TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara
Oleh : SUGONDO NIM. 040200037 DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
Kata Pengantar
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Sanghyang Adi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian skripsi seperti sekarang ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini diberi judul “TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Hal pertama yang melandasi pengangkatan topik ini adalah dikarenakan munculnya keprihatinan terhadap keadaan yang terjadi dewasa ini, dimana posisi konsumen, khususnya di bidang perumahan, sangatlah lemah sehingga hak-hak yang ada seringkali diabaikan oleh pelaku usaha. Selain itu juga adanya keinginan yang besar untuk lebih mengerti lagi sampai sejauh mana jaminan perlindungan terhadap konsumen yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Memang disadari bahwa masih sangatlah sulit untuk mendapatkan literatur yang membahas masalah perlindungan konsumen kredit perumahan secara khusus. Namun, dalam hal ini berbagai usaha diupayakan dalam memanfaatkan bahanbahan yang telah ada, ditambah dengan pandangan yang diperoleh dari bahan tersebut untuk membahas permasalahan dimaksud. Sungguh suatu hal yang luar biasa dimana akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang diharapkan. Skripsi adalah merupakan salah satu unsur yang sangat penting sebagai pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum di universitas ataupun perguruan tinggi manapun di seluruh Nusantara, termasuk pula di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa terima kasih disampaikan atas jasa-jasa yang tidak ternilai dari nama-nama yang disebutkan di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan menjadi motivasi dari awal masa perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
1. Papa dan Mami tercinta, atas kasih sayang, bimbingan dan nasihat yang telah diberikan selama ini, serta kedua adik tersayang, Subroto dan Sutrisno atas dukungan yang telah diberikan selama ini. 2. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-I di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara. Selain itu, terima kasih juga atas dukungan moril dan kesempatan yang telah diberikan untuk ikut serta berkompetisi di tingkat nasional. 3. Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara I, II, III, IV, dan V, beserta staf dan jajarannya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung juga turut memberikan andil yang tidak ternilai. 4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan jajarannya. 5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di Bagian Pendidikan. 6. Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di Bagian Keuangan. 7. Muhammad Husni, SH., MH., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di Bagian Kemahasiswaan. 8. Erna Herlinda, SH., M.Hum., selaku Dosen Wali, atas bimbingan, nasehat dan juga waktu yang telah diberikan mulai dari masa awal perkuliahan sampai sekarang ini. 9. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas bimbingan dan pengetahuan yang telah diberikan mulai dari masa-masa perkuliahan sampai sekarang ini. 10. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI., selaku Dosen Pembimbing I, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan yang telah diberikan, tidak saja dalam masa penulisan skripsi ini, tetapi juga sejak dalam masa-masa perkuliahan. Terima kasih juga disampaikan kepada Beliau atas dukungan dan kesempatan yang telah diberikan untuk dapat bergabung dan berkompetisi dengan USU Team Jessup 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
11. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang juga adalah Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan bimbingan yang telah diberikan, tidak saja dalam masa penulisan skripsi ini, tetapi juga sejak dalam masa-masa perkuliahan. 12. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu per satu namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan. 13. Kakak-kakak senior yang sangat membantu dan memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini, seperti Kak Vivi Erisa, SH, Kak Daisy Joediono, SH, Bang Robin, SH, Kak Steveni, SH, dan juga senior lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu. 14. Kawan-kawan stambuk 2004 yang telah berjuang bersama-sama selama ini, Tota Pasaribu, Oktoriyanto Gulό, Samuel Sihombing, SH., Budi Nababan, Firdaus Armanda, Enriko R.E. Hutasoit, Khairu Rizki, Andres Simanjuntak, Rudi Chandra, Fajrin Zainuddin, Rahmat Suhargon, Eva Norita, Dewi Lestari, Heni Suryani, Sabtia, SH., Martini Sitorus, Lidya Octaviani, Tomita Sitompul, Delima Simanjuntak, Serenity Refisis, Eko Susilo, Tengku Wanda, Rikki Josua. dan kawan-kawan lainnya, atas masukan yang telah diberikan. 15. Kawan-kawan Departemen Hukum Ekonomi, khususnya stambuk 2004, Andre, Amanda P. Lubis, Frisko, Duma Natalia Saragi, Erik Chandra Sagala, Hendrik, SH., Mulianawati V. Silitonga, Panataran Lumbanraja, Ricky, SH., Rivai Halomoan, Susanto, SH., Vera Ekawati, Sandra Liviyanski, Olivia, Lukyta Indryani, Happy Pardede, Agustina, dan juga kawan-kawan lainnya atas kebersamaan kita selama ini. Semuanya sukses ya ! 16. Kawan-kawan UKM KMB-USU tercinta, Frendy, Margareth Khoman, Eliza, Wilson S.W., Steven, Heri Sukamto, Eka, Julinda, Bang Sunto, S.Ked., Kak Janti, S.Far., Rosdiana, SE., Hermiaty Honggo, Delken Kuswanto, Yusriwan Tjuanda, Kartono Yap, Yudhi, Meiliana, Budiman Chandra, Thomas, Yulina, Yanto, dan juga kawan lainnya. 17. Rekan seperjuangan di DPC PERMAHI Medan, Bang Polda Simbolon, SH., Bang Revondy Brahmana Sembiring, SH., Bang Eric Hotma, SH., Lodewik, Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
Fandy Japto, Hamdani Parinduri, Coki Pangaribuan, dan rekan-rekan lainnya, atas segala masukan yang telah diberikan. 18. Rekan-rekan Jessupers 2008, Kak Theresia Tobing, SH., Bang Manahan Tambunan, SH., Kak Elizabeth D.O. Simanjuntak, SH., Christie O. Gozali, Deborah Doloksaribu, Fadhiela Hasanah, Frans Margo Leo, Al-Kautsar Saylanov, Ingrid G. Zega, William, Dewi Anglovaz, Maria A. Pasaribu. Welcome juga untuk Lie Pie Jung dan kawan-kawan baru lainnya. Tetap semangat ya semuanya untuk Jessup Competition 2009 ! 19. Semua teman-teman stambuk 2004 lainnya dan juga adik-adik junior stambuk 2005, 2006 dan 2007 lainnya yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu, atas segala dukungan moril dan semangat yang telah diberikan selama ini. Tetap semangat ! 20. Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Perpustakaan Pusat USU dan juga staf di Pusat Dokumen dan Informasi Hukum atas segala bantuannya. Selain itu, sebelum dan sesudahnya juga dimohonkan maaf atas segala kesilapan dalam perbuatan maupun ucapan yang pernah dilakukan. Karena seperti kata pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”, maka kita sebagai manusia biasa tentunya juga tidak akan luput dari kesilapan dan kesalahan. Skripsi yang telah diselesaikan dengan segenap hati ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena diyakini bahwa apa yang telah ditulis dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu, segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi kemajuan bersama. Akhir kata, terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan. Semoga karya ini sedikit banyak juga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Maret 2008. Hormat Penulis,
SUGONDO NIM. 040200037 Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................... iv Abstraksi ................................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................. 8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .............................................. 9 D. Keaslian Penulisan ................................................................ 10 E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................... 11 F. Metode Penulisan ................................................................. 21 G. Sistematika Penulisan ........................................................... 23
BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ............................ 26 A. Sejarah Perlindungan Konsumen .......................................... 26 B. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ................... 35 C. Pengertian dan Kedudukan Konsumen secara Umum ............ 41
BAB III KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DI INDONESIA
49
A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ................................................................................... 49 B. Tinjauan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam hal Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ................................................................................... 55 C. Menelusuri Pelayanan Bank dan Pemberian Informasi terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ...................... 59 D. Masalah-masalah yang timbul di dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ................................................................................... 65
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ............... 71 A. Hak dan Tanggung Jawab Pihak-pihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Hukum Perlindungan Konsumen ............................................................................ 71 B. Perlindungan
bagi
Konsumen
sebagai
Debitur
atas
Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR) terhadap Perjanjian Baku yang dibuat oleh Bank sebagai Kreditur ................................................... 77 C. Keduduka n dan Peranan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Memberikan Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) .................................................. 90 D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen yang timbul di antara Pihak-pihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ......... 94 1. Penyelesaian sengketa secara damai ................................ 96 2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang tertentu ..... 97 a. Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 99 b. Melalui peradilan umum ........................................... 104
BAB V PENUTUP ................................................................................. 110 A. Kesimpulan .......................................................................... 110 B. Saran .................................................................................... 113
Daftar Pustaka ........................................................................................... 118 Lampiran .................................................................................................. vii
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI ∗) Dr. Sunarmi, SH., M.Hum. ∗∗) Sugondo ∗∗∗)
Abstraksi Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian di Indonesia, telah menumbuhkan suatu metode baru dalam berinteraksi antar manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, perkembangan pembangunan di segala bidang, juga ditandai dengan pesatnya pembangunan perumahan. Namun, konsumen seringkali dikecewakan dengan realisasi yang berbeda jauh sekali dengan apa yang dijanjikan sebelumnya. Dalam hal ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dimaksudkan untuk menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen dengan adanya pembatasanpembatasan tertentu terhadap perilaku pelaku usaha. Skripsi ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap konsumen kredit kepemilikan rumah (KPR). Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah agar dapat diketahui hakikat perlindungan konsumen sebenarnya. Selain itu, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan sejauh mana jaminan perlindungan bagi konsumen KPR. Kemudian bagaimana cara penyelesaian sengketa konsumen yang mungkin timbul nantinya. Di dalam penulisan skripsi ini akan digunakan metode penelitian kepustakaan. Hal ini dilakukan dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut UUPK. Kemudian dari hasil analisa terhadap data yang ada, diharapkan akan dapat ditarik suatu kesimpulan, yang akan memudahkan dalam memberi masukan dan saran guna menanggulangi permasalahan yang timbul dari topik yang dibahas tersebut. UUPK merupakan instrumen hukum yang dapat memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak konsumen, termasuk konsumen KPR. Dalam hal timbul sengketa konsumen, walaupun senantiasa diupayakan cara damai, UUPK juga memberikan legitimasi bagi lembaga pengadilan ataupun BPSK sebagai lembaga luar pengadilan untuk dapat menyelesaikan sengketa yang timbul. Sangat diharapkan agar di dalam prakteknya, undang-undang yang ada tidak hanya dianggap sebagai aturan belaka, tetapi benar-benar dimanfaatkan sebagai instrumen hukum dalam memberikan perlindungan. Kemudian di dalam menyelesaikan sengketa konsumen, maka diupayakan cara damai terlebih dahulu. Apabila tidak mungkin, maka peran serta lembaga BPSK dan peradilan juga menjadi sangat penting. Dalam hal ini, peran aktif dari pemerintah, masyarakat konsumen dan pelaku usaha sendiri juga sangat penting. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Kredit Kepemilikan Rumah ∗) Dosen Pembimbing I ∗∗) Dosen Pembimbing II ∗∗∗) Mahasiswa Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pembangunan Indonesia di bidang ekonomi telah memicu semakin bertambah pula kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa. Hal tersebut selain didukung oleh semakin beragamnya penawaran yang dilakukan oleh produsen atau penghasil barang dan jasa, juga disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang dulunya hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan primer semata, sekarang ini sudah cenderung mengarah kepada pola konsumsi yang kadang kala sudah tidak terkontrol. Kondisi tersebut kemudian mendorong para penghasil barang dan jasa untuk semakin gencar memberikan berbagai tawaran menggiurkan dan kebebasan bagi konsumen untuk dapat memilih aneka ragam jenis dan bentuk barang yang diinginkan, walaupun untuk hal kualitas masih dipertanyakan. Dengan demikian, sebenarnya sudah timbul permasalahan yang boleh dikatakan cukup serius yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi konsumen. Pada zaman perdagangan klasik, konsumen yang dijunjung tinggi layaknya ‘raja’, kini seperti dijadikan sebagai objek aktivitas bisnis yang tidak sehat dari para pelaku usaha. Dalam hal ini, konsumen hanya dianggap sebagai ‘lahan’ untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, yang mana hal tersebut dilakukan dengan melalui kiat-kiat dan metode apa saja yang oleh pelaku usaha dirasakan efektif namun tidak terlalu membebani budget 1, mulai dari promosi 1
Budget means amount of money that is available to a person or an organization and a plan of how it will be spent over a period of time (__________, Oxford Learner Pocket Dictionary,
2
yang
gencar
(atau
yang
sifatnya agresif),
metode
penjualan ekstrim,
menyalahgunakan ketidaktahuan konsumen, bahkan sampai kepada pemberian informasi yang tidak benar atau menyesatkan, yang tujuannya tidak lain agar konsumen bisa memiliki persepsi yang salah terhadap suatu produk yang ditawarkan kepada mereka. Masyarakat Indonesia yang pada saat ini telah hampir atau bahkan melewati angka 220.000.000 (dua ratus dua puluh juta) jiwa 2 yang tentunya bukanlah sebuah jumlah yang kecil, kalau boleh dikatakan angka tersebut adalah angka yang cukup besar (yang menempatkan Indonesia menempati posisi 5 besar negara dengan populasi terbesar di dunia). 3 Dari jumlah yang sedemikian banyak tersebut yang hampir seluruhnya adalah lebih condong merupakan konsumen, sebagian besar darinya masih sangat awam sekali, atau bahkan dikatakan “buta” akan apa yang disebut dengan hak-hak konsumen yang wajib dipenuhi. 4 Petaka yang menimpa konsumen Indonesia tidaklah jarang terjadi. Selama beberapa dasawarsa, sejumlah peristiwa penting yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa mencuat ke permukaan sebagai wujud kepihatinan nasional yang tak kunjung mendapat perhatian dari sisi perlindungan hukum bagi para konsumen. Padahal saat ini lebih Third Edition, (Oxford : Oxford University Press, 2003), hal. 50). Budget diartikan juga sebagai anggaran (S. Wojowasito & Tito Wasito, Kamus Lengkap, Inggris – Indonesia, (Malang : Penerbit Hasta, 1980), hal. 19). 2 Berdasarkan hasil yang dikemukakan oleh Data Statistik Indonesia, penduduk Indonesia berjumlah 218.868.791 jiwa (2005) (Arya, Indonesia dalam Data Statistik, 11 Desember 2006). 3 Jumlah penduduk Indonesia bertambah terus dan berdasarkan hasil data statistik dunia yang diperoleh setelahnya, diketahui Indonesia masih tetap menempati posisi ke-4 (empat) setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, untuk jumlah penduduk terbesar dengan jumlah 222.051.298 jiwa (2006) dari 219 negara yang terdata, dimana penduduk dunia sudah mencapai 6.617.471.420 jiwa (http://www.poodwaddle.com/worldclock.swf, 2007). Data jumlah penduduk Indonesia tersebut merupakan data yang telah diverifikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (Jumlah Penduduk - beasiswa_kpt_co_id.htm, terakhir kali diakses pada tanggal 27 Mei 2008). 4 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. ix. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
3
dari 200 juta penduduk Indonesia tidak akan mungkin dapat menanggalkan predikat sebagai “konsumen”. 5 Memang tidak dipungkiri bahwa yang terjadi selama ini adalah konsumen secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk dapat mengambil keuntungan dari mereka. Minimnya pengetahuan ditambah lagi dengan kurang pedulinya konsumen terhadap hak-haknya tersebut semakin membuat para pelaku usaha mudah untuk ber-euforia dalam dunianya yang berorientasi hanya pada laba semata. Ketidakberdayaan konsumen di dalam menghadapi para pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan dari konsumen pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Sekalipun umumnya masyarakat Indonesia sudah memahami siapa yang dimaksudkan dengan konsumen, tetapi hukum positif di Indonesia sampai dengan tanggal 20 April 1999 belum mengenalnya secara jelas. 6 Bahkan keadaan ini juga didukung oleh sistem peradilan Indonesia yang rumit, berbelit-belit dan relatif mahal yang tentunya masih kurang dapat memberikan suatu penyelesaian yang adil bagi konsumen, dimana yang terjadi adalah pengaburan terhadap apa yang menjadi hak-hak konsumen dan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Belum lagi selama ini para pelaku usaha cenderung untuk berlindung di balik perjanjian baku (standard contract) yang sebelumnya telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. 7 Walaupun boleh dikatakan sudah sedikit terlambat, namun tidak mengurangi tujuan dasar daripada dilahirkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 5
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 15. 6 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta : Penerbit Diadit Media, 2002), hal. 1. 7 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 1-2. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
4
1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan bahwa peraturan yang relatif masih baru tersebut dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya terhadap pelaku usaha. Perlindungan konsumen pada dasarnya bukan secara tegas membatasi hak pelaku usaha untuk berkreasi dalam memasarkan produknya kepada konsumen, tetapi lebih dimaksudkan untuk menjamin adanya iklim berusaha yang sehat tanpa mengorbankan kepentingan konsumen. 8 Di dalam Pasal 3 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dengan jelas diterangkan bahwa: Perlindungan konsumen bertujuan: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemampuan konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Disadari bahwa ruang lingkup perlindungan konsumen itu sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dimana hukum perlindungan konsumen itu sendiri selalu berhububungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu
8
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Umum, Paragraf 6 sebagai berikut : Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
5
senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”. 9 Oleh karenanya, di dalam meninjau tentang perlindungan konsumen ini, perlu juga ditinjau bidangbidang hukum lainnya yang dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen. Dalam kaitan dengan perlindungan konsumen dimaksud, di dalamnya juga meliputi perlindungan terhadap konsumen perumahan, karena memang ruang lingkup perlindungan konsumen memang sangat luas sekali. Jadi, di dalam prakteknya selain perlindungan konsumen perumahan, juga masih banyak lagi konsep perlindungan konsumen yang ada, misalnya perlindungan konsumen pangan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Dengan semakin tumbuh kembangnya perekonomian bangsa, memicu pula semakin meningkatnya permintaan akan perumahan itu sendiri. Permintaan itu sendiri tidak lain dikarenakan semakin tingginya kepadatan penduduk, dimana mendongkrak juga permintaan terhadap perumahan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya pengembang-pengembang baru dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada masyarakat. Akan tetapi, dalam praktek akhir-akhir ini ternyata banyak sekali timbul permasalahan di bidang tersebut yang cenderung merugikan pihak konsumen. Permasalahan dalam pemasaran perumahan di dalam praktek pembangunan yang terjadi itu sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan. 10
9
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2006), hal.
10
Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
1. hal. 44. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
6
Mengingat dalam pembangunan perumahan terlibat berbagai pihak, maka banyak yang berpotensi melakukan kejahatan, dimana adalah termasuk: 11 1. Pihak pengembang sebagai pihak yang berinisiatif membangun perumahan; 2. Pihak perbankan, khususnya yang menyalurkan KPR; dan 3. Notaris, selaku penyedia jasa profesional dalam berbagai transaksi hukum dalam proses jual beli perumahan. Hubungan ketiga individu tersebut sangatlah erat sekali, dimana seringkali terjadi adalah adanya persekongkolan terselubung untuk menipu konsumen secara tidak langsung, walaupun dalam hal ini pembuktian masih sangat perlu dilakukan terlebih dahulu, dimana sesuai dengan asas presumption of innocence. 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagai produk hukum dari perlindungan konsumen yang telah berlaku kurang lebih 9 (sembilan) tahun 13 di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu hal yang cukup baru, terutama di dalam mengatur
persoalan-persoalan
perlindungan
konsumen.
yang
Padahal
timbul memang
berkenaan sebelum
dengan lahirnya
masalah peraturan
perundangan tersebut, sudah cukup banyak juga peraturan perundangan yang dikeluarkan dalam konteks tersebut, walaupun diakui memang sebagian besar daripada peraturan perundangan yang ada
tersebut tidak secara jelas
mencantumkan hal tersebut. Namun, dalam kenyataannya peraturan yang telah 11
Ibid., hal. 44. Sudah menjadi communis opinio bahwa membuktikan berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Tujuan dari pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut (Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2002, hal. 129). Namun, pembuktian bukanlah sesuatu yang mudah dan murah, apalagi dalam hal pembuktian tentang sesuatu produk konsumen yang telah menimbulkan kerugian bagi konsumen (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Jakarta, 1995, hal 101). 13 UUPK telah disepakati oleh DPR pada tanggal 30 Maret 1999, dan disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42), dan berlaku efektif sejak tanggal 20 April 2000. 12
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
7
ada tersebut belumlah benar-benar mampu untuk mengakomodir semua keluh kesah konsumen, apalagi untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini memang sangat diharapkan agar hak-hak konsumen di Indonesia tidak diabaikan lagi oleh para pelaku usaha, dimana secara tegas diatur pula mengenai sanksi terhadap para pelaku usaha yang ‘nakal’. Apabila ditinjau dari ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka sudah tercantum dengan jelas di dalam beberapa pasal tentang kewajiban pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dan juga hakhak yang perlu dijamin daripada konsumen itu sendiri. Masalah yang paling mendasar adalah harus diberikannya kemudahan untuk mengakses informasi produk bagi konsumen. Selain itu, janji yang ditawarkan dalam label, brosur, ataupun iklan haruslah benar-benar relevan dengan realisasi di lapangan. Permasalahan mengenai perlindungan konsumen di bidang perumahan dan kredit yang diberikan terhadapnya oleh pihak perbankan ini akan dibahas lebih mendalam lagi, khususnya mengenai hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar, dimana merupakan kewajiban dari para pengembang sebagai pelaku usaha untuk dapat menyediakan informasi yang dimaksud, tidak lepas pula peran pihak perbankan yang memberikan kredit, serta tidak lupa membahas tentang perjanjian baku dan juga perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau bahkan dilarang bagi para pelaku usaha. Selain ditinjau daripada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, juga tidak ketinggalan akan disinggung mengenai peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitan dengan pembahasan tersebut, sehingga nantinya akan diketahui apakah instrumenSugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
8
instrumen yang telah ada tersebut benar-benar telah memberikan perlindungan dengan baik atau tidak bagi konsumen perumahan. Selama hampir 3 (tiga) dekade, perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia memang masih amat menyedihkan. Gerakan konsumen di Indonesia selama ini lebih banyak diwadahi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang berdiri pada tanggal 11 Mei 1973. 14 Memang tidak dipungkiri bahwa selama ini masih banyak sekali timbul persoalan dalam hal perlindungan konsumen, dimana masih lemahnya pelaksanaan terhadap regulasi tentang perlindungan konsumen ini. Apalagi dalam kaitannya dengan KPR yang tidak lain merupakan salah satu produk perbankan, tentunya ruang lingkup perlindungan konsumen itu menjadi lebih rumit lagi. Hal-hal tersebut di ataslah yang akan menjadi pokok utama dari pembahasan di dalam skripsi yang diberi judul:
“TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan kepada judul skripsi ini, yaitu “Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan tentang praktek perlindungan konsumen di Indonesia ditinjau dari hukum perlindungan konsumen ? 14
W.A. Permono, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 5 April 1999, diperoleh dari www.google.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
9
2. Bagaimana hukum perlindungan konsumen dapat menjamin terpenuhinya hakhak konsumen kredit kepemilikan rumah (KPR) dalam hubungannya dengan pengembang/pihak bank ? 3. Bagaimana mekanisme atau cara penyelesaian sengketa dalam hukum perlindungan konsumen yang sebaiknya ditempuh guna menyelesaikan sengketa konsumen yang timbul dalam kredit kepemilikan rumah (KPR) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar ‘Sarjana Hukum’ dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, adapun tujuan lain daripada penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang hakikat pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Untuk mengetahui bagaimana hukum perlindungan konsumen dapat menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen kredit kepemilikan rumah (KPR) dalam hubungannya dengan pengembang/pihak bank. 3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa yang bagaimana di dalam UUPK yang sebaiknya ditempuh guna menyelesaikan sengketa konsumen yang timbul dalam konsumen kredit kepemilikan rumah (KPR).
