LEMBAR PERSETUJUAN
Jurnal Yang Berjudul PENERAPAN PASAL 53 AYAT 2 MENGENAI RUANG TUNGGU SIDANG ANAK YANG HARUS DIPISAHKAN DARI RUANG TUNGGU SIDANG ORANG DEWASA BERDASARKAN UU No. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI KOTA GORONTALO) Oleh : Mohamad Aditya Dadi 271411043
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Fence M. Wantu, SH. MH NIP. 19740119 200112 1 001
Suwitno Yutye Imran, SH. MH NIP. 19830622 200912 1 004
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Hukum
Suwitno Yutye Imran, SH. MH NIP. 19830622 200912 1 004
ABSTRACT MOHAMAD ADITYA DADI, NIM 271 411 043, PARAGRAPH 2 APPLICATION OF ARTICLE 53 OF HEARING CHILDREN WAITING ROOM TO BE EXCLUDED FROM THE WAITING ROOM SESSIONS BY ADULTS Law 11 YEAR 2012 CONCERNING CHILD CRIMINAL JUSTICE SYSTEM (CASE STUDY COURT GORONTALO), Legal Studies Program, Faculty of Law, State University of Gorontalo, 2015, under the guidance of Dr. Fence M. wantu, SH, MH and Suwitno Y. Imran, SH, MH This scientific thesis aims to identify and analyze more clearly the extent of the application of Article 53 of Law No. 11 thun 2012 on juvenile criminal justice system in the District Court of Gorontalo and to mengethui and analyze what the obstacles faced by the District Court of Gorontalo in applying article 53 of Law No. 11 of 2012 on juvenile criminal justice system. This research was conducted in the city of Gorontalo is located in Gorontalo District Court. The method used by researchers is the empirical method. The object of the research is the Gorontalo District Court as an institution that must uphold legal protection of children in conflict with the law. Research results and data obtained show that the application of Article 53 of Law No. 11 of 2012 on juvenile criminal justice system in the State Pengadilaan yet effective Gorontalo, Gorontalo because the District Court does not have lounge facilities child adequate hearing. So the application of the laws of the juvenile criminal justice system in the District Court Gorontalo still berkisarkan the special court hearing the child and the time the child takes precedence over hearing adults. The main constraints faced by the Court of Gorontalo in applying the law is the budget problems that have not been obtained from the government as well as the Court of Gorontalo itself is still in the stage of building renofasi.
Keywords: Implementation, the Son, the hearing of children waiting room apart from waiting room adult trial
A. Latar Belakang Berbicara mengenai kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya. Setiap hari selalu saja terjadi suatu tindak pidana. pelaku kejahatan pun semakin beragam tingkat sosial dan usianya. mulai dari berbuat kejahatan seorang diri, atau dengan berkelompok, mulai dari kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa sampai orang yang sudah tua. Akan tetapi yang sangat memprihatinkan, kenyataan bahwa pelaku dari suatu tindak pidana adalah seorang anak. Kejahatan anak makin hari menunjukan kenaikan jumlah dalam kualitas kejahatan dan peningkatan dalam kegarangan serta kebengisannya yang dilakukan dalam aksi-aksi kelompok. Gejala ini akan terus menerus berkembang sejalan dengan perkembangan industrialisasi dan urbanisasi.1 Berdasarkan itu, seorang anak harus dilindungi, sekalipun seorang anak tersebut menjadi pelaku dari suatu tindak pidana. di indonesia, perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana sudah diatur dalam undang-undang terbaru yaitu UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. undang-undang terbaru ini sudah lebih komprehensif memberikan perlindungan khusus terhadap anak yaung berhadapan dengan hukum. Mulai