KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DI DEPAN SIDANG PARIPURNA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
Jakarta, 23 Agustus 2005
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati, Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Lembaga-lembaga Negara, Yang Mulia para Duta Besar dan Pimpinan Perwakilan Badan-badan dan Organisasi Internasional, Hadirin yang terhormat, Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena pada hari yang membahagiakan ini, kita dapat menghadiri Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Saya ingin menggunakan kesempatan yang membahagiakan ini, untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan, yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah, yang mencakup kemajuan dan arah ke depan, serta penjelasan singkat mengenai alokasi APBN untuk kepentingan pembangunan daerah. Sebagaimana telah dimaklumi, pada tanggal 16 Agustus 2005 yang lalu, saya telah menyampaikan Pidato Kenegaraan dan Keterangan Pemerintah tentang RUU APBN 2006 disertai Nota Keuangannya di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas bersama, dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pertimbangan tersebut disampaikan DPD kepada DPR. Oleh sebab itu, saya sungguh-sungguh berharap, DPD akan dapat memberikan pertimbangan secermat mungkin dalam pembahasan RAPBN. Dengan demikian, aspirasi daerah, akan benar-benar tercermin dalam keputusan yang diambil dalam menetapkan APBN Tahun 2006 nanti.
Sebagai lembaga negara yang baru dibentuk berdasar hasil amandemen UUD 1945, saya sungguh-sungguh berharap DPD dapat memainkan peranan yang aktif dan konstruktif, sesuai tugas dan kewenangannya, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang yang berlaku. Saya percaya, para anggota DPD yang terhormat, yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang demokratis pada tahun 2004 yang lalu adalah putra-putra terbaik bangsa, yang dipercaya oleh rakyat di daerah untuk membawa dan menyuarakan aspirasi daerah. Karena itu, saya yakin dan percaya, Saudara-saudara akan mampu melaksanakan amanah yang telah dibebankan, sebagaimana beban yang juga telah diamanahkan kepada saya dan Saudara Wakil Presiden. Selama sepuluh bulan menjalankan pemerintahan, saya merasa hubungan kemitraan antara Pemerintah dan DPD telah terbina sesuai dengan harapan kita bersama. Atas kerjasama yang baik itu, izinkanlah saya, menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya Mudah-mudahan, di masa depan, kerjasama yang baik itu akan dapat kita tingkatkan menjadi lebih baik lagi.
Keberadaan DPD tidaklah terlepas dari keinginan seluruh rakyat, agar pemerintahan kita tidak bersifat sentralistik. Sejak pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 1999, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kewenangan selebihnya diserahkan kepada daerah-daerah, kecuali diatur tersendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. DPD dibentuk sebagai kelanjutan penerapan kebijakan otonomi daerah yang kita laksanakan dengan sungguh-sungguh sejak tahun 1999 yang
2
lalu.
Berbeda
dengan
DPR
yang
komposisi
keanggotaannya
mewakili
perimbangan
jumlah penduduk di setiap provinsi, jumlah anggota DPD adalah sama setiap provinsi. Dengan demikian, kepentingan daerah akan terwakili secara seimbang ke dalam DPD. Tentu, saya menyadari, tidaklah mudah untuk menyalurkan aspirasi daerah-daerah kita yang amat beragam, baik kemajemukan masyarakatnya, maupun tingkat kemajuan pembangunan yang telah dicapai. Namun, dengan ketekunan, kehati-hatian serta sikap yang arif dan bijaksana, saya yakin, kita akan mampu mewujudkan aspirasi daerah-daerah
dalam
melaksanakan
pembangunan
nasional.
Dengan
demikian, akan tercipta
keseimbangan yang dinamis antara kepentingan nasional dan aspirasi daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memang pelaksanaan otonomi daerah belum sepenuhnya dapat berjalan dengan lancar. Kita masih menghadapi berbagai hambatan, baik politis maupun administratif. Namun saya percaya, setahap demi setahap kita akan dapat melaksanakannya sesuai dengan harapan kita bersama. Menerapkan sesuatu yang kita anggap ideal, tentu akan dihadapkan kepada berbagai kendala. Namun saya percaya, di samping menjunjung tinggi idealisme, kita harus pula bersikap realistik dengan memperhatikan kenyataankenyataan yang kita hadapi. Kita semua berniat baik, untuk memajukan kehidupan bangsa dan negara. Mudah-mudahan, niat yang baik dan tulus itu akan memudahkan kita mencapai tujuan pembentukan negara kita, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ke arah inilah kita bergerak. Karena itu, saya mengajak seluruh daerah untuk sama-sama bahu-membahu berjuang membangun bangsa dan mengisi kemerdekaan, dengan tetap menjaga dan memelihara persatuan bangsa. Kepentingan daerahdaerah yang beragam, haruslah kita salurkan dengan arif dan bijaksana, agar jangan sampai mengganggu tegaknya kesatuan dan persatuan bangsa.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati,
Dengan pengantar serta harapan tadi, selanjutnya izinkanlah saya untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah, kemajuan, serta arah ke depan yang ingin kita capai. Kebijakan ini tentu tidak lepas dari konteks pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, dan Rencana Kerja Pemerintah yang setiap tahunnya dituangkan ke dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sebagian besar kewenangan dan urusan pemerintahan serta sumber-sumber pembiayaannya telah diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Proses desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan
beberapa
tahun
berpotensi menimbulkan
itu, pada disintegrasi
awalnya
diliputi
oleh
bangsa. Kekhawatiran
keraguan itu
dan
memang
kekhawatiran
akan
beralasan, karena
desentralisasi dilakukan secara progresif, cepat, dan bahkan tanpa melalui masa transisi. Sementara, awal era Reformasi di tahun 1998, kita tengah diliputi oleh krisis ekonomi yang berdampak pada krisis kepercayaan kepada Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Ketika itu, kita juga menghadapi situasi rawan di daerah, dengan terjadinya konflik horizontal yang telah menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Kita pun tengah menghadapi derasnya arus globalisasi ekonomi. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga sama-sama menghadapi krisis moneter, yang menimbulkan kecemasan yang cukup tinggi di kawasan ini. Dalam situasi seperti itu, pelaksanaan kebijakan desentralisasi dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berat.