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
10
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang perlindungan konsumen perumahan. Selain itu, skripsi ini diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di bidang perlindungan konsumen. 2. Secara praktis Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui bagaimanakah aspek perlindungan hukum yang sebenarnya yang harus diberikan kepada konsumen di bidang perumahan, khususnya yang menyangkut Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
D. Keaslian Penulisan Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, dimana dalam hal ini segenap gagasan dan sudut pandang tentang perlindungan konsumen telah berupaya untuk dituangkan. Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Tinjauan mengenai Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” belum pernah ditulis sebelumnya. Walaupun dalam Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
11
beberapa penulisan sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Hukum Ekonomi mungkin dapat dijumpai kesamaan dari segi substansi dasar mengenai hukum perlindungan konsumen, akan tetapi penulisan skripsi yang memfokuskan kepada perlindungan konsumen perumahan dalam kaitan dengan KPR melalui bank belumlah dijumpai. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain, dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar & praktisi, referensi bukubuku, bahan seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik (internet) serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan kepada azasazas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga hasil penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Uraian dalam penulisan skripsi ini adalah seputar masalah perlindungan terhadap konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam kaitannya dengan penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk itu, sebagai tahap awal perlu terlebih dahulu diberikan batasan mengenai arti dari konsumen itu sendiri.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
12
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika) 15, atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah, arti kata konsumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. 16 Dalam kamus ekonomi, konsumen (consumer) diartikan sebagai seseorang yang menikmati penggunaan fisik sesuatu benda atau jasa ekonomis. 17 Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiten delijke gebruiken van goederen en diensten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. 18 Pengertian tersebut dapat diparalelkan dengan definisi konsumen, yaitu: setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 19 Dalam hal ini, yang lebih ditekankan sebagai pengertian konsumen adalah orang yang menjadi pemakai terakhir. Pengertian yang dimaksudkan di sini senada juga dengan pengertian yang diuraikan bahwa konsumen adalah seseorang atau sekelompok orang yang membeli suatu produk 15
Consumer is person who buys goods (__________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 89). Bandingkan juga dengan David Oughton & John Lowry, Textbook on Consumer Law, (London : Blackstone Press Limited, 1997), hal. 1, yang menyatakan, However, the term ‘consumer’ can also be used to describe a person who makes use of the services provided by public-sector bodies or privatised monopolies subject to public control or scrutiny. 16 AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 3. 17 Winardi, Kamus Ekonomi, Edisi ke-8, (Bandung : Penerbit Alumni, 1984), hal. 126. 18 Shidarta, Op. Cit., hal. 3. Bandingkan dengan Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 17, yang menyatakan Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha. 19 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 5. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
13
untuk dipakai sendiri dan tidak untuk dijual kembali. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.20 Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang perlu diperhatikan di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. 21 Dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat untuk memberikan pengertian konsumen digunakan beberapa istilah, antara lain sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (LNRI Tahun 1992 No. 100) Undang-undang ini tidak menggunakan istilah konsumen untuk pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk maksud itu digunakan beberapa istilah. Antara lain istilah setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal 3, 4, 5, dan Pasal 56); juga istilah masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21). Pengertian masyarakat sebagai dijelaskan dalam Penjelasannya diartikan sebagai
termasuk
perorangan,
keluarga,
kelompok
masyarakat,
dan
masyarakat secara keseluruhan (Penjelasan Pasal 10). 22 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Udang Hukum Dagang (KUHD) Betapapun menurut SEMA 3/1963 bahwa KUHPerdata tidak lagi dipandang sebagai undang-undang, terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan.
20
http://id.wikipedia.org terakhir kali diakses pada tanggal 17 Maret 2008. Shidarta, Op. Cit., hal. 4. 22 AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 5. 21
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
14
Adapun istilah ‘pembeli’ (Pasal 1460, 1513 dst. jo. Pasal 1457), ‘penyewa’ (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548), ‘penerima hibah’ (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), ‘peminjam pakai’ (Pasal 1743 jo. Pasal 1740), ‘peminjam’ (pasal 1744) dan sebagainya. Sedangkan di dalam KUHD ditemukan istilah ‘tertanggung’ (Pasal 246 dst.), ‘penumpang’ (Pasal 393, 394 dst. Jo. Pasal 341). 23 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-undang ini memuat suatu defenisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya sebagian besar diambil alih oleh UUPK. 24 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang ini tentu memuat arti daripada konsumen, khusus di dalam Pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 25. Dalam perkembangan sebelumnya, istilah konsumen juga telah pula digunakan dalam putusan pengadilan. Di dalam Putusan Mahkamah Agung (MA)
23
Ibid., hal. 8. Shidarta, Op. Cit., hal. 2. 25 Pengertian tentang konsumen di dalam UUPK tersebut juga ada dimuat di dalam Pasal 1 angka (2) pada sejumlah Peraturan Pemerintah setelahnya (PP 57/01 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional; PP 58/01 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; PP No. 59/01 tentang Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 24
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
15
No. 341, pengertian khalayak ramai yang terdapat dalam UU No. 21 Tahun 1961 ditafsirkan pula sebagai konsumen. 26 Rumusan-rumusan
berbagai
ketentuan
itu
menunjukkan
sangat
beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, masih perlu dilihat kembali pengertian konsumen yang terdapat di dalam Pasal 1 angka (2) UUPK, dimana unsur-unsur daripada konsumen adalah: 27 1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai
barang
dan/atau
jasa.
Istilah
“orang”
sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut sebagai natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian ‘persoon’ di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha.” Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum. 2. Pemakai Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta 26 27
AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 9. Shidarta, Op. Cit., hal. 5-10.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
16
hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Konsumen memang tidak hanya sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi mencakup semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Jadi, yang paling penting adalah terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. 3. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk28. Saat itu, “produk” sudah berkonotasi dengan barang atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dikonsumsi. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada
28
Dalam _________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 342, produk diistilahkan sebagai product, yang diartikan sebagai ‘(1) thing that is grown or produced, usually for sale; (2) result of a process’. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
17
masyarakat. Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. 4. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat juga bunyi Pasal 9 ayat (1) huruf (e) UUPK) 29. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa untuk mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukanlah sesuatu yang diutamakan. 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam defenisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. 6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya mencakup konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan
29
Pasal 9 ayat (1) huruf (e) UUPK menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah barang dan/atau jasa tersebut tersedia. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
18
perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen itu sendiri. Setelah mengetahui pengertian daripada konsumen, perlu juga diketahui pengertian tentang perlindungan konsumen itu sendiri. Istilah ‘perlindungan konsumen’ seringkali dipakai untuk menggambarkan perlindungan dalam bidang hukum yang diberikan kepada konsumen dalam upaya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dimaksud terhadap hal-hal yang dapat merugikan konsumen tersebut 30. Di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri disebutkan bahwa : Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 31 Adapun pengertian perlindungan konsumen dalam literatur luar, misalnya sebagai contoh diambil pengertian yang diberikan oleh Oxford Dictionary of Law, yang menyatakan bahwa: 32 “Consumer protections are the protection, especially by legal means, of consumers (those who contract otherwise than in the course of a business to obtain goods or services from those who supply them in the course of business). It is the policy of current legislation to protect consumers against unfair contract terms. In particular they are protected against terms that attempt to exclude or restrict the seller’s implied undertakings that he has a right to sell the goods, that the goods confirm with either description or sample, and that they are merchantable quality and fit for their particular purpose (Unfair Contract Terms Act 1977). There is also provision for the banning of unfair consumer trade practices (Fair Trade 30
Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 9. Pengertian yang sama juga dimuat dalam Pasal 1 angka (1) pada PP 57/2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, LN No. 201; PP 58/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; PP 59/2001 tentang Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat 32 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 8. 31
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
19
Act 1973). Consumers (including individual businessmen) are also protected when obtaining credit (Consumer Credit Act 1974) and there is provision for the imposition of standards relating to the safety of goods under the Consumer Protection Act 1987 for tort liability under the Consumer Protection Act.” Memang di dalam menyusun batasan dari hukum perlindungan konsumen selama ini tampaknya dipersulit oleh belum adanya pengalaman khusus berkaitan dengan perlindungan konsumen itu. 33 Perlindungan konsumen itu sendiri memiliki cakupan yang cukup luas, dimana selain meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, juga tidak ketinggalan adalah perlindungan hingga kepada akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa yang timbul di kemudian harinya. Adapun cakupan perlindungan konsumen dalam 2 (dua) aspeknya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama ataupun melanggar ketentuan undang-undang. Dalam keadaan ini termasuk pula persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, disain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan dengan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Dalam hal ini, termasuk pula tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian atas kerugian yang timbul akibat memakai atau menggunakan produk yang tidak sesuai tersebut. 2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil dan memberatkan satu pihak saja. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan
33
AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 21.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
20
purnajual, dan sebagainya. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan perilaku produsen di dalam memproduksi dan mengedarkan produknya kepada konsumen. 34 Kemudian istilah kredit ada disebutkan pada Pasal 1 angka (11) dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang pengertiannya adalah sebagai berikut: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Selain itu, pengertian kredit yang lainnya dapat dilihat sebagai berikut:35 “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dalam praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standard contract). 36 Drooglever Fortuijin, merumuskan bahwa, “Contracten waarvan een belangrijk deel van de inhould word bepaald 34
Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 10. Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 237. 36 Ibid., hal. 263. 35
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
21
door een vast semenstel van contracts bedingen”, artinya: Perjanjian yang bagian pentingnya dituangkan dalam susunan perjanjian. Uraian ini menunjukkan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. 37 Klausul eksonerasi/perjanjian baku dapat dibedakan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai berikut:38 1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat lazimnya adalah pihak kreditur yang memiliki posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Misalnya dalam perjanjian buruh kolektif, dimana kedua belah pihak terikat dalam suatu organisasi. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya terdapat dalam formulir-formulir perjanjian sebagaimana diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa akta jual beli (model 1156727), akta hipotik (model 10405055), dan sebagainya. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, dimana konsep-konsep perjanjian sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan dari notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam kepustakaan Belanda, jenis perjanjian ini disebut sebagai contract model.
37
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Penerbit Alumni, 1994), hal. 47-48. 38 Ibid., hal. 49-50. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
22
F. Metode Penulisan 1. Pendekatan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, tentunya harus dilakukan penelitian di dalam upaya untuk mengumpulkan data. Dalam hal ini akan digunakan metode penelitian yang bersifat normatif. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research), atau biasa dikenal dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun penelitian dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun dari internet. Penelitian kepustakaan yang normatif adalah penelitian dengan mengolah dan menggunakan bahan hukum primer dan juga bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan juga tentang kredit kepemilikan rumah (KPR). 2. Alat Pengumpul Data Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data seperti yang dimaksud di bawah ini: 39 a. Bahan hukum primer, yaitu : Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan juga peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kredit pemilikan rumah (KPR). b. Bahan hukum sekunder, yaitu : 39
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 38. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
23
Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang perlindungan konsumen dan kredit kepemilikan rumah (KPR), seperti hasil seminar atau makalah para pakar hukum perlindungan konsumen dan juga kredit kepemilikan rumah (KPR), surat kabar, majalah, dan juga sumber-sumber dari dunia maya internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan persoalan yang dibahas. c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yang mencakup kamus bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalihbahasaan beberapa literatur asing. 3. Analisa Data Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya kemudian akan dianalisis secara perspektif dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: 40 a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik satu kesimpulan akhir. b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat
40
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 10-11. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
24
aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi, dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini, dalam garis besarnya akan dibagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya, mulai dari bab Pendahuluan, bab Tinjauan Umum tentang Hukum Perlindungan Konsumen, bab Tinjauan Umum terhadap Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di Indonesia, bab Tinjauan mengenai Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta bab Penutup. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. BAB I yaitu Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan skripsi. Kemudian berdasarkan kepada latar belakang penulisan tersebut, dibuatlah perumusan masalah dan tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab ini juga diterangkan mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. BAB II yaitu Tinjauan Umum tentang Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, yang membahas mulai dari Sejarah dan Arti Penting Perlindungan Konsumen, Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen, serta membahas tentang Pengertian dan Kedudukan Konsumen secara Umum. 3. BAB III yaitu Tinjauan terhadap Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di Indonesia, dimana akan diuraikan tentang Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Tinjauan terhadap UndangSugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
25
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dalam hal Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Menelusuri Pelayanan Bank dan Pemberian Informasi kepada Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), dan juga kan membahas tentang Masalah-masalah yang timbul di dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). 4. BAB IV yaitu Tinjauan mengenai Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Penerapan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang akan membahas mengenai Hak dan Tanggung Jawab Pihak-pihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Hukum Perlindungan Konsumen, kemudian Perlindungan bagi Konsumen sebagai Debitur atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) terhadap Perjanjian Baku yang dibuat oleh Bank sebagai Kreditur, Kedudukan dan Peranan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Memberikan Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), juga akan membahas tentang bagaimana Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen yang timbul di antara Pihakpihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). 5. BAB V yaitu Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran. Adapun di dalam Kesimpulan akan dimasukkan berbagai hal yang telah diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab-bab terdahulu. Sedangkan di dalam Saran akan dimuat usulan-usulan yang dirasakan perlu terhadap topik yang dibahas.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah Perlindungan Konsumen Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan sarana untuk memuaskan kebutuhannya, baik dari segi fisik maupun rohani. Kebutuhan yang ada tersebut dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni kebutuhan primer yang sifatnya boleh dikatakan urgen, kebutuhan sekunder, dan terakhir adalah kebutuhan tersier. Namun bagaimanapun, seperti dalam teori ekonomi pada umumnya, sudah jelas dinyatakan bahwa kebutuhan tersebut tidak akan mungkin untuk terpenuhi seluruhnya, karena benda dan/atau jasa yang ada jumlahnya terbatas sedangkan sifat manusia sendiri tidak akan pernah merasa puas. Seperti dikatakan oleh Winardi, 41 bahwa apabila semua benda-benda/alat-alat yang dibutuhkan manusia terdapat dalam jumlah yang berlimpah ruah, seperti umpamanya hawa udara, maka tidak akan ada lagi kebutuhan akan ilmu ekonomi ataupun ahli-ahli ekonomi. Selain daripada hal itu, di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas tersebut, manusia tetap menginginkan segalanya berjalan dengan baik dan tertib. Namun demikian, tetap haruslah disadari bahwa kebutuhan setiap orang berbeda-beda yang tentunya berpotensi untuk menimbulkan benturan satu dengan lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dibuat suatu aturan
41
Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi ke-V, (Bandung : Penerbit Tarsito, 1979), hal. 6.
27
bersama yang akan menjadi pedoman yang harus ditaati untuk meminimalkan potensi benturan tadi. 42 Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan “diversifikasi” produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan kepada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik – dimana konsumen berkediaman – maupun yang berasal dari luar negeri. 43 Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, di sisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana seringkali konsumen berada pada posisi yang lemah. 44 Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang dan jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar 42
Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi, (Medan : Penerbit Bina Media, 2000), hal.
43
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 11. Ibid, hal. 12.
30. 44
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
28
dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji. 45 Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan standar yang merugikan konsumen. 46 Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu.47 Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan, pada konsumen yang menyebabkan konsumen tidak memiliki kedudukan yang “aman”. 48 Padahal dilihat dari saling ketergantungan antara konsumen dengan pelaku usaha, sudah seyogianya kedudukan konsumen dan pelaku usaha itu berada pada posisi yang seimbang. 49 Hal tersebut ternyata bukanlah gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda konsumen di seluruh dunia. Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan salah satu cabang baru ilmu
45
Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Penerbit CV. Mandar Madju, 2000), hal. 34. 46 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Loc. Cit. 47 Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, (Jakarta : Puspa Swara, 1996), hal. 11. 48 Sri Redjeki Hartono, Op. Cit., hal. 33. 49 Bandingkan dengan David Oughton and John Lowry, Op. Cit., hal. 15, yang menyatakan “It is necessary to consider how this imbalance of power has come about, how the use of common law rules and legislation has sought to combat it and whether regulation of trade practices is truly in the consumer interest. To say that regulation in the consumer interest is justified in order to counteract inequalities of bargaining power is not helpful unless the reasons for this alleged inequality are articulated. A consumer is not in a position of equal bargaining power principally because of difficulties in obtaining information. The consumer does not have the ability to acquire the necessary information to be on the same level as the supplier with whom he deals.” Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
29
hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen atau yang kadang kala dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). 50 Sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan dibuat batasannya. 51 Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan perlindungan
konsumen
(consumers
movement). 52
Perhatian
terhadap
perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (era 1960-an – 1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. 53 Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19, dimana pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya di New York, dan menyusul pada tahun 1898 dibentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League) yang pada kelanjutannya semakin berkembang pesat meliputi 20 negara bagian. 54 Selanjutnya di dalam perjalanannya, gerakan perlindungan konsumen juga mengalami berbagai hambatan dan rintangan. Setelah gagal berulang kali, pada tahun 1906 dihasilkan The Food and Drugs Act dan The Meat Inspecton Act. Menyusul setelahnya, pada tahun 1914 dibuka kemungkinan membentuk komisi
50
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Loc. Cit. AZ. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup (AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 64-65 (dalam Shidarta, Op. Cit., hal. 11)). 52 Shidarta, Ibid. 53 Ibid., hal. 35. 54 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 12-13. 51
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
30
yang bergerak di bidang perlindungan konsumen dengan lahirnya The Federal Trade Commission Act. Pada 1938, sesuai dengan tuntutan keadaan diadakan amandemen terhadap The Food and Drugs Act yang melahirkan The Food, Drugs and Cosmetics Act. 55 Pada era 1960-an, sejarah gerakan perlindungan konsumen mengalami perubahan penting ditandai pada saat Presiden AS, John F. Kennedy menyampaikan pidato kenegaraan berjudul “A Special Message of Protection the Consumer Interest” di hadapan Kongres Amerika Serikat, dimana dikemukakan 4 (empat) hak konsumen (dikenal juga sebagai consumer bill of rights) 56 sebagai berikut: 57 1. The right to safety – to be protected against the marketing of goods that are hazardous to health or life. 2. The right to be informed – to be protected against fraudulent, deceitful, or grossly, misleading information, advertising, labeling, and other practices, and to be given the facts needed to make informed choices.
55
Ibid., hal. 14. Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26 (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 39). 57 Shidarta, Op. Cit., hal. 44-45. Keempat hak tersebut dipergunakan sebagai acuan di dalam memperjuangkan hak konsumen. Tetapi dalam kenyataannya, memang tidak hanya 4 (empat) hak itu saja yang diperjuangkan, dimana kemudian hak-hak yang gencar untuk diperjuangkan, antara lain: 1) The right to safety, 2) The right to honesty, 3) The right to fair agreements, 4) The right to know, 5) The right to choose, 6) The right to privacy, the right to correct abuse, and the right to security of employment and peace of mind, and 7) The right to be heard. (Ibid., hal. 183). 56
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
31
3. The right to choose – to be assured, wherever possible, access to a variety of products and services at competitive prices. And in those industries in which competition is not workable and government regulation is substitued, there should be assurance of satisfactory quality and services at fair prices. 4. The right to be heard – to be assured that consumer interests will receive full and sympathetic consideration in the formulation of government policy and fair and expeditious treatment in its administrative tribunals. Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi : 58 1. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya. 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen. 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi. 4. Pendidikan konsumen. 5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Di Indonesia sendiri, walaupun di Amerika Serikat sudah sedemikian gencarnya disuarakan, masalah perlindungan konsumen masih belum begitu mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Bahkan, mengutip pernyataan Erna 58
Muhammad Eggi H. Suzetta, Pengetahuan Hukum untuk Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, yang diakses terakhir kali pada tanggal 6 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
32
Witoelar, pada saat masih menjabat sebagai Ketua International Organization of Consumers Union (IOCI), sekarang Consumers International (CI), beliau pernah berujar bahwa perlindungan konsumen di Indonesia masih tertinggal, bahkan apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga dekat sekalipun. 59 Hal ini terbukti dimana
negara-negara di dunia,
yang terimbas oleh gerakan
konsumerisme di Amerika Serikat, sudah saling berpacu untuk melahirkan regulasi tentang perlindungan konsumen, seperti contoh berikut: 60 1. Jepang,
pada tahun 1968
mengeluarkan The Consumer Protection
Fundamental Act. 2. Inggris, menerbitkan The Consumer Protection Act pada tahun 1970, yang kemudian diamandemen pada tahun 1971. 3. Singapura, mengeluarkan The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act) pada tahun 1975. 4. Australia, dengan Consumer Affairs Act, pada tahun 1978. 5. Thailand, pada tahun 1979 mengeluarkan Consumer Act. Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, walaupun sebagian besar peraturan tersebut tidak berlaku lagi. 61 Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, juga terdapat ketentuan-ketentuan di dalam beberapa pasal yang isinya bertendensi melindungi konsumen. 62
59
“Tertinggal, Perlindungan bagi Konsumen di Indonesia”, Kompas, 5 September 1994, hal. 8 (dalam Shidarta, Op. Cit., hal. 48). 60 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 15. 61 Ibid., hal. 18. 62 Ibid., hal. 19. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
33
Kemudian daripada itu, juga telah ada beberapa peraturan di dalam hukum positif Indonesia yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara RI Tahun 1961 Nomor 215), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 100), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida, Keputusan Menteri No. 950/PH/165/b Tahun 1965 tentang Ketentuan Pemeriksaan dan Pengawasan Produksi dan Distribusi, Keputusan Menteri Kesehatan No. 125 Tahun 1971 tentang Wajib Daftar Obat, Keputusan Menteri Kesehatan No. 220 Tahun 1976 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan, serta berbagai peraturan perundangundangan lainnya yang memuat kepentingan konsumen tersebut. 63 Walaupun terlihat bahwa peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah konsumen sudah ada secara sporadis, namun peraturan-peraturan yang ada tersebut tidak secara langsung memberikan perlindungan kepada konsumen, dan tidak mengatur secara khusus tentang fungsi dan hak serta kewajiban daripada konsumen. Sesungguhnya sudah sejak lama hak-hak konsumen diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan setelah lahirnya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
63
AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 54. (Bandingkan dengan Shidarta, Op. Cit., hal. 96-96).
