TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
YOSEPHINE ERVINA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
YOSEPHINE ERVINA NIM 0914108203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS
TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
YOSEPHINE ERVINA NIM 0914108203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 NOPEMBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. I Ketut Sinardja, SpAn.KIC NIP. 195505211983021001
dr. Tjok G.A. Senapathi, SpAn.KAR NIP. 197301232008011006
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SpS(K)
NIP. 194612131971071001
NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 17 Nopember 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No.: 4077/UN14.4/HK/2014, Tanggal 19 September 2014
Ketua
: dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC
Anggota
: 1. dr. Tjok G.A Senapathi, SpAn, KAR 2. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC 3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH 4. dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama
:
dr. Yosephine Ervina
NIM
:
0914108203
Program Studi
:
Magister Ilmu Biomedik (Combine - Degree)
Judul
:
Perbandingan Waktu Pulih Hambatan Motorik Antara Pemberian Levobupivakain 0,5 % 10mg Dengan Bupivakain 0,5% 10mg Pada Seksio Sesarea Dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RSUP Sanglah Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.
Denpasar,…………………………….. Yang membuat pernyataan, Materai 6 000 (dr. Yosephine Ervina)
UCAPAN TERIMA KASIH
Syaloom, Salam sejahtera, Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Ijinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih, hormat dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K).M.Kes, atas berkenannya mengijinkan penulis menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K), dan Ketua Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd.FAACS, karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani Program Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. I Nyoman Semadi, SpB.SpBTKV, atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini melalui Program Tugas Belajar Departemen Kesehatan Angkatan IV. Direktur Utama RSUP Sanglah dr. A.A. Sri Saraswati, M.Kes, atas kesempatan yang telah diberikan untuk melakukan penelitian di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah. Kepala Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, sekaligus Pembimbing I tesis ini, dr. I Ketut Sinardja, SpAn.KIC, telah berkenan memberikan dukungan semangat, bimbingan dan motivasi selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi ini. Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn.KIC.KAO, telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan dokter spesialis anestesi. Sekretaris Program Studi Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, juga selaku Pembimbing Akedemik, dr. IMG Widnyana, SpAn.MKes.KAR, atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepala Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif dan Sekretaris Program Studi Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif periode yang sebelumnya yaitu dr. IB Gde Sujana, SpAn.MSi dan dr. I Gede Budiarta, SpAn.KMN, atas semua
kesempatan dan bimbingan yang tak henti-hentinya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan semua tugas selama pendidikan spesialisasi ini. Pembimbing II tesis ini, yaitu dr. Tjokorda G.A. Senapathi, SpAn.KAR, selalu memberikan semangat dan bimbingan dengan sabar dalam proses penyelesaian tesis ini. Kepada dokter I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid sebagai pembimbing statistik, saya mengucapkan terimakasih karena telah dengan sabar membimbing tesis ini di bidang ilmu statistik. ‘Bapak’ dokter I Wayan Sukra, SpAn.KIC, atas kemurahan hatinya dengan sabar dan tanpa pamrih telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam proses pendidikan, dan memberikan bekal menjadi seorang anestesiologist yang baik. Staf pengajar Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: dr. I Made Subagiartha, SpAn.KAKV.SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn.KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn.KIC; Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn.MKes.KMN.KNA; dr. I Putu Agus Surya Panji, SpAn.KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn.KIC; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn.KAKV; dr. IGN Mahaalit Aribawa, SpAn.KAR; dr. IGAG Utara Hartawan, SpAn.MARS; dr. Pontisomaya SpAn.MARS; dr. Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn.MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. IB Krisna Sutawan, SpAn; dan dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, atas semua bimbingan, nasihatnya dan tiada mengenal waktu selalu memberikan dasar-dasar ilmu anestesi untuk diterapkan.
Seluruh sejawat peserta PPDS I RSUP Sanglah, khususnya teman-teman residen anestesi atas dukungan dan kerjasama dalam menjalani pendidikan yang penuh kenangan suka maupun duka ini. Kepada Papa (Alm) Hendra Leman dan mama Lies Lendeng, yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih. Mama memaklumi keputusan penulis untuk menempuh pendidikan dokter spesialis, mama juga yang selalu mendukung dalam doa dan memberikan materi tanpa pamrih. Kepada kakak-kakak (Agustinus Iwan Leman dan keluarga, Ridwan Leman dan keluarga, M. Melani Leman dan keluarga) yang turut mendukung penulis dalam doa supaya penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar. Kepada putri-putra penulis Auxillia Briliana Shirley dan Rayllion Zefza Gerald, atas pengertian dan kesabaran kalian. Seluruh staf karyawan/wati di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, kepada ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan bapak Komang Ganda, atas semua bantuan selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Para penata anestesi, perawat kamar operasi, perawat instrumen, perawat di ruang intensif (RTI/HCU), perawat bangsal perawatan dan para pegawai di tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani pendidikan spesialis ini, yaitu RSUP Sanglah-Denpasar, RSUD Masohi-Maluku Tengah, RSUD Soebandi-Jember, RSUD Ekapata-Waikabubak Sumba Barat, atas semua bantuan dan kerjasamanya yang tak terlupakan selama penulis bertugas dan menuntut ilmu.
Para pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini. Akhirnya penulis menghaturkan doa semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak, yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini . Semoga bermanfaat. “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal 1:7)”.
Denpasar, Nopember 2014 dr. Yosephine Ervina
ABSTRAK PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR Seksio sesarea merupakan salah satu tindakan bedah mayor yang sering dikerjakan pada wanita hamil. Penatalaksanaan anestesi dengan regional anestesi blok subarakhnoid menjadi pilihan karena mengurangi angka mortalitas dibandingkan anestesi umum. Obat anestesi lokal golongan amida levobupivakain dan bupivakain pada berbagai penelitian memiliki potensi yang sama, namun efek waktu pulih hambatan motorik dapat berbeda dan efek toksisitasnya yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan waktu pulih hambatan motorik pada populasi pasien yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Sanglah Denpasar. Diharapkan levobupivakain dapat menjadi pilihan regimen obat anestesi selain bupivakain pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik secara acak pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di kamar operasi IBS dan IRD RSUP Sanglah mulai bulan September 2014 sampai Nopember 2014. Penelitian ini mengambil sampel 72 pasien, yang dibagi menjadi 2 kelompok, 36 pasien per kelompok, yaitu kelompok A mendapatkan levobupivakain 0,5% 10 mg sedangkan kelompok B bupivakain 0,5% 10 mg. Dilakukan pencatatan waktu pulih hambatan motorik dengan memakai skala Bromage yang dimodifikasi (dari saat skor Bromage = 3 sampai dengan skor Bromage = 0). Kemudian analisis dilakukan dengan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences; Chicago, USA) untuk Windows 20.1. Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa levobupivakain memiliki rerata waktu pulih hambatan motorik lebih cepat dibandingkan bupivakain. Dengan rerata ± simpang baku pada kelompok A adalah 108,7 ± 12,0 menit sedangkan kelompok B adalah 152,0 ± 19,8 menit, yang secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001. Sedangkan kejadian efek samping pada penelitian ini yaitu hipotensi, mual, dan menggigil tidak bermakna secara statistik. Kami menyarankan pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid selain dengan bupivakain 0,5% 10 mg karena efek toksisitasnya yang rendah terhadap SSP dan jantung, mobilisasi pasien lebih cepat, dan efek samping minimal. Kata Kunci: seksio sesarea, anestesi blok subaraknoid, bupivakain, levobupivakain.
ABSTRACT COMPARISON BETWEEN MOTORIC RESISTANCE RECOVERY TIME GIVING LEVOBUPIVACAINE 0.5 % 10 MGS OR BUPIVACAINE 0,5% 10 MGS IN THE CAESAREAN SECTION WITH SUBARACHNOID BLOCK ANESTHESIA IN SANGLAH HOSPITAL Caesarean section is a major surgery that is often done in pregnant women. Management of choice regional anesthesia with subarachnoid block anesthesia of choice for reducing mortality compared to general anesthesia. Amide class of local anesthetics levobupivacaine and bupivacaine in various studies have the same potential, but the effects of motoric recovery time can be different and different toxicity effects. The result can be an option levobupivacaine anesthetic regimen in addition to bupivacaine at Caesarean section with subarachnoid block anesthesia. So the purpose of this study was to compare the motoric recovery time in population patient undergoing cesarean section at Sanglah Hospital. The research design was used a randomized clinical trial in patients underwent caesarean section surgery in the emergency operating room and Central Operating Theater in Sanglah hospital starting in September 2014 through November 2014, this study took a sample of 72 patients, who were divided into 2 groups, 36 patients per group, group A with levobupivacaine 0.5% 10 mgs, while group B bupivacaine 0.5% 10 mgs. The motoric recovery time recording using a modified Bromage scale (from the current Bromage score = 3 to the Bromage score = 0). Analyses were performed with SPSS (Statistical Package for the Social Sciences; Chicago, USA) for Windows 20.1. From this study we conclude that levobupivacaine has a mean motoric recovery time faster than bupivacaine. The mean ± standard deviations in group A was 108.7 ± 12.0 minutes, while group B was 152.0 ± 19.8 minutes, which is statistically significant with p < 0,001. While the incidence of side effects in this study are hypotension, nausea, and shivering are not statistically significant. So we recommend the use of levobupivacaine 0.5 % 10 mg in patients undergoing Caesarean section surgery with subarachnoid block anesthesia than with bupivacaine 0.5 % 10 mg because of its low toxicity effects on the CNS and heart, faster patient mobilization, and minimal side effects . Keywords: Caesarean section, subarachnoid block anesthesia, bupivacaine, levobupivacaine.
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ................................................................................. i PERSYARATAN GELAR ..................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ........................................... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................... v UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................... vi ABSTRAK .............................................................................................. xi ABSTRACK ........................................................................................... xii DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xviii DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.......................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xxii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian................................................................... 5 1.3.1 Tujuan umum .............................................................. 5 1.3.2 Tujuan khusus ............................................................ 5 1.4 Manfaat Penelitian................................................................. 6 1.4.1 Manfaat Praktis ........................................................... 6
1.4.2 Manfaat Akademis ....................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 7 2.1 Seksio Sesarea ...................................................................... 7 2.1.1 Pengertian..................................................................... 7 2.1.2 Indikasi ......................................................................... 7 2.1.3 Teknik operasi .............................................................. 7 2.1.4 Morbiditas dan mortalitas ............................................ 8 2.2 Teknik Anestesia ................................................................... 9 2.2.1 Anestesia neuraksial versus anestesia umum ............... 9 2.2.2 Anestesia blok subarakhnoid pada seksio sesarea........ 10 2.2.2.1 Fisiologi ............................................................ 10 2.2.2.2 Teknik............................................................... 12 2.2.2.3 Keuntungan ...................................................... 14 2.2.2.4 Kerugian ........................................................... 16 2.3 Komplikasi anestesi............................................................... 17 2.3.1 Sesak nafas ................................................................... 17 2.3.2 Hipotensi ...................................................................... 17 2.3.3 Kegagalan blok neuraksial ........................................... 20 2.3.4 Blok neuraksial tinggi .................................................. 20 2.3.5 Mual dan muntah .......................................................... 20 2.3.6 Menggigil ..................................................................... 23 2.3.7 Nyeri paskaoperatif ...................................................... 24 2.3.8 Toksisitas obat anestesi lokal ....................................... 24 2.4 Obat Anestesi Lokal ................................................................ 26 2.4.1 Struktur Obat Anestesi Lokal ......................................... 29 2.4.2 Bupivakain ..................................................................... 36
2.4.2.1 Struktur kimia..................................................... 36 2.4.2.2 Farmakodinamik ................................................ 37 2.4.2.3 Farmakokinetik................................................... 37 2.4.3 Levobupivakain .............................................................. 39 2.4.3.1 Struktur kimia................................................... 39 2.4.3.2 Farmakodinamik............................................... 39 2.4.3.3 Farmakokinetik ................................................ 41 2.4.3.4 Levobupivakain pada blok subarakhnoid......... 41 2.5 Pulih dari anestesi ................................................................. 42 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................................................................................ 45 3.1 Kerangka Berpikir ................................................................. 45 3.2 Konsep .................................................................................. 46 3.3 Hipotesis Penelitian............................................................... 46 BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................... 47 4.1 Rancangan Penelitian ............................................................ 47 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 47 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 48 4.4 Penentuan Sumber Data ........................................................ 48 4.4.1 Populasi penelitian....................................................... 48 4.4.2 Sampel penelitian ........................................................ 48 4.4.3 Perhitungan jumlah sampel ......................................... 49 4.4.4 Teknik pengambilan sampel ........................................ 51 4.4.5 Alokasi sampel ............................................................ 51 4.5 Variabel Penelitian ................................................................ 52 4.5.1 Identifikasi variabel ..................................................... 52
4.5.2 Definisi operasional variabel ....................................... 52 4.6 Instrumen Penelitian ............................................................. 54 4.7 Alur Penelitian ...................................................................... 55 4.7.1 Persiapan...................................................................... 55 4.7.2 Penapisan kasus ........................................................... 55 4.7.3 Alokasi Pasien ............................................................. 56 4.7.4 Perlakuan ..................................................................... 56 4.7.5 Penilaian dan pencatatan ............................................. 58 4.8 Analisis Statistik.................................................................... 60 BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................... 62 5.1 Data Karakteristik Sampel ...................................................... 62 5.2 Uji Normalitas Data Sampel Berdasarkan Kelompok Perlakuan ................................................................................. 65 5.3 Nilai Statistik Variabel Berdasarkan Kelompok Perlakuan .... 66 BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................... 71 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................... 79 7.1 Simpulan............................................................................... 79 7.2 Saran..................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 80 LAMPIRAN ............................................................................................ 84
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Pasien ................................................................ 61 Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Perlakuan ....... 65 Tabel 5.2 Hasil Analisis Perbedaan Rerata Waktu Pulih Hambatan Motorik Berdasarkan Kelompok Perlakuan ............................ 66 Tabel 5.3 Kejadian Efek Samping Berdasarkan Kelompok Perlakuan... 68
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Toksisitas kardiovaskuler akibat obat anestesi lokal ......... 25 Gambar 2.2 Lokasi kerja obat anestesi lokal ........................................ 26 Gambar 2.3a Channel natrium pada membran sel .................................. 27 Gambar 2.3b Ikatan obat anestesi lokal pada channel natrium ............... 28 Gambar 2.4a Obat anestesi lokal menghambat potensial aksi ................ 28 Gambar 2.4b Mekanisme aksi obat anestesi lokal .................................. 29 Gambar 2.5 Komponen kimia obat anestesi lokal ................................ 29 Gambar 2.6 Derajat ionisasi obat anestesi lokal menembus membran sel ...................................................................................... 33 Gambar 2.7a Rumus kimia bupivakain ................................................... 37 Gambar 2.7b Rumus kimia levobupivakain ............................................ 39 Gambar 2.7c Rumus molekul S(-) Bupivakain dan R(+) Bupivakain .... 40 Gambar 2.8 Penentuan hambatan motorik ............................................ 43 Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep..................................................... 46 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ............................................. 47 Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian ....................................................... 60 Gambar 5.1 Perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan ....................... 67 Gambar 5.2 Fluktuasi tekanan arteri rerata antara kedua kelompok perlakuan ........................................................................... 69 Gambar 5.3 Hubungan antara waktu dan Bromage 3 sampai dengan Bromage 0 pada kedua kelompok perlakuan .................... 69
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
APGAR
: Appearance Pulse Grimace Activity Respiration
ASA
: American Society of Anesthesiology
BPJS
: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
CO 2
: Karbondioksida
CSE
: Combined Spinal Epidural
CSS
: Cairan Serebro Spinalis
CNS
: Central Nervous System
Dkk
: Dan kawan-kawan
ED 50
: Effective Dose 50%
ED 95
: Effective Dose 95%
EEG
: Electroencephalography
EKG
: Elektrokardiogram
HES
: Hydroxyethyl Starch
IMT
: Indeks Massa Tubuh
Interval QTc : Interval Corrected QT KTP
: Kartu Tanda Penduduk
N2O
: Nitrous Oxide
NOS
: Nitric Oxide Sintase
NSAID
: Non-steroidal anti-inflammatory drug
PPX
: Pipecolyl xylidide
RSUP
: Rumah Sakit Umum Pusat
RSUD
: Rumah Sakit Umum Daerah
SIM
: Surat Ijin Mengemudi
SSP
: Susunan Saraf Pusat
SPSS
: Statistical Package for the Social Sciences
TAR
: Tekanan Arteri Rerata
Na+
: Natrium
K+
: Kalium
f (%)
: distribusi frekuensi
%
: persen
x/menit
: kali/menit
kg/m2
: kilogram per meter kubik
mcg/kgBB
: mikrogram per kilogram berat badan
mg/kgBB
: milligram per kilogram berat badan
mg/kg/jam
: milligram per kilogram per jam
ml/kgBB
: milliliter per kilogram berat badan
µg/ml
: mikrogram per mililiter
mg
: milligram
mcg
: mikrogram
ml
: milliliter
mm
: millimeter
msec
: millisecond
=
: sama dengan
≥
: lebih besar dan sama dengan
≤
: lebih kecil dan sama dengan
>
: lebih besar atau lebih dari
<
: lebih kecil atau kurang dari
L
: Liter
L1
: Lumbal-1
L2
: Lumbal-2
pH
: power of hydrogen
pKa
: Konstanta disosiasi
S2
: Sakral-2
Th 10
: Thorakal-10
Th6
: Thorakal-6
T2
: Torakal-2
Vs
: Versus
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ........................................ 84 Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik ........................................................... 85 Lampiran 3 : Rincian Informasi .............................................................. 86 Lampiran 4 : Surat Pernyataan Persetujuan Uji Klinik ........................... 88 Lampiran 5 : Lembar Penelitian.............................................................. 89 Lampiran 6 : Pencatatan Hasil Evaluasi.................................................. 92 Lampiran 7 : Tabulasi Data Penelitian .................................................... 94 Lampiran 8 : Hasil Analisis SPSS........................................................... 97
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seksio sesarea merupakan salah satu tindakan bedah mayor yang paling sering dikerjakan pada wanita hamil di seluruh dunia. Dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir ini kecenderungan utama dalam bidang anestesia obstetrik menunjukkan peningkatan penggunaan teknik anestesia regional baik untuk bedah sesar maupun persalinan. Angka mortalitas ibu saat digunakannya anestesi umum 17 kali lebih tinggi yang disebabkan gagal intubasi, gagal ventilasi dan oksigenasi, dan atau aspirasi lambung (Wlody, 2003). Antara tahun 1988-1992, hanya 17% wanita menjalani bedah sesar dilakukan anestesi umum, 40% dengan analgesia spinal, 44% dengan analgesia epidural. Hal ini disebabkan antara lain angka mortalitas ibu dengan anestesia umum cukup tinggi (Kuczkowski, 2004). Hawkins dkk mendapatkan angka kematian ibu sekitar 32 per 1.000.000 kelahiran hidup saat anestesi umum digunakan dan hanya 2 per 1.000.000 kelahiran hidup saat anestesi regional digunakan. (Subasi dkk., 2012; Wlody,2003). Regional anestesi blok subarakhnoid untuk seksio sesarea telah secara luas dipilih karena teknik penempatan yang mudah dan onset yang cepat dengan tetap memperhatikan perubahan fisiologi ibu hamil pada vena-vena epiduralis dan cairan serebro spinalis yang mempengaruhi penyebaran blokade obat yang tidak diinginkan.
