FAKTA SOSIAL DALAM PUISI “TELEPON GENGGAM” DAN “SELAMAT TIDUR” KARYA JOKO PINURBO DENGAN PENDEKATAN MIMETIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh Bohari Muslim NIM. 109013000063
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
LERIBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Fakta Sosial dalam Puisi 'Panggilan Pulang' dan 'Selamat Tidur'dan Implikasinya terhadap Peinbelajaran Sastra
di SMA",
disusun oleh
Bohari Muslirn NIM 109013000063, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta telah dinyaiakan lulus dalarn ujian Munaqosah pada 19
Maret 2014, di hadapan dewan penguji. Oieh karena itu, penulis berhak memperoieh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakafia,5 April2016
Panitia Ujian Munaqosah
Jurusan/Prodi) Tanggal Maklrun Subki. M. Hum. (\ , ,tetn)/, 001 夕 Ketua Panitia (Ketua
.
001
.ノ 。 毎得″
PenttiI
鶏調野器跨場置)光計L `..化 {.″ f ● Pentti II
Dr.Darsita S,M.Huln.
NIP.196402121997032001
?9.ヤ 1.型
' Dekan Fakultas
KEMENTERIAN ACAMA
No Dokumen
UIN JAKARttA FITK
FORM(FR)
」l′ r tt Jυ anda No 95 C7pυ rar 75412 hdonesぬ
Tgl.
:
FI丁
Terbit :
No.Revisi:
K― FR―
: 01
Ha
SURAT PERNYAttAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Bohari Muslim
Tempat/Tgl.Lahir
Bekasi, 10 November 7991
NIM
109013000063
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)
Fakta Sosial Dalam Puisi "Telepon Genggam" dan
Judul Skripsi
66Panggilan
Pulang" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA Dosen Pembimbing
:1.Ahad Bahtiar,M.Hulln
dengan irri menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta,02 Jan:uai 2016 Mahasiswa Ybs.
NIM.1110018300016
AKD-089
1 Maret 2010
ABSTRAK
BOHARI MUSLIM: “Fakta Sosial dalam Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA”. yang Skripsi. Jakarta: Pendidika Bahasa dan Sastra Indonesia, FakultasTarbiyah dan Kegurua, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Karya sastra adalah penggambaran kehidupan nyata. Segala macam hal, gagasan, dan pemikiran mengenai kondisi sosial disampaikan ole pengarang melalui puisi dan prosa. Penelitian ini menggunakan pendekatan mimetik, pendekatan yang meneliti sastra berdasarkan lingkungan sosial yang ada disekitarnya. Hal ini sejalan dengan konsep fakta sosial, yang membandingkan fakta dalam karya sastra dengan data konkret yang ada di dunia nyata. Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”, karya Joko Pinurbo menggambarkan tentang telepon genggam yang membawa pemakainya ke dalam dunia abstrak, segala hal yang dekat bisa menadi jauh dan segla hal yag jauh bosa menjadi dekat. Di Indonesia khususnya, sebagian masyarakat keliru untuk menyikapi gejala sosial yang dating dari kemajuan zaman akibat kelahiran teknologi berupa telepon genggam. Fakta bahwa indentitas seseorang dapat menjauh dari lingkungan sosial yang terbawa oleh gaya hidup manusia modern dengan segala penyimpangan berupa penipuan dan gaya berbahasa yang menyimpang dari hal yang lazim. Segala dimanfaatkan oleh Joko Pinurbo. Ia ingin menyadarkan para pembaca, khususnya kaula muda, bahwasanya hal tersebut justru membuat mereka dapat menjadi makhluk yang tidak lagi mengenal lingkungan sosialnya. Kata kunci: Fakta Sosial, Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”, Joko Pinurbo, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
i
ABSTRACT
BOHARI MUSLIM: "Social Facts in Poetry" Telepon Genggam" and "Selamat Tidur" Joko Pinurbo Work and Its Implication Learning Indonesian Language and Literature in high school". the Thesis. Jakarta: Indonesian Language and Literature Pendidika, FakultasTarbiyah and Kegurua, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The literary work is a depiction of real life. All sorts of things, ideas and thoughts on social conditions delivered ole writer through poetry and prose. This study uses a mimetic approach, the approach that examines literature based social environment that is around. This is in line with the concept of social facts, which compares the facts in literature with concrete data that exist in the real world. The poem “Telepon Genggam” and “Selamat Tidur”, by Joko Pinurbo describes mobile phones that brings the wearer into the world of the abstract, all the things that could close traffic system is far and away bosa Segla yag things became close. In Indonesia in particular, some people mistakenly to address social phenomena dating from the progress of time due to the birth of a cell phone technology. The fact that the identity of a person can move away from the social environment brought by the lifestyle of modern man with all the irregularities in the form of fraud and speaking style that deviates from the norm. Everything utilized by Joko Pinurbo. He wanted to alert readers, especially young people, that it actually allows them to be creatures who no longer recognize the social environment. Keywords: Social Facts, Poetry “Telepon Genggam” and “Selamat Tidur”, Joko Pinurbo, Language and Indonesian Literature Learning.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil al’amin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadrirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Fakta Sosial dalam Puisi “Telepon Genggam” dan “Panggilan Pulang” dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” yang merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar S1. Salawat serta salam semoga selalu tercurah pada NAbi Muhammad Saw beserta para sahabat-sahabatnya. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dair sumbangsih beberapa pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral dan materil untuk penulis. Pada kesempatan kali ini penulis memberikan terimakasih kepada. 1. Orang tua penulis, Zainuddin, S. Ip, dan Siti Suraha yang sudah hamper bosan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan program studi di UIN Jakarta. 2. Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, Makyun Subuki, M. Hum, dan Sekertaris Jurusan, Bapak Donna Aji KArunia, M. A atas kebaikan hatinya. 3. Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M. Hum, untuk kesediaannya membimbing dan memberikan proses penulisan terbaik, serta mengajarkan tata cara penulisan yang benar kepada penulis. 4. Semua Dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 5. Yunita, S. Pd yang telah membrikan banyak bantuan, baik berupa kasih saying dan motivasi lahir batin untuk penulis. 6. Kakak kandung penulis Bustanil Arifin, S. Or, karena dengan keterlambatan
studinya,
orang
keterlambatan studi penulis juga.
iii
tua
penulis
dapat
mewajarkan
7. Teman-teman Majelis KAntiniyah, Khususnya Irfan Nawawi (Ipank) yang telah memberikan sokongan berupa ejekan untuk penulis, sehingga penulis jadi sedikit terombang-ambing dalam kegelisahan. 8. Teman-teman angkatan 2009 Arif Rahman, Bayu Indriyanto, Irsyad Zulfahmi, Levy Arnaldo, Fajar Setyo Utomo, Zainal Abidin, Gimbar Alam, dan lain-lain, karena telah mendoakan penulis untuk segala kelancaran penulisan. 9. Teman-teman Biang Pantjong, karena telah nongkrong dan membeli dagangan penulis, sehingga penulis mendapatkan tambahan dana untuk biaya skripsi. 10. Teman-Teman Gang Jati, Mulya Abdul Aziz, Daniel Adepi, Syahroni Fadhil, Sayhruli Fadhil, Tri Wibowo, Muhammad Zainal Abidin, yang telah memberikan tumpangan dan tempat tidur yang sangat layak. 11. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, karena penulis mempunyai banyak teman-teman yang baik hati Kepada semua pihak yang namanya tersebutkan di atas dan yang tidak, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, karena semua bantuan yang diberikan tak dapat penulis gantikan. Akhirnya, penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih, karena taka da suatu suatu hal yang dapat menggantikan kebaikan mereka semua, kecuali balasan kebaikan dari Allah Swt. Akhirul kalam, Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh.
Jakarta, 5 Januari 2016
Bohari Muslim
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i ABSTRACT ...................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang pendahuluan ................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 6 C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 6 D. Perumusan Masalah ................................................................................ 7 E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ................................................................................. 7 G. Metode Penelitian.................................................................................... 8 BAB II TEORI PUISI DAN FAKTA SOSIAL A. Teori Puisi dan Fakta Sosial.................................................................... 12 1. Pengertian Puisi................................................................................. 12 2. Unsur-unsur Puisi .............................................................................. 14 3. Sosiologi Sastra ................................................................................. 17 4. Fakta Sosial ....................................................................................... 22 BAB III PROFIL JOKO PINURBO A. Biografi Singkat Joko Pinurbo ................................................................ 26 B. Joko Pinurbo Sebagai Penyair ................................................................. 27 C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fakta Sosial ..................................................... 28
v
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Unsur Intrinsik Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” 1. Analisis Unsur Intrinsik Puisi “Telepon Genggam” .......................... 30 2. Unsur Intrinsik Puisi “Selamat Tidur” ............................................... 52 B. Fakta Sosial dalam Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” 1. Fakta Sosial dalam Puisi Telepon Genggam ..................................... 57 2. Fakta Sosial dalam Puisi Selama Tidur ............................................. 64 3. Implikasi Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ......................... 67 BAB V PENUTUP A. Simpulan ................................................................................................. 69 B. Saran ........................................................................................................ 70 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72
vi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: Lembar Uji Refrensi
Lampiran 2
: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3
: Puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah karya sastra, khususnya puisi, selalu mempunyai gaya figuratif sesuai dengan kepribadian dari masing-masing penulisnya.Kebanyakan puisi mengambil sampel dari kehidupan nyata dengan menceritakan berbagai hal, baik itu dari segi sosial atau pun dari sisi-sisi kejiwaan penyairnya dan semua itu adalah segala yang ada di dalam dunia nyata. Melalui bait-bait yang termpampang jelas, puisi merangkum kekhasan moralitas manusia terhadap lingknungan dan masyarakat di sekitarnya. Berbicara mengenai hubungan puisi dan alam semesta, secara praktis kita akan merangkum hakikat manusia sebagai sebuah makhluk yang mempunyai fenomena mikro dari makro kosmos. Mikro-kosmos, yaitu manusia itu sendiri sebagai wujud dari benda-benda yang ada di alam semesta, dan makro-kosmos adalah kesemestaan yang merujuk pada sebuah keberadaan seluruh benda yang hidup dan berada di dalamnya. Hakikat manusia sebagai makhluk sosial di pertimbangkan dengan mengamati sebuah ketercapaian
hidup
untuk
saling
bergumul
pada
lingkungan
dan
masyarakatnya. Puisi adalah bentuk yang mempunyai kekhasan tersendiri dalam karya sastra. Kekhasan tersebut terletak pada titik gumul penyair selaku pencerita yang menerjemahkan pengalamannya ke dalam tulisan yang singkat, jelas, lugas, namun sarat akan makna. Keberadaan penyair selaku makhluk yang memperhatikan berbagai gejala yang terjadi baik di dalam maupun di luar dirinya yang membagi keunikan puisi sebagai karya fiksi dan dunia nyata sebagai penetrasi alam pikir penyair. Jadi jika kita mengaitkan antara fakta
1
yang terjadi di dalam dunia nyata sudah pasti juga kita akan membicarakan masalah keterkaitan penyair terhadap dunia yang ada di sekelilingnya selagi ia berperan sebagai makhluk sosial yang ikut menempati masing-masing pribadi yang berbeda di dalam dunia nyata. Titik temu antara fakta dalam kehidupan sosial dengan sebuah karya sastra, khususnya puisi, terletak pada tingkat kepiawaian penyair dalam membentuk berbagai kejadian yang ia temui di dunia nyata. Waluyo dalam bukunya yang berjudul „Teori dan Apresiasi Puisi‟ mengatakan bahwa “puisi berkaitan dengan penyair dan latar belakang sejarah saat puisi itu diciptakan. Aliran, filsafat, latar belakang sosial budaya penyair mewarnai karyanya itu. Sejarah saat puisi itu diciptakan memiliki ciri-ciri struktur estetik tersendiri, yang membedakan dari periode-periode yang lainnya.”1 Dalam khazanah perpuisian Indonesia, sering terdengar nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Rustam Effendi, Chairil Anwar, Ws. Rendra, Sapardi Joko Damono dan lain-lain. Mereka adalah penyair yang masing-masing puisinya memiiliki kekhasan zaman di mana mereka tinggal. Kesesuaian latar seperti yang diterangkan oleh Waluyo di atas, telah membentuk karakter yang berbeda-beda dari masing-masing intuisi para penyair yang tumbuh dan berkembang beriringan dengan tempat, waktu dan fenomena sosial tempat mereka tinggal. Fakta merupakan bagian dari sebuah fenomena yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia. Fakta menjadi momok penting terhadap momen-momen bersejarah yang pernah ada di dalam kehidupan. Keberadaan fakta tentunya diseimbangi oleh keadaan sosial di mana fakta itu bisa ditemukan dan penyairlah yang membuat sebuah rekaman melalui puisinya untuk dapat dinikmati dan disikapi sesuai dengan keberadaannya. Kemampuan bergumul penyair dengan lingkungan sosial itu 1
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 30.
2
merupakan penyebab utama munculnya sebuah fakta dalam kehidupan sosial, yaitu dengan merangkum fenomena yang sedang bergulir tersebut di dalam sebuah puisi. Apabila kita ingin mengaitkan antara puisi dengan fakta di dalam kehidupan nyata, maka kita harus mengkajinya dengan pendekatan sosial baik berupa ilmu sosiologi ataupun yang lainnya dan dari segi kepengarangan penyair yang mengambil bagian dalam fenomena tersebut. Puisi dan fakta sosial mempunyai jalinan yang sangat kuat, dengan meneliti puisi kita juga dapat melihat bagaimana sebuah fakta atau sebuah realita berjalan berkesinambungan. Membaca sebuah puisi adalah membaca berbagai keadaan sosial di mana para penyair berkecimpung dengan segala fakta yang ada pada zaman itu. Peristiwa yang direkam oleh penyair dalam puisinya merupakan kejadian yang berada pada lingkungan sosialnya dan terkumpul dari bebrapa data objektif, yaitu intuisi penyair dalam merangkai kata-kata yang ada dalam puisinya itu menjadi sebuah rekaman yang mengandung berbagai fakta sosial yang ada. Seperti yang dikatakan oleh Endaswara. “Puisi itu sebuah simulakrum peristiwa sosial. Simulakrum berarti simulasi, salinan, dan penampilan ulang. Simulakrum adalah sebuah potret mini dari sebuah rekayasa sosial yang amat besar.”2 Keterpurukan etika berkomunikasi masyarakat Indonesia merupakan fakta yang dapat kita lihat dalam zaman modern ini. Munculnya teknologi sebagai pemprakarsa kode etik berkomunikasi zaman modern telah membuat keluguan masyarakat Indonesia telah terkontaminasi dengan budaya-budaya asing. Bukan sebuah kekeliruan. Apabila kita menganggap bahwa teknologi adalah dalang dari tercemarnya etika masyarakat Indonesia baik dari segi komunikasi, ekonomi, dan lain-lain.
2
Suwardi Endaswara, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: UNY Press, 2012), h. 39.
