TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN GEL MELINDUNGI KULIT TERHADAP PROSES PENUAAN DINI AKIBAT PAJANAN SINAR UVB DENGAN MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAST
MADE RUSMIASIH ANOM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN GEL MELINDUNGI KULIT TERHADAP PROSES PENUAAN DINI AKIBAT PAJANAN SINAR UVB DENGAN MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAST
MADE RUSMIASIH ANOM NIM : 0790761017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN GEL MELINDUNGI KULIT TERHADAP PROSES PENUAAN DINI AKIBAT PAJANAN SINAR UVB DENGAN MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAST
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana
Made Rusmiasih Anom NIM : 0790761017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 19 APRIL 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.DR.dr. J. Alex Pangkahila, Aman.Sp.FK MSc, Sp.And NIP 194402011964091001 194606191976021001
Prof.
dr.
I.G.M
NIP
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sudewi, Sp.And, FAACS
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. AA Raka Sp.S(K)
NIP : 194612131971071001 195902151985102001
NIP :
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 19 April 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 0775/UN14.4/HK/2011 Tanggal 04 April 2011
Ketua
: Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M. Sc., Sp. And
Anggota : 1. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 2.
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS.
3.
Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH.
4.
Dr. AAAN. Susraini, Sp.PA
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena atas rahmat-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “ Pemberian Astaxanthin Gel Melindungi Kulit Terhadap Proses Penuaan Dini Akibat Pajanan Sinar UVB Dengan Menurunkan Ekspresi MMP-1 Pada Kultur Fibroblast” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp And., selaku pebimbing I sekaligus sebagai pembimbing akademik dan Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK., selaku pembimbing II atas bimbingan, perhatian, dorongan, serta semangat yang telah diberikan selama mengikuti program studi magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada: 1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program magister di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. AA. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And., FAACS juga selaku penguji, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister ilmu biomedik kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udyana, yang juga telah memberikan semangat, masukan ,dan bimbingan untuk segera menyelesaikan tesis ini. 4. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH. Selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. 5. dr. AAAN. Susraini, Sp. PA selaku penguji dengan sabar membimbing, mengarahkan, serta memberi masukan dalam penyusunan tesis ini. 6. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK, yang banyak memberi bantuan, bimbingan, dan masukan yang sangat berharga dari awal penyusunan penelitian sampai selesainya tesis ini. 7. Drs. I. Ketut Tunas, Msi yang dengan sabar dan tekun membimbing dalam analisis statistik. 8. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu UGM dan Laboratorium Kulit dan Kelamin FK UGM atas segala sarana, fasilitas, dan segala
kemudahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian sehingga penyusunan tesis dapat diselesaikan. 9. Para dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, teman teman sependidikan, dan seluruh karyawan bagian ilmu biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 10. Ibu Tri Yuliati dan ibu Nur atas segala bantuan serta kemudahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian sehingga penyusunan tesis dapat diselesaikan. 11. Keluarga terkasih, orang tua, suami tercinta Anom Suardika, serta anak anak tersayang Bagus dan Ama, dengan dukungan serta pengertian yang luar
biasa
memberikan
kesempatan
untuk
lebih
berkonsentrasi
menyelesaikan tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, April 2011 Penulis
ABSTRAK PEMBERIAN ASTAXANTHIN GEL MELINDUNGI KULIT TERHADAP PROSES PENUAAN DINI AKIBAT PAJANAN SINAR UVB DENGAN MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAST
Pajanan sinar ultra violet yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan sutu kerusakan pada struktur dan fungsi kulit, sehingga mempercepat terjadinya proses penuaan pada kulit yang disebut dengan photoaging. Pajanan UVB pada kulit memicu terbentuknya ROS yang akan mengaktifkan reseptor faktor pertumbuhan dan sitokin di permukaan membran sel. Hal ini akan menstimulasi jalur tranduksi MAP-kinase, selanjutnya akan memicu AP-1 yang mengatur matriks metalloproteinase termasuk salah satunya adalah MMP-1. MMP-1 bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen. Penggunaan antioksidan untuk menghambat jalur tersebut diharapkan dapat mencegah penuaan dini kulit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah astaxanthin mampu memberikan perlindungan terhadap penuaan dini kulit akibat pajanan UVB yang dilihat dari penurunan ekspresi MMP-1. Rancangan penelitian ini adalah posttest only control group design. Penelitian secara in vitro menggunakan kultur sel fibroblast yang dibiakkan dari kulit preputium pasca sirkumsisi. Terdiri dari 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (yang tidak mendapatkan perlakuan), kelompok sel yang hanya mendapatkan pajanan sinar UVB dengan variasi dosis 25, 50, dan 100 mJ/cm², dan kelompok sel yang diberikan astaxanthin gel dengan variasi dosis 3, 5, dan 7 µM sebelum dipajan sinar UVB dengan variasi dosis 25, 50, dan 100 mJ/cm². Supernatan dari kultur sel fibroblast dikumpulkan setelah 48 jam dan ekspresi MMP-1 dinilai dengan MMP-1 Human enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit sesuai protokol. Hasil penelitian didapatkan UVB pada semua variasi dosis mampu meningkatkan MMP-1 secara bermakna (p<0,05). Astaxanthin pada variasi dosis pemberian mampu menurunkan ekspresi MMP-1 akibat pajanan sinar UVB pada kultur sel fibroblast dengan variasi dosis penyinaran secara bermakna (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa astaxanthin gel sebagai antioksidan dapat melindungi kulit dari penuaan dini akibat pajanan UVB dengan menurunkan ekspresi MMP-1. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui efek perlindungan astaxanthin terhadap penuaan dini akibat pajanan sinar ultra violet. Kata kunci: astaxanthin gel, pajanan sinar UVB, penuaan dini, ekspresi MMP-1, kulit.
ABSTRACT
PROTECTIVE EFFECT OF ASTAXANTHIN GEL AGAINST UVBINDUCED PREMATURE SKIN AGING BY THE DECREASE OF THE EXPRESSION OF MMP-1 IN FIBROBLAST CELL CULTURE
Continous exposure of human skin to UV could cause damage of the skin structure and function, therefore it can lead to premature aging (photoaging). Exposure of the skin to UVB induce reactive oxygen species (ROS) which activate receptors growth factor and cytokine. This increase receptors activation lead to activate MAP signaling kinases, AP-1 ultimately expressed and activated. AP-1 controls transcription of matrix metalloproteinases (MMPs) including MMP-1 which is responsible to degradation of collagen. The use of antioxidant is hoped to prevent premature skin aging. The objective of this study is to investigate the protective effect of astaxanthin gel against UVB-induced premature skin aging by the decrease of the expression of MMP-1 in fibroblast cell culture. This in vitro study used “posttest only control group design”. The fibroblast cell culture were isolated from circumcised foreskin. There were 3 groups; non treated group as a control group, UVB irradiated group with various doses 25, 50, and 100 mJ/cm², astaxanthin treated group with various doses 3, 5, and 7 µM before UVB irradiation with various doses 25, 50 and 100 mJ/cm². Expression of MMP-1 was measured in the supernatant of fibroblast cell culture after 48 hours UVB irradiation, using MMP-1 human ELISA kit according to manufacturer’s protocol UVB irradiation in various doses resulted in increase of the expression of MMP-1 significantly (p<0,05). Astaxanthin gel in various doses before UVB irradiation in various doses could decrease the expression of MMP-1 significantly (p<0,05). The study concluded that astaxanthin gel had protective effect on UVBinduced premature skin aging by the decrease of the expression of MMP-1 in fibroblast cell culture. Therefore further studies are needed to determine the protective effects of astaxanthin against UV-induced premature skin aging. Key words : astaxanthin gel, UVB radiation, premature aging, MMP-1 expression, skin.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM...................................................................................................i PRASYARAT GELAR........................................................................................ ...ii LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI......................................................................iv UCAPAN TERIMAKASIH....................................................................................v ABSTRAK........................................................................................................... viii ABSTRACT............................................................................................................ix DAFTAR ISI............................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xiv DAFTAR TABEL..................................................................................................xv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG......................................................xvi
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1 1.2
Rumusan Masalah..................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. ......................................................................................................................... .6 1.3.1 Tujuan Umum..............................................................................6 1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................6 1.4
Manfaat penelitian ................................................................................6
1.4.1 Ilmiah............................................................................6
Manfaat
1.4.2 Manfaat Praktis ..........................................................................6
BAB II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................7 Proses Penuaan ( Aging )......................................................................7 2.1.1 Usia Harapan Hidup..................................................................7 2.1.2 Teori Penuaan dan Faktor yang mempengaruhi........................8 2.1.3 Mekanisme Aging .....................................................................9
2.2 Proses Penuaan Kulit ........................................................................11 2.2.1 Mekanisme Penuaan Kulit......................................................12 2.2.2 Fenomena Penuaan Kulit........................................................13 2.3 Sinar Ultraviolet .................................................................................14 2.3.1 Efek radiasi sinar UV .............................................................16 2.4 Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia....................................................18 2.5 Fibroblast.............................................................................................22 2.6 Matriks Metalloproteinase...................................................................23 2.7 Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen .....................25 2.8 Manifestasi Klinis dan Histologis pada kulit yang mengalami Photoaging..........................................................................................28 2.9 Radikal bebas dan Antioksidan..........................................................29 2.9.1 Radikal bebas ........................................................................ 30 2.9.2 Antioksidan .............................................................................32 2.9.2.1 Peranan Antioksidan pada Kulit yang
mengalami
Kerusakankarena pajanan UV.........................................................33 2.10 Astaxanthin........................................................................................34
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN..............................................................39 3.1 Kerangka Berpikir...............................................................................39
3.2 Kerangka Konsep ................................................................................41 3.3 Hipotesis Penelitian.............................................................................42
BAB
IV METODE PENELITIAN...................................................................43 4.1 Rancangan Penelitian..........................................................................43 4.2 Tempat dan waktu Penelitian..............................................................47 4.3 Subyek dan Sampel.............................................................................47 4.3.1 Subyek Penelitian......................................................................47 4.3.2 Sampel Penelitian......................................................................47 4.4 Variabel Penelitian...............................................................................48 4.4.1 Klasifikasi variabel.....................................................................48
4.4.2 Definisi variabel.......................................................48 4.5
operasional
Bahan dan Instrumen Penelitian .........................................................49 4.5.1 Bahan Utama Penelitian ...........................................................49 4.5.2. Bahan Penunjang Penelititan.....................................................50 4.5.3 Instrumen Penelitian.................................................................51
4.6 Prosedur Vitro.................................................................51
Penelitian
In
4.6.1 Pembuatan Kultur Primer dan sekunder ..................................51 4.6.2 Penghitungan ...................................................53
jumlah
Sel
Uji
4.6.3 Uji Aktivitas In Vitro................................................................54 4.6.4 Prosedur Pengujian MMP-1.....................................................55 4.7
Alur Penelitian.....................................................................................57
4.8
Analisis Data........................................................................................58
BAB V
HASIL PENELITIAN..........................................................................59
5.1 Uji Data..............................................................................59
Normalitas
5.2 Uji Homogenitas antar kelompok.........................................................59 5.3 Pajanan UVB mJ/cm²......................................................................59
25
5.3.1. Uji Efek Pajanan UVB 25 mJ/cm²............................................59 5.4 PajananUVB 50 mJ/cm².......................................................................62 5.4.1 Uji Efek Pajanan UVB 50 mJ/cm².............................................62 5.5
Pajanan UVB mJ/cm²......................................................................65 5.5.1 Uji Efek Pajanan mJ/cm²...........................................65
BAB VI
UVB
00 100
PEMBAHASAN..................................................................................69
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.................................................................75 7.1 Simpulan................................................................................................75 7.2 Saran................................................................................................ ......76
DAFTAR
PUSTAKA ...........................................................................................77
LAMPIRAN...........................................................................................................8 2 Lampiran 1 : Uji Normalitas data MMP-1 berdasarkan Pajanan UVB 25 mJ/cm², 50 mJ/cm², dan 100 mJ/cm……………………...........82 Lampiran 2 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok UVB 25 mJ/cm² ……………………………………...83 Lampiran 3 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok UVB 50 mJ/cm² ……………………………………….85
Lampiran 4 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok UVB 100 mJ/cm² ……………………………………...87 Lampiran 5 ; Foto Foto Penelitian ………………………………………….........89 Keterangan Kelaikan Etik
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Mekanisme kerusakan kolagen akibat sinar UV…………….…..27
Gambar 2.2
Struktur Kimia Astaxanthin …………………………………….36
Gambar 3.2
Kerangka Konsep………………………………………………..41
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian In Vitro………………………. ….44
Gambar 4.4
Skema Hubungan antara Variabel Penelitian …………………...48
Gambar 4.7
Alur Penelitian In Vitro…………………………………….........57
Gambar 5.1
Grafik Sesudah Penyinaran UVB 25 mJ/cm2……………………61
Gambar 5.2
Grafik Sesudah Penyinaran UVB 50 mJ/cm2 …………………...64
Gambar 5.3
Grafik sesudah penyinaran UVB 100 mJ/cm2…………………...67
DAFTAR TABEL
Tabel
5.1
Rerata MMP1 Antar Kelompok
Sesudah
Pajanan
UVB 25 mJ/cm²……….………………………………………..60 Tabel
5.2
Analisis Komparasi Antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 25 mJ/cm²………………………………………................62
Tabel
5.3
Rerata MMP-1 Antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 50 mJ/cm²………………………………………………...63
Tabel
5.4
Analisis Komparasi Antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 50 mJ/cm²……………………………………….................65
Tabel
5.5
Rerata MMP-1 Antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 100 mJ/cm²……………………………………………….66
Tabel 5.6
Analisis Komparasi Antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 100 mJ/cm²…………………………………………………68
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
MMPs
: Matrix Metalloproteinases
UVB
: Ultra Violet B
MMP-1
: Matriks Metalloproteinase-1
A4M
: American Academy of Anti Aging Medicine
DHEA
: Dehydroepiandrosterone
GH
: Growth Hormone
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
ROS
: Reactive Oxygen Species
MT1-MMP
: Membran Type 1 Matrix Metalloproteinase
NF-κB
: Nuclear Factor Kappa B
TGFβ
: Transforming Growth Factor B
AP-1
: Activator Protein-1
IL-1
: Interleukin -1
TNFα
: Tumor Necrosis Factor α
mJ/cm²
: mili joule per senti meter persegi
SOD
: Superoxide Dismutase
MAP-Kinase
: Mitogen Activated Protein-Kinase
nM
: nano mol
µM
: mikro mol
TCF
: Tissue Culture Flask
RPMI 1640
: Rosenthal Park Memorial Institute 1640
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menjadi tua adalah suatu kodrat yang harus dijalani oleh semua insan di dunia, namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini proses penuaan dapat diperlambat atau dicegah. Di negara maju jumlah proporsi usia lanjut semakin meningkat 31% dari populasi di Amerika Serikat diperkirakan akan berusia > 55 tahun pada th 2040 dan jumlah penduduk usia lanjut akan menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat selama awal kuartal pertama pada abad 21 (Smith, 2001). Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2000-2025, penduduk usia lanjut meningkat dari 4,7% menjadi 8,5 % (BPS, 2005). Dari data Human Development Report 2010 rata-rata usia harapan hidup dunia meningkat, di mana di Jepang yang tertinggi yaitu 83 tahun sedangkan Indonesia 71
tahun (WHO, 2010). Dengan makin berkembangnya ilmu
pengetahuan medis meningkatnya usia harapan hidup tersebut diharapkan bukan hanya usia bertambah panjang, namun yang terpenting adalah usia harapan hidup yang meningkat dengan kualitas hidup yang meningkat pula. Begitu juga makin banyak orang berusia tua yang ingin tampak lebih muda dan mencari modalitas tindakan yang dapat mengurangi, menunda tanda-tanda penuaan serta mengubah penampilan agar menjadi lebih baik (Yaar, 2006).