Seksio sesarea adalah prosedur operasi yang relatif singkat durasi operasinya, diikuti mobilisasi dini pasien, yang potensial meningkatkan lambatnya
pemanjangan
blokade (Misirlioglu dkk., 2013). Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, dengan ditemukannya obat anestesi lokal, maka rutin dapat dilakukan teknik anestesi regional blok subarakhnoid. Saat ini obat anestesi lokal yang secara luas dipakai pada blok subarakhnoid yaitu Bupivakain. Bupivakain adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivakain akan menyebabkan blokade yang bersifat reversibel pada perambatan impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel, ke dalam sel (Gristwood, 2002) Saat ini dikenal levobupivakain yaitu obat anestesi lokal golongan amida juga yang memiliki S(-) enantiomer menyebabkan efek toksik pada kardiovakular dan sistim saraf pusat lebih rendah dibandingkan bupivakain serta memiliki efek poten yang sama dengan bupivakain ((McClellan dan Spencer, 1998; Bardsley dkk., 1998). Keuntungan
levobupivakain
dibandingkan
bupivakain
yaitu
(1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular (2) Batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian (3) Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih rendah (4) Potensiasi terhadap hambatan sensorik dan motorik baik (5) Toksisitas yang dicetuskan levobupivakain bersifat reversible (6) Perubahan kontraktilitas kardiak dan interval QTc pada
elektrokardiogram
yang
kecil
(7)
Efek
depresan
yang
rendah
pada
elektroensefalogram (Gristwood, 2002). Levobupivakain aman dan efektif untuk anestesi blok subarakhnoid (Capogna dkk., 1999 dan Kopacz dkk., 2000). Potensi anestesi levobupivakain dalam memblok saraf mirip dengan bupivakain pada penelitian in vivo, dimana perbandingan efek levobupivakain dan bupivakain, baik dari cara pemberian ataupun konsentrasi obat adalah sama. Secara umum, onset dan durasi dari blok sensorik dan motorik untuk levobupivakain ataupun bupivakain dalam dosis yang sama adalah equipotent (Foster dan Markham, 2000). Dalam beberapa penelitian diperkirakan bahwa blok motorik levobupivakain lebih kurang dibandingkan bupivakain. Sehingga dapat disimpulkan potensi bupivakain = levobupivakain, hambatan motorik bupivakain ≥ levobupivakain, kardiotoksisitas bupivakain > levobupivakain dan neurotoksisitas bupivakain > levobupivakain (Viscomy, 2004). Aksi obat anestesi lokal memiliki hubungan antara farmakologikal dan biofisik. Semua obat anestesi lokal menghambat dan mengikat channel natrium. Isomer bupivakain mengikat channel natrium lebih kuat dibanding levobupivakain (Morgan dkk., 2006) sehingga blokade terhadap channel natrium bupivakain lebih poten yang disebabkan bupivakain lebih bersifat stereoselektif (Valenzuela dkk., 1995) Disisi lain levobupivakain terdapat kekurangannya yaitu harganya yang lebih mahal dibandingkan bupivakain, sekitar 57% lebih mahal sehingga saat ini levobupivakain masih belum dapat menggantikan bupivakain (Gristwood, 2002)
Ginosar dkk., (2004) melakukan penelitian untuk mencari ED 50 dan ED 95 untuk induksi analgesia spinal dengan bupivakain pada bedah sesar dan didapatkan ED 50 dan ED 95 induksi sukses adalah 7,6 mg dan 11 mg. Dosis Levobupivakain yang direkomendasikan pada pemberiaan dosis tunggal maksimum secara intratekal adalah 15 mg (Benhamou dkk., 2000). Pada penelitian Parpaglioni dkk., 2006 dan Parpaglioni dkk., 2009 bahwa dosis minimum anestesi lokal levobupivakain intratekal lebih besar dari ED 50 untuk seksio sesarea yaitu 10,6 mg dan 6,2 mg. Sedangkan ED 50 dan ED 95 Levobupivakain intratekal tidak berbeda dari ED 50 (7,25 mg) dan ED 95 (13mg) bupivakain isobarik intratekal yang ditambah dengan fentanil dan morfin (Carvalho dkk., 2005). Dari
penelitian
Elizabeth
dan
Kopacz,
2002
disimpulkan
bahwa
levobupivakain merupakan alternatif selain bupivakain pada pasien dengan anestesi subaraknoid. Efikasi klinis bupivakain terhadap levobupivakain pada anestesi blok subarakhnoid adalah 1:1. Dosis dalam miligram levobupivakain sama dengan profil bupivakain untuk blok sensorik dan motorik sampai tercapai kriteria pemindahan pasien. Glaser dkk., 2002 pada penelitiannya mendapatkan perbedaan antara transisi Skala Bromage 0 menjadi 2 lebih cepat pada levobupivakain (4 ± 3 menit) dibandingkan bupivakain (6 ± 5 menit).
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal yang rutin dipakai pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Namun regimen bupivakain ini memiliki efek samping yang dapat menimbulkan efek kerdiotoksisitas yang fatal setelah pemberian injeksi intravena dan waktu hambatan pulih motorik yang lebih lama. Dalam dua dekade terakhir, ditemukan obat anestesi lokal baru yaitu levobupivakain
yang
lebih
rendah
efek
samping
terhadap
kardiak
dan
neurotoksisitasnya serta waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat. Pada penelitian ini, peneliti mencoba membandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg dan bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid dalam hal waktu pulih hambatan motorik, sehingga levobupivakain menjadi alternatif selain bupivakain pada pasien seksio sesarea dengan anestesi blok subaraknoid dan dapat tercapai kriteria pemindahan pasien yang lebih cepat dengan efek samping yang minimal.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan waktu pulih hambatan motorik setelah pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efikasi pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid terhadap waktu pulih hambatan motorik. 1.3.2
Tujuan Khusus
Untuk membandingkan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis Pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg diharapkan dapat menjadi alternatif pada anestesi blok subarakhnoid pada pasien yang akan menjalani seksio sesarea selain dengan pemberian Bupivakain 0,5% 10 mg.
1.4.2 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan ilmiah mengenai pemberian Levobupivakain 0,5 % 10 mg dan Bupivakain 0,5 % 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Seksio Sesarea 2.1.1 Pengertian Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi pada abdomen (laparotomi) dan uterus (histerotomi). Istilah seksio sesarea berasal dari kata Latin caedere dan sectio yang keduanya berarti memotong. Saat ini jumlah seksio sesarea lebih dari 30% semua kelahiran dan merupakan pembedahan paling sering dilakukan di Amerika Serikat dan lebih 1 juta kasus dilakukan setiap tahunnya. Di negara maju lainnya angka seksio sesarea bervariasi antara 15-30% (Tsen, 2009). 2.1.2 Indikasi Indikasi seksio sesarea yang paling sering meliputi distosia, malpresentasi, kondisi gawat janin, riwayat seksio sesarea sebelumnya dan permintaan pasien. Adanya riwayat seksio sesarea bukan penyebab dilakukannya seksio sesarea pada kehamilan yang sekarang. Persalinan normal pasien dengan riwayat seksio sesarea merupakan alternatif pilihan yang menurun penerapannya (Tsen, 2009). 2.1.3 Teknik operasi Insisi abdomen midline vertikal memungkinkan akses cepat dan paparan pembedahan lebih besar, sedangkan insisi suprapubik horizontal (Pfannenstiel)
menawarkan sisi kosmetik lebih baik. Insisi uterus low transversal memungkinkan rendahnya insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan resiko infeksi, perdarahan, adhesi usus dan omentum lebih sedikit dibandingkan insisi uterus vertikal. Insisi uterus vertikal digunakan pada keadaan seperti: (1) ketika segmen bawah rahim belum terbentuk baik (usia kehamilan < 34 minggu), (2) persalinan bayi prematur pada wanita yang belum inpartu; (3) kehamilan multipel dan atau malpresentasi. Pada kasus tertentu, insisi uterus vertikal dilakukan pada dinding anterior (insisi klasik), khususnya pada plasenta previa anterior letak rendah atau ketika direncanakan histerektomi (Tsen, 2009). Eksteriorisasi uterus setelah lahirnya bayi membantu visualisasi dan perbaikan insisi uterus. Efek eksteriorisasi pada perdarahan dan morbiditas masih kontroversi, namun telah diamati tingginya kejadian mual, muntah, emboli udara vena intraoperatif dan nyeri postoperatif (Tsen, 2009). 2.1.4 Morbiditas dan mortalitas Morbiditas dan mortalitas ibu pada seksio sesarea lebih rendah dengan anestesia neuraksial dibanding anestesia umum. Audit prospektif hasil akhir pasca seksio sesarea mengindikasikan bahwa pada minggu pertama pasca operasi, kejadian nyeri, stasis gastrointestinal, batuk, demam, dan depresi lebih rendah pada anestesia neuraksial dibanding anestesia umum dan mobilisasi lebih cepat. Hasil akhir neonatus antara teknik anestesi yang berbeda tidak begitu jelas. Skor APGAR dan neurobehaviour relatif tidak sensitif untuk mengukur kesejahteraan neonatus
sedangkan analisa gas darah tali pusat lebih mencerminkan alasan seksio sesarea dibandingkan efek perbedaan teknik anestesia (Tsen, 2009). Komplikasi seksio sesarea meliputi perdarahan, infeksi, tromboemboli, trauma ureter dan kandung kemih, nyeri abdomen, resiko ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan kematian. Seksio sesarea non elektif memiliki resiko morbiditas maternal lebih besar dibandingkan elektif. Resiko kematian maternal seksio sesarea primer elektif tidak berbeda dengan persalinan normal, tetapi tindakan seksio sesarea menempatkan ibu pada resiko morbiditas lebih tinggi (dan mungkin mortalitas) pada kehamilan dan seksio sesarea berikutnya (Tsen, 2009).
2.2 Teknik anestesia Teknik anestesia yang paling sesuai untuk seksio sesarea tergantung faktor ibu, janin, dan obstetri. Kedaruratan dan durasi operasi memainkan peranan penting dalam pemilihan teknik anestesia. (Tsen, 2009). 2.2.1 Anestesia neuraksial versus anestesia umum Teknik neuraksial (epidural, spinal, CSE) merupakan metode yang dipilih untuk anestesi pada seksio sesarea, dan keuntungan serta risiko yang ada spesifik pada tiap teknik yang akan menentukan pemilihannya. Saat ini, anestesia neuraksial dapat diberikan pada pasien yang pada masa lampau dilakukan anestesia umum. Contohnya prolaps tali pusat yang masih dapat didekompresi dan status janin masih baik, plasenta previa, dan preeklampsia berat tidak lagi menjadi indikasi absolut dilakukannya anestesia umum (Tsen, 2009).
Pada analisa anestesia obstetri di Amerika Serikat tahun 1981-2001, terdapat peningkatan anestesia neuraksial khususnya anestesia spinal, baik kasus emergensi maupun elektif. Peningkatan pemakaian anestesia neuraksial untuk seksio sesarea disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) penggunaan teknik epidural untuk analgesia persalinan semakin banyak, (2) pengetahuan bahwa kateter epidural dapat menurunkan perlunya anestesia umum pada kondisi gawat, (3) peningkatan kualitas anestesia neuraksial dengan penambahan opioid pada anestetik lokal, (4) pemahaman risiko komplikasi jalan napas saat dilakukan anestesia umum pada ibu hamil, (5) mengurangi transfer obat ke janin, dan (6) ibu tetap sadar dan melihat suami atau orang pendukungnya ada di kamar operasi selama proses persalinan (Tsen, 2009).
2.2.2 Anestesia blok subarakhnoid pada Seksio Sesarea Nama lain anestesi blok subarkhnoid yaitu spinal anestesia, analgesia subaraknoid, blok spinal, blok araknoid dan anestesia lumbal. Perkembangan pengetahuan anatomi dan fisiologi ruang subaraknoid serta penemuan obat baru untuk anestetik lokal menyebabkan anestesia blok subarakhnoid turut berkembang. Anestesia blok subarakhnoid yaitu menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid sehingga menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan blok motorik. Hilangnya aktivitas otonom, sensorik dan motorik diakibatkan karena hambatan saraf yang bersifat sementara (reversible). Penyuntikan obat anestesi lokal ini biasanya
dilakukan di daerah lumbal pada tingkat medula spinalis berakhir yaitu L2 (Ankcorn dan Casey, 1993). 2.2.2.1 Fisiologi Nyeri kala 1 persalinan adalah akibat perubahan segmen bawah rahim dan serviks. Nyeri dihantarkan oleh saraf aferen visceral dan saraf simpatis, masuk ke medula spinalis segmen T 10 -L1 . Selama kala 1 akhir dan kala 2, nyeri merupakan akibat pelebaran dasar pelvis, vagina, dan perineum. Nyeri pelvis dihantarkan oleh saraf somatik yang memasuki medula spinalis segmen S 2 -S 4 (Wong, 2009). Pada seksio sesarea, transmisi nyeri melibatkan jalur nosiseptif tambahan. Deseksi dan manipulasi intraperitoneal melibatkan jalur nyeri visceral yang kurang terlokalisir. Nyeri visceral dihantarkan oleh jalur setinggi pleksus seliakus. Impuls nyeri somatik tambahan terjadi akibat stimulasi diafragma karena saraf interkostal menginervasi sebagian dari diafragma perifer (Wong dkk., 2009). Perubahan anatomi saat hamil mempengaruhi tehnik anestesi neuraksial. Pembesaran uterus dan kompresi vena kava menyebabkan pelebaran vena epidural. Pelebaran vena epidural menggeser cairan serebrospinal ruang subaraknoid regio torakolumbar. Pergeseran ini menjelaskan rendahnya dosis anestesi spinal pada wanita hamil. Kebutuhan dosis obat subarakhnoid juga dipengaruhi rendahnya berat jenis cairan serebrospinalis pasien hamil (Wong dkk., 2009). Pemberian anestesi neuraksial pada wanita hamil membutuhkan pemahaman perubahan fisiologis kehamilan. Anestesiologis, obstetrisian, dan perawat harus
mengerti kemungkinan kompresi aortocaval selama anestesi spinal dan epidural. Hanya 10% wanita hamil menunjukan klinis supine hypotension syndrome, tetapi simpatektomi dan vasodilatasi akibat anestesi neuraksial menyebabkan wanita lebih peka terhadap efek kompresi aortocaval. Adanya kompresi aortocaval mempercepat onset kolaps kardiovaskular selama anestesi spinal total atau tinggi dan resusitasi menjadi lebih sulit. Pada kasus kolaps kardiovaskular, intubasi endotrakea dikerjakan untuk ventilasi mekanik dan melindungi paru-paru dari aspirasi (Wong dkk., 2009). Anestesi lokal bekerja dengan memblok channels sodium membran saraf dan mencegah hantaran impuls saraf. Pada anestesi spinal, anestesi lokal bekerja langsung pada jaringan saraf ruang subaraknoid. Regresi anestesi disebabkan oleh penyerapan vaskuler anestesi lokal pada ruang subaraknoid dan medula spinalis (Wong dkk., 2009). 2.2.2.2 Teknik Kontraindikasi anestesi neuraksial meliputi : (1) pasien menolak atau tidak mau bekerjasama; (2) peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya massa, dapat menyebabkan herniasi batang otak; (3) adanya kelainan pembekuan darah; (4) hipovolemia yang tidak terkoreksi; (5) kurangnya latihan atau pengalaman pada teknik ini. Menghindari anestesi regional pada gangguan ringan pembekuan darah masih kontroversial. Anestesiologis sebaiknya menimbang resiko dan keuntungan anestesi neuraksial untuk masing-masing pasien (Wong dkk., 2009). Posisi Pasien
Wanita hamil cenderung mengalami lordosis lumbalis dan lebih sulit melakukan fleksi. Tindakan anestesi spinal dapat dikerjakan pada posisi lateral atau duduk. Banyak pasien obstetri menganggap posisi lateral lebih nyaman saat pemberian anestesia spinal atau epidural; efek pada aliran balik vena dan curah jantung lebih sedikit pada posisi lateral dan pemantauan janin lebih mudah. Posisi duduk cenderung disertai tingginya insiden hipotensi orthostatik dan syncope. Posisi duduk dipilih dan mungkin diperlukan pada pasien gemuk dimana identifikasi garis tengah menjadi lebih mudah. Teknik aseptik dikerjakan meliputi pencucian tangan dan pemakaian topi, masker, dan sarung tangan steril, pemberian desinfeksi kulit yang luas di punggung dan penggunaan penyekat steril. Sedangkan pemakaian gaun steril masih kontroversial (Wong dkk., 2009). Pemilihan obat Sebagian besar anestesiologis memberikan obat anestesi lokal hiperbarik untuk anestesi spinal. Penggunaan larutan hiperbarik menimbulkan onset blok lebih cepat dan ketinggian blok sensoris maksimal dengan durasi blok lebih singkat. Di Amerika serikat, obat yang sering dipilih adalah bupivakain. Bupivakain, tetrakain, levobupivakain, dan ropivakain memberikan durasi kerja intermediate hingga panjang. Dosis bupivakain intratekal yang dilaporkan berhasil untuk anestesi seksio sesarea berkisar antara 4,5-15 mg (Wong dkk., 2009). Dosis levobupivakain yang direkomendasikan pada pemberiaan dosis tunggal maksimum secara intratekal adalah 15 mg (Benhamou dkk., 2000). Dosis minimum anestesi lokal levobupivakain
intratekal lebih besar dari ED 50 untuk seksio sesarea yaitu 6,2 mg (Parpaglioni dkk., 2009). Larutan bupivakain yang hiperbarik cenderung akan menyebar ke kaudal pada pasien dengan posisi terlentang bila disuntikkan di Lumbal 4 ke bawah sedangkan bila disuntikan di Lumbal 3 ke atas akan menyebar ke cephalad, ini sesuai dengan lekuk tulang belakang (Xu dkk., 2005). Martin dkk., pada penelitiannya tentang obat anestesi lokal isobarik dan hiperbarik pada anestesi spinal menyatakan posisi duduk setelah blok subarakhnoid dengan larutan yang isobarik > 2,5 menit menyebabkan penyebaran kearah cephalad lebih cepat. Larutan isobarik diposisikan duduk selama 2,7 menit setelah blok subarakhnoid kemudian posisi pasien pada kedua kelompok segera ditidurkan setelah blok subarakhnoid. Larutan yang isobarik pada suhu tubuh (barisitas pada suhu 37ºC) akan menjadi sedikit hipobarik sehingga akan menghasilkan penyebaran yang lebih cepat ke arah cephalad, dan tidak menyebar jauh (menetap) dari CSS sebelum melekat pada medula spinalis sedangkan yang hiperbarik cenderung menyebar lebih jauh ke arah caudal sebelum melekat pada medula spinalis sehingga hal ini akan menghasilkan blok motorik yang juga lebih cepat. Xu dkk., pada penelitiannya larutan hiperbarik lama kerja lebih panjang bila awal penyuntikan dilakukan pada posisi lateral dekubitus.