3
Beralih dari era kemasyarakatan Indonesia yang pada awalnya selalu mementingkan persatuan dan kesatuan sesuai dengan pancasila menjadi era super canggih, hasil penemuan paling terkenal dari teknologi komunikasi yang bisa memecah jarak antara komunikator dan komunikannya adalah sebuah bencana awal bagi merosotnya etika berkomunikasi orang Indonesia. Karena mengedepankan komunikasi yang menjadi sarana berinteraksi yang sangat dibutuhkan oleh manusia selaku makhluk sosial, teknologi komunikasi dapat di terima dengan mempertimbangkan kemudahan dalam berinteraksi antar sesama. Tanpa butuh waktu yang lama, teknologi komunikasi sudah semakin mewabah dan mengeksploitasi keluguan masyarakat Indonesia yang kurang bisa mempertimbangkan kembali dampak negatif dari perkembangan tersebut. Alat telekomunikasi tersebut adalah telepon genggam. Penemuan telepon genggam adalah wujud nyata, bahwa keberadaan teknologi di zaman modern ini sudah sangat amat berdampingan di hati masyarakat. Bahkan, pada era teknologi ini, telepon genggam sudah menjadi bagian dari identitas masing-masing pemakainya. Keresahan akan adanya mental-mental yang belum terpondasi akan nilai budaya masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan bersosialisasi dengan komunikasi secara langsung atau yang biasa kita sebut dengan bertatap muka langsung, mulai menjadi momok utama bagi para penyair zaman modern ini. Sebut saja seorang penyair yang membahas tentang bagaimana penyikapan dirinya terhadap adanya bentuk komunikasi modern yang diperankan oleh telepon genggam ini adalah Joko Pinurbo. Joko Pinurbo adalah penyair Indonesia yang cukup intens dalam berpuisi. Setelah dua puluh tahun mengamati perkembangan dunia sastra, terhitung
sejak
tahun
1979,
Joko
Pinurbo
baru
menjejaki
dunia
kepengarangannya pada tahun 1999, ketika itu buku kumpulan puisi pertamanya diterbitkan, buku kumpulaln puisi tersebut berjudul, Celana. 4
Setelah buku kumpulan Puisi Celana muncul. Baru kemudian karya-karyanya mulai bermunculan, hingga saat ini Joko Pinurbo sudah menulis 10 buku kumpulan puisi termasuk
Celana (1999), setelah itu Di Bawah Kibaran
Sarung (2001), Pacar kecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005), Kepada Cium (2007), Celana Pacar kecilku Di Bawah Kibaran Sarung - Tiga Kumpulan Puisi (2007), dan Kekasihku (2010). Joko Pinurbo dikenal sebagai penyair dengan gaya penceritaan yang unik, selain sering menjadikan benda mati atau pun benda yang dianggap amat pribadi sebagai sebuah objek yang seakan-akan bernyawa. Ia juga sering memakai diksi-diksi yang jenaka. Sama dengan para penyair lainnya. Joko Pinurbo menjadikan lingkungan tempat ia tinggal sebagai objek penceritaan utama dalam puisi-puisinya. Berbagai gejala perubahan sosial yang dia amati secara cukup jeli, ia kemas menjadi sebuah syair yang cukup menggetarkan hati pembacanya. Hal itulah yang menjadi keistimewaan Joko Pinurbo, karena ia sangat iri kepada Sapardi Joko Damono, sebagai penyair yang menggunakan unsur liris dalam puisi untuk menceritakan suatu hal, maka dengan diksi yang jenaka, puisi Joko Pinurbo juga mengandung unsur liris dengan guyon sindiran. Kesepuluh buku kumpulan puisi yang cukup menggambarkan betapa Joko Pinurbo adalah seorang penyair yang cukup produktif dalam era Orde Baru dan reformasi, namun tidak semua buku kumpulan puisi tersebut akan dibahas dalam tulisan ini, Penulis membatasi tulisan ini dengan mengambil penelitian atas dua puisi dalam buku kumpulan puisi Telepon Genggam (2003), puisi tersebut berjudul, “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”.
5
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan Latar belakang masalah di atas, maka dapat didefinisikan rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Kurangnya pengetahuan pelajar tentang puisi-puisi yang mengandung bentuk-bentuk sosialisasi. 2. Kurangnya
pengenalan
tentang
sosok
Joko
Pinurbo
yang
mempertimbangkan efek negatif dari kemunculan teknologi di dunia komunikasi. 3. Kurangnya apresiasi dari pendidik untuk mengimplikasikan antara kejadian yang ada dalam karya sastra dengan fakta sosial. B. Pembatasan Masalah Penelitian ini membatasi masalah terhadap fakta-fakta sosial dalam puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana Joko Pinurbo mendeskripsikan antara fakta sosial di dunia nyata dengan fenomena yang terjadi dalam puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”. 2. Bagaimana implikasi fakta sosial dalam puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” terhadap pembelajarannya di SMA. 3. B
6
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan fakta sosial pada puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur”. 2. Mendeskripsikan implikasi puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Mengetahui tentang fakta sosial dari pendekatan mimetik dengan memposisikan puisi sebagai sebuah fenomena, sehingga puisi tersebut dapat mengimplikasikan segala hal yang terjadi di dunia nyata. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan ajar bagi para pendidik khususnya untuk mengedukasikan kepada para pelajar untuk tidak memprioritaskan telepon genggam ketika mereka sedang berada dalam lingkungan sosial.
2. Manfaat Praktis Penulis mengharapkan penelitian ini setidaknya dapat dijadikan sebagai tambahan referensi untuk para pelajar ataupun mahasiswa yang sedang meneliti tentang fakta sosial tentang dunia telekomunikasi masyarakat modern.
F. Metodelogi Penelitian 1. Fokus Penelitian
7
Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra yang akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian. Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah menentukan fokus penelitian. Secara umum penelitian sastra dapat dikategorikan ke dalam empat fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu: a. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan penulis/penelitian genetik. b. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca. c. Penelitian dengan fokus teks itu sendiri. d. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.3 Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan fokus yang keempat, yaitu penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas. Fokus penelitian yang keempat ini dilakukan dengan mengkaji teks itu dengan memandang hubungan teks dengan unsur lain yang menyelingkupinya. Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objek kajian dapat dicapai jika peneliti memandang teks dengan mengaitkannya dengan penulis, realitas atau teks lain. 2. Bentuk dan Strategi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra).
3
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180
8
Menurut Kutha Ratna, metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analis.4 Selanjutnya ia pun menjelaskan pengertian metode deskriptif analitik sebagai berikut: Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.5 Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada karya sastra.”6 Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik.7
3. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian. 4. Prosedur Penelitian 4
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 53. 5 Ibid., 6 Siswanto, Op.cit.,. h. 183 7 Kutha Ratna, Op.cit., h. 73
9
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Membaca karya Joko Pinurbo yaitu “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” b. Menetapkan dua puisi karya Joko Pinurbo, “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” sebagai objek penelitian dengan fokusmenemukan fenomena sosial yang tergambar dalam dua puisi tersebut dan implementasinya dalam dunia pendidikan. c. Membaca ulang dengan cermat dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” untuk menentukan fenomena sosial apa yang terdapat di dalam dua puisi tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan. d. Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung penyimpangan komunikasi. e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis. f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data. g. Menyimpulkan hasil penelitian
5. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. 6. Teknik Pengumpulan Data
10
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar, majalah dan berita online. 7. Sumber Data a. Data Primer Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” karya Joko Pinurbo. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
11
BAB II LANDASAN TEORI 1. Pengertian Puisi Puisi adalah bentuk karya sastra yang lebih minim berbicara dibandingkan karya sastra pada umumnya.Merujuk pada ungkapan Acep Zamzam Noer.―Puisi biasanya menggunakan bahasa yang efektif, dengan kata-kata yang hemat namun mempunyai arti yang banyak.‖1Seperti yang kita ketahui, ada banyak bentuk karya sastra. Novel, cerpen, naskah drama dan yang lainnya adalah beragam bentuk dari karya sastra yang mempunyai alur yang jelas dan gaya penceritaan yang rinci.Sedangkan puisi hanya terdiri dari rentetan larik, berupa bait yang mana alurnya tidak selalu menjadi acuan dan terkesan melompat-lompat.Perbedaan puisi dengan karya sastra yang lainnya tersebut, menyebabkan puisi menjadi sebuah karya sastra yang begitu sukar untuk dapat di teliti dari sudut penceritaannya.Luxemburg dalam Wahyudi Siswanto memberikan ungkapan mengenai puisi.―Puisi adalah teks-teks monolog yang isinya bukan pertama-tama merupakan sebuah alur.‖2 Ungkapan Luxemburg, di atas kemungkinan merupakan sebuah pembatas antara puisi dengan karya sastra yang lainnya, karena novel, cerpen, naskah drama dan yang lainnya umumnya mempunyai alur yang jelas dalam ceritanya. Puisi lebih minim berbicara dibandingkan dengan karya sastra yang lainnya. Gaya penulisan sebuah puisi cenderung untuk memberikan kesan yang lebih rinci dan tidak semata-mata menuangkan secara langsung kepada sebuah persoalan tanpa adanya proses pengungkapan imaji dengan memperhitungkan keindahan bentuk tulisan dan batin yang sama-sama membentuk kesatuan utuh pada sebuah makna mendalam. Acep Zamzam Noer mengemukakan.
1 2
Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk, (Bandung: Nuansa, 2011), h. 21. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 107.
12
Jika sebuah puisi bicara langsung pada inti persoalan, tanpa proses, tanpa tahapan-tahapan, tanpa gambaran-gambaran pendukung, maka hasilnya akan terasa kering, ‗kurang greget‘ dan tidak menunjukkan kekayaan makna. Akan tetapi, jika sebuah puisi telah menemukan tema atau inti persoalan maka semua gambaran pendukung yang disajikan penyair akan makin jelas fungsinya dalam keseluruhan bangunan puisi.3
Seragam dengan pendapat Acep di atas, Waluyo dalam Wahyudi Siswanto mengemukakan hal-hal yang sekiranya dapat diartikan sebagai unsur pembentuk sebuah puisi.―Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.‖4 Pendapat Waluyo tersebut kiranya adalah sebuah pengertian tentang apa yang mebedakan antara puisi dengan karya sastra yang lainnya. Sebutan untuk struktur batin dan struktur fisik yang terdapat di dalam sebuah puisi tidak semata-mata terjadi begitu saja. Hal tersebut terjadi karena penyair bukanlah sebuah pencerita yang dengan begitu saja menggambarkan tentang apa yang ingin ia tuturkan, melainkan daya imaji yang di proses dalam perenungan dalam batinnya menjadi sebuah gambaran tentang sebuah cerita yang cocok untuk di ungkapkan dengan larik-larik dalam rentetan bait dan tentu saja dengan makna yang mendalam pula. Sekiranya ungkapan dari Waluyo dapat mempermudah kita untuk memahami tentang puisi. Pada pokoknya, puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin, yakni pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur tersebut merupakan kesatuan yang saling jalin-menjalin secara fungsional.5 Ungkapan Waluyo di atas, setidaknya merujuk pada penjelasan tentang bagaimana struktur fisik dan struktur batin atau yang biasa kita sebut dengan tipografi dalam sebuah puisi terjalin sedemikian rupa sehingga puisi tidak hanya mempunyai 3
Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Kreatif, (Bandung: Nuansa, 2011), h. 24. 4 Wahyudi Siswanto, Teori Pengkajian Fiksi, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 108. 5 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 4.
13
gaya bahasa yang indah dengan pilihan kata yang tepat, namun juga kata-kata yang indah tersebut harus memiliki sebuah makna yang kuat untuk menandakan bagaimana penyair tersebut berkontemplasi dan bergumul dengan lingkungan yang dituangkan dalam puisinya. 2. Unsur-unsur Puisi a. Struktur Fisik Puisi Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (a) perwajahan puisi, (b) diksi, (c) pengimajian, (d) kata kongkret, (e) majas atau bahasa figuratif, dan (f) verifikasi. Semua unsur-unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh.6 b.Perwajahan Puisi Perwajahan puisi sering kita sebut dengan sebutan tipografi.Maksud dari perwajahan puisi ini adalah sebuah aturan tulisan yang dibuat sedemikian rupa oleh pengarang, sehingga menghasilkan suatu larik yang tersusun dalam sebuah bait.Puisi bukan menggunakan paragraph sebagai tanda jeda atau potongan sebuah cerita, melainkan puisi menggunakan larik-larik yang di atur, sehingga membentuk sebuah bait. c. Diksi Diksi adalah bentuk atau gaya penyair dalam menuliskan sebuah kata pada puisinya.dalam sebuah puisi penyair tidak menuliskan kata-katanya begitu saja, melainkan ia memilah kata mana yang cukup untuk memberikan kesan pada sebuah imaji yang ia buat dalam menceritakan makna dalam puisinya. Pilihan kata tersebut menjadi begitu terasa dalam sebuah puisi, menjadi berasa oleh sebab dalam sebuah puisi setiap katanya harus mengandung makna sehingga kata-kata yang tidak
6
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 113
14
memiliki alur tersebut memiliki sebuah keutuhan yang cukup untuk memberikan kesan makna. d. Pengimajian Pengimajian adalah sebuah sensasi rasa yang diberikan oleh pengarang dalam penulisan puisinya.sensasi rasa tersebut membangun puisi menjadi begitu berkarakter karena imaji tersebut dituangkan dengan memberikan kesan pada sensasi inderawi kita untuk dapat menelisik ke khasan pengarang dalam membangun sebuah unsurunsur makna berdasarkan pengalaman lahiriah pada puisinya. e. Kata Konkret Kata konkret adalah kata yang terbentuk sesuai dengan pengalaman fisik yang ada pada taraf pengimajian pengarang dalam menuliskan sebuah puisi.Pengalaman fisik tersebut adalah segala hal yang dapat kita rasakan secara fisik atau lahiriah. Contohnya, jika pada sebuah kata dalam puisi terdapat kata angsa, maka yang akan tergambar oleh alam imaji kita adalah seekor unggas yang memiliki paruh dan biasanya berada di air. f. Bahasa Figuratif Bahasa figuratif adalah apa yang kita kenal dengan istilah majas. Bahasa figuratif menjadi suatu unsur pembangun yang cukup penting di dalam puisi. Karena lewat bahasa figurative penyair bisa lebih menghemat kata-kata yang dalam penjelasannya bisa dibahas dengan menuliskan kata yang cukup banyak, dengan gaya figuratif penyair dapat membentuk makna secara lebih lugas, dalam arti, penyair dapat memasukkan berbagai jenis kata yang umumnya menggambarkan suatu hal yang sukar untuk di tuliskan dalam lebih dari satu kata.
15
g. Verifikasi Verifikasi terdiri dari rima, ritme dan metrum.Rima bisa dijelaskan sebagai sebuah penanda akan adanya kekhasan dalam sebuah puisi da;am bentuk bunyi yang seragam dalam keseluruhan kata pada larik-larik dalam bait pada sebuah puisi. Seperti dalam penjelasan Wellek dan Weren mengenai rima berikut bahwa ―yang terpenting untuk diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi secara keseluruhan.Kata-kata disatukan, di persamakan atau dikontraskan oleh rima.7‖ Selanjutnya, ritme dan metrum akan terasa ketika puisi tersebut di bacakan. Nada yang keluar dari seorang pembaca puisi itu adalah hasil penghayatan mengenai bagaimana nada itu menjadi sebuah penanda terhadap suatu penegasan dalam setiap kata-kata yang keluar pada dengan menggunakan tanda baca sesuai dengan ketentuan kata tersebut. h. Struktur Batin Puisi L.A Richards berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat unsur, (a) tema; makna(sense), (b) rasa (feeling), (c) nada (tone) dan (d) amanat; tujuan; maksud (intention) a) Tema atau Makna, menurut Mursal Esten ―sebuah cerita rekaan membutuhkan tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.‖8 Tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.9
7
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan. Terj.oleh Melani Budianta dari Theory of Literature (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 189. 8 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013) , hal.134. 9 Siswanto, op. cit., h. 124.
