PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PIMPINAN PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KETENAGALISTRIKAN (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
BUDI PRAKARSA KETAREN NIM: 050200148 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan nabi muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam. Skripsi
ini
berjudul:
Pertanggungjawaban
Pidana
Pimpinan
Perusahaan yang melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau dari Undang-undang Ketenagalistrikan (Studi kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn). Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU. 4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU. 5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU. 6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan bapak selama ini kepada penulis. 8. Alwan, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU atas perhatian dan bimbingan ibu kepada penulis selama penulisan skripsi. 9. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. 10. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
11. Ayahanda dan ibunda yang tercinta, sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini. 12. Buat teman-temanku yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku. 13. Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan 05 Desember 2009
Budi Prakarsa Ketaren
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................................... ABSTRAKSI ....................................................................................................... BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang.............................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................................ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................................... 6 D. Keaslian Penulisan ........................................................................ 7 E. Tinjauan Kepustakaan ................................................................... 8 F. Metode Penelitian ......................................................................... 14 G. Sistematika Penulisan ................................................................... 18
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI ........................... 20 A. Kesalahan sebagai syarat pertanggungjawaban pidana .................. 20 B. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ............................................. 30 C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ......................................... 37
BAB III
TINJAUAN
TERHADAP
KETENAGALISTRIKAN
DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN .................................... 41 A. Pengaturan
tentang
Ketenagalistrikan
dalam
Peraturan
Perundang-undangan .................................................................... 41 B. Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Ketenagalistrikan .......... 49 Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PIMPINAN PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN PENCURIAN LISTRIK ......................... 60 A. Kasus ............................................................................................ 60 B. Analisa Kasus ............................................................................... 66
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 70 C. Kesimpulan................................................................................... 70 D. Saran ............................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
ABSTRAKSI
Salah satu fenomena kehidupan masyarakat yang sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana pencurian listrik, baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun badan hukum yang notabene dijalankan oleh perseorangan atau organisasi tertentu. Dalam hal terjadinya pencurian listrik yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam menjalankan usahanya, maka yang paling bertanggung jawab atas pencurian tersebut adalah pimpinan perusahaan tersebut. Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan yang dipimpinnya, termasuk dalam hal terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan sebagai sebuah korporasi yang juga merupakan subjek dalam hukum. Dengan demikian yang dapat mewakili sebuah perusahaan dalam perbuatan hukum tertentu adalah oknum-oknum yang menjalankan perusahaan tersebut, yang dalam hal ini adalah pimpinan perusahaan. Penelitian ini mengangkat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pimpinan perusahaan yang melakukan pencurian listrik, yakni Bagaimana Undang-undang ketenagalistrikan mengatur tentang pencurian listrik dan Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pimpinan perusahaan yang melakukan tindak pidana pencurian listrik ditinjau dari undangundang ketenagalistrikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Undang-undang Ketenagalistrikan mengatur pencurian listrik sebagai tindakan yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya. Hal ini secara jelas dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985. Selain itu, di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009, pencurian listrik ini diatur dalam Pasal 51 ayat (3). Undang-undang ketenagalistrikan tidak menyebutkan secara jelas adanya pertanggungjawaban dari perseorangan maupun korporasi dalam ketentuan pidananya. Penerapannya di lapangan bergantung dari interpretasi hakim untuk menilai siapa yang harus bertanggungjawab dalam hal terjadinya tindak pidana pencurian listrik, baik yang dilakukan oleh perseorangan, telebih-lebih yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau korporasi.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum dirumuskan untuk mengatur dan melindungi kepentingankepentingan masyarakat agar tidak terjadi benturan serta untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hukum merupakan suatu pranata sosial, yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur
masyarakat.
Namun
fungsinya
tidak hanya untuk
mengatur
masyarakat saja melainkan mengaturnya dengan patut dan bermanfaat. Dengan demikian hukum bukan suatu karya seni yang adanya hanya untuk dinikmati
oleh
orang-orang
yang
menikmati
saja,
bukan
pula
suatu
kebudayaan yang hanya ada untuk bahan pengkajian secara sosial-rasional tetapi hukum diciptakan untuk dilaksanakan, sehingga hukum itu sendiri tidak menjadi mati karena mati kefungsiannya. Ada berbagai hukum yang berlaku di Indonesia salah satunya adalah hukum
pidana.
Hukum
pidana
menghambat perbuatan-perbuatan aturan-aturan hukum yang merupakan
bagian
dari
ini
bertujuan
masyarakat
berlaku,
karena
untuk
mencegah
atau
yang tidak sesuai dengan bentuk
hukum
pidana
pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
negara, serta meletakkan dasar-dasar dan aturan-aturan dengan tujuan untuk: 1 1. Menentukan perbuatan mana yang tidak dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Menetukan
kapan dan dalam hal apa, kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan
dengan
dilaksanakan apabila
cara ada
bagaimana
orang
yang
penanganan disangka
telah
itu
dapat
melanggar
larangan tersebut. Hukum pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih khusus mengenai hukum pidana, maka
pengertian
hukum
pidana
yang
diungkapkan
Simons
dalam
bukunya Leerboek Nederlandas strafrecht, memberikan definisi sebagai berikut: “Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan laranganlarangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat- syarat bagi akibat hukum itu dan kesemunya aturan-aturan untuk mengadakan (manjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”. 2 Dari definisi di atas maka dapatlah dijabarkan bahwa hukum pidana
1
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 1. 2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 7. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan pidana, perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. 2. Adanya pidana, penderitaan atau nestapa yang dibebankan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. 3. Adanya pelaku atau orang yang telah melakukan perbuatan yang dilarang menurut aturan-aturan hukum pidana yang berlaku. Ketiga unsur-unsur
tersebut
merupakan
rangkaian
yang saling
berkaitan satu sama lain, sehingga harus ada dalam setiap permasalahan yang berkaitan dengan hukum pidana, dengan demikian dapat dilihat bahwa hukum
yang mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan
menetapkan apa yang diharuskan. Pengaturan hukum yang demikian, dapat diketahui perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan dapat diketahui pula alasannya seseorang untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan reaksi sosial pada masyarakat. Reaksi sosial dapat pula dikatakan sebagai usaha mencapai tata tertib sosial, bentuk reaksi sosial ini akan semakin nampak pada saat persoalanpersoalan dan ancaman kejahatan meningkat secara kuantitas dan kualitas. Pengendalian sosial melalui hukum ini akan menghadapkan individu atau anggota masyarakat
pada
alternatif
pilihan
yaitu
penyesuaian
atau
penyimpangan, sedangkan dalam bentuk penyimpangan atau pelanggaran yang paling serius sifatnya adalah pelanggaran hukum pidana yang disebut Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
kejahatan. Kejahatan merupakan fenomena kehidupan masyarakat, karena kejahatan juga masalah manusia yang berupa kenyataan sosial. Penyebabnya
kurang
dipahami, karena dapat terjadi dimana dan kapan saja dalam pergaulan hidup. Sedangkan naik turunnya angka kejahatan tersebut tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik ekonomi, budaya dan sebagainya. Salah satu fenomena kehidupan masyarakat yang sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana pencurian listrik, baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun badan hukum yang notabene dijalankan oleh perseorangan atau organisasi tertentu. Listrik merupakan salah satu hajat hidup yang sangat vital. Baik bagi masyarakat umum, apalagi bagi kegiatan ekonomi yang mengandalkan tenaga listrik sebagai pendukung kelangsungan usaha atau penggerak utama (primemover) bagi kegiatan produksinya. Dengan jumlah pelanggan PLN yang tercatat lebih dari 4 juta rumah tangga, dapat dipastikan tidak sedikit desa dan kampung di seantero Nusantara ini yang belum terjaring oleh distribusi listrik. Ada juga yang sudah tersambung. Kondisi itu disebabkan oleh berbagai faktor. Yang utama tentu saja memang kapasitas pembangkit listrik sendiri yang masih terbatas. Demikian pula lokasi pembangkit yang memerlukan jaringan transmisi yang cukup jauh untuk terhubungkan dengan sentra penduduk. Ditambah lagi untuk jaringan distribusi ke rumah-rumah, dan praktik sambungan gelap yang tak sehat, menyebabkan losses yang besar sehingga memengaruhi keekonomian dalam Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pemasokan listrik ini. Keadaan yang demikian tentunya sungguh ironi jika dikaitkan dengan maraknya pencurian listrik yang dilakukan oleh berbagai oknum, baik dari kalangan pemakai rumah tangga, maupun dari kalangan pengusaha yang mengoperasikan perusahaan mereka dengan meggunakan tenaga listrik yang diperoleh secara ilegal, yakni melaui tindakan pencurian. Jelas hal ini sangat mempengaruhi keterbatasan ketersediaan tenaga listrik yang harus dipenuhi oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memasok aliran listrik ke daerah-daerah yang notabene belum terjangkau aliran listrik. Dalam hal terjadinya pencurian listrik yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam menjalankan usahanya, maka yang paling bertanggung jawab atas pencurian tersebut adalah pimpinan perusahaan tersebut. Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan yang dipimpinnya, termasuk dalam hal terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan sebagai sebuah korporasi yang juga merupakan subjek dalam hukum. Dengan demikian yang dapat mewakili sebuah perusahaan dalam perbuatan hukum tertentu adalah oknum-oknum yang menjalankan perusahaan tersebut, yang dalam hal ini adalah pimpinan perusahaan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka tulisan ini mengangkat masalah pertanggungjawaban pimpinan perusahaan tersebut menjadi sebuah skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan yang melakukan Tindak
Pidana
Pencurian
Listrik
Ditinjau
dari
Undang-undang
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Ketenagalistrikan
(Studi
kasus
Putusan
PN.