2.2.2.3 Keuntungan Keuntungan anestesia blok subarakhnoid (Ankcorn dan Casey, 1993) :
1. Biaya minimal. 2. Masa pulih cepat dan efek sampingnya sedikit. 3. Anestesia spinal menimbulkan efek minimal pada sistem pernapasan selama tidak terjadi blok yang tinggi. 4. Resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi isi lambung lebih kecil karena pasien masih sadar. 5. Anestesia spinal menimbulkan relaksasi otot yang sangat baik untuk operasi abdomen bawah dan ekstremitas bawah. 6. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit pada anestesia spinal dibandingkan anestesia umum karena turunnya tekanan darah dan meningkatnya drainase vena. 7. Tanda-tanda hipoglikemia lebih mudah dikenali pada pasien yang masih sadar dan setelah operasi pasien dapat segera makan seperti biasa karena efek sedasi, mual dan muntah yang kecil. 8. Aliran darah splanchnik meningkat karena aliran darah ke usus meningkat. 9. Usus berkontraksi dan sfingter relaksasi meskipun peristaltik tetap ada, fungsi usus cepat kembali normal setelah operasi. 10. Trombosis vena dalam pasca operasi dan emboli paru sangat jarang terjadi. 11. Paling baik digunakan untuk operasi daerah di bawah umbilikus, seperti herniotomi, operasi ginekologi, obstetrik dan urologi.
Dalam bidang obstetrik, anestesia blok subarakhnoid biasa digunakan untuk operasi bedah sesar (jika tidak terdapat hipotensi). Terdapat keuntungan untuk ibu dan bayi pada operasi bedah sesar. Bayi yang lahir dari bedah sesar dengan anestesia spinal lebih sadar dan tidak tersedasi selama tidak mendapat obat anestetik melalui sirkulasi uteroplasenta. Sedangkan pada ibu, jalan napas paten dan resiko aspirasi isi lambung yang menyebabkan pneumonitis kimiawi (sindrom Mendelson) lebih kecil (Ankcorn dan Casey, 1993). Banyak ibu yang menjalani operasi bedah sesar lebih memilih untuk tetap sadar selama operasi dan dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Tetapi disamping itu juga terdapat kekurangan anestesia blok subarakhnoid pada ibu hamil. Mungkin akan sulit melakukan anestesia blok subarakhnoid jika fleksi lumbal terhambat oleh adanya uterus yang membesar dan jika persalinan telah mulai, si ibu mungkin tidak bisa tetap dalam posisi saat terjadi kontraksi (Ankcorn dan Casey, 1993). 2.2.2.4 Kerugian Kerugian anestesia blok subarakhnoid (Ankcorn dan Casey, 1993): 1. Kadang-kadang sulit untuk menentukan ruang subaraknoid dan mendapatkan cairan serebrospinal. 2. Waktu induksi anestesia spinal bisa menjadi lama jika anestesia blok subarakhnoid dilakukan oleh orang yang belum terlatih.
3. Beberapa pasien tidak nyaman secara psikologi jika sadar saat dilakukan operasi. 4. Hipotensi dapat terjadi jika blok terlalu tinggi, ahli anestesi harus mengetahui penatalaksanaan hipotensi dan obat-obat serta alat-alat resusitasi harus tersedia. 5. Meskipun menggunakan obat analgetika lokal kerja lama, anestesi blok subarakhnoid biasanya tidak sesuai untuk operasi yang berlangsung lebih dari dua jam. 6. Terdapat resiko secara teoritis untuk menyebarkan infeksi ke dalam ruang subaraknoid dan menyebabkan meningitis. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika prosedur dilakukan dengan prinsip a dan antisepsis yang benar. 7. Sakit kepala karena perubahan posisi mungkin terjadi pasca operasi (postdural puncture headache), tetapi jarang. 2.3 Komplikasi anestesi 2.3.1 Sesak nafas Keluhan sesak nafas setelah anestesi neuraksial dapat terjadi. Penyebab paling sering adalah hipotensi yang menyebabkan hipoperfusi batang otak, sehingga penilaian dan penanganan tekanan darah perlu dilakukan. Penyebab lainnya yaitu blok proprioseptif thorak, blok parsial otot abdomen dan interkostal, dan posisi rekumben yang meningkatkan tekanan abdomen terhadap diafragma. Gangguan
signifikan respirasi jarang terjadi, karena blok neuraksial jarang mempengaruhi nervus servikalis yang mengkontrol diafragma (Tsen, 2009). Jika pasien kehilangan kemampuan berbicara, menggenggam erat, dan saturasi oksihemoglobin turun (gejala anestesi spinal tinggi), anestesi umum intubasi rapidsequence induction dengan penekanan krikoid dilakukan untuk ventilasi dan melindungi paru dari aspirasi cairan lambung (Tsen, 2009).
2.3.2 Hipotensi Definisi hipotensi maternal masih kontroversial, namun peneliti menerima definisi berikut: (1) penurunan tekanan darah sistolik >20% nilai basal atau (2) tekanan darah sistolik <100 mmHg. Anestesia neuraksial menyebabkan hipotensi saat blok saraf simpatis, yang mengontrol tonus otot polos vaskuler. Blok simpatis preganglionik menyebabkan peningkatan kapasitansi vena, menggeser sebagian besar volume darah ke dalam splanknik dan ekstremitas bawah sehingga menurunkan aliran balik ke jantung. Juga terjadi penurunan resistensi pembuluh darah pre dan pasca kapiler. Luasnya blok simpatis dan derajat hipotensi yang terjadi ditentukan oleh onset dan penyebaran blok neuraksial sehingga hipotensi jarang terjadi pada anestesia epidural karena onset blok lebih lambat (Tsen, 2009). Faktor resiko terjadinya hipotensi Penelitian menemukan bahwa denyut jantung basal >90 x/menit memiliki kemungkinan 83% mengalami hipotensi bermakna (penurunan tekanan darah >30%), sedangkan denyut jantung basal <90 x/menit memiliki kemungkinan 75% tidak
mengalami hipotensi bermakna. Respon ibu hamil terhadap tes stres supinasi preoperatif akan memprediksi terjadinya gejala pada ibu, perlunya efedrin, atau penurunan tekanan darah <80 mmHg saat anestesia spinal pada seksio sesarea. Sampai saat ini, cara memprediksi ibu hamil akan mengalami hipotensi setelah anestesia neuraksial pada seksio sesarea belum terbukti secara klinis; karena adanya berbagai faktor yang mengontrol perubahan fisiologi, hormonal dan respon hemodinamik saat kehamilan (Tsen, 2009). Pencegahan hipotensi Beberapa cara digunakan, termasuk penempatan uterus ke kiri, prehidrasi untuk ekspansi volume darah, pemberian vasopresor, dan elevasi tungkai. Pada penelitian Cyna dan kolega didapatkan bahwa intervensi berikut menurunkan insiden hipotensi: (1) preload kristaloid 20 mL/kg versus kontrol (2) preload koloid versus kristaloid, (3) profilaksis dengan efedrin versus kontrol, dan (4) alat kompresi ekstremitas bawah versus kontrol. Peneliti menyimpulkan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid; tidak ada perbedaan untuk dosis berbeda, laju, maupun metode pemberian koloid atau kristaloid. Ueyama dan kolega menyatakan bahwa pemberian 1,5 L ringer laktat, 0,5 L HES 6%, atau 1 L HES 6% sebelum anestesia spinal pada seksio sesarea terkait insiden hipotensi (TDS <100 mmHg dan < 80% basal) sebesar 75%, 58%, dan 17% secara berturutan. Hanya 28% Ringer laktat dan 100% HES tetap di intravaskuler pada 30 menit. Penemuan ini menegaskan pentingnya waktu pemberian cairan preanestesia dan efek yang dihasilkan pada curah jantung. Lebih lanjut lagi, pemberian cepat 1500-2000 mL cairan menyebabkan pelepasan atrial natriuretic
peptide,
menyebabkan
vasodilatasi
dan
menurunkan
sensitivitas
terhadap
vasokonstriktor (Tsen, 2009). Penggunaan bebat kompresi ekstremitas bawah atau boot yang bisa mengembang digunakan untuk pencegahan hipotensi. Pneumatic compression devices juga dapat mencegah komplikasi tromboemboli (Tsen, 2009). Penanganan hipotensi Selama kehamilan, pemberian vasopresor menyebabkan kontriksi arteri femoralis lebih besar dari arteri uterina, sehingga meningkatkan tekanan darah dan melindungi aliran darah uterus. Mekanisme kedua yaitu upregulation nitric oxide sintase (NOS) pada arteri uterina saat kehamilan. Adanya NOS menyebabkan arteri kurang sensitif terhadap vasopresor; efek ini diperkuat oleh efedrin, obat yang secara independen menyebabkan pelepasan NOS (Tsen, 2009). Pemberian efedrin dapat menyebabkan takikardi. Takikardia disebabkan oleh aktivitas beta-adrenergik. Agen vasopressor ini harus diberikan sesegera mungkin setelah tekanan darah mulai turun, dibanding menunggu hipotensi yang nyata terjadi. Efedrin diberikan intravena bolus dosis 5-10 mg (Tsen, 2009).
2.3.3 Kegagalan blok neuraksial Gagalnya blok neuraksial didefinisikan sebagai ketidakcukupan blok baik luas, densitas, atau durasi. Penyebab kegagalan antara lain faktor anatomi, teknik dan obstetri. Bila blok tidak terjadi dan masih ada waktu, anestesia neuraksial dapat
diulang. Namun pada kondisi darurat mungkin diperlukan anestesia umum (Tsen, 2009). Beberapa pelaku anestesia rutin memberikan dosis suplementasi, tanpa menunggu pasien mengeluh nyeri. Pemberian opioid intravena (fentanyl), inhalasi nitrous oksida (40-50% dalam oksigen), atau sedasi intravena (midazolam) dapat membantu menangani breakthrough pain. Nyeri berat dapat diberikan ketamin intravena dosis 5-10 mg (Tsen, 2009).
2.3.4 Blok neuraksial tinggi Tidak jarang pasien mengeluh sesak nafas ringan atau penurunan kemampuan batuk, khususnya bila blok mencapai level T2. Jika terjadi gangguan fonasi, penurunan kesadaran, depresi napas atau gangguan ventilasi, pemberian anestesia umum harus dilakukan. Blokade neuraksial tinggi disebabkan oleh beberapa mekanisme, termasuk penyebaran cepat obat spinal atau epidural dan masuknya obat epidural ke intratekal atau subdural yang tidak sengaja (Tsen, 2009).
2.3.5 Mual dan muntah Mual dan muntah dapat terjadi karena disebabkan oleh multifaktor, secara garis besar faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 faktor yaitu: 1. Faktor pasien, meliputi umur, jenis kelamin, kegemukan, riwayat motion sickness, terlambatnya pengosongan lambung dan riwayat merokok. Wanita
dewasa 2-4 kali lebih besar resiko terjadinya mual muntah dibandingkan pada pria dewasa. Pasien hamil yang gemuk memiliki resiko lebih tinggi terjadi mual muntah hal ini karena banyaknya jaringan lemak sebagai tempat penyimpanan obat anestesi atau karena produksi estrogen oleh jaringan lemak. Pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung seperti pada pasien yang hamil akan memiliki resiko mual muntah lebih tinggi. 2. Faktor preoperatif yang meliputi puasa, kecemasan, alasan pembedahan dan obat premedikasi. Puasa yang terlalu lama pada persiapan operasi elektif dan pemberian makanan sebelum operasi dapat meningkatkan kejadian mual muntah. Stres psikologi dan kecemasan sebelum operasi menjadi predisposisi terjadinya mual muntah. Operasi yang berhubungan dengan kehamilan dan gastrointestinal akan meningkatkan resiko mual muntah. Pemberian obat premedikasi seperti opioid seperti morfin dan petidin meningkatkan sekresi gastrik, mengurangi motilitas usus dan menghambat pengosongan lambung. 3. Faktor intraoperatif, meliputi faktor anestesi, teknik anestesi dan faktor pembedahan. Alasannya adalah penurunan aliran darah serebral sebagai konsekuensi terjadinya hipotensi. Alasan lainnya berhubungan dengan level blok yang dicapai, karena terjadi peningkatan level blok yang dicapai, atau karena penarikan struktur peritonial selama operasi karena level blok yang tidak adekuat (Guler dkk., 2012). Lokasi operasi berhubungan dengan tingginya kejadian mual muntah karena operasi di daerah abdomen dan operasi obstetri/ginekologi. Penyebab mual dan muntah intraoperatif antara
lain hipotensi dan peningkatan aktivitas vagus, stimulus bedah, perdarahan, obat (misalnya uterotonika, antibiotik) dan pergerakan pasien diakhir pembedahan. Hipotensi menyebabkan hipoperfusi serebral dan batang otak, dan stimulasi medula pusat muntah. Hipotensi juga menyebabkan iskemia saluran cerna dengan pelepasan substansi emetogenik (misalnya serotonin) dari usus. Pemantauan tekanan darah yang baik intraoperatif dapat menurunkan kejadian emesis (Tsen, 2009). Agen uterotonika berkontribusi pada mual dan muntah intraoperatif. Alkaloid ergot berinteraksi dengan reseptor dopaminergik dan serotonergik. Oksitosin menyebabkan mual dan muntah akibat hipotensi yang terjadi akibat pelepasan nitric oxide dan atrial natriuretic peptide. Pemberian 15-metil-prostaglandin F (Hemabate) menyebabkan mual lewat stimulasi otot polos traktus gastrointestinal. Stimulasi bedah termasuk eksteriorisasi uterus, manipulasi intraabdomen, dan traksi peritoneum dapat menyebabkan nyeri viseral dan mual yang terjadi lewat stimulasi serat vagal dan aktivasi pusat muntah. (Tsen, 2009). 4. Faktor pascaoperasi meliputi nyeri, pusing, mobilisasi, makan awal pascaoperasi. Algoritma penanganan mual muntah yaitu, pertama mengidentifikasi pasien dengan resiko mual muntah. Kedua, mengurangi dasar resiko terjadinya mual muntah pada penelitian ini dengan strategi meminimalkan penggunaan opioid dan hidrasi
yang adekuat. Ketiga, pemberian profilaksis mual muntah dengan 1-2 jenis obat pada pasien dewasa dengan resiko moderat mual muntah. Keempat, pemberian terapi profilaksis dengan kombinasi ≥ 2 obat/multimodal terapi pada pasien dengan resiko tinggi untuk mual muntah. Kelima, pemberian profilaksis terapi antimuntah yang sama dengan dewasa pada anak dengan resiko mual muntah. Keenam, pemberian terapi antimuntah untuk pasien mual muntah yang tidak mendapatkan profilaksis atau pada pemberian profilaksis yang gagal. Ketujuh, memastikan pencegahan dan terapi mual muntah diterapkan secara klinis. Kedelapan, penggunaan secara umum preventif multimodal untuk memfasilitasi diterapkannya kebijakan anti mual muntah (Gan dkk., 2014)
2.3.6 Menggigil Menggigil intraoperatif dan pascaoperatif disebabkan oleh karena vasodilatasi sehingga terjadi penguapan panas, anestesi spinal juga menghambat pelepasan katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme (Atkinson dkk., 1992). Menggigil dapat berpotensi menimbulkan beberapa skuele antara lain meningkatkan aktifitas otot yang akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO 2 , hipertensi, takikardi, peningkatan cardiac output, pelepasan katekolamin, dan peningkatan tekanan intraokuli. Menggigil selama anestesi spinal dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruang operasi optimal, pemberian selimut, memakai
penghangat infus, pemberian pethidin 25 mg atau klonidin 150 mcg intravena. Pethidin menjadi agen yang paling efektif secara konsisten (Tsen, 2009). 2.3.7 Nyeri paskaoperatif Nyeri pasca operasi memiliki dua komponen, somatis dan viseral. Pendekatan multimodal memberikan analgesia yang efektif pasca seksio sesarea, meliputi pemberian NSAID. Beberapa peneliti kuatir akan penggunaan NSAID pada ibu menyusui, namun American Academy of Pediatrics telah menyatakan bahwa ibuprofen dan ketorolak dapat diberikan pada ibu menyusui (Tsen, 2009).
2.3.8 Toksisitas obat anestesi lokal Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskuler atau dosis besar subarakhnoid. Pemberian dosis obat yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa kearah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskuler obat anestesi lokal tersebut. Efek samping yang spesifik dihubungkan dengan beberapa obat tertentu, misalnya: (1) Alergi oleh grup aminoester atau jenis prokain (procaine like drug). (2) Met Hb-anemia, setelah pemberian prilokain. (3) Adiksi, setelah pemberian kokain. (4) Toksisitas kardiak, karena bupivakain. (5) Iritasi neural lokal, oleh kloroprokain (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013). Kejadian intoksikasi antara 0,2-1,5%. Bila diberikan adrenalin 1/200.000 sebagai vasokonstriktor untuk mengurangi absorbsi vaskuler, maka kejadian intoksikasi akan menurun. Kontraindikasi adrenalin adalah pasien takikardi, hipertensi, dan aritmia.
