INDONESIA MENGHADAPI PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA YANG SARAT RISIKO DAN KETIDAKPASTIAN
Lecture oleh Prof. J. Soedradjad Djiwandono pada BI Institute Leadership Forum 1
Penerbit:
BI Institute Oktober 2016
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia Yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian © Bank Indonesia Institute Pelaksana Editorial Her Suharyanto Penyelia Fretdy Purba Felicia V.I. Barus Penerbit Bank Indonesia Institute Terbit Perdana Oktober 2016
DAFTAR ISI
Pengantar Editorial Kata Pengantar Kepala BINS Kata Pengantar
BAGIAN PERTAMA: PAPARAN DAN TANYA JAWAB 1. Indonesia di Tengah Peta Risiko Global ................................... 3 2. Kemana Tiongkok Menggiring Ekonomi Dunia? .................... 5 3. Dari High Leveraging Sampai Proteksionisme ........................ 9 4. Negara Maju – Ke Kiri dan Ke Kanan .......................................... 12 5. Risiko Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Keamanan Pangan .................................................................................................. 16 6. Risiko Sosial: Dari Ketimpangan Hingga Daya Saing ........ 19 7. Proteksionisme Baru, Brexit, Penyalahgunaan Informasi 23 8. Risiko Teknologi di Tengah Berkembangnya Budaya Serakah .................................................................................................. 27 9. Indonesia di Bawah Payung 3 Blok Perdagangan ............... 31 10. Menghadapi Pasar yang Terus Berubah .................................. 35 11. Menghadapi Aneka Tantangan: No Single Paradigm ......... 39 12. Sektor Ekonomi Jangan Takabur ............................................... 43 13. Krisis Moral di Pasar Finansial ................................................... 47 14. Daya Saing: Kesenjangan Infrastruktur & SDM .................... 51 15. Sektor Prioritas, Konsep Jokowi, Triple Inequality ............. 55 16. Penurunan Net Capital Inflow ..................................................... 61 17. Penyaluran Kredit Berbasis Kinerja ......................................... 63 18. Peer to Peer Lending ........................................................................ 66 19. Perdagangan Dunia & Elastisitas yang Berubah ................. 69
BAGIAN KEDUA: TULISAN LEPAS 20. Bad behavior on Wall Street too big to ignore ..................... 75 21. Ekonomi RRT dan Senin Hitam ................................................... 80 22. Facing The New “Normal” ............................................................. 84 23. “Greed is Good”: A Hard Lesson to Unlearn ............................ 89
iv
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
24. Income Inequality: New Worry Over Impact of QE ............ 93 25. New monetary easing raise concern ......................................... 97 26. Tiongkok, AS, dan Kita ................................................................... 101
BAGIAN KETIGA: TULISAN DARI AKADEMISI SEBAGAI PESERTA 27 Daya Saing Regional dan Global: Suatu Tantangan dan Kesempatan Bagi Indonesia ...................................................... 111 28 Ketimpangan Antar-Daerah dan Unbalanced Growth ... 120 29 Kebangkitan Perencana Tata Ruang dalam Era Digital Menuju Indonesia Berdaya Saing Global ............................. 139 30 Dinamika Ekonomi Regional-Global dan Implikasinya Terhadap Kerapuhan Sistem Keuangan ................................ 155 31 Dinamika Ekonomi Regional dan Global: Tantangan & Kesempatan Pemanfaatan Supply Side Effect untuk Stabilitas Makroekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia ........................................................................................... 167
Pengantar Editorial PARA PEMBACA terhormat, pada bagian awal ini kami merasa perlu menyampaikan beberapa catatan pengantar, untuk menempatkan tulisan ini dalam satu konteks yang lebih jelas. Pertama, tulisan ini kami buat berdasarkan acara Forum Kepemimpinan Ekonomi Bangsa yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Institute, yang menyajikan paparan Bapak Prof. J. Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia periode 1993-1998. Dengan demikian bahan utama tulisan ini adalah materi kuliah dan diskusi dalam forum tersebut. Kedua, demi memperluas cakupan pembaca, kami menyusun tulisan ini dengan standar jurnalisme interpretatif. Di satu sisi kami mencoba setia pada materi dan alur yang muncul dalam forum, tetapi di sisi lain kami juga melakukan riset tambahan untuk memastikan agar data, nama, istilah, dan peristiwa yang disebutkan bisa dipahami oleh khalayak pembaca yang lebih luas. Dalam cara penulisan, kalimat langsung dari Prof. J. Soedradjad Djiwandono kami sajikan dalam cetak miring (italic) sedangkan sisanya adalah bagian dari parafrase, riset tambahan, dan narasi jurnalistik dari tim penyunting. Ketiga, dengan maksud memudahkan pembaca, kami menyusun tulisan ini dalam format artikel-artikel pendek, yang kemudian kami tata mengikuti alur yang terjadi dalam forum. Kami berusaha agar setiap artikel bisa fokus pada satu bahasan tertentu; tetapi dalam beberapa artikel upaya itu sedikit kami abaikan demi menjaga agar sejumlah detil tidak out of focus. Keempat, tulisan ini kami susun dalam tiga bagian besar. Bagian pertama berisi paparan dari Prof. Soedradjad dan tanya jawab; bagian kedua berisi sejumlah artikel Prof. J. Soedradjad
vi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Djiwandono sendiri; dan bagian ketiga adalah sejumlah paper tentang pokok bahasan yang sama, yang ditulis oleh sejumlah akademisi dari beberapa perguruan tinggi utama di tanah air. Bank Indonesia Institute sengaja mengundang para akademisi tersebut untuk menulis agar diperoleh pandangan yang komprehensif terhadap masalah yang didiskusikan. Selamat menikmati. Tim Editor
Kata Pengantar Kepala BINS Bank Indonesia Institute (BI Institute) dirancang sebagai center of excellence di bidang learning dan research yang didukung oleh prominent Faculty Member serta melakukan kerja sama (partnership) dengan lembaga-lembaga pembelajaran kelas dunia baik skala nasional maupun internasional. Sesuai dengan misi yang diemban, BI Institute memiliki peran sebagai wahana pengembangan SDM yang dimiliki Indonesia khususnya pegawai Bank Indonesia. Bahkan ke depan BI Institute diharapkan mampu menciptakan pemimpin ekonomi masa depan untuk bangsa. Program yang ditawarkan oleh BI Institute meliputi program pengembangan kompetensi maupun program unggulan (flagship). Selain itu BI Institute juga mengembangkan berbagai kegiatan seperti seminar, forum, sarasehan, workshop, dan pelatihan. Media forum digunakan sebagai media bertukar pandangan dan berbagi informasi terkait dengan kebijakan yang diambil dari sisi moneter dan fiskal serta memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu global terkini yang disampaikan para prominent speaker dari kalangan akademisi maupun praktisi. Sebagai wujud dari pelaksanaan forum, pada tanggal 9 Mei 2016 yang lalu, atas inisiatif BI Institute telah dibentuk suatu forum yang diberi nama BI Institute Leadership Forum yang direncanakan akan dilaksanakan secara rutin dua kali setahun. Forum pertama ini menghadirkan pembicara utama Prof.
viii
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia periode 19931998 sekaligus Guru Besar S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore. BI Institute Leadership Forum pertama ini dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, pejabat setingkat eselon satu dari berbagai lembaga dan kementerian, para dosen dari perguruan tinggi yang berpartnership dengan BI Institute, dan Lemhannas. BI Institute Leadership Forum pertama, yang telah berjalan dengan sangat baik, amat disayangkan bila berlalu begitu saja. Sebagai wujud dari komitmen BI Institute untuk melestarikan bahan ajar pembicara utama, hasil diskusi yang sangat dinamis antar-peserta, yang mana kesemua itu menghasilkan ide-ide atau terobosan baru khususnya di bidang ekonomi untuk dapat dicermati sekaligus sebagai bahan masukan untuk menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa. Selain itu bahan ini akan digunakan sebagai referensi bahan ajar untuk pengembangan modul economic leadership di BI Institute. Dilandasi optimisme tersebut, BI Institute yakin akan dapat terus mengembangkan SDM sebagai insan bangsa dalam mencapai cita-cita luhur untuk mencetak para pakar dan economic leader yang berkualitas serta mampu bersaing dalam kancah perekonomian global demi kemajuan Bangsa Indonesia. Jakarta, Agustus 2016
Dr. Sugeng Kepala BI Institute
Kata Sambutan Gubernur BI pada BI Institute Leadership Forum 1
YANG KAMI hormati Gubernur Bank Indonesia periode 19931998, sekaligus professor Rajaratnam School of International Studies Nanyang University Bapak Prof. J. Soedradjad Djiwandono dan yang kami hormati bapak ibu serta hadirin sekalian yang berbahagia. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, karena atas perkenannya kita semua bisa berkumpul untuk menghadiri kegiatan Bank Indonesia Institute, pada sebuah forum yang dinamakan BI Institute Leadership Forum. Ini adalah satu kegiatan strategis Bank Indonesia yang diawali dengan pendirian Bank Indonesia Institute, dengan mengemban visi untuk menyiapkan para pemimpin ekonomi bangsa, dalam menghadapi dinamika perekonomian ke depan, yang kami yakini akan semakin kompleks dan menantang. Bank Indonesia Institute sudah melakukan soft launching pada 2015 dan akan terus secara aktif menjalankan perannya dan berkomitmen meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam bidang ekonomi dan keuangan di Indonesia, tidak hanya melalui aktivitas pembelajaran, pelatihan dan riset, tetapi juga seperti kegiatan pada pagi ini, yakni sebuah forum diskusi dan public lecture yang akan menjadi wadah yang sangat baik dalam memperkaya diskursus kebijakan ekonomi dan keuangan publik di Indonesia. BI Institute Leadership Forum dirancang untuk secara rutin membahas berbagai permasalahan strategis perekonomian
x
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Indonesia, baik yang terkait dengan dinamika perekonomian global maupun dari domestik, dengan semangat untuk mendiskusikan solusi bersama bagi kemajuan ekonomi bangsa. Di samping itu aspek kepemimpinan dalam setiap pengambilan kebijakan ekonomi juga tidak bisa dipisahkan dari situasi perekonomian itu sendiri. Karena dewasa ini pembuat kebijakan dituntut untuk tidak hanya tepat dan cermat dalam pengambilan keputusan, namun juga penting untuk selalu konsisten dan senantiasa melandasi langkah yang diambil dengan penuh kehatihatian, terlebih dalam kondisi perekonomian saat ini, yang masih kerap diliputi ketidakpastian. Terobosan-terobosan dalam pengambilan keputusan amat diperlukan guna mengantisipasi pesatnya perubahan dan semakin kompleksnya tantangan. Oleh karena itu forum ini diharapkan dapat menghasilkan valuable insight yang membawa manfaat untuk mewujudkan perekonomian Indonesia yang kuat, seimbang, berkesinambungan, dan inklusif. Forum kepemimpinan ekonomi bangsa yang diselenggarakan pada pagi ini di Bank Indonesia, merupakan kegiatan yang pertama kali. Kami bersyukur dan berterimakasih bahwa pada pagi ini kita bersama-sama berkesempatan untuk mendengar pandangan, gagasan, dan pemikiran Bapak Prof. J. Soedradjad Djiwandono. Sebagai tokoh ekonomi bangsa nama beliau tentu sudah tidak asing lagi bagi setiap insan pemerintahan dan juga Bank Indonesia sendiri. Bapak Prof. J. Soedradjad Djiwandono adalah Gubernur Bank Indonesia pada tahun 1993 sampai dengan 1998, setelah sebelumnya mengemban amanah untuk menjabat sebagai Menteri Muda Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan V dari 1988 sampai 1993. Kami meyakini, dengan berbagai pengalaman dan leadership beliau sebagai pembuat kebijakan ekonomi dan keuangan publik
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
xi
serta komitmen sebagai pendidik, wawasan dan pemikiran beliau akan sangat relevan dan berharga bagi forum yang pagi ini mengambil tema “Dinamika Ekonomi Regional dan Global – Suatu Tantangan Sekaligus Kesempatan Bagi Indonesia. Bapak Ibu yang kami hormati, Tema yang kami pilih tentu tidak terlepas dari berbagai permasalahan ekonomi yang sedang kita hadapi bersama. Pemulihan ekonomi dunia yang masih lemah dan diliputi ketidakpastian yang tinggi, dinamika ekonomi global seperti divergensi kebijakan moneter negara-negara utama dunia, pelambatan struktural perekonomian Tiongkok, dan berlanjutnya pelemahan harga komoditas global, masih menyelimuti prospek perekonomian. Selain itu tantangan juga hadir bagi Indonesia untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan daya saing perekonomian di tengah persaingan yang ketat dan trend integrasi ekonomi kawasan. Derasnya aliran investasi baik investasi portofolio maupun investasi langsung ke negara-negara berkembang juga perlu disikapi dengan cermat dan seksama. Perekonomian domestik sendiri mengalami pelambatan dalam beberapa tahun terakhir. Namun kami menyambut baik eratnya sinergi kebijakan antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas perekonomian sekaligus memelihara momentum pertumbuhan. Di antara negara-negara berkembang lainnya, perekonomian Indonesia terbukti dapat bertahan dari guncangan ekonomi global yang memberi tekanan dalam beberapa periode terakhir. Data ekonomi baru menunjukkan bahwa perekonomian domestik tumbuh 4,92 persen year on year pada triwulan pertama 2016. Angka ini, walaupun lebih rendah dari capaian pada triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik dari triwulan pertama tahun 2015. Oleh karena itu kami memandang upaya akselerasi pembangunan melalui
xii
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
belanja fiskal produktif seperti proyek-proyek pembangunan infrastruktur strategis menjadi kunci dan perlu terus dilanjutkan. Sejalan dengan hal tersebut Bank Indonesia akan senantiasa menempuh kebijakan moneter yang konsisten dan prudent, dalam memelihara stabilitas serta mendukung perekonomian yang seimbang dan berkesinambungan. Bapak Ibu yang kami hormati, Hal tersebut di atas di satu sisi memang menjadi tantangan bagi kita bersama. Namun di sisi lain berbagai dinamika yang terjadi perlu dipandang sebagai suatu peluang, yang kami yakini bila diantisipasi dengan baik akan dapat membawa kemanfaatan bagi ekonomi Indonesia. Dalam hal ini kami bersyukur telah mengambil langkahlangkah proaktif untuk melakukan transformasi di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan daya saing perekonomian. Kami juga menyambut baik komitmen reformasi struktural guna meningkatkan daya saing yang telah dibangun pemerintah secara konsisten melalui berbagai paket kebijakan yang telah dikeluarkan. Misalnya saja dalam paket kebijakan keduabelas yang baru diluncurkan, kami mencermati bagaimana pemerintah memberikan penekanan pada pentingnya upaya meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia, sebagai bekal menghadapi kompetisi yang semakin ketat di kawasan. Selain dari penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kondusif serta percepatan pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari program dasar pembangunan, dalam pandangan kami terdapat empat pilar prioritas reformasi struktural yang perlu senantiasa menjadi perhatian pemerintah. Empat pilar prioritas pembangunan struktural tersebut adalah, yang pertama, ketahanan pangan, energi, dan air. Yang kedua, meningkatkan daya saing industri, maritim, dan pariwisata. Yang ketiga menjamin terjadinya pembangunan yang berkesinambungan.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
xiii
Yang keempat mewujudkan perekonomian yang inklusif. Oleh karena itu dalam kesempatan yang sangat baik ini kami meyakini, pengalaman, expertise, dan leadership dari Prof J. Soedradjad Djiwandono akan dapat memberikan warna dalam mengurai beberapa tantangan sekaligus peluang yang telah dan akan dihadapi Bangsa Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana reformasi struktural memberikan manfaat penting dalam pembangunan kesejahteraan bangsa yang berkeadilan. Kami berharap melalui intellectual sharing dalam forum ini kita semua dapat belajar dan menyerap wawasan yang bermanfaat untuk terus bergerak maju membawa Bangsa Indonesia unggul dalam persaingan di tataran regional maupun global. Bapak Ibu dan hadirin yang kami hormati. Sebelum mengakhiri pengantar dari kami, kami juga ingin mengucapkan terima kasih atas partisipasi Bapak-Ibu dan hadirin sekalian yang berkenan hadir pada acara pagi hari ini. Kami meyakini acara ini dapat bermanfaat dan memperkaya wawasan serta referensi Bapak, Ibu dan Hadiri sekalian dalam berkarya di berbagai bidang yang ditekuni. Semoga Tuhan yang Mahakuasa senantiasa melindungi dan meridhoi segenap langkah dan citacita besar kita dalam mewujudkan perekonomian yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian sambutan dan pengantar kami. Selanjutnya, dengan penuh rasa hormat, mari kita sambut kehadiran Bapak Prof. J. Soedradjad Djiwandono untuk dapat memberikan paparannya dalam Forum Kepemimpinan Ekonomi Bangsa yang pertama. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia
BAGIAN PERTAMA: PAPARAN DAN TANYA JAWAB
1 Indonesia di Tengah Peta Risiko Global
UNTUK melihat Indonesia di hadapan risiko dan ketidakpastian ekonomi global, saya akan menggunakan framework peta risiko yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) pada 2011. Pada tahun itu WEF meluncurkan laporan berjudul Global Risk Report edisi keenam. Yang menarik adalah bahwa laporan tersebut benar-benar membuat beberapa peta risiko secara visual. Pada satu peta tersebut digambarkan, semakin ke kanan berarti semakin mungkin terjadi, dan semakin ke atas semakin besar risiko finansialnya. Pada bidang peta tersebut dihamparkan lebih dari 33 item risiko yang terbagi dalam lima kelompok (clusters): yakni risiko ekonomi, risiko lingkungan, risiko sosial, risiko geopolitik, dan risiko teknologi. Pada sisi paling kiri bawah – yang berarti paling kecil kemungkinannya terjadi sekaligus paling rendah “nilai” risikonya – adalah ketidakpastian harga konsumen, dan yang paling kanan atas adalah risiko perubahan iklim. Pada peta yang lain digambarkan, risiko mana lebih berpeluang terjadi di mana. Misalnya saja risiko bencana alam lebih berpeluang terjadi di Asia Timur, Selatan Australia, dan sisi timur Amerika. Risiko politik berpeluang terjadi di kawasan selatan Afrika, selatan Asia, dan timur laut Asia. Sementara itu risiko teknologi (cyber) berpeluang terjadi di kawasan utara
4
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Amerika, risiko pengangguran di Asia, dan risiko migrasi di Eropa. Walaupun memakai framework dari World Economic Forum, data yang saya sajikan tidak hanya dari sana. Saya juga menggunakan data saya sendiri ditambah dengan data yang peroleh dari tempat lain. Tapi isi dari the whole clusters ya seperti itu. WEF membahas risiko ekonomi yang tadi sudah kita bicarakan, ada juga risiko lingkungan yang sama-sama kita sadari, ada risiko sosial, risiko geopolitik, dan risiko teknologi. Yang perlu lebih saya tekankan adalah bahwa pada zaman sekarang ini ekonom tidak bisa lagi seperti katak dalam tempurung yang membatasi omongannya pada lingkup ekonomi saja, dan dengan mudah menyebut yang lain sebagai “non economic factors.” Kalau zaman saya dulu bolehlah kita omong fokus pada ekonomi. Terus semua yang sulit-sulit kita sebut sebagai “non economic factors”, karena tidak mudah memasukkannya dalam model, karena matematikanya masih sangat terbatas sekali.. Tetapi sekarang kita tidak bisa mengabaikan semua itu. Mau bagaimana lagi… our world is messy. Boleh kita membangun model, tetapi dengan kesadaran bahwa model hanyalah sebuah prakiraan. Kenyataan berbeda dengan model yang Anda bangun. No matter how genius you are. Jadi saya ingin menunjukkan bahwa risiko-risiko yang lain itu sama penting dan mendesaknya dengan risiko ekonomi, walaupun mungkin itu semua bukan tanggung jawab dari lembaga di mana kita berada. Tetapi tetap saja kita punya tanggung jawab untuk meyakinkan teman-teman kita yang ada di lembaga lain bawa kita berhadapan dengan semua risiko itu.
2 Kemana Tiongkok Menggiring Ekonomi Dunia?
PESIMISTIK. Itulah nada dasar World Economic Prospect 2016 yang diluncurkan Bank Dunia Juni lalu, sebagai revisi atas prakiraan yang diluncurkan pada Januari. Bank Dunia memprediksi bahwa perekonomian global akan tumbuh 2,4 persen pada 2016 ini. Padahal pada Januari, perekonomian dunia diprediksi masih akan tumbuh 2,9 persen. Prediksi yang pesimistik itu didasarkan pada fakta lemahnya pertumbuhan di perekonomian yang sudah maju, harga komoditas yang belum menunjukkan arah pemulihan, melemahnya perdagangan dunia, dan semakin kecilnya arus modal masuk (capital inflow). Memang Bank Dunia memperkirakan bahwa tahun depan pertumbuhan akan sedikit meningkat, tetapi yang terakhir ini tidak dikatakan dengan keyakinan. Di samping sejumlah alasan yang disebutkan di atas, pesimisme terhadap perekonomian global juga disebabkan oleh pelemahan yang terjadi di negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan), yang sebelumnya digadang-gadang bakal menjadi penggerak perekonomian dunia. Dari keempat negara BRICS hanya India yang masih on the right track. Sementara yang lain sangat dipenuhi dengan ketidakpastian. Berkat India yang tumbuh cukup baik, kawasan
6
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Asia Selatan secara keseluruhan diperkirakan masih akan tumbuh 7,1 persen pada 2016. Di luar India, semua negara BRICS menghadapi masalah pelik. Brazil dan Rusia diperkirakan masih akan mengalami resesi yang sangat serius. Bahkan Brazil menghadapi masalah yang lebih pelik, yakni presidennya, Dilma Rousseff sedang menghadapi impeachment. Afrika Selatan kondisinya juga buruk. Atas negara ini Bank Dunia memangkas prediksi pertumbuhannya, dari 1,4 persen pada prediksi Januari menjadi 0,6 persen Juni lalu. Yang menjadi masalah serius bagi perekonomian dunia adalah apa yang terjadi di Tiongkok. Ketika dunia mengalami krisis finansial yang sangat serius pada 2008-2009, Tiongkok menjadi penyelamat. Amerika mundur, begitu pula Eropa, sehingga kita semua tahu dunia sangat mengandalkan kekuatan ekonomi Tiongkok, yang tumbuh double digit selama belasan tahun. Inilah yang menyelamatkan perekonomian dunia, termasuk Asean, termasuk Indonesia. Tetapi itu semua sudah tidak lagi begitu. Pada 2015 Tiongkok hanya tumbuh 7 persen saja, dan itu pun masih dengan perdebatan, apakah benar tujuh persen, karena riilnya hanya 6,7 persen… dan sekarang bahkan sudah jauh lebih rendah lagi. Banyak pihak saat ini berkeyakinan sulit bagi Tiongkok untuk kembali tumbuh dua digit. Bahkan Presiden Xi Jinping beberapa kali menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dua digit sudah menjadi masa lalu bagi Tiongkok. Tetapi yang lebih membuat banyak pihak was-was adalah kebijakan rebalancing-nya. Sebagaimana diketahui, tingginya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebelumnya lebih ditopang oleh agresivitas negara itu dalam pembangunan infrastruktur. Masalahnya adalah bahwa pembangunan infrastruktur itu bisa dikatakan sudah selesai. Bahkan boleh dikatakan mereka sudah
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
7
terlalu banyak membangun, mulai dari kereta cepat, jalan tol, pelabuhan, dan sebagainya. Bahkan di kota-kota besar banyak sekali yang tampak seperti ghost town karena begitu banyaknya properti yang sudah dibangun tetapi belum ada penghuninya akibat fenomena oversupply. Saat ini Tiongkok mulai mengerem pembangunan infrastruktur, dan ini berdampak besar bagi banyak negara termasuk Indonesia. Sebab ketika RRC sedang giat membangun, Indonesia termasuk yang diselamatkan, karena mendapatkan peluang untuk mengekspor produk utamanya, komoditas. Yang paling terasa adalah impor bijih besi. Selama masa pembangunan infrastruktur, Tiongkok mengimpor begitu banyak bijih besi, hingga total impornya mencapai hampir 70 persen pasar bijih besi dunia. Tetapi pada 2014 dan 2015 permintaan itu menurun, dan ini memukul Brazil, Chile, dan Australia yang selama ini menjadi pemasok utama bijih besi dunia. Dalam kondisi seperti itu Tiongkok melakukan langkah pengimbang (rebalancing) dengan usaha menggenjot permintaan (konsumsi) dalam negeri. Tiongkok mengurangi ketergantungannya pada ekspor, mengurangi porsi investasi, tetapi berusaha memacu konsumsi dalam negeri. Dalam konteks seperti itulah Indonesia menghadapi risiko besar, sebab selama ini Indonesia masih bergantung pada komoditas primer. Ketika Tiongkok sedang membangun, Indonesia diuntungkan oleh permintaan batubara dari negeri itu. Tetapi ketika pasar Tiongkok bergeser ke produk konsumsi, Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan karena Indonesia belum masuk dalam yang disebut dengan supply chain of production. Di dunia sekarang produksi ada dalam satu rantai pasokan. Boleh dikatakan tidak ada lagi produk yang dihasilkan hanya dan murni oleh satu negara. Setiap produk selalu ada kaitannya
8
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
dengan negara atau pihak lain. Tetapi kita harus ada dalam rantai itu. Production chain itu ibarat kereta api, dan kita belum masuk dalam kereta api itu. Gerbong yang paling belakang pun belum. Karena kita tidak ada dalam kereta itu, maka kita tidak ikut melaju ke depan. Saya rasa masalahnya ada di sana. Di dunia ini masih ada permintaan, tetapi yang diminta adalah barang konsumsi, dan konsumsi yang tertinggi masih produk-produk yang terkait dengan teknologi informasi (IT). Benar kita punya banyak orang hebat dalam hal IT, tetapi kehebatan kita masih berada pada sisi konsumen. Indonesia adalah subscriber terbesar untuk Facebook, Instagram dan aneka media sosial lainnya. Tapi terkait dengan produk IT sendiri Indonesia belum masuk dalam rantai produksinya.
3 Dari High Leveraging Sampai Proteksionisme
MELALUI karya yang berjudul Emperor’s New Cloth, Hans Christian Andersen bercerita tentang tukang jahit pakaian yang berjanji pada rajanya untuk membuatkan jubah ajaib. Salah satu keajaiban jubah yang tentu saja indah itu adalah tidak akan bisa dilihat oleh orang bodoh dan jahat. Suatu hari sang raja berparade dengan mengenakan jubah ajaib itu. Ketika dia bertanya apakah jubahnya indah, semua orang di sepanjang jalan menjawab, “Tentu saja, indah sekali,” … sampai ada seorang bocah berteriak, “Lho, kok raja tidak memakai baju.” Tentu saja ada hubungan analogis kalau kemudian Anat Admati and Martin Hellwig menulis buku berjudul Banker’s New Cloth. Para bankir adalah sang raja yang tidak sadar telah mempermalukan dirinya sendiri dengan baju ajaibnya, kita semua adalah rakyat di pinggir jalan yang menerima begitu saja, dan si bocah adalah Admati dan Hellwig yang berani berterus terang betapa perbankan telah melakukan tindakan yang memalukan. New clothes-nya adalah leveraging. Bank bekerja tidak seperti yang kita pelajari dalam ekonomi perbankan. Dalam ekonomi perbankan kita belajar bahwa sumbernya dari deposito. Tetapi dalam kenyataannya justru dari pinjaman. Admati dan Hellwig menyebutkan bahwa secara alamiah
10
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
cara kerja perbankan sudah sangat rentan sekali. Sebagian terbesar asset mereka, yang berbentuk pinjaman, pada dasarnya sangat berisiko. Tetapi atas risiko itu kalangan perbankan hanya “mempertaruhkan” ekuitas yang hanya tiga persen atau sekitar itu. Tetapi, menurut mereka berdua, sistem perbankan yang jelas rapuh itu dibela mati-matian oleh otoritas. Mereka merujuk krisis 2008. “Kami berharap dilakukan investigasi yang serius agar bisa diambil langkah-langkah tertentu untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa,” tulis mereka. Nah, saya takut bahwa new cloth ini, yakni high leveraging, dipakai oleh semua pelaku ekonomi termasuk pemerintahan. Dalam kuliah yang saya berikan saya mengatakan bahwa sumber utama berbagai masalah ekonomi adalah high leveraging. Ini saya sampaikan berdasarkan pengamatan saya atas berbagai krisis yang terjadi. Kalau utang sudah besar sekali, pasti akan bikin susah diri sendiri. Yang perlu kita cermati adalah bahwa membengkaknya utang sudah menjadi masalah tersendiri. Total utang pemerintah China sendiri saja, per akhir 2015, mencapai US$28 triliun, atau separuh dari total utang pemerintah seluruh dunia. Ini adalah hal yang perlu kita waspadai, bersamaan dengan keharusan kita mewaspadai masalah-masalah lain seperti melemahnya harga-harga komoditas serta energi dan sumberdaya alam, melemahnya perdagangan antarnegara, melemahnya aliran modal ke emerging markets, serta kecenderungan kebijakan proteksionistis oleh negara maju. Gejala proteksionisme muncul sangat jelas pada kampanye calon presiden Amerika, Donald Trump yang dengan lugas dan tegas mengusung jargon America first. Yang agak di luar dugaan adalah bahwa lawan politiknya dari Partai Demokrat, Bernice Anderson dan Hillary Clinton kemudian mendayung di arus yang sama. Hillary yang dulu ikut menegosiasikan apa yang disebut
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
11
dengan Trans Pacific Partnership (TPP), tiba-tiba menyatakan komitmennya untuk tidak lagi terlibat dalam TPP. Jadi kita bisa melihat bahwa proteksionisme akan menjadi kecenderungan masa depan. Anda pasti juga mengikuti bahwa di Amerika ada sekelompok Anti TPP dengan kecenderungan yang semakin membesar. Gejala proteksionisme juga muncul sangat tegas di sekitar negosiasi Trans-Atlantic Trade and Investment Partnership (TTIP), yang direncanakan akan menjadi blok baru bidang perdagangan dan investasi antara Amerika dengan Uni Eropa. Ada begitu banyak protes terhadap rencana ini, dengan tuduhan bahwa blok ini tak lebih dari lobi kalangan korporasi yang pada akhirnya akan menyengsarakan rakyat. Di Inggris, TTIP menjadi satu materi kampanye utama bagi kelompok yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).