Pada saat usia bertambah tua, akan terjadi penurunan fungsi dan kemampuan untuk adaptasi terhadap terjadinya kerusakan dalam tubuh. Disertai pula dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya perubahan fisik pada tingkat seluler maupun pada sistem oleh karena proses penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008). Banyak faktor yang berperanan pada terjadinya proses tersebut, dimana dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi adanya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal meliputi diet yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, radiasi, sinar UV, asap rokok, dan stress (Rabe dkk., 2006; Pangkahila, 2007). Sedangkan teori yang mendasari terjadinya proses penuaan tersebut pun beragam antara lain adalah wear and tear theory, dan teori program. Wear and tear theory menyatakan bahwa pada prinsipnya tubuh dan sel menjadi rusak karena terlalu sering digunakan, dimana kerusakan terjadi secara terus menerus tidak hanya pada organ namun juga pada tingkat sel. Sedangkan teori program menyatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat jam biologis, mulai dari proses konsepsi sampai pada kematian dalam suatu model yang telah terprogram. Dari teori-teori tersebut yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Teori radikal bebas menyatakan bahwa proses menua diawali dengan inisiasi reaksi radikal bebas yang terus menerus secara progresif dan menyebabkan kerusakan sistem biologi (Pangkahila, 2007).
Dari data yang ada menyatakan bahwa pada kenyataannya proses penuaan tersebut merupakan hasil interaksi dari program genetik dan kumulasi proses wear and tear selama hidup (Gilchrest dan Yaar, 2000; Rabe dkk., 2006). Seperti halnya organ lain, kulit pun akan mengalami proses penuaan, faktor lingkungan yang sangat berperanan terhadap proses penuaan tersebut adalah radiasi sinar ultra violet. Pajanan sinar ultra violet yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan suatu keadaan kerusakan pada struktur dan fungsi dari kulit sehingga mempercepat terjadinya proses penuaan pada kulit oleh sebab itu
proses ini disebut penuaan dini kulit atau disebut juga dengan
photoaging (Fisher dkk., 2002; Rabe dkk., 2006). Delapan puluh persen dari penuaan pada wajah berkaitan dengan pajanan sinar matahari (Baumann, 2006). Mekanisme ikatan spektrum cahaya matahari dapat menimbulkan photoaging pada manusia, dari hipotesis dinyatakan bahwa sinar UV merangsang MMPs dalam photoaging
(matriks metalloproteinases) yang berperanan
dimana MMPs merupakan suatu endopeptidase
yang
menghancurkan struktur protein seperti kolagen dan elastin dalam jaringan ikat (Young, 2000). Radikal bebas yang terbentuk akibat dari sinar ultra violet mengaktifkan
mitogen-activated protein kinase pathways menghasilkan
kolagenase (MMP-1) yang dapat menghancurkan kolagen. Penghambatan jalur ini dengan menggunakan antioksidan diperkirakan dapat mencegah photoaging dengan mencegah terbentuknya kolagenase (MMP-1) (Bauman, 2006). Ultra Violet B (UVB) dengan panjang gelombang 290 nm – 320 nm merupakan sinar
yang paling poten mencapai permukaan bumi dan paling banyak menimbulkan kerusakan pada kulit (Kaminer, 1995). Sebagai pertahanan dan perlindungan dari pajanan radikal bebas, tubuh secara alami membuat antioksidan antara lain superoksid dismutase (SOD), katalase, glutathione.
Perlindungan alami tersebut
terkadang tidak cukup
adekuat, untuk itu diperlukan tambahan perlindungan antioksidan dari luar tubuh baik yang oral maupun topikal. Tersedia berbagai macam antioksidan baik yang oral maupun topikal. Salah satu yang cukup
populer saat ini adalah astaxanthin, yang
merupakan salah satu pigmen karotenoid xantophyll yang larut dalam lemak. Astaxanthin memiliki potensi sebagai antioksidan lebih kuat dari golongan karotenoid lain seperti vit E, karena memiliki gugus hidroksil (OH) dan keton (C=O) pada gugus terminalnya yang membuat astaxanthin menjadi lebih polar dan mampu menjadi bentuk ester (Goto dkk., 2001; Lyons dan O’Brien, 2002). Astaxanthin melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan yang diakibatkan oleh proses oksidasi yang terjadi pada membran sel dan jaringan tubuh (Furr dan Clark, 1997; Winarsi, 2007). Dari penelitian yang dilakukan Lyons dan O’Brien (2002) yang menggunakan kultur fibroblast menunjukkan bahwa astaxanthin pada dosis 10 µM mampu memberikan efek perlindungan terhadap pajanan UVA secara signifikan, dibandingkan dosis lebih kecil yaitu 10 nm dan 100 nm. Sedangkan penelitian oleh Suganuma
dkk.
(2009)
menggunakan kultur
fibroblast
menunjukkan
bahwa astaxanthin berperan sebagai antioksidan yang poten
terhadap induksi MMP-1 oleh UVA, dimana pada konsentrasi 4-8 µM memberikan efek inhibisi lebih besar terhadap MMP-1 daripada terhadap skin fibroblast elastase. Hingga kini photoaging masih menjadi permasalahan, terutama di negara yang beriklim tropis seperti Indonesia dimana intensitas sinar matahari cukup tinggi. Untuk itu perlu dikembangkan penggunaan bahan bahan topikal yang cukup adekuat untuk melindungi kulit dari kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh paparan sinar ultra violet tersebut. Walaupun kini telah banyak bahan topikal sebagai anti penuaan kulit namun banyak hal yang belum diketahui secara pasti mengenai mekanisme kerja bahan tersebut dan efek yang ditimbulkan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian tentang kemampuan astaxanthin sebagai antioksidan topikal untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat pajanan sinar ultra violet B yang akan dilakukan secara in vitro pada kultur fibroblast. Sehingga diharapkan nantinya
dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam
kehidupan sehari-harinya. I.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah penggunaan astaxanthin gel secara in vitro pada kultur fibroblast yang dipajan dengan sinar UVB dapat menurunkan ekspresi MMP-1 ?
I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efek perlindungan astaxanthin gel pada kulit terhadap proses penuaan dini akibat pajanan ultra violet B (UVB). I.3.2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui pemberian astaxanthin gel dapat menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur fibroblast yang dipajan dengan sinar UVB. I.4
Manfaat Penelitian
I.4.1 Manfaat Ilmiah 1. Memberi informasi ilmiah tentang fungsi proteksi astaxanthin gel dalam melindungi kulit dari kerusakan akibat pajanan UVB. 2. Sebagai dasar untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut pada manusia. I.4.2 Manfaat Praktis Memberi informasi pada masyarakat tentang efek penggunaan astaxanthin gel yang dapat memberikan perlindungan pada kulit dari pengaruh kerusakan oleh sinar UVB dan mencegah penuaan dini sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Penuaan (Aging) Secara umum proses penuaan akan dialami oleh semua mahluk yang
hidup di muka bumi ini. Proses tersebut adalah hal alamiah yang harus dijalani dan tidak dapat dihindarkan, terjadi pada setiap orang dalam kecepatan yang berbeda tergantung pada keadaan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup yang dilakukan, sehingga proses penuaan tersebut dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging
menurut A4M (American Academy of Anti Aging
Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, yang mana dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). 2.1.1
Usia Harapan Hidup Usia harapan hidup manusia berbeda beda di tiap negara maupun tiap
jaman, kecenderungan secara global adalah usia harapan hidup manusia (life expectancy) di setiap negara meningkat dari waktu ke waktu baik itu di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Dengan meningkatnya usia harapan hidup manusia, maka masa pensiun seseorang ditunda akibatnya mereka
akan mencari modalitas terapi atau intervensi yang dapat memperbaiki penampilan dan mengurangi tanda-tanda penuaannya. Di negara maju jumlah proporsi usia lanjut semakin meningkat 31% dari populasi, di AS diperkirakan akan berusia > 55 tahun pada th 2040 dan jumlah penduduk usia lanjut akan menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat selama awal kuartal pertama pada abad 21 (Smith, 2001). Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2000-2025, penduduk usia lanjut akan meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% dengan rata rata peningkatan tiap tahunnya sebesar 0,1% - 0,4% (BPS, 2005). Dari data Human Development Report th 2010 rata-rata usia harapan hidup dunia meningkat, dimana di Jepang yang tertinggi yaitu 83 tahun dan Indonesia 71 tahun (WHO, 2010).
Dari sebuah laporan pada tahun 2002
dinyatakan sebanyak 60 persen orang AS yang berusia 65 th keatas mencari pengobatan untuk menunda penuaan, jadi tidaklah aneh jika jumlah orang berusia lanjut di AS cukup tinggi yaitu 13%. Begitu juga dengan negara maju lainnya seperti Inggris 16%, Jepang 17%, dan Italia 18% ( Pangkahila, 2007). 2.1.2
Teori Penuaan dan Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Banyak sekali teori-teori yang menjelaskan proses penuaan namun teori
tersebut dapat di kelompokkan menjadi 2, yaitu teori wear and tear dan teori program (Pangkahila, 2007). Prinsip dari teori wear and tear adalah terjadinya kerusakan pada tubuh dan sel karena penggunaan serta kerusakan yang terus menerus. Termasuk dalam teori wear and tear ini adalah terjadinya kerusakan
DNA,
glikosilasi, dan radikal bebas. Sedangkan teori program menganggap
bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam biologis, mulai dari konsepsi sampai pada kematian. Teori program meliputi terbatasnya replikasi sel, proses imun dan teori neuroendokrin. Banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya penuaan, namun pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal (Pangkahila, 2007). Faktor internal antara lain adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan kemiskinan. 2.1.3 Mekanisme Aging Proses penuaan yang terjadi pada individu tidak terjadi begitu saja dengan langsung menunjukkan tanda dan gejala penuaan seperti terjadinya perubahan fisik seperti massa otot berkurang, kulit berkerut, daya ingat berkurang, sulit tidur, mudah tersinggung dan tanda tanda lainnya. Namun proses tersebut terjadi secara bertahap meliputi tahapan sebagai berikut (Fowler, 2003; Pangkahila, 2007). 1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun) Di rentangan usia ini sebagian besar hormon dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas mulai terjadi, namun kerusakan yang terjadi belum tampak dari luar
sehingga pada tahapan ini individu masih merasa dan tampak normal, tanpa tanda dan gejala penuaan. 2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun) Pada tahap ini kadar hormon menurun sebanyak 25%. Massa otot berkurang 1 kg setiap beberapa tahun, akibatnya tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Mulai muncul gejala penuaan seperti rambut mulai putih, elastisitas kulit menurun, pigmentasi kulit menurun, demikian juga halnya dengan pendengaran, penglihatan, dan dorongan seksual. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, resiko terjadinya penyakit meningkat. Saat ini orang akan mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. 3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas) Penurunan kadar hormon
terus berlanjut yaitu DHEA, melatonin, GH,
testosteron, estrogen, dan tiroid.
Terjadi penurunan sampai hilangnya
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1 kg setiap tiga tahunnya, akibatnya terjadi ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Sistem organ mulai mengalami kegagalan, penyakit kronis menjadi lebih nyata. Ketidakmampuan menjadi faktor utama. Proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala ataupun keluhan. Apabila tidak terjadi gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Namun saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan proses penuaan dapat dianggap dan diperlakukan sama dengan penyakit, yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati sehingga dapat kembali ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). 2.2
Proses Penuaan Pada Kulit Penuaan berkaitan dengan perubahan yang bersifat progresif yang terjadi di
semua jaringan termasuk pada kulit. Suatu proses yang merupakan akibat dari penggunaan sel secara terus menerus dan senescense, yang akhirnya akan diakhiri dengan berkurangnya viabilitas dan kematian. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, akumulasi dari pengaruh faktor lingkungan dan faktor endogen lainnya yang berperanan pada life-span mahluk hidup (Tschachler dan Morizot, 2006; Yaar, 2006). Ada 2 teori dasar penuaan pada kulit yaitu teori programmatik dan teori stokastik (Gilchrest dan Yaar, 2000). Teori programmatik meliputi; 1) terjadinya pemendekan telomere yaitu ujung kromosom eukariotik karena DNA polymerase tak mampu mengadakan replikasi pada ujung akhir; 2) penuaan seluler dimana adanya keterbatasan sel untuk membelah. Teori stokastik meliputi adanya; 1) stress oksidatif yaitu tingkat penggunaan oksigen berkaitan dengan proses penuaan, karena kurangnya efisiensi sistem pertahanan oksidatif maka selama masa kehidupan terjadilah akumulasi kerusakan oksidatif molekuler yang terkadang mengakibatkan terjadinya kematian sel secara apoptosis; 2) Adanya kerusakan DNA ; 3) amino acid racemization: yaitu proses penggantian asam amino-D dengan asam amino-L di dalam protein, terjadi selama
proses penuaan serta dapat mempengaruhi fungsi protein
dan menyebabkan
akumulasi protein yang sudah tidak fungsional lagi pada jaringan; 4) nonenzymatic glycosylation. Proses penuaan berjalan sesuai waktu atau usia seseorang (chronological / intrinsic aging ) dan juga dapat diperberat oleh adanya faktor eksternal termasuk yang paling banyak berperan adalah pajanan sinar ultra violet (exstrinsic aging). 2.2.1
Mekanisme Penuaan Kulit Adanya akumulasi Reactive Oxygen Species (ROS) dinyatakan berperanan
penting pada proses penuaan kulit, dan hal ini terbukti dari penelitian yang telah dilakukan.
Kulit merupakan organ yang paling banyak mengalami kontak
langsung dengan lingkungan, sehingga banyak terpapar dengan ROS yang berasal dari lingkungan termasuk dari udara, radiasi matahari, ozon, dan polusi. Selain itu hasil metabolisme normal pun menghasilkan ROS, dari proses rantai respirasi mitokondria yang mana elektron berlebih akan diberikan pada molekul oksigen untuk kemudian terbentuk anion superoksid. Dengan bertambahnya usia membuat berkurangnya kemampuan aktivitas sistem pertahanan dari enzymatic antioxidant (Chung dkk., 2004). ROS yang terbentuk dari pajanan sinar ultra violet tersebut dapat menekan serta merusak
enzymatic antioxidant dan non enzymatic antioxidant yang
merupakan mekanisme pertahanan kulit terhadap radikal bebas. Hal ini akan memicu terjadinya kerusakan oksidatif pada komponen seluler dan non seluler yang akan berakibat pada terjadinya supresi sistem imun, penuaan dini kulit,
bahkan sampai mengakibatkan kanker kulit. ROS akan mengaktifkan jalur signal tranduksi sitoplasmik pada fibroblast, hal ini berkaitan pada pertumbuhan, diferensiasi, senescence, dan degradasi jaringan ikat, juga menyebabkan perubahan genetik yang permanen (Kim dkk., 2004). Diperkirakan jumlah kolagen di dermis akan berkurang sebanyak 1 % tiap tahunnya pada usia dewasa. Mekanisme berkurangnya kolagen selama proses penuaan
alamiah
adalah
akibat
dari
peningkatan
ekspresi
matriks
metalloproteinase (MMP). Peningkatan MMP mempengaruhi sintesis kolagen, dimana dengan bertambahnya umur maka level MMP-1, 2, 9, dan 12 akan makin bertambah sementara ekspresi procollagen mRNA lebih rendah dibanding saat masih berusia muda (Chung dkk., 2004). Pada proses penuaan alami terjadi penurunan sintesa kolagen serta peningkatan ekspresi matriks metalloproteinase sementara pada photoaging tampak peningkatan matriks metalloproteinase yang lebih besar (Chung dkk., 2001). 2.2.2
Fenomena Penuaan pada Kulit Proses penuaan pada kulit terdiri dari 2 fenomena yang berbeda secara
signifikan namun dapat terjadi secara simultan, yaitu proses penuaan intrinsik (intrinsic aging/chronological aging) dan penuaan ekstrinsik (extrinsic aging /photoaging). Penuaan intrinsik merupakan proses menyeluruh, dan berlangsung secara alamiah sejalan dengan bertambahnya usia. Proses ini disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri yaitu faktor genetik, hormonal, dan ras. Pada
proses penuaan intrinsik yang terjadi lebih banyak ditandai dengan adanya penurunan fungsi organ oleh karena bertambahnya usia tersebut dibandingkan dengan perubahan morfologi yang tampak. Proses penuaan ekstrinsik (extrinsic aging/photoaging), suatu proses penuaan yang diakibatkan oleh berbagai faktor dari lingkungan di luar tubuh yang terjadi secara terus menerus. Banyak faktor dari lingkungan yang ada di luar tubuh yang dapat mempengaruhi proses penuaan antara lain sinar ultra violet, kelembaban udara, suhu, polusi asap, dan paparan bahan kimiawi. Dari faktor lingkungan tersebut yang paling banyak berperanan dalam penuaan kulit adalah pengaruh dari pajanan sinar ultra violet, oleh karena itu proses penuaan ini disebut juga sebagai photoaging. Faktor yang berpengaruh dari luar tersebut dapat dihindari untuk mencegah terjadinya proses penuaan dini (Gilchrest dan Yaar, 2000 ; Chung dkk., 2004). 2.3
Sinar Ultra Violet Radiasi sinar ultra violet adalah suatu spektrum dari cahaya dengan
panjang gelombang yang berkisar antara 100 nm - 400 nm, dihasilkan oleh sinar matahari atau dari lampu buatan. Berdasarkan batasan dari Commision Innternationale de l’Eclairage (CIE) sinar ultra violet terdiri dari ultra violet A (UVA) dengan panjang gelombang 315–400 nm, ultra violet B (UVB) dengan panjang gelombang 280–315 nm, dan ultra violet C (UVC) dengan panjang gelombang 100–280 nm. UVA dibagi lagi menjadi UVA I (340 -400 nm) dan UVA II (320-340 nm) (Young, 2000).
