IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan di lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 10 kecamatan yaitu Jumantono, Tasikmadu, Karangpandan, Mojogedang, Tawangmangu, Matesih, Jatiyoso, Kerjo, Jumapolo dan Ngargoyoso. Tanaman yang digunakan sebagai sampel yaituketimun (Cucumis sativus), melon (Cucumis melo), semangka (Citrullus lanatus), labu kuning (Cucurbita moschata), labu siam (Sechium edule), oyong (Luffa acutangula) dan pare (Momordica charantia). Dari hasil survei, Cucurbitaceae yang menjadi sampel diduga telah terinfeksi penyakit dengan gejala CMV. Pengamatan gejala yang diperoleh di lahan dapat dihat pada Tabel 1. Tabel 1. Gejala tanaman sampel di lapangan Kecamatan Jumantono
Desa Sukosari Sukosari Tugu Tugu Tunggulsari Tasikmadu Suruh Kaling Karangmojo Ngijo Pandeyan Karangpandan Salam Doplang Doplang Harjosari Dayu Mojogedang Mojogedang Pendem Gentungan Munggur Munggur Tawangmangu Gondosuli Tawangmangu Blumbang Blumbang Kalisoro Matesih Karangbangun
Tanaman Melon Ketimun Melon Melon Melon Melon Melon Melon Labu Pare Ketimun Ketimun Melon Oyong Melon Labu Siam Ketimun Ketimun Oyong Oyong Labu Siam Labu Siam Labu Kuning Labu Kuning Ketimun Ketimun 17
Gejala Malformasi, Mosaik Vein banding Mosaik Mosaik, Vein clearing Mosaik, Vein banding Malformasi, Vein banding Mosaik, Vein clearing Malformasi, Mosaik Mosaik Mosaik Mosaik, Vein banding Malformasi, Vein clearing Mosaik Malformasi, Mosaik Malformasi Malformasi Mosaik, Vein clearing Mosaik Mosaik Mosaik, Vein banding Malformasi Mosaik Mosaik Mosaik Mosaik Mosaik
18
Jatiyoso
Kerjo
Jumapolo
Ngargoyoso
Karangbangun Koripan Matesih Matesih Beruk Beruk Wonorejo Wonokeling Jatiyoso Kutho Kutho Tawangsari Plosorejo Sambirejo Kwangsan Bakalan Jumapolo Jumapolo Lemahbang Girimulyo Kemuning Segorogunung Berjo Segorogunung
Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Semangka Semangka Semangka Pare Pare Ketimun Ketimun Ketimun Pare Semangka Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Ketimun
Malformasi, Mosaik Mosaik Mosaik Mosaik Malformasi Malformasi, Mosaik Mosaik Mosaik Mosaik Malformasi Malformasi Malformasi Mosaik Malformasi, Mosaik Mosaik Mosaik Malformasi, Vein banding Malformasi Malformasi Mosaik Malformasi, Mosaik Malformasi, Mosaik Malformasi, Mosaik Malformasi, Mosaik
Gejala umum pada tanaman di lapangan antara lain gejala mosaik, malformasi daun, vein banding dan vein clearing. Gejala mosaik menunjukkan adanya bagian daun yang menunjukkan warna berbeda secara tidak teratur, seperti warna hijau tua yang diselingi dengan hijau muda. Bentuk gejala mosaik pada tanaman yang terinfeksi virus beragam, tergantung pada jenis tanamannya. Gejala mosaik biasanya didahului oleh pemucatan sepanjang tulang daun (vein clearing) atau akumulasi warna hijau sepanjang tulang daun (vein banding). Pada pengamatan,beberapa sampel menujukkan lebih dari satu gejala seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Variasi gejala yang terdapat pada Cucurbitaceae disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dipengaruhi oleh infeksi oleh lebih dari satu jenis virus atau infeksi campuran (Nontajak et al. 2014). Hal ini sesuai dengan laporan Syller (2012) bahwa pada infeksi campuran beberapa virus terjadi interaksi dua virus atau lebih yang menginduksi gejala lebih parah karena interaksi tersebut meningkatkan replikasi virus.
