PENERAPAN PASAL 55 KUHP ( DEELNEMING ) TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH( STUDI PUTUSAN NO.2876 /PID B/ 2006 PN MEDAN, ) STUDI PUTUSA NO. 2877/PID B/2006/PN MEDAN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengakapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh: Hedra F Sidabutar 040200204 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang terus memberkati dan memberikan anugerahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulisan
skripsi ini merupakan syarat bagi setiapmahasiswa untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan. Sehubungan dengan syarat tersebut maka penulis telah memilih judul yang menjadi pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul PENERAPAN PASAL 55 KUHP ( DEELNEMING )TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAJAH( STUDI PUTUSAN NO.2877 /PID B/ 2006 PN MEDAN, )STUDI PUTUSAN NO. 2877/PID B/2006/PN MEDAN. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tentunya mempunyai kekurangan dan kelemahan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan literatur yang dimiliki oleh penulis.Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang konstruktf bagi diri penulis demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
ABSTRAKSI “Penerapan Pasal 55 KUHP (Deelneming) Dalam Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah” adalah judul skripsi yang merupakan tugas akhir penulis sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maraknya praktek pembuatan Ijazah palsu dan juga penggunaan Ijazah palsu sangat memprihatinkan kia sebagai anggota masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata tingkat kesadaran hukum masyarakat masih rendah sehingga cenderung untuk melakukan tindak pidana termasuk tindak pidana pemalsuan Ijazah. Disamping itu praktek pembuatan Ijazah palsu telah mecerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan kita dan lemahnya pengawasan terhadap dunia pendidikan di negeri yang kita cintai ini. Penelitian ini dilakukan penulis penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap pemalsuan Ijazah baikyang diatur dalam KUHP maupun yang diatur diluar KUHP. Kemudian juga aka diketahui seberapa besar peran pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai Penyertaan atau turut serta dalam penanganan tinda pidana pemalsuan Ijazah sekaligus upaya penanggulangannya. Dalam melakukan penelitian, penulis memilih lokasi penelitian diwilayah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan menganalisa kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan (Putusan No.2876/Pid B/2006/PN Medan Dan Putusan No.2877 / Pid B/2006/PN) sebagai bahan dari penulisan skripsi ini yang ditambah dengan data-data sekunder melalui pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan Ijazah.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Modernisasi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Namun sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidana pun tidak dapat disangkal. Sebagaimana dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru dibidang ekonomi dan sosial. Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan
ilmu
pengetahuan
sekarang
ini,
khususnya
yang
menyangkut masalah sosial, adalah luas sekali dan semakin tinggi peradaban Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses yang negatif. Akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang baru disalahgunakan, dimana perwujudan dari suatu perbuatan itu merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang cukup besar bagi masyarakat, bahkan kehidupan negara. Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap benuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain Kodifikasi dan Unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana , khususnya penanggulangan tindak kejahatan. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu objek, yang sesuatunya itu tampak dri luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Kejahatan pemalsuan dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni: 1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX) 2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X) 3. Kejahatan pemalsuan materai dan merek (Bab XI) 4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII) 1 . Dalam kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai orang perorangan, sebagai anggota masyarakat maupun anggota kehidupan bernegara, sering bahkan selalu berhubungan dengan objek-objek diatas terutama dengan surat dan uang. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan tersebut, tindak pidana pemalsuan surat mengalami perkembangan yang begitu kompleks, karena jika kita melihat obyek yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari. Dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana
pemalsuan
ijazah atau gelar kesarjanaan. Dewasa ini terjadi
peningkatan tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan. Peningkatan
1
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2001 halaman 3
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
kejahatan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita, yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang seseorang dari sisi gelar yang disandangnya dari pada kerjanya. Ijazah atau gelar dianggap sebagai “tiket” untuk meningkatkan status sosial , jabatan dan lain-lain. Hal inilah yang turut menghidup suburkan praktik jual beli ijazah atau gelar aspal (asli tapi palsu). Praktek pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap suatu surat atau akta otentik, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan. Kegiatan pendidikan yang seharusnya menjadi investasi sumber daya manusia menuju suatu kualitas yang diharapkan dengan standar kompetensi dan kualifikasi tertentu yang harus dikuasai bagi kelangsungan hidup manusia dan khususnya suatu Bangsa. Oleh karena itu dapat kita bayangkan bagaimana besarnya dampak yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut serta seberapa besar kerugian yang akan diderita baik materiil maupun immaterial. Betapa tidak, untuk dapat meraih ijazah ataupun gelar kesarjanaan sebagai simbol dari intelektualitas seseorang tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, karena untuk mencapainya harus menempuh jalan yang panjang melalui proses belajar mengajar/jenjang pendudukan dan dibutuhkan pengorbanan yang cukup besar. Jika ini dibiarkan begitu saja, maka sudah barang pasti akan membawa akibat yang fatal yaitu akan mempengaruhi dan merusak kualitas generasi penerus bangsa di masa mendatang, dan pastinya kehormatan dunia pendidikan bangsa ini akan hancur di masa yang akan datang 2 .
2
www. Google .co.id
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Masyarakat menaruh kepercayaan yang besar atas kebenaran suatu surat/akta otentik, oleh karena itu atas kebenaran dari suatu akta tersebut harus dijamin. Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenarannya adalah berupa perbuatan yang patut dipidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Dibentuknya kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu. Oleh karena kebutuhan hukum masyarakat masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran suatu akta otentik, maka undang-undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi, dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan terhadapnya tadi sebagai suatu larangan dengan disertai ancaman pidana.Untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks terhadap kejahatan pemalsuan diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang sejalan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP 3 . Dalam modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana pemalsuan Ijazah sebagai suatu kejahatan, banyak tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memperkuat legalitas suatu akte otentik yang diperjualbelikan kepada masyarakat sebagai akta yang mempunyai kekuatan hokum. Dalam melakukan tindakan tersebut, para pelaku sudah membuat segala sesuatu yang tidak nyata menjadi nyata, dan para pelaku yang bermain didalamnya terdiri dari berbagi pihak dan saling kerjasama satu dengan yang lain yang masing-masing mempunyai peran dan tugas masing-masing untuk mewujudkan terlaksananya kejahatan ini dan untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh para pelaku kejahatan pemalsuan Ijazah.
3
Ibid. hal 5
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian mengenai kejahatan pemalsan Ijazah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kejahatan ini. Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji beberapa hal yatu pengaturan mengenai Tindak pidana Pemalsuan Ijazah dalam hukum positif Indonesia, faktorfaktor
yang
melatar
belakangi
timbulnya
kejahatan
ini
dan
upaya
penanggulangannya. Disamping itu, penulis juga akan mengkaitkan kejahatan Pemalsuan Ijazah ini dengan pasal 55 KUHP (Deelneming) yang mengatur mengenai turut serta para pelaku kejahatan ini. Hal ini didasari bahwa kejahatan pemalsuan Ijazah ini dalam prakteknya seringkali dilakukan oleh beberapa pelaku yang bertujuan untuk mendukung dan berperan demi terlaksannya tujuan kejahatan ini. Dalam hal ini penulis mencoba meneliti hal tersebut dengan melakukan penelitian terhadap
kasus di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Medan.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
B.
Perumusan Masalah Dari uraian diatas dapat ditarik permasalahan yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan Ijazah dalam hukum positif Indonesia? 2. Bagaimanakah penerapan pasal 55 KUHP terhadap penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah ( Studi Putusan No 2878/Pid B/2006/PN Medan, Putusan No.2877/Pid B/2006/PN Medan )? 3. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana Pemalsuan Ijazah?
C.
Tujuan Dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui: 1. Bagaimana Pengaturan tindak pidana pemalsuan ijazah dalam hukum positif Indonesia. 2. Bagaimana Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming) terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah ( Studi Putusan No 2878/Pid B/2006/PN Medan, Putusan No.2877/Pid B/2006/PN Medan ). 3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana pemalsuan Ijazah. Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skiripsi ini diharapkan
bermanfaat untuk berbagi hal diantaranya: a. Kepentingan teoritis. Skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap penanganan tindak pidana pemalsuan ijazah di Indonesia, khususnya di kota Medan.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
b. Secara Praktis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui faktor-faktor penyebab tindak pidana pemalsuan ijazah. 2. Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbangan pemikiran untuk penanganan tindak pidana pemalsuan ijazah. 3. Akademisi dan praktisi hukum untuk memberi masukan dan gambaran mengenai tindak pidana pemalsuan Ijazah khususnya dikota Medan.
D.
Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara belum ada yang mengangkat Skripsi Judul “ Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming) terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah
( Studi Putusan No
2878/Pid B/2006/PN Medan, Putusan No.2877/Pid B/2006/PN Medan ). Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skiripsi ini juga didasarkan pada referensi buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik serta fakta yang diperoleh dari data berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh penulis. Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
E.
Tinjauan Kepustakaan
1..
Tindak Pidana.
a.
Pengertian Tindak Pidana. Istilah tindak pidana/ peristiwa pidana/ perbuatan pidana/ perbuatan-
perbuatan yang dihukum/starfbaarfeit mempunyai arti yang sama, seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut: 4 1) Muljanto, menganggap lebih tepat menggunakan istilah perbuatan pidana, beliau berpendapat bahwa perbuatan adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, dan perbuatan ini menunjuk kepada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. 2) Mezger menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. 3) J. Bauman menyatakan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 4) Karni menyatakan perbuatan pidana adalah delik yang mengandung perbuatan perlawanan hak, yang dlakukan dengan salah dan dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patutu dipertanggunkan. 5) Wirjono Prodjodikoro mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. 6) W.P.J Pompe menyatakan bahwa menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidaklain daripada feit yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Didalam teori beliau menyatakan bahwa starafbaar feit itu
4
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, halaman 41-43
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. b.
Unsur-unsur tidak pidana Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya
perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran, aliran monistis dan aliran dualistis. A. Aliran monistis dianut oleh: 1. Simons Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah sebagaiberikut: 5 a. Perbuatan Manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); c. Melawan hukum (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (torekeningsvatbaar persoon); Simon menyebutkan adanya dua unsur strafbaarfeit, yakni: 6 1.
Unsur objektif meliputi dari: a) Perbuatan Orang; b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
5 6
Ibid. hal.44 Loc Cit
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 2.
Unsur subjektif adalah: a) Orang yang mampu bertanggung jawab. b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2.Van Hamel Unsur-unsur tindak pidana menurut Van Hamel adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana. 3. E. Mezger Unsur-unsur tindak pidana menurut E. Mezger adalah: a. Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif ataupun subektif); c. Dapat dipertangungjawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. B. Aliran dualistis diantaranya dianut oleh:
1. Moeljanto Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia; Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
b. Yang memenuhi rmusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum; 2. H.B. Vos Unsur-unsur tindak pidana menurut H.B Vos adalah: a. Kelakuan manusia b. Diancam pidana dalam undang-undang. c. Sifat Melawan hukum dalam tindak pidana Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum, unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unang-undang, dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandmaszing” tatbestand dalam arti sempit adalah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana, tastbestand dalam arti sempit terdiri dari tatbestand merkmlae ialah masing-masing unsur dari rumusan delik, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menhilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. 7 Sifat melawan hukum hapus apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf 8 .
7
Ibid. hal. 76. Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, halaman 123.
8
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Sifat melawan hukum dibedakan atas empat bagian, yakni terdiri dari: 9 1..
Melawan hukum formil yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasrkan suatu ketentuan undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangtan dengan undang-undang.
2.
Melawan hukum materil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukm yang tidak tertulis, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis. Pengertian melawan hukum materil dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif: 10
a). Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif yaitu: Mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undangundang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan ang memenuhi
9
D. Schffmeister et al, dalam J.F. Sahetapi (ed), Hukum Pidana, Liberty Edisi Pertama Cetakan Ke-1, Yogyakarta, halaman 39. 10 Ibid. hal.81. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
rumusan undang-undang, jadi alsan tersebut sebagai pengahapus sifat melawan hukum. b). Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif yaitu: Menganggap suatu perbuatan tetap sebagai dsuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang, jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
3.
Sifat melawan hukum umum. yaitu diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana (perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela).
4.
Sifat melawan hukum khusus/sifat melawan hukum faset. yaitu sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
2.
Pertanggungjawaban Dalam hukum Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia adalah
pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan, asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tidak dipidana jika tidak melakukan kesalahan (geen starf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea) dan didalam KUHP unsur kesalahan dapat kita lihat pada setiap pasal Ciri kesalahan dalam arti luas yaitu: 11 1.
Dapat dipertanggung jawabkan si pembuat.
2.
Tidak
adanya
dasar
peniadaan
pidana
yang
menghapus
dapat
dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat. 3.
Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja (dolus) atau kesalahan (culpa). Pengertian sengaja menurut MvT adalah kehendak yang disadari dan
ditujukan untuk melakukan kejahaan tertentu dan meurut Von Hippel sengaja adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki. Kelalaian (culva) berdasarkan pengertian MvT adalah terletak antara sengaja dan kebetulan dan menurut Pompe kelalaian (culva) terdiri dari unsur-unsur: 12 1. Pembuat dapat menduga terjadinya akibat perbuatan itu. 2. Pembuat sebelumnya melihat kemungkinan akan terjadinya akibat perbuatannya.
11 12
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana., Rineka Cipta, Jakarta, 1994, halaman 130. Samidjo, Hukum Pidana. Armico, Bandung, (tanpa tahun), halaman 118.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Pertanggung jawaban pidana dapat dimintakan kepada si pembuat apabila si pembuat mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab harus meliputi unsur-unsur: 13 a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafaan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
3.
Pengertian Ijazah. Ijazah merupakan simbol atau tanda kompetensi yang diterima seseorang
setelah melalui proses pendidikan dan pengajaran yang formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 14 .
F.
Metode Penulisan.
1.
Pendekatan Masalah. Penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam skripsi ini
adalah dengan mengunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Penelitian Yuridis Normatif dinmakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Menurut Soerjono Soekamto sebagaimana dikemukakan oleh Burhan Ashofa, bentuk penalitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa : 15
13
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, halaman 165 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 15 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rieneka Cipta, Jakarta 1996 halaman 14 14
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1. Inventaris hukum positif; 2. Penemuan asas hukum; 3. Penemuan hukum in concreto; 4. Perbandingan Hukum; 5. Sejarah Hukum Soetandyo
Wignjosoebroto
sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Bambang Sunggono, membagi penelitian hukum doktrinal sebagai berikut: 16 1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif; 2. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrinal) hukum positif; 3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk meyelesaikan suatu perkara tertentu. Pendekatan yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan studi langsung dilapangan atau pada instansi-instansi terkat guna memperoleh data-data yang berkaitan dengan penulisan skiripsi ini.
2.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan, alasan dipilihnya Kota Medan
dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana Pemalsuan ijazah yang penyelesaiannya belum memuaskan, dalam hal ini penelitian lapangan Penulis melakukannya di Pengadilan Negeri Medan, untuk mendapatkan gambaran atau bahan akurat dengan penulisan skripsi ini.
16
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, halaman 43
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
3.
Sumber Dan Pengumpulan Data. Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a)
Data primer yaitu data yang diperoleh melalui studi lapangan. 17 Dilakukan dengan menggali dan memahami secara mendalam mengenai persepsi serta pendapat Informan mengenai “ Penerapan Pasal 55 Dan 56 KUHP (Deelneming) Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Studi Putusan No.2876/Pid B/2006/PN Medan Dan Putusan No.2877 / Pid B/2006/PN Medan” sehingga dapat dijadikan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan. Informan yang dipilih adalah mempunyai keterkaitan erat dengan pokok bahasan dalam srkipsi ini yaitu: Pengadilan Negeri Medan
b)
Data sekunder, diperoleh melalui pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumendokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan Ijazah. 18
4.
Metode Dan Analisis Data. Data yang diperoleh melalui pustaka dan wawancara dikumpulkan dan
diurutkan lalu di organisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 19 Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini dalah dengan
17
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984 halaman 12 Loc.cit 19 Lexy Moelong, Metode Penelitian Kualitatif,. Remaja Rosdakarya Cetakan ke-10, Bandung, 1999, halaman 103 18
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diorgansisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan responden dan data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian dianalisis sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G.
