117
Hantisa Oksinata, “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”, Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, http://digilib.fkip.uns.ac.id/contents/skripsi.php?id_skr=1053, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:49
38
kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, yakni memadukan antara isi dan bentuk dalam artian isi mengangkat pokok persoalan (subject matter) dalam masyarakat bawah dengan menggunakan piranti estetika kesusastraan seperti bahasa kiasan, gaya bahasa, dan pilihan kata yang sesuai serta terkondisikan dalam sosial budaya masyarakat bawah yang menderita pada kurun waktu 1980 sampai 1997 di masa pemerintahan Orde Baru.118 Penelitian lain yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga dilakukan oleh Moh. Anas Irfan dari Universitas Jember dengan judul “Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan Semiotik”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur dan keterjalinan antarunsur struktur yang membangun puisi-puisi Wiji Thukul dalam Aku Ingin Jadi Peluru dengan menggunakan tinjauan semiotik. Analisis struktural meliputi tema, diksi, dan bunyi menunjukkan adanya keterjalinan yang dapat membentuk makna yang utuh dalam kelima puisi yang dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis semiotik, ditemukan ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti pada puisi Nyanyian Akar Rumput menggunakan personifikasi, metafora, dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti pada puisi “Kuburan Purwoloyo” menggunakan sinekdoke pars pro toto, metonimia, hiperbola, dan metafora. Penggantian arti pada puisi ”Ayolah Warsini” menggunakan metafora dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti pada puisi “Bunga dan Tembok” menggunakan sinekdoke totem pro parte. Penggantian arti pada puisi ”Kemarau” menggunakan metafora, hiperbola, dan personifikasi. Penyimpangan arti pada kelima puisi tersebut menggunakan enjambement.
118
Wahyu Widodo, “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”, skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/176, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:51
39
Secara heuristik kelima puisi tersebut menggunakan konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan hermeneutik kelima puisi tersebut mengungkapkan protes sosial rakyat kecil terhadap penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru.119 Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya memungkinkan bagi penulis untuk membuat skripsi dengan judul “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain tentang puisi-puisi Wiji Thukul, penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan penelitiannya terhadap potret buruh pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini berusaha untuk mendeskripsikan potret-potret tentang buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang ditampilkan oleh Wiji Thukul melalui puisi-puisinya dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
119
Moh. Anas Irfan, “Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan Semiotik”, Skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Jember, http:/repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/6046/Moh%20Anas%20Irfan%20%20060110201041_1.pdf?sequence=1, diunduh pada 22 April 2014 pukul 19:00
40
BAB III WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS
A.
Biografi Wiji Thukul Wiji Thukul adalah penyair yang telah memberikan khazanah baru dalam
dunia perpuisian Indonesia malalui puisi-puisinya yang bertemakan tentang rakyat kecil. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Penyair Pelo” ini memang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Wiji Thukul lahir di Solo, 26 Agustus 1963.120 Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri bekerja sebagai pelitur mebel.121 Keadaan ayahnya sebagai seorang penarik becak, bahkan Thukul lukiskan dalam puisi karyanya yang berjudul Nyanyian Abang Becak. “perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi namun bapak cuma abang becak!” (Thukul: Nyanyian Akar Rumput, h. 51) Meskipun berasal dari kalangan rakyat kecil yang hidupnya dekat dengan kemiskinan, hal itu tidak membuat Thukul miskin dalam hal berkarya. Sebagai penyair, Thukul sudah menghasilkan beberapa kumpulan puisi yang di antaranya adalah Kicau Kepodang (1993), Suara Sebrang Sini (1994), Dari Negeri Poci 2 (1994), Mencari Tanah Lapang (1994), Tumis Kangkun Comberan, (1996), dan Aku Ingin Jadi Peluru (2000).122 Selain kumpulan-kumpulan puisi tersebut, pada tahun 2013, majalah Tempo menerbitkan kumpulan puisi Wiji Thukul semasa pelariannya kala dikejar-kejar oleh aparat yang diberi judul Para Jendral Marahmarah yang dijadikan sebagai bonus majalah Tempo edisi bulan Mei. Kemudian 120
Anonim, “Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi”, (Jurnal Pusat Dokumentrasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 10. 121 Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10. 122 Anonim, http://id.tamanismailmarzuki.org/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.
40
41
diikuti dengan diterbitkannya kumpulan puisi terlengkap Wiji Thukul oleh Gramedia pada tahun 2014 yang diberi judul Nyanyian Akar Rumput. Sepanjang kiprahnya dalam dunia kepenyairan, Thukul pun tercatat pernah mendapatkan berbagai prestasi dan penghargaan. Di antara prestasi dan penghargaan itu adalah mendapatkan Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting pada tahun 1991, Yap Thaim Hien Award pada tahun 2002, dan undangan membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.123 Sejak kecil, Thukul memang sudah dikenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika ia masih duduk di kelas satu SMP (Thukul sekolah di SMP Negeri 8 Solo), ia aktif menjadi anggota kor kapel di tempatnya biasa beribadah. Menurut Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran menyanyi di kor.124 Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Akan tetapi sekolahnya di SMKI ini tidak sampai tamat. Saat di SMKI, Thukul pun masih aktif di kapel. Suatu ketika menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertemakan kelahiran Kristus, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, yang di kemudian hari menjadi “guru” yang menempa Thukul dalam berkesenian sekaligus orang yang menambahkan nama Thukul. Nama asli Thukul adalah Wiji Widodo Wiji Thukul artinya “biji yang tumbuh”.125 Dalam proses berkeseniannya, Thukul ditempa oleh Cempe Lawu Warta di Teater Jagat (Jagat merupakan singkatan dari Jejibahan Agawe Genepe Akal Tumindak). Di Teater Jagat, Lawu Warta yang pernah aktif di Bengkel Teater W.S. Rendra mengajarkan Thukul perihal berkesenian seperti seni teater. Lawu Warta lah orang yang mula-mula melihat bakat Thukul di bidang menulis puisi.126 123
Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33. 124 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 92-93. 125 Ibid., h. 93-94. 126 Ibid., h. 101-102.
42
Selain Lawu Warta, orang yang juga berpengaruh dalam proses berkesenian Thukul adalah Halim H.D., aktivis kebudayaan jebolan Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Awal perkenalan Thukul dan Halim terjadi di Teater Jagat pada sekitar 1986. Kala itu, Halim memang sering mampir ke Jagat. Halim lah orang yang banyak membantu Thukul mengamen puisi keliling kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk memperluas publik audiensnya lewat jaringan kebudayaan yang ia rintis. Kemudian hari, kegiatan inilah yang membantu membentuk kepercayaan diri Wiji Thukul sebagai penyair sekaligus deklamator.127 Puisi adalah jalan yang dipilih oleh Thukul untuk menumpahkan segala kegelisahannya. Pada awal-awal menulis, Thukul kerap kali menempel puisi karangannya di majalah dinding Teater Jagat. Kemudian sebagian puisinya ia kirimkan ke Radio PTPN Rasitania, Surakarta, untuk diapresiasikan dan dibacakan di acara Ruang Puisi.128 Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya lewat Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Solo−sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS)−pada sekitar 1985. Kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan sebanyak sekitar 100 eksemplar itu bertajuk Puisi Pelo.129 Pada Puisi Pelo ini, Thukul sudah mengangkat tema tentang kritik sosial, namun belum mengandung unsur politik praktisnya. Setelah Puisi Pelo diterbitkan, dapat dikatakan terjadi lompatan besar dalam penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya Bambang “Kenthut” Widoyo S.P.. ia juga dipengaruhi pemikiran Maxim Gorky, Arif Budiman, dan Romo Mangunwijaya. Thukul mulai banyak memasukkan bahasa Jawa dan bahasa lisan sehari-hari dalam puisinya.130 Selain itu, sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada saat itulah terjadi perbedaan pandangan antara Thukul dengan Lawu Warta, gurunya. Lawu 127
Ibid., h. 106. Ibid., h. 103. 129 Ibid., h. 104-105. 130 Ibid., h. 107-108. 128
43
tidak sepakat jika Thukul membawa seni (puisi) ke ranah politik praktis, sementara, Thukul berpandangan sebaliknya.131 Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir.132 Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi. Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh aparat. 133 Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah organisasi jaringan kesenian bernama Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat). Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah.134 Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker juga terinspirasi Asian Council for People’s Culture.135 Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti
131
Ibid., h. 109. Ibid., h. 109. 133 Ibid., h. 110. 134 Ibid., h. 112-113. 135 Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30 September-6 Oktober 2013, h. 115. 132
44
Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian hari menjadi Partai Rakyat Demokratik.136 Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul berada di posisi tarik ulur itu. Semsar, Moelyono, dan Hilmar sepakat, bahwa Jaker tidak bergerak di bidang politik. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan, sebab Thukul justru berharap Jaker bisa berafiliasi ke dalam PRD (Partai Rakyat Demokratik). Kala itu, aktivis PRD memang berupaya menarik Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa.137 Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta. Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara organisasi dan politik bergabung di bawah PRD. Semsar, Moelyono dan Hilmar pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tetapi berubah menjadi Jaringan Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya.138 Berkecimpungnya Thukul di dunia politik praktis sangat disayangkan oleh Lawu Warta, gurunya semasa di Teater Jagat. Bahkan, Lawu Warta sudah menasihati Thukul tentang risiko yang mesti dihadapinya jika ia terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, pendirian Thukul tak bisa diubah, menurutnya, politik adalah alat yang paling cepat untuk mengubah keadaan.139 Jaker sendiri di bawah PRD sebagaimana yang dikatakan Linda Christanty, berfungsi untuk menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat secara tak resmi menjadi underbow PRD.140 Selain itu, Jaker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) dibentuk oleh PRD atas kesadaran, bahwa perjuangan budaya menjadi penting karena selama puluhan tahun rakyat dibisukan dan didominasi budaya feodalisme dan ketakutan terhadap negara. Jaker dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembebasan mental itu.141
136
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 115. Ibid., h. 116. 138 Ibid. 139 Ibid., h. 116-117. 140 Ibid., h. 115. 141 Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, (Jakarta: Desantara Utama, 2004), h. 79. 137
45
Pada saat deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, 22 Juli 1996, Thukul tampil ke panggung membacakan puisinya. Pembacaan puisi itu menjadi penampilan terakhirnya di depan publik. Sepekan kemudian Thukul menjadi buron hingga kemudian hilang sejak 1998 sampai sekarang.142 Pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia. Kerusuhan terjadi manakala Soerjadi dengan dukungan tentara menyerbu kantor di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, melaporkan lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 28 orang hilang dalam peristiwa tersebut.143 Sejak peristiwa kerusuhan itu, PRD yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko itu dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut. Banyak pengurus dan anggotanya ditangkapi aparat. Sebagian lagi buron, termasuk Wiji Thukul.144 Sejak itu, Thukul meninggalkan Solo dan berpindah-pindah kota. Ia diburu oleh pemerintah. Meskipun begitu, di tempat-tempat yang ia singgahi, ia tetap melakukan aktivitas politik, mengorganisir pemogokan buruh di Tangerang, dan terlibat dalam beberapa aksi di Jakarta. Semua itu Thukul lakukan secara sembunyi-sembunyi.145 Pasca peristiwa 27 Juli 1996, kontak Thukul dengan keluarga dan sahabatsahabatnya memang menjadi tidak teratur. Sipon, istri Thukul mengaku sempat bertemu dengan Thukul pada Desember 1997, lalu kembali menghilang. Awal Februari 1998, Thukul hanya bisa didengar oleh Sipon melalui telepon. Pada bulan April tahun 2000, Sipon kemudian melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan (Kontras).146 Ketika masa menjelang Orde Baru berakhir, Thukul memang dianggap oleh penguasa sebagai musuh. Waktu itu Thukul dengan puisi-puisinya dianggap
142
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 117. Ibid., h.2-3. 144 Anonim, op. cit., h. 10. 145 LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli/2000), h.10. 146 Ardus M. Sawega dan Maria Hartiningsih, “Sipon” (Harian Kompas Tahun 38 Nomor 179, Minggu, 29 Desember 2002), h.4. 143
46
melakukan tindakan subversif, sedang Jaker yang dipimpinnya, merupakan bagian dari PRD yang dianggap sebagai turunan dari PKI.147 Kala itu, Thukul memang
aktif dalam penggalangan buruh untuk
melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satu penggalangan buruh yang dilakukan oleh Thukul adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh belasan ribu buruh PT. Sri Rezeki Isman Textile (Sritex), di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo. Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh melakukan mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah pekerja yang jauh di bawah upah minimal provinsi, sedang di samping itu seringkali buruh mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil.148 Dalam aksi mogok kerja tersebut, terdapat juga Wiji Thukul serta beberapa aktivis PRD. Aparat yang berada di dekat gerbang pabrik kemudian secara tiba-tiba menyerang mereka. Kekisruhan terjadi, buruh yang panik berlarian, sementara beberapa aktivis yang tertangkap, termasuk Wiji Thukul ditangkap lalu digebuk.149 Ketika ditangkap dan digebuk, Thukul banyak mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dipukuli, ditendang dengan sepatu bot, dibenturkan kepalanya ke kap mobil aparat. Hal itu membuat Thukul mendapatkan cedera di beberapa bagian tubuhnya. Di antaranya cedera pada matanya yang harus dioperasi.150 Segala ancaman dan tindak kekerasan yang didapatkannya rupanya tidak mampu membuat Thukul menghentikan perjuangannya. Ia terus melakukan protes lewat puisi dan aksinya. Bahkan, ketika masa pelariannya saat dikejar-kejar oleh aparat (kopassus), ia tetap menulis puisi−yang pada tahun 2013 puisi-puisi pada masa pelarian itu dijadikan kumpulan puisi oleh Majalah Tempo berjudul Para Jendral Marah-marah sebagai bonus majalah edisi bulan Mei 147
Berthus Mandey dan Adrian Prasetya S., “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar: Jangan Tanyakan Teror”, (Harian Suara Pembaruan Tahun XVII Nomor 6263, Minggu, 12 Desember 2004), h. 1. 148 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.118-119. 149 Ibid., h. 120. 150 Ibid., h.119.
47
Dalam masa pelariannya, Thukul berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Tercatat ia pernah bersembunyi di Yogyakarta, Magelang, Salatiga, Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bengkulu hingga Pontianak. Thukul dalam pelariannya itu banyak dibantu oleh teman-temannya sesama aktivis seperti Arief Budiman, Indriani, Martin Siregar, Alexander Irwan, dan adiknya, Wahyu Susilo.151 Selama pelariannya itu, Thukul juga melakukan berbagai penyamaran. Di antaranya ketika di Kalimantan, ia pernah menyamar sebagai seorang penjual bakso bernama Paulus,
seorang rohaniawan bernama Aloysius Sumedi dan
Martinus Martin.152 Pada 18 Januari 1998, terjadi peristiwa bom meletup di unit 510 Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kontrakan tersebut ditempati beberapa aktivis PRD. Polisi dan militer menuduh PRD menyiapkan bom untuk mengacaukan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret tahun itu.153 Sementara, selepas peristiwa bom di Tanah Tinggi itu, nasib Wiji Thukul menjadi simpang-siur. Hanya Sipon, Wahyu, dan Lawu Warta yang mengaku pernah dihubungi Thukul lewat telepon setelah peristiwa itu. Margiyono, teman Thukul yang merupakan aktivis PRD percaya bahwa Thukul sudah lenyap setelah peristiwa itu.154 Thukul sendiri dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, pada April tahun 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan. Wiji Thukul akhirnya dinyatakan telah hilang bersama dengan tiga belas aktivis lainnya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan (Kontras) dalam siaran pers no: 7/SP-KONTRAS/II/2000 menyampaikan, bahwa hilangnya Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politik yang dilakukannya pada saat yang bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde 151
Ibid., h.142. Ibid. 153 Ibid., h.57. 154 Ibid., h.60. 152
48
Baru. Lebih lanjut, Kontras menegaskan, bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul.155 Berbagai usaha pencarian untuk mencari Thukul dan aktivis lainnya sebenarnya sudah dilakukan yang di antaranya dilakukan oleh Tim Kontras, namun belum menemukan hasil. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hilangnya Thukul pun sudah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Forum Sastra Surakarta (FSS) pada Juni tahun 2000 guna mengkampanyekan proses klarifikasi atas hilangnya Thukul melalui kegiatan bertajuk Thukul, Pulanglah. Melalui acara tersebut, FSS juga berharap agar masyarakat mengingat, bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM, seperti yang dialami oleh Thukul, yang belum rampung.156 Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru. Akhirnya keberadaan Thukul terus menjadi misteri yang tak terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul sebagai korban itu pun tak urung juga dilakukan. Thukul hilang meninggalkan istrinya, Sipon, yang dinikahinya pada 23 Oktober 1988 dan dua orang anak, yakni Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Barangkali jasad Thukul sudah hilang, tetapi karya dan semangat perjuangan Thukul masih terus hidup hingga saat ini. B.
Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan
pengungkapan pribadi pengarang.157Dapat dikatakan, bahwa setiap karya sastra selalu mencerminkan diri pengarangnya, baik dalam hal pemikiran, pandangan, latar belakang budaya, suku, ideologi, maupun agamanya. Maka dari itu, menjadi suatu hal yang menarik (selain karena memang sangat diperlukan) untuk mengetahui pemikiran seorang pengarang tentang sastra sebelum mengkaji karyakaryanya.
155
Anonim, https://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=148. Diunduh pada Rabu, 13 Agustus 2014 pukul 21.25 156 EDS, “Wiji Thukul Masih Dicari”, (Republika, Tahun VIII Nomor 131, Senin, 22 Mei 2000), h.20. 157 Wahyudi Siswanto, op. cit., h,68.
49
Wiji Thukul berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan kemiskinan. Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel.158 Ketika tampil membaca puisi di Kedutaan Jerman di Jakarta pada tahun 1989, Thukul sendiri mengatakan, bahwa ia sangat terpengaruh oleh kehidupan lingkungannya itu, yaitu lapisan masyarakat bawah, sebuah kampung di kota Solo. Kehidupan mereka yang sangat ia kenal itulah yang membuatnya memutuskan untuk berbicara mengenai kelompok masyarakat tersebut dalam syair-syairnya.159 Rupanya, pengalaman hidupnya yang lekat dengan kemiskinan dan pergaulannya yang dekat dengan “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh itulah yang lambat-laun mengendap dalam dirinya dan kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Terlebih saat Thukul menyaksikan sekaligus merasakan, bahwa sering terjadinya ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan terhadap rakyat, terutama buruh, yang dilakukan oleh penguasa dan pemilik modal. Sastrawan yang baik selalu mampu mencerminkan kondisi sosial yang terjadi di zamannya. Thukul pun dalam proses perjalanan kreatifnya dihadapkan dengan zaman yang dibungkam oleh sebuah rezim bernama Orde Baru. Ia menyaksikan sekaligus merasakan bagaimana kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang sarat dengan politik represi, mulai dari intimidasi, teror, penangkapan, penculikan, dan sebagainya.160 Apa yang Thukul saksikan sekaligus rasakan inilah yang kemudian membentuk puisi-puisinya sebagai suara yang mewakili rakyat kecil. Maka lahirlah sejumlah potret eksploitasi buruh di pabrik, kekerasan militer, atau juga geliat pemuda yang menentang busuknya kapitalisme. 158
Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10. 159 KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”, (Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989), h.7. 160 LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli/2000), h.10.
50
“Sastra adalah salah satu alat perjuangan,” begitulah kata Wiji Thukul dalam sebuah wawancara di tabloid mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember, Ideas, edisi II tahun 1996.161Pernyataan Thukul ini menunjukkan sebuah pandangan, bahwa baginya, menulis adalah perjuangan. Puisi adalah “senjatanya” dalam berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan penguasa, bahkan ia pun ikut “turun ke bawah” berjuang sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan nasib buruh. Thukul paham akan makna kemiskinan dan penyebabnya, maka tampak seluruh energi estetiknya dikerahkan untuk menuliskan puisi perlawanan kepada mereka yang dianggap telah menyebabkan ketimpangan sosial. Misalnya ketika berbicara soal tukang becak yang jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka, yang terdesak lahannya oleh bus kota.162 Puisi-puisi Thukul menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaanpertanyaan satire−yang menuju sebuah muara yang bagaimana pun dalam peristiwa politik dan kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi korban.163 Secara nyata, Thukul telah menggunakan puisi sebagai “senjata” untuk memperjuangkan dirinya dan masyarakat kalangannya. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, Wiji Thukul barangkali bukanlah penyair besar, sastrawan adiluhung, atau seniman nasional. Puisi-puisi karyanya tersusun dalam bahasa sederhana, kata-kata yang akrab di kehidupan sehari-hari, namun oleh sebab itulah puisi-puisi Thukul dapat mudah diterima oleh berbagai kalangan, termasuk “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh dan petani. Dalam memandang karya sastra, sebagaimana tercermin dalam salah satu puisinya, ia tidak bersikap seperti para penyembah kesenian. Karya-karyanya bagai tidak membutuhkan legitimasi dari pusat-pusat dan rezim kebudayaan mana pun. Bagi Thukul, menulis adalah suatu keputusan dan ia percaya bahwa kata-kata mempunyai kekuatan.164 161
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.117. Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10. 163 Alex R. Nainggolan, “Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul”, (Jakarta: Harian Sinar Harapan, Nomor 4777, Sabtu, 14 Agustus 2004), h.12. 164 Ton, op.cit., h. 10. 162
51
Thukul sendiri pernah mengatakan, bahwa ia sebenarnya juga bisa menulis syair-syair yang bahasanya indah-indah, tetapi menurutnya rasanya tidak etis, sebab ia tidak ingin membuat apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh keluarga dan tetangganya ketika membaca tulisannya. Maka, ia memilih menulis apa yang bisa dimengerti oleh keluarga dan tetangganya.165 Secara lebih jelas dan tegas, Thukul menyampaikan pendapatnya mengenai sastra dan bagaimana seharusnya peran sastra dalam masyarakat melalui puisinya yang berjudul “Para Penyair adalah Pertapa Agung”. Melalui puisi itu, Thukul mengkritik penyair (sastrawan) yang sibuk berkarya, tetapi memisahkan diri dari kenyataan sosial yang berada di sekitarnya. Menurut Thukul, banyak penyair yang terlalu menyandarkan nasibnya pada nilai dan dewa-dewa sastra. Thukul mengkritik penyair yang terlalu mendewakan nilai sastra dalam berkarya, namun tidak peka terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, dalam puisinya itu secara ironi Thukul menyindir, bahwa para penyair adalah pertapa paling agung//bermenung di dalam candi//kelima indra dan telingan sukmanya//cukup bagi
Tuhan
saja//jangan mendengar jerit kehidupan. Melalui potongan puisi tersebut di atas, secara jelas dan tegas Thukul menyindir penyair yang hanya gemar bermenung di kesunyian, “bercengkrama” dengan Tuhannya, tetapi terpisah dari derita lingkungan. Bagi Thukul, menulis puisi adalah ibadah. Menulis puisi adalah doa dan pengalaman religi.166 Layaknya ibadah, menulis puisi bukan hanya untuk menjalin hubungan dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan sesama manusia, dan alam. Maka dari itu, Thukul mengkritik penyair yang seolah tuli akan jeritan kehidupan, memisahkan diri dari realita kehidupan. Pandangan Thukul mengenai bagaimana seharusnya sikap penyair dalam berkarya dapat juga dilihat dari kata pengantarnya yang terdapat di kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput.
165
KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”, (Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989), h.7. 166 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.104.
52
Penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif”, bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Maka belajar terus-menerus adalah mutlak, memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya. Dan fanatik gaya atau tema bisa dihindarkan sehingga proses kreatif tidak terganggu. Belajar tidak harus di bangku kampus atau sekolah, tetapi bisa di mana saja: di perpustakaan atau membaca gelagat lingkungan atau apa sajalah pokoknya yang bisa mempertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di luar dirinya juga. Dalam penciptaan puisi sesungguhnya penyair hanya tergantung pada diri sendiri, mungkin kritikus ada juga fungsinya, tetapi kritikus nomor empat urutannya. Pokoknya persis seperti ketika coblosan pemilu itulah. Kita berdiri di depan gambar kontestan dan bebas sepenuhnya memilih mana yang kita pilih, tidak ditekan, tidak tertekan, tidak dipilihkan, tetapi memilih sendiri.167 Menurut Thukul, penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif” dalam berkarya. Penyair tentu perlu memedulikan apa kata kritikus, tetapi kritikus hanya nomor empat, selebihnya adalah kuasa si penyair sendiri. Apa yang dikatakan Thukul dalam kata pengantar ini juga menunjukkan pandangannya tentang kritikus. Baginya, dalam menulis puisi, penyair tidaklah terlalu “memusingkan” apa kata kritikus, yang terpenting si penyair harus terus belajar dengan jalan banyak membaca buku dan membaca gelagat lingkungan. Thukul sendiri pernah dikritik, bahwa apa yang ia tulis bukanlah puisi, melainkan sekadar pamflet, sebab bahasa yang digunakan Thukul terlalu “dangkal” untuk ukuran sebuah puisi. Akan tetapi Thukul tidak ambil peduli, ia terus menulis puisi sesuai apa yang ingin ia sampaikan berdasarkan realitas sosial yang ia lihat, dengar, alami, dan rasakan. C.
Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini merupakan kumpulan puisi
terlengkap Wiji Thukul yang terdiri atas puisi-puisinya yang pernah diterbitkan sebelumnya. Kumpulan puisi ini terdiri atas tujuh bab, yakni Lingkungan Kita si Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-lain, Puisi Pelo, Baju Loak
167
h.7-8.
Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014),
53
Sobek Pundaknya, Yang Tersisih, dan Para Jendral Marah-marah. Secara keseluruhan puisi ini menghimpun 169 puisi karya Wiji Thukul dengan rincian 46 puisi dalam bab Lingkungan Kita si Mulut Besar, 18 puisi dalam bab Ketika Rakyat Pergi, 16 puisi dalam bab Darman dan Lain-lain, 29 puisi dalam bab Puisi Pelo, 28 puisi dalam bab Baju Loak Sobek Pundaknya, 9 puisi dalam bab Yang Tersisih, dan 23 puisi dalam bab Para Jendral Marah-marah. Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang disusun atas inisiatif dan kerja keras Okky Madasari dalam menginisiasi pengarsipan karya Wiji Thukul ini pertama kali diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014 dengan tebal 248 halaman.
54
BAB IV Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul
A. Thukul dan Puisi Tentang Buruh Berdasarkan proses klasifikasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput yang menampilkan potret tentang buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut adalah “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa”, “Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. Dua puluh dua puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi ke dalam dua katagori, yakni katagori puisi yang secara dominan menampilkan potret tentang buruh dan katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar. Katagori puisi yang menampilkan buruh secara samar adalah puisi-puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh Indonesia. Sementara itu, kategori puisi yang menampilkan potret buruh secara dominan adalah puisi-puisi yang memiliki tema tentang buruh. Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang menamilkan potret tentang buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan “Terus Terang Saja”. Sementara itu, ditemukan sebanyak 12 puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara dominan dan menjadikan buruh sebagai tema, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata
54
55
Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar adalah puisi-puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh Indonesia. Puisi-puisi tersebut di antaranya memiliki tema tentang kritik sosial terhadap penguasa (“Lingkungan Kita si Mulut Besar”), keadaan masyarakat di sebuah desa yang hidupnya memperihatinkan (“Gunung Batu”), dan protes sosial tentang nasib rakyat yang belum benar-benar merdeka (“Terus Terang Saja”). Pembahasan mengenai tema, nanti akan dijelas secara lebih detil oleh peneliti dalam bagian analisis struktur puisi. B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh 1. Struktur Fisik Puisi a) Tipografi Semua puisi Wiji Thukul yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput tergolong dalam jenis puisi bebas. Puisi-puisi ini dari
segi
tipografinya
dapat
dikatakan
terpengaruh
oleh
puisi
konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sistematika penulisan larik dan baris yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Jumlah larik dalam setiap bait tidak sama. Sebagai contoh, dalam puisi yang berjudul “Ayolah” Warsini terdapat tiga bait yang tiap bait memiliki jumlah larik yang berbeda. Bait pertama terdiri atas 13 larik, bait kedua 17 larik, dan bait ketiga 4 larik. Sebagian besar puisi Wiji Thukul dapat juga digolongkan ke dalam jenis puisi mimbar yang cocok dideklamasikan di depan umum. Hal ini cenderung membuat puisi-puisi Wiji Thukul terkesan tidak terlalu mementingkan tipografi puisi secara tertulis, sebab yang terpenting adalah isi dan nada puisi ketika puisi itu dideklamasikan. Sebagai contoh adalah puisi Thukul yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”, salah satu puisi Thukul yang sering ia deklamasikan semasa hidupnya. Puisi ini terdiri atas sembilan bait. Bait pertama terdiri atas 4 larik, bait kedua 12 larik, bait
56
ketiga 4 larik, bait keempat 10 larik, bait kelima 3 larik, bait keenam 7 larik, bait ketujuh 7 larik bait kedelapan 9 larik, dan bait kesembilan 3 larik. Tiap bait dalam puisi ini memiliki jumlah larik yang berbeda, tidak terikat oleh aturan jumlah baris dalam satu bait layaknya jenis puisi lama. Hal ini sangat dimungkinkan oleh tujuan penyair yang memang cenderung ingin menjadikan puisi ini sebagai puisi mimbar yang hendak dideklamasikan sehingga keindahan tipografi puisi secara tertulis menjadi tidak terlalu penting. b) Imaji Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji sentuh (imaji taktil). Melalui imaji yang digunakan oleh penyair inilah pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami oleh penyair. Imaji yang paling dominan yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam 22 puisinya tentang buruh yang ada dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput adalah imaji visual (penglihatan). Penggunaan imaji visual ini sering digunakan Thukul untuk menggambarkan berbagai hal dan peristiwa yang dialami oleh buruh, misalnya untuk menggambarkan tentang pekerjaan buruh yang begitu berat dan sering mengalami lembur paksa (“Suti”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”), keadaan buruh yang sakit akibat beban pekerjaan yang begitu berat (“Suti”, “Satu Mimpi Satu Barisan”), kecelakaan dalam bekerja yang dialami oleh buruh (“Leuwigajah”), tindak kesewenang-wenangan
pihak
perusahaan
kepada
buruh
(“Ayolah
Warsini”), kesenjangan sosial antara buruh dengan orang-orang kelas menengan ke atas di sebuah toko (“Seorang Buruh Masuk Toko”), mogok kerja yang dilakukan oleh buruh (“Bukan Kata Baru”), dan pertemuan para buruh untuk berdiskusi tentang nasib mereka (“Makin Terang Bagi Kami”).
57
Berbagai penggunaan imaji visual yang dilakukan oleh Thukul itu merupakan suatu usaha untuk memotret kehidupan buruh pada masa Orde Baru sehingga pembaca akan dapat “menyaksikan” kondisi dan peristiwa yang dialami oleh buruh saat itu. Dalam puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” misalnya, Thukul menggambarkan seorang buruh perempuan bernama Siti yang dipaksa untuk lembur dengan beban pekerjaan yang berat. “di cigugur ada kawan Siti punya cerita harus lembur pagi pulang lunglai lemas ngantuk letih membungkuk 24 jam ya, 24 jam” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Melalui imaji visual tersebut, pembaca dapat seolah-olah menyaksikan seorang buruh perempuan yang sedang lembur kerja dengan beban pekerjaan yang berat (membungkuk 24 jam) dengan tubuh yang letih. Pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras ini seringkali menyebabkan buruh sakit bahkan hingga meninggal. Kondisi buruh seperti ini tidak lepas dari pengamatan Thukul yang kemudian ia potret dalam puisi-puisinya. “Suti tidak pergi kerja pucat ia duduk dekat ambennya ... suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah tak ada biaya ... suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja” (Suti) “di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung hutang” (“Kuburan Purwoloyo”)
58
Dalam puisi “Suti”, pembaca bisa “menyaksikan” bagaimana keadaan Suti, seorang buruh perempuan yang sedang sakit namun tidak punya biaya untuk berobat ke rumah sakit. Penggambaran ini merupakan suatu potret nasib kelam buruh yang oleh sebab upah yang rendah ia tidak dapat berobat, ia pun tidak mendapatkan bantuan atau sekedar kepedulian dari pihak perusahaan yang sudah mempekerjakannya begitu berat. Betapa memperihatinkannya nasib buruh tersebut dikuatkan lagi oleh Thukul dengan gambaran “tubuh Suti yang makin susut saja, makin kurus menonjol tulang pipinya, bertahun-tahun diisap kerja”. Pada
puisi
lain
yang
berjudul
“Leuwigajah”,
Thukul
menggambarkan secara lebih luas tentang pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras. “lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan, kencing dilarang, sakit ongkos sendiri. mogok? pecat!” (“Leuwigajah”) Dalam puisi ini, melalui penggunaan imaji visual, Thukul menggambarkan berbagai tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Melalui penggunaan imaji visual ini pun membuat pembaca seolah-olah dapat menyaksikan segala tindak kesewenang-wenangan terhadap buruh tersebut, mulai dari lembur paksa sampai pagi, kecelakaan-kecelakaan dalam bekerja sebagai akibat dari kurangnya kepedulian pihak perusahaan terhadap keselamatan kerja buruh, pelarangan terhadap buruh untuk buang air kecil hingga pemogokan yang dilakukan oleh buruh. Ada
kalanya
Thukul
juga
menggunakan
imaji
auditif
(pendengaran) untuk menggambarkan berbagai peristiwa dan kehidupan dalam dunia buruh. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Suti”, “Suti kusut masai // di benaknya menggelegar suara mesin //”. Thukul
59
membuat suatu imaji pendengaran berupa suara mesin pabrik yang menggelegar dalam benak Suti seorang buruh perempuan yang tengah sakit keras. Imaji suara mesin pabrik yang menggelegar itu merupakan suatu lambang dari pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras yang seolah-olah terus menghantui para buruh, bahkan terus terbayang oleh buruh ketika ia sedang sakit. Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, digambarkan oleh Thukul kehidupan buruh yang sulit bertempat tinggal di rumah kontrakan “tidur berjejer seperti ikan tangkapan”. “ayo kita pulang ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan” (“Nonton Harga”) Kehidupan sulit
yang dialami oleh buruh ini begitu kontras dengan
kehidupan orang-orang kelas menengah ke atas yang cenderung hidup konsumtif. Kesenjangan sosial yang kontras ini secara cermat dan singkat mampu digambarkan oleh Thukul melalui puisinya, “Seorang Buruh Masuk Toko”. “aku melihat harga-harga kebutuhan di etalase aku melihat bayanganku makin letih dan terus diisap” (“Seorang Buruh Masuk Toko”) Sementara itu, pada puisi lain yang berjudul “Bukan Kata Baru”, Thukul menggambarkan pemogokan buruh yang kemudian diikuti oleh datangnya aparat sebatalion. “buruh mogok dia telpon kodim, pangdam Datang senjata sebatalion” (“Bukan Kata Baru”) Penggunaan imaji visual ini merupakan suatu gambaran aksi mogok kerja yang dilakukan oleh buruh seringkali diikuti oleh datangnya aparat.
60
Peristiwa ini seringkali menyebabkan terjadinya bentrokan antara buruh dengan aparat yang seringkali diawali oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat terlebih dahulu untuk memaksa buruh untuk kembali bekerja. Secara keseluruhan dari 21 puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput imaji yang paling dominan adalah imaji visual. Meskipun begitu, adakalanya Thukul menggunakan imaji-imaji lain untuk menggambarkan potret buruh dalam puisi-puisinya.
Misalnya,
dalam
puisi
“Nonton
Harga”,
untuk
menggambarkan keadaan buruh yang hanya bisa menikmati bau buahbuahan tanpa bisa membelinya Thukul menggunakan imaji penciuman yang mebuat seolah-olah pembaca secara langsung mencium wangi dari buah-buahan tersebut. “kalau pengin durian apel, pisang, rambutan, anggur, ayo kita bisa mencium baunya.” (“Nonton Harga”) Dalam puisi “Seorang Buruh Masuk Toko”, Thukul menggunakan imaji taktil (sentuhan) untuk menggambarkan rasa minder yang dirasakan oleh seorang buruh yang masuk toko. “bulu tubuhku berdiri merasakan desir kipas angin yang berputar-putar halus lembut.” (“Seorang Buruh Masuk Toko”) Pada puisi Suti, Thukul memanfaatkan imaji auditif (pendengaran) untuk menggambarkan kondisi seorang buruh bernama Suti yang sakit tengah terbatuk-batuk dan dahak batukunya mengeluarkan darah. “suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah” (“Suti”)
61
Penggambaran Wiji Thukul melalui imaji auditif ini menggambarkan bagaimana kesehatan dan keselamatan buruh tidak mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan yang sudah memperkerjakannya secara berat dan keras. Hal ini membuat buruh yang sakit tidak dapat berobat ke rumah sakit, sebab tidak memunyai uang. c) Kata Konkret Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Dengan kata lain, kata-kata itu dapat menyaran
kepada
memperkonkret
arti
kata-kata,
yang maka
menyeluruh. pembaca
Jika seolah
penyair dapat
mahir melihat,
mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan penyair. Sebab itu, kemahiran dalam memperkonkret kata-kata menjadi salah satu hal yang harus dikuasai oleh seorang penyair. Wiji Thukul adalah salah seorang penyair yang mampu memperkonkret kata-kata dalam puisinya dengan baik. Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan meneliti bagaimana cara Wiji Thukul dalam memperkonkret kata-kata dalam puisinya untuk menggambarkan potret buruh Indonesia secara luas sekaligus jelas. Dalam puisi “Kuburan Purwoloyo” misalnya, dengan luas dan jelas Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang sulit, banyak hutang, tenaganya terhisap oleh beban pekerjaan yang berat. “di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung hutang” (“Kuburan Purwoloyo”) Larik-larik tersebut digunakan oleh Thukul untuk memperkonkret sebuah gambaran kehidupan buruh yang sulit “sepanjang hidupnya memburuh, terisap, dan menanggung hutang”. Thukul mengkonkretkan berat dan kerasnya pekerjaan para buruh yang menyebabkan mereka seolah-olah diperas tenaganya oleh perusahaan tempat mereka bekerja cukup dengan kata “terisap”. Kesulitan hidup para buruh ditambah lagi dengan beban
62
hutang yang disebabkan oleh upah mereka sebagai buruh yang tidak sepadan dengan kebutuhan hidup yang bermacam. Potret buruh yang bekerja begitu berat, keras, dan diperas tenaganya oleh pihak perusahaan juga terdapat dalam puisi “Suti”. Dalam puisi ini, bahkan, Thukul menggambarkan secara lebih detil potret buruh perempuan yang tengah menderita sakit parah akibat beban pekerjaan yang berat. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja (“Suti”) Lagi-lagi, Thukul menggunakan kata “diisap” untuk mengkonkretkan gambaran buruh yang tenaganya diperas oleh pekerjaan yang berat. Dalam potongan puisi Suti tersebut, pembaca seolah-olah dapat melihat dan merasakan secara langsung apa yang dialami oleh Suti, tokoh dalam puisi tersebut. Pembaca seolah-olah dapat melihat bagaimana tubuh Suti yang kurus akibat sakit yang dialaminya, lemah tubuhnya akibat beban pekerjaan yang begitu berat. Hal ini dapat terjadi oleh sebab kemahiran Wiji Thukul dalam memperkonkret
kata-kata dalam puisinya. Thukul
mampu memperkonkret sebuah potret buruh yang tengah sakit akibat beban pekerjaan yang berat cukup dengan “tubuhnya makin susut saja, makin kurus menonjol tulang pipinya, loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja”. Begitu beratnya beban pekerjaan para buruh ternyata tidak diimbangi oleh upah yang diterima oleh para buruh. Hal ini dijelaskan oleh Thukul dalam puisinya, “Teka-teki yang Ganjil”. “Mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam” (“Teka-teki yang Ganjil”)
63
Melalui potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul mampu mengkonkretkan gambaran ketidaksepadanan beban pekerjaan buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah cukup dengan dua larik puisi berbunyi “mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat // padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam”. Potret ketidaksepadanan antara beban pekerjaan para buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah juga gambaran oleh Thukul dalam puisi “Sajak kepada Bung Dadi”. “buruh-buruh berangkat pagi pulang sore dengan gaji yang tak pantas” (“Sajak kepada Bung Dadi”) Thukul mengkonkretkan sebuah potret ketidaksepadanan beban pekerjaan buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah dengan sebuah perbandingan para buruh yang sudah bekerja sejak pagi hingga sore, namun mereka mendapatkan gaji yang tak pantas. Rendahnya upah yang diterima oleh para buruh rupanya juga tidak sesuai dengan beban kebutuhan hidup mereka yang semakin meningkat. Thukul mengkonkretkan potret buruh ini dalam puisinya, “Teka-teki yang Ganjil”. “dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi” (“Teka-teki yang Ganjil”) Thukul mengkonkretkan potret ketidaksepadanan antara upah para buruh yang rendah dengan tingginya kebutuhan hidup mereka dengan gambaran “upah yang dalam waktu singkat berubah menjadi kebutuhan hidup seharihari seperti odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di warung yang harus mereka lunasi. Dalam puisinya-puisinya yang berbicara tentang buruh, Thukul tidak hanya menampilkan potret buruh dari sisi yang lemah, tetapi juga dari sisi tekad buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Misalnya, dalam
64
puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, Thukul menampilkan potret buruh yang bertekad untuk menentukan masa depan mereka sendiri. “hari depan buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus bukan di meja SPSI (“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”) Wiji Thukul mengkonkretkan sebuah tekad buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri dengan tiga larik puisi tersebut. Lebih jauh, Thukul juga menyindir dengan seolah-seolah mengungkapkan bahwa para buruh tidak butuh para politikus untuk memperbaiki nasib. Potret tekad buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri ini juga ditampilkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. Pada puisi ini, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh untuk bersatu memperjuang nasib mereka secara bersama-sama hanya dengan ungkapan “satu mimpi satu barisan”. Bahkan, dengan nada yang lebih tegas, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh yang seolah-olah mengancam pihak perusahaan yang sering bertindak sewenang-wenang dalam memperkerjakan mereka dalam sebuah bait dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”. “kami satu: buruh Kami punya tenaga Jika kami satu hati Kami tahun mesin berhenti Sebab kami adalah nyawa Yang menggerakkannya” (“Makin Terang Bagi Kami”) Berdasarkan penjabaran mengenai bagaimana seorang Wiji Thukul menggunakan kata konkret untuk mengkonkretkan kata-kata sekaligus untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya tersebut, peneliti berpendapat bahwa Wiji Thukul adalah salah seorang penyair yang mampu menggunakan kata konkret secara baik.
65
d) Diksi Diksi yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang buruh cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang sederhana. Penggunaan diksi yang sederhana itulah yang menjadi kekuatan puisi-puisi Thukul. Dengan bahasa yang sederhana, puisi-puisi Thukul akan lebih mudah dipahami oleh setiap orang, termasuk orang yang awam tentang puisi. Selain itu, yang merupakan salah satu ciri khas dalam puisi-puisi Thukul adalah penggunaan diksi bahasa Jawa seperti mbok, mbordir, mingkup, dan mbayar. Hal ini dapat peneliti pahami karena Thukul berasal dari suku Jawa, maka merupakan suatu yang wajar apabila ia menggunakan diksi bahasa Jawa dalam puisi-puisinya. Thukul juga sering menggunakan istilah-istilah dunia buruh dalam puisinya seperti upah, mogok, pecat, mandor, pabrik, kapitalis, dan tekstil. Diksi-diksi yang akrab dalam dunia buruh ini sangat memungkinkan digunakan oleh Thukul dalam puisi-puisinya, sebab ia merupakan seorang aktivis yang memperjuangkan buruh dan ia sendiri juga pernah menjadi buruh. Diksi-diksi puisi Wiji Thukul yang merupakan bahasa percakapan sehari-hari yang sederhana bisa dilihat pada salah satu puisinya, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. “... pas tepat di kepala kami bokong-bokomg kiri-kanan telapak kaki, tas, sandal, sepatu tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan. ... sepanjang jalan hujan kami jongkok di tempat duduk nempel jendela ...” (“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”)
Dalam potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul menggunakan kosakata percakapan sehari-hari dalam puisinya seperti
66
ketemu, jongkok, dan nempel. Kata ketemu sebenarnya bukan merupakan bahasa baku, melainkan bahasa percakapan yang tidak baku, kosakata dalam bahasa baku yang tepat adalah bertemu. Begitu pula dalam hal penggunaan kosakata nempel. Kata nempel adalah bahasa yang tidak baku, sebab merupakan sebuah penyimpangan morfologis,
yang benar
seharusnya menempel. Wiji Thukul menghilangkan imbuhan me- pada kata menempel. Kata nempel merupakan bahasa percakapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Thukul menggunakan diksi-diksi seperti ketemu dan nempel tersebut untuk membuat puisi yang berkesan mudah dipahami oleh siapa pun termasuk orang yang awam tentang puisi sekalipun. Dalam 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, peneliti menemukan suatu hal yang menarik, yakni penggunaan diksi yang berasal dari kata dasar isap yang sering Thukul gunakan dalam puisinya. Dari 22 puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh, terdapat enam puisi yang menggunakan kata yang berasal dari kata dasar isap, di antaranya terisap (“Kuburan Purwoloyo”), mengisap (“Teka-teki yang Ganjil”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”), dan diisap (“Suti”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata isap berarti tarik sampai masuk, hirup, sedot.168 Berdasarkan hal itu, peneliti berpendapat bahwa Thukul mengibaratkan buruh Indonesia pada masa Orde Baru seperti makhluk yang senantiasa disedot atau diisap daya kekuatannya dengan cara dipekerjakan secara berat. Dalam puisi “Kuburuan Purwoloyo” misalnya, Thukul menggambarkan kuburan yang di dalamnya terdapat para buruh yang semasa hidupnya terisap dan menanggung hutang. “di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung utang” (“Kuburan Purwoloyo”) 168
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.548
67
Kemudian, di puisi “Suti”, Thukul menggunakan kata diisap untuk menerangkan seorang buruh bernama Suti yang tengah sakit parah akibat beban pekerjaannya sebagai buruh yang berat. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja” (“Suti”) Begitu pula dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Thukul menggunakan kata mengisap untuk mengungkapkan suatu pertanyaan dalam benak para buruh perihal “kekuatan” apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil kerja mereka. “kami selalu heran dan bertanya-tanya kekuatan macam apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil kerja kami?” (“Teka-teki yang Ganjil”) Dari ketiga potongan puisi tersebut dapat dilihat bagaimana Thukul mengibaratkan buruh sebagai suatu makhluk yang terus-menerus diisap daya kekuatannya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapakah pihak yang mengisap daya kekuatan para buruh seperti yang dipertanyakan Thukul dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”? Untuk menjawab pertanyaan itu, peneliti melihat pada puisi Thukul lainnya yang berjudul “Terus Terang Saja”. Dalam puisi tersebut, Thukul mengibaratkan para buruh seperti jugun ianfu (para perempuan Indonesia yang dipaksa untuk menjadi perempuan penghibur bagi tentara Jepang pada masa penjajahan Jepang). “apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka? ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional, yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?”
68
(Terus Terang Saja) Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang berasal dari bahasa Jepang atau lebih tepatnya istilah yang lahir pada zaman penjajahan Jepang, yakni jugun ianfu untuk mengibaratkan buruh pada masa Orde Baru. Berdasarkan potongan puisi tersebut pula, peneliti berpendapat bahwa pihak yang dimaksud Thukul telah mengisap daya kekuatan para buruh adalah perusahaan multinasional yang seringkali bertindak sewenang-wenang terhadap buruh dengan memperkerjakannya secara berat, namun tidak sepadan dengan upah buruh yang rendah. Bagi para buruh yang berani menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang buruh juga sering menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan, misalnya seperti yang terdapat dalam puisinya yang berjudul “Bukan Kata Baru”. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung” (“Bukan Kata Baru”) Thukul dengan tegas menyatakan diri dan kawan-kawannya sebagai buruh yang seolah-olah memang ditakdirkan untuk bertarung dengan kapitalis. Penggunaan kata bertarung ini menunjukkan tekad buruh yang siap bertarung untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai buruh yang seringkali diabaikan oleh kapitalis. Penggunaan kata kapitalis yang digambarkan sebagai “musuh” buruh ini sendiri merupakan suatu bentuk potret zaman sekarang yang memang cenderung bersifat kapitalisme, yang memiliki modal yang menang. Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menggunakan diksi yang bernada perlawanan kepada pihak aparat yang seringkali dimintai bantuan oleh pihak perusahaan untuk ikut dalam usaha meredam perlawanan para buruh.
