TESIS PELATIHAN LOMPAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET LEBIH BAIK DARI PADA PELATIHAN LONCAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET DALAM MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 60 METER SISWA PUTRA SMA NEGERI 1 AMARASI KABUPATEN KUPANG
MARKUS MASNENO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
1
TESIS PELATIHAN LOMPAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET LEBIH BAIK DARI PADA PELATIHAN LONCAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET DALAM MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 60 METER SISWA PUTRA SMA NEGERI 1 AMARASI KABUPATEN KUPANG
MARKUS MASNENO NIM: 1190361016
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
2
PELATIHAN LOMPAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET LEBIH BAIK DARI PADA PELATIHAN LONCAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET DALAM MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 60 METER SISWA PUTRA SMA NEGERI 1 AMARASI KABUPATEN KUPANG
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana
MARKUS MASNENO NIM. 1190361016
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
3
LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 01 JULI 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes NIP. 19660309 199802 1 003
Drs. Oktovianus Fufu,M.Pd NIP. 19601005 198803 1004
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Fisiologi Olahraga
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And. NIP. 19440201 196409 1001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) Nip. 19590215 198510 2001
4
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal : 01 Juli 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 0940/UN.14.4/HK/2013 Tanggal 01 Juli 2013
Ketua
: Dr.dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes
Anggota
:
1. Drs. Oktovianus Fufu, M. Pd 2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF 3. Drs. Lukas M. Boleng, M. Kes 4. Prof. Dr. dr. N. T. Suryadhi, MPH,Ph.D
5
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Markus Masneno
Nim
: 1190361016
Program Studi
: Magister Fisiologi Olahraga
Judul Tesis
: Pelatihan Lompat Gawang Setinggi 35 Cm 10 Repetisi 3 Set Lebih Baik Dari Pada Pelatihan Loncat Gawang Setinggi 35 Cm 10 Repetisi 3 Set Dalam Meningkatkan Kecepatan Pada Lari 60 Meter Siswa SMA Negeri 1 Amarasi Kabupaten Kupang
Dengan Ini Menyatakan Bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 07 Juni 2013 Yang membuat Pernyataan
(Markus Masneno)
6
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan segala kerendahan hati, kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga atas berkat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan Tesis berjudul “ Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set lebih efektif dari pelatihan Loncat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter siswa SMA Negeri 1 Amarasi ” dalam rangka memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar Bali. Pada kesempatan ini perkenankanlah kami menghaturkan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD, KHOM selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. 2. Samuel Haning, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas PGRI NTT atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K). Selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang deberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana pada Program Magister Universitas Udayana. 4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc,Sp.And sebagai Ketua Program Studi Magister Fisiologi Olahraga atas bimbingan selama mengikuti perkuliahan pendidikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. 5. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes selaku pembimbing I dalam penulisan tesis ini. 6. Drs. Oktovianus Fufu, M. Pd selaku pembimbing II dalam penulisan tesis ini. 7
7. Seluruh staf pengajar pada progran studi Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana yang telah banyak membantu membekali ilmu bagi penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. 8. Kepala SMA Negeri 1 Amarasi berserta seluruh staf pengajar dan pegawai, Kepala urusan kesiswaan dan Pembina osis atas segala bantuan dan partisipasi sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan jadwal. 9. Siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi yang dengan rela meluangkan waktu menjadi subjek dalam mengikuti pelatihan selama 6 minggu penelitian ini berlangsung. 10. Oni Simons Rafael, S. Pd dan Jenius Nuban S. Pd yang selalu setia membantu penulis dalam pengambilan data. 11. Teman – Teman seperjuangan pada progran pascasarjana Fisiologi Olahraga yang selalu membantu dan memberi dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. 12. Yosefince Ismail, S.Pd selaku istri dan kedua anakku tercinta Kristina Juwita Ekamanda Masneno
dan Chlara Eunike Masneno yang selalu
memberikan motivasi dan Doanya dalam menjalani pendidikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. 13. Teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selalu mendukung dan memberikan dorongan motivasi dalam menjalani proses pendidikan Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik, koreksi dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaannya. Dan tak ada kata yang lebih indah selain ucapan terima kasih, yang penulis sebutkan diatas kiranya Tuhan Yang Maha Esa sebagai maha penolong dan segala berkat atas semua budi baik yang kita lakukan.
8
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kepentingan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa datang. Denpasar, 01 Juni 2013 Penulis
Markus Masneno, S. Pd Nim: 1090361016
9
ABSTRAK
PELATIHAN LOMPAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET LEBIH BAIK DARI PADA PELATIHAN LONCAT GAWANG SETINGGI 35 CM 10 REPETISI 3 SET DALAM MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 60 METER SISWA SMA NEGERI 1 AMARASI KABUPATEN KUPANG Kecepatan lari jarak pendek dapat ditingkatkan dengan memperbaiki komponen biomotorik yang terkait untuk melakukan gerakan berkesinambungan dengan bentuk yang sama dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Untuk mendapatkan hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor pelatihan. Bentuk pelatihan yang telah dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelatihan lompat gawang setinggi 35 dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, selama 6 minggu pelatihan dengan frekwensi 3 kali seminggu terhadap peningkatan kecepatan lari 60 meter. Rancangan peneltian yang dipakai adalah Randomized pre and post-test control group design, sampel yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 20 orang siswa kelas I dan II SMA Negeri 1 Amarasi Kabupaten Kupang, dengan umur 15–19 tahun dari masing-masing kelompok adalah 10 orang yang diberikan pelatihan berbeda yaitu kelompok-1 diberikan pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, cm10 repetisi, 3 set, isterahat antar set 3 menit dan kelompok-2 diberikan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set, isterahat antar set 3 menit dengan kecepatan lari 60 meter diukur sebelum dan sesudah pelatihan. Data diuji dengan t-test paired untuk mengetahui rerata kecepatan sebelum dan sesudah pelatihan, Uji t-Independent untuk mengetahui perbedaan efek kecepatan lari antar kelompok sebelum dan sesudah pelatihan dengan batas kemaknaan α = 0.05(p<0,05). Rerata kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan pada kelompok1(lompat gawang) adalah 8,66±0,28 dan sesudah pelatihan 7,30±0,14 dengan selisih 1,36 = 15,70 % sedangkan rerata kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan pada kelompok-2 (loncat gawang) adalah sebesar 8,66±0,28 dan sesudah pelatihan 8,25±0,48 dengan selisih 0,31 = 3,62 %, yang menunjukkan rerata kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan antar kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu p = 0,519(p>0,05) dan sesudah pelatihan antar kedua kelompok adanya perbedaan bermakna yaitu p = 0,000 (p<,0,05). Dengan demikian pelatihan kelompok-1 dan pelatihan kelompok-2 dapat meningkatkan kecepatan lari 60 meter siswa SMA Negeri 1 Amarasi. Dapat disimpulkan bahwa pelatihan lompat gawang 35 cm lebih efektif meningkatkan kecepatan lari 60 meter. Untuk itu diharapkan kepada para pelatih dan guru olahraga yang melatih cabang olahraga lari untuk menerapkan pelatihan lompat dan loncat gawang dalam menberikan pelatihan. Kata Kunci: Pelatihan Lompat gawang, Pelatihan Loncat gawang, Hasil Kecepatan Lari 10
ABSTRACT
THE TRAINING OF WICKET JUMP AS HEIGHT 35 CM 10 REPETITIONS 3 SETS IS BETTER THAN THE TRAINING OF WICKET JUMP AS HEIGHT 35 CM 10 REPETITION 3 SET IN INCREASING RUN SPEED 60 METERS AT THE STUDENTS OF SMA NEGERI 1 AMARASI KUPANG REGENCY Improvemend short speed can be increased through biomotoric component which is related to conduct continuing the some move in the shortest time. The result can be influenced by various factors; amongothers is the training factor. The training that was conducted in this research is purposed to know the wicket jump as height 35 cm and the wicket jump as height 35 cm, during 6 weeks with the frequency 3 times a week to increase the speed of run 60 meters. The research design is randomized pre and post test control group design. The sample used in this research as 20 students in 1st and 2nd grade SMA Negeri 1 Kupang regency, with age range 15-19 years old from each group is 10 people that were given the different training, for group 1 is given the barrier jump as height 35 cm 10 repetitions 3 sets and the break time by set is 3 minutes. For group 2 is given a barrier jump as height 35 cm, 10 repetitions, 3 sets, and break time by set is 3 minutes with speed of run 60 meter is measured before and after training. The data was analysed by t-paired test to know the average of speed before and after training, t-independent test to know the difference of the run speed effect between group before and after training with the mean limit α = 0.05(p<0,05). The average of run speed 60 meters before training of group 1 (wicket jump) is 8,66±0,28 and after training 7,30±0,14 with difference 1,36 = 15,70 % while the average of run speed 60 meters before training at group 2 (wicket jump) as 8,66±0,28 and after training 8,25±0,48 with difference 0,31 = 3,62 %, that is showed the average of speed run 60 meters before training between two groups do not different mean is p = 0,519(p>0,05) and after mean between two groups was found a different mean is p = 0,000 (p<,0,05). Thus, the training of group 1 and the training of group 2 can increase the run speed 60 meters at the students of SMA Negeri 1 Amarasi. It can be concluded that the training of wicket jump 35 cm is more effective to increase the run speed 60 meters. That was suggested to trainer and sport teacher that was trained run sport branch to train the jump training and wicket jump. Key words: wicket jump training, the result of run speed
11
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...............................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .....................................................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xvi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 1.2. Kecepatan ..........................................................................................
8
2.2. Kekuatan ...........................................................................................
13
2.3. Daya Ledak21 2.4. Pelatihan Olahraga.......... .................................................................
27
2.5. Prinsip-Prinsip Pelatihan ...................................................................
30
2.6. Sistim Otot Rangka ...........................................................................
32
2.7. Sumber Energi .................................................................................
34
2.8. Pengaruh Pelatihan ...........................................................................
44
2.9. Faktor yang mempengaruhi kecepatan lari .......................................
47
2.10. Pelatihan Lompat dan Pelatihan Loncat .........................................
47
12
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir .............................................................................
51
3.2. Kerangka Konsep ..............................................................................
53
3.3. Hipotesis Penelitian ..........................................................................
54
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian .......................................................................
55
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
56
4.3. Populasi dan Sampel .........................................................................
56
4.3.1. Populasi ...................................................................................
56
4.3.2. Sampel .....................................................................................
56
4.3.3. Besar Sampel ..........................................................................
57
4.4. Variabel Penelitian ............................................................................
58
4.4.1. Variabel bebas .........................................................................
58
4.4.2. Variabel Tergantung ...............................................................
59
4.4.3. Variabel Kendali(Kontrol) ......................................................
59
4.5. Definisi Oprasional ...........................................................................
59
4.5.1. Pelatihan Lompat gawang ........................................................
59
4.5.2. Pelatihan Loncat gawang .........................................................
60
4.5.3. Kecepatan Lari 60 meter .........................................................
62
4.5.4. Kesegaran Jasmani ..................................................................
62
4.6. Instrumen Penelitian .........................................................................
62
4.7. Prosedur Penelitian ...........................................................................
63
4.7.1. Tahap Persiapan ......................................................................
63
4.7.2. Tahap Pelaksanaan ..................................................................
64
4.7.3. Tahap Pengukuran ..................................................................
65
4.8. Analisis Data ....................................................................................
68
4.8.1. Analisis Deskripsi ...................................................................
68
4.8.1. Analisis Komprasi ...................................................................
68
4.9. Alur Penelitian ..................................................................................
69
13
BAB V. HASIL PENELITIAN 5.1. Deskriptif Karakteristik Subjek ........................................................
70
5.2. Lingkungan Penelitian ......................................................................
71
5.3. Hasil kecepatan lari 60 meter ............................................................
72
5.3.1. Uji Normalitas .........................................................................
72
5.3.2. Uji Homogenitas .....................................................................
73
5.3.3. Uji Beda Rerata Kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah perlakuan .................................................................
74
5.3.4. Uji Perbedaan Kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah antar kedua kelompok perlakuan .............................
75
5.3.5. Presentase Peningkatan Kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan.............................................................
76
BAB VI. PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Subjek Penelitian .........................................................
78
6.2. Suhu Lingkungan Pelatihan ..............................................................
78
6.3. Peningkatan kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan ..............................................................................
79
6.4. Efektifitas pelatihan terhadap kecepatan lari 60 meter .....................
84
6.5. Presentase Peningkatan kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan ...............................................................................
87
6.6. Kelemahan penelitian .......................................................................
88
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan ..........................................................................................
89
7.2. Saran .................................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
91
LAMPIRAN ...................................................................................................
95
14
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan ....................................
10
Gambar 2.2. Perbedaan kekuatan otot absolut antara laki-laki dan perempuan
16
Gambar 2.3.Persamaan kekuatan relative terhadap besar otot antara laki-laki dan perempuan ...........................................................
17
Gambat 2.4. Perbedaan kekuatan otot menurut umur .....................................
17
Gambar 2.5. Perbandingan sistim saraf setelah latihan ..................................
20
Gambar 2.6. Persentase beban latihan ............................................................
27
Gambar 2.7. Struktur otot rangka ...................................................................
33
Gambar 2.8. Rumus bangun ATP ..................................................................
34
Gambar 2.9. Rumus bangun ATP ..................................................................
35
Gambar 2.10. Proses glikolisis anaerobic ......................................................
38
Gambar 2.11. Proses aerobic glikolisis ...........................................................
39
Gambar 2.12. Perbedaan glikolisis anaerobic dan aerobic .............................
40
Gambar 2.13. Siklus Kreb’s ............................................................................
41
Gambar 2.14. Sistim transport Elektron menurut Lamb .................................
43
Gambar 3.1. Kerangka Konsep ......................................................................
53
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian ................................................................
55
Gambar 4.2. Pelatihan lompat gawang ...........................................................
60
Gambar 4.3. Pelatihan loncat gawang .............................................................
61
Gambar 4.4. Cara pengukuran tinggi badan....................................................
66
Gambar 4.5. Pelatihan lari 60 meter ...............................................................
67
Gambar 4.6. Alur Penelitian............................................................................
69
Gambar 6.1. Grafik persentase rerata peningkatan kecepatan .........................
87
15
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Keuntungan dan kerugian program latihan isometric
21
dan isokinetik………………........………………………........ Tabel 2.2
Persediaan energi dalam tubuh melalui sistim ATP…..............
37
Tabel 2.3
Perubahan sistim syaraf setelah latihan…..............................…
46
Tabel 4.1
Kategori kesegaran jasmani dengan tes lari aerobik..................
62
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek penelitian .................................................
70
Tabel 5.2
Karakteristik Lingkungan Penelitian .........................................
71
Tabel 5.3
Uji Normalitas ..........................................................................
72
Tabel 5.4
Uji Homogenitas .......................................................................
73
Tabel 5.5
Uji beda rerata kecepatan sebelum dan sesudah pelatihan ........
74
Tabel 5.6
Uji Perbedaan Kecepatan antar kedua kelompok perlatihan ....
75
Tabel 5.7
Persentase Peningkatan Kecepatan lari......................................
77
16
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Ijin Penelitian Dari Udayana
Lampiran 2.
Ijin Penelitian dari Kesbang
Lampiran 3.
Ijin Penelitian dari Kecamatan Amarasi
Lampiran 4.
Keterangan Penelitian
Lampiran 5.
Pengukuran Suhu dan Kelembaban
Lampiran 6.
Data Karakteristik Kelompok 1 dan 2
Lampiran 7.
Uji Deskriptif Kelompok 1 dan 2
Lampiran 8.
Uji Normalitas dan Homogenitas
Lampiran 9.