Medan
No
Reg.
2675/Pid.B./2004/PN.Mdn).
B. Permasalahan Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana Undang-undang ketenagalistrikan mengatur tentang pencurian listrik? 2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pimpinan perusahaan yang melakukan tindak pidana pencurian listrik ditinjau dari undang-undang ketenagalistrikan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui pengaturan tentang pencurian listrik menurut Undang-undang ketenalistrikan b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pimpinan perusahaan yang melakukan tindak pidana pencurian listrik ditinjau dari undangundang ketenagalistrikan 2. Manfaat a. Manfaat teoritis 1. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan dalam bidang hukum pidana pada khususnya. 2. Memberikan suatu gambaran yang lebih nyata mengenai masalahmasalah yang ada dalam tindak pidana pencurian listrik yang Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dilakukan oleh pimpinan perusahaan sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut, khususnya mahasiswa fakultas hukum. b. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar
dapat
lebih
mengetahui
dan
memahami
tentang
pertanggungjawaban pimpinan perusahaan yang melakukan pencurian listrik dikaitkan dengan undang-undang ketenagalistrikan. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai
“Pertanggungjawaban
Pidana
Pimpinan
Perusahaan
yang
melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau dari Undang-undang Ketenagalistrikan
(Studi
kasus
Putusan
PN.
Medan
No
Reg.
2675/Pid.B./2004/PN.Mdn) belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi- tingginya enam puluh rupiah”. Melihat dari rumusan Pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan “mengambil”. Menerjemahkan perkataan “zich toeeigenen” dengan “menguasai”, oleh karena didalam pembahasan selanjutnya pembaca akan dapat memahami, bahwa “zich toeeigenen” itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari pengertian “memiliki”,
yang ternyata sampai sekarang banyak dipakai di dalam
kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun benar bahwa perbuatan “memiliki” itu sendiri termasuk di dalam pengertian “zich toeeigenen” seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut. 3
3
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 49. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu pengertian unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur dalam arti luas. Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu unsurunsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP. Apabila diperhatikan rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dapat dibedakan antara unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyektif. Yang disebut unsur obyektif ialah: a. Perbuatan manusia Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundang-undangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur objektif. Namun demikian adakalanya
sifat melawan
hukumnya
perbuatan tidak saja pada unsur
objektif tetapi juga pada unsur subjektif yang terletak pada batin pelaku. Bentuk
suatu tindak pidana dengan unsur objektif antara lain terdapat pada
tindak pidana yang berbentuk kelakuan. Maka akibat yang terjadi dari perbuatan tidak penting artinya. Dari rentetan akibat yang timbul dari kelakuan tidak ada yang menjadi inti tindak pidana, kecuali yang telah dirumuskan dalam istilah yang telah dipakai untuk merumuskan
kelakuan tersebut.
pidana “pencurian”
yang
diatur
Misalnya kelakuan
dalam Pasal 362
dalam tindak
KUHP,
dirumuskan
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dengan
istilah “mengambil barang” yang merupakan inti dari delik tersebut.
Adapun akibat dari kelakuan; yang kecurian menjadi miskin atau yang kecurian uang tidak dapat belanja, hal itu tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana pencurian. b. Delik materil Delik materiil dimana dalam perumusannya tindak pidana hanya disebutkan akibat tertentu sebagai akibat yang dilarang. Apabila dijumpai delik yang hanya dirumuskan akibatnya yang dilarang dan tidak dijelaskan bagaimana kelakuan
yang
menimbulkan
akibat
itu,
harus
menggunakan
ajaran
“hubungan kausal”, untuk manggambarkan bagaimana bentuk kelakuan yang menurut logika dapat menimbulkan akibat yang dilarang itu. Dengan begitu baru dapat diketahui perbuatan materiil dari tindak pidana yang menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa diketahui siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itu, tidak dapat ditentukan siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan dengan akibat yang dilarang tersebut. c. Delik formil Delik formil ialah delik yang dianggap telah terlaksana apabila telah dilakukan suatu perbuatan yang dilarang. Dalam delik formil hubungan kausal mungkin diperlukan pula tetapi berbeda dengan yang diperlukan dalam delik materiil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa delik materiil tidak dirumuskan perbuatan yang dilarang sedang akibatnya yang dirumuskan secara jelas, berbeda dengan delik formil yang dilarang dengan tegas adalah perbuatannya. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Yang disebut unsur subjektif adalah: a. Dilakukan dengan kesalahan Delik yang mengandung unsur memberatkan pidana, apabila pelaku pencurian itu dengan keadaan yang memberatkan seperti yang tertera pada Pasal 365 ayat 1, 2, 3 dan 4 KUHP. Maka pelaku pencurian ini dapat dikenakan pencabutan hak seperti yang tertera dalam Pasal 336 KUHP yang berbunyi; “Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yanmg diterangkan dalam Pasal 362, 363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam Pasal 345 no 1-4”. b. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: 1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. 2. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. KUHP tidak memuat perumusan kapan seseorang mampu bertanggung jawab. Di dalam buku I bab III Pasal 44 berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit tidak dapat dipidana” Dari Pasal 44 KUHP tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada 2 hal yang menjadi penentuan keadaan jiwa si pembuat yaitu: 1.
Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Pemeriksaan keadaan pribadi si pembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, yang dilakukan oleh seorang dokter penyakit jiwa.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
2.
Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya. Adapun yang menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu dengan perbuatan tersangka adalah Hakim.
Kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa sistem yang dipakai dalam KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggung jawabkannya si pembuat adalah
deskriptif
normatif.
Deskriptif
karena
keadaan
jiwa
digambarkan apa adanya oleh psikiater, dan normative karena hakimlah yang menilai, bardasarkan hasil pemeriksaan, sehingga dapat menyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka kesimpulannya meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tetapi menurut bunyi buku ke II KUHP tersebut masih harus ditentukan bahwa perbuatan itu dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum dapat dipidana apabila sudah dinyatakan salah. Dapat diartikan salah apabila tindak pidana tersebut dalam hal apa dilakukan ternyata perbuatan itu dipengaruhi oleh ikhwal pada diri pelaku, artinya meskipun ia sudah melanggar larangan suatu aturan hukum pengenaan pidana dapat dihapuskan apabila perbuatan itu diatur dalam Pasal; Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49 ayat 1 dan 2, Pasal 50, Pasal 51 KUHP. Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana apa yang dilarang. Untuk menentukan rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat yang terdapat dalam rumusan tindak Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pidana itu, misalnya: Tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Unsur-unsur
yang
terdapat
dalam
rumusan
Pasal
362
KUHP
yang berbunyi; “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”, Unsur-unsurnya Pasal 362 KUHP sebagai berikut: 1. Barang siapa, 2. Mengambil barang sesuatu, 3. Barang kepunyaan orang lain, 4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti tersebut diatas, tanpa menitik beratkan pada satu unsur. Tiap-tiap unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan. 1. Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum; 2. Mengambil barang sesuatu; dengan sengaja mengambil untuk memiliki atau diperjual belikan. 3. Barang kepunyaan orang lain; mengambil barang yang telah menjadi hak orang lain. 4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum; mengambil d engan paksa atau tanpa izin pemilik hak barang tersebut. Apabila rumusan Pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsurunsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pengetahuan dan praktek peradilan. Untuk itu dalam menentukan tindak pidana yang digunakan, selain unsur-unsur tindak pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari tindak pidana tersebut.
F. Metode Penelitian Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Sifat dan Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam: 4 a. Penelitian hukum normatif b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif. 5 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006, hal. 15. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, 1994, hal. 105. 5
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process) 6. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatifteoritis dan analisis normatif-kualitatif. 7 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 8 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-
6
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2006, hal.
7
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, 2003, hal. 3. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007, hal.
118. 8
57. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dokumen terkait dan beberapa buku mengenai pertanggungjawaban pidana pimpinan perusahaan yang melakukan pencurian listrik.
2. Sumber Data Materi dalam skripsi ini diambil dari sekunder, yakni: a. Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 9 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undangundang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pimpinan perusahaan yang melakukan tindak pidana pencurian listrik, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 9
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 19. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: 10 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Alat Pengumpulan Data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran 10
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana pimpinan perusahaan yang melakukan pencurian listrik
5. Analisa data Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I:
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat
Penulisan,
Tinjauan
Kepustakaan,
Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB II :
Bab
ini
akan
pertanggungjawaban
membahas pidana
dan
tinjauan
terhadap
pertanggungjawaban
korporasi, yang memuat tentang kesalahan sebagai syarat pertanggungjawaban pidana, konsep pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi. BAB III:
Bab ini akan membahas tentang ketenagalistrikan dalam peraturan
perundang-undangan,
yang
mengulas
tentang
pengaturan tentang ketenagalistrikan dalam peraturan perundangundangan dan Ketentuan Pidana ketenagalistrikan dalam peraturan perundang-undangan. BAB IV:
Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana pimpinan perusahaan yang melakukan pencurian listrik, yang membahas dan menganalisa kasus yang berkaitan dengan pencuria listrik yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan dengan penerapan Undangundang tentang Ketenagalistrikan.
BAB V:
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB II TINJAUAN TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
A. Kesalahan sebagai syarat pertanggungjawaban pidana Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah menlanggar ketentuan, dia diberi pidana denda
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).11 Dalam buku-buku Belanda pada umumnya tidak mengadakan pemisahan antara dilarangnya perbuatan (strafbaar heid van het feit) dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut (strafbaar heid van de persoon). Dengan kata lain, schuld (kesalahan) tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederrechttelijkheid (sifat melawan hukum), tapi sebaliknya sifat melawan hukum mungkin ada tanpa adanya
kesalahan.
Moeljatno
mengartikannya;
orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Lebih lanjut Prof. Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat dipidana. Mislanya, seorang anak yang bermain dengan korek api dan menyalakannya di dinding rumah tetangga yang hingga menimbulkan bahaya umum baik terhadap barang maupun orang (Pasal 187 KUH Pidana). 12 Walaupun anak tersebut yang membakar rumah tetangga atau setidaknya karena perbuatan anak tersebut rumah
11
Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R. 1916 Nederland ( van Bammelen Arresten Strafrecht ), hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik – delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana. 12 Pasal 187 KUH – Pidana ; “ barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran , ledakan atau banjir, diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang; ke- 2 dengan pidana penjara paling lamalima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi orang lain; Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
tetangga terbakar (Pasal 188 KUH Pidana), 13 anak tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka harus diketahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt) itu : Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana , dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu , orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun kealpaan,
13
Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang lain. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang anak yang tiba-tiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya. Menurut Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur; 1. menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid), 2. menurut hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verwijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum Mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana (schuldist der Erbegriff der Vorraussetzungen, de aus der straftat einen personlichen Verwurf gegen den tater begrunden) Sudarto mengartikan kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya 14 adalah hubungan bathin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan pada si pembuat itu. Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delikmerupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens)”
14
Sama dengan pertanggungjawaban pidana
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Van Hattum berpendapat; “pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psychis yang terdapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pembuatnya. Karni yang menggunakan istilah “salah dosa“ mengatakan: “pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Salah dosa ada jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungjawabkan oleh si pembuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan salah. Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni : 1. adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu, dan 2. adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi. Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua tergantung
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pada yang pertama. Lebih jelasnya mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) diuraikan di bawah ini ; Kebanyakan KUH–Pidana Negara-Negara lain menentukan bahwa anak dibawah umur tertentu, misalnya 10 tahun tidak dapat diajukan tuntutan pidana. Namun dalam KUH-Pidana Indonesia tidak mengatur hal yang demikian. Dalam Swb. Nederland dahulu 1885 terdapat Pasal 38 yang menentukan bahwa anakanak dibawah 10 tahun tidak dapat dikenai pidana, kemudian pada tahun 1905 Pasal ini dihapus. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dibawah 10 tahun dimungkinkan penuntutan, tidak untuk dipidana melainkan diadakan tindakan (maatregelen). Hal ini mengakibatkan : 1. dengan hilangnya batas umur tersebut berarti anak-anak dibawah umur meskipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk (zonder oordeel des onderscheids) harus dipidana. Pada awalnya Pasal 37 (= Pasal 44 KUH-Pidana Indonesia 15 juga berlaku bagi anak-anak, namun Pasal tersebut tidak dapat digunakan atas dasar umur yang masih sangat muda. 2. terhadap anak-anak itu tentunya lebih lekas dianggap tidak ada kesengajaan/ kealpaan daripada orang dewasa