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
34 Perlindungan Konsumen. 64 Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu semua pihak untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen, sehingga dimulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut. 65 Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 (dua puluh) tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat (non-governmental organization) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 66 Lahirnya yayasan ini pada bulan Mei 1973, secara historis pada awalnya sebenarnya dilandasi oleh rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barangbarang dalam negeri. 67 Setelah itu, baru kemudian muncul organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang, Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung, dan lembaga lain yang tersebar di berbagai propinsi di Tanah Air. 68 Perlindungan konsumen ternyata memiliki arti yang cukup penting, dimana tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen, maka Indonesia hanya akan menjadi ajang dumping barang dan jasa yang tidak bermutu. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kesejahteraan rakyat juga menjadi lebih sulit untuk diwujudkan. 69 Perlindungan konsumen memang merupakan suatu hal yang “cukup baru” dalam dunia peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun 64
Anggara, Persoalan-persoalan di Seputar Perlindungan Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 65 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal, 52. 66 Shidarta, Op. Cit., hal. 49. Motto dari YLKI ada 3 (tiga), yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat konsumen, dan membantu pemerintah. 67 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 15. 68 Shidarta, Loc. Cit. 69 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 84. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
35
“dengungan”
mengenai
perlunya
peraturan
perundang-undangan
yang
komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digaungkan sejak lama. 70 Perlindungan terhadap konsumen mensyaratkan adanya pemihakan kepada yang lemah (konsumen). Dan setiap keputusan yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, harus berorientasi kepada kepentingan publik. 71 Perhatian terhadap gerakan perlindungan hak-hak konsumen (konsumerisme) 72 bahkan mendapat pengakuan dan dukungan dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, melalui resolusinya No. 2111 Tahun 1978. Kemudian juga pada 16 April 1985 dengan resolusinya Nomor A/RES/39/248, Majelis Umum PBB juga menyerukan penghormatan terhadap hak-hak konsumen. 73
B. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Dewasa ini gerakan perlindungan konsumen telah tumbuh dan memperoleh posisi yang kuat dalam masyarakat hampir di seluruh negara di dunia. Ada beberapa alasan mengapa masalah perlindungan konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia. Pertama, tanpa melihat kepada kedudukan resmi dan status sosial seseorang, seluruh anggota masyarakat adalah konsumen barang dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha. Presiden Amerika Serikat, John F 70
Gunawan Widjaja &Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 1. Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 90. 72 Mary Gardiner Jones, anggota dari The Federal Trade Commission dalam pidato di Konferensi ke-6 Biennial IOCU, Baden-Vienna, Austria, 29 Juni 1970, yang mengartikan ‘konsumerisme’ sebagai berikut: a. Advertisements must be free of lies and half truths. b. Advertisements must cease being directed to irrational or irrelevant qualitites. c. Consumers want hard, affirmative facts about goods, and services. d. Consumers want what they paid for in appliance ar product performance. e. If there is a failure, consumers want satisfactory adjustment. (AW. Troelstup, The Consumer in American Society: Personal and Family Finance, ed. 5, (New York : McGraw Hill, 1974), hal. 23 (dalam Shidarta, Op. Cit., hal. 46)). 73 Ibid., hal. 52. 71
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
36
Kennedy mengatakan, “consumers by definition include us all.” Kedua, para konsumen adalah pihak yang sangat menentukan dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda perekonomian. 74 Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat.75 Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 76 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), dimana
menyatakan
bahwa
seseorang
baru
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Kesalahan di sini dimaksudkan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. 2. Prinsip praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability prnciple), yang menyatakan bahwa pihak tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
74
Muhammad Eggi H. Suzetta, Loc. Cit. Shidarta, Op. Cit., hal. 61. 76 Ibid., hal. 72-80. 75
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
37
sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Dalam hal ini diterapkan beban pembukt ian terbalik (omkering van bewijslast). 3. Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non-liability), merupakan kebalikan dari prinsip kedua dimana hanya dikenal dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), tentunya berbeda dengan pendapat tentang absolute liability. 77 Menurut R.C. Hoeber et. al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena: a. konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, b. diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, dan c. asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. 78 5. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), merupakan prinsip yang sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar baku yang dibuatnya. Di dalam UUPK, penggunaan prinsip ini tidak dibolehkan lagi apabila ternyata dapat merugikan konsumen dengan pembatasan maksimal tanggung jawabnya.
77
Bandingkan dengan David Oughton and John Lowry, Op. Cit., hal. 361, yang menyatakan “Sometimes the phrase of ‘absolute liability’ is used to describe this phenomenon, but this is a misleading description as the defendant must be aware that the activity he carries on (or his ommissions in relation to his activity) are capable of leading to the commission of offence”. 78 Prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan atau tanggung jawab mutlak ini dapat juga dilihat dalam kasus Rylands vs Fletcher (1968), dimana dikatakan “…. the doctrine of strict (or absolute) liability has evolved in modern times in certain kinds of situation, that is not wrongful but give rise to liability even in the absence of an allegation of negligence or fault….” Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
38
Berdasarkan sistem hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen, salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung
jawab mutlak diharapkan agar para
produsen/industriawan Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkan, sebab besar resiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang sebelum dilempar ke pasaran sehingga para konsumen baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para produsen/industriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/eksistensi dunia industri nasional maupun pada daya saing produkproduk nasional, terutama di luar negeri. 79 Adapun
prinsip
umum
dalam
perlindungan
konsumen,
seperti
dikemukakan oleh Agus Brotosusilo, yang mengatakan bahwa prinsip yang mendasari pengaturan mengenai perlindungan konsumen haruslah prinsip keadilan dalam berinteraksi dan ber-interrelasi antara para pelaku usaha dan konsumen. Prinsip tersebut harus diimplementasikan dalam beberapa prasyarat wajib bagi perlindungan konsumen agar efektif. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 80 1. Strict Liability.
79
Muhammad Eggi H. Suzetta, Loc. Cit. Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti), 2003, hal. 90. 80
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
39
Prinsip ini sangat efektif untuk melindungi konsumen, karena strict liability merupakan pertanggungjawaban yang tidak mendasarkan pada unsur-unsur kesalahan dari pelaku usaha sebagaimana layaknya penyelesaian perkara di pengadilan, tetapi mendasarkan pada risiko 81. Artinya, setiap risiko yang timbul dan diderita “karena korban pemakaian produk yang cacat”, akan mendapatkan ganti kerugian secara langsung dan seketika tanpa harus membuktikan kesalahan para pelaku usaha dari produk yang bersangkutan. 2. Diselenggarakannya peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah, serta small claim court untuk penyelesaian secara litigasi. Menyadari posisi konsumen yang begitu lemah, maka apabila sengketa konsumen yang timbul mengenai ganti rugi yang nilainya kecil, ataupun konsumen sakit yang segera memerlukan pengobatan, adalah sungguh suatu hal yang tidak adil apabila konsumen diharuskan lagi untuk mengikuti proses pengadilan yang memakan waktu yang lama. Untuk itu, perlu diadakan pengaturan yang berbeda mengenai ganti kerugian dalam jumlah kecil atau besar, dimana untuk ganti kerugian dalam jumlah kecil harus diselenggarakan peradilan yang sederhana dan sifat putusannya final. 3. Reformasi terhadap beban pembuktian terbalik. Mengingat perkembangan dalam industrialisasi sangat pesat dengan prasarana “high technology”, maka pemahaman teknologi pelaku usaha akan lebih baik dibandingkan dengan pemahaman konsumen, bahkan oleh hakimnya
81
Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak. Dalam hal ini berarti kewajiban untuk memikul risiko itu berada pada salah satu pihak saja (Abdul R. Saliman (et.al.), Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 42). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
40
sekalipun. Oleh karena itu, perlunya pengalihan beban pembuktian, dimana bukan lagi konsumen penggugat yang harus membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha, tetapi pelaku usaha yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Apabila ternyata pelaku usaha tidak mampu membuktikan dirinya tidak bersalah, maka otomatis ia bertanggung jawab dan wajib memberikan ganti rugi kepada konsumen penggugatnya. Selain itu, di dalam proses pembuktian sangat perlu untuk menghadirkan saksi ahli yang expert di bidangnya, dan juga harus adanya standar produk yang dapat dijadikan ukuran bagaimana produk yang baik. Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasi adalah tanggung jawab produk (product liability/produk aansprakelijkheid) dan tanggung jawab profesional (legal liability). Tanggung jawab produk sebenarnya mengacu pada tanggung jawab produsen, dimana dasar gugatan untuk tanggung jawab ini adalah: 82 1) adanya pelanggaran jaminan (breach of warranty), 2) adanya kelalaian (negligence), dan 3) adanya tanggung jawab mutlak (strict liability). Lain halnya dengan tanggung jawab produk, dimana tanggung jawab profesional lebih mengacu pada tanggung jawab hukum atas dipenuhinya jasa, 83 baik yang termasuk kepada jasa yang diperjanjikan untuk menghasilkan sesuatu (resultaat verbintenis), ataupun jasa yang diperjanjikan untuk mengupayakan sesuatu (inspanning verbintenis). 84
82
Shidarta, Op. Cit., hal. 80-81. Ibid., hal. 82. 84 Ibid., hal. 83. 83
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
41
Selanjutnya definisi tersebut di atas dapat dijabarkan atas bagian-bagian sebagai berikut: 85 a. Tanggung jawab, meliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung jawab perundang-undangan berdasarkan perbuatan melanggar hukum; b. Para produsen, termasuk ini adalah produsen/pembuat, grosir (whole-saler), leveransir dan pengecer (retailer) profesional; c. Produk, baik semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap; d. Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran, yang telah ada karena tindakan produsen; e. Menimbulkan kerugian, dimana segala kerugian yang ditimbulkan/disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk; f. Cacat yang melekat pada produk, dimana kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian.
C. Pengertian dan Kedudukan Konsumen secara Umum Dalam hukum positif Indonesia, masih sangat sedikit sekali peraturan perundang-undangan yang menyebutkan tentang konsumen. Hal tersebut tidak lain disebabkan perhatian akan kepentingan daripada konsumen selama ini masih belum dianggap serius. Konsumen seringkali masih diperlakukan layaknya ‘lahan’ untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah, arti kata 85
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 23.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
42
consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. 86 Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiten delijke gebruiken van guerderen en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer). 87 Sedangkan di dalam UUPK sendiri, dalam Pasal 1 angka (2) 88 istilah konsumen didefenisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 89 Adapun pengertian konsumen (consumer) menurut Hornby adalah sebagai berikut: 90 1. Seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa. 2. Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu.
86
AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 3. (Bandingkan dengan pendapat John Sinclair (ed.), Collins Cobuild English Language Dictionary, (Glasgow : William Collins Sons & Co., 1988), hal. 303 (dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hal. 5-6)) dimana dinyatakan bahwa ‘Konsumen, secara harfiah adalah seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang’). 87 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), (Bandung : Penerbit Alumni, 1981), hal. 47. 88 Lihat Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 5, yang manyatakan bahwa: Hal lain yang perlu dikritisi adalah cakupan pengertian konsumen dalam UUPK yang sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir, yaitu “badan hukum” yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya juga tercakup orang dam badan hukum. 89 Walaupun demikian, pengertian konsumen yang dicantumkan di dalam Pasal 1 angka (2) UUPK sangat sesuai sekali dengan pengertian konsumen yang dianggap di dalam masyarakat, dimana konsumen tentunya adalah pengguna terakhir (end-user) dari barang dan/atau jasa, tanpa mempermasalahkan hubungan jual-beli yang dilakukannya. 90 Universitas Kristen Maranatha, Hukum Perlindungan Konsumen, tanpa tahun. (Bandingkan dengan pengertian konsumen menurut Black’s Law Dictionary: “One who consumers, individuals who purchase, use, maintain and dispose of product and services”, yang artinya: “seseorang yang mengkonsumsi; individu yang membeli, menggunakan, memelihara dan menggunakan/menghabiskan produk dan jasa”). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
43
3. Sesuatu atau Seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. 4. Setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Di Prancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diberikan pengertian sebagai berikut, “The person who obtains goods or services for personal or family purposes.” 91 Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu: (1) konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975 mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan yang dianut di Prancis. 92 Pengertian konsumen di dalam kepustakaan ekonomi dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu: 93 1. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial). 2. Konsumen-akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
91
Perancis juga mendefinisikan konsumen sebagai; "A privat person using goods and services for privat ends". Sementara Spanyol menganut definisi konsumen sebagai berikut: "Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real property, products, services, or activities, regardless of wheter the seller, supplier or producer is a public or private entity, acting alone or collectively". (Lihat dalam Marianus Gaharpung, Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen, Surabaya, diperoleh dari http://www.google.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008). 92 Muhammad Eggi H. Suzetta, Loc. Cit. 93 Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK menyatakan bahwa pengertian konsumen yang dimaksudkan di dalam UUPK adalah konsumen akhir. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
44
hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersial). Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi). Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam perundang-undangannya. Pasal 7 huruf (c) dari Consumer Protection Act No. 68 of 1986 membatasi pengertian konsumen sebagai setiap orang yang membeli barang yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial. 94 Pengertian konsumen menurut pendapat dari AZ. Nasution dijabarkan dalam 3 (tiga) pengertian, yakni meliputi pengertian konsumen di atas, ditambah lagi dengan pengertian konsumen secara umum, adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa dan digunakan untuk tujuan tertentu. Pengertian yang terakhir ini adalah merupakan pengertian konsumen secara luas, dimana di dalamnya sudah termasuk konsumen-antara dan konsumen-akhir. 95 Adapun hak konsumen secara umum meliputi 4 (empat) hak dasar, yang pernah dikemukakan oleh Presiden AS, John F. Kennedy, yang meliputi hak memperoleh keamanan (the right to safety), hak atas informasi yang jujur (the right to be informed), hak untuk memilih (the right to choose), dan hak untuk didengar (the right to be heard). Hak-hak ini diakui secara internasional, yang 94 95
Marianus Gaharpung, Loc. Cit. AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 13.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
45
dalam perkembangannya ditambah lagi dengan hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan lain sebagainya. Sementara itu, oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (Europese Economische Gemenschaap) juga ada dirumuskan 5 (lima) hak dasar konsumen, yaitu sebagai berikut: 96 1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezondheid en veilegheid), 2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), 3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), 4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming), dan 5. Hak untuk didengar (recht omte worden gehord). Menilik kedudukan konsumen dalam perlindungan konsumen tentu tidak lepas dari pembahasan akan hak dan kewajiban daripada konsumen itu sendiri. Pada dasarnya jika hendak berbicara tentang hak dan kewajiban, maka senantiasa harus mengacu kembali kepada undang-undang, dalam hal ini adalah UndangUndang Perlindungan Konsumen. Di dalam UUPK sendiri, hak-hak daripada konsumen ada diatur di dalam Pasal 4. Setiap kali menyinggung tentang masalah hak, tentulah sangat erat sekali pembahasan tentang kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh konsumen, seperti diatur dalam Pasal 5 UUPK. 97
96
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), Op. Cit., hal. 53. 97 Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa, Hak konsumen adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa; Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
46
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga telah ikut berperan dalam memperjuangkan dihormatinya hak-hak konsumen, yang kemudian dikenal dengan
istilah
‘Panca
Hak
Konsumen’. 98
Walaupun
kemudian
daam
perkembangannya hak-hak konsumen yang telah ada tersebut juga ikut berkembang dengan penambahan satu hak konsumen lagi, yakni hak untuk mendapatkan ganti rugi, apabila ternyata konsumen berada pada posisi yang dirugikan oleh produsen atau pelaku usaha. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hubungan antara produsen dengan konsumen adalah hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada salah satu pihak yang justru dirugikan dengan adanya hubungan tersebut.99 Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan pada Pasal 5 UUPK disebutkan bahwa, Kewajiban konsumen adalah: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 98 Hak-hak konsumen yang terdapat di dakam ‘Panca Hak Konsumen’, terdiri dari: a. Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan; b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur; c. Hak untuk memilih barang dan jasa yang dibutuhkan; d. Hak untuk didengat pendapatnya; dan e. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. 99 Zumrotin K. Susilo, Op. Cit., hal. 8. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
47
dikenal dalam sejarah hukum perlindungan konsumen. Termasuk di dalam kelompok ini adalah: 100 1. Prinsip Let the buyer beware (caveat emptor) Doktrin let the buyer beware adalah sebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang dan atau jasa yang dikonsumsinya. Ketidakmapuan itu bisa dikarenakan keterbatasan pengetahuan konsumen, namun lebih banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya, konsumen pun didikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri. Doktrin ini ditentang oleh pendukung gerakan konsumerisme, karena menurut prinsip ini adalah kesalahan pembeli sendiri apabla sampai ia mengkonsumsi barang
yang
tidak
layak,
karena
yang
wajib
berhati-hati
adalah
pembeli/konsumen. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang berhati-hati). 2. Prinsip The due care theory Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyaratkan produk, baik barang dan jasa. Selama 100
Shidarta, Op. Cit., hal. 61-64.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
48
berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempermasalahkan si pelaku usaha, seseorang itu harus dapat membuktikan pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini, terdapat kelemahan dimana akan sangat sulit bagi konsumen untuk membuktikan perbuatan daripada pelaku usaha yang dengan berbagai keunggulannya akan dapat dengan mudah berkelit. 3. Prinsip The privity of contract Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability), tidak berdasarkan perbuatan melawan hukum (tortious liability). Kelemahan daripada prinsip ini adalah dengan adanya fenomena kontrakkontrak standar yang banyak beredar di masyarakat, yang jelas memposisikan konsumen pada kedudukan yang lemah, dimana pelaku usaha bisa sesuka hati menghapuskan kewajiban yang seharusnya dipikulnya. 4. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, maka prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
49
hukum. Namun, ada yang beranggapan hal tersebut hanya bisa diterapkan untuk objek transaksi berupa barang, tidak untuk objek jasa. 101
101
Lihat juga Law and Trade Issues of The Japanese Economy, American and Japanese Perspectives, (Seattle and London : University of Washington Press, 1986), hal. 211, “The noncontractual supplier of a service is not immune from liability as he may owe a duty of care to the consumer of service. Alternatively, the fault of the supplier may consist of giving misinformation which induces the consumer to enter into the supply contract. In such a case, the misleading information may not be regarded as part of the contract, but the supplier of the service may nevertheless be liable for misrepresentation.” Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB III KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DI INDONESIA A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Kata kredit berasal dari bahasa Romawi, “credere” (dalam bahasa Belanda: vertrouwen, Inggris: believe, trust, confidence) yang artinya ‘percaya’. Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Elemen dari kredit adalah adanya 2 (dua) pihak, kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kredit mempunyai arti yang luas, yang mempunyai objek benda. 102 Molenaar 103 mengemukakan bahwa kredit adalah meminjamkan benda pada peminjam dengan kepercayaan, bahwa benda itu akan dikembalikan di kemudian hari kepada pihak yang meminjamkan. 104 Dan berdasarkan defenisi tersebut, ia mengembangkan jenis kredit sebagai berikut : 1. Kredit berupa uang, yang di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk uang. 2. Kredit berupa uang, yang di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk barang. 3. Kredit dalam bentuk barang, yang di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk barang.
102
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 137. Molenaar, Krediet, Tjenk Willink Zwolle, 1978, hal. 5. 104 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 Pasal 1 ayat (12) menyatakan bahwa, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. 103
51
4. Kredit dalam bentuk barang, yang di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk uang. 105 M. Jakile 106 mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yan bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu. Dari definisi ini, dapat disimpulkan adanya 4 (empat) elemen penting, sebagai berikut : 1. Tidak seperti hibah, transaksi kredit mensyaratkan peminjam dan pemberi kredit untuk saling tukar menukar sesuatu yang bersifat ekonomis. 2. Tidak seperti pembelian secara kontan, transaksi kredit mensyaratkan debitur untuk membayar kembali kewajibannya pada suatu waktu di belakang hari. 3. Tidak seperti hibah maupun pembelian secara tunai, transaksi kredit akan terjadi sampai pemberi kredit bersedia mengambil resiko bahwa pinjamannya mungkin tidak akan dibayar. 4. Sebegitu jauh dia bersedia menanggung resiko, bila pemberi kredit menaruh kepercayaan terhadap peminjam. Resiko dapat dikurangi dengan meminta kepada peminjam untuk menjamin pinjaman yang diinginkan, meskipun sama sekali tidak dapat dicegah semua resiko kredit.107 Dalam masyarakat umum, istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan sangat populer, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah
105
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 137-138. Majalah Bank, Medan, 1974, hal. 9. 107 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Penerbit Alumni, 1978), hal. 22-23. 106
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
52
dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang. 108 Adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam kredit, yaitu: 109 1. kepercayaan; yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dan yang akan dilunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan pada waktu tertentu, 2. waktu; adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan pelunasannya, dimana jangka waktu tersebut sebelumnya sudah terlebih dahulu disetujui atau disepakati bersama antara phak bank dan nasabah peminjam dana, 3. prestasi; yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra-prestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian kredit antara bank dan nasabah peminjam dana, berupa uang dan bunga/imbalan, 4. risiko; yaitu adanya hal yang mungin akan terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana, maka diadakanlah pengikatan jaminan dan agunan. Perjanjian kredit adalah jenis perjanjian yang boleh dikatakan termasuk pula ke dalam golongan perjanjian pinjam-meminjam 110. Apabila ditinjau hukum positif Indonesia sendiri, maka dapat dilihat bahwa mengenai perjanjian pinjam meminjam ada diatur di dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum
108
Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 236. Ibid., hal. 238. 110 Dari rumusan yang terdapat di dalam UU Perbankan sendiri mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam (Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 110). 109
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
53
Perdata111 yang menyatakan bahwa, Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama. Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan rakyat yang adil dan makmur. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Hal ini berakibat meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. 112 Sandang, pangan dan papan sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Sandang dan pangan merupakan suatu kebutuhan yang selalu berulang dibutuhkan dalam jangka panjang, namun dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat serta mudah diperoleh setiap saat. Sedangkan
111
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Editor : Andi Hamzah, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000, hal. 441. (Bandingkan dengan rumusan yang diberikan dalam Ibid, yang menyatakan Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula). 112 Sri Turatmiyah, Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR-BTN, telah dipresentasikan dalam seminar terbatas di Bagian Perdata Fakultas Hukum UGM tanggal 2 September 2004. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
54
untuk pemenuhan kebutuhan akan papan masih dirasakan berat oleh sebagian besar masyarakat. Secara umum, ada 2 (dua) pola dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan perumahan, yakni dalam bentuk kredit kepemilikan rumah atau melalui sewa. 113 Pada saat sekarang ini, banyak sekali para pengembang (penjual) mendirikan bangunan perumahan segala jenis tipe untuk ditawarkan kepada masyarakat. Namun, yang menjadi persoalan adalah tidak semua masyarakat sanggup untuk membeli rumah secara kontan. Hal itu dikarenakan keterbatasan keuangan sebagai penyebab utamanya. Oleh karena itu, diadakanlah fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebagai alternatif menarik untuk memiliki rumah bagi mereka yang tidak memiliki dana tunai. 114 Sampai sekarang, kredit perumahan masih tetap dibutuhkan. Negara AS yang notabene adalah negara kaya dan makmur sekalipun juga tetap membutuhkan kredit perumahan, apalagi dengan masyarakat Indonesia yang daya belinya lebih rendah. 115 Hal itu mengindikasikan secara jelas bahwa yang namanya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tetap harus dimiliki oleh sektor properti. Tanpa adanya KPR, konsumen Indonesia akan sangat sulit membeli. Dalam industri properti nasional Indonesia, KPR memang mutlak harus ada, karena konsumen Indonesia sebagian besar masih mengandalkan KPR. Bahkan
113
Yayasan Konsumen Suarabaya, Konsumen Perumahan, Kemana Mengadu?, 24 Nopember 1997, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 114 Harian Analisa, KPR BTN Berikan Pelayanan kepada Semua Kalangan, 11 Mei 2008. 115 Hal ini disampaikan oleh Yan Mogi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) dalam seminar yang digelar oleh Konsultan Properti PSA dan Pusat Studi Properti Indonesia di Jakarta, tahun 2003. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
55
negara maju sekalipun, masyarakatnya tetap menggunakan kredit dalam pendanaan perumahan. 116 KPR masih sangat dibutuhkan, karena hanya sedikit yang mampu membeli secara cash. 117 Mayoritas masyarakat masih menggunakan fasilitas kredit untuk membeli rumah. Sebanyak 74,7% konsumen memanfaatkan fasilitas KPR untuk membeli properti. 118 Tingginya kebutuhan rumah tinggal merupakan salah satu pemicu meningkatnya permintaan kredit yang satu ini.