Uji Deskriptif Pretes, Postes Kelompok 1 dan 2
Lampiran 10. Uji t-Paired Kelompok 1 Lampiran 11. Uji t-Paired Kelompok 2 Lampiran 12. Uji t-Indendent Lampiran 13. Gambar Pelatihan Lampiran 14. Daftar HadirPelatihan
17
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecepatan dan kekuatan merupakan unsur fisik yang sangat diperlukan pada banyak cabang olahraga, salah satunya cabang atletik khususnya pada nomor lari jarak pendek. Lari cepat merupakan perpindahan tubuh dari satu titik ke titik lainya yang dilakukan dengan gerakan berulang dan berkesinambungan oleh anggota gerak bawah yang erat kaitanya dengan komponen biomotorik lainya, terutama kekuatan, kelincahan, koordinasi, waktu reaksi dan daya tahan. Pada cabang olahraga atletik pada nomor lari jarak pendek, unsur yang paling besar adalah kekuatan dan kecepatan (Nala, 2002). Memang kedua unsur fisik tersebut merupakan komponen daya ledak yang umumnya diperlukan pada cabang olahraga, khususnya atletik pada nomor-nomor yang membutuhkan kontraksi otot yang cepat atau kuat terutama pada kegiatan yang membutuhkan waktu yang singkat. Nomor lari jarak pendek yang dimaksudkan adalah adalah lari jarak 100 meter, 200 meter, 400 meter. Pada jarak ini hampir dikatakan pada akhir – akhir ini tidak lagi menjadi ikon dalam setiap perlombaan atletik pada tingkat daerah, tingkat Nasional maupun tingkat Asia tenggara prestasi atlet lari 100 meter mengalami pasang surut. Melihat kenyataan tersebut maka diupayakan peningkatan prestasi kemampuan lari 100 meter. Usaha yang dilakukan antara lain dengan memberikan dan mengikutsertakan para pelatih pada pelatihan – pelatihan
18
untuk meningkatkan kualitas pelatih. Walaupun demikian juga disadari bahwa dengan pelatih yang berkualitaspun, semuanya akan menjadi gagal. Peranan kemampuan fisik dalam menunjang prestasi lari jarak pendek sangat penting sehingga atlet mempunyai kemampuan fisik yang baik tentu akan lebih berpeluang untuk berprestasi. Begitu pentingnya fisik bagi seorang atlet lari jarak pendek, sehingga sebelum terjun kearena perlombaan harus sudah dalam kondisi fisik yang baik yang bertujuan agar dalam suatu perlombaan dapat menghadapi intensitas kerja dan gejala stres yang bakal dihadapinya dalam suatu perlombaan. Di masa lalu Indonesia memiliki beberapa pelari ternama pada nomor lari 100 meter tersebut, misalnya Moch Sarengat dan Mardi Lestari. Mereka termasuk daftar pelari kenamaan Asia dan pemegang rekor lari 100 meter Asian Games pada tahun 1966 oleh Moch Sarengat. Pada tahun 1984 Purnomo mampu menembus semi final pada Olimpiade Los Angeles AS. Prestasi tersebut diikuti oleh Mardi Lestari pada Olimpiade Seoul 1988. Namun kini Indonesia tidak lagi memiliki sprinter putra yang hebat. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan pada nomor lari jarak pendek telah melahirkan beberapa upaya untuk meningkatkan prestasi atlet. Berdasarkan pengamatan selama ini dapat dikemukakan bahwa atlet lari jarak pendek selain mengenai fisik yang kurang mamadai juga penguasaan teknik dan program pelatihan yang belum maksimal secara baik. Untuk meningkatkan kemampuan lari jarak pendek, hal yang perlu diperbaiki salah satunya adalah memperbanyak bentuk pelatihan fisik untuk meningkatkan ketrampilan yang dilihat dari
19
kecepatan gerak kaki, reaksi kaki, dan daya ledak otot tungkai, untuk mendukung keberhasilan dalam melakukan gerakan lari jarak pendek. Kecepatan adalah komponen kondisi fisik yang esensial dalam cabang olahraga. Menurut Harsono (1988), dikatakan bahwa kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan yang sejenis secara berturut – turut dalam waktu yang sesingkat – singkatnya. Kecepatan dalam hal ini merupakan kecepatan bergerak untuk dapat melakukan pergerakan kaki yang cepat untuk mampu mengayunkan kaki bergerak ke depan dengan cepat. Oleh karena itu, untuk menghasilkan kecepatan bergerak yang cepat diperlukan kecepatan gerak kaki sebagai daya dorong untuk membantu gerakan tungkai pada saat melakukan ayunan. Ekplosif power (daya ledak) ini dapat dikembangkan melalui latihan kekuatan dan kecepatan (Azmi, 2000), jadi otot yang mempunyai daya ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai kekuatan dan kecepatan yang baik. Secara khusus power otot tungkai (anggota gerak bawah) dapat ditingkatkan dengan pelatihan pliometrik. Melompat atau meloncat adalah salah satu jenis pelatihan pliometrik. Semua gerakan dalam pliometrik, baik melompat atau meloncat yang dikerjakan dengan cepat dan kuat sangat efektif untuk meningkatkan power otot tungkai, karena gerakan-gerakan tersebut sangat memungkinkan untuk memacu koordinasi kecepatan rangsang saraf dan kontraksi otot ( Radcliffe and Farentinos, 1985). Untuk meningkatkan unsur-unsur fisik tersebut di atas, dapat dicapai melalui pelatihan yang terukur dan teratur. Kecepatan lebih banyak ditujukan untuk
20
meningkatkan kecepatan gerakan lari, bukan kecepatan ayunan lengan atau tungkai.( Nala, 2011). Daya ledak adalah product of force and velocity. Maksudnya bahwa daya ledak adalah hasil dari kekuatan dan kecepatan ( Harsono, 1998 ). Sedangkan pelatihan daya ledak dititikberatkan pada sekelompok otot yang digunakan. Maka untuk lebih efisien dalam pelatihan kecepatan dan kekuatan digunakan bentukbentuk pelatihan yang paling dekat dengan gerakan-gerakan lari cepat. Menurut Fridrich (1969), daya ledak dapat dikembangkan secara singkat melalui dorongan dari otot, seperti : pelatihan lompat, dan pelatihan loncat. Untuk meningkatkan daya ledak
melalui pelatihan plyometrik, karena merupakan
pelatihan yang terbaik untuk mengembangkan daya ledak . Adapun bentuk-bentuk pelatihan plyometrik yaitu lompat gawang dan loncat gawang dengan takaran yang disesuaikan dengan kemampuan maksimal individu. Hal ini disebabkan karena kedua bentuk pelatihan ini menekankan pada peningkatan power khususnya otot-otot ekstensor untuk bergerak kedepan dan mempunyai kesamaan dengan tipe gerakan saat berlari yaitu menggunakan salah satu kaki untuk mendorong tubuh bergerak ke arah depan sehingga akan meningkatkan kecepatan lari jarak pendek. Pelatihan lompat gawang dan loncat gawang akan diperoleh suatu bentuk perubahan pemindahan titik berat tubuh dengan cepat yaitu sekitar pusat dasar tumpuan yang bermanfaat untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh yang merupakan faktor penunjang kecepatan lari. Selain itu pemilihan lompat gawang setinggi 35 cm dan loncat gawang setinggi 35 cm didasarkan pada steptes untuk tingkat kesegaran jasmani Indonesia (DEPDIKNAS, Jakarta 2002),
21
bahwa tinggi bangku (Gawang) steptes anak usia 14- 19 tahun adalah 35 cm, didasarkan pada pedoman tersebut bahwa untuk meningkatkan kecepatan perlu progran pelatihan untuk menambahkan kekuatan dan menaikan kecepatan pada gerakan tungkai dalam memperbaiki lari cepat dan gerakan-gerakan cepat, harus dilakukan suatu pelatihan
yang mengunakan pergantian tungkai melompat,
meloncat khususnya kerja fleksi dan ekstensi pada paha dan pinggul dengan takaran yang tepat sedangkan (Sharkey
2011) mengemukakan bahwa tinggi
rintangan untuk putra adalah 15 inci atau 35 cm sedangkan untuk puti adalah 13 inci atau 33 cm. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tinggi 35 cm dengan pertimbangan untuk anak pemula dengan usia 14-19 tahun tidak mendapat hambatan hambatan dalam pelatihan. Dalam cabang olahraga atletik ada lomba lari jarak pendek dengan nomor 100 meter, 200 meter dan 400 meter tetapi untuk anak usia 14-19 tahun setingkat SMA guna mengukur kecepatan lari maka dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana pelatihan lompat gawang dan pelatihan loncat
terhadap terhadap kecepatan pada lari 60 meter. Karena bentuk-bentuk pelatihan lompat dan loncat merupakan bentuk pelatihan yang dipergunakan untuk melatih daya ledak, kecepatan dan kekuaatan (Azmi, 2000). Namun sejauh ini kelihatannya informasi penelitian tentang kedua bentuk pelatihan tersebut sangat minim. Penelitian ini dilakukan pada siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi, dengan pertimbangan bahwa anak umur 14-19 tahun setingkat SMA kelas I dan II, Untuk mengukur kecepatan dengan jarak 60 meter. Amarasi juga merupakan Gudang
22
atlet lari jarak pendek maupun lari jarak jauh seperti Feri Subnafeu dan Nijai Amnifu,
namun harapan ini tidak pernah dikembangkan sehingga tidak ada
regenerasi atlet khusunya dari Amarasi, yang mana didukung dengan daerah ketinggian dan suhu udara yang dingin. Pertimbangan lain memilih siswa SMA Negeri 1 Amarasi sebagai subjek penelitian karena peneliti merupakan guru olahraga subjek penelitian. Sehingga mereka akan sangat serius dan disiplin dalam melakukan pelatihan selama penelitian berlangsung Berdasarkan penulisan di atas, maka penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian tentang. “ Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm sepuluh (10) repetisi tiga (3) set istirahat antar set tiga (3) menit, tiga (3) kali seminggu selama enam (6) minggu dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm sepuluh (10) repetisi tiga (3) set istirahat antar set tiga (3) menit, tiga (3) kali seminggu selama enam (6) minggu terhadap kecepatan lari 60 meter siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi”. Penelitian mengenai hal tersebut belum ada yang melakukannya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada pendahuluan dan ditunjang beberapa materi dan teori yang terdapat dalam kajian pustaka, maka dapat dirumuskan masalah penelitian pada cabang olahraga atletik yaitu: “Apakah
pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi tiga set
istirahat antar set tiga menit, tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik dari pada pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi tiga set istirahat
23
antar set tiga menit, tiga kali seminggu selama enam minggu dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi”? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui metode pelatihan yang menghasilkan kecepatan lari 60 meter lebih baik dari kedua tipe pelatihan yaitu pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set dengan istirahat antar set 3 menit selama 6 minggu dengan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set istirahat antar set 3 menit selama 6 minggu. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis: Pengembangan teori dan wawasan atlet maupun pelatih serta memperoleh konsep ilmiah tentang metode pelatihan dalam meningkatkan kecepatan lari jarak pendek 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini sebagai acuan oleh pelatih dan atlet untuk diterapkan di lapangan dalam meningkatkan kecepatan lari pada nomor lari jarak pendek.
24
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecepatan Kecepatan menurut Javer (1989), merupakan kemampuan untuk bergerak dengan sangat baik, cepat dan tepat. Sejalan dengan pendapat itu, Nala (2011) mendefenisikan kecepatan adalah Kemampuan untuk mengerjakan suatu aktifitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat – singkatnya. Kecepatan juga diartikan sebagai jarak persatuan waktu, yaitu kecepatan diukur dengan satuan jarak di bagi dengan satuan waktu Mathews (1979). Kecepatan merupakan hasil tenaga yang bertindak menurut masa Mathews (1979). Dalam dasar gerak manusia, masa merupakan badan atau salah satu anggota badannya, dan tenaga merupakan kekuatan otot yang digunakan oleh individu menurut masa yang digerakkan. Nala(2011), mendefinisikan kecepatan merupakan kemampuan untuk berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari suatu titik ketitik yang lainya atau untuk mengerjakan suatu aktifitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang singkat. Corbin (1980), syarat dari kecepatan tergabung dalam tiga bagian: reaksi waktu, frekuensi bergerak unit per menit, dan kecepatan bergerak
25
melampaui jarak yang diberikan. Hubungan antara ketiga faktor ini sangat membantu untuk meramal penampilan bagi setiap latihan yang memerlukan kecepatan. Berger
(1982) berpendapat bahwa kecepatan bergerak merupakan
kwalitas yang memungkinkan orang merubah arah untuk melaksanakan gerakkan yang sama atau tidak sama secepat mungkin. Manurut Nossek (1982), ada tiga macam kecepatan yaitu kecepatan sprint (sprinting speed), kecepatan reaksi (reaction speed) dan kecepatan bergerak (reaction of movement). Kecepatan sprint adalah kemampuan organisme untuk bergerak ke depan dengan cepat. Kecepatan reaksi adalah kecepatan menjawab suatu rangsangan dengan cepat, rangsangan itu dapat berupa suara ataupun pendengaran serta penglihatan. Kecepatan bergerak adalah kecepatan mengubah arah dalam gerakkan yang utuh. Penentu ketiga macam kecepatan tersebut satu dengan lainnya sangat berbeda. Kecepatan sprint banyak ditentukan oleh kekuatan otot, persendian. Sedangkan kecepatan reaksi ditentukan oleh iribilitas susunan syaraf, daya orientasi situasi, ketajaman panca indra. Kecepatan bergerak ditentukan oleh kekautan otot, daya ledak, daya koordinasi gerakkan, kelicahan dan keseimbangan (Nossek, 1982). Faktor-faktor penentu dari kecepatan menurut Berger(1982), frekwensi rangsangan yang tergantung kepada kemauan (will power), kebulatan tekat serta mobilisasi syaraf, kecepatan kontraksi otot, tingkat otomatisasi gerak, dan keadaan kwalitas-kwalitas otot tertentu misalnya tenaga ledak otot.
26
Kecepatan gerak dipengaruhi oleh berat badan, jenis otot, tebal lemak tubuh, kelentukan otot, kekuatan dan percepatan, panjang otot dan beberapa ciri mekanik struktur tubuh. Nossek (1982), berpendapat bahwa kecepatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dilihat pada gambar 2.1 : Proses Mobilitas
Rangsangan
Kekuatan kecepatan dan ketahanan
KECEPATAN
Konstraksirelaksasi
Teknik Olahraga
Kemauan
Kelentukan Otot
Kapasitas Kontraksi dan Peregangan otot.
Koordinasi otot antara sinergis dan antagonis Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi kecepatan.
Kecepatan dapat dibentuk oleh panjang langkah dan banyaknya langkah atau frekwensi langkah per detik. Kekuatan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam bergerak cepat dan untuk memperbaiki kecepatan harus dilakukan perbaikan.
27
koordinasi antara sinergis dan antagonis (Nossek, 1982). Hal ini diperkuat dengan pendapatnya Jansen (1978), kenaikan koordinasi otot akan meningkatkan kecepatan dari gerakkan khusus. Kecepatan akan meningkat oleh peningkatan kekuatan otot dengan memperbaiki efisisensi dari mekanika gerakkan Jansen (1979). Kemampuan kecepatan kontraksi otot merupakan kwalitas bawaan sejak lahir, akan tetapi dalam kecepatan gerak tertentu terutama dalam lari cepat dapat diperbaiki dengan bentuk latihan teknik yang tepat dan terus-menerus. Untuk meningkatkan kecepatan ada beberapa cara atau metoda, (Fox, 1984) menganjurkan bahwa untuk meningkatkan kecepatan dengan menambah program-program pelatihan untuk mendorong atlit supaya : mengambil langkah yang panjang, mengangkat tungkai yang tinggi, menambah kekuatan yang besar pada tungkai dan atau menaikkan kecepatan dari gerakkan tungkai. Dalam meningkatkan kecepatan, yang paling penting adalah prinsip penambahan beban, yang diberikan dalam bentuk latihan untuk mencapai beberapa gerakan tubuh dalam periode waktu yang singkat Fox (1981), kecepatan juga dapat ditingkatkan melalui pelatihan daya ledak (Fox, 1981). Harre (1982) menyatakan bahwa latihan kecepatan yaitu berprinsip bahwa otot itu harus berkontraksi secara berulang-ulang dengan secepat-cepatnya. Kecepatan ditentukan pada latihan kecepatan akan dibentuk pada kecepatan gerakan yang tinggi (Harre, 1982). Nossek (1982), mengidentifikasikan bahwa latihan kecepatan meliputi : a. Mengulang-ulang jarak tertentu dengan kecepatan maksimum. b. Peningkatan kecepatan dari waktu ke waktu dengan jarak yang sama.
28
c. Menempuh jarak tertentu dengan kecepatan yang ditentukan. d. Intensitas sub maksimum dan maksimum. e. Jarak antara 30 sampai 80 meter. f. Jumlah volume antara 10 – 16 repetisi dengan 3 – 4 set. g. Kecepatan dilatih setiap hari atau 2- 3 kali per minggu. Untuk mengembangkan kecepatan, Bompa (1983) menggunakan metode : a. Metode pengulangan. b. Intensitas tingi, dengan irama yang meningkat. c. Metode hambatan / rintangan. d. Permainan dan peyampaian. e. Metode “speed barrier Kecepatan dapat ditingkatkan dengan latihan yang berintensitas sub maksimum sampai maksimum Bompa (1983), dengan cara meningkatkan kecepatan pada unit tunggal, meningkatkan kecepatan dengan pengulangan, dan percepatan. Kecepatan merupakan gerakan yang tepat dan kuat, maka dengan itu gerakan tersebut tidak dapat berlangsung lama, dan hanya mampu dipertahankan beberapa detik saja, karena gerakan cepat ditentukan oleh kapasitas anaerobic, sedangkan kapasitas anaerobic ditentukan oleh : 1. Persediaan ATP-PC dan Glikogen otot. 2. Prosentase serabut cepat 3. Kemampuan menanggung beban asam laktat.