4 Negara Maju – Ke Kiri dan Ke Kanan
APA yang sebenarnya terjadi sehingga “tokoh panutan” yang satu lari ke timur dan yang satu lari ke barat? Mari kita buat lebih jelas. Dalam kebijakan moneternya, Jepang dan beberapa negara Eropa memilih kebijakan “suku bunga negatif” (negative interest rate policy – NIRP). Artinya, alih-alih mendapatkan return, masyarakat penabung justru “dibebani biaya” tabungan. Tapi sebaliknya otoritas moneter Amerika sudah mulai mencoba berbalik arah, yakni menaikkan suku bunga, walau masih terasa tidak dengan sepenuh hati. Jepang dan negara-negara lain yang menerapkan NIRP – Denmark, Swedia, Swiss, dan Uni Eropa – memang sedang menghadapi kebingungan. Secara tradisional otoritas moneter bertugas mengendalikan inflasi. Tetapi kemudian yang dihadapi adalah deflasi. Yang menjadi masalah adalah bahwa deflasi tidak hanya kebalikan dari inflasi. Ada begitu banyak dinamika tersendiri dari apa yang terjadi. Per definisi deflasi adalah sesuatu yang sederhana, yakni bahwa secara umum telah terjadi penurunan harga. Bagi konsumen penurunan harga bisa menjadi kabar gembira. Tetapi tidak bagi otoritas moneter. Deflasi bisa merupakan cerminan dari penurunan permintaan, yang mungkin berasal dari penurunan daya beli, atau tidak tersedianya uang, dan semuanya itu adalah cerminan dari melesunya perekonomian. Dalam situasi seperti itu langkah konvensional yang biasa diambil oleh bank sentral adalah menurunkan sukubunga, untuk memberi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
13
insentif bagi masyarakat untuk berbelanja, dan bagi industri untuk meningkatkan produksi. Secara riil suku bunga sudah bisa disebut negatif kalau angkanya lebih rendah dibanding inflasi. Kalau dalam satu perekonomian otoritas moneter menerapkan NIRP, normalnya nilai tukar mata uang setempat akan cenderung melemah. Tetapi Pak [Haruhiko] Kuroda [gubernur bank sentral Jepang] juga pusing. Sudah menurunkan suku bunga ke tingkat negatif tetapi yen-nya bukannya melemah tapi masih juga menguat. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Eropa yang menerapkan NIRP dengan alasan yang sama: lesunya perekonomian. Tetapi setelah NIRP diterapkan sekian lama, secara umum nilai tukar mata yang mereka tidak melemah, sehingga bisa diduga perjalanan kebijakan itu masih akan cukup panjang. [Apalagi, setelah melalui jajak pendapat, akhirnya Inggris akan dari Uni Eropa, yang diperkirakan akan memperburuk kondisi perekonomian kawasan Eropa.] Hantu deflasi tidak hanya terjadi di Jepang, tapi juga di Zona Euro. European Central Bank (ECB) berpendapat bahwa kebijakan moneter yang konvensional seperti NIRP saja tidak mencukupi. Kebijakan NIRP saja, tanpa diikuti dengan kebijakan lain, berpeluang mengganggu kepercayaan publik. Harga obligasi juga akan turun sehingga masyarakat semakin pada posisi nowhere to invest. Pendek kata sektor finansial memang dalam kondisi tidak pasti, sehingga ECB mengambil kebijakan moneter yang tidak konvensional. Pengaturan sukubunga, sebagaimana diketahui, masih merupakan bagian dari kebijakan moneter yang konvensional. Yang tidak konvensional adalah bila bank sentral sudah melakukan intervensi. ECB melakukan intervensi melalui program long-term refinancing operation (LTRO), yakni program membeli surat berharga, khususnya obligasi, dari kalangan perbankan. Dengan cara itu diharapkan jumlah
14
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
uang yang beredar di masyarakat akan semakin besar, sehingga konsumsi masyarakat akan meningkat. Bagi Bank Sentral Eropa program LTRO memberikan hasil, tetapi belum cukup optimal. Karena itu kemudian ECB mengkopi apa yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Bank of England (Bank Sentral Inggris), yakni meluncurkan program LTRO yang lebih targeted. Dengan program ini, ECB menetapkan target yang lebih spesifik, agar kalangan perbankan lebih banyak menyalurkan pinjaman pada masyarakat dan industri. Karena lebih targeted, maka program ini disebut targeted long-term refinancing operation (TLTRO). Kalau LTRO ECB selama ini memiliki maturitas maksimal tiga tahun, maturitas TLTRO diperpanjang hingga empat tahun untuk memberi kelonggaran pada kalangan perbankan. Sepanjang 2016 ECB berencana melakukan empat kali lelang TLTRO. Sementara itu di sisi lain sinyal positif mulai menyala dari Amerika, betapapun redupnya sinyal itu. Pada Desember 2015 lalu The Federal Reserve (The Fed, bank sentral Amerika) menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2006, spesifiknya sejak Juni 2006. Sebagaimana diketahui pada 2007 perekonomian AS mulai meredup dan kemudian terpukul oleh kasus subprime mortgage pada 2008. Saat itulah The Fed menurunkan The Fed Fund Rate secara bertahap (sepuluh kali), dari 5, 25 persen ke angka 0,25 persen. Angka terakhir itulah yang bertahan sejak Desember 2008 hingga Desember 2015. The Fed menahan sukubunga pada angka rendah selama itu karena buruknya kondisi perekonomian Amerika. Majalah Forbes mencatat bahwa periode 2008-2013 adalah pertumbuhan empat tahunan terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Pada kurun itu PDB AS hanya tumbuh agregat 0,73 persen. Perekonomian AS kembali menggeliat pada 2015. Janet Yellen, yang baru diangkat menjadi chairwoman The Fed
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
15
menyebutkan sejumlah indikasi pemulihan, utamanya angka penyerapan tenaga kerja. Angka pengangguran di AS turun dari puncaknya 10 persen pada 2008 ke delapan persen pada 2012, enam persen pada 2014, dan 5,3 persen pada Juli 2015. Karena alasan ini Yellen mengantisipasi akan menaikkan suku bunga hingga empat kali pada 2016. Tetapi baru sekali The Fed menaikkan suku bunga pada Desember 2015, perekonomian AS kembali dilanda demam. Angka pengangguran yang sudah turun ke angka 4,8 persen pada Januari dan Februari kembali naik ke angka lima persen pada Maret dan April. Itu sebabnya rasanya tidak mungkin akan terjadi empat kali kenaikan sukubunga di AS. Paling optimistis dua kali sepanjang 2016. Saudara-saudara sekalian, saya menyebut fenomena itu sebagai fenomena New Normal. Di satu sisi, dalam takaran yang kita alami selama ini, dan yang kita pelajari selama ini, memang boleh dibilang semuanya itu tidak normal. Tetapi seaneh apapun fenomenanya, kalau itu menjadi fakta yang relatif tetap dan tidak terelakkan, bukankah kemudian itu menjadi hal normal yang baru? Resesi global yang berkepanjangan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya perdagangan, meningkatnya pengangguran dan sebagainya itu sudah menjadi fakta yang tidak bisa dihindari. Itulah fakta baru yang kita hadapi bersama, yang harus menjadi perhatian bersama.
5 Risiko Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Keamanan Pangan
CUKUP baik, tapi juga cukup terlambat – tampaknya itulah respon alam terhadap keputusan politik para pemimpin dunia. Pada Desember 2015 sebanyak 195 pemimpin dunia menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement), kesepakatan untuk mengoreksi laju perubahan iklim yang sudah masuk ke tahap mengkhawatirkan. Tiga bulan setelah itu muncul data yang dipotret dari alam: suhu muka bumi mencapai titik tertingginya – dengan margin yang signifikan dibanding sebelumnya, dan volume es mencair di Greenland jauh melampaui data yang pernah dicatat para ilmuwan. Kemudian para ilmuwan mengingatkan, tinggi muka air laut akan meningkat lebih cepat dibanding yang diduga sebelumnya. Yang menarik sekarang ini adalah bahwa soal perubahan iklim dan lingkungan kita tidak perlu meyakinkan orang lagi. Perubahan lingkungan sudah sedemikian jelasnya bagi semua, karena semua orang merasakan. Temperatur bertambah tinggi. Hujan tidak kunjung datang atau sebaliknya. Itu terjadi di mana pun. Mari kita lihat apa yang terjadi beberapa waktu terakhir. Kebakaran di Fort McMurray Kanada membuat pemerintah harus
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
17
mengungsikan lebih dari 90 ribu jiwa, dan perusahaan asuransi harus membayar klaim hingga US$3,58 miliar. Padahal belum lama berselang, di sisi baratnya, Alberta, terjadi banjir bandang yang mengakibatkan 100 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Kalau California kebakaran, akal kita masih bisa menerima. Tapi kalau di Kanada ada kebakaran hutan… pasti karena ada yang berubah serius. Dari situ kita melihat ada banyak bukti yang kita rasakan sendiri tentang adanya perubahan alam dan lingkungan. Yang terjadi di Paris belum lama ini, Paris Agreement, menunjukkan bahwa semua negara menyadari bahwa ada perubahan serius pada lingkungan, yang memerlukan penanganan bersama. Cukup menggembirakan bahwa minimal kita semua berjanji untuk committed. Ini berbeda sekali dengan berbagai pertemuan tentang lingkungan yang dilakukan sebelumnya. Kita semua mengetahui bahwa untuk mencapai kesepakatan ini dibutuhkan negosiasi alot selama lebih dari 23 tahun. Negosiasi berjalan alot karena sebelumnya banyak yang berpikir “masalahnya belum seserius itu” atau “ini bukan urusan kami”. Ini masalah serius bagi dunia, dan karena itu juga bagi Indonesia. Tetapi yang perlu disadari bersama adalah bahwa ini bukan soal kerusakan alam dan perubahan iklim semata, melainkan apa efek lanjutan dari itu semua. Pak Gubernur sudah mengatakan bahwa salah satu tantangan kita adalah soal keamanan pangan (food security), dan ini erat kaitannya dengan masalah lingkungan. Di Indonesia memang belum banyak orang yang mendiskusikan soal perubahan iklim dan lingkungan dengan masalah pangan. Tapi di beberapa negara tetangga hal ini sudah menjadi perhatian serius. Vietnam sudah mulai mengeluh bahwa produksi kopi mereka sangat terpukul oleh kekeringan terburuk dalam 30 tahun terakhir. Produksi padi mereka juga terpukul,
18
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
karena 45% sawah tidak bisa ditanami akibat kekeringan. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan, OCHA, melaporkan bahwa pangan untuk 120 ribu penduduk Timor Leste (10%) sudah terdampak langsung el-Nino. Di Indonesia yang terdampak 1,2 juta penduduk, di Vietnam dua juta penduduk (2%), dan di Filipina 3,5 juta penduduk (3,5%). Sementara itu di Thailand sudah muncul konflik sosial akibat perebutan air untuk pengairan sawah dan perkebunan. Saat ini kita memang sudah tidak lagi bicara soal swasembada (self-sufficiency) melainkan keamanan pangan (food security). Dan berbicara mengenai keamanan pangan, kita tidak hanya bicara soal produksi dan ketersediaan (availability), tetapi juga distribusi. Dan distribusi bukan hanya menyangkut aspek geografis, tapi juga waktu: apakah setiap saat setiap kebutuhan akan pangan bisa terpenuhi. Jadi soalnya, kalau kita tidak punya, bagaimana caranya agar kita bisa mengimpor secara efisien. Kalau ada beras Jawa tetapi tidak ada di luar Jawa, bagaimana kita bisa membawanya ke tempat lain yang membutuhkan secara efisien. Kalau ada banyak beras di Bekasi tetapi tidak tersedia di NTT, itu namanya tidak secure. Kita ngomong NKRI kok. Jadi masalah keamanan pangan bukan hanya soal produksinya, tapi juga availability-nya, distribusinya, bahkan juga soal acceptability-nya. Kita bisa melihat berbagai perdebatan mengenai tanaman transgenik misalnya. Di satu sisi kita tahu bahwa riset dan pengembangan tanaman itu ditujukan untuk meningkatkan kapasitas ketersediaan pangan. Tetapi kalau tanaman itu pada akhirnya merusak lingkungan atau berbahaya, tentu kita tidak bisa menerimanya.
6 Risiko Sosial: Dari Ketimpangan Hingga Daya Saing THOMAS Piketty adalah seorang ekonom kelas dunia asal Prancis, yang oleh sejumlah pengamat disebut sebagai Karl Marx Baru. Nama ekonom muda ini melejit di tingkat dunia karena bukunya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century, yang terbit pada 2013. Ini adalah buku yang dengan tajam mengkaji ketimpangan kekayaan dan pendapatan di kawasan Amerika dan Eropa. Buku setebal 680 halaman ini ditulis berdasarkan riset selama belasan tahun, dengan mengutip data dan statistik ekonomi sejak abad 18 hingga abad 21. Sebagian besar buku ini dikerjakan oleh Piketty ketika menjadi dosen di Massachusetts Institute of Technology pada 1993 hingga 2000. Objek kajiannya awalnya adalah pajak yang dibayarkan oleh satu persen orang terkaya di Amerika pada periode 1913 hingga 1998. Dia melaporkan bahwa di awal abad 20 sudah terjadi ketimpangan pendapatan antara pemilik modal dengan para pekerja. Tetapi sejak 1977 ketimpangan itu semakin menjadi-jadi… semakin serius. Dia menulis bahwa pendapatan kalangan pekerja terampil naik cukup baik, tetapi pendapatan mereka yang berada di puncak piramida struktur gaji melonjak amat tinggi. Lompatan ini membuat mereka masuk dalam kelompok
20
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
satu persen penduduk, bersama dengan para pemegang saham ritel, yang merebut 60% pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi itu belum cukup dramatis, karena lebih dari 60% dari 60% tadi direbut oleh kurang dari 0,1 persen penduduk. Ironinya, menurut Piketty, pertumbuhan kekayaan mereka jauh lebih besar dari kemampuan mereka membelanjakannya. “Inilah pusat kontradiksi kapitalisme,” tulisnya. Dalam risetnya di kemudian hari, Piketty menemukan bahwa ini bukan saja kasus Amerika, melainkan juga Eropa dan negaranegara maju lainnya, dengan kecenderungan yang sudah terbaca sejak abad 18. Ada tendensi besar bahwa semakin maju sebuah negara, semakin besar ketimpangan pendapatan rakyatnya. Menurut saya buku Piketty ini merupakan satu revolusi dalam pemikiran development economy. Sebagai development economist dulu-dulunya saya masih percaya pada Kuznets. Simon Kuznets pada 1950-1960an mengumumkan pemikirannya tentang distribusi pendapatan. Kuznets mengajukan hipotesis bahwa di negara yang miskin dan terbelakang, distribusi pendapatan cukup berimbang. Tetapi begitu satu perekonomian mulai berkembang dengan memasuki tahap industri, ketimpangan pendapatan akan melebar. Ada buruh, eksekutif, dan pemodal yang menajamkan ketimpangan itu. Tetapi ketika negara sudah sangat maju, maka ketimpangan akan secara bertahap terus berkurang. Kuznets menggambarkan perkembangan itu dalam kurva U terbalik. Karena itu kita selalu berpendapat, selama bertahun-tahun, bahwa distribusi pendapatan di negara maju itu lebih bagus dibanding negara berkembang. Kita percaya itu. Tetapi Thomas Piketty ini luar biasa. Dibantu oleh komputer jaman sekarang dia melihat tidak hanya income data yang sudah ada, tetapi juga melihat tax return (laporan pajak – semacam SPT), dan juga distribusi kekayaan (distribution
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
21
of wealth). Kita bisa melihat datanya, bahwa Gini Coefficient [Gini Coefficient adalah koefisien untuk menunjukkan distribusi pendapatan, ditunjukkan dengan angka 0 sampai 1. Angka 0 berarti pendapatan nasional dibagi rata untuk seluruh penduduk, sedang angka 1 adalah kondisi ekstrim pendapatan nasional hanya direbut oleh satu orang] dalam hal pendapatan akan berbeda sekali dengan Gini Coefficient in kekayaan. Kita bisa melihat bahwa ketimpangan dalam hal kekayaan jauh lebih mencolok dibanding ketimpangan pendapatan. Dan ini terjadi di Amerika, Eropa… pendek kata semua negara menghadapi masalah ini. Maka jelas masalah sosialnya besar sekali. Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Didin Damanhuri, dalam sesi diskusi menggarisbawahi masalah ketimpangan pendapatan ini. Didin mengatakan bahwa Gini Ratio pendapatan Indonesia sekarang ini sekitar 0.43. “Akan tetapi studi mahasiswa saya mengatakan Gini Ratio pendapatan kita sudah melampaui 0.5. Dan yang mengkhawatirkan, Gini Ratio pangan kita sudah mencapai 0,82. Tidakkah ini angka yang sudah alarming?” tuturnya dengan menambahkan bahwa Bangladesh memutuskan untuk memisahkan diri dari Pakistan terutama lantaran 15 keluarga sudah menguasai 80% perekonomian nasional. Risiko sosial yang lain adalah masalah demografi. Benar bahwa struktur demografi di Indonesia masih cukup bagus. Kita masih akan menikmati apa yang disebut dengan bonus demografi yakni kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif mencapai puncaknya, sedemikian rupa sehingga usia tidak produktif tidak terlalu membebani perekonomian. Kondisi Indonesia berbeda sekali dengan Jepang, Tiongkok dan Singapura. Generasi muda kita masih yang paling besar, dan akan menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Tetapi suatu saat nanti kita akan bisa seperti itu. Singapura sudah 15 tahun
22
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
kalang kabut menghadapi laju pertumbuhan penduduk yang begitu rendah. Pemerintah sudah memberikan insentif agar orang cepat menikah dan punya anak. Tapi anak sekarang mana mau? Tetapi yang menjadi masalah bagi Indonesia adalah human resource gap. Kualitas sumberdaya manusia kita masih sangat tertinggal. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa produktivitas buruh di Indonesia masih tergolong rendah – masih di bawah Filipina, Tiongkok, Thailand, apalagi Malaysia. Sementara itu dalam konteks satu negara, khususnya dalam hal kemudahan untuk memulai dan menjalankan bisnis, Indonesia berada di peringkat 120 dari 189 negara. Kalau peringkat kita masih di atas 100 dari 180-an, artinya there are still lots of things to catch up.
7 Proteksionisme Baru, Brexit, Penyalahgunaan Informasi
MENDISKUSIKAN geopolitik sama dengan mendiskusikan perubahan iklim. Tidak ada kesulitan bagi kita, karena semuanya terlihat sedemikian jelas, sehingga tidak ada lagi yang perlu diyakinkan. Dari semua yang jelas itu ada beberapa yang perlu untuk kita ingat, karena kita jelas-jelas berhadapan langsung dengan risiko itu. Pertama tentang apa yang terjadi di Amerika. Kalau kita mendengar pidato kampanye para calon presiden Amerika, terus terang semuanya mengerikan. Bisa jadi dalam kampanye itu biasa. Semua orang yang berkampanye harus memakai bahasa seperti itu. Tapi kalau yang mereka katakan itu sungguh terjadi, kita sungguh bisa dibikin susah. Sebagaimana sudah disinggung sekilas di depan, kecenderungan yang mengerikan itu adalah proteksionisme. Banyak orang Amerika sendiri yang dibuat terkejut oleh Donald Trump. Dulu mereka melihat Trump tak lebih dari sekadar salah satu orang kaya di Amerika. Semua orang mengatakan dia akan kalah dalam pemilihan presiden mendatang. Tetapi kita semua tahu, sekarang kekuatannya semakin tampak riil. Di selasela pertanyaan “bagaimana cara” mengalahkan Trump mulai terdengar pernyataan “bagaimana mungkin” mengalahkan dia. Nah, kalau dia beneran jadi presiden bagaimana? Ini sudah
24
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
menjadi keprihatinan seluruh dunia. Yang lebih jadi masalah adalah bahwa Trump memukul gendang, dan para lawan politiknya ikut menari. Tampaknya semua lawan politik Trump, baik dari Partai Republik sendiri maupun dari Partai Demokrat, menjadi salah tingkah pada jargon yang diusung oleh Trump, “America First”. Tentu saja mereka harus pintar-pintar bermanuver agar mereka tidak dituduh berprinsip sebaliknya, “America Later”, atau bahkan “Non-America First.” Sebut saja Bernie Sanders dari Partai Demokrat. Tentang Trans-Pacific Partnership (TPP), misalnya, dia menempatkan diri berseberangan dengan Obama. Dia mengatakan, “Obama sudah melakukan banyak hal yang luar biasa, tetapi menyangkut TPP saya tidak setuju dengan dia.” Artinya, dalam hal TPP Sanders berada dalam satu kubu dengan Trump. Dia mengatakan di awal pemerintahan Obama, Amerika menderita defisit perdagangan sebesar US$1,4 triliun dan peningkatan pengangguran 800 ribu orang per tahun. “Tapi Obama sudah bekerja sangat baik menciptakan lapangan kerja.” Harus diakui, Sanders orang yang konsisten. Sejak awal dia selalu menentang aneka kebijakan perdagangan bebas. Dalam satu sidang parlemen tahun 1999 dia mengambil suara menentang memberikan status Most Favoured Nation (MFN) kepada Tiongkok, dan tahun berikutnya juga menentang rencana skema Permanent Normal Trade Relations dengan negara tirai bambu itu. Orang seperti Hillary Clinton pun, yang punya lebih banyak pengalaman, terpaksa harus meladeni. Akibatnya Clinton pun terprovokasi dengan mengatakan tidak mendukung TPP. Padahal dia adalah bagian dari tim Obama untuk negosiasi TPP. Tetapi dalam serangkaian kampanyenya dia berkata, “Saya mendapatkan info baru dan berubah pikiran. Saya menentang
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
25
TPP.” Tentu saja kalimat itu didahului dengan, “Well, actually, I have been very consistent.” Terkait dengan perdagangan bebas, yang selalu dikatakan oleh Hillary dalam kampanye terakhirnya adalah perlunya membela kepentingan pekerja dan pembentukan lapangan kerja Amerika. Padahal dalam konvensi berebut kursi capres melawan Obama dia selalu membela perdagangan bebas dengan argumen yang sama: keyakinan akan surplus perdagangan dan pembentukan lapangan kerja. Jadi memang kita diperhadapkan pada risiko itu. Siapapun yang akan menjadi presiden Amerika nanti, sikap proteksionistis itu akan ada. Kedua, yang tidak kalah mencemaskan adalah kalau Brexit menjadi kenyataan. Hari-hari ini London tiba-tiba heboh oleh euforia bahwa mereka memiliki seorang walikota muslim. Ini berita baik untuk dunia. Tapi kalau nanti bulan Juni terjadi Brexit, ini kan akan menimbulkan kekacauan. Dan kecenderungan itu bisa saja terjadi. Kita tidak tahu persis, tapi mungkin saja. Mudah-mudahan tidak. [Catatan editor: ketika naskah laporan ini ditulis referendum di Inggris sudah dilaksanakan, dan pemenangnya adalah pro Brexit, yakni Inggris keluar dari Uni Eropa. Dan yang dicemaskan itu pun mulai terjadi. Di Inggris sendiri terjadi guncangan, ditandai dengan jatuhnya nilai tukar pound sterling terhadap dollar, euro dan yen sebesar 11 persen selama dua pekan sejak referendum. Bukan hanya berdampak pada ekonomi, ketegangan politik pun mulai terasa. Dua pekan setelah referendum Brexit, Pakta Pertahanan Atlantik Utara – NATO, mengirimkan pasukan ke empat negara: Polandia, Ukraina, Latvia, dan Estonia, untuk mencegah “kemarahan Russia.” Tak kurang dari 1200 pasukan dalam empat batalion dikerahkan di sana. Presiden Obama menyebut langkah ini sebagai “pengerahan pasukan terbesar sejak perang dingin”.] Ketiga, yang cukup dekat dengan kita adalah kasus
26
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Panama Papers. Ada dua issue yang terkait dengan hal ini. Pertama adalah soal bagaimana kita memandang dana offshore. Dalam masyarakat beredar satu pandangan bahwa semua dana offshore itu jahat, hasil korupsi. Saya tidak bermaksud untuk membela para koruptor. Tapi kita harus meluruskan asumsi yang keliru. Tentu dalam offshore assets itu ada yang colongan. Tapi tidak semuanya. Yang kedua adalah sisi penyalahgunaan informasi. Panama Papers ini adalah bagian dari potret besar penyalahgunaan informasi. Sebagaimana kita ketahui bersama dalam belasan tahun terakhir muncul begitu banyak kasus penyalahgunaan informasi. Ada begitu banyak kasus pencurian informasi, dengan berbagai macam modus, dengan berbagai macam tujuan. Ada yang tujuannya tampak sangat mulia – demi keterbukaan publik, ada yang tujuannya politis, tapi tak jarang juga yang tujuannya adalah ekonomi – keserakahan. Dulu ada istilah “how to lie with statistics”, dan sekarang situasi seperti itu masih terjadi.
8 Risiko Teknologi di Tengah Berkembangnya Budaya Serakah
SEBUAH bank sentral bisa kebobolan senilai lebih dari 100 juta dollar, betapa tidak mengerikan? Kita tentu ingat kasus yang menimpa Bank Sentral Bangladesh pada awal Februari 2016 silam. Hari itu di Federal Reserve New York ada 30 perintah transfer dari rekening Bank Sentral Bangladesh senilai 951 juta melalui SWIFT ke sejumlah rekening. The Fed mengaku sempat mencoba melakukan konfirmasi, tetapi tidak ada pejabat Bank Sentral Bangladesh di kantor, karena hari itu hari Jumat, hari libur di Bangladesh. Sebagian transaksi sudah mulai berjalan, sampai ada peringatan dari Srilanka, karena ada kesalahan penulisan nama tujuan salah satu transfer. Transaksi dihentikan, tetapi US$81 juta sudah tertransfer ke rekening di Filipina dan masuk ke kasino, dan US$20 juta sudah tertransfer ke satu rekening di Srilanka. Hingga saat ini masalah tersebut belum selesai. Di Filipina dana tersebut masuk ke tiga kasino besar, yang kemudian memindahkan dananya ke broker pasar gelap yang memindahkan dananya keluar Filipina. Sementara itu The Fed mengaku tidak bersalah, karena tidak ada sistemnya yang dirusak. Menurut SOP The Fed, transaksi yang terjadi adalah transaksi yang sah dan normal. Saya kira risiko teknologi bukan hanya soal breakdown,
28
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
walaupun risiko breakdown tetap ada. Kita semua sudah tergantung pada teknologi, sehingga begitu ada breakdown kita langsung merasa menghadapi masalah besar. Itu breakdown yang disebabkan oleh kecelakaan. Bagaimana dengan breakdown yang disebabkan oleh kejahatan? Lihat yang terjadi dengan Bank Sentral Bangladesh. Transfer dana melalui SWIFT, kok bisa kecolongan, ini bagaimana? Saya kira yang terjadi dengan the Central Bank of Bangladesh itu memanfaatkan perbedaan waktu. Saat itu hari Jumat, di Bangladesh hari libur. Transfer terjadi pada waktu hari libur, sehingga pejabat bank sentralnya tidak ada. Waktu order transfer terbaca di New York dan akan dilakukan konfirmasi, tidak ada yang menjawab. Pada waktu hari berikutnya, di Bangladesh ada petugas yang mencoba mengecek, tetapi gantian di New York libur akhir pekan. Jadi pelakunya hebat sekali, sudah memperhitungkan semuanya. Tetap lolos, minimal sebagian, walaupun sebenarnya sudah ketahuan cukup dini. Kejahatan perbankan yang tak kalah mengerikan adalah Libor Scandal. Libor adalah kependekan dari London Interbank Offered Rate, yakni rata-rata sukubunga pasar uang antarbank di Inggris. Kita semua tahu, setiap hari selalu saja ada praktik pinjam meminjam antara bank yang satu dengan bank yang lain. Selama ini Libor selalu menjadi patokan sukubunga di hampir seluruh dunia, bahkan bukan hanya antarbank, tetapi juga antara bank dengan sektor industri. Sangat biasa kita mendengar kesepakatan kredit dengan bunga sekian poin di atas atau di bawah Libor. Tidak kurang dari US$350 triliun kredit dan derivatif di seluruh dunia merujuk pada sukubunga Libor. Skandal Libor sudah terjadi berkali-kali. Yang terungkap saja minimal terjadi pada 2005, 2007, 2008, dan 2012. Skandal ini terjadi dengan modus dan tujuan yang sama: umumnya mereka mengumumkan data palsu demi keuntungan para pelaku pasar
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
29
derivatif yang menjadi “mitra kolusi” mereka. Barclays Bank, pelaku dalam skandal 2012, dikenai sanksi lebih dari 400 juta dollar dan 60 juta pound sterling. CEO maupun chairman-nya pun akhirnya mengundurkan diri. Sementara itu UBS, dalam kasus yang sama, membayar denda hingga US$1,5 miliar. Masalahnya, dalam skandal yang sebelumnya mereka juga sudah didenda. Sekadar untuk diketahui, pada 2005 dan 2009 pelaku Libor Scandal-nya juga para trader Barclays. Kalau pengadilan mendenda, kan pelakunya juga berjanji, bahwa tidak akan melakukannya lagi. Kurang lebih begitu. Tapi kok terjadi terus terusan ini gimana sih. Ini tantangan bagi semua bank sentral dunia. Insider trading kok terjadi terus. Libor itu juga gila, kan? Kalau saya curiga dengan Libor scandal, karena ketika hal itu terjadi sebenarnya otoritas moneternya diuntungkan. Libor ditentukan oleh belasan bank Inggris. Setiap hari mereka menentukan berapa suku bunga overnight kalau mereka mau pinjam dari bank lain. Nah, waktu membuat laporan, banyak bank yang laporannya tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Suku bunga yang mereka laporkan lebih rendah dari yang senyatanya. Ini menyenangkan otoritas moneter, bukan? Mereka bisa bilang, “Lihat, ekonomi baik-baik saja, buktinya sukubunga di pasar rendah.” Sekali lagi, kalau hal seperti ini terjadi terus menerus, artinya apa? Dalam industri keuangan, sebagaimana kita ketahui, masih ada lagi skandal skema Ponzi. Dan yang paling hebat adalah yang terjadi dalam kasus Madoff, yang sudah dijatuhi vonis 150 tahun penjara. Sebagaimana diketahui, pada Desember 2008, Bernard Madoff dijatuhi hukuman penjara selama 150 tahun, karena terbukti melakukan kejahatan keuangan melalui skema Ponzi. Skema Ponzi dikembangkan oleh Charles Ponzi pada
30
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
1920. Dalam skema ini, kepada calon investor dijanjikan imbal hasil yang sangat menarik, bahkan ada yang menjanjikan titik impas kurang dari dua tahun. Pada awal periode biasanya “investor awal” akan mendapatkan pengembalian sesuai janji, yang dibayarkan oleh pengelola dari “investor berikutnya” dan “berikutnya lagi”. Bernard Madoff juga melakukan hal yang sama, hingga suatu ketika harus berurusan dengan hukum karena terbukti melakukan bisnis dengan skema Ponzi, dengan total kerugian riil ribuan investor hingga US$18 miliar. Pergerakan Madoff selama ini tak terdeteksi oleh otoritas karena dia adalah dedengkot pasar uang di Amerika, dengan kinerja yang dinilai profesional. Tahun 60an dia menjadi chairman bursa Nasdaq. Pada era itu dia juga memiliki satu perusahaan sekuritas, Bernard L. Madoff Investment Securities, yang terdaftar di bursa Wall Street. Soal Madoff-nya sendiri oke… dia sudah dihukum lebih dari 150 tahun. Tapi yang membuat saya prihatin dan menyebabkan saya berkali-kali menulis kolom adalah soal berkembangnya kultur serakah dalam masyarakat kita. Pembobolan bank sentral, skandal Libor, skema Ponzi, insider trading… itu semua memperlihatkan berkembangnya kultur serakah. Yang harus diwaspadai adalah bahwa perkembangan teknologi yang sedemikian pesat juga mungkin sekali digunakan oleh para pelaku kultur serakah itu.
9 Indonesia di Bawah Payung 3 Blok Perdagangan
ADA dua blok perdagangan yang dicermati dengan harapharap cemas karena posisi Amerika Serikat dan Inggris. Kedua blok perdagangan itu adalah Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Trans-Atlantic Trade and Investment Partnership (TTIP). Yang pertama sudah ditandatangani pada Februari 2016 lalu, sedangkan yang kedua, pada saat naskah ini disunting, masih berada pada babak akhir negosiasi. TPP diawali pada 2005 oleh empat negara, Singapura, Brunei, Chile, dan Selandia Baru. Negosiasi antar empat negara itu sendiri bermula dari ketertarikan Brunei dan Chile pada kerja sama eksklusif Singapura dengan Selandia Baru. Tetapi dalam perjalanan waktu ada sejumlah negara tepian Pasifik yang ikut bergabung: Amerika Serikat, Australia, Peru, Kanada, Vietnam, Malaysia, Mexico, dan Jepang. Karena saya berada di Singapura, saya tahu bagaimana alot dan detilnya negosiasi mereka. Bidang yang membuat negosiasi berjalan lambat adalah soal pertanian, hak dan kekayaan intelektual, jasa, dan investasi. Itu sebabnya blok kerja sama yang ditargetkan untuk bisa dimulai pada 2012 akhirnya baru menyelesaikan negosiasi pada akhir 2015 dan ditandatangani awal 2016. Terkait dengan masa depan TPP, yang belum jelas adalah posisi Amerika Serikat. Ada kemungkinan AS akan mundur,
32
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
karena semua kandidat presiden sudah secara terbuka mengatakan akan mundur dari TPP, termasuk Hillary Clinton yang semula ngotot membawa Amerika masuk dalam pakta perdagangan tersebut. Tiongkok, yang de facto adalah mitra dagang terbesar setiap anggota TPP, saat ini belum bergabung di sana. Tetapi bukan tidak mungkin Tiongkok akan bergabung, karena TPP pasti juga sangat penting bagi negara itu. Korea Selatan juga berada pada posisi yang sama. Saat ini belum bergabung, tetapi tampaknya ini hanya soal waktu saja. Sementara itu pada kawasan yang tumpang-tindih dengan TPP sedang digodok satu blok perdagangan yang lain: Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Blok perdagangan yang disepakati dalam pertemuan di Phnom Penh pada November 2012 ini beranggotakan 10 negara Asean ditambah dengan Tiongkok, Australia, India, Jepang, Korea Selatan dan India. RCEP merupakan satu kawasan ekonomi yang di atas kertas sangat kuat. Jumlah penduduk di kawasan itu mencapai tiga miliar jiwa, dengan total produk domestik bruto sebesar US$21,3 triliun. Diperkirakan pada 2050 total PDB di kawasan ini akan menjadi US$100 triliun, hampir dua kali lipat dari proyeksi PDB TPP pada tahun yang sama. Bukan hanya itu. Pada kawasan yang sama, Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) juga mencoba melangkah lebih jauh, dengan membentuk forum perdagangan bebas, Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP). Pembentukan blok perdagangan ini disepakati dalam pertemuan APEC di Hanoi pada 2006, sebagai respon atas lambatnya Negosiasi Putaran Doha dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebagaimana kita tahu, secara geografis maupun keanggotaan ada tumpang tindih antara ketiganya, walaupun tidak semua negara terlibat di ketiganya. Kalau melihat nada yang muncul dalam kampanye pemilihan presiden, ada kemungkinan Amerika Serikat akan mundur dari dua: TTP dan FTAAP. Para kandidat
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
33
memang selalu bicara soal TTP dan tidak berbicara soal FTAAP. Tapi kalau melihat argumen yang dikemukakan dan mereka setia pada argumen itu, sangat mungkin mereka akan mundur juga dari FTAAP. Trump, misalnya, sangat spesifik bicara soal perlunya menjaga Amerika dari Tiongkok. Kalau benar alasan itu, mestinya FTAAP lebih perlu dikhawatirkan dibanding TTP. Tiongkok juga terlibat di dua dari tiga blok itu, yakni RCEP dan FTAAP. Tetapi bisa jadi itu bersifat sementara. Kalau dinilai menguntungkan, ada kemungkinan mereka juga akan bergabung dengan TPP. Apalagi TPP sendiri menyatakan diri sebagai blok yang masih sangat terbuka. “Kesepakatan TPP is living agreement,” demikian salah satu pernyataan TPP. Sementara itu Indonesia diperkirakan juga akan bergabung dalam TPP. Bapak presiden sudah mengatakan akan kita akan bergabung. Pertanyaan saya, are we prepared? Apakah kita sudah melakukan pekerjaan rumah kita? Saya kebetulan tinggal di Singapura, sehingga bisa mengetahui betapa detilnya mereka menegosiasikan TPP. Zaman masih di Kementerian Perdagangan, saya merasa sudah detil dalam mengurus hal seperti ini. Tapi itu pun jauh lebih simpel dibanding yang sekarang. Menjadi negosiator seperti ini sedemikian susahnya karena mereka harus menjadi semacam researcher karena dokumen yang harus dipelajari banyak sekali. Saya beruntung bahwa pekerjaan pertama saya adalah sebagai researcher. Saya orang LIPI. Setelah pindah juga menjadi ekonom. Jadi tidak pernah keluar dari dunia tadi. Tapi di samping sebagai researcher dia juga harus memiliki kapasitas sebagai seorang diplomat, karena harus menegosiasikan dengan yang lain. Dan yang lebih berat lagi, in the end you have to understand about legal. Sebab begitu menjadi dokumen, it is a legal document. Jadi ini kombinasi antara: economic researcher, trade researcher, diplomacy, and
34
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
at the end you have to produce legal document. Jadi, bergabung ke mana pun, ini sungguh bukan sesuatu yang main-main.
