PUTUSAN Nomor 61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
ِب ِبي ِب ا َّرال ْس ِبم َّرالِب ِبي ْس DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat banding dalam sidang musyawarah majelis telah menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh : PEMBANDING, umur ……..tahun, agama Islam, pendidikan terakhir S1 Perikanan, pekerjaan …. Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta, bertempat tinggal di Kampung Rawa Bogo, RT.003, RW.003, No. 19 E, Kelurahan Jati Mekar, Kecamatan Jati Asih, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Jamaluddin,
S.Ag., M.H., Advokat/Penasehat Hukum
pada Kantor Hukum Jamaluddin, S.Ag., M.H. & Rekan, beralamat di Jalan Melati No.28, Lingkungan Kassi Kebo, Kelurahan
Baju
Bodoa,
Kecamatan
Maros
Baru,
Kabupaten Maros, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 September 2014, yang telah terdaftar di kepaniteraan
Pengadilan
Agama
Makassar
dengan
register No.507/SK/X/2014/PA Mks., tanggal 15 Oktober 2014, sebagai Penggugat/ Pembanding; melawan TERBANDING, umur ….
tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan
……………., bertempat tinggal di Jalan Abd. Dg. Sirua, No. 235, RT.01 RK.01, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang, Kota Makassar. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Abdul Azis, S.H. Zulkifli Hasanuddin, S.H., Haswandy Andy Mas, S.H., Syafruddin Marappa, S.H., Suharno, S.H., Andi Radianto, S.H., Muhajir, S.HI., Ayu Husnul Hudayah, S.H. dan Aulia Susantri, S.H., semuanya adalah Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Hal. 1 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
Indonesia (YLBHI) Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, beralamat di Jalan Pelita Raya VI Blok A.34 No.9, Makassar, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
2
Januari
kepaniteraan
2015,
Pengadilan
yang Agama
telah
terdaftar
Makassar
di
dengan
register No.08/SK/I/2015/PA Mks., tanggal 6 Januari 2015, sebagai Tergugat/Terbanding; Pengadilan Tinggi Agama tersebut , Telah membaca dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang berhubungan dengan perkara ini. DUDUK PERKARA Mengutip
segala
uraian
sebagaimana
termuat
dalam
putusan
Pengadilan Agama Makassar Nomor 1751/Pdt.G/2014/PA Mks., tanggal 31 Maret 2015 Masehi, bertepatan tanggal 10 Jumadilakhir 1436 Hijriah, yang amarnya sebagai berikut; 1. Menolak gugatan penggugat seluruhnya; 2. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 411.000,00 (empat ratus sebelas ribu rupiah) ; Membaca Akta Permohonan Banding Nomor 1751/Pdt.G/2014/PA Mks. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar, tanggal 13 April 2015, yang
menyatakan
bahwa
Penggugat/Pembanding
telah
mengajukan
permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama Makassar tersebut dan permohonan banding dimaksud telah diberitahukan kepada pihak lawannya pada tanggal 15 April 2015; Bahwa Penggugat/Pembanding telah mengajukan memori banding bertanggal 15 April 2015 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar pada tanggal 16 April 2015, serta telah diberitahukan dan diserahkan kepada Tergugat/Terbanding melalui kuasanya pada tanggal 30 April 2015, kemudin terhadap memori banding tersebut
Tergugat/Terbanding
telah
mengajukan kontra memori banding bertanggal 17 Mei 2015 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar pada tanggal 18 Mei 2015, serta telah diberitahukan dan diserahkan pula kepada Penggugat/Pembanding pada tanggal 20 Mei 2015; Hal. 2 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
Bahwa terhadap kedua pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas (inzage), sesuai relaas pemberitahuan tanggal 17 April 2015 dan tanggal 4 Mei 2015 kepada kuasa hukum masing-masing pihak, dan berdasarkan Surat Keterangan Panitera Nomor 1751/Pdt.G/2014/PA Mks. , tanggal 4 dan 19 Mei 2015, Tergugat/Terbanding atau kuasanya maupun Penggugat/Pembanding atau kuasanya tidak datang memeriksa berkas perkara banding (inzage) tersebut; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding Pembanding diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara serta memenuhi syarat menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut formal harus dinyatakan dapat diterima; Menimbang, bahwa setelah hakim tingkat banding membaca, meneliti, dan mempelajari dengan saksama berkas perkara banding yang terdiri dari berita acara persidangan, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini serta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara, salinan resmi putusan Pengadilan Agama dan setelah pula memperhatikan pertimbangan hukum hakim tingkat pertama, maka hakim tingkat banding menyatakan tidak sependapat dengan pertimbangan dan putusan Pengadilan Agama tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut; Menimbang, bahwa Penggugat/Pembanding mengajukan gugatan pemeliharaan
anak
(gugatan
hadhanah)
terhadap
Tergugat/Terbanding
bertanggal 27 Oktober 2014 dengan register Nomor 1751/Pdt.G/2014/PA Mks., tanggal 27 Oktober 2014 atas ketiga orang anak perempuan yang masih belum dewasa, dan lahir dari perkawinan Penggugat dengan almarhumah Sudarni Yusuf Maamun, S.Sos. binti Dr. M. Yusuf Maamun (istri Penggugat/ Pembanding), yaitu Ahya Aulidina binti Juriansyah Jufri, S.Pi. (umur 10 tahun), Alma Nahdiyah binti Juriansyah Jufri, S.Pi. (umur 9 tahun) dan Ashra Khairiyah binti Juriansyah Jufri, S.Pi. (umur 5 tahun) yang berada dalam pemeliharaan Tergugat/Terbanding, Hj. Waginan binti Wagimin (ibu kandung almarhumah Sudarni Yusuf Maamun, S.Sos.) sejak meninggalnya almarhumah (istri Penggugat/Pembanding) pada tanggal
19 Juni 2009 di RSUD Luwuk,
Kabupaten Banggai hingga diajukannya perkara ini di pengadilan; Hal. 3 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 154 R.Bg. menganjurkan agar hakim pemeriksa perkara mengupayakan perdamaian terlebih dahulu bagi para pihak yang sedang bersengketa, kemudian dengan terbitnya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 yang diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dimaksudkan untuk memperkuat upaya damai sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 154 R.Bg.
tersebut
dan
memaksimalkan
fungsi
peradilan
dalam
upaya
menyelesaikan sengketa dengan memberikan suatu kewajiban bagi para pihak yang sedang bersengketa untuk mengupayakan perdamaian melalui proses mediasi melalui mediator sebagaimana diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Menimbang, bahwa oleh karena itu, urgensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menurut hakim tingkat banding sebagai elaborasi optimalisasi proses perdamaian sebagaimana ditentukan Pasal 154 R.Bg. dalam pemeriksaan perkara di pengadilan,
sehingga
pengadilan
dalam
memeriksa,
mengadili,
dan
memutuskan perkara yang telah diterima, berkewajiban pula mengadakan perdamaian bagi para pihak yang bersengketa melalui mediasi sebagai suatu keharusan (qonditio sine qua non), sehingga hakim tingkat pertama dalam perkara a quo berkewajiban pula mengupayakan perdamaian melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, ditegaskan bahwa setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini. Dan prosedur mediasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 9 Peraturan Mahkamah Agung tersebut adalah tahapan proses mediasi yang intinya terdiri atas pra mediasi yang diantaranya mengatur kewajiban hakim, hak para pihak memilih mediator, batas waktu pemilihan mediator, prinsip itikad baik, dan tahap-tahap proses mediasi yang meliputi penyusunan resume, lama waktu
proses
mediasi,
kewenangan
mediator,
tugas-tugas
mediator,
Hal. 4 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
keterlibatan ahli, mencapai kesepakatan dan tidak mencapai kesepakatan, akibat-akibat dari kegagalan mediasi; Menimbang, bahwa Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menegaskan bahwa jangka waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan seluruh proses mediasi paling lama adalah 40 (empat puluh) hari kerja. Jangka waktu tersebut berlaku dalam proses mediasi yang berakhir dengan tercapainya kesepakatan maupun dalam hal tidak tercapai kesepakatan; Kemudian dalam Pasal 14 ayat (1) ditegaskan bahwa seorang mediator mempunyai kewajiban untuk menyatakan proses mediasi gagal, apabila satu pihak ataupun kedua belah pihak yang bersengketa tidak hadir secara berturut-turut dalam 2 (dua) kali pertemuan mediasi yang jadwalnya sudah disepakati sebelumnya, dan juga dinyatakan gagal apabila para pihak telah memberi kuasa kepada kuasa hukum salah satu pihak maupun kedua belah pihak, tidak hadir secara berturut-turut tanpa alasan dalam 2 (dua) kali pertemuan mediasi yang jadwalnya sudah disepakati sebelumnya; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
