DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI “TAPI” DAN “BELAJAR MEMBACA” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA KELAS XII Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh FAJAR SETIO UTOMO NIM. 10901300088
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA", yang disusun oleh Fajar Setio Utomo NIM 109013000088, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
J
akarla, 4 Septemb er 20 I 4
NIP: 19771030 200801 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi "TAPI" dan "BELAJAR MEMBACA" Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Kelas XII" disusun oleh Fajar Setio Utomo, Nomor Induk Mahasiswa: 109013000088, diajukan kepada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada tanggal 12 September 2A14, di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. J
akarta, 24 Septemb er 2Al 4
Panitia Ujian Munaqosah Ketua Panitia (PLT Ketua Jurusan
PBSD
Didin Syafruddin. MA." Ph.D.
Tanggal
4E Sqxyr4r lot't.
NIP. 19600307 199002 l00l Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Dra. Hindun" I\4 Pd.
29..........t...........'...{ S rn. eDtl,
NrP. 19701215 2A090 2 00t Penguji
I
Ahmad Baohtiar" M.Hum
NIP. 19760t18 2A09n Penguji
I
6 kSo.u**'{
002
II
Cecep Suhendi. M.Pd
,lg
Soq.er"b$ ldLt
NIP. Mengetahui, Dekan Faf,ultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
MP. 19591020
198603 2 00r
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah
ini
Nama
Fajar Setio Utomo
NIN4
109013000088
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
Dengan
ini
1.
2. 3.
Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
saya menyatakan bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telahsaya cantumkan sesuai dengan ketntuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta. 4 September 2014 TE^IPEL ^^ETERAT EA77DACF38830&4
xn
\.:
(Fajar Setio Utomo)
ABSTRAK
FAJAR SETIO UTOMO: Dimensi Sufistik Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Skripsi. Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini, mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Berdasarkan hal tersebut peran sastra dirasa menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab sastra mengandung nilai estetik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Hal ini cukup beralasan, sebab secara sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka dan catat sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan model semiotik yang terdiri dari tiga tahapan analisis, yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik. Puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” dalam hal ini sarat dengan gagasan tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi insaniyah dengan dimensi Ilahiyah, bersatunya makhluk dengan Khalik, sehingga terlihat bahwa terdapat dua dimensi sufistik, yakni dimensi transenden dan dimensi imanen. Dimensi sufistik yang terdapat pada puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” mengajarkan aspek rohani dan moral kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial. Dalam hal kebahasaan, puisi ini pun melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun pragmatik. Melalui pendekatan semiotik pembelajaran materi sastra dan tata kebahasaan dapat saling mendukung. Kata Kunci: Dimensi sufistik, puisi-puisi Sutardji, dan implikasi pendidikan
i
ABSTRACT FAJAR SETIO UTOMO: Sufistic Dimension in Tapi and Belajar Membaca Poetry Sutardji Calzoum Bachri Work and the Implicated for Indonesian Language and Litterature Education in Senior High School. Skripsi Jakarta: Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2014. Pragmatic attitude in majority indonesian society life today, resulting the erosion of national cultural values, therefore, the role of Littrature increasingly becomes important to be socialized and "grounded" through education intuition. It is quite reasonable, because the literature contains aesthetic and moral values relating to life and human life. research method used is descriptive qualitative method. The data collection was done by using the libraries techniques and notes while the data analysis was performed by using the model of semiotic reading method which consists of three stages of analysis, namely; syntactic, semantic, and pragmatic. Tapi and Belajar Membaca Poetry is full of ideas of Sufism Wahdatul Wujud, which show the proverbial of human existence with the existence of God, the proverbial insaniyah dimension and illahiyah dimension, the proverbial of the God with with human, so it appears that two dimensions of Sufi, is the transcendent dimensions and immanent dimention . Sufistic dimension that found from Tapi and Belajar Membaca poetry teaching the spiritual and moral aspects for students, and told that poetrys have an essential function. In linguistic terms, this poem was to train and teach students to better understand the construction of the language both in terms of syntax, semantics, and pragmatics. Key Word: Sufistic Dimension, Sutardji Calzoum Bachri Poetrys, and the implication of education.
ii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah SWT, zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dengan cara-Nya tersediri, serta dengan segala Kasihnya mengabulkan doa-doa penulis. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah SWT berikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena, itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak, khusunya kepada: 1. Orang tua penulis, kepada Ibu Rubinem dan Almarhum Bapak Sukamto yang telah begitu bersabar menunggu anaknya untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, serta adik laki-laki penulis, Tio Baskoro Dwi Nugroho yang dengan caranya sendiri berusaha membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini. 2
Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mempermudah dan memperlancar proses penyelesaian skripsi ini.
3
Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing, orang yang paling membantu dalam proses penulisan skripsi hingga tahap paling akhir. Terima kasih pula karena telah menjadi pengajar, kakak, serta sahabat yang teramat baik selama ini, semoga beliau diberikan balasan yang setimpal dari-Nya.
iii
4
Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan selama ini dan mau membantu dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya..
5
Terima kasih banyak untuk
Irsyad Zulfahmi, Bohari Muslim, dan Ayu
Annisa yang dengan caranya masing-masing telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulisan skripsi ini dan selama kehidupan penulis sebagai mahasiswa. 6
Terima kasih kepada keluarga besar Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah yang telah menjadi rumah sekaligus gudang ilmu terbuka selama kegiatan penulis di kampus. Penulis mengucapkan terima kasih karena telah mau menjadi teman berdiskusi yang baik selama penulisan skripsi maupun masamasa perkuliahan.
Semoga apa yang kita perbuat mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal‘alamin. Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya, khususnya penulis sendiri.
Jakarta, 4 September 2014 Penulis,
Fajar Setio Utomo
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………….. i ABSTRACT …………………………………………………………………... ii KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iii DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. v DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang pendahuluan …………………………………………............1 B. Identifikasi Masalah …………………………………………………….........4 C. Pembatasan Masalah …………………………………………………........... 5 D. Perumusan Masalah …………………………………………………….........5 E. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….........5 F. Manfaat Penelitian ……………………………………………………...........6 G. Metode Penelitian ………………………………………………………........6 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Sufisme dan Sastra …………………………………………….…....……...11 1. Pengertian Tasawuf …………….……………………………....……… 11 2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali…………………………………....……….. 13 3. Sastra Sufistik...........................................................................................14
v
B. Puisi …………………………………………………………………..……..16 1. Pengertian Puisi …………….……………………………......................16 2. Bentuk Struktur Fisik Puisi……………………………………………...18 3. Bentuk Struktur Batin Puisi…………….………………………….........19 C. Semiotika..........………………………....……………………………..........20 1. Pengertian Semiotika..............…………………………………………..20 2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi)…………….............21 3. Aspek Teks Sastra (Puisi).........................................................................24 a) Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi............................................24 1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi.................25 2) Analisis Aspek Sintaksis...................................................26 b) Aspek Sematik untuk Analisis Puisi.............................................28 1) Denotasi dan Konotasi…………………………………..28 2) Gaya Bahasa …………………………………………….30 3) Isotopi, Motif dan Tema………………………………...31 c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi…………………………..32 D. Pembelajaran Sastra ……………………………………………………….. 33 a. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini ………………………………….....33 b. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran ………………......35 E. Hasil Penelitian yang Relevan ……………………………………………...38 BAB III PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI A. Biografi Singkat Sutradji Calzoum Bachri ………………………………....40 B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri...............................................................44 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analisis Puisi Tapi 1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................52 2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................55 vi
3. Analisis Aspek Semantik....................................................................61 a)
Denotasi dan Konotasi............................................................61
b)
Analisis Gaya Bahasa.............................................................65 1) Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat Puisi...............65 2) Analisis gaya bahasa figuratif.............................................66
c)
Isotopi.....................................................................................66
4. Analisis Aspek Pragmatik ..................................................................70 B. Analisis Puisi Belajar Membaca 1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................75 2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................77 3. Analisis Aspek Semantik....................................................................80 a)
Denotasi dan Konotasi............................................................81
b)
Analisis Gaya Bahasa.............................................................85
c)
Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi)................85
d)
Analisis gaya bahasa figuratif.................................................85
e)
Isotopi.....................................................................................86
4.Analisis Aspek Pragmatik ....................................................................91 C. Dimensi Sufistik Pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca...............................94 D. Implikasi Puisi Tapi dan Belajar Membaca Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA......................99 BAB V PENUTUP A. Simpulan ………………………………………………………………… 103 B. Saran …………………………………………...………………………… 104 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 109
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Lembar Uji Refrensi
Lampiran 2
: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3
: Puisi TAPI dan Puisi BELAJAR MEMBACA
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan kita saat ini sering dibuat miris dengan berbagai pemberitaan di media cetak, maupun elektronik yang menampilkan berbagai tindak anarkis, dan kemerosotan moral di kalangan para pelajar. Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses kesejagatan tersebut, sastra menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab secara sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Sehingga dengan begitu, lingkup sastra membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya, dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Salah satunya dalam hal religius-sufistik-profentik yang dalam hal ini merupakan bagian dari genre sastra, menyajikan pengalaman spiritual dan transendental. Hal yang serupa juga dikatakan Mangunwijaya yang menyatakan bahwa; “Pada awal mula, Segala Sastra Adalah Religius”.1 Pendapat Mangunwijaya tidaklah berlebihan, dikarenakan semua sastra pada awalnya memang digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan yang Maha Esa sastra mengandung nilai etik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Soedjarwo mengemukakan bahwa tengah gemuruh teknologi, sastra 1
Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Kanisius, 1994), cet.3, h.11
1
2
berupaya mengebalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis habis oleh teknologi. Dikatakan Soedjarwo lebih lanjut bahwa puisi itu berusaha mengembalikan stabilitas, mengembalikan keselarasan, dan keutuhan dalam diri manusia.2 Sebagai karya seni, puisi dalam pembelajaran di sekolah hari ini rasanya kurang dipelajari sebagai pengalaman estetik. Padahal di setiap karya sastra selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya. Secara jujur harus diakui hingga saat ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Yudi Latif berpendapat di tahun 1960-an, sastra masih menjadi mata pelajaran wajib yang diuji-akhir, digeluti juga oleh para pelajar SMA bagian B (Pasti –alam) dan C (ekonomi). Tetapi kini sastra hanya menjadi penumpang gelap dalam pelajaran bahasa Indonesia.3 Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pendidik terkadang membahas puisi sebagai ilmu sastra yang berkutat pada pembahasan unsur intrinsik dan ekstrinsik tanpa membahas nilai-nilai estetik yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Padahal tujuan puisi sebagai ilmu sastra sendiri di antaranya yaitu membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, memberi makna pada eksistensinya, serta untuk menemukan kebenaran secara maknawi dalam setiap karya sastra. Ajip Rosidi pun berpendapat “bahwa mata pelajaran sastra sekarang hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra di sekolah hanya memberikan batasan-batasan (definisi) tentang istilah-istilah ilmu bahasa atau teori sastra, seperti apa itu metafora, apa itu retorika, apa itu parelisme apa itu parafrase, dan semacam itu”.4 2
Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. 3, h. 1.36 3 Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2009), h.158 4 Lihat esai Ajib Rosidi yang berjudul Kesusastraan di Indonesia: “Dimensi Rohani yang Hilang Harus Dikembalikan” pada Sastra dan Budaya (Kedaerahan Dalam Keindonesian), (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.52
3
Dari beberapa penyair Indonesia, bisa dikatakan Sutardji memiliki pengaruh dan sumbangsih yang cukup besar dalam kesusastraan (khususnya perpuisian) di Indonesia. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena sejak awal puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri telah dikenal membawa nafas baru dalam perpuisian di Indonesia. Puisi-puisinya dipandang sebagai puisi-puisi “avant-garde”, yang muncul pada permulaan 1970-an dengan kredo puisi yang kontroversional dan menghebohkan. Walaupun puisi-puisinya yang awal cenderung nihilistic, namun sangat intens melakukan pengembaraan spiritual, sehingga tak mengherankan bila dalam beberapa puisi-puisi awalnya sudah bernafaskan sufistik. Melihat keadaan sosial pada tahun 1970-an, Sutardji dalam karyanya hadir dengan mengedepankan fungsi didaktis yang ternyata di dalam sastra dewasa ini semakin penting. Dalam era globalisasi ini, siswa-siswi semakin dihadapkan kepada problematika kehidupan yang mengarah pada krisis nilai-nilai kehidupan akibat dari kemajuan sains dan teknologi modern. Sebab, sastra (khususnya puisi) merupakan salah satu penghalus budi, yang mampu mengangkat kembali status humanitasnya untuk menyadari arti keagungan alam semesta (universe), keindahan nilai-nilai kehidupan dan kekuasaan Tuhan. Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” dalam buku kumpulan puisi O, AMUK, KAPAK (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Adapun pertimbangan lain yang memperkuat alasan untuk menjadikan puisi Tapi yang berada dalam kumpulan puisi Amuk dan puisi BELAJAR MEMBACA yang berada dalam kumpulan puisi Kapak karya Sutadji Calzoum Bachri sebagai objek kajian dalam penelitian, dikarenakan dalam kedua kumpulan puisi tersebut menunjukkan adanya aspek sufistik yang dominan di samping daya ekspresinya yang estetis dan kompleks, dengan membandingan dua puisi yang berada pada kumpulan puisi yang berbeda. Usaha mengkaji puisi yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” pada penelitian ini akan menggunakan tinjauan semiotik. Penggunaan pendekatan
4
semiotik dalam penelitian ini didasarkan dengan dua pertimbangan. Petama, puisi sufistik pada hakikatnya mengungkapkan pengalaman manusia yang bersifat personal dan spiritual dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan; hubungan itu penuh misteri dan sulit dijangkau oleh pikiran biasa. Oleh karena masalah yang diungkapkan bersifat spiritual, makna puisi ketasawufan sukar dipahami secara mendalam karena di dalamnya digunakan tanda-tanda yang mengandung konotasi tertentu dan memerlukan penafsiran. Alasan yang kedua, dikarenakan menurut pengamatan saya, penelitian dengan pendekatan semiotik terhadap puisi Sutardji Calzoum Bachri pada umumnya dan khususnya puisi yang bertema ketasawufan, belum dilakukan. Pemerhati dan peneliti lainnya cenderung bersifat lebih global. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul skripsi: “Dimensi Sufistik Dalam Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII”
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama pada puisi. 2. Kurangnya kreatifitas guru sebagai pendidik dalam mengajarkan materi puisi di sekolah 3. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari puisi, sebagian besar masih pada tataran penjelasan unsur-unsur intrinsik sehingga menjadikan kurangnya minat peserta didik dalam mempelajari puisi. 4. Kurangnya pembahasan tentang makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah puisi, khususnya pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri
5
5. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap puisi sebagai bahan pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak. C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada: 1. Dimensi sufistik dalam dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” 2. Implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Sutardji Calzoum Bachri menampilkan dimensi sufistik dalam puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”? 2. Bagaimana implikasi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dimensi sufistik pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri
6
2. Mendeskripsikan implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII.
F. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran spiritual menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-nilai keduniawian.
2.
Manfaat Praktis a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di sivitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta b) Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang dimensi sufistik dalam sebuah karya
sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu
tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik c) Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang puisi secara terstruktur dan mendalam
G. Metode Penelitian 1. Objek dan Waktu Penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa dua buah puisi, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri. Tempat yang akan digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu
7
tempat, karena objek yang dikaji berupa teks karya sastra yang terdapat pada buku kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan pada tahun 2004. Penulis melakukan kegiatan penelitian antara lain di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia dan Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin. Adapun waktu penelitian dimulai pada bulan Desember 2013 – Juli tahun 2014.
2. Metode Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Fokus Penelitian Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra yang akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian. Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah menentukan fokus penelitian. Secara umum penelitian sastra dapat dikatagorikan ke dalam empat fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu: 1) Penelitian
dengan
fokus
teks
dan
hubungannya
dengan
penulis/penelitian genetik. 2) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca. 3) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri. 4) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.5 Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan fokus yang ketiga, yaitu penelitian dengan fokus teks itu sendiri.
5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180
8
b) Bentuk dan Strategi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan semiotik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya puisi. Pendekatan semiotika dalam penelitian ini melalui tiga tataran yaitu, sintaksis, semantik dan pragmatik. “Metode
desktiptif
analitik
dilakukan
dengan
cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”.6 Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif
komparatif,
metode
dengan
cara
menguraikan
dan
membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar. Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan konsep tasawuf yang diperkenalkan oleh beberapa penyair sufistik.
c) Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumendokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
6
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 53.
9
d) Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membaca buku kumpulan puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu O, Amuk, Kapak. 2) Menetapkan dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” sebagai objek penelitian dengan fokus menemukan dimensi sufistik yang tergambar dalam dua puisi tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan. 3) Membaca ulang dengan cermat dua puisi Sutardji Calzoum Bachri, yaitu“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” untuk menentukan dimensi sufistik yang terdapat di dalam dua puisi tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan. 4) Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung dimensi sufistik 5) Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis berdasarakan tahapan sintaksis, semantik, dan pragmatik. 6) Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data. 7) Menyimpulkan hasil penelitian
e) Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
10
f) Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar, dan majalah.
g) Sumber Data 1) Data Primer Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri 2) Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumbersumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Tasawuf dan Sastra 1. Pengertian Tasawuf Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat Islam, sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama direntangkan para pendukung tasawuf. Terutama rumusan propaganda penyusunan sintesis antara kasyfi (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-Ghazali, al-Qusyairi dan sebagainya.1 Secara etimologis kata tasawuf berasal dari suf „bulu domba‟ atau „jubah wol‟ kasar yang dipakai oleh petapa pada periode awal tasawuf. Pakaian tersebut menurut Schimel kemudian menjadi ciri-ciri sufi meskipun ciri tersebut hanya mengungkapkan aspek luar, belum mencerminkan hakikat sufi yang sebenarnya.2 Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana (ecstacy) dan kasyaf (illuminasi).3 Sebagai istilah, definisi tasawuf ada bermacam-macam, antara lain yang dikutip oleh Hamka, yaitu berturut-turut menurut Makruf al-Karakhi, Muhammad al-Jurairai, Rusim, dan Junaid berikut ini: (1)... tasawuf ialah mengambil hakikat, dan putus asa dari apa yang ada dalam tangan sesama makhluk; (2)... tasawuf ialah masuk dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi yang rendah; (3) ... tasawuf ditegakan atas tiga perangkai. Berpegang teguh terhadap kefakiran, membuktikan kesanggupan berkorban, dan meniadakan pilihan; (4) ... tasawuf ialah ingat kepada Tuhan walaupun dalam beramai-ramai, rindu kepada 1
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo, 1997), cet.2, h.10 2 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta: Pustaka Firdas, 1986), h.12 3 Simuh, op. cit., h.11
11
12
Tuhan dan sudi mendengarkan, dan beramal dalam lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul ...4 Dari
beberapa
definisi
tasawuf
tersebut,
hanya
melihat
atau
menggambarkan satu segi saja, tidak mencerminkan tasawuf secara utuh. Istilah tasawuf kadang-kadang dipadankan dengan istilah mistik. Sementara itu Schimmel mengatakan “That mysticim contains something mysterious, not be reached by ordinary means or by intellectual effort, is understood from the root common to the word mystic and mystery, the Greek myein, “to the close the eyes”.5 Dari pendapat Schimel dapatlah tasawuf diartikan sebagai ajaran keruhanian penuh suasana kekudusan dan kekhusyukan berkenaan „menutup mata‟ atau „sesuatu yang terlindung dalam rahasia‟. Hal yang serupa pun dikatakan oleh Abu‟ Amr al-Dismisyaqi yang menyatakan “al-Tashawuf ru‟yat al kawn bi‟ayn al-naqsy, bal ghadd al-tharf‟an al-kawn” yang artinya “Tasawuf melihat ke tak sempurnaan alam fenomena, bahkan menutup mata terhadap alam fenomena”.6 Berdasarkan hal ini jelaslah bahwa tasawuf ialah jalan keruhaniaan untuk merealisasikan tauhid. Hal serupa diungkapan Shibil dengan mengatakan “alShufi la yara fi al-darayn ma‟a Allah ghayra Allah” yang artinya “Sufi ialah dia yang tidak memandang sesuatu di dalam dunia selain Allah Yang Esa”.7 Lebih jauh Abu al-Wafa al-Taftazani memberi pengertian tasawuf dan mengaitkannya dengan dasar-dasar ajaran Islam tentang akhlak atau moral. Tasawuf atau mistisme menurutnya secara keseluruhan ialah filsafat hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan 4
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980), h. 83 5 “Secara etimologi kata “mistik” atau “mystic” berasal dari bahasa Yunani, myein, dan ada kaitannya dengan „mysteri‟, serta bermakana „menutup mata‟ atau „terlindung di dalam rahasia‟.” baca: Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of Islam, (New York: Columbia University Press, 1981), h. 3 6 Abdul Hadi W.M, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 13 7 Ibid., h. 12
13
keadaan fana di dalam hakekat tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara instuitif, secara tidak rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang hakekatnya sukar diungkapkan dengan kata-kata, serta karakternya bercorak instuitif.8 Melalui penjelasan tersebut dapat di lihat bahwa tasawuf merupakan jalan keruhanian dalam Islam yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai makna hakiki tauhid. Sebagai jalan keruhanian ia dibina oleh para sufi yang berlandaskan tafsir dan penghayatan mereka terhadap ajaran-ajaran keruhanian serta Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain tasawuf adalah suatu disiplin keruhanian yang menghendaki penyempurnaan moral, pelaksanaan ibadah mendalam kepada Allah. Apa bila ini semua dapat dicapai maka lahirlah keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang memungkinkan terjadinya transformasi di dalam diri seorang salik dan timbulnya keinsafan yang dalam terhadap Wujud.9 2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali Nama lengkap Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad alGhazali. Ia dikenal sebagai al-Ghazali karena lahir di Ghazalah suatu kampung di Thuskhurusan, Persia. Al-Ghazali lahir pada 480H/1058M tiga tahun setelah kaum Saijuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ia meninggal hari senin, 14 Jumadil Akhir 505H/ 19 Desember 1111M.10 Imam al-Ghazali adalah seorang ahli filsafah dan sufi yang berjasa dalam usaha menempatkan tasawuf sebagai ilmu yang penting di antara ilmu-ilmu Islam lainnya. Ketajaman penanya sangat mengagumkan, begitu pula pengusaan ilmu dan kefalsafahannya sangat luas.11
8
Ibid., h. 19-20 Ibid. 10 Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf, Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008) h. 129 11 Hadi W.M, op. cit., h. 52 9
14
Esensi tasawuf al-Ghazali menurut Simuh adalah penghayatan fana dan makrifat. Penghayatan fana dan makrifat merupakan permulaan tarekat, sedang penyucian jiwa hanyalah lorong menuju tarekat. Di dalam ekstase
mistis
terjadi penghayatan makrifat, penghayatan langsung tentang Tuhan melalui hati. Selain itu menurut Simuh, penghayatan makrifat dalam pemikiran alGhazali adalah sebagai berikut: Penghayatan makrifat ini dilukiskan dalam munqidz seperti halnya Nabi sewaktu mi‟raj. Para sufi bisa berjumpa dengan para malaikat, ruh-ruh para nabi, dan bisa mendapat pelajaran dari mereka. Bahkan kemudian sampai pada penghayatan yang amat dekat dengan Tuhan, suatu penghayatan yang amat indah yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sehingga segolong sufi ada yang menghayal sampai ke pengalaman hulul, ittihad atau wushul kepada Tuhan.12 Dari pernyataan tersebut dapatlah kita lihat bahwa konsep penyatuan diri dalam konsep tasawuf al-Ghazali tidaklah berada dalam fase lahiriah/wuju melainkan salam tataran spiritual/ batiniyah. 3. Sastra Sufistik Sangat sedikit orang ketahui tradisi sufi sehingga menimbulkan banyak kesalah pahaman seperti contohnya hubungan antara sufisme dan Islam. Sering kali orang berfikir bahwa keduanya merupakan hal yang berbeda, padahal sufisme adalah jalan eksoterin Islam. Dapat dikatakan jika Islam adalah sebuah tubuh maka sufisme adalah jantungnya.13 Melalui penjelasan tasawuf sebelumnya, secara ringkas dan terbatas maka sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik, sebab kandungan sastra sufistik tiada lain ialah tasawuf. Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilih sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi sejak awal. Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan
12
Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), cet. 3 h. 13-14 13 Syeh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam (nilai-nilai universal tasawuf). (Yogyakarta:Pustaka Sufi, 2003), h. 21
15
dengan makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdotanekdot, kisah perumpamaan atau alegori dan puisi.14 Sastra sufistik adalah sastra transendental karena pengalaman mistik yang diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufistik mengabaikan dimensi social kehidupan. Ahli-ahli mistik sejati tidak mengabaikan dunia nyata, hanya saja hati mereka telah begitu terpaut dengan yang satu, yang kekal tidak berubah.15 Walaupun para sufi menulis dalam berbagai genre, pada umunya karyakarya mereka memiliki tema utama yang sama, yaitu cinta atau isyq. Tema cinta dipilih karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting di dalam ilmu tasawuf. Dalam sistem estetika sufi, cinta (mahabbah atau isyq) memiliki makna luas dan bersegi-segi. Cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq (kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Menurut imam alGhazali, cinta tidak mungkin ada tanpa makrifat, sebab orang hanya dapat mencintai apabila seseorang itu mengenal atau mengetahui sesuatu yang dicintainya. Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa kita meyakini realitas terdalam dan tertinggi segala sesuatu.16 Dalam gagasan al-Ghazali „isyq adalah cinta yang amat mendalam dan mengungguli segala sesuatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan, yang sebab itu sudah sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa terbit perasaan rindu kepada Tuhannya.17
14
Hadi W. M, op. cit., h. 9 Hadi W. M, Ibid., h. 26 16 Hadi W. M, Ibid., h. 35-36 17 Hadi W. M, Ibid., h. 53 15
16
B. PUISI 1. Pengertian Puisi Pencarian akan definisi puisi mungkin tidak akan pernah berakhir dan mencapai kata mufakat, dikarenakan sifat dari sebuah karya seni yang selalu mengikuti zamannya. Sebagai karya seni, puisi tentunya juga memiliki pola yang dinamis, sehingga tidak ada pengertian yang secara tetap. Hal yang serupa dikatakan pula oleh Riffaterre; ...pengertian puisi pun dari waktu ke waktu selalu berubah meski pun hakikatnya tetap sama. Perubahan pengertian itu disebabkan puisi sealalu berkembang karena perubahan konsep keindahan dan evolusi selera.18 Pengertian puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) puisi.19 Horatius dalam Melani Budianta dkk menyarankan dua hal yang harus ada bagi puisi, yaitu harus indah (dulce), namun pada saat yang sama, puisi harus menghibur dan mengajarkan sesuatu (utile).20 Lebih lanjut Suwardi Endaswara beranggapan keindahan tersebut dibedakan lagi pengertiannya menjadi tiga aspek yaitu: (a) keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang
18
Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. ke-3, h.1 19 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112. 20 Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI, 2006) cet. ke-3, h. 39
17
mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau tidak indah suatu karya dan (c) keindahan sederhana, yang terbatas pada panca indera.21 William Wordswoth dalam Melani Budianta dkk, memahami puisi sebagai suatu luapan spontan dari perasaan yang kuat—a spontaneous overflow of powerful feeling. Sementara itu, Roman Jacobson, seorang ahli linguistik dari Prancis, menekankan pada fungsi puitik (poetic funcion) teks, yakni sebagai sebuah fungsi yang mengarahkan segenap upaya dan perhatian unsur-unsur teks itu sendiri.22 Dalam pemikiran para sufi, puisi memiliki peran dan konsep yang berbeda. Dikarenakan bagi mereka puisi ialah ungkapan kelubuk rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami pencerahan transformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi yang ideal dalam konsep sufistik hadir untuk menyempurnakan kondisi ke manusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan.23 Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib. Ia berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga hati dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan intuitif.24 Akhirnya yang patut dicatat bahwa konvensi puisi selalu berubah dari masa ke masa di berbagai tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah teks diterima begitu saja sebagai puisi hanya karena penulisnya dalah seorang penyair, atau karena teks tersebut memiliki unsur-unsur puitik. Namun, seperti
21
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama, 2004), h.68. 22 Budianta, loc. cit. 23 Hadi W. M, op. cit., h. 34 24 Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.131.