119
Mengutip pernyataan
dari Diah Sulianto, General Manager Divisi Kredit Konsumen BNI, beliau mengatakan potensi pasar KPR di Indonesia masih cukup besar, terutama di wilayah Jabodetabek. 120 KPR merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk masyarakat, dan demand untuk KPR sendiri juga masih tinggi. 121 KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) adalah kredit yang digunakan untuk membeli rumah. Walaupun penggunaannya mirip, tetapi KPR berbeda dengan kredit konstruksi dan renovasi. Agunan yang diperlukan untuk KPR adalah rumah yang akan dibeli itu sendiri. 122 Tetapi untuk hal KPR sekalipun, pihak bank tentunya sesuai dengan praktek
116
Harian Umum Sore Sinar Harapan, Konsumen Masih Butuh KPR, Jakarta, 2003, dapat diakses di http://www.sinarharapan.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. 117 Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perumahan & Permukiman, Djoko Kirmanto pada saat pembukaan Raker REI di Jakarta, 19 Oktober 2001. 118 Nurul Qomariyah, 74,7% Konsumen Beli Properti Pakai Fasilitas Kredit, Jakarta, 14 Mei 2008, dapat diakses di www.detikfinance.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 119 Syarif Hidayat, Windarto, dan Kun Wahyu Winasis, Rame-rame Menyerbu KPR, dapat diakses di www.majalahtrust.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 120 Berselancar Sembari Meneropong Badai, Majalah Bisnis Properti No. 54, bulan April 2008, hal. 33. 121 Ismi Kushartanto, Saat ini lebih untung KPR Syariah, dalam Majalah Bisnis Properti No. 54, April 2008, hal. 31. 122 Kredit Pemilikan Rumah, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kredit_pemilikan_rumah, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
56
perbankan yang lazim, tetap akan mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum mencairkan kredit dimaksud. 123 B. Tinjauan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dalam hal Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan; peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 124 Berturut-turut pada tahun 1985 dan 1992 telah lahir UU Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 (UURS) dan UU Perumahan dan Permukiman Nomor 4 Tahun
123
Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa, Dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan terhadap debitur. Kemudian di dalam Penjelasan Pasal 8 tersebut dengan jelas ditegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka pihak bank sebelum memberikan kredit harus terlebih dahulu melakukan penilaian yang seksama terhadap beberapa hal, sebagai berikut: a. Character (watak); b. Capacity (kemampuan); c. Capital (modal); d. Collateral (agunan); e. Condition of economy (prospek perusahaan dari nasabah). (Lihat juga dalam Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 247-248). 124 Lihat bagian dari konsiderans ‘Menimbang’, UUPK No. 8 Tahun 1999. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
57
1992 (UUPP). 125 Kedua UU ini pada hakikatnya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). 126 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi perkembangan segala produk, termasuk pula perkembangan sektor properti. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut di satu pihak membawa dampak positif, antara lain yang dapat disebutkan: tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Akan tetapi di lain pihak terdapat dampak negatif, yaitu perubahan perilaku bisnis yang mempengaruhi masyarakat konsumen. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang setingi-tingginya itu, para produsen/pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan perilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan konsumen. 127 Menurut UU Perumahan & Permukiman, pada Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Oleh karenanya, setiap warga negara mempunyai 125
Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) sedang melakukan pembahasan revisi Undang-Undang No. 16/1985 tentang Rumah Susun dan UU No. 4/1992 tentang Perumahan Permukiman, dan setelah selesai akan diserahkan kepada Departemen Hukum & HAM. Pada intinya revisi kedua UU itu disesuaikan dengan UU Otonomi Daerah dan kebutuhan perumahan yang semakin hari kian meningkat. Di dalamnya juga akan diatur, antara lain tentang hubungan penghuni rumah susun dan pengembang, juga penguatan pengenaan sanksi, sehingga menjamin hak konsumen, produsen, pemerintah dalam masalah perumahan. Salah satu esensi dari revisi ini adalah bagaimana pemerintah daerah (Pemda) dapat menyediakan hunian sehat bagi masyarakat terkait dengan masalah rumah merupakan hak dasar bagi rakyat. (Bisnis Indonesia Online, UU Terkait Perumahan Direvisi, 15 April 2008, dapat diakses di www.Bisnis.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008). 126 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah Pokok dalam UU Perumahan dan Permukiman (dalam Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 178). 127 Gultom, Efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen bagi Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Jasa Bengkel Secrvice Mobil, 09 Desember 2007, dapat diakses di www.blogkomunitashukum.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
58
hak untuk menempati dan atau menikmati dan/atau memiliki rumah. 128 Karena demikian halnya di dalam bisnis perumahan, banyak pelaku usaha yang bermunculan sehingga mengakibatkan ketatnya persaingan dalam bisnis ini. Ketatnya persaingan dapat mengubah perilaku ke arah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha memiliki kepentingan yang saling berbenturan antara mereka. Persaingan tidak sehat ini dikhawatirkan pada gilirannya dapat merugikan konsumen. 129 Penting dan mendesaknya masalah perumahan ini telah diantisipasi oleh Kabinet Pembangunan dengan membentuk Kantor Menteri Negara dan Perumahan. Pembentukan kementerian tersebut menunjukkan bahwa masalah perumahan merupakan masalah yang kompleks dan karena itu dibutuhkan penanganan yang khusus. 130 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, serta Penjelasan Umum undang-undang tersebut, dalam Penjelasan Pasal 3 dinyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan perumahan yang layak adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat teknis, kesehatan, dan norma-norma sosial budaya. Peningkatan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan harus sesuai dengan tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah demi keserasian dan keseimbangan. 131 128
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 183. Pada kenyataannya proses persaingan belum tentu dilakukan sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam upaya untuk menjaga perilaku pelaku usaha tunduk pada aturan murni yang berlaku, maka Hukum Persaingan merupakan elemen esensial yang bertindak sebagai rambu-rambu atau sebagai “code of conduct” bagi pelaku usaha untuk bersaing di pasar. Sejalan dengan proses menuju sistem ekonomi pasar, maka Indonesia juga telah memberlakukan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berlaku efektif sejak 5 Maret 2000 (Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 21-22). 130 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 180-181. 131 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 243. 129
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
59
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (disingkat UU Rukim), kepentingan konsumen masih tak terlindungi. Pada umumnya, kontrak standar dibuat dan dipersiapkan oleh pihak yang secara ekonomi kedudukannya lebih baik/kuat dari pihak lainnya, misalnya hubungan antara nasabah dengan pihak bank, dimana pada umumnya kontraknya sudah dibuat secara standar/baku oleh pihak bank sedangkan nasabah tinggal menandatanganinya. 132 Istilahnya ‘bak kerbau dicocok hidung’, dimana konsumen mematuhi saja segala persyaratan jual beli yang dipatok oleh pengembang, 133 ataupun oleh pihak bank. Namun, bertolak belakang dari pernyataan di atas, di dalam UUPP, ada juga diatur tentang batasan yang tidak boleh dilakukan oleh pengembang, khususnya dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Badan usaha bidang pembangungan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun, dilarang menjual kavling tanah matang 134 tanpa rumah. Bahkan di dalam Pasal 36 ayat (1) diatur bahwa apabila ternyata ada unsur kesengajaan dari pengembang dalam menjual kavling siap bangun, maka dapat diancam dengan pidana penjara selamalamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah); ada unsur kelalaian, dapat diancam dengan pidana kurungan
132
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoevet, 1991), hal. 62. Baca juga Sutan Remi Sjahdeni, Op. Cit. (dalam Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 80). 133 Riza Sofyat, Dedi Setiawan, dan M. Agus Yozani, Duit Amblas, Apartemen Bablas, Majalah TRUST, No. 12, bulan Januari 2008. 134 Pasal 1 angka (10) UUPP memberikan pengertian, Kavling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
60
selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,(seratus ribu rupiah). 135 Apabila ditelaah ketentuan pasal UUPP tersebut di atas, tentu dapat dapat dilihat bahwa ternyata kedudukan konsumen juga secara tidak langsung telah diperhatikan, dimana hak masyarakat atas perumahan diupayakan dipenuhi dengan membatasi itikad tidak baik pengembang ataupun spekulan tanah. Apalagi sebagai wujud nyatanya adalah dengan dicantumkannya ancaman sanksi pidana terhadap pengembang ‘nakal’ di dalam pasal yang selanjutnya.
C. Menelusuri Pelayanan Bank dan Pemberian Informasi terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Pada perkembangannya dalam era sesudah booming minyak berlalu dan dimulainya era investasi asing di Indonesia pada era sekitar 1970-an, Indonesia menunjukkan kemajuan pesat dalam bidang perekonomian. Indonesia dipandang sebagai salah satu negara berkembang di kawasan Asia yang mempunyai prospek ekonomi yang cerah, di samping sebagai pasar yang menggiurkan bagi negara produsen lainnya. 136 Apalagi jumlah penduduk yang begitu besar, tentunya Indonesia merupakan tempat yang sangat layak untuk mendapatkan konsumen di bidang perbankan.
135
Selain larangan untuk menjual kavling tanah siap bangun seperti disebutkan, ternyata di dalam prakteknya ada pula beberapa kejahatan yang seringkali terjadi, sehingga menempatkan konsumen pada posisi yang lemah, yaitu: 1. Menjual rumah tanpa izin, misalnya SIPPT, Nomor sertifikat tanah, IMB; 2. Tidak dipecahnya sertifikat bukti kepemilikan; 3. Tidak direalisasikannya fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dijanjikan; 4. Iklan perumahan yang materinya tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya; 5. Dibuatnya akta jual beli atas tanah/bangunan yang belum jadi; 6. Kredit yang diberikan tanpa adanya jaminan yang memadai; 7. Dan sebagainya. (Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 45-47). 136 Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hal. 3. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
61
Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam konteks Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182) dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. 137 Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. 138 Kenyataan bertahun-tahun membuktikan bahwa bank merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter di suatu negara. Karenanya bank sebagai industri jasa yang melayani konsumen dalam arti seluas-luasnya, bail konsumen antara maupun konsumen akhir, harus dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential principle). Salah satu wujud prinsip ini, bank tidak akan memberikan kredit untuk suatu proyek tanpa didahului studi kelayakan terhadap rencana proyek itu. 139 Permintaan rumah dari tahun ke tahun makin meningkat, namun daya beli masyarakat secara tunai sangat terbatas. Kondisi inilah yang ditangkap industri perbankan sebagai bisnis yang menggiurkan. Tidak heran jika iklan kredit
137
Pasal 1 butir (16) UUP merumuskan, Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Sedangkan pada Pasal 1 butir (17) dan (18) UUP baru diperinci tentang Nasabah penyimpan dan Nasabah debitur. 138 Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 33. 139 Ibid., hal. 34. Dalam praktek yang sudah umum dilakukan oleh pihak perbankan, sebelum memberikan kredit bagi pemohon, tentunya akan ditempuh tahapan mulai dari analisis data, verifikasi administratif, dan penilaian agunan oleh perusahaan appraisal, baru kemudian diputuskan layak tidaknya kredit diberikan kepada pemohon kredit. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
62
pemilikan rumah (KPR) dari berbagai bank pun muncul di berbagai media cetak setiap hari. Tidak sedikit pula yang menawarkan fasilitas dan potongan harga yang tidak masuk akal. 140 Sebagai salah satu kebutuhan utama manusia, sektor papan (perumahan) merupakan salah satu sektor bisnis menarik. Perkembangan manusia yang semakin bertambah menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan akan perumahan. Rumah merupakan kebutuhan primer bagi pemenuhan kesejahteraan manusia setelah sandang dan pangan. Namun demikian, ternyata kebutuhan akan perumahan ini seringkali terbentur pada minimnya dana yang dimiliki oleh konsumen yang mendambakan memiliki rumah sendiri. Alhasil, pengembangan melalui Kredit Perumahan Rakyat (KPR) pun dilirik sebagai alternatif utama pembiayaan perumahan. 141 Salah satu solusi atas permasalahan tersendatnya pembangunan perumahan dapat dilakukan dengan pola kerja sama atau kemitraan. Pola kemitraan dapat dilaksanakan dalam beberapa bentuk, antara lain antara bank pemberi KPR (kredit pemilikan rumah) dengan perusahaan pelaku bisnis, bank pemberi KPR dengan perusahaan pengembang dan bank pemberi KPR dengan perusahaan pelaku bisnis dan perusahaan pengembang. Selain itu juga antara pengembang dengan institusi non-bank yang memiliki sumber dana yang kuat sebagai penyandang dana atau investor. Dengan pola kemitraan akan diperoleh banyak manfaat, antara lain tidak mengganggu modal kerja bagi perusahaan pelaku bisnis. Selain itu, kemitraan ini
140
Guntoro, Tips Membeli Rumah dengan Fasilitas KPR Bank, Jakarta : Suara Merdeka, 24 Maret 2008, dapat diakses pada www.suaramerdeka.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 141 Perencanaan Kepemilikan Rumah melalui KPR, Rumah Jogja Magazine, Edisi 3, bulan Agustus 2007. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
63
juga merupakan solusi kebutuhan investasi dan modal kerja bagi pengembang serta risiko kreditnya akan lebih terukur bagi pihak perbankan. 142 Dari sudut perlindungan konsumen, penggunaan teknologi perbankan tidak cukup hanya menawarkan berbagai kemudahan kepada konsumen dalam berbagai
bentuk.
Penyampaian
informasi produk
perbankan seyogianya
disampaikan secara proporsional. Artinya, bank tidak hanya menginformasikan keunggulan atau kekhasan produknya saja, melainkan juga sistem keamanan penggunaan produk yang ditawarkan, dan sistem penghitungan bunga. 143 Selama ini, sejumlah bank papan atas tidak banyak yang melirik kredit consumer banking seperti KPR ini. Namun, melihat gurihnya pasar kredit ini ditambah tingkat keamanan yang tinggi, sejumlah bank yang selama ini hanya bermain di pasar corporate pun ‘turun gunung’ mengembangkan produk KPR 144. Bank Mumamalat contohnya, pelopor perbankan syariah yang selama ini masih malu-malu memasuki pasar KPR, kini mulai berani menawarkan pinjaman dengan sistem bagi hasil selama 15 tahun. 145 Meningkatnya permintaan akan rumah di pasar primer lebih banyak dilayani pengembang dengan modal sendiri, sehingga permintaan tidak bisa dilayani secara maksimal. Pembelian rumah dengan menggunakan fasilitas KPR 142
Ibid. Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 35. (Lihat juga David Oughton and John Lowry, Op. Cit., hal. 15-16, yang menyatakan “If the market is to function in an efficient manner, consumers need to be supplied with adequate information about the price and quality of produbts and services available…Where there is lack of relevant information, the greatest danger is the consumer will make a purchase for the wrong reasons”). 144 Selama ini yang disetujui oleh Bank untuk KPR adalah khusus pembeli (user) yang mempunyai penghasilan tetap. Rakyat yang tidak mempunyai penghasilan tetap sangat sulit mendapatkan persetujuan KPR dari bank. Padahal justru pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap adalah mayoritas atau 75 persen dari pasar rumah murah yang ada (Mustafa Bawazier, Rumah untuk Rakyat Tanggung Jawab Siapa?, 8 April 2008, dapat diakses di www.MinangkabauNews.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008). 145 Indra Utama, Borong Properti Lewat KPR Murah, Majalah Property & Bank, 21 Juni 2007, dapat diakses di www.propertinbank.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 143
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
64
jumlahnya meningkat drastis. Hal ini karena sebelumnya pembelian rumah lebih banyak menggunakan cara cash keras, cash bertahap dan kredit pengembang. Tampaknya masyarakat konsumen KPR kini lebih memilih mengambil KPR melalui perbankan karena selain dianggap lebih aman juga bunga pinjamannya tidak terlalu mahal. 146 Syarat kredit KPR yang ditawarkan bank adalah: 1. Maksimum kredit yang bisa dikucurkan adalah 80% dari harga rumah 147; 2. Besarnya angsuran KPR maksimal 1/3 kali gaji kotor pemohon; 3. Masih berusia produktif bekerja 148; 4. Batas waktu angsuran kredit tidak melebihi usia pensiun; dan 5. Selama kredit belum lunas, maka rumah menjadi jaminan kredit. Yang perlu diperhatikan pemohon KPR adalah selain membayar uang muka akan dikenakan juga biaya ikutan lainnya sekitar Rp. 3.000.000,- (tiga juta) yang meliputi biaya notaris, asuransi penjaminan hari tua, akta jual beli, bea balik
146
Media Indonesia, Permintaan Banyak, Kredit Modal Kerja Minim, Jakarta, 11 Juli 2003. Bank hanya akan membayari biaya kredit rumah sekitar 70% dari harga rumah, sisanya 30% harus dibayar sendiri dari dana pribadi. Bagaimana caranya? Kalau harga rumah yang diinginkan adalah Rp 100 juta, maka harus dibayar dulu 30% dari harga jual. Setelah itu, barulah Bank akan melunasi sisanya yang 70%-nya. Dalam hal ini, jumlah 30% yang telah dibayar dianggap oleh Bank sebagai Uang Muka (Down Payment = DP), dan jumlah 70% yang dipinjamkan Bank untuk membayar sisa harga rumah akan menjadi hutang yang harus dicicil pembayarannya, tentunya disertai dengan bunga (Perencanaan Kepemilikan Rumah melalui KPR, Rumah Jogja Magazine, Edisi 3 Agustus 2007). Dari tabel daftar perbankan yang disajikan oleh Majalah Property Review, Edisi 05, bulan Oktober 2007, hal. 26-27, terlihat bahwa sebagian besar bank yang mengucurkan kredit hanya memberikan plafon kredit untuk KPR sebesar 70% dari harga rumah dimaksud untuk jangka waktu selama 15 tahun. 148 Ibid., menyatakan beberapa persyaratan umum yang biasanya diberlakukan oleh pihak Bank terhadap pemohon KPR, antara lain: 1. Orang tersebut harus berusia maksimal 50 tahun ketika mengajukan Permohonan KPR kepada Bank; 2. Orang yang bersangkutan harus sudah bekerja dan memiliki penghasilan, dibuktikan dengan adanya dokumen-dokumen tertentu. Penghasilan tersebut minimal besarnya harus 3 kali dari jumlah cicilan KPR yang diinginkan tiap bulannya, bila KPR tersebut diluluskan; 3. Bila orang itu pernah memiliki hutang di tempat lain, maka orang itu harus memiliki sejarah pembayaran kredit yang baik di sana, terutama pada masa 12 (dua belas) bulan terakhir. 147
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
65
nama, cek sertifikasi, asuransi jiwa dan kebakaran, provisi 149 bank, biaya administrasi dan biaya appraisal. 150 Basis utama dalam bisnis lembaga keuangan dan perbankan adalah kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty). Dan sebagai fondasi utama, idealnya kedua hal tersebut menjiwai setiap aktivitas perbankan, mulai dari iklan produk perbankan sampai kepada aneka ragam transaksi dalam dunia bisnis perbankan. 151 Keterlibatan pihak perbankan dalam proses jual-beli rumah cukup tinggi, mengingat hampir 90 (sembilan puluh) persen pembeli rumah di Indonesia melalui fasilitas KPR. Tetapi posisi konsumen ternyata sangat lemah dalam hal penyaluran KPR, karena pada waktu yang bersamaan rumah belum jadi dan juga belum adanya peralihan hak dari pengembang ke konsumen dalam bentuk akta jual beli. 152 Pentingnya informasi-informasi tentang mutu/kualitas dan hal-hal yang berkaitan dengan produk barang dan jasa yang ditawarkan juga diharapkan dapat memproteksi konsumen dari praktek-praktek iklan yang mengandung unsur-unsur kecurangan dan penipuan (deception). 153 Pihak perbankan, dalam hal ini sebagai pihak yang memberikan kredit kepada konsumen seyogianya memberikan informasi secara jelas dan lengkap mengenai ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen (pemohon KPR) seperti telah diatur dalam Pasal 4
149
Biaya provisi adalah biaya jasa bank atas pencairan kredit, biasanya 1,0-1,5 persen dari nilai kredit. Biaya asuransi terdiri atas asuransi kebakaran rumah dan asuransi jiwa debitur. 150 Media Indonesia, Untung Rugi Gunakan KPR Suku Bunga Rendah Belum Tentu Lebih Murah, Jakarta, 11 Juli 2003. 151 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 47. 152 Ibid., hal. 22. 153 Taufik H. Simatupang, Op. Cit., hal. 12. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
66
butir (c) UUPK 154. Namun, seringkali di dalam praktek, pihak perbankan juga tidak jarang yang memberikan informasi yang kurang memadai. 155 Memang bukan rahasia lagi bahwa dunia marketing terlalu dekat dengan dunia bohong berbohong. Sekalipun tidak berbohong, banyak juga produsen yang tidak mengungkapkan semuanya (alias I’m not lying, I am just not telling the whole truth). 156 Misalnya dalam hal membayar uang muka dengan cara mencicil yang ditawarkan perusahaan pengembang, sepertinya memberikan insentif khusus kepada konsumen. Padahal, sebenarnya besarnya uang muka yang dibayarkan konsumen yang mencicil uang muka sama dengan konsumen yang membayar DP (down payment) secara kontan. Bagi konsumen yang membayar uang muka dengan cara cash and carry, biasanya mendapat potongan harga. Sebaliknya mereka yang membayar D/P dengan cara mengangsur, tidak mendapat potongan harga atau diskon. Dengan kata lain, beban bunga uang muka yang sering ditawarkan perusahaan pengembang sebesar nol persen, sebenarnya bukan ditanggung pengembang tapi dibebankan kepada konsumen juga. 157
D. Masalah-masalah yang timbul di dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
154
Pasal 4 butir (c) UUPK menyatakan bahwa, Hak konsumen adalah : c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 155 Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada pihak konsumen ini dapat merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut dapat disampaikan secara lisan, maupun secara tertulis. (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 41) 156 Firman, Hak Konsumen, 18 Oktober 2007, laman-blog pada www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 157 Kompas Online (
[email protected]), Nasib Konsumen Perumahan setelah Pengetatan Uang, 01 September 1997, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
67
Keluhan konsumen perumahan sudah menjadi hal yang jamak, baik yang dialamatkan ke kantor Menpera, YLKI, ataupun berupa surat pembaca di media massa cetak maupun elektronik (khususnya dalam situs-situs resmi di dunia maya). Booming perumahan pada akhir-akhir ini, sebagai kelanjutan daripada booming yang sudah pernah terjadi sebelumnya di tahun 1980-an, baik disengaja maupun tidak, telah melahirkan sejumlah permasalahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Dari masalah penjualan perumahan yang fiktif, kualitas bangunan yang di bawah standar, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang tidak kunjung dibangun, sampai janji-janji kosong developer 158, termasuk pula keluhan tentang diterapkannya suku bunga yang tinggi terhadap KPR 159, dan lain sebagainya. Konsumen
perumahan
di
Indonesia
seolah
menghadapi tingkah laku pengembang (developer)
yang
tak
berdaya
merugikannya.