Berita
Acara
Sidang
tanggal
2 Desember 2014 (sidang kedua) yang dihadiri kuasa hukum Penggugat/ Pembanding dan hadir pula Tergugat/Terbanding in person, setelah hakim tingkat pertama memberikan penjelasan mengenai tata cara dan kewajiban para pihak menempuh mediasi dalam perkara a quo, sidang ditunda hingga tanggal 16 Desember 2014 untuk memberi kesempatan bagi para pihak menempuh mediasi melalui mediator yang telah disepakati dan ditunjuk berdasarkan Penetapan Mediator tanggal 2 Desember 2014; Selanjutnya, berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 16 Desember 2014, ternyata mediasi dalam perkara tersebut dilaksanakan hanya 1 (satu) kali saja dan dilaporkan pada hari itu juga, yaitu pada hari dan tanggal ditetapkannya penunjukan mediator tersebut, tanggal 2 Desember 2014, yang dilaporkan oleh mediator yang telah ditunjuk kepada majelis hakim pemeriksa perkara bahwa mediasi gagal, sesuai Laporan Mediasi tanggal 2 Desember 2014, kemudian pemeriksaan
perkara
dilanjutkan
dengan
pembacaan
surat
gugatan
Penggugat/Pembanding; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut, hakim tingkat banding menilai upaya perdamaian melalui proses mediasi yang dilaksanakan dalam Hal. 5 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
perkara a quo hanya formalitas saja dan belum dilaksanakan secara optimal sesuai Pasal 1 butir 8 dan 9 serta Pasal 2 ayat (2) dan (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 154 R.Bg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum, sesuai Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menegaskan bahwa “Tidak menempuh
prosedur
mediasi
berdasarkan
Peraturan
ini
merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”; Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 30 Desember 2014 yang dihadiri oleh kuasa Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Terbanding, namun Tergugat/Terbanding belum menyiapkan jawaban atas gugatan Penggugat/Pembanding a quo, kemudian sidang ditunda hingga tanggal 6 Januari 2015 untuk jawaban. Pada hari sidang tanggal 6 Januari 2015 tersebut, Tergugat/Terbanding tidak hadir di depan sidang dan tidak pula mengutus orang lain sebagai kuasa/wakilnya untuk datang menghadap di persidangan meskipun Tergugat/Terbanding telah diperintahkan untuk hadir pada sidang sebelumnya, selanjutnya hakim tingkat pertama menunda pemeriksaan perkara tersebut hingga tanggal 20 Januari 2015 untuk pembuktian (vide Berita Acara Sidang tanggal 6 Januari 2015); Menimbang,
bahwa
berdasarkan
Berita
Acara
Sidang
tanggal
20 Januari 2015 yang dihadiri oleh kuasa Penggugat/Pembanding dan kuasa Tergugat/Terbanding, ternyata hakim tingkat pertama tidak lagi memberikan kesempatan kepada kuasa Tergugat/Terbanding untuk menyampaikan jawaban dan
atau
bantahannya
pemeriksaan
perkara
atas
gugatan
dilanjutkan
Penggugat/Pembanding
dengan
pemeriksaan
a
quo,
alat-alat
bukti
Penggugat/Pembanding berupa bukti-bukti surat. Dan oleh karena kuasa Penggugat/Pembanding belum menyiapkan saksi-saksinya untuk didengar keterangannya di depan sidang, pemeriksaan perkara ditunda hingga tanggal 3 Februari 2015 untuk pembuktian lanjutan; Menimbang, bahwa salah satu asas hukum acara perdata yang harus ditegakkan dalam pemeriksaan perkara adalah asas “audi et alteram partem”, yang artinya “dengarkan juga pihak lain”, sebagai asas yang memberikan hak Hal. 6 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
dan perlakukan yang sama antara pihak-pihak yang berperkara di dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Berdasarkan asas ini maka kedua belah pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil, pihak Penggugat/ Pembanding
diberikan
kepentingannya
dalam
kesempatan pengajuan
untuk
mempertahankan
gugatannya
dan
hak
kepada
dan pihak