18
dikatakan oleh Werren Wellek, fungsi puisi pada akhirnya adalah setia pada dirinya sendiri (fidelity to its own nature).25 Dengan kata lain, kita tahu bahwa kita sedang menghadapi sebuah puisi ketika menjadi acuannya adalah teks itu sendiri, dan bukan pengarangnya, atau pembacanya, atau masyarakat sezamannya. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. 2. Bentuk dan Struktur Fisik Puisi Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (a) perwajahan puisi, (b) diksi, (c) pengimajian, (d) kata kongkret, (e) majas atau bahasa figurative, dan (f) verifikasi. Semua unsur-unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh.26 a) Perwajahan Puisi, adalah pengaturan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret yang disebut larik atau barik. Setiap satu larik tidak selalu menderet yang disebut larik atau baris. Namun pengaturan dalam bait-bait ini sudah berkurang atau sama sekali tidak ada pada puisi modern atau puisi kontemporer. b) Diksi, adalah kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan kata juga berhubungan erat dengan latar belakang penyair. c) Imaji,
adalah
kata-kata
atau
mengungkapkan pengalaman
kelompok indrawi,
kata
yang
seperti
dapat
penglihatan,
pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga: imaji suara (audio), imaji penglihatan (visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). d) Bahasa
figuratif
(majas),
adalah
bahasa
kias
yang
dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi 25 26
Budianta, op. cit., h... Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 113
19
tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatik, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. e) Verifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)
Rima, adalah sedikit perbedaan konsep rima dengan sajak. Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi, sedangkan rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope, (2) bentuk intern pola bunyi, dan (3) pengulangan kata atau ungkapan.
Ritma dan Metrum, merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol bila puisi dibacakan. Ada ahli yang menyamakan ritma dengan metrum27
3. Bentuk Struktur Batin Puisi L.A Richards berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat unsur, (a) tema; makna (sense), (b) rasa (feeling), (c) nada (tone) dan (d) amanat; tujuan; maksud (intention) a) Tema atau Makna, menurut Mursal Esten “sebuah cerita rekaan membutuhkan tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.”28 Tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.29 b) Rasa, dalam puisi rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair. c) Nada, dalam puisi nada adalah sikap penyair terhadap pembacaannya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
27
Ibid., h. 113 28 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013), h.134. 29 Siswanto, op. cit., h. 124.
20
d) Amanat dan Tujuan, sadar atau tidak, ada tujuan yang mendorong seorang penyair untuk menciptakan puisinya. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair itu menciptakan puisi maupun dapat ditemui dalam puisinya30 C. SEMIOTIK 1.Pengertian Semiotik Secara singkat semiotik bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari tanda dan sistem tanda secara sistematik, dengan pengertian demikian tersimpul dua hal yang berhubungan, yaitu yang menandai dan ditandai, atau petanda dan arti tanda.31 Sementara itu filosof John Locke berpendapat referred to semtotfea, which he defined as 'the Doctrine of Signs, [...]; the business whereof, is to consider the Nature of Signs, the Mind makes use of for the understanding of Things, or conveying its Knowledge to others.32 Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotika meliputi analisis sastra dengan sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana memiliki makna. Dalam penelitian ini yang dibicarakan hanyalah semiotik modern yang mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Kedua tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik modern adalah dua orang yang hidup sezaman, bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu ini dengan nama
30
Siswanto, Ibid. h. 124-125 Atmazaki, Ilmu Sasta, Teorii dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 77 32 Bronwen Martin and Felizitas Ringham, Dictionary of Semiotics, (New York: CASSELL, 2000), h.1
31
21
semiologi, sedangkan Peirce menyebutnya semiotik (semiotiks) kemudian nama itu sering dipergunakan bergantian dengan pengertian yang sama.33 2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi) Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima. Semiotika yang ditawarkan Pierce ditujukan untuk mengembangkan kategori tanda, seperti membuat perbedaan antar ikon, indeks, dan simbol.34 “ikonis” dimana tanda
mirip dengan apa yang
diwakilinya (foto mewakili objek yang difoto); “Indeksikal”, di mana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api), dan “simbolis” , di mana, seperti halnya menurut Saussure, tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya.35 Pada pengembangan lebih jauh Pierce menjelaskan tentang adanya tiga unsur dalam tanda, yaitu: representamen, objek, dan interpretan hubungan ketiga unsur yang membentuk tanda ini, dapat terlihat pada bagan berikut objek
Resepentamen
interpretan.
Bagan Trikotomi Tanda Peirce
Kemudian dari trikotomi tersebut dibagi lagi menjadi tiga tahapan. Pada trikotomi pertama, hubungan antara representamen, Pierce membuat klasifikasi 33
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6, h. 119. 34 Peirce's work is devoted to the development of sign categories such as making a distinction between icon, index and symbol. Baca: Bronwen Martin and Felizitas Ringham, Semiotics Dictionaries, (New York: British Library, 2000), h.1 35 Terry Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) h. 145
22
tanda dalam tiga tahapan berdasarkan sudut pembentuknya, yaitu: Qualisign (yang membentuk kualitas), Sinsign, dan legisign (sesuatu yang berfungsi sebagai
tanda).
Kemudian
pada
trikotomi
yang
kedua,
Peirce
mengklasifikasikan tanda berdasarkan hubungan antara representamen dan objek. Ketiga anggota trikotomi itu adalah ikon, indeks, dan simbol. Pada trikotomi yang ketiga, Pierce membuat klasifikasi tanda dalam tiga tahapan berdasarkan hubungan antara interpresentamen dengan interpretan yaitu rheme, discent, dan argumen.36 Morris (1901-1979) adalah seorang pemuka semiotik Amerika. Teorinya berakar pada teori yang dikemukakan oleh Peirce, meskipun demikian pemikirannya tidak selalu sejalan dengan Peirce. Tidak seperti Peirce yang membagi proses semiosis triadic kepada sembilan jenis tanda, maka Morris membaginya kepada tiga jenis yaitu teori tentang tiga tataran semiotik yaitu, pragmatics, semantics, and syntactic. Selanjutnya Morris mendefinisikan ketiganya sebagai berikut; syntactics was the study of the relationships of signs to other signs, while semantics investigated the connections between signs and the objects to which the signs are applicable, and pragmatics ought to be devoted to the relationships between signs and their users or interpreters.37 Secara mendalam Morrism menjelaskan lagi: “Syntactics is, then, the consideration of signs and sign combination in so far as they are subject to syntactical rules. It is not interested in the individual properties of the sign vehiclen or in any of their relations except syntactical ones, i.e., relations determined by syntactical rules”.38
36
Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam Analisis Karya Sastra, (Depok: PT Komodo Books, 2014) h. 3-8 37 Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics, (London: British Library, 2001), h. 83 38 Charles Morris, Foundations of the Theory of Sign, (London: University of Chichago Press. 1970), h. 14
23
Oleh itu, sintaksis merupakan kesadaran tentang tanda dan kombinasi tanda selagi ia di bawah peraturan sintaksis. Ia merupakan kajian tentang penulisan tanda, mengkaji hubungan antara tanda-tanda seperti yang ditetapkan dan ditentukan oleh peraturan.39 Sementara itu untuk semantik, Morris menjelaskannya sebagai berikut semantic: comprehension of the intended meaning of the sign;.40 Dengan kata lain semantik adalah studi tentang “hubungan tanda dengan objek yang diacu” Mengenai pragmatik menurut Charles Morris: “The term`pragmatics‟ has abviously been coined with reference to the term `progmatism‟. It is a plausible view that the permanent significance of pragmatism lies in the fact that it has directed attention more closely to the relation of signs to their users …..”.41 Dalam hal ini Morris melakukan penafsiran kepada tanda dikenali sebagai organisma, maka `makna tanda‟ pula merupakan suatu kebiasaan dari pada organisma untuk bertindak balas Kemudian definisi ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Seorang ahli semiotik lainnya, Carnap mengemukakan perbedaan tersebut sebagai berikut: apabila kita menganalisis bahasa, tentu saja kita akan menaruh perhatian pada ujaran-ujarannya. Namun, kita tidak selalu berurusan dengan pengujar dan acuan. Meskipun faktor-faktor ini selalu ada bila bahasa digunakan, kita dapat saja tidak melibatkan salah satu atau kedua faktor tersebut. Itulah sebabnya kita membedakan ranah penelitian dalam bahasa. Apabila dalam suatu penelitian ada pengacuan secara eksplisit pada pengujar atau untuk menempatkannya dalam istilah yang lebih umum mengacu pada pemakaian bahasa, maka kita perlu memasukan hal tersebut ke ranah pragmatik. Apabila kita tidak melibatkan pemakaian bahasa dan hanya menganalisis ujaran dan acuannya, kita berada dalam ranah semantik, dan akhirnya, bila kita tidak juga melibatkan acuan dan pemakai bahasa, maka kita berada dalam ranah sintaksis. Keseluruhan ilmu pengetahuan
39
Ibid., h.15-16 Daniel Chandler, Semiotics: Basics,edition 2 (New York: Routledge, 2007), h.196 41 Morris, op. cit., h.29 40
24
tentang bahasa, yang terdiri dari ketiga ranah yang telah disebutkan tadi, disebut semiotik.42 Maka dari itulah penyajian teori semiotika dalam penelitian ini, teori Chales Sanders Pierce tidak digunakan semuanya, tetapi hanya ground nya saja. Teori Morris yang lebih banyak digunakan dalam penelitian ini. 3. Aspek Teks Sastra (Puisi) Sama halnya Charles Morris yang membagi semiotika menjadi tiga tataran analisis, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik, sebuah teks sastra menurut Van Luxemburg dkk apabila dilihat sebagai tanda bahasa, atau sebagai kumpulan tanda, yang mempunyai berbagai hubungan, memiliki tiga aspek: pertama, sintaksis teks, yaitu mengkaji hubungan tanda yang satu dengan tanda yang lain; kedua, semantik teks, yaitu mengkaji tanda dengan maknanya; dan ketiga, pragmatik teks, yaitu mengkaji hubungan tanda dengan pemakai tanda.43 Sehingga berdasarkan pendapat tersebut, sebuah teks termaksud teks puisi memiliki tiga aspek yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. a)
Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi Menurut Van Luxemburg dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur
sintaksis yang lain dari pada struktur sintaksis dalam bahasa sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibikin-bikin urutan kata dibalikan demi rima atau metrum. Van Luxemburg pun membagi pola-pola sintaksis menjadi dua, yaitu; pertama, kaidah-kaidah sintaksis diabaikan dan yang kedua,
pola-pola
tertentu
diulang-ulang
sehingga
terjadi
keteraturan
tambahan.44 Dari pendapat tersebut maka analisis pada tataran ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama, analisis bentuk dan unsur bunyi dalam puisi, yang kedua, analisis aspek sintaksis (berdasarkan rangkain kalimat)
42
Zaimar, op. cit., h. 32-33 43 Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram, (Jakarta: Intermasa, 1989), h.51-53 44 Ibid., h 192
25
1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi Secara sepintas, ciri-ciri sebuah puisi dapat di lihat dari bentuk puisi, yang dimaksudkan sebagai perwajahannya. Perwajahan atau tipografi pada puisi adalah penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret yang disebut baris atau larik. Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan satu pernyataan, dan tidak selalu diawali dengan huruf kapital dan di akhiri dengan tanda baca. Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk satu bait. Sebuah bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.45 Selain analisa tataran tipografi, pada analisis sintaksis juga dibahas permasalahan bunyi yang merupakan unsur sangat penting dalam puisi. Unsur yang terdapat didalamnya seperti nada dan irama menjadi pembeda dari bentuk lainnya. Terlebih lagi beberapa penyair Indonesia (khususnya dalam hal ini Sutardji Calzoum Bachri) menganggap puisi sebagai mantra.46 Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan (atau mendekati pengulangan) bunyi, rima yang mempunyai fungsi efoni.”47 Wellek dan Warren pun menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri.48 Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau dikontraskan oleh rima.49 Puisi terdiri atas rima, ritme dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup; onomatope (tiruan terhadap bunyi), bentuk intern pola bunyi (aliterasi, 45
Siswanto, op. cit., h.113 Zaimar, op. cit., h. 50 47 Rene Wellek & Austin Warren, Buku Teori Kesusastraan. Terj.dari Theory of Literature oleh Melani Budianta , (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h.199 48 Ibid, h. 198. 49 Ibid. h. 17 46
26
asonansi, persamaan awal, sejak berselang, puisi perpengaruh, puisi penuh, repetisi bunyi dan sebagainya), pengulangan kata. Dalam onomatope, yang berkaitan dengan vocal. Perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang menunjukan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi disebut eupfony, yakni bunyi e, i dan a. Sedangkan untuk bunyi-bunyi yang berat menekan, menyeramkan, mengerikan, seolah-olah desah bunyi burung hantu disebut cacophony, yakni bunyi o, u, e dan au.50 Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kesan bunyi ini sangat tergantung dari konteks, dan hanya menopang makna yang sudah ditemukan dengan penelitian unsur-unsur lainnya. 2) Analisis Aspek Sintaksis Menurut Ramlan sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan suluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. 51 Selain itu Abdul Chaer juga mengatakan hal serupa, menurutnya pada satuan sintaksis, dibatasi menjadi lima macam satuan sintaksis, yaitu kata, frase,
klausa,
kalimat, dan wacana. Secara hierarkial, maksudnya, kata merupakan satuan terkecil yang membentuk frase; lalu frase membentuk klausa; klausa membentuk kalimat; dan kalimat membentuk wacana. Dalam hal ini berbeda dengan paham tata bahasa tradisional yang mengatakan bahwa kalimat adalah satuan tersebesar dalam kajian sintaksis.52 Dalam penelitian ini, masalah analisis aspek sintaksis yang dijelaskan dibatasi pada kalimat atau kajian pola kalimat. Jika dikaitkan ke dalam penciptaan puisi yang menggunakan bahasa sebagai medianya, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar hasil kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya
50
Siswanto, op. cit., h.122 M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis (Yogyakarta: CV. Karyono, 2005), cet ke-5, h. 18 52 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 37
51
27
mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”53 Ketika membicarakan apa itu kalimat, maka kita akan dihadapkan oleh beberapa definisi yang dilakukan orang. Abdul Chaer mendefinisikan kalimat sebagai satuan sintaksis yang disusun oleh konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.54 Menurut Ida Bagus Putrayasa, yang dimaksud dengan kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir naik atau turun.55 Dalam mengkaji teks puisi, teks sebagai kalimat tidak hanya dikaji dalam wujud tulisan, yang harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, seru, dan tanya. Teks diperlakukan pula dalam wujud lisan. Sebuah larik puisi di perlakukan sebagai kalimat dengan mempertimbangkan konteks ketika diucapkan dengan suara naik turun, keras lembut, disela jeda, dan diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi bunyi ataupun proses fonologi lainnya. Jenis-jenis kalimat yang dibicarakan dalam penelitian ini dibatasi pada jenis kalimat berdasarkan klausanya, yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu; kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa atau satu konstituens subjek dan predikat.56 Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, atau bisa dikatakan sebagai jenis kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas. Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu; kalimat majemuk setara (gabungan kalimat tunggal yang unsurnya tidak ada yang dihilangkan), kalimat majemuk rapatan (gabungan kalimat tunggal yang unsur-unsurnya sama dirapatkan), dan kalimat majemuk bertingkat (kalimat 53
Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3), (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h. 26. 54 Chaer, op. cit., h.44 55 Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.20 56 Ibid., h. 26
28
tunggal yang dibentuk menjadi sebuah kalimat, dan kalimat bentukan ini digabungkan dengan sisa kalimat sebelumnya).57 Pengertian klausa menurut Ramlan adalah satuan gramatikal yang terdiri dari subjek, predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan, maupun tidak.58 Selain itu klausa juga dapat digolongkan berdasarkan kategori atau frase yang mendukung fungsi predikat, yaitu klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan klausa depan.59 Pendapat-pendapat yang diutarakan oleh beberapa ahli dalam penelitian ini akan dijadikan acuan dalam pengertian yang umum. Dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah teks puisi dengan segala keunikannya. Selain itu, penentuan batas antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam teks puisi yang dianalisis akan didasarkan pada kelengkapan makna. 3)
Aspek Sematik untuk Analisis Puisi Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris/semantics
dan bahasa Yunani sema (nomina) “tanda”; atau dari verba semaino “menandai”, “berarti”.60 Namun pembicaraan masalah semantik teks sastra dibatasi pada denotasi dan konotasi, gaya bahasa dan isotopi. Pembahasan masalah tersebut dilakukan satu persatu. 1) Denotasi dan Konotasi Denotasi adalah penunjuk yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu. Sehingga dapat dikatakan kata denotatif memiliki sifat yang objektif karena makna yang terkandung dalam kata sifatnya pasti atau sudah pasti.61 Menurut Kridalaksana makna konotatif ialah makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau 57
Ibid., h. 55-59 Ramlan, op. cit., h. 79 59 Putrayasa, op. cit., h 13 60 Fatimah DjajaSudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah ilmu makna), (Bandung: Refika, 1999), cet ke-2, h.1 61 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 84-85 58
29
ditimbulkan pada pembicara dan pendengar.62 Sehingga dapat dikatakan memiliki sifat yang subjektif karena makna yang terkandung bersifat tambahan.63 Secara fundamental, puisi bertopang pada proses konotasi. Melalui proses inilah sebuah kata dalam konteks tertentu menjadi penanda dari petanda yang lain: penanda disini tetap memegang makna denotatifnya, namun selain itu ia (penanda tersebut) mempunyai nilai semiotik atau simbolik yang baru. Untuk puisi, analisis semantik dilakukan antara lain terhadap kosa-kata, yaitu pilihan kata dan konotasi yang ditimbulkannya. Namun sekali lagi, makna yang dipilih tidaklah semena-mena dikarenakan sangat tergantung dari konteks.64 Pemahaman denotasi dan konotasi kata merupakan masalah yang mendasar bagi penyair dalam mencipta puisi, dan berdasarkan pengetahuan itu penyair memanfaatkan bahasa/kata-kata sehari-hari untuk mengungkapkan pengalaman batinnya. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Werren dan Wellek sebagai berikut: “Bahasa puitis mengatur, memperkental sumber daya bahasa sehari-hari, dan kadang-kadang sengaja membuat pelanggaran-pelanggaran untuk memaksa pembaca untuk memperhatikan dan menyadarinya”65 Selain itu dalam kegiatan menganalisis, para penganalisa harus memahami pula konotasi dan denotasi kata, karena melalui kata-kata tersebut teks puisi dapat ditentukan. Sehingga pemahaman denotasi dan konotasi kata atau tanda merupakan hal penting dalam kegiatan analisis teks sastra. Pada hakekatnya puisi ingin menggambarkan sesuatu secara tajam tetapi sekaligus juga banyak artinya, maka tiap kata dan rangkaian kata yang
62
Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terb uka, 2007) cet. 3, h.5.21 64 65
Zaimar, op. cit., h. 67 Rene Wellek & Austin Warren, op. cit., h.17
30
digunakan penyair. Kata-kata pilihan penyair yang demikian itu disebut arti konotasi dan denotasi dari kata.66 Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada adanya atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata, terutama yang disebut kata penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata tersebut memiliki makna konotatif.67 2) Gaya Bahasa dan Bahasa Kiasan. Secara sederhana gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.68 Sementara itu Gorys Keraf mengartikan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).69 Ada pun gaya bahasa yang akan dibahas pada penelitian ini hanya berdasarkan struktur kalimat. Adapun gaya bahasa yang dimaksud yaitu; Gaya bahasa klimaks (gaya bahasa yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya), anti klimaks (kalimat yang strukturnya mengendur), paralelisme (berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang sama dalam bentuk gramatikal), antitesis (mengandung gagasan yang bertentangan), dan repetisi (perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang penting)70 Selain itu untuk mendapatkan unsur kepuitisan yang lain, ialah dengan menggunakan bahasa kiasan (figuratif). Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun begitu mempunyai satu sifat hal yang umum bahasa kiasan mempertalikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan yang lain.71
66
Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), h. 78 67 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet ke-2, h. 65 68 Zainuddin, op. cit., h. 51 69 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia 2001), cet.11, h. 113 70 Ibid., h. 124-127 71 Pradopo, op. cit., h. 61-62
31
Ada pun pada garis besarnya gaya bahasa itu dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu, (1) gaya perbandingan yang didalamnya metafora, personifikasi, asosiasi, metonimia, hiperbola, alusio. (2) gaya sindiran yang di dalamnya ironi, sinisme, dan sarkasme. (3) gaya penegasan yang di dalamnya epifora, ihversi. (4) gaya pertentangan atau paradoks.72
3) Isotopi, Motif dan Tema Kata isotopi berasal dari kata Yunanni yaitu isos dan topos yang masingmasing berarti “sama” dan “tempat”. Konsep isotopi dikemukakan oleh Graimas dan disempurnakan oleh ahli lain. Konsep itu timbul karena adanya makna kata yang bersifat polisemis, dan adanya kebutuhan analisis wacana sastra pada tataran suprakalimat73. Isotopi adalah wilayah (medan) makna terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Kata-kata mempunyai komponen makna yang sama dapat membentuk isotopi. Isotopi yang dominan akan mendukung sebuah motif dan keseluruhan motif mendukung tema. Dengan adanya analisis isotopi pada penelitian ini, penentuan tema mempunyai dasar yang kuat. Perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud dengan motif di sini adalah pengulangan gagasan tertentu dan tema adalah gagasan yang terdapat dari awal hingga akhir teks. Dengan demikian, isotopi, motif, dan tema merupakan suatu hierarki makna74. Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan M.P Schmitt dan A. Viala “motif dan tema digunakan dengan makna yang sama dengan yang digunakan dalam komposisi musik, yaitu pada unsur-unsur yang berulang”. Motif adalah isotopi kompleks yang terbentuk dari beberapa motif .75
72
Sumardjo, op. cit., h. 93-96 73 Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: ILDEP, 1990) h. 113 74 Zaimar, op. cit., h. 84 75 Zaimar, op. cit., h. 136
32
c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi Horatius dalam Art Poeticanya mengatakan tentang tugas atau fungsi penyair sebagai berikut: Aut prodesse volunt aut delectare poetae Aut simul et iucunda et idonea dicere vitae (tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan) Dalam kutipan ini terungkap pendekatan terhadap sastra yang disebut pragmatik dan dalam sejarah kritik sastra sangat berpengaruh.76 Selain itu pragmatik dalam ilmu bahasa merupakan kajian tentang kemampuan pemakaian bahasa untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang disesuaikan bagi kalimat-kalimat itu77. Pendekatan pragmatik sebagai salah satu kajian sastra menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya sastra.78 Pendapat serupa pun diungkapkan oleh Van Luxemburg dkk, yang mengatakan setiap teks sastra mempunyai pembicara sendiri. Pembicara dalam teks puisi disebut si aku, si aku lirik atau subjek lirik. Oleh karena teks puisi bersifat monolog maka pembicara dalam kebanyakan puisi tidak saja berfungsi sebagai penutur tetapi juga menjadi tokoh sentral yang menjadi pokok pembicaraan.79 Pendengar atau yang diajak bicara dalam teks puisi beraneka ragam. Masalahnya sama dengan aku lirik, ada yang ekplisit, dan ada pula yang implisit. Pendengar dalam teks puisi tidak terbatas pada manusia, tetapi juga dapat Tuhan, dewa, alam, angin, dan sebagainya
76
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), cet. 3 h. 151 Atmazaki, Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 69 78 Ibid., h. 68 79 Van Luxemburg dkk, op. cit., h.74 77
33
Menurut Van Luxemburg dkk, apabila aku lirik berbicara terhadap sesuatu yang tidak mengharapkan jawaban disebut apostrofe hal ini dijelaskan oleh Van Luxemburg sebagai berikut; Apostrofe dapat juga dianggap sebagai metode penggubahan terpenting bagi puisi lirik. Dengan mengajak bicara sesuatu yang tidak bisa hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu dihadirkan , dihidupkan, dan dimanusiakan. Dengan demikian ia menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam, namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaanya ....80 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pembaca karya sastra, berdasarkan moder semiotik, berada dalam berbagai tegangan; pertama tegangan antara sistem sastra dan penerapan sistem secara individual, yang tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur bahasa; kedua tegangan antara sistem sastra dan karya individual, yang pada satu pihak merupakan perwujudan sistem sastra, penerapan konvensi dan kompetensi yang dikuasainya, sekaligus merupakan penyimpangan dari dan pemberontakan terhadap sistem itu sehingga pembaca dikian-kemarikan oleh sistem dan karya individual.81 D. Pembelajaran Sastra 1.
