TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK DALAM HAL TERJADI KEGAGALAN BANGUNAN DI DALAM KONTRAK KONSTRUKSI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-tugas Dalam Rangka Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh:
Romelda Proniastria Simamora Nim: 040200225 Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan : BW
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK DALAM HAL TERJADI KEGAGALAN BANGUNAN DI DALAM KONTRAK KONSTRUKSI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-tugas Dalam Rangka Mencapai Gelar Sarjana Hukum Disusun oleh: Romelda Proniastria Simamora Nim: 040200225 Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan : BW
Diketahui/Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S NIP. 131 764 556
Pembimbing I
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S NIP. 131 764 556
Pembimbing II
Sunarto Adi Wibowo, S.H NIP. 130 525 89
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena hanya cinta, kasih dan berkat-Nya dalam kehidupan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi”. Dimana penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Penulis mengakui dan menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan penulis, serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi. Penulis menyadari bahwa pada hakikatnya penulisan skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa adanya bantuan, petunjuk, dorongan, dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku
Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. 2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.Hum, Bapak Syafuddin, S.H.,M.Hum, dan Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.H, selaku Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
3.
Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan sebagai Pembimbing I, yang telah memberikan masukkan dan petunjuk kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Sunarto Adi Wibowo, S.H, selaku Pembimbing II yang telah banyak memberi bimbingan serta masukkan di dalam penulisan skripsi ini.
5.
Bapak dan Ibu Dosen yang begitu banyak berjasa dalam mengajari, membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6.
Terkhusus dan teristimewa penulis ucapkan kepada Ayahnda tercinta S.Simamora, dan Ibunda tersayang D.Marpaung atas kasih sayangnya, dukungan baik moral dan materil serta doa yang tiada hentinya buat penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7.
Buat adik-adikku tersayang desi, putri, dan yosua adik bungsuku yang begitu banyak memberikan semangat dan motifasi buat penulis, rajin-rajin belajar, biar jadi orang yang sukses.
8.
Kepada seluruh keluarga besarku dimana pun berada, terima kasih atas doa dan dukungannya.
9.
Kedua sahabatku netha’e, dan chlo’e, makasih atas dukungan, perhatian, dan bantuannya selama penulisan skripsi ini, kalian berdua temenku yang paling “the bestttt....deeee”. Kemana pun kita melangkah, Tuhan Yesus beserta kita.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
10. Buat Rikky yang selama penulisan skripsi ini, banyak banget membantu dalam pengumpulan bahah-bahan referensi, makasih buat waktu, tenaga dan perhatiannya, semoga cepat menyelesaikan studinya juga yaa. 11. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terkhusus stambuk 2004 grup A, V-lyn cs, d’sy cs, ilsa cs, lina, migdad cs dan semuanya yang tidak bisa ku sebutkan satu persatu, terima kasih buat dorongan, bantuan dan motifasinya. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat berguna dan bermanfaat
hendaknya bagi para pembaca, dan semoga Tuhan Yang Maha Pemurah dan Pengasih melimpahkan berkat dan kasih-Nya kepada para pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Medan,
Februari 2008
Penulis
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................
i
Daftar Isi ............................................................................................................. iv Abstraksi ............................................................................................................. vi BAB I
Pendahuluan .....................................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Permasalahan ....................................................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..........................................................