Waktu dari penyuntikan sampai gejala intoksikasi, bila terjadi suntikan intravena 1530 detik, bila over dosis 5-30 menit. Pengaruh toksisitas tergantung dari kadar obat anestesi lokal dalam plasma. Bila kadarnya 4 µg/ml terjadi gejala kepala terasa melayang, pusing, tinnitus. Bila kadarnya 6 µg/ml gejalanya gangguan penglihatan, disorientasi, dan ngantuk. Bila kadarnya 10 µg/ml gejalanya tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung eksrimitas). Bila 12 µg/ml timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20 µg/ml terjadi henti nafas. Toksisitas sistemik obat anestesi lokal secara primer umumnya mengenai susunan saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskuler. Toksisitas SSP berhubungan dengan potensi obat yaitu obat yang lebih poten toksisitasnya jauh lebih berat, kadar CO2 dimana bila kadar CO2 darah meningkat maka ambang konvulsi menurun, dan pH darah yang menurun maka ambang konvusi menurun (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013). Obat anestesi lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem kardiovaskuler, yaitu mempengaruhi otot jantung, dan otot polos dinding pembuluh darah. Lidokain digunakan untuk terapi aritmia (Ventricular Ekstrasistole). Efek primer dari lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Semakin poten obat anestesi lokal tersebut, makin kuat mendepresi jantung. Hal ini terlihat pada bagan dibawah ini (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013).
Hipertensi-takikardi Berhubungan dengan toksisitas SSP Efek inotropik negatif Penurunan curah jantung Hipotensi ringan-sedang Vasodilatasi perifer Hipotensi berat Sinus bradikardia Kolaps kardiovaskuler
Defek konduksi
Aritmia ventrikuler
Kolaps kardiovaskuler
Gambar 2.1 Toksisitas kardiovaskuler akibat obat anestesi lokal (Lalenoh, 2013) Pencegahan terjadinya komplikasi adalah dengan mencegah overdosis dengan memberikan obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan, hati-hati terjadi penyuntikan intravena dengan cara teknik yang benar, sering diaspirasi, test dose 10% dari dosis total, kenali gejala awal toksisitas, terus kontak verbal dengan pasien, monitor nafas, tekanan darah, dan frekuensi nadi (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013)
2.4 Obat Anestesi Lokal Obat anestesi lokal adalah senyawa kimia yang bekerja dengan memblok proses konduksi pada saraf perifer jaringan tubuh yang sifatnya sementara/reversible (Gambar 2.2) (Morgan dkk., 2002; Stoelting dan Hiller, 1999).
Gambar 2.2 Lokasi kerja obat anestesi lokal (Katzung, 2014) Secara umum, pemberian analgetika lokal ke serabut saraf menghasilkan gangguan depolarisasi membran sel tersebut sehingga mencegah terjadinya konduksi dan impuls. Keutuhan sel dan metabolisme tidak terpengaruh, hanya saja jika larutan analgetika lokal telah mencapai konsentrasi yang memadai, depolarisasi tidak akan terjadi walaupun terdapat stimulus listrik. Konduktansi Na+ ke dalam sel (yang normalnya menghasilkan depolarisasi) diblokade. Repolarisasi yang berhubungan dengan keluarnya K+ melalui channel spesifik K+ tetap tidak terganggu (Wlody, 2003). Dengan peningkatan konsentrasi analgetika lokal, ketinggian potensial aksi dikurangi, nilai ambang/threshold meningkat, penyebaran konduksi impuls diperlambat dan periode refrakter diperpanjang. Akhirnya, konduksi saraf terblok sempurna (Stoelting dan Hiller, 1999).
Obat anestesi lokal bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor spesifik pada permukaan dalam dari channel natrium (Gambar 2.3a dan Gambar 2.3b). Jadi tempat kerja obat anestesi lokal adalah pada membran sel saraf, dimana pada saraf bermielin, obat anestesi lokal bekerja pada nodus Ranvier. Dua atau tiga nodus yang berdekatan harus terkena supaya konduksi tidak terjadi, paling sedikit 610 mm dari serabut saraf harus terpapar anestetik lokal (Stoelting dan Hiller, 1999; Heavner, 2008; Nostrand, 2014).
Gambar 2.3a Channel natrium pada membran sel (Nostrand, 2014)
Gambar 2.3b Ikatan obat anestesi lokal pada channel natrium (Nostrand, 2014)
Impuls dikonduksikan di sepanjang akson sel saraf sesudah adanya eksitasi kimia, mekanis atau elektris. Kebanyakan analgetika lokal berikatan pada channel Na+ dalam keadaan inaktif, mencegah aktivasi channel selanjutnya dan influks Na+
dalam jumlah sementara yang cukup besar (menurunkan permeabilitas membran sel saraf terhadap ion Na+) yang berhubungan dengan depolarisasi membran. Hal ini tidak merubah potensial membran istirahat atau potensial ambang tapi memperlambat depolarisasi. Potensial aksi tidak tercapai karena potensial ambang tidak pernah terlewati. Dengan demikian maka potensial aksi tidak dapat diteruskan dan terjadilah blokade saraf (Gambar 2.4a dan 2.4b) (Stoelting dan Hiller, 1999; Nostrand, 2014).
Gambar 2.4a Obat anestesi lokal menghambat potensial aksi (Nostrand, 2014)
Gambar 2.4b Mekanisme aksi obat anestesi lokal (Nostrand, 2014)
2.4.1. Struktur Obat Anestesi Lokal
Umumnya senyawa kimia obat anestesi lokal yang dipakai mempunyai komponen kimia yang menunjukkan aktifitas lokal anestesi yaitu mempunyai ujung aromatik, ujung amine, dan rantai perantara (intermediate chain) (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013; Heavner, 2008; Nostrand, 2014).
Gambar 2.5 Komponen kimia obat anestesi lokal (Nostrand, 2014)
Komponen aromatik berupa hidrofobik, sedangkan komponen amine berupa hidrofilik, umumnya berupa amino tersier atau sekunder. Pengubahan struktur molekul akan menyebabkan perubahan sifat fisikokimia yang akan mempengaruhi potensi dan toksisitas dari obat analgetika lokal tersebut. Oleh karena kelarutan dalam lemak merupakan determinan penting dalam potensi anestetik maka perubahan pada komponen aromatik atau amine akan mempengaruhi potensi zat anestetik tersebut. Pemanjangan rantai perantara sampai dicapai suatu panjang kritis cenderung akan meningkatkan potensi anestetik. Peningkatan derajat pengikatan protein akan memperpanjang lama kerja obat analgetika lokal (Heavner, 2008). Klasifikasi obat anestesi lokal juga dibuat berdasarkan perubahan ikatan pada komponen aromatiknya. Adanya ikatan ester di antara residu aromatik dan rantai
perantara dikenal dengan obat anestesi lokal golongan amino-ester seperti Prokain, Kloroprokain dan Tetrakain; Sedangkan obat anestesi lokal dengan ikatan amida antara ujung aromatik dan rantai perantara dikenal dengan golongan amino-amida, antara lain Lidokain, Mepivakain, Bupivakain Etidokain, dan Levobupivakain (Heavner, 2008). Perbedaan dasar antara golongan ester dan amide adalah dalam cara metabolisme obat
dan
potensial
alerginya.
Golongan
ester
dihidrolisa
diplasma
oleh
pseudocholinesterase, sedangkan golongan amide dipecah oleh enzim di liver. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah paraaminobenzoic acid yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amide tidak menghasilkan paraaminobenzoic acid dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013).
Sifat-sifat fisikokimia yang mempengaruhi obat anestesi lokal (Heavner, 2008; Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013): a. Kelarutan dalam lemak Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat anestesi lokal tersebut. Obat-obat yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi akan lebih mudah menembus membran sel. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kelarutan dalam lemak maka semakin poten dan semakin lama
kerja obat analgetika lokal tersebut. Kelarutan dalam lemak prokain <1, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi bupivakain, tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30 sampai 140, menunjukkan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Obat ini menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik anestesinya 20 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara kelarutan dalam lemak dan potensi intrinsik selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran sel saraf. Karena itu obat anestesi lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi. b. Ikatan protein Kekhasan ikatan protein adalah mempengaruhi lama kerja obat anestesi local tersebut. Bupivakain ikatan proteinnya tinggi sehingga lama kerjanya paling panjang. Hubungan antara ikatan protein obat anestesi lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar membran saraf. Protein membran saraf ±10 %. Karena itu obat yang diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktifitas obat. Ikatan dengan protein akan mengurangi jumlah bentuk bebas molekul obat analgetika lokal. Banyaknya molekul yang terikat dianggap sebagai persediaan untuk memelihara blok saraf. c. Konstanta disosiasi (pKa)
pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH dimana zat yang terionisasi dan zat yang tidak terionisasi ada dalam keseimbangan. Obat anestesi lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggung jawab untuk difusi menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus epineurium yang korelasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Presentasi dari obat anestesi lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan dalam ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya proporsional pada pKa obat tersebut. Semakin kecil nilai pKa suatu zat atau semakin besar pHnya maka semakin besar persentase zat tersebut yang tidak terionisasi. Derajat ionisasi berpengaruh penting dalam aksi dan distribusi obat, oleh karena hanya bentuk yang tidak terionisasi yang dapat menembus membran sel (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Derajat ionisasi obat anestesi lokal menembus membran sel (Edgcombe dan Hocking, 2005)
Derajat ionisasi dari suatu senyawa bergantung pada sifat senyawa (asam atau basa), konstanta disosiasi (pKa) dan pH medium dimana senyawa tersebut berada. Dari penelitian invitro, obat anestesi lokal yang mempunyai pKa hampir mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat anestesi lokal dengan pKa yang tinggi.
d. Non Nervous tissue diffusibility Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perinerium. Pada invivo, obat anestesi lokal harus menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan yang bukan saraf. Contoh: Prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan onset time yang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi pada invivo onset time kloroprokain lebih pendek daripada prokain. Hal ini menunjukkan bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan saraf. e. Intrinsic Vasodilator Activity Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja. Tingkatan dan lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat anestesi lokal yang menembus ke reseptor pada membran saraf. Setelah suntikan obat anestesi lokal, sebagian obat akan diambil jaringan saraf dan beberapa bagian lainnya akan diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskuler berhubungan dengan aliran darah ke daerah dimana obat anestesi lokal disuntikkan. Semua
obat anestesi lokal (kecuali kokain) bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh setiap obat berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal (Morgan dkk., 2006) : 1. Umur Semakin bertambahnya umur, ruang subaraknoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan progresif dari cairan serebrospinal. Hal ini menyebabkan penyebaran obat analgetika lokal lebih ke sefalad. Makin bertambahnya umur, ketinggian analgesia yang dicapai makin tinggi. 2. Tinggi badan Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volume cairan serebrospinal dibawah L 2 makin banyak sehingga pasien yang tinggi memerlukan dosis yang lebih besar daripada pasien yang pendek. 3. Berat badan Pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural, sehingga mempengaruhi penyebaran obat analgetika lokal dalam ruang subaraknoid. Penelitian klinis mengindikasikan bahwa obesitas hanya sedikit berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal dalam cairan serebrospinal. 4. Jenis kelamin
Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat anaestesi lokal dalam cairan serebrospinal sepanjang semua faktor yang berpengaruh adalah tetap. 5. Tekanan intra abdominal Peningkatan tekanan intra abdominal sering dikaitkan dengan peningkatan penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang subaraknoid. 6. Anatomi kolumna vertebralis Lekukan kolumna vertebralis mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal. 7. Tempat penyuntikan Penyuntikan obat pada L 2-3 atau L 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah kranial, sedangkan penyuntikan pada L 4-5 , karena bentuk vertebra, memudahkan obat berkumpul di daerah sakral. 8. Kecepatan penyuntikan Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat analgesia yang tercapai. 9. Dosis Makin besar dosis makin besar intensitas blok.
10. Berat jenis Berat jenis obat adalah berat dalam gram dari 1 ml cairan itu (gram/ml). Barisitas adalah perbandingan antara berat jenis obat dengan cairan serebrospinal. Penyebaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama dan setelah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien. 11. Konsentrasi larutan Pada umumnya, tinggi analgesia meningkat dengan bertambahnya kepekatan konsentrasi larutan obat analgesia lokal. 12. Manuver Valsava Mengejan akan meninggikan tekanan cairan serebrospinalis sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila dilakukan oleh pasien segera setelah obat disuntikkan dalam ruang subaraknoid.
2.4.2. Bupivakain 2.4.2.1 Struktur kimia Bupivakain merupakan obat analgetika lokal golongan amida sintetik yang pertama kali dibuat oleh A.F. Ekenstam tahun 1957 dan dipasarkan dengan nama Marcain (Mulroy, 2002). Nama kimia bupivakain adalah “1-n-butyl-DL-piperidine2-carboxylic acid-2,6 dimethylanilide hydrocloride” (Gambar 2.7a). Struktur kimianya mirip dengan mepivakain, perbedaannya pada rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup metil pada cincin piperidin. Keadaan ini menyebabkan kelarutan terhadap lemak dan ikatan obat dengan protein meningkat (Guler dkk., 2012).
Gambar 2.7a Rumus kimia bupivakain (Guler dkk, 2012).
2.4.2.2 Farmakodinamik Potensi bupivakain hampir 3-4 kali lipat daripada lidokain dan 8 kali dari prokain. Masa kerja 2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain atau lidokain, serta 20-25% lebih lama dari tetrakain. Oleh karena pKa bupivakain lebih tinggi (8,1) maka mula kerja obat ini lebih lama (5-7 menit) dan analgesia adekuat dicapai dalam 15-25 menit (Mulroy, 2002). 2.4.2.3 Farmakokinetik Bupivakain dapat ditemukan dalam darah dalam waktu 5 menit setelah infiltrasi atau setelah pemberian melalui epidural atau blok saraf interkostal. Absorpsi ke dalam pembuluh darah bergantung pada dosis obat yang diberikan. Di dalam plasma 70-90% bupivakain berikatan dengan protein (Mulroy, 2002). Bupivakain merupakan obat analgetika lokal golongan amida, karena itu metabolisme utamanya di hati. Dengan mekanisme pemindahan cincin piperidin, hasil metabolitnya berupa “pipecolyl xylidide (PPX)” yang memiliki efek toksik
seperdelapan bupivakain. Dapat melalui sawar darah plasenta seperti obat analgetika lokal lainnya secara difusi pasif, tetapi level terendah yang pernah dilaporkan (rasio vena umbilikalis/maternal) adalah 0,31-0,44. Sekitar 10% diekskresi tanpa diubah melalui urin dalam 24 jam; PPX juga diekskresikan melalui urin (Mulroy, 2002). Efek bupivakain dalam darah terhadap sistem saraf otonom adalah antiaritmia, disebabkan oleh blok reseptor α-adrenergik. Tidak ditemukan efek samping yang serius dari bupivakain dengan dosis klinis. Hipotensi dan bradikardia tidak lebih besar dibandingkan mepivakain atau lidokain. Menggigil lebih sering ditemukan pada bupivakain daripada obat analgetika lokal lainnya. Kejang dijumpai setelah penyuntikan secara tidak sengaja ke dalam pembuluh darah atau setelah overdosis relatif. Bupivakain biasanya digunakan dalam enam sediaan konsentrasi dari 0,125%0,75%. Konsentrasi 0,5% merupakan sediaan yang paling sering digunakan (Mulroy, 2002). Wanita hamil membutuhkan dosis bupivakain lebih kecil karena adanya peningkatan sensitivitas sel saraf terhadap obat analgetika lokal, penurunan jumlah cairan serebrospinal dan efek uterus gravid terhadap penyebaran obat intratekal ke arah sefalad (Morgan dkk., 2006). Ginosar dkk., 2004 menganjurkan dosis bupivakain antara 7,6-11,2 mg. 2.4.3 Levobupivakain 2.4.3.1 Struktur Kimia
Levobupivakain
([2S]–1–butyl–N-[2,6-dimethylphenyl]
piperidine–2-
carboxamide) adalah obat anestesi golongan amida, termasuk dalam famili n-alkyl substitusi dari pipecoloxylidide. Formula kimianya adalah C 18 H 28 N 2 O [Gambar 2.7b] (Bajwa dan Kaur, 2013)
Gambar 2.7b Rumus kimia levobupivakain (Bajwa dan Kaur, 2013) 2.4.3.2 Farmakodinamik Levobupivakain merupakan obat anestesi lokal golongan amida yang memiliki isomer S(-) dari bupivakain (Gambar 2.7c). Secara umum, penelitian secara in vitro dan in vivo pada manusia dengan blok saraf menunjukkan bahwa levobupivakain sama potennya dengan bupivakain dan menghasilkan blok sensorik dan motorik yang sama pula. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan levobupivakain memiliki blok sensorik yang lebih lama, yang berhubungan dengan aktivitas vasokonstriksi levobupivakain daripada R (+) enantiomer (dexbupivakain) pada dosis kecil (Foster dan Markham, 2000).