29
4. Aktifitas enzim yang berperan pada metabolism anaerobic dan sistim glikogen (Bompa, 1983). Margaria dkk (1966) menyatakan bahwa untuk mengukur kecepatan biasanya menggunakan kecepatan lari 60 meter. Sesuai dengan yang didapat informasi penelitian antara 5 sampai dengan 6 detik untuk mencapai kecepataan maksimal Margaria (1966). Jarak kecepatan maksimum atau 1% dibawah, diperoleh jarak untuk tingkat penampilan antara 20 sampai 45 meter. Hal itu tepat karena merupakan jarak yang optimal untuk atlit yang berpengalaman antara 35 samapi 85 meter, sedangkan untuk atlit pemula antara 20 sampai 60 meter (Margaria, 1966). Dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur kecepatan dapat memakai lari 20 sampai 80 meter. Sedangkan dari ACSPFT (60), kecepatan diukur dengan lari cepat berjarak 60 meter. 2.2. Kekuatan Kekuatan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan harus dimiliki oleh seorang atlit, karena setiap penampilan dalam olahraga memerlukan kekuatan otot disamping unsu-unsur lainnya Menurut Sharkey (2011), mendefinisikan kekuatan sebagai jumlah maksimum dari penggunaan tenaga oleh otot. Kekuatan ini mungkin dinilai oleh ketentuan tenaga maksimum untuk satu usaha. Sedangkan Fox (1984), mengartikan kekuatan sebagai tenaga atau ketegangan suatu otot, atau lebih jelasnya sekelompok otot yang dapat digunakan untuk menahan pada suatu usaha yang maksimal.
30
Kekuatan juga didefinisikan sebagai kemampuan maksimal untuk melakukan atau melawan gaya . Stull (1980), mengatakan bahwa kekuatan adalah sejumlah tegangan maksimal dimana otot dapat melakukannya dalam suatu kontraksi tunggal. Kirkley (1985), menyatakan bahwa kekuatan merupakan kemampuan sekelompok otot untuk menggunakan kekuatan untuk melawan beban. Di dalam kegiatan olahraga, kualitas kekuatan dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut (Kirkly, 1985) : 1. Tubuh atlit yang digerakan seperti lari, lompat, renang dan lainnya. 2. Alat yang dapat digerakan seperti : peluru, cakram, martil, bola dan lainnya. 3. Melawan aksi otot seperti gulat, judo. Dalam istilah fisika atau force sering ditandai dengan rumus f = m x a (hasil dari masa dan percepatan). Menurut Harre (1982), membagi kekuatan menjadi 3 (tiga), ditinjau dari segi latihan yaitu : a. Kekuatan maksimal. b. Kekuatan daya ledak c. Kekuatan daya tahan Menurut Bompa (1983), membagi tipe-tipe kekuatan sebagai berikut: 1. Kekuatan umum yaitu kekuatan keseluruhan dari sistem otot. 2. Kekuatan khusus yakni dipertimbangkan untuk kekuatan hanya dari otot yang penting untuk gerakan dalam seleksi olahraga. 3. Kekuatan maksimum menunjukkan untuk force yang tinggi bahwa akan dibentuk oleh sistim syaraf otot selama kontraksi terkendali.
31
4. Ketahanan otot bisanya diartikan sebagai kemampuan otot untuk membantu otot-otot bekerja untuk periode waktu tertentu. 5. Power yaitu produk dari dua kemampuan : kekuatan dan kecepatan, dan pertimbangan untuk kemampuan dari penampilan force maksimum dalam periode waktu yang pendek. 6. Kekuatan absolute dan kekuatan relatif, kekuatan absolute merupakan berat beban maksimal yang mampu dipindahkan oleh berat badannya. Sedangkan kekuatan relatif merupakan kekuatan maksimal yang dapat dipindahkan dibagi berat badan. O’Shea (1986), membagi kekuatan otot menjadi dua yaitu kekuatan dinamis dan kekuatan statis. Kekuatan dinamis adalah menunjukkan pada kekuatan otot dapat digunakan ketika gerakan jelas diperlihatkan pada bentuk kerja, misalnya mengangkat beban. Kekuatan statis adalah ditunjukkan pada penggunaan force otot ketika kelihatan tidak nyata bergerak atau menyelesaikan kerja (O’Shea, 1986). Kalau dilihat dari kekuatan laki-laki mempunyai kekuatan lebih besar dibandingkan pada perempuan, kekuatan perempuan itu 1/2 atau 1/3 dari kekuatan laki-laki. (lihat gambar 2). Kalau dipandang dari kekuatan relatif terhadap besar otot antara laki-laki dan perempuan mempunyai kekuatan yang sama (O’Shea, 1986), lihat gambar 3. Disamping jenis kelamin, kekuatan juga dipengaruhi oleh umur atlit (O’Shea, 1986), lihat gambar 4. Banyak faktor yang mempengaruhi kekuatan, menurut Lamb, (1984), diantaranya adalah tipe fiber otot, panjang otot,
32
besarnya cross bridge. O’Shea (1986), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan yaitu 1. Aspek anatomis dan fisiologis. a. Jenis serabut otot rangka b. Luas otot rangka yang bersangkutan c. Jumlah cross bridge yang terlibat. 2. Aspek biokimia fisiologis. Sistim metabolisme energi, terutama metabolisme anaerobic. 3. Aspek biomekanis kinesiologis a. Sudut persendian. b. Kecepatan. c. Interaksi posisi antara bagian tubuh dengan sistim mekanika gaya secara keseluruhan.
Gambar 2.2. Perbedaan kekuatan otot absolute antara laki-laki dan perempuan (Fox dan Mathews, 1981)
33
Gambar 2.3. Persamaan kekuatan relative terhadap besar otot antara laki-laki dan perempuan (Fox dan Mathews, 1981) Pelatihan
beban
merupakan
cara
yang
paling
efektif
untuk
mengembangkan kekuatan. Supaya mempunyai pengaruh, maka beban yang diberikan harus lebih besar dari pada beban yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Mathews, 1981). Beban yang digunakan tidak selamanya merupakan beban dari luar saja, tetapi beban pelatihan dapat pula beban yang berupa berat badan atlit itu sendiri, terutama apabila atlit yang dilatih itu masih muda atau pemula (Mathews, 1981).
Gambar 2.4. Perbedaan kekuatan otot menurut umur pada atlit. (Lamb, 1984)
34
Pelatihan beban hendaknya dapat merangsang sistim fisiologis dalam tubuh, dan setiap penambahan beban hendaknya dapat memberikan tekanan pada otot-otot dalam ambang rangsang. Oleh karena itu beban harus ditingkatkan sesuai dengan kemampuannya, hal ini dikenal dengan prinsip beban bertambah. Ada beberapa cara / metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan menurut Nossek (1982) yaitu metode pengulangan (repetisi), metode interval, metode latihan isometric, metode latihan piramida (kenaikan beban bertingkat), metode kekuatan maksimum (detraining). Menurut Wirhed (1984), meode yang paling cepat meningkatkan kekuatan otot adalah sistim piramida. Beberapa ahli menyatakan bahwa untuk meningkatkan kekuatan otot pada dasarnya dapat menggunakan latihan isomterik, latihan isotonic, dan latihan isokinetik. Pelatihan Kekuatan Isometrik. Latihan isometric adalah bentuk pelatihan kekuatan dimana otot pada saat berkontraksi menahan beban, tidak mengalami ukuran panjang. Dan dalam melakukan latihan isometrik harus dilakukan dengan maksimal (Wirhed, 1984). Latihan ini mudah dilaksanakan dan alatnya cukup sederhana. Pyke (1980) mengemukakan bahwa latihan isometrik yang ideal adalah : kontraksi harus maksimum, ditahan selama 5 detik serta diulangi sebanyak 5 atau 6 kali, dengan diberikan waktu istirahat secukupnya. Dan efek yang ditimbulkan akan terlihat setelah latihan selama 2 bulan dengan frekwensi latihan 3 kali perminggu. Pembebanan dalam latihan isometric akan efektif bila beban paling sedikit 90% dari kekuatan maksimum (Pyke, 1980).
35
Nossek (1982), menyatakan bahwa latihan isometric sebaiknya dengan usaha maksimum 80 sampai 100% dan dilaksanakan selama 9 sampai 12 detik. Pelatihan Isotonik Latihan isotonik adalah merupakan bentuk pelatihan beban, dimana pada saat otot melawan beban, otot berkontraksi secara dinamis, sehingga otot mengalami pemendekan dan pemanjangan yang berulang-ulang. Nossek (1982), mengatakan bahwa kontraksi isotonik yaitu kontraksi aktif dan dilakukan dengan suatu pemendekan atau merubah jarak otot. Latihan isotonik yang pertama kali diperkenalkan oleh Delorme dan Watkins mempunyai konsep, pengulangan yang maksimum. Pengulangan maksimum di sini adalah beban maksimum yang dapat diangkat dengan jumlah ulangan tertentu sebelum timbul kelelahan. Sistim latihannya yaitu meliputi 3 set dengan masing-masing 10 kali ulangan yaitu : Set 1, 10 kali ulangan beban 50% dari R. M. Set 2, 10 kali ulangan beban 75% dari R. M. Set 3, 10 kali ulangan beban 100% dari R. M. Pelatihan ini dianjurkan dilakukan 3 kali per minggu, setelah target 10 RM set yang ketiga terlampaui, maka segera ditentukan beban baru (Nossek, 1982). Sedangkan Sharkey (2011), ulangan maksimum harus dicari dengan jalan “ trial and error” artinya seorang atlit harus melakukan percobaan-percobaan mengangkat beban sampai menemukan kemampuan maksimalnya. Latihan isokinetik merupakan bentuk pelatihan beban yang merupakan gabungan antara latihan isometrik dan latihan isotonik, yang mana gerakannya seperti latihan isometrik tetapi dengan beban maksimal. Fox dkk. (1988) membagi
36
latihan isotokinetik menjadi dua, yaitu latihan isokinetik dengan kecepatan tinggi dan latihan isokinetik dengan kecepatan rendah.
Gambar 2.5. Perbandingan sistim syaraf setelah latihan (isometric, isotonic dan isokinetik). (Fox, Mathews. 1988) Adapun keuntungan dan kerugian dari bentuk latihan-latihan tersebut di atas seperti terlihat pada tabel 2.1 :
37
Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian program latihan isokinetik (Fox, Mathews, 1981 ).
isometric, isotonic,
Comparative Rating
Criterion
Isokinetic
Isometric
Isotonic
Rate of strength gain
Excellent
Poor
Good
Rate of endurance gain
Excellent
Poor
Good
Strength gain over range of motion
Excellent
Poor
Good
Time per training session
Good
Excellent
Poor
Expence
Poor
Excellent
Good
Ease of performance
Good
Excellent
Poor
Ease of progress assessment
Poor
Good
Excellent
Excellent
Poor
Good
Least possibility of muscle soreness
Excellent
Good
Poor
Least possibility of injury
Excellent
Good
Poor
Skill improvement
Excellent
Poor
Good
Adaptability to specific movement patterns
Pelatihan kekuatan otot dapat dimulai pada usia antara umur 12 tahun sampai 19 tahun, bagi anak laki-laki peningkatannya lebih dibanding dengan anak perempuan (Fox,1981). 2.3. Daya Ledak Daya ledak merupakan komponen gerak yang sangat penting untuk melakukan suatu aktifitas yang sangat berat, karena dapat menentukan seberapa kuat orang memukul, seberapa seseorang dapat melempar, seberapa seseorang dapat melompat, seberapa seseorang dapat berlari dengan cepat dan lainnya. Semua usaha maksimal yang eksplosif tergantung pada daya ledak (Fox, 1984). Daya ledak dipengaruhi oleh dua komponen yaitu kekuatan dan kecepatan baik kecepatan rangsang saraf maupun kecepatan kontraksi otot (Fox dkk, 1988). Daya
38
ledak adalah merupakan perpaduan antara dua unsur yaitu kekuatan dan kecepatan (Nossek, 1954). Menurut Harre (1982)daya ledak yaitu : kemampuan olahragawan untuk mengatasi tahanan dengan suatu kecepatan kontraksi tinggi. Kerja yang dilakukan bila otot yang berkontraksi memindahkan objek melalui jarak. Daya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Daya = kekuatan x jarak/waktu atau Daya = kerja/waktu dimana kerja = kekuatan x jarak. Secara fungsional ada hubungan diantara daya, energi dan kerja (Harre, 1982). Energi yaitu kemampuan melakukan kerja, sedangkan kerja adalah pemakaian kekuatan atau force melalui jarak atau w = f x d. Daya adalah waktu kecepatan melakukan kerja atau p = w/t = ( f x d ) / t. Untuk meningkatkan daya ledak dapat dengan : 1. Meningkatkan power otot dengan menitikberatkaan pada kekuatan. 2. Dapat dengan menitikberatkan pada kecepatan rangsangan saraf kecepatan kontraksi otot. 3. Dapat dengan cara meningkatkan keduanya yaitu meningkatkan kekuatan serta kecepatan rangsangan dan kecepatan kontraksi otot. Menurut Harre (1982), untuk meningkatkan kemampuan daya ledak diperlukan peningkatan kekuatan dan kecepatan secara bersamaan, sehingga bila seorang atlit dilatih kecepatan, kemudian dilatih kekuatan secara khusus maka kemampuan daya ledak akan meningkat.
39
Daya ledak dikembangkan oleh dorongan yang singkat dari aktifitas otot seperti melompat, melempar, menolak dan sebagainya (Jever,1989). Pelatihan daya ledak pada cara menitikberatkan kepada kekuatan intensitas pembebanannya adalah sub maksimal atau maksimal, dengan kecepatan kontraksi 7 sampai 10 detik dengan pengulangan 8 sampai 10 kali, dilakukan sebanyak 3 sampai 4 set . Pembebanan yang efisien untuk meningkatkan kekuatan otot antara 85 sampai 100 persen dari kekuatan maksimal. Meningkatnya kekuatan otot secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap daya ledak otot. Otot yang mempunyai kekuatan yang baik akan mempunyai daya ledak yang baik pula. Hal ini akan sebaliknya juga daya ledak yang besar hampir dipastikan mempunyai kekuatan yang besar pula . Pelatihan daya ledak pada penekanan kecepatan rangsangan dapat dengan pembebanan sedang atau ringan . Begitu pula waktu rangsang saraf dan kontraksi otot diperpendek . Sedangkan untuk pelatihan daya ledak yang menitikberatkan pada kekuatan dan kecepatan
secara bersama-sama dengan pembebanan sedang .
Pelatihan kekuatan dan kecepatan ini memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap nilai dinamis jika dibandingkan dengan latihan kekuatan saja (Jever, 1989). Metode yang sering digunakan pada latihan daya ledak menurut beberapa ahli sangat bervariasi antara lain : 1.
Menurut Nossek (1982), latihan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan maksimum dan daya ledak bercirikan :
40
Tipe pelatihan
: pelatihan beban
Intensitas
: 85 sampai 5 pengulangan.
Volume
: 1 sampai 5 pengulangan, 5 sampai 8 seri
Interval
: 2 sampai 4 menit.
Durasi
: 20 menit
Irama latihan
: eksplosif / cepat.
2. Menurut Harre (1982), latihan bersifat sebagai berikut : a. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan daya ledak pada perkembangan kekuatan maksimal yang baik, beban latihan; 30 sampai 50 %: Jumlah set
: 4 sampai 6 set
Jumlah pengulangan
: 6 sampai 10 kali.
Istirahat antar set
: 2 sampai 5 menit
Irama latihan
: ekspolsif.
Prosedur pengorga-
: 30%
nisasian metode
: 10
+ x
40%
+
50%
+
40%
10
x
10
x
10 x 3.
b. b. Pelatihan daya ledak menurut Soeharno (1985), yaitu bercirikan sebagai berikut: Beban pelatihan
: 40% sampai 60%
Jumlah set
: 4 sampai 6 set
Jumlah repetisi
: tidak boleh dari 50 % kemampuan repetisi
maksimal Istirahat Irama gerakan
: 2 sampai 3 menit : merupakan gerakan yang selaras dan dinamis.