5
D. Keaslian Penulisan ............................................................................
6
E. Tinjauan Kepustakaan........................................................................
6
F. Metode Pengumpulan Data ...............................................................
8
G. Sistematika Penulisan .......................................................................
8
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Kontrak .................................................... 11 A. Istilah dan Pengertian Kontrak ......................................................... 11 B. Syarat-syarat sahnya Kontrak ........................................................... 15 C. Asas-asas Hukum Kontrak ............................................................... 27
BAB III
Hal Umum Mengenai Kontrak Konstruksi ...................................... 35
A. Pengertian Kontrak Konstruksi ......................................................... 35 B. Dasar Hukum Kontrak Konstruksi .................................................... 37 C. Jenis-Jenis Kontrak Konstruksi ......................................................... 41 D. Para Pihak dan Objek dalam Kontrak Konstruksi ............................. 49 E. Pola Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi ............................ 53 Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV
Tanggungjawab Para Pihak Terhadap Terjadinya Kegagalan Bangunan didalam Kontrak Konstruksi ........................ 60
A. Faktor dan Penilaian terjadinya Kegagalan Bangunan didalam Kontrak Konstruksi ........................................................... 60 B. Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi ......................................... 66 C. Sanksi yang Dikenakan Kepada Para Pihak atas Terjadinya Kegagalan Bangunan ....................................................................... 69 BAB V Kesimpulan dan Saran .......................................................................... 72 A. Kesimpulan ....................................................................................... 72 B. Saran ................................................................................................. 73 DAFTAR PUSTAKA
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Kontrak konstruksi dalam pembangunan nasional saat ini, mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau fisik lainnya. Meskipun suatu kontrak konstruksi telah memenuhi syarat-syarat sah dan memenuhi asas-asas suatu kontrak, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu akibat yang dapat merugikan pihak lain, antara lain yakni kegagalan bangunan. Tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban para pihak serta sanksi yang dikenakan kepada para pihak dalam hal terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi, serta menjadi gambaran bagi penengak hukum dan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kontrak konstruksi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan dan penyelesaian permasalahan dalam penlisan ini, yakni tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi. Suatu bangunan dikatakan telah mengalami kegagalan bangunan apabila sudah dinilai oleh satu atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompoten dalam bidangnya, bersifat independen, dan mampu memberikan penilaian secara objektif. Apabila, salah seorang pihak tersebut dinyatakan bersalah oleh pihak penilai ahli, maka ia wajib bertanggungjawab atas terjadinya kegagalan bangunan tersebut. Tanggung jawab yang dikenakan kepada pihak yang dinyatakan bersalah dapat berupa tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata maupun tanggung jawab administratif.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam pembangunan nasional, konstruksi mempunyai peranan yang cukup penting dan strategis, dikarenakan jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang pembangunan, disamping itu jasa konstruksi juga berperan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kadangkala jarang sekali kita berfikir bahwa untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi bangunan-bangunan yang ada di tanah air kita ini, diperlukan suatu bentuk perikatan tertulis antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek/Pemberi Tugas) dan Penyedia Jasa (Konsultan Perencana/Kontraktor Pelaksana/Konsultan Pengawas). Bentuk perikatan mengenai kegiatan industri jasa konstruksi inilah yang dikenal dengan istilah Kontrak Konstruksi atau Perjanjian Konstruksi, yang di negara Barat dikenal dengan istilah Construction Contract atau Construction Agreement. 1 Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara para pihak. Momentum timbulnya akibat tersebut adalah sejak ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa.
1
Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 1. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan suatu bidang usaha yang banyak diminati oleh anggota masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Peningkatan jumlah perusahaan ini ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan kehandalan usaha yang profesional. Faktor kunci dalam pengembangan jasa konstruksi nasional adalah peningkatan kemampuan usaha, terwujudnya tertib penyelenggaran pekerjaan konstruksi, serta peningkatan peran masyarakat secara aktif dan mandiri dalam melaksanakan kedua upaya tersebut. Peningkatan kemampuan usaha ditopang oleh peningkatan profesionalisme dan peningkatan efisiensi usaha. Sedangkan terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat dicapai melalui pemenuhan hak dan kewajiban dan adanya kesetaraan kedudukan para pihak yang terkait. Salah satu asas di dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang menjiwai Peraturan Pemerintah ini adalah asas kemitraan yang Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
saling menguntungkan. Dengan asas tersebut dapat diwujudkan keterkaitan yang semakin erat dalam satu kesatuan yang efisien dan efektif antar penyedia jasa. Kemitraan tersebut sekaligus memberikan peluang usaha yang semakin besar tanpa mengabaikan kaidah efisiensi dan efektivitas serta kemanfaatan. Di samping asas kemitraan, asas yang lain yang cukup penting adalah asas keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. Baik dalam persyaratan usaha maupun persyaratan kemampuan profesional agar berkembang pengusaha yang profesional, yang mampu mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dengan menghasilkan bangunan yang berkualitas. Dengan adanya perlindungan dan keselamatan kerja, baik bagi penyedia jasa, pengguna jasa, maupun masyarakat, disertai dengan tuntutan untuk menumbuhkan budaya sadar lingkungan, sehingga keseluruhan ketentuan tersebut akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan menjamin keselamatan bagi para pihak. Keamanan
dan
keselamatan
masih
berlanjut
pada
tahapan
pasca
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, yakni dalam hal kegagalan bangunan yang kadang kala kerap terjadi di dalam pelaksanaan konstruksi. Apakah hal ini disebabkan karena usia bangunan yang sudah mencapai fatique atau prosedur pelaksanaan, pemakaian dan perawatan terhadap bangunan atau konstruksi yang tidak sesuai dengan tata aturan yang sudah diisyaratkan? Meskipun
kegagalan
bangunan
atau
kegagalan
konstruksi
banyak
menyebabkan kerugian baik harta atau materi bahkan ada kalanya kegagalan bangunan ini mengakibatkan korban jiwa, akan tetapi sepertinya masyarakat dan Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
pemerintah terlihat tidak begitu cukup serius dalam menyikapi peristiwa tersebut. Hal ini terlihat dari jarangnya pelaku dalam proses kegagalan bangunan tersebut dimintai pertanggung jawabannya melalui proses hukum, atau sanksi yang setimpal dengan hasil kerjanya.
