MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER
SKRIPSI
DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH GELAAS SARJANA HUKUM
OLEH : NAMA NIM DEPARTEMEN
: MOCHAMAD RANGGA RAMBE : 020 – 222 – 083 : HUKUM INTERNASIONAL
DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321
Pembimbing I
Pembimbing II
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321
Chairul Bariah, SH, M. Hum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul : “MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER”. Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafaruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 6. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 7. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan,
Maret 2008 Penulis,
Mochamad Rangga Rambe
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Impunity secara leksikal berarti ''kejahatan tanpa sanksi hukum''. Louis Joinet, pelapor khusus PBB dari Sub-Komisi Hak-hak Asasi Manusia memberikan definisi yang lebih ketat, yang penulis terjemahkan secara bebas begini: ''Ketidakmungkinan, secara de jure maupun de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan internasional khususnya pelanggaran hak-hak asasi manusia bertanggung jawab, baik secara pidana, perdata, administratif atau disiplin, karena mereka tidak pernah diperiksa oleh suatu penyelidikan yang mungkin membuat mereka menjadi tertuduh, ditahan, diadili dan, jika terbukti bersalah, dihukum secara pantas, untuk memberikan keadilan kepada korban-korbannya'' 1. Impunity ini pada umumnya terjadi pada kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Masyarakat internasional dinilai tidak cukup kuat mengutuk dan memerangi kejahatan kemanusiaan. Akibatnya, kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) terus saja terjadi di belahan dunia. Sekretaris Umum (Sekum) Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Karlina Leksono-Supelli dalam diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyatakan, “Walau pelakunya diadili, hukum ternyata tidak mampu membendung terjadinya kejahatan kemanusiaan kembali. Hukum tak berfungsi efektif menekan kejahatan kemanusiaan. Ternyata, tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kamboja serta pengadilan Pol Pot tidak cukup
1
Hendardi, Impunity dan Masa Depan Demokrasi, www.sekitarkita.com.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
mengingatkan betapa buruknya kejahatan kemanusiaan. Dan, tak cukup untuk menghentikan terjadinya kejahatan kemanusiaan”. 2 Di Indonesia, konsep ini terbilang baru. Tapi sebenarnya PBB baru mengambil perhatian serius terhadap fenomena impunity ini baru-baru saja juga, paling lama enam tahun ke belakang. Padahal, fenomena ini merupakan masalah yang sangat serius yang diperangi sejak dekade 70-an oleh aktivis-aktivis NGO, khususnya di negara-negara Amerika Latin. Amnesty, simbol kebebasan, yang tadinya diperjuangkan oleh rezim-rezim militer yang dipaksa mundur oleh gerakan populis di negara-negara Amerika Latin, seperti di Argentina, sebagai cara untuk mengampuni diri mereka sendiri. Fenomena self-amnesty itu kian menguat pada dekade 80-an dan membuat gerakan rakyat di sana berusaha menghentikannya demi membawa mereka ke muka hukum dan memastikan bahwa keadilan telah ditegakkan. Selepas Perang Dingin, banyak negara yang tadinya bersifat otoriter mulai bertransisi menuju demokrasi. Di dalam proses itu, kekuatan-kekuatan sipil banyak yang masih harus berkompromi dengan bekas penguasa otoriter yang masih belum sepenuhnya lumpuh. Pertikaian bersenjata dihentikan dengan kesepakatan damai atau ''rekonsiliasi nasional''. Di dalam proses inilah impunity terus-menerus menjadi masalah. Ia merefleksikan ketegangan di antara kekuatan sipil dan bekas penguasa diktator militer. Yang pertama menghendaki agar seluruh past rights abuses diungkap dan diumumkan serta para pelakunya dibawa ke muka hukum. Yang kedua, seperti gampang diduga, menghendaki agar masa lalu ditutup dan dilupakan, termasuk ke dalamnya tuntutan para korban ataskebenaran dan keadilan 3.
2
Karlina Leksono Supelli, Hukum Tak Efektif Tekan Kejahatan Kemanusiaan, diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, www.kompas.com, Sabtu, 14 Oktober 2000. 3 Hendardi, op.cit. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Saat ini, memerangi impunity adalah komitmen global yang telah menjadi sama pentingnya dengan memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia itu sendiri. Dan tonggak paling penting dari komitmen global memerangi impunity ini ditegakkan dengan ditetapkannya Rome Statute of International Criminal Court oleh PBB tahun lalu. Di bawah Pengadilan Kejahatan Internasional itu, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini boleh gemetaran, karena kekuasaan mereka tidak lagi akan berlaku. Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatankejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara 4. Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik 5. Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas hal tersebut dalam sebuah skripsi, khususnya tentang bagaimana penyelesaian yang diberikan oleh hukum internasional khususnya hukum humaniter dan hukum hak asasi
terhadap berbagai kejahatan internasional yang terjadi.
Sebagaimana diketahui, hukum humaniter sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Hukum Humaniter Internasional” atau “Hukum Internasional Humaniter”. Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan “hukum
4
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982, hal. 412-413. 5 Ibid, hal. 410. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
perang” (laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Dimana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum yang tertulis.. 6 Walaupun pada saat ini tidak terjadi lagi perang, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang ini, yaitu “laws of armed conflict” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “hukum pertikaian bersenjata”. Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi tertentu (konflik), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral bagaimana
memperlakukan
manusia
secara
manusiawi.
Hukum
Humaniter
Internasional (dalam arti luas) adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang (definisi hukum humaniter Departemen Kehakiman). Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi serta peranannya dalam segala situasi baik situasi tertentu (konflik) maupun situasi damai, karena pada dasarnya hukum hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum Humaniter. Sehingga timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba menggabungkan ide moral dan ide hukum dalam suatu disiplin ilmu. J. Pictet pertama kali memakai istilah “International Humanitarian Law” dalam
6
GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 1-2.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
bukunya “The Principles of International Humanitarian Law” menyatakan, :”…humanitarian law appers to combine two ideas of a different character, the one legal and the other moral…”. 7 Perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang, namun kondisi dunia sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik senjata terjadi dimanamana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara Palestina dan Israel, Konflik di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan (tentara) maupun dari penduduk sipil.
B. Rumusan Masalah Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Kejahatan-kejahatan apa saja yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional. 2. Bagaimana prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatan-kejahatan internasional. 2. Bagaimana Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan Internasional.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk :
7
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 24.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
1. Untuk mengetahui kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional. 2. Untuk mengetahui prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatankejahatan internasional. 2. Untuk mengetahui Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan Internasional. Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk : 1. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang hal-hal yang berhubungan proses penegakan hukum (law enforcement), khususnya hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi dalam penyelesaian berbagai kejahatan internasional. 2. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisaanalisa yang bersifat objektif. 3. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia global pada saat ini khususnya dalam perkembangan penerapan (law enforcement) terhadap hukum internasional dewasa ini.
D. Keaslian Penulisan Pembahasan ini dengan judul :”MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT)
TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL
DALAM PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER”, adalah judul yang sebenarnya tidak Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
asing lagi di telinga kita, karena sebelumnya telah banyak dibahas di berbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah Mekanisme dan Upaya Penegakan Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Hak Asasi terhadap berbagai kejahatan internasional yang terjadi, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity, genocide, kejahatan perang, agresi seperti invasi yang dilakukan Amerika Serikat ke Irak dan sebagainya). Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kejahatan Internasional Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. 8 Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun
8
Geiffrey Ribertson QC,. Op.cit, hal. 410.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatankejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara 9. Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik. 2. Pengertian Hukum Humaniter Internasional Isitilah hukum humaniter atau “International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict” berasal dari istilah hukum perang (laws of war) yang kemudian berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang
9
Ibid. hal. 409.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
pada akhirnya Internasional.