Sastra dalam Pembelajaran Hari ni Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat
lantaran dianggap „seorang nabi‟. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-kesannya sebagai berikut: Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan politikus, mereka menjadi para pemimpin spiritual yang memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di 80 81
Ibid., h. 80 Teeuw, op. cit., 3 h. 149
34
zaman kita. Ini turut menjelaskan mengapa diperlakukan sangat baik oleh masyarakat.”82
penulis
Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang menjumpai banyak kesulitan, entah karena minat siswa yang kurang, dengan alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk mengajarkannya. Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu. Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi modern.83 Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya yang „ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik
dengan berusaha
memahami dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu yang membingungkan.84
82
Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul “Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h.25. 83 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44. 84 Ibid, h. 46.
35
Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis dan gaya bahasa yang kompleks.85 Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek pembelajaran bahasa dan sastra. 2.
Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada
hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di bawah ini. Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut
Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”86 Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca 85 86
Ibid, h.48. Ibid.,h.38.
36
dengan membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi. Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi. Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”87 Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan. Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapatpendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai berikut: “Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit.”88
87
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515 88 Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978), h. 4.
37
Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswasiswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting dibanding karya sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan pengalaman yang berbeda ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga pada akhirnya meningkatkan minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia pembelajaran sastra. Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci otak. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya. Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan sebagainya.”89 Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia.”90 Rahmanto beranggapan
89 90
Ratna, op.cit., h. 438 Rahmanto, op.cit., h. 24
bahwa
38
pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna mengasah keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika pada kepribadian si anak didik.
D. Hasil Penelitian yang Relevan Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna menopang penelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Penelitian-penelitian yang mengulas puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat ditinjau dari beberapa penelitian skirpsi. Berikut ini, tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi Sutadji Calzoum Bahcri bisa dilihat dalam karangan Prasetyo Heru dari Universitas Negeri Semarang dengan judul “Pencarian Hakikat Ketuhanan dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachr”. Skripsi. Prasetyo Heru didasarkan atas
pencarian hakikat ketuhanan yang
muncul pada puisi-puisi Sutardji Colzoum Bachri dalam kumpulan puisinya O Amuk Kapak. Dari hasil analisis pada 10 puisi Sutardji, dapat diketahui bahwa puisi-puisi tersebut mengandung makna religi dan mengarah pada makna pencarian hakikat ketuhanan. Pencarian hakikat ketuhanan yang dimaksud berupa simbol pencarian kekuatan, daya pikir, dan keyakinan dalam memahami ajaran religi. Penelitian tentang puisi Sutardji yang lain dikarang oleh saudara Dody Mardanus dari Universitas Indonesia dengan judul Unsur Mantra Dalam Kumpulan Puisi O Sutardji Calzoum Bachri: Tinjauan fungsi. Berlandaskan pada Kredo Puisi Sutardji yang mengatakan bahwa berawal dari mantra, maka pada penelitian ini Dody mencari unsur-unsur mantra yang terdapat pada
39
beberapa karya Sutardji. Ada pun metode deskriptif dan analisis yang digunakan dengan mengelompokan beberapata puisi Sutardji ke beberapa kategori, tahap berikut menemukan pertalian un_sur mantra yang terdapat di dalam teks mantra dan puisi, dan tahap terakhir membandingkan antara mantra dan puisi sebagai sesama bentuk kesenian dalam keseluruhan segi ekspresinya. Pelaksanaan bingkai kerja di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa puisi Sutardji sangat intens memanfaatkan dan mencernakan secara impresif unsur-unsur mantra, baik bagi kepentingan kualitas puitik maupun untuk kegunaan pembacaan puisi yang menandai tingkat keparipurnaan ekspresi puisi- puisinya sebagai sarana komunikasi estetis antara sesama manusia. Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya mungkin bagi penulis untuk membuat skripsi yang berjudul “Dimensi Sufistik Dengan Pendekatan Semiotik pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bahcri Dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” ini belum ada yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
BAB III PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI
A. Biografi Singkat Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bahcri buka saja dianggap sebagai salah satu penyair yang terpenting di Indonesia, namun ia sering juga dianggap sebagai pembaharu estetika perpuisian Indonesia setelah Chairil Anwar dan bersamasama Goenawan Mohamad, Iwan Simatupang, Danarto, Umar Kayyam, Sapardji Djoko Damono dan penulis terkemuka lainnya merupakan pelopor dari pada “kesadaran baru” dalam sastra modern Indonesia.1 Sebagai penyair nama Sutardji Calzoum Bachri sudah menjadi bagian yang begitu melekat dalam khazanah sastra Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri dalam khazanah sastra Indonesia adalah el libertador alias sang pembebas. Ia telah menjadi salah satu ikon penting dalam perpuisian Indonesia. Puisi-puisinya telah dikutip dan diambil untuk berbagai kepentingan, mulai dari tulisan ilmiah hingga demonstrasi politik, bahkan disablonkan dalam Tshirt anak-anak muda. Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juli 1941. Ayahnya Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah, yang sejak masa remajanya mengembara ke Riau, menjabat sebagai Ajun Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementerian Dalam Negeri RI di daerah Tanjung Pinang, Riau (Tambelan). Ibunya bernama May Calzoum berasal dari Riau (Tambelan).2
1
Abdul Hadi W.M, “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”, Harian Umum Horison, Jakarta, 19 Juni 1975, h. 5 2 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK (Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet. 4., h. 110
40
41
Pada tahun 1947 Sutardji masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau3. Setelah lulus SMA Sutardji melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Bandung. Ketika menjadi mahasiswa itulah Sutardji mulai intens dalam dunia sastra. Sutardji mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, dan mulai dari situlah puisi-puisinya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.4 Selain itu bersama dengan mahasiswa lainnya, Sutardji aktif sebagai redaktur di Indonesia Ekspress dan Duta Masyarakat, koran ini dikenal sering memmuat tulisan-tulisan kreatif dan juga kritis menentang pemerintahan.5 Kehadirannya di dunia sastra mulai cukup diperhitungkan ketika ia menghadirkan perombakan dan inkonvensionalisasi di bidang puisi (bukan cuma penulisan, tetapi sekaligus pembacaan). Perombakan itu ia tegaskan dengan mengeluarkan kredo kepenyairan (1973) yang ingin melepaskan kata dari beban makna, yang kemudian dari situlah ia dikenal sebagai penyiar mantra. Hal ini ditegaskan dengan diterbitkannya antologi O, AMUK, KAPAK (Pustaka Sinar Harapan, 1981). Sutardji Calzoum Bachri hadir di tengah perpuisian Indonesia dengan kehebohan yang besar. Kehebohan pertama, tentu saja diakibatkan oleh kredonya yang mau membebaskan kata dari beban makna. Dalam tulisannya “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam sketsa (1982) Dami N. Toda menyatakan; bahwa selama 30-an tahun terakhir, wawasan estetika perpuisian Indonesia dirajai oleh wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar, yakni asas yang menolak seni improvisasi. 3
Jamal D Rahman dkk, Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan (Jakarta: Komodo Books, 2010), hlm:157 4 Sutardji. loc. cit 5 Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri, (Tangerang: INDONESIA TERA, 2007), hlm: 504
42
Menciptakan puisi harus dilakukan dengan penuh kesadaran memilih kata. Selama 30-an tahun itu, tidak ada yang menantang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar. Namun pada 1972, di Bandung, meledak bom yang dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri, berupa kredo puisinya yang antara lain berisi bahwa kata bukanlah alat pengantar pengertian. Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Oleh karena itu, puisi-puisi Sutardji dapat disebut sebagai “puisi anti kata” atau “puisi anti bahasa”6 Tak lama kemudian muncul kehebohan kedua, Sutardji mengumumkan dirinya sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sesungguhnya gelar presiden penyair kepada Sutardji bukanlah pemberian gelar dengan penganugrahan formal. Awalnya hanya berupa gurauan antar sesama pernyair, yang di dalamnya termaksud Sutardji kira-kira tahun 1970-an awal.7 Perdebatan mengenai puisi-puisinya meramaikan dunia sastra pada penghujung tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Kehebohan yang ketiga, ia muncul dalam pembacaan puisi dengan amuk yang meradang, dan menerjang. Jika Chairil Anwar yang perlente demikian populer sebagai sosok binatang jalang, maka Sutardji yang penampilannya jauh dari necis yang benar-benar menghadirkan sosok binatang jalang itu.8 Berbeda dengan yang lainnya, ketika membacakan puisi-puisinya Sutardji selalu menyiapkan sebotol bir, gelas, dan sebuah kapak. Sehingga nama Sutardji pun mencuat sebagai sosok penyair dekade tujug puluhan akrab dengan bir.9 Keterlibatanya di dalam peta perpuisian Indonesia tertulis di dalam sejarah. Namun ia sebenarnya tidak membatasi diri berkreasi dalam satu genre penciptaan. Ia juga menulis cerpen dan sempat dipublikasikan di berbagai media (barangkali karena “kebesarannya” di dunia puisi atau sekedar kendala
6
Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta: PT Bunda Karya, 1986), cet. 3, h.175 7 Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h.778 8 D. Rahman dkk, op. cit., h. 160 9 Zaenuddin H.M , “Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem”, Harian Umum Pelita, Jakarta, 5 Juli, h.5
43
teknis pendokumentasian, cerpen-cerpennya berlalu hampir tanpa dibicarakan orang).10 Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri: 1.
O (Kumpulan Puisi, 1973)
2.
Amuk (Kumpulan Puisi, 1977),
3.
Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisinya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara 11
lain : 1.
Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2.
Writing from The Word (USA),
3.
Westerly Review (Australia),
4.
Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5.
Ik Will nog dulzendjaar leven, negen modern indonesische (1979)
6.
Ajip Rosidi (editor), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)
7.
Parade Puisi Indonesia (1990)
8.
Majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36 & 37 (1997)
Selain itu, sastrawan yang terkenal sebagai Presiden Penyair Indonesia juga pernah meraih berbagai penghargaan sastra yaitu:
10 11
1.
SEA Write Award (1979)
2.
Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakartan 1997-1998 (1998)
3.
Anugrah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998)
4.
Hadiah Seni Pemerintah RI (Menteri Kebudayaan dan Pendidikan)
Bachri, op. cit., h. 504 Bachri. loc cit.
44
5.
Anugrah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000)
6.
Anugrah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam (2006)
Pengabdiannya dalam bidang sastra diwujudkannya dengan menjadi redaktur sastra, di antaranya di majalah Horison, dan rubrik budaya bulanan Bentara di harian Kompas. Tapi, keduanya sudah ia tinggalkan sejak sekitar tahun 2003.
B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri Ketika membicarakan tentang konsep puisi dimata Sutardji mungkin akan dipertemukan dengan sebuah pola yang diluar konvensi. Pada awalnya banyak hal yang membuat para kritikus menolak kehadiran puisi-puisinya dikarenakan tidak pantas disebut sebagai puisi (tidak sesuai konvensi puisi pada masanya). Sampai akhirnya Sutadji memilih untuk menjelaskan sendiri tentang puisinya. Sutadji Calzoum Bachri mengungkapkan bahwa menulis baginya adalah suatu upaya untuk mengucap, suatu kata kerja yang memiliki makna khusus dalam kebudayaan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu, jika seseorang merasa atau dirasakan melakukan kegiatan hal yang sia-sia, kehilangan kesadaran pada nilai-nilai hidup, maka ia selalau mengupayakan diri atau dianjurkan pada keluarga atau para sahabat untuk mangucap, “mangucap mengucaplah kau ber-istigfar dan menyebut nama-nama Tuhan-dan dengan mengucap, ia diharapkan biasa melepas dari kehidupannya yang sia-sia dan akan kembali pada kesadaran diri sebagai manusia yang harus menjalani hidup yang bermakna”.12 Sutardji bahkan sudah memulai pemikirannya akan posisi makna jauh ketika ia kanak-kanak. Pada pengantar tersebut kita dapat merasakan bagaimana kata-kata menjadi tidak terlalu penting, namun “khasiatlah” yang
12
Bachri, op. cit.., h. vii.
45
sejatinya ia utamakan. Hal yang demikian mungkin menjadi cikal bakal akan kredo puisi yang dia tuliskan.13 Penciptaan Kredo Puisi yang dilakukan Sutardji memang tidak lazim dilakukan oleh penyair pada umumnya. Pencitaan Kredo Puisi ia lakukan dengan tujuan mempermudah pembaca dan kritikus untuk memahami pesan yang ingin disampaikannya. Terlebih lagi tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk puisi yang ia bawa memang kontemporer, sehingga belum ada konvensi yang kuat untuk memahami dan mengkajinya. Hal ini terlihat dari tulisan Sutardji dalam salah satu esainya Yakin dan sadar bahwa tidak ada kritikus walaupun yang berwibawa sekalipun pada waktu itu, mampu berapresiasi dan memahami kumpulan puisi saya O pada pertama kali terbit di tahun 1970-an, maka saya tuliskan kredo untuk itu. Penyair tidak perlu mematikan diri jika karyanya selesai ditulis atau diterbitkan, ia harus hidup dengan komentar, visi tentang karyanya untuk menolong para kritikus agar tidak mati atau pingsan dengan kemunculan karyanya Suatu karya yang sangat di luar konvensi cenderung bisa membunuh kritikus yang mapan konvensional, namun akan cenderung pula menciptakan kritikus baru. Maka, komentar, kredo, sikap, dan visi pengarang perlu ditampilkan, untuk membantu kritikus konvensional bisa terus hidup dengan memperluas wawasannya atau pun untuk merangsang lahirnya para kritikus baru14 Pertama adalah sikapnya memilih mantra sebagai nafas puisinya “Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera”. Ya setidaknya itu yang dikatakan Sutardji dalam Kredo Puisinya Pada sebuah wawancara, Sutardji memberikan alasannya memilih mantra sebagai gaya perpuisinyanya; “Pertama, Mantra itu pengucapannya lain. Secara fisik mantra sudah merupakan puisi yang kalau menyebutkannya bisa 13
Untuk Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat dilihat di buku: Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutradji Calzoum Bachri, (Jogjakarta: INDONESIA TERA, 2007), h. 3-4 14 Ibid., h. xvi
46
menimbulkan sihir dan daya pukau. Mantra itu mengucap, seperti diyakini dalam keadaan apapun mengucaplah, ketika akan mati mengucaplah, ketika mabuk pun mengucaplah… Kalau di daerah asal saya ada mantra, ya saya pilih mantra, dan mengucaplah kata yang bukan sesuatu penjelasan tapi yang mempunyai efek. Punya sesuatu kekuatan bukan hanya alat menjadi alat pengucap semata. Ini yang menarik perhatian saya untuk menggunakan mantra”15 Selain itu, ketika diwawancarai oleh Leon Agustaf, Sutardji mengatakan, “puisi harus dikembalikan kepada mantera” jangan ditafsirkan secara harfiah semata. “kalau cuma begitu dia akan kering”. Yang pokok ialah menyerap sifat sugestif dari mantera. Menangkap ritmenya dan ekspresinya yang tajam.16 Hal serupa juga dikatakan Nyoman dan Umar Yunus yaitu: “Kedekatan puisi-puisi Sutardji bukan saja karena sifat misterinya tetapi tampak pula dengan jelas dalam bentuknya. Pengulangan kata yang sama pada awal tiap baris merupakan ciri bentuk yang paling menonjol dalam puisi-puisi Sutardji”.17 Ya sebagai kekhasan mantra yang lebih mengutamakan kekuatan efek pengulangan bunyi pada kata, sehingga menimbulkan efek tersendiri bagi pembacanya. Pengulangan kata-kata yang sama menimbulkan intensitas bunyi yang dapat menjelmakan kekhusukan. Inilah dasar sebuah mantra yang juga menjadi dasar bagi puisi Sutardji. Selain itu melalui mantra Sutardji ingin menyalurkan perlawanan metafisiknya terhadap intelektualisme dan rasionalisme yang mendasari peradaban modern yang menindas. Perlawanannya itu secara simbolik dinyatakan dengan hasratnya untuk melakukan pembebasan kata dari beban idea dan pengertian. Hal ini terlihat di salah satu kolom Republika, Sutardji mengatakan; 15
Yos, Sutardji Calzoum Bachri: “Bangsa yang Besar perlu Trial and Error”, Harian Umum Republika, Jakarta, 16 Maret 1998, h. 2 16 Leon Agusta, “Sutardji Tentang Sajak2 Barunya: Upaya Menangkap Tuhan”, Harian Umum SIWALAN, Jakarta, 24 Januari 1970, h.10 17 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya, Jumat, 16 Desember 1977, h.4
47
saya melihat banyak puisi pada waktu itu hanya membawa ide dan gagasan. Yang menurut saya tak berjiwa, tak hidup. saya kesal dengan puisi yang isinya cuma “kemerdekaan adalah … dst”. Saya ingin membuat puisi yang lain. Ketika saya mulai membuat puisi, saat itu kredo puisi tumbuh bersama.18 Yang kedua adalah pandangan bahwa kata harus dibebaskan dari beban makna. Banyak orang yang terlalu terpaku oleh kata “membebaskan” dan kata “makna”, sehingga menganggap Sutardji ingin “membebaskan kata dari makna”. Kata “beban” dalam kredo Sutardji sering diabaikan. Akan menjadi berbeda jika kredo itu diartikan sebagaimana mestinya, yakni ingin “membebaskan kata dari beban makna”. Kata tanpa pengertian juga tidak mungkin. Sebuah puisi yang hanya terdiri atas rentetan kata tanpa pengertian semacam itu merupakan puisi yang tidak bisa dianggap berhasil atau gagal. Dengan demikian, maka yang dimaksud Sutardji dengan pembebasan kata adalah pembebasan kata dari hubungan sintaksis, dari hubungan semantik dan dari hubungan morfologi yang biasa dan asing. Sutardji Calzoum Bachri banyak mempergunakan penyimpanganpenyimpangan dari tata bahasa normatif dalam puisi-puisinya untuk mendapatkan arti baru dan ekspresivitas karena kepadatan atau “keanehan”nya, yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyiar-penyair sebelumnya. Penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan himbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa mengubah
bentuk
morfologisnya.19
Sikap
tersebut
diakuinya
dari
pernyataannya pada sebuah wawancara; ..Dari situ saya lantas berani melakukan yang paling aneh yang mungkin dianggap hal yang baru pada saat itu bagaimana gramatikal itu saya main-mainkan, malah kata kerja menjadi kata benda, kata sifat menjadi kata keadaan, kata penghubung bisa jadi keta benda. Karena 18
Yos, loc. cit. 19 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), cet: ke 12, h. 106
48
mempermainkan bahasa itu adalah naluri yang membuat saya tak merasa takut salah dan selalu hidup. Itu sebabnya saya lebih suka mengetam, bermain dan membentuk kata20 Penyataan yang diutarakan Sutardji di atas, sejalan dengan pendapat Linus Suryadi yang beranggapan “bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh Sutardji diarahkan kepada membebaskan beban dari ide”.21 Pembebasan kata dari beban makna yang dilakukan Sutardji mempunyai latar untuk tujuan gaib dan magis. Karena dalam usaha manusia menciptakan tenaga gaib dan magis melalui ucapannya, kata hanyalah sebuah suara, sedang makna sesungguhnya bukan berada dalam kata itu sendiri, tetapi dalam batin manusia. Dengan permainan kata, Sutardji ingin menciptakan makna yang lebih luas dan bulat dalam puisi-puisinya – yang menurut pengakuannya sendiri untuk tujuan mistik yaitu mendekati Tuhan.22 Spiritualitas pada puisi-puisi Sutardji bukanlah hal yang baru atau aneh. Terlebih lagi jika kita melihat Sutardji yang merupakan salah satu sastrawan yang besar tahun 1970-an, dimana tema-tema agama sedang marak untuk dibicarakan dan dijadikan tema pada karya-karya sastra pada waktu itu. Puisipuisi Sutardji dalam kumpulan puisinya yang berjudul O merupakan suatu wadah pendirian sekaligus sebagai dasar pemikiran penyair tentang puisi. Sejumlah puisi-puisinya dalam kumpulan O memperlihatkan betapa ia berupaya agar Tuhan masuk dalam dirinya. Ini jelas terlihat pada baris-baris terakhir dari puisi Ah dibawah ini: Nah Rasa yang dalam Tinggalkanlah puri purapuraMU! Kasih! Jangan menampik! Masuk Kau padaku!