16
b) Rasa, dalam puisi rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasaberkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair. c) Nada, dalam puisi nada adalahsikap penyair terhadap pembacaannya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Ada penyair yang dalam menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk menyelesaikan masalah , menyerahkan masalah begitu saja kepada pemabaca, dengan nada sombong menganggap bodoh pembacanya. d) Amanat dan Tujuan, sadar atau tidak ada tujuan yang mendorong seorang penyair untuk menciptakan puisinya. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair itu menciptakan puisi maupun dapat ditemui dalam puisinya10
3. Pendekatan Mimetik Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri.11 Pandangan pendekatan mimetik adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di 10
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hal. 124-125 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2004), h. 69 – 70. 11
17
semesta raya ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin dan, catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca, dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya atau lebih sederhana berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. 4. Sosiologi Sastra a. Pengertian Sosiologi Jika kita mengaitkan dari sejarah kemunculan istilah sosiologi, maka nama yang sering kali kita dapatkan berdasarkan ulasan dari buku-buku terkemuka adalah nama Auguste Comte pada tahun 1789. Comte dijuluki sebagai the founding fathersdalam istilah sosiologi karena ia menggabungkan dua istilah, yaitu Socius (masyarakat) dengan logos (Ilmu). Berdasarkan pengertian dari Comte tersebut maka kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan dini mengenai
18
sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji masyarakat selaku makhluk sosial.Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. I.B. Irawan berikut. Dalam perbincangan teori klasik, tokoh Karl Marx (1818 – 1883) lebih dahulu muncul dan dikenal sebagai Sosiolog handal sebelum Emile Durkheim (1858 – 1917), begitu pula sebelum Durkheim dan Marx dikenal mengayndang namabesar sebagai sosiolog di Eropa, sebenarnya sudah ada Auguste Comte yang diakui sebagai the founding fathers.12 Penggabungan kataa sosio dan logos oleh Auguste Comte adalah landasan para kritikus sosial untuk berpikiran sedemikian rupa untuk memperhatikan lingkungan sosial dan menambahkan disiplin-disiplin baru dalam sosiologi. Para kritikus sosial seperti Karl Marx dan Emile Durkheim adalah contohnya, ia menyebutkan berbagai fakta yang terjadi di dalam kehidupan nyata, dan banyak menjadikannya sebagai acuan dalam mengkritik berbagai penyimpangan sosial yang terjadi di sana. Sebut saja Karl Marx yang mengkritik kaum kapitalis lewat ideologi komunisnya dan Emile Durkheim yang menjadikan fakta mengenai pembagian kerja sosial dalam masyarakat yang agaknya tidak adil. Mungkin tidak persis seperti itu. Adalah benar bahwa Comte yang menciptakan kata ‗sosiologi‘, menggabungkan kata dari bahasa latinsocius (‗masyarakat‘) dengan kata dari bahasa Yunani logos (‗studi‘) tetapi studi-studi tentang masyarakat secara sistematis memiliki akar-akar yang lebih rumit dari ini. Satu jawaban yang lebih memuaskan barangkali adalah sosiologi ilmiah dibentuk oleh para pewaris intelektual dari Comte yang membangun sebuah tradisi ajaran ‗klasik‘ tentang analisis sosiologi. Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx adalah yang dipandang sebagai ‗bapak pendiri‘ dari disiplin ilmu tersebut: mereka bergerak keluar dari ruang pandang Comte untuk membentuk pondasi-pondasi yang lebih kuat dan jelas. 13
12
I. B Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial), (Jakarta: Prenamedia, 2012), h. 4. 13 John Scot, Teori Sosial dan Masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 12.
19
Pernyataan John Scot di atas dapat menjadi acuan bahwa sosiologi adalah sebuah disiplin ilmu sosial yang selalu berkembang sesuai dengan fokus objeknya, yaitu masyarakat sosial.Hal-hal kemasyarakatan ini digandrungi oleh para kritikus sosial guna mengungkap permasalahan yang ada di dunia nyata dan pada akhirnya para sosiolog-sosiolog baru selalu membuatkan pondasi pemikiran sesuai dengan zaman mereka tinggal. b. Pengertian Sastra Sastra adalah sebuah kegiatan imajinatif yang dibuat oleh manusia selaku kreatornya. Bagi banyak orang sastra sering diartikan sebagai sebuah karya seni yang berasal dari proses kreatif manusia. Wellek dan Warren merupakan dua orang yang mengutarakan hal demikian.Menurut mereka.―Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.‖14Pendapat Wellek dan Warren memang tepat. Bahwa sastra adalah sebuah karya seni dan proses kreatif dari manusia. Sehingga mereka memberikan batasan antara perbedaan dari sastra itu sendiri dan bentuk lebih jauhnya, yaitu studi sastra. Batasan itu diberikan oleh Wellek dan Warren karena mereka melihat semakin banyak manusia yang mencoba menelaah pendekatan-pendekata yang berhubungan dengan sastra dan pada akhirnya banyak dari orang-orang tersebut yang seakan bias, menerjemahkan antara sastra dan sebuah ilmu, padahal posisinya adalah sama, sastra merupakan bagian dari ilmu yang berasal dari manusia sebagai kreator dalam sajian penceritaanya. Lebih jauh lagi, Wellek dan Warren menjadikan batasan rasional pada sastra, sebagai wujud dari ilmu tersebut, bahwa sastra memang dapt disandingkan dan diteliti secara ilmiah dengan disiplin ilmu yang lain sesuai kepekaan dan ketertarikan penelitinya dalam mencari seluk beluk karya sastra tersebut. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional.Mungkin 14
Renne Wellek & Austin Werren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 3.
20
saja bahan studinya banyak banyak mengandung unsur yang tidak rasional.Tetapi dalam hal ini, posisi si penelaah tak lebih dari posisi seorang sejarawan seni rupa atau musik – atau bahkan, seorang ahli sosiologi atau anatomi.15 Pada arah yang sama sastra hadir sebagai sebuah penyeimbang zaman di mana kejadian yang relevan dengan zaman itu dituliskan oleh pengarang utnuk dijadikan acuan sebagai bahan verifikasi untuk masyarakat dan pembacanya. Karya sastra di tulis memang untuk di perbincangkan, dan apakah itu sastra, yang jelas sastra berwujud tulisan yang menceritakan berbagai kejadian yang relevan dengan dunia nyata. Umumnya sastra lahir sebagai bentuk dari berbagai kejadian yang berkesinambungan dengan dunia nyata.sastra merupakan bentuk yang lebih jauh dari petualangan imajinasi manusia dalam menuliskannya. Kesimpulannya, kita harus memperhatikan antara kehidupan sosial dengan perkembangan zaman sesuai peradaban yang dibuat oleh manusia dan pada akhirnya kita dapat meyakini bahwa sastra mempunyai naluri yang cukup tajam untuk bisa dikendalikan
dan
ditelusuri
oleh
manusia,
sampai
akhirnya
kitamemperbincangkan segala kejadian yang dituliskan dalam bahasa sastra itu sebagai sebuah tolak ukur bagi perubahan zaman dan berbagai fakta yang berkembang dalam dunia nyata. c. Sosiologi dan Satra Sosiologi dan sastra adalah jenis ilmu yang sama-sama mengedepankan kehiupan sosial sebagai objeknya. Yang mungkin agak berbeda adalah bagaimana cara memandang sosiologi dan sastra sebagai sebuah disiplin ilmu yang benarbenar baru. Keberadaan sosiologi bukan lahir dari kelahiran teori Auguste Comte, ia hanyalah the founding fathers sedangkan ilmu sosial itu sendiri memang berawal dari hegemoni manusia di dunia ini.Sosiologi dan sastra berjalan 15
Ibid.,h. 3.
21
berdampingan dengan berbagai hal yang ada di dalamnya. Sebut saja politik, hukum, budaya, norma, dan berbagai hal itu dibuat berdasarkan kelahiran dan aturan-aturan yang dibuat oleh manusia untuk mencapai puncak kebahagiaan. Disinilah kiranya kita dapat menemukan kesinambungan antara sosiologi dengan sastra, bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan masyarakat sebagai makhluk sosial hingga manusia itu menjadi sama rata tanpa adanya sekat dan kasta, sedangkan sastra juga berbicara mengenai hal yang sama, hanya mungkin sastra menemukan jatidirinya sebagai pencipta kebahagiaan untuk kehidupan manusia. Seperti ungkapan seorang penyair Latin Ovid bahwa ―misi sastra
adalah
‗docere
delictendo’—untuk
mengajar
dengan
caramembahagiakan.‖16 Kesinambungan kedua, antara sosiologi dan sastra, dapat kita lihat dari keterangan Suwardi Endaswara mengenai perbedaan antara dua hal tersebut, yaitu mengenai cakupan analisa yang ditujukan oleh sosiologi dan sastra.Keduanya mempunyai kesinambungan yang bisa berjalan dengan utuh hingga mencapai sebuah disiplin baru. ―Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara menusia menghayati masyarakat serta perasannya.‖17 5. Fakta Sosial Fakta sosial pertama kali digunakan oleh Emile Durkheim untuk merancang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam dunia nyata. Oleh Durkheim, fakta sosial dijadikan sebagai sumber data untuk menspesifikasikan objek penelitian 16 17
Peter Barry, Begening Theory, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 25. Suwardi Endaswara, Metodoloogi Penelitian Sosiologi Sastra, (Jakarta: Buku Seru, 2011),
h. 3.
22
yang ia teliti. Kerancuan yang terjadi akibat spesifikasi yang berlebihan dari bebrapa sosiolog terdahulunya telah membuat Durkheim berpikir, bahwa objek kajian sosiologi harus lebih dirincikan, menurutnya kajian sosiologi yang terdahulu masih sangat membingungkan, dan umumnya masih menyatu pada ilmu biologi dan sosiologi.Hal inilah yang kemudian dipatenkan oleh Durkheim untuk memperkuat kajian sosiologi yang meneliti masyarakat dan berbagai macam karakteristik individu di dalamnya dengan menyebutkan berbagai fakta yang pernah terjadi di dalam kehidupan sosial. Before beginning the search for the method appropriate to the study of social facts it is important to know what are the facts termed 'social'. The question is all the more necessary because the term is used without much precision. It is commonly used to designate almost all the phenomena that occur within society, however little social interest of some generality they present.18 Penjelasan Durkheim di atas merujuk pada pertanyaan yang diajukan olehnya mengenai disiplin fakta sosial yang awalnya diangkat dari fenomenafenomena yang lahir dari masyarakat sosial.Menurut Durkheim fakta yang dijadikan sebagai acuan sosial adalah fakta yang merujuk pada segala hal yang ada dalam kehidupan sosial dan fakta tersebut mengantarkan kita pada sebuah karakteristik kepribadian seseorang untuk mengikuti segala aturan-aturan normative yang diciptakan dan dianut oleh masyarakat di sekelilingnya. a. Fakta Sosial dalam Puisi 1)Penyair, Puisi dan Fakta Sosial Keterkaitan antara puisi dengan fakta sosial terletak pada penyairnya.Sebagai makhuk sosial, penyair selalu berupaya menunjukkan kapasitasnya sebagai individu yang landasan imajinasinya terletak pada sebuah sumber, yaitu kehidupan 18
Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, (New York: The Free Press, 1982), h. 50.
23
sosial.Seperti Jakob Sumardjo yang menjelaskan mengenai keterkaitan pengarang dengan pengalaman hidupnya, bahwasanya ―apa yang dialami oleh seorang sastrawan dalam hidupnya tentu akan mempengaruhi pandangan dalam setiap persoalan-persoalan dalam hidupnya.‖19Pendapat Jakob Sumardjo tadi merupakan sebuah titik temu yang utama bahwa puisi memang terlahir dari tangan penyair.Terlepas dari tangan penyair, semua karya sastra memang membentuk dunianya sendiri, dan terlepas dari pengarang, yang jelas kepiawaian pemabaca dalam menanggapi maksud dari pengarang tersebut yang menjadi kuncinya. 2)Puisi dan Fakta Sosial pada Zamannya. Keterkaiitan antara puisi dan fakta sosial adalah keterkaitan mengenai karya dengan zaman.Sebut saja persoalan di dalam karya sastra pada tahun kelahirannya, sangat mungkin merelevansikan berbagai masalah yang ada di zaman itu atau sebelumnya. Semisal,karya yang lahir di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, tidak mungkin dapat menyebutkan secara rinci mengenai segala kejadian yang ada di zaman sekarang, kemungkinan karya yang lahir di zaman
sebelum
kemerdekaan Indonesia itu hanya dapat memprediksikan dan tidak dengan tuntas membahas berbagai kejadian yang ada di zaman sekarang. Jakob Sumardjo mengemukakan: ―tiap zaman mempunyai nilai-nilai keindahannya sendiri-sendiri, apa yang dahulu disebut bagus, mungkin pada zaman berikurnya telah dianggap biasa saja.‖20 Semisal puisi-puisi perjuangan Chairil Anwar, tidak pernah menyebutkan mengenai dampak dari telepon genggam seperti puisi Joko Pinurbo.Jadi, relevansi karya sastra dengan zaman ia lahir bisa dikatakan sebagai jembatan penghubung yang mana di antarakeduanya terdapat hubungan yang erat mengenai fakta dari sebuah kejadian sosial yang sedang marak di perbincangkan pada zaman puisi
19
Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1984), h. 92. Ibid.,h. 92.
20
24
tersebut lahir dan relevansi tersbutlah yang memberikan kaidah dalam sebuah puisi mengenai berbagai fakta yang timbul pada sebuah puisi. Terakhir, pendapat dari Hasan Alwi, dkk bahwa ―Puisi adalah refleksi kehidupan yang juga mampu menampilkan citra manusia tertentu.‖21 Pendapat Hasan Alwi, dkk ini menegaskan bahwa puisi adalah sebuah cerminan dimana manusia yang hidup pada zaman itu juga terlukiskan di dalamnya. 3)Fakta Sosial dalam Puisi “TeleponGenggam” dan“Selamat Tidur” Puisi ―Telepon Genggam‖ dan ‖Selamat Tidur‖ banyak membahas tentang keadaan internal seorang yang lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Seorang itu hidup di antara masyarakat modern yang serba kompleks yang menggunakan kemajuan teknologi sebagai gaya hidupnya. Kemajuan teknologi ini diprakarsai oleh hadirnya telepon genggam sebagai produk yang sudah tidak sesuai dengan fungsi awalnya, yaitu sebagai sarana penyambung komunikasi.Telepon genggam di sini diceritakan banyak memiliki perubahan fungsi, contohnya sudah dijadikan sebagai identitas pribadi dari pemiliknya dan telepon genggam juga dijadikan sebagai benda yang paling intim ketika seorang itu sedang jatuh cinta pada lawan jenisnya. Dalam puisi ―Telepon Genggam‖misalnya, banyak ditemukan fakta bahwa telepon genggam adalah sebuah benda yang sudah menjadikan manusia itu terlepas dari lingkungan sosialnya. Seorang itu menjauh dari lingkungan sosial dan kehidupan pribadi yang semestinya ia dekatkan, kemudian malah mendekat dari suatu hal yang seharusnya ia jauhkan dari urusan pribadinya.Dalam puisi ini juga terdapat fakta-fakta pengiring, yaitu tentang telepon genggam dan kaula muda dan segala macam modus penipuan dengan menggunakan telepon genggam.
21
Hasan Alwi dkk., Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920 – 1960, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 5.
25
Selanjutnya pada puisi ―Selamat Tidur‖ penyair menggambarkan sebuah benda mati seperti telepon genggam, dapat berbicara dan kelelahan layaknya manusia. Telepon genggam yang memang digunakan oleh manusia, dibuat menjadi sebuah benda yang dapat hidup seperti dapat bergerak sendiri tanpa penggunanya, sehingga ia bisa mencaci, merayu dan mengajak manusia kemana saja, tentunya sesuai dengan kemauan dari keunggulan telepon genggam tersebut. Hal ini sesuai dengan fakta yang ada pada saat ini, dimana masyarakat dapat memilih jenis telepon genggam yang ia sukai, karena kelebihan-kelebihan fitur yang ditawarkan oleh pasar industri berlomba untuk mendapatkan uang dari hal yang dapat mempermudah masyarakat tersebut.
26
BAB III PROFIL JOKO PINURBO
A. Biografi Singkat Joko Pinurbo Joko Pinurbo dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Menempuh pendidikan di SD Sukabumi, SMP Maguwa, Tahun 1981 tamat dari SMA Seminari Mertoyudan Magelang (1981) dan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (kini Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Selama mengajar di almamaternya dia sambil juga membantu majalah Basis. Ia juga pernah membantu jurnal Puisi. Joko Pinurbo mengaku mulai gemar menulis puisi sejak di SMA. Puisipuisinya tersebar di berbagai media dan buku antologi bersama. Pada awalnya Joko Pinurbo menerbitkan puisi-puisinya dalam bentuk stensilan. Buku-buku stensilan itu adalah Sketsa Selamat Malam (1986) dan Parade Kambing (1986). Kelak lahirlah buku-buku puisi Celana (1999), memperoleh hadiah sastra lontar 2001. Ia juga menerima Sih Award (penghargaan puisi terbaik jurnal puisi 2001) untuk puisi Celana 1, Celana 2, dan Celana 3. Joko Pinurbo diundang untuk membacakan puisinya di Festival Puisi Antarbangsa Winternachten Over-zee 2001, di Jakarta, Festival Sastra/Seni Winternachten 2002 di Belanda, Forum Puisi Indonesia 2002 di Hamburg, Jerman, dan Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 di Solo. Buku kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapatkan penghargaan sastra pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2002. Sebelumnya ia ditetapkan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005 ia menerima Penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Buku kumpulan puisinya yang lain; Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja yang berisi seratus puisi pilihan (2005), Kepada Cium (2007) dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007) yang memuat tiga kumpulan sajaknya skaligus. Kumpulan sajaknya Celana telah 27
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Touser Doll (2002). Selain ke bahasa Inggris, sejumlah puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Belanda.