saat ini biasa dikenal
dengan
istilah Hukum Humaniter
10
Haryomataram membagi hukum Humaniter Internasional ini menjadi 2 (dua) aturan pokok, yaitu : 11 1). Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law). 2). Hukum yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil akibat perang (Hukum Jenewa/The Jenewa Laws). Mochtar Kusumaatmadja membagi Hukum Perang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 12 1). Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2). Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : a). hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b). hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Seperti telah diketahui bersama, semula istilah yang digunakan adalah Hukum Perang, tetapi karena istilah Perang tidak disukai karena trauma yang disebabkan oleh
10
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 2-3. Ibid, hal. 5 12 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12. 11
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Perang Dunia II yang memakan banyak korban, maka istilah Hukum Perang diganti menjadi Hukum Humaniter Internasional. 13 Hukum humaniter Internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan pada perlindungan individu, khususnya dalam siatuas tertentu, yaitu situasi perang/pertikaian bersenjata serta akibatnya yaitu perlindungan terhadap korban perang/pertikaian bersenjata. Dengan kata lain, hukum Humaniter Internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi termasuk dalam kondisi perang. Sehubungan dengan arah hukum Humaniter Internasional tersebut di atas, kiranya hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlidnungan korban sengketa bersenjata sebagaimana diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan Internasional lainnya yang berhubungan dengan itu. Sedangkan
hukum Humaniter
Internasional
dalam arti luas adalah
keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan Internasional lainnya baik tertulis atau tidak yang mencakup Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat martabat pribadi seseorang. Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua individu/warga negara yang sedang bersengketa baik militer atau sipil merupakan 13
Pada Perang Dunia I terdapat lebih dari 60 juta jiwa terbunuh. Pada abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad ke-19 mencapai 16 juta jiwa. Pada Perang Dunia II korban mencapai 38 juta jiwa, sedangkan pada koflik-konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa, seperti dikutip oleh ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999, hal. 6. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
landasan utama pemikiran para ahli Hukum Internasional untuk menciptakan hukum Humaniter Internasional sebagai bagian dari hukum Internasional. J. Pictet lebih lanjut menjelaskan arti hukum Humaniter Internasional, yaitu : “International Humanitarian Law is wide sense, is constituted by all the International legal provisions, whether writers or customary ensuring respect for individual and his well being”. 14 Dari definisi yang dikemukakan oleh J. Pictet ini tampak bahwa hukum Humaniter Internasional juga mencakup Hak Asasi Manusia. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa :“Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan melakukan perang itu sendiri”. 15 Apabila diperhatikan kembali definisi dari hukum Humaniter Internasional tersebut dan dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum Humaniter Internasional, maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak-hak asasi manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada waktu manusia “dikuasai” emosi,
terutama
pada
saat-saat
kritis
dengan
memperhatikan cara-cara (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran Internasional yang tinggi. Gezaherzegh memberi definisi hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dengan membagi 14
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 15. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980, hal. 5. 15
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
hukum Humaniter Internasional pada Hukum Jenewa saja. Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram sebagai berikut : a). Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat Internasional dan Humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila The Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan. b). Human rights tidak dimasukkan karena di dalam Negara sosialis, human rights ini ditegakkan (enforced) oleh Negara dengan jalan menggunakan hukum nasional. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum Humaniter Internasional merupakan
bagian dari Hukum Perang, khusus perlindungan korban perang.
Sedangkan Hukum Perang itu sendiri mengatur cara berperang (conduct of war). 16 Pada hakikatnya Hukum Perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau demikian halnya, hukum Humaniter Internasional dalam arti luas tepat untuk dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul antar dua negara. J.G. Starke
termasuk
aliran
tengah, menurut
istilah
Haryomataram, menyatakan :”…as will appear post, the appellation “laws of war” has been replaced by that of International Humanitarian Law…”. 17 Kesan yang didapat dalam hal ini adalah bahwa dengan Hukum Humaniter Internasional berperang lebih dapat dikendalikan. Sedangkan Haryomataram berpendapat dan
16 17
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Op.cit, hal. 16. Ibid, hal. 17.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
menyimpulkan bahwa hukum Humaniter Internasional mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa dengan dua Protokol Tambahannya.
18
3. Pengertian Penegakan Hukum (Law Enforcement) Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. 19 Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam
18 19
GPH. Haryomataram, Op.cit, ha.l. 25 Penegakan Hukum, diakses dari situs : http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
20
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya
20
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspekaspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu. Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
21
F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian
21
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan upaya penegakan hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan internasional.
Selain itu dipergunakan juga bahan-
bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum internasional
khususnya yang
upaya penegakan hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan internasional. 2. D a t a Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan
dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
G. Sistematika Penulisan. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan sistematika penulisan.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM HUMANITER Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter, Sumber-Sumber Hukum Humaniter, Sarana
dan Metoda Berperang dan Hubungan
Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia BAB III
PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Kejahatankejahatan internasional seperti Genosida (Pembunuhan Massal), Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan Internasional
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN
INTERNASIONAL
DALAM PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court / ICC) dan Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saransaran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.
BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM HUMANITER
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Hukum Humaniter atau lengkapnyadisebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter. Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.” 22 Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”23 Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” 24 Esbjorn Rosenbland menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.” 25 S.R Sianturi menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih 22
GPH Haryomataram, Op.cit. Ibid. 24 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. 25 ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal. 10. 23
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“26 Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
27
Berdasarkan berbagai rumusan dari para sarjana tentang definisi hukum humaniter di atas, maka dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibatakibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negaranegara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
26
Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120. 27 Ibid. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu : 28 1). Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2). Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3). Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan. Hukum perang
atau
yang
sering
disebutdengan
hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan 28
GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 12. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasanpembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsabangsa. 29 Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negaranegara.
30
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa 29 30
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 20. Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang. Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihakpihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut : 31 1). Zaman Kuno Sebelum perang dimulai, maka pihakmusuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu dari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
31
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28, Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005, hal. 12. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 32 (1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. (2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimanandisebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu. (3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. (4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. 32
GPH Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002,
hal. 15. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik. 2). Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu. 33 3). Zaman Modern Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggotan Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalamanpengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5
33
GPH Haryomataram, Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unitunit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.
34
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dan sebagainya. 35 Dengan demikian, tidak seperti pada masamasa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan
yang
sangat
penting
bagi
hukum
humaniter
dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negaranegara setelah tahun 1850.
B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Humaniter Internasional, terlebih dahulu kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Internasional yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagama Mahkamah Internasional yang terdiri dari :
34 35
ICRI, Op.cit, hal. 20. Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan. 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum. 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum. Dengan demikian, perjanjian internasional diakui secara tegas (expressly recognized), kebiasaan diterima sebagai hukum (accepted as law) sedangkan prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab (civilized nation) dalam arti love peace nationa. 36 Dengan demikian, hukum Humaniter Internasional selain terikat oleh sumbersumber hukum Internasional, juga terikat oleh hukum formal yang menyangkut aturan-aturan kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949, diciptakan untuk “respect for human personality and equity”, beserta aturan-aturan hukum humaniter internasional yang lainnya yang di dalam operasionalnya terbagi dalam dua aspek, yaitu satu aspek yang terkait dengan hukum perang, sedangkan di pihak lian terikat dengan hak-hak asasi manusia. Sehingga sasaran utama hukum Humaniter Internasional adalah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam situasi perang/krisis dan dalam keadaan tertentu. Menurut J. Pictet, hukum Humaniter Internasional adalah aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya. Sehingga cabang hukum
36
GPH Haryomataram, Op.cit, hal. 20.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya konflik antar negara, karena itu hukum Humaniter Internasional ini mempunyai sifat internasional pula. 37 Seperti telah dikemukakan di atas, hukum Humaniter Internasional terdiri dari Hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat berperang dan Hukum Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Berikut ini akan dilihat kedua hukum tersebut sebagai sumber hukum Humaniter Internasional. Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi Den Haag ini merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konferensi-konferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan 1907.
a). Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18 Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah : (1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
37
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(2). Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; (3). Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : (1).
Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
(2). Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang. (3). Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun juga dilarang.
b). Konvensi Den Haag 1907 Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut : (1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; (2).
Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata;
(3). Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; (4). Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; (5). Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(6). Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang; (7). Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; (8). Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; (9). Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; (10). Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; (11). Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; (12). Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; (13). Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 antara lain adalah : (1). Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Peperangan Perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904 dimulai dengan suatu serangan secara tiba-tiba oleh Jepang terhadap kapal perang Rusia. Kejadian inilah yang menjadi bahan pembicaraan dalam Konferensi Den Haag tahun 1907, yang hasilnya adalah disepakatinya Konvensi III tahun 1907 yang judul resminya “Hague Convention No. III Relative to the Opening of Hostilities”, dimana Pasal 1 Konvensi ini berbunyi : “The Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence without previous and explecit warning, in the either of a reasoned declaration of war or of an ultimatum with conditional declaration of war”. Dengan demikian, suatu perang dapat dimulai dengan : (a). Suatu pernyataan perang, disertai dengan alasannya. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(b). Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang yang bersyarat. Apabila penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan pihak yang mengirim ultimatum dalam waktu yang ditentukan, sehingga pihak pengirim ultimatum akan berada dalam keadaan perang dengan penerima ultimatum.