19 B. Keparahan dan kejadian penyakit tanaman sampel berdasarkan pengamatan gejala di lapangan Penyakit diketahui sebagai hasil interaksi antara patogen, inang dan lingkungan yang sering dinyatakan dalam bentuk hubungan segitiga, baik patogen maupun inang bersifat variabel dari segi genetik, aksi dan reaksi keduanya yang dipengaruhi oleh lingkungan (Boss 1990). Faktor inang, faktor patogen, faktor lingkungan dan faktor manusia dalam bercocok tanaman dan pengendalian adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya keparahan dan kejadian penyakit disuatu wilayah. Berdasarkan penelitian, keparahan dan kejadian penyakit terhadap infeksi virus di wilayah Karanganyar diperoleh data yang ditampilkan pada Tabel 2. .
20 Tabel 2. Keparahan dan kejadian penyakit tanaman sampel berdasarkan pengamatan gejala di lapangan Lokasi Kecamatan Jumantono
Tasikmadu
Karangpandan
Mojogedang
Tawangmangu
Desa Sukosari Sukosari Tugu Tugu Tunggulsari Suruh Kaling Karangmojo Ngijo Pandeyan Salam Doplang Doplang Harjosari Dayu Mojogedang Pendem Gentungan Munggur Munggur Gondosuli Tawangmangu Blumbang Blumbang
Tanaman Melon Ketimun Melon Melon Melon Melon Melon Melon Labu Pare Ketimun Ketimun Melon Oyong Melon Labu Siam Ketimun Ketimun Oyong Oyong Labu Siam Labu Siam Labu Kuning Labu Kuning
Sistem Pertanaman Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Polikultur Monokultur Monokultur Monokultur Polikultur Polikultur Polikultur Monokultur Monokultur Polikultur Monokultur 20
Umur (HST) 55 60 20 20 28 65 40 27 96 90 35 70 66 60 55 320 47 45 75 40 138 70 40 53
Keparahan Tan. Sampel (%) 10 30 25 15 90 60 8 75 20 60 50 5 25 45 10 20 5 30 15 25 10 30 80 5
∑ Tanaman Diamati 27 135 300 300 3850 7200 96 560 12 1110 300 180 8100 80 56 10 233 340 60 180 10 28 167 295
Kejadian Penyakit (%) 3 (11,11) 5 (3,70) 17 (5,66) 17 (5,66) 27 (0,70) 67 (0,93) 2 (2,08) 5 (0,89) 4(33,33) 157 (14,14) 6 (2) 3 (1,66) 126 (1,55) 4 (5) 1 (1,78) 4 (40) 9 (3,86) 15 (4,41) 17 (28,33) 3 (1,66) 2 (20) 4 (14,2) 7 (4,19) 11 (3,72)
21
Matesih
Jatiyoso
Kerjo
Jumapolo
Ngargoyoso
Kalisoro Karangbangun Karangbangun Koripan Matesih Matesih Beruk Beruk Wonorejo Wonokeling Jatiyoso Kutho Kutho Tawangsari Plosorejo Sumberejo Kwangsan Bakalan Jumapolo Jumapolo Lemahbang Girimulyo Kemuning Segorogunung Berjo Segorogunung
Keterangan : HST: Hari Setelah Tanam
Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Semangka Semangka Semangka Pare Pare Ketimun Ketimun Ketimun Pare Semangka Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Ketimun
Polikultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Polikultur Polikultur Polikultur Polikultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Polikultur
45 30 43 42 60 38 280 120 95 150 150 54 40 62 56 85 45 60 51 47 34 240 180 145 220 20
25 50 20 20 15 5 35 20 15 8 10 5 15 5 10 25 30 75 5 15 5 30 20 25 5 15
560 430 250 560 148 80 20 15 24 12 18 370 200 60 48 60 280 440 44 38 525 15 25 18 10 40
4 (0,71) 8 (1,86) 9 (3,6) 13 (2,32) 6 (4,05) 3 (3,75) 14 (70) 7 (46,66) 9 (37,5) 2 (16,67) 5 (27,77) 6 (1,65) 16 (8) 1 (1,66) 4 (8,33) 9 (0,55) 7 (2,5) 13 (2,95) 1 (2,27) 17 (44,73) 7 (1,33) 4 (26,66) 16 (64) 6 (33,33) 1 (10) 2 (5)
22 a. Kecamatan Jumantono Dari hasil survei, kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Jumantono 5,366% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman melon di desa Tunggulsari yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 90%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman melon di desa Sukosari yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 10%. b. Kecamatan Tasikmadu Dari hasil survei, kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Tasikmadu 12,3225% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman melon di desa Karangmojo yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 75%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman melon di desa Kaling yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 8%. c. Kecamatan Karangpandan Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Karangpandan 2,398% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman ketimun di desa Salam yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 50%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman ketimun di desa Doplang yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. d. Kecamatan Mojogedang Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Mojogedang 15,652% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman ketimun di desa Gentungan yang dibudidayakan secara polikultur sebesar 30%. Pola tanam dengan polikultur dapat menyebabkan intensitas serangan menjadi tinggi. Hal ini dikarenakan, tanaman ketimun di desa Gentungan ditumpangsarikan dengan tanaman cabai. Tanaman cabai merupakan inang lain CMV dari family solanaceae, seperti yang telah dilaporkan Taufik et al. (2011). Sedangkan