B. Joko Pinurbo sebagai Penyair Karya-karya Joko Pinurbo yang mengandung sentuhan jenaka yang membungkus tema-tema serius merupakan karya-karya yang seringkali menarik kritikus untuk mengkaji. Meskipun seringkali cara pandangnya terhadap suatu tema diangkat secara jenaka atau terkesan main-main, namun di sisi lain Joko Pinurbo mengangkat hal-hal serius yang telah atau sedang berlangsung di tengahtengah masyarakat, tema-tema yang diusungnya sangat penting dan menarik untuk dikaji. Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah ironi-ironi yang diungkapkan dengan katakata banal. Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang sakral meski tidak berarti ia menyepelekan suatu konteks yang membangun puisi itu sendiri. Sapardi mengatakan, “beberapa sajak Joko Pinurbo mungkin lucu, terutama jika di lisankan di hadapan khalayak yang belum pernah secara cermat membacanya.”1 Lebih jauh Sapardi menganggap benda-benda yang disebutkan dalam puisi Joko
Pinurbo
merupakan
lambang-lambang
yang
membentuk
sistem
perlambangan tertentu yang erat sekali hubungannya dengan dunia bawah sadar. Sapardi mencontohkan ketika ia membaca puisi Joko Pinurbo yang berjudul Boneka. Sajak Boneka (1) yang sedikit banyak menyidir keadaan masyarakat kita sekarang, menggambarkan seorang pembuat boneka yang tidak betah tinggal di negerinya sendiri dan melarikan diri ke negara boneka.2 Joko Pinurbo membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji-imajinya dalam setiap puisi yang ia ciptakan bergerak dalam berbagai wacana dan terjadi sistem pemaknaan yang kompleks dan juga alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi-puisinya diakhiri dengan 1 2
Joko Pinurbo, Celana, (Magelang: Indonesia Tera, 1999), h.72. Ibid., h.71.
28
konklusi yang tragis. Hal ini dapat dilihat lewat salah satu
puisinya yang
fenomenal, yaitu Telepon Genggam. Dalam puisi ini, komedi yang terasa sejak awal kemudian berakhir menjadi tragedi yang berada dalam suatu totalitas kisah manusia dengan celana, yang seolah memberikan gambaran bagaimana seorang manusia sangat bergantung pada sebuah celana, namun disisi lain celana seperti simbol eksistensialis dari seorang manusia. Secara keseluruhan Joko Pinurbo mengambil unsur-unsur yang ada atau karakter-karakter yang ada di sekitarnya, baik itu celana, becak, ranjang tidur, seorang guru, tetangganya maupun sosok ibu dan ayah, yang dihadirkan dalam puisi-puisinya menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk mengungkapkan karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang lain.
C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fenomena Sosial Puisi merupakan pantulan keadaan yang sudah atau sedang berlangsung di sekitar penyair, dalam bentuk kata. Namun, lewat majas-majasnya, bahasa kiasannya, puisi terbiasa menautkan ranah-ranah pengalaman yang sering tampak berjauhan meski pun ada juga yang menampilkan ranah –ranah yang tampak disekitar kita. Joko Pinurbo sendiri kerap mendaftarakan lingkup kehidupan bersosialnya manusia dalam kata-kata yang seakan bergerak dan bergetar ke arah lain atau ke dalam rangkaian citra yang intim seperti yang dikatakan Ignas Kleden bahwa, “pada penyair Joko Pinurbo, seluruh kehidupan manusia, politik, sosialbudaya, ekonomi, dan religius, tidak diterjemahkan kedalam gerak-gerik alam, tetapi ke dalam gerak-gerik badan, yaitu apa yang dikenal sebagai body language.”3 Dalam puisi Joko Pinurbo pun bisa saja kita bertemu dengan bahasa-bahasa kiasan, tetapi sesungguhnya kita lebih sering berada pada sebuah wilayah, yaitu ironi, yang diciptakan oleh Joko Pinurbo. Di sanalah kita bisa belajar sedikitbanyak tentang jarak antara kata dan dunia. Namun pada dasarnya, puisi yang dianggap sebagai sebuah karya merangkai kata, merupakan suatu komunikasi 3
Ignas Kleden, Di Bawah Kibaran Sarung, (Magelang: Indonesia Tera, 2001), h.xi
29
yang menyampaikan tentang sebuah keadaan, seperti apa yang dikatakan Goenawan Mohamad, “…sebab kata itu bagian dari bahasa ruang”.4 Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo dalam bentuknya yang naratif, cenderung mengungkapkan kompleksitas kehidupan yang dialami manusia. Tragedi itu mengacu pada realitas, peristiwa, dan subjek yang bisa ditemui, dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tematik yang dihadirkan Joko Pinurbo terasa dekat dengan realitas dan mengantarkan pembaca pada dunia rekaan yang terbuka terhadap tafsiran. Tematik dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dihadirkan dengan ironi, naif, komedi, kesedihan dan tragedi.
4
Goenawan Mohammad, Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, (Jakarta: Penerbit KataKita, 2008), h.18.
30
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” 1. Analisis Unsur Intrinsik “Telepon Genggam” Bait 1 Puisi “Telepon Genggam” terdiri dari empat belas bait dan delapan puluh baris. Gaya bahasa yang digunakan Joko Pinurbo dalam puisi ini cenderung naratif dan banyak dijumpai larik yang mengandung diksi-diksi yang paradoks. Bait pertama, dimulai dari larik pertama hingga larik kedua merupakan sebuah awal sebuah cerita yang akan memunculkan konflik utama dalam puisi ini. Puisi “Telepon Genggam”memang merupakan sebuah ekstase yang dibuat oleh penyair yang cenderung menyerupai sebuah parodi. Pada bait pembuka, seperti bait pertama di atas kita sudah dapat melihat bagaimana sebuah kejadian pertemuan kilat yang langsung menjulur ke arah percintaan. Antara seorang lelaki dan perempuan, yang terpesona pada pandangan pertama. Gaya
bahasa
metafora
yang
digunakan
oleh
Joko
Pinurbo
untuk
menggambarkan sebuah memori yang direkam oleh mata, yaitu organ tubuh manusia yang memiliki indera penglihatan, terlihat dalam penulisan pada sisa larik kedua dan ketiga.Istilah mata oleh Joko Pinurbo dijadikan sebagai organ yang seolah mempunyai jiwa.
31
.Mata Mengincar mata, merangkum ruang. Kata “mata”adalah gaya bahasa personifikasi yang semula menjadi organ yang digunakan untuk berkomunikasi secara langsung, disulap oleh penyair menjadi sebuah benda yang seolah bisa bergerak sendiri, tanpa penggerak yang dimiliki oleh organ-organ lain dalam tubuh manusia dan kata “mata” mengungkapkan identitas antara dua orang pasangan yang bertemu lalu saling menghampiri pada sebuah pesta pernikahan. Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan seorang perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata merangkum ruang.Rasanya kita pernah bertemu.Di mana ya?Kapan ya?Mata: kristal waktu yang tembus pandang Pada bait pertama ini terdapat imaji visual, seperti pada kata “berkenalan”dan “menghampiri”. Sedangkan kata konkret pada bait pertama terwakilkan pada kata “mata”, lalu kata abtrak terwakilkan pada kata “kristal waktu”. Bait 2 Gaya naratif yang cenderung memparodikan sebuah pertemuan pada bait kedua ini kembali berlanjut. Kejadian yang terjadi antara bait kedua ini memang dipengaruhi oleh bait pertamadan kelanjutan pertemuan antara seorang lelaki dengan perempuannya pun berlanjut dan menjadi lebih intim. Mereka yang awalnya masih mengingat segala kejadian yang terangkum dalam memorinya kini menjadi lebih dekat hingga terjadilah pertukaran identitas yang diselingi dengan pertukaran nomor telepon. Pada bait ini penyair berbicara mengenai sebuah kebiasaan yang sudah menjadi sebuah fakta baru dalam dunia komunikasi. Manusia yang mulanya hanya berkenalan dengan menyebutkan nama, tempat asal dan segala macamnya mulai menemukan sebuah media baru sebagai alat penghubung untuk menjalin komunikasi
32
yang lebih intens antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu sebuah telepon genggam. Makna dari kata ”nomor”merupakan sebuah fakta baru dalam dunia komunikasi manusia. Seorang manusia modern memiliki sebuah telepon genggam yang di dalamnya berisikan sebuah nomor identitas yang tertera sebagai identitas baru dalam dunia manusia. Di tengah hingar mereka berjabat tangan Bertukar nama dan nomor… Telepon genggam yang sebegitu ajaibnya menjelma menjadi kebutuhan dasar manusia sepertinya adalah sebuah fakta baru yang ingin disindir oleh penyair dalam bait kedua ini. Tentang kebiasaaan lama yang sudah tergerus oleh zaman, yaitu modernisme yang semakin menggerus akal sehat manusia sehingga menjadi makhluk yang jauh dari lingkungan sosialnya. Pada bait ini penyair menggunakan majas personifikasi untuk memberkan kesan hidup pada kata “mata”. Mata yang mengincar mata dan merangkum suatu memori uyang direkam dalam pikiran tokoh lelaki dan perempuan yang saling berpandangan di sebuah pesta pernikahan. Mata mengincar mata merangkum ruang. Gaya bahasa tersebut merupakan sebuah gaya bahasa personifkasi, yang terdapat pada larik ketga hingga keempat pada bait pertama di atas. “Mata” adalah sebuah benda yang memiliki indera penglihatan yang dapat merangkum segala pengalaman nyata manusia.
33
Pada bait kedua ini terdapat imaj visual yang terwakilkan dengan kata “berjabat tangan”. Lalu kata konkret terwakilkan pada kata “telepon genggam”, sedangkan kata abstrak terdapat pada kata “hingar”. Bait 3 Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda Sakit jiwa. Jas yang seharusnya dia lepas malah dirapikan Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu ke kamar mandi. Ingin bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati. Pada bait ini digambarkan bagaimana “ia” mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Segala yang “ia” lakukan berada pada taraf perbuatan yang tidak normal.Pada taraf kelainan inilah penyair mempermainkan sebuah ironi yang timbul dari perasaan saling jatuh cinta. Seperti yang diperlihatkan pada adegan-adegan di televisi, ketika seseorang sedang jatuh cinta, kebanyakan hal yang ia lakukan justru terlihat tidak normal. Perasaan senang sekaligus cinta, membuat akal sehat manusia kemudian dikendalikan oleh perasaan dalam dirinya, sehingga semua perbuatan yang seharusnya dilakukan malah terjadi sebaliknya.Dalam larik kedua hingga terakhir tersebutlah beberapa paradoks yang dimainkan oleh penyair dengan sangat piawai, seperti pada kutipan di bawah ini. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu ke kamar mandi. Ingin bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati. Imaji visual terdapat pada kata “dicopot” dan “dikencangkan”, sedangkan imaj pendengaran terwakilkan pada kata “bilang”. Kemudian kata konkret beberapa kali dapat ditemukan pada kata “jas”, “celana”, “kamar tidur”dan “kamar mandi”, sedangkan imaji visual terdapat pada kata “sakit jiwa”. Bait 4 Masih terngiang denting gelas, lenting piano
34
dan lengking lagu di pesta itu. semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habisnya. Nampaknya perasaan berbunga-bunga akibat jatuh cinta pada pertemuan di pesta yang baru saja “ia” lewati telah membawa beribu kesan yang cukup membuat hatinya bahagia. Semua kejadian yang ia dapati ketika dipesta semuanya terangkum dengan baik di dalam pikirannya. Pada bait ini terlihat sebuah penyair menggunakan cara lain untuk menggambarkan segala ingatan yang terangkum dalam diri tokoh “ia”. Alegori yang penyair buat tersebut digunakan untuk membuat suasana kasmaran yang sedang dirasakan dalam hati tokoh “ia” dapat menembus perasaan para pembacanya.Kutipan di bawah ini adalah contoh alegori yang digunakan oleh penyair. semuanya tinggal. Gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan Diri ke dalam telepon genggamnya Bait keempat ini mulai menyatakan beberapa perasaan yang dirasakan oleh “ia” mulai masuk ke dalam telepon genggam miliknya dan benda tersebut perlahan dan pasti mulai disebutkan sebagai sebuah fakta baru dalam dunia komunikasi, yaitu sebagai benda yang menjadi identitas tambahan bagi para pemakainya, karena semua memori yang dirasakan oleh manusia dapat disampaikan pada telepon genggam, sebuah benda pribadi yang dapat menjadi teman ditengah kesendirian. Pada bait ini terlihat imaji pendengaran terdapat pada kata “denting gelas”, “lenting piano”dan “lengking lagu”. Kata abstrak yang terdapat pada bait ini terdapat pada kata “gemerincing rindu” dan “meleburkan diri”.
35
Pada bait ini kata “denting gelas”, “lenting piano”, “lengting lagu” mewakili imaji pendengaran pada bait ketiga ini. kemudian kata “gemerincing rindu” merupakan perwakilan yang menandai adanya kata abstrak pada bait keempat ini. Bait 5 Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat di sayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Kelanjutan dari perasaan jatuh cinta yang membuat tokoh “ia” seperti dalam keadaan sakt jiwa masih berlanjut. Sepertinya ada beberapa hal yang tidak bisa ia lakukan karena jarak memisahkan antara dia dan perempuan yang ia temui di pesta tadi malam. Jarak tersebut membuat “ia” bingung dan bertingkah yang tidak wajar. Oleh karena jarak yang menghadirkan rindu tersebut hanya bisa dicapai dengan berkabar menggunakan telepon genggam, maka benda tersebut menjadi benda yang sangat penting baginya, ia sampai-sampai tidak ingin melepaskan telepon genggam miliknya dan selalu menggenggamnya erat-erat. Benda tersebut dianggapnya sebagai sebuah surga karena dapat memberikan kebahagiaan tanpa terbentur oleh jarak yang memisahkan antara dirinya dengan perempuan yang ia suka. Terlihat pada bait kelima ini penyair menggunakan majas repetisi untuk menggambarkan beberapa hal yang sedang dilakukan oleh tokoh “ia”. seperti pada kta “mondar-mandir” dan “bolak-balik”. Kata tersebut terdapat pada larik pertama, seperti pada kutipan dibawah ini. Iamondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik Pada bait ini kata “mondar-mandir”, “bolak-balik”, “digenggam” mewakili imaji visual. Kemudian kata “rumah”, “toilet”, “ruang tamu”, “benda mungil” adalah kata konkret, sedangkan kata “surga kecil” merupakan perwakilan yang menandai adanya kata abstrak pada bait keempat ini. 36
Bait 6 Dipencetnya terus-menerus sebuah nomor dan yang muncul Hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo Jawabannya selalu Halo-halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya Sebuah parodi mungkin menjadi senjata jitu bagi Joko Pinurbo untuk menertawakan kenyataan yang ia dapati di dunia nyata. Hal yang jelas sedang ia sindir adalah perihal fakta yang terjadi pada zaman modern ini, zaman di mana teknologi yang muncul untuk memudahkan hubungan sosial manusia, menjadi sebuah kekeliruan yang berdampak pada berkurangnya jiwa sosial pada diri manusia dan mereka malah menjauh dari aktifitas sosial yang berada di sekelilingnya, sehingga semua itu beberapa orang seperti kehilangan jati dirinya dan terlihat seperti kehilangan akal sehatnya. Pada bait keenam ini fakta yang muncul adalah tentang sebuah aktifitas yang dapat manusia lakukan dengan telepon genggam, seperti pada “ia” yang terus-menerus risau karena tak kunjung mendapat kabar dari seorang perempuan yang bertemu dengannya di sebuah pesta. Aktifitas yang dilakukan oleh “ia” adalah mengenai fakta dimana manusia dapat memperoleh kabar dari seseorang yang terpisah dengan jarak melalui telepon genggam.Setelah tidak mendapatkan sedikitpun kabar dari perempuan yang ditemuinya pada saat pesta, ia semakin penasaran dan tidak dapat mengendalikan dirinya, perasaan benci, namun cinta terus menerus menghantuinya, benci karena tak kunjung mendapatkan kabar dari wanita tersebut, tapi tetap mencinta wanita itu karena kepastian yang didapatkan masih belum sempurna.