(2). Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Konvensi ini judul lengkapnya adalah “Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land”. Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga dengan lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II 1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku. Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain : (a). Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang termasuk “belligerents”, yaitu tentara. Pasal ini juga mengatur mengenai syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh kelompok milisi dan korps sukarela, sehingga mereka bisa disebut sebagai kombatan, yaitu : (1). Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; (2). Memakai tanda/atribut yang dapat dilihat dari jauh; (3). Membawa senjata secara terbuka; Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(4). Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. (b). Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse, yang dikategorikan sebagai “belligerent”, yang harus memenuhi syarat-syarat : (1). Penduduk dari wilayah yang belum dikuasai; (2). Secara spontan mengangkat senjata; (3). Tidak ada waktu untuk mengatur diri; (4). Membawa senjata secara terbuka; (5). Mengindahkan hukum perang. (3). Konvensi V Den Haag 1907 mengenai Negara dan Orang Netral dalam Perang di Darat Konvensi ini lengkapnya berjudul “Neutral Powers and Persons in Land Warfare”. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan, yaitu mengenai Negara Netral (Neutral Powers) dan Orang Netral (Neutral Persons). Yang dimaksud dengan negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, tidak ada keharusan negara tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka kedaulatan negara tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi V yang menyatakan “The territory of neutral Powers is inviolable”. Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa. Sedangkan yang dimaksud dengan orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral, Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
misalnya dengan menjadi relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 17).
4). Konvensi XIII Den Haag mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Konvensi ini berjudul “Neutral Rights and Duties in Maritime Wars”, yang secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negara-negara netral dalam perang di laut. Konvensi ini menegaskan bahwa kedaulatan negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya saja, namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut, seperti tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan kapal perang negara yang bersengketa di perairan negara netral.
2). Konvensi Jenewa 1949 Konvensi Jenewa 1949 tersebut terdiri dari 4 (empat) buah konvensi yaitu : a). Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. b). Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di Laut yangLuka, Sakit dan Korban Kapal Karam. c). Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang. d). Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Sipil di Waktu Perang.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut pada tahun 1977 ditambah lagi dengan Protokol Tambahan 1977, yakni disebut dengan : a). Protocol additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the protections of victims of international armed conflict (Protokol Tambahan I) b). Protocol additional to the Geneva Conventions of 12 August, and relating to the protections of victims of non- international armed conflict (Protokol Tambahan II) Baik Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dan konvenis-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pertikaian bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol
I
tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata noninternasional.
a). Pokok-Pokok Konvensi Jenewa 1949 : Ketentuan yang bersamaan (Common Articles) Dalam keempat Konvensi Jenwa 1949 mengenai perlindungan korban perang terdapat ketentuan-ketentuan yang sama atau yang bersamaan. Yang terpenting diantaranya, adalah mengenai ketentuanketentuan pokok dari Konvensi-konvensi Jenewa, yang di dalam keempat Konvensi terdapat dalam Bab I. Hal ini merupakan suatu kemajuan besar dalam sistematika susunan pasal-pasal dan menekankan keseragaman serta kesatuan dari keempat konvensi ini sebagai suatu perangkat Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
ketentuan tertulis mengenai perlindungan korban perang. Ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi-konvensi Jenewa tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu :
(1). Penghormatan dari Konvensi-konvensi Mengenai penghormatan dari konvensikonvensi ini terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa “Pihak Peserta Agung berjanji untuk menjamin penghormatan dalam segala keadaan”. Ketentuan mengenai penghormatan diletakkan dalam Pasal 1 menandakan bahwa peserta-peserta konferensi hendak menekankan pentingnya kewajiban penandatangan untuk menghormati ketentuanketentuan konvensi dan lebih bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Selain hal tersebut, Pasal 1 ini berarti juga bahwa berlakunya ketentuanketentuan konvensi tidak boleh dipengaruhi oleh sifat dari sengketa bersenjata. Ketentuan-ketentuan konvensi mengenai perlindungan korban perang (yang sakit, luka, tawanan perang, dsb) tetap berlaku, tidak perduli apakah perang itu adil atau tidak adil, perang agresi atau perang mempertahankan diri. Yang menjadi ukuran adalah apakah telah ada sengketa bersenjata atau pendudukan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2). Berlakunya Konvensi-Konvensi Mengenai berlakunya konvensikonvensi dinyatakan dalam Pasal 2 Paragraf 1, bahwa “ …Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata (armed conflict) lainnya yang mungkin timbul antara
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui salah satu diantara mereka”. Dengan pernyataan bahwa Konvensi tahun 1949 ini berlaku bagi setiap sengketa bersenjata (armed conflict), maka tidak ada lagi kemungkinan bagi suatu negara untuk mengelakkan diri dari kewajiban-kewajiban konvensi dengan menyangkal adanya perang dalam arti hukum. Jadi menurut ketentuan di atas, konvensi-konvensi ini berlaku dalam setiap persengketaan senjata internasional, dengan tidak mempersoalkan apakah peristiwa ini menurut salah satu atau semua pihak dalam konvensi merupakan suatu “pembelaan diri yang sah”, “aksi polisi”, “insiden” atau suatu tindakan pengamanan kolektif dalam rangka piagam PBB. Selain hal tersebut di atas, “…Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan”. Dalam hal ini ketentuan mengenai perlindungan korban perang Konvensi Jenewa 1949 dengan sendirinya berlaku.
Di samping hal tersebut di atas, Pasal 2 paragraf 3 Konvensi juga
menyatakan bahwa “Meskipun salah satu dari negaranegara dalam sengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan tetap sama terikat olehnya di dalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan bukan negara peserta, apabila negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini”. Ketentuan ini membuka peluang bagi suatu pihak dalam persengketaan yang belum menjadi peserta resmi Konvensi Jenewa untuk menerima ketentuanketentuan Konvensi dengan jalan menyatakan menerima ketentuanketentuan konvensi, mematuhi dan melaksanakannya secara de facto. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
C. Sarana dan Metoda Berperang Berbicara mengenai sarana dan metode berperang, adalah berbicara mengenai hukum Den Haag. Hukum Den Haag, sebagaimana diketahui, sebagian besar terdapat di dalam
konvensi-konvensi
yang
dihasilkan
dalam
Konferensi-Konferensi
Perdamaian pada tahun 1899 dan 1907. Namun dalam perkembangannya, diketahui pula bahwa ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang tersebut tidak hanya terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haag saja, melainkan terdapat pula dalam Protokol Tambahan tahun 1977. 38 Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haag IV tahun 1907 terutama lampiran (annex-nya) yang berjudul Regulations Respecting the Laws and Customs of War on Land, atau sering disebut dengan “Hague Regulation” yang mengatur mengenai hukum kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarna atau alat berperang.
Prinsip ini mengacu pada
ketetnuan Pasal 22 Hague Regulation yang menyatakan bahwa :”hak belligerents untuk menggunakan sarana dalam menghancurkan musuh adalah tidak tak terbatas (is not unlimited)”. Dengan demikian, jelaslah bahwa negara yang bersengketa tidak dapat sebebas-bebasnya menggunakan ranjau, torpedo, proyektil, senjata-senjata beracun,
38
Oleh karena itu, menurut ICRC, Protokol Tambahan tahun 1977 disebut juga dengan “Hukum Campuran” (Mixed Law), karena tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil saja, melainkan juga mengatur tentang metode dan sarana berperang. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
senjata-senjata yang menyebabkan luka berlebihan dan sebagainya, namun dibatasi oleh berbagai syarat-syarat tertentu. Hal ini mencerminkan bahwa para penggunaan senjata pihak yang bersengketa adalah tidak tak terbatas (=sangat terbatas). 39 Selanjutnya ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 terdapat pada Bagian I dan III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Comabatan and Prisoner of War Status. Secara garis besar, ketentuan
mengenai alat dan cara berperang dalam
Protokol ini
disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan peraturan dasar (basic rules), ketentuan-ketentuan mengenai senjata baru, adanya penambahan lambanglambang internasional yang harus dihormati selama peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapt terlibat dalam sengketa bersenjata, antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata dan sebagainya.
D. Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab
menyebarkan
penerangan
mengenai
hukum
humaniter
internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar
39
Pasal 23 Hague Regulation
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut. Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensikonvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia. Sedangkan di sisi lain, dalam konvensikonvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika. Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hakhak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa. Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status“belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran akan Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI).40 Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional. Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional : 41 a). Aliran Integrationis Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu : (1). Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku
40
Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997, HAL. 85-86. 41 Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 120. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. (2). Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional. b). Aliran Separatis Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada : (1). Obyeknya Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut. (2). Sifatnya Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta peremptory. (3). Saat berlakunya Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Salah seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja. c). Aliran Komplementaris Aliran Komplementaris melihat Hukum Ha k Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu : 42 (1). Dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah
42
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
mempunyai aparatmekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negaranegara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. (2). Dalam hal sifat pencegahan Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif. Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya.Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan di lain pihak peraturanperaturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag. Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul dalam Protokol-Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan
sipil, politik, ekonomi dan budaya dan setiap orang
perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dan sebagainya) dari korban dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang. Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Selain hal tersebut, terdapat pula persamaan antara Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Persamaan tersebut antara lain : 43 (1). Sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia, Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokolnya yang memberikan kewajiban kepada negara peserta dan menjamin hak-hak individual dari orangorang yang dilindungi.
43
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 103. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(2). Hukum humaniter internasional menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir, hukum humaniter internasional mengikuti pendekatan yang sama dengan system hak asasi manusia, dengan memperluas perlindungan hukum humaniter internasional bagi semua orang sipil. (3). Di satu sisi landasan pengaturan hak asasi manusia adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia, yaitu : kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb. Atas dasar tersebut dibuatlah peraturanperaturan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain hukum humaniter internasional dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, hukum humaniter internasional memuat peraturanperaturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut merupakan hakhak minimal. Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau dapat juga disebut sebagai hakhak yang paling dasar, menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua system hukum tersebut. Oleh karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan. Instrumeninstrumenhukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok : 44
44
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
(a). Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak asasi manusia internasional. (b). Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak. (c). Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh. (d). Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat sengketa bersenjata.
BAB III
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KEJAHATANKEJAHATAN INTERNASIONAL
A. Kejahatan Genosida (Pembunuhan Massal) Genosida didefinisikan sebagai tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan 45: a. Membunuh anggota kelompok b. Menyebabkan luka parah baik mental maupun fisik kepada anggota kelompok c. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisik baik secara menyeluruh maupun sebagian d. Memaksakan tindakan yang menghambat kelahiran dalam kelompok e. Secara paksa memindah anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain. Jadi secara umum genocide (genosida), adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia. Meskipun banyak kritik yang dilontarkan mengenai definisi ini, termasuk kritik yang menyatakan bahwa definisi ini terlalu sempit, masyarakat dunia hampir
45
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
secara universal menerima bahwa definisi ini mencerminkan ketentuan hukum kebiasaan. Definisi hukum tindak kejahatan genosida internasional tidak termasuk tindakan yang diarahkan kepada kelompok-kelompok politik, seperti sebuah gerakan yang mendukung kemerdekaan politik. Persoalan apakah korban serangan pasukan keamanan Indonesia merupakan sebuah kelompok bangsa yang berjuang untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri merupakan persoalan yang membutuhkan pertimbangan teknis hukum tingkat tinggi oleh pengadilan yang mempunyai jurisdiksi mengenai persoalan ini. Komisi tidak menganggap keputusan teknis tingkat tinggi jurisprudensi internasional sebagai bagian dari mandatnya. Karena itu, Komisi telah memutuskan untuk tidak membuat temuan mengenai persoalan apakah tindakan pasukan keamanan Indonesia merupakan tindakan genosida atau tidak. Namun demikian, Komisi telah membuat temuan mengenai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, yang keduanya berlaku dalam kasus-kasus yang sedang dipertimbangkan. Konvensi Genosida Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948 adalah sebuah langkah yang sangat penting bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia Untuk maksud di atas, tulisan ini hendak melihat posisi konvensi Genosida dalam sistem perlindungan HAM yang berkembang di tingkat internasional, khususnya sejak PD II. Setelah itu, melihat implikasinya terhadap negara maupun individu. Tulisan ini juga menyoroti praktikpraktik internasional dan sumbangan konvensi Genosida dalam mendorong akuntabilitas kejahatan hak asasi manusia Dimulai dengan sebuah proposal dari Raphael Lemkin yang diajukan pada Konperensi International Unification of Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Criminal Law kelima pada 1933 gagasan mengkriminalisasikan genosida mulai dirumuskan secara internasional. Dalam konperensi di Madrid - Spanyol itu, ia mengadvokasi agar penghancuran kolektivitas rasial, agama, atau sosial dinyatakan sebagai
kejahatan
internasional,
karena
biadab
(barbatary)
dan
besarnya
penghancuran yang dilakukan (vandalism). Namun, usulan ini tidak diterima. Sebelas tahun kemudian Lemkin yang anggota keluarganya juga menjadi korban kekejaman Nazi, menerbitkan sebuah buku dan memperkenalkan istilah ‘Genocide’, yang diambil dari kata ‘genos’ yang dalam bahasa Yunani berarti ras (race), bangsa (nation) atau suku, dan dari bahasa Latin “cide” yang berarti membunuh. Dalam definisinya Genosida adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. 46 Pada 8 Oktober 1945 konsep mengenai genocide untuk pertama kali diterima secara legal formal dalam sebuah dokumen internasional, yaitu pada pasal 6 (c) dari Piagam Nuremburg. Dalam proses pengadilan itu sejumlah terdakwa dikenakan dakwaan melakukan Genosida. Salah satunya dituduh dengan sengaja dan sistematis melakukan Genosida, yaitu ‘the extermination of racial and national groups, against the civilian populations of certain occupied territories in order to destroy particular races and classes of people and national, racial or religious groups’ Gagasan ini semakin kuat kedudukannya dalam sistem internasional pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia’. 46
Antonia Pradjasto, H, Konvensi Genocida, Melindungi Hak Asasi, Memerangi Impunitas, diakses dari situs : hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543 Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Secara bulat pula ditegaskan “status” Genosida sebagai kejahatan dalam hukum internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc committee on Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida. Hanya dalam waktu 8 bulan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) diterima oleh Majelis untuk ditandatangani atau diratifikasi. Dan tepatnya, sehari sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights selanjutnya disebut DUHAM) konvensi ini terbuka untuk diratifikasi yang pada 12 Januari 1951 mulai berlaku.
47
B. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; 47
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
c. Perbudakan; d
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i.
Penghilangan orang secara paksa; atau
j.
Kejahatan apartheid. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,
atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender 48. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanit) adalah satu dari empat "kejahatan-kejahatan internasional" (international crimes), di samping The Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, international crimes ini menganut asas universal juridiction. Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah "tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil". Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity, antara lain; (1) pembunuhan, (2) penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit, (3) pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, (4) penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental, (5) penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, (6) kekerasan seksual dan (7) penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau penahanan sewenang-wenang) 49. Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanit) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan 48 49
M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508. http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah kejahatan yang menimbulkan
penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk…..mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu 50. Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis
keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta
mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya
dari
kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dri beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil. Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak
50
Geoffrey Robertson, Op.cit, hal. 412-413.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yurisdiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tak dapat menyelidiki kelompokkelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organisasi criminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalamanan Columbia di masa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat)
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
telah memberikan contoh kasus
yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan
internasional 51. Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh/atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutupnutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik. Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin
51
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berprikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional. Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan (seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan. Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang definisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 (1) (h) dan Pasal 7 (2) (g) akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah professional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rejim klien-kliennya.
C. Kejahatan Perang Pasal 8 Statuta Roma terdiri dari suatu definisi yang panjang tentang kejahatan perang. Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang, contoh Saddam Husein, mantan Presiden Irak, diadili karena kejahatan perang. 52 Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan
perang
merupakan
bagian
penting
dalam
hukum
kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu
52
Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 409.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB. 53 Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak warga negara mereka. Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dari Jerman, mantan Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles Taylor. Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang. Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II; serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999. 54 Satu jenis kejahatan lainnya yang termasuk kejahatan internasional, adalah kejahatan agresi, yaitu Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan 53 54
Ibid. Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " (just and injust war). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
D. Aggression (kejahatan Agresi) Satu jenis kejahatan lainnya yang termasuk kejahatan internasional, adalah kejahatan agresi, yaitu Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " (just and injust war). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
D. Yurisdiksi
Pengadilan
Internasional
terhadap
Pelaku
Kejahatan
Internasional Mekanisme yang paling cepat untuk menggerakkan kekuatan menyelidiki dan mengadili kejahatan internasional dinyatakan dalam Pasal 13 (b), dimana suatu “situasi” ditunjukkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak
menurut Bab VII Piagam PBB.