Radiasi sinar ultra violet di permukaan bumi ini 95-98% adalah UVA dan 2-5% adalah UVB. UVC tidak mencapai permukaan bumi. UVB adalah sinar yang paling poten yang mencapai permukaan bumi dan paling banyak menyebabkan terjadinya photodamage pada manusia. UVA kira-kira 1000 kali lebih lemah dibandingkan UVB
namun 100 kali lebih banyak mencapai
permukaan bumi (Kaminer,1995). Sinar UVC diserap oleh lapisan stratosfir ozon, namun dengan semakin menipisnya lapisan ozon akan memungkinkan semakin besarnya jumlah radiasi UV yang sampai ke permukaan bumi. Lapisan ozon merupakan penyerap awal sinar ultra violet di atmosfer, yang mana lapisan ini memblokade semua sinar UVC agar tidak mencapai permukaan bumi, 90% UVB terutama dengan panjang gelombang 290-300 nm, dan UVA sangat sedikit yang diblokade. Begitu jumlah ozon berkurang maka jumlah gelombang pendek dari UVB yang mencapai permukaan bumi akan makin meningkat, hal yang penting dari hal ini adalah setiap photon UVB pada 290 nm 1000-10000 kali lebih karsinogenik dibandingkan photon pada 330 nm. The United States Environmental Protection Agency (EPA) memperkirakan bahwa jumlah rata rata berkurangnya lapisan ozon adalah 8% per dekade, pada setiap 1% kolom ozon berkurang diperkirakan UVB meningkat sebanyak 1,3-1,5% (Young, 2000). Radiasi sinar UVB yang mencapai lapisan kulit, sebanyak 70% diserap oleh stratum korneum, 20% yang mencapai epidermis dan 10% yang mencapai bagian atas dari lapisan dermis. Sedangkan radiasi UVA diserap sebagian oleh epidermis dan 20-30% mencapai lapisan dermis yang dalam, sinar
UVA
menyerap jauh lebih dalam dibandingkan sinar UVB. Dilihat dari jumlah sinar UVB yang sampai ke lapisan dermis hanya dalam jumlah yang kecil dibandingkan dengan sinar UVA, namun karena sifatnya
yang sangat poten mampu
menimbulkan kerusakan pada kulit (Fourtanier dan Moyal, 2004). 2.3.1
Efek Radiasi Sinar UV Paparan sinar UV dari matahari dapat memicu pembentukan radikal bebas
pada kulit. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan menurunnya kinerja enzim untuk mempertahankan fungsi sel, merusak protein dan asam amino yang merupakan struktur utama kolagen dan elastin. Radiasi sinar ultra violet memiliki rentangan yang luas dalam efek akut yang ditimbulkannya. Efek yang ditimbulkan selain sunburn inflammation (erythema) dan tanning (melanogenesis) juga dapat mengakibatkan DNA photodamage, immunosupresi, dan sintesis vitamin D. Sedangkan paparan kronik dari
sinar matahari
dapat memicu terjadinya
photoaging dan lebih jauh lagi dapat memicu terjadinya kanker kulit seperti squamous cell ca, basal cell ca, dan melanoma maligna (Young, 2000). Eritema (sunburn) adalah suatu reaksi radang akut pada kulit yang berwarna kemerahan akibat pajanan sinar ultra violet yang berlebihan. Eritema atau warna kemerahan yang timbul dapat dengan mudah dilihat dengan metode yang non invasif dan dapat dapat diamati sepanjang waktu. Pada UVB, eritema yang ditimbulkan merupakan respon yang lambat, dimana akan mencapai puncaknya 6-24 jam tergantung pada dosis penyinaran. Dosis terkecil yang dapat menimbulkan warna kemerahan (eritema) dengan batas yang jelas pada daerah
yang diberikan penyinaran setelah 24 jam disebut Minimal Erythemal Dose (MED). Respon pigmentasi pada kulit yang terjadi dengan segera pada paparan sinar UV adalah timbulnya warna kecoklatan pada kulit (tanning) dan kemudian akan diikuti dengan
terbentuknya melanin baru. Eritema yang diinduksi oleh
UVB akan diikuti dengan terjadinya pigmentasi, proses pembentukan melanin (melanization) ini akan hilang bersamaan dengan proses pelepasan epidermis yang terjadi tiap bulannya. Kerusakan DNA (DNA damage) merupakan suatu reaksi yang terjadi akibat radiasi sinar matahari, dimana UVB diserap dan kerusakan terjadi pada basa pirimidine. Kerusakan pada DNA dapat memicu terjadinya mutasi pada onkogen dan gen tumor supresor
yang berakibat pada terjadinya disfungsi gen.
Imunosupresi dapat terjadi karena paparan sinar UV,
fenomena ini disebut
dengan photoimmunosuppression yang berakibat lebih jauh terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden serta derajat beratnya penyakit infeksi dan virus. Photoaging merupakan kerusakan akibat akumulasi paparan sinar ultra violet yang bersifat kronis dan terus menerus, tergantung pada derajat paparan yang terjadi, pigmen kulit, dan kebiasaan aktifitas luar (outdoor life style). Akibat lebih jauh pada akhirnya dapat mengarah kepada terjadinya photocarcinogenesis, oleh karena terjadinya perubahan atau mutasi pada gen.
Efek dari paparan sinar matahari pada kulit tergantung pada panjang gelombang dan dosis radiasinya. Faktor-faktor seperti pekerjaan, gaya hidup, pakaian, dan usia berpengaruh pada paparan sinar matahari. Geografi juga berperanan penting, dimana paparan sinar matahari akan bertambah dengan menurunnya garis lintang, dan setiap 1000 kaki diatas permukaan laut paparan akan bertambah 4% (Obagi, 2000). 2.4
Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia Kulit adalah organ tubuh yang penting untuk menjamin kelangsungan
hidup dan menyokong penampilan serta kepribadian seseorang, terletak pada lapisan terluar dengan luas 1,5 m² pada orang dewasa dengan berat kira-kira 15% dari berat badan (Wasitaatmadja, 2007). Secara garis besar kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Batas antara dermis dan epidermis tidak teratur, dimana tonjolan dermis yang disebut papilla dermis saling mengunci dengan tonjolan epidermis yang disebut epidermal ridges. Sedangkan batas antara dermis dan subkutis tidak ada garis tegas yang memisahkannya (Wasitaatmadja, 2007; Junqueira dkk., 1997). Secara histopatologis lapisan kulit dapat dijabarkan sebagai berikut: 2.4.1 Lapisan Epidermis terdiri atas: 2.4.1.1 Stratum korneum(lapisan tanduk)
Adalah lapisan kulit yang paling luar, terdiri atas beberapa lapis selsel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). 2.4.1.2 Stratum lusidum Berada langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. 2.4.1.3 Stratum granulosum (lapisan keratohialin) Merupakan 2-3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya, butiran kasar tersebut terdiri atas keratohialin 2.4.1.4 Stratum spinosum (stratum malphigi) Lapisan ini disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya, di antara sel-sel terdapat jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. 2.4.1.5 Stratum basale
Terdiri atas sel-sel berbentuk kubis (kolumnar) yang tersusun vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini adalah lapisan epidermis paling bawah. Lapisan ini terdiri dari 2 jenis sel yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dan sel melanosit yang merupakan sel pembentuk melanin dengan sitoplasma basofilik dengan inti gelap mengandung butir pigmen (melanosom). 2.4.2
Lapisan Dermis Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut . dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu
2.4.2.1 Pars papilare Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. 2.4.2.2 Pars retikulare Terdiri dari serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas asam hialuronat dan kondroitin sulfat, terdapat juga fibroblast. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin
dan
hidroksilisin.
Serabut
elastin
biasanya
bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis. Retikulin mirip dengan kolagen muda. 2.4.3 Lapisan Subkutis Kelanjutan dari dermis yang terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dipisahkan satu sama lainnya dengan trabekula yang fibrosa. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus yaitu yang terletak di bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis ( pleksus profunda) . Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah : 1. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau mekanis, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman maupun jamur. Fungsi ini terjadi karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan jaringan penunjangnya yang berperanan terhadap gangguan yang bersifat fisik. Adanya melanosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan
pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur. 2. Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa metabolism dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6,5. 3. Fungsi persepsi Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. 4. Fungsi pengaturan suhu tubuh Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara mengeluarkan keringat. 5. Fungsi imunitas 6. Fungsi sintesis vitamin D dan melanin 2.5
Fibroblast Fibroblast adalah sel yang utama di lapisan dermis, berbentuk spindel
dengan sitoplasma bercabang cabang tidak teratur,
nukleus berbentuk lonjong,
besar dan pucat dengan nukleolus yang jelas. Sel fibroblast bertanggung jawab terhadap produksi kolagen, serat retikulin, serat elastik dan jaringan penyangga dari dermis. Selain itu fibroblast juga dapat menghilangkan serat-serat tersebut
dengan mensekresikan enzim seperti collagenase (MMP-1) dan elastase (Obagi, 2000 ; Junqueira dkk., 1997). Fibroblast berperanan penting pada proses penyembuhan luka (wound healing process). Adanya suatu kerusakan pada jaringan dapat merangsang sel fibrosit
dan mitosis fibroblast.
Jadi dapat dikatakan bahwa fungsi utama
fibroblast adalah menjaga integritas struktur jaringan ikat dan mengatur turnover jaringan ikat dengan memproduksi enzim yang dapat mendegradasi kolagen (collagenase), elastin (elastase), proteoglikan dan glikosaminoglikan (stromelysin dan lysosomal hydrolase). Dengan bertambahnya usia, secara umum ukuran fibroblast akan menjadi semakin mengecil dan menjadi berkurang aktivitasnya, sementara pada kulit yang mengalami kerusakan oleh karena pajanan sinar ultra violet fibroblastnya sering menjadi hipertopi. Dari suatu penelitian dinyatakan bahwa sel fibrolast memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap pajanan UVB dibandingkan dengan sel lain seperti keratinosit dan melanosit dengan dosis yang bersifat sitotoksik dari pajanan narrowband UVB (100,200, dan 400 mJ/cm²) ataupun broadband UVB (5,10, dan 25 mJ/cm² ) (Cho dkk., 2008). 2.6
Matriks Metalloproteinase Matriks metalloproteinase adalah suatu
zinc-dependent endopeptidase.
MMP gene family pada manusia terdiri dari 28 tipe dengan struktur dan spesifitas yang berbeda. MMPs berhubungan dengan proses fisiologis dan patologis yang
berkaitan dengan turnover matriks ekstraseluler, wound healing, angiogenesis, dan kanker. Sejumlah MMPs mampu menimbulkan degradasi terhadap kolagen tipe
I
yaitu antara lain MMP-1, 8,13, MT1-MMP (MMP-14), MT2-MMP
(MMP-15), dan MT3-MMP (MMP-16). Pada kulit hanya MMP-1 yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh pajanan sinar ultra violet dan tampaknya paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen akibat paparan matahari. Level MMP-1 akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, yang mana hal ini diperkirakan sebagai akibat dari fragmentasi serat kolagen dan disorganisasi susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer & Eisen, 2006). Activator Protein -1 (AP-1) yang merupakan nuclear transcription factor, terdiri dari dua sub unit yaitu c-jun dan c-fos, berfungsi untuk mengontrol transkripsi dari matriks metalloproteinases (MMPs). MMPs merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi dari matriks ekstrasel, termasuk diantaranya adalah MMP-1 (collagenase), MMP-3 (stromelysin), dan MMP-9 (92-kd gelatinase). Metalloproteinase juga bertanggung jawab terhadap tejadinya degradasi kolagen. MMP dapat dengan segera timbul hanya dengan dosis minimal sinar ultra violet, di bawah dosis yang dibutuhkan untuk menimbulkan eritema. Terdapat suatu hubungan dosis dan respon yang ditimbulkan antara paparan UV dan induksi MMP. Paparan terhadap sinar UV yang tidak cukup untuk menimbulkan sunburn dapat memfasilitasi terjadinya degradasi kolagen, dan pada akhirnya menimbulkan photoaging. Paparan minimal yang berulang dengan dosis yang
setara dengan 5-15 menit paparan matahari pada tengah hari
cukup tuntuk
meningkatkan level MMP (Berneburg dkk., 2000; Rabe dkk., 2006). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan pada kultur fibroblast menunjukkan bahwa radiasi sinar UVB mampu memicu ekspresi MMP pada dosis yang bervariasi antara 10 mJ/cm2 – 100 mJ/cm2 ( Kim dkk., 2004; Kim dkk., 2005; Yulianto, 2008; Moon dkk., 2008; Lee dkk., 2009). 2.7 Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen Photoaging merupakan
efek kronis yang timbul akibat pajanan sinar
ultra violet yang berulang. Pada proses penuaan itu sendiri terjadi penurunan proporsi dari sel germinatif di epidermis yang dipengaruhi oleh sinar ultra violet yang langsung merusak sel. Pajanan UV akan berakibat pada timbulnya reactive oxygen species (ROS) yang merusak membran lipid, protein seluler, dan DNA . Kerusakan pada protein akan menginaktifkan enzim
yang mempengaruhi
kemampuan sel tersebut untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar UV dan ini akan berakibat pada kematian sel atau terjadinya mutasi permanen DNA seluler (Yaar dan Gilchrest, 1995). Dilaporkan bahwa penyinaran ultraviolet merusak matriks kolagen kulit melalui dua jalur yang berbeda yaitu terjadinya stimulasi degradasi kolagen dan hambatan produksi kolagen (Fisher dkk., 2004). Dari beberapa penelitian secara in vitro didapatkan bahwa radiasi sinar ultraviolet bekerja menyerupai kerja dari reseptor ligand melalui pembentukan ROS.