Gambar 2.7c Rumus molekul S (-) Bupivakain dan R (+) Bupivakain (Nostrand, 2014)
Levobupivakain toksisitasnya lebih kurang dibandingkan dengan bupivakain. Dosis letal levobupivakain 1,3-1,6 kali lebih tinggi dibandingkan bupivakain, sehingga keuntungannya adalah lebih aman dibandingkan bupivakain. Penelitian in vitro membuktikan dengan levobupivakain resiko kardiotoksisitas yang rendah dibandingkan dengan dexbupivakain dan atau bupivakain, termasuk rendahnya efek atau rendahnya potensi pada memblok saluran kalium kardiak pada status terinaktivasi; memblok saluran natrium kardiak; mengurangi angka depolarisasi maksimal, memperlama konduksi atrioventrikuler; dan memperlambat durasi interval QRS. Perbedaan antara kedua obat tersebut terhadap kontraktilitas kurang konsisten, namun levobupivakain tampaknya tidak memperburuk kondisi ini. Percobaan pada hewan, levobupivakain hanya sedikit dan kurang memperberat gangguan kardiak, khususnya aritmia ventrikular. Pada manusia, levobupivakain intravena (dosis ratarata 56 mg) menyebabkan kurangnya efek inotropik negatif daripada bupivakain (dosis 48 mg). Pada studi lain dengan pemberian intravena, peningkatan maksimum rata-rata pada QTc interval secara signifikan lebih kurang dengan levobupivakain
dibandingkan dengan bupivakain (3 vs 24 msec) pada sukarelawan yang menerima > 75mg (Foster dan Markham, 2000). Resiko yang rendah terhadap toksisitas sistem saraf pusat dengan levobupivakain dibandingkan dengan dexbupivakain dan/atau bupivakain juga telah dilaporkan, termasuk kurangnya tendensi untuk menyebabkan apnea dan tingginya dosis konvulsif (levobupivakain 103 mg vs bupivakain 85 mg) studi pada hewan. Sedangkan pada manusia, 64% yang mendapat bupivakain intravena (dosis rata-rata 65,5mg) dibandingkan dengan 36% yang mendapat levobupivakain (67,7mg) mengalami gangguan sistem saraf sentral atau perifer. Levobupivakain intravena 40 mg menyebabkan sedikit perubahan penekanan sistem saraf perifer pada EEG dibandingkan pemberian bupivakain 40 mg (Foster dan Markham, 2000).
2.4.3.3 Farmakokinetik Data farmakokinetik yang tersedia tentang levobupivakain masih sangat terbatas. Konsentrasi plasma levobupivakain tergantung pada dosis dan rute pemberiannya. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian intravena 40 mg adalah 1,3 jam dan volume distribusinya adalah 67 L. Levobupivakain terikat protein sangat tinggi (> 97%). Metabolisme oleh sistem sitokrom P450 (CYP), terutama isoform CYP1A2 dan CYP3A4, kemudian diekskresi dalam 48 jam melalui urin (71%) dan feses (24%) (Bajwa dan Kaur, 2013; Foster dan Markham, 2000).
2.4.3.4 Levobupivakain pada blok subarakhnoid Levobupivakain menjadi alternatif yang menarik pada anestesi blok subarakhnoid, dimana levobupivakain menyebabkan blok motorik dan sensorik dengan karakteristik dan pulih yang mirip dengan bupivakain. Regresi blok motorik terjadi lebih awal pada levobupivakain dibandingkan dengan bupivakain. Pemberian intratekal levobupivakain 15 mg memberikan blok motorik dan blok sensorik yang adekuat selama sekitar 6,5 jam. Dosis yang lebih sedikit (5-10 mg) digunakan pada operasi one-day care. Dosis minimal obat anestesi lokal levobupivakain yang direkomendasikan pada studi Sell dkk adalah 11,7 mg (Sell dkk., 2005).
2.5 Pulih dari anestesi Seksio sesarea merupakan pembedahan abdomen mayor dengan sekuele anatomi, fisiologi, dan hormonal yang signifikan, bahkan ketika dilakukan secara elektif tanpa komplikasi pada ibu hamil yang sehat. ASA Practice Guideline untuk anestesi obstetri menyatakan bahwa perangkat dan personil yang sesuai harus tersedia merawat pasien obstetri agar pulih dari anestesia neuraksial atau umum. Hal yang sama juga dinyatakan oleh National Obstetric Anasthetic Service Guidelines dari Inggris yang menyatakan bahwa pelayanan pasca operasi pasien seksio sesarea harus sesuai standar pelayanan yang diperlukan semua pasien pasca operasi. Setelah pulih, observasi (laju respirasi, denyut jantung, tekanan darah, nyeri dan sedasi) dilakukan tiap setengah jam selama 2 jam dan tiap jam setelahnya untuk pasien stabil. Jika
ditemukan tidak stabil, observasi dan medikasi lebih lanjut perlu dilakukan (Tsen, 2009). Penentuan waktu pulih hambatan motorik setelah dilakukannya blok subarkhnoid menggunakan skor Bromage yang dimodifikasi. Pengukuran tersebut menilai secara kualitatif dan kuantitatif penyebaran dan intensitas hambatan motorik pada ekstrimitas bawah, dengan mengadopsi dari Bromage, yang menggunakannya untuk menentukan keadekuatan anestesi epidural pada operasi abdominal (Bromage, 1965). Klasifikasi derajat hambatan motorik menurut Bromage (Bromage, 1965).
Gambar 2.8 Penentuan hambatan motorik (Bromage, 1965)
Untuk menentukan masa kerja hambatan motorik dapat digunakan modifikasi skala Bromage, yaitu sebagai berikut (Gambar 2.8) (Graham dan McClure, 2001) :
0 : tidak ada hambatan motorik 1 : tidak dapat mengangkat tungkai bawah, dapat menggerakkan lutut dan kaki 2 : tidak dapat menekuk lutut dan tungkai bawah, dapat menggerakkan kaki 3 : tidak dapat menekuk pergelangan kaki, hambatan motorik komplit Keterbatasan sistem skoring ini adalah penentuan secara kualitatif hambatan motorik dan tidak memiliki sensitifitas untuk mendeteksi derajat kelemahan motorik yang berhubungan dengan hambatan segmental yang dibutuhkan pada analgesia persalinan (Graham dan McClure, 2001). Penentuan fungsi motorik pada kelompok otot yang berbeda dengan inervasi persarafan yang berbeda pula menjadikan pengukuran penyebaran obat sebaik densitas hambatan tersebut. Bromage menggunakannya untuk menentukan keadekuatan anestesi epidural pada operasi abdominal namun ternyata dapat diadopsi pula untuk penggunaan pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid (Bromage, 1965). Modifikasi skor bromage tampaknya memiliki korelasi lebih baik daripada extended skor Bromage. Hal ini dikarenakan sifat subyektif terhadap skor 0 atau dikarenakan skor Bromage yang dimodifikasi menjadi begitu tepat terhadap kehilangan perubahan kekuatan otot (adduktor) yang ditunjukkan pada skor 0 (Breen dkk., 1993).
Kesepakatan derajat antara extended Skor Bromage dan Skor Bromage yang dimodifikasi untuk seluruh tingkatan adalah 0,4. Hal ini mengindikasikan kekuatan dari kesepakatan antara kedua metode tersebut dan lebih baik dapat dikatakan sama (Graham dan McClure, 2001)
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Blok subarakhnoid merupakan teknik yang umum digunakan dalam operasi bedah sesar. Pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg diharapkan waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan pemberian bupivakain 0,5% 10 mg pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Beberapa penelitian dilakukan untuk memberikan obat anestesi lokal dengan dosis minimal untuk mengurangi kejadian hipotensi, dan waktu pulih hambatan motorik yang cepat. Di Rumah Sakit Sanglah, pemberian levobupivakain pada operasi seksio sesarea blok subaraknoid adalah jarang. Maka pemberian levobupivakain sebagai pilihan obat anestesi lokal intratekal kiranya waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan bupivakain. Umur pasien, umur kehamilan, status fisik ASA, tinggi badan dan indeks masa tubuh adalah faktor internal pasien yang menimbulkan perbedaan karakteristik subyek penelitian. Sedangkan obat premedikasi intravena, cairan prehidrasi, obat anestesi lokal untuk blok subarakhnoid dan posisi pasien selama pembedahan merupakan faktor eksternal pasien yang harus dikendalikan. Hal ini sesuai dengan yang ditunjukkan pada gambar 3.1.
3.2 Konsep Bupivakain 0,5 % 10 mg
waktu pulih hambatan motorik
Levobupivakain 0,5 % 10 mg
Variabel perancu - Usia - Tinggi Badan - Berat Badan - Anatomi kolumna vertebralis - Tempat penyuntikan - Kecepatan penyuntikan - Posisi pasien
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep diatas, hipotesis penelitian ini yaitu: Pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg menghasilkan waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik, acak untuk mengetahui perbandingan efek antara Levobupivakain 0,5% 10 mg dan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Subyek yang eligibel
Randomisasi sederhana
Kelompok A Levobupivakain 0,5% 10 mg
Kelompok B Bupivakain 0,5% 10 mg
Dilakukan evaluasi : Waktu pulih hambatan motorik di ruang pulih
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar dari bulan September sampai Nopember 2014.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dalam bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, khususnya dalam subdivisi anestesi obstetri.
4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi penelitian Populasi target dari penelitian ini adalah wanita hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Populasi terjangkau diambil dari wanita hamil yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar dari bulan September sampai Nopember 2014. 4.4.2 Sampel penelitian Sampel penelitian ini adalah semua wanita hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar, setelah penderita lolos dari seleksi kriteria eligibilitas sebagai berikut: Kriteria inklusi : 1. Wanita hamil dan janin tunggal 2. Menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid Kriteria eksklusi : 1. Pasien menolak.
2. Usia ≤ 16 Tahun atau ≥ 40 tahun 3. Tinggi badan ≤ 140 cm atau ≥ 170 cm 4. Status fisik ASA ≥ 3 5. Indeks massa tubuh ≤ 20 kg/m2 atau ≥ 35 kg/m2 6. Pasien memiliki alergi terhadap obat yang digunakan dalam penelitian ini 7. Pasien yang memiliki penyakit hipertensi berat dalam kehamilan. 8. Pasien beresiko perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri 9. Pasien dengan kelainan pembekuan darah 10. Pasien dengan kontra indikasi relatif maupun absolut untuk dilakukan anestesi blok subarakhnoid. 11. Perubahan dosis obat yang diberikan. 12. Menarik diri dari keikutsertaan sebagai subyek penelitian. 13. Tidak mengikuti prosedur cara kerja. 14. Teknik anestesi blok subarakhnoid gagal atau memerlukan anestesi umum selama tindakan pembedahan. 15. Terjadi penyulit berat selama tindakan anestesi seperti kejang, syok berat (syok anafilaktik), gangguan pernafasan.
4.4.3 Perhitungan jumlah sampel Perhitungan besar sampel pada penelitian ini berdasarkan skala data dari variabel tergantung (waktu pulih hambatan motorik) yaitu numerik. Sehingga rumus
perhitungan besar sampel yang digunakan yaitu uji hipotesis terhadap rerata 2 populasi untuk 2 kelompok independen. Adapun rumus tersebut adalah:
(z α + z β ) S
2
n1 = n2 = 2 (x 1 -x 2 )
Keterangan: n 1 ; n 2 = Perkiraan besar sampel S = Simpang baku kedua kelompok (dari pustaka) (x 1 -x 2 ) = Perbedaan klinis yang diharapkan (Clinical judgment) z α = Kesalahan tipe I (ditetapkan) = 1,96 z β = Kesalahan tipe II (ditetapkan) = 0,842
Pada penelitian Vanna dkk, 2006 dan Guler dkk, 2012 simpang baku yang digunakan adalah 50,9. Nilai x 1 adalah rerata waktu pulih hambatan motorik pada kelompok yang mendapatkan bupivakain 0,5% 10 mg yaitu 132,66 menit. Nilai x 2 adalah rerata waktu pulih hambatan motorik pada kelompok yang mendapatkan Levobupivakain 0,5% 10 mg yaitu 99 menit. Jadi didapatkan perbedaan rerata (x 1 -x 2 ) waktu pulih hambatan motorik pada 2 kelompok adalah 33,66 menit. Berdasarkan
rumus diatas jumlah sampel minimal untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah 72 (Sastroasmoro, 2006). 4.4.4 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling, dimana setiap pasien baru yang memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. 4.4.5 Alokasi sampel Alokasi sampel yang masuk dalam kelompok perlakuan A atau B dilakukan menggunakan computer generated permutted block randomization of graphpad quickcal software dengan hasil randomisasi seperti tersebut dibawah ini:
1
A
13 B
25 B
37 B
49
B
61
A
2
B
14 B
26 B
38 A
50
A
62
B
3
A
15 A
27 A
39 A
51
B
63
A
4
A
16 A
28 A
40 A
52
B
64
A
5
B
17 A
29 B
41 A
53
A
65
B
6
B
18 A
30 A
42 A
54
B
66
B
7
B
19 B
31 A
43 B
55
A
67
A
8
B
20 A
32 A
44 A
56
B
68
A
9
B
21 B
33 A
45 B
57
A
69
B
10 A
22 B
34 B
46 B
58
B
70
A
11 A
23 B
35 B
47 B
59
B
71
B
12 A
24 A
36 B
48 B
60
A
72
A
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel Variabel bebas : Levobupivakain 0,5% 10 mg dan Bupivakain 0,5% 10 mg Variabel tergantung : Waktu pulih hambatan motorik Variabel kendali : Usia, tinggi badan, berat badan, anatomi tulang belakang, tempat penyuntikan, kecepatan penyuntikan.
4.5.2
Definisi operasional variabel
1. Obat anestesi blok subarakhnoid adalah obat anestesi lokal Bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg diinjeksikan ke dalam ruang subarakhnoid menggunakan spuit 2,5 ml. 2. Kegagalan teknik spinal adalah gagalnya obat masuk ke dalam ruang subarakhnoid 3. Waktu nol (0) adalah titik awal dimulai penghitungan waktu, yaitu pada saat obat anestesi lokal disuntikkan kedalam ruang subarakhnoid 4. Skala Bromage adalah suatu cara untuk menentukan derajat hambatan motorik secara kualitatif pada tindakan anestesia blok subarakhnoid. Skala Bromage terdiri dari : Bromage IV : tidak ada hambatan motorik Bromage III : hambatan motorik parsial atau sebagian
Bromage II : hambatan motorik hampir lengkap Bromage I : hambatan motorik lengkap Untuk menentukan masa kerja hambatan motorik digunakan modifikasi skala Bromage, yaitu sebagai berikut : 0 : tidak ada hambatan motorik 1 : tidak dapat mengangkat tungkai bawah 2 : tidak dapat menekuk lutut 3 : tidak dapat menekuk pergelangan kaki 5. Masa kerja hambatan motorik adalah saat pasien mulai tidak dapat mengangkat tungkai bawah sampai mulai dapat menekuk pergelangan kaki (modifikasi skala Bromage 1 sampai skala 3 berakhir) 6. Waktu pulih hambatan motorik adalah saat pasien mulai dapat menekuk pergelangan kaki sampai dapat kembali menggerakkan tungkai tanpa hambatan (modifikasi skala Bromage 3 berakhir sampai skala 0) 7. Efektifitas adalah tercapainya hambatan motorik saat pasien tidak dapat menekuk pergelangan kaki (Skor modifikasi Bromage = 3) dan tercapai hambatan sensorik setinggi torakal 6. 8. Umur adalah usia resmi saat akan dilakukan operasi, diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari wawancara atau dari dokumen resmi, misalnya KTP atau SIM. 9. Status fisik ASA adalah sistem penilaian dan pengklasifikasian status fisik pasien praoperasi menurut American Society of Anesthesiologists (Morgan
dkk., 2006), dikatakan status fisik ASA I jika pasien sehat dan normal dan ASA II jika pasien dengan penyakit medis ringan-sedang. 10. Tinggi badan (TB): diukur dengan alat ukur tinggi badan dengan nama dagang Health Scale dengan seri TZ 120, dalam posisi berdiri tegak tanpa alas kaki, dengan satuan meter (m). 11. Berat badan (BB): diukur dengan alat timbangan dengan nama dagang Health Scale seri TZ 120, posisi berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan satuan kilogram (kg). 12. Indeks masa tubuh (IMT) adalah pemeriksaan antropometri untuk menentukan status gizi yang dinilai dengan membagi berat badan dengan pangkat dua tinggi badan (IMT = BB/TB2), dengan satuan kg/m2. 13. Obat premedikasi intravena adalah metokloperamid 10 mg dan ranitidin 50 mg intravena ± 30 menit sebelum tindakan pembedahan. 14. Cairan prehidrasi adalah pemberian cairan ringer laktat 10 ml/kgBB secara infus cepat sebelum blok subarakhnoid dilakukan. 15. Posisi pasien adalah pasien tidur telentang dengan satu bantal di kepala dan posisi meja operasi sedikit dimiringkan ke kiri ± 15° setelah dilakukan blok subarakhnoid. 16. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik turun sebanyak 20% dari nilai ratarata awal atau kurang dari 90 mmHg.
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Obat ampul Levobupivakain 0,5% 10 mg 2. Obat ampul Bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg 3. Jarum spinal G27 bevel runcing 4. Jarum untuk “pin-prick test”, dipakai mandrain dari jarum spinal 5. Spuit 2,5 ml 6. Betadin cair 7. Alkohol 70% 8. Sarung tangan steril 9. Kasa steril 10. Tensimeter, monitor EKG, saturasi oksigen 11. Oksigen dan kanul nasal 12. Alat tulis dan format penelitian
4.7 Alur Penelitian 4.7.1 Persiapan Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan persetujuan etik dari Komisi Etik Litbang Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
4.7.2 Penapisan kasus Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesia pada pasien yang akan menjalani pembedahan seksio sesarea dengan teknik anestesi blok subarakhnoid. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. Setelah mendapat penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani surat persetujuan tindakan.
4.7.3 Alokasi pasien Alokasi pasien dilakukan dengan metode computer generated permutted block randomization of graphpad quickcal software, subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A menerima Levobupivakain 0,5% 10 mg dan kelompok B menerima Bupivakain 0,5% 10 mg.
4.7.4 Perlakuan 1. Pada setiap pasien wanita yang akan menjalani operasi bedah sesar dengan anestesia spinal yang telah memenuhi kriteria penerimaan dilakukan randomisasi acak sederhana dengan cara mengambil amplop. 2. Pasien dipasang kanula intravena G 18-20 dan prehidrasi sebelum blok subarakhnoid, diberikan cairan ringer laktat 10 ml/kgBB secara infus cepat dan pasien disiapkan ke kamar operasi.