Inilah metode yang digunakan pada
Pengadilan Den Haag dan Arusha, yaitu melalui resolusi yang menyatakan bahwa situasi di Yugoslavia dan Rwanda mengancam perdamaian dunia. PBB tidak perlu lagi membentuk pengadilan ad-hoc, ketika sudah ada kesepakatan negara-negara Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
superpower atas kebutuhan untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, yangdilakukan pada masa damai atau perang, oleh atau di wilayah negara manapun (baik negara pihak ataupun bukan negara pihak dari statuta). Dewan keamanan kemudian akan menyerahkan masalah itu kepada jaksa di ICC. Tindakan tersebut secara otomatis menarik yurisdiksi pengadilan atas kasus-kasus yang dipilih oleh jaksa untuk dibuatkan tuntutannya. Dalam hal kelambanan tindakan atau ketidaksepakatan dalam Dewan Keamanan PBB, posisi pengadilan menjadi makin sulit. Pengadilan tidak dapat memperoleh yurisdiksi tanpa resolusi Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan yang dipertanyakan terjadi di dalam wilayah negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Atau jika terdakwa adalah warga negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Tak satupun kondisi ini akan terpenuhi dalam kasus pimpinan politik dan militer yang terlibat dalam tindakan represif yang kejam terhadap warga sipil atau kelompok etnis yang menentang pemerintahan. Sebab adalah tidak logis untuk mengharapkan negara-negara yang dipimpin orang-orang semacam itu akan meratifikasi Statuta Roma. 55 Kelangsungan hidup International Criminal Court akan lebih bergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman hakim-hakim dan jaksa-jaksa ketimbang dari Statutanya.
Sistem
penunjukan
Internasional
cenderung
ragu
untuk
tidak
mengindahkan Pemerintah atau mereka yang bertanggung jawab kepada negara. Seringkali tidak ada orang-orang yang benar-benar independen dengan pemikiran dan imajinasi yang baik. Tapi, salah satu alasan utama megnapa Pengadilan Nuremburg
55
Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 430-431.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
berhasil adalah karena hakim-hakim dari Inggris, Prancis dan Amerika
telah
berpengalaman sebagai Pembela Kriminal, selain juga sebagai jaksa penuntut. Dari pengalaman inilah berekmang ras keadilan yang mendorong proses penuntutan di pengadilan tersebut. Jadi, yang dibutuhkan International Criminal Court adalah suatu sistem penunjukan yang independen dari pemerintahan-pemerintahan, dan satu perangkat kualifikasi berdasarkan suatu statuta yang memberikan bobot kepada mereka yang mempunyai karakteristik karir yaitu pernah melakukan pekerjaan pembelaan kriminal. Selanjutnya, dewasa ini isu mengenai terorisme sangat berkembang di dunia internasional, Dua tahun masa war of terrorism yang dimotori Amerika Serikat masih belum menyentuh akar pemasalahan. Yang tersisa kini kedukaan para keluarga korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kunci utama dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika Serikat hanya mengejar pelaku teror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris (baca Osama bin Laden). Mengurai, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terjadinya terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internaional, Playground-nya berskala international. Terorisme dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tatapi manjadi masalah seluruh umat manusia.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris manjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extraordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa. Karena sifatnya yang extraordinary crime inilah hampir semua negara mengunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan tetapi, Kent Roach (Canada), Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum pidana dan HAM (antara lain, Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) menolak pandangan demikian. Bagii mereka, terorisme merupakan tindak pidana biasa dan penangganannyapun cukup dengan aturan perundang-undang yang berlaku bagi tindak pidana lainnya. Dalam kontek sistem peradilan pidana cukup dengan ketentuan KUHP dan KUHAP saja tidak perlu menggunakan UU Antiteroris atau yang lainnya seperti ISA (Internal scurity act). 56 Namun demikian, tidak dapat disanggah bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagia mala per se bukan termasuk mala prohibita. Hal ini karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court. Amerika Serikat dengan tegas menolak usulan beberapa negara yang menghendaki tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Dengan tidak masuknya terorisme maka menurut Art. 5 Rome Statute
56
M. Jodi Santoso, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober
2003. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
of the international Criminal Court (Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional) hanya empat tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana paling serius, yaitu : (1) genocida; (2) tindak pidana terhadap kemanusian; (3) tindak pidana perang; dan (4) agresi. Sampai sekarang, Amerika Serikat belum menandatangani International criminal court. Pada hal dukungan Amerika Serikat sangat dibutuhkan dalam upaya dunia internasional untuk segera pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Di sinilah mulai muncul anggapan negatif atas ambivalensi Amerika Serikat dalam upaya penanganan terorisme. Pada sisi lain Amerika Serikat menolak terorisme masuk dalam yuridiksi International Criminal Court dan sampai sekarang belum menandatangai ICC pda sisi lain Amerika Serikat, melalui pernyataan resmi George W. Bush tanggal 11 Oktober 2001, terorisme sebagai Sebuah Serangan Terhadap Peradaban Dunia. 57 Ambivalensi sikap Amerika juga tercermin dalam law enforcement. Amerika Serikat telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam criminal justice process terhadap pelaku terorisme. Sikap ini berbeda dengan upaya perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana (protection of human right in criminal justice administration) di mana Amerika Serikat sebagai pendukung utamanya. Bahkan konsep perlindungan HAM dalam sistem peradilan Pidana (criminal Justice system) yang berkembang di Amerika Serikat telah menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, administrasi peradilan pidana yang telah dibangun selama berabad-abad tersebut sama sekali tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme. Amerika Serikat telah berhasil membangun sistem peradilan pidana yang kondusif
57
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
bagi perlindungan tersangka pelaku tindak pidana di negaranya tetapi gagal mengembangankan sistem peradilan pidana internasional. Catatan terpenting yang dapat dicermati selama dua tahun masa war of terrorism adalah Amerika Serikat telah memutar “jarum jam” administrasi peradilan pidana. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu. Amerika Serikat telah membawa kembali dunia peradilan pidana ke abad 13 di mana metode yang digunakan dalam administrasi peradilan pidana adalah iquisitorial method ketika pertama kali muncul dalam sejarah peradilan pidana. Karakteristik penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem model iquisitorial seperti antara lain : dilakukan secara rahasia, tersangka pelaku tindak pidana ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan puhak lain termasuk keluarga, Pemeriksaan saksi terpisah. Tujuan pemeriksaan waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka. Apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (toture) sampai diperoleh pengakuan. Tertuduh tidak berhak didampingi pembela, tidak ada perlindungan dan jaminan hak asasi. Karakteristik yang demikian sebenarnya telah lama ditinggalkan. Akan tetapi, Amerika dalam penanganan tindak pidana terorisme telah mengangkat kembali administrasi peradilan pidana yang demikian dalam penangganan tindak pidana terorisme. Penahanan para tersangaka di
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Guntanamo, proses penyidikan yang rahasia, dan menghilangkan hak-hak dasar seorang tersangka lainnya telah dihilangkan. 58
BAB IV MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER
58
Ibid.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
A. Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Pelanggaran
terhadap
hukum
humaniter
internasional
merupakan
terjemahan langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena berbagai perjanjian internasional baik Konvensi, statuta maupun protokol memberikan istilah pelanggaran untuk
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum
Humaniter dan selanjutnya diantara pakar hukum Humaniter Haryomataram, menggunakan istilah "kejahatan perang" hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan istilah " pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional " dapat dipahami dan diartikan sebagai kejahatan perang. Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)
kejahatan terhadap
terjadi apabila tindakan tertentu yang
dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan), perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang menjadi
sasaran,
sementara
kata“sistematis”artinya
tindakan
yang
sifatnya
terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak 59. Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999. Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil. 60 Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I, tentang : 59 60
http://www.sekitarkita.com Kunarac Appeal Judgement, paragraf 94
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara sengaja menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun kesehatan b. Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena c. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d. Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah kepada tawanan perang atau penduduk sipil e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera. Kategori kedua terdiri dari pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Hal initermasuk misalnya, pembunuhan, penyiksaan, perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil; pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang; perampokan harta benda milik pribadi maupun milik negara; dan penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan militer. Dalam sebuah konflik bersenjata internal, seperti antara pengikut Fretilin pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang 61. Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata 61
ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera; dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak. Selanjutnya mengenai masalah Pembunuhan yang sah dan penahanan. Pembunuhan dan penahanan penempur oleh anggota pasukan musuh tidak dianggap melanggar hukum humaniter internasional apabila pembunuhan tersebut dilakukan dalam batas-batas cara perang yang bisa diterima. Tindakan semacam ini karena itu dimasukkan dalam definisi pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai Komisi. Tindakan tersebut tidak dicakup dalam Laporan ini, dan tidak dimasukkan dalam tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran untuk maksud analisa statistik. Untuk negera Indonesia, sebagai
instrumen internasional, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut. Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi. Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.
B. Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg ini, yaitu : 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war) 3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatankejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara. Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu :
62
1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war) 3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi 62
Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat dalam mahkamah Nuremberg. Hanya saja mengenai war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai Conventional War Crimes yang diartikan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang tanpa penjelasan lebih lanjut. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi. Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma. Berdasarkan peraturan umum, peradilan harus dilaksanakan di tempat terjadinya kejahatan selama peradilan tersebut bukan beradilan yang curang dan tidak adil, dan tidak memberlakukan hukuman mati. Peradilan seringkali dirasa lebih efisien dan sangat berpengaruh ketika terjadi di tempat di mana bukti banyak ditemukan, tertuduh dan sebagian besar korban dan saksi tinggal dan menetap dan pihak-pihat tersebut mengenal sistem hukum dan bahasa setempat dengan baik. Namun, di banyak kasus, peradilan yang memenuhi standar hampir tidak pernah mungkin dilaksanakan di negara di mana kejahatan terjadi. Hukum yang mengatur kejahatan demikian mungkin tidak ada atau sistem hukum telah runtuh. Mungkin negara tersebut tidak memiliki sumber daya untuk peradilan yang demikian atau tidak mampu memberikan perlindungan bagi para tersangka, korban, saksi atau pihak lain yang terlibat pengadilan. Jaksa Penuntut mungkin tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan penyelidikan. Mereka juga mungkin dihalang-halangi untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan oleh lembaga eksekutif – karena beberapa Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
dai mereka mungkin terlibat atau oleh aturan-aturan amnesti, permberian maaf dan langkah-langkah yang menyerupai berujung pada impunitas. Pengadilan di seluruh negara memiliki wewenang dan tugas di bawah hukum internasional, untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di mana pun ke pengadilan. Praktik yuridiksi universal oleh pengadilan nasional tersebut akan sangat bermanfaat pada saat para tersangka mengunjungi atau mencari perlindungan di negara mereka atau ketika negara di mana kejahatan terjadi mengekstradisi para tersangka. Yuridiksi universal juga membantu mengisi kekosongan Statuta Roma dengan mengizinkan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma yang akan dibawa ke pengadilan. Namunr, jumlah kasus tersebut sepertinya masih akan terbatas pada masa-masa yang akan datang. Mengapa pengadilan ad hoc atas kejahatan internasional tidak langsung dibentuk saat dibutuhkan? Lebih dari setengah abad sejak Nuremberg dan Tokyo, Dewan Keamanan PBB hanya membentuk dua pengadilan kejahatan internasional ad hoc. Meskipun Pengadilan Kejahatan Internasional bagi bekas Yugoslavia yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda, yang dibentuk pada tahun 1994 telah cukup efektif, dimana mayoritas dari mereka yang sudah diketahui terlibat dan mereka dengan kasus-kasus yang akan disidangkan sudah ditahan, keduanya masih terbatas pada kejahatan yang dilakukan di dua wilayah tertentu dan dalam dua peristiwa tertentu saja. Sejak tahun 1993, Dewan Keamanan gagal membentuk pengadilan ad hoc serupa untuk peristiwa berat lain, seperti di Kamboja, Chechnya, Timor Timur, Guatemala, Irak, Liberia, Sierra Leone dan Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Somalia. Keterlambatan ini sebagian disebabkan oleh mahalnya pembentukan lembaga-lembaga baru dan kurangnya keinginan politik. Dalam hal ini International Criminal Court akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut International Criminal Court mendapatkan ijin untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara, para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat. Meskipun anggara tahunan International Criminal Court mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negaranegara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena International Criminal Court bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka International Criminal Court jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut. Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut International Criminal Court, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
C. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah
statuta untuk membentuk
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang) 63. Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersamasama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu. Statuta ini
63
http://www.pikiran-rakyat.com.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan, setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan-hambatan yurisdiksional akan membatasi efektivitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar. Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan eksistensi Mahkamah Internasional, antara lain 64 : 1. Struktur Mahkamah Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena Mahkamah ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional Mahkamah ini atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan (Pasal 13 dan 16) 65.
64
Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, http://www.elsam.or.id, Jerry Fowler adalah penasehat Legislasi pada Lawyers Committee for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma. 65 Dalam memilih para hakim, negara pihak harus memperhitungkan perlunya representasi berdasarkan prinsip-prinsip sistem legal di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan jender Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Pada awalnya, Mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal 36 ayat 6 dan 9). Paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter internasional, dan hukum HAM internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang-orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu). Prinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17). Meskipun Mahkamah mempunyai standar tersendiri untuk menilai sebuah peradilan nasional, Statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan untuk menentang campur tangan Mahkamah (Pasal 18 dan 19). Standar untuk menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan
(Pasal 36 ayat 8). Para hakim akan “disebar” dalam tiga bagian : pra-peradilan, peradilan, dan peradilan banding (Pasal 39). Mayoritas absolut dari Majelis Negara Pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun, dan tidak dapat dipilih kembali (Pasal 42 ayat 4). Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya untuk menentukan ketidakmampuan memerlukan apa yang disebut sebagai “keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya” (Pasal 17 ayat 3). Prinsip komplementaritas menggarisbawahi bahwa Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia. 2. Hal-Hal Yang Dapat ditanganai oleh Mahkamah Para partisipan konferensi menentukan tindak kejahatan apa saja yang dimasukkan dalam yurisdiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan batasanbatasannya. Mahkamah akan mempunyai yurisdiksi atas tindak kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan bahwa Mahkamah akan mempunyai yurisdiksi atas agresi, setelah Mahkamah menegaskan batasan-batasan tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika Mahkamah menjalankan yurisdiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara, bentuk-bentuk kejahatan yang lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontroversi. 3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak Piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan Mahkamah atas kejahatan terhadap Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
kejahatan yang terjadi saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya tidak memandatkan hal ini, dan hanya membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa Mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata. Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah apakah yurisdiksi Mahkamah juga termasuk atas “serangan yang luas atau sistematik yang diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil.” Beberapa negara berargumen bahwa Mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok pembela HAM merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tak perlu bagi Mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti bahwa yang terjadi merupakan kebijakan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yang meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yurisdiksi Mahkamah. Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan dengan “Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah sistematik. Statuta juga mensyaratkan adanya “aksi individual yang berkaitan dengan serangan” menimbulkan sugesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang kebijakan yang bersangkutan, untuk bisa dinyatakan bersalah. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Persyaratan ini sebetulnya merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yurisdiksi Mahkamah atas jenis kejahatan ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah : perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b) (Pasal 8 ayat 2.b.xxii) (Pasal 8 ayat 2.e.vi). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional yang ada dalam hal ini. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. 4. Kejahatan Perang Statuta Roma memberikan kepada Mahkamah yurisdiksi atas kejahatan perang baik yang dilakukan dalam konflik internasional maupun internal (Pasal 8 ayat 2). Dimasukkannya konflik bersenjata internal dalam yurisdiksi Mahkamah sangatlah vital, karena kebanyakan konflik bersenjata yang terjadi di dunia dewasa ini terjadi dalam batas-batas suatu negara. Sayangnya, terjadi kompromi untuk tidak mengikutsertakan sejumlah tindak kejahatan yang sebenarnya merupakanpelanggaran serius dalam konflik bersenjata internal. Misalnya saja menimbulkan secara sengaja kelaparan penduduk sipil sebagai salah satu metode memenangkan perang. Ada beberapa upaya yang terus dilakukan dalam seminggu terakhir pembahasan oleh Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
beberapa negara untuk membatasi lebih banyak lagi jangkauan kejahatan di dalam konflik bersenjata internal atau mengusulkan ambang yang menyulitkan Mahkamah dalam menerapkan yurisdiksinya. Untung saja upaya-upaya ini tidak berhasil. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma tentang kejahatan di dalam konflik bersenjata internal harus melalui
berbagai argumen sekedar untuk menentukan
apakah suatu kejahatan tertentu perlu diatur dalam hukum internasional. Statuta ini termasuk di dalamnya sebuah prasyarat yang menyatakan “Mahkamah mempunyai yurisdksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya apabila dilakukuan sebagai suatu bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan
tersebut.” (Pasal 8 ayat 1).