Buktinya, sudah ribuan orang yang menjadi korban perumahan fiktif. Pada perumahan tidak fiktif pun konsumen juga sering kali tak berdaya. Konsumen dirugikan, misalnya karena penyerahan rumah yang tak sesuai jadwal atau spesifikasi rumah yang tak sesuai dengan janji. 160 Belum lagi celah lain yang juga sering dimanfaatkan untuk mengecoh konsumen adalah ketidakjelasan otoritas pengembang di dalam menentukan uang muka. Misalnya, ada pengembang yang menawarkan rumah dengan uang muka 0%, tetapi setelah
158
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 34. 159 Padahal, peran perbankan dalam bisnis KPR akan lebih optimal lagi bila resiko likuiditas dan resiko gejolak tingkat suku bunga dapat dibuat seminimal mungkin, seperti penuturan dari Menkimpraswil, Soenarno pada acara pembukaan Raker DPP REI di Jakarta, 19 Oktober 2001. 160 Lucian Marin, Tips Yuridis Membeli Rumah, laman-blog pada www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
68
itu konsumen harus mencari sendiri bank yang mau menyalurkan KPR dengan uang muka 0%. Hal ini nyata-nyata sudah tidak masuk akal. 161 Saat ini kebanyakan pengembang memasarkan rumah dengan cara inden, di mana konsumen membayar angsuran lebih dulu, baru setelah pembangunan rumah selesai dalam jangka waktu tertentu, konsumen bisa menghuni rumahnya. Dengan cara seperti itu, pengembang memperoleh dana dari dua sumber sekaligus yakni dari konsumen dan pinjaman kredit (konstruksi) bank. Masalahnya sekarang, kalau saat ini pembangunan rumah belum selesai sementara harga bahan bangunan sudah naik dan bunga pinjaman KPR juga meningkat, apakah harga jual rumah tetap seperti semula atau ikut dinaikkan juga? Bisa juga harga jual rumah tidak naik tetapi pengembang dan kontraktor yang
membangun
rumah,
bersepakat
(tanpa
sepengetahuan
konsumen)
mengurangi mutu bangunan rumah. 162 Dalam kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan semua pihak seperti saat ini, dimana pihak bank, pengembang dan konsumen sama-sama mengalami kerugian. Karena selama ini posisi konsumen sangat lemah, ada kecenderungan bahwa pihak bank ataupun pengembang hendak membebankan semua risiko pelaksanaan KPR kepada konsumen. 163 Seperti diketahui bahwa akhir-akhir ini seringkali timbul permasalahan berkaitan dengan kredit kepemilikan rumah (KPR) yang tidak hanya dijumpai dalam kredit rumah mewah ataupun apartemen bertingkat di kota-kota besar, tetapi juga terhadap rumah-rumah susun di daerah pinggiran sekalipun. Sebagai
161
Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Op. Cit., hal. 49. Kompas Online, Loc. Cit. 163 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 51. 162
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
69
bukti nyata adalah banyak sekali dijumpai pengaduan masyarakat berkaitan dengan hal tersebut, baik melalui media massa, maupun media elektronik, bahkan ada juga beberapa kasus yang telah diangkat ke ‘meja hijau’. Menilik kasus-kasus yang muncul, umumnya dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, penipuan. Kedua, mutu bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ketiga, lahan tempat rumah atau apartemen itu dibangun bermasalah. Keempat, lingkungan sangat buruk, tandus, tidak ada pepohonan, tak ada air bersih, banyak penyamun, dan berisik. 164 Tidak hanya itu, kebanyakan konsumen KPR menjerit, karena kenaikan suku bunga KPR yang kelewat tinggi. 165 Dari jenis pengaduan, secara umum ada 2 (dua) kelompok. Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hakhak individual konsumen perumahan, misalnya dalam hal mutu bangunan yang berada di bawah standar, ukuran luas tanah tidak sesuai, dan lain-lain. Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan, seperti contohnya tidak dibangunnya fasilitas sosial/umum, sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim/informasi dalam iklan/brosur/pameran perumahan. 166
164
Abun Sanda, Teliti Sebelum Membeli Rumah, 14 Februari 2008, dapat diakses di www.Kompas.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 165 Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 36. Adanya keluhan konsumen ini dapat dibuktikan dari pernyataan Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan BI, Ahmad Fuad yang menyatakan bahwa bila dibandingkan akhir 2006, jumlah pengajuan sengketa nasabah dengan bank hingga Februari 2008, meningkat 280 persen. Dari jumlah itu, sengketa penyaluran dana paling banyak dilaporkan oleh masyarakat. Jumlahnya meningkat 441 persen. Sengketa itu terjadi, baik untuk kredit konsumsi, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan perbedaan saldo pokok dan bunga (Bank Harus Bisa Menyelesaikan Sendiri Sengketa dengan Nasabahnya, 31 Maret 2008, diperoleh dari www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). Perlu diketahui bahwa seyogianya tingkat bunga yang wajar untuk KPR adalah 3-4% dari BI Rate (KPR – Bunga yang Jadi Masalah, 16 Mei 2008, laman-blog property&investasi pada www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). 166 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 41. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
70
Selain itu, bagi konsumen, kenaikan suku bunga KPR mengikuti kenaikan suku bunga deposito, juga dirasakan sangat memberatkan. 167 Hal ini juga merupakan salah satu celah yang bisa dimanfaatlan oleh pengembang. Misalnya, pengembang sebelumnya telah berjanji untuk memberikan bunga tetap sebesar 14% selama 15 tahun. Namun, ternyata ketika angsuran KPR baru berjalan sekitar 2 (dua) tahun, bank secara sepihak sudah menaikkan suku bungan KPR menjadi 18%. Ketika konsumen protes, pihak pengembang dengan mudahnya berdalih ada kesalahan di dalam keterangan brosur, ataupun dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pihak bank. 168 Begitu banyaknya persoalan pengaduan konsumen perumahan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengklasifikasi ada 12 (dua belas) besar keluhan yang sangat dominan dalam kasus sengketa konsumen perumahan dengan pengembang perumahan. Adapun keluhan konsumen tersebut dapat diambil contoh sebagai berikut: 169 1. Keterlambatan serah terima rumah. 2. Sertifikasi yang tidak jelas dan berbelit-belit. 3. Penjualan rumah fiktif. 4. Fasilitas umum dan Fasilitas sosial tidak dibangun/direalisasi. 5. Materi pengikatan perjanjian jual beli (PPJB) yang berat sebelah. 167
Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 43. Lebih lanjut pada hal. 47-48 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Public Interest Research Advocacy Centre (PIRAC) bahwa ada dalam prakteknya lebih sering pihak bank untuk menerapkan floating rate of interest di dalam menetapkan suku bunga KPR. Hal inilah yang sangat meresahkan debitur KPR, dimana kecenderungan suku bunga KPR ntuk naik lebih besar dibanding turunnya. Padahal merujuk kepada ketentuan KepMenpera No. 02/KPTS/M/1996 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Sederhana, suku bunga ditetapkan sebesar 14% per tahun. 168 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 49. 169 Yayasan Konsumen Suarabaya, Konsumen Perumahan, Kemana Mengadu?, 24 Nopember 1997, laman-blog pada www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
71
6. Pengembalian uang muka. 7. Pembatalan transaksi secara sepihak. 8. Kenaikan harga rumah yang ditentukan secara sepihak. 9. Mutu bangunan di bawah standar dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. 10. Penjualan rumah kepada pihak ke-3 secara sepihak. 11. Pemindahan lokasi pembangunan secara sepihak. 12. Ukuran luas tanah tidak sesuai dengan yang tertera di dalam sertifikat. Serangkaian kasus tersebut, secara kronologis dan lebih detail dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu: 170 1. Masalah pada Tahap Pra-transaksi, meliputi: a. Keraguan konsumen akan kebenaran klaim iklan/brosur perumahan; b. Ketidaklengkapan dokumen administrasi pada rumah yang dipasarkan; c. Penjualan rumah fiktif.
2. Masalah pada Tahap Transaksi, yakni: a. Tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk mempelajari materi Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) 171 rumah; b. Berat sebelahnya materi yang diatur dalam PPJB rumah, dimana dalam hal ini materi kewajiban konsumen diatur secara detail, akan tetapi sebaliknya materi hak konsumen yang harus dipenuhi sangat minim atau bahkan tidak diatur sama sekali;
170
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op. Cit., hal. 37-38.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
72
c. Tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk mengutarakan keberatan terhadap materi PPJB rumah. 3. Masalah pada tahap Purna-transaksi, seperti contoh: a. Keterlambatan penyerahan rumah dari developer pada konsumen; b. Keterlambatan penyerahan sertifikat pecahan, dimana konsumen sudah melunasi pembayaran harga rumah; c. Penjualan rumah di atas tanah yang bermasalah; d. Fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang dijanjikan dalam iklan/brosur tidak direalisasikan; e. Mutu bangunan di bawah standar; f. Banjir, dan sebagainya.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Hak dan Tanggung Jawab Pihak-pihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dalam Kaitannya dengan Hukum Perlindungan Konsumen Pada tahun 1990, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) pelaku ekonomi. Pertama investor, kedua produsen, ketiga distributor dan keempat adalah konsumen. Tadinya konsumen tidak dianggap pelaku ekonomi, padahal konsumen merupakan pelaku ekonomi yang paling besar. Hal ini didasarkan pada asumsi bagaimana ketika orang tidak mau membeli suatu barang, maka tidak akan ada gunanya diproduksi barang tersebut. Jadi, atas dasar tersebut, pelaku usaha dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu investor, produsen dan distributor. Investor adalah orang yang memberikan dana, seperti bank, yang meminjamkan uang. Sedangkan produsen artinya ada 2 (dua), yaitu yang membuat barang atau yang memperdagangkan barang. Jadi kata produsen ini sebenarnya memiliki makna orang yang membuat barang dan jasa dari barang dan jasa lain. 172 Kemudian pengertian distributor adalah pihak yang menyalurkan barang dan/atau jasa kepada konsumen, atau dikatakan juga sebagai pihak perantara produsen dengan konsumen. Dalam masyarakat sosialis Indonesia, perumahan dipandang sebagai salah satu unsur utama bagi kesejahteraan rakyat. Memang kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat berteduh, di samping sandang dan pangan, merupakan salah satu hal yang dirasakan setiap orang. Dalam masyarakat adil dan 172
AZ. Nasution, Perlindungan Konsumen, MaPPI, 2004, dapat diakses pada www.pemantauperadilan.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008.
74
makmur, sudah selayaknya rakyat memiliki tempat tinggal yang layak. Perumahan bagi rakyat juga penting dalam iklim pembangunan negara, seperti yang sudah ditetapkan oleh MPRS dan GBHN. 173 Memiliki rumah adalah cita-cita masyarakat, walaupun memperolehnya dengan susah payah dan berliku-likunya prosedur untuk mendapatkannya. Tapi rumah adalah kebutuhan primer dan sangat didambakan oleh setiap keluarga, karena rumah adalah tempat berteduh dari teriknya matahari yang menyengat di siang hari, hujan dan mendapatkan kehangatan padan malam yang dingin, sehingga adagium “Rumahku Istanaku” telah menjadi impian setiap keluaraga. Tidak demikian yang dialami oleh sebagian konsumen perumahan, sebab dari beberapa kasus, ternyata ada keluhan, bahwa konsumen telah melunasi cicilannya kepada pihak bank pemberi pinjaman untuk mendapatkan rumah impian sebagai istana keluarga, tetapi sampai 2 (dua) tahun sejak pelunasan, sertifikat tak kunjung terbit, akhirnya pada saat rumah akan diagunkan untuk mendapatkan modal kerja usaha keluarga, rumah tersebut tidak dapat menjadi agunan. 174 Pada kondisi seperti tersebut di atas, siapa yang harus bertanggung jawab. Pengembang perumahan pasti sudah tidak perduli, karena pada saat konsumen perumahan melakukan akad kredit dengan pihak bank yang memberikan kredit, pengembang perumahan sudah mendapatkan pelunasan atas pembelian rumah tersebut oleh konsumen perumahan dari pihak bank. Namun, yang mengherankan
173
AP. Parlindungan, Komentar atas Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, (Bandung : Mandar Madju, 1997), hal. 200. Dalam GBHN 1997 ditetapkan bahwa, “Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.” 174 Fachry Agusta, Rumahku Sayang, Rumahku Bodong, Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 2007. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
75
adalah bank memberi pinjaman tanpa ada jaminan, pertanyaannya ada apa sebenarnya antara pengembang perumahan dengan pihak bank. Walaupun demikian, sebenarnya konsumen perumahan tetap dirugikan dan hanya bisa menunggu dan terus menunggu dan tidak berdaya memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen perumahan. 175 Dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ada 3 (tiga) pihak yang terkait, yaitu: 176 a. Pihak debitur (konsumen), yaitu pihak pembeli rumah yang dibangun oleh developer dengan uang yang dipinjam dari bank. b. Pihak kreditur, yaitu pihak bank sebagai bank penyandang dana yang menberikan bantuan fasilitas kredit dalam bentuk uang yang dipergunakan oleh debitur untuk membayar rumah yang dibeli dari developer. c. Pihak
developer,
yaitu
pengembang
dan
pembangun proyek-proyek
perumahan, dimana rumah-rumah tersebut akan yang dijual kepada pembeli, baik secara tunai maupu kredit. Diantara ketiga pihak yang disebutkan di atas, maka di dalam hubungan keperdataan yang dilakukan melalui perjanjian KPR tentulah masing-masing memiliki porsi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan konteks yang umum diterima oleh masyarakat. Namun, biasanya di dalam hal KPR, maka pengembang juga akan terlebih dahulu membuat kesepakatan dengan pihak bank mengenai ketentuan-ketentuan yang hendak dicantumkan di dalam PPJB tersebut. Secara umum, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut tentunya merujuk kepada hak dan kewajiban yang umum diatur dalam Perjanjian 175 176
Ibid. Sri Turatmiyah, Loc. Cit.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
76
Pengikatan Jual Beli (PPJB). Dalam prakteknya, klausul-klausul di dalam PPJB biasanya merupakan klausul baku yang mengikat pihak-pihak yang bersetuju dengan memberi tanda tangan di atasnya. 177 Mengenai PPJB ini berkaitan erat dengan hal pengalihan kepemilikan atas satuan rumah yang diperjual-belikan tersebut. Pasal 17 UUPP menyatakan bahwa, Peralihan hak milik atas satuan rumah susun harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dimaksud terdapat di dalam Pasal 16 UUPP, yang menyatakan bahwa, Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemindahan atas pemilikan rumah itu dilakukan dengan akta autentik. 178 Kemudian perlu juga ditinjau Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan, Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang sat mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. 179 Penyerahan (transfer of title) harus didasarkan pada suatu peristiwa perdata, yaitu kontrak. Kontrak ini merupakan alas hak (legal title) dari penyerahan hak milik. Kontrak ini bersifat ‘obligatoir’, yang harus diikuti oleh penyerahan, yang notabene merupakan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Kontrak obligatoir menerbitkan hak pribadi (personal right)
177
Umumnya perjanjian kredit yang bersifat riil menghendaki agar terjadinya perjanjian kredit itu pada saat penyerahan uang. Tetapi dalam praktek kenyataannya, perjanjian kredit terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian itu. (Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 117). 178 Ibid., hal. 183. Pasal 584 KUH Perdata juga menyatakan, Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, atau dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu. 179 Niniek Suparni, Op. Cit., hal. 358. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
77
kepada para pihak, sedangkan perjanjian penyerahan penerbitan hak atas benda / hak milik bersifat real right. 180 Di dalam perjanjian jual-beli ditemukan 2 (dua) unsur, yaitu pengikatan dan penyerahan benda. Penyerahan benda tersebut terkait erat kepada syaratsyarat yang berkaitan dengan karakter benda yang diserahkan tersebut, baik itu benda tetap atau benda bergerak. 181 Dan sebagaimana diketahui bahwa rumah susun ataupun perumahan, yang pada umumnya seluruh bangunan terdapat di atas tanah, merupakan benda yang bersifat tetap, 182 sehingga harus pula dilakukan pendaftaran atas haknya tersebut. Kembali lagi mengenai hak dan kewajiban para pihak, maka secara umum akan dipaparkan beberapa poin utama dalam suatu PPJB yang sudah umum diterapkan di dalam praktek di dalam masyarakat, meliputi: 1. Konsumen, yakni: a. Kewajiban konsumen adalah memenuhi kewajiban atas pembayaran sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara pembayaran yang telah ditentukan di dalam PPJB tepat waktu. Konskuensi dari keterlambatan adalah dikenakannya denda dan diberi teguran, bahkan apabila ternyata dalam jangka waktu tertentu kewajiban tersebut tidak juga dipenuhi, maka pengikatan jual-beli dapat dibatalkan dan uang yang telah dibayarakan sebelumnya akan dikembalikan setelah dikurangi biaya ganti rugi bagi pengembang (pihak bank).
180
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 184. Ibid. 182 Ibid., hal. 185. 181
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
78
Selain itu, konsumen juga wajib memenuhi kewajiban dalam hal pembebanan biaya yang akan timbul kemudian di dalam perjanjian jualbeli yang dilaksanakan. b. Hak konsumen, (pembeli) yaitu: hak yang pada prinsipnya adalah mengacu dan merujuk kepada aturan di dalam Pasal 4 UUPK. 2. Pengembang (developer), sebagai berikut: a. Mengenai kewajibannya, tentu sangat jarang sekali dimuat di dalam PPJB. Namun, merupakan suatu pengecualian di dalam prakteknya, apabila konsumen kritis, maka pengembang akan diminta untuk mencantumkan hal-hal apa saja yang telah diperjanjikan untuk dipenuhi. Hal ini dilakukan agar pengembang tidak ingkar janji, dan menjadi bukti komitmen pengembang di dalam memenuhi apa yang telah diiklankan dalam brosur ataupun pameran. Sebenarnya, pengembang sebagai penjual dalam hal ini mempunyai 2 (dua) kewajiban pokok, yaitu: 1) Menyerahkan barang yang sudah dibayar harganya, dan menjamin bahwa si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tentram, dan 2) Bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. 183 b. Hak pengembang (penjual) adalah menerima pembayaran atas harga jualbeli rumah yang disepakati bersama. Untuk hal KPR, biasanya akan dicantumkan bahwa pihak developer berhak untuk mengalihkan perjanjian ini kepada pihak ketiga (dalam hal ini pihak bank), sehingga nantinya
183
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Bandung : PT. Intermasa, 1978), hal. 135.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
79
untuk hal pembayaran, konsumen langsung berhubungan dengan pihak bank penyalur KPR. 3. Pihak bank (kreditur 184), yakni: a. Kewajiban yang utama dalam hal KPR adalah memberikan kredit sesuai dengan porsi yang dimohonkan oleh pemohon kredit. Dalam praktek umum, kredit diberikan hanya sampai kepada≤ 70% – 80% dari jumlah harga objek keseluruhan. Dalam hal KPR, biasanya pihak bank sudah terlebih dahulu melakukan pelunasan dan membayarkan harga objek rumah dimaksud kepada pihak pengembang, sehingga nantinya konsumen KPR yang langsung berhubungan dengan pihak bank. Namun, hal ini tergantung juga kepada kesepakatan sebelumnya antara mereka. b. Hak pihak bank sebagai kreditur, adalah memperoleh informasi dan data yang jelas dan benar tentang keadaan keuangan dari konsumen sebagai debitur. Selain itu, tentunya kreditur berhak atas pembayaran angsuran ditambah dengan beban bunga ataupun denda. Kemudian, kreditur berhak pula atas jaminan/agunan terhadap dana yang telah dikeluarkannya tersebut guna menjaga risiko yang mungkin timbul.