Sistematika Penulisan. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana
masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam knteks yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya dalam beberapa bab berikut ini: Bab I Pendahuluan: Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Mengenai Deelneming (Penyertaan) Dalam Hukum Positif Indonesia: Dalam
bab
ini
akan
dibahas
mengenai
pengertian
deelneming
(penyertaan), pengaturan mengenai deelneming (penyertaan) dalam KUHP dan Pertanggung jawaban pidana yang dilakukan secara deelneming. Bab III Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia: Dalam bab ini akan dibahas mengenai perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, pengaturan hukum terhadap tindak pidana Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pemalsuan ijazah, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pemalsuan Ijazah Bab IV Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah: Dalam bab ini akan dibahas mengenai
upaya dalam penanggulangan
tindak pidana pemalsuan Ijazah.. Bab V. Penerapan Pasal 55 KUHP (Deelneming) Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Studi Putusan No.2876/Pid B/2006/PN Medan Dan Putusan No.2877 / Pid B/2006/PN Medan: Dalam bab ini akan dibahas mengenai Penerapan Pasal 55 Dan 56 KUHP (Deelneming) Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Studi Putusan No.2876/Pid B/2006/PN Medan Dan Putusan No.2877 / Pid B/2006/PN Medan, bagaimana kasus posisi dan analisis kasus tersebut. Bab VI Penutup: Dalam bab ini akan diambil kesimpulan yang disertai dengan saran dari penulis melalui penelitian yang dilakukan oleh penulis.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB II. TINJAUAN MENGENAI PENYERTAAN ( DEELNEMING ) DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA.
A. Pengertian Penyertaan ( Deelneming )
Secara garis besar , kita mengenal dua ajaran tentang penyertaan , yaitu ajaran yang bersifat umum atau sering juga disebut asas-asas umum dari penyertaan, dan ajaran yang kedua adalah ajaran yang masih diperbincangkan. Mengenai ajaran yang pertama yang menjadi acuan adalah pasal 55 s/d pasal 62 KUHP yang sudah tentu sistem pemidanaannya, baik untuk pelaku yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan maupun yang membantu melakukan sudah diatur dengan jelas. Artinya dalam ajaran yang kedua ini selalu akan timbul pertanyaan-pertanyaan apakah hanya pelaku, atau pesertanya juga ikut dipidana. Pengertian turut serta dalam melakukan peristiwa pidana ( delik ), sering pembuat ( Dader ) dibantu oleh seorang lain dan justru karena turut sertanya orang lain ini, yang menurut kata POMPE “ bijdragebaan het sraftbare feit, voorzover zij niet bestaan in het plegen.. memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan. Sebagai contoh : A hendak mencuri barang yang disimpan dalam suatu ruangan yang tertutup ( misalnya gudang yang sedang tertutup ) tetapi baru bisa dapat dimasuki ruangan tertutup itu dan mengambil barang tersebut, sesudah B penjaga ruaangan tertutup itu membuka pintunya bagi si A. jadi jelas bahwa, tanpa turut sertanya si B itu maka peristiwa Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pidana yang kita kenal dengan “ Pencurian” tidak terjadi yaitu tidak dapat dilakukan oleh A. Pelajaran umum turut serta itu adalah buah pikiran VON FEURBACH, sarjana hukum bangsa Jerman yang terkenal, yang menyatakan bahwa adanya dua jenis peserta, yaitu : a.
Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana.
b.
Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut pada ad a, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha. Mereka yang termasuk golongan pertama disebut VON FEURBACH :
Auctores atau
Urheber, sedangkan yang termasuk golongan yang kedua
disebutnya : Gehilfe. Urheber adalah yang melakukan inisiatif dan Gehilfe adalah yang membantu saja. Dengan pembagian dalam dua golongan inilah yang juga diterima oleh KUHPidana kita yang diatur dalam pasal 55 disebut sebagai mereka yang termasuk golongan Urheber : yang melakukan ( pleger ), yang menyuruh untuk melakukan ( Doen pleger ), yang turut melakukan ( Medepleger ) dan yang membujuk melakukan ( uitlokker ) sedangkan dalam pasal 56 disebut mereka yang menjadi Gehilfe yaitu yang membantu melakukan ( Medeplechtige). Perlu ditegaskan disini bahwa KUHPidana tidak mengenal pembagian turut serta dalam dua golongan itu, seperti yang telah saja di kemukakan diatas tadi. KUHpidana membagi antar “ Pembuat “ dan “Pembantu “ Sehubungan dengan ini, UTRECHT 20 mengatakan bahwa “ Pelajaran umum Turut serta ini dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan
20
Utrecht. E, Hukum Pidana I , Universitas Bandung, 1968 , halaman 5
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
atau bukan pembuat. Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang –orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Pelajaran ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan Pembuat melakukan peristiwa pidana , biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana tersebut. Sekalipun mereka bukan Pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, mereka masih juga dapat dituntut pertanggungjawaban atas dilakukannnya peristiwa pidana itu. Karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah Rasio pasal 55 KUHPidana. Memang dalam prakteknya tindak pidana dapat diselesaikan oleh bergabungnya beberapa atau banyak orang, yang setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku tertentu, dari tingkah laku mereka itulah melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya yang melahirkan tindak pidana itu. Dari segala keterangan diatas telah dapat diperoleh gambaran tentang apa sesungguhnya apa yang dimaksud dengan penyertaan. Penyertaan ( Deelneming ) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta / terlibatnya orang atau orang-orang baik secara fisik maupun psikis dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana , perbuatan masing-masing dari mereka ynag berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itulah terjalin hubungan yang sedemikian erat , dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan oleh lainnya yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana. Oleh karena itu berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah barang tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap atau beberapa perbuatan oleh masing-masing orang itu juga berbeda.
B. Pengaturan Penyertaan ( deelneming ) dalam KUHP
Bentuk-Bentuk Penyertaan Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan mededader ( disebut para peserta atau para pembuat ) dan pasal 56 KUHP mengenai Medeplechtige ( pembuat pembantu ). Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
atau keterangan , sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. ( 2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatn Dari kedua pasal tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok: 1.
Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat ( mededader ) adalah mereka ; a. yang melakukan ( Plegen), orangnya disebut dengan pembuat pelaksana ( Pleger ) b. yang menyuruh melakukan ( doenplegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh ( doenpleger) c. yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan Pembuat peserta (mede pleger) d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur ( uitlokker ).
2.
Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu ( medeplechtige ) kejahatan, yang dibedakan menjadi:
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
a. Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan. b. Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan. Dengan diketahuinya dua bentuk penyertaan, maka kini dapatlah diketahui bahwa menurut sisten hukum pidana kita, dapat diketahui perihal siapa-siapa yang dapat membuat tindak pidana dan atau terlibat dalam terwujudnya tindak pidana, yaitu : 1. Orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan tindak pidana, yang disebut dengan pembuat tunggal ( Dader ). Kriterianya adalah : a. Dalam mewujudkan suatu tindak pidana ada keterlibatan orang lain baik secara pisik ( obyektif ) maupun secara psychis ( subyektif ) b. Dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana tertentu yang dirumuskan oleh undang-undang. Orang inilah yang dimaksud dengan perkataan “ barang siapa “ ( Hij die ) dalam permulaan rumusan setiap tindak pidana, yang sering oleh JPU dianggap sebagai unsur tindak pidana yang walaupun sesunguhnya bukan unsur tindak pidana, tetapi subjek tindak pidana 2. Orang yang disebut dengan para pembuat ( mededader ), yang dalam mewujudkan tindak pidana terlibat banyak orang dan terdiri dari empat bentuk sebagaimana yang disebut dalam pasal 55 KUHP. Orang-orang ini melakukan perbuatan yang dipertanggungjawabkan sama seperti pembuat tunggal, yang berbeda dengan pembuat pembantu. 3. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplechtige ) sebagaimana yang disebut dalam pasal 56 KUHP. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Diluar apa yang disebut dengan pembuat dan dimasukkan kedalam tiga kualitas pembuat ( Pembuat tunggal, para pembuat dan pembuat pembantu ) tidak ada orang lain yang dapat disebut pembuat yang dibebani tanggung jawab pidana. Dasar penentuan dari subjek tindak pidana “ Dader “ telah jelas seperti yang diterangkan diatas. Tetapi apa dasar penentuan orang-orang yang masuk kedalam golongan para pembuat
( mededader ) dan pembuat pembantu (
medeplechtige ). Didalam MvT WvS Belanda terdapat keterangan yang sedikit memberikan arahan, bahwa perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah ‘ para pembuat secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan tindak pidana. Jadi dari penjelasan Mv WvS itu dapatlah disimpulkan bahwa dasar menentukan orang-orang masuk kedalam golongan para pembuat ( mededader ) itu dan masuk golongan pembuat pembantu ( medeplechtige ) atas dasar atau pandangan obyektif. Melihat perumusan pasal 55 ayat (1) KUHP yang dimulai dengan kalimat “ dihukum sebagai pembuat sesuatu tindak pidana “
21
, dapat menimbulkan
pertanyaan yaitu; a. siapakah yang dimaksud dengan pembuat ? b. apakah pembuat disitu sama dengan pembuat ( dader ) seperti yang dimaksud dengan barang siapa ( Hij die ) pada setiap rumusan tindak pidana ? Dalam hal ini yang perlu dijelaskan adalah: 21
Engelbrecht WA, Kitab Undang-undang, Undang-undang dan Peraturan-peraturan serta Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1960 Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1. Pembuat dalam pengertian dader, telah jelas adalah pembuat tunggal yaitu melakukan tindak pidana secara tunggal dan pribadi artinya tidak ada orang lain yang terlibat serta baik secara fisik ( obyektif ) maupun secara psykis ( subjektif ). Syaratnya adalah perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan Undang-undang. Pengertian pembuat seperti inilah yang dimaksud “ barang siapa “ pada setiap permulaan rumusan tindak pidana. 2. Sedangkan pembuat dalam arti orang yang disebut dalam rumusan pasal 55 ayat (1) KUHP tidak melakukan tindak pidana secara pribadi, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jika dilihat dari sudut perbuatan masing-masing berdiri sendiri, perbuatan mana hanyalah memenuhi sebagian dari syarat/ unsur tindak pidana. Semua syarat tindak
pidana terpenuhi tidak oleh
perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta. 3. Jelaslah para pembuat ( mededader ) bukanlah dader, peserta-peseta dalam mededader tidak memenuhi syarat yang sama dengan syarat seorang dader. Bahwa yang sama adalah beban tanggung jawabnya, yang mana pertanggung jawaban pidana bagi para terlibat dalam mededader adalah sama dengan pertanggungjawaban bagi seorang dader.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1. Mereka Yang Melakukan ( Pembuat Pelaksana : Pleger ).
Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan ( zij die het fiet plegen ) atau dengan syarat-syarat apa seseorang yang terlibat dalam tindak pidana disebut dengan orang yang melakukan atau pembuat pelaksana ( Pleger ) ? apakah pembuat pelaksana sama atau tidak sama dengan pembuat tunggal (enkelvoudige pleger)? Undang-undang tidak menjelaskan lebih jauh tentang siapa yang dimaksud dengan “ mereka yang melakukan ini “ Pada kenyatannya untuk menentukan orang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sulit. Kriterianya cukup jelas, yaitu secara umum ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tidak pidana formil, wuud perbuatnnya adalah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang. Tetapi apabila ada orang lain yang ikut terlibat serta kedalam tindak pidana, baik
secara fisik maupun psikis, apakah syarat dari seorang dader harus juga
menjadi syarat seorang pleger? Oleh karena seorang pleger itu adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader. Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana, sama dengan seorang dader. Jadi tampak secara jelas bahwa penentuan seorang pembuat pelaksana ini adalah didasarkan pada ukuran obyektif. Jika demikian apa bedanya pleger ini dengan dader. Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
diperlukan keterlibatan minimal seorang lainya, baik secara psikhis, misalnya terlibat dengan seorang pembuat penganjut; atau terlibat secara phisik, misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal sumbangan peserta lain ini, pembuatannya haruslah sedemikian rupa sehingga pembuatannya itu tidak semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju. Pembuat peserta tidaklah mungkin terlibat bersama pembuat penyuruh, karena dalam hal pembuat penyuruh, pembuat materiilnya (manus ministra) adalah tidak dapat dipidana. Sedangkan pembuat peserta dipertanggungjawabkan dan diancam pidana yang sama dengan dader (pembuat tunggal), dan sama pula dengan bentuk-bentuk penyertaan lainya dalam pasal 55 ayat butir 1 KUHP yang disebut dengan mededader, Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil,
pembuat
pelaksanaanya ialah siapa yang melakukan dalam menjyelesaikan pembuat terlarang yang dirumuskan pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara material, plegernya adalah orang yang pembuatanya menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang. Secara umum, demikian ukuran pembuatan seorang pleger. Tetapi dalam tindak pidana yang disebut dengan tindak pidana membuat atau meneruskan suatu keadaan terlarang, tidak dapat menggunakan ukuran itu, tetapi ukuran lain. Dalam hal ini Hoge Raad dalam suatu arrestnya (19-12-1910) memformulerring bahwa orang yang menciptakan atau meneruskan keadaan terlarang itu adalah siapa yang mempunyai kemampuan untuk mengakhirnya, dan dialah yang dipidana. Bahwa Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, pada umumnya dia berkewajiban untuk itu. Menurut Moeljatno 22 , bahwa bukan siapa yang mampu untuk mengakhiri keadaan terlarang itu yang wajib mengakhiri keadaaan terlarang tetapi siapa yang kewajiban itu dia mampu untuk mengakhiri keadaan yang terlarang.
Pandangan itu terdapat pula dalam
arrest lainya, yakni kasus “limbah perusahaan” yang mengandung racun mengalir keluar dari riool pabrik ke waterleding, dimana Hoge Raad yang mempersalahkan Pimpinan Perusahaan, karena dia dianggap mempunyai kemampuan dan oleh karena itu dia wajib mengakhiri keadaan yang dimengerti olehnya sebagai dilarang oleh ketentuan Undang-undang 23 Dalam kasus lainya, yang peristiwanya ialah: tiga orang bersepeda? Dalam kasus semacam ini, Hoge Raad berjajar tiga dijalan raya, yang menurut hukum di larang. Siapakah pembuat pelaksanaanny Hoge Raad dalam putusanya (19-1-1931) telah memberikan pedoman ialah bahwa siapa yang menyebabkan timbulnya keadaan terlarang dan dialah wajib mengakhirinya, dan dialah yang harus dipertanggungjawabkan dan dipidana atas penciptaan keadaan yang terlarang itu Apabila pedoman pada arrest ini yang dihubungkan dengan arrest sebelumnya (19-12-1910) mestinya yang paling berkewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu adalah orang ketiga yang paling di tengah jalan (di Indonesia yang paling kanan, dan di Belanda adalah yang kiri, Tetapi oleh Hoge Raad (arrest tanggal 9 Maret 1948) dalam kasus 3 orang yang bersepeda dengan berjajar, telah disalahkan terhadap ketiga-tiganya dan di jatukan pidana dengan masing-
22 23
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana. Bina aksara, Jakarta, 1983 halaman 106 Ibid
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
masing.Berarti ketiga-tiganya dianggap mempunyai kewajiban yang sama untuk mengakhiri keadaan yang terlarang itu.
2. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh: Doen Pleger). Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh lakukan (doen pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “ yang menyatakan bahwa “yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tanganya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesaatkan atau tinjuk pada kekerasan. 24 Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu : a.
Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya
b.