37
Pada bait ini penyair banyak menggunakan gaya bahasa repetisi1 yang bertujuan untuk membuat rima seperti puisi pada umumnya, gaya repetisi tersebut terdapat pada bait kedua.Hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. `
Terlihat
gaya
pengulangan
yang
digunakan
oleh
penyair
untuk
menyelaraskan rima terdapat pada kata “tulalit” dan “berdenyit”. Dalam bait ini terlihat pula bahwa meskipun sejak bait awal penyair cenderung untuk memberikan kesan puisi “Telepon Genggam”bergaya modern, namun ia tidak serta-merta meninggalkan kekhasan yang terdapat pada gaya penulisan puisi lama, yang terikat dengan baris, bait dan rima. Pada bait ini kata imaji visualterwakilkan pada kata “dipencet”, “pukulkan”, “dicum”, sedangkan imaji pendengaran terdapat pada kata “tulalit”dan “halo”. Kemudian kata abtarak terwakilkan pada beberapa kata, yaitu “kepala”dan “telepon genggam”.
Bait 7 Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Kabar dari seberang yang ditunggu oleh lelaki dalam puisi ini masih tak kunjung datang. Kiranya semua harapan yang ia tunggu, tentang kabar dari perempuan yang sangat ia rindukan sudah sedemikian sirna. Hingga lelaki tersebut kecewa berat dan harus menyerahkan semua pada keadaan, yang ia cari adalah ketenangan yang tak kunjung datang, hingga tubuhnya tak kuat untuk menampung segala kekecewaan dan memilih untuk tidur di ranjang. Meskipun demikian hati kecil lelaki tersebut masih mengharapkan kabar dari perempuannya dan telepon genggamnya masih cengkeram erat di tangannya. 1
Repetisi adalah gaya bahasa pengulangan bunyi pada akhir kata yang biasanya terdapat dalam puisi untuk memperindah bunyi atau menyelaraskan rima ketika puisi tersebut di bacakan.
38
Pada bait ini penyair masih nampak menggunakan gaya bahasa repetisi yang terdapat pada larik pertama. Gaya repetisi ini masih bertujuan untuk menimbulkan rima yang khas dan biasa terdapat pada sebuah puisi. Kabar dari seberang tak kunjung datang, Gaya bahasa pengulangan yang terdapat pada larik pertama pada bait ketujuh ini menegaskan bahwa Joko Pinurbo merupakan penyair yang masih taat pada gaya penulisan puisi yang mengacu pada rima, itu semua mungkin diketahui oleh penyair sebagai sebuah kekhasan yang dapat memperindah puisi pada umumnya, karena meski bagaimapun, puisi tidak hanya mengandung makna yang menyeluruh, melainkan di dalamnya juga terdapat sebuah unsur tipografi yang dapat menghibur dan memperindah bunyi ketika kita membacanya. Imaji visual pada bat ini terwakilkan pada kata “tidur”, “terbaring terlentang”, “cengkeram”, “dipakai”, “ditinggalkan”, sedangkan kata konkret pada bait ketujuh ini terdapat pada kata “ranjang”. Bait 8 Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati? Penantian yang hampir saja membuat “ia” gila akhirnya seperti mendapatkan angin segar setelah telepon genggamnya berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk di telepon genggamnya. Pada bait ini penulis mencoba memberikan kesan sindiran yang seakan membuat para pengguna telepon genggam akut menjauh dari realitas sosialnya. Fakta yang disebutkan adalah ketika seseorang sudah tidak mempedulikan segala hal yang ada di luarnya dan lalu berbuat yang berlainan dari norma atau aturan yang sudah ada pada umumnya, maka bukan tidak mungkin orang 39
tersebut akan dikucilkan dengan sindiran ataupun berupa perbuatan dari masyarakat sekitarnya. Situasi inilah yang mungkin dimanfaatkan oleh Djoko Pinurbo, yaitu suasana perubahan zaman yang justru memberikan dampak cukup buruk bagi manusia. Bait ini berisikan sebuah ironi yang bertentangan dari harapan “ia”. Pengungkapan ironi tersebut dinyatakan pada larik ketiga dan kelima. Ketika “ia” merasakan adanya angin segar yang seakan menandakan adanya jawaban dari penantiannya, yaitu kabar dari sang perempuan. Namun naas, pangglian itu hanya sindiran yang datang dari orang jahil ketika melihatnya tidur dengan pakaian pesta. Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati? Pada bait ini hanya terdapat satu kata yang mewakli imaji visual dan satu kata yang mewakili imaji pendengaran. Imaji visual pada bait ini terdapat pada kata “membayangkan”, sedangkan imaji pendengaran terwakilkan pada kata “bunyi panggilan”. Bait 9 Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya. Keceriaan dan kebahagiaan pada pesta yang baru saja ia datangi menjadi semakin sirna setelah semua pesan yang telah dikirim untuk perempuannya tidak kunjung dibalas. Pada dasarnya perasaan tersebut telah hinggap pada lelaki tersebut dan tidak akan pernah hilang pada malam itudan kejadian yang hanya di ceritakan
40
dalam sesaat dalam puisi “Telepon Genggam”ini seakan menceritakan perasaan galau dari seseorang yang telah ditinggalkan oleh perempuan yang ia cinta dan juga lingkungan sosialnya. Pada bait ini tersebut juga fakta yang sering terjadi dan dialami oleh para pengguna telepon genggam, yaitu sms penipuan yang tidak jelas berasal dari mana asalnya. Sms tersebut sering dijadikan modus oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab.Praktis, adanya telepon genggam telah menjadi sarana baru bagi untuk penipuan dan hal tersebut merupakan sebuah fakta yang terjadi setelah maraknya telepon genggam digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada bait ini hanya ada satu kata yang mewakili imaji penglihatan dan satu kata uyang mewakili
kata konkret.
Imaji visual
terwakilkan pada kata
“dicocokkan”.Kemudian kata konkret terdapat pada kata “mobil kodok”. Bait 10 Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya. Penantian yang tak kunjung usai, barang kali hal tersebut adalah inti dari bait ke sepuluh ini, dimana seseorang menanti sebuah jawaban yang tak pasti kapan datangnya dan yang bisa ia lakukan hanya berharap meskipun ia sudah tahu tak aka nada balasan kabar yang datang untuknya. Pada saat “ia” sudah hampir pada batasnya, telepon genggam miliknya kembali berbunyi seakan menandakan harapannya untuk kembali hadir, namun yang terjadi sungguh jauh di luar dugaannya, yang muncul adalah panggilan dari kampung halamannya, mungkin sebuah panggilan dari orang tuanya. Seketika alam pikirnya merubah semua keharuan tentang wanita pada sebuah pesta yang sedari bait pertama diceritakan. Di tengah kesendiriannya
41
yang semu, lelaki tersebut dihadapkan dengan bayangan akan kampung halamannya, di mana di sana terdapat rimbunan pohon sawo dengan suara burung yang berkicau. Semua itu semakin menyudutkannya dan sampailah ia pada sebuah klimaks, tentang keberadaan dirinya yang justru meninggalkan semua kenangan tersebut dan malah berusaha untuk mencari sesuatu yang tak pernah ia dapat. Jelas terlihat dalam bait kesepuluh ini, bagaimana maksud penyair yang semenjak bait pertama tadi belum terungkap. Maksud tersebut terungk dalam ungkapan dan guyonan yang berisikan makna berupa sindiran ataupun nasihat bagi para pembacanya.Maksud penyair yang mungkin dapat terungkap adalah bagaimana telepon genggam yang berfungsi sebagai alat penyambung komunikasi hanya sekedar memberikan sebuah harapan yang tak kunjung usai, yaitu harapan yang justru menjauhkan indentitas manusia sebagai makhluk sosialdan semua itu adalah kehendak dari sifat modernisme yang hadir dan menjangkit di masyarakat, khususnya di Indonesia. Pada bait kesepuluh ini terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu gaya bahasa repetisi yang terdapat pada larik pertama. Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, Selanjutnya adalah gaya bahasa metafora2 yang terungkap ketika penyair mengibaratkan telepon genggam sebagai benda yang ajaib, pergantian ungkapan tersebut terlihat karena dalam puisi ini telepon genggam banyak memainkan perannya sebagai sebuah benda yang seakan tidak dapat terpisah dari pemiliknya. Hal tersebut terungkap pada larik ketiga pada bait kesepuluh ini. tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar Kemudian, yang terakhir adalah gaya bahasa alegori yang terungkap ketika penyair mengungkapkan tentang gambaran tokoh ia yang sedang membayangkan tentang rumahmnya di kampung dengan imaji penglihatan berupa “pohon sawo” dan 2
Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang cenderung untuk
42
imaji pendengaran berupa “suara burung”. Hal itu terlihat pada larik keempat hingga larik terakhir. suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya. Pada bait ini terdapat dua kata yang mewakili imaji visual, yaitu “tertidur”, “tempelkan”. Sedangkan imaji pendengaran terdapat pada kata “berbunyi nyaring”, “suara burung”.Kemudian kata konkret terwakilkan pada kata “telinga”, “pohon sawo”, “halaman rumah”. Bait 11 Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya memancarkan gambar gerimis mengguyur senja. Setelah terlempar pada kenangan lamanya, kembali yang harus dihadapi oleh tokoh “ia” adalah tentang realita yang sedang terjadi pada dirinya. Ketika imajinya seakan melemparkan dirinya jauh ke dalam kesendirian, ternyata yang dialaminya dalam kenyataan juga cenderung sama, namun tampaknya ia masih tidak menyerah, ia masih mencoba menghubungi nomor perempuan itu dan seketika semua itu sirna karena layar telepon genggamnya terlihat redup, atau yang dalam istilahnya dikenal dengan sebutan low battery (low bat). Akhirnya bait ini ditutup dengan elegan oleh penyair, karena tidak hanya gerimis yang berada di luaran yang sedang “ia” rasakan, melainkan gerimis di hatinya hadir karena di layar telepon genggamnya terdapat gambar gerimis mengguyur senja. Dalam bait ini kembali terdapat gaya bahasa kiasan yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan telepon genggam tokoh “ia” yang sudah kehabisan baterai dan gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa alegori. 43
terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya memancarkan gambar gerimis mengguyur senja. Terlihat kata gerimis mengguyur senja mewakilkan kenyataan pahit yang didapatkan oleh tokoh “ia” yaitu mengenai telepon genggamnya yang sudah kehabisan baterai, semua itu terjadi ketika ia ingin menguji penantiannya untuk kabar dari seorang perempuan yang ia temui di sebuah pesta pernikahan temannya. Pada bait ini terdapat imaji visual yang terwakilkan pada kata “melihat”dan “memancarkan”, sedangkan imaji pendengaran terwakilkan pada kata Bait 12 Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa. Bait yang selanjutnya adalah bait yang menceritakan tentang tingkah laku tokoh “ia” yang semakin tampak gila sehabis telepon genggamnya kehabisan baterai pada bait sebelas tadi. Tubuh yang sudah tidak kuat lagi menahan kantuknya akhirnya diistirahatkan juga. Pada bait ini sepertinya penyair menegaskan tentang “gejala sakit jiwa” yang disebutnya di bait ketigadan penegasan tersebut ditandai dengan kata “gila”. Dalam bait ini terdapat beberapa gaya bahasa, yang pertama adalah gaya bahasa tautologi yang terdapat pada bait pertama dan bertujuan untuk menegaskan kegilaan yang nampak pada tingkah laku tokoh “ia” dan hal tersebut terdapat pada larik pertama yang berbunyi. Kalau harus gila, gila sajalah.
44
Selanjutnya terdapat gaya bahasa paradoks yang bertujuan untuk menegaskan maksud tersembunyi yang tersimpan dalam hati tokoh “ia”. Gaya bahasa tersebut terdapat pada larik ketiga. Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Kemudian yang terakhir adalah gaya bahasa metafora yang terwakilkan dalam kata “surga kecil” yang dimaksudkan untuk sebuah telepon genggam. Gaya bahasa perbandingan tersebut agaknya menjadi gaya bahasa yang paling sering muncul dalam puisi “Telepon Genggam”ini dan pada bait kedua belas ini kata “surga kecil” terdapat pada larik keempat berikut ini. betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu Dalam bait dua belas ini terdapat beberapa kata konkret yang terwakilkan dengan kata dan “jas”. Selanjutnya kata abstrak terdapat pada kata “surga kecil”. Kemudian imaji visual terdapat pada kata “betulkan jasnya”, “genggam erat”, “tubuh rapuh”, “tampak perkasa”. Bait 13 Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya. Semua kegagalan yang ia dapatkan ketika ingin berhubungan dengan perempuan itu dengan menggunakan telepon genggam seakan membuatnya begitu kecewa. Ketika ia ingin tertidur, telepon genggamnya kembali berbunyi, tapi ia nampaknya sudah begitu kecewa, pikirnya sudah tidak ada lagi yang harus terjawabdan sudah tidak ada lagi yang akan membalas kabar darinya, telepon
45
genggam itu hanya di cengkramnya, tanpa pernah ia periksa dari mana sumber kabar tersebut berasal. Penyair membuat pola-pola personifikasi yang mungkin dengan sengaja dibuat untuk menyembunyikan maksudnya, semisal ketika telepon genggam milik “ia” memanggil pemiliknya yang menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Seketika personifikasi itu kembali diperdengarkan lewat nyaring dan lengkingnya meski
kemudian
“ia”
hanya
menganggap
itu
akan
hanya
menambah
keheningannyadan telepon genggam miliknya seakan meronta kesakitan karena berada pada genggamannya. Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya. Pada bait ini terasa gaya bahasa personifikasi yang digunakan tersebut seakan bercerita seperti ketika seseorang yang sudah dalam kekecewaan membiarkan semua hal yang datang untuknya pergi berlalu begitu saja, karena memang semua itu terjadi berkali-kali, hingga orang tersebut jengah dan membiarkannya berlalu. Kata konkret pada bait ini terdapat pada kata “telepon genggam”. Kemudian imaji pendengaran terdapat pada kata “memanggil”, “nyaring”,
dan “lengking”.
Sedangkan imaji visual terdapat pada kata “tidur”, “cengkram”dan “meronta-ronta”.
Bait 14 Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat Seorang anak laki-laki kecil pulang dari bermain layang-layang Di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah Kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung Berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan.
46
Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut Rindu dan sinar bisu, sedang risau menunggu. Seperti Saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam Haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: Pohon hayat yang tak terlihat waktu. Pada bait ini penyair menyimpulkan maksud dari semua kegagalan yang di dapat oleh tokoh “ia” pada puisi “Telepon Genggam”. Semua kegagalan yang diakibatkan karena ia tidak mempedulikan segala yang dekat dengannya, bahkan keluarganya. Kegagalan tersebut membuat tokoh “ia” begitu kecewa dan menyesali segala perbuatannya, ia seakan terlempar ke jurang kehampaan. Kerinduan dari kemurnian anak kecil dimanfaatkan oleh penyair untuk membuka maksud dibalik ironinya terhadap “ia”.Teknologi adalah sebuah perubahan yang cukup membuat manusia gila dan seakan menawarkan wujud dari surga dunia, hal itulah yang dijungkir balikkan oleh penyair untuk menjadi sebuah parodi yang sedari awal menyinggung tentang keberadaan manusia modern.Bagi penyair telepon genggam merupakan sebuah alat yang seharusnya dapa membimbing seseorang untuk menyongsong masa depannya malah berubah menjadi sebuah benda yang dapat menghentikan laju perkembangan hidup manusia dan malah menyeretnya pada sebuah kenyataan di masa kecil yang penuh luka dan perih.Manusia serba praktis yang tanpa diketahui tercabut dari hakikat dirinya sebagai makhluk sosial, menjadi seorang makhluk.Dengan menyebutkan beberapa fakta terkait dengan kemunculan telepon genggam yang merupakan sebuah benda pembaharu komunikasi manusia. Pada bait ini penyair mengungkapkan beberapa bunyi repetisi pada akhir kaa yang bertujuan untuk memperindah rima. Gaya bahasa repetisi tersebut terdapa pada bait kedua hingga keempat. Seorang anak laki-laki kecil pulang dari bermain layang-layang Di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah Kosong dan lengang.