Tergugat/Terbanding diberikan pula kesempatan yang sama untuk untuk mempertahankan hak dan kepentingannya dalam mengajukan jawaban dan atau bantahannya atas gugatan tersebut sehingga secara prosesuil para pihak mempunyai hak kedudukan yang sama di dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan; Menimbang, bahwa meskipun dalam HIR/R.Bg. sebagai ketentuan pokok hukum acara perdata maupun dalam undang-undang lainnya tidak ditemukan satu pasal pun yang memberikan defenisi dan pengertian asas “audi et alteram partem”, namun berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, adalah merupakan dasar untuk menerapkan asas “audi et alteram partem”, sehingga hakim tidak boleh membeda-bedakan orang dan harus memberikan kedudukan yang sama dan seimbang
di dalam proses
pemeriksaan perkara di pengadilan; Menimbang, bahwa ternyata dalam pemeriksaan perkara a quo, pihak Tergugat/Terbanding yang diwakili oleh kuasanya pada hari sidang tanggal 20 Januari 2015 tidak lagi diberikan kesempatan untuk menyampaikan jawaban dan atau bantahannya atas gugatan Penggugat/Pembanding tersebut. Hal ini secara jelas mengabaikan hak-hak Tergugat/Terbanding dalam pemeriksaan perkara a quo yang seharusnya sebelum memasuki tahapan pembuktian, terlebih dahulu gugatan Penggugat/Pembanding a quo dikonstatir oleh hakim tingkat pertama kepada kuasa Tergugat/Terbanding dan selanjutnya dikualifisir dalil-dalil gugatan yang diakui dan yang dibantah sehingga dapat dirumuskan pokok sengketa perkara tersebut yang erat kaitannya dengan beban Hal. 7 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
pembuktian kepada para pihak yang berperkara sesuai ketentuan Pasal 283 R.Bg. jo. Pasal 1865 KUH Perdata; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas maka hakim tingkat banding menilai bahwa dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim tingkat pertama dalam perkara a quo tidak dilakukan secara tertib sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku, karena bertentangan dengan asas “audi et alteram partem” yang mewajibkan hakim mendengar kedua belah pihak secara tertib dan berimbang sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009; Menimbang, bahwa selain itu pula, ternyata hakim tingkat pertama kurang cermat dalam pemeriksaan dan putusannya atas perkara ini karena tidak mempertimbangkan mengenai syarat formil gugatan yang harus dipenuhi dalam gugatan pemeliharaan anak yang diajukan oleh Penggugat/Pembanding tersebut, oleh karena itu hakim tingkat banding memberikan pertimbangannya sebagai berikut; Menimbang, bahwa tentang syarat formil gugatan, dengan menunjuk pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka ketentuan Pasal 8 Rv. dapat diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan tersebut, sebelum dilakukan pemeriksaan pokok perkara mengenai gugatan a quo maka terlebih dahulu perlu diperiksa dan dipertimbangkan mengenai posita gugatan mengenai hubungan hukum antara Penggugat/Pembanding dengan Tergugat/Terbanding serta penjelasan dan penegasan dasar hukum (rechtelijk grond) yang menjadi dasar hubungan hukum serta fakta peristiwa (feitelijk grond) yang terjadi di sekitar hubungan hukum antara Penggugat/Pembanding dengan Tergugat/Terbanding; Menimbang,
bahwa
alasan
Penggugat/Pembanding
mengajukan
gugatan pemeliharaan anak ini (gugatan hadhanah) terhadap Tergugat/ Terbanding adalah disebabkan sikap Tergugat/Terbanding yang hanya mengizinkan anak yang pertama dan anak yang kedua (Ahya Aulidina binti Hal. 8 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
Juriansyah Jufri, S.Pi. dan Alma Nahdiyah binti Juriansyah Jufri, S.Pi.) untuk bertemu dan dibawa ke Maros ketika setiap kali Penggugat/Pembanding ke Maros dan ke Makassar dan itupun dibatasi waktunya, sedangkan anak yang ketiga (Ashra Khairiyah binti Juriansyah Jufri, S.Pi.) tidak diizinkan oleh Tergugat/Terbanding untuk dibawa ke Maros sehingga Penggugat/Pembanding merasa sangat kecewa atas sikap Tergugat/Terbanding tersebut; Menimbang, bahwa Penggugat/Pembanding juga beralasan bahwa pada tahun 2010 Penggugat/Pembanding telah pindah tugas di Jakarta dan telah memiliki rumah pribadi di Jakarta dan telah menikah dengan sepupu almarhumah sendiri pada tahun 2011 dan sudah tiga tahun lamanya menikah belum juga dikaruniai anak, maka Penggugat/Pembanding berkeinginan keras memelihara anak-anaknya tersebut dan sudah berkali-kali memintanya secara baik-baik dan secara kekeluargaan agar diberikan kepada Penggugat/ Pembanding