69
“di mana-mana ada eman Tak bisa dibungkam kodim Tak bisa dibungkam popor senanpan Satu mimpi Satu barisan” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang bernada perlawanan, tak bisa dibungkam kodim, tak bisa dibungkam popor senapan, yang kemudian diikuti dengan diksi-diksi yang menyatakan tekad untuk bersatu memperjuangkan hak mereka sebagai buruh, satu mimpi, satu barisan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa Thukul juga seringkali menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan di samping diksi-diksi yang merupakan istilah dalam dunia buruh, kosakata bahasa Jawa, dan bahasa percakapan sehari-hari dalam puisi-puisinya. e) Bahasa Figuratif (Majas) Beberapa majas yang sering digunakan oleh Thukul dalam puisipuisinya tentang buruh adalah majas simile, metafor, simbolik, personifikasi, dan sarkasme. Majas simile sering digunakan oleh Thukul untuk menggambarkan potret buruh dengan cara membandingkannya dengan suatu hal lain. Misalnya, dalam puisi “Leuwigajah” Thukul membandingkan buruh-buruh muda seperti buah yang terus-menerus disedot vitaminnya. “tubuh-tubuh muda terus mengalir ke Leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya” (“Leuwigajah”) Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, Thukul menggambarkan potret buruh Indonesia yang tinggal di rumah-rumah kontrakan yang sempit dengan menggunakan majas simile seperti berikut ini. “tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan” (“Nonton Harga”)
70
Wiji Thukul juga seringkali menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya. Dalam puisi yang berjudul “Suti”, Thukul menggambarkan potret kehidupan buruh Indonesia yang sulit dengan menggunakan majas personifikasi. “hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan” (“Suti”) Dalam puisi tersebut, Thukul mempersonifikasikan kebutuhan hidup yang seolah-olah mencekik para buruh yang berupah rendah. Potret buruh yang tercekik oleh kebutuhan hidup ini menggambarkan betapa sulitnya kehidupan buruh akibat upah yang rendah, yang tidak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Beban pekerjaan yang berat ini seringkali membuat para buruh merasa keletihan dan jatuh sakit. Ironisnya, para buruh tidak memiliki banyak uang untuk berobat ke rumah sakit untuk menyembuhkan penyakitnya. Potret buruh yang tengah sakit namun tidak memiliki cukup uang ini juga terdapat dalam puisi Thukul yang berjudul “Suti”. Dengan menggunakan majas personifikasi, Thukul menggambarkan seorang buruh bernama Suti yang sakit-sakitan tidak mampu ke rumah sakit sebab tak ada biaya. “suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah tak ada biaya” (“Suti”) Wiji Thukul dalam puisi tersebut, mempersonifikasikan batuk yang seolah-olah terus memburu Suti yang tengah sakit. Ada kalanya, Thukul menggambarkan potret buruh Indonesia dengan cara melebih-lebihkan gambaran buruh Indonesia tersebut dengan menggunakan
hiperbola.
Masih
dalam
puisi
“Suti”,
Thukul
menggambarkan potret Suti yang sakit dengan menggunakan hiperbola.
71
“suti kusut masai ... Suti meraba wajahnya sendiri Tubuhnya makin susut saja” (“Suti”) Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kondisi Suti yang sakit dengan cara melebih-lebihkan penggambarannya, “kusut masai, tubuhnya makin susut saja”. Cara yang sama juga digunakan oleh Thukul dalam menggambarkan potret para buruh perempuan di sebuah desa yang pulang kelelahan setelah bekerja. “lalu gadis-gadis umur belasan keluar kampung menuju pabrik pulang petang bermata kusut keletihan” (“Kampung”) Thukul menggunakan hiperbola dalam menggambarkan para buruh perempuan yang keletihan sehabis bekerja dengan menyebutkan para buruh perempuan yang “bermata kusut keletihan”. Thukul juga seringkali menggunakan metafora dalam puisipuisinya. Dalam puisi “Catatan Malam”, Thukul menggunakan metafora dalam menggambarkan pikiran seorang penyair miskin yang tengah merenungi nasib dan kisah cintanya dengan seorang kekasih yang seorang buruh berupah rendah. “kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat aku ini penyair miskin tetapi kekasihku cinta” (“Catatan Malam”) Dalam puisi tersebut, Thukul membandingkan pikiran tokoh Aku lirik dengan sayap yang bisa dikibaskan. Selain itu, Thukul juga seringkali menggunakan simbolik dalam puisi-puisinya. Sebagai contoh, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul menggunakan sebutan Si Mulut Besar dan Raksasa yang Membisu sebagai simbol dari penguasa.
72
“lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun Amerika” (Lingkungan Kita Si Mulut Besar) Thukul menyimbolkan pabrik sebagai lingkungan (dunia) buruh dengan “Si Mulut Besar” yang kerap memberikan janji kepada buruh yang ternyata tidak dipenuhi. Kemudian, dalam puisi “Leuwigajah” dan “Leuwigajah Masih Haus”, Thukul menjadikan “Leuwigajah” sebagai simbol dari kapitalisme yang terus-menerus menggerus kehidupan para buruh dengan cara mempekerjakan mereka secara berat namun dengan upah yang rendah. “tubuh-tubuh muda terus mengalir ke Leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah ... Leuwigajah terus minta darah tenaga muda Leuwigajah makin panas berputar dan terus menguras tenaga-tenaga murah” (“Leuwigajah”) Leuwigajah sebenarnya merupakan sebuah daerah industri di Jawa Barat, namun Wiji Thukul dalam puisinya menggunakan Leuwigajah sebagai simbol yang mencerminkan bagaimana kapitalisme menggerus kehidupan para buruh dengan cara mempekerjakan mereka secara berat, memberikan upah yang rendah, “mengisap” daya kekuatan buruh secara terus-menerus. Wiji Thukul seringkali juga menggunakan majas sarkasme yang tergolong kasar. “dia belum hilang kapitalis dia terus makan tetes ya tetes-tetes keringat kita dia terus makan
73
(“Bukan Kata Baru”) Secara kasar, Thukul mengungkapkan bahwa para kapitalis akan terus memakan tetes-tetes keringat mereka para buruh. Penggunaan majas sarkasme yang digunakan oleh Thukul ini adalah suatu bentuk perlawanan kepada kapitalis, yakni pihak perusahaan yang sering mengabaikan hak para buruh dan bertindak sewenang-wenang. Penggunaan majas sarkasme juga ditemukan dalam puisi Thukul lainnya, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”. “lingkungan kita si mulut besar di huni lintah-lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga dan anjing-anjing yang taat beribadah menyingkiri para penganggur yang mabuk minuman murahan ... lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak mencret oli dan logam busa dan plastik” (“Lingkungan Kita si mulut Besar”) Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan kata-kata yang tergolong kasar seperti “lintah-lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga”, “anjing-anjing yang taat beribadah”, dan “lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak, mencret oli, dan logam, busa dan plastik” untuk menggambarkan lingkungan pabrik sebagai dunia buruh. “Lintahlintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga” merepresentasikan kehidupan antarburuh yang kerap saling “mengisap”. Dalam dunia buruh, tindakan saling mengisap ini dapat direpresentasikan dengan tindakan sebagian buruh yang kerap menjelek-jelekkan kawan buruh lainnya di hadapan pimpinan (mandor atau pun bos) dengan harapan melalui cara itu ia terlihat lebih baik dalam hal bekerja. Sementara itu, “Lingkungan kita si mulut besar yang sakit perut dan terus berak mencret oli, logam, busa, dan
74
plastik” ini mengambarkan sisi lain pabrik yang kerap menebarkan polusi dan limbah yang merusak lingkungan. f)
Versifikasi Semua puisi-puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh adalah puisi bebas yang pengaturan rimanya tidak begitu ketat. Maka dari itu, dari 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, tidak ada yang menggunakan aturan rima yang ketat seperti a-a-a-a, a-b-a-b atau a-a-b-b. Akan tetapi, dalam beberapa puisinya, untuk membuat puisinya berirama, Thukul seringkali menggunakan pengulangan kata atau larik. Misalnya dalam puisi “Suti”, Thukul selalu mengawali tiap baitnya sengan kata “Suti”. “suti tidak pergi kerja (bait pertama) suti kusut masai (bait kedua) suti meraba wajahnya sendiri (bait ketiga) suti batuk-batuk lagi (bait keempat) suti meludah (bait kelima) suti memejamkan mata (bait keenam) suti meludah (bait ketujuh) suti merenungi resep dokter (bait kedelapan)” (“Suti”) Cara yang sama juga Thukul gunakan dalam puisi “Ayolah Warsini”. Pada puisi yang terdiri dari tiga bait ini, Thukul selalu mengawali bait puisinya dengan larik yang mengandung kata “warsini”. “Warsini, Warsini” (bait pertama, “Ayolah, Warsini” (bait kedua dan ketiga). Begitu pula dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, kecuali pada bait terakhir, Thukul selalu mengawali tiap baitnya denga kata depan di yang diikuti oleh nama daerah di Jawa Barat “di Lembang” (bait pertama), “di Ciroyom” (bait kedua), “di Cimahi” (bait ketiga), “di Cigugur” (bait keempat), “di Majalaya” (bait kelima), sementara di bait keenam Thukul mengawalinya dengan kata “di mana-mana”. Sementara itu, dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”, Thukul mengawali bait pertama, ketiga, keempat, dan keenam selalu dengan larik “tempat pertemuan kami sempit”. Sedangkan pada bait kedua, kelima, dan
75
ketujuh, dalam dua larik paling awal, Thukul selalu menggunakan dua larik berbunyi “kami satu: buruh // kami punya tenaga”. Semua pengulangan kata atau larik yang dilakukan oleh Thukul dalam mengawali setiap bait puisinya merupakan suatu usaha Thukul untuk membuat puisinya memiliki rima dan irama sehingga terasa enak ketika dibaca maupun dideklamasikan. 2. Struktur Batin Puisi a) Tema Seperti yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya, dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini terdapat 22 puisi yang membahas tentang potret buruh Indonesia. 22 puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok puisi yang membahas buruh secara dominan dan kelompok puisi yang membahas buruh secara samar. Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang membicarakan buruh secara samar dan 12 puisi yang membahas tentang buruh secara dominan. Kelompok puisi yang membahas potret buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang temanya adalah potret buruh Indonesia yang memang potret buruh Indonesia dijelaskan secara dominan dalam puisi tersebut. Sementara itu, kelompok puisi yang membahas potret buruh Indonesia secara samar adalah puisi-puisi yang bukan memiliki tema tentang buruh Indonesia, namun dalam puisi-puisi tersebut terdapat potret buruh Indonesia yang tergambarkan secara samar di balik tema puisi tersebut. Agar lebih jelas, peneliti membuat tabel tema puisi Wiji Thukul tentang buruh berikut ini.
Tabel Tema Puisi Wiji Thukul tentang Buruh No
Judul Puisi
Kelompok
Tema
Puisi 1
“Catatan Malam”
samar
Seorang penyair miskin yang merenungkan nasib dan kisah
76
cintanya dengan kekasihnya yang seorang buruh berupah rendah 2
“Sajak kepada Bung
samar
Dadi”
Nasihat kepada seorang bernama Bung Dadi bahwa kampung yang di dalamnya terdapat banyak peristiwa tentang kehidupan rakyat kecil yang sulit adalah tanah airnya juga
3
“Lingkungan Kita Si
samar
Mulut Besar” 4
“Kuburan Purwoloyo”
Kritik sosial kepada penguasa
samar
Kritik sosial tentang kehidupan rakyat kecil yang menderita
5
”Lumut”
samar
Kehidupan orang yang dalam hidupnya bertempat tinggal berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya
6
„Suti”
dominan
Seorang buruh yang sakit, namun tidak bisa berobat ke rumah sakit karena tak punya biaya
7
“Kampung”
samar
Keadaan sebuah kampung dengan segala peristiwa yang dialami oleh penduduknya
8
“Jangan Lupa, Kekasihku”
samar
Seorang yang menasihati kekasihnya yang seorang buruh utuk tidak melupakan
77
lingkungan dan orang-orang di sekitarnya 9
“Ayolah, Warsini”
dominan
Para buruh yang menunggu kawannya, seorang buruh bernama Warsini yang belum pulang kerja
10
“Teka-teki yang
dominan
Ganjil”
Para buruh yang berkumpul saling bercerita tentang kehidupan mereka yang sulit
11
“Satu Mimpi Satu
dominan
Barisan”
Berbagai tindakan sewenangwenang terhadap para buruh yang membuat mereka bertekad untuk melakukan perlawanan
12
“Nonton Harga”
dominan
Kehidupan buruh yang sulit
13
“Terus Terang Saja”
samar
Protes sosial tentang kemerdekaan yang semu
14
“Harimau”
samar
Tindak represif yang dilakukan oleh penguasa
15
“Leuwigajah”
dominan
Kapitalisme yang terusmenerus menghisap daya kekuatan buruh
16
“Leuwigajah Masih
dominan
Haus”
Kapitalisme yang terusmenerus menghisap daya kekuatan buruh
17
“Makin Terang Bagi
dominan
Kami”
Buruh bertekad untuk bersatu memperjuangkan hak-hak mereka
18
“Bukan Kata Baru”
dominan
Perlawanan buruh terhadap kapitalis
78
19
“Seorang Buruh
dominan
Kesenjangan sosial
dominan
Perjuangan dan tekad buruh
Masuk Toko” 20
21
“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di
untuk memperbaiki hidup
Meja SPSI”
mereka
“Edan”
dominan
Tindak sewenang-wenang yang dilakukan pihak perusahaan kepada buruh
22
“Gunung Batu”
samar
Keadaan masyarakat gunung batu yang hidup dengan keperihatinan
Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 12 puisi yang tergolong puisi yang membahas tentang buruh secara dominan, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”. Sementara, terdapat 10 puisi yang membahas buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan “Terus Terang Saja”. Seperti yang sudah dijelaskan oleh peneliti sebelumnya, 12 puisi yang membahas buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang memiliki tema tentang buruh yang secara dominan membahas tentang buruh. Sementara, 10 puisi yang mambahas buruh secara samar adalah puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, akan tetapi di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. Misalnya, puisi Thukul yang berjudul “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” memiliki tema tentang kritik sosial kepada penguasa, namun di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. “lingkungan kita si mulut besar
79
raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun amerika perempuannya disetor ke mesin-mesin industri yang membayar murah” (“Lingkungan Kita Si Mulut Besar”) Dalam puisi tersebut, terdapat potret buruh perempuan yang dibayar dengan upah yang rendah. Begitu pula dalam puisi “Terus Terang Saja”, walaupun bukan memiliki tema tentang buruh, yakni tentang protes sosial akan kemerdekaan yang semu, tetapi terdapat potret tentang buruh Indonesia di dalamnya. “apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” (“Terus Terang Saja”) Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa oleh perusahaan multinasional. Thukul juga menggambarkan bahwa bagi buruh yang menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap untuk ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. b) Feeling (Perasaan) Feeling atau perasaan yang terdapat dalam 22 puisi Wiji Thukul tentang buruh berbeda-beda. Misalnya, dalam puisi “Suti”, Thukul menyampaikan perasaan yang sedih tentang seorang buruh bernama Suti yang tengah sakit, namun tidak mampu berobat karena tidak memiliki biaya. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya
80
loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja” (“Suti”) Sementara itu, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul menyampaiakan perasaan yang geram dan marah terhadap penguasa. Begitu pula dalam puisi “Bukan Kata Baru”, dengan perasaan yang geram dan penuh amarah, Thukul menyatakan perlawanan para buruh terhadap kaum kapitalis. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung. (“Bukan Kata Baru”) Dalam beberapa puisinya, Thukul juga menyampaikan perasaan yang penuh tekad dan semangat ketika menggambarkan para buruh yang bertekad untuk memperjuangkan nasib dan hak mereka seperti yang ada dalam puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. “hari depan buruh di tangan kami sendiri Bukan di mulut politikus Bukan di mejas spsi” (“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”) Dapat dikatakan bahwa dalam setiap puisinya yang membahas tentang buruh, Thukul menyampaikan dengan perasaan yang berbedabeda. Ada kalanya Thukul menyampaikan dengan perasaan yang sedih, namun ada kalanya ia menyampaikan dengan perasaan yang penuh kemarahan atau tekad yang kuat untuk memperjuangkan nasib.
c) Nada dan Suasana Nada yang digunakan oleh Thukul dalam 22 puisinya yang membahas tentang buruh berbeda-beda. Dalam puisi “Jangan Lupa, Kekasihku”, Thukul menggunakan nada menasihati.
81
“jangan lupa, kekasihku pada siapa pun yang bertanya Sebutkan namamu jangan malu itu namamu, kekasihku” (“Jangan Lupa, Kekasihku”) Dalam
puisi
ini,
Thukul
menggunakan
nada
menasihati
untuk
menggambarkan seorang Aku lirik yang sedang menasihati kekasihnya. Nada yang digunakan oleh Thukul dalam menyampaikan puisinya tersebut menimbulkan suasana ketegaran dan kepercayadirian. Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menggunakan nada menentang dan melawan. “di mana-mana ada Eman di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Nada menentang dan melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi tersebut digunakan untuk menyampaikan perasaan geram dan marah akan berbagai tindak kesewenang-wenangan terhadap buruh yang sering dilakukan oleh pihak perusaahan dengan dibantu oleh aparat. Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisinya juga dapat dilihat dalam puisi “Bukan Kata Baru”, bahkan dalam puisi tersebut Thukul dengan jelas menyatakan bahwa musuh buruh adalah kaum kapitalis. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung. (“Bukan Kata Baru”) Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” dan “Bukan Kata Baru” itu menimbulkan suasana penuh
82
pemberontakan yang dilakukan oleh para buruh untuk memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”,
Thukul
menggunakan nada mengritik. Nada mengritik yang digunakan oleh Thukul itu untuk menyampaikan kritikannya kepada penguasa. “lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun amerika perempuannya disetor ke mesin-mesin industri yang membayar murah” lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak mencret oli dan logam busa dan plastik dan zat-zat pewarna yang merangsang menggerogoti tenggorokan bocah-bocah yang mengulum es lima puluh perak (“Lingkungan Kita Si Mulut Besar”) Nada mengritik yang digunakan oleh Thukul dalam puisi tersebut menimbulkan suasana yang penuh dengan kekacauan yang terjadi di sebuah negeri. d) Amanat Amanat yang paling sering Thukul sampaikan dalam 22 puisinya yang membahas tentang buruh adalah tentang upah buruh yang rendah dan tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Amanat tentang upah buruh yang rendah ini Thukul sampaikan dalam puisinya yang berjudul “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”.
83
Dalam puisi “Suti”, Thukul menyampaikan amanatnya secara tersirat melalui tokoh dalam puisi bernama Suti yang merupakan seorang buruh. “suti menggeleng tahu mereka dibayar murah.” (“Suti”) Kemudian
dalam
puisi
“Teka-teki
yang
Ganjil”,
Thukul
juga
menyampaikan amanatnya secara tersirat tentang upah buruh yang rendah. “ dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi (“Teka-teki yang Ganjil”) Melalui puisi “Suti” dan “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, secara tersirat Thukul menyampaikan amanat, bahwa upah buruh terlalu rendah dibandingkan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung dan sudah seharusnya pihak perusahaan memberikan upah yang sepadan dengan beban pekerjaan yang ditanggung oleh buruh. Dalam puisi “Terus terang Saja”, Thukul menyampaikan amanat secara tersurat bahwa sebenarnya Indonesia belum benar-benar merdeka, sebab di Indonesia (pada zaman Orde Baru) belum ada kebebasan berpendapat dan kemelaratan masih terus melanda rakyat Indonesia. “sekarang demokrasi sudah 100% bulat tanpa debat tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100% yang tidak bisa salah namun aku sangsi karena kemelaratan belum dilumpuhkan aku sangsi pada yang 100% benar terus terang saja. (“Terus Terang Saja”)
84
Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menyampaikan amanat secara tersirat bahwa apabila para buruh bersatu, maka tidak akan ada yang bisa membungkam mereka. “di mana-mana ada Eman di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan (“Satu Mimpi Satu Barisan”) C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput 1.
Upah yang Rendah Tak Sepadan dengan Beratnya Beban Pekerjaan Permasalahan tentang upah merupakan salah satu issue yang paling sering
muncul dalam dunia perburuhan. Begitu pula dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul yang memotret gambaran buruh Indonesia pada masa Orde Baru, permasalahan tentang upah merupakan topik yang sangat sering muncul. Berdasarkan pengklasifikasian yang dilakukan oleh peneliti, terdapat 14 puisi yang membahas tentang upah buruh dari 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang memotret gambaran tentang buruh. Secara garis besar, melalui keempat belas puisi tersebut Wiji Thukul memberikan gambaran tentang upah buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah, tidak sesuai dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan. Adapun 14 puisi Wiji Thukul yang menggambarkan upah buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah tersebut, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Gunung Batu”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganji”l, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Terus Terang Saja”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Edan”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”. Gambaran tentang betapa rendahnya jumlah upah buruh pada masa Orde Baru dapat dilihat pada kutipan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Catatan Malam” dan “Gunung Batu” berikut ini. “... pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam” (“Catatan Malam”)
85
“... kuli-kuli perkebunan seharian memikul kerja setiap hari makin bungkuk dijaga mandor dan traktor delapan ratus gaji sehari di rumah ditunggu mulut-perut anak-istri” (“Gunung Batu”) Pada puisi “Catatan Malam”, Wiji Thukul menggambarkan tokoh Aku lirik yang memunyai kekasih seorang buruh yang upahnya tidak lebih dari dua ratus rupiah per jam. Sementara, pada puisi “Gunung Batu”, digambarkan para kuli-kuli perkebunan yang bergaji delapan ratus rupiah per hari. Jumlah gaji tersebut sangatlah kecil dan tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang ditanggung oleh para kuli perkebunan yang “seharian memikul kerja sehingga setiap hari semakin bungkuk” itu. Di sisi lain, rendahnya upah yang diterima oleh buruh ternyata juga berdampak pada kehidupan ekonomi buruh yang sulit. Rendahnya upah yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tak terjangkau oleh mereka. Hal ini tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul “Suti”. “buruh-buruh berangkat pagi pulang petang hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan” (“Suti”) Kutipan puisi tersebut menggambarkan bagaimana upah yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari buruh dan menyebabkan kehidupan mereka menjadi serba sulit. Lebih lanjut, Wiji Thukul menggambarkan potret tentang dampak dari rendahnya upah yang diterima oleh para buruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka melalui puisinya yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”. “...