3. Pasien diberikan premedikasi Ranitidin 50 mg Intravena dan Metoklopramid 10 mg Intravena. 4. Di kamar operasi, dipasang monitor EKG, tensimeter saturasi oksigen dan diberikan oksigen melalui kanul nasal 2-3 L/menit. 5. Data awal tekanan darah, tekanan arteri rerata, frekuensi napas dan saturasi oksigen dicatat. 6. Pasien kemudian diposisikan lateral dekubitus kiri. Daerah bahu diganjal dengan bantal kecil agar posisi kolumna vertebralis benar-benar horizontal. Dilakukan identifikasi tempat penyuntikan pada ruang intervertebralis L 3-4 atau L4-5 . Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah penyuntikan. Kemudian dilakukan pungsi dura dengan jarum spinal G 27. Pastikan ujung jarum berada di ruang subarakhnoid, yang ditandai dengan mengalirnya cairan serebrospinal. 7. Pada kelompok perlakuan A dilakukan penyuntikan 10 mg larutan bupivakain 0,5% dengan kecepatan penyuntikan 0,1 ml/detik. Dilakukan barbotase sejumlah kecil cairan serebrospinal (0,1 ml). 8. Pada kelompok perlakuan B dilakukan penyuntikan 10 mg larutan bupivakain 0,5% dengan kecepatan penyuntikan 0,1 ml/detik. Dilakukan barbotase sejumlah kecil cairan serebrospinal (0,1 ml). 9. Dievaluasi ketinggian blok sensoris dengan metode pinprick pada garis midklavikula dengan jarum G 23, diharapkan ketinggian blok mencapai dermatom Th 6.
10. Dievaluasi hambatan motorik sesuai skor bromage dan dicatat waktu saat skor bromage sama dengan 0. 11. Bila terjadi efek samping hipotensi, yaitu tekanan darah sistolik turun sebanyak 20% dari nilai rata-rata awal atau kurang dari 90 mmHg, tetesan infus dipercepat dan diberikan efedrin 5 mg intravena. Pemberian efedrin dapat diulang setiap 60 detik sampai tekanan darah sistolik > 80% nilai basal. Setelah tercapai, tetesan infus disesuaikan kembali sesuai keperluan rumatan. 12. Menit ke 0 dimulai saat penyuntikan obat intratekal. 13. Setelah bayi lahir, dicatat skor apgar menit 1 dan 5 serta berat badan lahir bayi. Kemudian diberikan drip intravena oksitosin 2 ampul dan metergin 1 ampul (sesuai operator). 14. Bila terjadi efek samping depresi nafas, jika perlu dilakukan intubasi dengan pernafasan dibantu atau dikontrol. 15. Jika operasi belum selesai tetapi pasien mulai merasa nyeri dapat diberikan ketamin intravena. 16. Setelah operasi selesai, dievaluasi masa kerja hambatan motorik. Kemudian pasien dibawa ke ruang pulih. 17. Di ruang pulih, diobservasi skor bromage dan dicatat waktu pulih hambatan motorik pasien. 18. Setelah pasien memenuhi kriteria skor bromage modifikasi 0 dan tidak ada efek samping yang berat, pasien dipindahkan ke ruang rawat.
4.7.5 Penilaian dan pencatatan Untuk penilaian waktu pulih dari hambatan motorik setelah pemberian obat anestesi lokal, dilakukan penilaian kualitatif berdasarkan modifikasi skala Bromage, yaitu Bromage 0: tidak ada hambatan motorik; Bromage 1: hambatan motorik parsial atau sebagian; Bromage 2: hambatan motorik hampir lengkap; sedangkan Bromage 3: hambatan motorik lengkap. Dicatat waktu pada saat pasien mengalami hambatan motorik lengkap. Setelah operasi selesai, waktu pulih hambatan motorik dicatat berdasarkan modifikasi skala Bromage, yaitu: 0=tidak ada hambatan motorik; 1=tidak dapat mengangkat tungkai bawah; 2=tidak dapat menekuk lutut; 3=tidak dapat menekuk pergelangan kaki. Mulainya masa kerja hambatan motorik dicatat mulai saat pasien tidak dapat mengangkat tungkai bawah sampai mulai dapat menekuk pergelangan kaki, yaitu modifikasi skala Bromage 1 sampai 3 berakhir. Sedangkan masa pulih hambatan motorik pasien dicatat mulai saat pasien dapat menekuk pergelangan kakinya sampai dapat kembali menggerakkan kaki tanpa hambatan, yaitu skala Bromage 0. Untuk analgesia paska operasi diberikan drip kontinyu fentanyl 0,25 mcg/kgBB/jam dengan syringe pump dan bolus ketorolak 3 x 30 mg intravena. Adanya kejadian komplikasi lainnya seperti mual, menggigil dan perdarahan selama operasi juga dicatat pada lembar yang telah disediakan.
Pasien rencana seksio sesarea ASA I dan II dengan anestesi blok subarakhnoid
Memenuhi kriteria penerimaan
Pasang infus, prehidrasi, pasang alat monitor non invasif (EKG, NIBP, pulse oksimetri) Posisi lateral dekubitus kiri →Blok subarakhnoid di L3-4, bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg→posisi telentang miring kiri ±15°
Catat waktu mulai hambatan motorik (Bromage 3)
Ruang pulih Catat waktu pulih hambatan motorik (Bromage 0)
Analisis Statistik Simpulan Penelitian
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian 4.8 Analisis Statistik Data yang terkumpul dianalisis menggunakan análisis statistik deskriptif, yaitu menggunakan karakteristik subyek. Karakteristik sampel dalam hal umur, berat
badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh dipresentasikan dalam rerata ± simpang baku. Sedangkan Status fisik ASA I atau Status fisik ASA II dan ukuran kehamilan dipresentasikan dalam distribusi frekuensi f (%). Perbandingan karakteristik dipresentasikan sesuai tabel berikut: Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Karakteristik
Kelompok A (Levobupivakain 0,5% 10 mg)
Kelompok B (Bupivakain 0,5% 10 mg)
Umur (thn) Tinggi Badan (cm) Berat badan (kg) Indeks massa tubuh (kg/m2) Status fisik ASA I/II Umur Kehamilan (preterm/aterm) Nilai dalam rerata ± simpang baku dan distribusi frekuensi f (%).
Pada analisis uji hipotesis beda rerata, data berskala pengukuran numerikal mengenai umur, umur kehamilan, berat badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh pada kedua kelompok diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada tingkat kemaknaan p > 0,05. Bila data memiliki sebaran yang normal (p > 0,05) dilakukan uji independent t test. Jika nilai p < 0,05 ditetapkan sebagai tidak normal, uji dilakukan dengan Mannwhitney test.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di kamar operasi instalasi bedah sentral dan kamar operasi instalasi gawat darurat RSUP Sanglah periode September 2014 sampai Nopember 2014. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria penerimaan sebanyak 72 pasien, dibagi menjadi 2 kelompok dengan masing-masing berjumlah 36 sampel pada setiap kelompok perlakuan. Pasien rencana seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid diberikan bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg, dicatat waktu mulai hambatan motorik (Bromage 3) dilanjutkan di ruang pulih dicatat waktu pulih hambatan motorik (Bromage 0), sehingga didapat total waktu dari mulai hambatan motorik sampai pulih hambatan motorik. Data ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpang baku untuk data numerik dan dalam bentuk distribusi frekuensi untuk data ketegorikal.
5.1 Data Karakteristik Sampel Karakteristik pasien ditunjukkan pada tabel 5.1, data disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku dan distribusi frekuensi f (%). Data berupa pengukuran numerikal adalah umur, berat badan, tinggi badan, dan IMT dipresentasikan dalam
bentuk rerata ± simpang baku. Sedangkan data kategorikal nominal adalah status fisik ASA dan ukuran kehamilan dipresentasikan dalam distribusi frekuensi f (%). Karakteristik sampel digambarkan demikian bertujuan untuk melihat apakah antara kedua kelompok sudah sebanding (comparable). Variabel umur ditampilkan dalam rerata dan simpang baku dengan uji yang digunakan adalah uji independent t karena berskala data rasio dan sebaran data berdistribusi normal. Variabel berat badan, tinggi badan, dan IMT dengan uji yang digunakan adalah uji Mann-whitney karena sebaran data dari variabel tersebut tidak berdistribusi normal. Uji Chi-square dari status fisik ASA dan ukuran kehamilan ditampilkan dalam bentuk distribusi proporsi karena variabel tersebut berskala data kategorikal. Distribusi proporsi dari semua variabel tersebut ditampilkan dalam tabel 5.1. Populasi pasien terdiri atas 72 pasien wanita hamil yang menjalani operasi seksio sesarea di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah dengan usia rerata ± simpang baku pada levobupivakain 0,5% 10 mg adalah 28,9 ± 4,9 sedangkan pada bupivakain 0,5% 10 mg adalah 28,9 ± 5,5 setelah dilakukan uji statistik ternyata tidak ada perbedaan bermakna secara statistik dengan nilai p 0,964. Selain itu dapat dilihat perbedaan rerata berat badan, tinggi badan dan IMT. Rerata berat badan pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg adalah 64,2 kg dengan simpang baku 7,6 dan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg adalah 68,6 kg dengan simpang baku 12,3. Rerata tinggi badan kelompok levobupivakain 0,5% 10
mg adalah 156,0 cm dengan simpang baku 6,4 dan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg 156,1 cm dengan simpang baku 7,5. Rerata IMT pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg yaitu 26,4 kg/m2 dengan simpang baku 3,1 sedangkan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg adalah 28,2 kg/m2 dengan simpang baku 4,5. Secara statistik ketiga variabel ini tidak berbeda bermakna dengan nilai p berurutan sebesar 0,077, 0,856, dan 0,060. Status fisik pasien digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu status fisik ASA I dan II. Distribusi proporsi variabel status fisik ASA I pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg sebesar 58,3% dan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 69,4%. Sedangkan variabel status fisik ASA II pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg sebesar 41,7% dan pada bupivakain 0,5% 10 mg sebesar 30,6%. Secara statistik terdapat perbedaan proporsi status fisik ASA yang tidak berbeda bermakna dengan nilai p sebesar 0,326. Variabel ukuran kehamilan dikelompokkan menjadi 2 yaitu hamil preterm dan hamil aterm, dengan distribusi proporsi variabel ukuran kehamilan pada kedua kelompok perlakuan sebesar 5,6% dengan hamil preterm dan sebesar 94,4% dengan hamil aterm. Didapatkan nilai proporsi yang sama pada kedua kelompok perlakuan sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik dengan nilai p sebesar 1,000.
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Kelompok
Kelompok
Levobupivakain 0,5%
Bupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
10 mg (n = 36)
Umur
28,9 ± 4,9
28,9 ± 5,5
0,964a
Berat Badan
64,2 ± 7,6
68,6 ± 12,3
0,077b
Tinggi Badan
156,0 ± 6,4
156,1 ± 7,5
0,856b
IMT
26,4 ± 3,1
28,2 ± 4,5
0,060b
21 (58,3)
25 (69,4)
0,326c
15 (41,7)
11 (30,6)
2 (5,6)
2 (5,6)
34 (94,4)
34 (94,4)
Karakteristik
Nilai p
Status Fisik -
ASA I
-
ASA II
Ukuran Kehamilan -
Preterm
-
Aterm
1,000c
Ket: a: Hasil independent t test b
: Hasil Mannwhitney test
c
: Hasil Chi-square test
5.2 Uji Normalitas Data Sampel Berdasarkan Kelompok Perlakuan Uji normalitas pada masing-masing kelompok terlebih dahulu dilakukan sebelum menilai perbandingan variabel. Hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro Wilk,
berdasarkan uji normalitas tersebut didapatkan variabel kelompok perlakuan yang tidak berdistribusi normal (p <0,05) dilakukan uji statistik Wilcoxon. 5.3 Nilai Statistik Variabel Berdasarkan Kelompok Perlakuan Dari 72 pasien yang dianalisis tersebut, analisis dengan uji Wilcoxon didapatkan rerata waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan levobupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 108,7 menit dengan simpang baku 12,0 menit. Sedangkan angka waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan bupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 152 menit dengan simpang baku 19,8 menit. Data ini disajikan dalam tabel 5.2. Terdapat perbedaan waktu rerata yang secara statistik bermakna yaitu p <0,001. Grafik perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.1.
Tabel 5.2 Hasil Analisis Perbedaan Rerata Waktu Pulih Hambatan Motorik Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Variabel
Waktu pulih hambatan
Kelompok
Kelompok
Levobupivakain 0,5%
Bupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
10 mg (n = 36)
108,7 ± 12,0
152 ± 19,8
motorik Ket: *Nilai p dari uji Wilcoxon
Nilai p
<0,001*
Gambar 5.1 Perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan
Kejadian efek samping ditampilkan pada tabel 5.3, dari hasil uji Chi Square didapatkan hasil tidak ada kejadian efek samping pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 41,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 52,8%. Kejadian efek samping hipotensi pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 16,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 11,1%. Kejadian efek samping mual pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 8,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 16,7%. Kejadian efek samping menggigil pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 33,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 19,4%. Perbedaan kejadian efek samping antara kedua kelompok
perlakuan secara statistik dengan uji Pearson Chi square tidak bermakna, dengan nilai p 0,36 (p > 0,05). Tabel 5.3 Kejadian Efek Samping Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Efek Samping f (%)
Kelompok
Kelompok
Levobupivakain 0,5% 10 mg
Bupivakain 0,5% 10 mg
(n = 36)
(n = 36)
Tidak ada
15 (41,7)
19 (52,8)
Hipotensi
6 (16,7)
4 (11,1)
Mual
3 (8,3)
8 (16,7)
12 (33,3)
7 (19.4)
Menggigil
Nilai p
0,36**
Ket: ** Nilai p dari uji Chi Square
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki nilai dasar tekanan arteri rerata yang hampir sama. TAR pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg adalah 94 mmHg, dan bupivakain 0,5% 10 mg adalah 92 mmHg. Terdapat perbedaan dalam fluktuasi tekanan arteri rerata dimana kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg mengalami penurunan lebih landai dibandingkan bupivakain 0,5% 10 mg. Penurunan TAR nyata pada bupivakain 0,5% 10 mg adalah pada menit ke-5 dan levobupivakain 0,5% 10 mg adalah pada menit ke-10, sedangkan TAR pada menit ke-10 bupivakain 0,5% 10 mg meningkat. Setelah itu pada menit ke-20, TAR kedua kelompok akan kembali sama, namun masih berada dibawah nilai dasar.
Teka nan Arteri Rerata (mmHg)
100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 0
1
2
3
4
5
7
10
12
15
20
Meni t keLevobupivakain 0,5% 10 mg
Bupivakain 0,5% 10 mg
Gambar 5.2 Fluktuasi tekanan arteri rerata antara kedua kelompok perlakuan
Gambar 5.3 Hubungan antara waktu dan Bromage 3 sampai dengan Bromage 0 pada kedua kelompok perlakuan
Hubungan antara waktu dan mulai terjadinya Bromage 3 yaitu saat tidak dapat menekuk pergelangan kaki, hambatan motorik komplit sampai dengan Bromage 0 yaitu tidak ada hambatan motorik diperlihatkan pada gambar 5.3. Pada gambar tersebut dapat dilihat waktu yang optimal untuk dilakukan pembedahan, dimana pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg dicapai mula kerja yang lebih lama dan waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain 0,5% 10 mg.