41
Selanjutnya di katakan bahwa atlit pemula intensitas beban pelatihan merata 10 sampai 20 % kemampuan pengulangan maksimum atau beban angkatan 1 / 4 berat badan atlit pada pelatihan beban . Pelatihan daya ledak yang di kembangkan oleh Nala ( 2011 ) , metode ini bertujuan pada perkembangan daya ledak melalui 3 kelompok latihan : 1. Pelatihan tanpa beban, serupa yang digunakan oleh angkat berat ( lifter). 2. Pelatihan mengunakan bola kesehatan ( medicine ball ). 3. Pelatihan kelentukan dan tumbling. Dengan ketentuan sebagai berikut : Beban pelatihan
: 85 %
Jumlah set
: 3 set
Jumlah repetisi
: 6 sampai 12 kali
Istirahat
: 2 sampai 3 menit
Menurut Pyke (1980), dalam mengembangkan daya ledak, dalam hal ini beban pelatihan tidak boleh terlalu berat, sehingga gerakan yang di lakukan dapat bergerak secara cepat dan frekwensinya banyak. Beban yang dianjurkan untuk meningkatkan daya ledak sekitar 30 % dari I. R. M.yang mana penetapan beban 39 % ini atas dasar grafik yang di kemukakan oleh Hay (1978), di mana didalam grafik itu dijelaskan bahwa hasil tertinggi dari daya ledak otot, bila otot berkontraksi dengan kecepatan sekitar 30 % dari kecepatan maksimum, dan kekuatan kontraksi pada kecepatan ini adalah kurang lebih 30 % dari kekuatan maksimumnya, dapat dilihat pada gambar 2.6 Macam-macam bentuk pelatihan daya ledak menurut Boosey (1980) melompat ke bawah, melompat ke atas, meloncat dengan kedua kaki melewati
42
gawang, melompat dengan satu kaki bergantian melewati gawang. Hal ini seiring dengan pendapatnya Harsono (1988), bahwa untuk mengembangkan daya ledak dapat dengan pelatihan Plyometrik. Pelatihan tersebut yang berbentuk : melambung vertikal di tempat selama 30 detik dengan dua kaki, melompat dengan jarak 30 sampai 100 meter dengan satu kaki atau dua kaki bersamaan, melompat dengan bangku pendek, melompat berdiri, dan tripel jump, depth jump. Pelatihan di atas juga dikembangkan Radcliffe dan Farentinos (1985), hanya ditambahkan bahwa rintangan setingi 20 sampai 40 cm.
High Force Low Speed Low Power
100
MOST POWERFUL
CONTRACTION
FORCE OF
50
COTRACTION
0
50
Low Force High Speed Low Power 100 PERCENT MAXIMUM
SPEED OF CONTRACTION
Gambar 2.6. Persentase Beban Latihan, Pyke (1980).
43
2.4. Pelatihan Olahraga Pelatihan olahraga merupakan suatu proses sistematis dari pengulanggan suatu kinerja progresif yang juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan untuk memperbaiki sistim dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet menjadi optimal. Sedangkan Nala (2002), mengatakan pelatihan olahraga ditujukan untuk meningkatkan pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus, Perbaikan terhadap teknik permainan, pematangan strategi dan taktik bermain sesuai kebutuhan olahraganya, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan tim pada olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara derajat kesehatan dan mencagah terjadinya cedera. Lebih lanjut, Nala (2002) menjelaskan bahwa pelatihan olahraga dapat dibagi atas: 1. Pelatihan fisik atau jasmani. 2. Pelatihan teknik atau ketrampilan (Skill). 3. Pelatihan taktik atau strategi. 4.Pelatihan mental atau psikis. Harre (1982), mengatakan bahwa setiap bentuk pelatihan harus terdiri dari tiga bagian yaitu : pemanasan , inti dan pendinginan. Hal ini didukung oleh pendapatnya Fox (1984),bahwa pelatihan harus didahului dengan peregangan (stretching), di lanjutkan dengan pemanasan. Singer (1972), mengatakan bahwa dengan melakukan pemanasan secara optimal dapat menyebabkan sebagai berikut : 1. Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot bertambah.
44
2. Aliran darah ke otot bertambah 3. Viscositas /kekentalan darah menurun. 4. Dapat menghindari cedera. Tujuan pelatihan fisik adalah untuk memberikan tekanan dan tahanan kepada tubuh secara sistematis sehingga kapasitasnya meningkat, dengan demikian mampu melakukan suatu aktifitas gerakan yang direncanakan (Nala, 2002). Dengan demikian pelatihan fisik merupakan suatu gerakan fisik yang dilakukan secara sistematis dan berulang – ulang (repetisi) dalam jangka waktu yang lama (durasi) dengan pembibanan yang meningkat secara progresif dan individua, yang bertujuan untuk memperbaiki fisiologi tubuh agar pada waktu melakukan aktifitas dapat mencapai penampilan yang optimal. Nala (2002) mengatakan bahwa tujuan pelatihan fisik olahraga berbeda dengan tujuan berolahraga. Tujuan berolahraga dapat dibagi atas kebutuhanya yaitu sebagai berikut: 1. Rekreasi, bertujuan untuk bersenang – senang 2. Pendidikan, untuk membina disiplin, kemauan, kepribadian, dan kerja sama. 3. Kesehatan, sebagai sarana pencagahan agar tidak sakit jantung, pengobatan sakit asma, rehabilitasi dan sebagainya. 4. Kesegaran jasmani, agar mampu melakukan pekerjaan sehari-hari dengan tingkjat efisiesi dan produktifitas yang tinggi. 5. Prestasi, bertujuan untuk menjadi juara dalam berolahraga. Sedangkan tujuan pelatihan menurut Bompa (1983): dalam Nala, (2002) adalah sebagai berikut :
45
1. Mengembangkan komponen fisik umum atau multilateral. Pengembangan ini meliputi peningkatan kemampuan komponen biomotorik secara umum. 2. Mengembangkan komponen fisik khusus. Pengembangan komponen biomotoriknya disesuaikan dengan tipe atau spesialisasi olahraganya. 3. Memperbaiki teknik atau ketrampilan sesuai dengan tipe atau spesialisasi olahraganya. Pelatihan dilakukan dengan memperhintungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. 4. Memperbaiki strategi dan taktik bermain. Dalam pelatihan diperhitungkan juga kekuatan dan kelemahan serta watak dari lawan yang dihadapi sehingga strategi dapat dipersiapkan dengan tepat. 5. Meningkatkan kualitas kemauian atlet. Pelatihan ini lebih banyak menyangkut pelatihan mental. 6. Meningkatkan persiapan dan kerja sama tim. Beberapa cabang olahraga ada yang dimainkan secara beregu, sehingga memerlukan kerja sama dan saling pengertian yang baik antara sesama pemain. 7. Meningkatkan
derajat
kesehatan
atlet.
Memberikan
takaran
dan
peningkatan sesuai dengan kemampuan atlet disertai pemberian gizi yang seimbang. 8. Mencegah . Melakukan pemanasan sebelum dilatih pada inti pelatihan. 9. Memperkaya pengetahuan teori. Diperkenalkan terutama tentang fisiologi dan psikologi, dasar-dasar pelatihan, perencanaan dan gizi.
46
2.5. Prinsip – Prinsip Pelatihan Prinsip – prisip dasar pelatiahan diuraikan oleh Nala ( 2002), terdiri dari tujuh prinsip yaitu : 1. Prinsip aktif dan bersungguh-sungguh Prinsip ini bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu pelatihan sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan. 2. Prinsip pengembangan Multilateral Sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistema yang ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun psikologisnya ( Nala, 2002). 3. Prinsip spesialisasi dalam pelatihan. Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih, dilanjutkan dengan pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai dengan cabang olahraga yang dilatih. Pelatihan spesialisasi baru dimulai setelah disesuaikan dengan dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlet bersangkutan. 4. Prinsip Pelatihan Individualisasi Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga, yang berbeda satu sama lainya, sehingga cara pelatihannya pun berbeda. 5. Prinsip Variasi atau Keserbaragaman
47
Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus – menerus akan cukup membosankan. Untuk menhindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya menpunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet tetap bergairah dan semangat dalam berlatih. 6. Prinsip mempergunakan model pelatihan. Model yang dimaksud dalam prinsip ini dalah Suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang diamati mendekati keadaan sebenarnya. 7. Prinsip peningkatan beban progresif. Beban pelatihan dimulai ditingkatkan
secara
dengan beban awal yang ringan, kemudian
bertahap
disesuaikan
dengan
kemampuan
atlet
bersangkutan, makin lama semakin berat atau dapat diawali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit. 2.6. Sistem Otot Rangka Dalam kehidupan manusia, otot merupakan organ yang sangat penting untuk menjalankan aktifitas fisik, sekitar 40% tubuh manusia terdiri dari otot skelet. Sedang 5-10% lainya terdiri dari otot polos dan otot jantung (Guyton 1986). Suatu otot mempunyai perenchima yang terdiri dari serabur-serabut otot dan satu stroma (Jaringan dasar), jaringan ikat. Tiap-tiap serabut dikelilingi oleh suatu jaringan halus yang terdiri dari serabut-serabut jaringan ikat retikuler dan
48
beberapa serabut kolagen dan elastis, yang dikenal sebagai endomisiun dan ini yang memisahkan tiap-tiap sel dari sel-sel lainya. Kelompok-kelompok dari 12 sampai 20 serabut otot disatukan menjadi berkas-berkas yang disebut fasciculi (fasciculus tunggal) yang masing-masing dipisahkan satu dengan yang lainya oleh perimysium, yaitu suatu lapisan tipis dari serabut-serabut kolagen dan elastik. Perimysium ini juga mencakup semua jaringan ikat yang membungkus beberapa fasciculi menjadi kelompok-kelompok yang lebih besar dan yang membentuk sekat-sekat fibrous di dalam otot. Seluruh otot akhirnya dibungkus oleh suatu lapisan jaringan ikat yang disebut sebagai epimisium (Hairy, 1989). 2.7. Sumber Energi Kalau
kita
melakukan
aktifitas,
otot
berkontraksi
dan
untuk
mempertahankan hidup perlu energi. Energi yang di peroleh dari makanan ini tidak dapat
langsung digunakan, tetapi energi pada bahan makanan tersebut
diubah menjadi energi kimia yang berbentuk ATP. Adapun rumus bangun ATP itu terdiri dari satu komponen yang komplek, adenosine dan tiga bagian susunan Phophate. Seperti terlihat pada gambar :
Gambar 2.8. Rumus bangun ATP. Fox (1988).
49
Hubungan antara kedua fosfat yang terakhir merupakan hubungan yang berenergi tinggi. Yang dimaksud disini adalah apabila hubungan tersebut dilepas maka akan mengeluarkan energi yang tinggi. ATP dan Pi, maka sejumlah energi akan keluar. Seperti terlihat pada gambar 2.8 :
Gambar 2.9. Rumus bangun ATP. Fox (1988). Satu senyawa dari phosphate terurai dari molekul induknya, maka akan keluar energi sebesar 7-12 kcal (Fox dkk, 1988). Pecahnya molekul ATP hanya dapat dibantu oleh enzim yang disebut ATPase. Energi yang digunakan oleh otot pada saat istirahat seluruh tubuh hanya sebanyak 1,3 kcal setiap menitnya. dan yang digunakan oleh otot adalah 0,26 kcal/menit. Sedangkan dalam 1 sampai 2 menit kebutuhan energi meningkat hingga 35 kcal/menit. Kira-kira meningkat 120 kali dari saat istirahat (3,68). Maka kebutuhan ATP juga akan besar. Pada hal ATP yang tersedia dalam otot hanya 4 sampai 6 milimol/kg otot. Kalau aktifitas itu berlangsung terus menerus maka ATP yang tersedia hanya dapat digunakan selama 3 detik. Sehingga harus ada mekanisme untuk memenuhi kebutuhan energi, mekanisme ini dikenal sebagai resintesa ATP dari
50
ADP dan Pi. Menurut Fox dkk (1988), ada 3 proses untuk memproduksi ATP yaitu : 1. Sistim ATP-PC (Phosphagen). Dalam sistim ini resintesa ATP hanya berasal dari suatu persenyawaan phosphocreatine (PC). 2. Sistim Glikolisis Anaerobic atau Asam Laktat. Sistim ini menyediakan ATP dari sebagian pemecahan glukosa atau glikogen. 3. Sistim Oksigen (Aerobic Syatem). Sistim ini terdiri dari dua bagian. Bagian A merupakan penyelesaian dari oksidasi karbohidrat. Bagian B merupakan penyelesaian dari oksidasi lemak. Kedua sistim ini perjalanannya terakhir oksidasinya melalui siklus kreb’s. Sistim ATP-PC atau Phosphagen. ATP yang tersedia dalam otot sangat terbatas jumlahnya. Kalau kita ingin bahwa otot itu dapat berkontraksi berulang-ulang, maka ATP yang digunakan otot harus dibentuk kembali. Dalam pembentukan kembali ATP juga perlu energi. Untuk itu perlu senyawa dalam pembentukan ATP dengan cepat yaitu Phospholkreatin. Phospholkreatin terdapat juga dalam otot. Oleh karena ATP dan PC mengandung senyawa fosfat (P), maka sistim ini biasanya disebut sebagai “phosphagen system”. Apabila PC pecah akan keluar energi. Pemecahan tersebut tidak memerlukan oksigen. PC ini jumlahnya hanya sedikit, tetapi PC merupakan sumber energi yang tercepat untuk membentuk ATP kembali. Dengan latihan yang cepat dan berat maka jumlah sistim ATP-PC tersebut dapat ditingkatkan. Persediaan PC dalam otot tidak banyak, sekitar 15 – 17 milimol/kg otot atau untuk
51
seluruh tubuh 4,5 kcal – 5,1 kcal. Perkiraan persediaan energi dalam tubuh melalui sistim ATP-PC (phosphagen) terlihat dalam tabel 2.3.
Tabel 2.2 Persediaan Energi Dalam Tubuh melalui sistim ATP. Fox, 1988.
1. Muscular concentration a. mM/kg muscle b. mM total muscle mass. 2. Useful energy a. kcal/kg muscle b. kcal total muscle mass
ATP
PC
Total Phosphagen (ATP + PC)
4-6
15-17
19-23
120-180
450-510
570-690
0,04-0,06
0,15-0,17
0,19-0,23
1,2- 1,8
4,5-5,1
5,7-6,9
Sistim phosphagen ini merupakan sumber energi yang dapat secara cepat yang diperlukan untuk olahraga yang memerlukan kecepatan. Alasan yang menunjang pernyataan tersebut adalah : 1. Tidak tergantung pada reaksi kimia yang panjang. 2. Tidak membutuhkan oksigen 3. ATP-PC tertimbun dalam mekanisme kontraktil dalam otot. Energy ini cepat habis, untuk membentuk ATP lagi kalau cadangan PC habis adalah pemecahan glukosa tanpa oksigen yang sering disebut sebagai “Anaerobik Glycolys”. Glikolisis Anaerobic (Lactid Acid System). Setelah cadangan ATP-PC habis dan tidak tersedianya oksigen yang cukup, namun pembentukan ATP masih dapat dilakukan dengan cara pemecahan
52
glikogen. Yang sering disebut sistim glikolisis anaerobic. Proses ini lebih rumit bila dibandingkan dengan sistim phosphagen. Proses ini diperlukan 12 macam reaksi secara berurutan, sehingga pembentukan lewat sistim ini berjalan lambat. Energi yang digunakan membentuk ATP kembali dan dihasilkan 3 ATP, dari 1 mole glikogen (180) gram hanya terbentuk 3 mol ATP, sedangkan kalau dengan pertolongan oksigen akan menghasilkan 39 mole ATP. Secara sederhana proses glikolisis anaerobic dilihat pada gambar 2.10 :
Gambar 2.10. Proses Glikolisis Anaerobic.( Fox, 1988).
Dari proses tersebut, dapat dikemuakakan rangkaian reaksi-reaksi kimia yang sederhana sebagai berikut : Glikogen -------- Asam Laktat + Energi. Enegeri + 3 ADP + 3 Pi -------- 3 ATP Setiap reaksi membtuhkan adanya enzim khusus sebagai pengatur kecepatan reaksi. Enzim yang penting di sini ialah enzim phosphor fruktokinase (PFK). Bila asam laktat yang terbentuk dalam proses ini banyak maka akan mengakibatkan Ph dalam otot maupun darah akan rendah. Sehingga akan menghambat reaksi kimia yang menyebabkan kontraksi bertambah lemah dan akhirnya kelelahan.
53
Sistim glikolisis anaerobic dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Menyebabkan terbentuknya asam laktat yang dapat menyebabkan kelelahan. 2. Tidak membutuhkan oksigen. 3. Hanya menggunakan karbohidrat 4. Memberikan energi untuk resintesa beberapa molekul ATP saja. Sistim Aerobik Bila cukup oksigen maka, 1 mole glikogen dipecah secara sempurna menjadi CO2 dan H2O, serta mengeluarkan energy yang cukup untuk resintesa 39 mole ATP. Untuk reaksi tersebut diperlukan sistim enzim yang kompleks, dan dengan sendirinya sangat rumit. Reaksi aerobic terjadi di dalam bentukan yang dinamakan “mitochondria”. Mitochondria terdapat pada setiap serabut otot, berguna untuk berlangsungnya proses metabolism aerobic yang menggunakan oksigen, sehingga menghasilkan ATP dalam jumlah yang besar. Karena itu mitochondria disebut juga sebagai warung energy (power house). Proses aerobic glikolisis dapat dilihat pada gambar 2.11 sebagai berikut :
Gambar 2.11. Proses Aerobic Glikolisis.