86
dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi.” (“Teka-teki yang Ganjil”) Untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari seperti “odol dan sampo” pun, para buruh masih merasa kesulitan, belum lagi ditambah hutang-hutang mereka di warung dan uang biaya sewa rumah yang harus mereka lunasi. Bahkan, rendahnya upah yang diterima oleh para buruh ini juga berdampak pada ketidakmampuan mereka menyekolahkan anak mereka. “... mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh untuk menyekolahkan anaknya padahal mereka tiap hari menghasilkan berton-ton barang” (“Teka-teki yang Ganjil”) Potret yang menggambarkan buruh yang tidak dapat menyekolahkan anaknya ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa rendahnya upah yang diterima oleh para buruh juga berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga mereka, dalam hal ini pendidikan bagi anak. Selain itu, rendahnya upah yang diterima oleh buruh rupanya juga berdampak pada kebutuhan akan kesehatan buruh yang tidak terpenuhi. Seringkali ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit sebab tidak memunyai biaya. Potret ini terdapat dalam puisi “Suti”. “... suti menggeleng tahu mereka dibayar murah suti meludah dan lagi-lagi darah suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada biaya” (“Suti”) Berbagai potret rendahnya upah buruh yang berdampak pada kehidupan mereka ini menandakan bahwa tingkat kesejahteraan buruh menjadi hal yang
87
sangat kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah pada masa Orde Baru. Ada kesenjangan antara upah buruh yang rendah dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Hal ini menimbulkan kesan bahwa adanya keinginan dari pihak perusahaan untuk memanfaatkan tenaga buruh dengan mempekerjakannya secara semaksimal mungkin, namun dengan upah yang seminimal mungkin yang cenderung kurang manusiawi. Padahal, bila saja tenaga para buruh memang merupakan faktor utama dalam proses produksi perusahaan, maka sudah selayaknya mereka memperoleh imbalan nilai lebih yang proporsional melalui pendekatan yang manusiawi, yakni imbalan (upah) yang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup buruh.169 Dengan demikian, apa yang diterima buruh harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka secara memadai dan manusiawi. Adapun jenis-jenis kebutuhan dasar hidup manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana berikut ini. Kebutuhan dasar minimal, yaitu (1) kebutuhan dasar untuk hidup yang meliputi pangan, sandang, papan, air, udara, bahan bakar dan lainnya; (2) kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitas/produktivitas individu yang meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaan sosial, kebebasan berpendapat, tersedianya pasar, dan lain sebagainya; (3) kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu) terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi yang meliputi tanah, air, vegetasi, modal (termasuk teknologi), peluang bekerja dan berpenghasilan yang layak; dan (4) kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuat keputusan yang meliputi penghargaan atas HAM, partisipasi dalam politik, keamanan sosial, pertahanan sosial, peraturan perundang-undangan yang adil bagi semua lapisan masyarakat.170 Sudah sepatutnya dalam menentukan jumlah upah yang diterima oleh buruh, pihak perusahaan mempertimbangkannya berdasarkan pendekatan manusiawi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara beban pekerjaan yang berat dengan upah yang rendah yang membuat buruh tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya. Apabila melihat jenis-jenis kebutuhan dasar minimal yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana dan membandingkannya dengan 169
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000), h.35 170 Ibid., h. 35-36
88
potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam puisi-puisi Wiji Thukul yang sebelumnya sudah dikutip, maka akan terlihat bahwa ada beberapa kebutuhan dasar minimal para buruh yang belum terpenuhi. Misalnya saja perihal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan berpenghasilan yang layak. Selain itu, masih ada beberapa kebutuhan dasar minimal yang belum terpenuhi dalam kehidupan buruh. Sebagai contoh adalah kebebasan berpendapat. Pada masa Orde Baru seringkali ditemukan kasus buruh yang dipecat, bahkan dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena menuntut untuk kenaikan upah yang lebih pantas. Hal ini menandakan bahwa buruh pada masa Orde Baru belum memiliki kebebasan berpendapat. Potret mengenai buruh yang dipecat setelah menuntut perbaikan upah ini terdapat dalam puisi Wiji Thukul, “Satu Mimpi Satu Barisan”. “di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah, ya karena upah” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Potret buruh yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja setelah menuntut perbaikan upah yang terdapat dalam puisi tersebut selain menandakan kebebasan berpendapat yang belum dimiliki oleh buruh juga menandakan begitu lemahnya posisi buruh dalam hubungan industrial. Buruh seolah-olah menjadi pihak yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Pada puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, Wiji Thukul bahkan menggambarkan potret buruh yang dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena menuntut kenaikan upah. “... apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” (“Terus Terang Saja”)
89
Potret buruh yang dipenjarakan karena menuntut kenaikan upah pada puisi tersebut secara tidak langsung mendeskripsikan gambaran kondisi politik pada masa Orde Baru yang represif. Penguasa pada masa itu tidak akan membiarkan sedikit pun ada pihak yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaannya. Sementara, penguasa cenderung berpihak pada kaum pemilik modal yang seringkali bertindak sewenang-wenang terhadap buruh. Penguasa yang cenderung berpihak pada kaum pemilik modal ini membuat posisi buruh pada masa Orde Baru menjadi kian tersudutkan. Penguasa yang seharusnya melindungi hak para buruh justru ikut bertindak sewenangwenang terhadap buruh. Bahkan, seringkali penguasa mengerahkan aparat untuk “menertibkan” buruh yang melakukan aksi protes menuntut kenaikan upah seperti yang terjadi pada 11 Desember 1995 ketika belasan ribu buruh PT. Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) mengadakan demonstrasi di depan pabrik tempat mereka bekerja yang terletak di Desa Jetis, Sukoharjo. Demonstrasi para buruh yang juga diikuti oleh Wiji Thukul yang saat itu menjabat sebagai Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat) itu salah satunya didasari oleh keinginan buruh untuk diadakannya kenaikan upah. Sebagian di antara mereka hanya dibayar Rp1.600 per hari, jauh di bawah gaji minimal provinsi kala itu yang sebesar Rp2.600 per hari.171 Melihat kenyataan rendahnya upah yang diterima oleh buruh yang tidak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan, ditambah lagi dengan berbagai tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan (kaum pemilik modal), maka merupakan suatu hal yang wajar apabila para buruh melakukan aksi protes untuk memperjuangkan hak mereka. Akan tetapi, pihak penguasa yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan selalu memiliki alasan untuk “menghalalkan” berbagai tindakan represif terhadap buruh yang bagi mereka aksinya dapat mengganggu kestabilan keamanan negara. Melalui beberapa kutipan puisi Wiji Thukul tentang buruh yang sudah ditampilkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran betapa rendahnya upah yang diterima oleh buruh pada masa Orde Baru yang tidak sepadan dengan beratnya 171
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 120
90
beban pekerjaan yang mereka tanggung. Pemberian upah yang rendah itu tidak disesuaikan dengan pendekatan yang manusiawi sehingga berdampak pada kehidupan buruh yang semakin sulit. 2.
Tenaga yang Terisap oleh Beratnya Beban Pekerjaan dan Lembur Paksa Salah satu potret buruh yang sering ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput adalah potret tentang tenaga buruh yang terisap oleh beratnya beban pekerjaan dan lembur paksa. Thukul seringkali menampilkan potret tersebut melalui larik-larik puisi yang menceritakan kondisi buruh yang keletihan bahkan mengalami sakit karena tenaganya terisap oleh beban pekerjaan yang berat dan seringkali mendapatkan pemaksaan dari pihak perusahaan untuk lembur kerja. Potret buruh seperti ini setidaknya ditampilkan oleh Thukul dalam 14 puisinya yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Adapun 14 puisi tersebut adalah “Gunung Batu”, “Suti”, “Kampung”, “Jangan Lupa Kekasihku”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,”Terus Terang Saja”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Kuburan Purwoloyo”, dan “Edan”. Dalam puisi “Suti”, Thukul menampilkan potret seorang buruh bernama Suti yang keletihan dan mengalami sakit karena beban pekerjaan yang berat. “... suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja ... suti menggeleng tahu mereka dibayar murah suti meludah dan lagi-lagi darah” (“Suti”)
91
Potret Suti dalam puisi tersebut mewakili potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang dipekerjakan dengan beban pekerjaan yang berat, namun tidak diimbangi dengan pemberian upah yang layak dan sepadan. Hal ini menggambarkan betapa pihak perusahaan mengeksploitasi para buruh dengan cara mempekerjakan mereka semaksimal mungkin dengan upah yang seminimal mungkin. Potret buruh dengan beban pekerjaan yang berat namun tidak diimbangi dengan pemberian upah yang layak dan sepadan juga terdapat dalam puisi “Gunung Batu”. “... kuli-kuli perkebunan seharian memikul kerja setiap hari makin bungkuk dijaga mandor dan traktor delapan ratus gaji sehari di rumah ditunggu mulut-perut anak-istri” (“Gunung Batu”) Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan potret buruh perkebunan yang setiap harinya menanggung beban pekerjaan yang berat, namun hanya mendapatkan upah delapan ratus rupiah tiap hari. Jumlah upah tersebut selain tidak sepadan dengan beban pekerjaan buruh yang begitu berat juga tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Selain beban pekerjaan buruh yang berat, rupanya tenaga buruh juga terus diisap oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa. Persoalan lembur paksa memang merupakan salah satu hal yang seringkali dikeluhkan oleh buruh. Pihak perusahaan seringkali memaksa buruh untuk lembur kerja dengan dalih mengejar target produksi perusahaan. Dalam kasus ini, buruh dijadikan oleh pihak perusahaan tidak ubahnya seperti budak yang bebas diperlakukan dan diperintah apa saja. Wiji Thukul menampilkan potret buruh yang dipaksa untuk lembur kerja dalam puisinya yang berjudul “Leuwigajah”. “... lidah-lidah penghuni rumah kontrak
92
terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan kencing dilarang, sakit ongkos sendiri ... tubuh-muda terus mengalir ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah satu kali dua puluh empat jam masuk, absen, tombol ditekan dan truk-truk pengangkut produksi meluncur terus ke pasar” (“Leuwigajah”) Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan potret buruh yang dipaksa untuk lembur bekerja seperti “buah-buah yang disedot vitaminnya”. Para buruh terus diperas dan dieksploitasi tenaganya untuk kepentingan keuntungan pihak perusahaan dengan cara dipekerjakan selama dua puluh empat jam. Potret yang sama juga Thukul tampilkan dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. Dalam puisi tersebut, Thukul menceritakan seorang buruh bernama Siti yang harus lembur kerja selama 24 jam. “... di cigugur ada kawan Siti punya cerita harus kerja lembur sampai pagi pulang lunglai lemas ngantuk letih membungkuk 24 jam ya, 24 jam” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Tokoh Siti dalam puisi tersebut menggambarkan bagaimana buruh dieksploitasi daya dan tenaganya oleh pihak perusahaan dengan lembur paksa selama 24 jam. Lembur paksa yang berat itu membuat para buruh merasa keletihan, habis tenaganya, seolah-oleh habis diisap oleh pihak perusahaan yang hanya mementingkan keuntungan finansial. Apa yang dialami oleh tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” bukan sekadar karangan atau imajinasi Wiji Thukul saja, tetapi dalam
93
kenyataannya potret buruh yang mengalami lembur paksa memang masih sering terjadi. Women Research Institute melakukan sebuah penelitian tentang pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh terhadap buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Dalam penelitian itu, Women Research Institute mewawancarai seorang buruh bernama Ika yang bekerja di sebuah perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung sejak tahun 1997. Ika menceritakan pengalamannya terkait lembur kerja: “Karena perusahaan Graffika (tempat Ika bekerja) tidak menerapkan sistem shift, setiap pekerja pasti terkena lemburan. Kerja lembur dilakukan hampir setiap hari, bahkan di hari Minggu. Usai kerja lembur Ika pulang ke tempat indekost sekitar pukul sembilan malam. Terkadang dia kerja lembur hingga pukul sebelas malam. Kerja lembur terus-menerus tidak lantas membuat Ika senang. Selain tubuh menjadi cepat lelah, upah yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Bahkan, uang kerja lembur terpaksa dihabiskan untuk membeli vitamin, obat, dan susu, agar staminanya tetap terjaga. ... Menurut Ika, perusahaan tidak pernah memberi pilihan kepada buruh untuk menerima atau menolak kerja lembur. Perintah untuk bekerja lembur biasanya dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan lebih dulu, kecuali untuk kerja lembur di hari Minggu. Meskipun buruh bisa “menampik” kerja lembur hari Minggu, mereka harus tetap lemburan. Alasan perusahaan, deadline ekspor dan jadwal ekspor tidak dapat diubah, dan sebagainya.”172 Pengalaman Ika sebagai buruh berkaitan dengan lembur kerja tersebut menunjukkan bahwa pada kenyataannya tindakan eksploitasi terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa memang benar-benar terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh Ika, buruh tidak diberikan pilihan oleh pihak perusahaan untuk menolak atau menerima perintah lembur kerja. Bahkan seringkali lembur kerja diadakan pada hari Minggu dan meskipun buruh bisa “menampik” perintah lembur kerja di hari Minggu tersebut, pada akhirnya mereka diharuskan oleh pihak perusahaan untuk lembur dengan alasan deadline ekspor. Sialnya, lembur kerja yang terpaksa dilakukan oleh para buruh tidak diimbangi oleh pemberian upah lembur yang sepadan, tidak sebanding dengan 172
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, (Jakarta: Women Research Institute, 2008), h. 43-44
94
tenaga para buruh yang terkuras dan terisap oleh beban pekerjaan yang berat. Buruh pun terpaksa menggunakan uang kerja lembur untuk membeli vitamin, obat, dan susu, agar staminanya tetap terjaga. Perintah lembur kerja secara paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan seperti yang dialami oleh Ika di perusahaan tempatnya bekerja yang terkadang sampai pukul sebelas malam atau yang dialami tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barusan” karya Wiji Thukul yang sampai 24 jam merupakan sebuah pelanggar hukum. Hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap Pasal 77 dan Pasal 78 UU No.13/2003. Pasal 78 ayat 1 menyebutkan “pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan empat belas jam dalam seminggu.173 Tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” dan apa yang dialaminya merupakan cerminan buruh seperti Ika dan buruh-buruh lainnya di Indonesia yang kerap dieksploitasi daya dan tenaganya oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa. Pihak perusahaan cenderung mempekerjakan para buruh layaknya budak yang bebas diperintah apa saja. Mereka terus mengeksploitasi buruh dengan mempekerjakan para buruh semaksimal mungkin dan memberikan upah seminimal mungkin. Buruh pun terus diisap daya dan tenaganya, diisap oleh pihak perusahaan yang hanya mementingkan laba perusahaan.
3.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Buruh yang Kurang Dipedulikan oleh Pihak Perusahaan Berdasarkan Konvensi ILO 155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja serta Rekomendasi ILO No. 164 Tahun 1981, perusahaan harus memperbaiki dan menjaga kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang pekerjaan; mencegah efek buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja, melindungi buruh dari risiko di tempat kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan, menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja 173
Ibid., h.43
95
sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental buruh.174 Dengan demikian, sudahlah jelas bahwa salah satu kewajiban pihak perusahaan adalah menjaga kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih sering ditemukan kasus mengenai perusahaan yang kurang memedulikan kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja. Wiji Thukul dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput, beberapakali menampilkan potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang kurang mendapatkan kepedulian dari pihak perusahaan akan kesehatan dan keselamatan mereka dalam bekerja ini. Kekurangpedulian serta tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dari pihak perusahaan ini seringkali menyebabkan para buruh mengidap penyakit. Hal ini tergambarkan dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. “... di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bilang umpama dirontgen pasti tampak isi dadaku ini pasti rusak karena amoniak, ya amoniak” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Kutipan puisi tersebut merupakan sebuah potret tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan yang diterima buruh dari pihak perusahaan, Udin dalam puisi tersebut harus menerima “isi dadanya rusak” akibat terlalu banyak menghirup amoniak. Seharusnya, pihak perusahaan menyediakan alat pelindung dalam bekerja seperti masker untuk para buruh sehingga tidak menyebabkan buruh terancam kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja. Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut rupanya bukanlah hal yang omong kosong belaka, melainkan suatu hal yang benar-benar terjadi dalam dunia perburuhan Indonesia. Pada 11 Desember 1995 belasan ribu buruh mengadakan aksi demonstrasi di sepanjang jalan menuju pabrik garmen PT. Sri Rejeki Isman Tektile (Sritex) di Desa Jetis, Sukoharjo. Wiji Thukul juga ikut dalam aksi demonstrasi itu. Rahardjo Waluyo Jati, anggota
174
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, op.cit., h. 85
96
Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) Yogyakarta yang ikut aksi demonstrasi tersebut kepada Tim Liputan Khusus Wiji Thukul majalah Tempo mengatakan bahwa di antara hal yang melatar belakangi aksi demonstrasi buruh kala itu adalah adanya laporan kasus buruh yang mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil.175 Sementara itu, beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Woman Research Institue terhadap seorang buruh yang bernama Ika yang pada periode 1996 sampai 1997 bekerja di sebuah pabrik sepatu di daerah Tangerang diketahui bahwa buruh saat bekerja tidak diberi alat pelindung seperti masker. Hal ini diungkapkan oleh Ika yang akibat terlalu sering menghirup bahan-bahan kimia mengidap penyakit radang paru-paru.176 Hal ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi ILO 155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Rekomendasi ILO No. 164 Tahun 1981 bahwa perusahaan harus memperbaiki dan menjaga kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang pekerjaan; mencegah efek buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja, melindungi buruh dari risiko di tempat kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan, menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental buruh. Agaknya, permasalahan tentang kesehatan dan keselamatan kerja buruh dalam bekerja juga berkaitan dengan upah buruh yang rendah, sebab seringkali ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit karena kondisi keuangan yang tidak mencukupi. Hal itu diperparah dengan tidak adanya layanan kesehatan yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada buruh yang sakit. Dalam puisi yang berjudul Suti, Thukul menggambarkan potret buruh yang ketika sakit tidak mampu berobat karena kondisi keuangan yang tidak mencukupi. “... suti menggeleng tahu mereka dibayar murah suti meludah dan lagi-lagi darah 175 176
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 120 Aris Arif Mundayat, op. cit., h.38
97
suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada obat” (“Suti”) Potret dalam puisi tersebut menggambarkan sebuah kesan bahwa pihak perusahaan cenderung sekadar memanfaatkan tenaga buruh tanpa memedulikan hak-haknya. Mengenai persoalan tentang upah misalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Eggi Sudjana yang telah penulis kutip sebelumnya bahwa upah yang diberikan kepada buruh haruslah dipertimbangkan berdasarkan pendekatan yang manusiawi, yang dapat memenuhi kebutuhan dasar buruh sebagai manusia, dan salah satu kebutuhan dasar itu di antaranya adalah pelayanan kesehatan. Jadi, apabila ditemukan kasus seorang buruh yang tak bisa berobat ketika sakit karena tidak memunyai uang sebab upah yang ia terima dari perusahaan rendah, maka hal itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Ketika bekerja, buruh juga dihadapkan oleh bahaya kecelakaan bekerja yang bisa dialami oleh buruh kapan saja. Peristiwa kecelakaan dalam bekerja tergambarkan dalam puisi Thukul, “Leuwigajah”. “... lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan kencing dilarang, sakit ongkos sendiri” (“Leuwigajah”) Potret dalam kutipan puisi tersebut menggambarkan bahwa kecelakaan dalam bekerja seperti “jari jempol yang putus” merupakan salah satu hal yang sering ditemukan dalam kehidupan kerja buruh. Di sisi lain, kecelakaan buruh dalam bekerja seperti yang tergambarkan dalam kutipan puisi tersebut juga menggambarkan ketidakpedulian pihak perusahaan akan keselamatan buruh dalam bekerja. Sialnya, pihak perusahaan terkesan “lepas tangan” terhadap
98
peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka tidak menanggung biaya berobat buruh atau memberikan layanan kesehatan pada buruh sehingga buruh harus menanggung ongkos berobatnya sendiri seperti yang tergambarkan dalam puisi “Leuwigajah” tersebut. Berbagai potret tentang ketidakpedulian pihak perusahaan terhadap kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja yang terdapat dalam puisi-puisi Thukul ini merupakan salah satu dari berbagai tindak kesewenangan yang diterima oleh sebagian besar buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping itu, puisi-puisi tersebut juga merupakan bentuk protes Wiji Thukul terhadap perusahaan dan pemerintah saat itu agar lebih memerhatikan jaminan kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja yang kala itu merupakan hal yang sangat langka. 4.
Ancaman Pemecatan dan Tindakan Sewenang-wenang dari Pihak Perusahaan Dalam dunia kerja, para buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga
dihadapkan oleh permasalahan ancaman pemecatan dan berbagai tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Ancaman pemecatan ini seringkali dijadikan “senjata” oleh pihak perusahaan untuk meredam aksi buruh yang ingin melakukan protes. Bahkan, sangat sering buruh kala itu langsung dipecat setelah melakukan aksi protes. Potret pemecatan yang dilakukan oleh pihak perusahan terhadap buruh yang berani melakukan aksi protes ini dapat dilihat pada puisi Wiji Thukul yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan”. “ di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah, ya karena upah ... juga ada neni kawan bariah bekas buruh pabrik kaus kaki kini jadi buruh di perusahaan lagi dia dipecat, ya dia dipecat kesalahannya: karena menolak diperlakukan sewenang-wenang” (“Satu Mimpi Satu Barisan”)
99
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul memotret peristiwa seorang buruh bernama Sofyan yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja karena ia melakukan mogok kerja sebagai bentuk aksi protesnya menuntut perbaikan upah yang rendah. Selain itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” juga digambarkan seorang buruh bernama Neni yang juga dipecat setelah ia menolak untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Apa yang dialami oleh Sofyan dan Neni ini mewakili kondisi yang dialami oleh para buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Mereka, para buruh seringkali diperlakukan sewenangwenang oleh pihak perusahaan. Rupanya, berbagai permasalahan yang dihadapi oleh buruh masing-masing saling berkaitan. Seperti apa yang tergambarkan dalam kasus Sofyan dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” misalnya, upah rendah yang diterima buruh berdampak pada kondisi ekonomi buruh yang sulit. Para buruh kemudian melakukan aksi protes yang di antaranya berupa mogok kerja. Pihak perusahaan yang merasa berkuasa atas buruh tidak mau ambil pusing, mereka segera memecat para buruh yang berani melakukan aksi protes. Sebenarnya, hal ini juga menggambarkan betapa lemahnya posisi tawar (bargaining power) buruh terhadap pihak perusahaan dalam dunia industri sehingga terkesan nasib buruh sepenuhnya berada di tangan pihak perusahaan dan apa pun yang dilakukan oleh buruh selalu berdampak buruk bagi mereka. Potret tentang buruh yang berhadapan dengan ancaman pemecatan dari pihak perusahaan juga tergambarkan dalam puisi “Leuwigajah”. “... lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan kencing dilarang, sakit ongkos sendiri” mogok? pecat! seperti nyabuti bulu ketiak” (“Leuwigajah”)
100
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menceritakan berbagai tindakan sewenang-wenang yang sering diterima oleh buruh buruh seperti lembur paksa sampai pagi, larangan bagi buruh yang hendak buang air kecil, dan bagi buruh yang berani melakukan aksi mogok sebagai bentuk protes maka harus siap dipecat. Betapa mudah dan ringannya pihak perusahaan memecat buruh, bahkan Thukul mengibaratkan layaknya “nyabuti bulu ketiak”. Selain ancaman pemecatan, buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dihadapkan oleh berbagai tindakan sewenang-wenang yang jauh melebihi batas kewajaran. Misalnya, seperti pelarangan bagi buruh untuk buang air kecil ketika jam kerja seperti yang tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul “Leuwigajah” tersebut. Apa yang digambarkan Thukul tentang tindakan sewenang-sewenang pihak perusahaan terhadap buruh seperti pelarangan buang air kecil bagi buruh saat jam kerja ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh buruh Indonesia sekarang ini. Buruh Indonesia saat ini pun juga kerap menghadapi permasalahan yang hampir sama, yakni pembatasan waktu “berkunjung ke toilet”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap beberapa buruh perempuan di daerah Jakarta dan sekitarnya ternyata masih sering ditemukan beberapa tindakan sewenang-wenang yang dialami buruh seperti bekerja sambil berdiri selama tujuh jam, pembatasan waktu “berkunjung” ke toilet (buruh hanya diberikan waktu 5 menit), kerja lembur yang berat dan melelahkan serta jatah makan siang gratis yang kurang layak.177 Potret tindakan sewenang-wenang yang sering dilakukan pihak perusahaan pada buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dapat dilihat pada puisi Wiji Thukul yang berjudul “Edan”. “sudah dengar cerita mursilah? edan! dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang padahal mukena tidak dibawa pulang 177
Arif Mundayat, Aris, op. cit., h. 117
101
padahal mukena dia taruh di tempat kerja edan! sudah diperas dituduh maling pula” (“Edan”) Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengisahkan seorang buruh perempuan bernama Mursilah yang dituduh maling oleh pihak perusahaan karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikannya sebagai mukena. Mursilah dituduh maling, walaupun sebenarnya mukena itu tidak ia bawa pulang ke rumah, melainkan ia simpan di tempat kerja. Apa yang dialami oleh Mursilah ini mewakili buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang seringkali mengalami tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Peristiwa seorang buruh yang dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikan mukena ini bagi Thukul merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Begitu tidak masuk akalnya bagi Thukul sehingga ia mengambarkan peristiwa itu denga satu kata: edan! Ada kalanya tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh adalah berupa pemotongan gaji yang alasannya kurang masuk akal. Hal ini terlihat pula dalam puisi “Edan”. “... sudah dengar cerita santi? edan! karena istirahat gaji dipotong edan!” (“Edan”) Potret mengenai buruh bernama Santi yang gajinya dipotong karena istirahat yang digambarkan oleh Thukul tersebut merupakan gambaran tindakan sewenangwenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Buruh dilarang untuk istirahat, jika berani untuk istirahat maka harus siap mendapatkan hukuman berupa pemotongan gaji. Tindakan sewenang-wenang ini merupakan sebuah tindakan eksploitasi terhadap buruh, padahal, seperti yang dikatakan oleh Eggi
102
Sudjana, salah satu hak buruh adalah hak jaminan bagi buruh untuk beristirahat.178 Maka dari itu, apabila terdapat kasus buruh yang gajinya dipotong karena beristirahat, hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran atas hak dasar buruh. Berbagai potret dalam beberapa puisi Wiji Thukul tentang ancaman pemecatan dan tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan terhadap buruh Indonesia pada masa Orde Baru sekali lagi menandakan betapa lemahnya posisi buruh dalam dunia industri. Hal ini membuat pihak perusahaan bisa sebebasnya melakukan tindakan eksploitasi terhadap buruh dengan pekerjaan yang berat, penambahan waktu bekerja yang dilakukan secara paksa, bahkan hingga pemotongan gaji bagi buruh yang sekadar istirahat. Berbagai tindakan ini, seperti yang sudah peneliti katakan sebelumnya adalah bentuk tindakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh. 5.