47
Terlihat pada bait kedua hingga ketiga seperti pada kutipan diatas terdapat bebrapa pengulangan untuk pada kata yang berakhiran “ang”, seperti “pulang”, “layang-layang”, “padang lapang” dan “lengang”. Semua kata tersebut membentuk sebuah keutuhan rima yang jelas dan padat terjalin sebagai sebuah kalimat. Dan gayabahasa repetisi seperti ini sepertinya sering kali digunakan oleh penyair sebagai strategi untuk memperindah bunyi pada puisi “Telepon Genggam”. Pada bait ini terdapat beberapa kata abstrak yang diwakilkan dengan kata abstrak, yaitu “sinar bisu”dan “pohon hayat”. Sedangkan kata konkret pada puisi ini terdapat pada kata “anak laki-laki”, “layang-layang”, “padang lapang”, “anak perempuan”, “pohon sawo”. Sedangkan imaji visual pada bait ini terdapat pada kata “melihat”,. Sedangkan imaji pendengaran pada bait ini terwakilkan dengan kata “berkicau”. Tabel 1 Imaji Visual Puisi “Telepon Genggam” Baris
Imaji Penglihatan
1
Berkenalan
2
Menghampiri
2
1
Berjabat tangan
3
3
Dicopot
3
Dikencangkan
1
Mondar-mandir
1
Bolak-balik
Bait 1
5
48
3
Digenggam
1
Dipencet
4
Pukulkan
4
Dicium
2
Tidur
3
Terbaring terlentang
4
Cengkram
5
Dipakai
6
Ditinggalkan
8
2
Membayangkan
9
5
Dicocokkan
10
1
Tertidur
3
Tempelkan
5
Melihat
6
Memancarkan
4
Genggam
5
Terpejam
6
Terlunta-lunta
6
Perkasa
6
7
11
12
49
13
14
1
Tidur
5
Terpejam
7
Cengkraman
1
Melihat
Tabel 2 Imaji Pendengaran Puisi “Telepon Genggam” Bait
Baris
Imaji Pendengaran
3
5
Bilang
4
1
Denting gelas
1
Lengking piano
2
Lenting lagu
2
Tulalit
3
Halo
8
1
Bunyi Panggilan
10
2
Berbunyi nyaring
4
Suara burung
1
Terdengar
6
11
50
13
14
3
Memanggil
3
Suara anak kecil
4
Nyaring
4
Lengking
5
Berkicau
Tabel 3 Kata Konkret Puisi “Telepon Genggam”
Bait
Baris
Kata Konkret
1
2
Mata
2
3–4
Telepon genggam
3
2
Jas
3
Celana
4
Kamar tidur
4
Kamar mandi
1
Rumah
2
Toilet
2
Ruang tamu
3
Benda kecil
5
51
6
5
Kepala
5
Telepon genggam
7
2
Ranjang
9
4
Mobil kodok
10
3
Telinga
5
Pohon sawo
6
Halaman rumah
Tabel 4 Kata Abstrak Puisi “Telepon Genggam” Bait
Baris
Kata Abstrak
1
4–5
Kristal waktu
2
1
Hingar
3
2
Sakit jiwa
4
3
Gemerincing rindu
5
4
Surga kecil
11
6
Mengguyur senja
52
12
1
Gila
5
Tubuh rapuh
13
6
Meronta-ronta
14
7
Binar bisu
10
Pohon hayat
2. Unsur Intrinsik Puisi “Selamat Tidur”’ Puisi “Selamat Tidur”‟adalah jenis puisi yang memiliki kekhasannya tersendiri. Puisi selamat tidur ini seperti mempunyai keterkaitan yang erat dengan puisi “Telepon Genggam”.Keterkaitan tersebut terdapat pada objek yang sedang dibicarakan, yaitu telepon genggam.Bedanya pada puisi Panggilan Pulang ini penyair memainkan personifikasinya untuk memberikan kesan hidup pada “Telepon Genggam”.Dalam keharuan yang sedang bertaut pada diri “ia” pada puisi “Telepon Genggam”, telepon genggam justru berbicara sendiri dan penyair membuat sebuah cerita tentang bagaimana perasaan dari telepon genggam. Bait 1 Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain Monolog.Banyak peran.Konyol.Enggak nyambung. Pada bait “aku” lirik adalah sebuah telepon genggam yang sedang menceritakan kisahnya. Telepon genggam yang capek karena “seharian bermain monolog”, mungkin yang dimaksudkan oleh penyair pada kalimat tersebut adalah telepon genggam yang sudah seharusnya diistirahatkan karena sudah tidak
53
mempunyai daya untuk dinyalakan atau sudah terlalu sering digunakan. Pada bait ini juga terlihat kejenakaan penyair yang dapat membua sebuah cerita tentang telepon genggam dan lewat ejekannya yaitu “konyol. Enggak nyambung”. Dalam bait pertama ini penyair menggunakan gaya personifikasi khas dirinya, gaya bahasa personifikasi tersebut tedapat pada larik pertama. Telepon genggam mau tidur. Pada larik pertama tersebut penyair membuat seolah-olah telepon genggam memiliki sifat seperti manusia. Sifat tersebut adalah yang karena dirinya lelah seharian, maka ia ingin tidur untuk beristirahat sejenak dari permainan monolognya dan memainkan banyak peran. Kata konkret yang terdapat pada bait pertama ini adalah “telepon genggam”, sedangkan kata abstrak terdapat pada kata “enggak nyambung”. Kemudian imaji penglihatan yang terdapat pada bait pertama ini adalah “tidur”. Bait 2 Paling pusing bicara dengan bahasa siluman. Serba Akronim dan singkatan.Maunya hemat waktu. Enggak Hemat pikiran dan perasaan.Sok cerdas.Pemalas. Hal yang paling penting pada puisi “Selamat Tidur”‟ini adalah bagaimana penyair menyembunyikan maksud sindirannya pada gaya personifikasi yang ia buat dengan memanfaatkan telepon genggam yang berbicara sendiri. Khusunya pada bait kedua ini terdapat beberapa fakta yang terjadi di dunia nyata, di mana manusia sering menggunakan layanan yang terdapat di dalam telepon genggam. Layanan tersebut adalah SMS yang biasanya tulisan yang tercantum didalamnya sering disingkat untuk memperhemat karakter katadan mungkin penyair menyarankan bahwa hal tersebut seringkali menyita pikiran kita untuk membaca kata per kata yang disingka
54
sedemikian rupa oleh pengirimnya.Kata abstrak yang terdapat pada bait pertama ini adalah “bahasa siluman”.
Bait 3 Bait ketiga masih berisikan tentang ocehan-ocehan yang terlontar dari aku lirik, yaitu telepon genggam. Dalam bait ketiga ini telepon genggam semakin menjadi-jadi berbicara makin diluar kendali. Fakta yang biasa dilakukan oleh manusia ketika mereka sedang berinteraksi dengan seseorang melalui telepon genggam, ada ekspresi gembira karena mendapatkan sesuatu yang lucu dari lawan berinteraksinya, ada ekspresi pengumpat karena saat memberikan pesan caciandan juga ketika sedang merayu seseorang.Semua hal itu memang dapat dilakukan dengan menggunakan telepon genggam, barangkali itulah arti dari “banyak” peran yang disebutkan pada bait pertama di atas, ketika seseorang menggunakan telepon genggamnya dan berinteraksi dengan seseorang, maka mereka dapat menghendaki apapun yang mereka inginkan.Pada bait ketiga ini ditemukan sebuah kata abstrak, yaitu kata “prek”. Bait 4 Paling senang sebelum tidur bisa memainkan beragam Musik yang semuanya sesungguhnya hanya variasi dari Suara tangis pertama seorang bayi Peran telepon genggam pada saat ini bukan hanya sebagai sarana penyambung komunikasi, melainkan sebagai sebuah alat multifungsi yang memiliki banyak layanan untuk memanjakan pemiliknya, seperti pemutar musik, pemutar radio, kamera, perekam video, dan lain-lain. Dalam bait keempat ini, penyair menggunakan kelebihan yang terdapat dalam telepon genggam tersebut, yaitu sebagai pemutar musik dan sepertinya penyair mengetahui hal tersebut, di mana sebelum tidur
55
biasanya orang-orang banyak yang memutar musik yang merangsang agar cepa tertidurdan kemungkina kalimat “tangis pertama seorang bayi” adalah tenang lagu bernada sendu.Pada bait terdapat sebuah kata konkret, yaitu “seorang bayi”. Kemudian imaji pendengaran yang terwakilkan dengan kata “memainkan musik”, dan “suara tangis”. Bait 5 Bait kelima adalah bait terakhir pada puisi “Selamat Tidur”‟, di dalam bait lima ini telepon genggam masih dipersonifikasikan sebagai sebuah benda yang akhirnya berhenti berceloteh. Bait yang berisikan dua larik ini menegaskan bait keempat yang menceritakan kejadian sebelum aku lirik tidur, yaitu mendengarkan musik. Dalam bait terakhir ini aku lirik menyapa Beethoven, yaitu tokoh musik yang menciptakan banyak instrumen. Nampaknya rangkaian nada dari Beethovenlah yang dapat menemani telepon genggam tertidur. Beethoven, telepon genggam mau tidur. Boleh dong Pinjam telingamu yang tuli untuk menampung bunyi. Pada akhirnya penyair menjelaskan tentang kejadian yang biasa terjadi, yaitu ketika seseorang terkadang sudah tertidur maka telepon genggamnya masih berbunyi dan menyetel sebuah lagu. Puisi ini mungkin dimaksudkan untuk menyindir para pengguna
telepon
genggam
dengan
kebiasaan-kebiasaan
barunya,
tentang
penggunaan telepon genggam yang berlebihan, bahasa-bahasa aneh yang sulit dipahami dalam pesan (SMS)dan sebagai seorang pecudang ketika para pengguna telepon genggam dapat mengumpat ketika mereka sedang berekspresi, tanpa perlu malu memperlihatkan mimik asli kita di depan orang banyak dan yang paling penting adalah semua kemudahan itu dapat membuat manusia menjadi pemalas, karena banyak hal dapat ia lakukan dengan hanya menggunakan telepon genggam.
56
Tabel 5 Imaji Visual Puisi “Selamat Tidur”’ Bait
Baris
Kata Abstrak
1
1
Bermain
3
1
Ngakak-ngakak
5
1
Tidur
Tabel 6 Imaji Pendengaran Puisi “Selamat Tidur”’ Bait
Baris
Kata Abstrak
1
2
Bicara
4
3
Suara tangis
5
2
Bunyi
Tabel 7 Kata Konkret Puisi “Selamat Tidur”’
57
Bait
Baris
Kata Abstrak
1
1
Telepon genggam
4
3
Seorang bayi
5
2
Telinga
Tabel 8 Kata Abstrak Puisi “Selamat Tidur”’ Bait
Baris
Kata Abstrak
3
2
Prek
B. Fakta Sosial dalam Puisi “Telepon Genggam”dan “Selamat Tidur”’ 1. Fakta Sosial Puisi “Telepon Genggam” a. Fakta Telepon Genggam dengan Gaya Hidup Dasar pemikiran pada puisi “Telepon Genggam”adalah mengenai sebuah kebiasaan buruk masyarakat yang semakin terpuruk karena pengaruh teknologi secara mendadak mengubah sistem komunikasi manusia lewat benda yang begitu fenomenal di seluruh kalangan masyarakat, yaitu telepon genggam.Telepon genggam pada dasarnya merupakan sebuah benda yang dapat menjalin komunikasi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya sudah berubah bentuk menjadi salah satu pengganti identitas dalam diri pemakainya.Selain itu, telepon genggam juga merupakan sebuah benda yang dapat menjadi sebuah teman ketika pemakainya sedang sendirian.
58
Di Indonesia sendiri, telepon genggam semakin marak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat.Faktanya, menurut data yang dilansir dalam harian Kompas, bahwa jumlah pemakai telepon genggam di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya hingga melebihi jumlah penduduk Indonesia sendiri.Data tersebut dirilis oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Informasi dan Informatika. Data Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Informasi dan Informatika menunjujkkan, sejak 2013, jumlah gawai yang terdiri dari telepon pintar, komputer genggam dan komputer tablet telah melampaui jumlah penduduk Indonesia. Jumlah gawai 240 juta unit, sedangkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa.Pertumbuhan gawai tahun ini diperkirakan lebih besar lagi.3 Data yang dikutip harian Kompas di atas menunjukkan bahwasanya masyarakat Indonesia memang sangat menyambut baik kehadiran telepon genggam yang
merupakan
produk
terlaris
dari
teknologi
dunia
yang
semakin
berkembang.Memang tidak mustahil apabila telepon genggam menjadi benda yang begitu marak digunakan dan sangat penting bagi manusia, pasalnya disaat sedang sendirian, manusia dapat merasakan kehadiran dari sosok yang mereka inginkan dengan cara menghubunginya lewat fasilitas yang ditawarkan di dalam telepon genggam. Setelah kemunculannya yang disambut begitu baik oleh semua kalangan masyarakat, telepon genggam kini semakin marak diperkenalkan oleh produsen dengan keunggulannya yang berbeda-beda. Hal inilah yang sedang dibicarakan oleh penyair tentang fakta pada dunianya yang sedang mewabah.Keadaan yang semakin buruk dan membawa dampak perubahan paling besar bagi dunia, yaitu dengan kehadiran telepon genggam yang merusak tatanan komunikasi individu dengan masyarakat lainnya.Fakta tentang 3
“Gawai Jadi Kebutuhan Primer Lekat Dengan Kebutuhan Anak Muda”, dalam Kompas, Jakarta, 13 April 2015.
59
telepon genggam yang dapat ditemukan dalam puisi “Telepon Genggam”ini adalah mengenai pentingnya telepon genggam bagi para pemakainya. Seperti yang tertulis pada bait kelima. Dalam data tersebut kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa kebanyaan masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki satu atau dua buah telepon genggam, karena seperti yang kita lihat, jumlah telepon genggam pada saat ini sudah melebihi jumlah populasi masyarakat Indonesia. Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik Antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Pada larik yang di garis bawahi di atas, dapat kita lihat, bagaimana penyair menggambarkan keadaan seorang lelaki yang menjadikan telepon genggam tidak hanya sebagai sebuah benda yang amat penting baginya, tetapi benda tersebut digambarkan
seperti
surga
kecil
yang
dapat
menyampaikan
segala
keinginannya.Nampaknya istilah “surga kecil” itu adalah sebuah ungkapan yang dapat mewakilkan keseluruhan fakta yang ada dalam puisi “Telepon Genggam”ini, karena pada bait ketujuh ungkapan tersebut dibunyikan kembali. Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pestadan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Terlihat, ungkapan “surga kecil” yang tertulis di bait ketujuh ini semakin menegaskan bahwa pada dasarnya puisi ini membahas tentang fakta mengenai telepon genggam yang mengubah segala kebiasaan manusia di dunia dengan
60
kehadirannya. Ungkapan di atas juga menjadi alasan mengapa puisi “Telepon Genggam” memiliki fakta sosial seperti yang terjadi di dalam dunia nyata, karena lewat survey yang dilakukan oleh Siemens Mobile Phone Indonesiapada tahun 2003, yang dikutip oleh Gouzali lewat berita dari harian Kompas. Akan arti pentingnya ponsel, perlu disimak akan apa yang pernah dilakukan oleh Siemens Mobile Phone Indonesia. Dalam sebuah survey yang berjudul Survey Siemens Mobile Lifestyle itu didapatkan informasi menarik bagaimana mobile phone telah menjadi bagian hidup dan napas manusia sehari-hari.Sekitar 79% penduduk Indonesia merasa sangat kehilangan ketika ponsel mereka tidak ada di sekitarnya. Sementara 62% akan segera tidak sadar memeriksa ponsel mereka ketika mendengar nada bunyi pengiriman SMS daripada membaca buku (Kompas, 17 April 2003).4 Kutipan di atas semakin menguatkan mengenai fakta yang terjadi dalam puisi “Telepon Genggam” dengan fakta sosial yang terjadi di dunia nyata.bahwasanya masyarakat Indonesia sudah menjadikan telepon genggam sebagai sebuah benda yang begitu penting baginya. Fakta ini bukan terjadi secara kebetulan saja, dari kutipan di atas kita juga dapat menemukan kesinambungan antara keadaan yang terjadi di dalam puisi dengan keadaan yang terjadi di dunia nyata lewat intuisi penyair yang notabenenya adalah makhluk sosial yang hidup berjalinan dengan masyarakat dan lingkungannya. b. Fakta Pemuda dan Telepon Genggam Fakta berikutnya adalah tentang tokoh lelaki yang aktif menggunakan telepon genggamnya.Lelaki yang diceritakan oleh penyair adalah seorang yang menjadikan telepon genggamnya sebagai benda yang sangat penting bagi hidupnya.Lelaki tersebut adalah korban dari perkembangan zaman yang diprakarsai oleh pertumbuhan teknologi komunikasi.Tokoh lelaki tersebut terwakilkan lewat subjek “ia” dalam puisi.“Ia” adalah seorang pemuda yang berkenalan dengan seorang perempuan pada 4
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 189.