Pernyataan ini merupakan sebuah kompromi antara mereka yang menginginkan Mahkamah untuk mempunyai yurisdiksi hanya ketika sebuah kejahatan perang merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata “sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yurisdiksi Mahkamah, namun juga memberi jalan pada Mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan, meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang berskala luas. Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Di bawah Statuta Roma, sayangnya, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statutastatuta pendirian Peradilan HAM internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk menerapkan atau menghadirkan tanggung jawab seorang atasan secara pidana atas kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah (Pasal 28). Isu politis yang sentral yang dibahas dalam minggu terakhir Konferensi adalah bagaimana persidangan Mahkamah bisa “dipicu”. Ada kesepakatan yang meluas bahwa Negara Pihaklah yang seharusnya dapat merujuk suatu keadaan tertentu pada Mahkamah. Tapi ada juga debat yang alot mengenai apakah Dewan Keamanan sebaiknya dapat merujuk suatu keadaan tertentu, dan apakah jaksa penuntut dapat berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri 66. Salah satu yang paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, yang berargumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun dalam operasional Mahkamah. Dalam penjelasannya ketika memberikan suara menentang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional.” Dewan Keamanan juga mempunyai wewenang untuk menunda penyelidikan atau
66
. Statuta Roma mengijinkan Dewan Keamanan merujuk atau meneruskan sebuah keadaan atau situasi (dimana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan) kepada Mahkamah, saat memainkan peran sebagaimana yang disebutkan pada Bab VII Piagam PBB (Pasal 13.b).
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
penuntutan sampai selama dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16) 67.
D. Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatankejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada 67
Dalam sudut pandang berkaitan dengan kewenangan ini, sangatlah mengejutkan bahwa mereka yang menentang ICC dalam Kongres Amerika Serikat, macam senator Jesse Helms dan senator Rod Grams, mengkritik Statuta Roma sebagai sebuah upaya untuk memuarakan semua persoalan pada Dewan Keamanan. Grams lebih lanjut mengatakan bahwa Statuta Roma tersebut justru merupakan “sebuah kemenangan besar bagi mereka yang mengkritik Dewan Keamanan selama ini”. Padahal faktanya para pengkritik Dewan Keamanan yang paling keras, seperti India, Irak, dan Libya, justru menolak untuk mendukung Statuta ini, sementara tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan justru mendukungnya. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara 68. Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik 69. Di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan Negara Pihak dan penyelidikan propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas 68 69
Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409. Ibid, hal. 410.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah (Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang di wilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan
sebagaimana yang termasuk dalam
yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Harapan kelompok pembela HAM dan pendukungnya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif. Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka, dan negara dimana korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negaranegara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yurisdiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara perratifikasi yang sedang melakukan misi ke negara non perratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian, walaupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yurisdiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian internasional. Kelompok pembela HAM berargumen bahwa prinsip “yurisdiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yurisdiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas, yang menyatakan bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan
terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu mempedulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaraan. Sebagai menentukan kejahatan
contoh praktis, kemampuan Mahkamah untuk
apa saja yang masuk dalam yurisdiksinya akan bisa
ditingkatkan jika diberi yurisdiksi universal. Tak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang “ketat” untuk penerapan jurisdiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari jurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi. Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut untuk menginisiasi sebuah penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang independen dan efektif merasa bahwa seorang jaksa penuntut dengan wewenang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan cukup jika pengadilan yang ada belumlah efektif dalam menghukum dan mencegah tindakan pidana internasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang. Statuta Roma sangat membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus meyakinkan terlebih dahulu dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah,” (Pasal 15 ayat 4). Jaksa Penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan (Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya (Pasal 16). Terakhir, Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut 70. 70
Pihak Amerika Serikat menentang pemberian hak propio motu dengan dasar, seperti yang diungkapkan duta besar David Scheffer, “hanya akan membuat Mahkamah terbebani dengan pengaduan dan pengalihan masalah yang melimpah, sekaligus membuat Mahkamah terlibat dalam kontroversi, pengambilan keputusan politik, dan kebingungan”. Meskipun sang duta besar Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yurisdiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yurisdiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan politik”, cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas. Seperti diketahui, Amerika Serikat menentang Statuta Roma. Alasan utama yang diberikan oleh AS kenapa mereka “menentang” Statuta Roma adalah bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah. AS mendesak agar Mahkamah hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warganya telah menerima yurisdiksi. Dubes Scheffer mencela basis teritorial bagi yurisdiksi
Mahkamah sebagai “sebuah bentuk yurisdiksi yang
dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya, “bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bisa dibilang keras, tidak ada yang luar biasa jika sebuah negara punya kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling serius yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi mengekspresikan perhatian yang mendalam, masih perlu dipertanyakan apakah yang diperingatkannya itu benar-benar “membahayakan” keseluruhan Statuta. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
memang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS mengklaim bahwa negara-negara yang berdaulat punya yurisdiksi yang terbatas di wilayah mereka sendiri 71. Kalau dianalisa lebih lanjut, ada banyak kompromi dibuat oleh negaranegara yang ikut Konferensi Roma dengan maksud menghasilkan sebuah perjanjian yang bisa mendapatkan dukungan luas. Hasil yang dicapai tidak seperti yang diharapkan oleh kelompok-kelompok pembela HAM, meskipun di beberapa bagian justru melenceng lebih jauh dari yang diharapkan oleh beberapa negara. Tapi yang jelas, Statuta Roma ini menyediakan sebuah kerangka (framework) dari keadilan internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi kerangka kerja ini untuk diterapkan. Dewasa ini berkembang wacana di dunia internasional untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internasl negara-negara berdaulat
agar
menghentikan kekejaman dan penindasan sistematis. Kewajiban tersebut dalam jangka waktu yang panjang serta meluas, diucapkan oleh Theoore Roosevelt pada masa transisi abad ke-20 72. Ia menaruh perhatian untuk menjustifikasi peperangan untuk membatasi tindakan barbar Spanyol di Panama dan Kuba, yang juga dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Pada abad ke-19, terjadi intervensi sporadis oleh kekuatan Eropa terhadap kekaisaran Ottoman Turki, yang
71
AS dengan cerdik merujuk pada “yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” yang secara akurat menegaskan bahwa sebuah perjanjian atau Statuta tidak dapat mengikat negara-negara yang bukan penandatangan. Statuta Roma ini, walau bagaimanapun, tidak menyetujui yurisdiksi Mahkamah atas “negara manapun”.Selebihnya, Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas individu, dan tidak mengikat negara yang bukan termasuk Negara Pihak. Beberapa negara tertentu tidak mempunyai kewajiban, misalnya, untuk menyerahkan tersangka, bekerja sama dalam penyelidikan, atau melakukan hal-hal lainnya 72 Geoffrey Robertson QC, op.cit, hal. 499-500. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
didorong oleh pembunuhan massal kaum Nasrani di Bosnia, Kreta dan Syria. Ekspedisi hukuman ini dibenarkan atas nama agama tanpa banyak masalah tentang keabsahannya. Ketika ahli-ahli hukum internasional pada awal-awal abad seperti Grotius dan Vattel mencari definisi dari peperangan demi “keadilan”, mereka terus menerus memasukkan alasan penyelamatan bagi rakyat tertindas. Jika untuk berdirinya negara, tirani menjadi demikian tak tertahankan kekejamannya, setiap kekuatan asing berhak untuk menolong rakyat yang tertindas, yang meminta bantuannya 73. Inilah perkembangan yang logis dari teori Locke tentang pemerintahan yang didasarkan atas persetujuan
bersama.