dari lahirnya diversi yang selalu di-implementasikan dengan metode restorative justice, sampai dengan perlakuan khusus terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pada tahap pemeriksaan sidang di pengadilan. Perlakuan khusus di pengadilan yang penulis maksudkan adalah2 adanya ruang sidang khusus anak, adanya ruang tunggu sidang khusus anak, dan waktu persidangan anak didahulukan dari waktu persidangan orang dewasa. adanya ruangan sidang khusus anak dan ruang tunggu sidang khusus anak dapat memberikan perlindungan terhadapa anak agar selama menunggu proses pengadilan dilangsungkan dan proses penahan anak terpisah dengan tahanan dewasa. Dengan ini, dapat membuat si anak merasa nyaman, sejahtera, dan tidak mengalami trauma pada saat si anak menjalani proses pemeriksaan di pengadilan negeri. Di sisi lain ketika suatu pengadilan negeri tidak mempunyai ruang sidang khusus 1 2
Kartini kartono, 2013, patologi social 2: kenakalan remaja. Jakarta. Hlm 7 Lihat pasal 53 UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
anak dan ruang tunggu sidang khusus anak, maka anak tersebut akan ditahan dan diadili layaknya pelaku yang sudah dewasa. Jadi, anak tersebut akan ditahan di balik jeruji besi seperti orang dewasa dan akan diadili di ruangan yang sama dengan pelaku yang sudah dewasa. Proses ini akan berdampak buruk kepada mental si anak di kemudian hari. Faktanya ada pada pengadilan negeri kota gorontalo. di pengadilan ini tidak mempunyai ruang tahanan khusus anak. hal ini penulis peroleh berdasarkan keterangan ibu Rosdiana K. Tolinggi, SH selaku bagian panmud hukum di pengadilan negeri kota gorontalo. jadi demi proses pemeriksaan di persidangan nanti di pengadilan ini, seorang anak belum di tempatkan di tempat khusus tunggu sidang anak. Jelas, bahwa ini tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. khususnya undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Sejauh mana penerapan pasal 53 UU 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Kota Gorontalo ? 2. Apa kendala yang dihadapi Pengadilan Negeri Kota Gorontalo dalam penerapan pasal 53 ayat 2 UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak ? B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat empiris. Menurut H. Zainudin ali, dalam bukunya yang berjudul “metode penelitian hukum”3 bahwa penelitian empiris mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Selanjutnya, data yang terkumpulkan akan diolah dan dianalisis secara kuantitatif, dengan maksud melakukan analisis terhadap data berdasarkan jumlah data yang terkumpul. Biasanya analisis dengan kuantitatif tersebut dilakukan dengan cara menggunakan rumus-rumus. Hal ini karena dalam
3
H. Zainudin Ali, 2009, metode penelitian hukum, penerbit : sinar grafika, jakarta. Hlm 22
proses pengumpulan data biasanya menggunakan kuesioner yang masing-masing item jawabannya telah diberi skala.4 Dalam pengumpulan data yang diperlukan, penulis menggunakan teknik pengumpulan data primer dan menggunakan teknik questioner : a) pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara. wawancara ini dilakukan oleh peneliti dimana peneliti tidak mempuyai pedoman wawancara yang sudah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara
yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan peneliti kepada narasumber. b) Teknik quesioner ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan tertulis yang sudah disediakan peneliti sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah terstruktur ini akan diberikan peneliti kepada responden yang merupakan sampel pada penelitian ini. dimana peneliti tidak akan bertemu atau tanya jawab langsung dengan responden.