54
Menurut Fox (1988), bahwa sistim aerobic dapat berlangsung dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1. Glikolisis Aerobik (Aerobic Glykolysis). 2. Siklus Kreb’s (Kreb’s Cycle). 3. Transport Elektron (Electron Transport). 1. Glikolisis Aerobik. Rangkaian pertama perubahan meliputi pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O yang disebut glikolisis aerobic. Dalam glikolisis ini terjadi reaksi sebagai berikut : Glukosa + 2 ADP + 2 Fosfat dengan energy ---- 2 Asam Piruvat + 2 ATP + 4 H. Dengan glikolisis anaerobik hanya ada sedikit perbedaan yaitu tersediannya oksigen yang cukup dan asam laktat yang tidak tertimbun. Jadi dengan adanya oksigen akan menghambat penumpukan asam laktat tetapi tidak menghalangi pembentukan ATP kembali. Oksigen membantu mengubah asam laktat menjadi pirufat setelah ATP diresintesa. Menunjukan perbedaan glikolisis anaerobic dan aerobic pada gambar 2.12.
Gambar 2.12. Perbedaan glikolisis aerobic dan anaerobic.
55
2. Siklus Kreb’s. Pemecahan glukosa selanjutnya adalah memecah 2 macam piruvat dengan pertolongan coenzym A ---- asam piruvat + coenzym A -- acetyl coenzyme A + 2C02 + 4 H. Asam lemak aktif ini masuk kedalam siklus oksidasi yang dinamakan beta oksidasi dan menjadi acetyl coenzym A. Selanjutnya
acetyl
coenzyme A ini akan masuk kedalam siklus kreb’s. Banyaknya ATP yang dihasilkan tergantung dari macam asam lemak yang dioksidasi. Pemecahan asam palmitat dihasilkan 130 ATP, sedangkan asam stearat menghasilkan 148 ATP. Hal-hal yang penting terjadi dari siklus kreb’s adalah : 1 . Menghasilkan karbondioksida. 2 . Terjadi oksidasi. 3 . Menghasilkan ATP ( 28 ). Skema proses siklus kreb’s terjadi terlihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13. Siklus Kreb’s 3 . Sistem Transport Elektron Pemecahan yang terus-menerus dari glikogen akan menghasilkan H2O yang dihasilkan dari persenyawaan H+ (ion hydrogen) yang terjadi dalam siklus
56
kreb’s serta O2 yang kita hirup. Rangkain reaksi sampai terjadinya H2O disebut dengan sistim transport electron atau sering disebut rantai respiratori, reaksi ini terjadi di membran dalam (inner membran) dari mitochondria. Pada dasarnya yang terjadi, dimana ion-ion hydrogen dan electron masuk kedalam sistim transport electron melalui FADH2 dan NADH masuk ke dalam sistem transport electron memiliki tingkat sedikit lebih tinggi dari pada FADH2, yang mana NADH menyediakan tiga molekul ATP sedangkan FADH2, hanya 2 molekul ATP. Intinya reaksi tersebut adalah sebagai berikut : 4 H+ + 4 e - + O2 ------- 1 H2O . Waktu terjadi transport dari electron didalam rantai respirasi sejumlah energi yang dikeluarkan.
57
Gambar 2.14. Sistem Transport Elektron. Lamb, (1984).
58
2.8. Pengaruh Pelatihan Pelatihan yang baik, teratur dan terukur serta mengiuti ketentuan dan prinsip-prinsip latihan, maka mengakibatkan adanya perubahan-perubahan dalam penampilan seorang olahragawan. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perubahan anatomis-histologis a. Hipertrofi otot. Perubahan ini terjad disebabkan adanya peningkatan diameter melintang dari serabut otot (cross sectional area of the muscle). Perubahan ini diakibatkan karena adanya jumlah dan peningkatan ukuran miofibri. Peningkatan dari jumlah total protein kontraktil khususnya kontaktil miosin. b. Penurunan relative densitas mithochondria akibat meningkatnya ukuran miofibril serta volume sarkoplasma. c. Ratio fast twitch (serabut otot cepat), slow twitch (serabut otot lambat) fiber meningkat dan tidak didapatkan adanya interkonversi antara serabut otot cepat dengan serabut otot lambat. d. Peningkatan kepadatan pembuluh kapiler (Fox, 1988), peningkatan jumlah penghubung, tendon, ligament, persediaan dan kartilago. 2. Perubahan Biokimia otot Rangka. a. Konsentrasi creatin meningkat 39%. b. Konsentrasi creatin-phosphate meningkat 22%. c. Konsentrasi ATP meningkat 18 %. d. Konsentrasi glikogen meningkat 66%.
59
e. Aktifitas enzim glikolisis meningkat : 1. Phospho-fructokinase (PFK). Phophorilase. 2. Lactate-dehydrogenase (LDH). Hexokinase. f. Aktifitas enzim didalam siklus kreb’s meningkat : 1. Malate-dehydrogenase (MDH). 2. Succinic-dehydrogenase (SDH). g. Aktifitas creatine phosphokinase serta miokinase meningkat secara tidak konsisten. 3. Perubahan Sistim Syaraf. Perubahan yang terjadi didalam sistim syaraf sulit untuk diidentifikasikan secara akurat, namun demikian ada beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan adanya adaptasi dari sistim syaraf yang menyangkut proses “recruitment pattern” serta “synchronization” dari unit gerak (Fox, 1988).
60
Tabel 2.3 Menunjukkan adanya perubahan setelah latihan ( Fox, dkk, 1988) Biochemical Changes in Skeletal Muscle induced by Physical Training. Aerobic Changes Increased myglobin content Increased axidation of glikogen Increased number and size of mithochondria Increased activity of Kreb’s cycle and ETS enzyms Increased muscular stores of glycogen Increased axidation of fat Increased muscular stores of triglycerides Increased Availability of ftas and fule Increased activity of enzyms involved in activation, transport, anda breakdown of fatt acid Anaerobic changes Increased capacity of the ATP-PC system Increased muscular stores of ATP and PC Increased activities of the ATP turnover enzymes Increased glycolytic capacity Increased glycolytic enzyme activities Relative change in fast and slow-twitch fibers Increased aerobic capacity equal in both fibers Increased glycilytic capacity greater in fast-twitch fiber Selective hypertrophy, fast twitch-sprint training, slow-twitch-endurance training No fiber type interconversion.
61
2.9. Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Lari Untuk dapat mencapai penampilan puncak pada cabang olahraga lari jarak pendek perlu memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor kondisi fisik dan faktor teknik yang melliputi teknik star, tolakan, dorongan melayang serta teknik memasuki garis finis. Selain faktor-faktor diatas, faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan lari yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 2.8.1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri di antaranya; umur, genetik, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh, kebugaran fikik. 2.6.2. Faktor Eksternal Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian tempat. 2.10. Pelatihan Lompat gawang dan Pelatihan Loncat gawang Bagaimana seorang atlit dapat memperbaiki kualitas fisiknya sehingga dalam penampilannya dapat prima, tentunya hal ini dapat dicapai melalui waktu yang panjang dengan jalan berlatih secara teratur dan terukur. Untuk lari cepat tidak hanya membutuhkan kekuatan tetapi daya ledak optimal, dalam artian daya ledak yang dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan harus dikembangkan sejalan dengan kebutuhan khusus pelari cepat. Daya ledak sangat penting untuk meningkatkan prestasi. Daya ledak otot merupakan kwalitas yang memungkinkan otot atau sekelompok otot untuk
62
menghasilkan kerja fisik secara ekplosif (Nala. 2002). Daya ledak dapat dipandang sebagai kekuatan eksplosif yang banyak diperlukan oleh banyak cabang-cabang olahraga yang menggunakan kontraksi otot yag cepat dan kuat. Kedua unsur fisik ini saling mempengaruhi, yaitu otot yang kuat akan mempunyai tenaga ledak yang besar. Sebaliknya Tenaga ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai kekuatan dan kecepatan yang baik pula. Tipe Pelatihan lompat gawang dan pelatihan loncat gawang merupakan bentuk pelatihan untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan daya ledak otot. Pelatihan ini juga dapat menjembatani terjadinya kekuatan dan kecepatan untuk menghasilkan daya ledak fungsional. Bila terjadi gerakan eksplosif, berarti daya ledak merupakan komponennya. Menurut Verhonsanski (1969), dept jump yang hampir sama bentuknya dengan pelatihan lompat gawang dan pelatihan loncat gawang dapat meningkatkan kekuatan maupun reaksi syaraf. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wilmore dan Costill, dkk (1988), mengatakan bahwa pelatihan lompat gawang dan pelatihan loncat gawang dapat meningkatkan kekuatan otot ekstensor lutut dengan ketinggian rintangan (bangku/gawang) pada saat pelatihan adalah 24 inci, jadi keduanya akan dapat menghasilkan tenaga daya ledak yang baik. Menurut Radcliffe dan Farentions (1985), Pelatihan lompat gawang terutama ditekankan pada melompat adalah untuk mencapai vertikal maksimum dan gerakan tungkai yang cepat, terutama dengan jarak horizontal dengan beban yang sangat dipentingkan. Pelatihan ini sering dilaksanakan dengan melompat dengan kedua tungkai bersamaan (loncat) atau melompat dengan satu tungkai
63
saling bergantian (lompat). Adapun fungsi anatomi dari pelatihan ini meliputi : Fleksi paha, otot yang terlibat meliputi : Sartorius, iliacus, dan gracilis. Fleksi lutut, otot yang terlibat adalah : tensor fasciae latae, vastus lateralis dan medialis, intermedius dan rectus femoris. Ekstensi paha dan fleksi tungkai, otot-otot yang terlibat adalah : bicep femoris, semitendinosus dan semimembranosus, gluteus maksimus dan minimus. Fleksi lutut dan kaki, otot-otot yang mendukung adalah gastrocnemius, peronius dan soleus. Adduksi dan abduksi paha, otot-otot yang terlibat adalah gluteus medius dan minimus, adductor lungus, brevis, magnus, minimus dan hallucis. Dikatakan juga bahwa pelatihan lompat dengan dua tungkai (loncat) dan dengan satu tungkai saling bergantian (lompat) dilakukan dengan cepat, pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kecepatan dan daya ledak pada otot tungkai dan pinggul, terutama kerja dari otot-otot glutelas, hamstrings, quradriceps dan gastrocnemius. Pelatihan ini digunakan untuk mengembangkan daya ledak dan kecepatan yang diperlukan oleh seorang pelari cepat (Nala, 2002). Bahwa ditinjau secara mekanika, plantar fleksi kaki dan ekstensi tungkai bawah waktu condong ke depan dan fleksi tungkai atas untuk melangkah berikut, membutuhkan daya ledak otot tungkai. Hal tersebut diperkuat dengan pendapatnya Luttgens dan Wells (1982), bahwa dengan kontraksi konsentrik pada fase regangan aktif, energi elastic dibekali dalam fase regangan awal, disediakan untuk berkontraksi. Asmussen dan Bonde (1978), mengatakan bahwa energi mekanik dibekali komponen elastic otot bila subyek menjatuhkan badan dari ketinggan 40 centimeter.
64
Menurut Corbin (1980), lompat dan loncat termasuk dalam ketrampilan gerak dasar. Karena lompat dan loncat mempunyai persamaan ketrampilan dan termasuk dalam ketrampilan dasar. O’Shea (1986), mengemukakan bahwa adaptasi khususnya harus dengan tuntutan, maksudnya otot yang dilatih harus sesuai dengan cabang khusus olahraga yang ditekuninya. Kecepatan lari dan kekuatan otot tungkai melibatkan otot tungkai, hal ini dapat dicapai dengan pelatihan power (daya ledak) pada otot tungkai.
65
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir Berdasarkan permasalahan dan kajian pustaka, seperti yang dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa kondisi fisik memegang peranan penting dalam program pelatihan. Program pelatihan harus dilakukan secara sistematis, terencana, terarah, teratur dan berkelanjutan. Sebelum memilih tipe pelatihan yang digunakan, perlu ditentukan terlebih dahulu komponen biomotorik mana yang dominan dalam cabang olahraga yang dilatih. Komponen biomotorik yang dominan dalam gerakan olahraga nomor lompat, loncat dan lari jarak pendek ( sprint ) adalah daya ledak otot. Daya ledak adalah kemampuan untuk untuk melakukan aktifitas secara tiba – tiba dan cepat dengan mengarahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat. Daya ledak dalam kegiatan olahraga dimaksud adalah daya ledak ekslosif, yang terdiri dari atas dua kelompok komponen biomotorik yaitu unsur kecepatan dan kekuatan. Daya
ledak
adalah
perpaduan
kekuatan
dan
kecepatan.
Untuk
mendapatkan daya ledak yang baik maka kekuatan dan kecepatan harus baik daya ledak sering pula disebut kekuatan ekslosif, ditandai dengan adanya gerakan atau perubahan tiba – tiba yang cepat dimana tubuh terdorong keatas atau vertikal baik dengan cara melompat (menapak satu kaki) ataupun meloncat (menapak dengan dua kaki), atau terdorong ke
66
depan horisontal dengan menggerakkan atot maksimal. Sedangkan pada nomor lari jarak pendek (sprint) memerlukan daya ledak di nama tubuh terdorong ke depan secara cepat dan singkat. Penelitian ini mengunakan dua model pelatihan yaitu pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan loncat gawang setinggi 35 cm yang bertujuan untuk meningkatkan kecepatan lari 60 meter. Pelatihan dilakukan selama enam minggu dengan takaran masing – masing pelatihan sepuluh(10) repetisi, tiga (3) set isterahat antar set 3 menit dan frekuensi tiga (3) kali dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum’at ). Keberhasilan pelatihan untuk meningkatkan hasil kecepatan pada nomor lari jarak 60 meter ini dapat di pengaruhi juga oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain : Umur, IMT ( menyangkut tinggi dan berat badan ), Kebugaran Fisik dan Jenis Kelamin, Genetik. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal yaitu : Suhu dan kelembaban, arah dan kecepatan angin serta ketinggian tempat.
67
3.2. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat kerangka konsep dalam bentuk gambar seperti terlihat pada gambar 3.1 : FAKTOR EKSTERNAL: - Suhu dan Kelembaban - Arah dan Kecepatan angin - Ketinggian Tempat
FAKTOR PELATIHAN - Lompat gawang 35 cm 10 repetisi 3 set istirahat 3 menit antar set - Loncat gawang 35 cm 10 repetisi 3 set istirahat 3 menit antar set FAKTOR INTERNAL - Umur - Jenis Kelamin - Berat Badan dan Tinggi Badan - Indeks Massa Tubuh - Kebugaran Fisik
Gambar. 3.1. Kerangka Konsep
68
Kecepatan Lari 60 meter
3.3.
Hipotesis Penelitian Berdasarkanan kajian pustaka
dan kerangka konsep dapat dirumuskan
hipotesis sebagai jawaban sementara dari penelitian ini adalah : Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi tiga set istirahat antar set tiga menit salama enam minggu lebih baik dari pada pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi tiga set istirahat antar set tiga menit selama enam minggu dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi.
69
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah Randomized Pre and Post-Test Control Group Design (Poccok, 2008). Masing – masing kelompok terdiri dari 10 orang kelompok- 1, kelompok- 2. Semua Kelompok diberikan tes awal dan tes akhir. Antara perlakuan satu dan perlakuan dua diberikan pelatihan bersamaan, kemudian masing – masing perlakuan diobservasi.