10 Menghadapi Pasar yang Terus Berubah
KALANGAN bank sentral di mana pun saat ini pasti mencermati berbagai perkembangan yang sedang terjadi dalam industri keuangan. Kita semua perlu mencermatinya karena belum jelas kemana arah perkembangan itu. Yang pertama adalah isu yang menonjol yang ingin saya sampaikan, yaitu paradoks antara perkembangan universal banking dengan branch banking. Di berbagai belahan dunia industri keuangan sedang melaju ke arah universal banking, yakni layanan perbankan yang komprehensif, mulai dari layanan tabungan, deposito, kredit, investasi, pasar uang, sampai dengan asuransi. Jika ini diaplikasikan di Indonesia, maka universal banking adalah kombinasi antara bank konvensional, bank investasi, dan bisnis asuransi. Di Indonesia praktik ini sudah berkembang. Perbankan bukan hanya tempat menabung dan mendapatkan kredit, tetapi juga sudah menjadi tempat menjual reksadana dan asuransi (bancassurance). Yang terjadi di Indonesia hanyalah bagian dari yang sedang terjadi di dunia. Tetapi hari-hari ini di jalur politik Amerika sedang terjadi gerakan untuk membendung praktik dan perkembangan universal banking itu. Adalah Senator Elizabeth Warren dan Capres Bernie Sanders yang berteriak bahwa praktik universal banking harus dihentikan, dan Amerika harus kembali pada Glass
36
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Steagall Act. Glass Steagall Act adalah istilah untuk menyebut Undang-Undang Perbankan di Amerika yang diluncurkan pada 1933. Undang-undang ini mengatur bahwa bisnis bank komersial (baca di Indonesia: bank konvensional) dan bank investasi harus terpisah. UU ini diikuti terus hingga pada 1998 terjadi afiliasi antara bank komersial Citibank dengan bank investasi Salomon Smith Barney. Presiden Bill Clinton waktu itu mengatakan bahwa, “The Glass-Steagall law is no longer appropriate.” Kepada para pendukungnya Liz Warren mengatakan bahwa “memecah bank besar” adalah bagian dari program reformasi Wall Street yang diperjuangkannya. Menurut Warren, pendukung kuat Hillary Clinton, bank besar cenderung berusaha memperlemah hukum, mencari-cari celahnya, dan bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Sanders juga punya keprihatinan yang sama. Menurut dia Amerika perlu kembali ke Glass Steagall Act karena bank yang too big to fail umumnya semakin berisiko tetapi juga paling tidak bisa diatur; dan bank pada skala itu bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Tentang yang terakhir ini Sanders mengatakan, pada 2015 para pelobi dari satu raksasa perbankan, di menit-menit terakhir berhasil menyisipkan sesuatu pada APBN. Yang kedua adalah berkembangnya praktik high frequency trading (HFT). Kita mengenal Michael Lewis, seorang wartawan ekonomi kawakan yang terkenal dengan bukunya The Big Short. Saya membaca buku wartawan ini untuk mendahului akademisi. Biasanya akademisi menulisnya agak terlambat. Bacalah tulisan para financial reporter yang beneran. Seperti Michael Lewis ini. Kita memang perlu pilah-pilah, mana yang isi, mana yang hanya mendramatisir. Tapi kan kita tahu mana yang benar mana yang tidak. Pada Maret 2014 lalu Lewis meluncurkan buku berjudul The
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
37
Flash Boys. Buku non fiksi ini bercerita tentang beberapa tokoh termasuk Sergey Aleynikov, mantan programmer Goldman Sachs, Bradley Katsuyama, salah seorang pendiri IEX, sebuah bursa saham online yang berambisi mengalahkan Wall Street. Buku ini dimulai dengan kisah pembangunan jaringan serat optik sejauh lebih dari 1200 kilometer Dari Chicago ke New Jersey. Bentangan kabel dibuat selurus mungkin demi memperpendek jarak, agar kecepatan data bisa ditingkatkan dari 17 menjadi 13 milidetik. Bisa ditebak, proyek senilai US$300 juta ini dimaksud untuk menghubungkan pasar uang Chicago dan New York. Pertanyaannya, untuk apa semuanya itu? Semuanya hanya masuk akal kalau kita memahami praktik yang disebut dengan high frequency trading (HFT), yaitu sistem perdagangan finansial berskala sangat besar yang berjalan secara otomatis. Sistem ini berjalan pada bursa saham dan keuangan tanpa warkat (scripless), secara online. Order jual maupun beli atas saham atau produk keuangan tertentu, misalnya, bisa diset sebelumnya, pada harga tertentu, pada volume tertentu. Maka begitu ada penawaran saham termaksud, bisa jadi akan ada sepuluh atau seratus mesin yang akan memperebutkan saham itu. Maka pemenangnya adalah mesin atau sistem yang memiliki akses terhadap kecepatan; dan yang saat ini memiliki kapasitas seperti itu, menurut Lewis, adalah bank-bank besar di Wall Street. Pemenangnya adalah yang besar. Itu sebabnya kemudian Katsuyama dan teman-temannya, selain membangun data super-highway tadi, juga membangun Investors’ Exchange (IEX), bursa saham maya yang diklaim lebih transparan dan lebih adil bagi semua pihak (emiten, broker, investor) dibanding Wall Street. Praktik HFT sekarang sudah berkembang dengan sangat pesat, termasuk di Indonesia. Banyak pialang online yang sudah memiliki fasilitas yang memungkinkan praktik itu.
38
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Yang ketiga, modernisasi dan “demokratisasi” bukan hanya terjadi di pasar investasi, tapi juga di pasar pinjaman. Sekarang ini juga berkembang yang disebut dengan peer to peer lending. Internet memang memberi kesempatan banyak orang berkreasi, termasuk dalam bisnis keuangan. Baik di tingkat dunia maupun nasional sekarang menjamur praktik peer to peer lending. Dalam mekanisme ini, pemilik dana bisa langsung bertemu dengan pengguna dana tanpa harus melalui perbankan. Di tingkat global ada Lendingclub, Zopa, Peerform dll. Sedang di Indonesia ada Investree. Penggunaan dana bisa bermacammacam, mulai dari untuk kebutuhan konsumtif hingga produktif. Beberapa waktu belakangan banyak perusahaan besar yang mempunyai kas sangat berlimpah. GE misalnya. Jadi bagi mereka yang punya banyak dana ini, peer to peer lending pasti jauh lebih menguntungkan. Inilah sejumlah contoh yang pada hemat saya perlu diantisipasi dengan baik oleh para central-banker. Pasar bergerak begitu cepat, dan ini membutuhkan respon yang tepat.
11 Menghadapi Aneka Tantangan: No Single Paradigm
ADA TIGA ketidakpastian yang ingin saya garis bawahi pada bagian ini, yakni masalah perubahan sektor andalan, daya saing, dan great recession yang terjadi di banyak negara. Yang pertama adalah bahwa dulu kita mengandalkan pertumbuhan dari ekspor, dan kemudian ekonomi kita bertumpu pada konsumsi. Di masa lalu ekonomi kita sangat digerakkan oleh ekspor, khususnya ekspor komoditas. Pada awal era Orde Baru Indonesia sangat diuntungkan oleh ekspor minyak dan gas. Di tahun 80an ekspor non-migas mulai berkembang, yakni ekspor produk kehutanan, tekstil dan produk tekstil. Setelah itu kita juga mengalami booming ekspor batubara, khususnya ke RRT, ketika negara itu sedang giat membangun infrastruktur. Pada 2015 dan 2016, ekonomi Indonesia lebih mengandalkan pertumbuhan dari konsumsi dan investasi, karena lesunya pasar ekspor. Pada triwulan pertama 2016, misalnya, dengan pertumbuhan 4,92% year on year, sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah menjadi motor pertumbuhan. Di keseluruhan tahun diperkirakan situasinya kurang lebih akan sama, dibantu oleh sektor investasi, terutama investasi pemerintah di sektor infrastruktur. Problematika yang kedua, sebagaimana sudah dibahas pada bagian awal, adalah soal daya saing. Mau berbicara MEA
40
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
(Masyarakat Ekonomi Asean), TPP (Trans-Pacific Partnership) atau apapun yang lain, at the end adalah soal competitiveness kita. Persoalan yang ketiga adalah bahwa kita sekarang berada dalam konteks resesi global. Pada waktu yang lalu, ketika dunia berada dalam Great Recession, RRT masih tampil sebagai penyelamat. Negara itu sedang giat-giatnya membangun infrastruktur. Tetapi sekarang pembangunan sudah selesai, bahkan dengan kecenderungan melebihi kebutuhan. RRT sendiri sekarang sedang banting setir, mengandalkan konsumsi sebagai motor penggerak pertumbuhan. Bagaimana kita harus berhadapan dengan aneka tantangan ini? Saya senang menggunakan istilah eklektik. Saya penganut paham eklektik dalam menghadapi ketidakpastian. Ketika berbicara di hadapan senat guru besar dalam pidato guru besar saya, saya juga bicara soal eklektisisme. Eklektisisme adalah pendekatan konseptual yang tidak terpaku pada paradigma tunggal maupun asumsi-asumsi yang terbatas. Eklektisisme selalu terbuka pada berbagai teori dan kemungkinan untuk mendapatkan pemahaman dan solusi yang menyeluruh atas satu persoalan tertentu. Masalah ekonomi, misalnya, tidak cukup disandarkan pada teori-teori ekonomi tradisional, tetapi juga harus terbuka pada disiplin ilmu dan bidang yang lain. Dalam kenyataannya, perekonomian selalu terkait dengan masalah sosial, politik, teknologi, lingkungan dan sebagainya. Saya ini pemain tenis dari dulu. Dan saya selalu mengatakan bahwa eklektisisme itu seperti pemain tenis. Kalau Anda pemain tenis, anda harus siap setiap saat. Bisa maju, bisa mundur, bisa ke kiri, bisa kek kanan untuk menghadapi bola yang akan datang. Karena itu jangan membuat lompatan-lompatan yang terlalu besar. Kalau melompat terlalu besar Anda bisa jatuh
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
41
keseleo. You have to make small movement, but measured. Apa yang dalam dunia bisnis disebut dengan repositioning itu tidak pernah boleh dilupakan. Kalau kita tidak berlaku seperti itu, kita tidak pernah bisa bekerja di dunia yang terus berubah seperti sekarang ini. Saya tahu bahwa kebijakan zaman sekarang berbeda dengan zaman saya dulu. Zaman saya dulu lebih gampang karena dunia politik bisa dibilang lebih gampang diatur. Meyakinkan anggota DPR zaman sekarang juga jauh lebih susah dari zaman dulu. Tapi soal bagaimana meyakinkan pasar tidak ada bedanya. Pasar membaca bagaimana otoritas menetapkan kebijakan. Kalau pasar merasa bahwa kebijakan otoritas tidak firmed, mereka akan ragu-ragu. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, kita tidak sendirian. Ini adalah tantangan bagi semua sentral bank di seluruh dunia. Kalau saya menjadi Mario Draghi, saya pasti akan nervous sekali. Sudah mengatakan “whatever it takes we want to do it” dan sebagainya, tapi pasar belum juga sepenuhnya percaya. Sebagaimana diketahui pada Juli 2012, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB), Mario Draghi, menyampaikan dalam satu pidato di London, bahwa dia akan mengambil langkah apapun untuk menyelamatkan euro. Dalam jangka pendek, tepatnya sehari setelah pidato, pasar merespon dengan penuh gairah. Harga saham di London, Spanyol, Milan, dan Paris langsung naik. Bahkan indeks bursa Milan melonjak 5,6% dalam satu hari. Tetapi beberapa hari setelah itu pasar kembali lesu. Tetapi dia tidak menyerah. ECB meluncurkan program yang tidak konvensional, long-term refinancing operation (LTRO) yang diperbarui dengan program targeted long-term refinancing operation (TLTRO) dengan janji, “membeli berapa pun obligasi pemerintah dari perbankan.” Tetapi sayang, hasilnya juga belum begitu terasa. Setidaknya demikian yang terlihat dari kebijakan suku bunga negatif yang masih dijalankan.
42
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Padahal Mario Draghi, dulu disebut Super Mario (diambil dari nama tokoh fiksi Mario Bros ciptaan Nintendo) karena dianggap bisa mengatasi persoalan politik yang sangat rumit ketika dia menjadi gubernur bank sentral Italia. Tapi bisa jadi memang tidak mudah untuk melakukan apa yang dikatakannya sebagai “whatever it takes”. Kenapa susah, karena situasinya juga sedemikian kompleksnya sehingga untuk membacanya saja jauh lebih sulit dibanding melakukannya di masa lampau. Karena itu tidak bisa tidak kita harus fleksibel. Kita harus melakukan pendekatan yang holistik. Saya senang dengan pidatonya James D Wolfensohn tentang The Other Crisis. Pidato itu disampaikan pada Oktober 1998, ketika krisis Asia Tenggara termasuk Indonesia baru saja terjadi. Dia mengatakan, untuk mengatasi krisis tersebut, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, bukan pendekatan finansial semata. “Kita harus belajar berdebat sedemikian rupa sehingga matematika tidak mendominasi kemanusiaan… perubahan yang drastis harus diimbangi dengan perlindungan bagi kaum miskin,” kata Wolfensohn. Setiap persoalan harus diselesaikan bersama-sama. Paling tidak, jelaskan persoalannya pada semua pihak.
12 Sektor Ekonomi Jangan Takabur
EKONOM itu sering takabur. Saya mudah mengakui: yes I am macro economist, yes I am a development economist, yes I am trade economist, tapi saya tahu ada banyak hal di bidang saya sendiri yang tidak bisa saya prediksi. Ketika terjadi krisis 1997/98, ada begitu banyak ekonom yang menyampaikan kritik. Dari sudut padang keilmuan saya bisa bilang bahwa banyak kritik yang bagus, tapi juga banyak yang ngawur. Tapi begitulah demokrasi. Takabur sekali untuk mengatakan bahwa semua yang terjadi bisa diprediksi. Sayangnya, mereka yang punya keyakinan seperti itu punya rujukan teorinya. Lihat misalnya efficient market hypothesis (EMH)-nya Eugene Fama. Dia mengatakan bahwa harga saham di bursa selalu merefleksikan seluruh informasi yang terkait dengan saham tersebut. Karena itu harga saham tidak pernah terlalu mahal atau terlalu murah. Artinya, Fama membela pendapat bahwa semuanya bisa diukur dan diperhitungkan. Semuanya adalah soal probabilitas, yang karenanya bisa dihitung. Dalam dunia keuangan keyakinan ini diteguhkan dengan istilah calculated risk. Takabur sekali. Saya lebih percaya bahwa ada yang improbable. Sesuatu yang di luar probabilitas, yang disebut dengan fenomena Black Swan. Adalah Nassim Nicholas Taleb, seorang pialang saham yang mendapatkan gelar MBA dai Wharton University dan gelar Ph.D. dari University of Paris, yang menulis satu buku berjudul
44
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Black Swan. Dia mengakui bahwa di sejumlah hal probabilitas itu ada, sehingga perlu dipelajari. Tetapi yang improbable juga banyak: peledakan menara kembar WTC, kehancuran Rusia, krisis Asia, Meledaknya buku Harry Potter, meledaknya Google dan sebagainya. Semua itu adalah kejadian yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Begitu sulit untuk memprediksi terjadinya Black Swan. Tapi tidak hanya itu saja. Jauh-jauh hari John Meynard Keynes sudah mengingatkan kita bahwa tidak segala-galanya adalah probabilitas. Lebih mudah bagi kita untuk memercayai Keynes karena sebelum menjadi ekonom dia adalah ahli statistik. Dia adalah matematikawan. Sebelum menulis ekonomi, Keynes lebih dulu menulis naskah-naskah tentang teori probabilitas. Tetapi dia mengingatkan, terutama setelah menjadi ekonom, bahwa tidak semuanya adalah probabilitas. Dia masih memperhitungkan ketidakpastian, sesuatu yang tidak pernah bisa kita ketahui sebelumnya. Imperatif untuk tidak takabur diperkuat lagi oleh berbagai perkembangan mutakhir yang mengejutkan, yang membuat kita tergagap. Itu sebabnya saya senang memelajari yang anehaneh supaya ekonomi tidak menjadi dismal science, ilmu kuno yang tak lagi berhubungan dengan masa kini. Anda pasti mengenal George A. Arkelof, suami dari Janet Yellen, yang kini menjadi Chairwoman Bank Sentral Amerika, The Fed. Arkelof sendiri adalah pemenang hadiah Nobel bidang ilmu ekonomi pada 2001. Belum lama ini bersama Robert Shiller dia menulis buku berjudul Phishing for Phools. Phising adalah eufemisme dari fishing, dan biasa dipakai dalam dunia online – misal memancing (mencuri) data kartu kredit. Sedang phools bermakna superlatif dari fool, bodoh. Phising for Phools adalah praktik yang umum terjadi di dunia industri, yakni memancing orang untuk melakukan tindakan-tindakan super bodoh. Tindakan paling bodoh yang dimaksud adalah ketika konsumen
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
45
membeli barang dan jasa yang tidak riil dibutuhkan. Phools yang paling klasik adalah bahwa Hawa terpancing makan buah terlarang, dan kemudian menyesal telah melakukan hal bodoh. Di toko-toko modern, di sekitar kasir selalu ada barangbarang “aneh”, sehingga kita membeli karena tiba-tiba merasa perlu. Kita memakai smartphone dengan berpuluh-puluh fitur canggih, padahal kita hanya menggunakan tiga atau empat fitur saja. Jadi kita mendapatkan tools yang tidak kita butuh; membeli barang yang memang ada gunanya, tapi nggak perlu; mendapatkan informasi yang kita nggak butuh. Jaman saya kecil ada iklan sabun yang bilang bahwa sabun itu dipakai oleh delapan dari 10 bintang film. So what… Nah risiko being phished atau being phooled ini saya kira peringatan terakhir untuk kita supaya tahu persis bahwa di dunia yang dipenuhi dengan Facebook, Instagram dan social media lainnya ini sudah terjadi banjir informasi. Kita terima semua informasi, termasuk informasi yang tidak berguna. Ada informasi yang berguna itu pasti, tapi banyak lagi yang tidak berguna, bahkan menyesatkan. Tapi karena ada yang menerima, yakni the phools, maka kemudian terjadi ekuilibrium. Informasi sampah diterima oleh orang bodoh. Di sini terjadi ekuilibrium baru, tapi bukan ekuilibrium Adam Smith. Karena itu bagi saya ini adalah soal komunikasi. Pada Phishing for Phools, komunikasi itu memang dengan sengaja dimanipulasi. Komunikasi disampaikan sedemikian rupa sehingga pihak sasaran terperangkap masuk dalam jebakan. Itu sebabnya Arkelof dan Shiller pada bukunya tadi memberi subjudul: An Economic of Manipulation & Deception. Dalam karut-marut komunikasi modern yang semacam itu, tantangan berat dihadapi oleh mereka yang tujuan komunikasinya murni, jauh dari manipulasi. Bagi Anda para central bankers,
46
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
ini adalah sebuah tantangan… bagaimana Anda pesan-pesan Anda bisa dimengerti dan dipahami. Pesan yang dimengerti dan diterima adalah jalan bagi kita untuk bisa dipercaya.
13 Krisis Moral di Pasar Finansial
TIGA tahun setelah reformasi di bursa Wall Street, survei membuktikan bahwa krisis moral masih terjadi di sana. Reformasi yang dimaksud adalah diundangkannya The Dodd– Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act pada 2010, dan survey yang dimaksud adalah yang dilakukan oleh Labaton Sucharow. Dodd-Frank Act diluncurkan di Amerika Serikat sebagai respon atas krisis subprime mortgage pada 2007, yang efeknya berlanjut hingga 2010. Krisis itu sendiri dimulai dengan jatuhnya harga properti, dimulai sejak 2006 dan mencapai titik terendahnya pada 2008, sehingga banyak kredit yang bermasalah. Dari semua jenis kredit, yang paling terdampak adalah kredit perumahan untuk nasabah yang sebenarnya kurang layak kredit (subprime mortgage), dan ini menyeret banyak lembaga keuangan ke dalam krisis. Karena krisis ini Bank Sentral Amerika, The Fed, harus mengucurkan dana bailout sebesar US$700 miliar pada 2008. Tetapi pada 2015 Forbes melaporkan bahwa jumlah riil dana bailout mencapai lebih dari US$16 triliun komitmen, US$4,6 triliun di antaranya sudah dicairkan. Publik Amerika tentu saja kecewa bercampur marah. Sudah krisis, banyak investasinya yang berantakan, dan dana pajaknya dipakai untuk melakukan bailout. Itulah yang menjadi semangat utama diluncurkannya Dodd-Frank Act, untuk melindungi konsumen dan mencegah penggunaan dana publik. Aturan
48
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
perundangan itu juga diklaim telah memperketat standar kehatihatian praktik perbankan dan keuangan. Apakah aturan perundangan itu sudah membuat pasar berperilaku lebih “lurus”? Itu yang mau dibuktikan oleh Labaton Sucharow, sebuah firma hukum berbasis di New York dalam surveynya pada 2013. Sebanyak 250 orang pelaku pasar di Wall Street menjadi responden dalam survei itu. Dan hasilnya sedemikian menyedihkan: Wall Street menghadapi krisis etika. Hanya 36% dari responden yang mengatakan bahwa Wall Street menjadi lebih baik setelah Dodd-Frank Act. Tak kurang dari 24% responden mengatakan akan melakukan praktik insider trading kalau untuk itu mereka bisa segera keluar bursa membawa US$10 juta. Bahkan terkait pertanyaan terakhir tadi, prosentasenya berubah menjadi 38% jika respondennya dibatasi pada mereka yang bekerja di bursa kurang dari 10 tahun. Lebih muda, lebih greedy. Apakah sektor jasa keuangan menempatkan kepentingan nasabah sebagai prioritas utama? Yang menjawab ya hanya 28%. Sementara itu 52% responden yakin bahwa karyawan perusahaan pesaing, di sektor keuangan, melakukan kecurangan, dan 24% yakin karyawan di dalam perusahaan mereka sendiri melakukan hal yang sama. Jadi, mayoritas mengatakan bahwa tidak ada perubahan tuh di Wall Street. Padahal Wall Street mengaku sudah melakukan banyak aturan baru setelah 2010. Tapi kebanyakan bilang nothing has changed. Lihat, betapa tidak idealnya pasar. Saya tidak mendorong kita semua untuk menjadi moralis. Atau paling tidak bukan ke jurusan itu saya ingin mendorong Anda. Tapi minimal kita menyadari bahwa semua ini akan sangat mudah terjadi. Kembali ke Glass Steagall SAYA terus terang mengikuti apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika Goldman Sachs dipanggil oleh senat. Tidak
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
49
satu pun dari tujuh orang yang dipanggil itu yang bankir. Mereka semua trader. Maaf, saya memang membedakan antara bankir dengan trader. Trader dalam dunia keuangan makin lama makin penting. Pelakunya makin banyak. Remunerasinya makin besar. Tapi kenyataannya, segala macam skandal dalam dunia perbankan dilakukan oleh trader. So we have to be concerned about it. Itu sebabnya senator yang tadi kita sebut, “Lets go back to Glass Steagall.” Sebenarnya kalau Anda mau jadi trader, silakan. Tapi praktik itu mesti berada di luar ranah otoritas moneter. Artinya kalau nanti ada sesuatu, tidak perlu ada bailout. Saya rasa di Indonesia hal itu sudah semakin disadari oleh berbagai pengalaman. Komentar saya begini. Saya sudah capek jadi orang jawa, jadi lebih baik saya berterus terang. Bahwa sekarang sepertinya semuanya sudah akur, bahwa kita tidak akan menggunakan uang pajak untuk melakukan bailout. Tapi ujiannya adalah jika krisis terjadi… apa yang akan Anda lakukan? Dulu waktu tahun krisis datang pada 97/98, ada anggota direksi yang datang dan mengatakan, “Pak ada empat lima bank yang kalah kliring.” Kita tidak bisa pura-pura nggak mendengar, bukan? You have to make decision. Boss saya waktu itu bilang jangan menutup bank. Kalau nggak bisa ditutup terus apa solusinya? Saya challenge teman-teman dari fakultas, “Kalau Anda di sini, pada posisi saya, apa yang akan Anda lakukan? You cannot stay still. Anda tidak bisa tinggal diam.” Bayangkan situasinya. Pagi ada yang bilang lima kalah kliring. Sore sebelum pulang ada yang bilang lagi, “Pak, ada tujuh yang kalah kliring.” Pada saat yang sama ada perintah untuk tidak menutup bank. So you cannot stand still. Akhirnya waktu kita membantu, tetapi memang ada yang
50
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
kacau dan sebagainya. Kepada para penegak hukum saya bilang, tugas bank sentral waktu itu seperti paramedik. Saya melihat kecelakaan. Ada yang perlu oksigen, ya kita kasih oksigen. Ada yang perlu darah, kita kasih darah. Ketika kita ngasih oksigen, kita tidak bertanya apakah sopirnya punya SIM. Kita juga tidak tanya penumpangnya orang baik atau orang keluar dari penjara. Yang kita lakukan adalah menyelamatkan hidup orang. Setelah selesai ternyata memang sopirnya nggak punya SIM. Ternyata penumpangnya adalah para residivis. Tapi itu kemudian. Sorry, I don’t know that. Tetapi syukurlah bahwa di Indonesia tidak ada berita seperti ini. Tapi sekali lagi, kita tidak akan pernah tahu.
14 Daya Saing: Kesenjangan Infrastruktur & SDM
PADA abad 21 ini, yang akan menentukan pertumbuhan bukanlah faktor modal, tetapi faktor sumberdaya manusia. Demikian yang diyakini oleh World Economic Forum dalam laporannya pada 2015. Kualitas sumberdaya manusia akan menentukan tiga hal paling perlu diperhatikan di abad ini, yakni inovasi, daya saing, dan pertumbuhan itu sendiri. Permasalahannya adalah bahwa secara global sedang terjadi human resource gap. Pada 2014 lalu sepertiga pemberi kerja di seluruh dunia mengalami kesulitan mencari talenta yang tepat, sedangkan separuh di antaranya mengatakan bahwa persoalan ini berdampak pada bisnis mereka. Kalau berbicara mengenai daya saing, Indonesia menghadapi dua persoalan besar, yakni persoalan infrastruktur dan human resource gap. Alhamdullilah sudah ada banyak perubahan dalam hal infrastruktur, tetapi tetap masih banyak hal yang harus dikejar. Ada upaya percepatan pembangunan infrastruktur, tetapi kita lihat bersama, prosesnya tidak begitu mudah. Yang lebih serius dan lebih rumit adalah persoalan mengenai human resource gap. Infrastruktur memang susah, tapi much more manageable. Di depan saya sudah mengatakan, kita belum bisa masuk dalam supply chain of production karena dua soal ini: infrastructure gap dan human resource gap. Yang
52
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
terakhir ini, human resource gap, membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang untuk menyelesaikannya. Data WEF menyebutkan bahwa dalam hal Human Capital Index, pada 2015 Indonesia berada pada posisi 69 dari 124 negara yang dikaji. Yang memprihatinkan adalah, bahwa posisi itu turun dari posisi 53 pada 2013. Posisi Indonesia turun bersama dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Cambodia, dan Laos. Sebagai perbandingan posisi Vietnam naik dari 70 ke 59, sedangkan Filipina naik dari posisi 66 ke 46. Human Capital Indeks di Asean Negara
Singapura Filipina
Malaysia
Thailand Vietnam
Indonesia
Cambodia Laos
Myanmar
Skor
Ranking Dunia 2013
2015
70.24
22
52
66.99
53
78.15
71.24 68.78
68.48
58.55 56.16
52.97
1
66 46
70 96 80
-
24
46 57 59 69 97
105
112
Soal kualitas sumberdaya manusia, terus terang saya terperanjat membaca Laporan Bank Dunia tahun lalu. Disebutkan bahwa 18% dari anak berusia kurang dari lima tahun mengalami hambatan pertumbuhan karena malnutrisi. Yang mengagetkan adalah bahwa angka ini meningkat dari sebelumnya. Saya bukan ahli kesehatan. Tapi mereka yang mengerti kesehatan mengatakan masalah malnutrisi usia dini akan
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
53
sulit untuk diperbaiki. Artinya begitu muncul masalah itu, pengaruhnya akan ke mana-mana, termasuk perkembangan otaknya. Masalah malnutrisi seperti ini sejalan dengan data Susenas yang menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia masih sangat minimal. Ratarata konsumsi kalori masyarakat Indonesia masih di bawah standar kecukupan kalori sebesar 2200 kilo kalori (kkal). Provinsi dengan kualitas konsumsi terbaik pun, Bali, hanya mencatatkan rata-rata konsumsi sebesar 2097 kkal. Rekor terendah dipegang Provinsi Maluku, dengan rata-rata konsumsi 1568 kkal. Lihat, ini adalah the future generation. Mari bergeser ke soal pendidikan. Zaman Orde Baru memasang target semua anak lulus SD, dan itu tercapai. Selama periode berkembang dari 65% ke 100%. Tetapi bagaimana dengan keterampilan? Susah sekali. Di Singapura, kalau tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, orang akan pergi ke politeknik. Jadi orang Singapura kalau tidak sarjana pasti lulusan politeknik. Dan entah bicara industri atau jasa, semua itu sangat dibutuhkan. Memang terlalu jauh dari kita, karena mereka selalu di atas kurva. Salah satu negara yang sangat serius memerhatikan masalah human resource gap adalah RRT. Negara ini termasuk yang sangat agresif mengirimkan para pemudanya belajar di luar negeri. Pada akhir 2015 jumlah mahasiswa RRT di luar negeri mencapai lebih dari empat juta orang. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat karena setiap tahun jumlah pengiriman mahasiswa ke luar negeri terus meningkat, dan angkanya selalu lebih besar dibanding yang kembali. Tahun 2015, misalnya, RRT mengirimkan 523 ribu mahasiswa, sedangkan yang selesai dan kemudian kembali selalu berkisar antara 70 hingga 80 persen. Dalam dua tahun terakhir pertumbuhan pengiriman keluar negeri ini turun menjadi sekitar 13 persen, jauh dibanding rata-
54
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
rata selama empat dekade sebelumnya, sebesar 19 persen per tahun. Menurut catatan ICEF, satu lembaga rekrutmen global, penurunan ini bukan disebabkan oleh surutnya semangat RRT untuk mengurangi kesenjangan kualitas SDM, melainkan karena semakin membaiknya kualitas pendidikan di dalam negeri RRT sendiri. Mayoritas mahasiswa saya di Singapura berasal dari RRC. Bahkan dalam mata kuliah Indonesian Economics mahasiswanya juga sebagian besar dari RRC. Maka, kembali pada konteks daya saing, kita memang harus mengatasi minimal tiga persoalan yang cukup besar: kesenjangan infrastruktur (infrastructure gap), kesenjangan sumberdaya manusia (human resource gap), dan persoalan governance.