3
Pelaksanaan
Otonomi
Daerah
dalam
beberapa tahun terakhir ini, merupakan
pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, untuk membangun kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih baik di tahun-tahun mendatang. Kita menyadari bahwa jalan panjang masih terbentang di hadapan kita, dalam menuju suasana yang lebih baik, yang memenuhi harapan kita bersama. Kita berkeinginan agar bangsa kita yang majemuk, benar-benar merasakan manfaat dari kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak satupun dari daerah-daerah itu yang merasa dirinya tertinggal dan terbelakang. Untuk itu, diperlukan perbaikan yang mendasar dalam pelayanan masyarakat di semua daerah, melalui pola pengelolaan pemerintahan yang lebih demokratis, bertanggungjawab, profesional dan responsif, serta terdesentralisasi. Pada hakikatnya desentralisasi dan otonomi adalah untuk makin mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya. Dengan demikian, Pemerintah akan dapat memberikan pelayanan dan melaksanakan keinginan seluruh rakyat secara lebih baik, lebih cepat dan lebih tepat.
Tantangan yang kita hadapi memang tidak mudah. Di samping sejumlah persoalan berat kenegaraan yang muncul silih berganti, pada saat yang sama kita juga harus mampu mengubah pola berpikir pemerintahan sentralistik, yang telah berlangsung lebih dari satu generasi. Sementara itu, kapasitas kemampuan daerah dalam menjalankan fungsi dan peranan yang lebih besar, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, belumlah sepenuhnya berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Keadaan ini seringkali menimbulkan dilema bagi kita dalam mengambil keputusan dan menerapkan suatu kebijakan. Akibatnya, keinginan kita agar keputusan dapat segera diambil, dan kebijakan segera dilaksanakan, seringkali mengalami hambatan.
Kita juga masih dihadapkan kepada kelemahan sumberdaya manusia, di berbagai daerah. Mentalitas aparatur pemerintahan belum sepenuhnya berubah, meskipun reformasi telah berjalan selama lebih dari tujuh tahun. Kecenderungan untuk dilayani masih terasa di berbagai lembaga dan instansi pemerintah. Padahal, tugas aparatur negara adalah untuk melayani rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme juga masih terjadi. Dengan diserahkannya pengelolaan keuangan ke daerah-daerah, maka kecenderungan meningkatnya penyimpangan penyelewengan di daerah-daerah juga makin
dan
membesar. Pemerintah kini berupaya mengatasi hal itu,
bukan saja dengan menindak tegas praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga memperketat pengawasan keuangan negara dan menyempurnakan sistem akuntasi keuangan negara, agar tidak mudah terjadi penyelewengan.
Negeri kita yang sangat luas dan terdiri atas ribuan pulau-pulau, juga merupakan faktor yang menyebabkan pengelolaan pemerintahan di daerah menjadi tidak mudah dan sederhana. Provinsi kita kini berjumlah 33, sedangkan kabupaten dan kota berjumlah 440. Penyelenggaraan pemilihan umum di negeri kita, baik untuk badan-badan perwakilan, Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah, merupakan salah satu pelaksanaan pemilihan umum yang paling rumit di dunia. Namun, berkat tekad dan keinginan yang kuat untuk membangun bangsa yang berdaulat, bersatu, adil dan demokratis, Alhamdulillah, semua hambatan itu dapat kita atasi. Tentu kita ingin menyempurnakan segala kekurangan, agar semua harapan dan keinginan dapat kita wujudkan menjadi kenyataan. Kita akan terus berjuang mengatasi berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada. Untuk itu, saya mengharapkan adanya kerjasama yang erat antar lembaga-lembaga negara, khususnya Dewan Perwakilan Daerah.
Pelaksanaan proses desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini masih difokuskan pada upaya untuk merumuskan dan menyempurnakan berbagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam kurun waktu sepuluh bulan menjalankan pemerintahan, saya telah menyelesaikan 16 Peraturan Pelaksanaan kedua undangundang tadi, yang mencakup pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan, kelembagaan pemerintah daerah, tata tertib organisasi DPRD, mekanisme pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, pedoman penyusunan dan penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM)
4
untuk menjamin kualitas pelayanan publik, dan
sejumlah pengaturan untuk memfasilitasi
peningkatan kapasitas daerah, terutama dalam aspek kelembagaan, aparatur, dan keuangannya.
Untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah yang benar-benar berorientasi pada perbaikan pelayanan masyarakat, perlu diwujudkan keseimbangan antara kemampuan pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah, dengan kemampuan pembiayaan kegiatannya. Keseluruhan ini perlu kita tata kembali secara sistematis, terencana dan penuh kematangan. Penanganan masalah ini akan melibatkan berbagai unsur sektoral di pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Koordinasi, komunikasi dan sinergi antara berbagai tingkat pemerintahan menjadi sangat penting. Tanpa itu semua, sangat sulit untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang telah disepakati bersama.
Dalam mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah secara konsisten dan efektif, berbagai peraturan perundangan sektoral yang telah dilaksanakan bertahun-tahun perlu disesuaikan dan disinkronisasikan dengan ketentuan-ketentuan yang baru. Kejelasan pengaturan kewenangan antar tingkatan pemerintah menjadi keharusan yang mendesak. Dengan demikian, akan tercipta adanya kepastian hukum, yang merupakan prasyarat penting untuk melaksanakan ketertiban penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kejelasan dan kepastian hukum itu, maka para pejabat dari setiap tingkatan pemerintahan, akan mengetahui secara pasti apa yang menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Hal ini sangat mutlak untuk mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati, Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan desentralisasi yang lebih bertanggung jawab, saya telah menyelesaikan sejumlah peraturan pelaksanaan untuk pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Peraturan ini kemudian disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005. Peraturan ini, menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah di seluruh tanah air. Untuk mengatasi kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang belum mengatur kemungkinan penundaan pelaksanaan Pilkada disebabkan oleh
bencana
alam
dan
kerusuhan, maka
saya
telah
menerbitkan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Saya juga telah menyelesaikan penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua yang merupakan amanat dari UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Pada saat yang hampir bersamaan, saya juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2005 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang beranggotakan menteri-menteri.