01
Klp. 1
P
R
P1
02
S Klp. 2
P2
03
04
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian Keterangan : P = populasi R = randomisasi S = sampel P1= perlakuan-1 (Lompat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set isterahat 3 menit) P2 = perlakuan-2 (Loncat gawang setinggi 35 cm 10 repetisi 3 set isterahat 3 menit) O1= observasi kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan pada kelompok-1 O2= observasi Kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan pada kelompok-l O3= observasi Kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan pada kelompok-2 O4= observasi Kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan pada kelompok-2
70
4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di lapangan SMA Negeri 1 Amarasi, Kabupaten Kupang. Waktu penelitian selama lima bulan terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2013, sedangkan pelatihan fisik dilakukan selama enam minggu mulai pada bulan Februari sampai Mei 2013 pada pukul 15.00 – 16.30 wita 4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi Populasi penelitian adalah seluruh siswa putra kelas I dan II SMA Negeri 1 Amarasi, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur 4.3.2. Sampel Sampel diambil dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria yang ditetapkan untuk di tetapkan dapat dipilih sebagai sampel adalah sebagai berikut : a. Kriteria Inklusi Kriteria sampel inklusi adalah: 1. Jenis Kelamin Laki – Laki 2. Umur 15 – 19 tahun 3. Siswa Kelas I dan Kelas II 4. Berbadan sehat dan tidak bercacat, berdasarkan pemeriksaan dokter 5. Kebugaran fisik dengan kategori sedang 6. Bersedia sebagai Subjek penelitian dari awal sampai selesai dengan menandatangani surat persetujuan kesediaan sebagai sampel
71
b. Kriteria Eksklusi Kriteria sampel eksklusi adalah: 1. Ada riwayat patah tulang 2. Berdomisili di luar Amarasi dan sekitarnya c. Kriteria drop aut Kriteria dop aut adalah: 1. Menderita sakit atau cedera pada saat pelatihan 2. Tiga kali berturut – turut tidak mengikuti pelatihan 3. Menarik diri dari subjek penelitian 4.3.3. Besar sampel Berdasarkan hasil penelitian awal pada hari rabu tanggal 19 desember 2012 pada nomor lari 60 meter terhadap 10 orang siswa, rerata hasil kecepatan sebelum pelatihan adalah 10,745 detik (kategori kurang), dengan standar deviasi 1,306 harapan peningkatan sebesar 20% sehinggga menjadi 8,596 detik Data yang dapat dimasukan dalam rumus Pocok ( 2008 ) yaitu sebagai berikut: 2σ 2
𝑛 = (µ2−µ1) × f ( α,β ) Dimana: n
= Besar sampel
σ
= standar deviasi
ƒ(α,β) = Konstanta berdasarkan tabel ( α =0,05 dan β = 0,1) µ1
= Rata – rata kecepatan sebelum pelatihan
µ2
= Harapan peningkatan sesudah pelatihan
72
Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas adalah sebagai berikut : µ1
= 10,745
µ2
= 8,596
f (α,β)
= 10,5 ( lihat tabel )
α
= 1,306 2(1,306)2
n = (8,596−10,745)2 X 10,5 n=
3,4149
n=
35,85738
4,618
= 20% X 7,764362
X 10,5
= 1,5528 (dibulatkan menjadi 2) = 8 + 2 = 10 sampel
4,618
= 7,764362 (dibulatkan menjadi 8) Untuk mengantisipasi subjek dropout dari penelitian ini, maka jumlah sampel untuk tiap kelompok ditambah 20% dari jumlah n, menjadi jumlahnya 10 orang, sehingga seluruhnya 2 kelompok X 10 = 20 0rang 4.4. Variabel penelitian 4.4.1. Variabel bebas (perlakuan ). Variabel bebas (dependent variable) yang akan diteliti adalah pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi, tiga set, istirahat antar set tiga menit, seminggu tiga kali selama enam minggu dan loncat gawang setinggi 35 cm sepuluh repetisi, tiga set, istirahat antar set tiga menit, seminggu tiga kali selama enam minggu.
73
4.4.2. Variabel tergantung (dependent variable) Variabel tergantung adalah kecepatan lari 60 meter. 4.4.3. Variabel kendali (kontrol). Variabel penganggu yang akan dikontrol adalah kesegaran jasmani dimana anak coba lari 2,4 Km dan waktu tempuhnya disesuaikan dengan tabel lari aerobik untuk menentukan kategori kesegaran jasmaninya, umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, panjang tungkai, suhu lingkungan dan kelembaban relatif lingkungan. Caranya dengan memasukan ciri karakteristik anak coba dalam sampel sesuai kriteria inklusi 4.5. Definisi oprasional variabel 4.5.1. Pelatihan lompat Gawang 35 cm Pelatihan lompat gawang adalah rangkaian pelatihan pliometrik yang dimulai dengan sikap berdiri tegak, kemudian melangkahkan kaki kanan ke depan dengan lutut siku-siku sedangkan kaki belakang lurus, posisi tangan dibiarkan tergantung di sisi badan. Kemudian setinggi 35 cm
melompat
melewati rintangan gawang
dengan tolakan satu kaki ke depan dimana posisi tangan
diayunkan ke atas sehingga lurus dengan tubuh dan diayunkan kembali ke bawah untuk mendapatkan gaya dorong tambahan, mendarat kembali keposisi semula. Dari posisi tegak kembali lakukan gerakan yang sama dengan gerakan pertama tapi diganti dengan kaki kiri . Gerakan tersebut dilakukan berulang-ulang bergantian antara kaki kanan dan kiri selama 10 kali.
74
Frekuensi
: 3 kali per minggu
Jumlah set
: 3 set
Repetisi
: 10 kali setiap set
Intensitas
: 60%
Isterahat
: 3 menit antar set.
Beban pelatihan
: berat badan sendiri.
Didahului dengan pemanasan dan diakhiri dengan pendinginan, dilakukan dengan cara yaitu tungkai kanan secara terus-menerus sampai satu pengulangan baru ganti tungkai kiri satu pengulangan.
Gambar 4.2. Pelatihan Lompat gawang 35 cm. 4.5.2. Pelatihan Loncat gawang 35 cm. Pelatihan loncat adalah rangkaian pelatihan pliometrik yang dimulai dengan sikap berdiri tegak, kemudian melangkahkan ke dua kaki bersamaan ke depan dengan lutut siku-siku sedangkan posisi tangan dibiarkan tergantung di sisi badan. Kemudian meloncat melewati rintangan gawang setinggi 35 cm dengan
75
tolakan ke dua kaki ke depan dimana posisi tangan diayunkan ke atas sehingga lurus dengan tubuh dan diayunkan kembali ke bawah untuk untuk mendapatkan gaya dorong tambahan, mendarat kembali ke posisi semula. Dari posisi tegak kembali lakukan gerakan yang sama dengan gerakan pertama. Gerakan tersebut dilakukan berulang-ulang selama 10 kali Frekuensi
: 3 kali per minggu
Jumlah set
: 3 set
Repetisi
: 10 kali setiap set
Intensitas
: 60%
Isterahat
: 2 menit antar set.
Beban pelatihan : berat badan sendiri. Didahului dengan warming up dan diakhiri dengan coolling down. pelatatihan dilakukan dengan cara yaitu ke dua tungkai bersamaan secara terusmenerus sampai 10 kali pengulangan.
Gambar 4.3. Pelatihan loncat gawang 35 cm.
76
4.5.3. Kecepatan Lari 60 Meter. Adalah rata-rata kecepatan lari dengan satuan detik dalam menempuh jarak 60 meter dibagi waktu tempuh yang diperoleh siswa putra. 4.5.4. Kesegaran Jasmani. Kesegaran jasmani adalah tingkat kemampuan fisik untuk melakukan lari sejauh 2,4 km, yang dinyatakan dengan waktu tempuh dalam satuan menit (bilangan desimal dua angka di belakang koma), waktu tempuh disesuaikan tabel kategori kesegaran jasmani lari 2,4 Km sebagai berikut: Tabel 4.1. Kategori kesegaran jasmani dengan tes lari aerobik 2,4 Km. Umur No
Kategori kesegaran
1 2 3 4 5 6
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Baik sekali Istimewa
13- 19 tahun > 15”. 31” 12”.11" – 15”. 30” 10”.49 – 12”.10 9”.41 – 10”.48 8”.37 – 9”.40 < 8”. 37
4.6. Instrumen Penelitian 1. Stopwatch, merek Rox untuk megukur waktu tempuh lari 60 meter, lama pelatihan, waktu istirahat tiap set. Ketelitian alat 0,01 menit 2. Rintangan gawang untuk lompat dan loncat terbuat dari pipa paralon atau bambu dengan tinggi 35 centimeter 3. Meteran logam stanley dengan batas ukur 8 meter dengan ketelitian 0,001 yang dipakai panjang lintasan. 77
4. Timbangan badan merek “One Med” buatan Indonesia, untuk menimbang berat badan satuan kg gaya dan ketelitian 0,1 kg 5. Microtoist super buatan Jepang, untuk mengukur tinggi tubuh orang coba, dengan ketelitian 0,1 cm 6. Norma penilaian tes lari 2,4 km. Dari Cooper, untuk mengukur status kebugaran fisik orang coba. 7. Hygrometer digital merek Corona, digital untuk mengukur suhu kering lingkungan, satuan °C, ketelitian0,1°C. 8. Hygrometer digital merek Corona, untuk mengukur kelembaban relatif udara, ketelitian 1%. 9. Alat tulis kantor untuk mencatat data dan dokumentasi untuk merekan jalanya penelitian 10. Serbuk kapur untuk lintasan lari dan nomor dada untuk orang coba. 4.7. Prosedur penelitian 4.7.1. Tahap persiapan. Sebelum melakukan penelitian, dilakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Mempersiapkan dan mengurus surat izin penelitian untuk menggunakan siswa SMA Negeri 1 Amarasi sebagai subjek penelitian. 2. Mempersiapkan peralatan dan mengurus peminjaman alat-alat dan fasilitas. 3. Mempersiapkan tenaga pembantu dan mempersiapkan subjek penelitian. 4. Melakukan uji coba pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm. 5. Semua subjek penelitian diukur : berat badan, tinggi badan.
78
6. Melakukan pengambilan data pretest yang terdiri dari : kecepatan lari 60 meter. 7. Kemudian menentukan kelompok, dalam hal ini ada 2 kelompok: Kelompok 1: pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm. Kelompok 2 : pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm. 8. Menentukan repetisi maksimal yang dapat dilakukan oleh masing-masing subjek penelitian sesuai dengan pelatihannya, untuk menentukan beban pertama dalam pelatihan. 9. Menetukan jadwal pelatihan, baik kelompok satu dan kelompok dua diberikan pelatihan selama 6 minggu dengan pelatihan 3 kali seminggu. Setelah pelatihan selama 6 minggu diadakan post-test baik kelompok 1 dan 2. 4.7.2. Tahap Pelaksanaan. a.
Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm. Subjek penelitian melakukan pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm
sesuai dengan apa yang dijelaskan pada definisi opersional , dengan cara : kaki kanan ganti kaki kiri secara bergantian setiap repetisi selama sepuluh repetisi, tiga set dengan istirahat tiga menit antar set. b. Pelatihan loncat Gawang setinggi 35 cm Subjek penelitian melakukan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm sesuai dengan apa yang dijelaskan pada definisi opersional dengan cara melangkahkan ke dua kaki bersamaan kedepan dengan lutut siku-siku sedangkan posisi tangan dibiarkan tergantung di sisi badan. Kemudian meloncat melewati
79
rintangan gawang setinggi 35 cm dengan tolakan ke dua kaki ke depan di mana posisi tangan diayunkan ke atas sehingga lurus dengan tubuh dan diayunkan kembali ke bawah untuk untuk mendapatkan gaya dorong tambahan, mendarat kembali keposisi semula secara terus menerus selama sepuluh repetisi, tiga set dengan isterahat 3 menit antar set. Program pelatihan masing-masing bentuk pelatihan adalah sebagai berikut : Pretest Tahap 1 2 3 4 5 6
Pelatihan 1 s/d 3 4 s/d 7 8 s/d 10 11 s/d 13 14 s/d 17 18 s/d 20
Set 3 3 3 3 3 3 Postest
Isterahat 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit
Repetisi. 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x
Intensitas. 60% 60% 60% 60% 60% 60%
Dalam pelaksanaan pelatihan, kedua kelompok perlakuan diberi pelatihan pada hari senin, rabu, jumad dimulai dari pukul 15.00 wita sampai selesai dan bertempat dilapangan SMA Negeri 1 Amarasi Kec. Amarasi Kabupaten Kupang. Pelatihan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu pemanasan, pelatihan inti dan ditutup dengan pendinginan . 4.7.3. Tahap Pengukuran. 1. Pengukuran Berat Badan. Berat badan subjek penelitian diukur dengan timbangan “One Med” buatan Indonesia. Cara pengukuran adalah subjek penelitian memakai pakaian tanpa menggunakan alas kaki, berdiri di atas timbangan dan tidak berpegang pada
80
objek lain. Hasil pengukuran dicatat dengan satuan kilogram dengan bilangan desimal satu angka di belakang koma. 2. Pengukuran Tinggi Badan. Tinggi badan diukur dengan keadaan sikap sempurna tanpa alas kaki. Tepi belakang kedua tunit dan sisi depan alat pengukur harus pada satu garis lurus, tulang belakang menempel pada batang pengukur, kepala tegak pandangan lurus kedepan.
Gambar 4.4. Cara Pengukuran Tinggi Badan. 3. Pengukuran kesegaran jasmani Dilakukan dengan tes lari 2,4 Km. Caranya adalah dengan start berdiri, setelah ada aba-aba dari tester, siswa lari secepatnya sesuai dengan kemampuanya.
Waktu
tempuh
yang
diperoleh
masing-masing
siswa
dikonversikan dengan tingkat kesegaran jasmani sesuai dengan tabel. Pengukuran hanya dilakukan 1 kali sebelum pelatihan untuk memilih orang coba sesuai kriteria sampel penelitian.
81
4. Pengukuran suhu lingkungan. Dilakukan setiap pelaksanaan pelatihan dengan hygrometer digital merek Krup’s untuk mengukur suhu basah dan kelembaban relatif saat pelatihan. 5. Pengukuran kecepatan lari 60 meter. Sebelum dilakukan pengukuran kecepatan lari 60 meter, subjek diharuskan melakukan peregangan statis dan dinamis, kemudian subjek menganbil posisi pada garis start dengan mengunakan start berlutut subjek memperhatikan bendera yang dipegang oleh starter. Dengan aba-aba” bersedia, siap, ya” subjek lari secepatnya sesuai kemampuan individu untuk menempuh jarak 60 meter menuju garis finis, Pada saat aba-aba “ya” starter sekaligus mengangkat bendera agar timer yang berada di finish bisa melihat dan menekan tombol pada stop wacth tepat pada waktunya. Saat subjek memasuki finish, timer menekan tombol stop tepat pada garis batas jarak 60 meter. Tiap sampel (testee) diambil oleh 5 orang pencatat waktu (timer). Pengukuran dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu pretest
maupun postest. Hasil waktu tempuh dicatatat dengan ketelitian 0,01 detik.
Gambar 4.5. Latihan Lari 60 meter.