untuk
dipelihara
dan
diasuh
bersama
istrinya
namun
Tergugat/Terbanding menolaknya dengan alasan bahwa Tergugat/Terbanding ingin tetap memelihara ketiga anak tersebut; Menimbang, bahwa dengan sikap Tergugat/Terbanding tersebut, Penggugat/Pembanding
mendalilkan
dan
merasa
khawatir
bilamana
pemeliharaan ketiga anak tersebut tetap berada pada Tergugat/Terbanding, karena ketiganya adalah anak perempuan yang beranjak remaja/dewasa yang sangat
membutuhkan
kasih
sayang
dari
ayah
kandungnya
termasuk
perawatan, perlindungan dan pendidikannya, sehingga akan lebih baik dan terjamin
masa
depannya
bilamana
dipelihara
dan
diasuh
oleh
Pengguga/Pembanding selaku ayah kandungnya bersama istri yang juga adalah tantenya sendiri dari ketiga anak tersebut, sesuai pesan almarhumah istri Penggugat/Pembanding sebelum meninggal dunia agar ketiga anak tersebut dipelihara oleh Penggugat/Pembanding hingga menjadi dewasa; Menimbang, bahwa dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena : a) kematian, b) perceraian, dan c) atas keputusan Pengadilan. Kemudian dalam Pasal 41 huruf (a) disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana Hal. 9 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. Dalam Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1) wanitawanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2) ayah; 3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; Menimbang, bahwa akibat hukum setelah terjadinya perceraian terkait pemeliharaan anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana diuraikan di atas. Namun demikian dalam peraturan perundangan tersebut tidak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena kematian dan kaitannya dengan pemeliharaan anak
yang dapat digunakan sebagai pedoman
menyelesaikan sengketa hak hadhanah. Oleh karena permasalahan hak hadhanah paska terjadinya perceraian maupun setelah kematian orang tuanya/ibunya adalah sangat berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan anak maka gugatan pemeliharaan anak dalam gugatan a quo harus didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child) berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan
hak-haknya
agar
dapat
hidup,
tumbuh,
berkembang,
dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Kemudian dalam Pasal 2 ditegaskan pula bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a) non diskriminasi; b) kepentingan yang terbaik bagi anak; c) Hal. 10 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d) penghargaan terhadap pendapat anak; Menimbang, bahwa ternyata dasar gugatan pemeliharaan anak yang diajukan oleh Penggugat/Pembanding berikut alasan-alasannya sebagaimana yang
telah
diuraikan
di atas
hanya
didasarkan
kepada kepentingan
Penggugat/Pembanding selaku ayah kandung dari ketiga orang anak tersebut, oleh karena di dalam posita gugatannya tidak memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum (rechtelijk grond) serta fakta peristiwa (feitelijk grond) yang terjadi mengenai sikap dan atau tindakan Tergugat/Terbanding yang telah melanggar dan atau mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selama Tergugat/ Terbanding memelihara dan mengasuh anak-anak tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 6 (enam) tahun, yaitu sejak meninggalnya almarhumah ibunya pada tanggal 19 Juni 2009 hingga diajukannya perkara ini ke pengadilan; Menimbang, bahwa selain itu alasan Penggugat/Pembanding yang merasa khawatir bilamana pemeliharaan ketiga anak tersebut tetap berada pada Tergugat/Terbanding, karena akan lebih baik dan terjamin masa depannya bilamana dipelihara dan diasuh oleh Pengguga/Pembanding selaku ayah kandungnya sendiri bersama istri yang juga adalah tantenya sendiri, hakim tingkat banding menilai kekhawatiran tersebut hanya bersifat asumsi, bersifat kecurigaan dan bukan fakta, mendahulukan kepentingan dan keselamatan
anak
adalah
yang
paling
utama
sehingga
gugatan