15 Sektor Prioritas, Konsep Jokowi, Triple Inequality
PERTANYAAN: Tidak banyak perubahan dalam hal pola pembangunan ekonomi di Indonesia. Tadi dikatakan bahwa sebelumnya ekonomi kita digerakkan oleh ekspor, dan sekarang digerakkan oleh konsumsi. Saya melihat bahwa ekspor minus impor hanya sekitar persen dalam 15 tahun terakhir. Tidak banyak berubah. Yang berubah adalah investasi. Konsumsi perannya sekitar 55 sampai 58 persen, sedangkan investasi antara 24 sampai 31 persen. Masalahnya, belanja pemerintah itu hanya 8 sampai 11 persen. Indonesia sendiri sudah berubah dari negara berbasis pertanian ke industri. Bapak tadi mengatakan di Indonesia ada deindustrialisasi dini. Di banyak negara lain, manufaktur itu menyentuh angka 36 persen dulu sebelum kemudian turun. Di Indonesia, sumbangan manufaktur mencapai titik tertingginya pada 2004, yakni pada 24%. Data terakhir BPS, tahun 2006, sumbangan manufaktur hanya sekitar 20 koma sekian persen. Jadi, pada 2030-2045, seratus tahun setelah merdeka, Indonesia akan menjadi negara industri atau negara jasa? Kalau melihat data, sektor pertanian sekarang kontribusinya hanya 13-14%, sedangkan industri 20%. Sementara penyumbang terbesar pada PDB adalah perdagangan. Ini pertanyaan untuk bapak-bapak dewan gubernur: negara kita akan dibawa ke arah industri atau jasa. Faktanya, selama ini
56
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
neraca pembayaran sektor jasa kita selalu negatif. Yang kedua, ada sebuah regularity yang tidak berubah juga. Jawa, tahun 2016, masih menyumbang 57% dan Sumatra 23%. Jadi kalau dijumlahkan, gravitasi ekonomi Indonesia ada di bagian barat Indonesia. Kawasan timur Indonesia hanya kebagian 20%. Pertanyaan yang lebih paradigmatik adalah begini. Berbeda dengan Pak SBY, konsep Pak Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Menurut Bapak, apakah itu mungkin? Tantangannya, dari 524 kabupaten kota, masih 120 kabupaten kota yang tertinggal. Dari 74 ribu desa, masih 27 ribu desa yang tertinggal. Kapan Indonesia akan bebas dari ketertinggalan. Yang ketiga adalah masalah ketimpangan. Saya mencatat ada triple inequalities di Indonesia, yakni ketimpangan antarsektor, ketimpangan antargolongan pendapatan, dan ketiga antardaerah. Ini alasan mengapa gini coefficient kita kok terus meningkat. Yang menikmati pembangunan di Indonesia bukan 40% yang termiskin melainkan 40% golongan menengah dan 20% golongan terkaya. Jadi Indonesia ini anomali. Kalau dalam teori pembangunan kita mengenal trickle down effect, di Indonesia kita kenal trickle up effect. Muncrat ke atas dan tidak merembes ke bawah. Bagaimana mengubah itu? Ada data dari Ditjen Pajak, bahwa dari 23 juta rakyat Indonesia yang punya NPWP, yang sungguh membayar pajak hanya 9 juta. Itu yang menyebabkan rasio pajak kita tidak banyak berubah pada kisaran 12-13%, siapa pun menterinya, siapa pun dirjennya. (Mudrajad Kuncoro, Fakultas Ekonomika UGM) [Catatan Editor: Komentar dan pertanyaan Prof. Didin Damanhuri ditempatkan di sini karena menyangkut hal yang sama dengan pertanyaan Prof. Mudrajad. Sementara itu Prof. Soedradjad Djiwandono juga meresponnya dalam satu jawaban.]
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
57
TANYA: Gini ratio pendapatan kita sekarang ini sekitar 0,43. tapi studi mahasiswa saya mengatakan gini ratio pendapatan kita senyatanya sudah melampaui 0,5. Sementara itu gini ratio pangan kita sudah mencapai 0,82 persen. Bagi saya ini mengkhawatirkan. Apa yang membuat Bangladesh berpisah dari Pakistan adalah faktor seperti itu. Ketika itu data menyebutkan bahwa 15 keluarga menguasai lebih dari 80 persen perekonomian nasional. Menurut Bapak, apakah ketimpangan di Indonesia sudah mencapai tahap yang alarming? (Didin Damanhuri, Tenaga ahli ekonomi Lemhannas dan Guru Besar Ekonomi IPB)
JAWABAN: Dunia ini memang mengarah ke sektor jasa. Tapi apa yang ada dalam teori ekonomi pembangunan masih berlaku. Ekonomi bergerak dari pertanian, industri, dan kemudian jasa. Teorinya memang begitu. Ketika tadi berbicara mengenai RRC, saya menyebutkan bahwa mereka mulai berusaha menumbuhkan konsumsi. Tapi jangan lupa bahwa konsumsi yang dimaksud adalah konsumsi jasa. Di kelas saya saja di Singapura, mahasiswanya orang-orang RRC. Bahkan mereka juga tertarik untuk mengetahui dan memelajari emerging market. Artinya, mereka memiliki keinginan untuk rebalancing, yakni mengarah ke sektor jasa. Apakah kita akan melompat dari industri ke jasa? Saya tidak berani mengatakan melompat. Mungkin memang ada koreksi di sektor industri. Itu yang harus kita tangani dulu. Bahwa sekarang pemerintah ngebut di infrastruktur, mungkin ini jalan yang benar dan memang harus demikian. Tadi saya bicara mengenai daya saing. Apakah kita bicara mengenai Masyarakat Ekonomi Asean, TPP, atau yang lain, kita menghadapi infrastructure gap dan human resource gap. Kedua hal inilah yang harus diperbaiki. Upaya perbaikan kesen-
58
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
jangan infrastruktur memang sudah oke. Yang tidak mudah adalah mengatasi kesenjangan kualitas sumberdaya manusia. Ukuran untuk menakar daya saing kita adalah, seberapa mudah untuk berbisnis di negara ini. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa dalam hal kemudahan berbisnis Indonesia berada pada urutan ke 120 dari 189. Kita kalah jauh dari Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing berada ada peringkat pertama, ke-6, dan ke-18; dan bahkan masih di bawah Brunei, Vietnam dan Filipina yang berada pada peringkat ke-59, ke-99, dan ke-108. Artinya masih ada begitu banyak yang harus dikejar. Soal port clearance, misalnya. Tak usahlah kita membandingkan dengan Singapura. Mereka sehari selesai, baik di tingkat dokumen maupun komoditasnya. Lha kita masih 4,9 hari. Kita cuma sebanding dengan Chitagong, Bangladesh. Tentu kita tidak bisa terlalu bangga dengan situasi itu. Jadi saya setuju bahwa kita akan bergerak ke sektor jasa. Tapi melompat jelas tidak semudah itu. Yang sekarang coba dilakukan adalah rasionya, dibanding Singapura, dari 5:1 menjadi lebih kecil lagi.
Membangun dari Pinggiran Mestinya bisa saja kita membangun dari pinggiran. Semuanya tergantung pada sikap kita. Sebagaimana diketahui RRT mengembangkan strategi yang disebut dengan one road one belt. RRT membangun infrastruktur jalan yang luar biasa. Terus terang saya curiga, apakah benar mereka mau membangun connectivity darat. Kita lihat saja perjalanan para pemimpin RRT ke Timur Tengah, Mesir, dan sejumlah negara lain. Dalam perjalanan itu mereka mengatakan bahwa dulu sekali, dalam sejarah, mereka sudah mengarungi laut sampai ke negeri-negeri itu. Bagi saya itu mau mengatakan bahwa mereka sebenarnya serius membangun maritime silk road.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
59
Nah kita juga punya program tol laut dan membangun dari pinggiran. Tampaknya yang menyertai itu adalah soal keterbukaan. Pertanyaannya apa yang akan kita dapatkan dari keterbukaan itu? Mari kita lihat yang terjadi di Singapura. Di Singapura yang bekerja di jalanan kebanyakan adalah orang Srilanka atau Bangladesh. Kita yang tidak tahu akan bertanya, mengapa Singapura sedemikian berbaik hati mau memberi kekhususan bagi orang Srilanka dan Bangladesh. Dari seorang mantan pengusaha yang kemudian menjadi pengemudi saya mendapatkan informasi bahwa untuk seorang bangladeshi, pemerintah Singapura membayar upah 2500 dollar Singapura per bulan. Tetapi take home pay si bangladeshi ini hanya rata-rata 600 dollar. Pajak yang harus dibayarkan kembali kepada pemerintah Singapura mencapai lebih dari 1000 dollar. Pembantu rumah tangga asal Indonesia sama saja. Mereka mendapatkan 325 dollar dari majikan, tetapi majikan tersebut harus membayar pajak lebih dari 400 dollar setiap mempekerjakan seorang pembantu. Pemerintah Singapura mendapatkan lebih dari yang diperoleh baik pekerja Bangladesh maupun dari TKI. Maksud saya, kita memang harus berani membuka. Tetapi apa yang bisa kita dapat dari keterbukaan itu? Berapa banyak? Bagaimana caranya? Kita harus negosiasi dengan benar supaya we get the most from the opening up.
Soal Tax Ratio Hal berikutnya adalah soal pendapatan pajak. Sangat benar bahwa rasio pajak kita harus diperbaiki. Zaman Orde Baru rasio pajak kita malah di atas 14%, mendekati 15%. Sekarang hanya 13 koma sekian persen. Jadi kita harus melakukan sesuatu. Bahwa yang selalu dijadikan sasaran tembak adalah mereka yang sudah bayar, pasti ini jadi semacam disinsentif. Padahal jelas ada be-
60
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
gitu banyak yang belum membayar pajak. Paling tidak kita perlu mengembalikan prosentase yang dulu pernah dicapai. Kalau perlu lebih dari itu.
Soal Ketimpangan Persoalan di sektor manufaktur memang akan terus menerus terjadi, sehingga harus mendapat perhatian serius. Tapi untuk itu terlebih dulu kita harus kita harus menyelesaikan persoalan kesenjangan infrastruktur dan sumberdaya manusianya, sebagaimana sudah saya sampaikan di muka. Sektor keuangan pasti ikut memengaruhi. Kalau kita melihat perkembangan perekonomian dunia yang terakhir, berita yang bagus di pasar modal hanya Microsoft. Artinya sektor teknologi informasi (IT) masih bergerak. Tapi dalam hal itu kita lebih pada posisi konsumtif, dan tidak masuk dalam production chain. Tapi mari lihat India. Suka atau tidak, kalau kita masuk dunia IT, kita akan bertemu orang India. Karena perkembangan mereka di bidang tersebut memang luar biasa hebatnya. Itu yang memberikan income lebih tinggi. Sedangkan kita luar biasa sebagai konsumen. Data menyebutkan bahwa dalam satu bulan 1,5 miliar orang membuka Facebook. Sementara setiap orang rata-rata menghabiskan 50 menit per hari untuk bermedia sosial. Mark Zuckerberg makin lama makin kaya karena fenomena itu. Nah, tidakkah kita bisa mendapatkan manfaat dari situasi seperti itu? We are good consumers.
16 Penurunan Net Capital Inflow
PERTANYAAN: Dalam World Economic Outlook yang terakhir disebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir ternyata net capital inflow menurun. Indonesia termasuk yang disurvey dan terbukti mengalami persoalan yang sama. Ini menimbulkan banyak kekhawatiran. Menurut survey tersebut, salah satu alasan penurunan NCI adalah bahwa prospek emerging country sudah semakin tidak menguntungkan. Apa komentar Bapak? Yang kedua, bagaimana pendapat bapak soal Independensi bank sentral? (Sugiharso Safuan, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
JAWAB: Saya rasa benar bahwa telah terjadi penurunan dalam hal net capital inflow. Saya juga punya data bahwa menurut IMF net capital inflow terus menurun sejak 2010. Dan jelas sekali, terutama di negara berkembang, ada kaitan yang erat sekali antara capital inflow dengan pertumbuhan mereka. Saya hanya ingin mengiyakan bahwa akhir-akhir ini capital flow memang lebih banyak kembali kepada asalnya. Tadi saya sudah mengatakan sambil setengah mengkritik bahwa Janet Yellen, chairwoman The Fed, masih maju mundur, antara menaikkan sukubunga atau tidak. Tapi untunglah sehingga Pak Gubernur [Bank Indonesia] masih punya ruang untuk menggerakkan BI
62
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Rate. Kalau tidak, susah untuk menurunkan BI Rate jaman sekarang.
Independensi Bank Sentral Tadi saya sudah menyampaikan pendapat saya mengenai independensi bank sentral. Tapi kalau Anda tanya, saya lebih senang kalau bank sentral masih punya fungsi pembangunan. Alasannya, masalah ketimpangan yang tadi saya sebutkan, is too important not to be touched by an institution as important as the central bank. Coba kita lihat negara maju. Mereka juga masih melakukannya. Mereka memberi subsidi kepada perbankan supaya bisa memberikan pinjaman. Kalau begitu apa bedanya dengan KLBI kita dulu? KLBI kita dulu memiliki sasaran jelas, yakni membantu masyarakat ekonomi lemah dan kecil. Kalau pelaksanaannya tidak baik, kalau ada yang korup, mari kita tangani masalah itu. Tapi sebagai kebijakan, itu adalah kebijakan yang baik. Kalaupun tidak berdampak pada pertumbuhan, minimal kebijakan itu bisa mengurangi ketimpangan. Sebagai seorang development economist, saya pikir bank sentral memang harus concern dengan masalah ini. Saya memang mendapat pesan dari Pak Moy untuk lebih mengedepankan independency. Saya dulu sempat bertanya-tanya, mengapa direktur Bank Indonesia harus dilantik oleh Menteri Keuangan. Kembali ke pertanyaan, kalau ditanya, saya lebih senang kalau Bank Sentral masih punya peran development. Tapi kalau disuruh bertanggungjawab, ya harus ada kewenangannya dong. Jangan tanggung jawab doang tanpa kewenangan.
17 Penyaluran Kredit Berbasis Kinerja
PERTANYAAN: Mengapa kebijakan financing tidak mengacu pada performance base. Kami di industri kecil dan menengah, tahu persis sektor mana saja yang kinerja pengembalian kreditnya bagus. Bukan hanya data soal pengembalian, kami juga punya data perkembangannya. Sektor fashion misalnya. Pertumbuhan 7%, dan ekspornya juga bagus. Tapi mengapa kredit tidak berpihak pada mereka. Kebijakan financing itu masih model pukul rata. Tidak ada prioritas sektoral. Pertanyaan kedua bagaimana kita mengatasi persoalan disadvantage of advantage. Kita sangat kaya dengan resources. Tapi pada saat kita ingin memilih yang mana yang mau diprioritaskan, semuanya mau diistimewakan. (Euis Saedah, Dirjen Industri Kecil & Menengah Kementerian Perindustrian)
JAWABAN: Saya kira saya senang dengan perkembangan industri kreatif kita, yang dalam pandangan saya lebih dekat ke arah industri jasa daripada the real sector itu sendiri. Maka pada hemat saya ini bisa memberikan gambaran mengenai bagaimana masa depan perekonomian kita. Karena itu tidak benar kalau kita tidak mau memajukan itu. Jaman saya di perdagangan dulu, ekspor wedding gown
64
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
sama sekali tidak buruk. Sudah lumayan bagus. Tapi kalau sudah masuk tahap fashion-nya, memang banyak hal yang harus dilakukan, karena kebutuhan pasarnya memang berbeda. Jadi kalau itu belum diperhatikan, ya mesti disuarakan lebih keras lagi supaya orang dengar. Maka kalau tadi saya bilang soal development function dari bank sentral, sebenarnya lebih ke arah itu. Ini bukan hanya soal kewenangan semata, tapi kita punya pengalaman. Dan, negara-negara lain juga seperti itu. Mengapa kita menjadi purist dan mereka tidak, karena yang mereka lihat bukan hanya kestabilan. Mendiskusikan masalah ini kita bisa melihat Bundesbank di satu sisi, dan Federal Reserve di sisi lain. Bundesbank sangat independen, yang memiliki tugas dan wewenang untuk membangun dan menjaga stabilitas. Tugas yang saya sebut sebagai development function adalah tugas implisit. Menyangkut hal yang sedemikian besar saya tidak senang dengan yang implisit, karena itu hanya akan membuat orang berkelahi. Saya lebih senang eksplisit. Tetapi tentu saja tidak semudah itu, karena undang-undangnya mengatakan demikian. Dengan ini saya hanya mau mengatakan bahwa bahkan di negara maju sekalipun masih ada development function dari central bank. The Fed masih berfungsi seperti itu. Soal ekonomi kreatif saya pasti mendukung. Demand untuk sektor itu luar biasa banyaknya. Di Jakarta dan Bali ada begitu banyak coffee shop. Saya senang dengan itu karena kita punya banyak sekali kopi seperti kopi toraja, kopi bali, kopi lampung dan sebagainya. Saya senang karena banyak sekali pengusaha muda yang mau masuk ke sana. Juga menggembirakan melihat munculnya bisnis yang terkait dengan IT. Entah itu Gojek atau aneka jasa retail yang bermunculan. Tetapi catatan saya, jangan membangun UKM dengan mematikan UKM yang lain. Gojek itu bagus, tapi bagaimana caranya agar tidak mematikan ojek. Kalau mematikan yang lebih
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
65
besar, silakan saja. Tapi kalau yang mati ojek, berarti bisnis ini sekadar mensubstitusi, tidak berkreasi. Kalau berkreasi, menciptakan pasar baru, silakan saja.
18 Peer to Peer Lending
PERTANYAAN: Saat ini kita menghadapi fakta berkembangnya digital economy. Menyangkut hal itu pada hemat saya ada tiga lapisan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah human resource gap. Indonesia kekurangan banyak ahli di banyak sektor. Seorang profesor di Harvard mengatakan bahwa untuk bisa maju, satu negara atau organisasi harus memiliki SDM yang memadai. Mereka harus memiliki profesor, doktor, ekonom dll agar bisa membangun fondasi perekonomian yang kuat. Kalau lapisan ini kuat maka lapisan di atasnya akan terdorong. Lapisan di atasnya, kedua, adalah stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Dari second layer itu akan tercipta berbagai kesejahteraan sosial. Dan yang terpenting adalah lapisan ketiga, paling atas, yakni kreativitas, yang banyak di-generate oleh anak-anak muda, yang bisa terbang sangat tinggi. Dan ini sudah terbukti, termasuk di Indonesia. Sandiaga Uno datang ke UGM dan mengatakan bahwa apa yang dia bangun selama lebih dari dua puluh tahun langsung kalah secara kapitalisasi pasar oleh bukalapak.com hanya dalam setahun usianya. Sekarang yang seperti ini banyak. Ada Creditgogo, Cashless, Investree, dan sebagainya. Mereka bergerak di bidang peer to peer lending. Dengan cara dan teknologinya mereka bisa menghubungkan kreditor dengan debitor dengan cepat
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
67
dan efisien sekali. Belum lagi ada fenomena mata uang virtual seperti Bitcoin misalnya. Pertanyaan saya, bagaimana kira-kira bank sentral akan menangani masalah ini? (Eddy Purnama, Fakultas Ekonomika UGM)
JAWABAN: Saya rasa sangat benar. Yang Pak Eddy sebut tadi sebenarnya bagian dari yang saya sebut sebagai peer to peer lending. Boleh dikatakan, ini adalah semacam disintermediasi. Ini jelas merupakan tantangan bagi bank sentral karena konstituen bank sentral adalah sektor perbankan yang by definition adalah financial intermediary. Soal bagaimana mengawasinya saya juga belum tahu. Justru karena itu saya tadi mengatakan bahwa peer to peer lending ini menjadi salah satu yang harus dipelajari. Tadi saya juga mengatakan bahwa ada beda antara banker dengan trader, dan Goldman Sachs dipenuhi para trader. Saya tidak sedang bermaksud merendahkan trader. Bagaimanapun juga saya mantan menteri muda perdagangan. Tapi penting dipahami bahwa filosofi banking dengan trading itu berbeda. Dalam trading ada istilah caveat emptor. Maksudnya begini. Dalam transaksi perdagangan, kalau Anda membeli barang saya, mengambil barang saya, dan saya menerima uang Anda, dan selesai. But that is not banking. Banking itu mengutamakan your client. Dalam trading tidak ada cheating. Yang ada adalah you outsmart your counterpart… Anda lebih cerdik dibanding pembeli. Saya tidak mau sinis, tetapi legalnya memang begitu. Karena dalam dunia perbankan yang hebat itu adalah para trader-nya, maka merekalah yang pada akhirnya menjadi pengambil keputusan. Menyangkut hal ini contoh yang paling jelas bisa dilihat dari
68
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
sosok John Paulson, seorang hedge fund yang luar biasa. Dia mengumpulkan miliaran dollar [New York Post menyebutkan angka 15 miliar dollar] pada waktu krisis 2008, karena dia bermain di dua muka. Di satu sisi dia ikut kampanye menjual security-nya. Ketika menjual tentu saja dia mengatakan bahwa barangnya bagus. Tapi pada saat mulai menjual, dia juga melakukan deal dengan pihak lain. Kalau nanti harganya jatuh, we should make money out of it melalui berbagai macam instrumen yang memang memungkinkan. Paulson melakukan aksinya melalui Goldman Sachs. Tapi apa yang dikatakan oleh CEO Goldman Sachs terkait dengan hal itu? Dia mengatakan, “Saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya tidak melanggar aturan apa pun.” Yes, mister, you don’t break any rules, but at least you did something unethical. Mengapa? Karena kesepakatannya dengan orang yang kedua tidak diketahui oleh orang yang pertama. Artinya dia tidak memperlakukan mereka sebagai client. Kalau memperlakukan mereka sebagai klien, mestinya kan Goldman Sachs memberitahu, bahwa akan ada masalah, maka silakan melakukan hedging atau mengambil tindakan lain yang tepat. Tapi Goldman Sachs menjalankan trading as usual. Kalau Anda tidak mengerti, itu persoalan Anda. Itu sebabnya saya mengatakan, Anda tidak menipu, tetapi mencerdiki mitra Anda. Dalam banking kita tidak bisa begitu. Rumusnya berbeda. Dalam banking, your customer is number one interest. Kalau tidak mau begitu jangan jadi bankir.
19 Perdagangan Dunia & Elastisitas yang Berubah
PERTANYAAN: Data menunjukkan bahwa secara global sedang terjadi penurunan angka perdagangan. Dulu ada asumsi bahwa setiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan perdagangan sebesar 1,5 persen. Elastisitasnya begitu. Satu dua tahun lalu Elastitasnya turun lagi, menjadi satu sampai satu koma dua, dan sekarang bahkan menjadi di bawah satu. Pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen hanya mendorong pertumbuhan perdagangan sebesar 0,5 persen. Tadi sudah disebutkan soal proteksionisme. Pertanyaannya, apakah proteksionisme sudah sedemikian kuat meredam laju pertumbuhan perdagangan ini? Atau, apakah sekarang ini setiap negara sudah semakin mandiri, sehingga berbagai kebutuhan dalam negeri terpenuhi oleh produksi dalam negeri? Fakta ini sulit dipahami, karena dunia sudah semakin mengglobal dalam arti apa pun. Saya senang Bapak mengangkat isu Human Resource karena itu memang faktor crucial kita. Bapak sendiri bilang di Singapura mayoritas mahasiswanya adalah dari China. Juga di Oxford dan Cambridge itu china nomor satu dari sisi overseas students. Singapura nomor dua. Di Australia, kalau tidak dicegah, mahasiswa RRT akan mendominasi
70
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
universitas terbaik di sana. Tapi, soalnya, di Indonesia human resource development belum menjadi issue yang serius ditangani. Bagaimana komentar Bapak? (Yudha Agung, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia)
JAWABAN: Saya kira memang benar bahwa trade led development itu sudah tidak sekuat sebelumnya. Tetapi mengapa? Bukankah yang berubah adalah komoditasnya? Pertanyaannya bisa panjang. Tetapi jangan-jangan ada definisi yang kita ubah. Kalau kita bicara perdagangan antara Indonesia Singapura, apa definisinya? Apakah benar-benar ada perdagangan, atau sekadar pengapalan barang antara induk dan anak perusahaan. Dulu itu dianggap perdagangan, tetapi sekarang tidak lagi. Maaf, saya juga masih kira-kira, soalnya saya juga tidak tahu soal penurunan angka tadi. Tetapi melihat berbagai data yang lain tampaknya memang perdagangan tidak lagi menjadi mesin penggerak pertumbuhan. Kebetulan lagi perdagangannya sendiri memang tidak sekuat dulu. Sementara peran emerging market saat ini sudah berbeda jauh dengan dulu. Kalau emerging market loyo, negara maju juga mulai gerah. Waktu Amerika membuat Dodd-Frank Act [peraturan perundangan yang diklaim sebagai reformasi pasar uang sebagai respon atas krisis subprime mortgage 2006-2009], mereka sama sekali tidak memperhitungkan negara lain. Bahkan Basel 3 juga begitu. Waktu G20 meluncurkan stimulan, mulai dari Presiden George Bush dan kemudian, situasinya juga seperti itu. Minta negara lain untuk berkorban, sehingga semua negara lain juga ikut meluncurkan stimulan. Sekarang negara maju mulai sangat tergantung dengan negara berkembang. Karena itu tanpa negosiasi atau apa pun, kalau mereka mau melakukan sesuatu, mereka pasti memperhitung-
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
71
kan the emerging market. Tetapi kembali pada penurunan perdagangan, bisa jadi penyebabnya adalah yang saya sebutkan tadi: faktor RRT. Slow down di China berpengaruh besar pada lalu lintas perdagangan dunia. Perdagangan Indonesia China saja langsung berubah dari surplus menjadi defisit.
BAGIAN KEDUA: TULISAN LEPAS
20 Bad behaviour on Wall Street too big to ignore
AMID public anxiety, if not confusion, over the possibility of the “Grexit” — Greece exiting the Eurozone — due to the stalling of negotiations between Greece and its creditors, there have been discouraging news about the recordbreaking fines on a number of mega banks found to be involved in foreign exchange market rigging. Six banks were fined US$5.6 billion (RM21 billion) by American authorities last month and US$4.3 billion by the European authorities last November for their involvement in rigging the foreign exchange markets. In 2012, the Libor rigging prompted US$9 billion in fines against a number of banks. According to Martin Wolf writing in the Financial Times, from January 2012 to December last year, the total fines paid by financial institutions to US enforcement agencies amounted to US$139 billion. And this does not seem to be the end of the story. In last month’s and last November’s cases, banks were fined for conspiring among themselves to rig the prices of foreign exchange in the market. These banks were acting like a cartel, making deals in foreign exchange transactions on behalf of their clients but which actually benefitted themselves more. The transactions were considered to be a conspiracy in violation of
76
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
antitrust laws by the Department of Justice (DoJ). In addition, the conspiracy also involved fraud for not providing the right information to their clients or counterparties. These have been done to maximise profit for themselves at the cost of their clients or counterparties in the transactions. But how could all this have happened? To be sure, this mindboggling development has been facilitated by the practice of foreign exchange trade in decentralised, bankdominated and lightly regulated foreign exchange markets. It is different from equities largely conducted over the counter. As bank dealers keep trading data as proprietary, it is difficult for outsiders to know exactly the correct market price of any currency when putting an order to bid or to offer. In this constraining environment, the most parties in selling and buying currencies could observe is a set of rates announced in a very limited time set each day — one minute at 4pm every day by WM/Reuters, a subsidiary of Thomson Reuters. Due to this limited window in foreign exchange trade, parties buying and selling currencies have to conduct their transactions via the services of a limited number of dealers who operate like a cartel and seem to make money for themselves instead of servicing their clients. The six banks fined US$5.6 billion by the US authorities last month for rigging the forex market include Bank of America, UBS, RBS, JP Morgan, Citigroup and Barclays. The same banks last November also had to pay US$4.3 billion to financial authorities in the United Kingdom, Switzerland and the US. Some of these banks were also taking part in the Libor rigging, which in 2012 led to US$9 billion in fines against them. They are 16 banks altogether, members of the British
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
77
Bank Association, which are entrusted to make submission to the Libor committee every day on what each has to pay for acquiring shortterm funds from the market. The rates that these banks reported is averaged to determine what would be the Libor rates for different maturities of fund. The list of the rates is announced daily by Thomson Reuters and used as benchmarks by practically all kinds of financial transactions globally. Any financial transaction would use Libor rates as the benchmark, to determine the rates they would charge in the transaction, that is whether it is at par with Libor rates, or plus or minus Libor rates. Libor rates used to command hundreds of trillions of dollars in volume of transactions (up to US$800 trillion) while the daily foreign exchange transactions is estimated at around US$5.3 trillion. From the nominal values of the transactions alone, we can see that both the foreign exchange markets as well as the transactions associated with or related to these legal cases are huge. They are too big to be ignored. As mentioned earlier, the story does not end here. Many transactions which were based on the rigged Libor rates that resulted in losses may ignite civil suits against the banks found committing fraud in the Libor determination in the past. The humongous fines have so far been adversely impacting the operations of these banks. However, all these banks seem to have been prepared because they have set up funds as provisions for what they would have to pay to the authorities, just as they put aside funds for bad debts provision or insurance premium. In addition, banks could ask for waiver against criminal suits, known in legal term as non persecution agreement, at least in regard to antitrust, though not on fraud. But, this provision of waiver taken casually by both banks and the authorities could easily cause a moral hazard. Some would argue that this
78
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
is partly the reason why it has been very rare for bankers to go to jail. Some, like maverick Democrat Senator Elizabeth Warren of Massachusetts, have been arguing against the liberal granting of waivers to banks or bankers accused of participating in these scandals. Senator Warren rightly stated that granting waivers to them is like giving incentive for bad behaviour. Limiting the granting of waivers to the perpetrators in these cases is one of the six items in her wish list to reform Wall Street banks. It’s still a very long way to rid the “greed is good” culture as reflected in the saying among some bankerforex traders that “if you ain’t cheating, you ain’t trying”. The public would still vote for bankers who put clients’ interests as their highest priority.
21 Ekonomi RRT dan Senin Hitam
SELAMA beberapa tahun, setiap kali membuat presentasi mengenai perekonomian Indonesia atau Asia, saya selalu menyebutkan peran ekonomi RRT sebagai penyelamat saat perekonomian negara-negara maju mengalami resesi besar. Laju pertumbuhan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang selama bertahun-tahun sekitar 10 persen menolong lebih banyak lagi perekonomian negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditas dan sumber alam sebagai motor pertumbuhan ekonominya. Indonesia jelas ikut menikmatinya. Bahkan, dalam acara bincang-bincang dengan sejumlah bankir dan financiers di Hotel Ritz-Carlton Jakarta, akhir bulan lalu, sejumlah bankir menanyakan pendapat saya tentang renminbi dan ekonomi RRT yang disebutkan akan mengambil alih peran dollar AS dan ekonominya di dunia. Mereka mengacu perkiraan seorang ahli pasar modal dan keuangan kenamaan meski tanpa disertai penjelasan bagaimana terjadinya dan mengapa. Hanya menyebutkan bahwa akan ada keputusan IMF bulan Oktober nanti yang mengejutkan dan mengubah peran renminbi. Bahwa peran renminbi dan ekonomi RRT memengaruhi perkembangan pasar modal dan gonjang-ganjing nilai tukar banyak mata uang, tentu kita semua mafhum karena tidak ada media yang melewatkan. Namun, kalaupun ini suatu kejutan,
80
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
jelas tidak seperti ramalan yang sempat bikin bingung itu. Yang terjadi adalah sebaliknya, renminbi dan perkembangan pasar modal RRT justru menjadi sumber kegoncangan karena terjadi penurunan kepercayaan pasar terhadap ekonomi dan manajemen RRT. Perekonomian RRT yang selama beberapa tahun pasca krisis keuangan global menjadi ”penyelamat” perekonomian Asia dan dunia mengalami degradasi. Dia menjadi faktor pendorong kegoncangan mata uang negara berkembang di Asia dan BRICS, kemudian pasar modal seluruh dunia. Kita semua mendengar berita tentang ”The Black Monday” atau Senin Hitam, terjadinya penurunan harga saham di semua pasar modal dunia, Senin pekan ini. Gejolak ini sudah berkembang beberapa waktu, tetapi semula hanya dirasakan di Asia dan negara BRICS—Brazil, India, Rusia, Tiongkok, dan Afrika Selatan—juga Chile dan Turki. Namun, sejak pekan lalu, gejolak ini telah menjalar ke pasar modal di negara-negara maju, termasuk AS.
The Black Monday Sejak Senin lalu sampai kini, kegoncangan terus berkembang. Indeks harga saham dari Nikkei (Jepang), Hang Seng (Hongkong), Shanghai dan Shenzhen (RRT) sampai ke Singapura, Indonesia, dan Australia semua menunjukkan penurunan sampai sekitar 3 persen. Perkembangan ini diikuti dengan penurunan harga saham di pasar-pasar modal Eropa, baik dalam lingkungan zona euro (Euro Stoxx 50) termasuk Jerman (DAX), Inggris (FTSE 100) maupun negara lain. Akhirnya juga di AS, baik indeks Dow Jones di NYSE untuk blue chips (S&P 500), Nasdaq untuk electronics dan derivatives, maupun Russel 2000 untuk mutual funds dan perusahaan menengah-kecil.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
81
Buat pasar modal RRT dan AS yang selama lima-enam tahun terakhir terus meningkat, penurunan terjadi sampai 30 persen dibandingkan puncak yang pernah dicapai sebelumnya. Bisa dibayangkan berapa besar nilai aset finansial yang hilang karena penurunan harga saham-saham tersebut. Semua pasar modal terguncang. Itulah ”The Black Monday”. Perlu ditekankan bahwa permasalahannya justru terbalik dari ramalan yang membuat bingung para bankir dan pelaku keuangan di atas. Renminbi bukan acuan investor global, melainkan justru sebaliknya, devaluasi renminbi dan penurunan harga saham di RRT menimbulkan keraguan pasar terhadap kepemimpinan RRT dan renminbi. Bahkan, dimasukkannya renminbi ke dalam mata uang elite dunia, dollar AS, pounds Inggris, DM Jerman, dan yen Jepang, pun baru diputuskan IMF tahun depan, bukan Oktober ini. Jadi bahwa perekonomian RRT meningkat perannya memang terjadi, tetapi dalam pengaruh negatifnya. Devaluasi dan penurunan harga saham yang drastis telah memengaruhi penurunan harga-harga saham di pasar modal Asia, Eropa, dan AS. Ini suatu pelajaran baik bagi kita semua agar jangan cepat terkesima dengan segala macam ramalan, termasuk pengamat yang dianggap pakar. Tentu ini juga berlaku bagi saya apabila ada yang memandang saya sebagai salah satu dari mereka itu. Silakan dikaji dulu, jangan serta-merta diterima sehaus apa pun kita ingin mengetahui. Untuk sekadar ingin tahu pun perlu sikap kritis, apalagi kalau digunakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perusahaan dan tentu lebih lagi kalau untuk kepentingan masyarakat luas, perekonomian nasional. Waktu bekerja di Bank Indonesia, saya selalu mengingatkan rekan dan staf agar jangan mudah percaya kepada siapa pun. Semua orang ada tingkat discount-nya, ada yang besar buat
82
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
tukang ngibul ada yang kecil bagi yang punya integritas. Namun, semua harus kita kritisi sebelum menerima atau menolaknya.