Proses perizinan dan tender sering tidak
professional, begitu juga terhadap peraturan-peraturan yang terkadang tidak kompatibel dengan peraturan laiinya kerena dibuat sendiri-sendiri. Sistem perencanaan, pengawasaan serta pelaksanaan di dalam suatu kontrak konstruksi harus mengikuti prosedur teknis konstruksi secara benar, terutama kesadaran dari masing-masing pihak dalam melaksanakan suatu pembangunan guna tercapainya tujuan dari pelaksanaan kontrak konstruksi tersebut baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan sebelumnya maka perumusan masalah dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pertanggungjawaban para pihak di dalam kontrak konstruksi terhadap terjadinya kegagalan bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi? 2. Bagaimana sanksi yang dikenakan kepada para pihak dalam hal terjadinya kegagalan bangunan?
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban para pihak dalam hal terjadi kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi. 2. Untuk mengetahui sanksi yang dikenakan kepada para pihak akibat terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi.
2. Manfaat Penulisan Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah : 1. Secara Teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini, bermanfaat bagi kalangan akedemis pada khususnya, dan masyarakat pada umum yang
membutuhkan
informasi
mengenai
bagaimana
pertanggungjawaban serta sanksi terhadap para pihak terhadap terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi. 2. Secara Praktis Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran bagi penegak hukum
dalam
menyelesaikan
permasalahan
mengenai
pertanggungjawaban para pihak di dalam kontrak konstruksi terhadap terjadinya kegagalan bangunan, serta dapat memberikan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait di dalam pelaksanaan kontrak konstruksi.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi mengenai kontrak di dalam hukum perdata memang telah ada diangkat dan dibahas, namun penulisan mengenai tanggungjawab para pihak dalam hal terjadi kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa konstruksi belum pernah ditulis sebagai skripsi, dengan demikian penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka (open system), artinya para pihak bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syaratsyaratnya, pelaksanaannya, dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diperkenankan untuk membuat kontrak, baik yang telah dikenal dalam K.U.H.Perdata maupun di luar K.U.H.Perdata. Pada prinsipnya, kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1.
Kontrak nominaat, dan
2.
Kontrak innominaat.
Menurut Salim H.S yang dimaksud kontrak nominaat merupakan kontrakkontrak atau perjanjian yang dikenal dalam K.U.H.Perdata, seperti jual beli, tukarmenukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. Kontrak innominaat merupakan kontrakkontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam praktik dan belum dikenal pada saat K.U.H.Perdata diundangkan, seperti kontrak production sharing, joint venture, kontrak karya, beli sewa, leasing, franchise, dan lain-lain.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Timbulnya kontrak ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.2 Salah satu dari Kontrak innominaat yang pengaturannya diatur di luar K.U.H Perdata dan yang telah berkembang pada saat ini adalah Kontrak Konstruksi. Kontrak konstruksi pada umumnya berisi tentang : Pengertian Kontrak Konstruksi, Dasar Hukum Kontrak Konstruksi, Jenis-jenis Kontrak Konstruksi, Para Pihak dan Objek dalam Kontrak Konstruksi, Hak dan Kewajiban Para Pihak, Pola Penyelesaian Sengketa kontrak Konstruksi, masalah-masalah yang timbul dalam Kontrak Konstruksi, yang salah satunya adalah terjadinya Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi, Bagaimana Pertanggungjawaban Para Pihak atas Kegagalan Bangunan tersebut. Menurut Bachsan Mustafa, yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah beban yang harus ditanggung atau dipikul oleh seseorang atau lebih atas perbuatan yang telah dilakukan atau atas keputusannya yang telah dikeluarkan. 3 Tanggungjawab para pihak dalam hal terjadi kegagalan bangunan secara umum berisi tentang : Faktor dan Penilaian terjadinya Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi, Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi, dan Sanksi yang Dikenakan Kepada Para Pihak atas Terjadinya Kegagalan Bangunan. Yang dimaksud dengan sanksi adalah reaksi dari pemerintah atau masyarakat terhadap sesuatu perbuatan yang melanggar kaidah.