Objek dari penelitian ini adalah pihak Pengadilan Negeri Kota
Gorontalo selaku lembaga hukum yang harus menjunjung tinggi perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penerapan Pasal 53 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Di Pengadilan Negeri Gorontalo Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, Pengadilan Negeri Gorontalo sebagai lembaga hukum yang mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara sesuai dengan Pasal 2 Undangundang No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, telah lalai dalam hal mememenuhi hak-hak anak sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan seorang hakim Pengadilan Negeri Gorontalo sekaligus humas di pengadilan tersebut, bapak Abdullah Mahrus S.H M.H, bahwa sebenarnya Pengadilan Negeri Gorontalo sudah berusaha semaksimal mungkin untuk 4
Mukti fajar nur dewata, yulianto achmad, 2010, dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Yogyakarta. Hlm 192
memenuhi hak-hak anak sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Jadi pada Pengadilan Negeri Gorontalo ini, anak tetap mendapatkan layanan berbeda dari pelaku yang sudah dewasa. Hanya saja, ketersediaan sarana dan pra-sarana dalam hal menunjang perlindungan anak tersebut belum sepenuhya terpenuhi. Beliau menambahkan bahwa pengadilan ini masih belum mempunyai fasilitas ruang tunggu sidang khusus anak yang terpisah dari ruang tunggu sidang orang dewasa yang memadai. Menurut keterangan dari humas Pengadilan Negeri Gorontalo tersebut, fasilitas ruang tunggu sidang khusus anak tersebut memang sudah ada sejak dibangunnya pengadilan ini. Hanya saja, fasilitas yang berupa aksesorisaksesoris yang menunjang kesejahteraan anak dalam ruangan tersebut belum terpenuhi, maka dari itu ruangan tersebut diubah fungsinya menjadi ruangan dharmayukti atau ruangan untuk dharma wanita Pengadilan Negeri Gorontalo.5 Untuk membuktikannya, peneliti berhasil mewawancarai anak yang pernah menjadi pelaku kekerasan pada tahun 2014 yang kebetulan pada saat penahanannya di pengadilan demi proses pemeriksaan di persidangan ditahan di ruang tunggu sidang orang dewasa. Pada perkara anak ini, pelakunya berjumlah dua orang. Masing-masing berumur 16 tahun dan 17 tahun. Mereka bersekolah di SMA 1 kabila. Kedua Anak ini berinisial FL dan masih ada ikatan saudara sepupu. Kedu anak ini beralamat di desa panggulo kecamatan kabila kabupaten bone bolango, dengan No. perkara 5/Pid.sus/2014/PNGtlo. Menurut keterangan terdakwa ,bahwa saat pemeriksan di tingkat pengadilan, terdakwa ditahan di tempat tunggu sidang orang dewasa, Berjeruji besi dan mempunyai hawa yang panas karena tidak berpendingin ruangan. Berdasarkan wawancara peneliti dengan pihak keluarga terdakwa bahwa sebenarnya pihak dari BAPAS yang diwakilkan oleh bapak roni pakaya yang kebetulan saat itu adalah pendamping dari para terdakwa, sudah melakukan protes kepada pihak pengadilan tehadap penempatan para pelaku yang masih di bawah umur di tempat tahanan orang dewasa. Menurut keterangan dari keluarga, pihak pengadilan sendiri saat itu berupaya mencarikan ruangan penahanan sementara kepada para terdakwa tersebut. Tapi karena keadaan pengadilan saat itu masih dalam tahapan renofasi bangunan dan semua 5
Wawancara dengan bapak abdullah mahrus S.H M.H, tanggal 12 mei 2015 pukul 09.54 WITA
ruangan terpakai, maka para terdakwa tersebut tetap di tahan di tempat penahanan orang dewasa. Namun, mereka akan dipindahkan ke ruang tahanan sementara setelah jam pulang kerja. Menurut keterangan FL ketika mereka berada diruangan tunggu sidang orang dewasa, mereka merasa malu dan minder karena dilihat banyak orang yang melintas di depan ruang tunggu sidang orang dewasa tersebut. Karena kebetulan, tepat disebelah ruang tunggu sidang orang dewasa tersebut ada sebuah kantin. FL menambahkan bahwa pada saat mereka berada dalam tahanan tersebut, mereka ditemani oleh orang tua laki-laki mereka masing-masing. Berdasarkan wawancara dengan FL, mereka berdua di