Beberapa catatan Memang benar ekonomi RRT—saat negara-negara maju, AS, Eropa, dan Jepang, mengalami resesi besar setelah krisis keuangan global sejak 2008-2009—menjadi penyelamat Asia bahkan dunia dengan pertumbuhan ekonomi 10 persen. Pertumbuhan ekonomi RRT yang tinggi itu jadi sumber terjadinya commodity boom yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam. Sumber pertumbuhan juga berasal dari pengeluaran investasi untuk pembangunan prasarana yang memerlukan bahan baku besar-besaran. Namun, dengan penurunan laju pertumbuhan menjadi 7 persen (mungkin lebih rendah lagi) dan kebijakan rebalancing yang mengubah sumber pertumbuhan dari investasi kepada konsumsi dalam negeri, RRT tidak lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam. Pasar modal RRT bergejolak sejak Juni lalu dan berlanjut sampai kini kendati telah dilaksanakan kebijakan intervensi terhadap pasar modal, seperti pembelian saham oleh otoritas dalam jumlah besar, pelarangan IPO, pelarangan penjualan sejumlah besar saham, ataupun pelonggaran ketentuan investasi dana pensiun untuk pembelian saham sampai 30 persen. Pengelolaan nilai tukar renminbi diubah di satu pihak dengan lebih menyerahkan kepada kekuatan pasar, di pihak lain dengan intervensi, termasuk devaluasi yang dilakukan baru-baru ini. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan rebalancing dikombinasikan dengan kebijakan pasar modal dan perubahan pengelolaan nilai tukar—yang tampaknya kurang
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
83
optimal—telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental. Ekonomi RRT tidak lagi menjadi penyelamat ekonomi Asia dan dunia, tetapi gejolak di pasar uang dan devaluasi renminbi yang baru dilakukan justru telah menempatkan RRT menjadi penyebab atau minimal pendorong terjadinya kegoncangan nilai tukar negara-negara Asia dan BRICS ataupun kegoncangan pasar modal di Asia, Eropa, Inggris, dan AS. Pengamatan ini bukan untuk menunjuk kambing hitam dari kemelut yang terjadi. Akan tetapi, memang terlihat terjadinya suatu perubahan. Persepsi pasar terhadap apa yang terjadi di dalam perekonomian RRT telah menumbuhkan langkahlangkah penyesuaian yang kesemuanya berkembang menjadi kegoncangan pasar modal dunia dan dinamakan ”The Black Monday”. Kegoncangan ini dapat menjadi krisis keuangan global yang baru sekiranya tidak diperoleh solusi yang tepat. Akan tetapi, mengenai hal ini perlu pengamatan dan analisis tersendiri, mungkin termasuk melihat bagaimana menghadapinya agar gejolak ini tidak berkembang menjadi krisis baru. Sumber: Kompas Cetak Rabu (26 Agustus 2015)
22 Facing The New “Normal”
IT IS A BIT unfortunate that, at the time we celebrate the 70th anniversary of our independence as a free nation, Indonesia has to face some economic realities. Most of these issues are not reasons for celebrating, and there is no choice but to confront them head on. The recent developments in economics and finance are challenging as well as interesting. These developments have given rise to anxiety and nervousness, possibly leading to sleepless nights for those responsible for investment, debt finance or economic stability. The World Economic Forum in 2011 identified five clusters of risk, i.e. economics, social, geopolitics, climate change and technology. It appears that in most of these clusters, levels of risk have been high and increasing. Examples of such risk include the volatility of commodity prices and currencies, the increasing inequality of income distribution, migration problems, terrorism and armed conflict, natural disasters and heat waves, cybercrime and computer glitches that have occurred at various times around the world. The above developments have caused, or at least exacerbated, problems encountered by many advanced, emerging and developing economies. The global economy was saved from plunging into depression in the aftermath of the global financial
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
85
crisis of 2008/2009, partly thanks to the imaginative and unconventional fiscal and monetary policies launched in tandem with financial reforms. Nonetheless it was arguably inevitable that a long period of severe recession could not be avoided, thus the emergence of the “great recession”. In fact, cases of low economic growth combined with high unemployment and possibly deflation appear to have become the “new normal”. The International Monetary Fund (IMF) recently revised downward its estimate on world economic growth for 2015 as reported in the World Economic Outlook (WEO) of April 2015, from 3.5 percent to 3.2 percent. In fact, the US has had the most promising news on growth among all the advanced economies. Growth has been low globally and slowing for the EU, Japan and the others. And even the good news about the US economy has some potentially adverse implications as it may trigger a US Federal Reserve (Fed) decision to implement a program of raising Fed rates resulting in capital reversal from emerging markets. An even more discouraging development has been the recent weak growth levels of emerging economies. The economic growth rates of Brazil, Russia, India, China and South Africa (BRICS) have been disappointing, particularly for Russia and Brazil. Only India remains promising. But, of course, the biggest concern pertains to the second-largest economy globally, China. The rebalancing policy of China’s economy toward greater reliance on domestic consumption has been bad news for natural resources export-oriented economies, including Indonesia. The commodity boom is now over, together with the era of China’s double digit economic growth. At the same time, recent developments in monetary and finance have been dominated by the confusing process of seeking agreement for a third Greek debt bailout. The most we could say at the moment is that the drama seems to be over and the “Grexit” did not happen. But has the possibility really gone for
86
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
good? Arguments stating that Greece would be better off to leave the monetary union, even temporarily, continue to be aired. For sure, the hardship from the austerity measures demanded by the creditors will continue to concern the Greeks for some time to come. Questions persist as to whether the Eurozone can last. And to complicate matters, the IMF has officially stated that it cannot participate in the third bailout because, in its opinion, the debt (of over US$300 billion for its 11 million people economy) is basically unsustainable despite the promise by the Greek government to accept reforms. The IMF management has instead proposed a large economic haircut to ameliorate this situation. Of course, the question of the timing and extent of any increases in the Fed rate from near zero over the last six years remains a challenge to everyone in the currency market and to monetary authorities. Even IMF managing director Christine Lagarde felt the need to remind the Fed of the disturbance that such decisions may cause to the value of currencies of emerging economies, a disturbance similar to the “tapper tantrum” that emerged in the wake of Fed chairman Ben Bernanke’s announcement of the possibility of the Fed raising interest rates in June 2013. For now, the markets seem to believe that chairwoman Janet Yellen will commence the process of rate hikes later this year. Another on-going drama has been the performance of the Chinese share market since its sudden and rapid drop in June 2015. Concerns have not only arisen from share price volatility and the associated loss of wealth, but also from measures employed by Chinese authorities in addressing the problem. Examples of heavy-handed state intervention have included direct intervention in the Chinese stock exchange in stopping new IPOs, the prohibition of short selling and terminating the trading of a huge number of stocks. Aside from the fact that these efforts enjoyed only partial success in easing the volatility, the more serious matter is that tinkering with the share market is
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
87
contrary to the practices of a free market. The last area to mention here is that developments in finance and banking have been influenced by the implementation of unconventional monetary policy, especially the zero interest rate policy and quantitative easing in different forms as practiced by the Fed, the European Central Bank (ECB), the Bank of England (BoE) and the Bank of Japan (BoJ). In response to the global financial crisis and the ensuing “great recession”, regulatory and supervisory authorities have sought to influence developments in the banking sector in the course of developing a financial framework conducive to sustainable development. This process has involved debate on the implementation of certain aspects of the Dodd-Frank Wall Street Reform and Protection Act, such as the Volcker Rules, as well as the Basel III framework. These reforms have largely been aimed at strengthening capitalization of financial institutions and the separation of retail banking from investment banking. Despite these measures, the 2008 global financial crisis, followed by the “great recession” and continued with the most recent Greek debt crisis, have weakened governance at the regional, national and global levels. Global economics and finance have become characterized by high levels of uncertainty and risk. This appears to be the “new normal” faced by the world today. For Indonesia, the concern is not just diminished global growth but also the “slowing growth-cum-rebalancing” policy of China’s economy. China served as an economic savior during the aftermath of the global financial crisis thanks to its investment-supported double digit growth that in turn led to a huge demand for natural resources and commodities. More recently, Beijing’s rebalancing policies have shifted the source of growth from expenditure on infrastructure investment to domestic consumption. The challenge facing Indonesia now is
88
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
that Indonesia has still a long way to go before it can be a part of the supply chain of the type of goods and services that will meet China’s new consumer demands. The good news is that several of Indonesia’s finance and banking fundamentals are sound. Meanwhile, the recent rapid depreciation of the rupiah compared to the currencies of other emerging economies is a threat that authorities should not take lightly. Emerging economies are often susceptible to substantial reversals in capital flows, especially when markets continue to speculate as to when the Fed will raise its rate and by how much. The market is likely evaluating the relative position of Indonesia to other economies, including comparing the size of deficits in the balance of payments, examining the consistency of economic and financial policies, as well as assessing the general level of confidence in the economic and political management of President Joko “Jokowi” Widodo’s administration. With regards to the latter, it is inadequate for the government to say that we are not alone in currency depreciation, or that the problem is the strength of the US dollar and not the weakness of the rupiah. Unfortunately there is no magic formula to manage an economy facing various uncertainties like those Indonesia is currently facing. The best defense in the face of a flu epidemic is that one should be in good health. But a healthy body cannot be acquired overnight by pumping it with supplements or vitamins; it is a result of prolonged investment in health. Economics is no difference. In the face of uncertainty, there is no room for complacency and a “business as usual” attitude. Any measures that the market perceives to be inconsistent, shirking responsibility, arbitrary or panicky is a recipe for failure. We have to face the “new normal”, and the economic climate of increasing uncertainty, with eclecticism, nimbleness and flexibility.
23 “Greed is Good”: A Hard Lesson to Unlearn
Synopsis A recent survey about greed culture in Wall Street showed an alarming tendency: despite much effort by governments to strengthen regulation and supervision of finance, greed and corrupt practices might not be declining.
Commentary THE CULTURE of greed in finance was popularly depicted in a 1987 movie “Wall Street” by the behaviour of a Wall Street trader Gordon Gekko, who believed in greed as the guiding principle for the conduct of business. Played by Michael Douglas, Gekko argued for upholding the greed principle in business during a shareholders meeting by declaring: “Greed, for lack of a better word, is good.” Since the bankruptcy of Lehman Brothers in September 2008, preceded by the US subprime mortgage loans meltdown, it has been commonplace to blame greed as the major cause of the global financial crisis and the great recession that followed. The devastating impacts of the global financial crisis, however, had crystallised the resolve of world leaders to deal with the problems.
90
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Greed culture in finance In the process governments, together with the monetary authorities of advanced countries, had been bailing out banks and other institutions. However, they were simultaneously also adopting stiffer regulation and supervision of the banking and financial system in general by raising the bar on the rule of risk taking. These had been done through rules to discourage excessive risk taking and limiting proprietary trading, known as the Volcker Rule; more stringent capital requirements in compliant with the Basel III rule; and others. In the US these new rules are the provisions contained in the related regulations - the Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act of 2011. Other countries, both advanced and emerging, have been doing likewise to make their financial systems more viable in the face of increasing risks and uncertainties. These rules and regulations showed resolve of the governments and monetary authorities the world over in dealing with greed in finance, by adopting regulations aimed at punishing illegal activities in finance, and limiting the use of public funds to bail out banks. Many argued that excessive risk taking and leveraging, which had become prevalent and even the norm in finance, had its roots in moral hazard and greed.
Disturbing trend As the fifth year of the global financial crisis approaches there has been some striking revelation from a survey by a US law firm Labaton Sucharow on greed culture of Wall Street. The survey was conducted through interviews involving 250 industry insiders, including traders, portfolio managers, investment bankers, hedge fund professionals, analysts, advisers, and others
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
91
from a number of financial institutions operating in Wall Street. The results of the survey, which have been very disturbing, could be summarised as follows: • Only 36% of those in the industry feel that Wall Street has changed for the better since financial reform in 2010; • 24% say they would agree to insider trading activity to make US$10 million if they could get away with it. For employees having less than ten years’ experience, the percentage is 38; • 28% feel that the financial service industry does not put client interest first; • 52% feel it is likely that their competitors have engaged in unethical or illegal activity; 24% feel employees in their own company are likely have done so; • 29% believe the financial services professionals may need to engage in unethical or illegal activity to be successful; and • 26% believe the compensation plans at their companies encourage unethical or illegal activity. Of course the survey still has to be subjected to some scrutiny regarding its accuracy. And one cannot paint with a big brush to say that all financiers are the same. However, these findings may make the public wonder whether they could trust these institutions with their money. Nevertheless, something is definitely wrong in the financial sector if close to one third of the players believe in the need to engage in illegal activity to be successful. In addition they would be willing to commit insider trading if they could get away with it because they think their competitors are no different and that their institutions do not put client interest first. Certainly all are completely the reverse of the claim these institutions make,
92
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
like putting client interests first and upholding high standard of integrity and treating public trust as sacrosanct.
Will greed ever stop? The survey shows some disturbing signs: one is the willingness of a financier to commit insider trading and the need to commit illegal activity to succeed in finance. In this, the percentages are higher for those working relatively shorter periods, such as less than ten years. This implies that the younger executives who would become future leaders of the financial industry are more prone to commit these unethical activities to advance their career. If the above survey is valid the future of finance is certainly discouraging. Why? Since in the high and increasingly risky and uncertain world, the financial industry may be in the hands of financial leaders many of whom are willing to put rules aside and have the tendency to leave business ethics behind. They would do so due to the belief that others would do the same. Market players believe in the philosophy that greed is good. The good news, though, is that more and more cases have been brought to court and that many more have been indicted. The perpetrators have been put in jail or had to pay huge amounts of fines or both. Hopefully these will discourage the financiers from violating regulations and business ethics in the future. To name some notorious cases, there are the billion dollar Ponzi schemer Bernard Maddoff; the rogue trader UBS’ Kweku Adoboli who caused his bank to lose billions of dollars; securities fraudsters such as Raj Rajaratnam of Galeon, Rajat Gupta and Fabrice Tourre of Goldman Sachs; and the indictment of SAC Capital. Many more may still come to light to bring further disrepute to the already battered global financial system driven by unfettered greed.
24 Income Inequality: New Worry Over Impact of QE
Synopsis While the policy of easy money known as quantitive easing (QE) has saved the US financial sector from collapse, it has also been criticised for causing various problems. One recent criticism: QE could worsen the already worrisome global trend of increasing income inequality.
Commentary THE US Federal Reserve has actually terminated the quantitative easing or QE. It is basically a programme for repeated purchase of assets – mortgage-backed securities and bonds – for an unspecified period by the Fed. QE was launched as part of efforts to fight against the credit crunch that became contagious since the bankruptcy of Lehman Brothers in 2008. The programme was implemented in three stages. The last one (QE3) launched in September 2012 involved a monthly purchase of securities of US$40 billion (later raised to US$85 billion). When some economic indicators showed improvement the Fed decided to end the programme. This was done through the tapering-off or reduction of the monthly purchase by US$15 billion first announced in May 2013. It proved to be quite a
94
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
controversial move.
QE and income inequality The announcement caused some market turmoil in emerging economies leading to what has since been dubbed as “taper tantrum”. However, since the Fed was not sure about the economic improvement in addition to the market turmoil, the tapering was started only seven months after the announcement. The implementation of the taper had reduced the monthly purchase to zero by the end of October. As the Fed had implemented the programme according to schedule, QE was terminated accordingly by the end of October. However, the termination of asset purchase by the Fed does not mean the end of QE as a whole. Despite differing in variation the Bank of England also implemented quantitative easing in 2009 and Bank of Japan (BoJ) did so in 2013. The BoJ’s programme is still continuing. Lately there has also been pressure for the European Central Bank (ECB) to do likewise to avoid the “Japanification” of Europe – namely deflation and its associated phenomenon of prolonged weak or even stagnating economy. Basically under the QE the central banks create hundreds of billions of US dollars, British pounds and Japanese yen respectively to buy bonds and mortgage-based securities. The addition of trillions of dollars of liquidity saved global markets for not just bonds, but equities from collapsing as it was indeed the case. For sure, this was also the objective of the programme when the scheme was introduced. Meanwhile the ownership of equities is mostly by high income groups or the rich as the poor do not own stocks. The QE which was aimed at suppressing long term interest rates had
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
95
also an additional impact of raising prices of equities. As a result the return on investment in equities had become better than the return of investment in fixed assets (bonds). The above development has been used to criticise QE as ultimately hurting savers including fixed income earners and pensioners. In addition QE has been criticised for lopsidedly benefiting the rich at the expense of the poor, and thus increasing income inequality.
A global phenomenon Increasing inequality has become a global phenomenon. This was also the view from the World Economic Forum in its report about the global risks in 2011 which mentioned the consequent social risk from increasing inequality. Early this year this forum, known as the Davos Group, issued a resolution that put increasing income inequality at the top of global risks that could trigger social unrests. Dr. Olivier Blanchard of the IMF stated in introducing The World Economic Outlook 2015 that “as the effects of the financial crisis slowly diminish, another trend may come to dominate the scene, namely, increase income inequality”. In a new book Capital in the Twenty First Century, Professor Thomas Piketty of Paris School of Economics disputes the validity of established theories in economic growth and income distribution proposed by Nobel Laureates in Economics Professor Simon Kuznets of Harvard University and Professor Robert Solow of MIT respectively. The well-known Kuznets curve showed that income distribution is bell-shaped; it is increasing in the early stage of development but decreasing as an economy developed. Professor Solow proposed “the balanced growth path” which also showed that income distribution will ultimately balancing toward more
96
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
equal distribution. In contrast Dr. Piketty showed that inequality of income has historically been increasing in both the US and Europe. The main reason is that the rate of return on capital significantly exceeds the growth rate of the economy. This had been the case through much of history until the 19th century and is likely to be the case again in the 21st century. Capital and wealth had been unequally distributed at the outset.
Debates about income inequality Actually the debate about inequality of income has become more prominent since the financial crises that the world had been experiencing, especially the Global Financial Crisis of 20072009. Some writings by academics like Professors Joseph Stiglitz and Jeffrey Sachs are all testimonies of the concerns regarding increasing income inequality. Amidst the debates about the global spread of income inequality, Fed Chairperson Janet Yellen recently made a presentation at a conference in Boston stating her great concern of the rising income and wealth inequality, and asking whether this is compatible with American values. Curiously though in her detailed presentation, Dr Yellen did not touch on the issue of whether QE contributed to the inequality. The rise of income and wealth inequality could threaten the social fabric of economies harbouring them. This is too important an issue to be ignored, even in monetary policy, no matter how unconventional it is.
25 New monetary easings raise concern
RECENTLY, the central banks of three of the world’s largest economies attempted to stimulate their economies by adding new liquidities. The US Federal Reserve under chairman Ben Bernanke, acting on its promise to address the worst US unemployment since the Great Depression, decided to purchase mortgage-backed securities worth up to $40 billion every month. The program will be executed indefinitely until the unemployment falls to a more acceptable level. This is known as QE3, following two similar monetary stimulus initiatives since the global financial crisis struck. This decision was made only a few days after European Central Bank President Mario Draghi announced his version of monetary easing, or what he called outright monetary transactions (OMT). It took the form of a program to purchase sovereign bonds of Eurozone countries in the secondary market with fewer conditions. There is now no requirement for triple A-rated bank collateral, and the bonds are not treated as senior loan, meaning in the event of bankruptcy, the ECB loan does not get priority for repayment. However, countries have to subscribe to a bailout program with tough fiscal and structural reform conditions — as in the case of Greece, Ireland and Portugal. After this, the Bank of Japan too implemented its brand of quantitative easing by buying assets held by banks and giving them
98
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
loans of about $4,127 billion. On Oct 26, Japan’s Cabinet approved a 423 billion yen ($5.3 billion) economic stimulus package, a move to combat recession as its economic recovery falters. In all these policies, the central banks seem to show the public that they are proactively pursuing a policy to salvage their economies. In a way, these independent central banks have made a unilateral decision to make the policies, without being pressured by their governments. There is no clear answer as to whether these policies work. Most economists who support QE3 could only claim that it is because of these actions that the countries’ financial sectors, as well as the global financial system have not worsened. Indeed, every time such a policy has been announced, the market has responded positively, though only for a short time before doubts returned. Only market players seem to welcome the moves of these monetary authorities and even then such positive response has lasted only briefly. After the initial euphoria, the market players resume worrying about the longer-term problems, like whether the sovereigns could repay their debts, when growth would resume and when the unemployment problem would dissipate. In other words, there is scepticism over the long-term impact of these monetary policies and whether they are effective to address the problem of unemployment. Draghi has stated very clearly that OMT cannot be effective without cooperation from the real sector. Monetary policy alone is not enough to have an impact on the real sector. Basically, monetary policy is no substitute for fiscal policy. The problem lies in weak demand coupled with a fragile financial system. There is also the issue of whether a monetary authority has a clear mandate to address the problem of unemployment that a quantitative easing is clearly meant to tackle. In a way a quantitative easing seems to be a quasi-
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
99
fiscal policy, which may not be within the mandate of a central bank. For sure the Federal Reserve’s mandate does include the objective of achieving full employment in the US. However, this is not clearly the case with the ECB, whose main function is to maintain stability against inflation and deflation. Most central banks in Asia after the Asian financial crisis of 1997-98 have also become independent with a narrower mandate of merely guarding financial and/or economic stability. Another issue involves the ballooning of the balance sheet of these central banks and its implication. In the last four years of QE1 and QE2, the balance sheet of the Fed increased by more than $2 trillion. Now there is a serious possibility of a sovereign default by Greece because of euro cri- sis. And if ECB loans to banks are not treated as senior loans, there is a grave possibility of a central bank default. A more serious impact many economists are worried about is on price stability or inflation. It does not take a hard-core monetarist to believe that too much liquidity would ultimately result in inflationary pressure. The Japanese economy in the 1980s and the US economy in the 1990s showed that too much liquidity and very low interest rates for too long could create bubbles — properties or stocks which ultimately developed into financial crises. The worry over the impact of this strategy on inflationary pressure is as valid as concerns over the quantitative easing executed by the Fed, the ECB and the BOJ. For emerging Asian economies, there is yet another concern that can- not be ignored. Money is “fungible”, as students of monetary economics would say. Additional liquidities arising from the QE3 initiatives of these central banks will not necessarily be spent in their own economies. Any extra liquidity that households, enter- prises or banks have will be used first to clear their outstanding obligations and to improve their balance sheets
100
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
(deleveraging) before any though about spending, which would then create additional demand, boosting growth and ultimately employment. But where will these additional funds go? They will flow to where there is more room for profit. In this regard, the emerging economies are the most likely destination. In a globalized financial system, it is the emerging economies that will have to deal with these additional liquidities looking for room to unload. This means additional challenge for the monetary authorities of the emerging Asian economies, which are already facing increasing risks in general.
26 Tiongkok, AS, dan Kita
NEGARA-NEGARA dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendalakendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia. Apa yang sebenarnya terjadi? Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan
102
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan rebalancing, yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negaranegara pengekspor komoditas dan sumber alam: Brazil, Chile, Rusia, serta Australia dan Indonesia. Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014. Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi overshoot. Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang sebelumnya
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
103
menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena aliran balik modal ini (taper tantrum). Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya, seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan. Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya. Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek dalam denominasi
104
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
dollar AS). Juga negara yang sedang dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian “Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzhen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan setelahnya. Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu pekan, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
105
Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar. Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah ketidakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok. Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen tahun 1999. Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya
106
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember nanti. Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir pekan. Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa terjadi. Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
107
jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga.
BAGIAN KETIGA: TULISAN DARI AKADEMISI SEBAGAI PESERTA
27 Daya Saing Regional dan Global: Suatu Tantangan dan Kesempatan Bagi Indonesia Insukindro, dosen Fakultas Ekonomika Universitas Gadjah Mada
Pengantar Sejak memasuki tahun 2016, Indonesia memasuki era ekonomi baru dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai 31 Desember 2015. Dinamika ekonomi di kawasan regional Asean, khususnya, tentu saja akan member sinyal akan pentingnya Indonesia meningkatkan daya saing baik secara global maupun di kawasan Asean. Ini semua tentu menjadi peluang atau kesempatan dan sekaligus tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Untuk itu kita perlu mempelajari dan mengetahui posisi daya saing Indonesia baik di tingkat global maupun di kawasan Asean dengan mengkaji indeks daya saing Indonesia. Di sisi lain, guna mendukung kinerja ekonomi dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada semua pelaku ekonomi pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, sejak pertengahan tahun 2015 mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi (fiskal, moneter, jasa keuangan dan lainnya). Kebijakan ini tidak saja dimaksudkan untuk mendorong permintaan agregat tetapi juga memacu peningkatan penawaran agregat. Makalah ini mencoba mengemukakan analisis daya saing Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Dijkstra et al (2011) yang juga menjadi kerangka acuan oleh
112
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
World Economic Forum (WEF, 2014-2016) dalam menentukan Indeks Daya Saing Global terhadap 144 negara di dunia, termasuk Indonesia. Selain itu, dalam makalah ini juga dicoba digunakan pendekatan makroekonomika baru: IS-MP-IA-Yd untuk menganalisis pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap keseimbangan ekonomi di Indonesia (Insukindro, 2015)
Konsep, Indikator, dan Analisis Daya Saing Regional / Global Dijkstra et al 2011 mendefinisikan daya saing regional sebagai berikut: Regional competitiveness can be defined as the ability to offer an attractive and sustainable environment for firms and residents to live and work. Mereka menyebutkan ada 11 pilar/ dimensi daya saing regional dan dapat diklasifikasi menjadi 3 grup. 1. Grup dasar (Basic group) yang mencakup: kelembagaan (institutions), stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability), infrastruktur (infrastructure), kesehatan (health) dan kualitas pendidikan dasar dan menengah (quality of primary and secondary education) Lihat juga Annoni dan Dijkstra (2013). 2. Grup efisiensi (Efficiency group) yang mencakup: pendidikan tinggi, pelatihan dan pembelajaran sepanjang masa (higher education, training and lifelong learning), efisiensi pasar tenaga kerja (labor market efficiency) dan ukuran pasar (market size). 3. Grup inovasi (innovation group) yang mencakup kesiapan teknologi (technological readiness), sofistikasi bisnis (business sophistication) dan inovasi (innovation). Indikator dan Analisis Daya Saing Untuk mengkaji ketiga grup tsb diperlukan variabel indikator dan analisis ekonomi mikro dan makro. Berkaitan dengan itu, diperlukan pengetahuan tentang efisiensi dan siklus ekonomi baik
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
113
ekonomi mikro dan makro. Lihat: Huggins et al (2013) Indikator dalam studi Dijkstra et al (2011) 1. Indikator Pilar Kelembagaan yang menyangkut: indeks korupsi, akuntabilitas, stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, kualitas pengaturan, ketentuan hukum, dan kemudahan dalam berbisnis. 2. Indikator Stabilitas Makroekonomika yang terdiri dari defisit/ surplus pengeluaran pemerintah, pendapatan, tabungan dan kredit bersih, inflasi, dan keuntungan dari obligasi jangka panjang. 3. Indikator Infrastruktur: densitas jalan untuk kendaran bermotor, densitas jalan kereta api, dan jumlah penumpang. 4. Indikator Pilar Kesehatan yang mencakup: harapan hidup sehat, tingkat kematian bayi, tingkat kematian karena kanker, tingkat kematian karena serangan jantung, serta tingkat kematian karena bunuh diri. 5. Indikator Pilar Kualitas Pendidikan Dasar & Menengah yang meliputi: pangsa rendahnya capaian anak 15 th dalam membaca, pangsa rendahnya capaian anak 15 tahun dalam matematika, dan angsa rendahnya capaian anak 15 tahun dalam sains. 6. Indikator Pilar Pendidikan Tinggi dan Pelatihan serta Pembelajaran sepanjang masa. Yang masuk dalam cakupan ini: penduduk usia 25-64 tahun yang memiliki pendidikan tinggi, pembelajaran sepanjang masa, aksesibilitas masuk perguruan tinggi, serta biaya atau pengeluaran pendidikan tinggi. 7. Indikator Pilar Efisiensi Pasar Tenaga Kerja yang mencakup: tingkat pekerja (orang bekerja), pengangguran jangka panjang, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja, neraca gender dalam pengangguran, dan pengangguran perempuan 8. Indikator Pilar Ukuran Pasar yang meliputi: PDB, pendapatan
114
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
siap pakai, pasar potensial sebagai persentase PDB, pasar potensial sebagai persentase jumlah penduduk, dan kompensasi pekerja. 9. Indikator Pilar Kesiagaan Teknologi yang terdiri dari: jumlah RT yang mempunyai akses internet, individu yang memesan barang dan jasa via internet, perusahaan yang menggunakan komputer, perusahaan yang mempunyai akses internet, perusahaan yang mempunyai website, dan perusahaan yang mempunyai jaring internal (LAN). 10. Indikator Pilar Kecanggihan Bisnis yang mencakup: jumlah pekerja dalam inter mediasi keuangan dan real estat, intensitas FDI, indikator agregat untuk penguatan kluster regional. 11. Indikator Pilar Inovasi yang cakupannya adalah: permohonan hak paten inovasi, publikasi ilmiah, SDM dalam bidang sains dan teknologi, pekerja dengan intensitas teknologi & ilmu pengetahuan, penemu teknologi tinggi, dan penemu bioteknologi.
Indeks Kompetisi Global: Analisis Tabel Tabel 1 menunjukkan bahwa selama periode 2013/14-2015/16, Indonesia menduduki peringkat 34 dari 144 negara yang diamati oleh World Economic Forum, atau peringkat 4 di Asean. Namun demikian, jika diamati Indeks Kompetisi Global berdasarkan kebutuhan dasar (Tabel 2), aspek kelembagaan Indonesia lebih baik dari Thailand dan aspek lingkungan makro Indonesia lebih baik dari Malaysia tetapi lebih buruk dibanding Filipina. Yang mengejutkan dan perlu menjadi perhatian khusus bagi kita adalah aspek pendidikan dasar dan kesehatan, karena Indonesia berada di bawah Vietnam. Tentu saja diharapkan kebijakan Presiden Joko Widodo dengan kartu sehat dan kartu pintar di masa yang akan datang dapat memperbaiki posisi Indonesia. Selanjutnya, jika diperhatikan aspek pemicu efisiensi komponen
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
115
efisiensi di pasar tenaga kerja nampaknya perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Tabel 3 memberi indikasi bahwa daya saing tenaga kerja di Indonesia adalah yang terburuk di Asean. Di sisi lain, ukuran pasar (market size) Indonesia tahun 2014/15 menduduki peringkat ke 15 dan meningkat ke posisi ke 10 pada tahun 2015/16. Ini memberi indikasi bahwa Indonesia merupakan pasar utama di Asean.
Indeks Kompetisi Global
2013-14 2014-15 2015-16
Swiss USA Jepang Hongkong Taiwan Australia Korea Selatan
1 3 6 7 14 22 26
1 3 6 7 14 22 26
1 3 6 7 14 22 26
Indeks Kompetisi Asean
2013-14 2014-15 2015-16
Singapore Malaysia Thailand Indonesia Filipina Vietnam Laos Kamboja Myanmar
2 20 31 34 52 68 93 95 133
2 20 31 34 52 68 92 94 134
2 20 31 34 52 68 93 95 134
Kecanggihan bisnis dan inovasi di Indonesia (Tabel 4) cukup memberi harapan karena Indonesia menduduki peringkat ke tiga di Asean. Tentu saja muncul dan berkembangnya industri kreatif
116
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
baik yang konvensional terlebih lagi yang elektronik akan dapat mengambil ceruk pasar baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Tabel 2: Indeks Kompetisi Global: Kebutuhan Dasar
Kelembagaan Infrastruktur Lingkungan Pendidikan
Makroek.
& Kesehatan
14-15 15-16 14-15 15-16 14-15 15-16 14-15 15-16
Singapura 3
2
2
2
15
12
3
2
Malaysia
20
23
25
24
44
35
33
24
Thailand
84
82
48
44
19
27
66
67
Indonesia 53
55
56
62
34
33
74
80
Filipina
67
77
91
90
26
24
92
86
Vietnam
92
85
81
76
75
69
61
61
Laos
63
71
94
98
124
70
90
90
Kamboja
119
111
107 101
80
64
91
87
Pendekatan IS-MP & IA-yD Pendekatan ini merupakan modifikasi dari Geese dan Wagner (2007). Dalam pendekatan ini ada 3 kurva yakni kurva IS yang mencerminkan keseimbangan di pasar barang diterawang ke depan (forward looking), kurva MP yang mencerminkan kurva kebijakan moneter yang mengikuti kaidah Taylor. Kurva Penyesuaian Inflasi ~ Kurva IA yang menunjukkan perilaku perusahaan dalam penentuan harga diterawang ke depan dengan anggapan adanya kekakuan harga. Kurva IS : yt = a0 + a1Et yt+1 + a2yt-1 – a3(rt-r*) Kurva MP: rt = r0 + b1rt-1 + b2 Et rt+1 + c1πt + c2(yt-y*) Kurva IA : πt = β0 + β1πt-1 + β2Etπt+1+ φ(yt-y*) + δ1St … r = suku bunga riil r* = r tingkat alamiah y = output (dalam log) y* = y tingkat alamiah atau π = inflasi potensial
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
117
Analisis besaran ekonomi Indonesia dengan pendekatan makroekonomika baru didasarkan pada fenomena yang terjadi sejak tahun 2015 kuartal III. 1. Berdasarkan analisis kesenjangan output atau fluktuasi ekonomi (Gambar 1) sejak 2015(III) perekonomian Indonesia berada pada kondisi yang positif atau berita bagus (good news) atau siklus ekonominya sedang berada pada posisi ekspansi. 2. Seperti telah diketahui bahwa pemerintah, BI dan OJK sejak September 2015 menerbitkan berbagai paket kebijakan yang memberi stimulus terhadap permintaan dan penawaran agregat perekonomian Indonesia. 3. Analisis isu 1 dan 2 di atas dapat diamati pada Gambar 2 Insukindro (2015)
118
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
119
REFERENSI 1. Annoni, P. and L. Dijkstra (2013), EU Regional Competiveness Index, European Commission JRC Scientific and Policy Reports. 2. Dijkstra, L., P. Annoni and K. Kozovska (2011), A New Regional Competitiveness Index: Theory, Methods and Findings, European Union Regional Policy Working Papers, No. 2/2011. 3. Giese, G. and H. Wagner (2007), Graphical Analysis of the New Neoclassical Synthesis, Diskussionsbeitrag Nr. 411, April.. 4. Huggins, R., H. Izushi and P. Thompson (2013), Regional Competitiveness: Theories and Methodologies for Empirical Analysis, JCC: The Business and Economics Research Journal, Vol. 6: 155172. 5. Insukindro (2015), Neoklasik Baru Bastar (Hibrida), Bahan Ceramah, Seminar Program S2-S3 FEB UGM, Yogyakarta, 4 Desember 6. World Economic Forum (2014-2016), The Global Competitiveness Report.