20
Yos, loc. cit. 21 Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji, Harian Umum Berita Buana, tt.p., 4 April 1977, h. 3 22 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya, tt.p., 16 Desember 1977, h.4
49
Pada baris-baris di atas tercermin suatu pemberontakan jiwa, rasa haus mencari Tuhan dengan bentuk dan cara yang berbeda tema ini selalu muncul kembali pada kebanyakan puisi-puisinya yang lain.23 Puisi-puisinya sendiri, dengan atas pencarian Tuhan kuat sekali, sama sekali tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat yang mendesak masyarakat pada waktu itu. Sutardji mengatakan: “Saya yakin, masalah religius pada bangsa kita kuat sekali. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya dalam masyarakat modern ini, sah sebagai masalah, sebagai tema”.24 Lebih lanjut, pada kesempatan yang berbeda, pada salah satu surat kabar Sutardji mengatakan “dalam keadaan begini, maka timbulah kerinduan untuk ingin pulang kembali secara mistis, dan inilah yang dikatakan orang sebagai kerinduan religius”. Kerinduan religius seperti ini sangat menonjol dalam dekade 1970-an. kesadaran religius yang mengarah kepada kesufian ini menurut Sutardji bukan hanya kesadaran yang muncul dalam diri penyair atau dramawan saja. Upaya untuk kembali kepada semangat religius, sudah merupakan suatu gejala umum dalam kebudayaan kita.25 Sehingga tidak salah dan berlebihan jika H.B Jassin mengatakan; “bagi saya kunci memahami puisi-puisi Tardji ialah perenungan yang dalam. Hanya jika kita dalam situasi mencari Tuhan pula maka pencarian Tardji dapat kita rasakan. Bagi saya dia penyair yang religius”.26 Selanjutnya AMUK kumpulan puisi kedua Sutardji Calzoum Bachri sesudah O, memeperlihatkan realitas-realitas yang lain. Sutardji mengatakan “AMUK itu sebenarnya adalah sejarah kemanusian itu sendiri” begitu yang ia katakan kepada Ikranegara. Sutardji selanjutnya berkomentar puisinya Amuk 23
Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari Jalan Sendiri, Harian Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari 6 Febuari 1978, h. iv 24 Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada Kata, Harian Umum Kompas, Jakarta, 6 Mei 1982. h. 25 Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang, Harian Umum Buana, Jakarta, 27 Oktober, 1987, h. 4 26 Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair Yang Religius, Harian Umum Sinar Harapan, tt.p., 28 Januari 1976 h. 2
50
itu adalah suatu perjalanan panjang manusia mencari kesempurnaannya. Tapi manusia akhirnya menemukan kehadirannya yang “seadanya” itu-itu sajalah. Sederhana dan rumit.27 Disitu realitas-realitas dan kebenaran lain diuji melawan realitas dan kebenaran “aku” : lebih tua dari niniveh dari pinx/lebih tua dari maya lebih tua dari babilon/ aku telah hidup sebelum musa”, kata Sutardji, mengingatkan kita pada anggapan tentang
“Nur Muhammad” yang lebih awal lagi dari
Adam. Dengan demikian Sutardji telah masuk ke kebenaran dunia sufi tentang asal-usul manusia dan hakekatnya.28 Pada kumpulan puisinya yang diberi judul KAPAK pada pengantar Kapak, Sutardji mengatakan beberapa alasannya memilih judul tersebut sebagai judul kumpulan puisinya. Menurutnya imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia dalam kemampatan. Batin jadi mampat. Untuk itu dibutuhkan Kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Lebih lanjut Sutardji mengatakan; “tidak seperti puisi-puisi saya yang terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam puisi-puisi selanjutnya maut lebih mempesona saya. Menghayati kematian sebelum kematian, itulah yang saya tampilkan dalam banyak puisi-puisi saya kini.29 Selepas puisi-puisinya yang terkumpul dalam O, AMUK, KAPAK Sutardji menulis puisi-puisi baru yang bisa dibilang lain dari puisi-puisi sebelumnya. Puisi-puisinya terkini cenderung konvensional, dengan gaya perpuisian yang lazim, sebagaimana kita temukan dalam puisi-puisi “Berdepan-depan dengan Ka’bah”, “Idul Fitri”, “Tanah Airmata”, “Jembatan” dan lain-lain. Sebenarnya baik dalam puisi-puisi lama maupun puisi-puisi barunya, Sutardji
27
Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”, Harian Umum Waspada, tt.p. Minggu 28 Agustus 1977, h. 5 28 Abdul Hadi W.M, “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik, Harian Umum Buana, Selasa, 12 Juli 1977, h. 6 29 Bachri, op. cit., h. 82
51
tetaplah menarik, karena selalu saja kita temui kegirahan kreatif dan kecermelangan olah kata.30 Jadi alih-alih melepaskan kata dari beban makna, Sutardji memberikan makna yang berlimpah pada sebuah kata di dalam puisi-puisinya. Selain itu tidak hanya tekstual saja yang dibangun oleh Sutardji, karya-karyanya kaya akan makna semiotiknya, dikarenakan pada karya-karya sering dijumpai bagaimana tipografi dan visual dalam puisinya memiliki maksud tersendiri. Melihat akan hal tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti memilih semiotika sebagai pisau bedah untuk menangkap makna-makna yang tersembunyi dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.
30
D. Rahman, op. cit., h.167-168
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analis Puisi “TAPI” Teks Puisi TAPI aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah! Sutardji Calzoum Bachri, 1981 1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi Puisi ini dikategorikan dalam puisi pendek, karena hanya tersusun dari satu bait dengan enam belas larik. Pada tahapan ini akan ini akan dilakukan verifikasi bunyi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah bunyi pada puisi, baik awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama (ritme) adalah pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada penelitian ini, tahapan analisis
52
53
metrum mencoba mencari tekanan kata yang tetap yang terdapat pada sebuah puisi. Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “TAPI” tiap baris terdapat kesamaan bunyi [a], [i], [u], yang hadir secara berulang. Bunyi [a] yang hadir pada puisi ini terdapat pada baris pertama sampai kedua yakni bawakan, bunga, bilang, Kemudian hal yang sama juga terjadi pada baris ke-3 sampai ke-4, bawakan, resah, bilang, hanya. Kemudian pada baris ke-5 sampai ke-6, bawakan, bilang, cuma. Baris ke-7 sampai ke-14 hanya ada kata bawakan 4x, dan bilang 4x yang hadir secara berulang pada setiap barisnya. Kemudian pada baris ke-15 sampai ke-16 yakni tanpa, apa, datang, dan wah. Dalam hal ini bunyi [a] memberikan kesan bunyi sebagai kata-kata yang lebih terbuka (lepas). Bunyi [i] yang hadir pada baris pertama hingga ke-16 yaitu kata tapi 8x, meski, dan hampir Bunyi [u] pada puisi “TAPI”, hadir pada setiap baris pertama hingga ke-15 yaitu kata aku 8x, padamu 8x, kau 7x, darahku, mimpiku, dukaku, arwahku, mayatku, dan kalau. Dalam hal ini bunyi [u] merupakan bunyi yang dominan pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung memberikan kesan ada subjek yang ingin dituju. Mengenai rima, dapat dikatakan puisi ini memiliki perbedaan bunyi pada setiap akhir larik (dalam hal ini larik-larik sebelah kanan yaitu, masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau, wah) untuk memberikan efek bunyi secara estetik. Semua larik yang berada di sebelah kiri, rima hadir dengan teratur melalui pengulangan kata aku bawakan dan kata padamu yang hadir pada setiap awal larik, dan sedikit perubahan pada larik ke-16 tanpa apa aku datang padamu. Meskipun demikian,pada larik ke-16 rima tetap dijaga melalui bunyi vokal akhir [a] pada kata tanpa dan kata apa, yang kemudian, rima tersebut tetap dijaga pada kata selanjutnya dengan vokal akhir [u] pada kata aku dan kata padamu Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada puisi Tapi terdapat pada baris pertama hingga ke-14. Kata aku bawakan dan kata tapi kau bilang di awal baris pada larik ke-1 hingga ke-14. Selain itu untuk
54
larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri, kata padamu hadir secara berulang pada setiap akhir lariknya. Pada larik yang secara tipografi dikelompokan di sebelah kiri, nampak adanya perulangan bunyi yang menghasilkan suatu efony sebagai sebuah efek penguat puisi. Adapun larik-larik yang dimaksud yaitu; aku bawakan resah padamu, aku bawakan darahku padamu, aku bawakan mimpiku padamu, aku bawakan dukaku padamu, aku bawakan mayatku padamu, aku bawakan arwahku padamu, tanpa apa aku datang padamu Efony pada larik-larik tersebut tercipta karena kombinasi [mu] yang terdapat pada kata padamu yaitu /m/ yang merupakan salah satu huruf efony dan dikombinasikan dengan huruf vokal /u/, sehingga menimbulkan suara merdu sekaligus suram dan memberikan efek magis, layaknya seorang yang sedang melakukan ritual pembacaan mantra atau dalam agama Islam lebih seperti proses zikir, proses mengingat yang kuasa. Adapun terciptanya efony terjadi ketika disatukan dengan larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kanan, yang seakan-akan membuat larik-larik tersebut berada pada satu larik yang utuh, namun dipisahkan dengan kedudukan tinggi-rendahnya. Pada semua larik yang berada di sebelah kanan, kita menemukan tokoh kau yang dalam hal ini tidak jelas mengacu kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf. Pada puisi ini larik-larik yang berada di sebelah kanan melalui kata-kata masih, hanya, cuma, maskit, tapi, hampir, kalau tidak tercipta kesamaan rima diakhir larik. Rima pada larik- larik sebelah kanan dibentuk melalui kemunculan kata tapi kau bilang yang hadir secara berulang pada setiap lariknya. Perubahan bunyi di setiap akhir larik yang terdapat pada larik-larik sebelah kanan terlihat disengaja untuk menciptakan nuansa estetik. Akibat perubahan bunyi tersebut terciptalah efek kakofoni dengan memanfaatkan kata masih, meski, dan hampir. Pemilihan kata-kata tersebut terdengar berdesis dan parau di telinga, sehingga kombinasi hurufnya tidak enak didengar.
55
Selain secara tipografi yang membagi larik menjadi dua, penempatan tinggi rendahnnya larik pun berbeda antara larik sebelah kanan dengan sebelah kiri. Larik-larik yang berada di sebelah kiri menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan larik yang berada di sebelah kanan. Hal ini menarik karena menimbulkan efek adanya sebuah dialog bukan hanya secara larik, namun juga secara tipografi visual puisi tersebut. Dari hal tersebut diketahui bahwa puisi “TAPI” secara tipografi dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah larik-larik yang berada di sebelah kiri, dengan bentuk dan struktur kalimat yang serupa, dan berada menempati posisi lebih tinggi. Bagian kedua adalah larik-larik yang berada di sebelah kanan menempati posisi yang lebih rendah, dan larik-lariknya memiliki struktur yang sama. Sebagai penyair yang baik, Sutardji tidaklah serta merta menyusun tipografi untuk puisi-puisinya, sehingga untuk mencari makna yang ingin dibangun dan disampaikan penyair melalui bentuk tipografi dan bunyi dari puisinya akan dilakukan analisis ke tahapan berikutnya, yaitu analisis pada tataran sintaksis.
2. Analisis Aspek Sintaksis Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilakukan rangkaian sintaksis pada puisi “TAPI”. Pada penelitian ini, analisis aspek sintaksis merupakan analisis rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat ditentukan struktur sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat. Bila dilihat dari segi sintaksis yang berupa analisis terhadap satuansatuan linguistik yaitu analisis yang dapat mengacu pada tata bahasa baku atau pedoman ejaan bahasa Indonesia yang benar, maka ada beberapa masalah yang terlihat. Puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul, “TAPI” terdiri dari 16 larik dan hanya satu bait. Secara keseluruhan setiap larik tidak di awali dengan huruf kapital terkecuali pada judul puisi, selain itu puisi ini tidak disertai dengan tanda baca, terkecuali pada larik terakhir terdapat satu tanda seru (!) pada kata wah!
56
Penentuan sebuah kalimat pada puisi tidak selalu terkait dengan ada tidaknya tanda titik (pada istilah lain disebut sebagai intonasi akhir) pada setiap akhir kalimat. Seperti yang diutarakan Henry Guntur Tarigan dalam buku Pengajaran Sintaksis bahwa ada empat batasan ciri utama kalimat, yaitu: satuan bahasa, secara relatife dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, terdiri dari klausa1. Namun tidak dapat dipungkiri, larik-larik dalam puisi tidak dapat serta merta dipelakukan dalam wujud tulisan saja, melainkan harus dipertimbangkan dalam bentuk lisan. Dalam pembahasan sintaksis pada penelitian ini, peneliti memanfaatkan pendapat Abdul Chaer yang memasukan wacana dalam tataran sintaksis dan pendapat Ramlan yang mempertimbangkan larik dalam wujud lisan berdasarkan naik turun dan keras lembut, disela jeda, sebagai intonasi akhir sebuah larik. Selain itu ada beberapa alasan yang dapat mendukung larik-larik tersebut dapat dikelompokan sebagai kalimat, baik sebagai kalimat tunggal maupun kalimat majemuk setara bertentangan. Pertama berdasarkan analisis bentuk (tipografi) yang sebelumnya telah dilakukan, dapat ditentukan bahwa puisi ini memiliki dua bagian, yang dihubungkan dengan sebuah konjungsi kata tapi, sehingga antara larik yang berada di sebelah kanan dan kiri menjadi berkesinambungan. Larik yang berada di sebelah kanan terdiri dari kata yang sangat memungkinkan menjadi kalimat tunggal sempurna. Bisa dilihat dalam larik-larik yaitu: aku bawakan bunga padamu aku bawakan resah padamu aku bawakan darahku padamu aku bawakan mimpiku padamu aku bawakan dukaku padamu aku bawakan mayatku padamu 1
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis, (Bandung. Angkasa :1986), h. 8
57
aku bawakan arwahku padamu tanpa apa aku datang padamu Terkecuali pada larik ke-15, semuanya diawali oleh kata aku yang merupakan subjek (S) dari sebuah kalimat. Kalimat-kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat sempurna karena,
sekurang-kurangya mengandung sebuah
klausa. Kalimat tersebut sempurna karena setiap barisnya mengandung subjek (S), predikat (P), dan objek (O), karena menurut konstruksi sintaksis, sebuah klausa harus mengadung unsur fungsional subjek dan predikat baik disertai objek, pelengkap, keterangan maupun tidak. Kemudian larik-larik yang berada di sebelah kanan yaitu: tapi kau bilang masih tapi kau bilang hanya tapi kau bilang cuma tapi kau bilang meski tapi kau bilang hampir tapi kau bilang kalau wah! Terkecuali larik ke-16, semua larik-larik di sebelah kanan terdapat kata tapi yang menyatakan penolakan akan apa yang diserahkan si aku lirik kepada kau sebagai target objek larik sebelah kiri. Larik-larik yang dalam penelitian ini dikelompokan dalam larik-larik yang berada di sebelah kanan termasuk jenis kalimat intransintif. Jika kita amati keseluruhan larik-larik yang masuk dalam kelompok ini memiliki kontruksi kalimat yang sama. Kata tapi pada keseluruhan larik yang dikelompokan pada larik yang berada di sebelah kanan berfungsi sebagai konjungsi. Kata kau berfungsi sebagai subjek, dan kata bilang sebagai predikat. Kata masih, hanya, cuma, meski hampir, dan kalau pada larik-
58
larik ini berfungsi sebagai keterangan. Berdasarkan pembagian tipografi tersebut, dapat disimpulkan puisi “TAPI” terdiri dari dua jenis kalimat, yaitu kalimat sempurna/transitif (berada disebelah kiri) dan kalimat intransitif (berada disebelah kanan). Alasan kedua berangkat dari mengkaji judul puisi yaitu kata Tapi. Kata tapi merupakan salah satu koordinator hubungan perlawanan selain dari melainkan dan namun. Hubungan perlawanan adalah hubungan yang menyatakan bahwa apa yang dinyatakan pada klausa pertama berlawanan dengan apa yang dinyatakan klausa kedua. Kata tapi dapat digunakan untuk menyatakan makna perlawanan yang implikatif, limitatif, opositif, dan konstrantif Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan dengan memperhatikan keutuhan makna puisinya, maka antara larik-larik yang terdapat di sebelah kiri dan kanan dapat dihubungkan untuk menjadi sebuah kalimat majemuk bertingkat; aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau
Kalimat-kalimat tersebut memiliki pola yang diulang-ulang, terutama pada kalimat ke-1 sampai kalimat ke-7. Dari ke-7 kalimat yang sudah ditentukan, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa keseluruhannya memiliki konstruksi kalimat yang sama. Pengulangan pola kalimat tersebut menimbulkan kesan bahwa ada unsur-unsur yang hubungannya rapat sekali. Kalimat pertama aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih, diawali dengan kata aku yang dalam hal ini berfungsi sebagai subjek,
59
menunjukan eksistensi aku pada puisi tersebut. Kalimat pertama itu termasuk dalam jenis kalimat majemuk setara bertentangan, dengan kata tapi sebagai konjungsi penghubung perlawanan antar klausa. Kalimat majemuk setara bertentangan yang terdiri dari dua kalimat sempurna berkontruksi sebagai berikut; subjek (aku), predikat (bawakan), objek (bunga), keterangan ( padamu) konjungsi (tapi), subjek (kau), predikat (bilang), keterangan (masih). Kalimat ke-2 aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya, masih memiliki kontruksi kalimat yang sama dengan kalimat sebelumnya. Dalam hal ini, berfungsi untuk memperjelas pernyataan yang diutarakan pada kalimat pertama. Hal ini terlihat dengan penggunaan kata resah, yang menunjukan peningkatan dari usaha mendapatkan jawaban dari tokoh kau. Kontruksi kalimat ke-1 dan ke-2 kemudian diulang-ulang sampai kalimat ke-8. Pengulangan konstruksi kalimat tersebut semata-mata untuk menekankan makna kalimat-kalimat sebelumnya. Satu-satunya kalimat yang memiliki kontruksi yang berbeda dari kalimat lainnya ialah kalimat yang terdapat pada larik ke-15 tanpa apa aku datang padamu dan ke-16.wah! larik ke-15 memiliki konstruksi yang berbeda dengan larik-larik sebelumnya. Pada larik tanpa apa aku datang padamu, keterangan ditempatkan di awal larik. Frase tanpa apa, dikategorikan sebagai keterangan berdasarkan konteks situasi yang terjalin pada larik-larik sebelumnya, yang mengacu pada kata bunga, resah, duka, arwah, mayat yang bertindak sebagai objek dari apa yang dibawakan aku lirik, sehingga dapat disimpulkan larik ke-15 ini berkonstruksi, tanpa apa (keterangan), aku (subjek), datang (predikat), keterangan tempat (padamu). Larik ke-16 wah! Pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai kalimat, dengan alasan memiliki ciri-ciri sebuah kalimat. Adapun alasannya sebagai berikut;
1. wah! dalam larik terakhir itu merupakan sebuah kalimat 2. adanya intonasi, yaitu nada yang diwakili tanda baca seru (!) dan perhentian
60
3. ada makna, yaitu lawan bicara (dalam hal ini aku sebagai subjek pada larik-larik sebelumnya) 4. adannya situasi yang dibangun pada larik-larik berikutnya, sehingga memungkinkan hanya menuturkan wah! sebagai bentuk kalimat jawab.
Selain itu, merujuk pada pendapat Abdul Chaer maka secara strukturnya, wah! termasuk kedalam jenis kalimat terikat atau tidak bebas. Kalimat wah! diposisikan sebagai kalimat terikat atau tidak bebas dikarenakan tidak dapat berdiri sendiri, maknanya pun sangat terikat dengan larik-larik sebelumnya.2 Kata wah merupakan sebuah interjeksi yang pada hakikatnya berperan sebagai sebuah kalimat padanan dari kalimat sebelumnya. Dalam hal ini wah mengandung nilai “persetujuan” pada konsep yang terkandung atau diucapkan pada kalimat sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, puisi “TAPI” terbentuk dari susunan kalimatkalimat tunggal yang konstruksinya diulang-ulang dengan tujuan penekanan makna. Penggabungan dari konstruksi-konstruksi lariknya, menimbulkan sebuah bentuk kontruksi baru, sehingga terciptalah bentuk kalimat majemuk bertentangan yang menguatkan efek dari konstruksi-konstruksi sebelumnya. Adapun pengulangan kontruksi baik dalam bentuk kalimat tunggal maupun penggabungan larik kiri dan kanan yang menghasilkan kalimat majemuk bertentangan yang menimbulkan adanya proses mendekatkan diri yang berkesimbungan, dan dilakukan aku lirik sebagai subjek kepada tokoh kau. Dari analisis sintaksis ini terlihat bagaimana Sutardji mengimplikasikan Kredo Puisinya pada karya-karyanya. Perubahan struktur kata dan kalimat pada puisi “TAPI” merupakan bagian kesuksesan Sutardji dalam melakukan eksperimennya yang memanfaatkan fungsi kata itu sendiri. Jadi bukannya membebaskan kata dari beban makna, Sutardji malah berhasil membuat kata-
2
Abdul Chaer berpendapat dalam masalah keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas. Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 233
61
kata tersebut kaya akan makna dan dapat berdiri sendiri, tanpa keterikatan aturan struktur secara sintaksis.
3. Analisis Aspek Semantik a)
Denotatif dan Konotatif Pada analisis aspek sintaksis yang telah dilakukan sebelumnya kita
mendapatkan bahwa puisi “TAPI” tersusun dari konstruksi kalimat tunggal dan kalimat majemuk setara, adapun kalimat yang dimaksud yaitu; aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamutapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamutapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau
Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya membentuk sebuah majas, dalam penelitian ini ditentukan terlebih dahulu suatu peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih, berdasarkan peran semantisnya. Pada puisi “TAPI”, peneliti menemukan adanya tiga peserta: aku (subjek) yang menyatakan pelaku, bawakan sebagai predikat yang menyatakan perbuatan, bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah sebagai objek yang menyatakan sasaran perbuatan, dan padamu/kau yang menyatakan peserta peruntung yang memperoleh manfaat dari peristiwa tersebut. Adapun klausa kedua yang terbentuk dari konjungtor tapi, hadir sebagai penguat dan jawaban dari klausa pertama. Kata aku pada larik pertama aku bawakan bunga padamu merupakan sebuah perkenalan akan subjek pada puisi ini, yang secara denotatif merujuk kepada seseorang yang sedang membawakan bunga kepada seseorang, yang
62
dalam larik ini ditujukan kepada –mu melalui kata padamu. Secara denotatif, mu pada kata padamu mengacu kepada mahkluk hidup, yang belum jelas acuaan bentuknya. Hal tersebut diperkuat di larik kedua yaitu tapi kau bilang masih, yang jika dikaitkan dengan larik ke-1, larik ke-2 secara denotatif merupakan sebuah jawaban dari larik ke-1, yang berarti sebuah penolakan. Kata masih pada akhir larik ke-2, hadir sebagai penjelas penolakan yang dilakukan. Penolakan tersebut diwakili dengan kata tapi. Dilihat secara konteks dialog, pada larik ke-1dan ke-2, kata masih mengacu kepada kata bunga yang secara denotatif dapat diartikan bahwa kau saudah memiliki bunga, sehingga tidak memerlukan bunga yang diberikan oleh aku lirik pada larik pertama. Kata aku di awal larik ke-1 dan kau pada larik ke-2, mengandung makna konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan kau. Penggunaa kata bunga pada larik ke-1 sebagai benda yang ingin diberikan kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku dan kau terjalin atas dasar cinta. Dapat disimpulkan larik aku bawakan bunga padamu merupakan sebuah majas metafora yang digunakan untuk mengkongkretkan adanya kedekatan aku lirik dengan kau. Jadi larik ke-1 dan ke-2 menggambarkan usaha aku lirik untuk mendekati kau, dengan berlandaskan cinta. Gambaran mengenai usaha aku lirik dalam mendekati kau pada larik pertama dan ke-2 diperjelas lagi pada larik ke-3 sampai larik ke-14 aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi
63
aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau Larik ke-3 sampai ke-14 masih menggunakan struktur kalimat yang sama dengan larik-larik sebelumnya, namun kata-kata resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku tidaklah hadir melalui makna denotatif. Katakata tersebut tidaklah diartikan sebagai kata benda yang dibawakan oleh aku lirik kepada kau, dikarenakan termasuk kata sifat. Meskipun secara denotatif kata mayatku, bisa diartikan sebagai benda material, namun secara logika tidaklah mungkin seseorang membawakan mayatnya sendiri, sehingga kata-kata resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku hadir dengan kekuatan makna secara konotatif. Jika pada larik ke-1, aku lirik membawakan bunga, yang dalam tataran denotatif masih berbentuk material, maka pada larik ke-3 aku lirik membawakan bentuk resah, yang secara konotatif sudah mempercayakan segala permasalahan hidup kepada tokoh kau. Lalu pada larik ke-5 aku lirik berada pada titik yang lebih dalam. Dalam proses usaha mendekatkan diri, aku lirik sampai kepada taraf membawakan darah, yang secara konotatif berarti kau sudah setara dengan kehidupannya. Kata mimpiku pada larik ke-7 secara konotatif bermakna sebuah cita-cita, sebuah masa depan yang dipercayakan dan diharapkan kepadamu. Selain itu kata mimpiku hadir untuk memperkuat kesungguhan aku lirik. Kata meski pada larik ke-8 hadir sebagai bentuk penolakan terhadap larik sebelumnya, yang akhirnya pada larik ke-9 aku bawakan dukaku padamu. Kata dukaku secara denotatif berarti perasaan susah hati, sedih hati. Aku lirik ingin menunjukan rasa sakit dan kecewa atas penolakan kau pada larik sebelumnya, namun tetaplah tidak membuat kau terbuka untuk menerima. Penolakan tersebut hadir melalui kata
tapi yang secara denotatif bermakna sebuah pertentangan, atau tidak
selaras.