23 keparahan terendah pada tanaman ketimun di desa Pendem yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. e. Kecamatan Tawangmangu Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Tawangmangu 7,155% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman labu kuning di desa Blumbang yang dibudidayakan secara polikultur sebesar 80%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman labu kuning di desa Blumbang yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. Lokasi pengambilan sampel yang memiliki keparahan tertinggi dan terendah hampir berdekatan. Tetapi tanaman labu kuning yang dibudidayakan secara polikultur intensitasnya lebih tinggi daripada tanaman labu kuning yang dibudidayakan secara monokultur. Tanaman labu kuning dengan keparahan tertinggi dibudidayakan bersama dengan tanaman bawang. Hal ini dikarenakan tanaman bawang merupakan tanaman inang lain CMV seperti yang dilaporkan Dragich et al. (2014). f. Kecamatan Matesih Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Matesih 3,116% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman Ketimun di desa Karangbangun yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 50%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman Ketimun di desa Matesih yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. g. Kecamatan Jatiyoso Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Jatiyoso 39,72% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman labu siam di desa Beruk yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 35%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman labu siam di desa Wonokeling yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 8%.
24 h. Kecamatan Kerjo Dari hasil survei,kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Kerjo 4,038% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman pare di desa Sumberejo yang dibudidayakan secara polikultur sebesar 25%. Hal ini dikarenakan tanaman pare sebagai tanaman pagar dengan tanaman cabai yang merupakan inang dari CMV. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman semangka di desa Kutho dan Tawangsari yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. i. Kecamatan Jumapolo Dari hasil survei, kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Jumapolo 10,756% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman Ketimun di desa Bakalan yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 75%. Lokasi lahan tanaman timun berdekatan dengan lahan tanaman kacang panjang. Kacang panjang dilaporkan oleh Dragich et al. (2014) sebagai tanaman inang CMV. Oleh karena itu keparahan pada tanaman ketimun lebih tinggi dari tanaman sampel lainnya. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman ketimun di desa Jumapolo dan tanaman semangka di desa Lemahbang yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%. j. Kecamatan Ngargoyoso Dari hasil survei, kejadian penyakit rata-rata di kecamatan Ngargoyoso 27,798% dan untuk kelima lokasi yang terpilih semuanya terinfeksi virus dengan keparahan yang berbeda. Keparahan tertinggi pada tanaman labu siam di desa Girimulyo yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 30%. Sedangkan keparahan terendah pada tanaman labu siam di desa Berjo yang dibudidayakan secara monokultur sebesar 5%
25
Presentase (%)
60
39.72
50
27.798
40 15.652
30 12.3225
20 10
5.366
10.756 7.155 3.116
2.398
4.038
0
Kecamatan
Gambar 1. Grafik kejadian penyakit Kejadian penyakit merupakan jumlah dari proporsi unit tanaman yang sakit dalam kaitannya dengan jumlah total dari unit-unit yang diamati (Abadi 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada Gambar 1, kejadian penyakit rata-rata tertinggi pada kecamatan Jatiyoso yaitu sebesar 39,72%. Kejadian penyakit rata-rata terendah pada kecamatan Karangpandan yaitu sebesar 2,39%. Sedangkan kejadian penyakit rata-rata untuk 10 kecamatan sebesar 3,39%. Menurut Mathews (1992), kejadian penyakit pada suatu tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor tanaman seperti umur tanaman, kultivar dan genotip tanaman. Faktor lain yang mungkin juga berpengaruh adalah faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah dan iklim disekitar pertanaman. Umur tanaman mempengaruhi tahan tidaknya suatu tanaman dalam menghadapi serangan patogen. Tanaman yang masih muda biasanya lebih mudah terserang patogen sehingga ketika tanaman tersebut tumbuh variasi gejala bertambah banyak daripada tanaman yang sudah tua. Jenis kultivar dan genotip tanaman juga mempengaruhi tahan tidaknya suatu tanaman terhadap patogen tertentu. Tanaman yang toleran akan sedikit memberikan variasi gejala dibandingkan tanaman yang rentan. Tingkat kesuburan tanah yang baik akan memberikan cukup nutrisi bagi tanaman sehingga kebutuhan patogen akan terpenuhi. Iklim yang sesuai dengan perkembangan patogen maupun vektor patogen akan mempermudah patogen berkembang dengan cepat.