BAB VI PEMBAHASAN
Levobupivakain dan Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan amida. Levobupivakain memiliki S (-) enantiomer dari bupivakain, memblok saraf sama poten dengan bupivakain dan menghasilkan blok sensorik dan motorik yang sama pula namun dengan dosis letal yang lebih rendah dibandingkan bupivakain. (McClellan dan Spencer, 1998) Keuntungan
levobupivakain
dibandingkan
bupivakain
yaitu
(1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular (2) Batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian (3) Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih rendah (4) Potensiasi terhadap hambatan sensorik dan motorik baik (5) Toksisitas yang dicetuskan levobupivakain bersifat reversible (6) Perubahan kontraktilitas kardiak dan interval QTc pada elektrokardiogram
yang
kecil
(7)
Efek
depresan
yang
rendah
pada
elektroensefalogram (Gristwood, 2002). Dosis bupivakain pada seksio sesarea berdasarkan pada penelitian Ginosar dkk. (2004), yang melakukan penelitian untuk induksi analgesia spinal dengan bupivakain ED 95 induksi sukses adalah 11 mg. Sedangkan dosis minimum anestesi lokal levobupivakain intratekal berdasar pada penelitian Parpaglioni dkk. (2006) adalah lebih besar dari ED 50 untuk seksio sesarea yaitu 10,6 mg. Dosis efikasi
klinis bupivakain terhadap levobupivakain pada anestesi blok subarakhnoid adalah 1:1 berdasarkan penelitian Elizabeth dan Kopacz, 2002. Penelitian ini menggunakan Levobupivakain 0,5% isobarik (Chirocaine®) dan Bupivakain 0,5% hiperbarik. Levobupivakain benar-benar menunjukkan respek terhadap CSS pada wanita hamil. Penelitian Glaser dkk. (2001) membuktikan bahwa penyebaran obat pada anestesi spinal dengan levobupivakain dapat diprediksi sama seperti bupivakain. Pada penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Guler dkk. (2012) dimana pemberian levobupivakain isobarik memberikan keuntungan khusus karena penyebaran obat yang dapat diprediksi. Guler dkk mengevaluasi pengaruh levobupivakain terhadap kualitas blok dan kejadian efek samping seperti hipotensi dibandingkan dengan efek klinis yang disebabkan oleh bupivakain hiperbarik pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Hasilnya waktu hambatan motorik dengan bupivakain hiperbarik bertahan lebih lama, sedangkan efek samping hipotensi dan mual lebih sering terjadi pada kelompok bupivakain. Level hambatan sensorik yang dibutuhkan pada seksio sesarea juga tercapai pada kedua kelompok perlakuan. Penelitian Guler dkk. (2012) menggunakan 2 ml levobupivakain 0,5% isobarik dan 2 ml bupivakain 0,5% hiperbarik pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea didapatkan rerata durasi waktu hambatan motoriknya adalah 99 menit dengan simpang baku 9,13 pada kelompok levobupivakain, sedangkan rerata durasi waktu
hambatan motorik pada kelompok bupivakain adalah 132,66 menit dengan simpang baku 7,15. Pada penelitian kami dikerjakan dengan memberikan levobupivakain 0,5% 10 mg dan bupivakain 0,5% 10 mg yang diberikan pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Obat anestesi lokal bupivakain paling sering digunakan karena masuk dalam formularium RSUP Sanglah dan harganya yang relatif lebih murah. Namun saat ini dikenal pula levobupivakain yang sama potensi dan efektifitasnya, yang dapat diberikan pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Hasil penelitian ini, dari 72 pasien yang kami analisis dengan uji Wilcoxon didapatkan rerata waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan levobupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 108,7 ± 12,0 menit, Sedangkan angka waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan bupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 152 ± 19,8 menit. Terdapat perbedaan waktu rerata yang secara statistik bermakna yaitu p <0,001. Berarti pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid memiliki waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain 0,5% 10 mg. Gambar 5.3 menunjukkan mula kerja hambatan sensorik setinggi Th6 dan hambatan motorik pada penelitian ini lebih cepat pada bupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg, hal ini sesuai dengan penelitian Guler
dkk. (2012). Hasil ini secara klinik akan berguna pada pembedahan darurat yang membutuhkan waktu singkat untuk dimulainya pembedahan tetapi pada pembedahan elektif/terencana hasil ini secara klinik tidak bermakna. Mula kerja obat anestesi lokal sangat ditentukan oleh nilai pKa-nya dimana semakin rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Anestesi lokal dengan nilai pKa mendekati pH fisiologis akan mempunyai konsentrasi basa non ionisasi yang lebih tinggi yang bisa melewati membran sel-sel saraf dimana mula kerjanya akan berlangsung sangat cepat. pKa menjelaskan jumlah obat anestesi lokal yang ada dalam bentuk non ionisasi aktif pada pH jaringan. Di dalam saraf akson bupivakain terpisah ke dalam bentuk non ionisasi dan ionisasi. Bentuk ionisasi membuat hambatan channel natrium dari dalam dan mencegah depolarisasi dengan mencegah masuknya natrium secara cepat melalui membran sel akson (Xu dkk., 2005) Waktu mulainya gerakan kedua kelompok perlakuan ditampilkan pada gambar 5.3 dimana waktu pulih hambatan motorik bupivakain 0,5% 10 mg lebih lama dibandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg, ini sesuai dengan penelitian Guler dkk. (2012). Hasil ini dalam klinik sangat bermanfaat bagi tindakan pembedahan yang membutuhkan waktu yang panjang. Hasil waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan secara statistik bermakna. Morgan (2006) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena isomer
bupivakain
mengikat
channel
natrium
lebih
kuat
dibandingkan
levobupivakain. Penelitian yang dilakukan Guler dkk. (2001) juga mendapatkan durasi hambatan motorik lebih pendek pada kelompok levobupivakain. Efek barisitas
pada karakteristik blok masih menjadi kontradiksi dalam literatur yaitu beberapa studi melaporkan perbedaan barisitas tidak mempengaruhi karakteristik blok, disisi lain ada pula penelitian yang melaporkan bahwa terjadi blok motorik dan pulih motoriknya lebih cepat dengan larutan yang hiperbarik. Meskipun pada penelitiannya tidak mengevaluasi perbedaan blok sensorik dan motorik antara kedua kelompok yang berbeda barisitasnya. Foster dan Markham (2000) pada penelitian mereka menyatakan bahwa pada levobupivakain terjadi durasi hambatan motorik yang lebih lama dibandingkan dengan bupivakain, hal ini berhubungan
dengan adanya faktor intrinsik
levobupivakain yaitu kemampuan vasokonstriktornya, sedangkan bupivakain mencetuskan vasodilatasi. Levobupivakain dan bupivakain telah menunjukkan efektifitas dan potensi yang sama baik dari segi waktu mula kerja, durasi hambatan sensorik dan motoriknya pada seksio sesarea dengan anestesi spinal. Namun levobupivakain secara umum memberikan hambatan sensorik dan motorik yang lebih baik, dengan perubahan hemodinamik yang sama dengan bupivakain. Berdasarkan data ini levobupivakain tampaknya menjadi alternatif yang menarik untuk digunakan sebagai anestesi spinal (Glaser dkk., 2001). Kejadian efek samping pada penelitian ini yang didapat adalah hipotensi pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 16,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 11,1%. Kejadian efek samping mual pada
kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 8,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 16,7%. Kejadian efek samping menggigil pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 33,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 19,4%. Pasien yang tidak mengalami efek samping pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 41,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 52,8%. Hasil uji statistik Pearson Chi square pada kedua kelompok tersebut tidak bermakna, dengan nilai p 0,36 (p > 0,05). Perbedaan yang tidak bermakna tersebut bisa disebabkan oleh variabel-variabel bebas dan faktor resiko pada masing-masing sampel yang tidak sama. Hipotensi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anestesi blok subarakhnoid. Hal ini selain dikarenakan oleh efek oleh ibu yang menyebabkan asidosis dengan mempengaruhi perfusi uteroplasenta, hipotensi terjadi akibat blok simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan kapasitas vaskuler yang akhirnya akan menurunkan aliran darah balik ke jantung kemudian diikuti dengan penurunan tekanan darah (Atkinson dkk., 1992). Pemberian hidrasi dengan kristaloid atau koloid sebelum dilakukan tindakan mengurangi kejadian efek samping hipotensi (Guler dkk., 2012). Berbeda dengan penelitian Guler dkk., pada penelitian ini didapatkan kejadian hipotensi yang lebih banyak pada kelompok levobupivakain yaitu 6 pasien dibandingkan bupivakain hanya 4 orang, namun hasil ini secara statistik tidak
bermakna. Sedangkan Guler dkk. pada penelitiannya mendapatkan kejadian hipotensi yang signifikan lebih rendah 16,6% pada kelompok levobupivakain. Pada penelitian ini, mual dan muntah dapat terjadi karena disebabkan oleh: (1) Faktor pasien, meliputi wanita hamil, kegemukan, dan terlambatnya pengosongan lambung; (2) Faktor preoperatif yang meliputi puasa, kecemasan, alasan pembedahan. Puasa yang terlalu lama pada persiapan operasi elektif dan pemberian makanan sebelum operasi dapat meningkatkan kejadian mual muntah. Stres psikologi dan kecemasan, operasi yang berhubungan dengan kehamilan dan gastrointestinal. Pemberian opioid petidin meningkatkan sekresi gastrik, mengurangi motilitas usus dan menghambat pengosongan lambung; (3) Faktor intraoperatif yaitu lokasi operasi di daerah abdomen dan operasi obstetri/ginekologi serta pemberian obat uterotonika. Alasan lain adalah penurunan aliran darah serebral sebagai konsekuensi terjadinya hipotensi. Alasan lainnya berhubungan dengan level blok yang dicapai, karena terjadi peningkatan level blok yang dicapai, atau karena penarikan struktur peritonial selama operasi karena level blok yang tidak adekuat (Guler dkk., 2012); (4) Faktor pascaoperasi meliputi nyeri, pusing, mobilisasi, makan awal pascaoperasi. Kejadian efek samping menggigil dapat terjadi disebabkan oleh karena vasodilatasi sehingga terjadi penguapan panas, pasien dalam keadaan sadar sehingga dapat merasakan suhu kamar operasi yang dingin disertai pemberian cairan infus yang sudah terpapar dingin diberikan tanpa memakai penghangat infus. Anestesi
spinal juga menghambat pelepasan katekolamin yang akan menekan produksi panas akibat metabolisme. Keterbatasan penelitian ini adalah ketersediaan obat levobupivakain yang terbatas, harga obat yang mahal, dan belum masuk dalam daftar formularium obat RSUP Sanglah sehingga penggunaannya terbatas pada pasien-pasien umum. Keterbatasan lainnya, adalah penelitian ini kurang banyak untuk dapat mencapai tingkat obyektifitas dan kemaknaan yang lebih tinggi. Manfaat yang didapat dari pemberian levobupivakain sebagai obat anestesi lokal pada operasi seksio sesarea dengan blok subarakhnoid, yaitu efek toksisitasnya terhadap kardiovaskuler dan susunan saraf pusat yang rendah sehingga aman bila ada ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular dengan batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian. Selain keuntungan toksisitasnya yang lebih rendah, levobupivakain memiliki waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain sehingga dapat mempercepat mobilisasi pasien, dan tercapai kriteria pemindahan pasien yang lebih cepat dengan efek samping minimal.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Waktu pulih hambatan motorik levobupivakain 0,5% 10 mg lebih cepat daripada bupivakain 0,5% 10 mg dengan potensi yang sama, sehingga levobupivakain dapat digunakan sebagai alternatif obat anestesi lokal pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Kejadian efek samping adalah hipotensi, mual dan menggigil, namun pada kedua kelompok perlakuan tidak bermakna. 7.2 Saran Perlu dipertimbangkan penggunaan levobupivakain sebagai alternatif obat anestesi lokal pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan blok subarakhnoid dan masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti penggunaan levobupivakain dan bupivakain dengan dosis yang berbeda, dengan disertai adjuvant maupun tidak serta penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ankcorn, C., Casey, W.F. 1993. Spinal Anaesthesia – a practical guide. Update in Anaesthesia 48 (3): 2-15 Atkinson, R.R., Rushman, G.B., Lee, J.A. 1992. Spinal Analgesia: Intradural; Extradural. In: A Synopsis of Anaesthesia. 10th ed. Singapore: PG Publishing Pte Ltd. p.662-92 Bajwa, S.S., Kaur, J. 2013. Clinical profile of levobupivacaine in regional anesthesia: A systematic review. J Anaesthesiol Clin Pharmacol 29: 530-9 Bardsley, H., Gristwood, R., Baker, H., Watson, N., Nimmo, W. 1998. A comparison of the cardiovascular effects of levobupivacaine and rac-bupivacaine following intravenous administration to healthy volunteers. Br J Clin Pharmacol 46: 245-9 Benhamou, D., Burke, D., Cox, C.R., Gunter, J.B., Henderson, D. 2000. Levobupivacaine. Drugs 59(3): 551-79 Breen, T.W., Shapiro, T., Glass, B., Foster-Payne, D., Oriel, N.E. 1993. Epidural anaesthesia for labor in an ambulatory patient. Anesth Analg 77: 919-24 Bromage, P.R. 1965. A comparison of the hydrochloride and carbon dioxide salt of lidocaine and prilocaine in epidural analgesia. Acta Anaesthesiologica Scandinavica, Suppl. XVI: 55-6 Capogna, G., Celleno, D., Fusco, P. 1999. Relative potencies of bupivacaine and ropivacaine for analgesia in labour. Br J Anaesth 82: 371-3 Carvalho, B., Durbin, M., Drover, D.R., Cohen, S.E., Ginosar, Y., Riley, E.T. 2005. The ED50 dan ED95 of intrathecal isobaric bupivacaine with opioids for cesarean delivery. Anesthesiology 103: 606-12 Edgcombe, H., Hocking, G. 2005. Local Anaesthetic Pharmacology, [cited 2014 Oct. 30]. Anaesthesia UK. Available from: URL: http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100505
Elizabeth, A.A., Kopacz, D.J. 2002. Hyperbaric Spinal Levobupivacaine: A comparison to racemic bupivacaine in volunteers. Anesth Analg 94: 188-93 Foster, R.H., Markham, A. 2000. Levobupivacaine A Review of its Pharmacology and Use as a Local Anesthetic. Drugs 59(3): 551-79 Gan, T.J., Diemunsch, P., Habib, A.S., Kovac, A., Kranke, P., Meyer, T.A., et al. 2014. Consensus Guidelines for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg 118: 85-113 Glaser, C., Marhofer, P., Zimpfer, G., Heinz, M., Sitzwohl, C., Kapral, S., et al. 2002. Levobupivacaine versus racemic bupivacaine for spinal anesthesia. Anesth Analg 94(1): 194-8 Graham, A.C., McClure, J.H. 2001. Quantitative assessment of motor block in laboring woman receiving epidural analgesia. Anaesthesia 56: 470-6 Gristwood, R.W. 2002. Cardiac and CNS toxicity of Levobupivacaine: Strength of evidence for advantage over bupivacaine. Drug 25(3): 153-63 Guler, G., Cakir, G., Ulgey, A., Ugur, F., Bicer, C., Gunes, I., et al. 2012. A comparison of spinal anesthesia with levobupivacaine and hyperbaric bupivacaine for cesarean sections: A randomized trial. Open J Anesthesiol 2: 849 Ginosar, J., Mirikatani, E., Drover, D.R., Cohen, S.E., Riley, E.T. 2004. ED 50 and ED 95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine co administered with opioids for cesarean delivery. Anesthesiology 100: 676-82 Heavner, J.E. 2008. Pharmacology of Local Anesthetics. In : Longnecker,D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M., editors. Anesthesiology. New York: Mikroraw Hill, p. 954 -71 Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2001. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed., New York: Lange Medical Books, McGraw-Hill. Available from: http://www.accessmedicine.com Kopacz, D.J., Allen, H.W., Thompson, G.E. 2000. A comparison of epidural levobupivacaine 0,75% with racemic bupivacaine for lower abdominal surgery. Anesth Analg 90: 642-8
Kuczkowski, K.M. 2004. Nonobstetric surgery during pregnancy. Obstet Gynecol Surv 59 (1): 52-6 Lalenoh, D.C., Wahjoeningsing, S. 2013. Farmakologi Perinatal. Dalam: Bisri, T., Wahjoeningsing, S., Suwondo, B.S., editor. Anestesi Obstetri. Bandung: Saga Olahcitra. h. 15-40 Morgan, J. G., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anaesthesia. 4th Ed. United State of America: McGraw-Hill. McClellan, KJ., Spencer, CM. 1998. Levobupivacaine. Drugs 56: 355-62 Misirlioglu, K., Sivrikaya, G.U., Hanci A., Yalcinkaya A. 2013. Intrathecal low-dose levobupivacaine and bupivacaine combined with fentanyl in a randomized controlled study for caesarean section: blockade characteristics, maternal and neonatal effects. Hippokratia 17 (3): 262-7 Mulroy M.F. 2002. Systemic toxicity and cardiotoxicity from local anesthetics: Incidence and preventive measures. Regional Anesthesia and Pain Medicine 27 (6): 556-61 Nostrand, J.V. 2014. Local anesthetics. (serial online), [cited 2014 Oct. 30]. Available from: URL: http://www.powershow.com/view/95d6bN2ZjN/Local_Anesthetics_powerpoint_ppt_presentation Parpaglioni, R., Frigo, M.G., Lemma, A., Sebastiani, M., Barbati, G. 2006. Minimum local anaesthetic dose (MLAD) of intrathecal levobupivacaine and ropivacaine for Caesarean section. Anaesthesia 61: 110-5 Parpaglioni, R., Baldassini, B., Barbati, G., Celleno, D. 2009. Adding sufentanyl to levobupivacaine or ropivacaine intrathecal anaesthesia affects the minimum local anaesthetic dose required. Acta Anaesthesiologica Scandinavica 53(9): 1214-20 Sell, A., Olkkola, K.T., Jalonen, J., Aantaa, R. 2005. Minimum effective local anaesthetic dose of isobaric levobupivacaine and ropivacaine administered via a spinal catheter for hip replacement surgery. Br J Anaesth 94: 239-42 Stoelting, R.K., Hiller, S.C. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Subasi, D., Ekinci, O., Kuplay, Y. 2012. Comparison of intrathecal hyperbaric bupivacaine and levobupivacaine with fentanyl for caesarean section. Göztepe Tıp Dergisi 27(1): 22-9 Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2006. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi ke-2, CV Sagung Seto, Jakarta. Tsen, L.C. 2009. Anesthesia for Cesarean Delivery. In: Chestnut, D.H., Polley, L.S., Tsen, L.C., Wong, C.A., editor. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: principles and Practice, 4th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p.521 Viscomy, C.M. 2004. Pharmacology of Local Anesthetics. In: Rathmell.J.P., Neal J.M., Viscomy C.M., editor. Regional Anesthesia: The requisites in anesthesiology, 1th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p.20 Valenzuela, C., Snyders, D.J., Bennett, P.B., Tamargo, J., Hondeghem, L.M. 1995. Stereoselective block of cardiac sodium channel by bupivacaine in guinea pig ventricular myocytes. Circulation 92(10): 3014-24 Wlody, D. 2003. Complications of regional anesthesia in obstetrics. Clin ObstetGynecol 46(3): 667-78 Wong, C.A., Nathan, N., Brown, D.L. 2009. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia: Anatomy, Physiology, and Technique. In: Chestnut, D.H., Polley, L.S., Tsen, L.C., Wong, C.A., editor. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: principles and Practice, 4th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p 223 Xu, L., Guo, Q.L., Yan, Q. 2005. Isobaric and Hyperbaric Local Anesthetic Used In Spinal Anesthesia. Reg Anaesth 03: 325-7
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
RINCIAN INFORMASI
Perbandingan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar
Di RS Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pulih hambatan motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Blok Subaraknoid. Obat anestesi lokal diberikan secara blok subaraknoid pada seksio sesarea untuk memberikan analgesia dan relaksasi yang adekuat. Setelah pemberian obat anestesi lokal subarakhnoid kami evaluasi waktu pulih terhadap hambatan motorik yang dapat berbeda pada setiap obat anestesi lokal tersebut. Penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan di luar negeri dengan dosis obat seperti kelompok A maupun kelompok B dan menunjukkan hasil yang baik untuk memberikan waktu pulih yang lebih cepat pada operasi seksio sesarea. Mengingat efek samping pemberian obat anestesi lokal secara subarakhnoid seperti hipotensi sangat tergantung dosis dan cara pemberian, maka menurunkan dosis obat anestesi lokal menjadi 10 mg merupakan upaya mengurangi gejolak hemodinamik dan tetap menjaga hambatan motorik yang adekuat pada seksio sesarea dengan blok subarakhnoid. Kepada semua pasien akan diberikan perlakuan yang sama, sesuai dengan prosedur pelaksanaan dimana pemberian obat anestesi lokal melalui ruang subarakhnoid akan diberikan sesuai kelompoknya. Demikian pula mengenai penanganan bila terjadi komplikasi maupun efek samping yang timbul akan diberikan
pengobatan sesuai standar terbaik yang ada, tanpa membedakan berdasarkan kelompok perlakuannya. Keuntungan yang bisa dirasakan oleh pasien yang ikut serta dalam penelitian ini adalah biaya obat yang digunakan akan ditanggung oleh peneliti. Disamping itu pasien akan dievaluasi, diawasi secara cermat sebelum, selama dan sesudah tindakan oleh peneliti. Semua data dari penelitian ini akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak mungkin orang lain akan menghubungkannya dengan Anda. Anda diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menanyakan semua hal yang belum jelas tentang penelitian ini kepada peneliti. Bagi semua pasien yang akan menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Gawat Darurat dan ruang operasi Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah diharapkan bisa ikut serta dalam penelitian ini. Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian ini. Bila Ibu (atau Suami pasien) bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami ucapkan banyak terima kasih dan bila tidak bersedia, kami akan tetap akan memberikan pelayanan sebagaimana mestinya.