B. Perlindungan terhadap Konsumen sebagai Debitur atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) terhadap Perjanjian Baku yang dibuat oleh Bank sebagai Kreditur Dalam
menjaga
keberlangsungan
roda
perekonomian,
konsumen
menduduki posisi yang cukup penting. Namun ironisnya, konsumen sebagai pelaku ekonomi justru sangat lemah dalam hal perlindungan hukum. Salah satu 184
Creditor means person, company, etc. that owes money to somebody (__________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 100). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
80
contoh lemahnya perlindungan hukum konsumen adalah posisi konsumen dalam perjanjian standar. 185 Apalagi dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). 186 Di dalam praktek, setiap bank telah menyediakan dalam bentuk blanko (formulir, model) perjanjian kredit yang isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu (standaardform) 187. Formulir ini yang disodorkan kepada setiap pemohon kredit, dan isinya tidak diperbincangkan lagi. Pemohon hanya diminta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Sedangkan hal-hal yang kosong (belum diisi) di dalam blanko itu adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya, antara lain tentang jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu kredit. 188 Konsumen memiliki hak untuk secara proporsional dan seimbang dalam menentukan sendiri pilihan akan barang dan/atau jasa yang hendak dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan olehnya. 189 Posisi konsumen dalam perspektif UU Nomor 8 Tahun 1999 adalah sebagai bagian dari pengguna jasa, sehingga pemberdayaan terhadap konsumen diharapkan mampu meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar dari produk konstruksi yang dihasilkan,
185
Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33. Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 112. Beliau menyatakan bahwa jika dilihat dari bentuk perjanjian kredit perbankan yang disusun secara sepihak oleh pihak penyedia jasa adalah tidak logis, karena kewajiban kreditur tidak diatur oleh perjanjian itu. Bahkan yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana kepentingan debitur dilindungi, dimana debitur tidak mempunyai hak untuk mengubah perjanjian yang telah ada tersebut. 187 Formulir/blanko yang ada tidak terikat dalam suatu bentuk yang tertentu (vorn vrij), dimana pihak kreditur (bank) sewaktu-waktu dapat mengubah dan menyesuaikan ketentuan di dalamnya terhadap kebijakan bank yang tentu dinilai menguntungkan pihak bank. 188 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Op. Cit., hal. 31. 189 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal 50. 186
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
81
baik dari segi kualitas mutu (quality assurance), waktu penyerahan (product delivery), maupun harga (cost of product). 190 Umumnya pengembang perumahan menggunakan brosur sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan informasi tentang lokasi perumahan dan rumah yang akan dipasarkan. Menggunakan brosur untuk menjual produk barang dan atau jasa terbukti cukup efektif dan ampuh. Selain memberikan informasi tentang spesifikasi rumah dan lokasi perumahan, isi brosur juga mencakup berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi calon pembeli. Kebanyakan ketentuan-ketentuan dan persyaratan dalam brosur yang disebarkan pengembang substansinya digolongkan ke dalam bentuk klausula baku 191. Dalam prakteknya, klausula baku yang tercantum dalam berbagai kontrak standar atau perjanjian baku, banyak dilakukan dalam transaksi penjualan/kredit perumahan, kendaraan bermotor, asuransi, perbankan, dll. Hal ini biasanya untuk mempermudah transaksi perjanjian usaha. Pada dasarnya perjanjian baku tidak dilarang bagi pelaku usaha yang ingin menerapkan perjanjian dengan konsumen, kecuali yang merugikan pihak lain atau konsumen. 192 Hal yang memprihatinkan dalam klausula adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemption clause) 193 dalam perjanjian. Klausula eksonerasi ini
190
Asron Lubis, Perlindungan Konsumen Jasa Konstruksi, Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 2008. 191 Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. (Lihat juga pengertian yang diberikan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri). 192 Direktorat Perlindungan Konsumen, Mencermati Klausula Baku Perumahan, Jakarta, 22 Mei 2008. 193 Rijken (dalam Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 47) menyatakan, Klausul eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
82
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Klausula baku dengan aroma klausula eksonerasi biasanya menggunakan jenis huruf yang sangat kecil dan posisi yang sulit dilihat mata. 194 Umumnya konsumen kurang mengetahui substansi dan redaksi klausula tersebut. Jika substansinya merugikan konsumen, maka secara yuridis normatif tidak dapat dibenarkan. UU Perlindungan
Konsumen,
Pasal 18
melarang
dengan tegas
pencantuman klausula pada setiap dokumen dan atau penyampaian yang tujuannya merugikan konsumen 195, bahkan pada ayat (3) ditegaskan bahwa “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
hukum. Selanjutnya, klausul ini dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak secara massal dalam bentuk formulir, yang dinamakan perjanjian baku. 194 Hal ini tentunya telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK, yang menyatakan bahwa, Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 195 Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan, Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
83
perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”. 196 Secara sederhana, perjanjian standar adalah suatu persetujuan yang dibuat para pihak mengenai sesuatu hal yang isinya telah ditentukan secara baku (standar), serta dituangkan secara tertulis. 197 Dalam praktek kehidupan sehari-hari, konsumen sering dan mungkin sudah biasa dihadapkan pada perjanjian standar, seperti dalam pengadaan jasa akomodasi hotel, perbankan, asuransi, jasa pos, kiriman paket, jasa perparkiran dan lain sebagainya. Tetapi pada kesempatan ini hanya akan dibatasi pada pembahasan perjanjian standar dalam penjualan rumah dari developer, dengan menggandeng pihak perbankan, kepada konsumen. Di dalam prakteknya, terhadap keluhan konsumen yang terjadi, seringkali penyelesaiannya dirasakan tidak wajar atau bahkan sangat tidak memuaskan. Hal itu disebabkan oleh karena dasar untuk menyelesaikannya selam ini adalah berupa perjanjian standar perumahan, yang jelas-jelas materinya sangat berat sebelah. Perjanjian standar itu tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen, karena dibuat secara sepihak oleh pihak developer (untuk hal KPR berhubungan dengan pihak bank). Faktor subjektivitas dan kepentingan developer
196
Asron Lubis, Loc. Cit. Di dalam kasus Anny vs Secure Parking (2001) di PN Jakarta Pusat, Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut menetapkan bahwa klausul baku yang ada bukanlah merupakan perjanjian dan cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Jadi, kesepakatan yang diterima oleh konsumen itu adalah dalam keadaan terpaksa karena tidak punya pilihan (Menakar Kesaktian Karcis Parkir, Warta Ekonomi, Edisi 08, 28 April 2006, hal. 40-44). 197 Mariam Darus menyatakan bahwa, Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh kreditur dengan syarat-syarat yang dibakukan, sifatnya massal, dipergunakan untuk semua konsumen tanpa memperhatikan perbedaan dalam kekuatan ekonomi konsumen tersebut. Perjanjian ini dinamakan juga all size contract atau take-it or leave-it contract, dimana perjanjian itu tidak dapat diubah oleh konsumen. (Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 189). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
84
(bank) tentu lebih diperhatikan dan lebih dominan dimasukkan di dalam perjanjian standar perumahan itu. 198 Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar antara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. 199 Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan bagi debitur untuk mengadakan ‘real bargaining’ dengan pihak kreditur. Akibatnya, debitur tidak mempunyai kemampuan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya di dalam menentukan isi perjanjian baku. 200 Apalagi perjanjian baku belumlah diawasi oleh pemerintah, sehingga klausul yang ditentukan secara sepihak oleh kreditur tidak menjamin keseimbangan antara kreditur dan debitur. 201 Dari segi isi, terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara perusahaan prinsipal dan kliennya sebagaimana diatur di dalam kontrak/perjanjian itu. Keadaan ini dapat dipahami karena pembuatannya dilakukan sendiri oleh perusahaan prinsipal tanpa mendengar mitranya terlebih dahulu. Pihak pelaku usaha melalui bantuan konsultan, menetapkan sejumlah kewajiban bagi mitranya demi mengamankan kepentingan usahanya, sekaligus membatasi sedemikian rupa hak-hak lainnya itu. Berbagai klausula eksonerasi (exoneration clause) dirumuskan di dalamnya, sehingga tampak seolah-olah perusahaan prinsipal tidak mempunyai kewajiban yang cukup berarti. Dengan demikian, asas keseimbangan
198
Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33-34. Anggara, Persoalan-persoalan di Seputar Perlindungan Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 200 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 52. 201 Ibid., hal. 117. 199
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
85
dalam hukum kontrak tidak terakomodasi di sini, yang selanjutnya juga kurang mencerminkan asas keadilan. 202 Dari keseluruhan jenis perjanjian baku yang ada, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti rugi kepada debitur, adalah sebagai berikut: 203 1. Isi perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, dimana posisinya relatif lebih kuat dibandingkan dengan debitur; 2. Pihak debitur sama sekali tidak ikut di dalam menentukan
isi perjanjian
tersebut; 3. Debitur terpaksa menerima perjanjian itu karena terdesak oleh kebutuhannya; 4. Bentuk perjanjian tertulis; 5. Perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu secara massal ataupun individual. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) ditemukan adanya ketidakadilan dalam perjanjian standar perumahan. Penelitian yang dilakukan terhadap Perjanjian Pendahuluan Pembelian Rumah di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi membuktikan bahwa developer lebih menonjolkan kewajiban konsumen dibandingkan dengan hak-hak mereka. Adapun hasil penelitian yang dilakukan sebagai berikut: 204 Salah satu contoh menyangkut keterlambatan pembayaran cicilan. Sebanyak 72,72% perjanjian yang diteliti menunjukkan sanksi yang tegas. Bentuknya dapat berupa penalti ataupun pembatalan perjanjian, apapun alasan
202
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op. Cit., hal. 102. Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 50. 204 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33-37. 203
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
86
keterlambatannya. Di pihak lain, ketika developer terlambat menyelesaikan dan atau menyerahkan bangunan rumah kepada konsumen, hanya 27,27% perjanjian standar yang mengatur tentang denda/penalti, dan selebihnya tidak. Adapun tenggang waktu bagi developer untuk melakukan pemeliharaan rumah setelah serah terima, 9,09% menyatakan selama kurang dari satu bulan, sejumlah 55,54% mencantumkan 1-3 bulan, sedangkan sisanya 36,36% sama sekali tidak mencantumkannya. Setelah serah terima tanah dan bangunan, tidak jarang konsumen merasa objek yang dibelinya tidak memenuhi syarat. Dalam keadaaan seperti itu, konsumen
boleh
mengajukan complain
kepada
developer.
Hasil
studi
menunjukkan 45,45% perjanjian menegaskan tenggang waktu untuk mengajukan complain sama dengan masa pemeliharaan developer. Yang sangat tidak rasional adalah developer yang menyatakan tenggang waktu mengajukan complain adalah 14 (empat belas) hari sejak serah terima tanah dan bangunan. Bagaimana mungkin konsumen dalam waktu sependek itu bisa mengetahui seluruh kondisi dan mutu bangunan. Kemudian pihak mana yang berhak menyatakan baik tidaknya mutu bangunan juga dari perjanjian standar yang diteliti, tidak ada yang mengatur mengenai siapa yang berhak menyatakan baik tidaknya mutu dan kondisi bangunan. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi konsumen untuk membuktikan ketidakberesan mutu. Bila ada lembaga appraisal 205 (penilaian) tentunya akan bisa menjembatani kepentingan konsumen dengan developer.
205
Appraisal means judgement of the value of somebody or something (__________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 17). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
87
Selanjutnya tentang brosur/iklan perumahan terlihat bahwa sejumlah 63,64% perjanjian yang diteliti menyatakan brosur tidak merupakan bagian dari perjanjian. Sedangkan, sisanya yang 36,36% menegaskan brosur merupakan bagian dari perjanjian. Persoalan mengenai brosur perumahan merupakan masalah yang cukup rumit. Brosur/iklan adalah salah satu daya tarik utama bagi konsumen dalam menentukan pilihan, yang di dalamnya kadang-kadang dijanjikan berbagai fasilitas. Namun, gara-gara brosur saja, tidak sedikit masalah di lapangan yang timbul, bahkan sampai dibawa ke pengadilan. Apabila dirinci secara detail, tentu sudah banyak sekali kasus tentang brosur perumahan yang dibawa ke pengadilan, dimana sebagai contoh dapat dilihat kasus brosur fasilitas kolam pemancingan dalam perkara perdata No. 237/Pdt/G/1992/PN.JK.TIM di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemudian kasus brosur bebas banjir dalam perkara perdata No. 502/Pdt/G/1991/PN.SBY di Pengadilan Negeri Surabaya. 206 Memang secara kasat mata sudah tampak sekali tidak adanya keseimbangan kedudukan antara konsumen dan developer di dalam perjanjian standar perumahan. Hal ini tentu membuka peluang lebih besar bagi developer untuk cenderung menyalahgunakan kedudukannya, dimana yang diatur hanyalah kewajiban konsumen, sedangkan kewajibannya tidak diatur. Fenomena kenaikan suku bunga KPR menempatkan konsumen pada posisi lemah dan tidak berdaya. Dalam Perjanjian KPR atau Akta Pengakuan Hutang, konsumen sering dihadapkan pada klausula yang menyatakan bahwa konsumen menyetujui perubahan bunga sewaktu-waktu tanpa diperlukan persetujuan terlebih
206
Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 35-36.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
88
dahulu dari konsumen dan perubahan tersebut bersifat mengikat.207 Sebaliknya pihak bank dilindungi perjanjian standar perbankan (dalam hal ini Perjanjian KPR) dengan klausula sepihak dari pihak bank yang pada intinya menegaskan bahwa nasabah (konsumen) tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan masih akan diterapkan kemudian oleh pihak bank. 208 Perjanjian standar (baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual) tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971, 99% perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia, perjanjian standar bahkan telah merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkannya sistem pembelian satuan rumah susun (strata title) secara inden dalam bentuk perjanjian standar. 209 Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan penggunaan jenis
207
Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 39. Sutan Remi Sjahdeni, Op. Cit., hal. 208. (dalam Ibid., hal. 40). 209 Shidarta, Op. Cit., hal. 146. Bandingkan dengan Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 35, yang menyatakan bahwa Perjanjian seperti itu adalah cacat dan tidak sah, karena tidak adanya informasi kepada masyarakat. Perjanjian ini diterima masyarakat adalah semata-mata karena masyarakat memang sangat memerlukan rumah. 208
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
89
perjanjian baku ini, maka pelaku usaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu. 210 Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, klausul eksonerasi dapat saja dipersiapkan terlebih dahulu atas kehendak satu pihak, dan kemudian dituangkan dalam perjanjian standar yang selanjutnya dapat diperbanyak secara individual atau secara massal dalam bentuk formulir. 211 Meskipun menilai perjanjian standar atau baku berpotensi merugikan konsumen, bukan berarti semua perjanjian semacam itu jelek. Adakalanya perjanjian itu justru dibutuhkan. Yang harus diwaspadai, adalah perihal pengalihan tanggung jawab hukum yang termuat dalam klausul-klausul kontrak. Perjanjian pengalihan tanggung jawab seperti yang lazim dipraktekkan para pelau usaha, sudah seharusnya disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 212 Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan bahwa yang dibakukan adalah klausul-klausul dalam perjanjian, bukan formulirnya. 213 Praktek penggunaan standar kontrak ini sudah meluas, tidak hanya di kalangan perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga di perusahaan-perusahaan kecil.
Sadar
atau
tidak,
tampaknya
masyarakat
juga
sudah
terbiasa
210
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 46. Ibid., hal. 47. 212 Perjanjian Standar Tidak Bisa Dibiarkan Tumbuh Liar, 5 Februari 2007, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 213 Shidarta, Op. Cit., hal. 146-147 211
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
90
mempergunakan standar kontrak ini. 214 Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. 215 Dari segi isi memang terlihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen/penyalur produk (penjual) yang lazim disebut kreditur dan konsumen (debitur) di lain pihak. Sehubungan dengan hal ini, kemudian timbul pertanyaan: apakah asas kebebasan berkontrak digunakan di dalam perjanjian standar ini?; apakah klausul eksonerasi/perjanjian baku memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian? 216 “Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian, dimana sangat diperlukan untuk ‘ada’-nya (raison d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian. Asas ini tidak hanya milik KUH Perdata saja, akan tetapi bersifat universal. 217 Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Apabila ditinjau mengenai masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” perjanjian baku, maka secara teoritis yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo. 1338 (al.1) KUH Perdata. 218
214
Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 100. Shidarta, Op. Cit., hal. 147. Pengertian dari klausula eksonerasi sendiri adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). 216 Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu persetujuan, maka diperlukan 4 (empat) syarat, yakni: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan yang tertentu; 4. suatu sebab yang halal/tidak terlarang. 217 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 51. 218 Ibid., hal. 52. 215
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
91
Untuk menjawab hal tersebut, maka ada beberapa pendapat yang perlu dikemukakan, yakni: 219 1. Pendapat Pertama, yang menyatakan bahwa sudah ada/terpenuhi asas konsensual, melalui pembubuhan tanda tangan oleh para pihak yang berjanji, dimana
membubuhkan
tanda
tangan
sudah
merupakan
perwujudan
kehendak/kemauan. Assers-Rutten menyatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab atas isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya. 2. Pendapat Kedua lebih realistis, menyatakan bahwa meskipun sudah tertera tanda tangan, tetapi fakta menunjukkan bahwa konsumen tidak dapat merubah klausula yang telah tercetak meskipun ada keberatan/tidak menyetujui. Memang secara formal ada konsensus, tetapi secara materiil sebenarnya tidak demikian. Perusahaan prinsipal tidak memberikan kesempatan pada pihak lain untuk ikut menentukan klausula perjanjian, termasuk untuk merubahnya. Pitlo
Pasal 1338 (al.1) KUH Perdata menyatakan, Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari ketentuan di dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dengan jelas terkandung asas: 1. Asas konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihakpihak yang mengadakan kontrak; 2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebasa mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya; 3. Asas pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Di samping itu, beberapa asas lain di dalam standar kontrak, yaitu asas kepercayaan, asas persamaan hak, asas keseimbangan, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas kepastian hukum (Abdul R. Saliman (et.al.), Op. Cit., hal. 42-43. Lihat juga Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 42-44 dan juga Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 83-89). 219 Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 103. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
92
menganggap dengan demikian, sesungguhnya tidak ada kehendak bebas dalam membentuk kesepakatan sehubungan dengan standar kontrak ini. Dari semua hal tentang perjanjian baku tersebut di atas, perlu pula dicermati pendapat daripada Sutan Remi Sjahdeni, yang menyatakan bahwa berbeda dengan perjanjian-perjanjian baku pada umumnya, dalam perjanjian kredit bank harus diperhatikan dan diingat bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank saja, tetapi juga mengemban kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, di dalam menentukan apakah suatu klausula itu memberatkan, baik dalam bentuk klausula eksemsi atau dalam bentuk yang lain, perimbangannya tentu akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan menentukan klausula-klausula dalam perjanjian baku perseorangan pada umumnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila di dalam perjanjian kredit bank dimuat klausul yang dimaksudkan untuk mempertahankan atau untuk melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang moneter.220
C. Kedudukan dan Peranan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Memberikan Perlindungan terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) UUPK bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK, pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202 s.d 205 KUH Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan 220
Sutan Remi Sjahdeni, Op. Cit., hal. 182-183 (dalam Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 266-
267). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
93
Terbatas, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dan sebagainya. Setelah lahirnya UUPK, maka undang-undang terebut diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dari perilaku yang secara sadar atau tidak sadar dapat merugikan masyarakat konsumen. 221 Memang ironis, dimana tanpa konsumen, pengembang perumahan jelas tak bisa hidup. Bahkan, tak jarang mereka merayu habis-habisan calon konsumennya agar mau membeli rumah yang dibangunnya. Namun, ketika sudah memasuki proses transaksi, sikap para pengembang itu sering kali berbalik 180 derajat. Mereka sering kali mengabaikan hak-hak konsumennya. Karena itu, konsumen harus ekstra hati-hati ketika hendak membeli rumah. Yang terpenting perhatikan aspek legalitasnya, misalnya adalah sertifikat tanah, perizinan kompleks perumahan tersebut (Surat Izin Penunjukan Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPPT)), dan juga draf Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) apabila telah membayar harga awal. 222 Ada yang berubah pada dunia perbankan di Indonesia. Sebelum krisis, kebanyakan menggarap pasar korporasi dengan kredit serba besar. Pascakrisis, hal itu malah terbalik, dimana semua ramai-ramai menerjuni pasar ritel yang nilai kreditnya kecil-kecil seperti kredit pemilikan rumah (KPR). Contohnya Bank
221
Erman Rajagukguk, (et.al.), Hukum Perlindungan Konsumen, Penyunting : Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2000), hal. vi. 222 Abdul Wahid Fauzie, Pilihlah Rumah yang Aman dan Nyaman, 22 Maret 2008, dapat dakses di www.kontan-harian.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
94
Mandiri yang tersohor sebagai kampiun corporate banking, misalnya, dua tahun terakhir sangat aktif mempromosikan KPR-nya. 223 Pemakaian perjanjian baku menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat. 224 Klausul eksonerasi dalam perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, terlebih lagi jika ditinjau dari asas-asas dalam sistem hukum nasional. Di dalam perjanjian baku, kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang, dimana hanya memuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul oleh debitur. 225 Oleh karenanya, mengenai ketentuan di dalam mencantumkan klausul baku ini ada diatur secara jelas di dalam Pasal 18 UUPK. 226
223
Majalah ‘Estate’, KPR-KPR Pilihan Konsumen, 30 April 2006. Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 35. 225 Ibid., hal. 54. 226 UUPK Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, di dalam Pasal 18 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 224
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
95
Selain mengatur tentang batasan klausul baku di dalam UUPK juga diatur secara tegas larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha sama sekali tanpa ada kecuali, yang tercantum dalam mulai dari Bab IV Pasal 8 – 17 UUPK. Pelanggaran atas larangan tersebut yang menimbulkan kerugian bagi konsumen haruslah dipertanggungjawabkan oleh konsumen dengan memberi ganti rugi, terkecuali pelaku usaha sanggup membuktikan bahwa itu adalah kesalahan konsumen (lihat dalam Pasal 19 UUPK). Di dalam Pasal 7 huruf (f) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selain itu, pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Yang menjadi masalah dalam pemberian ganti rugi ini adalah sampai sejauh manakah ganti rugi itu harus diberikan. 227 Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi harus dipenuhi apabila ternyata telah timbul kerugian atas penggunaan produk yang dihasilkan , dan sudah ada keluhan/pengaduan dari konsumen. 228 Memang adalah hal yang cukup memberikan jaminan bagi konsumen, dimana untuk hal pembuktian dalam UUPK telah ditempuh upaya pembuktian secara terbalik, dimana pelaku usaha
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. 227 Muhammad Eggi H. Suzetta, Loc. Cit. 228 Pasal 23 UUPK menyatakan, Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
96
yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan diri tidak bersalah atas kerugian yang timbul (lihat dalam Pasal 28 UUPK). Di dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh BPSK yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha, dapat dijadikan sebagai bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain mengatur hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, UUPK juga mengatur tentang sanksi (dalam Bab XIII, mulai dari Pasal 60 – 63 UUPK) bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang telah diatur UUPK. Hal ini dipertegas lagi dalam rumusan Pasal 45 ayat (3) 229 UUPK. 230 Adapun jenis sanksi yang diatur di dalam UUPK meliputi, sanksi administratif, sanksi pidana, dan ada juga sanksi pidana tambahan.