Kondisi Ekonomi Buruh Potret kondisi kehidupan ekonomi buruh tidak luput dalam pengamatan
Thukul yang kemudian ia gambarkan dalam puisi-puisinya. Setidaknya, ada 10 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang menampilkan potret kehidupan ekonomi buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut adalah “Kuburan Purwoloyo”, “Suti”, “Lumut”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Nonton Harga”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”. Secara umum, potret kehidupan buruh yang Thukul gambarkan adalah potret kehidupan ekonomi buruh yang serba sulit: tinggal di rumah kontrakan yang sempit, hidup penuh hutang, terhimpit oleh kebutuhan hidup sehari-hari, tidak punya biaya untuk berobat, tidak ada biaya untuk menyekolahkan anak. Keadaan ekonomi buruh yang sulit seperti yang digambarkan oleh Thukul dalam puisinya di antara disebabkan oleh faktor upah rendah yang mereka terima yang tidak sesuai dengan banyaknya kebutuhan hidup sehari-hari yang harus mereka penuhi.
178
Sudjana, Eggi, op. cit., h.40
103
Potret kehidupan buruh yang sulit Thukul gambarkan dalam puisinya yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”. “... ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur di rumah kontraknya dan itu mengingatkan yang lain bahwa mereka juga belum punya panci, kompor gelas minum dan wajan penggoreng mereka jadi ingat bahwa mereka pernah ingin membeli barang-barang itu tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur oleh keletihan kami dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi” (“Teka-teki yang Ganjil”) Betapa sulitnya kehidupan ekonomi buruh yang digambarkan oleh Thukul dalam puisi tersebut sehingga untuk sekedar membeli panci, kompor, gelas minum, dan wajan penggoreng saja mereka tidak mampu. Akhirnya,
para buruh harus
memendam keinginan mereka yang ”sederhana” itu, sebab mereka harus menghadapi persoalan hidup lain dalam kehidupan mereka sebagai buruh seperti beban pekerjaan yang berat yang membuat mereka keletihan, upah yang rendah, dan hutang-hutang mereka. Melalui puisi “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, Wiji Thukul juga menggambarkan ketimpangan antara upah buruh yang rendah dengan tingginya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan menggunakan personifikasi, Thukul mengibaratkan upah buruh yang rendah tersebut dalam waktu singkat telah “berubah” menjadi odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di warung yang harus mereka lunasi. Keadaan ekonomi buruh yang penuh dengan kesulitan membuat para buruh juga harus bertahan hidup dengan bertempat tinggal di rumah-rumah kontrakan yang sempit. Thukul menggambarkan kondisi tempat tinggal buruh ini dalam puisinya yang berjudul “Nonton Harga”. “... ayo kita pulang
104
ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijaul di pelelangan” (“Nonton Harga”) Melalui kutipan puisi tersebut, Thukul menggambarkan potret tempat tinggal buruh yang berupa rumah kontrakan yang sempit sehingga para buruh harus tidur berhimpit-himpitan, “berderet-deret seperti ikan tangkapan yang siap dijual di pelelangan”. Thukul secara lebih detil menggambarkan potret rumah kontrakan tempat tinggal buruh pada puisi “Leuwigajah”. “... mesin-mesin terus membangunkan buruh-buruh tak berkamar mandi tidur jejer-berjejer alas tikar tanpa jendela, tanpa cahaya matahari lantai-dinding dingin, lembab, pengap” (“Leuwigajah”) Wiji Thukul menggambarkan dalam puisi “Leuwigajah” tersebut sebuah potret rumah kontrakan buruh yang sempit, tidak berkamar mandi, tidak memiliki jendela, lembab, pengap, dan hanya terdapat tikar sebagai alas bagi buruh untuk tidur. Betapa sulitnya kehidupan buruh bahkan membuat buruh seringkali harus hidup berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Lumut”. “... kini los rumah yang dulu kami tempati jadi bangunan berpagar tembok tinggi aku jalan lagi melewati rumah yang pernah disewa riyanto buruh kawan sekerjaku ke mana lagi dia sekeluarga rumah itu kini gantian disewa keluarga mbak nina kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi tanah-tanah kosong sudah dibeli orang dalam gang setengan gelap, setengah terang aku menemukan perumpamaan: kita ini lumut menempel di tembok-tembok bangunan
105
berkembang di pinggir-pinggir selokan di musim kemarau kering diterjang banjir tetap hidup” (“Lumut”) Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang hidupnya harus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Di sisi lain, dalam puisi tersebut Thukul juga memotret perkembangan daerah tempat tinggal buruh yang mulai berubah, tanah-tanah lapang mulai berkurang dan berganti dengan rumah-rumah pemukiman warga. Sementara, buruh sendiri terus hidup berpindah-pindah. Salah satu hal yang menarik adalah dalam puisi “Lumut” tersebut Thukul mengumpamakan para buruh seperti “lumut yang hidup di tembok-tembok bangunan, berkembang di pinggir-pinggir selokan, di musim kemarau kering diterjang banjir”. Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi Lumut mengenai keadaan buruh yang tinggal di pinggir-pinggir selokan dan “akrab” dengan banjir ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kenyataan hidup Thukul yang tinggal di sebuah daerah di Solo yang memang sering banjir. Bahkan Thukul bersama istrinya, Sipon pernah mendirikan sebuah sanggar kesenian yang bernama Sanggar Suka Banjir. Nama itu dipilih oleh Thukul dan Sipon karena daerah tempat sanggar itu berada memang sering terjadi banjir.179 Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tinggal di rumah kontrakan yang sempit ternyata juga masih dialami oleh buruh Indonesia pada sekarang ini. Hal ini terlihat pada hasil penelitian tentang pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap seorang buruh perempuan bernama Ika. Ika yang merupakan seorang buruh yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung itu mendeskripsikan kamar kos tempat ia tinggal. “Ika bertempat tinggal di sebuah kamar di lantai dua seluas 2 x 3 meter persegi, berdinding kayu tripleks dan berlantai keramik. Kamar mandi terletak di lantai satu. Luasnya sekitar 1 x 1 meter persegi dengan lantai 179
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.109
106
semen berlubang-lubang, tidak ada bak mandi dan mesin pompa air, Untuk Wudlu atau buang air kecil, Ika harus menimba air di sumur. Ika satu kamar indekos dengan seorang kawan yang bekerja di Graffika. Tidak ada ranjang tidur apalagi kasur. Mereka tidur beralas tikar lusuh.”180 Potret yang Thukul gambarkan dalam puisinya yang berjudul “Leuwigajah” mengenai “buruh tak berkamar mandi yang tidur jejer-berjejer beralas tikar tanpa jendela, tanpa cahaya matahari dengan lantai-dinding dingin, lembab, dan pengap” itu ternyata dalam kenyataannya juga dialami oleh buruh Indonesia saat ini seperti Ika. Keadaan ekonomi buruh yang sulit ternyata juga berdampak terhadap ketidakmampuan para buruh untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan keluarga seperti kesehatan dan pendidikan. Beberapa puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput menggambarkan potret buruh tersebut. Misalnya, seperti potret yang tergambarkan dalam puisi “Suti”. “... suti meludah dan lagi-lagi darah suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada obat” (“Suti”) Apa yang dialami oleh Suti dalam puisi tersebut merupakan gambaran yang mewakilkan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang karena kondisi ekonomi yang begitu sulit sehingga tidak mampu berobat ke rumah sakit. Kondisi ekonomi yang sulit bahkan juga menyebabkan mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”. “... akhirnya kami bertanya mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh 180
Arif Mundayat, Aris, op. cit., h.39
107
untuk meyekolahkan anak-anaknya padahal mereka tiap hari menghasilkan berton-ton barang” (“Teka-teki yang Ganjil”) Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan potret buruh yang kesulitan menyekolahkan anak-anaknya karena kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi ekonomi buruh yang sulit,
yang membuat mereka kesulitan
menyekolahkan anak mereka ini rupanya tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan. Sebagai buruh, mereka bekerja tidak kurang delapan jam dan menghasilkan berton-ton barang. Hal ini membuat mereka bertanya-tanya mengapa sedemikian sulitnya mereka untuk sekedar membeli sekaleng cat dan meyekolahkan anak mereka, padahal, mereka telah bekerja begitu keras. Pertanyaan-pertanyaan buruh tentang ketimpangan antara kondisi ekonomi mereka dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung itu diumpamakan oleh Thukul serupa sebuah “teka-teki yang ganjil”. Berbagai potret kehidupan ekonomi buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Thukul dalam beberapa puisinya dalam Nyanyian Akar Rumput menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi buruh Indonesia saat itu begitu sulit. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sempit, terdesak oleh kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, terhimpit oleh hutang-hutang yang harus mereka lunasi. 6.
Campur Tangan Militer dalam Tindakan Represif Terhadap Buruh Dalam dunia industri, posisi pihak perusahaan cenderung lebih
diuntungkan dibandingkan dengan posisi buruh. Bukan hanya itu, dalam praktik pihak perusahaan juga seringkali melakukan tindak sewenang-wenang seperti upah rendah yang tidak sepadan dengan beban pekerjaan buruh yang berat dan bila ada protes dari buruh, pihak perusahaan melakukan tindakan represif dengan cara mengerahkan militer untuk menindasnya. Negara membiarkan hal itu terjadi. Potret mengenai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan dengan cara mengerahkan militer ini tidak luput dari pengamatan Wiji Thukul. Dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam Nyanyian Akar Rumput, ia menampilkan potret berbagai tindakan represif yang dialami oleh buruh Indonesia
108
pada Masa Orde Baru. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Terus Terang Saja”. “... apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” (“Terus Terang Saja”) Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti Jugun Ianfu, perempuan-perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu tentara Jepang ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia. Buruh seperti Jugun Ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa, dieksploitasi oleh perusahaan multinasional, namun dibayar dengan gaji yang murah. Apabila para buruh menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Potret yang sama juga Thukul tampilkan dalam puisi “Bukan Kata Baru”. “... sudah lama, sudah lama sudah lama kita saksikan buruh mogok dia telepon kodim, pangdam datang senjata sebatalion kita dibungkam” (“Bukan Kata Baru”) Dalam kutipan puisi tersebut, Thukul menampilkan potret buruh yang melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah yang kemudian ditanggapi oleh pihak perusahaan dengan cara menelepon militer (Kodim, Pangdam) untuk meredam aksi buruh. Potret yang ditampilkan Thukul dalam puisi “Bukan Kata Baru” tersebut rupanya benar-benar pernah dialami oleh Thukul. Pada Desember 1995, Thukul yang saat itu merupakan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) menggalang aksi mogok buruh PT. Sri Rejeki Isman Textile (Sritex). Aksi mogok kerja yang diikuti oleh belasan ribu buruh itu berakhir ricuh setelah secara tiba-tiba, aparat yang bertugas untuk menjaga aksi itu secara membabi-buta menyerbu para buruh.
109
Dalam peristiwa itu, Thukul berhasil ditangkap dan secara bertubi-tubi aparat memukulnya. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Thukul itu bahkan mengakibatkan Thukul mengalami cedera serius pada bagian mata kanannya dan harus dioperasi. Aksi represif yang dilakukan oleh aparat terhadap para buruh seperti yang terjadi dalam aksi mogok kerja buruh PT. Sritex ini bukanlah satu-satunya yang terjadi dalam sejarah dunia perburuhan di Indonesia. Pada Januari 1995 misalnya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) mengadakan aksi gabungan di halaman pabrik PT. Ganda Guna Indonesia, Tangerang untuk mendukung tuntutan kenaikan upah buruh. Dalam aksi tersebut sebanyak 14 aktivis SMID dan PPBI ditangkap aparat dan dibawa ke Makodim Tangerang.181 Berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan militer terhadap buruh merupakan gambaran betapa tersudutnya posisi buruh. Pihak perusahaan melakukan cara apapun untuk menunjukkan dominasinya terhadap buruh. Pihak perusahaan melakukan tindakan sewenang-wenang, mengeksploitasi buruh dan membayar mereka dengan gaji yang murah. Bagi para buruh yang berani menentang, pihak perusahaan mengerahkan aparat untuk membungkam para buruh. Sialnya, negera melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan kepada buruh ini. Hal ini menunjukkan ketidakpedulian dan ketidakberihakkan pemerintah saat itu (Orde Baru) terhadap buruh. Mereka lebih berpihak pada pihak perusahaan yang merupakan penguasa modal. Jika ditelisik lebih mendalam, salah satu alasan yang agaknya dapat diterima mengapa pihak penguasa lebih berpihak pada pihak perusahaan adalah karena banyak perusahaan yang memperkerjakan buruh tersebut merupakan milik penguasa atau kerabat dari penguasa itu sendiri. Misalnya saja PT. Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) yang pada Desember 1995 diprotes oleh belasan ribu buruhnya terkait upah yang rendah dan berbagai tindakan sewenang-wenang terhadap buruh itu disinyalir sahamnya merupakan milik Tien Soeharto (Istri 181
Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, (Depok: Desantara, 2004), h.148
110
Soeharto) dan Harmoko (Ketua Umum Golkar pada saat itu).182 Hal ini menandakan bahwa kedekatan pihak perusahaan dengan penguasa dan militer menjadi salah satu faktor yang membuat tersudutnya posisi buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Meskipun berada dalam posisi yang tersudut dan terus dilakukan secara sewenang-wenang, hal itu tidak membuat buruh menyerah. Mereka terus melakukan perlawanan, memperjuangkan hak mereka. Potret buruh yang tetap semangat dan bertekad untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka meskipun senantiasa dihadang oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan aparat ini digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. “... di mana-mana ada eman di bandung, solo, jakarta, tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Wiji Thukul melalui puisi tersebut menampilkan sebuah tekad para buruh untuk tetap bersatu memperjuangkan hak dan nasib mereka. Meskipun berkali-kali dihadang oleh tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat dan dibiarkan oleh negara, mereka tetap bertekad untuk memperjuangkan diri mereka. Tekad para buruh itu begitu kuat dan seperti yang dikatakan oleh Thukul, “tidak bisa dibungkam kodim, tidak bisa dibungkam popor senapan”. 7.
Buruh dan Situasi Politik Zaman Orde Baru Buruh dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
saling memengaruhi satu sama lain. Perkembangan politik suatu negara dari waktu ke waktu senantiasa memengaruhi kehidupan buruh baik sebagai warga negara maupun sebagai pihak yang terlibat dalam industri. Di sisi lain, jumlah dan potensi buruh yang besar juga dapat memengaruhi jalannya perpolitikan di suatu negara, bahkan terkadang buruh sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik itu
182
Miftahudin, op.cit., h.148
111
sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terjadi permasalahan dalam dunia perburuhan suatu negara, maka sudah barang tentu ada pengaruh politik yang mendorong terjadinya permasalahan tersebut. Persoalan perburuhan di Indonesia pada masa Orde Baru bersifat kompleks dan tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di dalamnya militer). Mengenai permasalahan buruh Indonesia tersebut, Eggi Sudjana mengemukakan pendapatnya berikut ini. Hal ini (permasalahan buruh Indonesia) berkaitan dengan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Juga karena Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang memang membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini adalah intervensi militer akibat politik stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis. Akibat politik pembangunan, HIP, dan Dwi Fungsi ABRI, posisi dan kekuatan tawar buruh menjadi lemah bahkan dalam banyak hal menjadi tak berdaya. Buruh mengalami dehumanisasi atau keterasingan, bekerja dalam bayang-bayang represi dan ketakutan, sehingga kesadaran kelasnya menjadi tereduksi dalam kesadaran hamba yang harus patuh dan menerima upah fasilitas apa adanya. Berbagai permasalahan buruh yang dipengaruhi oleh situasi politik ini tidak luput oleh pengamatan Wiji Thukul. Ia senantiasa memotret potret buruh dalam situasi politik kala itu (Orde Baru) melalui puisi-puisinya. Misalnya, dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Wiji Thukul menampilkan potret buruh Indonesia dalam situasi pemilihan umum yang kerap hanya dimanfaatkan oleh pihak yang ingin meraih kekuasaan. “... kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum yang sudah berlalu tiga partai politik yang ada kami simpulkan tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh mereka hanya memanfaatkan suara kami demi kedudukan mereka kami tertawa karena menyadari bertahun-tahun kami dikibuli dan diperlakukan seperti kerbau” (“Teka-teki yang Ganjil”)
112
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan bahwa pada masa Orde Baru, buruh cenderung sekadar dimanfaatkan oleh tiga partai politik yang ada kala itu. Partai politik memanfaatkan suara buruh dalam pemilihan umum untuk mendapatkan tampuk kekuasaan. Akan tetapi, apapun yang dilakukan oleh partai politik tetap tidak mengubah keadaan buruh yang tersudutkan karena memang antara partai politik dan buruh tidak ada hubungannya. Partai politik hanya memanfaatkan buruh demi kepentingan kelompoknya. Potret buruh yang kerap dimanfaatkan oleh partai politik ini di sisi lain menggambarkan bahwa sebenarnya buruh mempunyai potensi dan pengaruh dalam dunia politik, dan partai politik menyadari akan hal itu. Berkaitan dengan potensi buruh dalam dunia politik, Budiman Sudjatmiko (aktivis yang merupakan mantan ketua Partai Rakyat Demokratik) mengatakan bahwa dalam era kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah mereka yang banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi dan politik mereka.183 Seperti yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, buruh sebenarnya memiliki potensi bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga potensi ekonomi dan politik yang dapat memainkan peranan penting dalam proses berjalannya perpolitikan sebuah negara. Potensi buruh ini disadari betul oleh pihak-pihak yang berambisi untuk mendapatkan kekuasaan sehingga pada saat-saat pemilihan umum, buruh seringkali didekati oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi, setelah pemilu usai, buruh ataupun rakyat kecil yang sebelumnya terus didekati oleh pihak-pihak yang ingin meraih kekuasaan itu justru dilupakan jasa-jasanya. Potret ini Thukul tampilkan dalam puisi “Kuburan Purwoloyo”. “... di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung utang di sini gali-gali 183
Budiman Sudjatmiko,”Arti Penting Buruh”, (Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli 2000), h. 2.
113
tukang becak orang kampung yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring dan keadilan masih hanya janji di sini kubaca kembali sejarah kita belum berubah” (“Kuburan Purwoloyo”) Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan sebuah potret buruh, tukang becak, dan orang kampung yang kerap dilupakan jasa-jasanya seusai pemilu. Setelah berhasil mendapatkan tampuk kekuasaan, pihak yang berambisi untuk mendapatkan tampuk kekuasaan itu mulai melupakan janji-janjinya yang disampaikan kepada rakyat ketika kampanye pemilu. Keadilan masih sekadar janji. Hasil pemilu tidak mengubah kehidupan buruh dan rakyat kecil lainnya yang tetap sulit. Kembali ke persoalan potensi buruh dalam hal ekonomi dan politik yang sudah dijelaskan sebelumnya. Potensi buruh yang besar ini, rupanya, bukan hanya membuat para buruh kerap dimanfaatkan oleh partai politik, tetapi di sisi lain juga ditakuti oleh kaum borjuis. Hal ini membuat seluruh mesin politik yang menunjang kepentingan kaum borjuis kerap melakukan tindakan represi terhadap buruh, baik secara ideologis maupun fisik dengan berbagai cara, dengan tujuan untuk meredam kekuatan buruh yang bagi mereka dapat melemahkan posisi mereka (kaum borjuis dan mesin politik yang menunjang kepentingan mereka). Budiman Sudjatmiko lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia, secara ideologis represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh. Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.184
184
Ibid.
114
Potret berbagai tindakan represi terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang kerap bekerjasama dengan aparat dan dibiarkan oleh negara pada masa Orde Baru itu beberapa kali ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam puisipuisinya seperti yang sudah peneliti jelaskan pada bagian sebelumnya. Buruh dibungkam. Apabila ada buruh yang berani melakukan aksi protes, maka ia harus siap ditangkap dan dijebloskan penjara (dalam puisi “Terus Terang Saja”). Situasi politik pada masa Orde Baru memang penuh dengan cerita pembungkaman terhadap rakyat yang dilakukan oleh penguasa. Penguasa kala itu dengan berbagai cara berusaha untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan dalih menjaga stabilitas negara, penguasa membungkam siapa saja yang berani mengritik atau memprotes pemerintah. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk berpendapat. Potret zaman Orde Baru yang penuh dengan cerita pembungkaman ini Thukul tampilkan dalam puisi “Terus Terang Saja”. “... sekarang demokrasi sudah 100% bulat tanpa debat tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100% yang tidak bisa salah” (“Terus Terang Saja”) Wiji Thukul dalam kutipan puisi tersebut menggunakan istilah “demokrasi 100% yang tidak bisa salah” untuk menggambarkan situasi politik pada zaman Orde Baru. Penguasa kala itu memang sering menggembor-gemborkan pelaksanaan demokrasi dengan jargon “Demokrasi Pancasila-nya”. Akan tetapi, dalam kenyataannya justru penguasalah yang mematikan demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berserikat merupan hal yang sangat mahal kala itu. Potret zaman Orde Baru yang di dalamnya kebebasan berpendapat dan berserikat menjadi hal yang sangat mahal itu Thukul tampilkan dalam puisi “Harimau”. “... orang yang berbicara tertawa berpendapat
115
dan berserikat harus mencantumkan azasnya kalau nekat tembak ditempat” (“Harimau”) Seperti yang Thukul gambarkan dalam puisi tersebut, pada masa Orde Baru kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan hal yang sangat mahal. Penguasa tidak membiarkan satu pihak pun bisa mengganggu kursi kekuasaannya. Maka dari itulah mereka berusaha membungkan kebebasan berpendapat dan berserikat rakyat. Mereka khawatir jika rakyat diberi kesempatan untuk berpendapat dan berserikat maka rakyat yang semakin kuat dapat menggoyang kursi kekuasaan mereka. Pembungkaman kebebasan berpendapat dan berserikat ini juga dialami oleh buruh. Buruh pada masa Orde Baru tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, apalagi protes. Jika ada buruh yang berani melakukan aksi protes, maka ia harus siap ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Untuk membungkam buruh, pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat melakukan berbagai tindakan represif terhadap buruh dan hal ini dibiarkan oleh negara. Wiji Thukul memotret keadaan tersebut dalam puisinya yang berjudul “Terus Terang Saja”. “... apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” (“Terus Terang Saja”) Potret buruh yang ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam kutipan puisi tersebut selain menggambarkan tindakan represif yang dilakukan terhadap buruh juga menggambarkan betapa buruh tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Buruh yang menuntut kenaikan upah−yang sebenarnya merupakan hal yang wajar apabila melihat betapa beratnya beban pekerjaan yang mereka
116
tanggung ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini menunjukkan tidak adanya kebebasan berpendapat bagi buruh. Disamping kebebasan berpendapat, buruh juga tidak diberi kebebasan dalam hal berserikat. Agaknya, penguasa kala itu khawatir apabila para buruh berserikat maka kekuatan buruh yang semakin kuat dapat mengganggu kekuasaan pihak penguasa. Untuk meredam aktivitas buruh dalam berserikat, penguasa membentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Akan tetapi, serikat pekerja yang merupakan satu-satunya organisasi pekerja yang diakui (dibentuk) oleh pemerintah ini tampak lebih bernuansa politik. Kehadirannya hanya untuk “menjaga keamanan” kebijakan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dan industri dalam konteks kebijakan ekonomi makro yang menekankan pertumbuhan ekonomi. Kiprahnya selama ini tidak memperlihatkan adanya upaya untuk memperjuangkan kepentingan substansial kaum pekerja sehingga keberadaannya tidak banyak memberikan harapan cerah bagi masa depan kehidupan kaum pekerja.185 Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang ternyata tidak memperlihatkan keberpihakkannya kepada kaum buruh, membuat buruh menjadi apatis terhadap serikat pekerja ini. Bahkan, dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul menampilkan potret buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka (buruh) bukan ada di mulut politikus, bukan di meja SPSI. “... hari depan buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus bukan di meja SPSI” (“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”) Tekad buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka ada di tangan mereka sendiri menunjukkan bahwa di situasi zaman Orde Baru yang senantiasa menyudutkan mereka, mereka tetap berusaha memperjuangkan diri mereka. Potret dalam kutipan puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” menunjukkan bahwa buruh sudah tidak peduli lagi atau bahkan apatis
185
Eggi Sudjana, op.cit., h. 11
117
terhadap SPSI sebagai satu-satunya serikat pekerja yang dibentuk dan diakui oleh pemerintah kala itu. Buruh dengan segala potensinya memiliki peranan yang penting dalam jalannya perpolitikan sebuah negara. Potensi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan. Akan tetapi, setelah mereka berhasil berkuasa, maka buruh kembali dilupakan. Di sisi lain, potensi buruh ini juga ditakuti oleh kaum borjuis. Kaum berjuis yang cenderung dekat dengan penguasa dan dibantu oleh militer kerap melakukan tindakan represif untuk meredam kekuatan buruh. Hal itu dilakukan sebab mereka takut akan kekuatan dan potensi buruh. Sementara itu, pihak penguasa yang menyadari akan potensi dan kekuatan buruh mematikan kebebasan berpendapat dan berserikat buruh. Rupanya, mereka khawatir apabila buruh diberi kebebasan berpendapat dan berserikat maka buruh yang semakin kuat dapat mengganggu tampuk kekuasaan pihak penguasa. Akan tetapi, tampaknya berbagai tindakan represif dan pembungkaman kebebasan buruh dalam berpendapat serta berserikat tidak menyurutkan tekad buruh untuk memperjuangkan diri mereka secara mandiri. D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak hanya memandang dan menitikberatkan pada aspek pengetahuan saja, melainkan juga memerhatikan dan menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam pengetahuan. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembahasan puisi-puisi Wiji Tukul tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini diimplikasikan dalam pokok bahasan sastra yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, yakni kelas XII semester ganjil. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) yang dipilih dalam pokok pembahasan sastra tersebut adalah memahami struktur lahir dan batin yang membangun puisi serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
118
Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput memotret keadaan yang dialami oleh buruh Indonesia, khususnya buruh pada masa Orde Baru. Persoalan perburuhan di Indonesia pada masa Orde Baru bersifat kompleks dan tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di dalamnya militer). Berbagai
permasalahan
kerap
menghampiri
buruh
dalam
dunia
pekerjannya. Mulai dari upah rendah yang tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan, lembur paksa, kesehatan dan keselamatan dalam bekerja yang tidak dipedulikan, ancaman pemecatan serta berbagai tindakan sewenang-wenang lainnya yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Buruh cenderung diperlakukan seperti budak yang daya dan tenaganya dieksploitasi semaksimal mungkin oleh pihak perusahaan demi meraih keuntungan. Berdasarkan hal tersebut, maka buruh melakukan berbagai aksi protes yang seringkali berupa aksi mogok kerja untuk memperjuangkan hak mereka. Akan tetapi, pihak perusahaan yang cenderung lebih dekat dengan penguasa kala itu acapkali bekerja sama dengan aparat untuk meredam aksi buruh dengan berbagai tindakan represif. Tindakan represif terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan aparat serta dibiarkan oleh negara ini sering mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak buruh, baik yang berupa luka fisik hingga kematian. Ambil contoh adalah apa yang terjadi pada kasus Marsinah, seorang buruh perempuan yang ditemukan tewas akibat siksaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi siswa untuk mengetahui dan memahami potret sosial-sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Lebih khusus, siswa dapat mengetahui dan memahami potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang bukan tidak mungkin juga mencerminkan potret buruh Indonesia saat ini. Melalui puisi yang berjudul “Suti”, misalnya, siswa dapat mengetahui bagaimana kondisi kehidupan seorang buruh yang sakit akibat beban pekerjaan yang begitu berat, namun ia tidak memunyai uang untuk berobat.