15
Pasal 44 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya , disebabkan keran jiwanya cacat dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling ) atau terganggu karena penyakit ( ziekelijke storing ), tidak dipidana “ ; (2) “ jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerinthakan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan “ ; (3) “ ketentuan tersebut daalm ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, pengadilan negeri “. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
3. kalau memang anak tersebut belum (belum cukup) mempunyai penginsyafan tentang makna perbuatannya, maka atas dasar tidak dipidana jika tak ada kesalahan dia dapat diperkecualikan. Jadi anak tersebut tidak dapat dipidana tidak didasarkan atas suatu Pasal dalam wet, melainkan atas hukum tak tertulis. Keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) merupakan masalah
kemampuan
bertanggungjawab
(toerekeningsvarbaarheid)
yang
merupakan dasar yang penting untuk adanya suatu kesalahan. Sebab keadaan jiwa terdakwa harus sehat atau normal sehingga diharapkan dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat. Jika keadaan jiwanya normal, fungsinya pun normal. Bagi orang yang kondisi kejiwaannya tidak normal tidak ada gunanya diadakan pertanggungjawaban, mereka harus dirawat dan dididik dengan cara yang tepat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 44 KUH-Pidana mengenai hubungan antara keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan, yang menimbulkan celaan. Delik dibagi menjadi : 1. delik dolus yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau yang diinsyafi sebagai demikian 2. delik culpa yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan Delik culpa dibagi menjadi :
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
1. delik materiil yakni delik yang mensyaratkan adanya akibat. Misalnya Pasal 188 KUH-Pidana. 16 2. delik formil yakni delik yang mensyaratkan adanya perbuatan. Mislanya pasla 480 17 dan Pasal 287 18 KUH-Pidana Dari pendapat-pendapat di atas maka kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, (ethische schuld) melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku (verantwoordelijkheid rechtens) seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel. Namun Sudarto berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan, harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass Recht ist das etische minimum”; setidak-tidaknya pembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata
16
Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang lain. 17 Pasal 480 KUH-Pidana : “ diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah karena penadahan ; ke- 1 barangsiapa membeli, menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan; ke-2 barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga,bahwa diperoleh dari kejahatan. 18 Pasal 287 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun “ Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dalam masyarakat yang terdiri dari sesama hidupnya dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyatan bahwa kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh di balik. Tidak selamanya orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang dapat dikatakan tidka susila itu, dapat dikatakan bersalah dalam arti patut dicela menurut hukum. Arti kesalahan: 1. kesalahan dalam arti seluas- luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya 2. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa : a. kesengajaan (dolus, opzet, vorsatz, atau intention) b. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence) ini pengertian kesalahan yuridis 3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa). Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normatif schuldbegriff). Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sebagai
hubungan
psychologis
(batin)
antara
pembuat
dan
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan 19 dan pada kealpaan. 20 Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan Pengertian kesalahan yang normatif, pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta- fakta yang ada. Dari pengertian- pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yakni: 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfaghigkeit) artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal, dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ” yang mampu. 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk – bentuk kesalahan, dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya. meskipun yang disebut dalam a dan b, ada
19
Kesengajaan; hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatannya (beserta
akibatnya) 20
Kealpaan; tidak ada kehendak
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana). 21 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus : 1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) 2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan 4. Tidak adanya alasan pemaaf
B. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.
21
Pasal 49 ayat (2) KUH-Pidana ; “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat kaena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana “ Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Baik
negara-negara civil law maupun common law, umumnya
pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang
dapat
menyebabkan pembuat
tidak
dipertanggungjawabkan. 22 Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability) Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban
22
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 260.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana. 23 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan berhubungan
dengan
pertanggunjawaban fungsi
represif
pidana
secara
negatif,
terutama
hukum
pidana.
Dalam
hal
ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada
23
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana. 24 Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak
pidana.
Kemudian
pertanggungjawaban
pidana
juga
berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syaratsyarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu. 25 Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. 24 25
Ibid, hal. 62-63. Ibid, hal. 64.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan0keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. 26 Dalam
menentukan
pertanggungjawaban
pidana,
hakim
harus
mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP). Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat
26
Ibid, hal.65.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana. Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana, 27 merupakan konsekuensi logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. 28 Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatanperbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral.
27
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13. 28 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undangundang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. 29 Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa
29
Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer. 30 Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan (kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Pengertian Korporasi Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dikatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan terorganisasi dari orang/ dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan. 31 Menurut Pasal 1 butir 1 uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yagn terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan merupakan badan hukum.
Korporasi tidak lain merupakan suatu badan yang dibentuk sebagai kebutuhan
30
Chairul Huda, Op.cit, hal. 69. H. Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2003. hal. 17. 31
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
untuk menjalankan suatu kegiatan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang alamiah (manusia). Korporasi (badan hukum) ini oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
2. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Sampai saat ini masih ada masalah penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Namun saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagau subjek tindak pidana. Perkembangan pengaturan korporasi sebagai subagai subjek tindak pidana dan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) sistem pertanggungjawaban, yaitu: 32 a. Pengurus
Korporasi
Sebagai
Pembuat,
Maka
Pengurus
yang
Bertanggungjawab Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk person). Sistem ini membedakan tugas mengurus dan pengurus. b. Korporasi Sebagai Pembuat, Maka Pengurus yang Bertanggungjawab Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi tersebut).
32
Ibid, hal. 12
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Dalam sistem pertanggungjawaban ini, korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, tetapi yang bertanggungjawaban adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan tegas dalam peraturan itu. c. Korporasi Sebagai Pembuat Sebagai yang Bertanggungjawab Sistem
pertanggungjawaban
ini
merupakan
permulaan
adanya
tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Dalam tindak pidana korporasi, dikenal dua asas, yaitu: 33 1. Asas Strict Liability (Asas Pertanggungjawaban Mutlak) Menurut doktrin ini, seseorang dapat dipertanggungjawabkan untuk melakukan tindak pidana tertentu walaupun pada diri diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea), yang penting adalah perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan undang-undang atau termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. 2. Asas Vicarious Liability (Asas Pertanggungjawaban Pengganti) Pada doktrin ini, syarat pertanggungjawaban badan hukum adalah berdasarkan adanya pendelegasian wewenang ataupun hubungan kerja dan pekerjaan yang dilakukan seseorang dimana masih dalam ruang lingkup usaha dari badan hukum itu. Dengan demikian alasan yang dapat diajukan kepada tidak adanya hubungan kerja dan atau pekerjaan itu dilakukan seseorang di luar dari ruang lingkup usaha dari badan hukum tersebut 33