64
Pada larik ke-11 aku bawakan mayatku padamu, seperti yang sudah dijelaskan di awal, secara denotatif, kata mayatku mengacu pada bentuk material, namun pada larik ini, kata mayatku hadir secara konotatif sebagai bentuk simbol penyerahan keseluruhan material, yang pada nantinya tetap mengalami penolakan, melalui kata hampir pada larik ke-12 tapi kau bilang hampir yang secara denotatif bermakna sedikit lagi atau nyaris. Usaha aku lirik diperkuat kembali pada larik ke-13 dengan kata arwahku yang secara konotatif mengartikan sebagai penyerahan keseluruhan kepada kau, baik secara jasmani maupun rohani. Kata kalau pada larik ke-14 selain sebagai jawaban kau, secara denotatif berfungsi juga sebagai kata penghubung yang bermakna bentuk pengandaian yang tidak pasti. Larik ke-15
selain sebagai bentuk kata sifat, frase tanpa apa, hadir
sebagai keterangan, yang mengacu pada kata-kata resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku sebagai objek. Dalam hal ini frase tanpa apa secara konotatif bermakna aku lirik sudah mencapai titik ikhlas dan menerima segala jawaban dari kau. Sebagai bentuk pengakuan bahwa segala bentuk jasmani dan batin tak akan pernah cukup untuk mendapatkan cinta kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan. Kesadaran dan rasa ikhlas yang dirasakan aku lirik pada larik ke-15 sesungguhnya merupakan bentuk jawaban atas cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal tersebut dinyatakan dalam larik ke-16 dengan satu kata yaitu wah! Jika dilihat secara denotatif kata wah bermakna sebagai kata seruan, untuk menyatakan kekaguman, heran, dan terkejut. Namun kata wah tersebut tidak hadir secara sendiri, melainkan didampingi sebuah tanda baca yang merupakan tanda seru (!), sehingga secara konotatif larik ini bermakna sebagai bentuk puncak atau inti dari bagaimanakah cara mencintai Tuhan. Dua larik terakhir pada puisi ini nampaknya merupakan sebuah puncak ungkapan ekstase mistik, yang dalam hal ini, aku lirik sedang mengalami proses bagaimana cara mencintai Tuhan. Kata wah! pada larik terakhir dapat diartikan sebagai bentuk persatuan, bentuk pengakuan, dan bentuk penerimaan seorang hamba kepada Tuhannya.
65
b)
Analisis Gaya Bahasa
1.
Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi) Dilihat dari kehadiran pada setiap lariknya dapat dikatakan Sutardji
sebagai penyair menggunakan gaya bahasa klimaks. Pada satu bait, terdapat urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya pada setiap lariknya. Hal ini terlihat dari kata-kata bunga, resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku. Sepintas struktur gaya bahasa klimaks yang dibangun penyair sedikit rusak/ bertentangan ketika pada larik ke-15 yaitu tanpa apa aku datang padamu yang seakan membuat menjadi anti klimaks. Frase tanpa apa, sedikit mengganjal akan gagasan kepentingan yang ditempatkan pada larik-larik sebelumnya, namun tidaklah demikian. Frase tanpa apa, sesungguhnya menjadi puncak konsep gagasan yang dibangun penyair. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Sutardji menutup puisi “TAPI” pada larik ke-16 dengan kata wah! Selain itu pada puisi “TAPI” Sutardji pun menampilkan gaya bahasa paradoksal (paradok), ialah gaya bahasa yang melukiskan dua hal atau keadaan yang bertentangan dalam satu saat. Namun gaya bahasa paradoks pada puisi “Tapi” tidaklah padu karena asosiasi yang ditimbulkan oleh kata yang mestinya berkesan paradoks justru tidak paradoks. Larik ke-1 dengan larik ke-2 masih menimbulkan kesan gaya paradoks yang sesungguhnya. Namun, pada larik-larik berikutnya, kesan paradoks itu terputus oleh kata-kata: resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku yang tidak memiliki hubungan paradoks dengan kata-kata : hanya, cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau. Kesan paradoks hanya terpaut pada kata tapi, sebagai salah satu penghubung paradoks. Pada puisi ini tampak adanya penggabungan gaya bahasa paralelisme anaphora dengan gaya bahasa pararelisme epifora. Penggabungan ini menunjukkan adanya variasi dan komposisi yang artistik. Pararelisme
66
anaphora terbentuk oleh kata aku dan tapi, sedangkan paralelisme epifora terbentuk oleh kata padamu.
2) Analisis gaya bahasa figuratif Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang salah satunya adalah hiperbola yaitu melebih-lebihkan. Bisa di lihat pada beberapa barisnya seperti aku bawakan mayatku padamu, yang secara logika mungkin mayat kita sendiri bisa kita bawa sendiri kehadapan Tuhan. Begitu pun terdapat ambiguitas dalam puisi ini seperti tapi kau bilang kalau, yang dalam hal ini kata kalau menjadi tidak memiliki arti yang pasti. Dengan kata lain pada larik tapi kau bilang kalau, Sutardji memberikan ruang terbuka kepada pembaca untuk memberikan tafsirannya masing-masing. c)
Isotopi Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, isotopi terbentuk dari
pengulangan komponen makna dan membentuk kohesi leksikal. Beberapa isotopi membentuk motif dan motif dapat membentuk tema. Analisis semantik yang berupa isotopi, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji Calzoum Bachri terlebi dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan sebagai tema utama yang dibicarakan. Puisi “TAPI” hanya tersusun dari 24 kata. Adapun kata yang dimaksud yaitu: aku 8x, bawakan 7x, padamu 8x, tapi 7x, kau 7x, bilang 7x, bunga, resah, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, arwahku, masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau, tanpa, apa, datang, dan wah! Sekilas dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi tersebut, puisi “TAPI” berpusat pada hubungan antara aku dan padamu, namun hal tersebut tidaklah dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu analisis isotopi dirasa perlu dilakukan untuk menguatkan penentuan tema besar yang dibicarakan pada sebuah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik menjadi kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan
67
sebagai kelompok isotopi bersama, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut terlihat pada tabel-tabel berikut. 1. Isotopi Manusia Tabel 1
Kata/frase yang
Denotatif (D)
termasuk isotopi
atau
Insan
Berakal
Konotatif
(tubuh dan roh)
budi
manusia dan
Komponen makna bersama aktivitas
pemunculannya
(K)
aku 8x
D
+
+
-
padamu 8x
D
+
+
-
kau 7x
D
+
+
-
mayatku,
D
+
-
-
arwahku,
D
+
-
-
darahku,
D
+
-
+
Untuk lebih jelasnya bisa kita rinci sebagai berikut ini. Kata aku dan kau merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang kedua. Jika diartikan secara denotatif, kata kau mengacu kepada makhluk yang berada dibumi namun kau secara konotatif dalam puisi ini tidak akan masuk pada isotopi manusia jika kita maknai sebagai Tuhan karena tak layak jika Tuhan kita masukan pada kategori isotopi manusia. Selain itu mayat adalah bentuk jasad dari sebuah makhluk yang lebih kita kenal sebagai jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Sekalipun semua makhluk yang meninggal jasadnya disebut mayat, namun dalam puisi ini si aku adalah manusia, sehingga mayat ini tentu mayat dari manusia. Arwahku adalah roh atau berupa benda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata arwah bisa kita masukan pada isotopi manusia karena arwah yang tertera dalam puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia. Darahku adalah sel-sel darah merah dan putih yang mengalir di dalam tubuh manusia dan binatang. Melalui pengertian secara denotatif, kata darahku
68
merupakan termasuk isotopi manusia. Komponen makna yang paling menonjol dalam isotopi tersebut adalah insan (tubuh dan roh). Komponen tersebut menonjol berkaitan dengan bentuk pendekatan diri sebagai manusia kepada Tuhan yang melibatkan unsur fisik dan nonfisik.
Tabel 2 Isotopi Kesakitan Kata/frase yang
Denotatif (D)
Komponen makna bersama
termasuk isotopi
atau
manusia dan
Konotatif (K)
Derita/sakit
Cara
Proses
resah,
D
+
-
-
dukaku
D
+
-
-
tapi
D
+
+
-
hanya
D
+
-
+
cuma
D
+
+
-
meski
D
+
+
-
hampir
D
-
-
+
pemunculannya
Kata resah adalah sebuah perasaan galau atau gamang yang mendera hati manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena resah itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan kebalikan dari kata “suka”. Duka adalah ekspresi kepedihan dan kemuraman yang dialami manusia seperti saat kehilangan, dan kata ini bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena duka akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan sedih. Kemudian kata tapi yang secara denotatif yang termasuk kata konjungtor, namun dalam hal ini bermakna penolakan. Kata hanya, cuma meski dan hampir bisa digolongkan dalam isotopi kesakitan karena, kata-kata tersebut secara makna mengacu kepada jawaban dari usaha tokoh aku lirik dalam mendapatkan
69
kau (Tuhan). Kata hanya, cuma, meski, dan hampir mengartikan sebuah ketidakpuasaan, kekecewaan atas pencapaian yang tidak sesuai diharapkan. Kata-kata dalam tabel 2 yang mendukung isotopi kesakitan berjumlah 7 buah. Kata resah,
dukaku, tapi, masih, hanya, cuma, meski, hampir,
dikategorikan dalam isotopi kesakitan karena bermakna kesakitan. Komponen makna yang dominan dalam isotopi tersebut adalah derita/sakit yang dialami aku lirik dalam menerima perlakuan Tuhan atas segala usaha mendekatkan diri. Tabel 3 Isotopi Usaha Kata/frase yang
Denotatif
termasuk isotopi
(D)
usaha dan
atau
pemunculannya
Konotatif
Komponen makna bersama
proses tindakan
hasil
ketiadaan/ ketidaktahuan
(K) bawakan 7x
D
+
+
-
-
kau bilang
D
-
+
-
-
tanpa apa
K
+
+
_
+
datang padamu
D
+
+
-
-
wah
K
+
-
+
-
Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata membawa yang mendapat imbuhan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada isotopi usaha karena ini merupakan kata kerja. Frase kau bilang adalah frase yang bisaanya dilakukan oleh insan manusia dengan seperti kata berucap atau berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Frase datang padamu adalah frase tindakan yang bisa dilakukan oleh manusia dan kata lainya untuk datang adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat. Kemudian yang terakhir yaitu kata wah, yang secara konotatif, melihat kesatuan makna pada larik-larik sebelumnya merupakan sebuah hasil. Sebuah pencapaian dari segala usaha yang telah dilakukan.
70
Dapat kita lihat kata-kata dan frase yang mendukung isotopi usaha berjumlah 5 buah. Di antara kata-kata tersebut terdapat frase dan kata yang bermakna konotatif yaitu tanpa apa, dan wah yang bermakna sebagai usaha pencarian akan penerimaan Tuhan dan sebagai hasil dari pencarian. Komponen makna yang dominan ialah tindakan. Menonjolnya komponen makna itu berkaitan dengan sebuah pencarian penerimaan Tuhan terhadap aku lirik. Hal tersebut didukung dengan pengulangan frase aku bawakan sebanyak tujuh kali. Jadi berdasarkan ketiga isotopi tersebut dapat dilihat komponen makna yang paling kuat dan dijadikan tema besar pada puisi “TAPI” adalah sebuah usaha pencarian pengakuan kasih seorang hamba kepada Tuhannya. Pencarian ini dilakukan aku lirik secara spiritual atau bersifat batin. Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, majas, dan isotopi), puisi “TAPI” menggambarkan usaha manusia untuk menjadi makhluk yang diakui keberadaannya oleh Tuhan. Oleh karena usaha yang bergitu kuat, aku lirik menyerahkan seluruhnya secara utuh kepada Tuhan. Keutuhan tersebut meliputi jasad, roh, dan hati, seperti konsep iman dalam agama Islam bahwa iman harus diyakini dalam hati, diucapkan secara lisan, dan dibuktikan melalui tindakan. Bila dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, puisi “TAPI” ini bisa bermakna tentang sifat manusia yang selalu ingin lebih dan lebih. Sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dan tinggi hati terhadap apa yang telah dimiliki, sehingga lupa akan jati dirinya sendiri. Rasa ikhlas dan kesadaran bahwa sesungguhnya diri ini seutuhnya adalah milik Tuhan, sesungguhnya tidak pernah
memberikan
apapun
kepada
Tuhan,
hanya
meminjam
dan
mengembalikan apa yang Tuhan berikan. Kesadaran manusia sebagai makhluk yang tak punya apa-apa yang dinyatakan pada larik ke-15 tanpa apa aku datang padamu merupakan inti dari bagaimana seharusnya mencintai Tuhan.
4. Analisis Aspek Pragmatik Sesuai dengan penjelasan pada kerangka teori, aspek pragmatik pada penelitian ini dibatasi pada cara penampilan atau kehadiran aku lirik
71
(pembicara) dan pendengar. Dalam puisi “TAPI”, aku lirik ditampilkan sejak awal larik melalui pronomina aku yang terdapat di larik pertama yaitu aku bawakan bunga padamu. Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan kepada pembaca, tentang situasi yang sedang dialami aku lirik. Kemunculan tokoh kau melalui kata padamu, dan tapi kau
pada larik selanjutnya
memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini menceritakan antara aku lirik dengan tokoh kau yang tidak jelas mengacu kepada siapa; apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf Namun berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan semantik dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal demikian terlihat dengan kata-kata bunga, resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku sebagai benda yang ingin diberikan kepada kau. Kata mimpi, duka, arwah, merupakan kata sifat, yang tidak mungkin diberikan dan diterima sebagai bentuk material kepada manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa kau pada puisi ini mengacu kepada Tuhan. Kata aku di awal larik pertama dan kau pada larik kedua, mengandung makna konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan kau. Penggunaan kata bunga larik pertama sebagai benda yang ingin diberikan kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku lirik dan kau terjalin atas dasar cinta. Percakapan pada puisi itu merupakan percakapan satu arah, atau bisa dikatakan sebagai monolog. Jika diamati, aku lirik hadir pada setiap larik-larik ganjil, yang melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya. Sementara itu Tuhan yang hadir melalui kata kau hadir pada larik-larik genap dan jumlah kehadiran yang sama dengan aku lirik. Dialog-dialog kau yang diterima pembaca/pendengar sesunguhnya didapat dari perkataan aku lirik melalui klausa tapi kau bilang, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini tidak berkata sedikit pun, dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi dari kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik.
72
Penempatan makna cinta dengan perumpamaan kata bunga di awal larik tidaklah hadir tanpa maksud, karena dalam sistem estetika sufi, cinta memiliki makna luas dan bersegi-segi. Dalam estetika sufi, cinta bukan dalam arti yang lazim, tetapi merupakan suatu keadaaan rohani yang dapat membawa seseorang mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan ketuhanan, sehingga secara tidak langsung hal ini menguatkan kata kau mengacu kepada Tuhan. Larik berikutnya yaitu pada larik ke-3 sampai ke-11 banyak ungkapan yang mengandung paradoks. Ungkapan paradoks pada puisi ini disebabkan penggabungan kata-kata bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah yang di sandangkan dengan kata-kata masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau. Hal ini menarik dikarenakan kata-kata tersebut dirajut oleh kata tapi yang merupakan konjungtor bertentangan. Dengan paradoks seperti itu, penyair seolah memperlihatkan kepada kita bahwa pengalaman aku lirik sangat dalam dan kompleks, serta menuntut kesadaran logis untuk memungkinkan pembaca memahami dan menghayati. Selain itu, paradoks yang kental dengan dimensi sufistik, dapat juga menimbulkan pencerahan apabila pembaca bersedia memasuki lubuk terdalam aura keruhaniannya yang paling hakiki Ungkapan kata tapi dan kau yang penuh paradoks adalah hasil rekaman bisikan yang terdengar di lubuk terdalam hati aku lirik sebagai manusia. Kau yang dalam hal ini mengarah kepada Tuhan seolah-olah berbicara menggunakan keterangan yang disampaikan aku lirik. Selain itu penyandingan kata aku bawakan bunga, resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku dengan kata tapi kau bilang masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau, memberi efek ambiguitas secara bertahap pada setiap lariknya. Mengisyaratkan bagaimana aku lirik melakukan proses makrifat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan Junaidi ―makrifat ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa ia terlalu
73
dasyat untuk dilihat. Makrifat adalah pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikkannya‖.3 Pada larik ke-1 sampai ke-11 melalui kata-kata bunga, resah, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, penyair ingin menyindir pembaca yang gagal memahami proses penyatuan dalam dimensi sufistik. Gagasan persatuan mistik aku lirik dengan Tuhan, dianggap sebagai pernyataan tentang kedekatan fisik. Padahal para sufi tidak pernah berbicara tentang kedekatan fisik, tetapi kedekatan batiniyah. Setelah pada larik sebelumnya aku lirik mendapatkan penolakan melalui kata tapi kau bilang tapi, kata mayatku pada larik ke-11 bermakna konotatif yang lebih dalam. Mayatku merupakan simbol dari kematian yang berarti meleburkan diri dari sifat-sifat individual (resahku, darahku,mimpiku, dukaku) agar tersingkap penutup yang memisahkan kau sebagai kekasih yang khalik dengan aku lirik sebagai pecinta yang mahkluk. Kematian dalam hal ini bahkan sampai pada tataran kematian jasmani. Hal tersebut terlihat pada larik berikutnya yaitu aku bawakan arwahku padamu. Hal ini diwujudkan Sutardji pada larik-larik akhir dimana aku lirik tidak putus asa menghadapi penolakan yang diberikan Tuhan. Kata arwahku pada larik ke-13 secara konotatif bermakana ruhaniyah, bagaimana usaha aku lirik meningkatkan kehidupan ruhaniyah, sehingga dapat mengenal dan mendekatkan diri dengan sifat-sifat Tuhannya
3
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta: Pstaka Firdas, 1986), h. 135
74
B. Analisis Puisi BELAJAR MEMBACA
Teks Puisi BELAJAR MEMBACA kakiku luka luka kakiku kakikau lukakah lukakah kakikau kalau kakikau luka lukakukah kakikau kakiku luka lukakaukah kakiku kalau lukaku lukakau kakiku kakikaukah kakikaukah kakiku kakiku luka kaku kalau lukaku lukakau lukakakukakiku lukakakukakikukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Sutardji Calzoum Bachri 1979
75
1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi Puisi “BELAJAR MEMBACA” termasuk dalam puisi pendek. Puisi ini hanya terdiri dari satu bait, lima belas larik dan terdiri dari lima kata yaitu luka, kaku, kaki, kau, kalau, dan dua pertikel yaitu –ku dan -kah. Kelima kata tersebut hadir secara berulang dan teratur, sehingga menimbulkan efek bunyi yang menarik. Pada penelitian puisi ini akan dilakukan verifikasi yaitu yang menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “BELAJAR MEMBACA” pada tiap baris terdapat kesamaan bunyi [a], dan [u], yang bermunculan secara berulang. Bunyi [a] terdapat pada keseluruhan baris, yaitu kata luka 5x, lukakah 4x, lukakaukah, lukakaukah, kakikaukah 2x, dan lukakakukakikukah 2x. Hal serupa juga terdapat pada bunyi [u] yang berada pada keseluruhan baris. Adapun kata yang termasuk di dalam bunyi [u] yaitu, kata kakiku 7x, kakikau 4x, kalau 3x, lukaku 2x, lukakau 2x, dan lukakakukakiku 2x yang dalam hal ini bunyi [u] merupakan bunyi yang dominan pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung memberikan kesan ada seseorang yang ingin didekati atau dituju. Mengenai rima, dapat dikatakan inilah yang menjadi kekuatan puisi Sutardji pada umumnya. Dalam penulisannya, puisi ini menggunakan gaya bahasa aliterasi dan asonansi dengan persamaan bunyi kata, baik pada akhir baris atau dalam baris larik itu sendiri. Pada baris-baris puisi terdapat persamaan bunyi yang sering dan lengkap, sehingga dapat disimpulkan termasuk dalam rima sempurna (seluruh suku akhirannya berirama sama). Dalam puisi ini, rima sangat dijaga dengan ketat. Rima tidak hanya hadir pada akhir larik,namun dikaitkan dengan adanya rima berpeluk dari setiap larik. Pengulangan tidak hanya sebatas terhadap bunyi, namun juga pada kata atau ungkapan. Hampir semua rima akhir mempunyai bentuk nasal, yaitu [ku], [ka], [ah]. Bunyi ini memberikan gema dan sesuai kontkesnya, memberikan kesan suatu recital doa yang diucapkan secara terus menerus, sehingga memberikan efek magis, seperti efek seorang yang sedang melakukan ritual
76
zikir sedang mengulang kata, sesuai dengan judul puisi tersebut yaitu, “BELAJAR MEMBACA”. Seperti
yang
sudah
diutarakan
sebelumnya,
puisi
“BELAJAR
MEMBACA” sesungguhnya hanya terdiri dari lima kata yaitu luka, kaku, kaki, kau, dan kalau. Kelima kata tersebut hadir secara berulang dan teratur, sehingga menimbulkan efek bunyi yang menarik yang pada akhirnya membentuk suatu alunan merdu, indah, dan penuh daya magis ketika dibacakan (seperti pembacaan mantra). Setelah mengetahui bentuk rima dan irama yang terdapat pada puisi “BELAJAR MEMBACA” selanjutnya akan dilakukan pencarian bentuk metrum. Meskipun metrum tidak begitu penting dalam menganalisis puisi Indonesia pada umumnya, namun untuk menemukan beberapa kemungkinan yang lebih menarik maka tidak salahnya tetap digunakan untuk menganalisis puisi ini.4 Dapat dikatakan bahwa jumlah suku kata dalam puisi ini cukup bervariasi karena terdiri dari 5-15 suku kata ( 5, 5, 6, 6, 7, 7, 5, 7, 8, 7, 7, 7, 8, 15, 15). Hal ini menarik, karena larik ke-15 yang merupakan larik terakhir pada puisi ini berjumlah 15 suku kata. Hal ini seakan mengisyaratkan bahwa perhatian puisi “BELAJAR
MEMBACA”
berfokus
pada
larik
terakhir
yaitu:
lukakakukakikaukah lukakakukakiku. Larik ke-15 seperti rangkuman dari ke-14 larik sebelumnya, dimana semua kata yang digunakan pada larik-larik sebelumnya terangkum di larik akhir ini. Jika dilakukan penedahan terpisah maka kita akan menemukan kata-kata [luka] [kaku] [kaki] [kau-kah] [luka] [kaku] [kaki-ku]
4
Dalam hal ini dikarenakan metrum hanya ada dalam teori barat dan sulit diaplikasikan pada puisi Indonesia. Dalam penggunaannya sering disamakan dengan istilah rima yang pada dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu ritme dan metrum. Baca: Racmad Djoko Pradopo, dkk, Puisi, (Universitas Terbuka, 2007), cet III, h. 4.39
77
Mengingatkan proses ketika seorang siswa diminta belajar membaca Iqro (belajar mengaji), yang ketika ingin mendaki ke Iqro 2, 3, 4, 5, dan 6 ia akan memasuki ujian akhirnya yang mewajibkannya untuk menyelesaikan semua pelajaran yang ia dapatkan. Tidak berbeda dengan proses belajar, proses kehidupan, dan proses pencarian seakan memberi penegasan isi puisi ini dan hubungan dengan pemberian judul “BELAJAR MEMBACA”. Selain itu, melalui analisis bunyi, terlihat bagaimana Sutardji benar-benar memanfaatkan unsur bunyi pada puisinya. Bunyi di sini tidak hanya terjadi pada akhir larik, namun muncul pada keseluruhan kata-kata yang hadir. Bunyi tidak hanya sebagai pemanis puisi ketika dibacakan, namun memberikan nuansa tersendiri sebagai bentuk puisi mantra. 2. Analisis Aspek Sintaksis Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilihat rangkaian sintaksisnya. Di sini analisis aspek sintaksis merupakan analisis rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat ditentukan struktur sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” tidak ditemukan penggunaan tanda baca, baik huruf kapital pada awal larik, maupun tanda baca seperti: titik, koma, seru, tanya dll, sehingga dapat disimpulkan bahwa larik pada puisi itu tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah kalimat. Tidak terdapatnya tanda baca pada puisi ini terkadang menyulitkan dalam menentukan batas antar-klausa, frase, maupun kalimat, sehingga untuk menentukan batasan dalam teks puisi ini, maknalah yang dijadikan landasan dasar. Puisi ini diawali dengan klausa kakiku luka. Frase kakiku yang dibangun dengan menggabungkan kata luka sebagai nomina dengan kata ku sebagai pronomina, hadir sebagai subjek, dan luka sebagai objek. Kehadiran pronomina –ku pada frase kakiku memberikan arti bahwa kaki yang dimaksudkan adalah kaki aku lirik, yang kemudian diperkuat lagi dengan kata luka sebagai frase adverbial. Selain itu, pronomina -ku dituliskan selalu berhimpit dengan kata kaki
78
pada setiap larik, sehingga menimbulkan efek bahwa kaki di sini benar-benar bagian tubuh dari aku lirik. Pada larik ke-2 luka kakiku, kata luka yang pada larik ke-1 dituliskan di akhir, pada larik ke-2 berubah posisi dengan menempatkannya di awal, sehingga menimbulkan kesan bahwa larik ke-2 hadir sebagai penegasan larik pertama, bahwa kaki aku lirik benar-benar terluka dengan menempatkan kata luka sebagai objek di awal larik. Pada larik ke-3 kakikau lukakah ditemukan keganjilan yang secara sintaksis pada frase kakikau seharusnya ditulis secara terpisah, karena kau merupakan kata sapaan bebas (dalam hal ini seharusnya pronomina –mu yang digunakan untuk menunjukan kata ganti kepemilikan). Seperti pada penulisan frase kakiku, frase kakikau juga selalu ditulis berdampingan pada semua larik, sehingga menimbulkan kesan bahwa ada dua subjek pada puisi itu, sehingga memperkuat bahwa kakiku dan kakikau hadir secara terpisah. Pada larik ke-3 ini frase kakikau hadir didampingi dengan frase lukakah. Larik ke-3 memiliki pola yang sama dengan larik pertama. Namun pada larik ke-3 subjek mengacu pada pronomina –kau yang entah mengacu kepada siapa. Pada penulisan larik ke-4 lukakah kakikau secara struktur hampir sama dengan penulisan larik ke-2, di mana kata lukakah dipindahkan posisinya menjadi di depan larik, sehingga menimbulkan penekanan bahwa kata luka merupakan titik fokus dari permasalahan yang ditanyakan aku lirik kepada tokoh –kau. Pada larik ke-5 kalau kakikau luka diawali dengan sebuah konjungtor/kata penghubung bersyarat kalau dan didampingi subjek kakikau dan luka sebagai keterangan. Penempatan klausa adjektiva di awal larik menegaskan bahwa aku lirik mulai mengalami kebimbangan akan posisi aku lirik terhadap kau. Larik ke-6 lukakukah kakikau sesungguhnya terdiri dari beberapa kata yang secara penulisan disatukan. Larik ini terdiri dari beberapa kata dan partikel yaitu; luka, -ku, -kah, kaki, dan kau, namun dikarenakan penulisannya disusun
79
secara menyatu, menciptakan efek yang berbeda ketika dibacakan. Pada larik ini hadir sufiks –kah yang memberikan efek pertanyaan yang hadir dari sebuah keraguan. Setelah pada
larik ke-5 hadir kata kalau maka larik ke-6 hadir
sebagai penguat akan kebimbangan aku lirik. Terlebih lagi ketika dilihat secara struktur, penyair menempatkan pronominal ku di awal larik larik ke-6 dan ke-7 dan memposisikan sebagai subjek, sehingga memberi tanda kepada pembaca bahwa pada larik ini aku lirik menjadi titik fokus utama. Konstruksi serupa terdapat juga pada larik ke-8 dan ke-9, namun pada larik ini titik fokus dipusatkan pada tokoh kau, yang berarti aku lirik meminta jawaban atas kebimbangannya. Hal ini bisa dilihat dengan ditempatkanya klausa lukakaukah di awal larik yang kemudian diikuti dengan frase kakiku, dengan pronomina –kah hadir sebagai bentuk kata tanya kepada tokoh kau. Selanjutnya larik ke-9 hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat pada larik ke-8 kalau lukaku lukakau, dengan menempatkan kata kalau di awal larik, sebagai bentuk penguat pertanyaan pada larik ke-8, dengan melihat kata kalau sebagai kata penghubung bersyarat. Hal yang menarik dari dua larik setelahnya yaitu larik ke-10 kakiku kakikaukah dan ke-11 kakikaukah kakiku yaitu hanya di dua larik ini saja, kata luka tidak hadir. Jika larik ke-10 dipisah-pisah maka akan didapatkan kaki (adj), -ku (pronomina), kaki (nomina), kau (predikat) dan dapat dikategorikan sebagai frase adjektiva, kemudian ditambahkan -kah sebagai partikel tanya. Dari hal tersebut terlihat bahwa larik ke-10 merupakan jenis klausa introgatif yang merupakan bentuk kebimbangan dari aku lirik kepada tokoh kau. Pertanyaan tersebut dipertegas kembali pada larik ke-11 dengan menempatkan kakikaukah sebagai bentuk pertanyaan di awal larik. Pada larik ke-12 kakiku luka kaku, dimana frase kakiku hadir sebagai subjek dengan adanya pronominal –ku. Kata luka hadir sebagai objek yang kali ini didampingi dengan kata kaku sebagai keterangan dan berfungsi sebagai informasi akan jenis luka yang dialami aku lirik.