Orang lain itu berbuat: 1) tanpa kesengajaan 2) tanpa kealpaan 3) tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan: a) yang tidak di ketahuinya;
24
Ibid.hal 33
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
b) karena di sesatkan; dan c) karena tunduk pada kekerasan. Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang di terangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang di suruh melakukan itu tidak dapat di pidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subyektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (obyektif). Berdasarkan MvT tersebut, maka dapatlah ddisimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih di tekankan pada ukuran obyektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang di buat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesunggguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subyektif, yakni dalam hal tidak dipidannya pembuat materiilnya ( orang yang di suruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif. a. Orang Lain Sebagai Alat Di dalam Tangannya Dari keterangan MvT itu dapat kesimpulan tentang pembuat penyuruh, pasti dialah orang yang menguasai orang lain, sebab orang lain itu adalah sebagai alat, orang inilah sengguhnya yang mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat penyuruhnya tidak melakukan sesuatu pembuat aktif, pembuat pelaku penyuruh tidak melahirkan tindak pidana oleh karena orang lain itu sebagai alat, maka dia-orang yang disuruh melakukan itu disebut dengan “Manus Minestra”. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Sedangkan pembuat penyuruhnya yang menguasai orang lain sebagai alat, maka orang lain yang berkwalitas demikian disebut dengan “ Manus Domina”, yang dalam doktrin sering disebut dengan “middelijke dader” (pembuat tidak langsung). Tidak ada perbedaan paham tentang tidak dapat dipidananya manus ministra dalam bentuk menyuruh lakukan. Hanya mengenai sebab mengapa dia tidak dapat di pidana timbul beberapa pendapat, seperti di bagian belakang akan di terangkan. Dalam pratik hukum pun tidak ada persoalaan tentang manus ministra tidak dapat di jatuhi pidana, misalnya dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung (1-12-1956, No 137 /K/Kr/1956) menegaskan bahwa “ makna dari menyuruh lakukan (doen plegen) suatu tindak pidana, sebagaimana yang di maksudkan oleh pasal 55 ayat (1), syaratnya menurut ilmu hukum pidana, tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya dan oleh kerenanya ia tidak dapat di hukum”. Bahwa tentang apa yang di maksud dengan melakukan tindak pidana tidak secara pribadi tetapi dengan menggunakan orang lain sebagai alat dalam tangannya, mengandung konsekuensi logis, ialah : a. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh perbuatan pembuat penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang lain (manus minestra); b. Orang lain itu tidak bertanggung jawab atas perbuatanya yang pada kenyataannya telah melahirkan tindak pidana. c. Mengenai hal ini telah di tegaskan sebab-sebabnya oleh MvT sebagaimana pada unsur-unsur pada huruf b. pihak yang bertanggung jawab ada pada pembuat penyuruh (manus domina). Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Manus minestra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuat penyuruh. Sebagaimana di atas telah disinggung bahwa, dasar tidak dipidananya manus ministra terletak pada alasan subyektif dan alasan obyektif pada diri pembuat materiil (manus ministra). Alasan obektif karena dia tunduk pada kekerasan, sedangkan selebihnya adalah berupa alasan subyektif. b. Tanpa Kesengajaan Atau Tanpa kealpaan Perbuatan manus ministra pada kenyataannya telah mewujudkan tindak pidana, namun tidak ada kesalahan didalamnya, baik karena kesengajaan maupun kealpaan. Contoh karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu (manus domina) menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Dia-pembantu adalah manus ministra dalam kejahatan mengedarkan uang palsu (245). Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya uang yang di belanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan = opzettelijk) Karena alasan tanpa kealpaan, contohnya seorang Ibu membenci pada seorang pemulung karena seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui pemulung yang di bencinya itu sedang mencari benda-benda bekas bekas di bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membikin penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk menumpahakan air panas dari jendela, dan mengenai Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pemulung tersebut, pada diri pembantu tidak ada kelalaian, apabila tidak diketahuinya selama ini bahwa, karena keadaan tidaklah mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada di bawah jendela, dan perbuatan seperti itu telah sering pula dilakukannya. c. Karena Tersesatkan Apa yang dimaksud dengan tersesatkan disini ialah kekeliruan atau kesalah pahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in casu manus domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas kesahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karena dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja menyebabkan keadaan tersesatkan itu. Contohnya, ada seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang penumpang kereta api. Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta. Orang jahat itu telah mengikutitnyadan ikut pula menaiki kereta . seketika pemilik koper itu sedang tertidur lalap, diman kereta api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat penjahat tadi menuyuruh seorang kuli angkot untuk menurunkan koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian di pesan. Pada peristiwa ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang lain oleh sebab tersesatkan. Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, melainkan pada orang jahat yang in casu berkualitas sebagai pembuat penyuruh
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
d. Karena Kekerasan Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal bentuk pembuat penyuruh, kekerasan ini datangnya dari pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik orang lain (manus ministra), sehingga orng yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikendaki oleh pembuat penyuruh. Contoh dua orang hendak merampok yang marah, karena tuan rumah tidak hendak memberitahu nomor kode pembuka brankas, bersama-sama melemparkan tuan rumah itu dari jendela rumah yang bertingkat, dan korban menimpa anak kecil yang sedang bermain di bawah dan mati. Atas matinya anak ini tidak dapat dipertanggungjawabkan pada tuan rumah, tetapi pada dua orang ang melemparkannya. Dalam peristiwa ini, tuan rumah adalah murni manus ministra, semata-mata dalam alat dalam kekuasaan dua orang yang hendak merampok tadi, dan mereka adalah pembuat penyuruh. Dari apa yang telah diuraikan mengenai tidak dapat dipidananya pembuat material dalam bentuk orang orang yang menyuruh melakukan menurut keterangan yang termuat dalam MvT, maka dari sudut perbuatan, manus ministra itu dapat di bedakan antara : a.
Manus ministra yang berbuat positif. Pada sebab dipidananya manus ministra atas dasar tanpa kesalahan ( baik kesengajaan maupun kealpaan), tersesatkan, sesuatu sebab dari sikap batinnya sendiri (subyektif). Disini tindak pidana dapat terwujud adalah atas perbuatanya sepenuhnya.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
b.
Manus ministra yang tidak berbuat apapun. Pada sebab tidak dipidananya manus ministra-pembuat materilnya atas dasar kekerasan, sesuatu yang dapat menyebabkan ketidakberdayaan fisik absolut. Disini manus ministra murni sebagai alat,laksana sebuah tongkat untuk menemukan orang. Mengenai tidak dapat dipertanggungjawabkannya manus ministra (
pembuat materilnya) dalam bentuk menyuruh lakukan dan karenaya tidak boleh di pidana, tidaklah ada perbedaan pendapat. Pendapat umum mengenai tidak dapat dipidannya manus ministra telah ada sejak tahun 1898, dan bahkan telah dianut dalam pratik hukum sebagaimana juga dalam arrset Hoge Raad tanggal 27 Juni 1898
25
.Bagi kalangan ahli terdapat perbedaan pendapat hanyalah dari hal sebab
apa tidak dapat dipidanya manus ministra. MvT mengatakan tidak dipidanya itu karena berbuat tidak sengajaan, tanpa kealpaan dan tanpa pertanggungjawaban (zonder opzet, schuld of toerekenbaarheid). VOS menyatakan bahwa tidak pidananya pembuat materiil dalam bentuk menyuruh lakukan, oleh beberapa sebab, yaitu : a. orang yang disuruh melakukan (manus ministra) adalah tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya oleh karena jiwanya cacad dalam pertumbuhannya dan tergangggu jiwanya karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 48 KUHP. b. Pembuat materilnya itu terpaksa melakukan perbutan yang pada kenyataanya tindak pidana karena adanya pengaruh daya
paksa
(overmacht) sebagaimana yang dimaksud pasal 48 KUHP.
25
Utrecht, op cit halaman 20
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
c. Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyatanya tindak pidana oleh sebab menjalankan perintah jabatannya yang tidak sah dengan itikad baik, sebagaimana yang dimaksud pasal 51 ayat (2) KUHP; d. Pada diri pembuat materil tidak terdapat kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. e. Manus ministra dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi syarat salah satu unsur dari tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Misalnya tindak pidana itu membutuhkan kualitas pribadi tertetu perbuatannya, atau memerlukan unsur kesengajaan atau melakukan unsur melawan hukum, tetapi pda orang itu maupun pada perbuatannya tidak ada 26 . Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Simons, bahwa menurut beliau orang yang disuruh melakukan tindak pidana, sebabnya adalah: a.
apabila perbuatan orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya
karena
jiwanya
cacat
dalam
pertumbuhannya dan atau ganguan jiwa karena penyakit, seperti yang dimaksud oleh pasal 44 KUHP. b.
Apabila yang disuruh melakukan mempunyai kekhilafan (dwaling) mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang diwujudkan;
c.
Apabila yang disuruh melakukan itu dapat melakukan perbuatannya tidak terdapat unsur kesalahan, baik kesengajaa maupun kelalaian;
26
ibid
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
d.
Apabila yang disuruh melakukan dapat melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tidak perbuatan tindak pidana, tidak terdapat maksud (ogremik) padahal unsur itu diisyaratkan dalam tindak pidana;
e.
Apabila yang disuruh melakukan itu dapat melakukan dibawah pengaruh daya paksa seperti yang dimaksud oleh pasal 48 KUHP;
f.
Apabila yang disuruh melakukan melakukannya dalam hal dalam melaksanakan dalam perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51ayat 2 KUHP);
g.
Apabila yang disuruh melakukan tidak mempunyai sifat (hoedanighied) tentu pada dirinya diisyaratkan oleh tindak pidana yang dilakukannya. Ada dua sebab mengapa orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat
bertanggungjawab menurut hukum pidana atas apa yang dilakukannya, yaitu: 1. Orang itu sama sekali tidak melakukan satu peristiwa pidana atau perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikwalifikasikan sebagai peristiwa pidana. 2. Orang itu memang melakukan suatu peristiwa pidana tetapi ia tidak dapat dihukum karena ada satu atau beberapa alasan-alasan yang menghilangkan kesalahan. Mengenai syarat pembuat penyuruh yang dikemukakan oleh kedua ahli hukum Belanda itu, juga disetujui oleh banyak ahli antara lain MOELJATNO, yang mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan tindak pidanaya orang yang disuruh, .karena : a) tidak
mempunyai
kesengajaan,
kealpaan
ataupun
kemampuan
bertanggungjawab; Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
b) berdasarakan pasal 44 KUHP; c) dalam keadaan daya paksa pasal 48 KUHP; d) berdasarkan pasal 51 ayat 2 KUHP; e) orang yang disuruh tidak mempunyai sifat kualitas yang disiaratkan dalam beli, misalnya pasal 413-437 KUHP 27 . Bagi UTRECHT berbeda cara dalam melihat sebab mengapa pembuat menyuruh tidak dapat di pidana. Beliau merinci sebab itu menjadi dua, yaitu : a. Pertama, manus ministra itu sebenarnya tidaklah melakuakan tindak pidana, atau perbuatan apa yang diperbuatnya tidaklah dapat dikualifisir sebagai tindak pidana; b. Kedua, manus ministra dalam berbuat yang pada kenyataanya tindak pidana, oleh sebab itu beberapa alasanya menghapuskan kesalahan (schulduitsluitingsgronden) pada diri pembuat materillnya itu 28 . Untuk alasan yang pertama, diberikan contoh ialah sebagai orang juru rawat yang diperintah oleh dokter untuk memberikan suatu obat kepada seorang pasiennya, di mana dokter tersebut bermaksud membunuh si pasien.Dokter tahu betul bahwa obat itu akan segera mematikan pasien yang dituju. Jururawat yang tidak mengetahui maksud dokter yang sebenarnya dan tidak tahu pula bahwa obat itu dapat mematikan si pasien, dan karena tunduk pada perintah dokter, dia memberikan obat itu, dan matilah sipasien. Pada contoh diatas, apa yang telah diperbuat oleh juru rawat tidaklah dapat dikualifisir sebagai pembunuhan, unsur kesengajaan yang ditujukan pada akibat
27 28
Moeljatno, op. cit hal 124 Utrecht, op cit hal 21
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
kematian si pasien tidak ada, padahal unsur ini adalah unsur yang tidak dapat dihilangkan bagi kejahatan pembunuhan. Alasan penghapus kesalahan yang dimaksud adalah alasan peniadaan hukuman yang berasal dari batin si pembuat. Perbuatan si pembuat pada kenyataannya atau wujudnya adalah tindak pidana, tetapi tidak terdapat unsur kesalahan pada diri si pembuat.
3 . Mereka
Yang
Turut
Serta
Melakukan
(
Pembuat
Peserta:
Medepleger). Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (Medepleger), oleh MvT MvS Belanda diterangkan bahwa yang trut serta melakukan adalah setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana 29 . Keterangan ini belum memberikan penjelasa yang tuntas. Oleh karena itu menimbulkan perbedaan pandangan. Pada mulanya disebut dengan turut berbuat itu bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan Pandangan yang sempit ini dianut oleh VAN HAMEL dan TRAPMAN yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masingmasing peserta memuat semua unsur tindak pidana. Pandangan seperti ini lebih condong pada ajaran obyektif. Pandangan ini tidak salah sepenuhnya, karena gambaran pembuat peserta seperti itu dalam kenyataannya bisa terjadi. Pandangan ini sempit, benar-tapi
29
Ibid: hal 32
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pembuat peserta tidak sesempi itu. Dengan syarat perbuatan yang harus sama seperti ini, menimbulkan masalah. Masalah itu adalah , karena perbuatannya sama, lalu siapakah diantara mereka itu sebaga pembuat pelaksananya? Sangat sulit menentukannya. Biasanya lalu dijawab pembuat pelaksananya adalah orang yang satunya terhadap orang yang lainnya sebagai pembuat peserta, demikian juga sebaliknya orang yang lain ini adalah sebagai pembuat pelaksana terhadap orang yang satunya sebagai pembuat pesertanya. Sedangkan bagi pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksananya. Pandangan yang luas ini lebih mengarah pada ajaran subjektif. Pandangan yang luas ini adalah pandangan yang lebih modern daripada pandangan yang lama yang lebih sempit sebagaimana yang diterangkan diatas tadi. Dalam arrest Hoge Raad (29-10-1934, dikenal dengan hooi arrest), yang telahb jelas-jelas menganut pandangan luas, duduk perkaranya adalah berikut ini. Ada dua orang, A dan B sama- sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang yang mereka benci. Pada waktu yang telah mereka sepakati, mereka berdua masuk kandang kuda itu. Didalam kandang kuda, ada loteng dan disana ditempatkan rumput kering (hooi) untuk makanan kuda. Untuk membakar kandang kuda itu, dilakukan dengan cara membakar rumput kering diatas loteng. Untuk pembakaran itu, A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng sedangkan B memegang Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
tangga. Pada mulanya dengan sebuah korek api A mencoba membakar rumput namun gagal karena rumput diatas belum kering sepenuhnya. B lalu mengumpulkan daun-daun kering yang kemudian diserahkan pada si A untuk maksud dapat dimulai dengan membakar aun-daun kering itu, namun juga tidak dapat terbakar. Namun setelah beberapa kali menyulutkan korek api pada rumput diloteng, akhirnya berhasil juga A membakar rumput kering itu, dan seterusnya api menjalar dan meluas sehingga terbakarlah seluruh kandang kuda milik C. B disidang pengadilan mengajukan pembelaan, bahwa dia bukanlah sebagai orang yang membakar kandang kuda (pasal 187), dia tidak melakukan tindak pidana pembakaran, karena perbuatannya sekedar memegang tangga yang perbuatan mana dia adalah hanya membantu (pembuat pembantu). Hoge Raad mengenyampingkan alasan pembelaan B, dan menghukum B karena salahhnya telah turut serta(pembuat peserta)melakukan pembakaran, sedangkan A adalah berkualitas sebagai pembuat pelaksanaanya. Dalam konklusinya, Jaksa Agung menyatakan bahwa pembakaran itu tidak sama dengan membakar sesuatu. Pembakaran terdiri dari suatu kompleksitas perbuatan-perbuatan yang tidak sekedar berbuat menyalahkan korek api belaka. Hoge Raad juga sependapat dengan Jaksa Agung, dan berpendapa bahwa perbuatan memegang tangga dan tidak dari tangannya menyalakan api adalah juga telah melaksanakan sebagian dari unsur-unsur tindak pidana menimbulkan kebakaran (187). Karena antara a yang wujud perbuatannya membakar dengan B yang wujud perbuatannya memegang tangga terdapat kerjasama yang begitu eratnya, sehingga menimbulkan kebakaran. Kerjasama yang erat ini terdapat dalam hal sebelumya telah ada kesepakatan antara A dan B untuk secara bersama Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
membakar kandang kuda milik C. permufakatan untuk bekerja sama dalam melakukan pembakaran ini sebagai indikkator bahwa disini ada kerjasama yang diinsyafi (bewuste samenwerking). Hoge Raad dalam arrestnya ini telah meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk pembuat peserta, ialah: a. Antara para peserta ada kerjasama yang diinsyafi dan kerjasama tersebut tidak perlu diperjanjikan dan direncanakan para peserta terlebih dahulu yaitu pada waktu mereka memulai perbuatan tersebut. b. Para peserta telah sama-sama melakanakan tindak pidana yang dimaksudkan 30 . Hoge Raad dengan arrestnya ini telah membentuk suatu pandangan tentang pembuat peserta yang semula indikatornya hars sama-sama memenuhi semua unsur tindak pidana, menjadi ada kerjasama yang diinsyafi dan mereka telah melaksanakan tindak pidana, yang menitikberatkan pada ajaran subyektif daripada pendapat lama yang bertitik tolak pada ajaran penyertaan obyektif. Berdasarkan pandangan ini, maka dari hanya semata-mata dari sudut perbuatan(obyektif), perbuatan pembuat peserta boleh sama dan tidak berbeda dengan perbuatan seorang pembuat pembantu. Perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pembantu hanyalah dari sudut kesengajaan saja (sudut obyektif) yaitu kesengajaan pembuat pembantu hanya ditujukan pada perbuatan untuk mempermudah terwujudnya kejahatan bagi orang lain, dan dia tidak mempunyai kepentingan yang sama dengan pembuat pelaksananya. Sedangkan pada pembuat peserta kesengajaannya ditujukan pada penyelesaian tindak pidana, adalah sama
30
Ibid: hal 37
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
dengan kesengajaan dari pembuat pelaksananya. Kepentingan pembuat peserta terhadap terwujudnya tindak pidana adalah sama dengan kepentingan pembat pelaksana untuk terwujudnya tindak pidana. Demikian pentingnya syarat kerja sama yang diinsyafi itu.