Penggugat/Pembanding tersebut belum saatnya untuk diajukan (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 03 PK/AG/2010, tanggal 11 Juni 2010 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 199 K/Ag/2014, tanggal 17 Juni 2014); Menimbang, bahwa pertimbangan hukum tersebut sejalan pula dengan pendapat ahli Fiqh Islam, Wahbah al Zuhaili, yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat hakim tingkat banding, bahwa “hadhanah adalah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah maka yang diutamakan adalah hak anak” (Wahbah Zuhaili : al Fiqh al Islam wa Adillatuhu Juz VII, Damaskus, Daar al Fikr, 1984, h. 279); Hal. 11 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
Menimbang, bahwa sesuai pertimbangan di atas maka gugatan Penggugat/Pembanding tersebut mengandung cacat formil dan gugatan dianggap tidak jelas/kabur (obscuur libel), sejalan dengan kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 67 K/Sip/1975, tanggal 13 Mei 1975 yang menyatakan bahwa : “Petitum yang tidak sejalan dengan dalil gugatan mengandung cacat obscuur libel, oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima”, dan kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1343 K/Sip/1975, tanggal 15 Mei 1979, yang menyatakan bahwa : “Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena (gugatan tersebut) tidak memenuhi persyaratan formal ”, dengan demikian maka gugatan Penggugat/Pembanding a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat/Pembanding dinyatakan tidak dapat diterima maka seluruh pemeriksaan dan penilaian hakim tingkat pertama terhadap gugatan itu sendiri, bukti-bukti para pihak dalam pemeriksaan tingkat pertama maupun keberatan-keberatan yang diajukan oleh Penggugat/Pembanding dalam memori bandingnya serta kontra memori banding dari Tergugat/Terbanding dalam pemeriksaan tingkat banding tidak perlu lagi dipertimbangkan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas
maka
putusan
Pengadilan
Agama
Makassar
Nomor
1751/Pdt.G/2014/PA Mks., tanggal 31 Maret 2015 Masehi, bertepatan tanggal 10 Jumadilakhir 1436 Hijriah tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, selanjutnya hakim tingkat banding memberikan putusan dengan mengadili sendiri sebagaimana tersebut dalam amar putusan yang tersebut di bawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara dalam tingkat pertama maupun biaya perkara dalam tingkat banding dibebankan kepada Penggugat/Pembanding; Memperhatikan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dan dalil-dalil Syar’i yang berkaitan perkara ini; MENGADILI Menyatakan permohonan banding Pembanding dapat diterima; Hal. 12 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
-
Membatalkan
putusan
Pengadilan
Agama
Makassar
Nomor
1751/Pdt.G/2014/PA Mks., tanggal 31 Maret 2015 Masehi, bertepatan tanggal 10 Jumadilakhir 1436 Hijriah, yang dimohonkan banding; DENGAN MENGADILI SENDIRI : 1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima ; 2. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama, sejumlah Rp 411.000,00 (empat ratus sebelas ribu rupiah); -
Membebankan kepada Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding, sejumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah); Demikian
diputuskan
dalam
sidang
musyawarah
majelis
hakim
Pengadilan Tinggi Agama Makassar pada hari Rabu, tanggal 29 Juli 2015 Masehi, bertepatan tanggal 13 Syawal 1436 Hijriah, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Dra. Hj. Ummi Salam,
S.H.,
M.H.
sebagai
Ketua
Majelis,
Dra.
Hj.
Mardawiyah
Haking, S.H., M.H. dan Drs. Masrur, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakim anggota yang ditunjuk berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Makassar tanggal 12 Juni 2015, dibantu oleh Drs. Juddah S, sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama Makassar, tanpa dihadiri oleh para pihak yang berperkara. Hakim Anggota,
Ketua Majelis,
ttd
ttd
Dra. Hj. Mardawiyah Haking, S.H., M.H.
Dra.Hj. Ummi Salam, S.H.,M.H.
ttd
Drs. Masrur, S.H., M.H. Panitera Pengganti, ttd
Drs. Juddah S Perincian biaya : 1. Redaksi
:
Rp
5.000,00
Hal. 13 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.
2. Materai
:
Rp
3. Proses penyelesaian perkara
:
Rp 139.000,00
:
Rp 150.000,00
Jumlah
6.000,00
(Seratus lima puluh ribu rupiah)
Hal. 14 dari 14 hal. Put.No.61/Pdt.G/2015/PTA Mks.