Dalam hubungan otonomi khusus di Papua, saya ingin menegaskan bahwa Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat yang dulunya kita namakan dengan Irian Barat, telah sejak lama menjadi bagian yang integral dan bagian yang sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alasan-alasan tentang hal ini, telah saya kemukakan dalam Pidato Kenegaraan di hadapan DPR tanggal 16 Agustus yang lalu. Pemberlakuan kebijakan otonomi khusus di Papua dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan, meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta memberikan kesempatan terutama kepada penduduk asli Papua untuk membangun daerahnya, sesuai aspirasi masyarakat, dan Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, pemerintahan daerah harus pandai-pandai menggunakan kesempatan ini, dan bekerja lebih serius dan lebih keras untuk memajukan daerahnya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Upaya ke depan yang harus segera dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP),
5
adalah
membentuk
kelembagaan
MRP
sebagai
lembaga
yang
berperan
memberikan
pertimbangan dan persetujuan, dalam perumusan kebijakan daerah dan dalam rangka mengupayakan kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua. Pemerintah ingin menegaskan bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat adalah sah dilihat dari sudut hukum negara kita. Pengujian materiil oleh Mahkamah Konstitusi, yang telah membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tidaklah menyebabkan provinsi itu kehilangan landasan hukum pembentukannya, karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut. Pelaksanaan pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Barat kini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sama seperti provinsi yang lain. Karena itu, saya mengajak semua pihak untuk sama-sama mentaati hukum dan mentaati putusan Mahkamah Konstitusi itu dengan penuh rasa tanggung jawab.
Namun demikian, dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua ini, saya memahami bahwa di sana-sini masih ditemukan berbagai permasalahan. Pelaksanaan otonomi khusus Papua masih belum menimbulkan dampak langsung bagi kemajuan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat asli Papua. Oleh karena itu, saya mengajak Pemerintahan Daerah dan masyarakat di Papua dan Irian Jaya Barat untuk segera mengakhiri segala perbedaan, dan mulai memfokuskan perhatiannya untuk membangun daerah dan mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah yang lain. Pemerintah Pusat telah menyerahkan dana otonomi khusus, sesuai undang-
undang, kepada Pemerintah Provinsi Papua. Sebab itu, manfaatkanlah dana yang tersedia itu agar rakyat di Papua dan di Irian Jaya Barat, segera dapat merasakan manfaat otonomi khusus di daerah itu.
Sehubungan dengan telah ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanggal 15 Agustus yang lalu, Pemerintah kini mulai melangkah untuk memenuhi kesepakatan itu. Saya telah meminta pertimbangan kepada DPR untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat ke dalam kegiatan GAM. Sejumlah agenda lain, akan segera dilaksanakan, termasuk penyusunan Rancangan Undang-Undang yang baru tentang otonomi khusus Aceh. Pelaksanaan isi kesepahaman yang lain, termasuk penyerahan dan pemusnahan senjata anggota GAM dan penarikan pasukan TNI dan anggota POLRI non organik, akan segera dilaksanakan. Program dan proses reintegrasi para anggota GAM ke dalam masyarakat kita sudah dan sedang dipersiapkan dengan lebih rinci, dengan dukungan sepenuhnya kementerian yang terkait, Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, dan bantuan donasi dari luar negeri. Hal-hal lain, yang berkaitan dengan Aceh dan juga Papua, dalam konteks kebijakan Pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan konflik, baik horizontal maupun vertikal, akan kami jelaskan dalam uraian-uraian selanjutnya dalam Keterangan Pemerintah ini. Dalam kesempatan ini, saya ingin menegaskan kembali, bahwa dalam melakukan pembicaraan informal dengan tokoh-tokoh GAM di Helsinki sampai dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman, Pemerintah berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang tidak dapat ditawartawar lagi, yakni: tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke; Bendera Merah Putih tetap berkibar; dan Otonomi Khusus di Aceh dijalankan. Dalam melakukan pembicaraan informal itu Pemerintah juga tetap memegang teguh ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undang lainnya. Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota DPD yang saya hormati, Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Di tengah segala kekurangan, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kini telah memberikan beberapa hasil yang menggembirakan. Transfer ke daerah terhadap peningkatan pendapatan domestik Pemerintah telah meningkat dari 14,9 persen pada tahun 1999, menjadi 32,7 persen pada tahun 2003. Proporsi tersebut relatif stabil sampai tahun 2005. Transfer ke daerah yang bersifat blok (block grant) terhadap penerimaan domestik pemerintah melonjak pesat dari 12,9 persen pada tahun 1999 menjadi minimal 25 persen sejak pertama kali dijalankan pada tahun 2001. Peningkatan ini berarti potensi dana untuk kebutuhan pembangunan di setiap daerah menjadi semakin besar. Daerah makin memiliki
6
kesempatan dan kemampuan untuk merancang
sendiri
penggunaan
dana
yang
sesuai
dengan kepentingan spesifik daerahnya.