26 Dalam penelitian ini, pola tanam polikultur mempengaruhi intensitas penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrawati et al. (2012) bahwa pola tanam berpengaruh terhadap intensitas dan kejadian penyakit, terutama tanaman yang dibudidayakan dengan tanaman yang merupakan inang lain CMV meskipun bukan dari famili Cucurbitaceae. Dragich et al. (2014) melaporkan bahwa tanaman yang dapat menjadi inang CMV antara lain cabai, bawang, kacang panjang, tomat, paprika, tembakau, seledri, selada, bunga lili bahkan beberapa gulma. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Damayanti (2010) tanaman bengkuang juga menjadi inang dari CMV. C. Uji Biologi Uji biologi dalam penelitian ini adalah uji inokulasi mekanik ke tanaman indikator.Tanaman indikator yang digunakan adalah Chenopodium amaranticolor. Uji ini dilakukan dengan mengamati beberapa variabel yang dapat menunjukkan kompatibilitas antara tanaman dengan virus yang diinokulasi. Gejala diamati pada waktu muncul gejala setelah inokulasi, tipe gejala dan sifat gejala yang ditimbulkan oleh tanaman setelah diinokulasi. Waktu muncul gejala diamati dengan melihat perubahan morfologis tanaman, misalnya perubahan bentuk daun, warna daun, dan tinggi tanaman. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 30 hari. Munculnya gejala pada tanaman yang diinfeksi oleh virus tersebut bervariasi. Waktu muncul gejala merupakan waktu yang dibutuh tanaman yang diinfeksi tersebut menunjukkan respon terhadap patogen dan diekspresikan dalam gejala. Waktu yang dibutuhkan suatu virus untuk menunjukkan gejala infeksinya dapat menunjukkan seberapa virulen virus tersebut, atau menunjukkan kerentanan tanaman yang diinfeksi oleh virus tersebut. Tipe gejala adalah perubahan morfologi yang diakibatkan adanya infeksi dari virus. Perubahan dapat berupa nekrosis, hiploplasis dan hiperplasis. Pengamatan ini dilakukan dengan membandingkan tanaman yang telah diinokulasi dengan tanaman sehat. Tipe gejala yang selalu ditimbulkan tanaman C.amaranticolor terhadap infeksi CMV yaitu nekrosis (Peter 1999). Nekrosis
27 merupakan degenerasi dari protoplas yang diikuti dengan kematian jaringan, organ, atau tanaman (Agrios 2005). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman C.amaranticolor tidak menunjukkan kemunculan gejala saat diinokulasi dengan CMV. Hal ini dikarenakan infeksi virus tidak selalu menunjukkan gejala apabila diinokulasikan ke suatu tanaman. Hull (2012) melaporkan penyebab tidak nampaknya gejala akibat virus diakibatkan oleh enam kondisi. Keenam kondisi tersebut antara lain lemahnya strain virus yang diinfeksi, tanaman inang yang toleran, “perbaikan” yang tidak steril dari gejala penyakit yang telah terbentuk sebelumnya di daun, daun tidak terinfeksi karena umur dan posisinya pada tanaman. D. Uji Serologi TAS-ELISA Metode serologi virus akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan. Kajian mengenai deteksi virus sangat bermanfaat di dalam mendeteksi penyakit akibat virus secara dini sehingga dapat dilakukan suatu tindakan pencegahan terjadinya penyakit (Paradisa 2012). Keuntungan utama dari uji secara serologi terhadap tanaman terinfeksi virus adalah spesifik, cepat dan reliable (dapat dipercaya). Selain itu, Hampton et al (1990) melapor;kan metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk karakterisasi dan identifikasi virus, serta untuk mengetahui morfologi dan sifat-sifat fisiko-kimia dari virion. Deteksi penyakit tanaman yang disebabkan virus tidak dapat diamati dengan pengamatan gejala saja. Karena, gejala yang diduga disebabkan oleh virus bisa saja disebabkan oleh toksitas serangga, pengaruh faktor abiotik misalnya iklim, ketersediaan unsur hara, cekaman lingkungan dan sebagainya (Agrios 2005). Maka dari itu uji secara serologi sangat diperlukan untuk mendeteksi virus penyebab penyakit tanaman. Salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi virus secara spesifik Enzyme-Linked-Immunosorbent Assay (ELISA) (Berniak et al. 2009, Gildow et al. 2008) dan dapat distandarisasi menggunakan kit bahan pengujian (Lequin 2005). Pada penelitian ini dilakukan deteksi Cucumber Mosaic Virus (CMV) dengan metode Triple Antibody Sandwich-ELISA (TAS-ELISA). Didalam melakukan uji serologi untuk diagnosis penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus, ketersediaan antibodi mutlak diperlukan. Pada penelitian
28 ini, antibodi sudah tersedia dalam kit yang diproduksi Agdia. Uji serologi TASELISA dilakukan di laboratorium, yang meliputi pengamatan secara visual dan kuantitatif. Pengamatan visual hasil uji ELISA dilakukan selama 60 menit. Perubahan warna cairan di dalam sumuran plat mikrotiter berwarna kuning dapat ditunjukkan pada Gambar 2. 1
2
3
4
5
6
7
A B C D E F G H
Gambar 2. Pengamatan visual reaksi TAS-ELISA Keterangan: A1= Buffer ekstraksi, B1= Kontrol Negatif, D1= Kontrol Positif, G1= Jumantono 1 (Melon), H1= Jumantono 2 (Melon), A2= Jumantono 3 (Melon), B2= Jumantono 4 (Melon), C2= Jumantono 5 (Ketimun), D2 = Tasikmadu 1(Melon), E2= Tasikmadu 2 (Melon), F2 = Tasikmadu 3 (Melon), G2= Tasikmadu 4 (Labu Kuning), H2= Tasikmadu 5 (Pare), A3= Karangpandan 1 (Ketimun), B3= Karangpandan 2 (Ketimun), C3= Karangpandan 3 (Oyong), D3 = Karangpandan 4 (Melon), E3= Karangpandan 5 (Melon), F3 = Mojogedang 1 (Labu Siam), G3 = Mojogedang 2 (Ketimun), H3= Mojogedang 3 (Ketimun), A4= Mojogedang 4 (Oyong), B4= Mojogedang 5 (Oyong), C4= Tawangmangu 1 (Labu Siam), D4 = Tawangmangu 2 (Ketimun), E4= Tawangmangu 3 (Labu Kuning) F4= Tawangmangu 4 (Labu Kuning), G4= Tawangmangu 5 (Ketimun), H4= Matesih 1 (Ketimun), A5= Matesih 2 (Ketimun), B5= Matesih 3 (Ketimun), C5= Matesih 4 (Ketimun), D5 = Matesih 5 (Ketimun), E5= Jatiyoso 1 (Labu Siam), F5 = Jatiyoso 2 (Labu Siam), G5 = Jatiyoso 3 (Labu Siam), H5= Jatiyoso 4 (Labu Siam), A6= Jatiyoso 5 (Labu Siam), B6= Kerjo 1 (Semangka), C6= Kerjo 2 (Semangka), D6= Kerjo 3 (Semangka), E6= Kerjo 4 (Pare), F6 = Kerjo 5 (Pare), G6 = Jumapolo 1 (Ketimun), H6= Jumapolo 2 (Ketimun), A7= Jumapolo 3 (Ketimun), B7= Jumapolo 4 (Pare), C7=
29 Jumapolo 5 (Semangka), D7= Ngargoyoso 1 (Labu Siam), E7= Ngargoyoso 2 (Labu Siam), F7= Ngargoyoso 3 (Labu Siam), G7= Ngargoyoso 4 (Labu Siam) dan H7= Ngargoyoso 5 (Ketimun) Hasil dari proses ELISA terdiri dari dua bentuk yaitu kualitatif dan kuantitatif. Hasil secara kualitatif adalah visualisasi perubahan warna pada sumuran plat mikrotiteryang mengindikasikan bahwa terjadi reaksi yang spesifik antara antigen dengan antibodi seperti yang disajikan pada Gambar 3. Perubahan warna tersebut dihasilkan oleh reaksi antara substrat dengan enzim yang terdapat di antibodi. Selain pengamatan visual, hasil uji ELISA juga diukur secara kuantitatif menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 402 nm. Hasil pengamatan visual dan hasil pengukuran spektofotometer ditampilkan pada tabel berikut: Tabel 4. Pengamatan visual dan kuantitatif TAS-ELISA No