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 96. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Selain dari kedua asas tersebut, ada beberapa teori yang digunakan untuk mengetahui siapa yang harus bertanggungjawab, yaitu: 1. Teori Pendelegasian Wewenang Maksud dari teori ini adalah pemberian wewenang kepada beberapa pengurus. Pengurus dapat bertanggungjawab jika pengurus mempunyai atau diberi wewenang atau kuasa secara penuh di dalam menentukan kebijakan dan segala sikap tindakan terhadap operasional korporasi yang tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga korporasi. 2. Teori Identifikasi Maksud dari teori ini adalah pengurus harus diidentifikasi atau ditandai siapa yang mempunyai wewenang atau kekuasaan penuh dalam penentuan kebijakan, pengambilan keputusan dan menentukan tindakan yang harus dilakukan korporasi.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB III TINJAUAN TERHADAP KETENAGALISTRIKAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Pengaturan tentang Ketenagalistrikan dalam Peraturan Perundangundangan Sama
halnya dengan keberadaan sektor usaha ketenagalistrikan,
keberadaan regulasi yang mengatur keberadaan usaha disektor tersebut juga di mulai oleh Pemerintahan Belanda. Di masa penguasaan penjajah, Pemerintah Belanda sempat mengeluarkan regulasi ketenagalistrikan, diantaranya adalah Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 No. 190 yang telah beberapa kali diubah. Regulasi terakhir yang pernah di keluarkan adalah Ordonansi tanggal 8 Februari 1934 (Staatsblad Tahun 1934 No. 63). Pemerintah Indonesia sendiri baru memiliki UU ketenagalistrikan tahun 1985, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Dalam perkembangannya UU tersebut mendapatkan beberapa perubahan, yaitu tahun 2002 melalui UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan usulan yang saat perubahan pada tahun 2009. Usulan perubahan atas UU No. 15 Tahun 1985 terebut, telah memunculkan pro dan kontra. Alasan pro dan kontra tersebut tidak jauh berbeda, baik pada usulan perubahan tahun 2002 maupun tahun 2009. Secara umum pihak yang pro terhadap perubahan berpendapat bahwa keberadaan UU No.15 tahun Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
1985 sudah tidak relevan dengan perkembangan, kewajiban pemerintah untuk memenuhi tenaga listrik bagi masyarakat telah merugikan negara karena pemerintah harus menaggung subsidi, dan merugikan masyarakat Indonesia karena bentuk usaha di bidang usaha ketenagalistrikan berbentuk monopoli dan menghalangi perusahaan swasta untuk masuk. Sedangkan pihak yang kontra terhadap perubahan (status quo), berpendapat bahwa draft yang ditawarkan bertentangan dengan UUD 1945, dan liberalisasi sector ketenagalistrikan berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia karena disinyalir penuh dengan kepentingan asing. Perubahan Pertama berawal dari pengesahaan UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada tanggal 23 September 2002 menggantikan UU Ketenagalistrikan sebelumnya, yaitu UU No.15 tahun 1985. Sebelum di sahkan, Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan (RUUK) tersebut sempat di tolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Masalah Ketenagalistrikan. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Masalah Ketenagalistrikan yang terdiri dari Lembaga Masyarakat Masyarakat (LSM) dan Serikat Pekerja (SP) antara lain INFID, Serikat Pekerja PLN Pusat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, DebtWATCH Indonesia, Pelangi, NGO Working Droup on Power Sector Recstructuring, Indonesia Corruption Watch, Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak AsassiManusia, WALHI Jakarta, Eksekutif Nasional WALHI, Yayasan Gemi Nastiti, PIRAC, dan Asian Labour Network on IFIs (ALNI) dalam position paper nya yang disampaikan pada dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, tanggal 22 November 2001 mengusulkan untuk Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
menghentikan sementara proses pembahasan RUUK agar proses legislasi RUU tersebut mengikuti prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pelinatan partisipasi publik. Dalam posisition paper-nya 34, koalisi tersebut juga mengemukakan beberapa pendapat, pertama dasar pertimbangan RUUK yaitu ketidaksesuaian UU No.15 tahun 1985 dengan perkembangan sehingga UU tersebut layak untuk dicabut. Koalisi berpendapat bahwa tidak ada kejelasan tentang perkembangan yang dimaksud, dan apa yang menjadi ukuran kebenaran sehingga UU harus disesuaikan dengan perkembangan. Hadirnya perusahaan listrik swasta adalah penyimpangan terhadap ketentuan dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Kedua, RUUK telah merubah isi pokok UU No.15 tahun 1985, antara lain listrik tidak lagi dipertimbangkan sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, peningkatan peran swasta di sector ketenagalistrikan, penerapan kompetisi dalam usaha penyedian tenaga listrik, pencabutan subsidi, dan adanya usaha penyelamatan dari tindak kejahatan dengan mnnghilangkan Pasal tindak pidana atas kontrak penandatanganan penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan kerugikan negara. Ketiga, adanya kepentingan asing dibalik usulan pengesahan RUUK. Terbukti dari butir kesepakatan dalam Letter of Intent IMF berupa penyelesaian masalah listrik swasta yang secara tidak langsung menunjukkan kepentingan
34
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Masalah Ketenagalistrikan. 2001. Position Paper, Tanggapan Terhadap RUU Ketenagalistrikan, disampaikan pada dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, tanggal 22 November 2001. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
perusahaan asing sekaligus pengabsahan peran mereka dalam usaha penyediaan listrik nasional. Keempat, RUUK bertentangan dengan UUD 1945 dan UU lain yang terkait usaha di sector ketenagalistrikan . UU tersebut antara lain adalah Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing 35 yang berbunyi bidang-bidang penting bagi negara termasuk produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum dinyatakan tertutup bagi modal asing, dan terakhir bertentangan dengan Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berbunyi “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.” Kelima, persaingan akan menjadi ancaman bagi Badan Usaha Penyedia Tenaga Listrik seperti PLN dan usaha nasional lain di bidang usaha ketenagalistrikan. Keenam, peningkatan terus menerus Tarif Dasar Listrik (TDL). Ketuju, menelantarkan masyarakat tidak mampu, dan terakhir mengancam perekonomian nasional.
35
UU Penanaman Modal Asing ini pada tahun 2007 dilebur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan secara legal formal digantikan kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Usaha koalisi tersebut untuk membatalkan RUUK akhirnya tidak tercapai. Tetapi jalan lain di tempuh untuk, yaitu dengan mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengamandemen Undang- Undang No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah disahkan. Tercatat, ada tiga kelompok sebagai pemohon 36 yaitu pertama Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, kedua Yayasan 324, dan ketiga Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan Ikatan Keluarga Pensiunan Listrik Negara (IKPLN). Ketiga pemohon mendalilkan bahwa UU ketenagalistrikan didasarkan pada persaingan usaha dan dilakukan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda (unbundled), sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. 37 Menurut Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN), 38 Undang-Undang No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan telah menciptakan liberalisasi sektor ketenagalistrikan dan merugikan konsumen listrik karena cenderung membuat tariff listrik akan semakin mahal. Terpisahnya usaha ketenagalistrikan menjadi usaha pembangkit, tranmisi, distribusi, dan penjualan berpotensi mempersulit konsumen untuk menuntuk perusahaan jika terjadi gangguan pelayanan dan memperbesar biaya transaksi sektor ketenagalistrikan yang secara langsung akan berdampak pada peningkatan tariff listrik di tingkat konsumen. Secara hukum UU No. 20 tahun 2002 Pasal 8, 16, 17, dan 30 beserta 36
Tempointeraktif, Rabu, 15 Desember 2004. MK: UU Ketenagalistrikan Bertentangan Dengan UUD 45, dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/12/15/brk,2004121534,id.html, diakses tanggal 2 Desember 2009. 37 Ibid 38 Kompas. Senin, 08 Desember 2003. Amandemen UU Ketenagalistrikan Jika Membuat Tarif Jadi Mahal. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
penjelasannya juga bertentangan dengan dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara".x Sedangkan Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Yayasan 324, mengusulkan mengamandemen UU No. 20 tahun 2002 Pasal 8, 16, dan 30. Karena dinilai bertentangan dengan Pasal 33 (2) UUD 1945 dan dikhawatirkan akan mendorong kenaikan tarif serta adanya keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mengawasi perusahaan-perusahaan listrik swasta, sehingga akan dapat merugikan kepentingan masyarakat. 39 Pada bulan Desember 2004, perjuangan untuk mengamandemen UU tersebut akhirnya tercapai.
Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
akhirnya memutuskan bahwa UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. dengan putusan MK ini maka UU No. 20 tersebut dinyatakan tidak mengikat secara hukum, dan untuk menghindari kekosongan hukum di masyarakat maka UU No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan berlaku kembali. Wacana perubahan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan mengemuka kembali pada tahun 2006. Dipelopori oleh pihak yang sebelumnya kalah
dalam
proses
Amandemen
UU
No.