Dalam
waktu 15 menit setelah terjadinya paparan sinar ultra violet,
reseptor epidermal growth factor, IL-1, dan TNF-α yang terdapat pada sel keratinosit dan fibroblast akan aktif. terjadinya oksidasi ROS
Hal ini di perkirakan terjadi karena
yang selanjutnya akan menghambat protein-tyrosin
phospatase yang berfungsi mengatur penurunan aktivitas reseptor ini, akibatnya reseptor tersebut akan meningkat. Adanya peningkatan reseptor ini memicu aktivasi signaling kinases pada kulit, dan nuclear transcription factor activator protein-1 (AP-1) akan menjadi aktif. AP-1 merupakan MMP promoter, yang akan mengontrol transkripsi matriks metalloproteinase. MMP-1 merupakan metalloproteinase utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi kolagen. AP-1 terdiri dari 2 sub unit yaitu c-Fos yang selalu terekspresikan dan cJun yang diinduksi oleh UV. Ekspresi yang berlebihan dari komponen c-Jun ini dapat mengurangi ekspresi kolagen tipe 1 (Rabe dkk., 2006). Sinar UV juga akan mengaktifkan faktor transkripsi NF-κB melalui suatu iron-dependent mechanisme. Respon terhadap sinar UV akan dilipatgandakan melalui pembentukan sitokin. NFκB juga dapat meningkatkan ekspresi MMP-9. Pajanan sinar UV juga mengakibatkan ekspresi TGFβ dan reseptornya berkurang, sementara TGFβ adalah promoter yang sangat penting dari sintesis kolagen. Setelah paparan sinar UV procollagen pool berkurang secara nyata. AP-1 dan Transforming Growth Factor (TGF)-β berperanan pada regulasi menurun dari sintesis kolagen akibat sinar UV. Kerusakan kolagen itu sendiri dapat menyebabkan terjadinya regulasi menurun dari sintesis kolagen baru.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Choi dkk. (2007) pada kultur fibroblast didapatkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi MMP-1 dan penurunan ekspresi TGF-β1 serta protein level mRNA kolagen tipe I. Hasil yang didapat lebih besar pada penyinaran dengan broadband UVB 25 mJ/cm2 dibandingkan narrow band UVB 50-800 mJ/cm2. Dari hasil tesebut disimpulkan bahwa terjadinya penurunan sintesis kolagen tipe 1 akibat inhibisi ekpresi TGF β1 dan stimulasi MMP-1 berakibat lebih lanjut terhadap terjadinya photoaging. Efek photoaging yang ditimbulkan dari narrowband
UVB lebih lemah daripada
broadband UVB.
Gambar 2.1 Mekanisme kerusakan kolagen akibat sinar UV (dikutip dari: Rabe dkk., 2006)
Dari penelitian dilaporkan bahwa penyinaran dengan sinar UV berakibat pada TGF β / Smad pathway melalui umpan balik negatif dari TβRII yang mana secara primer
akan berdampak pada pengurangan sintesis prokolagen dalam
fibroblast, dan ini akan terjadi dalam waktu 8 jam setelah penyinaran (Fisher dkk., 2004). Dari suatu studi eksperimental in vitro pada sel fibroblast yang dipajan dengan sinar ultra violet B berbagai variasi dosis (10 mJ/cm², 20 mJ/cm², dan 40 mJ/cm²) menunjukkan bahwa terjadi kerusakan viabilitas sel fibroblast pada dosis tersebut. Pada dosis 10 mJ/cm2 berakibat kerusakan viabilitas sel fibroblast yang signifikan, dimana dosis ini jauh dibawah dosis minimal pajanan ultra violet yang menimbulkan kejadian eritema ( 50-120 mJ/cm2). Terjadi peningkatan kadar enzim MMP 1 dan MMP 3
sebesar 1,52 kali sampai dengan 8,69 kali
dibandingkan dengan kontrol. Puncak peningkatan MMP-1 didapatkan pada dosis 20 mj/cm². Juga terjadi penurunan kadar cDNA pro α1 dan 3 kolagen (Yulianto, 2008). Perubahan kolagen ditemukan pada dermis yang mengalami photodamage dimana pada kondisi normal 85% berupa kolagen tipe I dan 10% kolagen tipe III, namun pajanan sinar matahari mengakibatkan hilangnya kolagen matur tipe I dan meningkatnya ratio kolagen III/I. Dilaporkan bahwa perubahan degeneratif pada serat kolagen ini secara primer dipicu oleh UVB (Yaar dan Gilchrest, 1995). 2.8. Manifestasi Klinis dan Histologis pada Kulit yang Mengalami Photoaging
Pada kulit yang mengalami kerusakan akibat pajanan sinar ultraviolet secara klinis akan tampak permukaan kulit kasar menebal (leathery skin), kering, pigmentasi tidak merata (lentigines, hipomelanosis gutata, atau hiperpigmentasi yang persisten), bernodus, timbulnya kerutan dari yang halus sampai dalam, elastisitas berkurang, dan teleangiektasia. Karakteristik yang khas pada kulit yang mengalami kerusakan karena pajanan sinar ultra violet adalah elastotic wrinkle yang sering dijumpai pada kulit tipe III-V (Yaar, 2006). Sedangkan secara histologis tampak adanya penebalan lapisan epidermal yang ireguler. Tepat di bawah epidermis adanya suatu gerombolan materi yang bersifat eosinofilik (Grenz zone), kemungkinan ini merupakan analog dari suatu mikroskar akibat proses perbaikan dari pajanan sinar ultra violet. Pada papilari dermis menunjukkan adanya aggregasi nodular fibrous dengan materi elastotik. Pada dermis jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat, sementara serat kolagen berkurang menggumpal dan sebagian terdegradasi sebagai akibat dari terpicunya sekresi matriks metalloproteinase oleh sinar ultra violet (Yaar, 2006) Salah satu ciri karakteristik secara histologis pada kulit yang mengalami kerusakan akibat pajanan sinar ultra violet adalah solar elastosis yaitu suatu materi yang terbentuk dari sejumlah besar jaringan elastin yang terdegradasi dan membentuk suatu masa yang kusut. Tampak juga adanya infiltrat radang yang terdiri dari sel mast, histiosit, dan sel mononuklear lainnya (Yaar, 2006 ). 2.9 Radikal Bebas dan Antioksidan
2.9.1 Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mempunyai jumlah elektron ganjil atau elektron tidak berpasangan tunggal pada lingkar luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilitas dan bersifat reaktif, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya. Hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain menciptakan radikal bebas baru dan akan mengakibatkan suatu perubahan secara fisik dan kimiawi (Cooper, 1997 ; Pham-Huy dkk., 2008). Radikal bebas tersebut diproduksi secara endogen dan juga diperoleh secara eksogen. Secara endogen radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. Secara eksogen berasal dari asap rokok, polutan, radiasi, obat obatan, dan pestisida. Reaksi radikal bebas dibagi menjadi 3 tahap yaitu: 1. Tahap inisiasi Adalah tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Cu RH + O2
R+ + HO2+
2. Tahap Propagasi Adalah tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain. R+ + O2 RO2+ + RH
RO2+ R+ + ROOH
3. Tahap Terminasi Adalah apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas lainnya
atau
antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi
radikal (scavenger) R+ + R+
R:R
Radikal bebas yang terbentuk akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga akan menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas tersebut adalah DNA, lemak, dan protein. Radikal bebas yang merusak DNA dapat mengganggu bagian dari DNA dan menyebabkan pertumbuhan yang tidak terkontrol, dan pada akhirnya akan berakibat pada terjadinya
kanker. Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas
secara terus menerus. Radikal bebas itu terbentuk melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar ultra violet, asap rokok dan lain lain. Dengan meningkatnya usia pembentukan radikal bebas juga makin meningkat. Secara endogen, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring dengan pertambahan usia. Secara eksogen, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya umur seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2007; PhamHuy dkk., 2008).
Dalam keadaan fisiologis, radikal bebas yang terbentuk secara normal akan dinetralisasi sebelum terjadinya perusakan yang berat pada sel. Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan, pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh. 2.9.2
Antioksidan Kehidupan ini merupakan rangkaian reaksi kimia yang berlangsung terus
menerus yang melibatkan berbagai jenis molekul. Melalui reaksi kimia dihasilkan berbagai zat yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan juga dihasilkan zat sisa yang tidak berguna, salah satu kumpulan zat yang berguna penting dalam kehidupan adalah antioksidan. Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor) yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan berfungsi melindungi zat lainnya dari kerusakan karena reaksi oksidasi yang dipicu oleh ROS dan radikal bebas. ROS dan radikal bebas ini memicu terjadinya proses degenerasi (Pham-huy dkk., 2008). Secara umum antioksidan
dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu
antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis. Antioksidan enzimatis antara lain adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Sedangkan antioksidan non enzimatis dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu antioksidan non enzimatis yang larut lemak (seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, dan quinon) dan antioksidan non enzimatis yang larut dalam air
(asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein
pengikat heme). Kedua golongan antioksidan
tersebut bekerja
sama untuk
memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh, sehingga terjadinya stress oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan tersebut. 2.9.2.1 Peranan Antioksidan pada Kulit yang Mengalami Kerusakan karena Pajanan Sinar UV Secara alami kulit bergantung pada antioksidan untuk melindungi dari ROS yang dihasilkan oleh sinar matahari maupun proses metabolisme normal. Antioksidan enzimatis dan non enzimatis akan berinteraksi untuk memberikan perlindungan, termasuk di sini adalah vit E, coenzyme Q10, askorbat, karotenoid, superoksid dismutase, katalase, dan glutation peroksidase.
Namun oleh karena
paparan ultra violet yang berlebihan, mengakibatkan terjadi deplesi pada suplai antioksidan tersebut, terbentuklah
suatu keadaan stress oksidatif.
Untuk itu
diperlukan juga antioksidan yang diaplikasikan secara topikal untuk menambah cadangan antioksidan kulit. Pada keganasan kulit seperti basal sel ca, ditemukan kadar karotenoid yang rendah, sehingga
diperkirakan antioksidan ini sangat
penting pada pertahanan kulit terhadap radiasi UV dan photokarsinogenesis (Pinnel, 2003 ; Rabe dkk., 2006). Interaksi antara radiasi matahari pada kulit mengakibatkan terbentuknya radikal bebas. ROS akan mengakibatkan terjadinya hidroksilasi, pemutusan rantai,
penambahan radikal pada cincin aromatik, pembentukan aldehid, dan deplesi thiol. Terjadi pula autooksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran lipid, yang kemungkinan berkaitan dengan singlet oksigen dan radikal hidroksil. Disini antioksidan akan berperanan untuk mengurangi efek dari ROS tersebut melalui 1. Scavenging (mengikat) : R+PH* RH+ P* 2. Inhibisi (penghambatan) : RO2 + PH* ROOH+P 3. Proteksi : (ROOH + PH* ROH + POH Dimana R adalah komponen bervariasi, dan PH adalah antioksidan protektif yang mampu memberikan ion hidrogen. 2.10
Astaxanthin Astaxanthin adalah salah satu antioksidan golongan carotenoid xantophyll
yang larut dalam lemak. Secara alami astaxanthin dapat ditemukan pada algae, berbagai jenis makanan yang biasa dikonsumsi seperti jenis udang udangan dan kepiting. Di alam karotenoid ini dihasilkan oleh tumbuhan dan alga renik, sedangkan hewan tidak dapat mensintesis senyawa ini untuk itu harus didapat dari tumbuhan atau alga renik dengan cara mengkonsumsinya. Salah satu alga renik yang dikenal memiliki kandungan astaxanthin tinggi adalahlah
Haematococus
pluvialis ( Lyons dan O’Brien, 2002). Struktur kimia karotenoid terdiri dari rantai 40- karbon polietilen yang menjadi tulang punggung molekul, dan rantai ini diakhiri dengan 6 cincin karbon dengan atau tanpa gugus keton atau hidroksil. Secara umum, molekul astaxanthin
serupa dengan molekul β-karoten tetapi struktur molekul astaxanthin memiliki gugus hidroksil (OH) dan keton (C=O) pada gugus terminalnya. Meskipun perbedaan struktur tersebut kecil namun memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat kimiawi dan biologis astaxanthin yaitu pada kemampuannya untuk menjadi bentuk ester, menjadi lebih polar, dan memiliki potensinya sebagai antioksidan yang kuat. Hal inilah yang menjelaskan mengapa potensi antioksidan astaxanthin lebih kuat dibandingkan β-caroten dan vit E (Goto dkk., 2001; Lyons
dan
O’Brien, 2002; Guerin, dkk., 2003). Selain itu juga menyebabkan astaxanthin memiliki aktifitas dan mekanisme perlindungan yang lebih tinggi dan tidak dimiliki oleh antioksidan lainnya yaitu: 1. Mampu melewati membran sel bilayer; 2. Dapat melewati sawar darah otak; 3. Menghambat destruksi asam lemak dan protein pada membran sel dan pada membran mitokondria akibat peroksidasi lemak; 4. Menstabilkan radikal bebas dengan menambahkannya pada struktur molekul daripada mendonasikan elektron atau atom; 5. Lebih tahan terhadap reaksi berantai yang dapat terjadi ketika asam lemak teroksidasi; 6. Menetralisasi singlet dan triplet oksigen; 7. Mampu menangkap lebih banyak tipe radikal (alkoksil, hidroksil, peroksil, singlet dan triplet oksigen);
8. Lebih mudah beredar dalam tubuh dan bioavailabilitasnya lebih baik; 9. Mampu menghambat ROS yang menyebabkan inflamasi pada sel. Penyerapan karotenoid pada sel mukosa usus disertai dengan pembentukan asam empedu pada lumen usus kecil, dan terjadi penyerapan pasif. Setelah memasuki peredaran darah, karotenoid terdapat di berbagai jaringan tubuh yaitu hati, lemak, pankreas, ginjal, paru, adrenal, lien, jantung, tiroid, testis ovarium, dan mata. Jumlah terbesar adalah pada hati dan jaringan lemak, dimana merupakan tempat penyimpanan terbesar.
Gambar 2.2 struktur kimia astaxanthin Astaxanthin seperti juga golongan karotenoid lainnya bersifat lipofilik. Di dalam plasma sistem transportasi dari astaxanthin adalah oleh Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein
(HDL). Sistem transport
golongan karotenoid lain yang polaritasnya lebih rendah dari astaxanthin seperti alpa, dan beta karoten serta likopen adalah oleh very low density lipoprotein (VLDL) dan low density lipoprotein (LDL). Metabolisme dari karotenoid sangat rumit, dipengaruhi oleh variasi dari fisikokimiawi karotenoid tersebut. Makin
polar karotenoid tersebut (Xantophyll)
maka absorpsinya akan lebih efisien
dibandingkan karotenoid lainnya (Furr dan Clark, 1997). Dari
penelitian yang dilakukan Takahashi dkk. (2004),
suatu studi
tentang distribusi astaxanthin pada jaringan dan plasma lipoprotein pada ayam broiler jantan yang diberi makan phafia rhodozyma dengan kandungan tinggi astaxanthin. Didapatkan bahwa lebih dari 70% astaxanthin terkandung dalam fraksi HDL dalam plasma. Konsentrasi tertinggi terdapat pada usus halus, selanjutnya pada lemak subkutan, lemak abdomen, limpa, liver, jantung, dan kulit. Sedangkan konsentrasi paling rendah adalah pada otot. Di liver, 50% astaxanthin terdeteksi dalam fraksi mikrosomal, dan 15% berada pada fraksi mitokondrial. Astaxanthin yang termasuk dalam golongan karotenoid melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui suatu mekanisme tertentu . Meredam singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebih dari singlet oksigen akan di transfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron untuk kemudian diubah menjadi panas. Selain itu juga bereaksi dengan radikal lainnya untuk mencegah dan menghentikan reaksi berantai (Tinkler dkk., 1994). Kemampuan Astaxanthin dalam memberikan efek perlindungan pada sel kulit dibuktikan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah: Lyons dan O’Brien, (2002) membandingkan efek proteksi terhadap UVA pada ekstrak algal yang mengandung astaxanthin sintetik
karotenoid astaxanthin yang tinggi
dengan
konsentrasi 10 nM, 100 nM, dan 10 µM menggunakan
kultur fibroblast manusia. Didapatkan bahwa ekstrak algal dan astaxanthin sintetik
10µM mampu memberikan perlindungan terhadap DNA dari kerusakan oleh sinar UVA secara signifikan (p<0,01). Pada konsentrasi yang lebih kecil yaitu 10 nM dan 100 nM efek proteksi yang diberikan tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Suganuma dkk. (2009) meneliti tentang efek astaxanthin (konsentrasi 4-8 µM) sebagai antioksidan yang poten terhadap induksi MMP-1 dan skin fibroblast elastase oleh UVA pada kultur human dermal fibroblast.