Sampel Uji
Pengamatan visual
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Bufer ekstraksi Kontrol Negatif Kontrol Positif JT 1 (Melon) JT 2 (Melon) JT 3 (Melon) JT 4 (Melon) JT 5 (Ketimun) TM 1 (Melon) TM 2 (Melon) TM 3 (Melon) TM 4 (Labu Kuning) TM 5 (Pare) KA 1 (Ketimun) KA 2 (Ketimun) KA 3 (Oyong) KA 4 (Melon) KA 5 (Melon) MO 1 (Labu Siam) MO 2 (Ketimun) MO 3 (Ketimun) MO 4 (Oyong)
Bening Bening Kuning Bening Bening Kuning Kuning Kuning Bening Bening Kuning Bening Kuning Kuning Bening Kuning Bening Bening Bening Bening Kuning Bening
Pengukuran kuantitatif dengan ELISA reader 0,452 0,326 0,539 0,316 0,439 0,649 0,539 0,526 0,062 0,391 0,573 0,282 1,428 0,816 0,421 0,694 0,330 0,406 0,377 0,454 0,839 0,384
Keterangan + + +/+/+/+ + + + -
30 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
MO 5 (Oyong) TW 1 (Labu Siam) TW 2 (Labu Siam) TW 3 (Labu Kuning) TW 4 (Labu Kuning) TW 5 (Ketimun) MA 1 (Ketimun) MA 2 (Ketimun) MA 3 (Ketimun) MA 4 (Ketimun) MA 5 (Ketimun) JY 1 (Labu Siam) JY 2 (Labu Siam) JY 3 (Labu Siam) JY 4 (Labu Siam) JY 5 (Labu Siam) KE 1(Semangka) KE 2 (Semangka) KE 3 (Semangka) KE 4 (Pare) KE 5 (Pare) JP 1 (Ketimun) JP 2 (Ketimun) JP 3 (Ketimun) JP 4 (Pare) JP 5 (Semangka) NG 1 (Labu Siam) NG 2 (Labu Siam) NG 3 (Labu Siam) NG 4 (Labu Siam) NG 5 (Ketimun)
Kuning Bening Kuning Kuning Bening Kuning Kuning Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Kuning Kuning Kuning Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bening
1,876 0,444 0,84 2,106 0,308 0,742 0,595 0,381 0,362 0,39 0,375 0,358 0,347 0,343 0,357 0,362 0,395 0,313 0,353 0,439 0,66 0,646 0,85 0,321 0,326 0,302 0,378 0,472 0,306 0,122 0,219
+ + + + +/+ + + -
Keterangan : JT: Jumantono; TM: Tasikmadu; KA: Karangpandan; MO: Mojogedang; TW: Tawangmangu; MA: Matesih; JY: Jatiyoso; KE: Kerjo; JP: Jumapolo; NG: Ngargoyoso; +: Positif; -: Negatif Pengamatan secara visual menunjukkan warna cairan sampel JT 3 (melon), JT 4 (melon), JT 5 (ketimun), TM 3 (melon), TM 5 (pare), KA 1 (ketimun), KA 3 (oyong), MO 3 (ketimun), MO 5 (oyong), TW 2 (labu Siam), TW 3 (labu kuning), TW 5 (ketimun) dan MA 1 (ketimun) pada sumuran plat mikrotiter berubah menjadi kuning menandakan adanya reaksi positif. Berdasarkan perubahan warna
31 ini, keenambelas sampel menunjukkan hasil yang positif terhadap antiserum CMV. Pengamatan nilai absorban hasil ELISA dilakukan dengan membandingkan nilai absorban sampel dengan nilai kontrol negatif. Menurut Sutrawati (2010), apabila nilai absorban sampel sama dengandua kali nilai absorban kontrol positifatau lebih artinya sampel uji tersebut positif terinfeksi CMV. Berdasarkan penelitian, dari 50 sampel yang positif CMV berjumlah 16 sampel dan negatif berjumlah 34 sampel. Sampel yang positif terdiri dari dua kategori, yaitu positif (+) dan positif/negatif (+/-). Sampel dikatakan positif (+) apabila hasil dari pengamatan visual menunjukkan perubahan warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter dan nilai absorban sama dengan dua kali nilai kontrol negatif yaitu 0,652. Sedangkan sampel dikatakan positif/negatif (+/-) apabila hasil dari pengamatan visual menunjukkan perubahan warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter tetapi hasil dari nilai absorban kurang dari dua kali nilai kontrol negatif. Hal ini dikarenakan konsentrasi virus pada sampel sangat rendah sehingga nilai absorban kurang dari 0,652. Sampel JT 3 (Melon), TM 5 (Pare), KA 1 (Ketimun), KA 3 (Oyong), MO 3 (Ketimun), MO 5 (Oyong), TW 2 (Labu Siam), TW 3 (Labu Kuning), TW 5 (Ketimun), KE 5 (Ketimun), JP 1 (Ketimun) dan JP 2 (Ketimun) termasuk kategori sampel yang positif (+) karena hasil pengamatan visual dan kuantitatif memenuhi persyaratan sebagai sampel positif. Sampel JT 4 (Melon), JT 5 (Ketimun), TM 3 (Melon) dan MA 1 (Ketimun) termasuk kategori sampel yang positif/negatif (+/-) karena hasil pengamatan visual menunjukkan perubahan meskipun secara kuantitatif sampel tersebut belum memenuhi persyaratan sebagai sampel positif. E. Sebaran CMV pada Cucurbitaceae di wilayah Karanganyar Keberadaan Cucumber Mosaic Virus (CMV) dilaporkan pertama kali oleh Doolittle dan Jagger pada tahun 1916 (Zitter et al. 2009). CMV dilaporkan telah menyebar di beberapa negara di Asia, antara lain China, India, Indonesia, Malaysia, Jepang, Korea, Filiphina, Rusia dan Thailand (Shikata et al. 1998).Hasil survei lapang yang dilakukan oleh Taufik et al. (2005) membuktikan bahwa CMV memiliki daerah penyebaran yang cukup luas di Indonesia.
32 Pada penelitian ini sampel diambil dari 10 kecamatan dengan spesifikasi masing-masing lokasi yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Lokasi administrasi serta lokasi geografi titik pengambilan sampel Kecamatan
Desa
Dusun
Tanaman
Jumantono
Sukosari *Sukosari *Tugu Tugu *Tunggulsari Suruh Kaling *Karangmojo Ngijo *Pandeyan *Salam Doplang Doplang *Harjosari Dayu Mojogedang Pendem *Gentungan Munggur *Munggur Gondosuli *Tawangmangu *Blumbang Blumbang *Kalisoro *Karangbangun Karangbangun Koripan Matesih Matesih Beruk Beruk Wonorejo
Badran Bakdalem Poncol Poncol Temulus Pendem Kaling Karangmojo Ngijo Titang Pakilan Truneng Truneng Jambangan Sintru Mojogedang Gombel Gentungan Lebak Domas Telagadringo Nano Blumbang Dawan Pancot Bolotan Gondang Banjarsari Matesih Matesih Ngantirejo Beruk Kulon Watugede
Melon Ketimun Melon Melon Melon Melon Melon Melon Labu Pare Ketimun Ketimun Melon Oyong Melon Labu Siam Ketimun Ketimun Oyong Oyong Labu Siam Labu Siam Labu Kuning Labu Kuning Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Ketimun Labu Siam Labu Siam Labu Siam
Tasikmadu
Karangpandan
Mojogedang
Tawangmangu
Matesih
Jatiyoso
Ketinggian Kategori (mdpl) area 150 DR 140 DR 180 DR 200 DR 410 DM 140 DR 137 DR 160 DR 185 DR 175 DR 775 DM 800 DM 820 DM 690 DM 680 DM 330 DR 210 DR 250 DR 190 DR 200 DR 1710 DT 995 DT 1290 DT 1340 DT 1290 DT 515 DM 450 DM 540 DM 495 DM 435 DM 1080 DT 1055 DT 1065 DT
33
Kerjo
Jumapolo
Ngargoyoso
Wonokeling Jatiyoso Kutho Kutho Tawangsari Plosorejo *Sumberejo *Kwangsan *Bakalan Jumapolo Jumapolo Lemahbang Girimulyo Kemuning Segorogunung Berjo Segorogunung
Wonokeling Margorejo Jamus Pencol Tawangrejo Plosorejo Kerjo Geneng Bakalan Tempurejo Tempurejo Dlangin Plawan Kedungringin Sedonorejo Gero Segorogunung