4.
Orang yang sengaja mengajurkan (pembuat penganjur:uitlokker) Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga
auctor intellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh melakukan tidak mewujudkan tindak pidana secara materill, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat yaitu ”yang menyuruh melakukan” tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap dengan meyebutkan unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif. Rumusan itu selengkapnya adalah: ”mereka
yang
dengan
memberi
atau
menjanjikan
sesuatu,
dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Apabila rumusan itu hendak dirinci, maka unsur-unsurnya adalah: Unsur-unsur obyektif, terdiri dari: a. Unsur perbuatan, ialah: menganjurkan orang lain melakukan perbuatan; b. Caranya adalah: 1. dengan memberikan sesuatu; 2. dengan menjanjikan sesuatu; 3. dengan menyalahgunakan kekuasaan; 4. dengan menyalahgunakan martabat; Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
5. dengan kekerasan; 6. dengan ancaman; 7. dengan penyesatan; 8. dengan memberi kesempatan; 9. dengan memberikan sarana; 10. dengan memberikan keterangan. Unsur subyektif, yakni: dengan sengaja Dari rumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan ada lima syarat dari seseorang pembuat penganjur, ialah: a. Pertama tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan pada 4 hal, yaitu:
1) Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran; 2) Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya; 3) Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan); dan 4) Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. b. Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 55 ayat 1 angka 2 tersebut. c. Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya –upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur(adanya psychische causaliteit); d. Keempat,
orang
yang
dianjurkan
(pembuat
pelaksananya)
telah
melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan(boleh pelaksanaan itu selesaitindak pidana sempurna atau boleh juga terjadi percobannya); e. Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Pasal 56 KUHP Berbunyi: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1.barang siapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu. 2.barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu Pada nomor 1 diatas telah dikemukakan bahwa perbedaan antara pesertapeserta delik yang tergolong dalam pasal 55 KUHP dan peserta delik yang tergolong dalam pasal 56 KUHP, berasal dari VON FEURBACH. Untuk dapat mengerti perbedaan antara jenis-jenis turut serta, terutama turut melakukan yang tergolong dalam pasal 55 KUHP dan jenis turut serta dalam pasal 56 KUHP maka terlebih dahulu diuraikan tentang unsur-unsur membantu melakukan itu. Pertama perlu dibuat pembatasan bahwa membantu melakukan hanya dihukum dalam hal kejahatan yang dijelaskan dalam pasal 60 KUHP, yang menyatakan “ Pembantu dalam melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum “. Ketentuan ini peting supaya dapat dicegah hal pembuat peraturan perundangHendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
undangan yang lebih rendah, seperti Pemerinah Daerah menentukan hukuman atas membantu pelanggaran. Hal yang penting dalam pasal 56 KUHP ini adalah dibedakannya antara dua jenis membantu, yaitu: a.Membantu, melakukan kejahatan dan b.Membantu, untuk melakukan kejahatan. Dalam hal membantu melakukan maka bantuan diberi pada saat kejahatan sedang dilakukan sedangkan dalam hal untuk membantu melakukan kejahatan maka bantuan diberikan pada waktu sebelum kejahatan dilakukan. Selanjutnya, membantu untuk melakukan kejahatan, cara-cara membantu itu ditentukan secara limitatif yaitu; memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan. Cara-cara membantu melakukan kejahatan tidak disebutkan. Tetapi sesuai dengan apa yang telah diuraikan diatas, maka untuk menentukan apakah perkara yang yang bersangkutan adalah perkara tentang membantu atau perkara tentang membujuk melakukan, kita dapat berpegangan pada ukuran apabila kehendak untuk berbuat jahat telah ada, maka perkara yang bersangkutan adalah perkara tentang membantu, sedangkan apabila kehendak untuk berbuat jahat justru ditimbulkan oleh memberi kesempatan dan daya upaya atau keterangan itu maka perkara yang bersangkutan adalah perkara tentang membujuk atau menyuruh melakukan. Kedua jenis membuat yang dikemukakan diatas apat berupa perbuatan (daad) ataupun nasehat (raad). Membantu dengan berbuat disebut membantu materil (materiale medeplechtige) dan membantu dengan cara memberi nasehat disebut membantu Intelektual (intelectuale medeplechtige). Dalam hal ini, KUHP Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
tidak membedakan antara membantu materil dan membantu intelektual.Mengenai membantu dengan berbuat, dapat dikemukakan bahwa berbuat itu adalah suatu sikap aktif. Tetapi membantu dapat juga diadakan dengan tinggal diam, yaitu dengan sikap pasif. Mengenai pertanggungjawaban membantu ini dijelaskan dalam pasal 57 KUHP. Unsur-unsur yang penting dari pasal ini adalah “ selama-lamanya hukuman pokok bagi kejahatan, dikurangi dengan sepertiganya dalam hal membantu melakukan kejahatan. Berarti dalam hal ini, pelanggaran tidak dihukum. Disamping itu, perlu juga dikemukakan bahwa yang dikurangi sepertiganya bukanlah hukuman yang diputuskan oleh hakim tetapi maksimum dari hukuman utama yang oleh undangundang
hukum
pidana
diancamkan
terhadap
dilakukannya
delik
yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dapatlah terjadi dalam praktek pengadilan seorang pembantu diberi hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang ditetapkan bagi pembuat yang dibantunya, tetapi hukuman yang lebih berat itu tdak boleh melebihi hukuman utama yang diancamkan itu sesudah dikurangi dengan sepertiganya. Ayat 2 menentukan bahwa “jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun. Jelaslah bahwa pasal 57 KUHP mengenai hukuman utama didasarkan atas prinsip bahwa hukuman yang ditetapkan bagi pembantu melakukan harus lebih ringan daripada hukuman yang ditetapkan bagi si pembuat.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
C. Sistem Pertanggung jawaban Pidana Pada Penyertaan. Penyertaan (Deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikid maupun pisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka yang berbeda satu sama lain demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itulah terjalin suatu hubungan ang sedemikian eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana. Oleh karena berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah barang tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap atau beberapa perbuatan oleh masing-masing orang itu juga berbeda. Persoalannya juga demikian pokok dalam ajaran penyertaan yaitu: 1. Pertama, mengenai diri orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimanakah yang dapat dipertimbangkandan ditentukan sebagaiterlibat atau bersangkut paut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana. 2. Kedua mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing, adalah persoalan mengenai apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan
di
pertanggungawabkan
yang
sama
ataukah
akan
di
peertanggungjawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana. Dari dua jawaban permasalahan diatas dapat ditentuakn berat ringannya tanggung jawab dari pembuat-pembuat peserta sesuai dengan andil dari apa yang telah diperbuat bagi terwujudnya tindak pidana. Dua masalah pokok pada penyertaan tersebut diatas, tidak dapat dipisahkan. Jawaban atau pemecahan persoalan yang pertama akan mempengaruhi jawaban atau pemecahan dari persoalan yang kedua. Mengenai ajaran yang pertama sebagaimana dalam percobaan yang mengenal dua ajaran subyektif dan obyektif, demikan juga dalam penyertaan ada dua ajaran yan subyektif dan aaran obyektif. Menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin si pembuat , memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang(penyertaan) adalah apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membebani tanggung jawab pidana yang lebih besar. Sebaliknya menurut ajaran objektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tndak pidana yang dimaksudkan, yang menetukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap tindak pidana.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Dalam hukum positif kita (KUHP) untuk keseluruhannya bentukbentuknya tidak secara jelas menganut ajaran yang mana dalam menentukan orang-orang yang terlibat dalam penyertaan, akan tetapi para ahli hukum umumnya berpendapat bahwa KUHP kita lebih condong pada ajaran objektif, walaupun tidak meninggalkan ajaran subjektif. Contohnya pembentuk Undangundang
dalam
menentukan
orang
yang
bagaimana
yang
disebut
perbuatannya”(Doenplegen)(55 ayat 1 butir 1)”, yang orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (DoenPleger) itu adalah dengan menggunakan ukuran objektf, yakni melihat dari orang yang disuruh melakukan(manus ministra), yakni pelaku materilnya haruslah orang yang tidak mampu bertanggung jawab atas apa yang dilaukannya. Tetapi untuk orang yang disebut dengn pembuat pembantu(56) tampaknya digunakan ukuran objektif dan subjektif secara bersamaan sebagimana syarat yang harus ada bagi pembuat pembantu (medeplechtige), adalah bahwa perbuatannya bersifat sekedar mempermudah atau memperlancar terwujudnya tindak pidana, dan tidak menentukan terwujudnya tindak pidana itu (sudut objektif). Dari sudut batin si pembuat pembantu ini, ialah kesengajaanannya ditunjukkan pada sekedar membantu dan atau mepermudah bagi rang lain untuk mewujudkan tindak pidana. Dapatlah dikatakan bahwa pembuat pembantu ini tidak mempunyai kepentingan dan utuh untuk terwujudnya tindak pidana, dia berbuat untuk kepentingan orang lain. Apakah syartnya seseorang dsebut sebagai iktu terlibat dan ikut bertanggung dengan peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana? Sesorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana diisyaratkan sebagai berikut:
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1.
Dari sudut subjektif, ada dua syaratnya adalah: a. Adanya hubungan batin(kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini sedkit atau banyak kemungkinan ntuk terwujudnya tindak pidana b. Adanya hubungan batin(kesengajaan seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta laiinya dan bahkandengan apa yang diperbuat peserta lannya.
2.
Dari sudut objektf, adalah bahwa perbuatan orang itu tidak ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lai wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya/ pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana. Menurut kenyataannya, syarat pertama bisa berdiri sendiri. Contohnya
pada apa yang menurut undang-undang disebut dengan orang yang perbuatannya “sengaja meganjurkan”(uitlokken) dan orang yang perbuatannya disebut menyuruh melakukan”doenplegen” dalam pasal 55, hanya semata-mata terlibat secara subjektif, tidak terlibat secara fisik(objektif), dalam arti secara objektif tidak melakukan wujud perbuatan apapun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan tindak pidana. Akan tetapi syarat kedua, tidaklah mungkin berdiri sendiri sebab jika berdiri sendiri, disana tidak ada penyertaan. Mengnai yang kedua ialah menyangkut sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Dalam
doktrin
hukum
pidana
dikenal
ada
dua
sistem
pembebanan
pertangungjawaban pidana ialah : Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1.
Pertama, yang menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana., tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakuakannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya.
2.
kedua, yang menyatakan bahwa masing masing orang bersama-sama terlibat kedalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertangungjawabkan berbedabeda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mengujudkan tindak pidana. Sistem yang pertama berasal dalam hukum romawi. Menurut sistem ini
tidak memperhatikan luas sempitnya perbuatan serta peranan dan adilnya terhadap terujudnya tindak pidana yang terjadi, semua orang yang terlibat dibebani tanggung jawab pidana yang sama seperti orang yang melakukan di dapannya sendiri. Sistem yang kedua, berasal dari hukum pidana Italia. Dalam sistem ini berat-ringanya beban tanggung jawab digantungkan pada luas-sempinya dari wujud obyektif perbuatan yang dilakukan para serta peran dan adilnya perbuatn masing-masing terhadap timbulnya tindak pidana. Negara yang hukum pidananya menganut sistem yang pertama, antara lain inggris yang mengenal dua bentuk pernyataan pada kejahatan yang disebut felinies (kejahatan-kejahatn berat, seperti pembunuhan) yaitu bentuk yang pertama dimasukkan kedalam golongan principales (peserta baku) dan bentuk yang kedua dinamakan golongan accissories) peserta pembantu). Tanggung jawab
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pidana disamakan antara orang-orang yang masuk golongan principales, demikian juga tanggung jawab di samakan orang-orang yang masuk golongan accissories. Negara yang hukum pidananya menggunakan sistem yang kedua, antara lain jerman, menurut hukum pidana Jerman dalam strafgezetsbuch-nya dikenal tiga bentuk pernyataan, ialah : (1) Mittater (pembuat) ; (2) Anstifer (pengajur) : dan (3) Gehilfe (pembantu). Tiga bentuk pernyataan ialah dibebani tanggung jawab yang berbeda-beda. Dalam hukum pidana jerman, yang menjadi pedoman untuk membedakan tiga bentuk pernyataan ialah, ialah dari sudut subyektif, yakni niat atau kehendak dari masing-masing orang yang ikut serta terlibat mewujudkan tindak pidana dimasukkan kedalam kelompok Mitatter apabila orang itu mempunyai taters wille. Orang akan dimasukkan kedalam golongan Anstifer apabila orang itu mempunyai anstifferswille, dan dimasukkan kedalam kelompok Gehilfe apabila orang itu mempunyai Gehilfewille31 . Hukum pidana Belanda (WvS) juga KUHP kita untuk golongan penyertaan yang dimasukkan dalam kelompok pertama (mededader), dalam pasal 55 (pleger, doenpleger,medepleger dan uitlokker) dibebani tanggung jawab yang sama antara mereka, yakni masing-masing dibebani tanggung jawab yang sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana (dader). Jadi untuk orangorang yang masuk kedalam kelompok ini(mededader) menganut sistem pertangungjawaban pidana yang pertama. Tetapi juga menurut KUHP bagi orang orang yang terlibat sebagai pembuat pembantu baik pembantuan pada pelaksanaan kejahatan maupun 31
Hanindyopoetra, BRM dan Naroyono Artodybyo), Hukum Pidana II Bagian Penyertaan, FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, halaman 5 Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (56) beban tanggung jawabnya dibebankan dengan orang-orang yang msuk kelompo pertama (mededader) pasal 55 KUHP, yakni beban tanggung jawab pelaku pembantu ini lebih ringan daripada tanggung jawab pelaku sekelompok mededader, dimana menurut pasal 57 ayat 1 ditetapkan bahwa pembantuan maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. Jadi hukum pidana Indonesia menganut sistem campuran, kedua dua sistem pembedaan pertanggungjawaban itu digunakan.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah.
Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu obyek, yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-lah benar adanya padahal sesungguhnya bertentanga dengan yang sebenarnya. Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam Buku II KUHP dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni: 1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX) 2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X) 3. Kejahatan pemalsuan materai dan merek (Bab XI) 4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII). Penggolongan tersebut didasarkan atas obyek dari pemalsuan, yang jika dirinci lebih lanjut ada 6 obyek kejahatan, yaitu: 1. keterangan diatas sumpah. 2. mata uang 3. uang kertas 4. materai 5. merek 6. surat. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai orang perorangan, sebagai anggota masyarakat maupun anggota kehidupan bernegara sering bahkan selalu berhubungan dengan obyek-obyek tersebut diatas, terutama dengan uang dan surat-surat. Masyarakat menaruh kepercayaan atas kebenaran dari obyek-obyek itu. Oleh karena itu atas kebenaran dari obyek-obyek tersebut harus dijamin. Jika tidak, dapat menimbulkan akbat buruk bagi masyarakat. Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenarannya adalah berupa perbuatan yang patut dipidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam UU adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan akan kebenaran dari obyek-obyek tersebut. Dibentuknya kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan, masyarakat terhadap kebenaran sesuatu: keterangan diatas sumpah, atas uang sebagai pembayaran, materai dan merek, serta surat-surat. Oleh karena kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran pada obyek-obyek tadi, maka UU menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan terhadapnya tadi sebagai suatu larangan dengan disertai ancaman pidana. Dari keterangan diatas penulis menyatakan bahwa yang termasuk perbuatan dalam tindak pidana pemalsuan ijazah adalah pemalsuan surat yang diatur dalam Bab VII KUHP. Hal ini disebabkan karena objek dari tindak pidana pemalsuan Ijazah adalah surat seperti yang diuraikan diatas. Oleh sebab itu, apabila mengkaji permasalahan mengenai tindak pidana pemalsuan Ijazah harus mengkaji mengenai kejahatan terhadap pemalsuan surat. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
a. Pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP)
Surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan
yang
terdiri
dari
kalimat
dan
huruf
termasuk
angka
yang
mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu , yang dapat berupa tulisan dengan tanda tangan , dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. Kejahatan pemalsuan pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok yang dimuat dalam pasal 263 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak di palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. (2) Dipdana
dengan
pidana
yang
sama,
barang
siapa
dengan
sengajamemakai surat palsu atau yang dipasukan seolah-olah asli, jika pemakaian suat itu dapat menimbulkan kerugian. Didalam pasal tersebut ada dua kejahatan yang masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. rumusan pada ayat ke -1 terdiri dari unsu-usur sebagai berikut:
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Unsur-unsur objektif: 1. Perbuatan : membuat palsu dan memalsukan 2. Objeknya adalah: a) yang dapat menimbulkan suatu hak. b) Yang dapat menimbulkan suatu perikatan c) Yang menimbulkan suatu pembebasan utang d) Yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal. 3. Dapat menimbulan kerugian akaibat dari pemakaian surat tersebut. Unsur-unsur subjektif: dengan sengaja. Membuat surat palsu adalah membuat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsunya artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa: 1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu demikian disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectuele valschheid). 2. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil(materiele valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya aau si pembuat surat. Sedangkan perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perbuatan itu lalu isinya menjadibenar ataukah tidak bertentangan dengan kebenaran. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsu surat dapat terjadi selain terhadap sebagian atau seluruh isi surat, dapat juga pada tanda tangan si pembuat surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan dalam surat bernama yang berbeda. Perbedaan yang paling prinsip antara keduanya adalah: Membuat surat palsu yaitu sebelm perbuatan dilakukan belu ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu seluruh tulisan dalam surat tersebut dihasilkanoleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu. Memalsu surat yaitu sebelum perbuatan dilakukan sudah ada sebuah surat yang disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruhnya keterangan yang tidak benar, terkecuali
jika keterangan tersebut
dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diperkirakan hal itu tidak sengaja diberikan atau memberikan keterangan palsu 32 . Sedangkan ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur objektif: 1. Perbuatan memakai. 2. Objeknya: surat palsu dan surat yang dipalsukan. 3. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
32
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada., Jakarta, 2000), halaman 99
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Unsur-unsur subjektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Tidak semua surat dapat menjadi objek pemalsuan surat, melainkan terbatas pada 4 macam surat, yakni: 1. surat yang menimbulkan suatu hak; 2. surat yang menimbulkan suatu perikatan; 3. surat yang menimbulkan pembebasan utang; 4. surat yang diperuntukkan bukti mengenai sesuatu hal. Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsng adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum ( perjanjian ) yang tertuang dalam surat itu tetapi ada surat-surat tertentu yan disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya. Surat yang berisi perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Seperti surat jual beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya. Begitu juga surat yang berisi pembebasan utang. Lahirnya pembebasan utang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Mengenai unsur surat yang diperuntukkan sebagai bukti akan adanya sesuatu hal, didalamnya ada 2 hal yang perlu dibicarakan yakni: 1. Mengenai diperuntukkan sebagai bukti 2. Tentang sesuatu hal. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Sesuatu hal adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum. HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa”yang diperhatikan sebagai barang bukti sesuatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai pengaruh, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orangorang yang bersangkutan” 33 . Sedangkan yang dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya surat itu memiliki kekuatan pembuktian ( bewijskracht). Siapa yang menetukan bahwa adanya kekuatan pembuktian atas sesuatu hal dalam sebuah surat itu. Dalam hal ini bukan pembuat yang dapat menentukan demikian, melainkan UU atau kekuasaan tata usaha negara.
b.
Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Ke dalam Akta Otentik (Pasal 266) Pasal 266 merumuskan sebagai berikut: (1) barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesautu hal yang kebenaranya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau mennyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keteranganya sesuai denagn kebenaran, dipidana, jika pemakaina itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
33
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurispeensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta , 1994, halaman 155 Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa denagn sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai denagn kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Ada dua kejahatan dalam pasal 266, masing- masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Ayat 1 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Unsur-unsur objektif : a.
Perbuatan : menyuruh memasukan
b.
Objeknya : keterangan palsu
c.
Dalam akta otentik
d.
Mengenai sesuatu hal yang kebenaranya harus dinyatakan dengan akta itu
e.
Jika pemakiannya dapat menimbulkan kerugian.
2.
Unsur Subjektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran. Ayat 2 mempunayi unsur-unsur sebagai berikut :
1.
2.
Unsur –Unsur Objektif : a.
Perbuatan memakai
b.
Objeknya : akta otentik tersebut ayat 1
c.
Seolah-olah isinya benar Unsur Subjektif : dengan sengaja. Dalam rumusan tersebut di atas, dicantumkan siapa orang yang disuruh
untuk memasukkan keterangan palsu tersebut, tetapi tidak diketahui dari unsur/ kalimat kedalam akta otentik dalam rumusan ayat ke 1. bahwa orang tersebut adalah sepembuat akta otentik Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur : 1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana memuat tentang apa yang disuruh memasukkan dalamnya adalah berasal dari orang yang menyuruh memasukkan, bukan dari pejabat pembuat akta otentik 2. dalam hubunganya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuatkannya akta otentik, maka dala perkataan atau unsur menyruh melakukan berarti orang itu dalam kenyataanya dia memberikan keterangan-keterangan tentang suatu hal, hal mana yang bertentangan denagan kebenaran atau palsu. 3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterang yang disampaikan oleh orang yang menyurh memasukkan keterangan kepadanaya itu adalah keterangan yang tidak benar. 4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat diertanggung jawabkan terhadap perbuatanya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu dan karena ia tidak dapt dipidana. Untuk selesainya perbuatan menyuruh memasukkan dalam arti selesainya kejahatan itu secara sempurna, tidak cukup dengan selesainya perbuatan memberikan keterangan tentang sesuatu hal/ kejadian, melainkan harus sudah ternyata tentang hal/ kejadian itu telah nyat-nyata dimuatnya dalam akta otentik yang dimaksudkan. Apabila setelah memberikan keterangan perihal sesuatu kejadian yang diminta masukkan kedalam akat otentik pada pejabat pembuatnya, sedangkan akta itu sendiri belum dibuatnya atau keterangan perihal kejadan itu belum dimasukkan Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
kedalam akta, kejahatan itu belum terjadi secara sempurna, melainkan baru terjadi percobaan kejahatan saja. Objek kejahatan itu adalah keterangan palsu, artinya sesuatu keterangan yang bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana tentang sesuatu hal/kejadian. Tidak semua hal berlaku disini, melainan kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu. Sama halnya dengan unsur objek surat yang diperuntukkan untuk membuktikan sesuatu hal dari pasal 263, unsur sesuatu hal dari pasal ini ama pengertiannya dengan sesuat hal daripasal 266 itu.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
B. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah.
a. Pengaturan Hukum di dalam KUHP terhadap Pelaku Pemalsuan Ijazah
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya maka dalam hal ini peneliti berependapat bahwa kejahatan pemalsuan Ijazah merupakan suatu bentuk kejahatan pemalsuan surat pada umumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemalsuan Ijazah melanggar Pasal 263 KUHP. Hal ini didasarkan pada pertimbangan yaitu: a. Ijazah tersebut merupakan surat yang dipalsukan seolah-olah isinya asli atau tidak palsu. b. Ijazah palsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. c. surat yang dipalsu itu adalah surat yang dapat menimbulkan suatu hak, misalnya: ijazah, karcis, tanda masuk, surat andil dan lain sebagainya. 34 Timbul pertanyaan bagi peneliti yaitu apakah pembuat Ijazah palsu adalah juga sekaligus sebagai pemakai Ijazah palsu tersebut? Bisa saja ya, dan bisa tidak. Sebagian besar yang terjadi bahwa pihak pembuat Ijazah palsu bukan sebagai pihak yang memakai Ijazah palsu tersebut. Terhadap hal ini berarti terhadap pihak lain yang dalam istilah pidana disebut dengan dader atau pihak yang turut serta dalam melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 55 KUHP. 35 artinya bahwa ada pihak yang lain yang secara bersama-sama melakukan sebagian ansir dari tindakan pemalsuan Ijazah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membubuhkan tanda tangan seolah-olah dia adalah pihak yang berwenang 34 35
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politea- Bogor, 1996, halaman 195 E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, halaman 7
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
mengeluarkan
Iajzah
tersebut.
Dengan
demikian
terhadap
pihak
yang
membuat/mengeluarkan Ijazah palsu tersebut dikenakan pasal 55 KUHP yaitu sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana pemalsuan Ijazah, sedangkan terhadap pihak yang menggunakan Ijazah palsu tersbut selain dikenakan pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juga dikenakan pasal 55 KUHP sebagai pihak yang menyuruh melakukan.
b. Pengaturan hukum Di luar KUHP terhadap pelaku Pemalsuan Ijazah
Secara tradisional dalam bku-buku hukum pidana, kita melihat bahwa hukum pidana itu dibagi atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus seprti hukum pidana ekonomi, hukum pidana fiskal dan hukum pidana militer. Agar tidak terjerumus kedalam kriteri-kriteria yang baru itu, maka kita harus dapat memahami perebedaan antara pidana umum dan pidana khusus. Perundang-undangan pidana umum adalah KUHP beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu. Sebagai contoh UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak (lembaran Negara RI No. 3 Tahun 1997), tambahan Lembaran Negara RI. No. 3668) yang mengacu pada pasal 45,46 dan 47 KUHP. Sedangkan perundang-undangan pidana Khusus adalah semua perundangundangan diluar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi yangbersanksi pidana. Dapat pula dikatakan bahwa hukum pidana dapat dibagi atas hukum pida na dkodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Yang dikodifikasikan artinya Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
yang dimuat dalam KUHP, sedangkan yang tdak dikodifikasikan tersebar diluar kodifikasi dalam perundang-undangan tersndiri. Untuk kasus pemalsuan Ijazah, pengaturannya di dalam KUHP termuat didalam pasal 263. namun sesuai dengan perkembangan hukum dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu hal tertentu tetapi mengacu pada pasal 263 KUHP. 36 Adapun pengaturan hukum di luar KUHP tentang Pemalsuan Ijazah yaitu: 1. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisem Pendidikan Nasional (lembaran Negara RI. No. 78 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4301) pasal 69 (1) yang berbunyi: “ Setiap orang yang menggunakan ijazah sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidaa denda paling banyak Rp. 5.000.000 ( lima juta rupiah).” 37 2. UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lembaran Negara RI. No. 37 Tahun 2003 Tambahan Lembaran Negara RI. No. 4277) Pasal 137 (2) dan (4) Yang berbunyi: Ayat 3: “ setiap orang yabg dengan sengaja memalsuan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-undang ini diperluka untuk menjalankan suatu perbuatan dalam pemilu, dengan maksud ntuk dignakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat yang sah atau 36 37
tidak dipalsukan diancam dengan pdana penjara paling
Ibid, hal 10-14 Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 ( delapan belas) bulan dan /atu denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000 (enam juta rupiah)”. Ayat 4: “ Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana yang dimaksud pada ayat 3 adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, aau menyruh orang lain menggunakannya sebagai surat yan sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) bulan atau Paling lama 18(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit . Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000 (enam juta rupiah)”. 38 3. UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden (Lembaran Negara RI No. 93 Tahun 2003, Tambahan Lembaan Negara RI No.4311) Pasal 88 ayat (3) dan (4) yang berbunyi: “ Ayat 3: “Setiap orang yang dengn sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu dalam perbuatan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden , dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolaholah surat sah dan tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) bulan atau Paling lama 18(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit . Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000 (enam juta rupiah)” Ayat 4:
38
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Aggota dewan Perwailan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Anggota Perwakilan Rakyat Daerah. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
“ setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) bulan atau Paling lama 18(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit . Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000 (enam juta rupiah)”. 39 Dari ketiga UU tersebur diatas dapa ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengaturan diluar KUHP tentang Iazah palsu adalah untuk menentukan apakah seseorang itu dapat menerima haknya atau tidak dan juga untuk mendapat suatu pekerjaan atau jabatan.
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pemalsuan Ijazah . 1. Faktor intern a. Faktor Pendidikan. Sejak manusia lahir kemudian bertambah usianya hingga dewasa pasti mengalami suatu proses belajar. Ahli pendidikan modern merumuskan perbuatan belajar adalah adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Tingakah laku yang baru itu misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian baru dan berkembangnya sifat-sifat sosial, susila dan emosional. Dalam kamus paedagogik dikatakan bahwa belajar adalah berusaha memiliki pengetahuan dan kecakapan. Seseorang telah
39
Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
mempelajari sesuatu terbukti dengan perbuatannya ia baru dapa melakukan sesuatu hanya dari proses belajar sebelumnya. Tetapi harus diingat juga bahwa belajar mempunyai hubungan yang erat dengan masa peka untuk dikembangkan. Dengan demkian dapat dikatakan bahwa dengan belajar maka ada proses perubahan didalam diri manusia. Perubahan yang dialami itu akan mempengaruhi tingkah laku manusia Ada sebagian orang yang tingkah lakunya menjadi baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tetapi ada juga yang tingkah lakunya menjadi tidak lebih baik. Artinya bahwa tingkah lakunya itu menimbulkan kejahatan. Didalam sistem hukum pidana Indonesia, ternyata pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan erjadinya kejahatan. Pelaku tindak pidana pendidikan itu bukan saja seorang pendidik atau pengajar. Jika dipandang dari sudut pelakunya maka tindak pidana pendidikan dapat kita bagi atas 3 (tiga), yaitu: 1. Tindak pidana yang dilakukan oleh pengajar yang biasanya dilakukan di lembaga pendidikan formal dan non formal. 2. Tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua dan/atau anak didik. 3. Tindak pidana pendidikan yang universal, dalam arti bahwa pelakunya bisa siapa saja, yakni apakah dia seorang pengajar dan/atau pimpinan suatu lembaga pendidikan formal/non formal dan/atau orang tua murid dan/atau murid sendiri dan/atau karyawan lembaga pendidikan formal yan bersangkutan. 40
40
A Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan, Ghalia Indonesia, Semarang, 1985, halaman 28
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Setelah diadakan pengelompokan, maka tindak pidaa pemalsuan Ijazah merupakan tindak pidana yang universal. Pada masa sekarang ini pemalsuanIjazah semakin banyak dilakukan orang. Hal ini jelas sangat merugikan negara dan juga masyarakat sebagai pihak yang dirugikan langsung atas pemalsuan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindak pidana pemalsuan Ijazah dari segi pendidikan,yaitu:
1. Penyelenggara Pendidikan. Dalam UU SISDIKNAS pasal 55 ayat 1 dikatakan bahwa” Masyarakat berhak
menyelenggarakan
pendidikan
berbasis
masyarakat
pada
pendidikan formal dan non-formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat”. Dengan demikian selain pemerintah ternyata masyarakat juga sebagai penyelenggara pendidikan. Oleh sebab itu maka terdapatlah sekolah milik swasta. Dalam hal ini dikhawatirkan akan terjadi peyelewengan dalam peyelenggaraan pendidikan apabila berbeturan dengan unsur kepentingan dari salah satu pemilik/ keluarga pemilik sekolah tersebut. 2. Standard pendidikan. Berdasarkan pasal 50 angka 2 UU No.20 Tahun 2003 dikatakan bahwa kebijakan nasional dan standard nasioanal pendidikan ditentukan oleh pemerintah. Namun dalam kenyataannya bahwa seringkali dijumpai adanya penyelenggaraan pendidikan yang tdak sesuai dengan standart yan telah dtetapkan oleh pemerintah. Tidak hanya disekolah swasta hal ini juga Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
terjadi di di sekolah milik pemerintah. Seharusnyapara tenaga pendidik dan juga pihak peyelenggara pendidikan lebih memperhatikan standart yang akan dibuat. Hal ini memberikan kesan negatif kepada pemerintah yaitu lemahnyapengawasan yang dilakukan terhadap sekolah tersebut dalam hal standarisasi pendidikan sehingga celah ini dimanfaatkan oeh sekelompok orang ntuk melakukan rindak pidana pendidikan khusnya pemalsuan ijazah.