Dilaporkan bahwa
astaxanthin secara signifikan (p<0,05) memberikan efek lebih besar terhadap inhibisi MMP-1 daripada terhadap skin fibroblast elastase. Pada penelitian yang dilakukan oleh Arakane (2002), menggunakan tikus tanpa bulu menunjukkan kemampuan
astaxanthin menghambat pembentukan
kerutan akibat sinar UVB. Pajanan sinar UVB dengan dosis 65-95 mJ/cm² diberikan selama 5 kali seminggu dalam jangka waktu 18 minggu, dan setelah pajanan diaplikasikan astaxanthin dengan dosis 350 µM pada area terpajan UVB. Hanya dalam waktu 5 minggu munculnya kerutan yang baru dapat dikurangi secara signifikan sampai periode penelitian berakhir (p<0,01). Pada penelitian dengan subyek manusia, pemberian astaxanthin 2 mg/hari dikombinasi dengan tokotrienol selama 2 minggu menunjukkan perbaikan pada kulit. Menjadi lebih lembab, berkurangnya kerutan halus, elastisitas meningkat, dan pembengkakan kelopak mata berkurang. Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan tersebut tidak didapatkan perbaikan pada tanda penuaan tersebut (Yamashita, 2002).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Pada proses penuaan akan terjadi penurunan fungsi berbagai organ dan perubahan fisik baik itu di tingkat seluler maupun pada sistem organ. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi internal dan eksternal. Faktor internal berupa antara lain adalah
faktor
faktor genetik,
hormonal, radikal bebas, metilasi, glikosilasi, apoptosis dan sistem imun tubuh. Faktor eksternal meliputi radiasi sinar ultra violet, paparan asap rokok, polusi lingkungan, bahan kimia, obat obatan, stress, gaya hidup tak sehat, dan diet tak sehat. Demikian pula halnya pada kulit, akan mengalami proses penuaan. Diketahui bahwa pajanan sinar ultra violet khususnya sinar ultra violet B karena sifatnya yang poten, walaupun dalam dosis yang kecil yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan pada kulit. Pada tahap awal kerusakan yang ditimbulkan masih bersifat akut, terjadi segera setelah terpapar oleh sinar ultra violet, dimana akan tampak warna kemerahan
(erythema) pada kulit.
Kerusakan lebih lanjut terjadi jika paparan sinar ultra violet berulang terus menerus, dan dapat menimbulkan suatu kerusakan pada lapisan epidermis dan dermis. Hal tersebut diawali dengan terbentuknya radikal bebas pada kulit akibat paparan sinar ultra violet dan selanjutnya akan memicu terjadinya peningkatan
enzim matriks metalloproteinases. Salah satu di antaranya adalah enzim MMP-1 yang akan mendegradasi kolagen yang akan mengakibatkan terjadinya proses penuaan pada kulit. Astaxanthin sebagai antioksidan berperanan menghambat dan mencegah terjadinya kerusakan kulit oleh radikal bebas yang ditimbulkan oleh pajanan sinar ultra violet pada kulit, dengan mengikat singlet oksigen dan menghambat peroksidasi lipid. Dengan terjadinya hambatan tersebut, sintesis MMP-1 akan berkurang dan proses degradasi kolagen terhambat sehingga kulit terlindungi dari proses penuaan dini akibat pajanan sinar ultra violet B tersebut.
3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun suatu kerangka konsep yang digambarkan sebagai berikut :
Astaxanthin Gel Faktor Internal
Faktor Eksternal
-Genetik -Hormon -Radikal bebas -Glikosilasi -Metilasi -Apoptosis -Sistem imun tubuh
-Paparan asap rokok -Polusi lingkungan -Bahan kimia -Obat-obatan -Stress -Gaya hidup tidak sehat -Diet tidak sehat Radiasi sinar UVB
Kulit Sel Fibroblast Penuaan kulit Ekspresi MMP-1
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
3.3
HIPOTESIS PENELITIAN Dari uraian dan gambaran kerangka konsep di atas, maka dapat dibuat
hipotesis sebagai berikut: Pemberian astaxanthin gel dapat menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur fibroblast yang diberikan pajanan sinar ultra violet B.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan adalah
posttest only control group design (Campbell dan
Stanley, 1963), Rancangan ini digunakan pada penelitian yang dilakukan secara in vitro. Penelitian in vitro, dilakukan dengan menggunakan kultur sel fibroblast, dimana sel fibroblast diberikan bahan astaxanthin gel dengan variasi dosis 3 µM, 5µM, dan 7µM
dan selanjutnya diberikan penyinaran dengan variasi dosis 25
mJ/cm², 50 mJ/cm2, dan 100 mJ/cm².
Supernatan dari kultur sel fibroblast
dikumpulkan setelah 48 jam dan ekspresi MMP-1 diamati dengan menggunakan MMP-1 Human enzyme-linked immunorbent assay (ELISA) kit. Skema rancangan penelitian in vitro dapat digambarkan sebagai berikut:
P0 O
O1 P1 O2 P2
P
S
R
O3
O P3
O4 P4 O5 P5 O6 P6 O7 P7 O8 P8 O
O9 P9
P10
O10 41 O11
P11 O12 P12 O13
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian In Vitro
Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random O = MMP-1 di awal, sebelum diberikan perlakuan. O1 = MMP-1 Kelompok kontrol di akhir penelitian O2 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 25 mJ/cm² O3 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 50 mJ/cm² O4 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 100 mJ/cm2 O5 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 25 mJ/cm² dan pemberian astaxanthin 3µM O6 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 25 mJ/cm² dan pemberian astaxanthin 5µM O7 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 25 mJ/cm2 dan pemberian astaxanthin 7 µM O8 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 50 mJ/cm² dan pemberian astaxanthin 3µM O9 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 50 mJ/cm² dan pemberian astaxanthin 5µM
O10 = MMP-1 kelompok UVB setelah pajanan dengan 50 mJ/cm2 dan pemberian astaxanthin 7 µM O11 = MMP-1 kelompok UVB setelah
pajanan dengan 100 mJ/cm² dan
pemberian astaxanthin 3 µM O12 = MMP-1 kelompok UVB setelah
pajanan dengan 100
mJ/cm² dan
pajanan dengan 100
mJ/cm² dan
pemberian astaxanthin 5µM O13 = MMP-1 kelompok UVB setelah pemberian astaxanthin 7 µM P0 = kelompok kontrol ( tidak diberikan perlakuan) P1 = kelompok dengan pajanan UVB dosis 25 mJ/cm² P2 = kelompok dengan pajanan UVB dosis 50 mJ/cm² P3 = kelompok dengan pajanan UVB dosis 100 mJ/cm2 P4 = kelompok dengan astaxanthin 3 µM dan pajanan UVB dosis 25 mJ/cm2 P5 = kelompok dengan astaxanthin 5 µM dan pajanan UVB dosis 25 mJ/cm2 P6 = kelompok dengan astaxanthin 7 µM dan pajanan UVB dosis 25 mJ/cm2 P7 = kelompok dengan astaxanthin 3 µM dan pajanan UVB dosis 50 mJ/cm2 P8 = kelompok dengan astaxanthin 5 µM dan pajanan UVB dosis 50 mJ/cm2 P9 = kelompok dengan astaxanthin 7 µM dan pajanan UVB dosis 50 mJ/cm2
P10 = kelompok
dengan astaxanthin
3 µM dan pajanan
UVB dosis 100
mJ/cm2 P11 = kelompok dengan astaxanthin 5 µM dan pajanan UVB dosis 100 mJ/cm2 P12 = kelompok dengan astaxanthin 7 µM dan pajanan UVB dosis 100 mJ/cm2
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian
dan Pengujian
Terpadu Universitas Gajah Mada, serta Laboratorium Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Waktu penelitian
dilaksanakan
selama 7 minggu. 4.3
Subyek dan Sampel
4.3.1 Subyek Penelitian Subyek penelitian secara in vitro ini adalah fibroblast yang diisolasi dari kulit preputium penis (post sirkumsisi) anak berusia 6 - 10 tahun yang sehat. 4.3.2 Sampel Penelitian Pada penelitian in vitro ini penghitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus Federer (1963). Rumus :
( n-1)(k-1) ≥ 15
n = jumlah sampel (mewakili pengulangan perlakuan pada kelompok sampel)
k = jumlah kelompok perlakuan (kelompok perlakuan yang akan diberikan adalah 13 macam) sehingga didapatkan hasil: (n-1)(13-1) ≥ 15 n= 2,25 (3) jadi akan dilakukan pengulangan sebanyak minimal 3 kali pada masing-masing kelompok perlakuan 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi Variabel a. Variabel bebas : astaxanthin, dosis UVB b. Variabel tergantung : ekspresi MMP-1 c. Variabel kendali : media kultur, sel fibroblast
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Astaxantin UVB
Nilai ekspresi MMP-1 Variabel Kendali Sel fibroblast Media kultur
Gambar 4.4 Skema hubungan antara variabel penelitian 4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Astaxanthin (Astatrol) adalah bahan dasar gel astaxanthin yang diberikan sebagai bahan uji, diaplikasikan satu kali, dengan variasi dosis 3 µM, 5 µM,
dan 7 µM pada kelompok perlakuan dengan astaxanthin, sebelum diberikan perlakuan pajanan sinar UVB. 2. Dosis UVB adalah jumlah intensitas sinar UVB yang diberikan pada kultur sel fibroblast dari sumber UVB berupa solar stimulator (Past Sun B-KIM LIPPI). Dosis energi pajanan, lamanya, serta pancaran watt/detik diatur secara komputerisasi. Intensitas yang diberikan sebanyak 25 mJ/cm2, 50 mJ/cm², dan 100 mJ/cm². Penyinaran dilakukan satu kali (single dose) pada masing masing kelompok perlakuan. 3. Ekspresi MMP-1 diukur dari nilai absorbansi MMP-1 supernatan kultur sel fibroblast yang dikumpulkan 48 jam setelah penyinaran dengan variasi dosis UVB pada seluruh kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pengukuran menggunakan RayBio® human MMP-1 enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit sesuai dengan protokol. Nilai absorbansi dinilai dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. 4. Kultur Fibroblast adalah kelompok sel fibroblast yang diisolasi dari kulit preputium penis post sirkumsisi anak yang berusia 6 - 10 tahun yang sehat, dan dibiakkan sebagai kultur primer dan sekunder. 4.5
Bahan dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Bahan Utama 1. Bahan dasar gel astaxanthin (Astatrol)
2. Kit MMP-1 ( RayBio ® Human MMP-1 ELISA kit ) adalah suatu bahan yang digunakan untuk proses pengukuran MMP-1 pada manusia dalam bentuk pro dan aktif yang ada dalam serum, plasma, supernatan kultur sel dan urin. Kit ini terdiri dari lempengan mikro dengan 96 sumuran yang sudah dilapisi dengan anti-human MMP-1, larutan buffer untuk pencuci,
larutan standar yang
mengandung recombinant human MMP-1, assay dilluent, pendeteksi antibody MMP-1 (biotynilated anti-human MMP-1), HRP-conjugated streptavidine, tetramethylbenzidine (TMB) dan Stop Solution. 4.5.2 Bahan Penunjang Bahan penunjang yang digunakan pada proses kultur fibroblast ini adalah media RPMI 1640 (dengan glutamine, tanpa sodium bicarbonate), Fetal Bovine Serum (FBS), Media komplit 20% (terdiri dari FBS 20 ml, penicillin streptomycin 2 ml, dan fungisone 0,5 ml ditambahkan media RPMI sampai dengan 100 ml), Phospat Buffer Saline (PBS) dan Trypsin. Pelarut organik DMSO 0,025% sebagai bahan untuk melarutkan gel astaxanthin. 4.5.3 Instrumen Penelitian Alat alat yang digunakan dalam penelitian anatara lain adalah : -
Laminar Air Flow safety class II (Labconco)
-
Inkubator CO2 (Memmer)
-
Mikroskop inverted (Leitz)
-
Mikroskop binokuler (Olympus)
-
Elisa Reader (Bio Rad 680 XR)
-
Solar stimulator UVB (Past Sun B-KIM LIPPI)
-
Alat Sentrifus 1500 rpm
-
Tissue Culture Flask (TCF)
-
Petri kecil dan besar
-
96 Well Plated 8x12 (96 sumuran)
-
Tabung sentrifuge 15 ml, conicle tube Eppendorff beserta raknya
-
Pipet mikro (ukuran 20 µl, 50-200 µl, 100-1000 µl)
-
Bilik hitung Neubauer
-
Timbangan (Mettler Telado)
-
Skalpel, pinset, dan gunting
4.6. Prosedur Penelitian In Vitro 4.6.1 Pembuatan Kultur Primer dan Sekunder Kulit preputium penis yang telah disiapkan sebagai kultur primer dimasukkan ke dalam medium komplit, kemudian disimpan satu hari dalam lemari pendingin dengan suhu 4º C. Keesokan harinya kulit preputium penis tersebut diletakkan pada cawan petri, selanjutnya proses dilakukan dalam laminar
air flow. Kulit tersebut dipotong dengan ukuran kira-kira 3-4 cm, dipisahkan dari jaringan subkutan dan epidermis. Setelah itu dipotong dengan ukuran sekecilkecilnya menggunakan gunting jaringan dengan bantuan pinset.
Selanjutnya
potongan-potongan jaringan tersebut dipindahkan ke dalam 3 buah petri kecil, disusun dibagian tengah petri dan ditutup dengan cara agak ditekan menggunakan cover glass. Sisa media komplit di sekitarnya dibuang menggunakan pipet mikro, setelah sisa media komplit tersebut habis, diganti dengan media komplit 20% sebanyak 3 ml pada masing-masing petri, dan dipastikan cover glass yang menutupi potongan jaringan tersebut tidak mengambang dengan menekannya menggunakan ujung tip pipet mikro yang digunakan mengisi larutan media komplit tersebut. Kemudian ketiga petri kecil masing masing ditutup dengan tutup petri, selanjutnya disusun dalam petri besar. Petri besar ditutup dan diberi label. Kultur primer yang ditumbuhkan ini disimpan dalam inkubator CO2 (370C, 5% CO2, kelembaban 95%). Setelah 24 jam, kultur diamati setiap hari dengan mikroskop inverted, apakah sudah tampak adanya sel fibroblast. Diamati juga kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri atau jamur yang dapat menghambat pertumbuhan sel fibroblast. Apabila terjadi kontaminasi bakteri proses pertumbuhan kultur sel tidak dapat dilanjutkan dan harus segera diganti dengan yang baru. Media komplit 20% pada kultur diganti setiap 3 hari. Sel fibroblast yang tumbuh mempunyai sifat menempel pada dasar petri sedangkan sel yang mati akan mengambang di permukaan media, sehingga saat penggantian media sel yang mati akan ikut terbuang.
Sel fibroblast dari kultur primer yang sudah konfluen 60-70% dapat dipanen dan dibiakkan kembali sebagai sub kultur (kultur sekunder). Supernatan dibuang, sisa larutan FBS yang masih ada dalam petri dibilas menggunakan media RPMI sampai bersih, setelah itu ditambahkan trypsin 0,25% sebanyak 1 ml untuk melepaskan sel yang melekat pada dasar petri, kemudian diinkubasi selama 8 menit. Dengan pemberian trypsin, sel akan berbentuk bulat dan ukurannya menjadi lebih besar. Setelah inkubasi
sejumlah sel dapat dibiakkan kembali
sebagai sub kultur dengan memindahkan sejumlah sel ke TCF lainnya yang telah diisi media komplit 7 ml, selanjutnya disimpan kembali dalam inkubator CO2 dan media diganti tiap 3 hari. Apabila sel telah cukup banyak jumlahnya dapat dilakukan panen sel dan penghitungan jumlah sel untuk proses perlakuan yang akan diberikan selanjutnya. 4.6.2 Penghitungan Jumlah Sel Uji Adapun cara penghitungan sel adalah dengan cara sebagai berikut, terlebih dahulu larutan yang tersisa dalam TCF dibuang, setelah suspensi sel telah bersih dari FBS, dipindahkan ke dalam tabung sentrifus 15 ml yang telah diisi media RPMI, disentrifus 1500 rpm selama 10 menit. Tampak sel menjadi berwarna putih mengendap di bagian dasar, supernatan dibuang. Sel yang telah mengendap ditambahkan media komplit 1 ml dan dihomogenkan. Suspensi sel yang telah homogen diambil sebanyak 20µl, dimasukkan ke dalam well plate, kemudian tambahkan tripan blue 180µl lalu dihomogenkan.