61
sebuah pesta pernikahan kemudian bertukar nomor, dan tidak mendapatkan balasan pesan dari perempuan tersebut. Dalam puisi ini ada indikasi bahwa penyair dengan sengaja menaruh tokoh pemuda yang terwakilkan dengan subjek “ia” tersebut karena menurut fakta yang terjadi di dunia nyata, bahwa kaum mudalah yang mudah terpengaruh oleh perubahan zaman dan menggunakan produk-produk modern pada masanya. Semisal dalam puisi ini adalah telepon genggam yang menjadi gaya hidup bagi kaum muda. Menurut survei yang pernah dilakukan oleh kompas, bahwasanya kaum muda adalah penerus bangsa yang mudah terpengaruh oleh perubahan zaman dan termasuk ke dalam golongan yang paling besar menggunakan telepon genggam. Di kalangan masyarakat, sekarang ini telepon genggam masih di anggap sebagai teknologi terkini di bidang komunikasi.Benda kecil yang sangat praktis dibawa ini sangat diminati oleh masyarakat dari segala lapisan, jenis kelamin, maupun pekerjaan.Kaum muda dianggap sebagai pengguna terbesar telepon genggam.teknologi Indonesia yang masuk sekitar 10 tahun terakhir ini langsung mendapat tempat di hati masyarakat luas. Di Indonesia tercatat 7,3 juta pengguna telepon genggam dan 56 persen diantaranya adalah kelompok muda di bawah umur 20 tahun.5 Lewat data yang disebutkan oleh kompas tadi, kita dapat merujuk bahwa pada tokoh lelaki dan perempuan yang diceritakan dalam puisi merupakan seorang pemuda yang sedang terpengaruh oleh perkembangan teknologi.Khususnya tokoh lelaki yang terlihat sangat agresif untuk menjadikan telepon genggam sebagai benda untuk berkomunikasi secara lebih dekat dengan seorang perempuan. Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar, debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho.Awas kalau tidak.
5
“Survey Telepon Genggam”,dalam Kompas, Jakarta, 13 Juni 2000.
62
Terlihat pada bait kedua di atas, bahwa kata “mereka” adalah kedua sosok lelaki dan perempuan yang merupakan bagian dari masyarakat yang menggunakan telepon genggam. “Mereka” adalah kalangan muda yang saling berpola hidup konsumtif dengan menggunakan produk dari perkembangan teknologi komunikasi yaitu telepon genggam. Di dunia nyata, fakta ini seringkali dibuktikan dan menjadi objek pembicaraan yang cukup banyak ditelaah oleh berbagai media cetak Indonesia.Harian Kompas pernah menyatakan tentang kedekatan antara pemuda dengan telepon genggamnya, ketika itu mereka melakukan wawancara pada kaula muda yang menggunakan telepon genggam. Bagi Titto Naufal Airlangga (18), pelajar SMA Negeri 2 Surabaya, Jawa Timur, gawai sudah menjadi kebutuhan pokok dalam keseharian karena tidak sekedar alat komunikasi dengan orangtua, teman, dan guru. Fungsi gawai, menurut anak sulung dari dua bersaudara ini, terutama untuk berdiskusi lewat jejaring media sosial, seperti Instagram, Line, Path, dan Whatsapp.6 Pernyataan yang disampaikan oleh Tito dalam wawancaranya pada harian Kompas tersebut membuktikan bahwa, dewasa ini telepon genggam sudah menjadi kebutuhan
primer
bagi
manusia
untuk
menjalani
segala
rutinitas
dalam
hidupnya.Benda tersebut adalah benda yang begitu penting bagi mereka. c. Fakta Penipuan dengan Telepon Genggam Semakin berkembangnya zaman, maka semakin berkembang juga modus penipuan yang terdapat di dalamnya.Dalam kasus telepon genggam ini, penipuan yang paling marak adalah penipuan dengan menggunakan SMS dengan modus 6
“Gawai Jadi Kebutuhan Primer Lekat Dengan Kebutuhan Anak Muda”, dalam Kompas, Jakarta, 13 April 2015.
63
pendapatan hadiah atau menang undian.Puisi “Telepon Genggam”juga membahas hal tersebut. Pada bait ke sembilan, penyair membungkus fakta tersebut dengan dibungkus oleh ungkapannya yang cenderung jenaka. Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya. Fakta yang penulis tuliskan adalah mengenai kejadian yang umumnya pernah dirasakan oleh seluruh pengguna telepon genggam.Umumnya, modus penipuan lewat SMS ini merupakan modus penipuan yang muncul setelah maraknya pemakaian telepon genggam di seluruh kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia. Fakta ini pernah di alami oleh Nurudin yang ia ceritakan lewat bukunya. Komunikasi dengan HP telah memunculkan praktik bisnis illegal.Saya pernah mendapat kiriman SMS dari nomor HP 08128030804 dengan bunyi sebagai berikut; “Selamat! Nomor Sim Card Anda dapat bonus pulsa via ATM isi 2,5 juta & uang Rp 25 juta. Untuk konfirmasi hubungi telp 0812-9590-704. Drs Hasibuan, PT (Medicomsel) JKT”.7 Lewat tulisannya tersebut, Nurudin menceritakan tentang penipuan yang marak terjadi dengan menggunakan telepon genggam. Modus pengiriman hadiah tersebut ternyata ditelusur oleh Nurudin, hingga ia menemukan sebuah fakta yang mengindikasikan bahwa pesan tersebut adalah pesan hadiah yang berupa penipuan. Setelah itu Nurudin juga mengutip informasi yang pernah dikutip oleh kompas untuk menguatkan argumennya tentang modus baru dalam dunia komunikasi ini. Lain lagi cerita yang pernah dialami oleh mahasiswa Ichsan Yudhis Nugraha (24), warga Teluk Pucung, Bekasi Utara.Ia mengaku telah mentransfer Rp 738.777 dari rekeningnya di ATM Mandiri kepada pelaku yang mengirimkan SMS. Kejadian itu juga pernah menimpa Ateng (40).Lewat SMS dia diinformasikan mendapat hadian Telkomsel senilai RP 7
Nurudin, Op.cit., h. 192.
64
35 juta dan voucher Simpati RP 1 juta. Ia mengikuti perintah yang bernama umar untuk mentransfer sejumlah uang lalu ia mentransfer RP 8.499.888 dari ATM BCA (Kompas, 5 Mei 2003).8 Selain itu, harian Kompas juga pernah mengabarkan tentang modus penipuan yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat.Berbeda dengan fakta yang dikabarkan oleh Nurudin di atas.Modus penipuan ini dijalankan dengan fasilitas telepon.Korbannya adalah seorang wanita yang bernama Yani. Modus operandi penipuan dengan menggunakan telepon marak terjadi belakangan.Seseorang ibu di Solo, Jawa Tengah-sebut saja Yaniyang anaknya bekerja di Jakarta hampir saja menjadi korban penipuan. Selasa (9/5), Ny Yani mendapat telepon yang menyebutkan dari kantor polisi dikawasan Jakarta Selatan. Suara ditelepon menggambarkan putrinya, Ratna, menjadi korban tabrak lari dan kini berada di ruang rawat darurat Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).9 Modus penipuan yang marak terjadi di dunia nyata tersebut adalah fakta yang dapat merelevansikan bahwasanya kejadian yang terdapat di dalam puisi “Telepon Genggam” memang diangkat dari dunia nyata yang dialami dan dirasakan langsung oleh penyair di lingkungan hidupnya. 2. Fakta Sosial Puisi “Selamat Tidur”’ Puisi “Selamat Tidur”‟ mengandung sebuah fakta tentang telepon genggam yang digunakan oleh semua kalangan sebagai media penyambung komunikasi. Hal yang dibicarakan oleh penyair dalam puisi ini adalah mengenai layanan yang terdapat dalam telepon genggam, yaitu short messege service (SMS). SMS memang merupakan layanan yang ditujukan bagi para pengguna telepon genggam untuk mengirimkan sebuah pesan tertulis pada seseorang yang dituju. Gunanya mungkin hampir sama dengan bentuk surat pada sebuah telegram. Namun yang berbeda adalah pesan tersebut disampaikan secara digital dan dapat langsung masuk ke dalam telepon
8
Ibid., h. 195. “Waspada, Modus Penipuan Melalui Telepon”, Kompas, Jakarta, 14 Mei 2000.
9
65
genggam kita.Selain itu peran telepon genggam dalam puisi “Selamat Tidur”‟ini adalah sebagai pemutar musik. Layanan untuk mendengarkan musik dalam telepon genggam terdapat pada aplikasi tambahan yang biasanya disediakan, baik itu berupa ring tone atau nada dering, atau juga pemutar musik secara langsung. Kedua hal seperti di atas sama tertera pada penjelasan Nurudin. HP tidak hanya bisa digunakan untuk menerima dan menelepon, tetapi juga untuk mengirim SMS, mengirim dan menerima gambar, mengirim dan menerima ring tone. Masing-masing jenis telepon berbeda satu sama lain tentang fasilitas yang disediakan.10 Pada dasarnya pendapat Nurudin di atas merupakan sebuah fakta tentang segala fasilitas yang terdapat di dalam telepon genggam yang juga dilansir oleh harian Kompas ketika mereka memberitakan tentang kemajuan fitur telepon genggam yang diproduksi oleh produsen pada saat itu. Siemens S35i memiliki tambahan 100 entri untuk menyimpan nomor telepon di dalam handset, 40 pilihan nada dering ditambah melod composer, serta silent alert, sehingga rapat-rapat anda tidak terganggu oleh bunyi dering panggilan masuk. Sementara itu fungsi voice memo akan membantu anda merekam percakapan penting disaat mendesak.11 Selanjutnya, ketika kita beralih pada puisi “Selamat Tidur”‟ini, fakta-fakta tersebut disindir dan dipermainkan oleh penyair, dan kemungkinan ia mengkritik segala aktifitas manusia dengan telepon genggam miliknya tersebut. Seperti pada ungkapan penyair pada bait berikut ini. Paling pusing bicara dengan bahasa siluman. Serba akronim dan singkatan. Maunya hemat waktu. Enggak hemat pikiran dan perasaan. Sok cerdas.Pemalas. Bait kedua di atas merupakan sebuah cibiran dari penyair untuk aktifitas yang sering dilakukan oleh manusia dengan telepon genggamnya. Lebih rincinya, dalam 10
Ibid., h. 188. “Siemens Hadirkan Standar Baru Ponsel Di Era Internet”, Kompas , Jakarta, 29 Maret 2000.
11
66
kasus ini, penyair membicarakan tentang kebiasaan para pengguna telepon genggam untuk mengirimkan pesan singkat. Hal tersebut memang biasa dilakukan oleh banyak orang, karena pesan singkat atau layanan SMS yang terdapat dalam telepon genggam hanya memfasilitasi penggunanya untuk menggunakan maksimal 160 hingga 450 karakter huruf, dan Nurudin kembali menjelaskan, seperti dibawah ini. Untuk SMS saja, ada yang fasilitasnya hanya 160 karakter ada pula yang sampai 450 karakter.Artinya, jika anda menulis pesan 200 karakter dengan HP fasilitas 160 karakter tidak bisa dilakukan.Bisa dilakukan tapi pengirimannya dua kali.12 Penjelasan dari Nurudin tersebut merupakan sebuah penjelasan mengenai fakta yang terdapat dalam puisi telepon genggam. Selain itu, harian Kompas juga pernah mengutip tentang fakta tentang gaya bahasa yang marak digunakan melalui SMS ini. Lewat artikel yang berjudul “Tetap Eksis dengan Bahasa Gaul”, harian Kompas menjelaskan tentang eksistensi bahasa yang sangat marak digunakan oleh kaula muda untuk menuliskan pesan via SMS tersebut pada teman berkomunikasinya. Cukup hanya memunculkan singkatan?Enggak juga.ruang yang sempit juga memunculkan kata-kata yang ditulis sesuai dengan pelafalan, ringan dan campur aduk dengan bahasa asing. Contohnya, ciyus (serius), miyapa (demi apa), aq (aku), ea (ya), k (ke), luv u (love you), otw (on the way), dan macama (sama-sama).13 Artikel yang dimuat oleh harian Kompas di atas menyatakan tentang persepsi manusia dalam menyikapi gaya hidup di zaman modern dengan menggunakan telepon genggam yang di dalamnya banyak menyimpan segala macam aplikasi untuk berkomunikasi dengan komunikan mereka. Sejalan dengan harian Kompas, harian Tempo juga mengutip tentang gaya bahasa SMS tersebut. Menurut harian Tempo, bahasa yang sering digunakan dalam kaidah SMS tersebut adalah bahasa slank yang tidak hanya rutin digunakan oleh 12
Ibid., h. 188. “Tetap Eksis dengan Bahasa Gaul”, dalam Kompas, Jakarta, 07 Desember 2012.
13
67
kaula muda, malainkan orang-orang yang bekerja untuk staf pemerintahan pun juga menggunakannya untuk saling berkirim pesan lewat SMS. Bahasa slank dan bahasa SMS bukan monopoli anak muda atau alay belaka. Gaya itu juga dipakai oleh Muhammad Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang, tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang.Dalam dokumen yang dimiliki Tempo, terdapat sejumlah istilah yang biasa dipakai pihak yang bercakap-cakap via pesan singkat itu.Mereka menggunakan istilah seperti “sy” untuk kata saya, “jd” untuk kata “jadi”.Orang mengenalnya sebagai bahasa percakapan Blackberry Messenger atau SMS.14 Berita yang dilampirkan oleh Harian Tempo di atas merupakan sebuah acuan untuk merelevansikan antara kejadian yang ada di dalam puisi dengan kejadian yang ada di dunia nyata, dan mungkin menurut penyair, bahasa singkatan seperti “jd” dan “sy”, seperti pada kutipan di ataslah yang memusingkan dan membuatnya berkata bahwa bahasa tersebut adalah “bahasa siluman”. Praktis, dengan berita yang dilampirkan oleh harian Kompas dan Tempodi atas, kita dapat mengetahui bahwa kejadian yang ada di dalam puisi memang diangkat dari dunia nyata dan hal tersebut dapat meyakinkan kita bahwa landasan fakta yang terjadi dalam puisi memang diangkat dari berbagai fakta yang berasal dari dunia nyata. C. Implikasi Puisi “Telepon Genggam”dan “Selamat Tidur”’ Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Puisi adalah jenis karya sastra yang termasuk ke dalam materi penting pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Selain itu, puisi juga termasuk kedalam materi (GBPP) Garis-garis Besar Program Pengajaran di SMA.Oleh karena pentingnya pembelajaran puisi di sekolah, maka sepatutnya puisi dapat diajarkan dan tersampaikan dengan baik pada murid-murid di sekolah.
14
„Istilah Gaul Nazaruddin dan Rosalina‟ , dalam Tempo, Jakarta, 13 Juli 2011.