119
“... suti menggeleng tahu mereka dibayar murah suti meludah dan lagi-lagi darah suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada biaya” (“Suti”) Melalui puisi tersebut, siswa dapat mengetahui dan memahami potret buruh yang tak mampu berobat ketika tengah sakit. Hal itu terjadi karena ia tidak memunyai uang. Upahnya sebagai buruh yang rendah tidak mencukupi untuk berobat. Melalui puisi “Suti”, siswa juga dapat mengetahui bahwa upah buruh yang rendah, yang tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung berdampak pada kesulitan yang para buruh hadapi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. “buruh-buruh berangkat pagi pulang petang hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan” (“Suti”) Melalui puisi lain yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan”, siswa dapat mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang kurang dipedulikan kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja oleh pihak perusahaan. “... di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bilang umpama dirontgen pasti tampak isi dadaku ini pasti rusak karena amoniak, ya amoniak” (“Satu Mimpi Satu Barisan”) Melalui kutipan puisi tersebut, siswa dapat mengetahui potret buruh yang mengidap penyakit sebab pihak perusahaan tidak menyediakan alat pelindung seperti masker bagi buruh yang bekerja. Potret yang ditampilkan oleh Thukul
120
dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut rupanya memang benar-benar terjadi dalam dunia perburuhan di Indonesia. Misalnya saja, dalam aksi protes buruh PT. Sritex di Desa Jetis, Sukoharjo pada 11 Desember 1995. Salah satu hal yang mendorong aksi protes buruh kala itu adalah adanya laporan kasus kepegawaian tentang buruh yang sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil. Melalui puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut, siswa juga dapat membandingkannya dengan kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya kehidupan buruh pada masa Orde Baru. Melalui proses pembandingan antara potret buruh dalam puisi dan kenyataan yang benar-benar terjadi, siswa juga dapat memahami bahwa puisi tidak bisa dipisahkan oleh kenyataan yang terjadi dalam kehidupan. Selalu ada latar belakang peristiwa yang mendasari lahirnya sebuah puisi. Dengan itu, siswa dapat memahami bahwa puisi dapat juga berfungsi sebagai media perekam sejarah. Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi siswa untuk mengetahui dan memahami peristiwa sejarah di Indonesia. Misalnya, dalam puisi yang berjudul “Terus Terang Saja”, siswa dapat mengetahui sejarah yang terjadi di zaman Orde Baru yang dengan pembungkaman. Pada zaman itu, kebebasan berpendapat adalah suatu hal yang sangat mahal. “... sekarang demokrasi sudah 100% bulat tanpa debat tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100% yang tidak bisa salah” (“Terus Terang Saja”) Sementara itu, melalui puisi yang berjudul “Harimau” siswa dapat mengetahui berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa atas nama stabilitas negara. Penguasa kala itu seringkali menggunakan berbagai tindakan kekerasan untuk meredam pihak-pihak yang dianggapnya dapat mengganggu kursi kekuasaannya sekalipun harus dengan cara menghilangkan nyawa. “...
121
orang yang berbicara tertawa berpendapat dan berserikat harus mencantumkan azasnya kalau nekat tembak ditempat” (“Harimau”) Pembahasan berbagai puisi Wiji Thukul tentang buruh ini berkaitan dengan analisis terhadap struktur yang membangun puisi, baik lahir maupun batin. Pembahasan mengenai keterkaitan antarunsur puisi dengan realita sosial dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada siswa untuk menganalisis lebih seksama. Melalui analisis ini jugalah para siswa diarahkan untuk berpikir kritis, logis, dan sistematis, sehingga dengan sikap kritis tersebut siswa mampu menarik benang merah di antara puisi-puisi yang dikaji dengan realitas sosial secara sistematis dan dapat diterima oleh akal. Dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai menyimak penjelasan guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis puisi, mereka ditugaskan membaca puisi yang hendak dikaji, yakni puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Kemudian, siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur puisi. Setelah semua unsur selesai diidentifikasi, para siswa menyampaikan hasil analisisnya tersebut melalui bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan (berbicara).
122
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Berdasarkan analisis terhadap puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh
Indonesia pada Masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput menampilkan berbagai potret buruh Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Melalui 22 puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan berbagai potret keadaan buruh seperti potret kehidupan buruh yang sulit dengan upah yang tak sepadan dengam beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Thukul juga beberapa kali menampilkan potret buruh yang kerap diperlakukan secara sewenangwenang oleh pihak perusahaan seperti lembur paksa hingga 24 jam, pemotongan gaji dengan alasan yang tak jelas hingga pelarang buang air kecil saat jam kerja. Buruh cenderung diperlakukan seperti budak, dieksploitasi dayanya dengan cara dipekerjakan secara semaksimal mungkin dengan upah yang seminimal mungkin. Berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh ini membuat para buruh tersadar bahwa mereka harus melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka pun melakukan berbagai aksi protes yang seringkali dilakukan melalui aksi mogok kerja. Pihak perusahaan yang takut rugi akibat proses produksi yang tidak berjalan akhirnya melakukan berbagai cara untuk meredam aksi protes buruh. Pihak perusahaan yang kala itu cenderung dekat dengan pihak penguasa dan dibantu oleh militer melakukan berbagai tindakan represif terhadap buruh. Tindakan represif yang dilakukan pihak perusahaan yang dibantu oleh militer terhadap buruh ini dibiarkan oleh penguasa dengan dalih untuk menjaga stabilitas negara. Tindakan represif yang dilakukan dengan
122
123
cara kekerasan ini seringkali mengakibatkan korban luka bahkan korban tewas dari pihak buruh. Hal ini menandakan betapa tersudutkannya posisi buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping menampilkan potret buruh yang tersudutkan pada masa Orde Baru, Wiji Thukul juga menampilkan potret semangat dan tekad buruh yang berusaha untuk memperjuangkan haknya. Potret-potret seperti ini Thukul tampilkan dalam puisi-puisinya seperti “Satu Mimipi Satu Barisan” dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. 2. Melalui pembahasan puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh, siswa dapat mengetahui dan memahami berbagai potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Puisi-puisi tersebut juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi siswa untuk mengetahui dan memahami potret sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya potret sejarah Indonesia pada masa Orde Baru. Pembahasan mengenai keterkaitan antarunsur puisi dengan realita sosial dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada siswa untuk menganalisis lebih seksama. Melalui analisis ini jugalah para siswa diarahkan untuk berpikir kritis, logis, dan sistematis, sehingga dengan sikap kritis tersebut siswa mampu menarik benang merah di antara puisi-puisi yang dikaji dengan realitas sosial secara sistematis dan dapat diterima oleh akal. Dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai menyimak penjelasan guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis puisi, mereka ditugaskan membaca puisi yang hendak dikaji, yakni puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Kemudian, siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur puisi. Setelah semua unsur selesai diidentifikasi, para siswa menyampaikan hasil analisisnya tersebut melalui bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan (berbicara).
124
B.
Saran
1.
Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dikarenakan dalam 22 puisi tersebut terdapat nilai-nilai sosial dan sejarah yang dapat dipelajari oleh peserta didik. Melalui 22 puisi tersebut, selain siswa dapat mengetahui potret buruh Indonesia pada Masa Orde Baru, siswa juga dapat mengetahui berbagai konflik sosial yang terjadi dalam kehidupan buruh pada masa itu.
2.
22 puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam menganalisis karya sastra. Melalui kegiatan menganalisis karya sastra berupa 22 puisi Wiji Thukul yang memotret kehidupan buruh pada masa Orde Baru ini siswa dapat mengetahui hubungan karya sastra dengan kenyataan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia yang dalam hal ini adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
125
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan. Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan. Jakarta: Women Research Institute, 2008. Bahtiar, Ahmad dan Aswinarko. Kajian Puisi: Teori dan Praktik. Jakarta: Unindra Press, 2013. Budianta,
Melani
dan
Kawan-kawan.
Metodologi
Sastra.
Magelang:
Indonesiatera, 2006. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Centre for Academic Publising Service, 2013. Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor, 2005. Ibrahim, Nini. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UHAMKA Press, 2009. Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Kosasih, E.. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV. Yrama Widya, 2012 Mangunwijaya, Y.B.. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994 Miftahudin. Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani. Jakarta: Desantara Utama, 2004 Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012. Noor, Rohinah M.. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
126
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Rahmanto B.. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kaninus, 1988. Semi, Atar. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung, 2012 Stauffer, Donald A.. The Nature of Poetry. United States of America: Holt, Rinehart, and Winston, 1960. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo, 2008. Sudjana, Eggi. Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering. Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000. Sulhan,
Najib. Pendidikan Berbasis Karakter.Surabaya: JePe Press Media Utama, 2009
Thukul, Wiji. Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014. Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo. Teka-teki Orang Hilang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013 Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Waluyo, Herman J.. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995. Zainuddin. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 1992. Media Massa Alex R. Nainggolan, “Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul” dalam Harian Sinar Harapan, Nomor 4777, Sabtu, 14 Agustus 2004. Anonim. “Sastra Buruh, Apa Itu”, dalam Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000 Anonim, “Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi” dalam Jurnal Pusat Dokumentrasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000. EDS. “Wiji Thukul Masih Dicari”dalam Harian Republika, Tahun VIII Nomor 131, Senin, 22 Mei 2000. Gunadi, Iwan. “Kritik Itu Lahir di Pabrik”dalam Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh edisi 1 Agustus 2000.
127
KNI. “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman” dalam Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989. LHS. “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh” dalam Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli/2000. Mandey, Berthus dan Adrian Prasetya S.. “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar: Jangan Tanyakan Teror”, dalam Harian Suara Pembaruan Tahun XVII Nomor 6263, Minggu, 12 Desember 2004. Sawega, Ardus M. dan Maria Hartiningsih. “Sipon” dalam Harian Kompas Tahun 38 Nomor 179, Minggu, 29 Desember 2002. Sudjatmiko, Budiman. ”Arti Penting Buruh” dalam Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli 2000 Tim Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo. “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30 September-6 Oktober 2013. Ton. “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman” dalam Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000. Media Online Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10 April 2014 Pukul 20:07. Anonim, https://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=148, Diunduh pada Kamis, 10 April Pukul 20:15. Anonim. “Orde Baru”, http://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru, diunduh pada Kamis, 10 April 2014 Pukul 20:23. Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.
Tabel II Penggunaan Imaji dalam Puisi Wiji Thukul tentang Buruh No.
Judul Puisi
Jenis Imaji
Keterangan Imaji
1
“Catatan Malam”
Imaji auditif
Anjing nyalak
2
“Catatan Malam”
Imaji visual
Lampuku padam
3
“Catatan Malam”
Imaji visual
Aku nelentang//sendirian//kepal a di bantal
4
“Catatan Malam”
Imaji visual
Gelap makin pekat
5
“Sajak kepada Bung
Imaji visual
Rumah-rumah yang
Dadi” 6
“Sajak kepada Bung
berdesakkan Imaji visual
Dadi” 7
“Lingkungan Kita si
Buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
Imaji visual
Mulut Besar”
Anjing-anjing yang taat beribadah//menyingkiri para penganggur//yang mabuk minuman murahan
8
“Lingkungan Kita si
Imaji visual
Mulut Besar”
Raksasa yang membisu//yang anakanaknya terus dirampok
9
“Lingkungan Kita si
Imaji visual
Mulut Besar” 10
“Lingkungan Kita si
kartun amerika Imaji visual
Mulut Besar” 11
“Lingkugan Kita si Mulut
Dihibur oleh film-film
Perempuannya disetor//ke mesin-mesin industri
Imaji visual
Besar”
Lingkungan kita si mulut besar//sakit perut dan terus berak//mencret oli dan logam//busa dan plastik
12
“Lingkungan Kita si Mulut Besar”
Imaji visual
Zat-zat pewarna yang merangsang//menggerogot
i tenggorokan bocahbocah//yang mengulum es 13
“Kuburan Purwoloyo”
Imaji visual
Di sini terbaring//mbok cip//yang mati di rumah
14
“Kuburan Purwoloyo”
Imaji visual
Di sini terbaring//pak pin//yang mati terkejut// karena rumahnya digusur
15
“Kuburan Purwoloyo”
Imaji visual
Di tanah ini terkubur orang-orang yang// sepanjang hidupnya memburuh
16
“Lumut”
Imaji visual
Kini los rumah yang dulu kami tempati//jadi bangunan berpagar tembok tinggi
17
“Lumut”
Imaji visual
Aku jalan lagi//melewati rumah yang pernah disewa//riyanto
18
“Lumut”
Imaji visual
Kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi
19
“Lumut”
Imaji visual
Tanah-tanah kosong sudah dibeli orang
20
“Lumut”
Imaji visual
Dalam gang//setengah gelap setengah terang
21
“Lumut”
Imaji visual
Kita ini lumut//menempel di tembok-tembok bangunan
22
“Lumut”
Imaji visual
Berkembang di pinggirpinggir selokan
23
“Lumut”
Imaji visual
Di musim kemarau kering
24
“Lumut”
Imaji visual
Diterjang banjir
25
“Lumut”
Imaji auditif
Pikiranku menggumam
26
“Suti”
Imaji visual
Pucat ia duduk dekat ambennya
27
“Suti”
Imaji auditif
Batuknya memburu
28
“Suti”
Imaji visual
Dahaknya berdarah
29
“Suti”
Imaji visual
Suti kusut masai
30
“Suti”
Imaji auditif
Di benaknya menggelegar suara mesin
31
“Suti”
Imaji visual
Kuyu matanya
32
“Suti”
Imaji visual
Buruh-buruh yang berangkat pagi//pulang petang
33
“Suti”
Imaji visual
Suti meraba wajahnya sendiri
34
“Suti”
Imaji visual
Tubuhnya makin susut saja
35
“Suti”
Imaji visual
Makin kurus menonjol tulang pipinya
36
“Suti”
Imaji auditif
Suti batuk-batuk lagi
37
“Suti”
Imaji visual
Suti meludah//lagi-lagi darah
38
“Suti”
Imaji visual
Suti memejamkan mata
39
“Suti”
Imaji auditif
Suara mesin kembali menggemuruh
40
“Suti”
Imaji visual
Bayangan kawannya bermunculan
41
“Suti”
Imaji visual
Suti menggeleng
42
“Suti”
Imaji visual
Suti meludah//dan lagi-lagi darah
43
“Suti”
Imaji visual
Suti merenungi nasib dokter
44
“Kampung”
Imaji visual
Bila pagi pecah
45
“Kampung”
Imaji auditif
Mulailah sumpah serapah
46
“Kampung”
Imaji visual
Anak dipisuhi ibunya
47
“Kampung”
Imaji auditif
Suami istri ribut-ribut
48
“Kampung”
Imaji visual
Bila pagi pecah
49
“Kampung”
Imaji auditif
Mulailah sumpah serapah
50
“Kampung”
Imaji auditif
Kiri-kanan ribut
51
“Kampung”
Imaji auditif
Anak-anak menangis
52
“Kampung”
Imaji visual
Suami istri bertengkar
53
“Kampung”
Imaji auditif
Silih berganti dengan radio
54
“Kampung”
Imaji visual
Orang-orang bergegas//rebutan sumursumur
55
“Kampung”
Imaji visual
Lalu gadis-gadis umur belasan//keluar kampung menuju pabrik//pulang petang//bermata kusut keletihan
56
“Kampung”
Imaji visual
Rumahnya di pinggir selokan
57
“Kampung”
Imaji visual
Bermain di muka genangan sampah
58
“Kampung”
Imaji visual
Di belakang temboktembok//menyumpal ganggang
59
“Kampung”
Imaji visual
Mencari tanah lapang
60
“Jangan Lupa,
Imaji visual
Jika terang bulan//kita
Kekasihku”
jalan-jalan
61
“Jangan Lupa,
Imaji visual
Kekasihku”
Yang tidur di depan rumah//di pinggir selokan//itu tetangga kita
62
“Jangan Lupa,
Imaji visual
Kekasihku”
Buruh-buruh perempuan//yang matanya letih//jalan sama-sama denganmu//berbondongbondong
63
“Jangan Lupa,
Imaji visual
Yang menarik becak itu
Kekasihku” 64
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Seharian berdiri di pabrik
65
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Ini sudah malam
66
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Apa celana dan kutangmu digeledah lagi
67
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Menyelipkan moto
68
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Apa kamu masuk salon//potong rambut lagi
69
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kawan-kawan sudah datang
70
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kita sudah berkumpul di sini
71
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kita akan latihan sandiwara lagi
72
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kerjanya cuma mbordir saputangan di rumah
73
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Ia pun Cuma penjahit pakaian biasa//di perusahaan konveksi milik tante lili
74
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kami menunggumu di sini
75
“Ayolah, Warsini”
Imaji visual
Kita akan latihan sandiwara lagi
76
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Pada malam itu kami berkumpul
77
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji auditif
Masing-masing berbicara tentang keinginannya yang sederhana
78
“Teka-teki yang Ganjil
Imaji visual
Ingin bikin dapur//di rumah kontraknya
79
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Mereka juga belum punya panci, kompor//gelas minum dan wajan penggoreng
80
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Odol, sampo, sewa rumah
81
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Teh hangat
82
“Teka-teki yang Ganjil
Imaji visual
Letak tempat tidur dan gantungan pakaian
83
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Kamar mandi
84
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Harga semen dan cat tembok
85
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Bekerja tak kurang dai 8 jam
86
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Diperlakukan seperti kerbau
87
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Sekaleng cat
88
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Mereka tiap hari menghasilkan berton-ton barang
89
“Teaka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Salah seorang dari kami berdiri//memandang kami
satu persatu 90
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji auditif
Kemudian bertanya://adakah barangbarang yang kalian pakai//yang tidak dibikin oleh buruh
91
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Mengamati//barang-barang yang ada di sekitar kami//neon, televisi, radio, baju, buku
92
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Menghitung upah kami
93
“Teka-teki yang Ganjil”
Imaji visual
Odol-sampo-sewa rumah
94
“Satu Mimpi Satu
Imaji visual
Jualan bakso
Imaji visual
Si lakinya terbaring di
Barisan” 95
“Satu Mimpi Satu Barisan”
96
“Satu Mimpi Satu
amben kontrakkan Imaji visual
Terbaring pucat
Imaji visual
Lembur sampai pagi
Imaji visual
Pulang lungai lemas
Barisan” 97
“Satu Mimpi Satu Barisan”
98
“Satu Mimpi Satu Barisan”
99
“Satu Mimpi Satu
ngantuk letih Imaji visual
Membungkuk 24 jam
Imaji visual
Luntang-lantung cari
Barisan” 100
“Satu Mimpi Satu Barisan”
101
“Satu Mimpi Satu
kerjaan Imaji visual
Bini hamil tiga bulan
Imaji visual
Diperah seperti sapi
Barisan” 102
“Satu Mimpi Satu Barisan”
103
“Satu Mimpi Satu
Imaji visual
Barisan” 104
“Satu Mimpi Satu
kodim Imaji visual
Barisan” 105
“Satu Mimpi Satu
Tak bisa dibungkam
Tak bisa dibungkam popor senapan
Imaji visual
Satu barisan
Imaji visual
Kemarin kami datang
Imaji visual
Umpama dirontgen pasti
Barisan” 106
“Satu Mimpi Satu Barisan”
107
“Satu Mimpi Satu Barisan”
tampak//isi dadaku ini pasti rusak
108
“Nonton Harga”
Imaji visual
Keluar keliling kota
109
“Nonton Harga”
Imaji visual
Tak beli apa//lihat-lihat saja
110
“Nonton Harga”
Imaji visual
Duren//apel-pisangrambutan-anggur
111
“Nonton Harga”
Imaji visual
Orang cantik
112
“Nonton Harga”
Imaji visual
Di kota kita banyak gedung bioskop
113
“Nonton Harga”
Imaji visual
Kita bisa nonton posternya
114
“Nonton Harga”
Imaji visual
Ke diskotek
115
“Nonton Harga”
Imaji visual
Di depan pintu
116
“Nonton Harga”
Imaji auditif
Detak musik
117
“Nonton Harga”
Imaji auditif
Denting botol
118
“Nonton Harga”
Imaji auditif
Lengking dan tawa
119
“Nonton Harga”
Imaji
Aroma minyak wangi luar
penciuman
negeri
Imaji visual
Kita keliling kota
120
“Nonton Harga”
121
“Nonton Harga”
Imaji visual
Peresmian hotel baru//berbintang lima//dibuka pejabat tinggi//dihadiri artis-artis ternama
122
“Nonton Harga”
Imaji visual
Mobil para tamu berderetderet//satu kilometer panjangnya
123
“Nonton Harga”
Imaji visual
Hari sudah malam
124
“Nonton Harga”
Imaji visual
Pulang//ke rumah kontrakan
125
“Nonton Harga”
Imaji visual
Tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan
126
“Nonton Harga”
Imaji visual
Ke pabrik//kembali bekerja