Ambil sel sebanyak 10µl
masukkan ke dalam bilik hitung Neubauer, selanjutnya dihitung fibroblast dengan menggunakan
jumlah sel
mikroskop binokuler pembesaran 10x. Cara
penghitungannya adalah dengan menghitung seluruh sel fibroblast yang ditemukan dalam 4 buah kotak berukuran 4x4 pada bilik hitung, selanjutnya dilakukan dengan menggunakan perhitungan seperti berikut ini. n1+n2+n3+n4 x 10 6 : 10
Jumlah sel / ml = 4
n
= jumlah sel dalam masing masing bilik hitung
4
= jumlah bilik hitung
10 6 = konstanta jumlah sel per ml larutan 10 = jumlah pengenceran larutan
4.6.3 Uji Aktivitas In Vitro Sel fibroblast yang telah siap untuk diberikan perlakuan dibagi menjadi 3 kelompok dan sub kelompok dengan variasi dosis astaxanthin dan penyinaran UVB yaitu : Kelompok 1 : tanpa perlakuan apapun, sebagai kontrol. Kelompok 2 : dengan perlakuan pajanan UVB dosis bervariasi 25 mJ/cm², 50 mJ/cm², dan 100 mJ/cm². Kelompok 3 : dengan variasi dosis pajanan UVB 25 mJ/cm², 50 mJ/cm², dan 100 mJ/cm² yang sebelumnya
telah diberikan
variasi dosis 3 µM, 5 µM, dan 7 µM.
astaxanthin dengan
Untuk memudahkan dalam perlakuan penyinaran UVB, maka sel sel fibroblast ditempatkan pada 4 buah 96-well plate (2x10 4 sel/well), dimana satu buah well plate untuk menempatkan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun, dan 3 buah well plate masing masing untuk menempatkan kelompok sel yang diberikan penyinaran 25 mJ/cm2, 50 mJ/cm2 dan 100 mJ/cm2 (dengan astaxanthin dan tanpa astaxanthin). Setelah pemberian astaxanthin sesuai dosis maka semua kelompok sel tersebut diinkubasi terlebih dahulu selama 24 jam sebelum diberikan penyinaran. Sebelum penyinaran dilakukan media dari semua kelompok yang akan disinari dibilas dengan PBS sebanyak 2 kali, dan selanjutnya media diganti dengan PBS untuk tahap penyinaran. Setelah penyinaran selesai dilakukan sesuai dengan dosis perlakuan pada masing masing well plate, PBS diganti dengan media komplit dan diinkubasi selama 48 jam, dan selanjutnya akan dilakukan pengujian terhadap MMP-1. 4.6.4 Prosedur Pengujian MMP-1 Empat puluh delapan jam setelah perlakuan penyinaran, supernatan dari masing masing kelompok
tersebut dikumpulkan,
ekspresi MMP-1 dinilai
dengan menggunakan kit MMP-1 human MMP-1enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan dilakukan prosedur sebagai berikut: 1. Semua reagen dan sampel yang akan diukur diletakkan dalam ruangan dengan suhu kamar (18º- 25ºC). Reagen dipersiapkan terlebih dahulu, diencerkan atau dilarutkan sesuai dengan prosedur yang telah ada.
2. Masukkan 100 µl larutan standar dan sampel pada masing masing lubang sumuran. Setelah itu ditutup dengan lembaran penutup lempengan sumuran, dan diinkubasi selama 2,5 jam pada suhu ruangan. 3. Buang semua larutan yang ada dalam lubang sumuran, cuci sebanyak 4 kali dengan larutan buffer pencuci sampai tak ada yang tersisa. 4. Selanjutnya tambahkan 100 µl pendeteksi antibodi MMP-1(biotinylated antibody) pada masing masing lubang sumuran, dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu kamar dan gentle shaking. 5. Buang semua larutan yang ada pada lubang sumuran seperti pada langkah no 3. 6. Tambahkan 100 µl larutan streptavidine pada tiap lubang sumuran, diinkubasi selama 45 menit pada suhu kamar dengan gentle shaking. 7. Buang semua larutan seperti pada langkah no 3 8. Tambahkan 100 µl TMB one-step substrate pada tiap lubang sumuran, diinkubasi selama 30 menit pada ruang gelap dan suhu kamar dengan gentle shaking. 9. Tambahkan 50 µl Stop Solution pada tiap lubang sumuran dan segera dilakukan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm 4.7. Alur Penelitian
Adapun alur penelitian yang
dilakukan dapat digambarkan sebagai
berikut: Kulit Preputium
Kultur Fibroblast
Radiasi UVB ( mJ/ cm2 )
Radiasi UVB ( mJ/cm2) ) dan Astaxanthin (µM) UVB 25
Kontrol
P0
UVB 25
UVB 50
P1
P2
UVB 100
UVB 50
Astx 3
Astx 5
Astx 7
Astx 3
Astx 5
Astx 7
P4
P5
P6
P7
P8
P9
UVB 100 Astx 3
Astx Astx 5 7
P3
NILAI MMP-1 SETELAH 48 JAM
Gambar 4.7. Alur Penelitian in vitro
4.8 Analisis Data Data pada penelitian in vitro akan dianalisis sebagai berikut 1.
Analisis deskriptif
2.
Analisis Normalitas dan Homogenitas :
P10
P11
P12
a. Uji Normalitas data dengan Saphiro-Wilk Test didapatkan rerata data sampel berdistribusi normal (p>0.05). b. Uji Homogenitas dengan Levene’s test didapatkan data homogen (p> 0,05). 3.
Analisis Inferensial : Karena data berdistribusi normal dan homogen maka selanjutnya dilakukan analisis komparasi dengan Anova test. a. Post test kelompok kontrol, kelompok UVB dengan variasi dosis dan kelompok UVB + astaxanthin (dengan variasi dosis). b. Data beda (selisih) kelompok kontrol, kelompok UVB dengan variasi dosis dan kelompok UVB(dengan variasi dosis) + astaxanthin (dengan variasi dosis).
BAB V HASIL PENELITIAN
Proses penelitian dimulai dengan pembiakan kultur sel fibroblast selama ± 6 minggu dengan mengikuti prosedur standar pembuatan kultur sel. Setelah jumlah sel fibroblast mencukupi dilakukan pembagian kelompok, menjadi 1 kelompok kontrol dan 12 kelompok perlakuan yang sesuai dengan rancangan penelitian.Setelah pemberian perlakuan, pengukuran nilai absorbansi MMP-1 menggunakan ELISA reader, selanjutnya
analisis data dan pengolahan data
menggunakan Program Statistic Base SPSS 16,0 for Windows didapatkan hasil sebagai berikut 5.1 Uji Normalitas Data Data sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Lampiran 1. 5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada lampiran 2 ,3 dan 4. 5.3 Pajanan UVB 25 mJ/cm2 5.3.1 Uji Efek Pajanan UVB 25 mJ/cm2 Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 25 mJ/cm² Kelompok Subjek
N
Rerata
SB
Kontrol
4
0,11
0,001
UVB 25
4
0,32
0,014
UVB 25 + Ax 3 M
4
0,29
0,005
UVB 25 + Ax 5 M
4
0,25
0,002
UVB 25 + Ax 7 M
4
0,22
0,005
Tabel 5.1 diatas menunjukkan rerata
F
P
536,87
0,000
MMP-1 pada kelompok kontrol
adalah 0,11 ± 0,001, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 25 mJ/cm² adalah 0,32 ± 0,014, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 25 mJ/cm2 + astaxanthin 3 µM adalah 0,29 ± 0,005, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 25 mJ/cm2 + astaxanthin 5 µM adalah 0,25 ± 0,002, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 25 mJ/cm2 + astaxanthin 7 µM adalah 0,22 ± 0,005. Tabel 5.1 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan rerata MMP-1 berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Gambar 5.1 Grafik Sesudah Pajanan UVB 25 mJ/cm2
Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa dengan pajanan UVB 25 mJ/cm² meningkatkan MMP-1, dan dengan pemberian astaxanthin 3 µM, 5 µM, dan 7 µM sebelum dipajan UVB dosis yang sama tampak aktivitas MMP-1 mengalami penurunan. Untuk mengetahui beda rerata kelompok yang berbeda perlu dilakuan uji lanjutan dengan Least Significant Difference – test (LSD). Didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kelompok yang berbeda tersebut, hal tersebut ditunjukkan pada tabel 5.2.dengan uraian sebagai berikut 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok UVB 25 mJ/cm² didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok UVB 25 mJ/cm² + astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005.
3. Beda rerata antara kelompok UVB 25 mJ/cm² dengan kelompok UVB 25 mJ/cm² + Astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005. 4. Beda rerata antara kelompok UVB 25 mJ/cm² + astaxanthin dengan variasi dosis 3, 5, dan 7 µM menunjukkan nilai p<0,005. Hasil uji disajikan pada tabel 5.2 di bawah ini: Tabel 5.2 Analisis Komparasi antar Kelompok setelah pajanan 25 mJ/cm²
Kelompok Kontrol dan UVB 25 Kontrol & UVB 25+Ax 3 Kontrol & UVB 25+Ax 5 Kontrol & UVB 25+Ax 7 UVB 25 & UVB 25+Ax 3 UVB 25 & UVB 25+Ax 5 UVB 25 & UVB 25+Ax 7 UVB25+Ax3 & UVB25+Ax 5 UVB25+Ax3 & UVB25+Ax 7 UVB25+Ax5 & UVB25+Ax 7
5.4 5.4.1
Beda Rerata 0,20 0,18 0,13 0,11 0,02 0,07 0,10 0,05 0,08 0,03
P 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Interpretasi Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna
Pajanan UVB 50 mJ/cm2 Uji Efek Pajanan UVB 50 mJ/cm2 Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok
sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3 yang menunjukkan bahwa rerata MMP-1 pada
kelompok kontrol adalah 0,11 ± 0,001, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 50 mJ/cm² adalah 0,28 ± 0,004, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 50 mJ/cm² + astaxanthin 3µM adalah 0,25 ± 0,003, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 50 mJ/cm² + astaxanthin 5 µM adalah 0,19 ± 0,010, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 50 mJ/cm² + astaxanthin 7µM adalah 0,016 ± 0,008.
Tabel 5.3 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 50 mJ/cm² Kelompok Subjek
N
Rerata
SB
Kontrol
4
0,11
0,001
UVB 50
4
0,28
0,004
UVB 50 + Astax 3 M
4
0,25
0,003
UVB 50 + Astax 5 M
4
0,19
0,010
UVB 50+ Astax 7 M
4
0,16
0,008
F
P
438,44
0,000
Tabel 5.3 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan reratanya berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Gambar 5.2 Grafik Sesudah Pajanan UVB 50 mJ/cm2 Gambar 5.2 di atas menggambarkan bahwa aktivitas MMP-1 mengalami peningkatan setelah dipajan dengan UVB 50 mJ/cm², dan tampak MMP-1 mengalami penurunan pada kelompok yang diberikan astaxanthin 3µM, 5 µM, dan 7 µM sebelum dipajan dengan UVB dosis yang sama. Sebagai uji lanjutan untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berbeda dilakukan dengan Least Significant Difference – test (LSD), Dimana didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kelompok yang berbeda tersebut. Hasil uji tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok UVB 50 mJ/cm² didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok UVB 50 mJ/cm² + astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005.
3. Beda rerata antara kelompok UVB 50 mJ/cm² dengan kelompok UVB 50 mJ/cm² + Astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005. 4. Beda rerata antara kelompok UVB 50 mJ/cm² + astaxanthin dengan variasi dosis 3, 5, dan 7 µM menunjukkan nilai p<0,005. Hasil uji lanjutan LSD-test disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini. Tabel 5.4 Analisis Komparasi Antar Kelompok Setelah Pajanan UVB 50 mJ/cm² Kelompok
Beda Rerata
Kontrol & UVB 50 Kontrol & UVB50+Ax3 Kontrol & UVB50+Ax5 Kontrol & UVB50+Ax7 UVB 50 & UVB50+Ax3 UVB 50 & UVB50+Ax5 UVB50 & UVB50+Ax7 UVB50+Ax3 & UVB50+Ax 5 UVB50+ Ax3 & UVB50+Ax7 UVB50+Ax5 & UVB50+Ax 7
0,17 0,14 0,07 0,05 0,03 0,10 0,12 0,07 0,09 0,02
P 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001
Interpretasi Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna
5.5 Pajanan UVB 100 mJ/cm2 5.5.1 Uji Efek Pajanan 100 mJ/cm2 Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5, dimana nilai rerata MMP-1 kelompok kontrol
adalah 0,11 ± 0,001, rerata MMP-1 pada kelompok yang dipajan UVB 100 mJ/cm² adalah 0,12 ± 0,001, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 100 mJ/cm² + astaxanthin 3 µM adalah 0,11 ± 0,002, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 100 mJ/cm² + astaxanthin 5 µM adalah 0,10 ± 0,02, rerata MMP-1 pada kelompok UVB 100 mJ/cm² + astaxanthin 7 µM adalah 0,01 ± 0,02. Tabel 5.5 Rerata antar Kelompok Sesudah Pajanan UVB 100 mJ/cm² Kelompok Subjek
N
Rerata
SB
F
Kontrol
4
0,11
0,001
UVB 100
4
0,12
0,001
UVB 100 + Ax 3
4
0,11
0,002 144,82
UVB 100 + Ax 5
4
0,10
0,002
UVB 100 + Ax 7
4
0,10
0,002
P
0,000
Tabel 5.5 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan reratanya berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Gambar 5.3 Grafik sesudah pajanan UVB 100 mJ/cm² Gambar 5.3 di atas menggambarkan bahwa dengan pajanan UVB 100 mJ/cm² terjadi peningkatan MMP-1, dan dengan pemberian astaxanthin dosis 3 µM, 5 µM dan 7 µM sebelum pajanan UVB dosis yang sama terjadi penurunan aktivitas MMP-1. Sebagai uji lanjutan untuk mengetahui beda rerata antara kelompok dilakukan dengan Least Significant Difference – test (LSD). Dimana didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kelompok yang berbeda tersebut. Hasil uji disajikan pada tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6 Analisis Komparasi antar Kelompok setelah pajanan UVB 100 mJ/cm²
Kelompok
Beda Rerata
Kontrol & UVB 100 Kontrol & UVB100+Ax 3 Kontrol & UVB100+Ax 5 Kontrol & UVB100+Ax 7 UVB100&UVB100+Ax3 UVB100&UVB100+Ax5 UVB100& UVB100+Ax 7 UVB100+Ax3 & UVB100+Ax 5 UVB100+Ax3 & UVB100+Ax 7 UVB100+Ax5 & UVB 100+Ax7
0,010 0,005 0,010 0,014 0,016 0,018 0,024 0,004 0,008 0,004
P 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,002
Interpretasi Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbedabermakna Berbeda bermakna
Dari tabel di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok UVB 100 mJ/cm² didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok UVB 100 mJ/cm² + astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005. 3. Beda rerata antara kelompok UVB 50 mJ/cm² dengan kelompok UVB 100 mJ/cm² + Astaxanthin (variasi dosis 3, 5 dan 7 µM) menunjukkan nilai p<0,005. 4. Beda rerata antara kelompok UVB 100 mJ/cm² + astaxanthin dengan variasi dosis 3, 5, dan 7 µM menunjukkan nilai p<0,005.
BAB VI PEMBAHASAN
Berdasarkan pada teori yang telah diuraikan dimana pajanan ultra violet B mampu menimbulkan kerusakan pada nukleus, oleh karena DNA sebagai chromophore dari UVB. Akibat dari pajanan UVB yang menimbulkan keadaan stress pada sel fibroblast memicu pembentukan ROS. Hal tersebut akan mengaktifkan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor) dan sitokin pada permukaan membran sel. Akibatnya terjadi stimulasi jalur sinyal tranduksi MAP-kinase, aktivitas c-jun protein sebagai penyandi dan faktor transkripsi AP-1 meningkat. AP-1 adalah gen yang mengatur matriks metalloproteinase. Meningkatnya AP-1 berakibat
pada
terjadinya peningkatan sintesis matriks metalloproteinase, termasuk salah satunya adalah MMP-1. MMP-1 sebagai metalloproteinase utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi kolagen. Apabila kerusakan pada kulit akibat proses tersebut terjadi terus menerus dan perbaikan yang terjadi tidak sempurna maka hal ini lebih jauh menyebabkan terjadinya photoaging. Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan pada hasil penelitian in vitro tampak bahwa sinar ultra violet B berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan
MMP-1 yang dihasilkan oleh sel fibroblast, dimana
terjadi peningkatan nilai MMP-1 yang signifikan (p<0,05) pada kelompok kultur sel fibroblast yang disinari UVB dosis 25 mJ/cm2, 50 mJ/cm2, dan 100 mJ/cm2 jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan MMP-1 terjadi pada semua dosis. Pada penyinaran UVB 25 mJ/cm2
terjadi peningkatan MMP-1
sebesar 2,82 kali dari kontrol, pada dosis 50 mJ/cm2 meningkat sebesar 2,51 kali
dari kontrol dan pada dosis 100 mJ/cm2 meningkat sebesar 1,1 kali dari kontrol negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa MMP-1 dapat terbentuk pada berbagai
variasi dosis, bahkan hanya dengan dosis yang kecil dibawah daripada dosis terkecil yang menimbulkan eritema (MED) (Bernerburg dkk., 2000; Kim dkk., 2004; Rabe dkk., 2006; Moon dkk., 2008; Lee dkk., 2009). Peningkatan MMP-1 tertinggi pada penelitian ini
terjadi pada dosis penyinaran 25 mJ/cm2.