80
Berbeda dengan larik ke-9 yang hadir sebagai penguat larik ke-8, larik ke13 kalau lukaku lukakau hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat pada larik selanjutnya yaitu larik ke -14. Penempatan kata kalau di awal larik, merupakan penguat pertanyaan dengan menggunakannya sebagai kata penghubung bersyarat di awal larik. Pada larik ke-14 lukakakukakiku lukakakukakikaukah
ditemukan
kesulitan
untuk
menentukan
struktur
sintaksisnya, karena kata-kata tersebut disusun secara berhimpitan. Maka dari itu pada larik ini akan dilakukan penedahan larik menjadi kata-perkata. Kata lukakakukakiku sesungguhnya terdiri dari susunan kata luka, kaku, kakiku dan kata lukakakukakikaukah terdiri dari susunan kata luka, kaku, kaki, kau, -kah, dan dapat dikatakan bahwa larik ke-14 terdiri dari dua klausa, yaitu klausa pasif. Larik ke-15 lukakakukakikaukah lukakakukakiku memiliki pola yang serupa dengan larik sebelumnya. Hanya saja pada larik ke-15 lukakakukakikaukah ditempatkan posisinya di awal sebagai objek yang diiringi keterangan, yang subjeknya adalah kau, sehingga menimbulkan kesan bahwa yang ingin diterangkan sebagai fokus pada larik ini adalah tokoh kau. Dari analisis sintaksis ini terlihat bahwa pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, kebimbangan merupakan kata kunci pada puisi ini. Hal tersebut terlihat dari penggunaan partikel tanya-kah yang terdapat pada hampir keseluruhan larik. Selain itu dengan mempertimbangkan puisi ini dalam wujud lisan, ketika dibacakan
pertikeh –kah
akan membuat larik-larik tersebut
berintonasi sebagai sebuah pertanyaan, selain itu, kata kalau sebagai konjungtor bersyarat pada puisi ini hadir sebagai penguat akan kebimbangan yang dirasakan aku lirik. 3.Analisis Aspek Semantik Dari judulnya, puisi “BELAJAR MEMBACA” memberi kesan berisikan pengalaman yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yang dalam hal ini berkaitan dengan kepekaan untuk melihat dan merenungi keadaan sekitar. Berdasarkan analisis bunyi dan analisis sintaksis yang telah dilakukan
81
sebelumnya, dapat dikatakan perenungan dan penghayatan tersebut tertuju akan keberadaan kau yang mengacu kepada Tuhan. Penggunaan klausa “BELAJAR MEMBACA” yang hanya terdapat pada judul menimbulkan kesan sebagai ringkasan isi puisi ini secara keseluruhan. Untuk membuktikan kesan tersebut maka akan dilakukan analisis semantik yang mencakup tahapan denotatif, konotatif, gaya bahasa dan isotopi pada puisi ini. a) Denotatif dan Konotatif Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya membentuk sebuah majas pada puisi, pada penelitian ini ditentukan terlebih dahulu suatu peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih, berdasarkan peran semantisnya. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, peneliti menemukan adanya dua peserta: -ku (subjek) dan kau yang menyatakan peserta peruntuk yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara. Apabila dihubungkan dengan isi setiap larik dalam satu bait, larik pertama memberikan infomasi awal kepada pembaca tentang apa yang dirasakan oleh aku lirik. Frase kaki-ku berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia secara denotatif berarti anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan; 2 bagian tungkai yang paling bawah; 3 bagian suatu benda yang menjadi penopang yang berfungsi sebagai kaki; bagian bawah. 5 Secara sederhana dapat diartikan sebagai penyanggah, hal penopang tokoh aku [-ku] yang kemudian diperkuat dengan kata luka yang menggambarkan bahwa sesuatu yang menjadi dasar penopang dalam kehidupan aku lirik sedang terluka, sedang bermasalah. Sementara itu secara denotatif kata luka bermakna belah (pecah, cedera, lecet dsb) pada kulit karena kena barang yang tajam dsb.6 Dari hal tersebut secara konotatif, larik pertama mengisaratkan kepada pembaca bahwa dalam puisi ini yang menjadi tema utama adalah pemasalah luka pada hal yang 5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 605 6 Ibid., h. 845
82
mendasar, sesuatu yang fundamental. Diksi luka yang berakhiran [a] juga memberikan kesan keterbukaan yang berarti luka disini sebagai sesuatu yang besar, dan menganga. Hal ini dipertegas kembali pada larik ke-2 dengan menempatkan kata luka di awal larik pada baris ke-2. Perubahan konstruksi pada larik kedua, secara konotatif memberikan arti bahwa luka di sini merupakan luka yang serius, dikarenakan bersemayam pada sesuatu yang fundamental. Pada larik ke-3 untuk pertama kalinya muncul tokoh kau yang tidak jelas mengacu kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf. Secara denotatif kata kau merupakan bentuk lain dari kata engkau yang secara denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya, digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan. Dari pengertian tersebut dapatlah disimpulkan kau yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara oleh aku lirik, mengacu kepada Tuhan. Selain itu pada larik ke-3 dan ke-4 muncul sebuah pertanyaan yang secara denotatif bermakna “mungkin” dengan penempatan pronomina –kah pada kata luka sehingga menjadi frase lukakah yang merupakan bentuk lain kata tanya. Kemudian hal yang sama juga dilakukan penyair pada larik ke-4 dengan menempatkan frase lukakah di awal larik dan menempatkan sebagai subjek. Dengan menempatkan pertanyaan di awal larik, secara konotatif menunjukan adanya luka yang benar-benar mengganggu batin aku lirik. Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kaki kau jika dikaitkan dengan larik sebelumnya, kata kalau disini secara konotatif bermakna bahwa aku lirik sedang merasakan duka, sedih, kesakitan. Kesakitan tersebut diikuti dengan pertanyaan apakah kau lirik juga merasakan apa yang aku lirik rasakan, sehingga bisa dikatakan larik ke-5 dan ke-6 secara konotatif bermakna sebagai penegasan tokoh aku, kepada tokoh kau.
83
Pada larik ke-7 penyair kembali membawa pembaca untuk mengingat pokok permasalahan pada larik pertama, yaitu kakiku luka. Selain itu pada larik ke-8 penegasan di sini tidak sama dengan penegasan yang sebelumnya dilakukan pada kata luka di larik ke-2. Kata luka ditempatkan di awal sebagai subjek namun diiringi dengan kata kaukah, sehingga penekanan luka disini secara konotatif hadir untuk mempertegas lukakaukah kakiku, yang langsung disambung dengan larik ke-9 kalau lukaku lukakau, sehingga dapat disimpulkan larik-larik; kakiku luka, lukakaukah kakiku, kalau lukaku lukakau, hadir sebagai penegasan akan sumber luka yang tokoh aku lirik rasakan. Selanjutnya pada larik ke-10 dan ke-11, tidak dijumpai adanya kata luka. Hal ini cukup menarik, mengingat hanya pada dua larik ini saja, kata luka tidak hadir, sehingga secara konotatif bermakna akan pertanyaan, sekaligus tanda bahwa ada hal yang ingin dilepaskan tokoh aku lirik terhadap tema utama yang dibawakan dari awal larik hingga larik ke-9. kakiku kakikaukah kakikaukah kakiku Pada kedua larik ini secara denotatif penyair lebih fokus menanyakan akan kesatuan tubuh dan jiwa antara aku lirik dan kau. Pertanyaan akan kesatuan jiwa menjadi lebih penting, sehingga luka yang menganga sebelumnya tidak lebih berarti pada pengakuan kau terhadap –ku. Selain itu, sama halnya dengan larik-larik sebelumnya, perubahan konstruksi antara larik ke-10 dan ke-11 secara konotatif bermakna penekanan akan bentuk pertanyaan. Hal ini terlihat dengan penempatan partikel –kah di awal larik sebagai bentuk pengukuhan atas pertanyaan. Selanjutnya pada larik ke-12 kakiku luka kaku secara denotatif berarti aku lirik sedang memberikan informasi bahwa luka yang di alami aku lirik merupakan luka kaku. Kata kaku secara denotatif berarti keras tidak dapat dilenturkan; keju; kejang, sukar diberi tahu; tidak lemah lembut. Luka disini hadir jauh lebih kuat dari pada luka yang disampaikan pada larik-larik
84
sebelumnya. Pada larik kakiku luka kaku secara konotatif dapat diartikan luka yang kaku, luka yang menganga, namun tak juga bisa diobati. Luka abadi dikarenakan tak dapat bertindak, kaku mematung, yang jika dihubungkan dengan larik ke-13 kalau lukaku lukakau, maka secara konotatif kata kaku yang berada pada larik ke-12 dapat bermakna bahwa hati aku lirik begitu sakit, begitu kejang, begitu sukar, jika sakit yang dialaminya menyebabkan kau menjadi sakit. Pada intinya melalui dua larik ini, penyair ingin memberitahu sakit yang dirasakannya akan bertambah sakit jika, luka tersebut penyebab tokoh kau sakit. Pada penutup puisi ini, masih lahir pertanyaan yang sama dan dipertegas lagi dengan pernyataan bahwa aku lirik merasakan sakit yang terlalu menusuk, sehingga tak dapat lagi menahannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan menambah kata kaku di belakang kata kakiku luka. Dengan keadaan luka yang sangat menyakitkan ini, dipertanyakan lagi hal yang sama dengan emosi yang lebih ditekan oleh aku lirik.
lukakakukakiku lukakakukakikaukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Selain itu pada larik terakhir ini, kata-kata yang digunakan untuk membangun puisi ini hadir secara keseluruhan dan hadir disusun dengan berhimpitan. Kerapatan kata-kata tersebut semakin memuncak sampai pada larik ke-15. Kerapatan ini juga tidak sekedar dalam bentuk kata, namun jika dibacakan akan menghasilkan bunyi yang lebih kuat, dan memaksa kita bergerak lebih cepat. Seakan mengisyaratkan kepada pembaca bagaimana proses tokoh aku lirik dalam mendekati tokoh kau, yang selama perjalanan sempat mengalami kebimbangan, dan ketidakpastian. Hal ini terlihat dengan hadirnya kata kalau sebanyak tiga kali. Namun pada akhirnya keyakinan aku lirik membulat, bahkan tidak peduli akan luka, yang menjadi kaku, sehingga membuat aku menjadi lebih dekat (merapat) dengan kau.
85
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keseluruhan puisi ini menampilkan hubungan antara aku lirik dan tokoh kau, serta kebimbangan yang dirasakan aku lirik terhadap kau yang mengacu kepada Tuhan. Secara tipografi sesuai dengan judul puisi yaitu “BELAJAR MEMBACA” proses pencarian dan pendekatan diri aku lirik terhadap Tuhan juga bertahap. Larik pertama hanya tersusun dari dua kata, dengan jarak antar kata yang juga sesuai, namun pada larik berikutnya dan semakin kebawah jumlah kata akan meningkat, dengan susunan kata ditulis tanpa spasi, sehingga adanya bentuk kedekatan diri aku lirik dengan kau yang sudah meningkat.
b). Analisis Gaya Bahasa 1) Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Ketika membahas struktur puisi yang paling terlihat adalah adanya gaya bahasa repetisi yang digunakan dalam puisi ini. Repetisi yang dibicarakan pada puisi ini berbentuk pengulangan kata, frase atau pun klausa. Repetisi yang demikian terlihat pada keseluruhan larik. Dari lima belas larik yang ada sesunguhnya hanya tersusun dari 5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x, kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel – kah 6x, dan –ku 13x. Kelima kata dan 2 pertikel tersebut hadir secara berulang sehingga menghasilkan sebuah gaya bahasa paraleisme. Kata kaki dan luka berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian katakata atau frase, sehingga menduduki fungsi yang sama dalam gramatikal yang sama. Pengulangan kata kaki dan luka yang berulang-ulang pada setiap kontruksi di setiap larik membuat repetisi ini dimasukan kedalam jenis repetisi tautotes.7 Selain kuat akan gaya repetisi, pada puisi ini juga dominan dengan gaya bahasa aliterasi. Larik 1-5 kakiku luka, luka kakiku, kakikau lukakah, lukakah kakikau, kalau kakikau luka terjadi perulangan konsonan yang sama, dan dalam hal ini terjadi di keseluruhan larik.
7
Salah satau jenis repetisi atas kata berulang –ulang dalam sebuah konstruksi. Baca: Gorys Keras, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke-12, h. 127
86
2) Analisis Gaya Bahasa Kiasan/Figuratif Pertama-tama ditentukan dahulu adakah pembentuk atau persamaan pada kata di setiap lariknya. Membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain, dilakukan untuk menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan di sini dilakukan dalam rangka menentukan apakah larik tersebut merupakan gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang merupakan bahasa kiasan. Bila dibaca sepintas lalu, puisi ini tidak mengandung banyak majas, yang tampak hanya gambaran seorang yang kakinya terluka, dan berharap bahwa luka yang di rasakan tidaklah miliknya seorang dan adanya harapan penyatuan antara aku lirik dengan kau. Namun jika diperhatikan dengan lebih seksama, keseluruhan puisi ini merupakan metafora dari eksistensi manusia di hadapan Tuhannya. Larik pertama diawali dengan kata kakiku merupakan majas sinekdoke pars pro toto. Kata kaki di sini tidak hadir sebagai perwakilan bagian anggota tubuh, namun sebagai bagian keseluruhan aku lirik, sehingga ditambahkan dengan pronomia –ku sebagai acuannya. Kaki sini juga lebih bermakna konotatif, yang berarti landasan hidup yang terluka. Larik ini mengantarkan pembaca pada suasana sedih yang dikemukakan aku lirik. Begitu pun pada larik selanjutnya, masih dalam tataran struktur yang sama. Pada larik ke-12 kakiku luka kaku di larik ini, penyair menggabungkan kata luka dan kaku. Luka yang berarti bukan sebagai tertusuk benda tajam, atau terbukanya kulit maupun daging, dikarenakan kaku pun bukan itu penyebabnya. Kaku yang berarti diam, tak bergerak, tak bisa melakukan yang diinginkan, sehingga luka menjadi arti baru sebagai keadaan tertekan, tidak mampu berbuat banyak. Dengan menggunakan bahasa kiasan luka kaku penyair mengantarkan perasaan yang ingin disampaikan aku lirik yaitu kesedihan dan kesakitan.
87
e) Analisis Isotopi Sebelum melakukan analisis semantik pada tataran pembagian isotopi pada puisi “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri, terlebih dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan sebagai tema utama yang dibicarakan. Puisi “BELAJAR MEMBACA” sesungguhnya hanya tersusun dari 5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x, kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel –kah 8x, dan –ku 13x Dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi ini, tema berpusat pada hubungan antara kaki dan luka yang dalam hal ini terjadi antara aku lirik dan kau. Penentuan luka sebagai tema besar berdasarkan jumlah kemunculannya tidak dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu analisis isotopi dirasa perlu untuk menguatkan penentuan tema besar yang dibicarakan pada sebah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik menjadi kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai kelompok isotopi yang bersama, yaitu isotopi kedekatan, isotopi penderitaan, dan isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut dapat di lihat pada tabeltabel berikut. Tabel 1 Isotopi Kedekatan Klausa yang termasuk
Denotatif
Komponen makna
isotopi kedekatan dan
(d) atau
bersama
kemunculannya
konotatif (k)
Jarak
Jarak
Mental
fisik
lukakaukah kakiku
K
+
lukaku lukakau (2x)
K
+
88
kakiku kakikaukah
K
+
kakikaukah kakiku
K
+
lukakukah kakikau
K
+
lukakakukakiku
K
+
K
+
lukakakukakikaukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Jumlah klausa yang termasuk isotopi kedekatan
ada 7 buah. Klausa
lukakaukah kakiku, lukaku lukakau (2x), kakiku kakikaukah, kakikaukah kakiku, lukakukah kakikau, lukakakukakiku lukakakukakikaukah, lukakakukakikaukah lukakakukakiku, dimasukkan ke dalam isotopi kedekatan karena ketujuh klausa tersebut berkonotatif kedekatan (kedekatan yang tidak terbatas). Klausa lukaku lukakau diulang dua kali karena berkaitan dengan pernyataan aku lirik yang merasa dekat dengan kau yang mengacu kepada Tuhan. Di antara kedua komponen makna tersebut, “jarak mental” menjadi komponen utama yang menonjol. Hal ini berkaitan dengan sifat kedekatan antara aku lirik dengan kau, yaitu kedekatan yang bersifat mental atau rohani/spiritual. Tabel 2 Isotopi Penderitaan Kata/frase/ yang
Denotatif
termasuk isotopi
(d) atau
penderitan dan
konotatif
kemunculannya
(k)
luka 17x
D
Komponen makna bersama Derita/sa
cara
Proses
+
-
kit
+
89
kaku 5x
D
+
+
-
kakiku luka
D
+
+
-
luka kakiku
D
+
+
-
Kata dan frase pada tabel 2 yang mendukung isotopi penderitaan hanya berjumlah 4. Kata luka dan kaku serta frase kakiku luka dan luka kakiku dimasukan kedalam isotopi penderitaan karena secara denotatif bermakna penderitaan. Kata luka secara denotatif dapat bermakna keadaan belah jika terjadi dalam tubuh menjadi belah (pecah, cidera, lecet, dsb) pada kulit karena terkena barang yang tajam. Sedangkan dalam pengertian konotatif, kata luka bisa mengacu pada keadaan psikologis perihal perasaan, perihal kejiwaan. luka itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena rasa sakitnya. Berikutnya adalah kata kaku yang memiliki banyak pengertian. Kata kaku bisa berarti keras tidak dapat dilenturkan, keju, kejang. keras dan liat. sukar diberi tahu, tumpul pikiran. Kata ini dapar digolongkan menjadi isotopi kesakitan karena kaku akan membuat baik fisik, mental, maupun kejiwaan orang yang mengalaminya terasa sakit dan sedih. Dalam kemunculannya pada dua larik terakhir, kata luka dan kaku hadir berdampingan dan berhimpitan, yang dalam hal ini berarti luka yang dialami aku lirik, makin menjadi dikarenakan luka tersebut adalah luka kaku. Penderitaan yang dialami aku lirik dalam hal ini adalah penderitaan yang bertempat pada pijakan, penderitaan yang keras, yang liat yang sukar disembuhkan pada penopang kehidupan. Komponen yang dominan dalam isotopi tersebut adalah derita/sakit. Dominannya komponen makna tersebut berkaitan dengan penderitaan yang sedang dirasakan aku lirik sejak awal hingga akhir larik.
90
Tabel 3 Isotopi Persepsi Pengukuhan Kata/frase/
Denotatif
klausa yang
(d) atau
termasuk isotopi
konotatif
pengkuhan dan
(k)
Komponen makna bersama Mengukuhan
Ragu
Proses
D
+
+
+
kakikau lukakah
D
-
+
-
lukakah kakikau
D
+
-
-
lukakukah
D
+
-
+
D
-
+
-
D
-
-
+
D
-
+
-
D
+
-
-
kebimbangan
-kah 7X
kakikau lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau 2X kakiku kakikaukah kakikaukah kakiku
Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat 7 frase dan 1 partikel –kah yang termasuk kedalam isotopi persepsi kebimbangan. Kata-kata yang mendukung isotopi persepsi bimbang umumnya bermakna denotatif. Secara
91
denotatif partikel –kah bermakna sebagai bentuk terikat yang berfungsi mengukuhkan maupun memperhalus pertanyaan. Dalam hal ini partikel –kah termasuk kedalam isotopi kebimbangan, dikarenakan ia menempel pada kata maupun frase yang mengindikasikan ketidakyakinan. Komponen makna yang menonjol adalah “mengukuhkan”. Menonjolnya komponen makna pengukuhan berkaitan dengan kegiatan penyatuan diri yang dalam dimensi sufistik berwujud batiniyah. Dari ketiga tabel tersebut terdapat tiga motif utama yang menonjol pada masing-masing isotopi, yaitu komponen makna kedekatan jarak mental, kesakitan, dan pengukuhan. Berdasarkan komponen makna tersebut dapat dikemukakan bahwa tema puisi “BELAJAR MEMBACA” adalah penyatuan aku lirik yang dalam hal ini adalah seorang hamba, dengan Tuhan. Proses penyatuan ini bersifat batiniyah, dan dilakukan dengan perasaan dan proses keyakinan. Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, gaya bahasa, dan isotopi) puisi “BELAJAR MEMBACA” bermakna penyatuan jiwa yang dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya. Penyatuan yang sangat dalam antara aku lirik dan Tuhan. Oleh karena perasaan keakraban yang sangat dalam, aku lirik merasa menjadi bagian dari Tuhan. Pada saat bersatu dengan Tuhan itulah aku lirik mendapat keyakinan dan kemantapan hati.