Sementara itu semangat daerah dalam upaya menyediakan pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat, di bidang pendidikan, kesehatan dan prasarana dasar cukup menggembirakan. Meskipun kita juga mengamati, beberapa kasus menunjukkan perhatian Pemerintah Daerah yang
masih lemah terhadap bidang-bidang itu. Di beberapa daerah, kita juga menyaksikan pembangunan berbagai sarana yang sebenarnya kurang menyentuh kepentingan rakyat secara langsung. Tidak jarang kegiatan itu mendistorsi aktivitas perekonomian daerah. Namun secara umum, perhatian Pemerintah Daerah kepada pembangunan sumberdaya manusia mulai menunjukkan peningkatan. Hal ini sesuai dengan prioritas kebijakan nasional yang memberikan perhatian sangat tinggi pada perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Hasil positif dari upaya ini adalah meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di seluruh provinsi, kecuali Maluku. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konflik komunal di daerah itu, yang membawa pengaruh ke bidang pendidikan. Peningkatan IPM hampir di seluruh provinsi, menjadikan IPM rata-rata nasional meningkat dari 64,3 pada tahun 1999 menjadi 65,8 pada tahun 2002.
Memang di dalam pelaksanaan, kinerja pengelolaannya masih belum menunjukkan perbedaan yang nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi diselenggarakan. Hal tersebut sesungguhnya lebih merupakan akibat dari belum tuntasnya pembagian kewenangan dan pembiayaan antar tingkat pemerintahan sampai saat ini. Namun demikian, beberapa daerah telah menerapkan berbagai inovasi yang berhasil meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakatnya. Keberhasilan tersebut umumnya disebabkan oleh kejelasan visi, kuatnya semangat kepemimpinan kepala daerah dan komitmennya yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dilaksanakannya prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, dan dilibatkannya masyarakat dan dunia usaha dalam peranserta aktif pengambilan keputusan pembangunan.
Saya bersama Kabinet Indonesia Bersatu memiliki komitmen yang tinggi untuk tetap menjalankan, sekaligus mengamankan dan menyempurnakan proses desentralisasi dan otonomi daerah ini. Komitmen tersebut tertuang dari jabaran Visi dan Misi kami di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009 yang menempatkan desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, serta yang sejahtera. Memperhatikan berbagai persoalan yang masih dihadapi, dan hasil pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah selama ini, revitalisasi dan rencana aksi yang jelas ke depan sangat diperlukan. Untuk itu di dalam RPJMN, telah ditetapkan enam arah kebijakan yang mencakup penjelasan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; dorongan kerjasama antardaerah dalam rangka peningkatan pelayanan publik; penataan kelembagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional dan profesional sesuai kebutuhan nyata daerah; penyiapan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas berdasarkan standar kompetensi; peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah; dan menata daerah otonom baru, termasuk mengkaji pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru di waktu mendatang.
Arah kebijakan itu, secara konsisten akan dijabarkan dalam berbagai kebijakan dan kegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), serta APBN di waktu-waktu mendatang. Untuk memberikan arah yang jelas pelaksanaan otonomi, saat ini Pemerintah sedang menyusun rancangan besar (Grand Design) strategi dan rencana aksi untuk menata kembali pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Rancangan besar itu meliputi tujuh elemen dasar yang membangun entitas pemerintahan daerah, yaitu urusan
7
pemerintahan,
kelembagaan,
personil,
keuangan
daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan
pengawasan.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati,
Pembangunan daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, di samping berkepentingan
terhadap
penyelenggaraan
aktivitas
pembangunan
sektoral
di
daerah,
juga
berkepentingan terhadap aktivitas pembangunan dalam dimensi kewilayahan. Bila kepentingan
pertama berkenaan dengan tujuan pencapaian sasaran-sasaran sektoral nasional di daerah, maka kepentingan yang kedua, berkenaan dengan tujuan pengurangan ketimpangan antarwilayah, sekaligus pengintegrasian pembangunan antarsektor di dalam satu wilayah.
Dalam kaitan itu, izinkan saya untuk mengutarakan kemajuan pelaksanaan dan arah ke depan kebijakan pembangunan daerah yang berkenaan dengan dimensi kewilayahan. Luasnya bentang geografi dan keragaman karakteristik wilayah Indonesia membutuhkan strategi nasional yang berdimensi kewilayahan, terutama untuk menangani isu-isu kewilayahan yang merupakan kepentingan nasional. Dalam RPJM Nasional 2004 – 2009, strategi nasional tadi tertuang di dalam pembahasan isu-isu pembangunan untuk kawasan tertinggal, termasuk di dalamnya kawasan perbatasan, kawasan yang strategis dan cepat tumbuh, daerah-daerah konflik, dan wilayah perkotaan.
Hingga saat ini, akibat percepatan pembangunan yang berbeda-beda, wilayah Indonesia masih dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah. Melalui berbagai langkah pemerataan yang dilakukan oleh pemerintah sejak masa Orde Baru, besaran ketimpangan antarwilayah memang berkurang, bila dibandingkan dengan keadaannya 25 tahun yang lalu. Namun kecepatan turunnya ketimpangan itu sangat lambat. Sampai sekarang masih dapat disaksikan perbedaan hasil-hasil pembangunan yang mencolok antara provinsi-provinsi di Jawa dan provinsi-provinsi di luar Jawa. Demikian pula antara provinsi-provinsi di Wilayah Barat Indonesia dengan provinsi-provinsi di Wilayah Timur Indonesia, dan antara wilayahwilayah yang masih tertinggal dengan wilayah-wilayah yang sudah maju.
Kemajuan pembangunan berbagai sektor yang telah dicapai oleh Pulau Jawa memang merupakan daya tarik besar bagi penduduk daerah lain untuk bermigrasi ke pulau ini. Konsentrasi penduduk kita sekitar 60 persen ada di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7 persen dari wilayah Indonesia. Akibatnya, di wilayah ini terjadi berbagai benturan kepentingan dan konflik penggunaan ruang, yang dapat menghambat kelangsungan dan kemajuan ekonomi dan produksi, serta kesejahteraan rakyat. Konversi lahan di Pulau Jawa ---dari lahan produktif ke lahan industri dan perumahan--- mencapai 50.000 ha per tahun. Keadaan ini telah berlangsung hampir tiga puluh tahun terakhir. Dengan bertambahnya kepadatan penduduk dan menyempitnya lahan, maka kemampuan menyangga kehidupan di Pulau Jawa terus terancam. Pulau Jawa telah mengalami krisis air, baik air bersih untuk keperluan rumah tangga maupun untuk pengairan. Jika tidak dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk mengatasinya, di tahun-tahun yang akan datang krisis air ini akan bertambah parah.