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen yang timbul di antara Pihak-pihak dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Seperti pada umumnya pendapat orang, sesuatu sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu tentang hal tertentu. Satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak yang lain, sedang yang lain tidak merasa demikian. Oleh karena itu, pengertian sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu. 231 Sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran terhadap hak-hak
229
Pasal 45 ayat (3) UUPK menyatakan, Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. 230 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 82. 231 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Op. Cit., hal. 221. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
97
konsumen, yang ruang lingkupnya meliputi semua segi hukum, baik keperdataan, pidana, maupun tata usaha negara. 232 Walaupun diketahui di masyarakat banyak sekali keluhan konsumen KPR terhadap pengembang ataupun kepada pihak bank, namun tidak semuanya diangkat ke permukaan. Hal ini dibuktikan dari jumlah kasus pengaduan yang masuk kepada YLKI selama tahun 2007, dimana pengaduan konsumen tentang KPR hanya sebanyak 1 (satu) kasus. 233 Namun untuk produk perbankan, apabila timbul sengketa antara nasabah dengan pihak perbankan, perbankan nasional diminta untuk dapat secara proaktif menyelesaikan sendiri masalahnya. Meski penyelesaian sengketa bank dengan nasabahnya masih menjadi tugas Bank Indonesia (BI), namun bank sentral tetap meminta
perbankan
nasional
untuk
menyelesaikan
sendiri
masalahnya.
Alasannya, hal itu untuk meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap bank. Fungsi mediasi oleh bank sentral merupakan cara yang kedua, sebelum sengketa itu menemui jalan buntu, dimana haruslah ada penyelesaian terlebih dahulu antara bank dengan nasabahnya. 234 Berarti dalam hal ini, Bank Indonesia menghimbau agar masalah yang timbul antara konsumen dengan pihak perbankan untuk diselesaikan secara damai terlebih dahulu. Namun, apabila sudah diupayakan
232
Shidarta, Op. Cit., hal. 165. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indah Sukmaningsih, mengatakan pengaduan bidang perbankan oleh masyarakat pada 2007 menduduki posisi ke-2 (dua) dengan jumlah 61 (enam puluh satu) pengaduan. Ini belum termasuk mereka yang mengadukan lewat telepon, dimana untuk pengaduan nasabah melalui telepon rata-rata 3-4 pengaduan setiap hari. Pengaduan terbanyak terkait masalah kartu kredit dengan 43 (empat puluh) kasus, sedangkan ATM 4 (empat) kasus, terkait bunga bank 3 (tiga) kasus, layanan petugas 5 (lima) kasus, KPR 1 (satu) kasus, dan lain-lain 10 (sepuluh) kasus (Sistem Mediasi Sengketa Nasabah Perbankan Masih Lemah, 31 Maret 2008, dapat diakses di www.Kapanlagi.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). 234 Bank Harus Bisa Selesaikan Sendiri Sengketa dengan Nasabah, Loc. Cit. 233
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
98
tetapi tidak berhasil menemui jalan keluar, maka dapat dimintakan bantuan Bank Indonesia untuk menjadi mediator antara para pihak yang bersengketa. Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan. Sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa yang ada melalui lingkungan peradilan ataupun dapat memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. 235 Secara umum, di dalam prakteknya di lapangan, sengketa konsumen itu diselesaikan melalui 2 (dua) cara sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa secara damai Sengketa konsumen yang timbul antara konsumen dan pelaku usaha ada kalanya tidak sampai dibawa kepada pihak ketiga, dimana dapat ditempuh melalui usaha perdamaian. Yang dimaksudkan dengan penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan ataupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 236 Dengan penyelesaian secara damai ini dimaksudkan penyelesaian sengketa antar para pihak, dengan atau tanpa kuasa, secara musyawarah mufakat. 237 Penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara musyawarah yang berdasarkan kepada asas kekeluargaan. Adapun mengenai cara penyelesaian seperti ini ada
235
Shidarta, Op. Cit., hal. 167. Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 75. 237 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op. Cit., hal. 26. (Lihat juga Law and Trade Issues of The Japanese Economy, American and Japanese Perspectives, Op. Cit., hal. 85, yang menyatakan, “Consumers injured or damaged by defective products can, at least in principle, bargain directly with the sellers and producers of the defective products for compensation for damages”). 236
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
99
diatur pula di dalam Pasal 1851 – 1864 KUH Perdata238. Dalam hal ini cara penyelesaian sengketa secara damai tetap dapat ditempuh, walaupun perkara yang bersangkutan sudah dimasukkan ke pengadilan, selama belum adanya suatu putusan hakim yang sifatnya inkracht van gewijz. 239 Dalam hukum acara perdata yang dianut di Indonesia (HIR/RBg), tentang perdamaian ini ada diatur di dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg, dimana dikatakan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara dimaksud. Setelah tercapai perdamaian, maka berdasarkan adanya perdamaian yang telah dicapai oleh kedua belah pihak yang bersengketa, hakim akan menjatuhkan putusannya dalam acte van vergelijk yang isinya menghukum para pihak untuk mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat oleh mereka itu. Untuk hal perdamaian ini tidak dapat dimintakan banding. 240 2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang tertentu Apabila ternyata cara perdamaian tidak juga berhasil menyelesaikan sengketa konsumen yang timbul tersebut, ataupun di dalam praktek sesudah perdamaian terjadi lagi ingkar ataupun tidak dipatuhinya apa yang telah disepakati, sehingga timbul lagi perselisihan, maka dapat diupayakan penyelesaian 238
Pasal 1851 KUH Perdata menyatakan, Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis. Pasal 1858 KUH Perdata menyatakan, Di antara pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan hakim pada tingkat akhir. 239
Pasal 1862 KUH Perdata menyatakan bahwa, (al.1) Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu, adalah batal; (al.2) Jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah. 240 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 105. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
100
dengan mengajukan gugatan. Sesuai ketentuan UUPK Pasal 45 241 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” Mengenai siapa saja yang berhak untuk mengajukan gugatan konsumen dimaksud ada diatur di dalam Pasal 46 UUPK 242. Selain itu, Pasal 23 UUPK 243 diketahui juga sebagai salah satu pasal yang secara spesifik mengatur bahwa konsumen boleh saja menggugat pelaku usaha
241
Pasal 45 UUPK menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa. 242 Pasal 46 ayat (1) UUPK menyatakan, Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. 243 Pasal 23 UUPK menyatakan, Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 19 UUPK menyatakan sebagai berikut: (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
101
yang tidak mau peduli dengan keluhan konsumen. Dengan demikian, pelaku usaha tidak hanya akan sekedar menanggapi keluhan konsumen dengan setengah hati, apalagi cuma memberi janji-janji kosong, yang pada akhirnya juga tidak mampu direalisasikan. a. Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)244 Dengan berlakunya UU Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999, maka konsumen Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen khususnya dari tindakan yang tidak adil dan mau menang sendiri dari pelaku usaha 245.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 244 Menurut ketentuan Pasal 52 UUPK, Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini. 245 Gus Wai, Kenalkah Anda dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 24 Mei 2007, dapat diakses di www.Wikimu.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
102
Salah satu lembaga yang menangani permasalahan konsumen adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan lembaga alternatif di luar badan peradilan umum yang diberi kewenangan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha dengan mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Lembaga ini juga berfungsi sebagai tempat konsultasi dan pengaduan. 246 BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) ini dibentuk di tiap propinsi yang susunan pengurusnya dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menperindag. 247 Khusus dalam hal penyelesaian sengketa, kewenangan BPSK relatif luas, antara lain: a. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran; b. memanggil saksi atau saksi ahli;
246
Muhammad Irsyan Thamrin, Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan, Rumah Jogja Magazine, 3 Agustus 2007, dapat diakses di www.rumahjogjamagz.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Setiap konsumen memiliki kedudukan yang sama di mata BPSK. Artinya, siapa saja boleh mengadukan masalahnya untuk kemudian diusahakan penyelesaiannya. Persoalan yang boleh diadukan meliputi semua hal. Baik berkaitan dengan pelayanan langsung antara penyedia jasa dengan konsumen (misalnya pembayaran listrik PLN) maupun menyangkut barang kadaluwarsa. (Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK Tanpa Biaya, 17 Februari 2006, dapat diakses di http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Samarinda&id=148734, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). 247 Gus Wai, Loc. Cit. Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar; seharusnya sudah terbentuk 10 (sepuluh) BPSK di daerah kota dimaksud. Namun, mengacu kepada Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 605/MPP/Kep/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan; berarti hanya 7 (tujuh) BPSK saja yang sudah berfungsi. Menyusul pada tanggal tanggal 27 September 2005, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Samarinda dilantik. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
103
c. meminta penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli jika mereka tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; d. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan atau pemeriksaan. Jika
menemukan adanya kerugian konsumen,
BPSK berwenang
menjatuhkan sanksi administratif pada pelanggar. 248 Proses peradilan BPSK sama dengan penyelesaian kasus perdata peradilan umum. 249 Mengupayakan perdamaian bagi pihak bersengketa, bila tidak bisa, digelar persidangan yang dipimpin 3 (tiga) majelis hakim (biasanya hakim di BPSK, terdiri unsur konsumen dan pelaku usaha, perwakilan pemerintah dan akademisi). Asas peradilan penyelesaian sengketa BPSK berdasarkan prinsip cepat, murah, dan sederhana. Seperti contoh di dalam Pasal 55 UUPK ditentukan jangka waktu pengaduan konsumen samapai dengan BPSK, pengambilan keputusan selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari dari waktu pengaduan tersebut. 250
248
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 11 Desember 2007, dapat diakses di http://hukumpedia.com/index.php?title=Badan_Penyelesaian_Sengketa_Konsumen, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 249 Sebagai contoh, salah satu kasus yang pernah diselesaikan oleh BPSK adalah kasus sengketa konsumen kartu kredit Citibank. Pada prinsipnya, BPSK hanya mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa dan didengar pendapat masing-masing, yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan kesepakatan bersama. Proses berlangsung untuk jangka waktu sekitar 3 (tiga) bulan lamanya (Jojo Rahardjo, Pengalaman Berperkara Melalui BPSK, 27 Juni 2007, dapat diakses di www.mediakonsumen.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). 250 Muhammad Irsyan Thamrin, Loc. Cit. Adapun prosedur penanganan perkara konsumen yang diterapkan oleh BPSK Semarang adalah: Konsumen yang dirugikan mengadu ke Sekretariat BPSK, BPSK memanggil pelaku usaha yang dilaporkan, Kedua belah pihak dipertemukan untuk didamaikan, Jika keduanya memilih berperkara, mereka disuruh memilih cara apa yang dikehendaki, baik cara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi, Kedua belah pihak juga diberi kebebasan memilih majelis hakim, Proses penanganan perkara sampai putusan memakan waktu paling lama 21 hari, Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
104
Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa251, mengisi formulir pengaduan
dan
juga
berkas-berkas/dokumen
yang
mendukung
pengaduannya. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Pra-sidang. Dari Pra-sidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkahlangkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain: 252 1. Konsiliasi 253 : usaha perdamaian antara dua pihak; 2. Mediasi 254 : negosiasi 255 yang dimediasi oleh BPSK; 256
Putusan BPSK bersifat final dan tidak bisa dibanding (Mengenal BPSK Semarang, Peradilan Konsumen Tak Kenal Banding, 16 Februari 2005, dapat diakses di www.suaramerdeka.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). 251 Adapun tata cara permohonan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK adalah mengacu kepada Pasal 15-16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 252 Gus Wai, Loc. Cit. 253 Pengertian dari konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak dan membantu pihak yang bersengketa untuk menemukan solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Konsep ini hampir mirip dengan mediasi, hanya saja kewenangan mediator untuk mengusulkan penyelesaian sengketa, dimana kewenangan itu tidak dimiliki oleh konsiliator (Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 15). Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain (Penyelesaian Konflik, diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008). Adapun penyelesaian sengketa konsumen dengan konsiliasi mengacu kepada Pasal 28 – 29 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 254 Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berupa negoisasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan kedua belah pihak. Pihak ketiga yang netral tersebut disebut mediator (Munir Fuady, Op. Cit., hal. 314). Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tettapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
105
3. Arbitrase 257 : penyelesaian lewat sidang di mana kedua belah pihak akan memilih anggota majelis yang mewakili masing-masing pihak yang bersengketa antara lain wakil konsumen, wakil pelaku usaha dan wakil dari pemerintah. BPSK sebenarnya adalah tempat yang ideal untuk menyelesaikan sengketa konsumen, karena orang-orang di BPSK seharusnya lebih mengerti tentang
perlindungan
konsumen
daripada
hakim
di
pengadilan.
Berfungsinya BPSK juga dapat membantu mengurangi tumpukan perkara
(Penyelesaian Konflik, Loc. Cit.). Adapun penyelesaian sengketa konsumen dengan mediasi mengacu kepada Pasal 30 – 31 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 255 Negoisasi adalah suatu proses tawar-menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi antara para pihak. Pihak yang melakukan negosiasi disebut sebagai negosiator (Ibid.). 256 Untuk penyelesaian sengketa perbankan, pihak BI sendiri telah mengeluarkan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang diperbarui dengan PBI Nomor 10/1/PBI/2008, yang mengharuskan bank memiliki lembaga mediasi. Sejak diberlakukannya PBI mediasi perbankan, BI telah menerima laporan sebanyak 262 kasus, dan 222 kasus telah diselesaikan. Sedangkan 40 kasus masih dalam proses (Sistem Mediasi Sengketa Nasabah Perbankan Masih Lemah, Loc. Cit.). 257 Arbitrase merupakan sebuah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketa “ketidaksepahaman” dengan pihak lain atau lebih kepada satu otang arbiter atau lebih-lebih arbiter majelis ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta yang akan meneraplan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakakti bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan final dan mengikat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa arbitrase adalah hukum prosedur dan hukum para pihak. Selain itu, putusan arbiter yang final dan mengikat, dikenal pula sebagai ‘binding opinion’ (Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Oktober-November 2002, hal. 7 (dalam Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, (Bandung : CV. Mandar Madju, 2007), hal. 142)). Arbitrase, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan (Penyelesaian Konflik, Loc. Cit.). Adapun penyelesaian sengketa konsumen dengan arbitrase mengacu kepada Pasal 32 – 36 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
106
di pengadilan, 258 setiap keputusan BPSK memiliki kekuatan hukum sehingga seluruh pihak yang berkaitan jelas harus mematuhinya. 259 b. Melalui peradilan umum 260 Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka satu-satunya pihak atau lembaga yang berhak memutuskan atau menyatakan ada atau tidak adanya perbuatan melawan hukum adalah pengadilan melalui putusan. 261 Dengan tidak sempurnanya UU Nomor 8 Tahun 1999, alhasil banyak sengketa konsumen yang tidak menggunakan UU tersebut sebagai dasar menggugat. Mereka lebih memilih dalil perbuatan melanggar hukum (PMH). Kalaupun UU Perlindungan Konsumen dipakai sebagai dasar untuk menggugat, jarang ada yang menang. Hal ini tidak terlepas dari tidak berfungsinya BPSK yang seharusnya jadi jalur pertama penyelesaian sengketa konsumen. 262 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dapat dimungkinkan apabila: a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau
258
MA Akan Atur Mekanisme Pengajuan Keberatan Putusan BPSK, 24 Juli 2005, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 259 Hal ini diungkapkan oleh anggota BPSK Samarinda bidang Pelaporan, Mulia Akbar (Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK Tanpa Biaya, Loc. Cit.). Walaupun demikian, kenyataannya adalah di dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK diberikan kesempatan bagi para pihak yang keberatan untuk mengajukan keberatan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan. Selain itu, putusan daripada BPSK masih harus dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. 260 Pasal 48 UUPK menyatakan, Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. 261 Fredrik J. Pinakunary, Mengkaji Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, 16 Januari 2007, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. 262 MA Akan Atur Mekanisme Pengajuan Keberatan Putusan BPSK, Loc. Cit. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
107
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.263 Tuntutan wanprestasi bersumber dari adanya pelanggaran atas suatu perjanjian, sedangkan tuntutan PMH berasal dari dari adanya pelanggaran atas undang-undang. 264 Untuk hal tuntutan wanprestasi, maka biasanya konsumen juga akan mengacu pada klausul-klausul di dalam brosur ataupun Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang ada, dimana dapat diketahui adanya ingkar janji pengembang terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan sebelumnya. Untuk hal tentang perbuatan melawan hukum ada diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Jadi, dari ketentuan itu dapat ditarik unsur-unsur perbuatan melawan hukum, terdiri dari: 265 1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang
263
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 234. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Harus Dipisahkan, 8 Desember 2006, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 265 Fredrik J. Pinakunary, Loc. Cit. 264
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
108
berlaku dalam masyarakat. (Lihat: Putusan Lindenbaum-Cohen HR 1919 266); 2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesalahan; 3. Mengakibatkan kerugian; dan 4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian. Sebuah gugatan class action di bidang konsumen baru dianggap sah apabila diajukan lembaga perlindungan konsumen yang memenuhi syarat, yaitu harus berbentuk badan hukum atau yayasan. Jika tidak, gugatan dimaksud tidak layak dianggap sebagai gugatan class action. 267 Class action 268 dalam UUPK, adalah merupakan suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan. 269 Gugatan perwakilan atau class action pertama kali diakui dalam hukum nasional Indonesia, di dalam Pasal 37 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang 266
Putusan yang sangat terkenal dengan sebutan ‘landmark decision’ yang diputuskan oleh Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 tentang ‘onrechtmatige daad”. Dalam perkara yang bersangkutan itu telah dianggap berbuat demikian seseorang yang membujuk seorang buruh dari suatu perusahaan saingannya untuk memberikan keterangan-keterangan perihal cara-cara bekerja yang rahasia di dalam perusahaan tersebut. Jika perbuatan yang sedemikian itu telah menimbulkan kerugian, maka si pembuat itu akan dihukum mengganti kerugian itu (Subekti, Op. Cit., hal. 110). 267 Class Action harus Diajukan oleh Badan Hukum atau Yayasan, 2 Juni 2003, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 268 Ada beberapa persepsi keliru mengenai class action yang perlu diluruskan. Selama ini, class action sering dirancukan dengan hak gugat LSM. Gugatan class action selama ini juga harus melampirkan surat kuasa yang ditandatangani oleh anggota kelas. Selain itu, gugatan harus mencantumkan seluruh nama-nama anggota kelas dalam surat gugatan. Ada pula kesalahpahaman bahwa gugatan class action merupakan gugatan yang pembuktiannya berbeda dengan gugatan biasa. Selama ini, ada persepsi pada penggugat bahwa wakil yang mewakili kelas dalam gugatan harus terdiri dari banyak orang agar menimbulkan gaung politis. Padahal gugatan class action seharusnya cukup diwakili beberapa orang saja. (MA Siapkan Perma Class Action, 19 Februari 2002, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008). 269 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 231. (Bandingkan dengan pendapat Gregory Churchill, Pranata-pranata Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat, (Jakarta : 1980) (dalam Erman Rajagukguk, (et.al.), Op. Cit., hal. 71) yang menyatakan, Class action sebagai beberapa orang yang merasa dirugikan oleh suatu produk menuntut ganti rugi di pengadilan bukan untuk diri mereka sendiri, akan tetapi juga untuk semua orang yang telah mengalami kerugian yang sama). Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
109
Pengelolaan Lingkungan Hidup 270. Selain itu, class action di dalam UUPK sendiri ada diatur di dalam Pasal 46 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun memang merupakan suatu kenyataan bahwa sampai saat ini, belum ada pengaturan yang pasti bagaimana mengenai prosedur ataupun syarat untuk melakukan gugatan class action. 271 Tetapi menjawab kegusaran masyarakat selama ini, akhirnya Mahkamah Agung melahirkan juga peraturan yang memberi kemungkinan bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan dengan prosedur class action melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Di dalamnya diatur tentang ‘gugatan
perwakilan
kelompok’
atau
disingkat
dengan
‘gugatan
kelompok’. Dalam PERMA tersebut, class action diartikan sebagai “… suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
270
Pasal 37 UU No. 23 Tahun 1997 menyatakan, Dalam penyelesaian sengketa melalui Panitia Penyelesaian Sengketa Konsumen berlaku ketentuan sebagai berikut: Para pihak tidak diperkenankan untuk diwakili kuasa hukumnya, kecuali jika ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan, misalnya sakit atau meninggal; Tidak diperkenankan adanya gugatan rekonvensi; Perkara diperiksa oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang dan 1 (satu) orang panitera; Gugatan dapat diwakilkan kepada salah seorang konsumen yang sama yang menderita kerugian yang sama akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang sama; Putusan Panitia Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final. 271 MA Siapkan Perma Class Action, 19 Februari 2002, Loc. Cit. (Lihat juga Erman Rajagukguk, (et.al.), Op. Cit., hal. 81. dimana dikatakan bahwa dari segi substansi, tujuan dan kegunaan serta asas-asas persidangan, class action dapat diterapkan di Indonesia. Namun, apabila dilihat dari segi kedudukan hakim dan hukum acara pengadilan negeri di Indonesia, maka class action sulit untuk dapat diterapkan. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
110
dan anggota kelompok dimaksud.” 272 Selain itu, perlu pula diperhatikan dalam hal ini adalah ketentuan di dalam Pasal 4 PERMA tersebut yang menegaskan bahwa untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan untuk memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok.273 Gugatan kelompok merupakan alih bahasa dari acara peradilan yang dikenal di beberapa negara sebagai “class action” atau “collectieve actiebevoegdheid”. Pada dasarnya, acara gugatan kelompok ini disediakan untuk perkara yang peristiwanya merupakan peristiwa yang terjadi terhadap sekelompok orang yang jumlahnya besar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk efisiensi, karena dirasakan tidak praktis apabila perkara diajukan satu persatu oleh orang-orang dalam kelompok untuk hal dan tuntutan yang sama. 274 Adapun yang menjadi dasar daripada gugatan class action adalah sebagai berikut: 275 1. Wakil yang maju ke pengadilan dalam gugatan class action telah memenuhi asas point d’interet point d’action 276, karena wakil tersebut merupakan pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
272
Shidarta, Op. Cit., hal. 65-66. E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action : Suatu Studi Perbandingan & Penerapannya di Indonesia, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2002), hal. 160. 274 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hal. 117. 275 E. Sundari, Op. Cit., hal. 159). 276 Asas yang menyatakan bahwa pihak yang kedudukannya mewakili kepentingan suatu kelompok di pengadilan itu haruslah pihak yang berkepentingan walaupun secara tidak langsung (Ibid., hal. 151). 273
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
111
2. Gugatan perwakilan dalam arti class action adalah sesuai dengan prinsip gugatan perwakilan berdasarkan penunjukan oleh hukum sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata Indonesia. 3. Dengan adanya pemberitahuan yang akan diikuti dengan kesempatan untuk menyatakan ikut masuk sebagai pihak (opt’in) atau tidak menyatakan keluar sebagai pihak (opt’out), akan memenuhi asas inisiatif berperkara datang dari para pihak serta asas keadilan. 4. Tidak adanya keharusan untuk memperoleh surat kuasa terlebih dahulu tersebut akan menjamin terciptanya peradilan yang lebih sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Selain itu, dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK juga diatur tentang gugatan yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing, atau dikenal juga dengan NGO’s standing. 277 Untuk memiliki legal standing tersebut, maka LKPSM yang menjadi wakil konsumen haruslah tidak berstatus sebagi korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang membedakan antara gugatan class action dengan NGO’s legal standing. Dalam prakteknya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sering mengajukan gugatan atas dasar NGO’s legal standing ini. 278 Yang paling penting bagi sebuah LKPSM untuk dapat mengajukan gugatan dengan
277
Shidarta, Op. Cit., hal. 67. Ibid., hal. 70-71. Selain UUPK, ternyata NGO’s legal standing ini juga diterima dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan juga di dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 278
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
112
NGO’s legal standing adalah LKPSM tersebut haruslah diakui oleh Pemrintah. 279
279
Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 59/2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat menyatakan bahwa, Pemerintah mengakui LKPSM yang memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 2. Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum di dalam anggaran dasarnya. Tentang pendaftaran yang dimaksud tersebut, maka harus mengacu kepada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 tanggal 13 Juni 2002. Yang istimewa dalam pasal ini adalah ketentuan di dalam ayat (2) yang memberikan legitimasi bagi LKPSM yang sudah terdaftar tersebut untuk dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat dinarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pesatnya perkembangan ekonomi juga secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan semakin berkembang pula kelompok masyarakat konsumen. Masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan produk, baik barang dan/atau jasa tentu haruslah mendapat perlindungan. Disadari atau tidak, ternyata selama ini konsumen berada pada posisi yang lemah dan cenderung dirugikan oleh perilaku pelaku usaha ‘nakal’. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), setidaknya diharapkan akan dapat menjadi suatu hal yang dapat memberikan jaminan perlindungan bagi terpenuhinya hak-hak konsumen. Selain itu, di dalam prakteknya UUPK mnerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) guna lebih menjamin kedudukan konsumen terhadap perilaku pelaku usaha. Yang paling penting dalam hal ini adalah batasanbatasan di dalam UUPK tidak semata untuk membatasi ruang gerak pelaku usaha, tetapi lebih dimaksudkan untuk mendorong perilaku positif pelaku usaha di dalam persaingan secara sehat. Hal ini tentunya akan menjadi faktor penunjang ditingkatkannya kualitas dan daya saing produk-produk nasional. 2. Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi, perumahan sebagai salah satu hal utama di dalam komposisi kebutuhan hidup mau tidak mau wajib dipenuhi oleh masyarakat dari golongan dan tingkat ekonomi yang bagaimanapun tanpa
114
terkecuali. Hal ini mendorong tumbuhnya juga pengembang-pengembang baru ataupun yang telah lama ada, untuk semakin berkreasi sehingga dapat semakin menarik hati konsumen perumahan. Namun, konsumen perumahan seringkali diabaikan hak-haknya, sementara kewajiban dituntut untuk selalu wajib dipenuhi. Apalagi dalam hal KPR, tentunya peran serta pihak perbankan juga cukup penting. Klausul eksonerasi/perjanjian baku yang bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak280 yang bertanggung jawab, dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya, di samping masih banyak pula permasalahan seputar KPR. Dewasa ini, klausul baku sudah dianggap sesuatu hal yang wajar dalam praktek sehari-hari. Padahal, nyata-nyata di dalam perjanjian baku, kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli 281 pihak kreditur
membuka
peluang
luas
baginya
untuk
menyalahgunakan
kedudukannya. Pengusaha hanya mengatur hak-haknya, tetapi tidak dengan kewajibannya. Dari segi lain, perjanjian baku hanya memuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul konsumen (debitur). Perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan. 282
280
Baik Hugo de Groot, Thomas Hobbes, maupun Immanuel Kant setuju dengan prinsip asas kebebasan berkontrak dan menganggap bahwa kebebasan berkontrak adalah hak fundamental (asasi) manusia yang berlaku secara universal, tetapi moralitas dan keadilan harus tetap dijunjung tinggi serta intervensi pemerintah tetap diperlukan untuk melindungi kepentingan rakyat dan mengusahakan terjadinya keseimbangan dan keselarasan demi tercapainya keadilan bagi kepentingan pihak-pihak yang membuat perjanjian itu sendiri (Syarip Hidayat, Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Mazhab Hukum Alam serta Kondisi dalam Praktek di Indonesia, LIPI, 3 Desember 2007). 281 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan definisi, Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Melihat substansi pada UU No. 5/1999 (terkait pula Pasal 17) tentang Monopoli, maka terlihat gambaran jelas bahwa perbuatan monopoli dapat dikategorikan melanggar Hukum Persaingan. Tetapi, patut dicermati bila kedudukan monopoli ini didapat melalui persaingan yang sehat yang sesuai dengan pendekatan pasal yang bersifat Rule of Reason, monopoli tidak dengan sendirinya menjadi kegiatan yang dilarang secara mutlak (Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hal. 96). 282 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 54. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
115
3. Di dalam praktek KPR masih sering sekali terjadi perselisihan di antara pengembang dengan konsumen, ataupun antara pihak bank pemberi KPR dengan konsumen. Hal yang lazim disebut dengan ‘sengketa konsumen’ ini memang sudah seringkali terjadi dalam praktek jual-beli satuan rumah atau apartemen. Pada prinsipnya, karena kerugian yang telah ditimbulkan oleh pelaku usaha, maka umumnya konsumen menuntut pembayaran ganti rugi/kompensasi atas wanprestasinya pengembang. Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui sebuah badan yang disebut pengadilan. Namun, selama ini para pelaku bisnis selalu mencari alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi, misalnya melalui badan arbitrase. 283 Walaupun begitu, ternyata dalam prakteknya, masih banyak dari pihak-pihak yang bersengketa lebih memilih untuk menyelesaikan masalah yang timbul secara damai. Bahkan, sesuai dengan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang diperbarui dengan PBI Nomor 10/1/PBI/2008, malahan disarankan agar sengketa konsumen yang timbul diselesaikan secara mediasi. Dengan lahirnya UUPK, juga diberikan kewenangan bagi BPSK untuk menangani sengketa yang ada, baik itu melalui jalur konsiliasi, mediasi ataupun arbitrase. Bilamana ternyata upaya damai memang tidak berhasil, sengketa konsumen tersebut dapat dibawa kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tersebut ataupun melalui jalur peradilan pada umumnya. Gugatan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tersebut di dalam Pasal 46 UUPK, dimana termasuk pula gugatan secara class-action.