vonis 3 bulan untuk menjalani hukuman di LPKS dungingi.6 Diwaktu yang berbeda peneliti langsung mewawancarai bapak suwono S.H M.Hum selaku hakim anak di pengadilan tersebut. Berdasarkan keterangannya, Pengadilan Negeri Gorontalo sudah semaksimal mungkin untuk memenuhi hak-hak dari anak sebgai pelaku dari suatu tindak pidana. Contohnya masih menjunjung tinggi hak–hak anak pada proses persidangan. Dimana penyidik, penuntut umum, penasehat hukum dan hakim serta petugas persidangan lainnya tidak menggunakan toga atau pakaian dinas pada proses persidangan berlangsung.7 seperti yang ada pasal 26 UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Jadi, penerapan pasal 53 UU No. 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak pada pengadilan negeri kota gorontalo, masih berkisar pada, adanya ruang sidang khusus untuk anak dan waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Kendala Yang Dihadapi Pengadilan Negeri Gorontalo Dalam Menerapkan Pasal 53 Ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Berdasarkan wawancara dengan bapak Abdullah mahrus S.H M.H, ada satu faktor yang menjadi kendala pengadilan negeri kota gorontalo dalam membangun fasilitas
maupun sarana
yang memadai
yang mendukung
perlindungan seorang anak yang menjadi tersangka dalam suatu perkara. Faktor 6
Wawancara dengan anak yang menjadi tersangka dengan No.perkara 5/Pid.sus/2014/PNGtlo, pada tanggal 27 mei 2015. 7 Wawancara singkat dengan bapak suwono, pada tanggal 12 mei 2015 pukul 10. 20 WITA
tersebut adalah anggaran yang belum ada dari pemerintah. Faktor anggaran inilah menurut beliau yang membuat undang-undang sistem peradilan pidana anak belum ter-implementasi dengan baik pada Pengadilan Negeri Gorontalo. Tapi disamping itu, pihak pengadilan menurut beliau telah memasukan anggaran untuk pengadaan fasilitas tersebut pada tahun anggaran 2015. Anggaran tahun 2014 yang telah ada, digunakan pihak pengadilan untuk membangun infrastruktur lainnya.8 Diwaktu yang berbeda, peneliti berhasil mewawancarai bapak Taufik Tulen S.H M.H selaku panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Gorontalo yang keterangannya menguatkan keterangan dari humas Pengadilan Negeri Gorontalo. Menurut beliau kendala dalam menerapkan pasal 53 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pada pengadilan ini adalah kelayakan dari ruangan tersebut yang disebabkan masalah anggaran dari pemerintah serta masih ada proses pembangunan di Pengadilan Negeri Gorontalo.9 Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan, walaupun di dalam kenyataan di indonesia kecenderungannya adalah demikian.10 Jadi berdasarkan penjelasan di atas, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai penerapan hukum yang tepat yang tidak menegeyampingkan hak asasi manusia. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut :11 1) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 2) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 3) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut. Jadi, Penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya dibidang hukum terutama 8
Wawancara dengan bapak Abdullah mahrus pada tanggal 12 mei 2015 Wawancara dengan bapak taufik pada tanggal 22 mei 2015 pukul 09.34 WITA 10 Ibid. Hlm 7 11 Soerjono soekanto, 2014, faktor penegakan hukum, Jakarta. Hlm 8 9
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Hal ini berarti perlu adanya jaminan kepastian hukum bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupannya maupun hak-haknya ketika rakyat berhadapan dengan hukum. Dalam berbagai kajian sistematis penegakan hukum dan keadilan secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila 5 (lima) pilar hukum dapat berjalan dengan baik. Lima pilar hukum itu adalah instrumen (substansi hukum), aparat penegak hukum (struktur hukum), peralatannya (sarana dan prasarana), budaya hukum dan birokrasinya. Adapun teori penegakan hukum menurut Lawrence Meir Friedman yang mengatakan bahwa “berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum.”12 Teori penegakan hukum oleh Lawrence Meir Friedman tersebut dibenarkan oleh ibu Hj. Mutia Ch. Thalib, S.H M.H selaku dosen fakultas hukum di Universitas Negeri Gorontalo. Menurut beliau dalam proses penegekan hukum, substansi, struktur dan budaya hukum harus berjalan seiringan agar tercipta suatu peradilan yang adil dan makmur. Jangan sampai struktur hukum dalam hal ini lembaga hukumnya, tidak mendukung substansi yang ada dalam hal ini adalah peraturannya. Karena dalam perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, harus dijalankan berdasarkan instrument-instrumen yang memadai. Menurut beliau penegakan hukum tidak harus unsur jera yang dicari, tapi ada dampak-dampak moral yang harus diperbaiki. Jadi, ketika anak yang ditahan bersama orang dewasa, bukan dampak positifnya yang didapat, malah dampak negatifnya.13 Diwaktu lain, peneliti berhasil mewawancarai Prof. Dr. Fenty Puluhalawa, S.H M.Hum selaku dosen di fakultas hukum Universitas Negeri Gorontalo. adanya ruangan tunggu sidang khusus anak dengan fasilitas yang memadai menurut beliau, sangat diperlukan. Ruangan tersebut sangat berpengaruh terhadap psikologi anak yang menjalani hukuman tersebut. Karena fasilitas
12
Bambang sutiyoso, 2010, reformasi keadilan dan penegakan hukum di indonesia, yogyakarta. Hlm 18-19 13 Wawancara dengan ibu mutia pada tanggal 19 mei 2015 pukul 11.58 WITA
tersebut sudah harus ada seperti yang tercantum di undang-undang. Jadi apa yang tercantum di undang-undang merupakan perintah yang harus ditaati.14 D. Kesimpulan 1) Penerapan pasal 53 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak di pengadilan negeri kota gorontalo, belum maksimal. Tapi disamping itu, pihak dari pengadilan sendiri sudah berusaha maksimal untuk mengimplementasikan undang-undang sistem peradilan pidana anak tersebut dengan tetap menjunjung tinggi hak anak pada saat di persidangan. Dengan tidak memakai toga, dan waktu sidang anak didahulukan dari sidang orang dewasa. 2) kendala pengadilan untuk menerapkan undang-undang tersebut ialah masalah anggaran yang belum dipenuhi oleh pemerintah serta pihak pengadilan sendiri masih melakukan renovasi bangunan. Jadi, untuk sarana dan prasarana perlindungan anak sesuai dengan pasal 53 tersebut, belum bisa dipenuhi. Tetapi sebenarnya Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak.15 Dicampurnya perkara yang dilakukan oleh anak dan oleh orang dewasa tidak akan menjamin terwujudnya kesejateraahn anak. Dengan kata lain, pemisahan ini penting dalam hal mengadakan perkembangan pidana dan perlakuannya,16 serta harus di dukung dengan instrument-instrumen yang memadai. Karena berkaca dari teorinya Lawrence Meir Friedman yang mengatakan bahwa “berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum”.
14
Wawancara dengan ibu fenty pada tanggal 19 mei 2015 pukul 14.15 WITA Nashriana, 2012, perlindungan hukum bagi anak Indonesia, Jakarta. Hlm 3 16 Wagiati soetodjo, 2010, hukum pidana anak, Bandung. Hlm 45 15
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku : Bambang sutiyoso, 2010, reformasi keadilan dan penegakan hukum di indonesia, yogyakarta : UII Press. H. Zainudin Ali, 2009, metode penelitian hukum, Jakarta : Sinar Grafika Kartini kartono, 2013, patologi social 2: kenakalan remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Mukti fajar nur dewata, yulianto achmad, 2010, dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nashriana, 2012, perlindungan hukum bagi anak Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soerjono soekanto, 2014, faktor penegakan hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Wagiati soetodjo, 2012, hukum pidana anak, Bandung : Refika Aditama.
Sumber Undang-Undang : UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradiln pidana anak
Sumber Wawancara : Bapak Abdullah Mahrus S.H, M.H Bapak Ilham Tulen S.H, M.H Bapak Suwono S.H, M.Hum Ibu Prof. Dr. Fenty Puluhulawa S.H, M.Hum Ibu Hj. Mutia Ch. Thalib, S.H M.H