Kemajuan pembangunan daerah selama ini memang tidak selalu terjadi di Pulau Jawa. Beberapa wilayah di luar Jawa, juga memiliki wilayah-wilayah ekonomi unggulan yang berkembang pesat, seperti Medan, Makassar, dan Kawasan Berikat Batam serta Provinsi Kalimantan Timur yang kaya akan minyak dan gas bumi. Namun, Wilayah-wilayah yang relatif maju tersebut belum cukup terkait dan mampu mendorong perkembangan wilayah-wilayah sekitarnya yang masih relatif tertinggal. Orientasi dan keterkaitan kegiatan ekonomi wilayah-wilayah itu masih mengarah ke Pulau Jawa.Sudah seharusnya strategi pembangunan industri dan kegiatan ekonomi di kawasan itu diarahkan pada keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah sekitarnya.
Upaya untuk memperkuat basis ekonomi dan produksi di luar Jawa juga sangat penting untuk
8
memperkuat
daya
saing
dan
daya
tahan
perekonomian nasional kita. Besarnya ruang
dan beragamnya kekayaan alam yang menjadi anugerah kepada bangsa kita, masih memiliki kesempatan yang besar
untuk dimanfaatkan guna mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. Upaya serius untuk menciptakan pusatpusat kegiatan ekonomi baru, sesuai dengan potensi wilayah membutuhkan dukungan pembangunan prasarana yang memadai. Di Pulau Jawa pembangunan sejumlah prasarana dapat dilakukan dengan mengikutsertakan
swasta
karena
perhitungan
keekonomiannya
memungkinkan.
Sementara,
pembangunan prasarana di luar Pulau Jawa masih banyak yang perlu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah, yang harus direncanakan melalui intervensi yang tepat, dan strategis.
Untuk mendukung pemanfaatan besarnya ruang nasional secara efektif, terintegrasinya antarsektor dan antarwilayah secara berkelanjutan, kita membutuhkan rencana tata ruang pada berbagai tingkatan. Pada tingkat nasional, kita telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997. Pada saat ini, RTRWN tersebut sedang dalam proses revisi dengan memperhatikan berbagai tantangan, antara lain globalisasi, desentralisasi dan otonomi daerah, keseimbangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (KBI-KTI), dan penanganan yang lebih baik terhadap kawasan-kawasan perbatasan dengan negara tetangga. Perumusan RTRWN tersebut merupakan amanat dari UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sebagai penjabaran dari RTRWN tersebut, saat ini kita telah memiliki Rancangan Perpres tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau, yang meliputi RTR Pulau Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati,
Terjadinya ketimpangan antarwilayah hingga dewasa ini menyebabkan kita masih mempunyai sejumlah kawasan yang tertinggal. Masyarakat yang berada di daerah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan, sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik masih sangat terbatas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Pemerintah telah mengidentifikasi 199 kabupaten dari 440 kabupaten/kota di Indonesia, yang merupakan daerah tertinggal. Dua puluh diantaranya merupakan kawasan-kawasan perbatasan.
Ketertinggalan suatu daerah bukanlah semata-mata terjadi karena tidak terdapat potensi yang layak untuk dikembangkan secara ekonomis. Letak geografis yang sulit dijangkau juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya upaya penyediaan prasarana. Kekurangan prasarana, akhirnya menyebabkan rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia di daerah itu. Di kawasan perbatasan, ketertinggalan menjadi faktor yang mendorong kecenderungan untuk melakukan kegiatan ilegal yang dapat memancing kerawanan sosial dan politik. Saat ini, Pemerintah menaruh kepentingan yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan-kawasan tertinggal, yang kini dikoordinasi secara khusus oleh Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk pulau-pulau terluar, serta Departemen Sosial untuk Komunitas Adat Terpencil. Upaya itu akan terus ditingkatkan di masa mendatang. Khusus untuk kawasan-kawasan perbatasan, dewasa ini sedang disusun naskah akademik RUU tentang Batas Wilayah RI dan konsep kebijakan strategi pengelolaan kawasan perbatasan. Saya sangat bersimpati kepada masyarakat yang tinggal di wilayah paling depan perbatasan negara kita. Rasa kecintaan mereka yang besar terhadap tanah air tercinta, perlu terus dijaga dengan kehadiran aktivitas pembangunan yang nyata di wilayah itu.
Arah ke depan pengembangan kawasan-kawasan tertinggal, adalah pemberdayaan masyarakat secara komprehensif dan parsitipatif yang mencakup penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan prasarana
dasar.
Kehidupan
sosial
ekonomi dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya
9
alam dan aspirasi lokal. Khusus untuk kawasan-
kawasan perbatasan darat dengan negara
tetangga, akan dikembangkan pola pembangunan yang secara terpadu dengan mengintegrasikan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan keamanan (security approach). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, di kawasan yang memiliki potensi ekonomi, dilakukan secara selektif dan bertahap sesuai prioritas dan kepentingan strategis nasional.
Dalam merumuskan strategi pengembangan wilayah, pada umumya ditetapkan suatu kawasan yang nantinya berfungsi sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kawasan-kawasan itu ditetapkan berdasarkan kriteria potensi pengembangan yang dimilikinya, lokasinya yang strategis, dan pengaruhnya yang kuat di dalam mendorong kemajuan ekonomi bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Tujuan ke depan penetapan kawasan yang disebut sebagai kawasan strategis dan cepat tumbuh ini, pada intinya adalah untuk percepatan pembangunan wilayah, sekaligus pemerataan antarwilayah. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), wilayah-wilayah ini didefinisikan sebagai Kawasan Andalan Nasional. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang RTRWN tersebut ditetapkan 111 Kawasan Andalan Nasional untuk seluruh Indonesia.