Jika
para
tiran
dapat
dijatuhkan
ketika
mereka
menyalahgunakan kekuasaannya dan membunuh rakyat, maka rakyatnya wajib dilindungi. Dengan demikian, pemerintahan negara dapat dipandang sah memberikan ‘bantuan kemanusiaan”. Sesungguhnya jika tirani dipandang sebagai kekuatan colonial yang melakukan kekejaman yang meluas dan ditentang oleh mayoritas penduduk asli (rakyatnya), maka hak akan “bantuan kemanusiaan” merupakan hak dalam mendukung penentuan nasib sendiri. Kesulitan muncul dalam hukum ketika korban-korban bukanlah penduduk mayoritas dari negara. Mereka hanya merupakan rakyat dari sebuah propinsi atau sekelompok ras tertentu atau keduanya. Kita bisa membayangkan betapa konyoknya sebuah tuntutan yang dibuat atas nama mereka, yang ditunjukkan dalam tuntutan Hitler, sebagai hak untuk menginvasi Cekoslowakia untuk melindungi minoritas Jerman dari tuduhan kebrutalan bangsa Chez. Dengan dasar itu pula, Hitler
73
Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987, hal. 23. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
menginvasi Polandia untuk menyelamatkan minoritas Jerman dari tuduhan tidak manusiawinya bangsa Polandia. Bagaimanapun Hitler telah memberikan label buruk pada hak untuk melakukan “intervensi kemanusiaan”. Namun, kemudian terdapat preseden-preseden dari abad ke-20 yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I, ketika hak-hak minoritas diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa, pertanyaan tentang pemisahan diri disebut dalam dua laporan para ahl hukum yang meminta Liga menentukan hari depan kepulauan Aalan milik Finlandia. Mereka melaporkan pada tahun 1920, bahwa Liga berhak mempertimbangan tuntutan kelompok minoritas untuk memisahkan diri jika terjadi perlakukan kejam yang nyata dan berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan sebagian atau seluruh penduduk sebuah negara 74. Kasus kepulauan Aalan inilah yang membayangi Kosovo, tahun 1999, sebuah propinsi yang terbentuk oleh sejaran, terdiri dari 90% orang Albania muslim yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka karena perlakuan yang kejam dari Milosevic terus berlanjut terhadap kekuatan Serbia yang berdaulat. Jiak Kosovar (penduduk Kosovo), telah mempunyai hak untuk memisahkan diri, apakah jeritan mereka untuk meminta bantuan mewajibkan NATO untuk menanggapinya ? Ini tergantung pada apakah setiap hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau hak mendukung upaya pemisahan diri dapat diperbolehkan di luar ikatan rejim hukum internasional yang dibuat oleh Piagam PBB. Pertanyaan ini juga berlaku pada setiap persetujuan internasional yang lainnya 75. Hal mana sebenarnya di dalam Pasal 7 dari North Atlantic Treaty gugur, bahwa keanggotaan NATO tidak mempengaruhi
74
Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 2733, dikutip di dalam http://www.kompas.com. Edisi 29 Maret 2003. 75 Pasal 103 Piagam PBB. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
tanggung jawab utama dari Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya di dalam Pasal 27 Piagam PBB,
memperbolehkan
sendiri untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah
PBB
yang pada dasarnya
berada dalam “yurisdiksi domestic dari negara-negara manapun”, namun hanya dalam rangka penerapan tindakan-tindakan penegakan oleh Dewan Keamanan yang terlebih dahulu harus “menentukan ada tidaknya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi lainnya” 76. Kemudian jika tindakan-tindakan dari kekerasan bersenjata masih tidak mencukupi, Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau kekuatan darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Argumentasi dari mereka yang melontarkan kritik-kritik pada tindakan NATO adalah bahwa organ PBB ini wewenangnya mencakup hal intervensi yang implikasinya kemudian menghilangkan setiap hak-hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan yang didasarkan pada hukum kebiasaan, baik itu dari suatu negara atau sebuah kelompok regional, tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan.
Hal ini
bertujuan untuk menambah kepercayaan mereka dan tak satupun tindakan dapat diambil di bawah pengaturan-pengaturan badan regional tanpa pemberian wewenang dari Dewan Keamanan, walaupun dalam kenyataannya hal itu merujuk pada situasisituasi dimana PBB telah mempergunakan badan-badan regional. Untuk memenuhi “perang demi keadilan” yang diperbolehkan oleh Bab VII dari Piagam PBB, kecaman Dewan Keamanan terhadap pelaku kejahatan-
76
Bab VII, Pasal 39 Piagam PBB.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
kejahatan kemanusiaan tidaklah cukup. Harus adar resolusi
untuk menggunakan
kekerasan yang disetujui oleh setidaknya 9 dari 15 anggota dan tidak ada satupun dari lima anggota permanent, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris yang melemparkan veto. Hak untuk intervensi kemanusiaan muncul dalam keadaan darurat, untuk menghentikan tindakan kriminal terhadap kemanusiaan yang terus berlanjut. Tidak pernah disarankan bahwa catatan hak asasi manusia yang buruk kemudian tanpa menjustifikasi intervensi bersenjata. Pendapat International Court of Justice tentang kasus “Nicaragua” melumpuhkan hipotesa “hak melakukan intervensi ideology” yang seringkali menjustifikasi destablisasi sistem politik tertentu. Tidak diputuskan apakah sebuah kelompok regional negara-negara berhak untuk menggunakan kekerasan guna menghentikan negara lain dimana pembunuhan massal atau sebagian penduduk sedang berlangsung. Sesungguhnya International Court of Justice terus menekankan bahwa Piagam PBB tidak mencakup keseluruhan area peraturan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional terus ada untuk hidup bersama dengan hukum perjanjian, misalnya Piagam PBB 77. Apakah hak intervensi kemanusiaan benar-benar eksis dalam hukum kebiasaan menjadi isu yang dihindari oleh International Court of Justice, dua bulan setelah pemboman NATO terhadap Yugoslavia. International Court of Justice menolak permintaan Yugoslavia yang meminta adanya “tindakan sementara (provisional measure)”. International Court of Justice menyatakan keprihatian yang mendalam atas penggunaan kekerasan di Yugoslavia. Mungkin hal ini terjadi karena
77
Sebagian pakar hukum berpendapat, bahwa kritik yang dilontarkan pada NATO adalah salah. Piagam PBB tidak mengatur masalah itu dan meniadakan penggunaan kekerasan senjata sesuai dengan kaidah hukum kebiasaan yang telah mengkristal secara bebas terlepas dari hukum perjanjian. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
International Court of Justice mempunyai tanggung jawab di bawah Piagam PBB untuk membantu memelihara perdamaian dan keamanan dan situasi saat itu (pemboman) menjadi isu hukum internasional yang paling serius. Bodohnya kemudian isu itu sperti menjadi sebuah permintaan bahwa semua pihak harus bertindak sesuai dengan kewajiban mereka menurut hukum. Kewajiban yang kemudian tidak diuraikan dengan jelas, selain digambarkan sebagai sesuatu yang serius. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa perlunya prinsip hukum internasional yang memperbolehkan intervensi dalam keadaan darurat kemanusiaan, jika perlu tanpa dukungan suara bulat dari anggota Permanen Dewan Keamanan PBB.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan di dalam skripsi ini, adalah : 1. Kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional, adalah : a).Genocide (genosida) b). Crime Againts Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) c). War crimes (Kejahatan Perang) d). Aggression (kejahatan Agresi)
2. Prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatan-kejahatan internasional, sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.
2. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatankejahatan Internasional Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional merupakan terjemahan langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena berbagai perjanjian internasional baik Konvensi, statuta maupun Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
protokol memberikan istilah pelanggaran untuk
tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan hukum Humaniter. Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) terjadi apabila tindakan tertentu yang dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan; pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan);perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk; kerja paksa; pemenjaraan;penyiksaan; perkosaan; memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik
fisik
maupunmental atau kesehatan fisik”.
B. Saran-Saran Saran-saran yang dapat diberikan dalam skripsi ini, adalah : 1. Negara-negara di dunia dan PBB selaku organisasi internasional harus mempunyai dan mampu menunjukkan komitmen yang lebih baik lagi dengan merumuskan berbagai peraturan yang dapat menjerat pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan .
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
2. Mahkamah Internasional harus dapat menindak dengan tegas setiap perbuatan yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga dapat menimbulkan perasaan jera bagi si pelaku, sehingga dia tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU-BUKU Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999. Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti, ICRC, Jakarta, 1997. Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002. GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988. ---------------------------, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982. Hendardi, Impunity dan Masa Depan Demokrasi, www.sekitarkita.com. International Committee of The Red Cross,, Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30. International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, , Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005. M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508. Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979. -------------------------------, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980.
2. INTERNET Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, dikutip di dalam http://www.kompas.com. Edisi 29 Maret 2003. Antonia Pradjasto, H,
Konvensi Genocida, Melindungi Hak Asasi, Memerangi
Impunitas,
diakses
dari
situs
:hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543 http://www.pikiran-rakyat.com. http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543 Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, http://www.elsam.or.id. Karlina Leksono Supelli, Hukum Tak Efektif Tekan Kejahatan Kemanusiaan, diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, www.kompas.com, Sabtu, 14 Oktober 2000. Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Penegakan
Hukum,
diakses
dari
situs
:
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php
3. SURAT KABAR / MAJALAH M. Jodi Santoso, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober 2003.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008. USU Repository © 2009