4 Analisis Aspek Pragmatik Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, aku lirik ditampilkan sejak awal larik melalui partikel -ku yang terdapat di larik pertama yaitu kakiku luka. Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan kepada pembaca, tentang situasi yang sedang dialami aku lirik dalam puisi ini. Kemunculan kata luka pada larik ini menginformasikan kepada pembaca bahwa aku lirik sedang berada dalam kondisi terluka, yang kemudian diperkuat kembali di larik kedua dengan menempatkan kata luka di awal larik. Pada larik ke-3 hadir kau lirik melalui kata kakikau, yang memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini menceritakan dialog antara aku lirik dengan kau yang tidak jelas mengacu
92
kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf Berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan semantik dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal demikian terlihat dengan frase kakikau, pada larik ke-3. Kata kau merupakan bentuk lain dari kata engkau yang secara denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya), digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa kau pada puisi itu mengacu kepada Tuhan. Kata aku di awal larik pertama dan pronomina kau pada larik ke-3 memberikan tanda kepada pembaca bahwa pada puisi ini, terjadi sebuah dialog berbentuk pertanyaan dari aku lirik kepada tokoh kau. Hal ini terlihat dengan kehadiran partikel –kah sebagai bentuk tanya. Percakapan pada puisi ini merupakan percakapan satu arah, atau bisa dikatakan sebagai monolog, yang jika diamati melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya. Dialog-dialog tokoh kau yang diterima pembaca/pendengar sesunguhnya didapat dari perkataan aku lirik, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini tidak berkata sedikit pun dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi dari kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik. Larik pertama aku lirik mulai menghadirkan dirinya melalui perwujudkan kaki yang terluka, hadir dengan membawa penderitaan yang ingin disampaikan. Masalah penderitaan yang diwakili melalui diksi luka dipertegas kembali pada larik ke-2 dengan menempatkan kata luka di awal larik. Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kakikau terjadi suatu pertanyaan seberapa dekat aku lirik dengan sosok kau, sehingga dapat disimpulkan larik tersebut adalah penegasan eksistensi aku lirik dalam hubungannya dengan kau yang dapat kita simpulkan sebagai Tuhan. Terjadi pengulangan hal yang serupa pada larik berikutnya hingga larik terakhir. larik berikutnya berisikan ungkapan penyatuan antara aku lirik dengan Tuhan, yang dikemas apik melalui permainan unsur bunyi, dengan pengulangan penggunaan kata, yang menghasilkan intonasi vokal yang sama. Hal demikian tidaklah heran, dikarenakan dalam tradisi sufi, puisi dipandang sebagai proyeksi
93
zikir dan ekpresi kerinduan untuk bersatu dengan kekasih. Tujuan zikir disini ialah agar seorang salik lebih dekat dengan Tuhan. Menurut Ibn Arabi zikir sama dengan fana dan zikir memiliki kaitan erat dengan makrifat. 8 Keadaan ruhani yang berhubungan erat dengan zikir inilah yang disampaikan para sufi di dalam puisi-puisi sufistik mereka. Karena makrifat dan zikir merupakan realisasi dari tauhid Sebagai proyeksi zikir dan ekpresi kerinduan, keindahan yang dihadirkan, puisi “BELAJAR MEMBACA” dimaksudkan agar dapat menerbitkan keadaankeadaan ruhani yang diperlukan oleh pembaca dalam mencapai musyahadah yang diartikan oleh al-Hujwiri sebagai upaya untuk merenungi Tuhan secara ruhaniah9. Puisi “BELAJAR MEMBACA” dan puisi-puisi Sutardji pada umumnya akan memiliki unsur mistik yang jauh lebih kuat ketika ditampilkan dalam pertunjukan pembacaan puisi. Selain itu sebagai puisi yang kuat dengan dimensi sufistik, dan permainan tipografi yang unik (permainan struktur kata dan pemainan bunyi) puisi ini pun penuh dengan nilai-nilai religius yang dapat digunakan sebagai pembentuk dan pembelajaran rohani siswa. lukakakukakiku lukakakukakikaukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku Melalui larik di atas, dapat dilihat bagaimana proses penyatuan aku lirik dengan kau. Proses menyatu disini diibaratkan sampai pada penyatuan wujud, yang sejatinya hanya sebagai simbol penyatuan spiritual. Pada larik ini pun kuat akan ekpresi nilai-nilai tauhid dari nilai makrifat sebagai akhir perjalanan seorang sufi sebagai penyaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah swt. Dalam puisi ini tergambar bahwa hubungan aku lirik dan kau sangat akrab atau bersatu, namun kau tidak dapat menjawab atau berreaksi terhadap pernyataan aku lirik karena hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Tuhan dalam puisi ini merupakan pemantul/cermin yang dianggap dapat mendengar ungkapan isi hati aku lirik, sehingga dapat dikatakan berbicara dengan Tuhan adalah sama halnya dengan berbicara pada diri sendiri. Oleh sebab itu, puisi “BELAJAR 8 9
Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.32 Ibid., h. 72
94
MEMBACA” merupakan monolog aku lirik tentang perasaan kedekatan atau penyatuan dengan tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan. Berdasarkan analisis aspek pragmatik diatas, Tuhan sebagai pendengar dalam puisi ini pada dasarnya adalah sama dengan diri aku lirik yang berarti, tindakan aku lirik yang berbicara pada Tuhan adalah sama dengan aku lirik berbicara pada dirinya sendiri. Menyatunya aku lirik dengan pendengar dalam puisi itu dapat memperkuat atau mendukung makna puisi yang menggambarkan perasaan keakraban yang sangat dalam atau persatuan aku lirik (manusia) dengan Tuhan. Sebagai puisi sufistik, puisi ini merupakan bentuk pengalaman estetik yang tinggi dan bersifat keruhanian, makrifat. Hikmah dari sebuah puisi dan ungkapan tentang aku lirik dan kau yang merupakan aspek kognitif, bukan semata-mata perasaan. Maka penyatuan luka di dalam puisi ini berkaitan dengan bentuk penyatuan yang universal dan hakiki. Dilihat dari sudut pandangan ini puisi “BELAJAR MEMBACA” sebagai sastra yang kuat dengan dimensi sufistik merupakan ekspresi estetik yang berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan kau yang dalam hal ini mengacu kepada Allah. Allah dengan segala keagungan dan keindahan-Nya menjadi tumpuan utama renungan penyair-penyair sufi. Zikir sebagai ikhtiar keruhanian merupakan tangga naik menuju alam transendental, suatu alam yang disebutkan oleh perkataan zikir tersebut, puisi “BELAJAR MEMBACA” ditulis untuk membawa pembaca melakukan kenaikan, pendakian atau mi’raj ke alam malakut dengan segala kesempurnaannya. C. Dimensi Sufistik Pada Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Berdasarkan uraian pada analisis semiotika dengan tiga tahapan analisis yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik, kedua puisi Sutarji Calzoum Bahcri yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” memiliki dimensi sufistik yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan mengaitkan analisis aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik yang telah dilakukan.
95
Puisi pertama “TAPI” menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku lirik (sebagai hamba). Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani, melalui perasaan, atau perenungan yang berlangsung dalam proses yang panjang dan rumit. Perjalanan rohani aku lirik sebagai hamba dalam mencari penerimaan/pengakuan cinta dari Tuhan terjadi dalam ruang (yang bersifat fisik dan nonfisik) dan dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur-unsur fisik dan nonfisik (emosi atau perasaan). Dalam pencarian penerimaan/pengakuan cinta kepada Tuhan aku lirik yang dalam hal ini sebagai hamba, berhasil mendapatkan penerimaan. Meskipun penerimaan
dan
penyatuan dalam
puisi
tersebut
tercapai,
aku
lirik
berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka-teki yang sulit dirumuskan dengan pasti karena memang Tuhan tidak dapat dirumuskan. Puisi ini pada hakikatnya merupakan monolog aku lirik, sang penyair tentang pengalaman rohaninya dalam mencari Tuhan. Makna puisi “TAPI” didukung oleh aspek sintaksis dan aspek pragmatik. Aspek sintaksis puisi “TAPI” memperlihatkan bahwa pola sintaksis atau pola kalimat berkaitan erat dengan makna yang dalam hal ini kalimat-kalimat yang membentuk puisi tersebut adalah kalimat tunggal dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat tunggal menimbulkan kesan ada sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri. Hal ini dapat dihubungkan dengan eksistensi aku lirik (manusia) dan Tuhan yang secara lahiriah tampak terpisah. Meskipun secara lahiriah manusia dan Tuhan itu tampak terpisah, tetapi secara rohaniah manusia dan Tuhan itu berkaitan, bahkan dapat bersatu. Hal ini didukung dengan adanya pola kalimat majemuk bertingkat yang tercipta, sehingga menimbulkan kesan dua hal yang terpisah tetapi berkaitan dan dua hal yang menyatu. Pola kalimat majemuk bertingkat dalam hal ini mendukung aspek makna persatuan manusia dengan Tuhan, yang tercermin pada ekstase mistis. Melihat bahwa pencarian penerimaan cinta aku lirik kepada Tuhan sebagai hamba berlangsung dalam proses panjang: melalui cara tertentu, penuh dengan misteri. Ketika kalimat tunggal tersebut disatukan dengan
96
konjungsi kata tapi, kesan itu menguatkan keberadaan aku lirik dan Tuhan yang terlihat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Kalimat majemuk bertingkat sangat mendukung makna puisi, yaitu persatuan dan aku lirik di mata Tuhan. Pada uraian di atas telah dijelaskan hubungan antara aspek sintaksis dengan aspek semantik puisi “TAPI” selanjutnya akan dilihat hubungan aspek pragmatik dengan aspek semantik. Seperti sudah dijelaskan pada landasan teori, bahwa masalah pragmatik dibatasi pada cara hadirnya pembicara dan pendengar. Dilihat dari sudut tersebut, aspek pragmatik puisi tersebut berkaitan erat dengan aspek maka. Tipografi dan kalimat majemuk bertingkat pada puisi tersebut menciptakan makna hubungan aku lirik merupakan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Secara lahiriah pendengar dalam puisi itu seakan-akan terdapat dialog antara dua orang, akan tetapi dilihat dari fungsi pemantul, pendengar itu sesuangguhnya merupakan satu subjek, yaitu kau lirik sendiri. Menyatunya pembicara dengan pendengar sangat menunjang makna puisi yang menggambarkan usaha aku lirik sebagai hamba dalam menggapai cinta Sang Ilahi. Dalam gagasan Imam al-Ghazali isyq adalah cinta yang amat mendalam dan mengungguli segala sesatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran Imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan. Orang yang mencintai keindahan tertinggi akan mengalami kebenaran penyatuan ini. Manusia mencintai Tuhan disebabkan adanya munasabah antara jiwa manusia dengan asal-usul kejadian dirinya di alam KeTuhanan. Sesungguhnya manusia mendapat bagian dari kodrat dan sifat-sifat Ilahi dan karena itu Imam al-Ghazali yakin bahwa dengan berbekal ilmu dan cinta, manusia akan mencapai kehidupan kekal. Oleh sebab itu sudah sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa terbit perasaan rindu kepada Tuhannya.10
10
Ibid., h. 53
97
Penggunaan tema Cinta dan keakraban makhluk khalik pada karya-karya sufistik memang bukanlah hal yang aneh, dikarenakan tema cinta selalu diungkapkan oleh penyair-penyair sufi sejak dahulu hingga masa yang paling akhir, yakni sejak Rabi’ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 hingga sampai Mumammad Iqbal pada abad ke-20.11 Perhentian-perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabba atau cinta dan makrifat. Kadang-kadang keadanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang cinta dianggap lebih utama , dan ada kalanya makrifat dipandang lebih tinggi. Imam al-Ghazali menekankan: ―Cinta tanpa makrifat tidak mungkin—orang hanya dapat mencinta sesat yang dikenal‖12 Di dalam Ihya bab IV, bab yang secara keseluruhan membahas masalah cinta dan dasar-dasar estetika sufi, al-Ghazali menegaskan bahwa isyq merupakan peringkat keruhanian dan tujuan akhir ahli suluk. Imam al-Ghazali, mengungkapkan seorang pecinta adalah dia yang telah mencapai makrifat (arif), sebab siapa mengenal Tuhannya (makrifat) maka sesungguhnya dia mencintaiNya. Dikatakan pula oleh Imam al-Ghazali bahwa bagi orang yang mencintaiNya Tuhan akan melimpahkan pengetahuan mengenai Kekasih lebih banyak. Selain itu seorang pecinta akan memperoleh penglihatan indah
yang
menerbitkan kebahagiaan persatauan dengan Kekasih Dalam Ihya, Imam al-Ghazali membagi cinta menjadi lima; (1) Cinta diri, berupa keinginan akan kesempurnaan diri mencakup cinta kepada tubuh, kekayaan, istri, anak, karib kerabat, dan lain-lain. (2) Cinta yang terbit disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dari objek yang dicintai (3) Cinta yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4) Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta seorang Muslim kepada Nabi Muhammad saw; (5) Cinta yang lahir karena
11 12
Ibid., h.35 Schimmel, loc. cit.
98
adanya munasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara Pecinta dengan Kekasihnya.13 Jika merujuk pada pembagian cinta yang dilakukan al-Ghazali, konsep Cinta yang dibawakan pada puisi “TAPI” merujuk pada bagian yang kelima. Yaitu cinta yang lahir karena adanya munasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara pencinta dan kekasihnya. Hal demikian terlihat pada tahapan larik-larik pada puisi “TAPI”. Aku lirik dalam puisi tersebut berusaha keras dalam memperoleh Cinta Sang Kekasih yang dalam hal ini aku lirik sebagai pecinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh, sebab cintanya terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya. Puisi kedua “BELAJAR MEMBACA” merupakan gambaran perasaan keakraban yang sangat dalam (aku lirik atau manusia) terhadap Tuhan. Gambaran perasaan keakraban yang sangat dalam atau bersatunya manusia dengan Tuhan dalam puisi itu mencerminkan konsep tasawuf imam al-Ghazali. Dalam hal ini manusia, dan Tuhan itu berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan karena manusia adalah mahkluk yang diciptakan oleh Tuhan dan sekaligus sebagai bukti adanya Tuhan. Larik-larik keakraban hubungan manusia dengan Tuhan dalam puisi ini sebenarnya merupakan gambaran semacam ekstase mistis menurut Al-Ghazali. Selain itu jika dihubungkan antara aspek sintaksis dengan aspek semantik puisi “BELAJAR MEMBACA” maka akan terlihat adanya persamaan yang menunjukan bahwa pola-pola penyusunan kata-kata pada larik puisi berfungsi mendukung pembentukan makna. Penggunaan klausa dengan struktur sintaksis yang sama dan diulang-ulang pada setiap lariknya menimbulkan kesan keterkaitan atau hubungan yang rapat sekali (persatuan) antara aku lirik dengan Tuhan dan hubungan tersebut tidak berifat fisik, tetapi
bersifat nonfisik
(rohaniah). Selain itu dengan menggunakan larik-larik yang bernada deklaratif menimbulkan kesan informatif, yang dari kesan tersebut mendukung
13
Hadi, op. cit., h. 52
99
pengungkapan pengalaman rohani aku lirik tentang perasaan keakraban yang kemudian menyatu dengan Tuhan. Selanjutnya pada aspek pragmatik dengan aspek semantik, seperti halnya puisi “TAPI”, aku lirik dan pendengar dalam puisi “BELAJAR MEMBACA” sudah menjadi satu. Hal tersebut tergambarkan pada larik-lariknya,m terutama pada
dua
larik
lukakakukakikaukah
terakhir
yaitu
lukakakukakiku.
lukakakukakiku Larik
tersebut
lukakakukakikukah, memberikan
kesan
hubungan yang rapat sekali atau persatuan. Kesan tersebut berkaitan dengan makna puisi dan visual susunan kata-kata yang berhimpitan; perasaan keakraban yang sangat dalam atau persatuan aku lirik dengan Tuhan. Korelasi tersebut menunjukan bahwa aspek pragmatik, khususnya kehadiran pembicara dan pendengar mendukung makna puisi. Dengan mencari hubungan antara beberapa tahapan analisis yang dilakukan pada puisi “BELAJAR MEMBACA” maka terlihatlah konsep ekstase mistik yang dalam konteks ini bukan sebagai persatuan antara dua identitas: manusia dengan Tuhan, tetapi sebagai ungkapan perasaan manusia yang sangat dalam terhadap Tuhan: dalam pikiran aku lirik yang ada hanya Tuhan; Tuhan adalah segala-galanya. Perasaan yang sangat mendalam terhadap Tuhan menyebabkan aku lirik (manusia) merasa bersatu dengan Tuhan. Meskipun demikian, aku lirik memiliki kesadaran
bahwa kedudukan aku dan Tuhan
tetaplah berbeda. Tuhan tetap sebagai yang transenden, dan manusia tetap sebagai makhluk ciptaannya. D.
Implikasi
Puisi
“TAPI”
dan
“BELAJAR
MEMBACA”
Dalam
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi merupakan bagian dari materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam (GBPP) Garis-garis Besar Program Pengajaran di SMA. Oleh sebab itu, materi ajar harus disuguhkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah puisi. Secara tidak langsung dapat
100
dikatakan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila mencakupnya meliputi empat manfaat,
yaitu: membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa dan menunjang pembentukan watak.14 Mengikut sertakan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan tersebut15 Pengajaran sastra sesungguhnya membantu siswa melatih kecakapan yang perlu dikembangkan. Meningkatkan kepekaan dan kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial; serta ditambahkan lagi yang bersifat religius.16 Melihat nilai positif yang terdapat dalam karya sastra, maka karya sastra yang disajikan harus dapat dipahami siswa, sehingga dapat mengungkapkan apa yang didapatkan dari karya sastra tersebut. Suatu karya sastra boleh dimulai dengan misteri, tapi hendaknya berakhir dengan jelas.17 Pada kenyataannya, kegiatan mengapresiasikan sebuah puisi sebagai bagian dari salah satu bentuk karya sastra dalam materi ajar jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut amat terbatas. Hal yang demikian sangat bertolak belakang dengan pendapat Rusyana yang beranggapan bahwa guru sastra dituntut pula agar mempunyai semangat sehubungan dengan pengajarannya, terlebih mempunyai kecintaan pribadi terhadap sastra dan meyakini bahwa pengajaran sastra bermanfaat bagi muridnya. 18 Sudah selayaknya bagi seorang pendidik untuk membantu peserta didik dalam menentukan karya sastra apa saja yang kaya akan nilai-nilai positif dan mengajarkan peserta didik untuk dapat melakukan interpretasi yang baik terhadap karya sastra.
14
Ibid., h.16 Ibid., 16 Ibid., h.19 17 Ibid., h.37 18 Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, (Bandung,: C.V. Diponegoro, 1984), h .332 15
101
Mempelajari puisi, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama lain, karena dalam puisi terdapat semacam komunikasi antara penyair dan pembacanya. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling memahami, dan dalam proses saling memahami inilah terdapat sebuah dialektika yang panjang. Sebab dalam pembelajaran sastra peserta didik tidak hanya sebatas mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menyatakan sikap terhadap nilai-nilai.19 Peran sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter di sekolah. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton pementasan karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan, sehingga siswa cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran. Apabila dikaitkan dengan puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”, seorang pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu membaca, memahami dan menerapkan nilai-nilai keagamaan yang disampaikan dalam puisi tersebut. Hal ini dikarenakan kedua puisi tersebut sarat akan nilainilai keagamaan yang layak untuk dijadikan contoh oleh siswa. Puisi sebagai karya sastra adalah sesuatu yang dapat menyentuh, karena ia berada di wilayah rohani, yaitu sesuatu yang sakral, bersih, tidak ada tendensi, pretensi, dan tidak ada niatan buruk. Selain itu, dalam hal pengajaran kebahasaan, puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih
memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun pragmatik yang dengan demikian pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih menarik. Melalui pendekatan semiotik yang dilakukan pada penelitian ini, pendidik tidak hanya dapat menjelaskan unsur intrinsik dalam sebuah puisi, namun sekaligus dapat memberikan materi kebahasaan, baik pada tataran kata, klausa, dan kalimat, sehingga pemberian materi kebahasaan menjadi lebih 19
Ibid
102
menarik bagai peserta didik. Dalam hal menanamkan nilai-nilai religiusitas terhadap peserta didik, dimensi sufistik yang terdapat pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” mengajarkan aspek rohani dan moral kepada peserta didik, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda krisis spiritual, dan gagap akan jati diri, dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat nilai-nilai keagamaan yang dapat dipelajari. Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan puisi ini diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami dan menentukan nilai-nilai positif yang terkandung dalam puisi. Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan puisi ini, diharapkan siswa mampu menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya turut berpengaruh terhadap pembentukan watak dan kepribadian dari siswa tersebut. Pembelajaran dimensi sufistik yang dalam hal ini mencakup nilai-nilai keagamaan yang telah diperoleh siswa diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam perjalanan hidup, sehingga peserta didik menjadi manusia dengan kepribadian yang baik, lebih bijaksana menghadapi kehidupan yang kompleks dari sudut pandang yang serba materialistis. Dengan kata lain, pemebelajaran karya sastra, yang dalam hal ini puisi ikut andil pembentukan karakter bangsa.
membantu
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”, maka dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Beberapa aspek sufistik sastra transendental telah dikemukakan dalam kajian ini, yakni sastra transendental dalam manifestasinya sebagai puisi sufistik. Puisi d“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” alam hal ini sarat dengan gagasan tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi insaniyah dengan dimensi Ilahiyah, bersatunya makhluk dengan Khalik. Esensi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” yakni hakikat dan ma’rifat dalam tradisi tasawuf yang dianut para sufi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu sastrawan sufistik Indonesia, yang tercermin pada sikap kepasrahan dan ikhlas aku lirik dalam menerima segala jawaban Tuhan yang paradoks pada puisi “TAPI”. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” hubungan itu tergambaran dari ke akraban yang sangat dalam antara aku lirik atau manusia terhadap tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan. Perasaan ke akraban yang sangat dalam menyebabkan aku lirik merasa seolah-olah bersatu dengan Tuhan, satu tubuh, dan rasa. Namun pada dasarnya aku lirik tetap memiliki kesadaran bahwa antara mereka selalu ada jarak. Tuhan tetap sebagai transenden, dan manusia tetap sebagai makhluk atau hamba. Gambaran perasaan kedekatan dan kebersatuan tersebut merupakan monolog, yang hanya dirasakan oleh yang melakukannya yang dalam hal ini adalah aku lirik.
103
104
2 Implikasi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri dalam pembelajaran adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam puisi ini terdapat semacam pembelajaran baik dalam hal tata kebahasaan dan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal kebahasaan, puisi Sutardji melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun pragmatik.
Selain
itu,
dengan
puisi
“TAPI”
dan
“BELAJAR
MEMBACA”, pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih menarik, dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat pesan keagamaan yang dapat dipelajari. Dimensi sufistik yang terdapat pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” mengajarkan aspek rohani kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan modern yang selalu dilanda krisis spiritual, dan gagap akan jati diri. Maka dari itu, proses yang dilakukan peserta didik dalam mempelajari puisi dapat memperkuat dan memperdalam watak peserta didik menjadi lebih peka terhadap Tuhan dan keadaan sekitar.
B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada: 1. Guru Agar mampu mengajarkan metode pembelajaran bahasa dan sastra kepada siswa di sekolah, sehingga pembelajaran bahasa, khususnya kesusastraan dapat tercapai sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. 2. Siswa Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam, agar siswa mampu mengapresiasikan dan mengambil esensi dan hikmah dari sebuah karya sastra.