3. Kurikulum pendidikan Kurikulum pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam pasal 36 ayat 1 SISDIKNAS jelas dikatakn bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standart nasinal pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikannasional. 4. Manajemen pendidikan Manajemen pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menetukan apakah suatu sekolah itu baik atau tidak. Sekolah yang bak haruslah mengutamakan kualitas sumber daya manusia baik itu tenaga pendidik, pegawai/staf dan yang peling utama adalah kualitas peserta didik. Jadi apabla kualitas sekolah itu sudah baik maka dapat dipastikan bahwa murid lulusan sekoah tersebut juga akan sangat baik dan sekola tersebut akan menjadi sekolah yang dinggulkan.
c. Faktor Psikologi Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
1. Adanya motivasi dalam diri si pelaku Motivasi adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu pada tujuan. Misalnya apabila seseorang merasa lapar, itu berarti memeerlukan atau menginginkan makanan. Motivasi menunjuk pada suatu hubungan sistematik antara suatu respon atau suatu himpunan respon dengan keadaan dorongan tertentu. Motivasi timbul karena adanya kebutuhan/need dimana antara motivasi dengan kebutuhan mempunyai hubungan kausalitas. Kebutuhan (need) dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu dan ini menuntut segera pemenuhannya untuk mendapatkan keseimbangan. Situasai kekurangan ini berfungsi sebagai kekuatan atau dengan alasan yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan dan motivasi tidak bisa diamati. Yang bisa diamati adalah perilakunya. Dan bentuk-bentuk perbuatan yang serupa dapat kita simpulkan adanya kebutuhan dan motivasi itu. Kebutuhan dan motivasi itu juga dapat diketahui dari perbuatan seseorang. Gardner Lindsey, Calvin S Hall dan Richard F. Thompson dalam bukunya psychologyb (1975, P 339) mengklasifikasikan motivasi kedalam dua hal yaitu:
a)
Drives (needs) Drives atau needs adalah yang mendorong untuk bertindak.drives yang merupakan proses organik internal disebut drives primer atau drives yanvg tidak bisa dipelajari. Misalnya: Lapar Ada juga drives yang diperoleh melalui proses belajar.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Misalnya persaingan. b)
Incentives incentives adalah benda atau situasai (keadaan) yang berada didala lingkungan sekitarkita yang merangsang tingkah laku. Incentives ini merupakan penyebab individu untuk bertinda. 41 Selain motivasi yang dalam diri manusia , ternyata ada tiga motivasi sosial
yang dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu: a.
Motivasi primer Motivasi ini timbul berdasarkan proses kimiawi fisiologik dan diperoleh dengan tidak dipelajari. Misalnya: Haus dan lapar
b.
Motivasi sekunder. Motivasi ini timbul secara tidak langsung berdasarkan proses kimiawi fisilogik pada umumnya diperoleh dari proses belajarbaik melalui pengalaman maupun lingkungan. Misalnya : Motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi berkuasa. 42 Jadi tindakan berupa pemasluan Ijazah termasuk perbuatan yang
bermotivasi sekunder karena motivasinya timbul didalam diri individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.
2. Adanya kepuasan batin bila sudah mendapatkan jabatan tertentu: Dalam hidupnya manusia pasti mempunyai kebutuhan. Individu merasakan adanya suatu 41 42
kebutuhan
kemudian individu
bertindak untuk
H. Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Semarang,1990 halaman 197. Ibid , halaman 202
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
memnuhi kebutuhan tersebut. Utnuk melakuka tindakan tersebut maka ia harus mempunyai motivasi. Namun apabila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial maka ia membutuhkan orang lain agar mau bersama-sama memenuhi kebutuhannya. Ada tiga cara memotivasi orang lain: a. Memotivasi dengan kekerasan. b. Memotivasi dengan bujukan. c. Memotivasi dengan identifikasi. 43 Pada dasarnya dalam struktur personality seseorang terdapat tiga unsur yang sangat memainkan peranan yang penting. Ketiga unsur inilah yang akan menjadi sarana bagi kita untuk melaksanakan tindakan. Adapun ketiga cara itu adalah: a. Id Dalam Id terdapat segudang nafsu ini disesuaikan dengan kebutuhan artinya bila kita lapar, maka kita akan butuh makanan. Jadi apbila seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jabatan ataupu kekuasaan maka nafsu itu akan terdapat dalam Id. b. Ego Ego adalah pelaksana dari Id artinya bahwa segala kebutuhan dari nafsu kita akan dibaca oleh Ego dan kemudian Ego lah yang berfungsi untuk melaksanakan tindakan guna memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi apabila seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jabatan ataupun kekuasaan tertentu maka kita akan melakukan berbagai tindakan atas
43
Ibid, halaman 201
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
perintah dari Ego. Adakalanya tindakan yang kita lakukan itu merugikan orang lain atau dengan kata lain sudah melanggar hukum. c. Super Ego Super Ego tingkatan yang tertinggi dalam struktur kepribadian kita. Maksud bahwa apabila ego dalam melaksanakan tugasnya terlalu berlebihan maka akan dikontrol eloh super ego. Maka dengan bertindaknya superego maka mungkin ia melakukan car lain untuk mendapatkan sesuatu. Begitu juga apabila kita memperoleh suatu jabatan ataupun kekuasaan maka tindakan-tindakan yang dilakuakan atas perintah ego akan di kontol oleh superego. 44
2.
Faktor Ekstern
a.
Faktor lingkungan Lingkungan merupan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakuakan kejahatan. Faktor ini berasal darri luar diroi sipelaku dan merupakan titik sentral. Ahli kriminologi Ferri dan Garotalo mengaatakan bahwa kriminilitas di terangkan sebagai akibat bakat maupun lingkungan. Dalam hal ini lingkunagan harus dipandang
Secara luas
meliputi faktor-faktor fisis (Geografis, Klimatologis yang umum, temperatur) maupun keadaan sosial dan ekonomis. Lebih lanjut Ferry dan Garatalo berpendapat bahwa manusia yang kriminil hakekatnya berbeda dengan manusia yang tidak kriminil. Pendapat
44
Gerson W. Bawengah, Pengantar Psikologi kriminil, Pradya Pramita, Jakarta, 1991
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
tersebut ditinggalkan oleh pengikut-ikut aliran bakat lingkungan dengan merumuskan pendapat yang baru yaitu : a. Kelakuan kriminil adalah akibat dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Karena semakin intensifnya maka semakin nytalah peranan lingkungan sebagi penyebab kejahatan. b. Kejahatan sebagai akibat bakat tertentu. Maka ada orng yang lebih dan adapula yang kurang mempunyai bakat untuk lahirnya kriminilitas. 45 Dalam penelitian yan dilakukan oleh penulis, terdapat 3 (tiga) hal yang penting dari lingkungan sehingga mendorong orang melakukan kejahatan, yaitu: a. Lingkungan keluarga. Ruth. S Cavan dalam bukunya Crminology mengemukakan alasannya mengapa lingkungan keluarga menjadi masalah utama latar belakang kejahatan, yaitu: 1. Bahwa lingkungan keluarga adalah suatu kelompok masyarakat yang pertama dihadapi oleh setiap anak. Oleh karena itu maka lingkungan tersebut memegang peranan utama sebagai permulaan pengalaman untu mengahadapi masyarakat yang lebih luas nanti. 2. Bahwa lingkungan keluarga merupakan suatu lembaga yang bertugas menyiapkan kepentingan sehari-hari, lagi pula melakukan pengawasan terhadap anak-anak. 3. Bahwa lingkungan keluarga merupakan kelompok pertama yang dihadapi oleh anak-anak dan karena itu ia menerima pengaruh-
45
Noach, B. Simanjuntak, I. Pasaribu, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984 halaman 90
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pengaruh emosional dari lingkungan keluarga, kepuasan atau kekecewaan, rasa cinta dan benci akan mempengaruhi watak anak, mulai dibina dalam lingkungan itu dan akan bersifat menentukan masa-masa mendatang. 46
b. Lingkungan pelaku. Terhadap hal ini Seelig mengadakan pembagian sebagai berikut: 1. Ada orang yang karena bakatnya sudah sedemikian rupa membuat jahat walaupun pengaruh lingkungan yang kecil saja sdah melakukan delik. Ini bisa saja terjadi pada oran yang tidak dapat menguasai nafsunya. 2. Ada orang yang karena bakatnya suah sedemikian rupa tidak akan jahat walaupun pengaruh lingkungan sangat jelek. 3. Ada orang yang karena pengaruh lingkungan yang biasa saja, sudah melakukan delik. 4. Ada orang yang karena bakatnya sedemikian rupa tidak melakukan kejahatan walaupun ada pengaruh lingkungan sekalipun. 47 c. Tingkah laku. Jika dilihat dari segi psikologi dinamik, akan diperoleh jawaban bahwa tingkah laku dan perbuatan manusia sebenarnya mengikuti proses suatu pola yang dinamakan “ adjusting process”
atau proses penyesuaian
dimana proses ini berlangsung sebagai reaksi setiap individu terhadap lingkungannya, tetapi terjadi pula sebagai reaksi terhadap tubuh pribadi itu 46
Syafruddin. S. Hasibuan et al, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi ( Menyambut 70 Tahun Prof. H. Muhammad Daud ), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004 halaman 33. 47 Noach, B. Simanjuntak, I. Pasaribu, op cit halaman 91 Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
sendiri. Dengan demikian dapat dibedakan antara penyesuaian terhadap lingkungan
dan
penyesuaian
intern
dalam
organisme
manusia.
Penyesuaian Intern ini lazim dengan istilah equalibrium process yaitu suatu
proses
yang
sebagian
besar
tidak
disadari
mengadakan
keseimbangan-keseimbangan jiwani dan badaniah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maraknya tindak pidana pemalsuan Ijazah adalah karena bakat dari seseorang untuk melakukan pemalsuan Ijazah dan juga dengan lingkungan yang dengan keragamannya memberi kesempatan kepada seseorang untuk menggunakan Ijazah palsu. b. Faktor Ekonomi Adanya sebagai salah satufaktor penyebab terjadinya kejahatan disebabkan oleh adanya korelasi antara fluktuasi ekonomi dengan kriminalitas. Dengan kata lain bahwa fluktuasi ekonomi tersebut menitikberatkan pada tingkat kemakmuran seseorang. Tingkat kemakmuran tiap-tiap individu jelas berbeda sesuai dengan mata pencaharian dirinya. Namun tingkat kemakmuran itu sifatnya dinamis. Maka suatu hal yang perlu disepakati bahwa perubahan-perubahan yang hebat dalam kemakmuran mempunyai pengaruh yang bersifat kriminogen. Ada tiga hal yang menjadi faktor ekonomi sebagai penyebab kejahatan, yaitu: 1.
Pemilihan pekerjaan Ini ditentukan baik oleh bakat maupun lingkungan. Dalam faktor lingkungan dapat dibedakan pemilihan hanyalah terhadap pekerjaanpekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan tertentu.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
2.
Norma-norma jabatan Hal ini terutama dalam pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan kontrak yang terus-menerus dan intensif antara anggota sesama pekerjaan sehingga mudah timbul norma-norma golongan sendiri yang kadang-kadang bertentangan dengan norma Undang-undang.
3.
Kesempatan yang diberikan oleh pekerjaan. Hal ini terjadi karena adanya pengetahuan yang didapat dari pekerjaan itu mempermudah orang untuk dapat melakukan delik-delik dar lingkungan atau keadaan tempat kerja mempermudah orang untuk melakukan delik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka dapatlah
dikatakan bahwa pemakai Ijazah palsu adalah orang-orang yang tingkat kemakmurannya tinggi dimana seseorang tersebut ingin mencapai suatu tujuan atau jabatan tertentu, akan tetapi dia melakukannya bukan dengan melalui pendidikan formal atau kegiatan akademik, melainkan dengan menggunakan caracara praktis termasuk dengan menggunakan Ijazah palsu. Terhadap kasus yang diangkat penulis, seorang pemakai Ijazah palsu tersebut merupakan orang yang ingin menaikkan jabatannya akan tetapi dengan persyaratan adanya Ijazah Sarjana. c. Faktor Administrasi yang sangat repot. Setiap negara apakah negara itu kecil atau besar pasti mempunyai sistem administrasi negara tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi negara masingmasing. Demikian juga dengan negara kita yang mempunyai sistem administrasi negaranya sendiri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Dalam buku manajemen dalam pemerintahan yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara, dikatakan bahwa administrasi negara adalah keseluruhan peyelenggaraan kekuasaan negara untuk memanfaatkan segala kemampuan aparatur serta segenap dana dan daya untuk tercapainya tujuan negara dan terlaksananya tugas pemerintah. Untuk menjalankan administarsi tersebut maka diperlukan adanya birokrasi. Menurut Max Webber bahwa birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Dengan demikian birokrasi dimaksudkan untuk mengoganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan banyak orang. 48 Administrasi tanpa birokrasi tidak berarti sama sekali proses pelayanan dan proses kegiatan untuk mencapai tujuan. Birokrasi tanpa Administrasi tidak tentu arah dan tanpa kendali dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan. Antara administrasi dan birokrasi keduanya dapat dibedakan akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya sebagai sisi mata uang, sisi yang satu tidak akan berarti tanpa sisi yang lainnya dan sebaliknya. Sering sekali terdengar adanya keluhan kemampuan dan daya kerja aparatur dan organ pemerintah Negara. Segala macam keburukan dan prestasi kerjanya setiap hari diungkakan dengan kata-kata seperi antara lain prosedur yang kaku, proses peyelesaian yang lamban, mekanisme lambat, semua instansi atau biro bergerak sendiri-sendiri, pelayanan yang membosankan, penundaan pekerjaan, keterlambatan, kelakuan petugas yang tidak bersahabat, kecurangan aparatur. Kejadian tersebut diatas hampir terjadi diseluruh birokrasi pemerintahan kita yang disebabkan karena perilakuaparatur itu sendiri yang sering melakukan penyelewengan-penyelewengan yang dapat 48
Bulizuar Buyung, Sistem Administrasi Indonesia, (Modul 1-5), Karunika Jakarta Universitas Terbuka, Jakarta, halaman 3 Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
menghambat pelaksanaan pembangunan serta mersak cita dan kewibawaan aparatur pemerintah. Mereka yang seharusnya abdi masyarakat malah menjadi abdi negara. Mereka melakukan kejadian-kejadian yang melawan hukum dan bertentangan dengan etia dan moal sperti memperkaya diri sendiri dengan merugikan orang lain. 49 Masyarakat tentu akan berhubungan dengan pemerintah dengan segala urusannya. Dalam berurusan tersebut pasti masyarakat menginginkan berbagai kemudahan. Artinya bahwa ia ingin segala urusannya cepat selesai. Apabila ia harus melalui sistem birokrasi secara normal tentu akan lama selesainya. Melihat keadaan ini maka masyarakat mulai menawarkan suatu sistem pengurusan yang cepat selesai, tidak bertele-tele dengan iming-iming sejumlah uang. Disinilah letak penyelewengan itu terjadi.
49
A.W.Wijaya, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, halaman 25.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH.
A.
Kebijakan Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana yang
merupakan sanksi daru suatu delik. Misalnya: hukuman penjara, hukuman denda, pidana kurungan, dan lainnya. Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara. Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara. Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat. Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan. Pidana penjara ini masuk ke Indonesia melalui pasal 10 KUHP dan sampai sekarang masih berlaku dan dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menetapkan hukuman penjara peranan hakim sangat diharapkan. Artinya bahwa kearifan dan kepekaan hakim dalam memeriksa dan mengadili setiap peristiwa pidana sangat menentukan sebelum menjatuhkan hukuman..
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatkan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil damn spritual berdasarkan pancasila. Maka hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana. c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif berupa pidana perlu disertai penghitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. d. Penggunaaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dan badan-badan penegak hukum jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang. Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap pemalsuan Ijazah adalah dengan menerapkan hukuman yang terdapat dalam Bab XII buku II, yaitu pasal
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
263 KUHP yang menerapkan hukuman penjara maksimal enam tahun, Pasal 266 KUHP yang menerapkan hukuman maksimal tujuh tahun,
B.