20
Tahun
2002
tentang
Ketenagalistrikan yaitu pemerintah dengan mengusulkan RUUK baru. Secara 39
10Tempo, Rabu, 24 November 2004. Putusan UU Tenaga Listrik dan Migas Ditunda,
dalam http://tempo.co.id/hg/hukum/2004/11/24/brk,20041124-18,id.html, diakses tanggal 2 Desember 2009. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
substansi tidak ada perbedaan yang mendasar antara RUUK yang ditawarkan taun 2006 ini dengan UU No. 20 Tahun 2002. RUUK tersebut saat ini sedang dalam proses
pembahasan
Komisi
VII
DPR-RI.
Draft
Rancangan
RUUK 40,
menyebutkan bahwa pertimbangan perubahan UU tersebut adalah adanya ketidaksesuaian Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan kehidupan masyarakat. Pertimbangan lain adalah adanya keselarasan antara semangat otonomi daerah dan demokratisasi dengan sifat dari industri penyediaan tenaga listrik yaitu padak modal dan padat teknologi. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Listrik, Jackobus Purwono menyebutkan bahwa terdapat lima butir pembahasan penting yang membedakan antara RUUK dengan UU lama. 41 Pertama, pembagian wewenang antara pemerintah pusat (PLN) dengan Pemerintah Daerah, dalam UU No 15/1985 tidak ada kewenangan pemerintah daerah dalam hal pembangunan pembangkit pada daerah off grade (tidak dilalui jaringan listrik PLN), serta menentukan tarifnya sendiri. Kedua, kemungkinan ditetapkannya pemberlakuan regionalisasi tarif listrik. Ketiga, safety atau sistem keamanan dan keselamatan kerja yang berfungsi untuk menjamin keselamatan kerja. Keempat, pengaturan ganti rugi, baik soal lahan rumah yang dipakai untuk kepentingan infrastruktur perusahaan tenaga listrik, maupun soal tanah yang
40
Draft Rencana Undang-Undang Ketenagalistrikan bagian pertimbangan poin C dan
poin E. 41
Wartaone, Rabu, 17 Jun 2009. 5 Butir Penting dalam UU Ketenagalistrikan Baru, dalam http://www.wartaone.com/articles/8512/1/5-Butir-Penting-dalam-UU-Ketenagalistrikan Baru/Halaman1.html, diakses tanggal 2 Desember 2009. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dipakai untuk membangun pembangkit perusahaan tenaga listrik. Kelima, adanya sanksi yang tegas bagi pelanggan yang mencuri listrik. Keberadaan RUUK ini didukung oleh beberapa pemerintah daerah. Salah satunya
adalah
Kepulauan
Riau.
Mereka
berpendapat
bahwa
UU
Ketenagalistrikan yang berlaku saat ini menerapkan mekanisme dan prosedur yang panjang serta sistem kelistrikan yang terpusat dan membatasi peran daerah dalam mengambil langkah cepat ubtuk mengatasi krisis energi listrik di wilayahnya. Alasan lain adalah dengan kepemilikan hak monopoli oleh PT. PLN telah menghambat investor untuk mengelola sumber daya alam energi listrik di daerah. 42 Menanggapi RUUK tersebut, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) DPR mengusulkan untuk mempertimbangkan tiga UU yang terkait, yaitu UU No. 5/ 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. 43 Keterkaitan hukum ini mampu mensinergiskan UU terkait dengan RUUK dalam hal: Pertama, aturan tegas keterlibatan Pemda dalam perencanaan, perizinan, pengelolaan, pengusahaan, pembinaan dan pengawasan ketenagalistrikan. Kedua, perihal pemberdayaan masyarakat, perlu aturan tegas soal koordinasi antara pemegang Ijin Usaha Penyediaan Ketenagalistrikan dan
42
Tribun Batam, Kamis, 19 Februari 2009. Kepri Desak Revisi UU Kelistrikan, dalam http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24905&Itemid=11 12. Diakses pada tanggal 2 Desember 2009. 43 Sumbangsih BKKSI atas RUU Ketenagalistrikan, dalam http://www.apkasi.or.id/ modules.php?name=News&file=article&sid=135, diakses tanggal 2 Desember 2009. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pemerintah
Daerah
dalam
pemberdayaan
masyarakat
(community
development/CD) di sekitar lokasi. Ketiga, menyangkut perizinan, setiap penyediaan tenaga listrik baik untuk umum maupun untuk kepentingan sendiri harus dapat izin pemerintah atau pemda sesuai kewenangannya. Keempat, soal hak dan kewajiban, pemegang izin usaha tenaga listrik, wajib menyelesaikan urusan dengan pihak terkait bila pelaksanaannya melintasi sungai, danau, laut, fasilitas umum, tanah pemerintah atau perorangan, dan pemegang izin usaha penyediaan listrik harus member pelayanan sesuai standar mutu dan keandalan secara konsisten, maka perlu ditetapkan Standar Pelayanan Minimum. Kelima, perlu adanya sanksi yang jelas dan tegas. Oleh karena hal tersebut, maka saat ini telah diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketenagalistrikan yang merupakan pembaruan terhadap Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985. Namun demikian, walaupun Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 telah diberlakukan, namun ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 masih tetap berlaku.
B. Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Ketenagalistrikan 1. Ketentuan Pidana Ketenagalistrikan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Ketentuan pidana dalam Undang Nomor 15 Tahun 1985 diatur dalam Bab X Pasal 19 s/d 23, yakni sebagai berikut: Pasal 19 Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana. Pasal 20 1. Barang siapa melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahunatau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalamayat (1) tidak berlaku bagi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingansendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). 3. Barang siapa melakukan usaha penyediaantenaga listrik tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuhtumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggitingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan dicabut Usaha Ketenagalistrikannya.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pasal 21 1. Barang siapa karena kelalaiannya mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. 2. Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. 3. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalamayat (2), Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi. 4. Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 1. Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang tidak menaati ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). 2. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalamayat (1) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pasal 23 1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 adalah kejahatan. 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah pelanggaran.
2. Ketentuan Pidana Ketenagalistrikan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 diatur dalam Bab XV Pasal 59 s/d 66, yakni sebagai berikut: Pasal 59 1. Setiap orang yang memberikan informasi palsu, kesaksian palsu, atau menahan informasi berkaitan dengan usaha ketenaga-listrikan yang merugikan kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang melanggar prinsip kompetisi yang sehat, khususnya dalam melakukan persekongkolan usaha untuk memperoleh keistimewaan atau menghimpun kekuatan monopoli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 52 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pasal 60 1. Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud untuk memanfaatkan secara melawan hukum, dipidana karena melakukan pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan rusaknya instalasi tenaga listrik milik pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3. Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 61 1. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan pidana
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 3. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 4. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pencabutan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau Izin Operasi. Pasal 62 1. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan pemegang Izin Operasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan pemegang Izin Operasi juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
4. Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 63 Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 64 Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjual-belikan pemanfaat listrik yang tidak memiliki tanda keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 65 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh Badan Usaha, pidana dikenakan terhadap Badan Usaha dan atau pengurusnya. 2. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha berupa pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Pasal 66 1. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 adalah kejahatan. 2. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 adalah pelanggaran.