105
3. Penulis Mengingat karya-karya Sutardji sering digunakan dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah sebagai salah satu contoh jenis puisi mantra, dan masih minim pemahaman atas puisi-puisi Sutardji. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi kepada pendidik maupun peserta didik. Peneliti lain ]yang ingin melanjutkan dan mengembangkan penelitian yang sudah dilakukan ini, dapat meneliti lebih lanjut puisi sufistik karya Sutardji Calzoum Bachri yang lain, yang belum tercakup pada penelitian ini, sehingga pemahaman dan pengayaan akan puisi mantra dan puisi sufistik sebagai salah satu jenis puisi di Indonesia menjadi bertambah.
DAFTAR PUSTAKA Agusta, Leon. Sutardji Tentang Sajak2 Barunya “Upaya Menangkap Tuhan”. Harian Umum SIWALAN. Jakarta, 24 Januari 1970 Atmazaki. Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.1990 Bachri, Sutardji Calzoum. ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri. Tangerang: INDONESIA TERA. 2007 ____________________. O, AMUK, KAPAK . Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT Cakrawala Budaya Indonesia. Cet 4. 2004. Bentounes, Syeh Khaled. Tasawuf Jantung Islam: nilai-nilai universal tasawuf. Yogyakarta:Pustaka Sufi. 2003 Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Tera Anggota IKAPI. Cet 3. 2006 Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. 2009 Chandler, Daniel. Semiotics: Basics. edition 2 .New York: Routledge. 2007 Cobley, Paul. The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics. London: British Library. 2001 Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Djaja Sudarma, Fatimah. Semantik 1: Pengantar ke arah ilmu makna. Bandung: Refika. Cet 2. 1999. Eagleton Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. 2006 Efix. “Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada Kata”. Harian Umum Kompas. Jakarta, 6 Mei 1982
106
107
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama. 2004 Erneste , Pamusuk (ed.). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3).Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer. 2009 Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. 2013 Hadi W.M, Abdul. “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik. Harian Umum Buana. Selasa, 12 Juli 1977 ______________. Kembali Ke Akar Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profentik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999 ______________. “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”. Umum Majalah Horison, Jakarta. 19 Juni 1975
Harian
______________. Tasawuf Yang Tertindas. Jakarta: Paramadina 2001 Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Nurul Islam. 1980 Hoerip, Satya. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: PT Bunda Karya. Cet 3 1986 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Cet 11. 2001 Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2009 Liu, Hong. dan Mohamad, Goenawan. dan Mandal, Summit Kumar. Pram dan Cina. Depok: Komunitas Bambu. 2008 Luxemburg, Van Jan dkk. Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa. 1989 ______________________. Pengantar Ilmu Sastra, Terj Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. 1984 Martin, Bronwen. and Ringham, Felizitas. Dictionary of Semiotics. New York: CASSELL. 2000 Morris, Charles. Foundations of the Theory of Signs. London: The University, of Chicago Press. 1970 Najib, Emha Ainun. Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995 Pradopo, Rachmat Djoko dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007
108
Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. “Sutardji Penyair Yang Religius”. Harian Umum Sinar Harapan. tt.p., 28 Januari 1976 ______________________________. Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”, Harian Umum Waspada. tt.p. Minggu 28 Agustus 1977 Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung: Refika Aditama. 2007 Rahman, Jamal D. Dkk. Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan. Jakarta: Komodo Books. 2010 Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988 Ramlan, M. Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. 2005 Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010 __________________. Teori, Metode, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2007
dan
Teknik
Penelitian
Sastra.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj Sapardi Djoko Damono dkk . Jakarta: Pustaka Firdas. 1986 __________________. Mystical Dimensions of Islam. New York: Columbia University Press. 1981 Simuh. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Grafindo. 1997 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008 Sumardjo, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.1984 Suryadi, Linus. Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji. Harian Umum Berita Buana. tt.p., 4 April 1977 Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Cet. 3 2003 Utama, Eddy. “Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang”. Harian Umum Buana. Jakarta. 27 Oktober. 1987 Wellek, Rene. & Warren, Austin. Buku Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. 1989
109
Yasser S. “Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari Jalan Sendiri”. Harian Umum Sinar Harapan. tt.p. Januari. 6 Febuari. 1978
Y.B Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas. Jakarta: KANISIUS. 1994 Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar perlu Trial and Error. Harian Umum Republika. Jakarta. 16 Maret. 1998 Zaenuddin H.M. Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem. Harian Umum Pelita. Jakarta. 5 Juli Zaimar, Okke. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: ILDEP. 1990 ___________. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: Books. 2014
PT
Komodo
Zainuddi. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1992
Lampiran
I
UJI RBFERENSI
Nama
Fajar Setio Utomo
NIM
1
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi
Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belujar Membaca
090 1 3000088
Karya Sutradji Calzoum Bachri dan
Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA. Dosen
Pembimbing
: Rosida Erowati, M. Hum.
BAB
I
Judul Buku
No
Halaman
Nomor
Paraf
Catatan
Kaki Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Pzzsi, (Jakarla:
h. 1.36
No.
1
Universitas Terbuka, 2007), 2
Yudi Latif Menyemai Karakter Bangsa, Budaya h.158
Kebangkitan Berbasis Kesastraan,
d\
No.2
,A -l
(Jakarta:
PT.Kompas Media Nusantara, 2009), 3
n
Ajib Rosidi, Sastra dan Budaya (Kedaerahan h.52 Dalam Keindonesian), (Jakarta: PT. Dunia
No.3
Pustaka Jaya,1995), 4
Y.B
Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas,
h.11
No.4
Sastra,
h.1 80
No.
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Telcnik
h. 53.
No.6
(Jakarla: Kanisius, 1994), cet.3, 5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori (J
6
5
akarla: PT. Grasindo, 2008),
qI I C \ )a
Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007),
BAB No
II
Judul Buku
Halaman
Nomor
Paraf
Catatan
Kaki 7
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam
h.
10
No.
Islam, (Jakarta: Grafindo, 199'7),
h.
11
No.3
1
h. 390,
h. 133r 8
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam
h. t2
No.2
h. 83
No.4
Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta: PustakaFirdas, I986), 9
Hamka, Tasawuf: Perkembangan
dan
Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980) 10
Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of h.3 Islam, (New York: Columbia University
No.5
4 A
Press,
I 98 1),
l1
t2
Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta:
h.
13
No.6
Paramadina, 2001),
h.t2
No.7
h.19-20
No.8
h.20
No.9
h.52
No.il
h.9
No.
14
h.26
No.
15
h. 3s-36
No.
16
h. s3
No.
17
h....
No.23
h. t29
No. l0
Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika
Prasasti
Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf, Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008)
+
l3
Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam Pesantren, (lakarta: P3M, 1985), cet.
14
No.
12
universal
h.21
No.
13
tasawuf.).
)
(Yogyakarta:Pustaka Sufi , 2003 )
l5
Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: I-Jniversitas Terbuka, 2007), cet.
t6
h.
1
No.
h
18
C\
IIi
Depaftemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
h.1112
No.
19
Bahasa Indonesia Pusat Bahqsa Edisi Keempat,
o\
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
t7
I
o -\
3
Syeh Khafed Bentounes, Tasawuf Jantung Islam
(nilai-nilai
h. l3-14
Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke
h. 39
No.20
Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca
loc. cit.,
No.22
h. ...
No 25
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian h.62 Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
No.21
Sastra
(Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI, 2006) Cetaka ke-3,
l8
Widyatama, 2004), hlm.68.
t9
20
{^
Emha Ainun Najib, Budaya
Tanding,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 1 995), hal.
I 3 1.
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori
No.24
J\ h.
113
No.26
h. t24
No.29
h.i24-125
No. 30
h.
113
No.45
h. t22
No.50
Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi h. 134
No.28
Sastra,
(Jakarla: PT. Grasindo, 2008),
21
h. 131
Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013), 22
Atmazaki,
Ilmu Sasta, Teoti dan
(Padang: Angkasa Raya, 1990)
Terapan,
h.77
No.3l
h.69
No. 77
h. 68
No. 78
$
t5
Bronwen Martin and Felizitas Ringham, h. l Dictionary of Semiotics, (New York: CASSELL, ibid.,
No. 32 No. 37
2000)
24
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra,
h.
1
19.
No. 33
Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6, 25
Terry
Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar
h. 145
No. 35
Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam
h. 3-8
No. 36
Analisis Karya Sastra, (Depok: PT Komodo Books,
h.32-33
No.42
h. 50
No.46
h.67
No. 64
h. 84
No. 74
h.
No. 37
Komprehensrt
Terj. dari Literaty Theory:
An
Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan
Evi Setyarini (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) 26
2014)
27
Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic
83
and Linguistics, (London: British Library, 2001),
28
29
&
Charles Morris, Foundations of the Theoty of Signs.
h. t4
No. 38
(London: The University, of Chicago Press. 1970),
h. 15-16
No. 39
h.29
No.4l
h.196
No.40
Daniel Chandler, Semiotics: Basics, edition 2 (New
3l
Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj h.5l -53
No.43
Achadiati lkram, (Jakarta: Intermasa, 1989),
h.192
No.44
h.74
No. 79
h.80
No. 80
Rene Wellek
& Austin
Warren, Buku Teori h.r99 Kesusastraan Terj.dari Theory of Literature oleh h. 198 Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1989),.
){
$ I
d )A
York: Routle dge, 2007), 30
4
h. 198
No.47 No.48 No.49
32
h. t7
No.65
h.
18
No.5l
h.79
No.58
Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan
h.37
No.52
Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
h.44
No.54
Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan
h.26.
No.
M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintal<sis (Yogyakarta: CV" Karyono,2005), cet ke-5,
JJ
34
Bagaimana Saya Mengarang
(Jilid 3),
Ida Bagus
1
(Jakarta:
(
Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi,
h.20
No.55
Kategori, dan Peran, (Bandung: Refika Aditama,
h.26
No.56
h. ss-59
No.67
h13
No.59
h.1
No.60
2007),
36
Fatimah Djaja Sudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah
ilmu makna), (Bandung: Refika, 1999), cetke-2, JI
Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra I ndo ne
38
s
i a,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
Jakob Sumardjo, Memahami Ke
sus as
t
raar, (Bandung:
Alumni, 1984),
39
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia 2001), cet.
40
l,
Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya lwan Si matup
4t
1
(Jakarta:
ang, (Jakarta: ILDEP, I 990)
Van Luxemburg dkk, Tentang Sastra, Teri Achadiati Intermasa, I 989),
I kram, (J akarta:
42
A
Teeuw, Sastra dan llmu Sastra, (Jakarta: Pustaka
rh\
53
Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), 35
+
( h. B4-8s
No.6l
h.
51
No.68
h. 18
No.66
h. 93-96
No. 72
h.113
No.69
h.124-127
No. 70
h.113
No. 73
h. r36
No. 75
h.74
No.79
h.B0
No. 80
h.
l5l
No. 76
\
t i
(\
u $ (
d -A
$ fl'
43
Jaya,2003), cet.3
h.149
No.8l
Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar
h.25.
No. 82
h.44
No.83
h.
46
No. 84
h. 48
No. 85
h. 38
No. 86
h.24
No. 90
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies:
h.515
No. 87
Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka
h. 438
No. 89
h.4.
No.88
Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008),
44
B. Rahmanto, Metode Pengajaran
Sastra,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, I 988),
45
&
Pelajar,20l0), 46
Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra,
Sebuah
Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978),
BAB
III
Judul Buku
No
Halaman
Nomor
Paraf
Catatan
Kaki 47
Abdul Hadi W.M, "Sutardji Tentang Puisinya dan
h.5
No. I
Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK
h.110
No.2
(Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT
loc. cit.,
No.4
Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet.4., h. 110
loc. cit.,
No.
h. 82
No.29
h. r57
No.3
Puisi Kita Kini", Majalah Horison. Jakarta,
19
Juni 1975, 48
ll N
49
Jamal D Rahman dk,k, Dermaga Sastra Indonesia;
.A
Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali
h.160
No.8
Haji samapai Suryati A" Manan (Jakarta: Komodo
h.167-168
No. 30
Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan
h. 504
No.5
Esai Sutardji Calzoum Bachri,
h.
Books,2010) 50
(Tangerang:
INDONESIA TERA, 2001), hlm: 504
51
Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta:
PT Bunda Karya, 1986), cet. 52
Zaenuddin
vii
No. l0
h.3-4
NO.
hlm:xvi
No.
13
No.
14
12
h.175
No.6
h.5
No. 9
h.2
No.
q
3
H.M , "Sutardji Merambah Shirothol
Mustaqiem", Harian Umum Pelita, Jakarla, 5 Juli, h.5 53
54
Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar
15
perlu Trial and Error, Harian Umum Republika,
No. l8
Jakarta,l6 Maret 1998,
No.20
Leon Agusta, Sutardji Tentang Sajak2 Barunya
"Upaya Menangkap Tuhan", Harian
h.
10
No.
16
A
Umum
SIWALAN, Jakarlra,24 Janttari 1970 55
Nyoman Tusthi, Sampai Dimana
Pembaruan
Sutardi, Harian Umum Suara Karya, Jumat,
h.4
No.
17
No,22
16
Desember 1977 56
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi:
h.106
No.
h.3
No.21
h. iv
No. 23
19
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan
Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), cet.12 57
Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji, Harian (Jmum Berita Buana, tt.p., 4
April1977 s8
Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari
A
di TIM: Sutadji Mencari
Jalan Sendiri, Harian
Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari
6
Febuari
1978 59
Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni
No.24
Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada Kata, Harian Umum Kompas, Jakarta,6Mei 1982 60
Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik
h.4
No.25
h.2
No.26
h.5
No, 27
h.6
No.28
$
dan Kerinduan Pulang, Harian Umum Buana, I akarta, 27 Oktober, 1987 61
Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair
Yang Religius, Harian Umum Sinar Harapan, tt.p.,28 Januari 1916 62
Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang
Sajaknya
t
"AMUK", Harian Umum Waspada,
tt.p. Minggu 28 Agustus 1977 63
Abdul Hadi W.M, "AMUK" Sutardji: penjelajahan estetik
&
Sebuah
metafisik, Harian Umum
Buana, Selasa, 12Juli 1977
A
BAB
IV
Judul Buku
No.
Halaman
Nomor
Paraf
Catatan
Kaki ?1
Hendry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis,
h.8
No. I
h.233
No.2
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam
h. 135
No.
3
Islam, Terj Sapardi Djoko Damono
h. 135
No.
12
h.4.39
No.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 605
No.
5
h. 845
No.6
Salah sataujenis repetisi atas kata berulang -ulang
h.121
No.
dalam sebuah konstruksi. Baca: Gorys Keras, Diksl dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke12, Abdul HAdi W.M, Tasawf Yang Tertindas, (Jakarta:
h.32
No.8
Paramadina, 2001), h.32
h.72
No.9
h.
53
No.
10
h. 3s
No.
ll
h. s2
No.
13
h.44.
No.
14
(Bandung. Angkasa :1986), h.8 74
Abdul Chaer berpendapat dalam
masalah
A
keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam
kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas.
Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 200e), 75
dkk
(Jakarta: Pstaka Firdas, 1986), 77
Racmad Djoko Pradopo, dkk, Pursr, (Universitas Terbuka, 2007), cet IIl,
A
+
$ $ 4 A
78
80
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988),
7
4
h. 34
No.
15
l6
No.
16
No.
17
l9
No.
18
h.37
No.
19
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan
h.332
No.18
Pendidikan, (Bandung,: C.V. Diponegoro, 1984), h
h.332
No.
h.
h. h.
8t
16
19
-:}-)z
J
4
akarta, 4 September 2014
P{mbiinbing
NIP: 19771030 200801 2009
Lampiran 2 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
MATA Bahasa dan Sastra Indonesia PELAJARAN KELAS /SEMESTER XII (dua belas) / 2 (dua) PROGRAM Umum ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit TEMA 13. Memahami pembacaan puisi dan mengungkapkan pendapat STANDAR KOMPETENSI terhadap puisi melalui diskusi KOMPETENSI DASAR ASPEK PEMBELAJARAN
13.1 Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa pada Puisi Membaca
Indikator Pencapaian Kompetensi
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Bersahabat/ komunikatif Mandiri
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Kepemimpinan
Mampu membaca puisi dengan baik Mampu mengidentifikasi unsur intrinsik ( tema, amanat, perwajahan, majas, dan rima) dalam puisi dengan baik Mampu mendiskusikan unsur intrinsik (tema, amanat, perwajahan puisi, diksi, pengimajian, majas,) yang sudah diidentifikasi Mampu mengidentifikasi penyimpangan bahasa pada puisi MATERI POKOK Pusi yang dibacakan PEMBELAJARAN Cara mengidentifikasi unsur intrinsik dalam sebuah puisi Cara mengidentifikasi penyimpangan bahasa dalam puisi
STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka Terstruktur Mandiri Memahami Mengidentifikasi unsur Siswa mampu pembacaan puisi intrinsik (tema, amanat, mendiskusikan perwajahan puisi, majas, mengidentifikasi unsur dan rima) intrinsik (tema, amanat, perwajahan puisi, majas, Mengidentifikasi dan rima) penyimpangan bahasa pada puisi Siswa mampu mengidentifikasi penyimpangan bahasa pada dalam puisi
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP
KEGIATAN PEMBELAJARAN
PEMBUKA (Apersepsi)
Guru membuka pelajaran dengan salam dan presensi kehadiran siswa Guru mengulas kembali pelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya dengan bertanya jawab kepada siswa Guru-siswa bertanya jawab tentang unsur intrinsik puisi Guru-siswa bertanya jawab tentang struktur kebahasaan Guru dan siswa bertanya jawab mengenai cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa pada puisi
Motivasi
Guru menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan memberikan penanaman sikap dan motivasi terhadap pembelajaran yang akan dilaksanakan
INTI
Eksplorasi 1. Siswa mendengarkan pembacaan puisi 2. Guru menggali pengetahuan siswa mengenai materi puisi melalui berbagai sumber. 3. Guru menggiring pemikiran siswa ke materi dengan menampilkan slide puisi Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri dan siswa memberikan tanggapan terhadap puisi tersebut. 4. Siswa secara mandiri mengidentifikasi unsur intrinsik puisi 5. Siswa secara mandiri mengidentifikasi penyimpangan bahasa Elaborasi Guru membimbing dan membagi kelas menjadi 4 kelompok diskusi. Setiap kelompok menyiapkan dua anggotanya untuk menjadi pemateri yang nantinya akan ditugaskan untuk mempresentasikan hasil kelompoknya
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Bersahabat/ komunikatif
Alokasi Waktu
Bersahabat/ komunikatif
5 menit
Mandiri
Berkelompok
5 menit
10 menit
45 menit
Guru membagikan lembar materi kepada setiap kelompok yaitu: 1. Kelompok 1 = tema dan amanat puisi 2. Kelompok 2 = perwajahan puisi dan diksi puisi 3. Kelompok 3 = majas dan rima puisi 4. Kelompok 4 = penyimpangan bahasa Masing-masing perwakilan kelompok maju kedepan kelas untuk mempresentasikan hasil diskusi masing kelompoknya Guru memeberikan kesempatan kepada peserta diskusi/kelompok lain untuk bertanya atau memberi tanggapannya terhadap presentasi yang telah disampaikan
10 menit
Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. Guru memberikan tanggapan terhadap hasil diskusi yang telah dilaksanakan oleh siswa di depan kelas. Guru memberikan tambahan ulasan materi yang belum diketahui siswa. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. PENUTUP (Internalisasi & persepsi)
Siswa diminta menjelaskan kesulitannya menyimak pembacaan puisi Siswa diminta mengungkapkan pengalamannya dalam mengidentifikasi unsur intrinsik dan struktruk larik secara kebahasaan Siswa mengungkapkan permasalahan di masyarakat yang sesuai dengan permasalahan dalam puisi Tapi Siswa mengerjakan uji kompetensi dan menjawab kuis uji teori
10 menit
Bersahabat/ komunikatif
5 menit
METODE DAN SUMBER BELAJAR v Pustaka rujukan
Sumber Belajar
v V
Metode
Material: VCD, poster Media cetak elektronik
Alex Suryanto dan Agus Haryanta. 2007. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XII Jakarta : ESIS-Erlangga halaman 118-124 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK (Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet. 4., h. 110 kaset, Rekaman pengajaran/analisis puisi dan puisi yang dipublikasikan melalui koran, tabloit, majalah
V V
Website internet Narasumber Model peraga
V
Lingkungan
V V V V
Presentasi Diskusi Kelompok Inquari Demontrasi /Pemeragaan Model
Penulis puisi Siswa yang mempunyai pengalaman menganalisis puisi Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan tema dan amanat dalam puisi
PENILAIAN V Tes Lisan V Tes Tertulis V Observasi Kinerja/Demontrasi TEKNIK V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio DAN V Pengukuran Sikap BENTUK V Penilaian diri INSTRUMEN /SOAL Daftar pertanyaan lisan tentang unsur intrinsik dan stuktur larik-larik secara tata kebahasaan dalam puisi Tapi Daftar pertanyaan mengenai cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa pada puisi Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
Instrumen : TAPI aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah! Sutardji Calzoum Bachri, 1981 Soal: 1.
Perhatian puisi Tapi,
jelaskan tentang perwajahan/tipografi, majas, dan rima
yang terdapat pada puisi tersebut ! 2.
jelaskan tema utama yang diangkat pada puisi Tapi
3.
Identifikasilah puisi Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri, lalu jelaskan amanat apa yang dapat dipetik dari puisi tersebut?
4.
Perhatikanlah larik berikut: aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih Jelaskan struktur bahasa yang digunakan pada kutipan larik diatas (subjek, predikat, objek dll) dan sertakan alasannya
5.
Jelaskan hubungan isi puisi dengan realitas masyarakat, nilai religiusitas, dan pembentukan kepribadian siswa !
RUBRIK PENILAIAN HASIL IDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK DAN PEMNYIMPANGAN BAHASA PADA PUISI TAPI NAMA KELAS/NO. ABS TANGGAL PENILAIAN KOMPETENSI DASAR
: : : : Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa pada puisi
HAL YANG DINILAI
Identifikasi Intrinsik
Ketepatan penyebutan tema puisi Tapi Ketepatan identifikasi amanat puisi Tapi Ketepatan identifikasi perwajahan puisi Ketepatan identifikasi majas, dan rima puisi Bukti pendukung
Identifikasi penyimpangan bahasa
Ketepatan identifikasi subjek, predikat, dan objek pada puisi Bukti pendukung
Identifikasi
hubungan isi puisi dengan realitas
Ketepatan identifikasi
hubungan isi puisi dengan realitas masyarakat,
AMAT JELEK Skor : 1
JELEK
NILAI CUKUP BAIK
Skor : 2
Skor : 3
Skor : 4
AMAT BAIK Skor : 5
di sekitar
nilai religiusitas, dan pembentukan kepribadian siswa Bukti pendukung
JUMLAH NILAI (Maksimal 50)
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0 – 100 adalah sebagai berikut :
Nilai akhir
Perolehan skor x skor ideal (100) ...... Skor maksimum(2 0)
Jakarta, 17 Agustus 2014
Mengetahui,
Kepala SMA/MA
NIP :
Guru Mata Pelajaran
Fajar Setio Utomo NIP :
Lampiran 3 Teks Puisi 1 TAPI aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah! Sutardji Calzoum Bachri, 1981
Teks Puisi 2 BELAJAR MEMBACA kakiku luka luka kakiku kakikau lukakah lukakah kakikau kalau kakikau luka lukakukah kakikau kakiku luka lukakaukah kakiku kalau lukaku lukakau kakiku kakikaukah kakikaukah kakiku kakiku luka kaku kalau lukaku lukakau lukakakukakiku lukakakukakikukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Sutardji Calzoum Bachri 1979
BIOGRAFI
Nama Fajar Setio Utomo, lahir di Jakarta 16 Maret 1991. Anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan orang tua bernama Sukamto dan Rubinem. Jenjang pendidikan yang sudah ditempuh, SD Negeri Bambu Apus II, SMP Negeri 1 Pamulang, SMA Negeri 4 Tangerang Selatan, dan sedang menempuh S1 di Universitas Negeri Islam Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) angkatan 2008 Hobi yang ditekuni sampai saat ini yaitu berkesenian dan mengikuti salah satu komunitas yang berkecimpung pada hal kesusastraan. Kegiatan yang pernah diikuti yaitu pencak silat, dan pramuka di Sekolah Dasar (SD), Rohani Islam Siswa (ROHIS) di SMA, dan aktif di Komunitas Majelis Kantiniyah. Sempat mengajarkan teater di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan, menjadi sutradara pementasan PBSI di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan naskah Topeng karya Ekranegara dan Naskah sendiri yang berjudul S.A.M.P.A.H, serta ikut membantu pementasan teater PBSI angkatan 2010. Prestasi yang dicapai, juara harapan 1 lomba Pramuka tingkat Kecamatan untuk Sekolah Dasar, juara 1 lomba Nasyid tingkat Jabodetabek di SMA Pembangunan Jaya, Juara 2 lomba Band Religius tingkat SMA di Universitas Islam Negeri Jakarta, juara 1 teater SMA tingkat regional 1 Tangerang Selatan.