Dewasa ini, banyak wilayah strategis dan cepat berkembang yang belum dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Hal ini disebabkan, oleh keterbatasan sarana dan prasarana serta informasi pasar dan
teknologi, untuk
mengembangkan
produk-produk
unggulan. Selain
itu, masih
terdapat
kelemahan koordinasi di antara pelaku-pelaku pengembangan wilayah untuk meningkatkan daya saing produk unggulan. Karenanya, diperlukan kerjasama yang erat dan terpadu antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam mengembangkan produk-produk unggulan di wilayah strategis dan cepat berkembang.
Selaras dengan kepentingan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi terutama di luar Jawa, upaya percepatan pembangunan kawasan-kawasan ini perlu diselenggarakan secara komprehensif, dalam pola pendekatan yang dewasa ini dikenal dengan klaster industri. Pengelompokan sejumlah aktivitas terkait akan mempermudah sekaligus meningkatkan efektivitas penyediaan prasarana fisik, dan teknologi yang diperlukan. Bagi dunia usaha, pengelompokan yang sama akan bermanfaat bagi interaksi konstruktif yang merupakan prinsip dasar terwujudnya daya saing kawasan, dan aktivitas produksi yang berkelanjutan. Dalam perumusan kebijakan industri nasional 2005-2025, pola pendekatan ini menjadi pilar utamanya.
Untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional di era globalisasi dewasa ini, pemerintah telah memberikan status wilayah pembangunan strategis sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port and trade zones) seperti Pulau Sabang, ataupun kawasan berikat khusus seperti untuk Pulau Batam. Namun demikian, langkah ini perlu kajian seksama agar dapat menimbulkan manfaat yang saling menguntungkan, baik antar kawasan sejenis, maupun antara kawasan-kawasan sejenis dengan wilayah-wilayah lainnya. Oleh karena itu, guna menghindarkan terjadinya perkembangan yang bersifat ‘enclave’ di kawasan-kawasan tadi, Pemerintah mendorong terciptanya keterkaitan ekonomi yang saling menguntungkan, antara kawasan-kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, ataupun antara kawasan berikat khusus dengan daerah-daerah penyangga, melalui pengembangan produk bahan baku.
Dalam beberapa wilayah perbatasan, upaya untuk mengefektifkan dan memperluas kerjasama pembangunan ekonomi regional yang saling menguntungkan dengan negara-negara tetangga terus ditingkatkan. Upaya itu termasuk peningkatan kerjasama ekonomi sub-regional yang selama ini sudah dirintis, seperti Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipine-East Asia Growth Area (BIMP-EAGA), serta Australia-Indonesia Development Area (AIDA). Saya minta Pemerintah Daerah dapat mengambil peran secara lebih aktif untuk melaksanakan kesepakatan kerjasama ini.
10
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota
Dewan
Perwakilan
Daerah
yang
saya
hormati,
Hal lain yang menjadi fokus utama pemerintah di dalam pembangunan daerah adalah penanganan daerah-daerah konflik. Krisis nasional dan Reformasi berskala besar dan berlangsung cepat telah menyebabkan konflik-konflik sosial dan kekerasaan yang terjadi di beberapa daerah, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Berbagai dampak konflik adalah menurunnya standar hidup masyarakat, terganggunya kegiatan ekonomi, terjadinya segregasi masyarakat berdasarkan berbagai kategori, terjadinya trauma psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan, kerusakan prasarana publik, melemahnya fungsi kelembagaan pemerintahan, serta menurunnya pelayanan kepada masyarakat. Konflik-konflik tersebut juga sangat mempengaruhi hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai, mengganggu proses transisi dan konsolidasi demokrasi, memudarkan semangat desentralisasi pembangunan, serta memperburuk persepsi masyarakat internasional mengenai kondisi keamanan Indonesia sebagai tujuan investasi dan bisnis.
Dalam kaitannya dengan penanganan konflik yang bersifat horizontal, perhatian kita selama ini telah dicurahkan kepada daerah-daerah yang mengalami konflik horizontal berdarah di Maluku Utara, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah. Secara umum dapat dipahami bahwa kepentingan utama bagi kebijakan pembangunan daerah dalam penanganan daerah-daerah konflik, tekait dengan upaya untuk mewujudkan ketertiban umum dan perdamaian yang berkelanjutan, sesuai dengan kearifan lokal dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah-daerah tersebut.
Konflik vertikal, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, pada hakikatnya terjadi karena adanya persepsi ketidakadilan pembangunan yang dirasakan masyarakat. Faktor ini, kemudian memicu aspirasi radikal gerakan pemisahan diri, seperti dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Undang-Undang Otonomi Khusus, telah memberikan keleluasaan yang lebih kepada kedua daerah itu, untuk mengelola pemerintahannya secara khusus sesuai dengan aspirasi dan budaya lokal.
Pemerintah selalu berupaya untuk mengedepankan pembicaraan damai dengan pihak GAM. Alhamdullilah, dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman tanggal 15 Agustus 2005 lalu, konflik yang telah berlangsung selama 29 tahun itu, Insya Allah dapat diakhiri secara damai, adil dan bermartabat. Saya mengajak segenap lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelangsungan perdamaian yang permanen di Aceh. Kita tidak boleh mengabaikan antusiasme rakyat kita di Aceh dalam menyambut penandatanganan Memorandum Kesepahaman dengan GAM di Helsinki tanggal 15 Agustus yang lalu, yang telah memberikan harapan besar pulihnya perdamaian di daerah itu.