68
Keberhasilan guru untuk mengajarkan materi puisi tidak hanya terletak pada pengetahuan tentang arti puisi bagi siswa secara harfiah saja, melainkan guru juga harus mempertajam pokok pembahasan pada materi ini untuk menambah pengetahuan siswa pada puisi. Guru harus bisa mengimplikasikan puisi sebagai sebuah wadah guna menyampaikan amanat yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut. Semisal seperti pada puisi “Telepon Genggam” dan “Selamat Tidur” karya Joko Pinurbo yang terdapat beberapa fakta sosial guna memberikan pengalaman imaji pada murid agar mereka dapat menerapkan makna yang ada di dalam ke dua puisi tersebut.
69
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu ‘Telepon Genggam’ dan ‘Selamat Tidur’, maka dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Joko Pinurbo menciptakan karyanya dari pandangan masyarakat yang perduli pada lingkungan. Puisi Joko Pinurbo dapat disebut juga puisi yang unik, karena memiliki diksi khas dengan menggabungkan antara bahasa keseharian dan pengalaman pribadi dari fakta yang ia dapatkan di lingkungan sekitarnya. Sebagai mahkluk sosial, Joko Pinurbo selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai sosial yang luhur dengan mempertimbangkan nilai moral dari prilaku keseharian yang terjadi pada masyarakat luas dengan lahirnya telepon genggam. Secara acak, penyair mengambil beberapa sampel fakta yang terjadi di dunia nyata yang terungkap dari beberapa prilaku manusia modern, di antaranya adalah prilaku penipuan, etika berkomunikasi, dan pandangan hidup mereka yang semakin tercerabut dari prilaku manusia normal pada umumnya. Secara keseluruhan, penyair menggambarkan itu semua menjadi suatu tragedi yang berujung mengenaskan pada tokoh utama yang ia ceritakan pada puisi ‘Telepon Genggam’. Kemudian dalam puisi ‘Selamat Tidur’ suasananya masih relatif sama, yaitu antara telepon genggam dan pemiliknya. Kepribadian manusia modern yang keutuhan dirinya sudah terbagi dengan telepon genggam pribadinya membuat penyair mentertawakan segala kebiasaan tersebut. Mulai dari sikap, prilaku dan gaya berkomunikasi sang pemilik telepon genggam, penyair gambarkan dengan komedi yang jahil dan menghibur. Seperti misalnya gaya bahasa lewat pesan pribadi kemudian prilaku keseharian dan sikap
69
mereka yang selalu ditemani dengan telepon genggam pribadinya. Setidaknya, dengan berbagai macam fakta yang terungkap dalam kedua puisi ini kita dapat mengkaji nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya, yaitu dengan menjaga keselarasan kita dengan lingkungan sosial, dan bagaimana
kita
dapat
mengontrol
kehendak
kita
untuk
tidak
mengutamakan telepon genggam pribadi kita ketika berada di lingkungan sosial. 2. Implikasi puisi karya Joko Pinurbo terhadap pembelajaran adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam puisi terdapat semacam pembelajaran baik dalam pembelajaran untuk memaknai makna puisi dan penyikapan diri terhadap zaman. Dalam memaknai sebuah puisi Joko Pinurbo melatih siswa untuk memahami struktur dan bentuk puisi modern dan makna yang tersirat di dalamnya, yaitu untuk mengajarkan siswa agar lebih berhati-hati terhadap perkembangan zaman. Selain itu, dengan puisi siswa dapat memahami berbagai macam gejala sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Selain itu guru dapat mendeskripsi nilainilai kebaikan yang terkandung di dalam puisi dengan mengungkapkan fakta sosial yang terkandung di dalam puisi tersebut.
B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada: 1. Guru Agar mampu mengajarkan metode pembelajaran sastra, khususnya puisi kepada siswa di sekolah, sehingga pembelajaran bahasa, khususnya kesusastraan dapat tercapai sesuai dengan kurikulum yang di tetapkan. 2. Siswa Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam, agar siswa mampu mengapresiasikan dan mengambil esensi dan nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra, terutama puisi-puisi yang berkaitan dengan fakta sosial.
70
3. Sekolah Agar menerapkan kurikulum berdasarkan ketentuan yang berlaku, yang bertujuan agar kegiatan belajar dan mengajar dapat tercapai secara baik
71
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk,.Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920 – 1960. Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Barry, Peter. Begening Theory. Yogyakarta: Jalasutra, 2010 Dokumen Kompas. Siemens Hadirkan Standar Ponsel Baru di Era Internet. Kompas, Jakarta, 29 Maret 2000 Dokumen Kompas. Waspada, Modus Penipuan Melalui Telepon. Kompas: Jakarta, 14 Mei 2000 Dokumen Tempo. Istilah Gaul Nazaruddin dan Rosalina.Tempo, Jakarta, 13 Juli 2011 Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press, 1982 Endaswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNY Press, 2012 Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. 2013 Indra Riatmoko, Ferganata. Tetap Eksis dengan Bahasa Gaul. Kompas, Jakarta, 07 Desember 2012 Kleden, Ignas. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera, 2001 Kusuma, Okke dan Zaimar, Sumantri. Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi, Seminar Gelar Sastra Dunia. Jakarta: FIB-UI, 19-20 Juli 2005 Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007 Mohammad, Goenawan. Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Penerbit KataKita, 2008
72
Nainggolan, Alex R. Diksi Genit Joko Pinurbo. Harian Suara Merdeka. Jakarta. 05 Desember 2004 Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003 Pinurbo, Joko. Celana. Magelang: Indonesia Tera, 1999 Pinurbo, Joko. Kepada Kekasihku. Harian Tempo, Jakarta. 30 Oktober2005 Scot, John. Teori Sosial dan Masalah Pokok dalam Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008 Sumardjo, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Penerbit Alumni Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1995. Cet 3 Wellek, Rene. dan Warren, Austin. Theory of Literature. Jakarta: Gramedia, 1989 Wirawan, I. B. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial). Jakarta: Prenamedia, 2012 Wijayanto, Totok. Gawai Jadi Kebutuhan Primer Lekat Dengan Kebutuhan Anak Muda. Kompas, Jakarta, 13 April 2015 Zamzam Noor, Acep. Puisi dan Bulu Kuduk. Bandung: Nuansa, 2011
73
RENCANA PELAKSANAAN PEPIBELAJARAN CPP)
Sekolah
SMA Negeri 51 Jakarta
Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester
X(Sepuluh)
Standar Kompetensi
14. Menghayati puisi dan me ngungkapkan pendapat
l2(dta)
siswa terhadap puisi yang dihayatinya melalui diskusi
Kompetensi Dasar
14.1 Siswamampu memahami unsur intrinsik dan
ekstrinsik dari sebuah puisi. 14.2 Siswa mampu mengetahui fakta sosial dalam
Puisi
Indikator
l.
Memahami fakta sosial dalam puisi.
2. Mengidentifikasi fakta sosial dalam Puisi. 3. Mendiskusikan dan mengungkapkan fakta sosial dalam puisi
Alokasi Waktu
:
4x45 menit
1.
TUJUAN PEMBELAJARAN
A.
Aspek Kognitif
Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat
:
Memahami fakta sosial yang terkandung di dalam sebuah puisi.
B.
Aspek Afektif
Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat
:
Menghargai pendapat dan hasil karya teman dengan memberikan saran perbaikan.
C. Aspek Psikomotorik Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat
l.
Mengidentifikasi fakta sosial dalam sebuah puisi secara tepat.
2.
Mendiskusikan dan mengungkapkan fakta sosial dalam sebuah puisi denganjelas.
2. MATERI PEMBELAJARAN 1.
CTERLAMPIR)
Puisi
2. Fakta sosial 3.
PENDEKATAI\ PEMBELAJARAN
o
4.
:
PendekatanKooperatif
METODE PEMBELAJARAN
o . o
Tanya jawab
Diskusi Demonskasi
5。
MODEL PEMBELAJARAN o Model Pcmbcl巧 aran Dua Tinggal Dua Tamu
6.
LANGKAⅡ …LANGKAⅡ KEGIATAN PEⅣ IBELAJARAN: PerteIIluan I(l x 45 WIlenit)
Alokasi
Kegiatan Pembelajaran
VVaktu Kegiatan Awal
1.
Apersepsi a.Guru membuka pelajaran dengan salam dan presensi
b.
5 PIlellit
kehadiran siswa.
Guru mengulas kembali pelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya dengan bertanya jawab kepada siswa.
c.Menyampaikan pokok
2.
materi pelajaran yang akan
dilaksanakan 5 Plenit
Motivasi
Guru menyampaikan kepada siswa pembelajaran yang hendak dicapai dan memberikan penanaman sikap dan motivasi
tujuan
terhadao oembelai aran vans akan dilaksanakan.
Kegiatan Inti 1. Eksplorasi
10 PItenit
a.Guru menggali pengetahuan siswa mengenai materi puisi melalui berbagai sumber.
b.
Guru menggiring pemikiran siswa ke materi dengan menampilkan slide puisi "Telepon Genggarn" (Joko Pinurbo) dan siswa memberikan
2.
tanggapan terhadap puisi tersebut. 50 PIcllit
Elaborasi
a.
b.
Guru membimbing dan membagi kelas menjadi 4 kelompok diskusi. Setiap kelompok menyiapkan dua anggotanya unfuk menjadi "tamu" yang nantinya akan ditugaskan untuk berlarnjung ke kelompok lain.
Guru membagikan lembar materi kepada kelompokyaitu: o Kelompok 1 = pengertian puisi
r . o c.
Kelompok2: Unsur Intrinsik puisi
Kelompok 3 : Unsur entrinsikpuisi Kelompok 4 = fakta sosial
Dua Siswa yang ditugasi menjadi tamu tiap kelompok, berkunjung ke kelompok lainnya dengan prosedur harus menggunakan salam dan yel-yel sebagai ciri khas kelompoknya. dua tamu tersebut kembali ke
e.
kelompoknnya dan menjelaskan ke anggota lain mengenai materi yang dibahas kelompok yang telah dikunjungi tadi.
Setiap kelompok mewakilkan dua anggotanya untuk mengungkapkan hasil diskusinya di depan kelas, yaitu hasil diskusi materi kelompoknya dan
siswa yang satunya mengenai materi dari kelompok yang dikunjungi. Presentasi diawali dengan yel-yel tiap kelompok. Guru memberi kesempatan kepa
f.
10 ⅣIenit
lain untuk menanggapi penyampaian hasil diskusi tersebut.
Konfirmasi a.Guru memberikan tanggapan terhadap hasil diskusi yang telah dilaksanakan oleh siswa di depan kelas. b. Guru memberikan tambahan ulasan materi yang belum diketahui siswa. c.Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk C.
10 Ⅳlenit
Penutup
a.Guru merefleksi dan menanyakan kesan siswa terhadap pembelaj aran yang telah dilaksanakan
b. Guru bersama dengan
siswa
menyirnpulkan
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
c.Guru memberikan tugas kepada siswa secara kelompok untuk mencari puisi dari majalah atau internet kemudian menganalis fakta sosial yang
PERTEMUAN No。
A.
II
(2 x 45 Menit)
Kegiatan Pembelaiaran Kegiatan Awal 1. Apersepsi
a.
b. 2.
Alokasiヽ /aktu Plellit
Guru membuka pelajaran dengan salam dan presensi kehadiran siswa. Guru melakukan tanya jawab dengan siswa untuk mengulas kembali pelajaran yang telah dilakukan sebelumnya.
Motivasi Guru menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan memberikan penanaman sikap dan motivasi
5 ⅣIenit
terhadap pembelajaran
yang
akan
dilaksanakan.
Kegiatan Inti 1. Eksplorasi
a. Guru
mengelompokkan
siswa
seperti
kelompok pada perlemuan sebelumnya.
b. Guru menginstruksikan
2.
Elaborasi
a.
b. c. d. 3.
kelompok untuk
mempresentasikan hasil temuan dari tugas pertemuan sebelumnya.
Guru memberi kesempatan siswa untuk mempresentasikan tugasnya di depan kelas. Siswa yang lain memberi tanggapan.
Guru membagikan lembar kerja kepada siswa untuk mengidentifftasi puisi "Selamat Tiduf' dan mencari fakta sosial yang terkandung dalam puisi tersebut
Guru menunjuk perwakilan beberapa siswa untuk menyampaikan puisi hasil analisanya. Siswa yang
lain memberi tanggapan dan
sanggahan.
Konlirmasi Guru memberi penguatan materi tambahan kepada siswa.
Guru memberi kesernpatan siswa untuk Penutup
a.
Guru merefleksi dan menanyakan kesan siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan
b.
7.
Guru memberikan motivasi untuk belajar
KARAKTER SISWA YANG DIHARAPKAN
o o o o
Dapat dipercaya (trustworthines) Rasa hormat dan perhatian(respect)
Tekun (diligence) Tanggung jawab (responsibility)
:
1. MEDIA
DAN SUMBER BELAJAR
Media LCD dan laptop yang berisi
.
:
Slide presentasi tentang materi hubungan isi puisi tersebut dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat.
Sumber Belajar
. o 2.
Buku ajar bahasa Indonesia SMA kelas X terbitan Erlangga Joko Pinurbo, Telepon Genggam, I(ompas
PENILAIAN
1. Jenis tagihan
: Tugas kelompok dan Tugas individu
2. Bentuk instrumen
:
. r o r
Tes tulis Tes lisan Observasi kinerja/ Demonstrasi
Tagihan hasil karyalproduk: tugas, proyek
Instrumen
:
Telepon Genggam Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan
menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah
bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang. Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor,
menyimpannya ke telcpon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak. Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya
dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. lngin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat
di hati. Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya. la mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungilyang sangat disayang: surga kecilyang tak ingin ditinggalkan. Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. la pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya. Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan
membuatnya sedikit tenang. la terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. la berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake ias segala. Emangnya mau mati? Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia
terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. la tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya. Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. la ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia
mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senJa. Kalau harus gila, gila sajalah. la ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? la pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. la betulkan jasnya, genSSam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya
yang ingin tetap tampak perkasa. Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-
tiba memanggil. la dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementa ra telepon gengga m nya mero nta-ronta da lam cengkerama nnya. Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari
main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
SoaI: 1 2
Sebutkan unsur intrinsik dalam puisi Telepon Genggam
3
Sebutkan unsur entrinsik dalam puisi Telepon Genggam
Kemukakan fakta sosial yang terdapat dalam puisi Telepon Genggam
Perloman Penilaian
:
Aspek yang dinilai
A.
Bahasa yang digunakan 3
. Komunikatif
B.
Tidak komunikatif
[si cerita
1
.
2
o Jawaban relevan o Jawaban kurang relevan o Jawaban tidak relevan
1 3
.
2
o Kurang komunikatif
Relevan
o o
Kurang relevan Tidak relevan Jawaban
. o
.
Sesuai
Kurang sesuai Tidak sesuai
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0 - 100 adalah sebagai berikut Nilai akllir=
Perolehan skor Skor maksimum(20)
x
skor ideal (100) =......
:
Puisi
1
Telepon Genggam
Di pesta pemikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pemah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang. Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh tho. Awas kalau tidak. Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. lngrn ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang
jauh di mata, eh keliru dekat di hati. Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam teleporr genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya. Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Dipencehrya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo
jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya. Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan mernbuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki danjas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari ceng|<eram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhimya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseoran1yatgtak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya. Antara tertidur dan tery'aga, antaraharap dan putus asa, telepon genggamnya tibatiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar
ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya. suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya memancarkan gambar gerimis mengguyur senja. Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terluntalunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolonsrys, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya. Apa yang sedang iabayang[
ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
Puisi
2
Selamat Tidur Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran.
Konyol. Enggak nyarnbung. Paling pusing bicara dengan bahasa siluman. Serba akronim dan singkatan. Maunya hemat wakfu. Enggak hemat pikiran dan perasaan. Sok cerdas. Pemalas.
Paling seru bisa ngakak-ngakak sendirian. Ha ha ha. Atau mengumpat. Bangsat. Brengsek. Prek. Asu. Gombal. Kere. Pengkhianat. Jahanam. Rasain. Mampus, Paling berat bikin rayuan. Ayo sayang. Enggak marah kan? Aduh cakepnya. Mabuk yuk. Sip. Paling senang sebelum tidur bisa memainkan beragam musik yang semuanya sesungguhnya hanya variasi dari suara tangis pertama seorang bayi. Beethoven, telepon genggam mau tidur. Boleh dong pinjam telingamu yang
untuk menampungbunyi!
tuli