127
“Nonton Harga”
Imaji visual
Sarapan nasi bungkus
128
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Tepung terigu
129
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Gumpalan kapas
130
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Cabe busuk
131
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Kayu gelondongan
132
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Hutan-hutan//yang kini botak
133
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Gergaji mesin pembangunan
134
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Kaki kursikah
135
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Botol kosong
136
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Rakyat lebak yang harus bekerja bakti mencabuti rumput//halaman
kadipaten//karena tuan pejabat gubernemen mau lewat 137
“Terus Terang Saja”
Imaji auditif
Rakyat yang berdebardebar di sekitar hari proklamasi//menyimak pidato soekarno
138
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
139
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Yang menuntut kenaikan upah//ditangkap//dijeblosk an ke penjara
140
“Terus Terang Saja”
Imaji visual
Tidak bermulut
141
“Harimau”
Imaji visual
Orang mendirikan kandang//untuk memelihara harimau
142
“Harimau”
Imaji visual
Harimau itu pun beranakpinak
143
“Harimau”
Imaji visual
Di dalam tempurung kepalanya
144
“Harimau”
Imaji visual
Aku telah membakarnya
145
“Harimau”
Imaji visual
Orang-orang kebingungan
146
“Harimau”
Imaji auditif
Suara tawa
147
“Harimau”
Imaji visual
Daincam dengan undangundang subversi
148
“Harimau”
Imaji visual
Para terdakwa dimasukkan ke bui dan diadili
149
“Harimau”
Imaji visual
Hukuman mati
150
“Harimau”
Imaji auditif
Suara tawa itu tak juga berhenti
151
“Harimau”
Imaji auditif
Orang yang berbicara// tertawa//berpendapat
152
“Harimau”
Imaji visual
Berserikat
153
“Harimau”
Imaji visual
Tembak di tempat
154
“Harimau”
Imaji visual
Hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpurapura
155
“Harimau”
Imaji auditif
Kalau semua rakyat tertawa
156
“Harimau”
Imaji visual
Buruh-buruh mogok kerja
157
“Leuwigajah”
Imaji visual
Leuwigajah berputar//dari pagi sampai pagi
158
“Leuwigajah”
Imaji visual
Jalan-jalan gemetar
159
“Leuwigajah”
Imaji visual
Debu-debu mebubung//dari asap knalpot kendaraan pengangkut
160
“Leuwigajah”
Imaji auditif
Mesin-mesin terus membangunkan buruhburuh
161
“Leuwigajah”
Imaji visual
Tidur berjejer-jejer alas tikar
162
“Leuwigajah”
Imaji visual
Tanpa jendela//tanpa cahaya matahari
163
“Leuwigajah”
Imaji taktil
Lantai-dinding dingin, lembab, pengap
164
“Leuwigajah”
Imaji auditif
Lidah-lidah penghuni rumah kontrak//terus menyemburkan cerita
buruk 165
“Leuwigajah”
Imaji visual
Lembur paksa sampai pagi
166
“Leuwigajah”
Imaji visual
Jari jempol putus
167
“Leuwigajah”
Imaji visual
Kecelakaan-kecelakaan
168
“Leuwigajah”
Imaji visual
Kencing dilarang
169
“Leuwigajah”
Imaji visual
Mogok
170
“Leuwigajah”
Imaji visual
Pecat//seperti nyabuti bulu ketiak
171
“Leuwigajah”
Imaji visual
Tubuh-tubuh muda//terus mengalir ke leuwigajah
172
“Leuwigajah”
Imaji visual
Seperti buah-buah disedot vitaminnya
173
“Leuwigajah”
Imaji visual
Mesih-mesin terus menggilas
174
“Leuwigajah”
Imaji visual
Memerah tenaga murah
175
“Leuwigajah”
Imaji visual
Satu kali dua puluh empat jam//masuk, absen, tombol ditekan
176
“Leuwigajah”
Imaji visual
Truk-truk pengangkut produksi//meluncur terus ke pasar
177
“Leuwigajah”
Imaji visual
Cerobong asap terus mengotori langit
178
“Leuwigajah”
Imaji visual
Limbah mengental selokan berwarna
179
“Leuwigajah”
Imaji visual
Leuwigajah terus minta darah tenaga muda
180
“Leuwigajah”
Imaji visual
Leuwigajah makin panas//berputar dan terus menguras//tenaga-tenaga
murah 181
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Leuwigajah tak mau berhenti//dari pagi sampai pagi
182
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Bus-mobil pengangkut tenaga murah bikin gemetar jalan-jalan
183
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus” 184
“Leuwigajah Masih
Debu-debu tebal membubung
Imaji auditif
Haus”
Mesin-mesin tak mau berhenti//membangunkan buruh
185
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus” 186
“Leuwigajah Masih
Tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
Imaji visual
Jejer-berjejer alas tikar
Imaji taktil
Lantai-dinding dingin,
Haus” 187
“Leuwigajah Masih Haus”
188
“Leuwigajah Masih
lembab, pengap Imaji auditif
Haus”
Lidah-lidah penghuni rumah kontrak//terus bercerita buruk
189
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Lembur paksa sampai pagi
Imaji visual
Tubuh mengelupas
Imaji visual
Jari jempol putus
Imaji visual
Mogok
Imaji visual
Pecat//seperti nyabuti bulu
Haus” 190
“Leuwigajah Masih Haus”
191
“Leuwigajah Masih Haus”
192
“Leuwigajah Masih Haus”
193
“Leuwigajah Masih
Haus” 194
“Leuwigajah Masih
ketiak Imaji visual
Haus” 195
“Leuwigajah Masih
mengalir ke leuwigajah Imaji visual
haus” 196
“Leuwigajah Masih
Tubuh-tubuh muda terus
Seperti buah-buah disedot vitaminnya
Imaji visual
Haus”
Mesin-mesin terus menggilas//memerah tenaga murah
197
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Satu kali dua puluh empat jam//masuk absen tombol ditekan
198
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Truk-truk pengangkut produlsi//meluncur terus ke pasar
199
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Leuwigajah tak mau berhenti//dari pagi sampai pagi
200
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Asap cerobong terus kotor
Imaji visual
Selokan air limbah
Haus” 201
“Leuwigajah Masih Haus”
202
“Leuwigajah Masih
berwarna Imaji visual
Haus”
Mesin-mesin tak mau berhenti//terus minta darah tenaga murah
203
“Leuwigajah Masih
Imaji visual
Haus”
Leuwigajah makin panas//berputar dan terus menguras
204
“Makin Terang Bagi Kami”
Imaji visual
Tempat pertemuan kami sempit//bola lampu kecil, cahaya sedikit
205
“Makin Terang Bagi
Imaji visual
Kami” 206
“Makin Terang Bagi
kelip Imaji visual
Kami” 207
“Makin Terang Bagi
Di langit bintang kelap-
Kegelapan disibak tukar pikiran
Imaji visual
Cuma kacang dan air putih
Imaji visual
Mesin berhenti
Imaji visual
Buruh mogok//dia telepon
Kami” 208
“Makin Terang Bagi Kami”
209
“Bukan Kata Baru”
kodim, pangdam 210
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Datang senjata sebatalion
211
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Dia terus makan//tetes, ya, tetes-tetes keringat kita
212
“Bukan Kata Baru”
Imaji auditif
Rasakan kembali jantung//yang gelisah memukul-mukul marah
213
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Dia hidup//bahkan berhadap-hadapan
214
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Bertarung
215
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Lengan dan otot kau-aku
216
“Bukan Kata Baru”
Imaji visual
Jika mesin-mesin berhenti
217
“Seorang Buruh Masuk
Imaji visual
Cahaya yang terang-
Toko” 218
“Seorang Buruh Masuk
benderang Imaji visual
Toko” 219
“Seorang Buruh Masuk
Jalan-jalan sempit//di kampungku yang gelap
Imaji visual
Sorot mata para penjaga
Imaji visual
Lampu-lampu yang
Toko” 220
“Seorang Buruh Masuk Toko”
221
“Seorang Buruh Masuk
mengitariku Imaji visual
Aku melihat kakiku, jari-
Toko” 222
“Seorang Buruh Masuk
jarinya bergerak Imaji visual
Aku melihat sendal jepitku
Imaji visual
Aku menoleh ke kiri ke
Toko” 223
“Seorang Buruh Masuk Toko”
224
225
kanan
“Seorang Buruh Masuk
Imaji
Toko”
penciuman
“Seorang Buruh Masuk
Imaji taktil
Toko”
Bau-bau harum
Bulu tubuhku berdiri merasakan desir//kias angin
226
“Seorang Buruh Masuk
Imaji visual
Toko” 227
“Seorang Buruh Masuk
Kipas angin yang berputarputar
Imaji visual
Badanku makin mingkup
Imaji visual
Aku melihat barang-
Toko” 228
“Seorang Buruh Masuk Toko”
229
“Seorang Buruh Masuk
barang Imaji visual
Aku menghitung upahku
Imaji visual
Menggerakkan mesin-
Toko” 230
“Seorang Buruh Masuk Toko”
231
“Seorang Buruh Masuk
mesin di pabrik Imaji visual
Toko” 232
“Seorang Buruh Masuk
kebutuhan di etalase Imaji visual
Toko” 233
“Seorang Buruh Masuk
Aku melihat harga-harga
Aku melihat bayanganku//makin letih
Imaji visual
Terus diisap
Imaji visual
Berkereta api kelas
Toko” 234
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
ekonomi murah
SPSI” 235
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Tak dapat kursi
236
Politikus Bukan di Meja
melengkung tidur di
SPSI”
kolong
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Politikus Bukan di Meja
Pas tepat di kepala kami bokong-bokong
SPSI” 237
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Politikus Bukan di Meja
Kiri kanan telapak kakitas-sandal-sepatu
SPSI” 238
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Politikus Bukan di Meja
Tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan
SPSI” 239
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Politikus Bukan di Meja
Pulang tengah malam dapat bus rongsok
SPSI” 240
241
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Sepanjang jalan hujan
Politikus Bukan di Meja
kami jongkok di tempat
SPSI”
duduk//nempel jendela
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Bocor//bocor
Imaji visual
Sepanjang jalan tangan
Politikus Bukan di Meja SPSI” 242
243
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
terus mengelapi//agar
SPSI”
pakaian tak basah
“Bukan di Mulut
Imaji taktil
Dingin//dingin
Imaji auditif
Kepala dan dada masih
Politikus Bukan di Meja SPSI” 244
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
penuh nyanyi panas
SPSI” 245
“Bukan di Mulut
Imaji visual
Bukan di mulut politikus
Politikus Bukan di Meja SPSI” “Bukan di Mulut
246
Imaji visual
Bukan di mejas SPSI
Politikus Bukan di Meja SPSI” 247
“Edan”
Imaji visual
Dia dituduh maling
248
“Edan”
Imaji visual
Mengumpulkan serpihan kain
249
“Edan”
Imaji visual
Dia sambung-sambung jadi mukena
250
“Edan”
Imaji visual
Padahal mukena dia taruh//di tempat kerja
251
“Edan”
Imaji visual
Sudah diperas//dituduh maling juga
252
“Edan”
Imaji visual
Karena istirahat gaji dipotong
253
“Edan”
Imaji visual
Karena main kartu//lima kawannya langsung dipecat
Keterangan: Jumlah imaji visual
: 219
Jumlah imaji auditif
: 28
Jumlah imaji taktil
:4
Jumlah imaji penciuman
:2
Total imaji
: 253
Tabel III Penggunaan Majas dalam Puisi Wiji Thukul tentang Buruh No.
Judul Puisi
Jenis Majas
Keterangan Majas
1
“Catatan Malam”
Metafora
Kukibaskan pikiran
2
“Catatan Malam”
Sinekdoke pars
Pikiran menerawang
pro toto 3
“Sajak kepada Bung
Sinisme
Dadi” 4
“Sajak kepada Bung
bukan turis personifikasi
Dadi” 5
“Lingkungan Kita si
Ini tanah airmu//di sini kita
Rumah-rumah yang berdesakkan
Sarkasme
Mulut Besar”
Lintah-lintah//yang kenyang mengisap darah keringat tetangga
6
“Lingkungan Kita si
Simbolik
Mulut Besar” 7
“Lingkungan Kita si
Besar Sarkasme
Mulut Besar” 8
“Lingkungan Kita si
Lingkungan Kita si Mulut
Anjing-anjing yang taat beribadah
Simbolik
Raksasa yang membisu
Sinisme
Perempuannya disetor ke
Mulut Besar” 9
“Lingkungan Kita si Mulut Besar”
mesin-mesin industri yang membayar murah
10
“Lingkungan Kita si
Sarkasme
Mulut Besar”
Lingkunag kita si mulut besar//sakit perut dan terus berak//mencret oli dan logam//busa dan plastik
11
“Lingkungan Kita si
personifikasi
Mulut Besar”
Zat-zat pewarna yang merangsang//menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
12
“Kuburan Purwoloyo”
Sinisme
Di sini terbaring mbok cip
yang mati di rumah karena ke rumah sakit tak ada biaya 13
“Kuburan Purwoloyo”
Sinisme
Di sini terbaring pak pin yang mati terkejut karena rumahnya digusur
14
“Kuburan Purwoloyo”
Sinisme
Di sini terkubur orangorang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung utang
15
“Kuburan Purwoloyo”
Sinisme
Di sini gali-gali tukan becak orang-orang kampung yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring dan keadilan masih saja hanya janji
16
“Lumut”
Asosiasi
Gang pikiranku
17
“Lumut”
Metafora
Kita ini lumut
18
“Gunung Batu”
Sinekdoke totem
Desa yang melahirkan
pro parte
laki-laki
19
“Gunung Batu”
Asosiasi
Memikul kerja
20
“Gunung Batu”
Sinekdoke pars
Di rumah ditunggu mulut-
pro toto
perut anak-istri
21
“Gunung Batu”
Asosiasi
Dipagari hutan
22
“Gunung Batu”
personifikasi
pantai-pantai cantik
23
“Suti”
personifikasi
Batuknya memburu
24
“Suti”
Hiperbola
Suti kusut masai dibenaknya menggelegar suara mesin
25
“Suti”
personifikasi
Dicekik kebutuhan
26
“Suti”
Hiperbola
Suti meraba wajahnya sendiri//tubuhnya makin susut saja//makin kurus menonjol tulang pipinya//loyo tenaganya//bertahun-tahun diisap kerja
27
“Suti”
Repetisi
Tak ada uang//tak ada obat
28
“Suti”
Sinisme
Suti menggeleng//tahu ia dibayar murah
29
“Suti”
Hiperbola
Suara mesin kembali menggemuruh
30
“Kampung”
Asosiasi
Bila pagi pecah
31
“Kampung”
Asosiasi
Menyumpal gang-gang
32
“Kampung”
Asosiasi
Bila pagi pecah
33
“Kampung”
Hiperbola
Anak-anak terus lahir berdesakkan
34
“Kampung”
Hiperbola
Berputar dalam bayangbayang//mencari tanah lapang
35
“Ayolah, Warsini”
Repetisi
Apa kamu sudah pulang kerja, warsini?// Apa kamu tidak letih?// ... Apa celana dan kutangmu digeledah lagi?// .. Apa kamu bingung hendak membagi gaji?//
... Apa kamu masuk salon potong rambut lagi? 36
“Ayolah, Warsini”
Repetisi
Jangan malu, warsini// Jangan takut dikatakan kemayu
37
“Teka-teki yang Ganjil”
Asosiasi
Keinginan itu dengan cepat terkubur//oleh keletihan kami
38
“Teka-teki yang Ganjil”
Asosiasi
Upah kami dalam waktu singkat telah berubah//menjadi odolsampo-sewa rumah
39
“Teka-teki yang Ganjil”
personifikasi
Pembicaraan meloncat ke soal harga semen
40
“Teka-teki yang Ganjil”
Simile
Diperlakukan seperti kerbau
41
“Teka-teki yang Ganjil”
personifikasi
Pertanyaan itu mendorong kami
42
“Teka-teki yang Ganjil”
Simbolik
Teka-teki yang ganjil
43
“Teka-teki yang Ganjil”
personifikasi
Teka-teki itu selalu muncul
44
“Teka-teki yang Ganjil”
Sinisme
Kekuatan macam apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil kerja kami?
45
“Teka-teki yang Ganjil”
Sinisme
Tiga partai politik yang ada kami simpulkan//tak ada hubungannya sama sekali dengan
kami:buruh//mereka hanya memanfaatkan suara kami//demi kedudukan mereka 46
“Teka-teki yang Ganjil”
Ironi
Kami tertawa karena menyadari//bertahun-tahun kami dikibuli
47
48
“Satu Mimpi Satu
Sinekdoke totem
Barisan”
pro parte
“Satu Mimpi Satu
Repetisi
Barisan” 49
“Satu Mimpi Satu
Dipecat perusahaan
Karena upah, ya, karena upah
personifikasi
Dihantam tipus
Repetisi
Dia dipecat, ya, dipecat
Repetisi
Karena amoniak, ya,
Barisan” 50
“Satu Mimpi Satu Barisan”
51
“Satu Mimpi Satu Barisan”
52
“Satu Mimpi Satu
amoniak Repetisi
Barisan” 53
“Satu Mimpi Satu
Membungkuk 24 jam, ya 24 jam
Simile
Terus diperah seperti sapi
personifikasi
Tak bisa dibungkam popor
Barisan” 54
“Satu Mimpi Satu Barisan”
55
“Satu Mimpi Satu
senapan Pars pro toto
Barisan” 56
“Nonton Harga”
Tak bisa dibungkam kodim
Repetisi
Tak perlu ongkos tak perlu biaya
57
“Nonton Harga”
Simile
Tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan
58
“Terus Terang Saja”
Asosiasi
Apakah aku ini tepung
terigu atau gumpalan kapas atau cabe busuk yang merosot harganya 59
“Terus Terang Saja”
Personifikasi
Hutan-hutan yang kini botak
60
“Terus Terang Saja”
Sinekdoke pars
Hutan-hutan yang botak
pro toto
karena hph dan gergaji mesin pembangunan
61
“Terus Terang Saja”
Asosiasi
Apakah aku ini//kaki kursikah//atau botol kosong
62
“Terus Terang Saja”
Asosiasi
Apakah aku ini si Bagero yang sudah merdeka
63
“Terus Terang Saja”
Sinisme
Ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa perusahaan multinasional
64
“Terus Terang Saja”
Asosiasi
Apakah aku ini Cuma angka-angka yang menarik untuk bahan disertasi
65
“Terus Terang Saja”
Personifikasi
Karena aku dibungkam oleh demokrasi 100%
66
“Terus Terang Saja”
Personifikasi
Kemelaratan belum dilumpuhkan
67
“Harimau”
Simbolik
Harimau
68
“Harimau”
Asosiasi
Harimau yang mereka hidupkan dari ketakutan
69
“Harimau”
Hiperbola
Aku semakin geli melihat orang-orang kebingungan
70
“Harimau”
Hiperbola
Suara tawa itu tak juga
kunjung berhenti meskipun surat kabar, radio, dan televisi telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri 71
“Harimau”
Asosiasi
Harimau itu pun beranakpinak di dalam tempurung kepalanya
72
“Leuwigajah”
Simbolik
Leuwigajah
73
“Leuwigajah”
Asosiasi
Leuwigajah berputar dari pagi sampai pagi
74
“Leuwigajah”
Hiperbola
Jalan-jalan gemetar//debudebu membubung//dari knalpot kendaraan pengangkut
75
“Leuwigajah”
personifikasi
Mesin-mesin terus membangunkan buruhburuh
76
“Leuwigajah”
Sinekdoke pars
Lidah-lidah penghuni
pro toto
rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk
77
“Leuwigajah”
Simile
Mogok? Pecat! Seperti nyabuti bulu ketiak
78
“Leuwigajah”
Simile
Tubuh-tubuh muda terus mengalir ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya
79
“Leuwigajah”
personifikasi
Mesin-mesin terus menggilas memeras tenaga
murah 80
“Leuwigajah”
personifikasi
Cerobong asap terus mengotori angit
81
“Leuwigajah”
Personifikasi
Leuwigajah terus minta darah tenaga muda
82
“Leuwigajah”
personifikasi
Leuwigajah makin panas//berputar dan terus menguras//tenaga-tenaga murah
83
“Leuwigajah”
Repetisi
Tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
84
“Leuwigajah Masih
Asosiasi
Haus”
Leuwigajah tak mau berhenti// dari pagi sampai pagi
85
“Leuwigajah Masih
Simbolik
Leuwigajah
Hiperbola
Bus-mobil pengangkut
Haus” 86
“Leuwigajah Masih Haus”
tenaga murah//bikin gemetar jalan-jalan dan debu-debu tebal membubung
87
“Leuwigajah Masih
personifikasi
Haus”
Mesin-mesin tak mau berhenti//membangunkan buruh
88
“Leuwigajah Masih
Repetisi
Haus” 89
Tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
“Leuwigajah Masih
Sinekdoke pars
Lidah-lidah penghuni
Haus”
pro toto
rumah kontrak //terus bercerita buruk
90
“Leuwigajah Masih
Simile
Mogok? Pecat ! Seperti
Haus” 91
“Leuwigajah Masih
nyabuti bulu ketiak Simile
Haus”
Tubuh-tubuh muda terus mengalir ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya
92
“Leuwigajah Masih
personifikasi
Haus”
Mesin-mesin terus menggilas//memerah tenaga murah
93
“Leuwigajah Masih
personifikasi
Haus”
Mesin-mesin tak mau berhenti//terus minta tenaga muda
94
“Leuwigajah Masih
personifikasi
Haus”
Leuwigajah makin panas//berputar dan terus menguras
95
“Makin Terang Bagi
Asosiasi
Pikiran ini makin luas
Asosiasi
Kegelapan disibak tukar
Kami” 96
“Makin Terang Bagi Kami”
97
“Makin Terang Bagi
pikiran Personifikasi
Kami”
Kesadaran kami tumbuh menyirami
“Makin Terang Bagi
Sinekdoke pars
Kami adalah nyawa yang
Kami”
pro toto
menggerakkannya
99
“Bukan Kata Baru”
Asosiasi
Sudah lama kita diisap
100
“Bukan Kata Baru”
Sinekdoke pars
Datang senjata
pro toto
sebatalion//kita dibungkam
Sarkasme
Dia terus makan//tetes, ya,
98
101
“Bukan Kata Baru”
tetes keringat kita 102
103
“Bukan Kata Baru” “Bukan Kata Baru”
Sinekdoke pars
Jantung yang gelisah
pro toto
memukul-mukul marah
Asosiasi
Darah dan otak jalan
104
“Bukan Kata Baru”
Repetisi
Bertarung, ya bertarung
105
“Bukan Kata Baru”
Asosiasi
Berapa harga lengan dan otot kau-aku
106
“Bukan Kata Baru”
Metafora
Jembatan ke dunia baru
107
“Bukan Kata Baru”
Repetisi
Dunia baru, ya, dunia baru
108
“Seorang Buruh Masuk
personifikasi
Lampu-lampu yang
Toko”
mengitariku//seperti sengaja hendak menunjukkan dari mana asalku
109
“Seorang Buruh Masuk
Sinekdoke pars
Tenagaku//yang
Toko”
pro toto
menggerakkan mesinmesin di pabrik
110
“Seorang Buruh Masuk
Hiperbola
Toko”
Aku melihat bayanganku//makin letih//dan terus diisap
111
“Bukan di Mulut
Repetisi
Bocor//bocor
Repetisi
Dingin/dingin
Asosiasi
Diri telah ditempa
Asosiasi
Kepala dan dada masih
Politikus Bukan di Meja SPSI” 112
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”
113
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”
114
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
penuh nyanyi panas
SPSI” 115
“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
Sinisme
Hari depan buruh di tangan kami sendiri//bukan di
SPSI”
mulut politikus//bukan di meja spsi
116
“Edan”
Repetisi
Padahal mukena tak dibawa pulang//padahal mukena dia taruh di tempat kerja
117
“Edan”
Sarkasme
Edan//sudah diperas//dituduh maling pula
118
“Edan”
Asosiasi
Pemotongan gaji
119
“Edan”
Repetisi
Padahal tak pakai uang//padahal pas waktu luang
Keterangan Majas asosiasi
: 27
Majas personifikasi
: 24
Majas repetisi
: 16
Majas sinisme
: 11
Majas hiperbola
: 10
Majas sinekdoke pars pro toto
: 10
Majas simile
:7
Majas simbolik
:6
Majas sarkasme
:5
Majas sinekdoke totem pro parte
:2
Majas ironi
:1
Total
: 119
Catatan Malam
anjing nyalak lampuku padam aku nelentang sendirian kepala di bantal pikiran menerawang membayang pernikahan (pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam) kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat aku ini penyair miskin tapi kekasihku cinta cinta menuntun kami ke masa depan
Solo-Kalangan, 23 Februari 88
Sajak kepada Bung Dadi
ini tanahmu juga rumah-rumah yang berdesakkan manusia dan nestapa kampung halaman gadis-gadis muda buruh-buruh berangkat pagi pulang sore dengan gaji tak pantas kampung orang-orang kecil yang dibikin bingung oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan dibikin tunduk mengangguk bungkuk ini tanah airmu di sini kita bukan turis
Solo-Sorogenen, malam pemilu 87
Lingkungan Kita si Mulut Besar
lingkungan kita si mulut besar dihuni lintah-lintah yang kenyang menisap darah keringat tetangga dan anjing-anjing yang taat beribadah menyingkiri para penganggur yang mabuk minuman murahan lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun amerika perempuannya disetor ke mesin-mesin industri yang membayar murah lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak mencret oli dan logam busa dan plastik dan zat-zat pewarna yang merangsang menggerogoti tenggorokan bocah-bocah yang mengulum es lima puluh perak
Kalangan-Solo, Desember 1991
Kuburan Purwoloyo
di sini terbaring mbok cip yang mati di rumah karena ke rumah sakit tak ada biaya di sini terbaring pak pin yang mati terkejut karena rumahnya digusur di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggug utang di sini gali-gali tukang becak orang-orang kampung yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring dan keadilan masih saja hanya janji di sini kubaca kembali: sejarah kita belum berubah!