28 Ketimpangan Antar-Daerah dan Unbalanced Growth Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D, Guru Besar dan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
MEMASUKI akhir kuartal pertama 2016, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan dengan masalah “klasik” yang sudah lama mengakar di Indonesia yaitu ketimpangan pendapatan. Presiden Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk terus mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan, baik ketimpangan antargolongan pendapatan maupun ketimpangan antar daerah. Bahkan saat membuka rapat di Kantor Istana Presiden, Jokowi meminta agar semua kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan dari pemerintah betul-betul dijalankan secara terpadu dan terintegrasi antar lembaga.1 Bagaimanakah pola pembangunan Indonesia sejak reformasi apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah dinikmati semua golongan masyarakat dari Sabang sampai Merauke?
1. Detik Finance, “Jokowi: Program Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi Harus Betul-betul Jalan“, http://finance.detik.com/read/2016/03/16/174145/3166402/4/jokowiprogram-kemiskinan-dan-ketimpangan-ekonomi-harus-betul-betul-jalan, diakses pada 4 April 2016.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
121
GLOBALISASI DAN DESENTRALISASI FISKAL Integrasi ekonomi, yang menghilangkan semua hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, dapat meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara anggota (Dollar, 1992; Sach et al. 1995; Edwards, 1998; Wacziarg, 2001). Integrasi ekonomi diharapkan dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat memacu efisiensi di antara pelaku domestik, meningkatkan kualitas dan kuantitas input maupun barang dalam perekonomian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaaan dengan semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja. Semakin terbuka suatu daerah (dalam konteks ekspor dan impor) maka semakin tinggi pula tingkat investasi serta aliran barang dan jasa pada daerah tersebut (lihat Gambar 1). Hubungan khusus antara sumber daya tenaga kerja, modal, dan sumber daya daerah akan terkoordinasi secara sempurna oleh mekanisme pasar di mana perdagangan memainkan peran utamanya sebagai multiplier effect dalam pertumbuhan ekonomi daerah.
Gambar 1. Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat Keterbukaan
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Tambunan (2010)
Investasi
122
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Tingkat keterbukaan ekonomi daerah berkorelasi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberikan ruang terbuka bagi para pemimpin daerah untuk tidak melakukan proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan yang tertutup. Argumen dasar dalam kondisi ini adalah perdagangan sebagai efek positif dari keterbukaan ekonomi yang akan menciptakan lebih banyak keuntungan di tingkat lokal dibandingkan jika tidak melakukan perdagangan. Untuk mulai “membuka diri”, tiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonomi masing-masing daerah yang memberikan keuntungan kompetitif bagi daerahnya masingmasing. Hal utama yang harus dilakukan oleh pemimpin daerah adalah mengembangkan sektor swasta dan kelembagaan, peraturan yang memadai dan mendukung di sektor-sektor investasi dan perdagangan. Richardson (1995) meneliti mengenai hubungan antara perdagangan bebas dan ketimpangan yang difokuskan pada negara-negara maju terutama Amerika Serikat. Wood (1997) dan Hanson & Harrison (1999) meneliti mengenai dampak liberalisasi perdagangan terhadap ketimpangan upah di negara-negara sedang berkembang. Zhang dan Kevin (2003) juga menemukan bahwa peningkatan perdagangan dan pergerakan modal telah menyebabkan spesialisasi yang lebih besar dalam produksi dan penyebaran proses produksi khusus untuk lokasi geografis yang jauh. Secara teoritis globalisasi akan membuat negara berkembang lebih egaliter melalui peningkatan upah tenaga kerja tidak terampil yang berpenghasilan rendah, karena negara ini memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi barang dan jasa dengan tenaga kerja tidak terampil. Tabel 1 menunjukkan pola keterbukaan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan regional antarporvinsi di Indonesia selama periode 1994-2012. Tingkat integrasi ekonomi di Indonesia dapat dilihat dari peningkatan perdagangan luar negeri dan arus PMA. Rasio perdagangan (jumlah ekspor dan impor) terhadap PDB (biasanya didefinisikan sebagai keterbukaan ekonomi) telah meningkat dari 52.18% menjadi 85.96% selama periode 1994-
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
123
2012. Lain halnya dengan arus PMA antarprovinsi di Indonesia yang fluktuatif dari tahun ke tahun, di tahun 1994 sebesar 4.08%, sedangkan di tahun 2012 sebesar 9.04%.
Tabel 1. Keterbukaan Ekonomi, PMA, dan Ketimpangan Regional di Indonesia Thn Keterbukaan Ekonomi (%)
PMA/PDB PDB Riil % (2000=100)
IPM %
Indeks Gini
1994
52.18
4.08
38.23
62.73
0.34
1995
53.91
8.83
41.71
62.73
0.34
1996
57.08
6.33
44.43
67.70
0.32
1997
60.24
12.92
47.46
67.70
0.33
1998
70.97
9.31
74.90
67.70
0.36
1999
44.96
5.82
74.90
64.30
0.36
2000
71.44
12.37
100.00
64.30
0.37
2001
70.28
12.73
113.32
64.30
0.31
2002
65.63
7.07
124.58
65.80
0.31
2003
65.20
7.80
136.76
65.80
0.39
2004
73.88
6.25
145.85
68.70
0.39
2005
81.87
5.57
171.36
69.57
0.40
2006
84.61
3.13
184.27
70.10
0.40
2007
86.54
5.33
198.11
70.59
0.39
2008
89.59
8.31
223.97
71.17
0.41
2009
75.31
4.84
228.33
71.76
0.38
2010
82.35
6.52
245.48
72.27
0.39
2011
87.78
7.21
255.30
72.77
0.39
2012
85.96
9.04
266.74
73.29
0.39
Sumber: BPS dan BKPM (berbagai edisi), data diolah Jawa dan Sumatra tetap mendominasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia.
124
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Pulau Kalimantan menempati urutan ketiga dalam sumbangan terhadap PDB Indonesia dan peran Kalimantan dalam pembentukan PDB nasional mengalami penurunan. Dalam mendorong perekonomian wilayah Kalimantan, realisasi investasi PMDN dan PMA masih relatif kecil. Meskipun demikian, secara umum peringkat iklim investasi wilayah Kalimantan selama periode 20102012 masih cukup baik (lihat Tabel 2 dan 3). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berlebihan jika Pulau Kalimantan dianggap sebagai kekuatan ekonomi dan sosial di Kawasan Timur Indonesia.
Tabel 2. Realisasi Investasi PMA 2010-2012 (Dalam US$) Pulau 2010 2011 2012 Proyek Investasi Proyek Investasi Proyek Investasi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali & NTT Maluku Papua Total
747
667
2.076
695
3.729
1.973 11.498
359
2.632
12.324
2.807
13.659
254
2.011
331
1.918
355
3.208
80
859
146
715
187
1.507
372
502
474
952
477
1.126
10
248
31
141
19
98
28
346
61
1.345
39
1.234
3.076
16.214
4.342
19.474
4.579
24.564
Sumber: Bappenas (2012)
Unbalanced Growth dan Trickle-up Effect Dalam studi empiris, ada dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan berapa kue nasional yang dinikmati 40 persen golongan pendapatan terendah. Ketimpangan yang meningkat diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar sebagaimana
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
125
tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011)2 dan terakhir masih berada pada angka 0,40 (BPS, 2016).
Tabel 3. Realisasi Investasi PMDN 2010-2012 (Nilai Investasi Dalam US$) Pulau
2010 Proyek Investasi
Sumatera
222
4.224
2011
2012
Proyek Investasi 370
16.334
Proyek Investasi 287
14.256
Jawa
397
35.140
601
37.176
636
52.692
Kalimantan
149
14.575
198
13.467
183
16.739
Sulawesi
58
4.337
82
7.227
59
4.900
Bali & NTT
39
2.119
32
356
29
3.167
Maluku
2
0,00
4
13
4
323
Papua
8
229
26
1.425
12
100
875
60.626
1.313
76.000
1.210
92.182
Total
Sumber: Bappenas (2012) Data BPS hingga Januari 2016 menunjukkan fakta menarik. Tingkat kemiskinan turun dari 16,66% di awal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah (2004) menjadi 14,15% di akhir era Kabinet Indonesia Bersatu I (2009), bahkan turun menjadi 10,96% pada September 2014 di akhir 10 tahun SBY memerintah (ihat Gambar 2), dengan jumlah penduduk miskin masih 27,73 juta orang. Pasca Jokowi memerintah selama satu tahun, tingkat kemiskinan malah meningkat menjadi 11,13% pada September 2015, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 28,51 juta orang. Memang secara historis rekor kemiskinan ini paling rendah, baik besaran maupun prosentasenya, sejak 1970. Namun, penurunan kemiskinan nyatanya masih di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan terjadi pelambatan di akhir era SBY, bahkan ada peningkatan hingga setahun pemerintahan Jokowi. 2
Mudrajad Kuncoro, “Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita?”, Kompas, 15 Juni 2012.
126
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Mencermati fakta ini, tantangan utama pemerintah Joko Widodo (Jokowi) adalah bagaimana menurunkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan antargolongan pendapatan yang cenderung meningkat (Kuncoro, 2013), dan kemiskinan yang masih substansial? Dalam dokumen resmi Kabinet Kerja yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019, Jokowi-JK menetapkan sasaran nasional hingga 2019: (1) pertumbuhan ekonomi 5,8-8 persen; (2) kemiskinan menjadi 8-10,5 persen; (3) pengangguran turun menjadi 7-8 persen; (4) indeks gini turun dari 0,41 menjadi 0,36.
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan, dan Rasio GINI: Indonesia 2002-2014
Sumber: BPS (2015) Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk golongan terendah justru diikuti kenaikan kue nasional yang dinikmati 20% kelompok terkaya dari 42,2% (2002) menjadi 48,42% (2011) namun menurun menjadi 47,84% (September 2015). Sementara kelompok 40% penduduk golongan menengah mengalami penurunan kue nasional dari 36,9% (2002) menjadi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
127
34,7% (2011) dan 34,7% (September 2015). Ternyata ada indikasi kuat terjadi trickle-up effect, efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan kita. Kedua, ketimpangan antardaerah penting untuk diteliti karena gravitasi aktivitas ekonomi Indonesia masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke kawasan barat Indonesia (KBI) selama lebih dari lima dasawarsa terakhir. Betapa tidak. Data BPS hingga triwulan IV 2015 menunjukkan, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 58,3%, yang disusul Sumatera (22.4%), Kalimantan (8,0%), Sulawesi (5,0%), Bali dan Nusa Tenggara (3,3%) dan Maluku dan Papua (3,0%). Struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih terkonsentrasi KBI sekitar 8081% (lihat Tabel 2). Kawasan Timur indonesia (KTI), sebagai kawasan pinggiran, hanya kebagian sisanya yaitu sekitar 19-20%. Singkatnya, pola unbalanced development di Indonesia masih terus terjadi, yang tercermin dari kuatnya “pusat” (Jawa-Sumatra) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan “pinggiran” (KTI dan desa). Pembangunan ekonomi Indonesia memang bias ke barat (KBI), yang memegang pangsa sekitar 80-81% dari kegiatan ekonomi nasional. Ketimpangan antarwilayah dan pulau terus terjadi. Ketimpangan antardaerah di Indonesia dapat diukur dengan indeks entropi Theil. Tren indeks entropi Indonesia selama 2001-2007 memperlihatkan bentuk kurva ”U”. Periode sebelum tahun 2003 memiliki pola menurun. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran pangsa PDRB provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, sampai 2003 terdapat bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun, pola sebaliknya terjadi pada 2004-2007, konsentrasi spasial cenderung naik. Namun, pada 2008-2010 tren indeks entropi total kembali menurun. Indeks entropi menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial lain. Keunggulan utama indeks ini adalah pada suatu
128
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada sejumlah daerah dan subdaerah (baca: pulau dan provinsi atau provinsi dan kabupaten/ kota) dalam suatu negara. Faktor penyebab tren indeks entropi total 2001-2007 berbentuk kurva ”U” adalah meningkatnya indeks entropi antarpulau, tetapi dibarengi menurunnya entropi dalam pulau selama periode 2001-2010.3
Tabel 3. Peranan Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional, 2012-2015 (persen) Wilayah/Pulau
2012 2013 2014 2015
Sumatera
23,74
23,81
23,63
22,37
Jawa
57,65
57,99
58,51
58,27
Bali dan Nusa Tenggara
2,51
2,53
2,58
3,38
Kalimantan
9,30
8,67
8,21
7,99
Sulawesi
4,74
4,82
4,97
5,01
Maluku dan Papua
2,06
2,18
2,10
2,98
PDB
100
100
100
100
Sumber: BPS (2015)
Hal ini mencerminkan adanya tren meningkatnya konsentrasi geografis di hanya beberapa pulau terutama di KBI, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera. Sementara tren indeks entropi dalam satu pulau cenderung menurun. Hal yang menarik, ternyata terjadi penurunan indeks entropi dalam satu pulau secara substansial selama 20012010. Artinya, ketimpangan antarprovinsi dalam setiap pulau cenderung turun selama periode itu kendati ketimpangan antar pulau makin meningkat.
3 Mudrajad Kuncoro, “Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-Regional Inequality?”, South East Asian Journal of Contemporary Business, Economics and Law, vol.2, 2013.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
129
Membangun “Pinggiran” Indonesia Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di perdesaan berkisar antara 14-20%, sementara di perkotaan hanya sekitar 8-14%. Kedua, kantong kemiskinan terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI), pantai selatan Jawa, dan bagian selatan Sumatra (lihat Gambar 3).
Gambar 3. Pola Spasial Kemiskinan di Indonesia Tahun 2014 Sumber: BPS (2014) dalam Kemendagri (2014)
Data Bappenas menunjukkan masih ada 122 kabupaten yang tergolong tertinggal di Indonesia pada tahun 2015, dengan 70 persen di antaranya berada di KTI (lihat Gambar 4). Jumlah tersebut terdiri dari 113 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama 2004-2009 dan 9 daerah kabupaten baru hasil pemekaran. Penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah tertinggal karena: (1) letak geografisnya terpencil dan sulit dijangkau; (2) kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai; (3) kegiatan investasi dan produksi masih minim; (4) berada di kawasan
130
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
perbatasan antar negara. Inilah asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah “pinggiran” karena berada di kawasan perbatasan, sulit dijangkau bahkan terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan memiliki infrastruktur seadanya.
Gambar 4. Peta Lokasi Daerah Tertinggal dan Non-tertinggal di
Indonesia, 2015 Sumber: Bappenas (2015) Untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata, Jokowi-JK memberi mandat kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPDT2), yang disebut Nawakerja Prioritas. Dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh P2EB FEB UGM (15/10/2014), Menteri KDPDT2, Marwan Jafar, menjabarkan bahwa Nawakerja Prioritas itu meliputi 9 program jangka pendek unggulan yang harus segera diimplementasikan, yaitu: (1) perluncuran “Gerakan Desa Mandiri” di 5.000 desa; (2) pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di 5.000 desa; (3) pembentukan dan pengembangan 5.000 BUMDES (Badan Usaha Milik Desa); (4) Revitalisasi Pasar Desa di
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
131
5.000 desa/kawasan perdesaan; (5) pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5.000 Desa Mandiri; (6) penyiapan implementasi penyaluran Dana Desa Rp 1,4 miliar per desa secara bertahap; (7) penyaluran modal bagi koperasi/UMKM di 5.000 desa; (8) pilot project pelayanan publik jaringan koneksi online di 5.000 desa; (9) save villages di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil. Tujuan besar dari 9 program tersebut adalah mewujudkan desa mandiri, membangun infrastruktur yang menunjang perekonomian desa, penyaluran modal untuk koperasi, peluncuran sistem pelayanan publik online, dan menjaga desa-desa di wilayah perbatasan. Faktor Kelembagaan Dalam ekonomi pembangunan, teori Gunnar Myrdal menekankan proses divergen yang menyebabkan ketimpangan makin melebar. Fenomena ini dijelaskan Myrdal sebagai akibat dari proses penyebab akumulatif (cumulative causation/CC). Myrdal (1957) menyebut adanya dampak kurang menguntungkan untuk menjelaskan fenomena meningkatnya ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Ia berpendapat, backwash effect lebih besar daripada dampak penyebaran. Dampak penyebaran adalah dampak dari ekspansi di pusat kegiatan ekonomi ke daerah yang relatif tertinggal melalui kenaikan permintaan produk pertanian (misalnya bahan pangan), bahan baku, serta barang konsumsi yang dihasilkan industri kecil. Inilah yang minim terjadi di Indonesia karena: (1) produk pertanian dan industri masih banyak yang diimpor dari luar; (2) lemahnya keterkaitan antara usaha besar dan kecil. Teori Myrdal tentang CC tak menyangkal adanya kemungkinan proses konvergen akibat dampak penyebaran. Penyebabnya adalah faktor-faktor ”non-ekonomi” atau kelembagaan. Karena itu, analisis proses pembangunan yang hanya menekankan faktor ekonomi menjadi kurang relevan karena faktor kelembagaan, historis, sosial, dan
132
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
kultural juga berperan. Meski kinerja ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukkan bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi bagi kebanyakan manusia Indonesia. Ketimpangan regional di Indonesia terjadi karena pemerintah pusat menguasai dan mengendalikan hampir sebagian besar pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai penerimaan negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan/kelautan. Pembangunan masih terpusat pada Kawasan Indonesia Barat khususnya di Pulau Jawa, sektor modern umumnya berada di perkotaan, sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan. Akibatnya, ketimpangan pembagian pendapatan semakin melebar, pengangguran semakin bertambah, tingkat kemiskinan semakin tinggi, dan ketidakseimbangan struktural. Tabel 3 memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kawasan Barat Indonesia dari Tahun 2006-2012 mencapai ratarata 5,77 persen dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh Pulau Jawa, sebesar 6,20 persen. Laju pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) lebih tinggi dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia. Walaupun pembangunan ekonomi telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Penyebab lain kesenjangan yang terjadi antara KBI dan KTI adalah keberadaan Ibukota Indonesia yang terletak di Pulau Jawa, yaitu Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibanding provinsi lainnya di luar Jawa. Salah satu kebijakan pemerintah guna mengurangi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
133
tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah khususnya antara wilayah KBI dengan wilayah KTI adalah diterapkannya kebijakan pembangunan melalui konsep kawasan andalan, yang didasarkan pada potensi masing-masing daerah. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pendapatan per kapita antarwilayah sehingga dapat menutup atau mempersempit gap antara perkembangan ekonomi daerah Pulau Jawa dan luar Jawa (Kuncoro, 2002: 14). Namun berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antardaerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang memadai.
Tabel 4. Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Di Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia, 2006-2012 (dalam persen) Provinsi
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rerata
Kawasan Barat Indonesia 5,77 Sumatera
5,26 4,96 4,98 3,50 5,58 6,19 5.82 5,18
Jawa
5,78 6,17 6,02 4,81 6,33 6,65 6,57 6,20
Bali
5,28 5.92 5,97 5,33 5,83 6,49 6,65 5,92
Kawasan Timur Indonesia 5,65 Kalimantan
3.80 3.14 5,35 3.47 5,38 4,97 4,83 4,42
Sulawesi
6,93 6,88 8,43 6,92 8,25 8,10 8,67 7,24
Nusa Tgr
3,92 5,02 3,83 8,22 5,80 1,24 2,15 4,31
Maluku,Papua -0,40 5,72 4,17 11,90 9,93 8,56 7,85 6,62 33 Provinsi
5,19 5,63 5,74 4,77 6,14 6,35 6,30 5,83
Indonesia
5,51 6,32 6,01 4,63 6,22 6,49 6,23 5,92
Sumber: BPS, 2006-2012 (diolah)
Bukti-bukti empiris dan fakta menunjukkan, pertumbuhan ekonomi pasca 1998 meningkat sekitar 4-6% di Indonesia, namun ketimpangan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan Theil juga meningkat. Bahkan kemiskinan yang cenderung menurun
134
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
selama era presiden SBY, justru meningkat di era Jokowi. Dengan kata lain, makin tinggi pertumbuhan, memang jumlah dan tingkat kemiskinan cenderung sedikit menurun, tetapi ketimpangan antara si kaya dan si miskin cenderung kian lebar saat pertumbuhan semakin meningkat di Indonesia selama periode 2002-2015. Masalah ketimpangan ini—dalam praktik—sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya memberikan kesejahteraan masyarakat jika regulasi berpihak kepada rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya, kesenjangan terjadi di mana-mana. Misalnya, di daerah yang miskin dan APBDnya rendah, para pejabat dan kepala dinas mengendarai mobil mewah dan tinggal di perumahan mewah. Tak ketinggalan, para kontraktor sebagai mitra kerja pemda juga ikut menampilkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam secara besar-besaran di daerah, masyarakat di sekitarnya hanya bisa menjadi penonton sehingga mendorong munculnya kecemburuan sosial, kesenjangan, dan berujung pada tindak kekerasan. Inilah ”pekerjaan rumah” tidak hanya bagi Presiden Jokowi dan kabinetnya, tapi juga pemerintah daerah, seluruh komponen masyarakat dan stakeholders lainnya. Faktor kelembagaan, historis, sosial, dan kultural inilah agaknya yang perlu dibenahi secara lebih serius. Ketimpangan dan kemiskinan Indonesia perlu menjadi perhatian bersama. Pembangunan jangka menengah ataupun jangka panjang ke depan perlu lebih diarahkan untuk pemerataan ekonomi antarkota/kabupaten, antarpelaku ekonomi, dan antarsektor. Solusinya, perlunya paradigma pembangunan development for all, pembangunan harus berdimensi spasial: tidak hanya sektoral, namun juga memperhatikan di mana lokasi geografis aktifitas ekonomi dan si miskin untuk menurunkan ketimpangan. Paradigma inclusive development yang menempatkan dimensi spasial dan mengatasi ketimpangan antardaerah dan golongan
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
135
masyarakat perlu jadi prioritas nasional dan daerah. Semoga Nawacita dan visi “membangun Indonesia dari pinggiran” tidak hanya cita-cita dan retorika, tapi menjadi realita dengan langkah nyata dan keberpihakan anggaran4 dan program aksi yang benar-benar diimplementasikan dari Jakarta hingga Aceh dan Papua.
DAFTAR PUSTAKA •
Badan Perencanaan Statistik (BPS).(2012).Data Strategis BPS. Jakarta: BPS.
•
BPS. (2011).Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Jakarta: BPS, 11 April 2011.
•
BPS.(2015). Berita Resmi Statistik No. 17/02/Th.XVIII, 5 Februari 2015. Jakarta: BPS.
•
BPS. (2015). Berita Resmi Statistik No. 101/11/Th. XVIII, 5 November 2015. Jakarta: BPS.
•
Bank Indonesia. (2013). Indonesia’s Balance of Payments Report second Quarter 2013, Jakarta: BI.
•
Kemendagri. (2014). Ratio GINI Provinsi Tahun 2013. http://sipd.bangda. kemendagri.go.id/datacenter/index.php?page=indeks_gini, 12 Jan 2016.
•
Kuncoro, Mudrajad (2015), Membangun dari “Pinggiran”. Kompas, http:// print.kompas.com/baca/2015/02/09/Membangun-dari-E2%80%9DPin ggiran%E2%80%9D, 9 Feb 2015.
•
Kuncoro, Mudrajad (2015),Mengurangi Ketimpangan, Kompas, 2 Maret 2013.
•
Kuncoro, Mudrajad (2014), “Titik Kritis APBN 2015”, Kompas, 2 Oktober 2014.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2013a).”Mengobati Penyakit Ekonomi”. Kompas, 3 September 2013.
4 Pada RAPBN 2015, porsi belanja pemerintah pusat ditetapkan Rp 1.380 triliun (68 persen), dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 640 triliun (32 persen). Bila dirinci, belanja pusat tersedot untuk subsidi Rp 433 triliun, belanja pegawai Rp 506 triliun, pembayaran bunga utang Rp 154 triliun, dan pendidikan Rp 119 triliun. Keempatnya menyumbang sekitar 60 persen dari total belanja negara. Besarnya belanja birokrasi sering dikritisi karena tak sebanding dengan tingkat pelayanan publik ke masyarakat dan kurang menimbulkan dampak pengganda pengeluaran yang langsung dirasakan masyarakat maupun perekonomian. Buktinya, peranan konsumsi pemerintah terhadap PDB hingga triwulan II 2014 hanya 8%, padahal konsumsi rumah tangga dan investasi masing-masing mencapai 55,8 persen dan 31,5 persen. Dengan kata lain, APBN
136
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
•
Kuncoro, Mudrajad. (2013b).”Doing Business 2014”, Investor Daily,11 November 2013.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2012a). Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan, Jakarta: Salemba Empat.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2012b). Ekonomika Aglomerasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2011a).”Koridor Ekonomi Indonesia”.Investor Daily, 28Februari 2011.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2011b).“MP3EI: Mitos atau Realitas”, Kompas, 1/8/2011.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2009).”Debottlenecking Infrastruktur”.Investor Daily, 16November 2009.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2009). Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global. Yogyakarta: STIM YKPN.
•
Kuncoro, Mudrajad. (2007). Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?. Yogyakarta: ANDI Offset.
•
O’Neil, Jim. (2011). The Growth Map: Economic Opportunity in the BRICs and Beyond, Penguin Books Ltd, London.
•
World Bank. (2013).Doing Business 2014: Indonesia, Washington DC: WB.
29 Kebangkitan Perencana Tata Ruang dalam Era Digital
Menuju Indonesia Berdaya Saing Global
Ridwan Sutriadi, PhD, Staf Pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK, ITB
1. Pendahuluan Pendahuluan tulisan ini akan dimulai dengan kutipan dari buku Municipal Finance, yang diterbitkan Bank Dunia tahun 2014 (Farvacque-Vitkovic dan Kopanyi, 2014). Disebutkan bahwa hampir semua kota di dunia menghadapi tantangan dalam pembiayaan pembangunan. Kebangkrutan, defisit anggaran, kegagalan pembiayaan, infrastruktur yang tidak terpelihara dengan baik, penurunan kualitas fisik layanan, lingkungan hunian yang menjadi ditinggalkan dan terbengkalai, meningkatnya kemiskinan perkotaan, serta persoalan-persoalan lainnya sering muncul menjadi topik perbincangan dari banyak pemerintah daerah. Persoalan-persoalan pembiayaan tersebut seringkali dikaitkan dengan tantangan bagi perencanaan tata ruang karena perencana tata ruang berhubungan erat dengan ruang tempat semua aktivitas dan pembangunan wilayah dan kota dilakukan. Penjelasannya dilanjutkan dengan mengungkapkan bahwa untuk kondisi saat ini, anggaran pemerintah di hampir semua negara sudah relative cukup untuk biaya operasi pembangunan kota, yang jadi persoalan ialah bagaimana pembiayaan pembangunan dilakukan secara efektif
138
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakatnya secara kolektif. Di lain sisi, Stephen Graham pada bukunya yang berjudul Disrupted Cities (Graham, 2010) menjelaskan bahwa saat ini kita hidup di dunia dimana penduduk perkotaan kian cepat bertambah dengan tantangan pembangunan yang berkelanjutan, ditopang oleh sistem infrastruktur wilayah dan kota diwarnai dengan kemajuan di bidang teknologi yang meluas melintasi ruang geografis, semuanya secara dinamis akan makin mampu menghubungkan mobilitas dan sirkulasi antar kota-kota di dunia. Sebagai contohnya Graham menyebutkan bahwa jejaring infrastruktur di bidang energy menghubungkan antar sistem pemanas, pendingin, dan energi kota mewarnai kehidupan kota-kota. Hal ini tidak terlepas dari sistem ketersediaan energi dengan jejaring global yang kemudian berdampak polusi serta perubahan iklim global. Dibutuhkan dukungan ketersediaan air supaya kota tidak mengalami kekurangan air, termasuk pula perencanaan matang untuk air limbah dan persampahan supaya tidak nampak pada pemandangan kehidupan perkotaan. Di dalam kota-kota itu sendiri, ketersediaan air yang mencukupi, jaringan limbah, sistem distribusi makanan dan limbah secara kontinyu menghubungkan tubuh manusia berikut metabolismenya dengan proses metabolisme yang lebih luas, sehingga secara kolektif untuk suatu kota menciptakan suatu sistem kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan bagi para perencana untuk meningkatkan kualitasnya. Graham menambahkan ilustrasinya dengan menjelaskan bahwa sistem pertanian secara global, pengiriman lintas negara, dan kerumitan dalam sistem perdagangan berupaya mencukupi kebutuhan makanan bagi kotakota. Jalan bebas hambatan, sistem penerbangan, perkeretaapian, dan jaringan jalan yang kompleks antar lokasi turut mendukung aliran pada berbagai tingkatan dari para penglaju (commuters), migran, wisatawan, dan pengungsi, serta materi dan komoditas, kesemuanya terjadi di dalam dan antar kota sampai kepada wilayah pinggirannya dalam suatu sistem perkotaan global. Graham menyebutkan pula bahwa pada era digital sistem
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
139
komunikasi elektronik turut andil sebagai mediator dalam penyediaan informasi secara global, termasuk pula memungkinkan terjadinya transaksi, interaksi, dan pertunjukan (entertainment) yang telah menjadi warna tersendiri dari kapitalisme digital pada era cyberspace yang tidak kasat mata. Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa peran perencana tata ruang, apalagi ketika memasuki era digital, menjadi lebih berat dan kompleks karena tidak hanya infrastruktur fisik yang harus direncanakan untuk tumbuh kembangnya suatu kota pada sistem kota global, tetapi juga infrastruktur elektronik yang dapat memperluas akses dalam memenuhi kebutuhan manusia, dan secara kolektif menciptakan sistem metabolisme kota modern pada tataran global dengan tidak melupakan kelestarian lingkungan. Di buku teks yang lain, John Friend dan Allen Hickling (Friend dan Hickling, 2005) menjelaskan bahwa sudah menjadi bidang bagi para perencana bahwa mereka harus mencari strategi yang tepat dari waktu ke waktu di dalam menyikapi kompleksitas dunia berikut ketidakpastiannya. Dibutuhkan kemampuan merencana yang mumpuni diikuti dengan pengalaman yang memadai dalam merumuskan pendekatan kemudian mengartikulasikannya sejelasjelasnya. Friend dan Hickling menjelaskan bahwa seringkali para perencana mengalami dilemma dalam proses pengambilan keputusan, tidak jarang mereka merasa tidak nyaman malah merasa bersalah. Tapi, secara positif jadikanlah hal ini sebagai suatu tantangan dalam mengimplementasikan produk perencanaan yang mengusung kepentingan publik. Friend dan Hickling menjelaskan bahwa tantangan bagi perencana ialah membuat suatu kemajuan dari penyelesaian persoalan yang ada. Dalam prosesnya, perencana harus mempersiapkan proses pengambilan keputusan (seperti keputusan bersifat operasional, manajerial, sumberdaya, ataupun kewirausahaan), persiapan penyusunan kebijakan, persiapan penyusunan rencana (baik rencana proyek, rencana fisik, rencana finansial, ataupun rencana korporasi). Tidak terlepas pula bahwa
140
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
perencana harus memahami kenyataan yang ada yang seringkali menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, ketidakkonsistenan, ketidakpastian, kekecewaan, ataupun kebimbangan, ketika akan merumuskan dan memilih suatu strategi penyelesaian persoalan. Di sisi lain, terdapat pula tekanan-tekanan dengan nuansa pergolakan, daya saing, kemendesakan, kompleksitas, konflik, ataupun beban berlebih (overload). Pelajaran berharga yang dapat diambil dari Friend dan Hickling terkait dengan peran perencana ialah adanya tuntutan bagi perencana untuk memiliki keahlian dalam merencana itu sendiri tidak hanya keahlian yang bersifat teknis keilmuan multidisiplin melainkan pula bagaimana memposisikannya dalam suatu sistem politik dan dinamika pembangunan pada tataran global. Terkait dengan kemampuan perencana itu sendiri, menempatkan diri pada posisi untuk kepentingan kolektif menjadi suatu hal yang membedakan profesi merencana (tata ruang dan kota) dengan keahlian ataupun profesi lainnya. Penyusunan rencana yang komprehensif juga menjadi lekat dengan tantangan bagi perencana karena produk rencana yang dihasilkan itu sendiri memiliki dampak luas tidak hanya bagi internal kota itu sendiri melainkan pada konteks regional bahkan global. Terkait dengan peran kolektif perencana, Friend dan Hickling ini menjelaskannya dalam konteks organisasional dan pilihan strategis. Dijelaskannya bahwa baik ketika proses penyusunan suatu rencana maupun ketika rencana tersebut akan dilaksanakan secara strategis, interpretasi dari suatu rencana tidak hanya untuk para perencana saja, melainkan pula harus dapat dipahami oleh organisasi-organisasi yang ada di masyarakat, termasuk pula di dalamnya warga masyarakat itu sendiri. Makin besar organisasi serta kompleksitasnya, akan makin besar pula tingkat pengambilan keputusan yang harus menyentuh aspek operasional, manajerial, bahkan peluang keekonomian. Kehadiran era digital bagi para perencana itu sendiri akan membawa tantangan baru, sekaligus dapat menciptakan kebangkitan baru bagi perencana tata ruang (kota). Terdapat artikel yang ditulis oleh Robert Kraushaar yang dipublikasikan 28 tahun yang lalu di Journal of the American Planning Association dengan
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
141
judul Outside the Whale: Progressive Planning and the Dilemmas of Radical Reform. Akan terdapat dilemma bagi perencana ketika suatu reformasi sosial terjadi (dalam hal ini ialah kehadiran era digital untuk kondisi saat ini), dimana para perencana harus bertransformasi untuk tidak hanya bergerak pada ranah reformasi sosial dengan pendekatan tradisional. Pada era reformasi sosial ini, akan terdapat tanggapan-tanggapan dari sistem sosial dan ekonomi yang ada untuk menyelesaikan persoalan, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi (informasi dan komunikasi) terbaru dimana pada akhirnya akan dapat mengubah tatanan kehidupan sosial ekonomi budaya kepada suatu era baru (Kraushaar, 1988: 91-100). Kraushaar pun menambahkan bahwa terdapat tiga dilema dalam konteks reformasi sosial ini yang erat kaitannya dengan tiga tujuan merencana yang saling bertentangan antar satu dengan yang lainnya: (1) koordinasi pada tataran lokal dengan perencanaan itu sendiri, (2) keterlibatan masyarakat yang merupakan ciri dari partisipasi demokratis, serta (3) percobaan-percobaan yang sifatnya selektif (tidak ada suatu obat mujarab resep merencana yang berupa template, dapat diterapkan di semua kota).