Belajar dari pengalaman di dalam penanganan konflik vertikal, ke depan, upaya pembangunan bagi daerah-daerah konflik perlu memperhatikan tiga hal pokok. Pertama, penyelesaian konflik memerlukan berbagai pendekatan dari yang sifatnya mikro sampai pada makro dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat. Kedua, penyelesaian konflik membutuhkan pemahaman situasi pra, saat terjadinya konflik, dan paska konflik untuk efektivitas pemberdayaan masyarakat. Ketiga, penyelesaian konflik memerlukan peranserta aktif masyarakat yang terlibat untuk mempercepat menemukan sumber masalah, mempercepat pemulihan, dan kelangsungan pemeliharaan perdamaian.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati,
Demikianlah uraian saya mengenai kebijakan penangangan wilayah konflik. Sekarang saya ingin memaparkan bagian akhir dari dimensi kewilayahan, yakni mengenai wilayah perkotaan. Dalam beberapa dekade terakhir, wilayah perkotaan tumbuh sangat pesat. Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan meningkat dari
35,9 persen di tahun 1995, menjadi 48,3 persen di
11
tahun 2005. Saat ini, jumlah penduduk perkotaan
sudah
hampir
sama
dengan
jumlah
penduduk perdesaan. Meskipun di satu sisi peningkatan urbanisasi, disatu sisi merupakan cermin dari adanya kemajuan ekonomi, namun di sisi lain membawa permasalahan yang rumit, karena proses urbanisasi lebih banyak didorong oleh terbatasnya lapangan kerja di daerah perdesaan. Urbanisasi yang berlangsung juga tidak merata, sehingga terjadi pemusatan di kota-kota metropolitan dan di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa, seiring dengan tumbuhnya industri manufaktur. Terkonsentrasinya penduduk pada kegiatan industri manufaktur, telah menimbulkan konsekuensi berbagai permasalahan sosial. Kota-kota metropolitan dan kota-kota besar mengalami tekanan penyediaan perumahan dan prasarana permukiman, untuk menampung masyarakat yang berpendapatan rendah. Kondisi ini ikut memicu berkembangnya kawasan kumuh yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya.
Perkembangan fisik kota yang terus meluas hingga mengintegrasi kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya, juga menimbulkan masalah transportasi. Sementara itu, dampak yang ditimbulkan oleh terkonsentrasinya pertumbuhan pada kota-kota besar dan metropolitan adalah melemahnya keterkaitan kegiatan antarwilayah, meningkatnya kesenjangan antarwilayah, berkurangnya keterkaitan kegiatan antara perkotaan dan perdesaan. Perluasan kota juga menimbulkan peningkatan konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan dan industri.
Ke depan, Pemerintah akan merumuskan tujuh kebijakan pengembangan wilayah perkotaan sebagai berikut. Pertama, mendorong percepatan pembangunan kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak pembangunan di wilayah-wilayah pengaruhnya. Kedua, mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis. Ketiga, meningkatkan keterkaitan pembangunan antarkota. Keempat, mengelola pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dengan memperhatikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Kelima, mengelola laju migrasi dari desa ke kota dengan mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi non pertanian di perdesaan. Keenam, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal pelayanan publik, pengelolaan lingkungan perkotaan, pengembangan kemitraan dengan swasta, dan terutama peningkatan kapasitas fiskal. Ketujuh, peningkatan kerja sama antar pemerintah kabupaten/kota, khususnya
dalam
pembangunan prasarana dan sarana. Semua ini memerlukan
adanya keterpaduan dan skala ekonomi tertentu untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Terkait erat dengan upaya pembangunan daerah adalah aspek pertanahan. Terwujudnya suatu sistem pertanahan yang adil, dan mampu memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat, sangat penting dalam mewujudkan prioritas pembangunan nasional di masing-masing daerah. Sesuai dengan visi dan misi saya dalam kerangka pembangunan daerah, aspek pertanahan sangat relevan di dalam mendukung prioritas revitalisasi pertanian dan perdesaan, pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi.
Aspek lain dalam pembangunan daerah adalah terkait pengembangan energi daerah yang belum banyak dimanfaatkan. Terutama, energi yang terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin, dan energi samudera. Prioritas dan perhatian untuk menggarap potensi ini menjadi semakin relevan dan strategis dengan kecenderungan harga BBM yang makin tinggi, dan kebutuhan energi kita yang melonjak pesat. Hambatan utama pemanfaatan energi baru ini, adalah karena energi itu belum kompetitif dibandingkan dengan energi konvensional. Hal ini disebabkan juga oleh belum dikuasainya teknologi yang tepat untuk pengembangannya dan belum adanya kebijakan harga yang mendorong pemanfaatannya. Untuk mewujudkan sistem penyediaan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan, dapat ditempuh dengan memadukan konsep optimasi pemanfaatan energi terbarukan yang tersedia cukup banyak diberbagai daerah, penggunaan teknologi energi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi. Saya mengajak kepada
12
seluruh pimpinan daerah untuk memperhatikan
masalah ini, dan sekaligus memanfaatkan potensi
yang ada, dalam mengatasi masalah energi
di negeri kita.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saya hormati,
Kini izinkanlah saya untuk menyampaikan berbagai kebijakan terkait dengan dana perimbangan di tahun 2006, dan strategi ke depan untuk meningkatkan kapasitas keuangan daerah.
Pertama, kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam tahun anggaran 2006 ditujukan untuk mempercepat penetapan alokasi DBH melalui peningkatan koordinasi dan akurasi data. Penetapan alokasi DBH mengacu kepada Undang-undang tentang Desentralisasi Fiskal dan Undang-undang tentang Keuangan Negara. Sementara itu, dalam rangka Otonomi khusus, DBH pertambangan minyak bumi dan gas alam untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberikan sampai dengan tahun ke-8. Untuk Provinsi Papua sampai dengan tahun ke-25 sebesar 70 persen, sejak diberlakukannya kedua undang-undang itu.