Kebijakan Non Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana
tindakan ini lebih bersifat administrasi dan lebih bermoral. Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pemecatan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan seorang hakim di PN Medan dikatakan bahwa tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku pemalsuan Ijazah adalah sebagai berikut 50 : a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokohtokoh agama dalam suatu acara ibadah. b. Melalui tindakan administrasi dengan melakukan pemecatan. c. Dalam membasmi kejahatan pemalsuan Ijazah ini harus dilakukan dengan sifat memberantas. Misalnya untuk mencegah penyakit demam berdarah maka nyamuknya harus diberantas juga.
50
Wawancara dengan seorang Hakim Pengadilan Negeri Medan Bpk. Kaswanto, SH tanggal 20 Agustus 2008 pukul 10.00 Wib. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
d. Oleh sebab itu cara yang paling tepat dilakukan untuk mencegah pemalsuan Ijazah adalah dengan menutup sekolah dalam arti mencabut izin operasi sekolah yang terbukti menerbitkan Ijazah palsu. e. Kadang untuk menanggulangi kejahatan pemalsuan Ijazah diperlukan juga penyuluhan-penyuluhan yang dapt dilakukan kesekolah-sekolah dimana yang menjadi sasaran penyuluhan tersebut adalah siswa-siswi yang secara tidak langsung dapat mmotivasi agar lebih giat belajar. Penyuluhan terhadap
lembaga-lembaga
penyelenggara
pendidikan,
tokoh-tokoh
pendidik untuk tidak terlibat dalam praktek pemalsuan Ijazah. Dengan demikian diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum khususnya kepolisian agar praktek pemalsuan Ijazah dapat diminimalisir. Disamping itu ada beberapa hal yang penting dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan Ijazah yaitu. 1. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga pendidikan. Pemerintah
dalam
menjalankan
sistem
birokrasinya
tentunya
mengharapkan agar setiap/segenap aparaturnya mulai tingkat pusat sampai daerah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baikya. Artinya bahwa tugas pelayanan publik yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan. Harapan pemerintah itu sangat beralasan untuk menunjukkan citra pemerintah sebagai abdi masyarakat dan juga abdi negara. Namun karena adanya faktor lain ketika sedang melayani masyarakat seperti kedekatan hubungan pribadi, maka sering kali harapan itu tidak
terwujud.
Apabila
ternyata
tergiur
menjalanan
penyelewengan-
penyelewengan karena mungkin masyarakat akan memberi sejumlah uang agar Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
bisa selesai secepat mungkin.Untuk itu maka pemerintah melakukan pengawasan terhadap kinerja aparaturnya sebagai bentuk penertiban terhadap aparaturnya. Adapun pengawasan itu dilakukan
sesuai dengan bidang kerjanya masing-
masing. 2. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Negara pada hakekatnya merupakan kekuatan dalam masyarakat yang terorganisir dilengkapi dengan alat penindak dan dengan demikian bertentangan sekali dengan gelombang opini masyarakat yang teratur. Peran dan fungsi masyarakat dalam hal ini adalah sebagai pengawas terhadap pelaku dan pemakai Ijazah palsu, dan sebagai gerbang awal dalam penanganan tindak pidana pemalsuan Ijazah 51 Disamping itu juga dalam penanganan tindak pidana pemalsuan Ijazah, banyak kendala-kendala yang dihadapi. Adapun kendala-kendala yang dihadapi diantaranya : 1. Peraturan perundang-undangan. Kendala yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana pemalsuan Ijazah dalam peraturan perundang-undangan adalah belum adanya suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan Ijazah. Selama ini peratuan yang dipakai dalam penanganan tindak pidana pemalsuan Ijazah adalah masih diatur dalam KUHP kita, yang tidak merinci secara jelas mengenai pemalsuan Ijazah, akan tetapi masih mengacu pada jenis tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya (yang diatur dalam Bab XII buku II, dari pasal 263 s/d 276 ). Dalam hal ini, baik
51
www. Depdiknas.co.id
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
aparat penegak hukum maupun pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya Ijazah palsu sangat sulit mengidentifikasi sebuah Ijazah asli atau palsu. Dalam proses hukum pun, baik mulai dari penyidikan dan pengadilan para aparat hukum sering menghadapi kendala-kendala untuk menangani tindak pidana pemalsuan Ijazah. Lahirnya pun peraturan perundang-undangan diluar KUHP yang mengatur sanksi pidana terhadap pelaku pemalsuan Ijazah, belum membawa perubahan yang besar terhadap penanganan tindak pidana pemalsuan ini karena kurangnya legitimasi hukum terhadap peraturan tersebut, sehingga kurang berfungsi dalam memberantas pemalsuan Ijazah disamping sanksi pidana yang kurang tegas.
2. Sulitnya mengidentifikasi Ijazah yang palsu. Adanya sebuah Ijazah palsu tapi asli (Aspal), sering kali menjadikan seseorang berhak memperoleh sesuatu yang seharusnya bukan menjadi haknya. Pembuatan sebuah Ijazah seharusnya adalah dengan mengikuti suatu pendidikan yang formil sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi dalam hal ini, banyak Ijazah yang dikeluarkan yang tanpa dengan mengikuti suatu pendidikan yang formal. Ijazah tersebut jika diteliti secara administratif adalah sah dan bukan palsu. Mulai dari bentuk, instansi yang mengeluarkan hingga tanda tangan pejabat yang berwenang semuanya adalah sah dan legal. Akan tetapi, si pemakai Ijazah palsu tidak pernah mengikuti suatu Pendidikan yang sesuai dengan peraturan. Oleh karena itu disinilah letaknya sulitnya dalam mengidentifikasi sebuah Ijazah itu palsu atau bukan. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
3. Pengawasan administratif. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dalam bidang pendidikan yang dalam hal ini adalah wewenang dari Departemen Nasional. Maraknya pembuatan Ijazah palsu tidak lain adalah karena lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan terhadap penyelenggara pendidikan mulai dari tingkat Dasar sampai dengan perguruan tinggi baik itu Negeri maupun Swasta. Praktek jual beli Ijazah telah mencerminkan bahwa dunia pendidikan di Indosesia sangat rendah dan terkesan main-main, kenapa tidak karena sebuah Ijazah sebagai simbol atau gelar akibat
telah
mengikuti pendidikan dengan mudah dapat diperoleh tanpa harus melalui proses pendidikan yang formil melainkan dengan uang semata. Disinilah pentingnya pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan agar nantinya tindak pidana pemalsuan Ijazah tidak terjadi lagi.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB V PENERAPAN PASAL 55 KUHP ( DEELNEMING) DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAJAH
A. Kasus Posisi
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat kasus tentang pemalsuan ijazah di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan mengangkat dua kasus dengan berkas terpisah (split) supaya unsur penyertaan (deelneming) dalam tindak pidana pemalsuan ijazah dapat terlihat. Pada kasus yang pertama dengan No putusan 2876/ Pid. B/ 2006/ PN Medan, dengan terdakwa MANAHARA LAMASI D. TOBING, SMHK yang mana terdakwa pada hari Rabu tanggal 26 April 2006 sekira pukul 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan april 2006, bertempat di JL. SM. Raja Medan dekat kampus UISU atau setidak-tidaknya dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, turut serta melakukan perbuatan yakni menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau mempergunakan itu dapat mendatangkan kerugian. Pada kasus yang kedua dengan nomor putusan No. 2877/Pid B/2006/PN Medan dengan terdakwa Ir. Ruslan R. yang mana terdakwa pada hari Rabu tanggal 26 April 2006 sekira pukul 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
waktu dalam bulan april 2006, bertempat di JL. SM. Raja Medan dekat kampus UISU atau setidak-tidaknya dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, turut serta melakukan perbuatan yakni menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau mempergunakan itu dapat mendatangkan kerugian.
B.
Dakwaan. Pada Kasus Pertama:
Bermula yang bermarga NAPITUPULU menemui terdakwa pada akhir Mei 2006 di salah satu kedai kopi JL. Kelapa Sawit Medan dan menyatakan kepada terdakwa bahwa ada keluarganya yang membutuhkan Ijazah Sarjana untuk promosi jabatan, dan bertanya kepada terdakwa apakah bisa mengurus Ijazah Sarjana Pertanian. Terdakwa menyatakan kepada ANDREAS NAPITUPULU supaya sabar menunggu kabar dari terdakwa. Lima hari kemudian terdakwa menghubungi ANDREAS NAPITUPULU dan mengatakan kepadanya bahwa terdakwa bisa megurus Ijazah Sarjana Pertanian lokal dengan harga Rp. 12.000.000 (dua belas juta rupiah). Dan kemudian ANDREAS NAPITUPULU memberi panjar kepada terdakwa sebanyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah) berikut Fas Photo hitam putih ukuran 3x4=6 lembar dan 4x6=6 lembar berikut Foto kopi Ijazah SMA An. Herbet dan juga surat keterangan dimana ia bekerja. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Kemudian surat tersebut terdakwa serahkan kepada teman terdakwa yang mengurus Ijazah Sarjana Pertanian yaitu saksi Muchalis Muktar ( berkas terpisah) berikut uang panjar sejumlah Rp.3.000.000 ( tiga juta rupiah ) sedangkan sisanya Rp .1.000.000 (satu juta rupiah) diambil terdakwa dan kekurangan Rp. 7.000.000 ( tujuh juta rupiah) akan dilunasi setelah Ijazah selesai. Karena terdakwa mengurus Ijazah sarjana kepada saksi Muchalis Muktar sejumlah Rp. 10.000.000 (sepulu juta rupiah) setelah Ijazah Sarjana Pertanian An. Herbet selesai pada hari Rabu, tanggal 26 April 2006 sekira pukul 11.00 Wib, terdakwa dihubungi oleh saksi Muchalis Muktar agar datang ke JL. SM Raja Medan tepatnya di dalam kedai kopi dekat kampus UISU Medan untuk menerima Ijazah tersebut. Terdakwa datang bersama dengan Andreas Napitupulu dan temannya yang bermarga Napitupulu, dan setelah betemun dengan saksi Muchalis Muktar lalu Muchalis Muktar menyerahkan Ijazah Sarjana An. Herbet yang terdakwa pesan kepadanya, dan selanjutnya terdakwa menyerahkan kembali Ijazah tersebut kepada Andreas Napitupulu dan Marga Napitupul untuk diteliti, namun karena uang pembayaran masih kurang, maka marga Napitupulu pegi bermaksud mengambil uang dari ATM dan tinggal terdakwa, saksi Muchalis Muktar dan Andraes Napitupulu duduk di meja dan Ijazah masih ada diatas meja, dan pada saat itulah datang petugas kepolisian saksi Julior Tambunan, Lapolo Siahaan ( anggota poltabes MS) melakukan penangkapan terhadap terdakwa dan Muchalis Muktar, ternyata memesan Ijazah Sarjana Pertanian An. Herbet adalah orang suruhan polisi yang menyamar.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Kemudian terdakwa menerangkan bahwa terdakwa menerima pesanan Ijazah sarjana dari Andreas Napitupulu dan Kemudian terdakwa menguruskan kepada saksi Muchalis Muktar. Kemudian Muchalis Muktar di interogasi dari siapa mengurus Ijazah sarjana tersebut, dan jawabannya dari seorang perempuan bernama Saksi Rukiah Nasution ( berkas terpisah). Kemudian Rukiah Nasution dihubungi oleh saksi Muchalis Muktar untuk datang ke kedai kopi dekat kapus UISU Medan. Ketika saksi Rukiah Nasution datang langsung ditangkap oleh petugas kepolisian dan selanjutnya Rukiah Nasution ditanya dari mana dirinya mengurus Ijazah Sarjana tersebut dan jawabnya dari laki-laki seorang Dosen di UISU yang bernama Ir. Ruslan R (berkas terpisah) dan kemudian Ir. Ruslan R dihubungi oleh saksi Rukiah Nasution dan setelah datang selanjutnya Ir. Rulan R juga ditangkap polisi. Terdakwa berikut barang bukti berupa 1 (satu) lembar Ijazah asli An. Herbet, 1(satu) lembar transkip nilai an. Herbet, 7 (tujuh ) lembar foto kopi Ijazah an. Herbet yang dilegalisir, 7 (tujuh) lembar foto kopi transkip nilai an. Herbet yang dilegalisir, 1(satu) lembar kwitansi penerimaan uang panjar sejumlah Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah), 1(satu) kwitansi sebagai penerimaan panjar sejumlah Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) diserahkan kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan keterangan saksi Prof. Dr. Ir.H. Usman Nasution selaku Dekan Fakultas Pertanian UISU Medan yang menerangkan bahwa tanda tangan yang tertera dalam lembar Ijazah dan transkip nilai an. Herbet bukan tanda tangan saksi Prof. Dr. Ir.H. Usman Nasution dan juga Ijazahdan transkip nilai tersebut tidak benar dikeluarkan oleh Fakultas Pertanian UISU Medan. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Kesatu: 1. Primair ke-1
: Diancam pidana dalam pasal 266 Jo Pasal 55 (1) KUHPidana.
2. Subsidair
: Diancam pidana dalam pasal 263 Jo Pasal 55 (1)
ke-1 KUHPidana 3. Lebih Subsidair
: Diancam pidana dalam pasal 263 ayat (1) Jo Pasal
56 (1) KUHP Kedua: Diancam pidana dalam pasal 68 ayat (1) UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Pada kasus kedua: Saksi Rukiah Nasution menghubungi terdakwa melalui teelpon pada awal April 2006 sekitar pukul 12.30 Wib, dan saksi meminta tolong kepada terdakwa untuk mendapatkan Ijazah Sarjana Pertanian lokal untuk perkebunan swasta. Terdakwa menghubungi yang bernama Ardi (belum tertangkap) yang dapat mengurus dan mengeluarkan Ijazah Sarjana Pertanian Lokal dengan membayar Rp. 7.000.000,-(Tujuh juta rupiah). Terdakwa kembali menghubungi saksi Rukiah Nasution dengan mengatakan kepadanya bisa dengan harga Ijazah Rp. 7.000.000,-(Tujuh juta rupiah) dan mohon disiapkan syarat administrasinya. Pada hari senn tanggal 17 April 2006 sekitar pukul 13.00 Wib saksi Rukiah Nasution menemui terdakwa dan memberikan kelengkapan administrasi berupa pas photo hitam putih ukuran 3x4=6 lembar dan 4x6= 6 lembar dan foto kopi Ijazah an. Herbet, dan kemudan pada hari selasa tanggal 18 April 2006 sekitar Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
pukul 18.00 Wib semua syarat administrasi tersebut terdakwa serahkan kepada yang bernama Ardi di Medan Plaza Jl. Iskandar Muda. Pada hari sabtu tanggal 22 April 2006 sekitar pukul 17.00 Wib, terdakwa menerima panjar sejumlah Rp.2.000.000 (dua juta rupiah) dari saksi Rukiah Nasution, dan meyerahkan kepada kepada yang bernama Ardi sejumlah Rp.2.000.000 untuk panjar pembuatan Ijazah Sarjana Pertanian an. Herbet, dan oleh Ardi menjanjikan Ijazah selesai tanggal 25 April 2006. Pada hari selasa tanggal 25 April 2006 sekitar pukul 21.00 Wib di Medan Plaza lantai dasar terdakwa menerima Ijazah Sarjana Pertanian dan transkip nilainya beserta foto kopinya yang telah dilegalisir an. Herbet. Terdakwa memberikan Ijazah kepada saksi Rukiah Nasution sebanyak masingmasing 7 (lembar) di Jl. SM Raja dekat Jl.Alfalah Medan selanjutnya sekitar pukul 13.00 Wib terdakwa dihubungi kembali oleh saksi Rukiah Nasution dan terdakwa disuruh datang ke Jl. SM. Raja Di simpang sempurna dekat wartel. Terdakwa menuju tempat yang ditunjukkan oleh saksi Rukiah Nasution, dan sesampainya di tampat tujuan terdakwa ditangkap oleh saksi Julior Tambunan, Rapolo Siahaan (anggota Poltabes) atas hunjukan dari saksi Rukiah Nasution. Terdakwa ditangkap beserta barang bukti berupa 1(satu) lembar Ijazah asli an. Herbet, 1(satu) lembar transkip nilai an. Herbet, 7 (tujuh) lembar foto kopi Ijazah an. Herbet yang dilegalisir, 7 (tujuh) lembar foto kopi transkip nilai yang telah dilegalisir, 1 (satu) lembar kwitansi penerimaan panjar uang sejumlah Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah), 1 (satu) lembar kwitansi sebagai penermaan panjar sebanyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Berdasarkan keterangan saksi Prof. Dr. Ir.H. Usman Nasution selaku Dekan Fakultas Pertanian UISU Medan yang menerangkan bahwa tanda tangan yang tertera dalam lembar Ijazah dan transkip nilai an. Herbet bukan tanda tangan saksi Prof. Dr. Ir.H. Usman Nasution dan juga Ijazah dan transkip nilai tersebut tidak benar dikeluarkan oleh Fakultas Pertanian UISU Medan. Kesatu: 1. Primair ke-1
: Diancam pidana dalam pasal 266 Jo Pasal 55 (1) KUHPidana.