2. Isu Perkotaan Nasional Menurut Bappenas (Bappenas, 2015), setidaknya kota-kota di Indonesia menghadapi delapan isu multidimensional dan multisektoral. Adapun kedelapan isu tersebut meliputi: (a). Standar pelayanan minimum; (b). Kemiskinan, sosial, dan kriminal di kota besar; (c). Kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, modal sosial, dan belum termanfaatkannya sosial-budaya; (d). Terbatasnya sumber pendanaan untuk pembiayaan pembangunan kota; (e). Peraturan yang beriorientasi kepada sektoral versus pendekatan yang terintegrasi antar kota dalam system kewilayahan; (f). Kualitas dan kapasitas aparatur, pemerintahan kota serta partisipasi masyarakat, professional, dan swasta; (g). Tidak terkontrolnya tata ruang dan pengelolaan lingkungan; (h). Rendahnya daya saing, dan belum berkembangnya ekonomi lokal kota.
142
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Terlihat dari isu perkotaan nasional di atas bahwa aspek pembiayaan ataupun pendanaan pembangunan perkotaan merupakan salah satu saja dari berbagai isu multidimensional dan multisektoral di Indonesia. Selanjutnya, untuk lima tahun ke depan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019, pembangunan perkotaan di Indonesia diarahkan ke dalam lima fokus yang menunjukan bahwa Indonesia sedang berupaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan juga sudah mulai menginternalisasikan aspek teknologi ke dalam scenario pengembangan kota-kotanya. Adapun kelima fokus tersebut yaitu:
Gambar 1. Proses Teoretik Perencanaan Tata Ruang Hakikat proses merencana secara umum
Cara inovatif
Proses mengorganisasikannya
Pembelajaran masa lalu Sisi Ruang dan Perencanaan Konteks masa depan
pemahaman kondisi saat ini
Kondisi ideal kehidupan sehari-hari untuk tinggal, bekerja, dan bermain
Pemikiran manusia
Tindakan dalam kenyataan
Analisis dari waktu ke waktu
Kawasan perkotaan
Kawasan lainnya
Harapan menciptakan masyarakat yang lebih sehat, atraktif, aman, nyaman, produktif, berkelanjutan
Karakteristik pola tata ruang
Tindakan dalam kenyataan berwawasan ruang Proses Teoretik Merencana Tata Ruang
Sumber: dikembangkan dari Chadwick,
Kualitas masa depan kehidupan
Proses Teoretik Merencana Kota
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
143
(a). Perwujudan sistem perkotaan nasional (SPN); (b). Percepatan pemenuhan standar pelayanan perkotaan (SPP) untuk mewujudkan kota aman, nyaman, dan layak huni; (c). Perwujudan kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana; (d). Pengembangan kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi dan budaya lokal; serta (e). Peningkatan kapasitas tata kelola pembangunan perkotaan.
3. Perencanaan dan Era Digital Berdasarkan Chadwick (Chadwick, 1978) serta analisis dari kondisi saat ini, pada hakikatnya suatu perencanaan merupakan suatu proses pemikiran manusia yang berupaya direalisasikan dalam bentuk tindakan nyata dengan memperhatikan pembelajaran di masa lalu, pemahaman kondisi saat ini. Tindakan nyata untuk menciptakan kualitas kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya memanfaatkan ruang sebagai wadah aktivitasnya dan hal ini yang menjadi penekanan dari proses perencanaan tata ruang, dimana tindakan nyata tersebut pada proses perencanaan secara umum dilengkapi dengan analisis dari waktu ke watu serta pemahaman terhadap pola tata ruang baik masa lalu, saat ini, serta masa depan. Lebih jauh lagi, pada proses perencanaan tata ruang kota, sisi ruang dari perencanaan lebih dirinci menjadi kawasan perkotaan dengan kawasan-kawasan lainnya yang memiliki hubungan sistemik dengan kawasan perkotaan tersebut termasuk kawasan di sekitarnya (seperti kawasan perdesaan). di dalam prosesnya, cara-cara inovatif serta proses mengorganisasikannya untuk kepentingan kolektif menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses teoretik merencana kota guna terciptanya kualitas masa depan kehidupan yang lebih baik. Pertimbangan lainnya yang penting dan lebih spesifik dibandingkan dengan proses teoretik merencana tata ruang ialah kondisi ideal ke hidup sehari-hari untuk tinggal (live), bekerja (work), dan bermain (play). Juga harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat, atraktif, aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
144
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Gambar 2. Jejaring Kolaborasi melalui Ekosistem Digital Pemahaman terhadap karakteristik sumberdaya manusia, pengembangan inovasi, serta kualitas pengelolaan.
Absorption capacity
ICT adoption
Penggunaan TIK berikut ketersediaan aksesnya, pengembangan aktivitas berbasis online, serta kapasitas untuk mengadopsi dan mengadaptasi sistem terintegrasi berikut
Success area for Digital Ecosystems Kepuasan kehidupan, perilaku berwawasan iptek, pengembangan sumberdaya manusia, dukungan institusi, serta lingkungan legal yang kondusif (hak paten, kebijakan inovasi, dan sebagainya)
Social Capital
Pihak-pihak yang bekerja sama (lintas tataran dan lintas pelaku), terdapat aktivitas bersama, serta adanya pemahaman kondisi sosial dan peluang tindakan kolaborasi
Sumber: Rivera Leon, Kataishi, 2009 Sementara itu, digital teknologi (World Bank, 2016), diidentikkan dengan kehadiran teknologi terkini seperti internet, telepon genggam, dan produk ataupun perangkat lainnya untuk mengumpulkan, menyajikan, menganalisis, dan membagikan informasi secara digital, serta dapat disebarluaskan dengan cepat. Laporan World Bank terkini (World Bank, 2016) menyebutkan bahwa untuk konteks negara-negara sedang berkembang, terdapat temuan bahwa makin banyak orang yang memiliki telepon genggam dibandingkan dengan akses terhadap listrik ataupun air bersih. Pengguna internet meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan bisnis, masyarakat, dan pemerintahan lebih terhubungkan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Lebih jauh lagi, hal ini menandakan bahwa telah terjadi revolusi digital dimana baik individu ataupun masyarakat merasakan dan dapat memanfaatkannya. Orang dapat lebih
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
145
mudah berkomunikasi dan mendapatkan informasi, berpeluang mendapatkan kenyamanan lebih, mendapatkan produk digital secara bebas, serta munculnya bentuk baru dalam mengisi waktu senggang. Dalam konteks lebih luas, terdapat keterhubungan sosial yang baru dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memungkinkan terhubung dengan masyarakat dunia secara global. Tetapi hal ini membutuhkan investasi besar di bidang TIK yang diharapkan dapat memberikan layanan publik yang lebih baik, serta peluang lapangan kerja baru. Cerminan dari kemajuan era digital seperti yang terjadi di Eropa, dapat dilihat dari Digital Ecosystems, publikasi Springer hasil dari konferensi internasional ketiga OPAALS (Open Philosophies for Associative Autopoietic Digital Ecosystems) tahun 2010. Dijelaskan oleh Lorena Rivera Leon dan Rodrigo Kataishi (Rivera Leon dan Kataishi, 2009, dalam Rivera Leon dan Kataishi, 2010). •
Absorption capacities: kemampuan para actor untuk mengenali informasi dari luar, mengasimilasi, dan menerapkannya dalam sistem, tempat para actor tersebut berkiprah.
•
ICT adoption: meliputi persyaratan yang harus dibangun guna terciptanya jejaring kolaborasi antar perusahaan melalui suatu ekosistem digital. Hal ini tidak semata merupakan pendekatan teknokratik, melainkan berkaitan dengan kemampuan suatu wilayah berikut karakter para pemangku kepentingan nya. Di sini, teknologi, dalam konteks ekosistem digital hanya berpotensi sebagai alat untuk mempercepat proses untuk mencapai dinamika kerja sama.
•
Connectivity: berkaitan dengan potensi dari para pemangku kepentingan terkait pada suatu wilayah untuk membangun hubungan dan jejaring dengan para pemangku kepentingan lainnya (baik yang bersifat internal maupun eksternal dari sistem wilayah tersebut). Lebih spesifik lagi, hal ini melingkupi pula penciptaan pertukaran secara selektif antar
146
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
pemangku kepentingan yang tidak dapat dipisahkan dari kapasitas untuk memprioritaskan hubungan berdasarkan tingkat kemanfaatan jejaring tersebut bagi para pemangku kepentingan. •
Social capital: lebih ditekankan kepada aspek sosial dari kesiapan sosial kemasyarakatan yang secara kolektif nantinya dapat mengusung keekonomian dimana modal sosial merupakan inti dari tantangan daya saing pada era ekonomi berbasis pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pada era digital pun, tetap tidak dapat dipisahkan dari ruang fisik sebagai tempat aktivitas dan sumberdaya manusia berikut kualitas dalam daya saing global. Absorption capacities, pengenalan informasi luar dapat dilakukan setelah memahami pembelajaran masa lalu, kondisi saat ini, serta kondisi masa depan yang diharapkan berikut dampaknya terhadap (pola) ruang (konsep teoretik proses merencana ruang). ICT adoption, sebagai cara inovatif dan mengorganisasikannya untuk kepentingan kolektif sehingga penataan ruang masa depan menjadi lebih baik dan berhasil guna (konsep teoretik proses merencana ruang kota). Connectivity, dapat tercipta dengan dukungan infrastruktur fisik dan virtual yang memadai serta mampu menciptakan potensi daya saing dari wilayah dan kota. Terakhir, social capital, melalui pengembangan sumberdaya manusia berbasis pengetahuan yang tidak terlepas dari kondisi dan potensi wilayah dan kota yang dimiliki.
4. Perencanaan di Era Digital Ketika komunikasi dan komunikasi dapat secara luas dilakukan oleh orang per orang yang terhubung melalui sistem digital global, timbul pertanyaan tentang hakikat perencanaan (kota) itu sendiri, siapa yang mendapatkan manfaat dari perencanaan (kota) tersebut, apakah kepentingan kolektif masih tetap jadi perhatian? Bagaimana pula peran para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
147
ini, apakah menjadi lebih tertarik untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan kualitas kota yang lebih baik bagi semua, kemudian bagaimana melakukan kolaborasi antar pemangku kepentingan dengan dukungan TIK? Itulah yang menjadi perhatian dari Carlos Nunes Silva sebagai dasar pemikiran ketika mengusung konsep e-planning, perencanaan di era digital (Silva, 2010). Lebih jauh lagi, ketika bergeser ke era digital bagaimana mengarahkan supaya para perencana (kota) menjadi actor kunci sebagai representasi dari masyarakat dalam mengarahkan proses perencanaan kota secara lebih baik. Hal ini dapat dilakukan melalui saluran komunikasi yang beragam dan menarik guna menggugah dan menciptakan kolaborasi ketika proses merencana dilakukan dengan keikutsertaan dari masyarakat yang beragam, baik dari sisi nilai maupun kepentingannya. Pada era digital inilah, proses perencanaan dapat lebih komunikatif sebagai pelengkap dari prosedur perencanaan berbasis pedoman yang telah ada sebelumnya. Komunikasi yang interaktif dengan para pemangku kepentingan dapat dilihat sebagai suatu proses kontinyu dari pemantauan dan evaluasi, dengan tetap menempatkan posisi masyarakat terakomodasi dalam pedoman perencanaan. Atau dapat pula pedomannya itu sendiri yang akan menjadi lebih kaya dengan keunikan-keunikan dari masing-masing wilayah kota dengan keragaman sosial, budaya, berikut potensi ekonomi dan kondisi geografisnya. E-planning akan menjadi warna dari perencanaan di era digital, karena dukungan TIK akan makin dibutuhkan, tetapi perlu dibarengi dengan penyiapan sumberdaya manusia yang melek TIK (menyelesaikan persoalan kesenjangan digital atau digital divide terlebih dahulu) selain pemahaman mendalam terhadap basis data geospasial, juga keragaman sosial dan budaya masyarakat yang akan didorong tingkat keterlibatan bahkan partisipasinya dengan dukungan TIK, perlu dipersiapkan pula dukungan payung hukum perencanaan di era digital ini, mengingat akan terdapat pula pergeseran terkait dengan kewenangan. Kemudahan akses oleh masyarakat luas terhadap informasi dan kemudian mengkomunikasikannya akan menjadikan
148
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
saluran-saluran komunikasi di luar yang formal (Pemerintah) akan menjadi tempat untuk pemantauan dan evaluasi dari produk rencana dimana penilaiannya dilakukan oleh masyarakat ataupun kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai dan norma yang mereka miliki. Oleh sebab itu, e-planning nantinya akan berbeda-beda bentuknya sesuai dengan kondisi, fungsi, serta karakteristik masyarakatnya itu sendiri. Dengan demikian, kemunculan era digital dapat memberikan otonomi perencanaan pada tataran lokal dengan lebih bertanggung jawab, bukan semata melakukan resentralisasi kewenangan secara mekanistis di tingkat pusat. Faktor eksternal menjadi tantangan tersendiri dari perencanaan di era digital, karena terkait dengan kemajuan pesat di bidang teknologi, berikut hak atas kekayaan intelektual yang erat kaitannya dengan sistem pasar dari produk TIK itu sendiri dan kebijakan politik suatu negara itu sendiri. Di lain sisi, untuk mengantisipasi hal tersebut, para perencana memiliki tanggung jawab yang lebih dalam mengembangkan konsep baru di dalam merencana di era digital, dalam menyaring pengaruh dari luar. Hal inilah yang dapat dilakukan pendekatan learning based urban planning, dimana proses perencanaan yang fokus kepada demokrasi, tata kelola pemerintahan, serta tata kelola pemerintahan kota harus disertai dengan peningkatan keilmuan dan kualitas. Keilmuan itu sendiri dapat dilakukan dengan menggali keunggulan lokal berikut lokasinya yang tidak terlepas dari aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakatnya, serta karakteristik keragaman masyarakatnya itu sendiri. Sementara itu, kualitas difokuskan kepada daya saing itu sendiri dari penciptaan usaha (bisnis) dan pengembangan perusahaan-perusahaan.
5. Penciptaan Daya Saing Dengan syarat melek teknologi digital dan kemampuan untuk memiliki perangkat digital itu sendiri, akan terdapat suatu nuansa
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
149
baru bagi perencanaan (kota), dimana pada era digital, warga kota sebagai pusat aktivitas penduduk, kepadatan penduduk, keragaman, serta pengembangan teknologi terkini dapat dijadikan sebagai laboratorium pengembangan perencanaan di era digital (Foth, Brynskov, dan Ojala, 2015). Terdapat tiga kata kunci, yaitu: (a). Urban interface: kawasan perkotaan merupakan representasi dari ruang fisik tempat kepadatan aktivitas virtual terjadi. Pada kawasan perkotaan inilah jejaring digital sangat bermanfaat untuk menghubungkan antar individu dengan tujuan dan fungsi tertentu dari satu lokasi dengan koordinat tertentu dengan lokasi lainnya dengan koordinat tertentu pula; (b). Citizen action: kota cerdas yang paripurna ialah kota yang memahami karakteristik sosial beserta kekhasan fungsi dan bentuk hubungan antar satu individu dengan yang lainnya. Salah satu kunci dari tindakan warga untuk tujuan kolektif kota ialah adanya informasi tentang sector-sektor publik yang proporsional. Kematangan warga terjadi sebagai tanggapan positif dari keterbukaan informasi publik tersebut, sehingga kemitraan menjadi dampak dari keterbukaan informasi tersebut yang berujung komitmen antar warga. Pada era digital, dibutuhkan keterbukaan pemikiran (mindset) dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai agama atau kepercayaan yang dimiliki berikut basis budaya masyarakat itu sendiri. Keterbukaan pemikiran tersebut akan membawa kepada konsep baru dari ruang terbuka (open space) pada era digital, yang tidak hanya berbasis kepada ruang fisik tetapi juga ruang virtual tempat bertukar pikiran untuk berinovasi mengembangkan pengetahuan untuk kualitas masa depan yang terbuka (open future) untuk meningkatkan daya saing global guna menciptakan kehidupan yang lebih baik.; (c). City making: banyaknya pemangku kepentingan di suatu membuat proses merencana kota menjadi sulit karena hubungan antar pemangku kepentingan tadi bersifat kompleks dan diwarnai dengan konflik kepentingan. Ketika kota cerdas dirumuskan pun seringkali orang yang terlibat di dalamnya malah lebih sedikit. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya untuk memperluas keterlibatan warga yang belum terwakili sebelumnya sebagai suatu kepentingan kolektif, dan
150
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
hal ini perlu diakomodasikan di dalam proses penyusunan rencana, karena pendekatan kota cerdas harus mampu menganalisis ruang yang besar, skala kependudukan berikut rentang waktu tertentu dengan keunggulan dapat menelusuri pola hubungan melalui pemahaman saluran komunikasi dengan dukungan TIK. Era digital diharapkan dapat mengeksplorasi identitas-identitas daya saing setempat untuk bersaing pada tataran global dengan dukungan TIK. Anholt menjelaskan terdapat enam faktor identitas untuk daya saing (Anholt, 2007) yang dapat diinterpretasikan dalam konteks perencanaan sebagai berikut: (a). Tourism: pengembangan obyek dan daya tarik wisata yang merupakan cerminan dari aspek ruang, sosial dan kependudukan, ekonomi lokal-kota-wilayah; (b). Brand: pencitraan lokasi/kawasan/kota/wilayah; (c). Policy: kebijakan terkait untuk menggairahkan percepatan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; (d). Investment: penyediaan modal dan investasi tepat guna melalui hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antar pemerintah, swasta, masyarakat, dan universitas. Tetapi juga hubungan tadi mempertimbangkan pula ruang fisik yang memiliki keterbatasan sediaannya, dalam konteks pembangunan berkelanjutan; (e). Culture: budaya setempat yang mengusung kearifan lokal dan kepentingan kolektif bangsa; (f). People: peningkatan sumberdaya manusia berbasis ilmu pengetahuan untuk menciptakan masa depan lebih baik dengan terciptanya ruang yang berkeadilan bagi semuanya. Akan lebih berarti apabila para perencana tata ruang menambahkan keilmuan merencana tata ruang dalam konteks inovasi yang berjejaring (Rutten, et.al, 2003, dalam Sutriadi, 2015) dimana ruang bersama-sama dengan lima komponen lainnya menjadi intinya (pembelajaran atau learning, inovasi, jejaring atau network, pengetahuan atau knowledge). Berikut ini penataan ruang yang dapat dikembangkan dengan kelima komponen tadi: (a). Mengembangkan kemampuan lokal (dengan komponen pembelajaran) melalui pengayaan norma standar prosedur dan kebijakan dengan keunikan lokal; (b). Mengembangkan kompetensi wilayah berikut institusi yang mendukung inovasi (dengan komponen
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
151
inovasi) sebagai bagian tidak terpisahkan dari tema pengembangan wilayah dan kota dengan pemahaman terhadap fase pertumbuhan dan perkembangan wilayah dan kota serta kecenderungannya ke depan; (c). kedekatan fisik dan budaya (dengan komponen jejaring) dengan pengembangan jejaring yang tidak terbatas kepada jejaring fisik ataupun jejaring virtual semata, melainkan pula mengembangkan jejaring yang lebih manusiawi dari hubungan antar sesame manusia melalui kedekatan berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan lahannya; (d). geografi dari pengetahuan (dengan komponen pengetahuan) dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak terlepas dari pemahaman mendalam dari isu, potensi, dan masalah secara geografis baik pada tataran lokal, kota, maupun wilayah termasuk mitigasi bencana yang mungkin terjadi. Dari sisi profesional si perencana itu sendiri (dikembangkan dari tiga sifat individu perencana menurut Whitaker, 1996), daya saing global dapat tercipta hanya dengan kemampuan pengembangan diri sebagai professional perencana yang senantiasa tidak berhenti belajar (menyongsong kehadiran e-planning di era digital), berinovasi untuk pengembangan profesionalisme merencana (MEA), serta menguasai perangkat yang sangat mendukung proses merencana itu sendiri (aplikasi terkait merencana tata ruang dengan dukungan TIK). Dengan tiga sifat professional merencana itu, diharapkan ketika mengembangkan daya saing berbasis ruang di atas dapat mengusung strategi peningkatan daya saing (Anholt, 2007) yang meliputi: (a). Creative. Menciptakan aktivitas yang berkesan dan dapat dikenang; (b). Ownable. Menciptakan tempat yang khas dan merepresentasikan karakter ataupun tema tertentu (biasanya berkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki serta penciptaan kestrategisan lokasinya dalam jejaring global); (c). Sharp. Menciptakan fokus pembangunan dengan terlebih dahulu menyelesaikan persoalan-persoalan umum yang sering terjadi seperti berkaitan dengan penyediaan infrastruktur; (d). Motivating. Menginspirasi para pemangku kepentingan untuk menggali daya saing wilayah dan kota berdasarkan peran mereka masing-masing (swasta, pemerintah, masyarakat, juga perguruan tinggi) termasuk
152
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
pula mengurangi/menghilangkan citra buruk dari suatu wilayah dan kota; (e). Relevant. Dapat menciptakan berbagai peluang yang dapat menjadi kenyataan terutama dari sudut pandang keekonomian dengan dampak lingkungan minimal; (f). Elemental. Mengusung ide, aksi, ataupun proses inovatif yang sederhana tetapi bermanfaat secara kolektif dalam menunjang aktivitas sehari-hari untuk tinggal (live), bekerja (work), maupun bermain (play).
6. Penutup Merupakan suatu tantangan bagi perencana tata ruang (kota) dalam memasuki era informasi dan globalisasi, karena akan memberikan dampak kepada perubahan di dalam sistem merencana. Era digital telah memungkinkan masing-masing pemangku kepentingan untuk dapat berkomunikasi, mengakses, serta mendistribusikan informasi. Salah satu peran unik dari perencana ialah upaya menciptakan masa depan yang lebih baik dengan mengusung kepentingan kolektif dengan cara inovatif dan proses merencananya berupaya melibatkan semua pihak yang terkait. Dengan adanya era digital peluang bagi semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi menjadi terbuka luas, tetapi di lain sisi kesiapan sumberdaya manusia serta komitmen untuk kepentingan publik menjadi hal penting ketika proses perencanaan dilakukan. Komitmen untuk mengusung kepentingan kolektif bagi kualitas masa depan yang lebih baik itulah kemudian menjadi basis penguatan modal sosial dalam konsep ekosistem digital guna bersinergi dengan komponen-komponen lainnya (absorption capacity, ICT adoption, dan connectivity). Konsep pemantauan dan evaluasi serta pengendalian perencanaan merupakan bagian dari sistem perencanaan yang perlu mendapatkan perhatian karena era digital menuntut adanya reformasi sosial baik dari perilaku orang per orang, maupun masyarakat secara kolektif dalam melakukan aktivitas sehari-hari juga terselenggaranya tata kelola pemerintahan secara umum maupun untuk tataran kota. Di era digital, ruang tetap memegang peranan penting sebagai modal dasar daya saing, kota, sebagai fokus dari pembangunan dan pusat
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
153
pengembangan teknologi dapat berfungsi sebagai laboratorium untuk pengembangan pendekatan baru di era digital, termasuk pula bentuk aksi warga, serta proses inovasi dalam menyusun kota itu sendiri. Pemahamannya atas ruang beserta aktivitas yang berada di atasnya, termasuk karakter para pemangku kepentingan, perencana dalam hal ini dapat memberikan warna komprehensif guna mengembangkan strategi peningkatan daya saing. Seperti pengembangan kemampuan lokal, kompetensi wilayah dan kota, kedekatan fisik dan budaya, serta menggali sisi geografis dengan pendalaman pengetahuan multidisiplin.
Daftar Pustaka 1.
Bappenas (2015). Sosialisasi Arah Kebijakan, Strategi, dan Lokasi Prioritas Nasional Pembangunan Perkotaan 2015-2019. Bahan tayangan power point. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Direktorat Perkotaan dan Perdesaan.
2.
Chadwick, George (1978). A Systems View of Planning. Towards a Theory of the Urban and Regional Planning Process. Second Edition. Pergamon Press: Oxford.
3.
Foth, Marcus; Brynskov, Martin; Ojala, Timo (2015). Citizen’s Right to the Digital City. Urban Interfaces, Activism, and Placemaking. Springer, New York.
4.
Colugnati, Fernando Antonio Basile; Lopes, Lia Carrari Rodrigues; Barretto, Saulo Faria Almeido (2010). Digital Ecosystems. ICST. Springer. New York.
5.
Farvacque-Vitkovic, Catherine, dan Kopanyi, Mihaly (2014). Municipal Finances. A Handbook for Local Governments. The World Bank, Washington DC.
6.
Friedmann, John (2011). Insurgencies: Essays in Planning Theory. Royal Town Planning Institute, Mediation of space-making of place. Routledge, London.
7.
Friend, John & Hickling, Allen. (2005) Planning Under Pressure. The Strategic Choice Approach. MA: Elsevier
8.
Graham, Stephen (2010). Disrupted Cities. When Infrastructure Fails. Routledge, New York.
154 9.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Kraushaar, Robert (1988). Outside the Whale: Progressive Planning and the Dilemmas of Radical Reform. Journal of the American Planning Associations, Winter; 54,1; pp 91-100.
10. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2015-2019). Lampiran Peraturan Presiden Republik Indoensia Nomor 2 Tahun 2015. Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan GotongRoyong. Buku III Agenda Pembangunan Wilayah. 11. Rivera Leon, Lorena; Kataishi, Rodrigo (2010). Collaboration Networks for Innovation and Socio-economic Development: European and Latin American Perspectives on Digital Ecosystems Research, Local Readiness, Development Strategies, and Their Policy Implications, halaman: 1-19, dalam Colugnati, Lopes, dan Barretto, (2010). Digital Ecosystems, Third International Conference, OPAALS (Open Philosophies for Associative Autopoietic Digital Ecosystems. http://www.opaals.eu), Aruju, Sergipe, Brazil. 12. Silva, Carlos Nunes (2010). E-Planning. ICTs for Urban Development and Monitoring. Handbook of Research. Information Science Reference, Hershey, New York. 13. Sutriadi, Ridwan (2015). Perspektif Perencana: Smart City. Inovasi, Kota Komunikatif, dan Kota Berkeadilan, Inside Publisher, Bandung. 14. Whitaker, Norman (1996). Pursuing Effectiveness and Personal Success in the Next Era, dalam McClendon, W.; Catanese, Anthony James (1996). Planners on planning: leading planners offer real-life lessons on what works, what doesn’t and why. Jossey-Bass. San Francisco. 15. World Bank Group (2016). Digital Dividends. World Development Report. A World Bank Group Flagship Report. Washington DC.
30 Dinamika Ekonomi RegionalGlobal dan Implikasinya Terhadap Kerapuhan Sistem Keuangan Sugiharso Safuan PhD, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
KURANG dari tiga dasawarsa kita telah mengamati bahwa perkembangan ekonomi regional memiliki kecenderungan semakin mengglobal - terintegrasi dengan perekonomian global. Fenomena ini dapat diamati dari sejumlah indikator makroekonomi dan finansial internasional seperti data impor dan ekspor yang jumlahnya terus lebih banyak dari sebelumnya. Arus modal finansial bergerak dari satu negara ke negara lain, setidaknya di negara-negara maju. Perbedaan tingkat imbal hasil (return) atas asset finansial semakin mengecil. Mengecilnya perbedaan imbal hasil ini didorong oleh semakin mudahnya para investor internasional melakukan transaksi jual dan beli asset keuangan di pasar-pasar keuangan yang semakin terintegrasi. Perkembangan teknologi informasi dan multimedia turut berkontribusi memperkecil derajat asimetri informasi di pasar finansial internasional sehingga arbitrage opportunity – peluang beli murah jual mahal tidak bertahan lama. Kondisi itu terjadi karena bila satu peluang bisnis tercipta, dengan sendirinya ia akan “ disambar” oleh investor yang cekatan melihat peluang
156
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
tersebut, dengan memanfaatkan strategi bisnis mereka. Semakin terintegrasinya pasar finansial juga dapat diamati dari semakin banyaknya kelompok investor dari negara industri utama yang memegang sebagian besar kekayaan di dalam negeri. Mereka memanfaatkan pasar keuangan yang terintegrasi di berbagai belahan di dunia untuk membeli sahamsaham produktif di pasar regional, yaitu saham-saham yang memberikan imbal hasil tinggi. Aktivitas mereka dilatarbelakangi oleh prinsip ekonomi keuangan internasional yang dikenal dengan international risk sharing: Do not put all your eggs in one basket. Mereka menyadari bahwa melakukan diversifikasi portfolio di pasar internasional merupakan bagian dari strategi korporasi untuk memperoleh keuntungan optimal. Selain bertujuan untuk melindungi diri dari gangguan (shocks) yang mungkin terjadi di pasar domestik (regional), penyertaan sebagian asetnya (melalui pembelian saham) di pasar keuangan internasional dan atau dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), telah menjadi bagian dari kegiatan bisnis yang bisa kita amati sehari hari. Secara teoritis, perekonomian domestik yang terintegrasi dengan perekonomian internasional membuka peluang bagi suatu negara untuk mencari alternatif solusi terhadap ketergantungan kendala tabungan nasional sebagai sumber satu satunya pembiayaan investasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Suatu negara dapat meminjam sebagian kelebihan kapital (excess saving) dari negara lain. Sebaliknya, negara lain yang saving-nya berlebih dapat meminjamkan ke negara lainnya yang membutuhkan. Dalam Obsfelt dan Rogoff (1996) dijelaskan, bila prinsip dalam gain from intertemporal trade berlaku, Autarky Economy dapat melakukan consumption-smoothing dengan cara meminjam dari negara lain yang memiliki kelebihan resources. Namun demikian, terintegrasinya perekonomian domestik juga dapat berpotensi menjadi ancaman bagi suatu negara, utamanya terhadap potensi risiko stabilitas makroekonomi.
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
157
Kawai dan Takagi (2008) mengidentifikasi beberapa implikasi meningkatnya capital inflow akibat keterbukaan ekonomi. Pertama, akan meningkatkan risiko ekonomi seperti pertumbuhan kredit, meningkatkan tekanan inflasi. Kedua, meningkatkan risiko financial instability karena mendorong harga- harga asset mengalami peningkatan, mengurangi harga kualitas harga aset-aset. Potensi ris i k o instabilitas makroekonomi semakin meningkat ketika suatu negara terhubung satu dengan yang lain. Krisis ekonomi di Asia pada 1997 dan krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika p a d a 2008 merupakan contoh nyata yang menunjukkan arsitektur sistem finansial keuangan internasional fragile dan sangat mudah terkena oleh serangan krisis. Akibat dari krisis diperkirakan Indonesia telah kehilangan lebih dari separo dari PDB-nya. Sementara IIF memperkirakan krisis subprime mortgage p a d a 2008 di AS telah menelan kerugian 40 persen dari PDB Amerika Serikat. Krisis di Asia 1997-98 dan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat juga telah memberikan pemahaman baru bahwa krisis finansial di negara yang secara geografis sangat jauh atau pun yang terletak berdekatan memilki peluang tertular krisis meskipun domestic ekonominya secara fundamental tergolong kuat.1 Perekonomian suatu negara yang secara fundamental sehat belum tentu memiliki sistem keuangan yang kuat dan stabil. Dengan kata lain, membangun sistem keuangan yang kuat dan stabil sangat penting. Menjaga sistem keuangan yang stabil (tidak rapuh) tidak hanya mampu mengurangi risiko terjadinya krisis, akan tetapi ia juga dapat meningkatkan efektivitas kebijakan moneter yang merupakan salah satu tugas pokok dari bank sentral. Menjaga sistem keuangan agar tetap stabil di tengah perekonomian domestik yang terintegrasi dengan perekonomian global merupakan tantangan besar bagi pengambil kebijakan
1 Safuan, S ( 2011). Macroeconomics Interdependence and Contagion: Evidence for the Asian Crisis. Publisher VDM Verlag Dr. Muller GmbH&Co. Germany.