3. Ketentuan Pidana Ketenagalistrikan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 Ketentuan pidana ketenagalistrikan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 terdapat dalam Bab XV Pasal 49 s/d 55, yakni sebagai berikut: Pasal 49 1. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 2. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 3. Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 50 1. Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 3. Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk member ganti rugi kepada korban. 4. Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 51 1. Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). 3. Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana denganpidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 52 1. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 2. Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi. Pasal 53 Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 54 1. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 55 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 54 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau pengurusnya. 2. Dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiganya.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PIMPINAN PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN PENCURIAN LISTRIK
A. Kasus 1. Kasus Posisi Terdakwa Sabaruddin didakwa bersama-sama ataupun masing-masing melakukan atau turut serta melakukan tindak pidana dengan sanksi Kim Cai Alias Acai pada waktu yang tidak diingat lagi dalam bulan Oktober 2002 sampai dengan bulan Juni 2003 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu dalam tahun 2002 sampai dengan tahun 2003, bertempat di perusahaan “Dunia Plastik” Jalan Besar Sunggal No. 358 Kelurahan Sunggal Kec. Medan Sunggal Kota Medan telah melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan satu sama lain sehingga dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut telah menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud untuk memanfaatkan secara melawan hukum, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut: Pada hari selasa tanggal 8 Oktober 2002, Tim Operasi Penelitian pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) PT PLN Persero wilayah II Sumut melakukan pemeriksaan instalasi listrik alat pengukur dan atau alat pembatas yang terpasang pada bangunan pabrik “Dunia Plastik” milik terdakwa. Dari hasil operasi penelitian tersebut ditemukan penyimpangan pemasangan arus listrik di luar standar tehnis PT PLN yang dilakukan melalui kabel penyambungan kabel Nym 2x6 mm warna biru dari bawah tanah yang disambung ke Grounding Curren Transformer/ PT Potensial transformer dan Body Box APP khusus, lalu arus Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
listrik disambung ke dalam gedung pabrik. Ketika tim Operasi PT PLN mendatangi perusahaan pabrik plastic, Kim Cai als Acai yang bertugas sebagai Manajer Pabrik terlihat dengan tergesa-gesa berlari hendak membuka dan menarik-narik kabel listrik warna putih yang berada di gedung lantai pertama, selanjutnya Tim Operasi PT PLN membongkar cor tiang di dekat tiang listrik halaman pabrik dan menemukan kabel putih yang mirip dengan kabel yang berusaha diputuskan oleh Kim Cai als Acai, di dalam kabel putih tersebut terdapat kabel Nym 2x6 mm warna biru hitam yang tersambung ke Grounding Trafo dan Grounding CT-PT. Melihat kejanggalan tersebut, Tim Operasi PT PLN memutus kabel sambungan ke pentahanan tersebut yang bukan sambungan arus listrik standar milik PT PLN, lalu tim Operasi PT PLN melarang terdakwa maupun manajer pabrik plastik tersebut untuk menggunakan tenaga listrik yang bukan standar PT PLN dan melarang menyambung kembali kabel yang telah diputus serta melarang mengecor kembali coran kabel di bawah tanah yang sudah diputus antara sambungan kabel ke Grounding Trafo dan ke Grounding Curren Transformer/ Potensial Transformer dan larangan tersebut diuraikan dalam Berita Acara Pemeriksaan Tanggal 8 Oktober 2002 yang ditandatangani pihak PT PLN wilayah II Sumut. Namun pada bulan Januari 2003, terdakwa menyuruh Kim Cai als Acai untuk mengecor lantai trafo listrik, lubang bekas galian Tim Operasi PT PLN memakai bahan semen dan besi cor bertulang dengan maksud agar kabel yang sudah diputus oleh Tim Operasi PT PLN disambungkan lagi sehingga tidak kelihatan oleh Tim Operasi PT PLN di saat melakukan pemeriksaan kembali dan agar mendapat kesulitan dalam membongkarnya. Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Selanjutnya pada hari Rabu tanggal 4 Juni 2003 sekira pukul 10.00 WIB, PT PLN wilayah II Sumut melakukan razia dengan membentuk tim operasi terpadu dengan sandi “Petir Toba 2003” yang terdiri dari Petugas Dit Reskrim Poldasu, petugas PT PLN wilayah II Sumut. Dari hasil operasi di perusahaan pabrik plastic milik terdakwa tersebut ditemukan sambungan kabel yang sudah diputus petugas PT PLN pada 8 Oktober 2002, ternyata disambung lagi melalui kabel Grounding Current Transformer dengan besi behel, lalu dicor sepanjang 1 meter ke pipa air yang terbuat dari besi (penghambat listrik) yang masih aktif menempel pada dinding kantor perusahaan standar tehnik PT PLN sehingga menimbulkan kerusakan pada Current Transformer netral meter, kumparan yang mengakibatkan Kwh meter tidak berfungsi netral untuk melakukan penghitungan pemakaian arus listrik oleh perusahaan pabrik milik terdakwa selaku pemilik pabrik plastik dengan menyuruh Kim Cai als Acai untuk melakukan sambungan konduktor non standar milik PT PLN wilayah II Sumut ke Grounding Rood pentahanan pada titik netral sekunder trafo arus ke badan Box APP yang dapat mengakibatkan Kwh meter, Ampere meter menjadi rusak yang mengakibatkan rangkaian wiring secunder trafo arus (Current transformer) menjadi terbuka (Open Circuit) sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi tegangan induksi di terminal secunder current transformer yang melampaui kemampuan isolasi trafo arus sebahagian trafo arus terbakar dan rusak dan sistem Kwh meter tidak berfungsi netral untuk melakukan pengukuran penggunaan tenaga listrik melalui titik persambungan kabel pentahanan dengan Ground Rood dan Body Box APP khusus dengan menginjeksi arus yang bersumber dari primary injection current ke sistem Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
pengukuran sebesar 50 Ampere melalui kedua titik terminal tersebut di atas menyebabkan penurunan hasil ukur daya, kemudian dengan menggunakan kabel BC 1 x 50 mm sepanjang 2 meter melalui besi beton ukuran 8 mm, panjang lebih kurang 50 cm ke dalam tanah dan menggunakan kabel 2 x 6 mm warna biru tersambung ke Grounding Trafo dan warna hitam tersambung ke Grounding CT/PT yang ditarik ke arah gedung perusahaan pabrik plastik milik terdakwa tanpa mendapat izin dari PT PLN wilayah II Sumut yang mengakibatkan Kwh meteran listrik tidak berfungsi netral untuk menentukan pemakaian listrik pada perusahaan pabrik plastik “dunia plastik” , sehingga terdapat kerugian perhitungan kerja listrik yang tidak terukur sebanyak 1.688.400 Kwh. Akibat perbuatan terdakwa, maka PT PLN Wilayah II Sumut mengalami kerugian akibat kerusakan peralatan berupa: 1 (satu) buah current transformer, satu buah ampere meter dan satu buah Kwh meter 3 fasa senmilai Rp. 14.315.000 (empat belas juta tiga ratus lima belas ribu rupiah), serta kerugian arus listrik tidak terukur dalam meteran sebanyak 1.688.400 Kwh dengan jumlah sebesar 839.107.360 (delapan ratus tiga puluh Sembilan juta seratus tujuh ribu tiga ratus enam puluh rupiah), sehingga total kerugian sebesar Rp. 853.422.360 (delapan ratus lima puluh tiga juta empat ratus dua puluh dua ribu tiga ratus enam puluh rupiah).