2. Subsidair
: Diancam pidana dalam pasal 263 Jo Pasal 55 (1)
ke-1 KUHPidana 3. Lebih Subsidair
: Diancam pidana dalam pasal 263 ayat (1) Jo Pasal
56 (1) KUHP
Kedua: Diancam pidana dalam pasal 68 ayat (1) UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. C. Pertimbangan Hakim. Pada Kasus Pertama: Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur dari pasal 266 Jo pasal 55 (1) Ke-1 KUHP (dalam dakwaan primer) dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana. Hal-hal yang memberatkan: Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Hal-hal yang meringankan: Bahwa terdakwa mengakui perbuatannya. Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya. Bahwa terdakwa belum pernah dihukum. Pada kasus yang kedua: Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur dari pasal 266 Jo pasal 55 (1) Ke-1 KUHP (dalam dakwaan primer) dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini. Bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana. Hal-hal yang memberatkan: Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Hal-hal yang meringankan: Bahwa terdakwa mengakui perbuatannya. Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya. Bahwa terdakwa belum pernah dihukum. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
D. Putusan Hakim. Pada kasus Pertama: Menyatakan terdakwa Manahara Lamasi D. Tobing, SMHK. Telah terbukti secara dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ secara bersama-sama menempatkan keterangan palsu dalam suatu Akta tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian” sebagaimana yang diatur dalam pasal 266 Jo Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP (dakwaan kesatu primer). Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan, dengan masa hukuman percobaaan 8 (delapan) bulan. Pada Kasus Kedua: Menyatakan terdakwa IR RUSLAN telah terbukti secara dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ secara bersama-sama menempatkan keterangan palsu dalam suatu Akta tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian” sebagaimana yang diatur dalam pasal 266 Jo Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP (dakwaan kesatu primer).
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan, dengan masa hukuman percobaaan 8 (delapan) bulan.
E.
Analisis Kasus Setelah mengetahui bagaimana posisi kasus seperti yang telah diuraikan
diatas, penulis dapat memberikan analisis terhadap kasus tersebut. Kedua kasus tersebut merupakan kasus dengan perkara yang sama yaitu tentang tindak pidana pemalsuan Ijazah akan tetapi berkas kedua terdakwa terpisah (seplit). Yang menjadi pembahasan terhadap kasus tersebut adalah, sejauh mana peranan pasal 55 KUHP dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah, sehingga para pelaku bisa dijerat hukuman karena seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa dalam tindak pidana pemalsuan bahwa pihak pembuat Ijazah palsu bukan sebagai pihak yang memakai Ijazah palsu tersebut. Terhadap hal ini berarti terhadap pihak lain yang dalam istilah pidana disebut dengan dader atau pihak yang turut serta dalam melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 55 KUHP, artinya bahwa ada pihak yang lain yang secara bersama-sama melakukan sebagian anasir dari tindakan pemalsuan Ijazah tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus diatas dimana kedua terdakwa yaitu Manahara Lamasi D.Tobing, SMHK dan terdakwa Ir. Ruslan R adalah bukan pembuat Ijazah palsu akan tetapi sebagai orang yang turut serta dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah, yang artinya terdakwa telah melakukan sebagian anasir dari tindakan pemalsuan Ijazah. Peran dan fungsi kedua terdakwa secara jelas telah mendukung dan menginginkan akan tujuan dari tindakan tersebut. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Mengenai unsur pidana yang menjadi dasar dakwaan terhadap terdakwa, yang mana unsur unsur tersebut adalah: a.
Menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan
maksud
akan
menggunakan
atau
menyuruh
orang
lain
menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau mempergunakan itu dapat mendatangkan kerugian. Dalam unsur ini jelas terlihat bahwa terdakwa memenuhi unsur-unsur dari rumusan Pasal 266 KUHP yaitu: Unsur-unsur objektif : a. Perbuatan : menyuruh memasukan b. Objeknya : keterangan palsu c. Dalam akta otentik d. Mengenai sesuatu hal yang kebenaranya harus dinyatakan dengan akta itu e. Jika pemakiannya dapat menimbulkan kerugian. Unsur Subjektif :
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.
b.
Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan. Turut melakukan dalam arti bahwa “ bersama-sama melakukan”. Sedikitdikitnya ada dua orang, yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) perstiwa pidana itu. Dalam fakta yang terungkap dipersidangan menyatakan bahwa terhadap kasus tersebut
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
terdapat beberapa pelaku yang melakukan sebagian anasir-anasir tindakan pemalsuan Ijazah. Apabila penulis mengamati kasus diatas, terhadap kedua terdakwa bukanlah sebagai orang yang melakukan perbuatan tindak pidana Pemalsuan. Terdakwa dalam hal ini berperan sebagai orang yang turut serta melakukan tindak pidana pemalsuan Ijazah. Hal ini disebabkan karena antara para peserta ada kerjasama yang diinsyafi dan tanpa diperjanjikan atau direncanakan terlebih dahulu, yaitu pada waktu sebelum mereka memulai perbuatan tersebut. Hal ini nampak dari peran kedua terdakwa sebagai orang yang telah menjadi penghubung antara pihak yang berkepentingan dengan pihak yang dapat membuat Ijazah palsu. Oleh karena itu dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah, disamping pengaturannya telah diatur dalam Bab XII KUHP akan tetapi berdasarkan kedua kasus diatas peran dari Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan sangat diperlukan dalam hal menjerat orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah walaupun orang-orang tersebut bukan pelaku pembuat Ijazah palsu tersebut, akan tetapi orang-orang yang turut serta dalam pelaksanaan sebagian anasir-anasir tindak pidana pemalsuan Ijazah dapat dihukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sekalipun mereka bukan sebagai pelaku utama. Terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa, penulis memandang bahwa perbuatan terdakwa tidak pantas mendapat hukuman yang diputuskan oleh majelis Hakim. Karena penulis berpendapat peranan kedua terdakwa dalam mewujudkan tindak pidana pemalsuan Ijazah telah diinsyafi terlebih dahulu oleh terdakwa sehinnga pelaksanaan kejahatan ini tidak lepas dari peran daripada Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
kedua terdakwa. Untuk itu kedepannya penulis berarap bahwa pelaku tindak pidana pemaalsuan Ijazah, baik sebagai pelaku utama maupun orang yang turut serta melakukan supaya ditindak dan diberi sanksi yang tegas supaya pemalsuan Ijazah di Indonesia dapat diminimalisir, untuk kemajuan pendidikan di Indonesia dan unsur kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan ini bisa dikurangi.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan paa babbab sebelumnya dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan maka dengan ini penulis akan mencoba mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diajukan sebagai berikut: 1.
Tindak pidana pemalsuan Ijazah merupakan tindak pidana pemalsuan surat
pada umumnya yang diatur dalam Bab XII buku II, yaitu pasal 263 KUHP dan pasal 266 KUHP. Hal ini didasarkan pada pertimbangan yaitu: a.
Ijazah tersebut merupakan surat yang dipalsukan seolah-olah isinya asli atau tidak palsu.
b.
Ijazah palsu tersebut dapat menimbulkan kerugian.
c.
Surat yang dipalsu itu adalah surat yang dapat menimbulkan suatu hak, misalnya: ijazah, karcis, tanda masuk, surat andil dan lain sebagainya.
Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut juga adanya perkembangan hukum karena memang hukum sifatnya yang dinamis. Oleh sebab itu maka mutlak diperlukan adanya perangkat hukum yang mengatur tentang pemalsuan Ijazah diluar KUHP.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Adapun peraturan itu adalah: 1.
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisem Pendidikan Nasional (lembaran Negara RI. No. 78 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4301) pasal 69 (1)
2.
UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lembaran Negara RI. No. 37 Tahun 2003 Tambahan Lembaran Negara RI. No. 4277) Pasal 137 (2) dan (4)
3.
UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden (Lembaran Negara RI No. 93 Tahun 2003, Tambahan Lembaan Negara RI No.4311) Pasal 88 ayat (3) dan (4)
2.
Dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah unsur penyertaaan (deelneming)
yang diatur dalam pasal 55 KUHP sangat berperan dalam mengoptimalisasikan hukum pidana sebagai sarana dalam
upaya pencegahan kejahatan. Hal ini
didasarkan pada kasus yang terjadi dimana dalam melakukan tindak pidana pemalsuan Ijazah, tidak hanya dilakukan oleh seseorang akan tetapi dilakukan oleh banyak orang. Terhadap hal ini berarti terhadap pihak lain yang dalam istilah pidana disebut dengan dader atau pihak yang turut serta dalam melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 55 KUHP. Artinya bahwa ada pihak yang lain yang secara bersama-sama melakukan sebagian anasir dari tindakan pemalsuan Ijazah tersebut.. Dengan demikian terhadap pihak yang membuat/mengeluarkan Ijazah palsu tersebut dikenakan pasal 263 dan 55 KUHP yaitu sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana pemalsuan Ijazah, sedangkan terhadap pihak yang menggunakan Ijazah palsu tersbut selain dikenakan pasal 263 ayat (1) dan Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
(2) KUHP juga dikenakan pasal 55 KUHP sebagai pihak yang menyuruh melakukan. Dengan demikian setiap orang yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan Ijazah dapat menerima sanksi hukum. 3.
Upaya penanggulangan tindak pidana Pemalsuan Ijazah dapat dilakukan dengan :
a.
Kebijakan Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan menggnakan sarana hukum pidana yang merupakan sanksi daru suatu delik. Misalnya: hukuman penjara, hukuman denda, pidana kurungan, dan lainnya. Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara. Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara. Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat. Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan. Pidana penjara ini masuk ke Indonesia melalui pasal 10 KUHP dan sampai sekarang masih berlaku dan dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap pemalsuan Ijazah adalah dengan menerapkan pasal 263 KUHP yang menerapkan hukuman penjara maksimal enam tahun.
b.
Kebijakan Non Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana tindakan ini lebih bersifat administrasi dan lebih bermoral. Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pemecatan. tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku pemalsuan Ijazah adalah sebagai berikut: 1. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah. 2. Melalui tindakan administrasi dengan melakukan pemecatan. Dalam membasmi kejahatan pemalsuan Ijazah ini harus dilakukan dengan sifat memberantas. Misalnya untuk mencegah penyakit demam berdarah maka nyamuknya harus diberantas juga. 3. Oleh sebab itu cara yang paling tepat dilakukan untuk mencegah pemalsuan Ijazah adalah dengan menutup sekolah dalam arti
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
mencbut izin operasi sekolah yang terbukti menerbitkan Ijazah palsu. 4. Kadang untuk menanggulangi kejahatan pemalsuan Ijazah diperlukan juga penyuluhan-penyuluhan yang dapt dilakukan kesekolah-sekolah dimana yang menjadi sasaran penyuluhan tersebut adalah siswa-siswi yang secara tidak langsung dapat memotivasi agar lebih giat belajar. Penyuluhan terhadap lembagalembaga penyelenggara pendidikan, tokoh-tokoh pendidik untuk tidak terlibat dalam praktek pemalsuan Ijazah. Dengan demikian diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum khususnya kepolisian agar praktek pemalsuan Ijazah dapat diminimalisir.
B. Saran. Adapun yang menjadi saran dari penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: 1.
Mengingat bahwa Ijazah yang masih dikategorikan sebagai bentuk surat menurut penulis hal ini masih menimbulkan kebingungan bagi aparat hukum dalam menerapkan pasal-pasal yang mengatur tentang pemalsuan Ijazah. Jika diperhatikan pasal 263 KUHP yang bunyinya hanya menyebut surat, ini berarti yang menjadi acuan adalah perbuatannya karena pemalsuan Ijazah kedalam delik formil sementara cara perbuatannya tidak diatur secara jelas.
2.
Dalam penanganan tindak pidana pemalsuan Ijazah, hendaknya dibuat suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Ijazah diluar KUHP, sehingga dalam menangani tindak pidana pemalsuan Ijazah para aparat hukum dan para pihak yang terkait dapat menindak dengan tegas karena payung hukum terhadap kejahatan ini sudah jelas berikut dengan seluruh penjelasannya. Dengan cara ini, mudah-mudahan dapat meminimalisir terjadinya pemalsuan Ijazah. 3.
Adanya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini yang berwenang Departemen Pendidikan Nasioanal supaya lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan mulai dari tingkat daerah sampai dengan pusat. Yang menjadi objek pengawasan adalah seluruh penyelenggara pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi, dengan lebih mengoptimalkan Badan Pengawas yang ada didaerah baik daerah Tkt II (Kab/Kota), daerah Tkt I (Propinsi) maupun tingkat pusat dengan melibatkan seluruh unsur mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga tertentu. Dengan demikian praktek jual beli Ijazah tidak begitu mudah didapatkan, dan dapat mengurangi tindak pidana pemalsuan Ijazah.
4.
Agar pemerintah mencoba untuk menganalisa lagi apa-apa saja faktor yang menjadi penyebab pemalsuan Ijazah, sehingga ada suatu kesamaan persepsi tentang faktor penyebab pemalsuan Ijazah. Dengan demikian akan ditempuh solusi-solusi yang juga sifatnya sama mulai dari tingkat pusat sampai kedaerah.
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Semarang
Samidjo, 1985. Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Bandung: Armico.
Schffmeister, et al, D., 1960. Kitab Undang-undang Dan PeraturanPeraturan Serta UUD 1945 RI, Jakarta: Soerongan Jakarta.
Hamzah, Andi, 1994. Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta Moeljanto, 1983.Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.
Hanindyopoetra, BR, dan Artodybyo, Naroyono,1975. Hukum Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: FH PM Universitas Brawijaya.
Chazawi, Adami,2000. Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Ashofa, Burhan, 1996. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rieneka Cipta.
Sanggono, Bambang, 1998. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Soekamto, Soerjono, 1984. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UIPress Jakarta.
Moelong, Lexy, 1999. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya. Utrecht, E., 1968, Hukum Pidana I, Bandung: Universitas
Soerodibroto, Soenarto, 1994. KUHP,KUHAP Dilengakpi Yurispudensi MA Dan Hoge Raad, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa. Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Soesilo, R.,1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea.
Utrecht, E., 2000, Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Halim, Ridwan, A., 1985, Tindak Pidana Pendidikan, Semarang: Ghalia Indonesia.
Ahmadi, Abu, H., Psikologi Sosial, Semarang: Rineka Cipta.
Bawengah, Gerson, W., 1991, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta : Pradya Pramita.
Simanjuntak, Noach, B., 1984, Kriminologi, Bandung: Tarsito.
Hasibuan, Syafruddin, S., et al, 2004, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi (Menyambut 70 Tahun Prof. H. Muhammad Daud), Medan: Pustaka Bangsa Press.
Buyung, Bulizuar, Sistem Administrasi Negara, Jakarta: Universitas Terbuka Jakarta.
Wijaya, A.W.,1994, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Bumi Aksara
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008
Undang-undang:
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisem Pendidikan Nasional (lembaran Negara RI. No. 78 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4301)
UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lembaran Negara RI. No. 37 Tahun 2003 Tambahan Lembaran Negara RI. No. 4277)
UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden (Lembaran Negara RI No. 93 Tahun 2003, Tambahan Lembaan Negara RI No.4311).
Sumber Lain: www.google.co.id www.Depdiknas.co.id
Hendra F Sidabutar : Penerapan Pasal 55 KUHP ( Deelneming )Terhadap Penanganan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah( Studi Putusan No.2876 /PID B/ 2006 PN Medan, ) Studi Putusan No. 2877/PID B/2006/PN Medan, 2008 USU Repository © 2008