Peningkatan tampak sebesar 2,82 kali lipat dari MMP-1 pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan penyinaran UVB. Sedangkan pada dosis penyinaran 100 mJ/cm2 terjadi peningkatan MMP-1 sebesar 1,1 kali lipat dari kontrol, namun peningkatan pada dosis ini lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan MMP-1 pada dosis lainnya. Hal ini kemungkinan dapat terjadi oleh karena adanya kerusakan sel fibroblast akibat penyinaran dengan dosis yang lebih tinggi. Sebagai photoprotectan, astaxanthin dinyatakan mampu memberikan perlindungan pada kulit terhadap pajanan sinar ultra violet yang dapat memicu pembentukan singlet oksigen, radikal bebas, serta kerusakan yang ditimbulkan akibat pajanan tersebut seperti sunburn, inflamasi, imunosupresi, aging dan bahkan kanker kulit (Guerin dkk., 2003). Efek perlindungan tersebut di atas dapat dilihat dari kelompok kultur sel fibroblast yang mendapatkan perlindungan astaxanthin dengan berbagai variasi dosis sebelum diberikan pajanan sinar UVB dengan variasi dosis, secara umum menunjukkan hambatan ekspresi MMP-1. Hal tersebut terlihat dari penurunan ekspresi MMP-1 pada kelompok ini jika dibandingkan dengan kelompok kultur
sel fibroblast yang tidak mendapatkan perlindungan astaxanthin, dan dari hasil analisis menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Tampak hasil yang sigifikan pada kelompok kultur sel fibroblast yang mendapatkan perlindungan astaxanthin 3µM, 5µM, dan 7 µM sebelum dipajan dengan sinar UVB dosis 25 mj/cm2, 50 mJ/cm2, dan 100 mJ/cm2. Pada kelompok kultur sel fibroblast yang dipajan dengan dosis 25 mJ/cm2 dengan perlindungan astaxanthin 3 µM mengalami penurunan ekspresi MMP-1 sebesar 6,96 %, pada pemberian dosis astaxanthin 5 µM dan 7µM mengalami penurunan ekspresi MMP-1 sebesar 22,15 % dan 30,69 %. Pada kelompok kultur sel fibroblast yang dipajan dengan dosis 50 mJ/cm2 dengan perlindungan astaxanthin 3 µM, 5 µM, dan 7 µM tampak terjadi penurunan ekspresi MMP-1 berturut turut sebesar 9,61 %, 33,81 %, dan 40,56 % dibandingkan dengan kelompok kultur sel fibroblast yang tidak mendapatkan perlindungan astaxanthin. Pada kelompok kultur sel fibroblast yang dipajan dengan dosis 100 mJ/cm2 tampak dengan perlindungan astaxanthin dosis 3µM, 5 µM, dan 7 µM terjadi penurunan ekspresi MMP-1 berturut turut sebesar 13 %, 16,26 % dan 19,51 %. Dari hasil penelitian
tampaknya dengan perlindungan antioksidan
astaxanthin terjadi penurunan ekspresi MMP-1 akibat pajanan UVB dengan berbagai variasi dosis. Hal ini sesuai dengan sifat astaxanthin sebagai antioksidan, jika dilihat dari struktur dan mekanisme astaxanthin sebagai antioksidan yang mampu meredam singlet oksigen melalui mekanisme fisik dimana energi yang berlebih dari singlet oksigen akan
ditambahkan atau ditransfer ke struktur
karotenoid yang kaya akan elektron untuk diubah menjadi panas. Juga bereaksi
dengan radikal lainnya untuk mencegah dan menghentikan reaksi berantai (Tinkler dkk., 1994). Mekanisme tersebut menyebabkannya tidak bersifat sebagai prooksidan jika diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Dengan pemberian astaxanthin terjadi penurunan ekspresi MMP-1 dan diharapkan semakin kecil pula kerusakan jaringan kolagen yang terjadi sehingga proses penuaan dini pada kulit dapat diperlambat. Kemampuan astaxanthin untuk melindungi kulit dari penuaan dini akibat pajanan sinar ultra violet ini diharapkan dapat digunakan dalam kehidupan sehari hari. Mengingat negara kita memiliki intensitas matahari yang cukup tinggi sepanjang tahun dan aktivitas masyarakat sebagian besar dilakukan di luar ruangan. Penggunaan perlindungan fisik seperti baju lengan panjang, topi, dan payung tentunya akan lebih optimal jika digabungkan penggunaannya dengan astaxanthin gel yang dapat digunakan secara topikal untuk menambah cadangan antioksidan kulit. Hasil penelitian golongan karotenoid lainnya yang dilakukan secara in vitro pada sel fibroblast manusia menyatakan bahwa likopen, β-carotene, dan lutein secara signifikan dapat mengurangi peroksidasi lipid yang disebabkan oleh pajanan sinar UVB pada dosis yang optimal, sementara dengan dosis yang tinggi dapat menimbulkan efek prooksidan. Diperkirakan adanya level optimum yang bermanfaat sebagai efek proteksi pada penggunaan secara in vivo (Eichler dkk., 2002). Penggunaan karotenoid golongan xanthopyll ( lutein dan zeaxanthin) yang diberikan kombinasi oral dan topikal secara bersamaan secara simultan dinyatakan memberikan manfaat ganda, selain melindungi kerusakan pada kulit
yang disebabkan karena pembentukan radikal bebas akibat pajanan sinar ultraviolet,
mengurangi terjadinya peroksidasi lipid,
juga meningkatkan
kelembaban dan hidrasi kulit. Efek photoproteksi dari kombinasi penggunaan xanthophylls ini ternyata lebih kuat jika dibandingkan dengan pemberian secara oral atau topikal saja (Palombol dkk.,2007).
O’Connor dan O’Brien (1998)
menyatakan astaxantahin mampu mengurangi stress oksidatif yang ditimbulkan akibat pajanan sinar UVA, dan juga lebih efektif 100-200 kali dibandingkan dengan β-carotene dan lutein sebagai pencegahan terhadap proses photooksidasi lipid oleh pajanan sinar ultraviolet. Dari hasil penelitian oleh Suganuma dkk. (2009) dinyatakan bahwa pemberian perlindungan dengan astaxanthin dosis 4-8 µM segera setelah pajanan UVA secara signifikan mampu melemahkan induksi MMP-1 dan ekspresi Skin Fibroblast Elastase (SFE), astaxanthin memiliki efek perlindungan terhadap pajanan UVA yang dapat memicu terjadinya kerusakan DNA serta photoaging pada kulit. Dengan konsentrasi astaxanthin yang efektif perlindungan terhadap UVA adalah pada efek inhibisi ROS terhadap signaling cascade. Efek perlindungan astaxanthin menjaga integritas lapisan dermis dengan melindungi jaringan kolagen dibuktikan dari hasil penelitian Arakane (2002), dimana munculnya kerutan baru akibat pajanan sinar UVB pada tikus tanpa bulu dapat dikurangi
secara signifikan. Demikian pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yamashita (2002 dan 2006), menunjukkan bahwa astaxanthin mampu memperbaiki tanda tanda penuaan dini dimana dengan kombinasi astaxanthin
dan tokotrienol ataupun dengan astaxanthin saja
mampu
memperbaiki kelembaban kulit, mengurangi kerutan, dan memperbaiki elastisitas kulit. Pajanan sinar UV dengan dosis yang sangat rendah yang terjadi secara berulang terus menerus
ataupun timbulnya suatu stress oksidatif mampu
menimbulkan suatu inflamasi sub klinis,
dimana konsekuensi dari hal
ini
menimbulkan degradasi yang terus menerus dan remodeling matriks ekstrasel yang tak terorganisasi serta akumulasi kerusakan oksidatif pada kulit yang akan memicu premature aging. Paparan UV bahkan pada dosis rendah yang bersifat kronis dapat menimbulkan kerusakan dan memberi akibat yang nyata pada proses penuaan (Angernofer dkk., 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan tampak jelas bahwa dengan dosis tunggal penyinaran yang lebih kecil mampu memicu ekspresi MMP-1 sebagai enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen, apabila hal tersebut terjadi terus menerus dan berlangsung konstan tentunya dapat memicu proses penuaan dini pada kulit, dan dengan penggunaan astaxanthin tampaknya secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan ekspresi MMP-1.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai efek pemberian
astaxanthin dapat menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur fibroblast yang dipajan dengan sinar UVB dapat disimpulkan bahwa 1. MMP-1 dapat terpicu ekspresinya oleh pajanan sinar UVB dengan berbagai variasi dosis 2. Astaxanthin gel sebagai antioksidan dengan
berbagai variasi dosis
mampu menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur sel fibroblast yang dipajan dengan sinar UVB. 3. Pajanan sinar UVB dengan dosis minimal dapat memicu peningkatan ekspresi MMP-1 yang berakibat lebih jauh terhadap kerusakan jaringan kolagen. Apabila pajanan tersebut terjadi berulang secara terus menerus dapat berakibat terhadap kerusakan sel kulit, dan jika perbaikan yang terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan tidak sempurna maka lebih lanjut dapat pemberian
mengakibatkan proses penuaan dini (photoaging), dengan perlindungan
astaxanthin
sebagai
antioksidan
dapat
menurunkan ekspresi MMP-1 sehingga proses kerusakan sel kulit yang berdampak pada penuaan dini kulit dapat dihambat.
7.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang efek
astaxanthin terhadap ekspresi MMP-1 pada kultur sel fibroblast yang dipajan dengan sinar UVB.
DAFTAR PUSTAKA
Angernofer, C.K., Maes, D., Giacomoni, P.O. 2008. The Use of Natural Copounds and Botanicals in the Development of Anti Aging Skin Care Product. In: Nava Dayan, editor. Skin Aging Handbook, An Integrated Approach to Biochemistry and Product.William Andrew Inc. p.157-226 Arakane, K. 2002. Superior Research vol 5.
Skin Protection via Astaxanthin, Carotenoid
Baskoro, A., Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric Update Symposium. Bali 11-13 April 2008. Baumann, L. 2006. Cosmetic and Skin Care in Dermatology, in : Fitzpatrick T.B. et al, editors. Dermatology in General Medicine, Mc graw-Hill Book co. p. 2363-2367. Berneburg, M., Plettenberg, H., Krutmann, J. 2000. Photoaging of Human Skin. Photodermatology, Photoimunology, & Photomedicine. 16: 239-244. Biro Pusat Statistik (BPS). 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2005 . Badan Perencanaan pembangunan Nasional. BPS. United Population Fund. Jakarta. Campbell, D. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Design for Research. Boston: Houghton Miffin Company. p. 13-22. Cho,T.H., Lee, J.W., Lee, M.H. 2008. Evaluating the Cytotoxic Doses of Narrowband and Broadband UVB in Human Keratinocytes, Melanocytes, and Fibroblast. Photodermatology, Photoimmunology & Photomedicine. Vol 24. P.110-114. Choi, C.P., Kim, Y.I., Lee, J.W., Lee, M.H. 2007. The Effect of Narrowband Ultraviolet B on the Expressions of Matrix Metalloproteinase1,Transforming Growth Factor- β1 and Type 1 Collagen in Human Skin Fibroblast. Experimental Dermatology, Original Article. Department of Dermatology, Kyunghee University, Seoul, Korea. Chung, J.H., Cho, S., and Kang, S. 2004. Why Does the Skin Age? Intrinsic Aging , Photoaging and Their Pathophysiology. in: Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc. p. 1-23.
Chung, J.H., Seo, J.Y., Choi, H.R., Lee, M.K., Youn, C.S., Rhie, G., Cho, K.H., Kim, K.H., Park, K.C., and Eun, H.C. 2001. Modulation of Skin Collagen Metabolism in aged and Photoaged Human Skin In Vivo. The Journal of Investigative Dermatology. vol 117 no 5: p. 1218-1224. Cooper, R. 1997. Oxidant, antioxidant and Free Radicals, in Antioxidant, Woodland Health Series. p.1- 8 Eichler, O., Sies, H., Stahl, W. 2002. Divergent Optimum Level of Lycopene, βCarotene and Lutein Protecting Against UVB Irradiation in Human Fibroblast. Journal of Photochemistry and Photobiology. 75(5). 503-506 Federer, W.T. 1963. Experimental Design. Theory and Aplication. Oxford and IBG Publishing Co. New Delhi, India. Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S., Voorhees, J.J. 2002. Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging. Arch Dermatol. Department of Dermatology, University of Michigan, Ann Arbor. Vol 138: p. 1462-1470. Fisher, G.J., Quan, T., Purohit, T., Shao, Y., Cho, M.K., Varani, J., Kang, S., Voorhess, J.J. 2009. Collagen Fragmentation Promotes Oxidative Stress and Elevates Matrix Metalloproteinase-1 in Fibroblast in Aged Human Skin. The American Journal of Pathology, vol 174: p. 101-115. Fisher, G.J., Voorhees, J.J., Kang, S., Quan, T., He, T. 2004. Solar UV Irradiation Reduces Collagen in Photoaged Human Skin by Blocking Transforming Growth Factor-β TypeII Receptor/Smad Signaling. American Journal of Pathology. vol 165: no 3. p. 741 -758. Fourtanier, A., Moyal, D. 2004. Acute and Chronic effect of UV on skin, What Are They and How To Study Then. In: Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc. p. 15-31. Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging in Klatz, R. Anti Aging Medical Therapeutic Vol 5. The A4M Publication.Chicago. p. 43. Furr, H.C., Clark, R.M. 1997. Intestinal Absorption and Tissue Distribution of Carotenoid. Journal of Nutritional and Biocemistry, vol 8: p. 364-377. Gilchrest, B.A., Yaar, M. 2000. Aging of Skin. In: Fitzpatrick T.B. et al, editors. Dermatology in General Medicine, Mc Graw-Hill Book Co 2, p. 1386-1387. Goto, S. Kogure, K. Abe, K. 2001. Efficient Radical Trapping at The Surface and Inside the Phospholipids Membrane is Responsible for Highly Potent Antioxidant Activity of The Carotenoid Astaxanthin. Biochem, Biophys, Act 1521; p. 251-258.