283
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 311..
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
116
B. Saran Dan dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk disampaikan beberapa saran sebagai masukan, sebagai berikut: 1. Penjelasan Umum UUPK menyatakan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya yang rendah. Selain itu, sangat tidak mudah untuk mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang orientasinya untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, untuk benar-benar lebih memperhatikan kepentingan konsumen. UUPK sebagai satu-satunya undang-undang untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif, di samping peraturan-peraturan lainnya, sebetulnya diharapkan mampu
menjadi piranti hukum untuk dapat
memberdayakan konsumen itu sendiri. Namun, melihat kenyataan bahwa masih banyak sekali muncul permasalahan konsumen, yang sebagian besar dikarenakan ketidaktahuan konsumen akan hak-haknya ketika bertransaksi dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, sangat diperlukan sekali bagi pihak terkait (baik dari pihak Pemerintah, BPKN, LPKSM, ataupun lembaga lain yang berwenang) untuk segera melakukan upaya-upaya sosialisasi dan pengenalan lebih dekat lagi UUPK itu kepada masyarakat, agar ke depannya masyarakat memahami dan semakin sadar akan haknya sebagai konsumen. Hal ini bisa ditempuh melalui penyuluhan langsung, ataupun bisa melalui seminar, diskusi publik ataupun melalui metode workshop. 2. Kewenangan dan tugas yang ada pada BPSK saat ini hendaknya lebih dioptimalkan. Seperti dicantumkan dalam Pasal 52 huruf (c) UUPK, BPSK berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
117
baku di dalam suatu perjanjian. Kemudian, pengawasan yang dilakukan juga harus dibarengi dengan sikap proaktif BPSK dalam mensosialisasikan kepada pihak pelaku usaha (termasuk pula dalam hal KPR adalah pihak perbankan) dan konsumen, terkait adanya pelaporan atas PPJB ataupun perjanjian lainnya yang terkandung klausul-klausul baku di dalamnya, sebelum dipersiapkan untuk dibakukan ke dalam bentuk formulir yang akan diperbanyak secara massal, sehingga akan lebih memudahkan pengawasan. Apabila memang perjanjian tersebut tidak mampu memberikan porsi yang seimbang antara pihak pelaku usaha dengan konsumen, yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perselisihan di kemudian hari, maka perjanjian tersebut akan dibatalkan dan/atau direvisi. Hal yang tidak kalah penting dalam hal perlindungan konsumen di dalam perjanjian KPR, adalah menegakkan kembali etika profesi konsultan hukum dan/atau notaris. Bagaimanapun juga, perlu disadari bahwa lahirnya perjanjian baku yang selama ini digunakan dalam perjanjian KPR tidak terlepas dari peran serta dan andil yang diberikan oleh konsultan hukum dan/atau notaris. Sudah waktunya, di dalam memberikan nasihat kepada kliennya, para konsultan hukum dan notaris, secara moral juga bertanggung jawab untuk memberikan advis dengan tetap mengutamakan nilai-nilai keadilan dan mengacu kepada asas kesetaraan dan persamaan hak antara pelaku usaha dan konsumen. 3. Melihat kepada porsi keanggotaan BPSK yang di dalamnya sudah meliputi unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha (Pasal 49 ayat (4) UUPK), maka sudah seharusnya BPSK dapat bersifat lebih proaktif lagi untuk Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
118
mengambil tindakan terhadap pengaduan-pengaduan konsumen dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UUPK. Selain itu, untuk memaksimalkan kinerjanya tersebut, BPSK harus segera menjalin kerja sama dengan pihak lainnya yang berwenang dalam hal pengawasan bidangbidang tertentu, seperti halnya dengan Bank Indonesia yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kucuran dana KPR bankbank di Indonesia; ada juga lembaga BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), atau LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat), dan lembaga lainnya yang mungkin akan dibentuk nantinya. Untuk hal putusan yang dikeluarkan oleh BPSK yang bersifat final dan mengikat, haruslah diberikan kewenangan untuk langsung dieksekusi, dimana tanpa perlu dimohon lagi eksekusi ke Pengadilan Negeri. Boleh saja apabila putusan yang final dan mengikat tersebut kemudian didaftarkan kepada Pengadilan Negeri untuk lebih pasti. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa permasalahan yang diajukan ke BPSK umumnya adalah masalah konsumen yang masuk ruang lingkup keperdataan, yang putusannya tentu hanya berkaitan dengan para pihak saja. Dalam hal ini, sudah seyogianya BPSK secara langsung diberikan wewenang penuh untuk menangani sengketa konsumen. Pengecualian diberikan terhadap sengketa yang mengandung unsur pidana, sehingga tetap bisa diajukan kepada pengadilan, karena hal ini sudah mengarah kepada hukum publik. 4. Dalam hal timbulnya sengketa konsumen, yang paling utama adalah diupayakan penyelesaian sengketa secara damai antara kedua belah pihak. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah upaya damai tentu akan Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
119
membuat para pihak kembali dapat duduk bersama guna mencari solusi terbaik atas sengketa yang timbul. Untuk hal ini, dapat dilibatkan pihak ketiga sebagai penengah, seperti halnya BPSK (bisa bertindak sebagai konsiliator, mediator atau arbiter). Pelu diingat adalah jadikanlah pengadilan sebagai jalan paling terakhir di dalam upaya menyelesaikan sengketa. 5. Di samping saran tersebut di atas, dirasakan perlu sekali untuk memberikan sedikit input bagi para calon pembeli rumah ataupun apartemen. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan di dalam melakukan transaksi atas objek perumahan: a. Pada tahap pra-transaksi i. Cari informasi sebanyak mungkin tentang segala sesuatu tentang objek perumahan yang hendak dibeli, mulai dari status tanah, bonafiditas pengembang, kredibilitas bank penyalur KPR, dan sebagainya. ii. Bersikap aktif dalam menerima informasi dalam bentuk iklan atau brosur pameran perumahan dan buktikan kebenaran klaim iklan tersebut. Baca dan waspadai klausul baku yang ada. iii. Periksa segala kelengkapan administrasi perizinan perumahan, seperti Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah (SIPPT), nomor sertifikat tanah, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan juga surat-surat penunjang lainnya yang penting. iv. Ingatlah untuk tidak sekali-kali membayar uang muka (down payment/panjar) atau cicilan sebelum menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas satuan rumah dimaksud.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
120
v. Ketika membeli rumah bersikaplah kritis dan teliti. Yang harus diingat adalah senantiasalah berpikir bahwa “Lebih baik bertanya di awal daripada menyesal kemudian.” b. Pada tahap transaksi i. Sebelum menandatangani PPJB yang ada, yakinkan dahulu untuk membaca dan memahami dengan jelas materi yang terdapat di dalamnya. Pastikan segala hal yang telah diperjanjikan dan telah disepakati bersama sebelumnya tertuang di dalamnya. ii. Apabila ternyata materi yang ada dalam PPJB kurang dapat dipahami dengan jelas, dan bahkan membingungkan, maka konsultasikanlah hal tersebut dengan konsultan hukum/lembaga konsumen terlebih dahulu. c. Pada tahap purna-transaksi i. Setelah unit satuan rumah yang ada selesai dan hendak diserahterimakan, maka periksa dengan teliti terlebih dahulu segala sesuatu yang ada, apakah sudah sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam PPJB. ii. Apabila pembayaran atas unit satuan rumah tersebut sudah selesai dan lunas, maka konsumen berhak atas sertifikat pecahan hak sebagai bukti kepemilikan atas
rumah
tersebut.
Konsumen
dapat
menegur
pengembang yang lalai atau tidak mau tahu mengenai sertifikat ini.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Jakarta, 1995. Badrulzaman, Mariam Darus, (et.al.), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Penerbit Alumni, 1994. ------------, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), Bandung : Penerbit Alumni, 1981. ------------, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Penerbit Alumni, 1978. Collins, John W., (et.al.), Study Guide, Business Law, Text and Cases, Prepared by Janni Hiller, John Willey & Sons Inc., 1986. Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Hartono, Sri Redjeki, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Penerbit CV. Mandar Madju, 2000. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2002. Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Nasution, AZ., Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Medan : Penerbit Diadit Media, 2002. Oughton, David and John Lowry, Textbook on Consumer Law, London : Blackstone Press Limited, 1997. Parlindungan, AP., Komentar atas Perumahan dan Pemukiman dan UndangUndang Rumah Susun, Bandung, Mandar Maju, 1997.
122
Rajagukguk, Erman, (et.al.), Hukum Perlindungan Konsumen, Penyunting : Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Bandung : CV. Mandar Maju, 2000. Salam. Moch. Faisal, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Bandung : CV. Mandar Madju, 2007. Saliman, Abdul R., (et.al.), Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta : Kencana, 2005. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi 2006, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006. Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Sidabalok, Janus, Pengantar Hukum Ekonomi, Medan : Penerbit Bina Media, 2000. ------------, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Simatupang, Taufik H., Aspek Hukum Periklanan, dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004. Sirait, Ningrum Natasya, Hukum Persaingan di Indonesia, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994. Sri Wahyuni, Endang, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung : PT. Intermasa, 1978. Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999. ------------, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Sundari, E., Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan & Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2002. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
123
Suparni, Niniek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Editor : Andi Hamzah, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Susilo, Zumrotin K., Penyambung Lidah Konsumen, Jakarta : Puspa Swara, 1996. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Widjaja, Gunawan & Ahamad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Winardi, Kamus Ekonomi, Edisi ke-8, Bandung : Penerbit Alumni, 1984. ------------, Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi ke-V, Bandung : Penerbit Tarsito, 1979. Wojowasito, S. & Tito Wasito, Kamus Lengkap, Inggris – Indonesia, Malamg : Penerbit Hasta, 1980. __________, Law and Trade Issues of The Japanese Economy, American and Japanese Perspectives, Seattle and London : University of Washington Press, 1986. __________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Third Edition, Oxford : Oxford University Press, 2003.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23. Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
124
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Artikel Bisnis Indonesia Online, UU Terkait Perumahan Direvisi, 15 April 2008, dapat diakses di www.Bisnis.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Harian Analisa, KPR BTN Berikan Pelayanan kepada Semua Kalangan, 11 Mei 2008. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Konsumen Masih Butuh KPR, Jakarta, 2003, dapat diakses di http://www.sinarharapan.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Kompas Online (
[email protected]), Nasib Konsumen Perumahan setelah Pengetatan Uang, 01 September 1997, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Media Indonesia, Permintaan Banyak, Kredit Modal Kerja Minim, Jakarta, 11 Juli 2003. Media Indonesia, Untung Rugi Gunakan KPR Suku Bunga Rendah Belum Tentu Lebih Murah, Jakarta, 11 Juli 2003. Majalah ‘Estate’, KPR-KPR Pilihan Konsumen, 30 April 2006. Majalah Property Review, Edisi 05, bulan Oktober 2007. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 11 Desember 2007, dapat diakses di http://hukumpedia.com/index.php?title=Badan_Penyelesaian_Sengketa_K onsumen, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Bank Harus Bisa Selesaikan Sendiri Sengketa dengan Nasabah, 31 Maret 2008, diperoleh dari www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. Berselancar Sembari Meneropong Badai, Majalah Bisnis Properti No. 54, bulan April 2008, hal. 33. Class Action harus Diajukan oleh Badan Hukum atau Yayasan, 2 Juni 2003, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
125
Kredit
Pemilikan Rumah, diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kredit_pemilikan_rumah, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008.
KPR – Bunga yang Jadi Masalah, 16 Mei 2008, dapat diakses di laman-blog property&investasi pada www.WordPress.com, terakhir lagi diakses pada tanggal 26 Mei 2008. MA Akan Atur Mekanisme Pengajuan Keberatan Putusan BPSK, 24 Juli 2005, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Menakar Kesaktian Karcis Parkir, Warta Ekonomi, Edisi 08, 28 April 2006. Mengenal BPSK Semarang, Peradilan Konsumen Tak Kenal Banding, 16 Februari 2005, dapat diakses di www.suaramerdeka.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. Penyelesaian Konflik, diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK Tanpa Biaya, 17 Februari 2006, dapat diakses di original-link http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Samarinda&id=14 8734, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. Perencanaan Kepemilikan Rumah melalui KPR, Rumah Jogja Magazine, Edisi 3, bulan Agustus 2007. Perjanjian Standar Tidak Bisa Dibiarkan Tumbuh Liar, 5 Februari 2007, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Sistem Mediasi Nasabah Perbankan Masih Lemah, 31 Maret 2008, dapat diakses di www.Kapanlagi.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. http://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 17 Maret 2008. Agusta, Fachry, Rumahku Sayang, Rumahku Bodong, Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 2007. Anggara, Persoalan-persoalan di Seputar Perlindungan Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Arya, Indonesia dalam Data Statistik, 11 Desember 2006. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
126
Bawazier, Mustafa, Rumah untuk Rakyat Tanggung Jawab Siapa?, 8 April 2008, dapat diakses di www.MinangkabauNews.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Direktorat Perlindungan Konsumen, Mencermati Klausula Baku Perumahan, Jakarta, 22 Mei 2008. Fauzie, Abdul Wahid, Pilihlah Rumah yang Aman dan Nyaman, 22 Maret 2008, dapat diakses di www.kontan-harian.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Firman, Hak Konsumen, 18 Oktober 2007, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Gaharpung, Marianus, Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen, Surabaya, diperoleh dari http://www.google.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Gultom, Efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen bagi Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Jasa Bengkel Secrvice Mobil, 09 Desember 2007, dapat diakses di www.blogkomunitashukum.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Guntoro, Tips Membeli Rumah dengan Fasilitas KPR Bank, Jakarta : Suara Merdeka, 24 Maret 2008, dapat diakses pada www.suaramerdeka.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Hidayat, Syarip, Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Mazhab Hukum Alam serta Kondisi dalam Praktek di Indonesia, LIPI, 3 Desember 2007. Kushartanto, Ismi, Saat ini lebih untung KPR Syariah, dalam Majalah Bisnis Properti No. 54, April 2008, hal. 31. Lubis, Asron, Perlindungan Konsumen Jasa Konstruksi, Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 2008. Marin,
Lucian, Tips Yuridis Membeli Rumah, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008.
Nasution, AZ., Perlindungan Konsumen, MaPPI, 2004, dapat diakses di www.pemantauperadilan.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Permono, W.A., Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 5 April 1999, diperoleh dari www.google.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
127
Pinakunary, Fredrik J., Mengkaji Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, 16 Januari 2007, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Qomariyah, Nurul, 74,7% Konsumen Beli Properti Pakai Fasilitas Kredit, Jakarta, 14 Mei 2008, dapat diakses di www.detikfinance.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Rahardjo, Jojo, Pengalaman Berperkara Melalui BPSK, 27 Juni 2007, dapat diakses di www.mediakonsumen.com, terakhir kali diakses pada tanggal 26 Mei 2008. Riza Sofyat, Dedi Setiawan, dan M. Agus Yozani, Duit Amblas, Apartemen Bablas, Majalah TRUST, No. 12, bulan Januari 2008. Sanda, Abun, Teliti Sebelum Membeli Rumah, 14 Februari 2008, dapat diakses di www.Kompas.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Suzetta, Muhammad Eggi H., Pengetahuan Hukum untuk Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, yang diakses terakhir pada tanggal 6 Mei 2008. Syarif Hidayat, Windarto, dan Kun Wahyu Winasis, Rame-rame Menyerbu KPR, dapat diakses di www.majalahtrust.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Thamrin, Muhammad Irsyan, Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan, Rumah Jogja Magazine, 3 Agustus 2007, dapat diakses di www.rumahjogjamagz.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Turatmiyah, Sri, Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR-BTN, telah dipresentasikan dalam Seminar Terbatas di Bagian Perdata Fakultas Hukum UGM tanggal 2 September 2004. Universitas Kristen Maranatha, Hukum Perlindungan Konsumen, tanpa tahun, diperoleh dari www.google.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Utama, Indra, Borong Properti Lewat KPR Murah, Majalah Property & Bank, 21 Juni 2007, dapat diakses di www.propertinbank.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Wai, Gus, Kenalkah Anda dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 24 Mei 2007, dapat diakses di www.Wikimu.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
128
Yayasan Konsumen Surabaya, Konsumen Perumahan, Kemana Mengadu?, 24 Nopember 1997, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. Jumlah Penduduk - beasiswa_kpt_co_id.htm, terakhir kali diakses pada tanggal 27 Mei 2008.
Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009