158
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
di Bank Sentral. Bank Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan dan kajian terkait dengan upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, namun dinamika perkembangan ekonomi dan keuangan yang terus mengalami perubahan telah menuntut perlunya pemutakhiran dalam banyak hal. Ini dilatarbelakangi oleh masih banyak persoalan yang terus berkembang, mulai dari tataran ide, teori dan konsep, implementasi ke dalam empirical model, hingga ancaman krisis yang belum dapat didefinisikan atau tidak dapat dikontrol oleh bank sentral sebagai akibat perkembangan teknologi informasi. Dalam tulisan pendek ini saya akan mendiskusikan dinamika perkembangan ekonomi global dan regional serta hubungannya dengan mobilitas kapital dan sistem keuangan. Salah isu penting dalam literatur ekonomi moneter yaitu interaksi antara kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan. Khususnya apakah kebijakan moneter berkontribusi terhadap kerapuhan sistem keuangan. Kedua mendiskusikan beberapa tantangan ke depan terkait dengan membangun stabilitas sistem keuangan dan perkembangan riset di area stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
Overview Perkembangan terkini Ekonomi Global World Economic Outlook (WEO) Edisi bulan April 2016 melaporkan perkembangan ekonomi dunia yang mengalami pelambatan. Bahkan lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini ditandai menurunnya harga aset, menurunnya permintaan agregat, serta terjadi deflasi harga-harga komoditas. Penurunan harga komoditas di pasar internasional tersebut diperkirakan akan menambah kesulitan negara-negara emerging berpendapatan rendah dalam melakukan diversifikasi ekspor dalam jangka pendek untuk mempertahankan penerimaan dari devisa ekspor mereka. Kebijakan moneter
dilakukan oleh bank sentral
secara
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
159
umum masih bersifat akomodatif dalam menghadapi tekanan deflasi. Walaupun demikian, dalam laporan tersebut dikatakan bahwa kebijakan moneter tidak serta merta dapat merespon semua masalah yang diperkirakan dapat terjadi. Masih diperlukan kebijakan-kebijakan lain yang secara langsung dapat mendorong permintaan dan penawaran. Di sektor keuangan, salah satu isu yang mengemuka adalah terjadinya penurunan secara signifikan net capital inflows di negara-negara berkembang. Fenomena ini diperkirakan akan berpotensi menekan nilai mata uang negara-negara berkembang. Bila penurunan terus berlangsung maka hal ini dapat berpotensi terjadinya krisis (financial turmoil). Di tengah situ perekonomian dunia yang mengalami perlambatan, k ombinasi tingkat suku bunga rendah, deflasi, serta meningkatnya net capital outflow dari emerging market, ancaman terhadap kestabilan sistem keuangan dan krisis menjadi fokus perhatian bagi para pengambil kebijakan.
Grafik 1. Net Capital Inflows to Emerging Market Economies and Number of Debt Crises, 1980– 2015:Q3
(Persen terhadap GDP)
160
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Sumber : World Economic Outlook, IMF
Grafik 1 menunjukkan perkembangan net capital inflows emerging market economies. Data tersebut dihitung berdasarkan pengamatan dari 45 emerging market economies sampai dengan Kuartal ke 3 tahun 2015. Tampak bahwa pada periode 2010-2015 net capital inflow di emerging countries terus mengalami penurunan. Artinya, selama periode 2010-2015, di 46 industries dan emerging market economies2 telah mengalami capital outflows. Modal keluar dari negara-negara emerging. Pertanyaannya adalah kemana modal tersebut bermigrasi? Mengapa terjadi modal keluar secara signifikan selama periode 2010-2015 masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti. Namun sebagian besar meyakini prospek perekonomian di negara emerging menjadi alasan utama. Sementara, di hampir periode yang bersamaan, kebijakan pemerintah Amerika Serikat menunda melakukan quantitative easing ditengarai menjadi pemicu modal dari negara berkembang pulang ke kampungnya. Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, fenomena menurunnya net capital inflows di negara berkembang pada periode 2010 -2015 memunculkan kekhawatiran terjadinya krisis nilai tukar. Saya berpendapat, jika terjadi pembalikan modal ke Amerika maka kemungkinan terjadi risiko krisis finansial di negara tujuan yakni Amerika Serikat cukup besar. Ciri-ciri yang melatarbelakangi krisis finansial di Amerika pada 2008 memiliki beberapa kemiripan dengan yang terjadi pada saat ini. Sebelum terjadi krisis subprime mortgage tahun 2008, kondisi perekonomian global ditandai dengan suku bunga rendah sebagai akibat excess saving - global saving glut pada periode 2002-2004 di hampir semua negara. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa perekonomian dunia mengalami excess saving pada 1975 hingga permulaan 1995.
2 Lihat Lampiran A. Daftar negara industri dan emerging yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Indonesia, Malaysia, Singapura, masuk dalam sampel yang diteliti
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
161
Taylor (2010) tidak sependapat bahwa suku bunga rendah akibat adanya saving glut seperti digambarkan pada Gambar 2 di atas. Ia menegaskan bahwa saving-investment gap hanya terjadi di luar Amerika Serikat. Ini karena pada periode yang sama, di Amerika Serikat terjadi sebaliknya, yaitu rasio tabungan terhadap PDB lebih rendah dibandingkan dengan rasio investasi terhadap PDB. Kondisi inilah yang menekan suku bunga di Amerika menjadi sangat rendah pada periode ini, dan tidak pada periode sebelumnya. Namun, ia juga menunjukkan suku bunga di luar Amerika juga rendah bukan dikarenakan oleh saving glut tetapi suku bunga bank sentral di luar Amerika memiliki korelasi kuat dengan suku bunga kebijakan di Bank Sentral Amerika.
Grafik 2 Global Saving, Investment, and Current Accounts (Percent of world GDP) Sumber : World Economic Outlook, IMF Sept 2005 Kebijakan Moneter dan Kerapuhan Stabilitas Sistem Keuangan Secara konvensional, bank sentral di berbagai belahan dunia secara umum bertujuan untuk melaksanakan stabilisasi harga. Selain dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa adanya
162
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
netralitas uang (neutrality of money) dalam jangka panjang, juga oleh pengalaman dari pengalaman empiris selama 30 tahun dimana tingkat inflasi yang tinggi dan tidak stabil telah mendorong fluktuasi output dan tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Namun menurut King (1999) tujuan bank sentral fokus mencapai stabilitas harga justru berbahaya. Menurutnya, sebagai otoritas kebijakan moneter, jika bank sentral pada posisinya maka bank sentral menghadapi tantangan dari intelektual dan perubahan teknologi. Jika tidak, popularitas bank sentral dapat berubah menjadi bentuk kekecewaan. Secara tidak langsung, Mervyn King mengatakan bahwa kalau bank sentral terus bertahan dengan tujuan untuk menjaga harga (inflasi rendah dan stabil), maka hal ini bisa memicu perilaku bank dan juga investor lebih berani menghadapi risiko untuk mencari keuntungan. Taylor (2009) menolak argumen King dari sudut pandangan yang berbeda dengan mempertanyakan benarkan bila bank sentral menargetkan tingkat inflasi rendah dan stabil akan mengakibatkan hilangnya potensi ekonomi? Benarkah penetapan target inflasi rendah dapat menggiring ekonomi ke dalam perangkap suku bunga rendah sehingga mengakibatkan hilangnya insentif bagi pelaku ekonomi (bank dan investor) dalam berusaha untuk mendapat keuntungannya? Benarkah suku bunga rendah telah mengubah perilaku bank dan risk lover investor untuk mencari margin tinggi dengan memberikan toleransi terhadap meningkatnya risiko (risk taking activity)?3 Dalam literatur, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mendorong sejumlah peneliti untuk melakukan studi untuk memahami keterkaitan antara perilaku bank dan agen ekonomi ketika bank sentral melalui kebijakan moneter menetapkan tingkat suku bunga rendah. Borio dan Zhu (2008) menemukan korelasi yang signifikan antara suku bunga rendah dan perilaku bank di dalam mengambil resiko. Mekanisme transmisi yang
3
Lihat misal Altunbas dan Gambacorta (2010), Rajan (2010).
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
163
ditemukan dalam studi dinamakan risk taking channel. Giavazi dan Giovanini (2010) berpendapat, interaksi antara financial fragility (kerapuhan sistem keuangan) sesungguhnya tidak mungkin dapat dihindari karena secara endogen sifat dan fungsi dari sistem keuangan itu sendiri. Dalam sistem keuangan, bank merupakan financial intermediaries. Satu anggotanya memiliki peran sebagai liquidity transformation (Flexias, 2005). Dalam perannya sebagai liquidity transformation, fundamental kerapuhan sistem keuangan timbul karena adanya perilaku pasar finansial yang bersifat irasional (irrational behaviour). Padahal, perilaku irasional adalah hal yang sangat biasa dan terjadi dari waktu ke waktu). Sistem keuangan terus berkembang melalui proses yang sangat kompleks. Dalam sistem perekonomian terbuka di mana, dinamika perekonomian global dapat memunculkan guncangan yang bersifat negatif dan positif. Transmisi dari international shocks ke dalam perekonomian domestik dapat melalui saluran/ jalur perdagangan dan atau jalur keuangan (Trade and Financial channel). Dalam konteks regional-global market integration, di kawasan Asean, jalur perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan jalur finansial
Global Saving Glut Indonesia.
4
: Peluang dan Tantangan bagi
Berdasarkan uraian di atas, terdapat peluang dan peluang bagi Indonesia di tengah dinamika perekonomian global yang mengalami pelemahan antara lain, seperti,
4 Bernanke, B (2005) menginterpretasikan global saving glut sebagai peningkatan in disired saving reltive to disired Investment. Meningkatnya secara signiifikan di dalam GSG mempunyai implikasi terhadap kebijakan moneter terutama di Amerika serikat. Bernanke menggolongkan sebagai salah satu faktor yang berkontribusi pada rendahnya suku bunga di Amerika.
164
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
a. Secara umum menurunnya net capital inflows di 25 emerging countries (termasuk Indonesia) memberikan indikasi bahwa prospek secara ekonomi di negaranegara kawasan mulai tidak kompetitif sehingga secara alamiah kapital mulai meninggalkan kawasan negara berkembang dan berpindah ke kawasan yang lebih prospektif, di negara industri. Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki rasio saving over GDP rendah, menjadi daya tarik bagi para investor untuk melakukan investasi di negara tersebut. Dengan demikian, tantangan bagi Indonesia untuk menarik modal ke dalam negeri (baik portofolio investasi maupun FDI) menjadi semakin besar. Namun di pihak lain, tantangan ini dapat dilihat dari sisi yang lain karena pada periode yang sama pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk tetap konsisten membangun infrastruktur dan akan memperbaiki iklim investasi melalui serangkaian deregulasi. b. Perekonomian Dunia mengalami perlambatan termasuk menurunnya permintaan agregat menekan harga komoditi utama ekspor dari negara-negara berkembang termasuk dari Indonesia. Ini menjadi tantangan namun sekaligus membuka kesempatan bagi Indonesia untuk memberikan perhatian terhadap ekspor non komoditi dan pengembangan pariwisata sebagai salah satu sumber devisa yang belum dikembangkan secara optimal c. Otoritas moneter di Indonesia telah m e n g a m b i l langkahlangkah yang baik dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Penerapan kebijakan bauran makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan inflasi di kisaran yang telah ditargetkan. Pengendalian pertumbuhan kredit dan monitoring harga aset yang sangat berpotensi menciptakan economic bubbles dilakukan sebagai langkah preventif untuk mengurangi risiko terjadinya krisis. Namun,
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
165
seperti telah dikemukakan oleh Giavazzi dan Giovanini (2010) bahwa secara fundamendal, sistem keuangan endogenously fragile. Kerapuhan sistem keuangan tidak dapat dihindari karena sudah merupakan sifat dan fungsi dari sistem keuangan itu sendiri dimana, terutama, bank sebagai liquidity transformation. Dengan kata lain, mungkin saja ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan bukan datang dari kondisi perekonomian domestik, tetapi dari external shocks di negara-negara maju, melalui financial link (meskipun untuk Indonesia, financial link relatif tidak dominan dibandingkan dengan trade link- saluran perdagangan).
Referensi 1.
Agung, Juda, 2010. Mengintegrasikan Kebijakan Moneter dan Makroprudential: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global. Bank Indonesia Working Paper No.WP/07/2010
2.
Altunbas, Y dan Gambacorta, L, David Marques Marqués-Ibáñez (2010) Does Monetary Policy Affect Bank Risk Taking?
3.
Bernanke, Ben, 2005, The Global Saving Glut and the U.S. Current Account Deficit, remarks at the Sandridge Lecture, Virginia Association of Economics, Richmond, Virginia
4.
Borio, Claudio dan Haibin Zhu (2008) . Capital Regulation, Risk Taking and Monetary Policy: A missing link in Transmission Mechanism? BIS Working Paper
5.
Frexias, Xavier dan Jose Jorge, (2008), The Role of Interbank Market in Monetary Policy : A Model With Rationing, Journal of Money and Banking, September.
6.
Frexias dan Roche (1997), Microeconomics of Banking. MIT Press.
7.
Giavazzi F, Alberto Giovannini. Central Banks and Financial System. NBER Working Paper 16228
8.
Jimenez G, Ongena S., dan Peydro J.I., (2009) Hazardeous Time for Monetary Policy “ What do Twenty Three Million Bank Loan Say About the Effect of Monetary Policy on Credit Risk Taking, Bando de Espana Working
166
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Paper No. 0833. 9.
Kawai, Masahiro, and Shinji Takagi, March 2008, “A Survey of the Literature on Managing Capital Inflows.” ADB Institute Discussion Paper No. 100.
10. Kaminsky, Graciela L. December 2005. “International Capital Flows, Financial Stability and Growth.” DESA Working Paper No. 10. 11. King, Mervyn ( 1999) “ Challenges for Monetary Policy, Paper prepared for the Symposium on “New Challenges for Monetary Policy” sponsored by the Federal Reserve Bank of Kansas City at Jackson Hole, Wyoming , 27 August 1999. No.268 Bank of International Settlement, Basel Switzerland. 12. Obsfeld, M and Roggof (1996), Foundation of International Macroeconomics, MIT Press. 13. Taylor, J B ( 2010), The Financial Crisis and The Policy Responses : An Empirical Analysis of What Went Wrong, NBER Working Paper 14631 14. Simorangkir, I (Editor), Global Imbalances and Their Impact on Emerging Market Economies: Issue and Challenges. Proceeding on an International Seminar Held in Denpasar Bali, Indonesia, November, 2006.
31 Tantangan & Kesempatan Pemanfaatan Supply Side Effect untuk Stabilitas Makroekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Dr. Telisa Aulia Falianty, pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
1. Pendahuluan
Dalam RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan sasaran-sasaran untuk variabel makroekonomi nasional. Pada tahun 2015, Indonesia harus mencapai target pertumbuhan ekonomi 5.8%, dan meningkat menjadi 6.6% pada tahun 2016. Sedangkan pada tahun 2017 menjadi 7.1%, tahun 2018 menjadi 7.5% dan pada tahun 2019 menjadi 8%. Pencapaian target ini diproyeksikan akan didukung pertumbuhan investasi 8-12% dan pertumbuhan ekspor 2-12%. Laju inflasi selama 2015-2019 diharapkan terus turun hingga mencapai 3.5% di tahun 2019. Rincian dari sasaran tersebut terlihat di tabel pada halaman berikutnya. Pencapaian sasaran ini semakin berat dengan kondisi global dan regional yang terjadi. Normalisasi Fed paling berat untuk kita hadapi sehingga realisasi kinerja makro di tahun 2015 t e r b u k t i meleset jauh dari target tersebut. Pemulihan ekonomi dunia juga
168
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Tabel 1 : Target RPJMN 2015-2019 Variabel makro Pertumbuhan PDB (%)
2015 2016 2017 2018 2019 5,8
6,6
7,1
7,5
8
Pertumbuhan investasi (%) 8,1
9,3
10,4
11,2
12,1
Pertumbuhan Ekspor (%)
2,1
7,6
8,8
11
12,2
PDB per kapita (Rp Juta)
47,8
52,7
58,5
64,7
72,2
5
4
4
3,5
3,5
Laju inflasi (%)
Sumber : RPJMN Buku 1, Bappenas, 2015
berjalan tidak secepat yang diharapkan. Krisis finansial global pada 2007-2009 tampaknya memengaruhi keputusan bank sentral hampir di seluruh dunia untuk melakukan intervensi. Setelah menurunkan suku bunganya mendekati nol persen, beberapa bank sentral juga mulai memberlakukan kebijakan moneter y a n g tidak konvensional. Utamanya kebijakan ini ditujukan untuk mengamankan ekonomi di negara masingmasing. Namun seiring dengan semakin terintegrasinya satu negara dengan lainnya, maka kebijakan ini pun disinyalir memberikan dampak (spillover effect) terhadap negara lain (IMF,2012). Salah satu kebijakan moneter tidak konvensional yang paling menjadi sorotan adalah kebijakan Quantitative Easing (QE) yang dilakukan beberapa bank sentral negara-negara maju. Pada November 2008, Amerika Serikat memberlakukan QE, yang didesain untuk membantu pasar finansial yang saat itu terpuruk serta untuk menstimulasi aktivitas riil. Kebijakan tersebut diambil karena kebijakan moneter standar dinilai tidak efektif dimana nilai suku bunga jangka pendek berada pada kisaran nol persen (Lim, Mohapatra, dan Stocker, 2014). Setelah lima tahun berjalan, kebijakan QE diputuskan untuk mulai dinormalisasi pada akhir 2013. Pemulihan ekonomi global terutama perekonomian US telah menyebabkan US mulai melakukan tapering off. Kebijakan penarikan QE ini ternyata telah berdampak negatif pertumbuhan ekonomi di beberapa negara besar seperti Jepang dan Inggris. Pemulihan ekonomi global yang berjalan lebih lambat dalam
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
169
beberapa tahun terakhir dapat terlihat pada grafik di bawah ini. Penurunan pertumbuhan global ini juga telah menyebabkan moderasi dari perekonomian regional Asia Timur, terutama China. Padahal perekonomian China saat ini merupakan mitra dagang utama dan memiliki keeratan ekonomi yang sangat tinggi dengan Indonesia. Pelambatan pertumbuhan ekonomi di tingkat dunia dan regional telah menimbulkan penurunan dalam harga komoditas. Grafik di bawah ini menunjukkan sejumlah harga komoditas (pangan, besi baja, energi) menurun sejak akhir 2013, mengikuti tapering off the Fed. Trend untuk penurunan harga komoditas ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai dengan 2017, kecuali untuk harga energi yang diperkirakan mulai pulih pada 2017 meskipun masih rendah. Penurunan harga metal dunia juga sangat dipengaruhi oleh penurunan permintaan dari China sebagai importir metal terbesar di dunia.
170
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Grafik 2: Indeks Harga Komoditas Internasional
Sumber : WEO, IMF, April 2016
2.Permasalahan dan Tujuan Kajian Singkat Permasalahan utama yang ingin disorot dalam paper singkat ini adalah bagaimana momentum ekonomi global dan regional yang sedang terjadi saat ini dapat dimanfaatkan dengan fokus pada pemanfaatan supply side effect. Fokus pada supply side effect dikarenakan pelambatan ekonomi global yang terjadi saat ini telah dengan sangat tajam menurunkan harga komoditas. Penurunan ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Ini peluang karena bahan baku dan energi yang diimpor menjadi lebih murah dan bisa mendorong produksi domestik. Ini juga tantangan karena ekspor Indonesia sebagian besar adalah komoditas mentah yang berarti penurunan penerimaan ekspor Indonesia. Tujuan dari kajian di paper singkat ini adalah : 1. Menganalisis bagaimana memanfaatkan supply side effect dari kondisi ekonomi global dan regional 2. Mengaitkan supply side effect dengan kebijakan stabilisasi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
171
makroekonomi terutama stabilitas moneter 3. Mengindentifikasi mekanisme transmisi pemanfaatan supply side effect terhadap peningkatan kesejahteraan bangsa 4. Memberikan rekomendasi strategis bagi Bank Indonesia untuk memanfaatkan dinamika ekonomi regional dan global melalui pemanfaatan supply side effect
3.Analisis dan Diskusi 3.1 Fenomena Penurunan Inflasi Global Penurunan harga komoditas internasional dan pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia telah menyebabkan tren penurunan inflasi global baik di negara-negara maju maupun berkembang. Rata-rata inflasi dunia di periode 2015 hingga kuartal pertama 2016 berada di kisaran 2%. Sedangkan inflasi di negara-negara maju dan negara-negara berkembang masing-masing berada di kisaran 0.5-1% dan 4%. Saat ini inflasi di negara-negara berkembang telah turun jauh dari puncaknya pada 2008 yang mencapai 16%. Grafik 3 : Inflasi di Dunia, Negara Maju, Negara Berkembang, 2005-2017
Sumber : WEO, IMF, April 2016
172
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
3.2 Penurunan Harga Minyak Internasional Ekspansi shale gas dan shale oil oleh Amerika Serikat telah mengubah tren harga minyak dunia dan mengubah peta energy mix. Shale gas adalah gas alam yang diperoleh dari serpihan batu shale atau terbentuknya gas bumi. Shale gas, yang sebagian besar terdiri atas metana, merupakan gas alam non konvensional. Gas alam konvensional biasanya ditemukan di cekungan lapisan bumi di kedalaman sekitar 800 meter atau lebih, sedangkan shale gas ditemukan di lapisan bebatuan (shale formation) di kedalaman lebih dari 1500 meter sehingga perlu proses khusus untuk mengambilnya, yaitu proses rekah hidrolik. (Yudianto, 2013). Revolusi shale gas dan shale oil ini akan berdampak sangat besar dan bagi Amerika s e k a l i g u s akan sangat menguntungkan karena dapat membuka jutaan lapangan pekerjaan baru dan membantu Amerika pulih dari krisis ekonominya. Momentum penurunan harga minyak internasional ini seharusnya dapat kita manfaatkan, salah satunya adalah untuk meningkatkan produksi nasional. Minyak adalah salah satu input energi yang penting untuk proses produksi. Penurunan harga minyak ini bisa menolong produksi nasional jika diikuti oleh penurunan harga barang-barang, termasuk bahan baku. Penurunan harga BBM telah dilakukan beberapa kali selama setahun terakhir. Transmisi ke penurunan inflasi akan berhasil jika harga produsen mengikuti penurunan dari harga BBM ini. Dampak penurunan harga minyak dan harga komoditas banyak menjadi soroton ekonom di tingkat global, dengan analisis yang beragam dan kompleks. Obstfeld, Feretti, dan Arezki (2016) dalam web IMF menyatakan bahwa asumsi penurunan harga minyak akan memberikan keuntungan neto positif hanya jika terpenuhi asumsi tertentu. Berikut kutipan lengkapnya: “Since June 2014 oil prices have dropped about 65 percent in U.S. dollar terms (about $70) as growth has progressively slowed across a broad range of countries. Even taking into account the 20
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
173
percent dollar appreciation during this period (in nominal effective terms), the decline in oil prices in local currency has been on average over $60. This outcome has puzzled many observers including us at the Fund, who had believed that oil-price declines would be a n e t p l u s for the world economy, obviously hurting exporters but delivering more-than-offsetting gains to importers. The key assumption behind that belief is a specific difference in saving behavior between oil importers and oil exporters: consumers in oil importing regions such as Europe have a higher marginal propensity to consume out of income than those in exporters such as Saudi Arabia. (Obstfel, Feretti, and Arezki (2016)).” Blanchard dalam Loungani (2016) menyatakan bahwa guncangan harga minyak dampaknya lebih kecil terhadap harga dan output di tahun 2000-an dibandingkan tahun 1970. Harga Minyak dan Ekspektasi Inflasi Obstfeld, Feretti, dan Arezki (2016) menemukan korelasi yang kuat antara harga minyak dengan ekspektasi inflasi di Amerika Serikat. Ekspektasi inflasi jangka panjang dalam kajian mereka didekati dengan Fed 5 year index. Grafik 4 : Harga Minyak dan Ekspektasi Inflasi
Sumber: Obstfeld, Feretti, dan Arezki (2016)
174
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
3.3 Bukti Kekakuan Harga di Indonesia Bukti kekakuan harga di Indonesia dapat terlihat pada Grafik 5 di bawah ini. Terdapat gap yang sangat besar antara penurunan drastis commodity price dunia, dengan ekspektasi penurunan harga, yang berjalan lebih lambat. Terlihat sekali kekakuan dari ekspektasi harga di Indonesia (berdasarkan data dari survey konsumen BI). Berbeda sekali dengan yang terlihat nyata pada ekspektasi inflasi di US pada Grafik 3 yang memiliki korelasi erat dengan penurunan harga komoditas (minyak) internasional. Rigiditas/kekakuan inilah yang jadi PR bangsa kita. Grafik 5 : Indeks Harga Komoditas Dunia dan Ekspektasi Harga Indonesia
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia, Maret 2016 dan Commodity Price Data IMF, April 2016
Berdasarkan Grafik 6, tampak bahwa inflasi yoy telah merespon penurunan harga komoditas internasional, namun terlihat ada lag waktu yang dibutuhkan. Dan perkembangan faktor musiman dan cuaca di beberapa bulan terakhir telah menyebabkan inflasi kembali naik walaupun indeks harga komoditas dunia masih dalam tren
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
175
Grafik 6 : Inflasi yoy Februari 2014-Maret 2016
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), BI menurun. Inflasi di sisi pangan Indonesia masih menjadi penjelas dominan pergerakan headline inflation di Indonesia. Target inflasi 3,5% pada RPJMN tahun 2019 seharusnya terbantu oleh fenomena penurunan harga komoditas global, namun tetap memiliki resiko terutama dari faktor pangan.
176
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Bukti terdapat long memory terhadap inflasi dan ekspektasi masyarakat yang adaptif dan backward looking dapat dilihat pada regresi autoregressive sederhana berikut ini. Inflasi masa lalu sampai lag 4 masih memengaruhi secara signifikan inflasi sekarang (meskipun di lag 3 marginally significant di tingkat signifikansi 10%).
4.Saran dan Strategi Kebijakan 4.1 Pendobrakan Rigiditas Harga di Pasar Barang dan Pasar Uang Melakukan kajian mendalam untuk mendobrak rigiditas harga terutama dalam konteks harga turun (downward price rigidity). Sinergi untuk mendobrak rigiditas harga turun dapat memberikan ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter. Jika inflasi menurun, maka akan terdapat ruang untuk menurunkan suku bunga acuan sehingga diharapkan suku bunga di pasar (cost of fund) dapat menurun. Lebih lanjut, menurunnya cost of fund diharapkan dapat membantu ekspansi perekonomian bagi masyarakat. Komunikasi kebijakan BI untuk menjaga ekspektasi inflasi masyarakat telah dilakukan dengan baik. Mengubah memori inflasi yang tinggi di masyarakat Indonesia memang bukan hal yang mudah. P endobrakan kekakuan harga ini harus dilakukan tidak hanya di pasar barang, tetapi juga di pasar uang dan pasar faktor produksi. Di pasar uang pendobrakan harus dilakukan terhadap rigiditas suku bunga terutama suku bunga kredit. Lambatnya respon perbankan terhadap penurunan BI-rate perlu terus dicarikan jalan keluarnya. Kerangka pemikiran strategis ini dapat dirangkum pada halaman berikut ini: Pada pendobrakan tersebut Bank Indonesia dapat berperan aktif, terutama terkait penurunan ekspektasi inflasi, penurunan inflasi aktual, dan penurunan suku bunga kredit (cost of fund).
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
177
Revolusi mental dalam pembentukan ekspektasi inflasi perlu dilakukan agar target RPHMN inflasi mencapai 3.5% di akhir 2019 dapat terwujud dan sesuai dengan nawacita, salah satunya adalah Kemandirian Ekonomi. Kemandirian Ekonomi dipahami sebagai kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik kebutuhan dasar (basic needs) seperti sandang, pangan dan papan, maupun pelayanan-pelayanan dasar (basic services) berupa pendidikan dan kesehatan. Negara memiliki tanggung jawab untuk merancang dan menjamin bahwa seluruh kebijakan ekonomi diarahkan untuk memenuhi dua jenis kebutuhan tersebut. Inflasi kebutuhan dasar senantiasa harus dikendalikan agar harga-harga tetap terjangkau oleh masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan revolusi mental dalam pembentukan ekspektasi inflasi baik untuk konsumen maupun produsen.
178
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Grafik 7: Ekspektasi Harga 3 Bulan yad untuk Masing-masing Kelompok
Pada Grafik 7 tampak bahwa ekspektasi harga y a n g belum kunjung turun belakangan ini adalah bahan makanan dan makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Sehingga fokus utama revolusi mental ini terutama untuk sektor pangan. Dalam hal ini BI perlu memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait pangan seperti Kementerian Pertanian dan BULOG, juga produsen dan distributor pangan. Selama ini koordinasi dan kerja sama tersebut telah dilakukan namun memang perlu ditingkatkan lagi dan dicari inovasi yang menyeluruh terkait rantai nilai yang juga mencakup masalah struktur pasar, efisiensi transportasi dan logistik, produksi domestik dan keran impor.
4.2 Supply Side Effect melalui Industrialisasi Urgensi dari pembangunan industri menjadi hal yang sangat penting menjadi salah satu sektor prioritas dalam RPJMN. Momentum penurunan harga komoditas global ini seharusnya menyebabkan adanya realokasi dari sektor komoditas ke sektor non-komoditas. Salah satu sektor non-komoditas yang penting
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
179
adalah industri manufaktur. Peningkatan nilai tambah dari sektor industri akan meningkatkan pendapatan nasional sehingga dapat membantu memulihkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan lebih membuat pertumbuhan menjadi berkelanjutan. Pertumbuhan yang lebih berkelanjutan akan dapat membantu mencapai stabilitas dan perkembangan sistem keuangan. Peran perindustrian sebagai pilar ekonomi, menurut Menko Darmin Nasution, tidak dapat tergantikan (2016). Ada tiga karakteristik penting industri. Pertama, menyerap tenaga kerja dari jenis industri padat karya, padat modal hingga industri yang membutuhkan pengetahuan dan berbasis teknologi tinggi. Kedua, industri memiliki produktivitas relatif tinggi dan ketiga, mampu melahirkan keterkaitan dan memasok kebutuhan bagi sektor lainnya. Untuk itu peningkatan kinerja industri sangat penting untuk mendorong pertumbuhan perekonomian. Hal yang penting juga dalam rangka menghindari middle income trap penting untuk melakukan reindustrialisasi, dan momentum penurunan harga komoditas baik energi maupun bahan baku industri seharusnya dapat membantu peningkatan output industri. Kerangka pemikiran strategis ini dapat dirangkum sebagai berikut ini:
180
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
Grafik 8: Pertumbuhan Indeks Manufaktur 2006-2016 (YOY)
Sumber: BPS Berdasarkan grafik pertumbuhan indeks produksi manufaktur yang menggambarkan kegiatan di sektor manufaktur tampak bahwa dalam tiga tahun terakhir terdapat kenaikan meskipun kenaikan bersifat moderat. Seharusnya penurunan komoditas global dapat menjadi faktor yang dapat mengakselerasi pertumbuhan produksi industri manufaktur lebih lanjut.
4.3 Penutup Paper singkat ini perlu diperdalam lagi dengan kajian dan analisis yang lebih komprehensif. Namun poin utama yang ingin diangkat adalah dalam mencapai nawacita untuk kemandirian ekonomi maka Bank Indonesia dapat membantu melalui penciptaan harga yang semakin stabil sesuai dengan amanat Undang-Undang mengenai tujuan Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan harga. Tantangan dari kondisi global yang mengalami moderasi pertumbuhan ekonomi dunia yang berimplikasi pada penurunan harga komoditas di tingkat internasional menjadi suatu peluang untuk melakukan transformasi struktural ke depannya untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran BI dalam transformasi structural adalah dengan revolusi ekspektasi inflasi
Indonesia Menghadapi Perkembangan Ekonomi Dunia yang Sarat Risiko dan Ketidakpastian
181
dan pendobrakan penurunan rigiditas harga baik di pasar barang dan di pasar uang.
REFERENSI 1. Loungani, Prakash. “Energi and the Macroeconomy: The Role of Natural Gas and US Energy Boom,” IMF Brief Overview, 2016. 2. Lim, J. J. ; Mohapatra, S. dan Stocker, M. 2014. Tinker, Taper, QE, Bye? The Effect of Quantitative Easing on Financial Flows to Developing Countries. The World Bank Policy Research Working Paper No. 6820. 3. Obstfeld, Maurice, Feretti, Gian Maria Milisi and Arezki, Rabah.”Oil Prices and the Global Economy: its Complicated,” IMF Direct, 24 Maret 2016. 4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 : Buku I Agenda Pembangunan Nasional. 2014. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Survei Konsumen. Bank Indonesia, April 2016. 5. World Economic Outlook. Too Slow for Too Long. IMF, April 2016.
6. World Economic Outlook. Adjusting for Lower Commodity Prices. IMF, Oktober 2015. Yudianto. “Shale Gas: Potensi atau Ancaman bagi Indonesia?” Opini Kompasiana, 30 Juli 2013.