Jagalan, Kalangan-Solo, 25 Oktober 88
Lumut
dalam gang pikiranku menggumam seperti kemarin saja kini los rumah yang dulu kami tempati jadi bangunan berpagar tembok tinggi aku jalan lagi melewati rumah yang pernah disewa riyanto buruh kawan sekerjaku ke mana lagi dia sekeluarga rumah itu kini gantian disewa keluarga mbak nina kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi tanah-tanah kosong sudah dibeli orang dalam gang setengah gelap, setengah terang aku menemukan perumpamaan: kita ini lumut menempel di tembok-tembok bangunan berkembang di pinggir-pinggir selokan di musim kemarau kering diterjang banjir tetap hidup kalau keadaan berubah perumpamaan boleh berubah menurutmu sendiri kita ini siapa?
Kalangan-Solo, 8 Februari 91
Gunungbatu
gunungbatu desa yang melahirkan laki-laki kuli-kuli perkebunan seharian memikul kerja setiap pagi makin bungkuk dijaga mandor dan traktor delapan ratus gaji sehari di rumah ditunggu mulut-perut anak-istri gunungbatu desa yang melahirkan laki-laki pencuri-pencuri menembak binatang di hutan lindung mengambil telur penyu di pantai terlarang demi piring nasi kehidupan sehari-hari gunungbatu desa terpencil jawa barat dipagari hutan dibatasi pantai-pantai cantik ujung genteng, cibuaya, pangumbahan sulit transportasi -jakarta dekatsulit komunikasi sejarah gunung batu sejarah kuli-kuli sejak kolonial sampai republik merdeka
sejarah gunungbatu sejarah kuli-kuli gunung batu masih di tanah air ini
November 87
Suti
suti tidak pergi kerja pucat ia duduk dekat ambennya suti di rumah saja tidak ke pabrik tidak ke mana-mana suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah tak ada biaya
suti kusut masai di benaknya menggelegar suara mesin kuyu matanya membayangkan buruh-buruh yang berangkat pagi pulang petang hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan
suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja
suti batuk-batuk lagi ia ingat kawannya sri yang mati karena rusak paru-parunya
suti meludah dan lagi-lagi darah
suti memejamkan mata suara mesin kembali menggemuruh bayangan kawannya bermunculan suti menggeleng tahu mereka dibayar murah
suti meludah dan lagi-lagi darah
suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada obat
Solo, 27 Februari 88
Kampung
bila pagi pecah mulailah sumpah serapah anak dipisuhi ibunya suami-istri ribut-ribut
bila pagi pecah mulailah sumpah serapah kiri-kanan ribut anak-anak menangis suami-istri bertengkar silih berganti dengan radio orang-orang bergegas rebutan sumur umum
lalu gadis-gadis umur belasan keluar kampung menuju pabrik pulang petang bermata kusut keletihan menjalani hidup tanpa pilihan
dan anak-anak terus lahir berdesakkan tak mengerti rumahnya di pinggir selokan bermain di muka genangan sampah di belakang tembok-tembok menyumpal gang-gang berputar dalam bayang-bayang mencari tanah lapang
Solo, Sorogenen, Juli 88
Jangan Lupa, Kekasihku
jangan lupa, kekasihku jika terang bulan kita jalan-jalan yang tidur di depan rumah di pinggir selokan itu tetangga kita, kekasihku
jangan lupa, kekasihku jika pukul lima buruh-buruh perempuan yang matanya letih jalan samasama denganmu berbondong-bondong itu kawanmu, kekasihku
jangan lupa, kekasihku pada siapa pun yang bertanya sebutkan namamu jangan malu itu namamu, kekasihku
Kalangan-Solo, 14 Maret 88
Ayolah, Warsini
warsini! warsini! apa kamu sudah pulang kerja, warsini? apa kamu tidak letih? seharian berdiri di pabrik, warsini apa celana dan kutangmu digeledah lagi? karena majikanmu curiga kamu menyelipkan moto ini malam minggu, warsini berapa utangmu minggu ini? apa kamu bingung hendak membagi gaji? apakah kamu masuk salon potong rambut lagi?
ayolah, warsini kawan-kawan sudah datang kita sudah berkumpul di sini kita akan latihan sandiwara lagi kamu nanti jadi mbok bodong si joko biar jadi rentenirnya jangan malu, warsini jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu sebab mas yanto juga tidak sekolah, warsini ia pun cuma tukang pelitur marni juga tidak sekolah kerjanya cuma mbordir saputangan di rumah wahyuni juga tidak sekolah bapaknya tak kuat mbayar uang pangkal sma
partini? ia pun cuma penjahit pakaian jadi di perusahaan konveksi milik tante lili
ayolah, warsini ini malam minggu, warsini kami menunggumu di sini kita akan latihan sandiwara lagi
Teka-teki yang Ganjil
pada malam itu kami berkumpul dan berbicara dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar masing-masing berbicara tentang keinginannya yang sederhana dan masuk akal
ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur di rumah kontraknya dan itu mengingatkan yang lain bahwa mereka juga belum punya panci, kompor gelas minum dan wajan penggoreng mereka jadi ingat bahwa mereka pernah ingin membeli barang-barang itu tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur oleh keletihan kami dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
ternyata banyak di antara kami yang masih susah menikmati teh hangat karena kami masih pusing bagaimana mengatur letak tempat tidur dan gantungan pakaian
ada yang sudah lama ingin mempunyai kamar mandi sendiri dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum yang sudah berlalu
tiga partai politik yang ada kami simpulkan tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh mereka hanya memanfaatkan suara kami demi kedudukan mereka
kami tertawa karena menyadari bertahun-tahun kami dikubuli dan diperlakukan seperti kerbau
akhirnya kami bertanya mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh untuk menyekolahkan anak-anaknya padahal mereka setiap hari menghasilkan berton-ton barang
lalu salah seorang di antara kami berdiri memandang kami satu per satu kemudian bertanya: “adakah barang-barang yang kalian pakai yang tidak dibikin oleh buruh?” pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati barang-barang yang ada di sekitar kami neon, televisi, radio, baju, buku....
sejak itu kami selalu merasa seperti sedang menghadapi teka-teki yang ganjil dan teka-teki itu selalu muncul ketika kami berbicara tentang panci-komporgelas minum-wajan penggorengan juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
kami selalu heran dan bertanya-tanya kekuatan macam apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil kerja kami
Kalangan-Solo, 21 September 93
Satu Mimpi Satu Barisan
di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah, ya, karena upah
di ciroyom ada kawan sodiyah si lakinya terbaring di amben kontrakan buruh pabrik teh terbaring pucat dihantam tipus juga ada neni kawan bariah bekas buruh pabrik kaus kaki kini jadi buruh di perusahaan lagi dia dipecat, ya dipecat kesalahannya: karena menolak diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bilang umpama dirontgen pasti tampak isi dadaku ini pasti rusak karena amoniak, ya amoniak
di cigugur ada kawan siti punya cerita harus lembur sampai pagi pulang lunglai lemas ngantuk letih membungkuk 24 jam ya, 24 jam
di majalaya ada kawan eman buruh pabrik handuk dulu kini luntang-lantung cari kerjaan bini hamil tiga bulan kesalahan: karena tak sudi terus diperah seperti sapi
di mana-mana ada sofyan, ada sodiyah, ada bariyah tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan di mana-mana ada neni, ada udin, ada siti di mana-mana ada eman di bandung, solo, jakarta, tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan
Bandung, 21 Mei 92
Nonton Harga
ayo keluar keliling kota tak perlu ongkos, tak perlu biaya masuk toko perbelanjaan tingkat lima tak beli apa lihat-lihat saja kalau pengin durian apel-pisang-rambutan-anggur ayo... kita bisa cium baunya mengumbar hidung cuma-cuma tak perlu ongkos, tak perlu biaya di kota kita buah macam apa asal mana saja ada kalau pengin lihat orang cantik di kota kita banyak gedung bioskop kita bisa nonton posternya atau ke diskotek di depan pintu kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma mendengarkan detak musik denting botol lengking dan tawa bisa juga kaunikmati aroma minyak wangi luar negeri cuma-cuma
aromanya saja
ayo... kita keliling kota hari ini ada peresmian hotel baru berbintang lima dibuka pejabat tinggi dihadiri artis-artis ternama ibukota lihat mobil para tamu berderet-deret satu kilometer panjangnya kota kita memang makin megah dan kaya tapi hari sudah malam ayo kita pulang ke rumah kontrakan sebelum kehabisan kendaraan ayo kita pulang ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan besok pagi kita ke pabrik kembali bekerja sarapan nasi bungkus ngutang seperti biasa
18 November 96
Terus Terang Saja
apakah aku ini tepung terigu atau gumpalan kapas atau cabe busuk yang merosot harganya sehingga harus ditolong atau kayu gekondongan bahan baku plywood kualitas ekspor dari hutan-hutan yang kini botak karena hph dan gergaji mesin pembangunan keadilan berkemakmuran dan kemakmuran berkeadilan
siapakah aku ini kaki kursikah atau botol kosong atau rakyat lebak yang harus bekerja bakti mencabuti rumput halaman kadipaten karena tuan pejabat gubernemen mau lewat apakah aku ini rakyat yang berdebar-debar di sekitar hari proklamasi menyimak pidato soekarno apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka? ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara?
apakah aku ini cuma angka-angka
yang menarik untuk bahan disertasi dan meraih gelar doktor yang tidak berotak tidak bermulut yang secara rutin dilaporkan kepada bank dunia sebagai jaminan utang dan landasan tinggal landas?
sekarang demokrasi sudah 100% bulat tanpa debat tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100% yang tak bisa salah
namun aku sangsi karena kemelaratan belum dilumpuhkan aku sangsi kepada yang 100% benar terus terang saja!
2 Oktober 96
Harimau
aku pernah menyaksikan banyak orang mendirikan kandang untuk memelihara harimau yang mereka hidupkan dari ketakutan sehingga harimau itu pun beranak pinak di dalam tempurung kepalanya tapi aku ogah memelihara aku telah membakarnya dulu waktu aku bosan dan tak mau lagi ditakut-takuti karena geli dan hari ini aku semakin geli melihat orang-orang kebingungan karena harimau itu tak mampu mengaum lagi mungkin karena capek
sebagai gantinya di mana-mana sekarang aku mendengar semakin banyak suara tawa tapi penguasa risi rupanya karena itu orang yang berani tertawa
diancam dengan undang-undang subversi dan hukuman mati tapi meskipun para terdakwa sudah dimasukkan bui dan diadili suara tawa itu tak juga kunjung berhenti meskipun surat kabar radio dan televisi telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri bahwa tertawa terbahak-bahak itu liberal bertentangan dengan budaya nasional dan merongrong stabilitas negara karena itu orang yang berbicara tertawa berpendapat dan berserikat harus mencantumkan apa azasnya kalau nekat tembak di tempat sekarang hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpura-pura karena kalau ia ikutan tertawa akan punahlah harimau yang tinggal satu-satunya karena itu harus ada yang didakwa dan dipersalahkan agar tuntutan jaksa tampak serius
dan tak menggelikan sebab kalai seluruh rakyat tertawa dan buruh-buruh mogok kerja, apa jadinya?
27 Januari 97
Leuwigajah
leuwigajah berputar dari pagi sampai pagi jalan-jalan gemetar debu-debu membubung dari knalpot kendaraan pengangkut
mesin-mesin terus membangunkan buruh-buruh tak berkamarmandi tidur jejer-berjejer alas tikar tanpa jendela, tanpa cahaya matahari lantai-dinding dingin, lembab, pengap
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi, upah rendah jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan kencing dilarang, sakit ongkos sendiri mogok? pecat! seperi nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda terus mengalir ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah satu kali dua puluh empat jam masuk, absen, tombol ditekan dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi cerobong asap terus mengotori langit limbah mengental selokan berwarna
leuwigajah terus minta darah tenaga muda leuwigajah makin panas berputar dan terus menguras tenaga-tenaga murah
Bandung-Solo, 21 Mei-16 Juni
Leuwigajah Masih Haus
leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi bus-mobil pengangkut tenaga murah bikin gemetar jalan-jalan dan debu-debu tebal membubung
mesin-mesin tak mau berhenti membangunkan buruh-buruh tak berkamarmandi tanpa jendela, tanpa cahaya matahari tidur jejer-berjejer alas tikar lantai-dinding dingin, lembab, pengap
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus bercerita buruk: lembur paksa sampai pagi tubuh mengelupas, jari jempol putus, upah rendah mogok? pecat! seperi nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda terus mengalir ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah satu kali dua puluh empat jam masuk, absen, tombol ditekan dan truk-truk pengangkut produksi meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi
asap cerobong terus kotor selokan air limbah berwarna mesin-mesin tak mau berhenti terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas berputar dan terus menguras
Bandung, 21 Mei 92
Makin Terang Bagi Kami
tempat kami sempit bola lampu kecil, cahaya sedikit tapi makin terang bagi kami tangerang, solo, jakarta kawan kami
kami satu: buruh kami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit di langit bintang kelap-kelip tapi makin terang bagi kami banyak pemogokan di sana-sini
tempat pertemuan kami sempit tapi pikiran ini makin luas makin terang bagi kami kegelapan disibak tukar pikiran
kami satu: buruh kami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit tanpa buah cuma kacang dan air putih tapi makin terang bagi kami kesadaran kami tumbuh menyirami
kami satu: buruh kami punya tenaga jika kami satu hati
kami tahu mesin berhenti sebab kami adalah nyawa yang menggerakkannya
Bandung, 21 Mei 92
Bukan Kata Baru
ada kata baru kapitalis, baru? ah, tidak, tidak sudah lama kita diisap bukan kata baru, bukan kita dibayar murah sudah lama, sudah lama sudah lama kita saksikan buruh mogok dia telepon kodim, pangdam datang senjata sebatalion kita dibungkam tapi tidak, tidak dia belum hilang kapitalis dia terus makan tetes, ya, tetes-tetes keringat kita dia terus makan
sekarang rasakan kembali jantung yang gelisah memukul-mukul marah karena darah dan otak jalan kapitalis dia hidup bahkan berhadap-hadapan kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung sama-sama? tidak, tidak bisa kita tidak bisa bersama-sama sudah lama, ya, sejak mula
kau-aku tahu berapa harga lengan dan otot kau-aku kau tahu berapa upahmu kau tahu jika mesin-mesin berhenti kau tahu berapa harga tenagamu mogoklah maka kau akan melihat dunia mereka jembatan ke dunia baru dunia baru, ya, dunia baru
Tebet, 9 Mei 92
Seorang Buruh Masuk Toko
masuk toko yang pertama kurasa adalah cahaya yang terang benderang tak seperti jalan-jalan sempit di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga dan lampu-lampu mengitariku seperti sengaja hendak menunjukkan dari mana asalku
aku melihat kakiku, jari-jarinya bergerak aku melihat sendal jepitku aku menoleh ke kiri ke kanan, bau-bau harum aku menatap betis-betis dan sepatu bulu tubuhku berdiri merasakan desir kipas angin yang berputar-putar halus lembut badanku makin mingkup aku melihat barang-barang yang dipajang aku menghitung-hitung aku menghitung upahku aku menghitung harga tenagaku yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik aku melihat harga-harga kebutuhan di etalase aku melihat bayanganku makin letih dan terus diisap
Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI
berlima dari solo, berkereta api kelas ekonomi murah tak dapat kursi melengkung tidur di kolong pas tepat di kepala kami bokong-bokong kiri-kanan telapak kaki, tas, sandal, sepatu tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan dari krawang-bandung-jakarta-jogja-tangerang buruh pabrik plastik, tekstil, kertas, dan macam-macam datang dengan satu soal
dari jakarta pulang tengah malam dapat bus rongsok pulang letih tak apa, diri telah ditempa sepanjang jalan hujan kami jongkok di tempat duduk nempel jendela bocor bocor sepanjang jalan tangan terus mengelapi agar pakaian tak basah dingin dingin tapi tak apa diri telah ditempa kepala dan dada masih penuh nyanyi panas hari depa buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus bukan di mejas spsi
Solo, 14 Mei 92
Edan
sudah dengar cerita mursilah? edan! dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang padahal mukena tak dibawa pulan padahal mukena dia taruh di tempat kerja edan! sudah diperas dituduh maling pula
sudah dengar cerita santi? edan! karena istirahat gaji dipotong edan! karena main kartu lima kawannya langsung dipecat majikan padahal tak pakai uang padahal pas waktu luang edan! kita mah bukan sekrup
Bandung, 21 Mei 92
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA) Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/Semester
: XII/2
Alokasi waktu
: 2x45 menit
Standar Kompetensi Membaca (memahami) dan Menulis
Kompetensi Dasar Membaca dan memahami puisi 1. Memahami hakikat puisi 2. Memahami struktur dan kaidah teks puisi, baik lisan maupun tulisan 3. Membuat analisa struktur pembangun puisi
Indikator 1. Siswa mampu memahami pengertian puisi dan struktur (lahir dan batin) pembangun puisi 2. Siswa mampu menganalisa struktur pembangun puisi 3. Siswa mampu mengaitkan pesan yang terdapat dalam puisi dengan realitas sosial yang ada
A. Tujuan Pembelajaran 1. Siswa dapat memahami hakikat puisi 2. Siswa mampu menganalisa struktur pembangun puisi dan mengaitkannya dengan realita sosial yang ada 3. Siswa mampu menyusun hasil analisis struktur pembangun puisi dengan mengunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar 4. Siswa memiliki sikap percaya diri, rasa ingin tahu dan kreatif dalam
mengapresiasi karya sastra, serta kritis, tanggungjawab, peduli dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungannya * Karakter Siswa yang diharapkan: Kritis, Kreatif, Komunikatif B. Materi Ajar
puisi -langkah menganalisa puisi -contoh puisi karya penyair Indonesia
C. Metode Pembelajaran 1. Pendekatan : Pembelajaran Kontekstual 2. Metode : Ceramah dan tanya jawab 3. Model Pembelajaran : Pembelajaran kooperatif
D. Langkah-langkah Pembelajaran 1. Kegiatan awal (10’) a. Guru membuka pelajaran (doa/salam), kemudian presensi kehadiran siswa b. Guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran c. Guru memberikan motivasi siswa tentang pendidikan d. Perwakilan siswa menampilkan apresiasi sastra di depan kelas 2. Kegiatan inti (70’) a. Eksplorasi 1) Siswa bersama guru bertanya jawab tentang puisi (pengertian, struktur pembangun puisi, manfaat puisi, dan beberapa puisi karya Wiji Thukul tentang buruh 2) Siswa bersama guru mendiskusikan tujuan dan macam-macam puisi 3) Siswa membaca puisi yang akan dikaji (Puisi Wiji Thukul yang berjudul “Satu Mimpi, Satu Barisan”)
4) Siswa membuat analisis struktur puisi yang dikaji dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar b. Elaborasi 1) Siswa menyimak pemaparan materi yang disampaikan oleh guru 2) Siswa ditugaskan untuk mencatat pokok materi yang disampaikan c. Konfirmasi 1) Siswa bersama guru memberikan apresiasi positif pada pembelajaran yang telah dilakukan 2) Guru memberikan penguatan tentang materi yang sudah dibahas 3. Kegiatan penutup (10’) 1) Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah dibahas 2) Guru dan siswa membaca doa bersama Alat/ Bahan/ Sumber 1. Buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA kelas XII semester II 2. Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul
E. PENILAIAN Penilaian dilaksanakan selama proses dan sesudah pembelajaran Indikator
Penilaian
Pencapaian
Teknik penilaian
Bentuk instrumen
Soal instrumen
i. Mampu mencatat pokok-pokok masalah atau inti materi yang telah didengar atau disimak
Tes tulis
uraian
1. Catatlah pokokpokok materi yang telah disampaikan
ii. Memahami pengertian puisi, unsur-unsur lahir dan batin puisi
2. Buatlah analisa unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik berdasarkan puisi yang telah diberikan oleh guru! (puisi “Satu
Mimpi,
Satu
Barisan karya Wiji Thukul)
iii. Memahami manfaat dan fungsi puisi dalam kehidupan sehari-
3. Buatlah analisa mengenai manfaat dan fungsi puisi dalam kehidupan sehari-hari (terutama yang berkaitan dengan kondisi
hari
sosial)!
Soal penugasan No.
Butir Soal
Skor maksimal
1.
Sebutkan dan jelaskan unsur pembangun 50 puisi, baik lahir maupun batin!
2.
3.
Bacalah puisi “Satu Mimpi, Satu Barisan” karya Wiji Thukul! Kemudian analisa unsur-unsur lahir dan batin yang terdapat dalam puisi tersebut!
100
50
Bacalah puisi “Satu Mimpi, Satu Barisan” karya Wiji Thukul dengan seksama, kemudian tentukan manfaat dan fungsi puisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (terutama yang berkaitan dengan kondisi sosial)!
Jakarta, 14 November 2014
Kepala sekolah
Guru Mapel
PROFIL PENULIS
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki lahir di Jakarta, 02 September 1992. Anak pertama dari tiga bersaudara ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri Lagoa 11 Pagi, SMP Negeri 30 Jakarta, dan SMA Negeri 75 Jakarta. Sejak kecil menggemari hal-hal yang berkaitan dengan seni dan mengikuti berbagai lomba kesenian seperti kasidah, marawis, nasyid, dan band. Sekarang masih aktif bergiat di beberapa organisasi, yakni Pojok Seni Tarbiyah UIN Jakarta; Karangtaruna RW 03 Kelurahan Lagoa, Jakarta Utara; Ormas Oi Zhamblank Priok; dan Ikatan Remaja Masjid Ash-Sholihin, Lagoa, Jakarta Utara. Sejak pertama kali jatuh cinta dengan kesusastraan saat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia mulai tertarik dan mendalami dunia kepenulisan sastra. Beberapa buah puisinya pernah dimuat di harian INDOPOS dan antologi puisi Gemuruh Cinta untuk Dunia yang disusun oleh komunitas Tinta Perak dan diterbitkan secara indie oleh Pena Nusantara pada 2013. Sekarang masih aktif sebagai personel grup musikalisasi puisi Kemangilodi dan grup band Kareina. Bersama teman-temannya di grup musikalisasi puisi Kemangilodi, Dimas pernah menjadi juara Harapan I dalam lomba “Musikalisasi Puisi Helvy Tiana Rosa” dan juara I dalam “Lomba Cipta lagu Anti Narkoba” yang diadakan oleh Badan Narkotika Nasional Indonesia. Sementara itu, bersama grup band Kareina telah merilis album indie yang bertajuk Perjalanan Ini.