Guerin, M., Huntley, M.E., Olaizola, M. 2003. Haematococcus Astaxanthin: Application for Human Health and Nutrition. Trends in Biotechnology Vol 2: p. 210-216 Junqueira, L.C., Carneiro, J., Kelley, R.O.1997. Histologi Dasar Kulit. Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal 357-369. Kaminer, M.S. 1995. Photodamage: Magnitude of the Problem. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science. p.3-9. Kim, Hyeon Ho., Shin, C.M., Park, Chi-Hyun., Kim, K.H., Cho, K.H., Eun, H.C. Chung, Jin Ho. 2005. Eicosapentaenoic Acid Inhibits UV-Induced MMP-1 Expression in Human Dermal Fibroblast. Journal of Lipid Research, Vol 46: p. 1712-1719. Kim, S.Y., Kim , S.J., Lee, J.Y., Kim W.G., Park,W.S., Sim Y.C., Lee, S.J. 2004. Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones against UV-Induced Skin Aging in Hairless Mouse Model. Original Research Journal of the American College of Nutrition , vol 23: p.157-162. Klatz, R. 2003. Acknowledgement in: Klatz, R. 2003 Anti Aging medical Therapeutics Vol 5..The A4M publication. Chicago. p. 3. Lee, Young-Rae, Noh, Eun-Mi, Jeong, E.Y., Yun, Eok-Kweon, Kim, J.H., Kwon, K.B., Kim, B.S., Lee, S.H., Park, C., Kim, Jong-Suk. 2009. Cordycepin Inhibits UVB-Induced Matrix Metalloproteinase Expression by Suppressing the NFκB Pathway in Human Dermal Fibroblast. Experimental and Molecular Biomedicine, Vol 41, p.548-554. Lyons, Nicole M., Obrien, Nora. M. 2002. Modulatory effect of an Algal Extract Containing Astaxanthin on UVA-Irradiated Cells in Culture. Journal of dermatological Science,Vol 30: p. 73-84. Moon, Hee Jung, Lee Soon Ryen, Shim, S,N., Jeong, S.H., Stonik, V.A., Rasskavov, Valery A., Zvyagintseva, T., Lee, Y.H. 2008. Fucoidan inhibits UVB-Induced MMP-1 Expression in Human Skin Fibroblast. Biol.Pharm.Bull.31(2). 284-289. O’Connor, I., O’Brien, N. 1998. Modulation of UVA Light-Induced Oxidative Stress by β-Carotene, Lutein, and Astaxanthin in Cultured Fibroblast. Journal Dermatology Science. 16. P. 226-230 Obagi, Z.E. 2000. Skin Health Concepts, in Obagi Skin Health Restoration & Rejuvenation. Springer. p.27-45 Palombo, P., Fabrizi, G., Ruocco,V., Ruocco, E., Fluhr, J., Roberts, R., Morganti, P. 2007. Beneficial Long-Term Effects of Combined Oral/Topical Antioxidant Treatment with the Carotenoids Lutein and Zeaxanthin on
Human Skin: a Double-Blind, Placebo-Controlled Study. Original Paper. Skin Pharmacol Physiol 20. p. 199-210 Pangkahila,W. 2007. Anti Aging Medicine Memperlambat Penuaan Meningkatkan kualitas Hidup. Penerbit Buku Kompas. Jakarta, hal 10-1 Pham-Huy, L.A., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidant in Disease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol 4: p. 89-96. Pinnel, R.S. 2003. Cutaneous Photodamage, Oxidative Stress, and Topical Antioxidant Protection, A Continuing Medical Education, American Academy of Dermatology. p. 1-19. Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P., Morison, W.L., Sauder, D.N. 2006. Photoaging : Mechanism and Repair, Continuing Medical Education, American Academy of Dermatology, Inc. p.1-19. Seltzer, J.L., Eisen, A.Z. 2006. The Role of Extracellular Matrix Metalloproteinases in Conective Tissue Remodelling. In: Fitzpatrick T.B. et al, editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book co, p 200-209. Smith, E.S. 2001. Demographics of Aging and Skin Disease, in Geriatric Dermatology part I. p. 63. Suganuma, K,. Nakajima, H, Ohtsuki, M. Imokawa, G. 2009. Astaxanthin Attenuates the UVA-Induced up-regulations of Matrix Metalloproteinase-1 and Skin Fibroblast Elastase in Human Dermal Fibroblast, Journal of Dermatological Science. Takahashi, K., Watanabe, M., Takimoto, T., Akiba, Y. 2004. Uptake and Distribution of Astaxanthin in Several Tissue and Plasma Lippoprotein in Male Broiler Chickens Fed Yeast (phaffia rhodozyma) with a High Concentration of Astaxanthin . British Poultry Science, Vol 45: p.133-138. Tinkler, J.H., Bohm, F., Scalch,W., Truscott, T.G. 1994. Dietary Carotenoid Protect Human Cells from Damage. Journal Photochemical Photobiology, Vol 26: p. 283-285. Tschachler, E., Morizot, F. 2006. Ethnic Differences in Skin Aging. In: Gilchrest, B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer. p. 23-31. Wasitaatmadja, S.M. 2007. Anatomi dan Faal kulit. dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI 2007. 7-8. WHO Report . 2010. WHOSIS (WHO Statistical Information System). Available at: http://apps.who.int/whosis/database/core/core_select_proccess.cfm/ Accesed Januari 9, 2011
Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan aplikasinya dalam kesehatan. Kanisius. Yaar, M. 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic Skin Agin., in : Gilchrest, B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer. p.10-21. Yaar, M., Gilchrest B.A.1995. Biochemical and Moleculer Changes in Photoaged Skin. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science.p. 168179. Yamashita, E. 2002. Cosmetic Benefit of the Supplement Health Food Combined Astaxanthin and Tocotrienol on Human Skin. Food Style 6(6). P. 112-117. Yamashita, E. 2006. The Effect of a Dietary Supplement Containing Astaxanthin on Skin Condition.Carotenoid Science.10.p91-95. Young, A.R. 2000. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet Radiation on the Skin, in: Fitzpatrick, T.B., et al ,editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book Co, 1275-1281. Yulianto, I. 2008. “The Changes of Fibroblast Cells due to UVB Irradiation in Various Doses an In Vitro Experimental” (disertasi). Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Lampiran 1 Uji Normalitas Data MMP-1 Berdasarkan Dosis Penyinaran 25 mJ/cm2, 50 mJ/cm2 , dan 100 mJ/cm2 Normalitas pada UVB 25 mJ/cm² Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok
Statistic
Data Kontrol 2
uvb 25 mJ/cm
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.329
4
.
.895
4
.406
.155
4
.
.998
4
.995
2
25 mJ/cm , Ax 3 µM
.226
4
.
.946
4
.691
2
.285
4
.
.817
4
.136
25 mJ/cm ,Ax 7 µM .283 a. Lilliefors Significance Correction
4
.
.820
4
.144
25 mJ/cm , Ax 5 µM 2
Normalitas pada UVB 50 mJ/cm² Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok
Statistic
Data Kontrol 2
uvb50 mJ/cm
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.329
4
.
.895
4
.406
.260
4
.
.912
4
.492
2
.262
4
.
.895
4
.408
2
.291
4
.
.804
4
.110
50 mJ/cm , Ax 7 µM .155 a. Lilliefors Significance Correction
4
.
.998
4
.995
50 mJ/cm , Ax 3 µM 50 mJ/cm , Ax 5 µM 2
Normalitas pada UVB 100 mJ/cm² Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok
Statistic
Data Kontrol 2
uvb100 mJ/cm
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.329
4
.
.895
4
.406
.208
4
.
.950
4
.714
2
100 mJ/cm , Ax 3 µM
.252
4
.
.882
4
.348
2
.305
4
.
.789
4
.084
100 mJ/cm ,Ax 7 µM .298 a. Lilliefors Significance Correction
4
.
.926
4
.572
100 mJ/cm , Ax 5 µM 2
Lampiran 2: Uji Homogenitas, Anova Test, dan LSD-test kelompok UVB 25 mJ/cm² Descriptives Data
N Kontrol UVB 25 mJ/cm2 25 mJ/cm2 3 uM 25 mJ/cm2 5 uM 25 mJ/cm2 7 uM Total
4 4 4 4 4 20
Mean Std. Deviation Std. Error .112250 .0012583 .0006292 .315750 .0136473 .0068237 .294500 .0049329 .0024664 .246500 .0020817 .0010408 .218750 .0045735 .0022867 .237550 .0735137 .0164382
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .110248 .114252 .294034 .337466 .286651 .302349 .243188 .249812 .211473 .226027 .203145 .271955
Minimum .1110 .3030 .2890 .2440 .2140 .1110
Maximum .1140 .3290 .3000 .2490 .2240 .3290
Homogenitas kelompok UVB 25 mJ/cm² Test of Homogeneity of Variances Data Levene Statistic 40.869
df1
df2 4
Sig. .128
15
ANOVA Data
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .102 .001 .103
df 4 15 19
Mean Square .025 .000
F 536.866
Sig. .000
Post Hoc Test Multiple Comparisons Dependent Variable: Data LSD
(I) klp2 Kontrol
UVB 25 mJ/cm2
25 mJ/cm2 3 uM
25 mJ/cm2 5 uM
25 mJ/cm2 7 uM
(J) klp2 UVB 25 mJ/cm2 25 mJ/cm2 3 uM 25 mJ/cm2 5 uM 25 mJ/cm2 7 uM Kontrol 25 mJ/cm2 3 uM 25 mJ/cm2 5 uM 25 mJ/cm2 7 uM Kontrol UVB 25 mJ/cm2 25 mJ/cm2 5 uM 25 mJ/cm2 7 uM Kontrol UVB 25 mJ/cm2 25 mJ/cm2 3 uM 25 mJ/cm2 7 uM Kontrol UVB 25 mJ/cm2 25 mJ/cm2 3 uM 25 mJ/cm2 5 uM
Mean Difference (I-J) -.2035000* -.1822500* -.1342500* -.1065000* .2035000* .0212500* .0692500* .0970000* .1822500* -.0212500* .0480000* .0757500* .1342500* -.0692500* -.0480000* .0277500* .1065000* -.0970000* -.0757500* -.0277500*
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725 .0048725
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.213886 -.193114 -.192636 -.171864 -.144636 -.123864 -.116886 -.096114 .193114 .213886 .010864 .031636 .058864 .079636 .086614 .107386 .171864 .192636 -.031636 -.010864 .037614 .058386 .065364 .086136 .123864 .144636 -.079636 -.058864 -.058386 -.037614 .017364 .038136 .096114 .116886 -.107386 -.086614 -.086136 -.065364 -.038136 -.017364
Lampiran 3: Uji Homogenitas, Anova test, dan LSD test kelompok UVB 50 mJ/cm² Descriptives Data
N Kontrol UVB 50 mJ/cm2 50 mJ/cm2 3 uM 50 mJ/cm2 5 uM 50 mJ/cm2 7 uM Total
4 4 4 4 4 20
Mean Std. Deviation .112250 .0012583 .281000 .0042426 .253750 .0038622 .185750 .0095699 .166500 .0080623 .199850 .0626076
Std. Error .0006292 .0021213 .0019311 .0047850 .0040311 .0139995
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum .110248 .114252 .1110 .274249 .287751 .2770 .247604 .259896 .2500 .170522 .200978 .1770 .153671 .179329 .1580 .170549 .229151 .1110
Maximum .1140 .2860 .2580 .1950 .1760 .2860
Homogenitas kelompok UVB 50 mJ/cm² Test of Homogeneity of Variances Data Levene Statistic 13.438
df1
df2 4
Sig. .113
15
ANOVA Data Sum of Squares Between Groups .074 Within Groups .001 Total .074
df 4 15 19
Mean Square .018 .000
F 483.436
Sig. .000
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons Dependent Variable: Data LSD
(I) klp2 Kontrol
(J) klp2 UVB 50 mJ/cm2 50 mJ/cm2 3 uM 50 mJ/cm2 5 uM 50 mJ/cm2 7 uM UVB 50 mJ/cm2 Kontrol 50 mJ/cm2 3 uM 50 mJ/cm2 5 uM 50 mJ/cm2 7 uM 50 mJ/cm2 3 uM Kontrol UVB 50 mJ/cm2 50 mJ/cm2 5 uM 50 mJ/cm2 7 uM 50 mJ/cm2 5 uM Kontrol UVB 50 mJ/cm2 50 mJ/cm2 3 uM 50 mJ/cm2 7 uM 50 mJ/cm2 7 uM Kontrol UVB 50 mJ/cm2 50 mJ/cm2 3 uM 50 mJ/cm2 5 uM
Mean Difference (I-J) -.1687500* -.1415000* -.0735000* -.0542500* .1687500* .0272500* .0952500* .1145000* .1415000* -.0272500* .0680000* .0872500* .0735000* -.0952500* -.0680000* .0192500* .0542500* -.1145000* -.0872500* -.0192500*
Std. Error .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713 .0043713
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .001
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.178067 -.159433 -.150817 -.132183 -.082817 -.064183 -.063567 -.044933 .159433 .178067 .017933 .036567 .085933 .104567 .105183 .123817 .132183 .150817 -.036567 -.017933 .058683 .077317 .077933 .096567 .064183 .082817 -.104567 -.085933 -.077317 -.058683 .009933 .028567 .044933 .063567 -.123817 -.105183 -.096567 -.077933 -.028567 -.009933
Lampiran 4 : Uji Homogenitas, Anova test, dan LSD test kelompok UVB 100 mJ/cm²
Descriptives Data
N Kontrol UVB 100 mJ/cm2 100 mJ/cm2 3 uM 100 mJ/cm2 5 uM 100 mJ/cm2 7 uM Total
4 4 4 4 4 20
Mean .112250 .122500 .107000 .102750 .098750 .108650
Std. Deviation .0012583 .0012910 .0018257 .0015000 .0017078 .0085734
Std. Error .0006292 .0006455 .0009129 .0007500 .0008539 .0019171
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .110248 .114252 .120446 .124554 .104095 .109905 .100363 .105137 .096032 .101468 .104638 .112662
Minimum .1110 .1210 .1050 .1010 .0970 .0970
Maximum .1140 .1240 .1090 .1040 .1010 .1240
Tes Homogenitas kelompok UVB 100 mJ/cm² Test of Homogeneity of Variances Data Levene Statistic .533
df1
df2 4
Sig. .714
15
ANOVA Data Sum of Squares Between Groups .001 Within Groups .000 Total .001
df 4 15 19
Mean Square F .000 144.819 .000
Sig. .000
Post Hoc Test
Multiple Comparisons Dependent Variable: Data LSD
(I) klp2 Kontrol
(J) klp2 UVB 100 mJ/cm2 100 mJ/cm2 3 uM 100 mJ/cm2 5 uM 100 mJ/cm2 7 uM UVB 100 mJ/cm2 Kontrol 100 mJ/cm2 3 uM 100 mJ/cm2 5 uM 100 mJ/cm2 7 uM 100 mJ/cm2 3 uM Kontrol UVB 100 mJ/cm2 100 mJ/cm2 5 uM 100 mJ/cm2 7 uM 100 mJ/cm2 5 uM Kontrol UVB 100 mJ/cm2 100 mJ/cm2 3 uM 100 mJ/cm2 7 uM 100 mJ/cm2 7 uM Kontrol UVB 100 mJ/cm2 100 mJ/cm2 3 uM 100 mJ/cm2 5 uM
Mean Difference (I-J) -.0102500* .0052500* .0095000* .0135000* .0102500* .0155000* .0197500* .0237500* -.0052500* -.0155000* .0042500* .0082500* -.0095000* -.0197500* -.0042500* .0040000* -.0135000* -.0237500* -.0082500* -.0040000*
Std. Error .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840 .0010840
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .001 .002 .000 .000 .000 .002
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.012560 -.007940 .002940 .007560 .007190 .011810 .011190 .015810 .007940 .012560 .013190 .017810 .017440 .022060 .021440 .026060 -.007560 -.002940 -.017810 -.013190 .001940 .006560 .005940 .010560 -.011810 -.007190 -.022060 -.017440 -.006560 -.001940 .001690 .006310 -.015810 -.011190 -.026060 -.021440 -.010560 -.005940 -.006310 -.001690
Lampiran 5 FOTO FOTO PENELITIAN 1.
PROSES PEMBUATAN KULTUR PRIMER
Kulit preputium
bagian dermis kulit yang telah dipotong kecil
Potongan jaringan yang siap untuk di kultur
Media RPMI 1640
Proses pembuatan media kultur
2.
Kultur Fibroblast
Hari ke V pembiakan sel, sel fibroblast mulai tampak jelas
Sel fibroblast
3.
sel fibroblast konfluen
Penghitungan Sel
Sel fibroblast mengendap berwarna putih
Bilik hitung Neubauer
sel fibroblast tampak dengan mikroskop
4.
Pembagian Kelompok dan Pemberian Perlakuan
Pembagian kelompok perlakuan dalam well plate
Kultur sel siap dipajan UVB
Solar Stimulator UVB
5.
Proses Pengukuran MMP -1
Persiapan Kit MMP-1
koleksi supernatan 48 jam post UVB
Proses pengukuran MMP 1
Pembacaan hasil dengan Elisa Reader