Dalam penyempurnaan proses dan mekanisme penyaluran Dana Bagi Hasil ke Daerah, Pemerintah melakukan langkah-langkah aktif dengan meningkatkan koordinasi antar departemen dan instansi terkait, untuk mempercepat penetapan dan penyaluran dana bagi hasil kepada daerah, agar dapat dilakukan tepat waktu. Dengan naiknya harga minyak dunia, maka realisasi alokasi Dana Bagi Hasil untuk beberapa daerah penghasil migas meningkat secara signifikan. Untuk itu, saya mengharapkan agar daerah-daerah penghasil migas dapat bersama-sama berbagi beban di dalam menanggung kenaikan belanja subsidi bagi daerah-daerah bukan penghasil minyak. Kita perlu bersama-sama mencari formula yang tidak melanggar asas keadilan, keseimbangan, serta kebersatuan sebagai negara dalam penyempurnaan alokasi Dana Bagi Hasil.
Kedua, Kebijakan pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang penggunaannya ditetapkan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah. Rasio dana perimbangan untuk DAU dalam RAPBN 2006 sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri bersih, meningkat dari APBN 2005 yang sebesar 25,5 persen. Alokasi DAU tahun anggaran 2006 untuk masing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005. Apabila pada tahun 2006 ada provinsi yang menerima DAU lebih kecil dari tahun 2005, maka akan diberikan dana penyesuaian yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Kebijakan ini dilakukan hanya dalam masa transisi. Dalam tahun 2008, DAU akan dipergunakan sebagai instrumen perimbangan fiskal antar daerah. Daerah yang sudah dapat menggali potensi keuangan daerahnya serta memperoleh bagian dari bagi hasil sumber daya alam dan perpajakan, akan memperoleh alokasi DAU lebih kecil. Sementara itu, daerah-daerah yang sedikit memiliki sumber daya alam akan mendapat alokasi DAU lebih besar. Dengan demikian jumlah alokasi DAU bisa meningkat atau menurun, serta berbanding terbalik dengan kemampuan fiskal daerahnya dan kebutuhan fiskal masing-masing daerah. Saya berharap Dewan yang terhormat dapat memahami dan sekaligus bersama Pemerintah mensosialisasikannya ke daerah perwakilan masing-masing.
Ketiga, Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangannya di bawah rata-rata nasional, untuk membiayai penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah menjadi urusan daerah. Termasuk dalam kebijakan ini adalah untuk menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, serta untuk daerah ketahanan pangan. Untuk tahun 2006 Pemerintah akan memulai pengalihan sebagian dari Dana Dekonsentrasi yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan lokal yang sesungguhnya telah didesentralisasikan, melalui alokasi DAK.
13
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota
DPD yang saya hormati,
Hadirin yang saya muliakan,
Pemerintah menyadari bahwa untuk mendukung pembangunan di daerahnya, Pemerintah Daerah sebaiknya tidak hanya mengandalkan pada dana perimbangan yang berasal dari APBN. Potensi PAD yang belum tergali relatif masih banyak. Pemerintah akan melakukan perluasan basis
pajak dan retribusi daerah, namun daerah tidak lagi dimungkinkan untuk mengajukan usulan di luar ketentuan yang telah ditetapkan dengan undang-undang. Evaluasi terhadap peraturan daerah yang bermasalah menyangkut pajak dan retribusi daerah, menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, jika dilihat dari sudut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada pula beberapa peraturan daerah yang berpotensi menghambat kemajuan dunia usaha dan berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pemerintah juga masih menemukan adanya peraturan daerah yang belum disahkan oleh DPRD tetapi sudah diberlakukan. Kepada para Anggota DPD saya mengharap kerjasamanya untuk memberikan pemahaman kepada daerah bahwa pungutan-pungutan di luar ketentuan undang-undang, justru akan memberi beban tambahan, yang pada gilirannya akan menghambat perkembangan ekonomi daerah.
Dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, Pemerintah juga sedang mempersiapkan peraturan mengenai pinjaman daerah. Perlu saya tegaskan bahwa demi kehati-hatian dan stabilisasi ekonomi makro, untuk sementara ini daerah belum diperbolehkan untuk meminjam langsung ke luar negeri, sampai selesainya peraturan-peraturan yang diperlukan mengenai hal itu. Pemerintah memiliki mekanisme penerusan pinjaman dan hibah kepada daerah yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Namun Pemerintah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan hubungan saling menguntungkan dengan daerah lain, dan dengan negara tetangga untuk meningkatkan ekonominya. Sedangkan pinjaman dalam negeri, baik kepada daerah lain, perbankan ataupun penerbitan obligasi sedang dipersiapkan aturannya. Dalam bulan-bulan mendatang, Pemerintah akan mengumumkan secara kumulatif alokasi pinjaman yang diperbolehkan oleh daerah. Kita harus tetap mengedepankan unsur kehati-hatian dalam menetapkan jumlah pinjaman, mengingat beban utang pemerintah yang sudah cukup tinggi. Kepada daerah yang akan memanfaatkan pinjaman, saya minta untuk mengikuti aturan yang berlaku, dan hanya melakukannya kalau benar-benar perlu, serta memilliki kemampuan untuk mengembalikannya. Pemanfaatan pinjaman hendaknya hanya untuk kegiatan yang produktif dan mempunyai risiko yang relatif rendah. Saudara-saudara Pimpinan, Anggota DPD, dan hadirin yang saya hormati,
Demikianlah keterangan saya tentang kemajuan dan arah ke depan berbagai Kebijakan Pemerintah tentang Pembangunan Daerah. Kiranya kita semua sependapat bahwa demi keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, diperlukan semangat pengabdian dan profesionalisme yang tinggi dari kita semua, dalam melaksanakan tugas-tugas pengabdiannya di bidang masing-masing.
Akhirnya seraya memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, marilah kita memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, agar kita senantiasa diberi kemampuan dan kekuatan lahir batin, dalam mengemban amanat rakyat, untuk melaksanakan tugas dan pengabdian kepada bangsa dan negara. Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta 23 Agustus 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
14
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Sumber: http://www.lin.go.id Koleksi: Perpustakaan Nasional RI, 2006
15