82
4.8. Analisis data 4.8.1. Analisis Deskripsi Untuk menganalisis data subjek penelitian seperti; Umur, Tinggi badan, Berat badan, Indeks masa tubuh, dan kebugaran fisik yang datanya diambil sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok perlakuan. 4.8.2. Analisis komparasi a. Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui distribusi data kedua kelompok perlakuan baik sebelum maupun sesudah pelatihan. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas antar kelompok dengan Levene’s Test bertujuan untuk mengetahui homogenitas kecepatan lari 60 meter pada kelompok 1 pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan kelompok 2 perlakuan loncat gawang setinggi 35 cm. c. Uji Komparasi Uji komparasi antar kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan dengan menggunakan uji t-Paired (berpasangan) bertujuan untuk menganalisis beda rerata perubahan kecepatan lari 60 meter masingmasing kelompok perlakuan dan Uji efek perubahan kecepatan lari 60 meter dengan Uji t- Independent sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok 1 lompat dan kelompok 2 loncat. Batas kemaknaan yang
83
digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya
α < 0,05 maka hipotesis
penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan 4.9. Alur Penelitian Populasi
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi Sampel
Alokasi acak sederhana
Kelompok perlakuan 1
Kelompok perlakuan 2
Tes Awal
Tes Awal
Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm selama enam minggu
Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm selama enam minggu
Tes Akhir
Tes Akhir
Analisis Data
Penyusunan Laporan
Gambar 4.10 Alur penelitian
84
BAB V HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang dilakukan pada siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi terdiri dari karateristik subjek penelitian, Karakteristik lingkungan penelitian, hasil kecepatan lari 60 meter pada kelompok pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, sepuluh (10)repetisi tiga (3) set ,dan hasil Kecepatan lari 60 meter pada kelompok pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, sepuluh repetisi (10), tiga (3) set. 5.1 Karateristik Subjek Penelitian Karakteristik subjek penelitian yang meliputi: umur yang dinyatakan dalam (tahun), berat badan (kg), tinggi badan (m), indeks masa tubuh, dan kecepatan lari 60 meter pada kedua kelompok sebelum pelatihan dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian kecepatan lari 60 meter pada kelompok pelatihan lompat gawang dan loncat gawang Kelompok I (Lompat) Karakteristik
n
Rerata
Umur (th) Tinggi badan (cm) Berat badan (kg) IMT (kg/m²) Kecepatan lari(m)
20 20 20 20 20
16,80 1,61 49,70 19,30 8,66
Keterangan : Kel I Kel 2 SB Th Cm Kg/m²
SB 1,22 5,42 3,26 0,67 0,28
= Pelatihan Lompat Gawang = Pelatihan Loncat Gawang = Simpangan baku = Tahun = Centi meter = Kilogram
85
Kelompok 2 (Loncat) Rerata 15,80 1,60 49,00 19,00 8,56
SB 0,91 5,61 3,23 0,66 0,35
IMT = Indeks Massa Tubuh Tabel 5.1 menunjukkan bahwa karakteristik subjek pada kelompok pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dari segi umur dengan rerata 16,80±1,22 tahun, rerata tinggi badan 1,61±5,42 cm, rerata berat badan 49,70±3,26 kg, rerata Indeks massa tubuh (IMT) 19,30±0,67 kg/m², dan rerata Kecepatan lari 60 meter 8,66±0,28. Sedangkan karakteristik subjek penelitian pada kelompok Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm dari segi umur dengan rerata 15,80±0,91 tahun, rerata tinggi badan 1,60±5,61 cm, rerata berat badan 49,00±3,23 kg, rerata Indeks massa tubuh (IMT) 19,00±0,66 kg/m², dan rerata Kecepatan lari 60 meter 8,56±0,35. 5.2 Karakteristik Lingkungan Penelitian Suhu udara lingkungan pelatihan terdiri dari suhu udara basah dan suhu udara kering dalam satuan oC, serta kelembaban relatif disesuaikan dengan tabel psychometrik chart
dalam satuan % . Hasil pengukuran suhu udara selama
pelatihan seperti pada tabel 5.3 berikut; Tabel 5.3. Suhu Udara Lingkungan Pelatihan
Variabel
Minggu
Rerata
1
2
3
4
5
6
Suhu Basah oC
24
25
27
26
26
25
25,5
Suhu Kering oC
27
28
30
30
30
29
29
Kelembaban %
78
75
76
77
78
77
76,8
Tabel 5.3 Rentang suhu basah antara 28oC – 30oC dengan rerata 29,2oC, rentang suhu kering antara 27 oC - 30 oC dengan rerata 28,8oC dan kelembaban
86
relatif 76,8%. Kondisi suhu pada saat pelatihan merupakan keadaan yang bisa diadaptasi oleh orang Indonesia pada umumnya. 5.3 Hasil Kecepatan lari 60 meter Hasil pelatihan kedua kelompok lompat gawang setinggi 35 cm dan loncat gawang setinggi 35 cm dianalisis dengan Uji Normalitas dengan Shapiro WilkTes, sedangkan Uji Homogenitas menggunakan Levene’s Test, dan Uji Komparasi dengan uji t-indpendent. Varian yang diuji adalah hasil kecepatan lari 60 meter pada kedua kelompok. 5.3.1
Uji Normalitas Syarat guna menentukan uji statistik
yang digunakan maka perlu
dilakukan Uji Normalitas dan Uji Homogenitas hasil keepatan lari 60 meter pada kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan. Uji normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk Test, sedangkan Uji Homogenitas menggunakan Levene,s Test, untuk semua variabel bebas dan tergantung yang hasilnya terlihat pada Tabel 5.3 Tabel 5.3 Uji Normalitas Kecepatan lari 60 meter Sebelum Dan Sesudah Pada Kedua Kelompok Dengan Shapiro-Wilk Test Sebelum Pelatihan
Variabel Kelompok I
Sesudah Pelatihan
n
Rerata
SB
F
p
Rerata
SB
F
p
10
8,66
0,28
0,93
0,47
7,30
0,14
0,89
0,18
10
8,56
0,35
0,92
0,36
8,25
0,31
0,93
0,50
(Lompat gawang) Kelompok 2 (Loncat Gawang)
87
Tabel 5.3. Hasil Uji Normalitas dengan Shapiro-Wilk Test Kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok menunjukkan bahwa dari kedua hasil pengujian tersebut memiliki nilai p lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa rerata kecepatan lari 60 meter kelompok Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm sebelum dan sesudah pelatihan berdistribusi normal, sehingga hasil dapat dilanjutkan untuk uji parametrik. 5.3.2
Uji Homogenitas Untuk mengetahui varian kelompok I (Pelatihan lompat gawang setinggi
35 cm) dan kelompok 2 (Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm) maka perlu dilakukan uji homogenitas dengan Levene’s-Test. Dari hasil uji homogenitas diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Uji Homogenitas Hasil Kecepatan lari 60 meter Antar Kelompok Dengan Levene’s Test
Variabel
F
p
Observasi Akhir kedua kelompok Lompat dan Loncat
0,29
0,04
Tabel 5.4 Hasil Uji Homogenitas dengan Levene’s-Tes kelompok pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm dari kedua kelompok menunjukkan bahwa, dari kedua hasil pengujian tersebut memiliki nilai F lebih besar dari 0,05 sedangkan nilai p lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa rerata kecepatan lari 60 meter antar kelompok pelatihan
88
lompat gawang setinggi 35 cm dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm adalah Homogen sehingga hasil dapat dilanjutkan untuk uji parametrik. 5.3.3
Uji Beda rerata kecepatan lari 60 meter Sebelum dan Sesudah Pelatihan Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter
yang diukur sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok digunakan uji t-paired (berpasangan) pada batas kemaknaan α = 0,05 yang hasilnya terlihat pada Tabel 5.5 Tabel 5.5 Uji Beda Rerata kecepatan lari 60 meter Sebelum Dan Sesudah Pelatihan Dengan Uji t-Paired (berpasangan) Sebelum Perlakuan
n
Kelompok I Lompat gawang (m) Kelompok 2
Sesudah Beda
t
p
Rerata
SB
Rerata
SB
10
8,66
0,28
7,30
0,14
1,35
21,509 0,001
10
8,56
0,35
8,25
0,48
0,31
4,510
Loncat gawang(m) Tabel 5.5 menunjukkan perbedaan rerata kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan pada masing-masing kelompok memiliki nilai p lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa, rerata kecepatan lari 60 meter setelah pelatihan pada kedua kelompok meningkat. 5.3.4 Uji Perbedaan Kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah antar Kedua Kelompok Perlakuan Lompat gawang Dan Loncat gawang Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter yang diukur sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok
89
0,001
pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, digunakan uji t-Independent pada batas kemaknaan α = 0,05 yang hasilnya terlihat pada tabel 5.6 Tabel 5.6 Uji Beda Rerata Kecepatan lari 60 meter Sebelun dan sesudah pelatihan Dengan uji t-Independent
N
Kelompok I
Kelompok 2
(Lompat)
(Loncat)
SB
t
p
Sebelum Pelatihan(m)
10
8,66±0,28
8,56±0,35
0,29
0,66
0,519
Sesudah Pelatihan(m)
10
7,30±0,14
8,25±0,48
0,04
0,59
0,001
Tabel 5.6 Menunjukkan bahwa, rerata kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan antar kedua kelompok pelatihan memiliki nilai p lebih besar dari 0,05 (p> 0,05), sedangkan setelah pelatihan memiliki nilai p lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa, rerata perubahan kecepatan lari 60 meter sebelum pelatihan antar kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Dengan demikian kecepatan lari 60 meter antar kedua kelompok sebelum pelatihan sebanding. Sedangkan perbedaan kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan berbeda bermakna. Berarti perbedaan hasil akhir disebabkan oleh pengaruh pelatihan. Dengan demikian pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi 3 set, isterahat antar set 3 menit dan kelompok 2 pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi 3 set, isterahat antar set 3 menit selama 6 minggu seminggu 3 kali dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter, terjadi peningkatan dari segi kecepatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan lompat gawang setinggi 35 90
cm, 10 repetisi 3 set, isterahat antar set 3 menit lebih meningkatkan kecepatan lari 60 meter dengan menghasilkan perubahan kecepatan lari
dari kelompok 2
pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi 3 set, isterahat antar set 3 menit. 5.3.5 Persentase Peningkatan kecepatan lari 60 meter kelompok I pelatihan lompat gawang dan Kelompok 2 pelatihan loncat gawang sebelum dan sesudah pelatihan Persentase peningkatan kecepatan lari 60 meter selama pelatihan 6 minggu dengan frekuensi pelatihan 3 kali seminggu terjadi peningkatan pada masingmasing kelompok perlakuan terlihat pada tabel 5.7. Tabel 5.7 Persentase Peningkatan Kecepatan lari 60 meter Sebelum Dan Sesudah Pelatihan Pada Kedua Kelompok pelatihan
Hasil Analisis
Kelompok I. Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm
Kelompok 2. Pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm
Sebelum Pelatihan (m)
8,66
8,56
Sesudah Pelatihan (m)
7,30
8,25
Selisih Kecepatan lari(m)
1,36
0,31
Presentasi (%)
15,70 %
3,62 %
Persentase rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan seminggu 3 kali selama 6 minggu pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa, persentase rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter pada pelatihan Kelompok I pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm lebih besar dari pada Kelompok 2 pelatihan loncat
91
gawang setinggi 35 cm. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa pelatihan Kelompok I pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm memberi efek lebih baik dari pada pelatihan pada kelompok 2 pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm.
92
BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Subjek Penelitian Karateristik subjek penelitian sebelum pelatihan yang meliputi umur, tinggi badan, berat badan dan kesegaran jasmani pada kelompok 1, dan kelompok 2, tidak menunjukan adanya perbedaan seperti yang disajikan pada tabel 5.1. Hal ini terbukti dari uji normalitas , diperoleh p > 0, 05. Ini berarti bahwa semua data karakteristik yang ada berditsribusi normal dan tidak terdapat perbedaan varians antara kelompok 1 pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi 3 set dan kelompok 2 pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set. Dengan data di atas menunjukan bahwa kondisi awal subjek tiap-tiap kelompok sebelum perlakuan dalam keadaan seimbang, sehingga jika ada perbedaan pada akhir perlakuan merupakan akibat dari pelatihan yang diberikan pada masing-masing kelompok. 6.2. Suhu Lingkungan Pelatihan Pelatihan diberikan pada sore hari dari jam 15,00 sampai selesai, dilapangan Umum Kelurahan Nonbes. Suhu lingkungan di tempat pelatihan dalam bentuk suhu kering serta kelembaban, tidak menunjukan perubahan yang menyolok selama pelatihan berlangsung. suhu kering antara 27oC- 30oC dengan rerata 29oC dan kelembaban relatif antara 75% - 78% dengan rerata 76,8%.
Data kelembaban relatif selama pelatihan adalah kelembaban yang normal. Menurut Manuaba (1983) bahwa daerah nyaman orang Indonesia untuk kelembapan relatif berkisar 70% - 80%. Sehingga dari data kelembaban yang ada 93
masih dalam batas normal dan anak sudah terbiasa beradaptasi dengan keadaan lingkungan tersebut. 6.3. Peningkatan Kecepatan Lari 60 Meter Sebelum Pelatihan dan Sesudah Pelatihan Kecepatan lari 60 meter sebelum diberikan pelatihan pada kelompok 1 (pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm) rerata 8,6650 meter/detik. Sesudah diberikan pelatihan selama 6 minggu kecepatan lari 60 meter untuk kelompok 1 (pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm) dengan rerata 7,3070 meter/detik dan kecepatan lari 60 meter sebelum diberikan pelatihan pada kelompok 2 (pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm) rerata 8,5690 meter/detik, sesudah diberikan pelatihan selama 6 minggu kecepatan lari 60 meter untuk kelompok 2 (pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm) dengan rerata 8,2570 meter/detik, terjadi peningkatan pada kelompok 1 (pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm) sebesar 15,70% dan kelompok 2 (pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm) sebesar 3,62%. Rerata kecepatan lari 60 meter dalam kelompok 1 dan kelompok 2 meningkat bermakna (p<0.05), Hasil peningkatan rerata kecepatan lari 60 meter pada kelompok 1 dan kelompok 2 yang bermakna merupakan efek pelatihan selama 6 minggu. Adapun penilaian kecepatan lari 60 meter yaitu baik sekali > 7.4950 meter/detik, baik 7.1437 – 7.4949 meter/detik, sedang 6.9272 – 7.1436 meter /detik, cukup 6.5314 – 6.9271 meter/detik, kurang 6. 096- 6. 5313 dan kurang < 6. 096 meter/detik (Pate, 1984 ). Dengan melihat penilaian tersebut maka rerata kecepatan lari 60 meter kedua kelompok sebelum diberikan pelatihan termasuk
94
kategori kurang. Setelah pelatihan 6 minggu diperoleh rerata kecepatan lari 60 meter kelompok 1 dalam kategori baik (7,15808 meter/detik) dan kelompok 2 dalam kategori cukup (6,83569 meter/detik. Dari hasil peningkatan yang diperoleh setelah di berikan pelatihan, sesuai prediksi peningkatan sebesar 10 – 25% bagi pemula dengan pelatihan 6 – minggu (Pate dkk, 1984 ). Menurut Nossek (1982) peningkatan kecepatan antara 20 – 30%. Hasil yang ada akan jauh efektif apabila faktor-faktor biomotorik lain yang dominan mempengaruhi kecepatan digabung dalam pelatihan. Pelatihan gabungan komponen lain yang mempengaruhi kecepatan bisa mencapai 40% (Nala. 1998 ). Peningkatan kecepatan lari 60 meter pada kelompok 1 dan 2 sesudah pelatihan dikarenakan pelatihan fisik yang di berikan secara teratur dan terukur dengan dosis dan waktu yang cukup, akan menyebabkan perubahan fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan fisik. Pada. Pelatihan lompat gawang dan pelatihan loncat gawang selama 6 minggu akan memberikan perubahan yang meliputi peningkatan substrat anaerobik (ATP, PC, kreatin, glikogen), peningkatan jumlah dan aktivitas enzim (McArdle, 1981). Menurut Fox dkk (1993) perubahan fisiologis yang terjadi akibat latihan fisik diklasifikasikan yaitu (a) perubahan yang terjadi pada tingkat jaringan yakni perubahan yang berhubungan dengan biokimia; (b) perubahan yang terjadi secara sistemik, yakni perubahan pada sistem sirkulasi dan respirasi; (c) perubahan lain yang terjadi pada komposisi tubuh, perubahan kolesterol dan trigliserida,
95
perubahan tekanan darah dan perubahan yang berkenan dengan aklimatisasi panas. Pengaruh pelatihan yang teratur akan menyebabkan terjadi hipertropi fisiologi otot. Hipertropi otot dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan pembuluh darah kapiler, saraf, tendon dan ligamen, dan jumlah total kontraktil terutama protein kontraktil miosin meningkat secara proposional (Fox dkk, 1993). Perubahan pada serabut otot tidak semuanya terjadi pada tingkat yang sama. Peningkatan yang lebih besar terjadi pada serabut otot fast twitch (otot putih) sehingga terjadi peningkatan kecepatan kontraksi otot (Hairy, 1989). Dengan meningkatnya ukuran serabut otot akan meningkatkan kecepatan kontraksi otot dan menyebabkan peningkatan kecepatan lari 60 meter. Pelatihan lompat gawang dan loncat gawang berpengaruh bermakna dalam peningkatan kecepatan lari 60 meter. Hal ini dapat di ketahui dari prinsip kekhususan dimana pelatihan tersebut merupakan pelatihan yang mempersiapkan otot-otot tungkai untuk kerja yang efisien dan untuk penampilan yang lebih baik. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kecepatan dan kekuatan dari otot tungkai yang banyak diperlukan oleh atlet untuk memperbaiki penampilannya (Costill dan Wilmore. 1994). Pelatihan lompat gawang dan loncat gawang memperbaiki sistem dari fungsi organ tubuh serta peningkatan efisiensi kerja terutama pada otot-otot yang yang terlibat (Chu, 1992). Pelatihan yang dilakukan harus mengembangkan sistem energi yang khusus sesuai dengan aktifitasnya. Bila dilihat dari bentuk pelatihannya yang cepat dan kuat serta dikerjakan dalam waktu yang singkat maka pelatihan lompat gawang dan loncat gawang
96
mengunakan sistem ATP-PC (anaerobik), (Guyton dan Hall, 1997). Pelatihan yang bersifat anaerobik maka akan terjadi peningkatan pada potongan melintang serabut otot tipe 11 (serabut otot cepat). Pelatihan anaerobik meningkatkan ATPPC dan aktifitas enzim glikolitik (Costill dan Wilmore,1994). Juga meyebabkan adaptasi sistem saraf yang menyangkut mekanisme rekruitmen, koordinasi dan sinkronisasi (Fox dkk, 1993). Akibat dari perubahan ini terjadi peningkatan kecepatan kontraksi otot sehingga menunjang penampilan saat lari 60 meter. Pelatihan lompat gawang dan loncat gawang menyebabkan juga peningkatan terhadap kontrol otot fleksor dan ekstensor selama gerakan yang cepat. Gerakan yang cepat (lari 60 meter) menunjukan aktivitas yang tinggi. Aktivitas yang tinggi ini terjadi karena dibutuhkan untuk menarik (ekstensi) tungkai bawah pada sendi lutut. Dengan cara ini tungkai bawah akan berada dalam posisi lurus dengan tungkai atas. Selain itu otot paha depan mendapat tambahan tugas, yakni menjaga agar pada waktu terjadi pergantian gerakan otot ekstensor dan fleksor pada sendi lutut yang berlangsung amat cepat, tidak menyebabkan sendi lutut terkilir. Koordinasi gerakan bergantian antara otot paha depan dengan otot paha belakang, antara gerakan ektensor dan fleksor harus berlangsung mulus, jika koordinasinya tidak baik, akan terjadi gangguan dalam kecepatan bergerak untuk berlari (Nala. 1997). Menurut Effendi dan Kumaat (1999) bahwa secara anatomi – fisiologis, pelatihan pliometrik melibatkan refleks regang (stretch refleks) yang mempunyai alur dari muscle spindle – afferent sensoris Ia dan 11– anterior motorneuron– efferent motorik A-alpha – muscle fibers – kontraksi otot. Selain itu juga
97
melibatkan transmisi sensoris – sistem proprioseptif – columna dorsalis – lemniscus medialis – thalamus serta SSO 1. Oleh karna merupakan kontraksi eksentrik maka peranan keseimbangan dan cerebellum sangat penting. Tipe gerakan pelatihan pada anggota gerak bawah yang ditekuk dengan sudut 90o kemudian melompat saat latihan secara fisiologis akan terjadi proses pembentukan refleks bersyarat, proses belajar bergerak serta proses penghafalan gerak. Sehingga saat lari 60 meter posttest,tingkat fleksibilitas, kekuatan otot dan kecepatan kontraksi otot sudah lebih besar dibandingkan dengan saat pretest kecepatan lari 60 meter. Dengan fleksibilitas yang tinggi sesudah pelatihan pada sendi anggota gerak bawah maka paha yang diangkat saat berlari (posttest) akan lebih tinggi. Tingginya paha ini akan memperpanjang jarak langkah, dikarnakan dorongan tungkai pada lintasan (kekuatan dan kecepatan kontraksi otot) lebih besar dari sebelum pelatihan (Hukum Newton III). Fleksibilitas dan daya ledak (kekuatan otot x kecepatan kontraksi otot) merupakan sebagian dari beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan lari 60 meter (Widana,1983). 6.4 Efektivitas Pelatihan Terhadap Kecepatan Lari 60 Meter. Evektifitas pelatihan yang diberikan dilihat peningkatan kecepatan lari 60 meter tiap kelompok, kemudian dibandingkan satu sama lainnya. Dari Uji tIndependent rerata kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan, diketahui terdapat perbedaan yang bermakna dari rerata kecepatan lari 60 meter antara kelompok 1 (pelatihan lompat gawang) dan kelompok 2 (pelatihan loncat gawang) dengan p = 0,001.