Labu Siam Labu Siam Semangka Semangka Semangka Pare Pare Ketimun Ketimun Ketimun Pare Semangka Labu Siam Labu Siam Labu Siam Labu Siam Ketimun
1090 650 425 250 240 515 440 300 310 350 360 250 980 810 1120 1050 1000
DT DM DR DR DR DR DR DR DR DR DR DR DT DT DT DT DT
Keterangan : *: Lokasi terinfeksi CMV; DR: Dataran Rendah; DM: Dataran Menengah; DT: Dataran Tinggi Berdasarkan uji serologi, CMV sudah menyebar di wilayah Karanganyar. CMV menyebar di beberapa wilayah antara lain kecamatan Jumantono, Tasikmadu, Karangpandan, Mojogedang, Tawangmangu, Matesih, Kerjo dan Jumapolo. Pada kecamatan Jumantono, CMV tersebar di tiga desa yaitu Tugu, Tunggulsari dan Sukosari. Pada kecamatan Tasikmadu, CMV tersebar di dua desa yaitu Karangmojo dan Pandeyan. Pada kecamatan Karangpandan, CMV tersebar di dua desa yaitu Salam dan Harjosari. Pada kecamatan Mojogedang, CMV tersebar di dua desa yaitu Gentungan dan Munggur. Pada kecamatan Tawangmangu, CMV tersebar di tiga desa yaitu Tawangmangu, Blumbang dan Kalisoro. Pada kecamatan Matesih dan Kerjo, CMV hanya tersebar di satu desa, masing-masing di desa Karangbangun dan Sumberejo. Pada kecamatan Jumapolo, CMV tersebar di dua desa yaitu Kwangsan dan Bakalan. Peta sebaran CMV di wilayah Karanganyar disajikan dalam Gambar 3.
34
LOKASI TERDETEKSI CMV
Gambar 3. Peta sebaran CMV di wilayah Karanganyar Penyebaran virus tanaman dapat dipengaruhi oleh vektor. Salah satu vektor dari CMV adalah Aphid (Bricault dan Perry 2013). CMV dapat ditularkan lebih dari 75 spesies aphid, salah satunya adalah Aphis gossypii (Ali et al. 2006, Betancourt et al.2008, James et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian, CMV lebih banyak terdeteksi pada daerah dengan ketinggian rendah dan menengah. Hal ini diikuatkan dengan penelitian
Fauzana et al. (2002) melaporkan bahwa
populasi aphid lebih tinggi pada daerah dengan ketinggan tempat kurang dari 1.350 mdpl. Gejala yang umum terlihat pada pertanaman cucurbitaceae adalah mosaik, malformasi dan vein banding (Gambar 4). Syller (2012) melaporkan bahwa pada infeksi campuran beberapa virus terjadi interaksi dua virus atau lebih yang menginduksi gejala lebih parah karena interaksi tersebut meningkatkan replikasi virus. Apabila lebih dari dua gejala, memungkinkan tanaman tidak hanya terinfeksi CMV. Berdasarkan penelitian Septariani et al. (2014) membuktikan bahwa cucurbitaceae dapat terinfeksi oleh Begomovirus, Squash mosaic virus (SqMV) dan Zucchini yellow mosaic virus (ZyMV).
35
A
E
B
C
D
F
G
H
I
J
M
N
K
O
L
P
Gambar 4. Sampel terdeteksi CMV: Ketimun – Jumantono (A), Melon Jumantono (B), Melon – Jumantono (C), Melon - Tasikmadu (D), Pare – Tasikmadu (E), Ketimun – Karangpandan (F), Oyong – Karangpandan (G), Ketimun – Mojogedang (H), Oyong – Mojogedang (I), Labu siam – Tawangmangu (J), Labu kuning – Tawangmangu (K), Ketimun – Tawangmangu (L), Ketimun – Matesih (M), Pare –Kerjo (N), Ketimun – Jumapolo (O), Ketimun Jumapolo (P) Data survei menunjukkan kejadian penyakit (insiden) CMV di wilayah Karanganyar sebesar 32%, karena hanya tersebar di 16 lokasi dari 50 lokasi. Hasil penelitian menunjukkan pola sebaran CMV di wilayah Karanganyar yaitu acak (random), dimana tanaman yang terdeteksi CMV menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok dalam tempat lainnya.