2. Dakwaan Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah melanggar
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
a. Primair: Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. b. Subsidair: Pasal 60 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
3. Tuntutan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa adalah sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Sabarudiin bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud untuk memanfaatkan secara melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Primair b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sabaruddin berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara (tahanan kota) dan denda sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) Subsidair 2 (dua) bulan kurungan c. Menyatakan barang bukti berupa: 1. 1 (satu) buah CT Current Transformer) dalam keadaan terbakar 2. 1 (satu) buah Kwh meter/ rusak 3. 1 (satu) buah Ampere meter/ rusak Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Dikembalikan kepada PT PLN (Persero) Wilayah II Sumut di Medan 4. 1 (satu) Potong BC (Bare Conduktor) 5. 1 (satu) Potong kabel berisolasi 6. 1 (satu) Potong besi cor Dirampas untuk dimusnahkan d. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
4. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan a. Hal-hal yang memberatkan 1. Perbuatan terdakwa merugikan negara, terutama PT PLN 2. Terdakwa tidak menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya 3. Terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit sehingga mempersulit jalannya persidangan b. Hal-hal yang meringankan 1. Terdakwa belum pernah dihukum 2. Terdakwa bersikap sopan di persidangan
5. Putusan Putusan majelis hakim adalah sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Sabaruddin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian tenaga listrik” Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sabaruddin dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara c. Menetapkan bahwa masa penahanan kota yang telah dijalani terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan d. Menyatakan barang bukti berupa: 1. 1 (satu) buah CT Current Transformer) dalam keadaan terbakar 2. 1 (satu) buah Kwh meter/ rusak 3. 1 (satu) buah Ampere meter/ rusak Dikembalikan kepada PT PLN (Persero) Wilayah II Sumut di Medan 4. 1 (satu) Potong BC (Bare Conduktor) 5. 1 (satu) Potong kabel berisolasi 6. 1 (satu) Potong besi cor Dirampas untuk dimusnahkan e. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 10.000,(sepuluh ribu rupiah).
B. Analisa Kasus Di dalam dakwaannya, jaksa penuntut Umum menjerat terdakwa Sabaruddin dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Pasal 60 ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa telah menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud untuk memanfaatkan secara melawan hukum.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2004 melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-. /Sedangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dibacakan pada tanggal 29 Oktober 2004, yakni sebelum adanya keputusan pembatalan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dasar hukum yang dipergunakan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa terdakwa Sabaruddin sudah tidak berlaku lagi, sehingga dapat mengakibatkan kekosongan hukum. Jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang asas legalitas yang menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu, dan dalam ayat (2) KUHP menyebutkan jika undangundang diubah setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya, maka terdakwa dapat terbebas dari dakwaan atau menerima ketentuan yang menguntungkan baginya sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Namun dalam hal ini, majelis hakim berpandangan jeli. Dengan adanya pertimbangan yang diberikan oleh Saksi Ahli, Prof. Alvi Syahrin, SH, yang menyatakan bahwa dakwaan yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 masih tetap berlaku sepanjang perbuatan yang didakwakan telah diatur dalam ketentuan undang-undang sebelumnya, dalam hal ini Undang-undang Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, maka majelis hakim menilai bahwa dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum yang mendasarkan dakwaannya pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 sama dengan Pasal 19 Undangundang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang menyatakan: “barangsiapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam pembahasan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana disebutkan bahwa dalam perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi ada ketentuan yang mengatur tentang sistem pertangungjawaban “Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat, Maka Pengurus yang Bertanggungjawab”. Dalam kasus tindak pidana dengan terdakwa Sabaruddin, korporasi atau perusahaan yang dijalankan adalah milik terdakwa, dan terdakwa sekaligus bertindak sebagai pengurus dalam perusahaan tersebut. Dari uraian dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, jelas bahwa terdakwa Sabaruddin yang memiliki rancangan dan sekaligus sebagai pelaksana tindakan pencurian listrik oleh perusahaan yang dipimpinnya. Sehingga dengan demikian, perbuatan terdakwa Sabaruddin sekali pemilik dan sekaligus pengurus perusahaan, harus dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sendiri sebagai orang yang melakukan. Selanjutnya dalam putusannya, majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama satu tahun kepada terdakwa. Vonis ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan hukuman satu tahun Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
penjara. Pasal 19 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 yang dijadikan dasar oleh hakim untuk menghukum terdakwa tidak menyebutkan secara konkrit ancaman yang dikenakan bagi pelaku yang menggunakan listrik yang bukan haknya. Pasal 19 tersebut hanya menyebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana pencurian. Dengan demikian, berarti erat sekali kaitan antara Pasal tersebut dengan penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana pencurian. Walaupun dalam dasar penghukuman, majelis hakim menggunakan undang-undang ketenagalistrikan, namun dalam menjatuhkan besarnya hukuman, majelis hakim jelas menggunakan ketentuan dalam KUHPidana, khususnya yang mengatur tentang tindak pidana pencurian. Vonis majelis hakim yang hanya menjatuhkan pidana badan pada terdakwa Sabaruddin, merupakan sesuatu yang kurang pada tempatnya, sebab selama terdakwa melakukan pencurian, setelah dikalkulasi, kerugian yang diderita oleh PT PLN wilayah II Sumut mencapai ratusan juta rupiah. Namun hal ini tidak dijadikan oleh baik Jaksa Penuntut Umum maupun majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman denda bagi terdakwa yang telah merugikan keuangan negara secara melawan hukum. Seharusnya terdakwa selaku pemilik dan pengurus perusahaan harus mempertanggungjawabkan kerugian yang dialami oleh PT PLN atas tindakan pencurian listrik yang dilakukannya.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Undang-undang Ketenagalistrikan mengatur pencurian listrik sebagai tindakan yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya. Hal ini secara jelas dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 dan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009. 2. Undang-undang ketenagalistrikan tidak menyebutkan secara jelas adanya pertanggungjawaban dari perseorangan maupun korporasi dalam ketentuan pidananya. Penerapannya di lapangan bergantung dari interpretasi hakim untuk menilai siapa yang harus bertanggungjawab dalam hal terjadinya tindak pidana pencurian listrik, baik yang dilakukan oleh perseorangan, telebih-lebih yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau korporasi.
B. Saran 1. Penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada (bukan merupakan alas hak) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana pencurian, namun akan lebih baik apabila pengaturan tentang sanksi atas tindak pidana pencurian listrik ini tidak lagi berorientasi pada sanksi yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebab jika KUHPidana tidak mengatur tentang ganti kerugian yang diderita Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
perusahaan penyedia aliran listrik yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh para pelaku tindak pidana pencurian listrik. 2. Korporasi yang nota bene juga merupakan subjek tindak pidana, dalam hal melakukan tindak pidana pencurian listrik, tentunya intensitas dan kapasitasnya jauh lebih besar dibandingkan dengan perseorangan yang menggunakannya hanya untuk kepentingan keseharian di rumah tangga. Oleh karenanya sebaiknya ada pengaturan khusus oleh peraturan perundang-undangan tentang apabila tindak pidana pencurian listrik ini dilakukan oleh korporasi yang pastinya lebih menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan pencurian listrik yang dilakukan oleh perseorangan.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2006. Hamdan, M, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000. Harkrisnowo, Harkristuti, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, 1994. Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007. Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. ________, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.
Setiyono, H, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2003. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006. Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, 2003.
Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Surat kabar Kompas. Senin, 08 Desember 2003
Internet http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/12/15/brk,20041215-34,id.html http://tempo.co.id/hg/hukum/2004/11/24/brk,20041124-18,id.html. http://www.wartaone.com/articles/8512/1/5-Butir-Penting-dalam-UUKetenagalistrikan Baru/Halaman1.html. http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24 905&Itemid=1112. http://www.apkasi.or.id/ modules.php?name=News&file=article&sid=135.
Budi Prakarsa Ketaren : Pertanggungjawaban Pidana Pimpinan Perusahaan Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Listrik Ditinjau Dari Undang-Undang Ketenagalistrikan (Studi Kasus Putusan PN. Medan No Reg. 2675/Pid.B./2004/PN.Mdn), 2010.