Hormat kami, Peneliti
(dr. Yosephine Ervina)
Catatan : Nomer telpon peneliti yang dapat dihubungi 081340475070 / 0361-3603917
Lampiran 4 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UJI KLINIK
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Umur/kelamin Alamat Pekerjaan Nomor telp. Nomor KTP/SIM
: …………………………………………………………….. : ………………tahun, L / P : …………………………………………………………….. : …………………………………………………………….. :…………………………………………………………….. : ……………………………………………………………..
Setelah memperoleh penjelasan dari peneliti tentang tujuan, manfaat dan resiko penelitian ini serta semua pertanyaan saya telah dijawab dengan jelas oleh peneliti, dengan ini memberikan : PERSETUJUAN Untuk ikut serta/mengikutsertakan saya sendiri*/ istri* saya: Nama Umur/kelamin Alamat Pekerjaan Nomor telp. Nomor KTP/SIM
: …………………………………………………………….. : ………………tahun, L / P : …………………………………………………………….. : …………………………………………………………….. :…………………………………………………………….. : ……………………………………………………………..
Dalam penelitian di kamar operasi Instalasi Gawat Darurat atau di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar, yang berjudul: Perbandingan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Denpasar, .......................2014 Penanggung jawab penelitian, Yang membuat pernyataan,
(dr. Yosephine Ervina)
(……………………….........) Saksi: 1 …………………..(dari pihak RS Sanglah) 2 …………………..(dari pihak keluarga)
* Lingkari & coret yang lain
Lampiran 5
LEMBAR PENELITIAN Perbandingan Waktu Pulih Hambatan Motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar
Data Umum 1. No. Rekam medis
: ……………………………… No. sampel : ………….
2. Nama Pasien
: ………………………………………………….……….
3. Umur Pasien
: ……………………………………………….....……….
4. Umur kehamilan
: ................................................................................
6. Tanggal Operasi
: ……………………………………………….………….
Data Khusus 1. Diagnosis
: ………………………………………………………….....
3. Berat badan
: …… kg, Tinggi badan : ……. cm, IMT : …….. kg/m2
4. Status Fisik ASA : ………………………………………………………….......
Cara Kerja 1. Kelengkapan identitas dan persetujuan tindakan diperiksa kembali di ruang persiapan kamar operasi. 2. Dilakukan pemasangan kateter intravena G18 dan diberikan premedikasi metokloperamid 10 mg dan ranitidin 50 mg intravena ± 30 menit sebelum tindakan pembedahan 3. Diberikan cairan prehidrasi Ringer Laktat 10 ml/kgBB sebelum dilakukan blok subaraknoid secara infus cepat dan pasien disiapkan ke kamar operasi.
4. Di kamar operasi dilakukan pemasangan alat monitor tekanan darah non invasif, EKG dan pulse oksimetri. 5. Pasang O 2 nasal kanul 2 L/mnt. 6. Posisikan pasien lateral dekubitus kiri dengan posisi meja datar, satu bantal di kepala. 7. Dengan teknik steril dilakukan blok subarakhnoid pada ruang lumbal (L3-4 atau L4-5) pendekatan median atau paramedian, memakai jarum spinal G 27. Setelah diyakini jarum spinal masuk kedalam ruang subarakhnoid, yang ditandai oleh keluarnya liquor yang jernih, diinjeksikan obat anestesi lokal Bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg blok subarakhnoid dilakukan oleh residen anestesi semester enam ke atas. 8. Setelah blok subarakhnoid selesai, pasien diposisikan telentang dengan satu bantal di kepala dan posisi meja operasi sedikit dimiringkan ke kiri ± 15°. 9. Dievaluasi ketinggian blok sensoris dengan metode pinprick pada garis midklavikula dengan jarum G 23, diharapkan ketinggian blok sensorik setinggi dermatom thorakal 6. 10. Selanjutnya dilakukan pencatatan waktu dimulainya hambatan motorik (Skor Modifikasi Bromage = 3). 11. Bila terjadi hipotensi (penurunan TDS ≥ 20% nilai awal atau penurunan TAR ≥ 10% nilai awal) diberikan ephedrin 5 mg intravena, dapat diulang sampai tercapai batas normal tekanan darah. 12. Tindakan seksio sesarea dengan insisi uterus melintang pada bagian bawah rahim dikerjakan setelah ketinggian blok subarakhnoid tercapai. 13. Setelah bayi lahir, seorang residen anestesi memberikan oksitosin bolus intravena 10 IU secara perlahan. Segera setelah pemberian bolus dilanjutkan dengan pemberian oksitosin kontinyu 0,04 IU/menit dengan cara melarutkan oksitosin 20 IU dalam cairan Ringer Laktat 500 ml tetesan rumatan. 13. Plasenta kemudian dilahirkan dengan traksi tali pusat terkontrol oleh operator.
14. Setelah luka operasi ditutup dan pasien dibersihkan, pasien dipindahkan ke ruang pulih. Jumlah cairan yang diberikan selama operasi dan adanya kejadian komplikasi lainnya seperti mual, muntah dan menggigil selama operasi dicatat pada lembar yang sudah disediakan. 20. Bila terjadi komplikasi : • Hipotensi (penurunan TDS ≥ 20% nilai dasar atau penurunan TAR ≥ 10% nilai dasar) diberikan ephedrin 5 mg intravena, dapat diulang sampai tercapai batas normal tekanan darah. • Mual dan atau muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena. • Menggigil, berikan bolus pelan petidin 25 mg intravena. 21. Untuk analgesia pasca operasi diberikan fentanyl kontinyu 0,25 mcg/kgBB/jam (dengan syringe pump) dan bolus ketorolak 3 x 30 mg intravena. 22. Di ruang pulih, pasien dicatat waktu pulih blok motorik, yaitu skor modifikasi bromage = 0 22. Semua hasil pemeriksaan dicatat pada formulir yang sudah disediakan
Lampiran 6
PENCATATAN HASIL EVALUASI
Tabel Waktu Mulai dan Waktu Pulih Blok Motorik Variabel tergantung
Waktu
Skor Bromage 3
Pk.
Skor Bromage 0
Pk.
Tabel Respon Kardiovaskuler Setelah pemberian Bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg Nilai dasar
Menit ke-1
Menit ke-2
Menit ke-3
Menit ke-4
Menit ke-5
Menit ke-7
Menit ke-10
Menit ke-12
Menit ke-15
TDS (mmHg) TDD (mmHg) TAR (mmHg)
Waktu dari mulai blok motorik sampai pulih blok motorik :...........................menit Hambatan sensorik setinggi............. Pemberian ephedrin setelah pemberian obat anestesi lokal intratekal: menit ke-..... Efek samping lainnya: - Mual : YA/TIDAK* Terapi:........................ Muntah : YA/TIDAK* Terapi:........................ Menggigil : YA/TIDAK* Terapi:........................ Jumlah cairan yang diberikan selama operasi : Kristaloid ........ml + Koloid.......ml Perkiraan jumlah perdarahan selama operasi : .........................ml *Lingkari & coret yang lain
Menit ke-20
Lampiran 8
HASIL ANALISIS SPSS
KLP Case Processing Summary Cases Valid
Umur (Tahun)
BB
TB
(Kg)
(cm)
IMT
Durasi (menit)
Missing
KLP
N
Percent
N
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Case Processing Summary Cases Missing KLP Umur (Tahun)
BB
TB
(Kg)
(cm)
IMT
Durasi (menit)
Percent
Total N
Percent
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Descriptives KLP Umur
Levobupivakain
(Tahun)
0,5% 10 mg
Statistic
95% Confidence Interval for Mean
Mean
28.86
Lower Bound
27.20
Upper Bound
30.52
5% Trimmed Mean
28.90
Median
29.00
Variance
24.066
Std. Deviation
18
Maximum
39
Range
21 6
Skewness
-.097
.393
Kurtosis
-.075
.768
Mean
28.92
.917
Lower Bound
27.06
Upper Bound
30.78
5% Trimmed Mean
28.67
Median
28.50
10mg 95% Confidence Interval for Mean
.818
4.906
Minimum
Interquartile Range
Bupivakain 0,5%
Std. Error
Variance Std. Deviation
Levobupivakain
(Kg)
0,5% 10 mg 95% Confidence Interval for Mean
5.500
Minimum
20
Maximum
45
Range
25
Interquartile Range
BB
30.250
6
Skewness
.618
.393
Kurtosis
.909
.768
Mean
64.22
1.262
Lower Bound
61.66
Upper Bound
66.79
5% Trimmed Mean
64.10
Median
64.50
Variance
57.378
Std. Deviation
7.575
Minimum
45
Maximum
82
Range
37
Interquartile Range Skewness
5 .414
.393
Kurtosis Bupivakain 0,5%
.914
.768
Mean
68.61
2.054
Lower Bound
64.44
Upper Bound
72.78
5% Trimmed Mean
67.38
Median
68.50
10mg 95% Confidence Interval for Mean
Variance Std. Deviation
TB
Levobupivakain
(cm)
0,5% 10 mg 95% Confidence Interval for Mean
151.902 12.325
Minimum
50
Maximum
120
Range
70
Interquartile Range
11
Skewness
2.228
.393
Kurtosis
8.066
.768
Mean
156.03
1.069
Lower Bound
153.86
Upper Bound
158.20
5% Trimmed Mean
156.42
Median
156.00
Variance
41.113
Std. Deviation
6.412
Bupivakain 0,5%
Minimum
136
Maximum
165
Range
29
Interquartile Range
10
Skewness
-.867
.393
Kurtosis
1.240
.768
Mean
156.06
1.246
Lower Bound
153.53
Upper Bound
158.58
5% Trimmed Mean
156.16
Median
155.00
Variance
55.883
10mg 95% Confidence Interval for Mean
Std. Deviation
IMT
Levobupivakain
7.475
Minimum
142
Maximum
170
Range
28
Interquartile Range
15
Skewness
-.145
.393
Kurtosis
-.894
.768
Mean
26.4115
.51755
Lower Bound
25.3609
0,5% 10 mg 95% Confidence Interval for Mean
Upper Bound
27.4622
5% Trimmed Mean
26.1521
Median
25.3906
Variance Std. Deviation
3.10530
Minimum
22.31
Maximum
35.56
Range
13.24
Interquartile Range
Bupivakain 0,5%
9.643
4.08
Skewness
1.321
.393
Kurtosis
1.572
.768
Mean
28.1825
.74279
Lower Bound
26.6746
Upper Bound
29.6905
5% Trimmed Mean
27.8693
Median
27.5550
Variance
19.863
10mg 95% Confidence Interval for Mean
Std. Deviation
4.45674
Minimum
21.48
Maximum
41.52
Range
20.04
Interquartile Range
Durasi
Levobupivakain
(menit)
0,5% 10 mg 95% Confidence Interval for Mean
Skewness
1.003
.393
Kurtosis
1.334
.768
Mean
108.75
1.996
Lower Bound
104.70
Upper Bound
112.80
5% Trimmed Mean
108.64
Median
110.00
Variance
143.393
Std. Deviation
Bupivakain 0,5%
6.17
11.975
Minimum
75
Maximum
140
Range
65
Interquartile Range
14
Skewness
.049
.393
Kurtosis
1.877
.768
Mean
152.00
3.302
Lower Bound
145.30
Upper Bound
158.70
5% Trimmed Mean
151.94
Median
157.50
10mg 95% Confidence Interval for Mean
Variance
392.571
Std. Deviation
19.813
Minimum
120
Maximum
185
Range
65
Interquartile Range
31
Skewness
-.014
.393
Kurtosis
-1.349
.768
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova KLP Umur (Tahun)
BB
TB
IMT
(Kg)
(cm)
Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.081
36
.200*
.986
Bupivakain 0,5% 10mg
.104
36
.200*
.961
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.237
36
.000
.925
Bupivakain 0,5% 10mg
.222
36
.000
.805
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.177
36
.006
.923
Bupivakain 0,5% 10mg
.134
36
.099
.948
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.174
36
.008
.883
Durasi (menit)
Bupivakain 0,5% 10mg
.102
36
.200*
.937
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.208
36
.000
.934
Bupivakain 0,5% 10mg
.166
36
.014
.925
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Tests of Normality Shapiro-Wilk KLP Umur (Tahun)
BB
TB
(Kg)
(cm)
IMT
Durasi (menit)
df
Sig.
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.917
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.233
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.018
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.000
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.015
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.093
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.001
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.040
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.034
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.018
T-Test Group Statistics KLP
N
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg Bupivakain 0,5% 10mg
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
36
28.86
4.906
.818
36
28.92
5.500
.917
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of
t-test for Equality of
Variances
Means
F Umur (Tahun)
Equal variances assumed
Sig. .123
t .727
df -.045
Equal variances not assumed
70
-.045 69.104
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Std. Error Sig. (2-tailed) Umur (Tahun)
Mean Difference
Difference
Equal variances assumed
.964
-.056
1.228
Equal variances not assumed
.964
-.056
1.228
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference Lower Umur (Tahun)
Upper
Equal variances assumed
-2.505
2.394
Equal variances not assumed
-2.506
2.395
Mann-Whitney Test Ranks KLP BB
TB
IMT
(Kg)
(cm)
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
32.18
1158.50
Bupivakain 0,5% 10mg
36
40.82
1469.50
Total
72
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
36.94
1330.00
Bupivakain 0,5% 10mg
36
36.06
1298.00
Total
72
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
31.86
1147.00
Bupivakain 0,5% 10mg
36
41.14
1481.00
Total
72
Test Statisticsa BB
(Kg)
Mann-Whitney U Wilcoxon W
TB
(cm)
IMT
492.500
632.000
481.000
1158.500
1298.000
1147.000
-1.766
-.182
-1.882
.077
.856
.060
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KLP
Crosstabs
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing Percent
N
Total
Percent
N
Percent
ASA * KLP
72
100.0%
0
.0%
72
100.0%
umur kehamilan kategori * KLP
72
100.0%
0
.0%
72
100.0%
ASA * KLP Crosstab KLP
ASA
1
Levobupivakain 0,5%
Bupivakain 0,5%
10 mg
10mg
Count % within KLP
2
Count % within KLP
Total
Count % within KLP
Total
21
25
46
58.3%
69.4%
63.9%
15
11
26
41.7%
30.6%
36.1%
36
36
72
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.963a
1
.326
Continuity Correctionb
.542
1
.462
Likelihood Ratio
.966
1
.326
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.462 .950
1
.330
72
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00.
.231
ASA * KLP Crosstab KLP
ASA
1
Count % within KLP
2
Count % within KLP
Total
Count
b. Computed only for a 2x2 table
Levobupivakain 0,5%
Bupivakain 0,5%
10 mg
10mg
Total
21
25
46
58.3%
69.4%
63.9%
15
11
26
41.7%
30.6%
36.1%
36
36
72
umur kehamilan kategori * KLP Crosstab KLP
umur kehamilan kategori
Preterm
Levobupivakain
Bupivakain 0,5%
0,5% 10 mg
10mg
Count % within KLP
Aterm
Count % within KLP
Total
Count % within KLP
Total
2
2
4
5.6%
5.6%
5.6%
34
34
68
94.4%
94.4%
94.4%
36
36
72
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.000a
1
1.000
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.000
1
1.000
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.000 .000
1
1.000
72
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00.
.693
Crosstab KLP
umur kehamilan kategori
Preterm
Count % within KLP
Aterm
Count % within KLP
Total b. Computed only for a 2x2 table
Count
Levobupivakain
Bupivakain 0,5%
0,5% 10 mg
10mg
Total
2
2
4
5.6%
5.6%
5.6%
34
34
68
94.4%
94.4%
94.4%
36
36
72
KLP Case Processing Summary Cases
Valid
KLP Durasi (menit)
N
Missing
Percent
N
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
100.0%
0
Bupivakain 0,5% 10mg
36
100.0%
0
Case Processing Summary Cases
Missing
KLP Durasi (menit)
Percent
Total
N
Percent
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.0%
36
100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg
.0%
36
100.0%
Descriptives Std. KLP Durasi
Statistic
Levobupivakain 0,5% 10 mg Mean
108.75
Error 1.996
(menit) 95% Confidence Interval for
Lower Bound
104.70
Upper Bound
112.80
Mean
5% Trimmed Mean
108.64
Median
110.00
Variance
143.393
Std. Deviation
Bupivakain 0,5% 10mg
11.975
Minimum
75
Maximum
140
Range
65
Interquartile Range
14
Skewness
.049
.393
Kurtosis
1.877
.768
152.00
3.302
Mean 95% Confidence Interval for
Lower Bound
145.30
Upper Bound
158.70
Mean
5% Trimmed Mean
151.94
Median
157.50
Variance
392.571
Std. Deviation
19.813
Minimum
120
Maximum
185
Range
65
Interquartile Range
31
Skewness
-.014
.393
Kurtosis
-1.349
.768
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova KLP Durasi (menit)
Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
Levobupivakain 0,5% 10 mg
.208
36
.000
.934
Bupivakain 0,5% 10mg
.166
36
.014
.925
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality Shapiro-Wilk
KLP Durasi (menit)
df
Sig.
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
.034
Bupivakain 0,5% 10mg
36
.018
Mann-Whitney Test Ranks KLP Durasi (menit)
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Levobupivakain 0,5% 10 mg
36
19.36
697.00
Bupivakain 0,5% 10mg
36
53.64
1931.00
Total
72
Test Statisticsa Durasi (menit) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
31.000 697.000 -6.982 .000
Test Statisticsa Durasi (menit) Mann-Whitney U
31.000
Wilcoxon W
697.000
Z
-6.982
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: KLP
Case Processing Summary Cases Valid N Efek Samping * KLP
Missing Percent
72
N
100.0%
Total
Percent 0
N
Percent
.0%
72
Efek Samping * KLP Crosstabulation KLP
Efek Samping Tidak ada
Count
% within KLP
Levobupivakain
Bupivakain
0,5% 10 mg
0,5% 10mg
Total
15
19
34
41.7%
52.8%
47.2%
100.0%
Hipotensi
Count
% within KLP
Mual
Count
% within KLP
Mengigil
Count
% within KLP
Total
Count
% within KLP
6
4
10
16.7%
11.1%
13.9%
3
6
9
8.3%
16.7%
12.5%
12
7
19
33.3%
19.4%
26.4%
36
36
72
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
3.186a
3
.364
Likelihood Ratio
3.225
3
.358
Linear-by-Linear
1.264
1
.261
Association N of Valid Cases
72
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.50.