98
Lebih efektifnya pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set, isterhat antar set 3 menit dari pada pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set, istirahat antar set 3 menit dikarenakan gerakan kaki pada pelatihan lompat gawang saat melakukan lompatan bergantian terus menerus seperti gerakan saat melakukan aktifitas berlari. Sedangkan pelatihan loncat gawang gerakannya tidak seperti gerakan aktifitas berlari yang menggunakan kaki silih berganti. Dengan kata lain tipe gerakan dari pelatihan lompat gawang lebih spesifik dengan gerakan lari yang sesungguhnya. Menurut Nala (1997), tipe gerakan yang akan dilatih pada otot tertentu harus sesuai dengan gerakan yang sebenarnya saat melakukan aktivitas olahraga. Bila tipe dan takaran pelatihannya tepat akan memberikan dampak yang amat menguntungkan bagi siswa atau anak coba yang bersangkutan. Tipe yang spesifik menyebabkan terjadi perubahan terutama pada unik motorik (saraf dan otot), kontraksi otot antagonis, sinkronisasi, pelatihan silang dan lainnya yang akan menunjang penampilan berolahraga.
Adaptasi neural akan meningkatkan kekuatan dan memperbaiki
koordinasi. Siswa yang sudah terlatih dengan tipe gerakan yang sebenarnya akan tampak gerakan larinya seolah-olah tanpa tenaga tetapi mantap dan anggun. Gerakan lari seperti ini dimungkinkan akibat adanya kontrol koordinasi neural terhadap saraf ini meliputi refleks unik motorik untuk berkontraksi memperbaiki koordinasi kelompok otot antagonis efek/pelatihan dan penghambatan golgi aparatus pada tendon. Gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama 6 minggu dengan frekwensi pelatihan 3 kali seminggu pada masing-masing kelompok akan
99
terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (guyton dan Hall, 1997), sehingga pada pengukuran kecepatan lari 60 meter tingkat respon motorik (penampilan) dari tiap-tiap kelompok disesuaikan dengan pola sensorik yang tersimpan. Penampilan gerakan lari pada masing-masing kelompok akan berbeda karena refrek regang yang terpelajari mempengaruhi gerakan saat tubuh berlari menempuh jarak 60 meter dalam waktu yang sesingkat mungkin. Kemampuan koordinasi untuk keseimbangan tubuh waktu berlari atau bergerak cepat tiap kelompok di saat posttest kecepatan lari 60 meter berbedabeda di sesuaikan dengan tipe pelatihan yang diperoleh masing-masing kelompok. Dengan pelatihan lompat ke depan yang mengunakan kaki silih berganti (pelatihan lompat gawang), efek adaptasi keseimbangan dari hasil pelatihan sangat menunjang koordinasi keseimbangan tubuh saat berlari cepat menempuh jarak 60 meter dalam waktu yang sesingkat- singkatnya akan lebih baik pada pelatihan lompat sesuai adaptasi pelatihan spesifik yang merupakan salah satu faktor penentu kecepatan bergerak saat lari 60 meter (Suharno, 1993). Kecepatan lari 60 meter yang berbeda dari tiap kelompok disebabkan oleh fase amortisasi yang berbeda pula. Fase amortisasi adalah perubahan kerja negatif (eksentrik) ke positif (konsentrik). Pasangan kontraksi eksentrik- konsentrik ini terjadi dalam seperberapa ratus detik. Semakin cepat suatu otot meregang atau memanjang, maka semakin besar kekuatan konsentrik setelah diregangkan. Akibatnya adalah gerakan-gerakan lari lebih bertenaga untuk mengatasi kelembaman/enertia,
(Chu,1992).
Kecepatan
perubahan
fase
amortisasi
disebabkan dari adaptasi terhadap pelatihan yang diperoleh (efek pelatihan). Fase
100
amortisasi saat lari 60 meter pada kelompok 1 (pelatihan lompat gawang) lebih pendek dari fase amortisasi pada kelompok 2 (pelatihan loncat gawang). Semakin pendek fase amortisasi berarti semakin cepat gerakan anggota gerak bawah untuk bertumbuh dan mendorong tubuh kedepan. Dengan demikian semakin banyak jumlah injakan persatuan waktu, menyebabkan pelatihan lompat lebih baik dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter (Occihipinti, 2000). Fase amortisasi yang pendek disebabkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot anggota gerak bawah meningkat sebagai efek pelatihan. Dengan meningkatnya kekuatan dan kecepatan kontraksi otot anggota gerak bawah berarti gaya aksi-reaksi yang bekerja pada kaki dan permukaan lintasan semakin besar (Hukum Newton III) akan diikuti pula bertambahnya panjang langkah. Panjang langkah akan mempengaruhi kecepatan lari 60 meter. 5.5. Persentase Peningkatan Kecepatan Lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan Persentase peningkatan kecepatan lari 60 meter sebelum dan sesudah pelatihan selama enam minggu pada ke dua kelompok pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm dan kelompok pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm dapat disajikan dalam bentuk Gambar 6.1
101
15.70% 16.00% 14.00% 12.00%
10.00% 8.00%
3.62%
6.00% 4.00% 2.00% 0.00% Kelompok 1
Kelompok 2
Gambar 6.1 Grafik Persentase Rerata Peningkatan Kecepatan Lari 60 M Persentase rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter sesudah pelatihan selama enam minggu pada Gambar 6.1, menunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan kecepatan lari 60 meter pada pelatihan kelompok-1 lebih besar daripada kelompok-2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan kelompok-l (pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set dengan istirahat antar set 3 menit), menghasilkan peningkatan kecepatan lari 60 meter lebih baik dibandingkan dengan pelatihan kelompok-2 (pelatihan loncat gawang setinggi 35 cm, 10 repetisi, 3 set, istirahat antar set 3 menit). 6.5. Kelemahan penelitian Sulit untuk mengontrol atau mengendalikan motivasi dan psikis subjek baik selama pelatihan maupun di luar pelatihan. Hal ini kemungkinan juga berpengaruh terhadap beban pelatihan dan kesegaran jasmani selanjutnya juga berpengaruh terhadap hasil penelitian. Untuk mengantisipasi hal tersebut subjek
102
selalu dimotivasi dengan cara memberikan hadiah pada mereka apabila melakukan pelatihan dengan disiplin dan sesuai dengan jadwal pelatihan dan mendapatkan nilai tambahan dalam pelajaran pendidikan jasmani karena peneliti merupakan guru pendidikan jasmani subjek penelitian. Selain itu dilakukan absensi selama pelatihan agar disiplin berlatih, diberikan konsumsi selama pelatihan dan insentif pada akhir pelatihan serta dijelaskan pentingnya hasil penelitian apabila dilaksanakan dengan baik disiplin dan sungguh – sungguh.
103
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi dan hasil pembahasan dapat simpulkan bahwa Pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, sepuluh repetisi, tiga set lebih baik dari pada
pelatihan loncat gawang
setinggi 35 cm, sepuluh repetisi, tiga set dalam meningkatkan kecepatan lari 60 meter siswa putra SMA Negeri 1 Amarasi. 7.2. Saran a. Kepada pembina, pelatih dan guru olahraga serta atlet lari jarak pendek yang ingin memperbaiki dan meningkatkan kecepatan lari, dapat mengunakan pelatihan lompat gawang setinggi 35 cm, sepuluh repetisi, tiga set dan loncat gawang setinggi 35 cm, sepuluh repetisi, tiga set, demikian pula peningkatan koordinasi dan keseimbangan tubuh yang menopang keberhasilan kecepatan pada lari jarak pendek. b. Komponen biomotorik kecepatan akan jauh lebih baik hasilnya jika digabungkan dengan pelatihan komponen biometrik lainnya sehingga hasil yang diperoleh akan lebih baik. c. Dianjurkan adanya penelitian lanjutan dengan waktu yang lebih lama dari 6 minggu. Karena dengan waktu yang lebih lama dari 6 minggu besar kemungkinan memberikan efek pelatihan yang lebih baik dengan tetap
104
berpedoman pada prinsip-prinsip pelatihan, juga dilakukan pengukuran power otot sebelum dan sesudah pelatihan guna mengetahui efektivitas dari pelatihan yang diberikan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Asmussen, E.,Bonde, P.R., 1978. Storage of Elastic Energy in Skeletal Muscles in Man., Acta Physiol. Scandinavia. Azmi CH, 2000. Metode Latihan Lompat Jauh, Journal Iptek Olahraga vol. 2 Nomor 1 Januari 2000. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Iptek Olahraga (PPPTTOR). Kantor Kementrian Negara Pemuda Olahraga. Bakta, I.M. 1997. Diktat Mata Kuliah Metotodologi Penelitian. Denpasar: Program Studi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga Universitas Udayana. Berger, R. A. 1982. Applied exercise physiology. Philadelphia: Saundders College. Bernhard, G. 1993. Prinsip dasar latihan Loncat tinggi, Jauh dan loncat galah. Semarang: Dahara Price. Bompa, T. O., 1983., Theory and Methodology of Training., Kendal / Hunt Publishing Company, Dubuque, Iowa, Boosey, D., 1980., The Jumps : Conditioning and Technical Training., Beatrice Publishing Pty. Ltd., Australia. Bosco, J. S., Gustafson, W. F., 1983., Measurement and Evaluation in Physical Education, Fitness, and Sport., Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, USA. Chu, D.A. 1992. Jumping Into Plyometrics. Calofornia: Liesure Press Champaign Illionis. Corbin, C. B., 1980., A Text Book of Motor Development., 2nd ed, WM Brown Company Publishers, Dubuque Ioawa. Costill, D.L., Wilmore, J.H., (1988)., Training For Sport and Activity., 3rd ed., Printed in The United Stated of America. Costill, D.L. and J.H. Wilmore 1994., Training For Sport and Activity: The Physiological Basis of the Conditioning Process. Iowa: WM Brown Publisher. Effendi, C. dan N.A. Kumaat 1999. Latihan Pliometrik terhadap waktu reaksi. Seminar Nasional, Bandung.
106
Fox, E. L., 1984., Sport Physiology., 2nd ed., Sounders College Publishing, hal Fox, E. L., Mathews, D. K., 1981., The Physiological Basis of Physical Education and Athletics, Sounders College Publishing, Philadelphia Fox, E. L., Bowers, R. W., Foss, M. L., 1988., The Physiological Basis of Physical Education and Athletics., Saunders College Publishing, New York, Fox, E.L., R.W. Bowers, and M.L. Foss 1993. The Physiological Basis For Exercise and Sport. Dubuque lowa: Brown & Benchmark Fridrich, J. A., 1969., Princinples of Conditioning and Training., Journal of Physical Education, Guyton, A. C. 1986. Text Book of Medical Physiology. Missisippi: W. B. Saunders Company Guyton, A. C, Hal, J.E. 2007. Fisiologi Kedokteran. (Terjemahan). Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hairy, J. 1989. Fisiologi Olahraga Monograf yang diperbanyak oleh DIKTI, Depdikbud, Jakarta Hairy, J. 1998. Buku materi pokok Dasar – dasar Kesehatan Olahraga, Jakarta, Depdikbud, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Harre, D., 1982., Principle of Sport Training, introduction to Theory and Metode of Training., Sport Verslag, Berlin. Harsono., 1993. Prinsip-Prinsip Pelatihan Fisik, Jakarta:Koni Pusat. Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-aspek dalam Coaching, Depdikbud Dirjen Dikti. Jakarta. Hay, J.G. 1978. The Biomechanics of sport tehcniques, Englewood Cliffs: Precentice Hall, Inc. Jarver, J., 1989., Principles of Speed and East European Summary., Australia, April, Volume Jansen, C. R., 1978., Applied Kinesiology : The Scientific Study of Human Performent., McGraw Hill Book Co., New York.
107
Jensen, C. R., Fisher, A. G., 1979., Scientific Basis of Atheltic Conditioning., 2nd ed., Lea&Febiger, Philadelphia. Jensen, C. R., Schultz, G. W., Bangerter, B. L., 1983., Applied Kinesiology and Biomechanics, 3rd ed., McGraw Hill Book Company, New York. Kirkley, G., Goodbody, J., 1985., The Manual of Weight Training., Stanley Paul Co. Ltd, London, Sydney, Melbourne, Auckland, Johannesburg. Lamb, D. R., 1984., Physiology of Excercise Respons and Adaptations., Macmilan Publishing Company, Canada, New York. Luttgens, K., Wells, K. F., 1982., Kinesiology : Scientific Basis of Human Motion., Saunders College Publishing Philadelphia. Margaria, R., Aghemo, P., Rovelli., 1966., Measurement of Muscular Power (Aneribic ) in Man., J. Appl. Physiol. Mc. Ardle, W.D, F. J. Katch, V. I. Katch, 2001. Exercise Physiology Energy, Nutrition and Human Performance. Philadelphia; Lea and Fibiger. Molette, R. 1963., Power Training Brussels, Cross Promenade. Matthews, D. K., 1979., Measurement in Physical Education. W. B. Saunders Company, Philadelphia. Nala, I.G. 2002. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Universitas Udayana Denpasar. Nala, I.G. 2011. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Universitas Udayana Denpasar. Nossek, J., 1954., General Theory of Training, Pan African Press Ltd, Lagos. Nossek, J., 1982., General Theory of Training, Pan African Press Ltd, Lagos. Occhipinti, M.J. 2000. Secrets Of Rusian Sprint Training. SportSpecific.com, http://www.sportspecific.com/saq.htm. O’Shea, J. P., 1976., Scientific Principles and Methods of Strength Fitness., 2nd ed., Addison-Wesley Publishing Company Inc., Tokyo. O’Shea, J. P., 1986., Effect of Selected Weight Training Program on Development of Strength and Muscle Hypertrophy., Res. Quarterly.
108
Pate, R. R., Cienaghan, Rottela. 1984. Scientific Fondation Of Couching. Philadelphia; Sounders Company Publishing. Poccok, S.J. 2008. Clinical Trial A Practical Approach. England: John Wiley & Sons Pyke, F. S., 1980., Toward Better Coaching The Art and Sciece of Coaching., Australia Goverment Publishing Service, Caberra. Radcliffe, J. C., Farentinos, R. C., 1985., Plyometrics : Explosive Power Training., 2nd ed., Human Kinetics Publisher. Inc., Champaign, Illonis. Sharkey, J.B. 2011. Kebugaran dan Kesehatan. RajaGrafindo Persada Jakarta Singer, R. N., 1972., Coaching Athletics and Physiology, McGraw Hill Book Company, New York. Soeharno, H. P., 1985., Ilmu Kepelatihan Olahraga., Yayasan STO, Yokyakarta. Soekarman ., 1987., Dasar Olahraga untuk Pembina, Pelatih dan Atlet., Inti Indayu Press, Jakarta. Stull, A. G., Thomas, K., Cureton, Jr., 1980., Encyclopedia of Physical Education of Physicl Education Fitnes and Sport , Bringhton Company, USA. Verhaak, C., Haryono, I. R., 1989., Filsafat Ilmu Pengetahuan., Gramedia, jakarta, hal. 121 – 134. Verhoshanski, Y., 1969., Are Depth jump Useful., Yessis Review of Soviet Physical Education and Sport. Widana, I.K. 1983. Psysiology of Training Sprinting. Discussion Paper: Depertement of Human Movement and Recreation Studies, University of Western Australia, Perth Wirhed, R., 1984., Athletic Ability : The Anatomy of Winning., Walfe Medical Publications, Ltd., New York. Zainuddin, M., 1988., Metodologi Penelitian., Fak. Farmasi UNAIR Surabaya.
109