2
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 1. 3 Bachan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 42. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan 2 (dua) cara atau metode pengumpulan data yang berkaitan dengan materi pokok dalam skripsi ini, metode pengumpulan data yang dimaksud adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan Hukum Primer ; yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain. b. Bahan Hukum Sekunder ; yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan hasil kajian dari berbagai media, seperti koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet. 2. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundangundangan sebagai dasar pemecahan dan penyelesaian permasalahan yang dikemukakan.
G. Sistematika Penulisan
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dan di dalam bab terdiri atas unit-unit bab demi bab. Adapun gambaran isi penulisan ini sebagai berikut : Bab I :
Pendahuluan Bab ini merupakan suatu pengantar untuk penulisan pada bab-bab berikutnya dalam pembahasan yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Pengumpulan Data, dan Sistematika Penulisan
Bab II :
Tinjauan Umum tentang Kontrak Bab ini menguraikan secara umum mengenai kontrak yang terdiri atas: Istilah dan Pengertian Kontrak, Syarat-syarat Sahnya Kontrak, dan Asas Hukum Kontrak.
Bab III :
Hal Umum Mengenai Kontrak Konstruksi Bab ini menguraikan sekilas tentang kontrak konstruksi secara umum yang terdiri atas : Pengertian Kontrak Konstruksi, Dasar Hukum Kontrak Konstruksi, Jenis-Jenis Kontrak Konstruksi, Para Pihak dan Objek dalam Kontrak Kontruksi, dan Pola Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Bab IV :
Tanggungjawab
Para
Pihak
Terhadap
Terjadinya
Kegagalan
Bangunan didalam Kontrak Konstruksi Dalam bab ini akan dibahas, dikaji, dan dianalisis yang merupakan inti dari penulisan ini, yang mengupas tentang, Faktor dan Penilaian terjadinya Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi, Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan di dalam Kontrak Konstruksi, dan Sanksi yang Dikenakan Kepada Para Pihak atas Terjadinya Kegagalan Bangunan. Bab V :
Kesimpulan dan Saran Bab
ini
merupakan
penutup,
yang
merupakan
pokok-pokok
kesimpulan dari semua permasalahan dan pembahasan yang dituang dalam penulisan ini, serta saran-saran yang dikemukakan, dan semoga bermanfaat bagi semua, khususnya dalam hal kontrak konstruksi.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK
A. Istilah dan Pengertian Kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contracts, dan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenscomst (perjanjian). Hukum perjanjian diatur dalam buku III K.U.H. Perdata (BW), sebagai bagian dari BW yang terdiri dari IV Buku, yakni : 1. Buku I mengenai Hukum Perorangan (Personenrecht); 2. Buku II memuat ketentuan Hukum Kebendaan (Zakenrecht); 3. Buku III mengenai Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht); 4. Buku IV mengatur tentang Pembuktian dan Daluarsa (Bewijs en Verjaring). Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dengan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang atau secara lengkap bahwa Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undangundang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undangundang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum. 4
4
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 1-2. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Perbuatan yang rechtmatige atau yang sesuai dengan hukum, yang mengakibatkan timbulnya perikatan, nampaknya seolah-olah merupakan ”quasicontract”. Mirip seperti perjanjian semu. Akan tetapi pada kontrak biasa terjadi pernyataan kehendak dari kedua belah pihak secara serentak. Lain halnya pada perikatan yang diakibatkan perbuatan rechtmatige sebagai quasi kontrak. Persetujuan perikatan lahir dari sepihak apabila dia telah mengikatkan diri karena perbuatan hukum yang sah/dibenarkan; sekalipun tanpa persetujuan pihak yang lain. Dengan sendirinya si pelaku tersebut telah mengikatkan dirinya melaksanakan maksud perbuatan hukum yang dibenarkan tadi, serta bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesempurnaan pelaksanaan. Misalnya mengenai “zaakwaarneming”, yang diatur pada Pasal 1354 K.U.H.Perdata. Berarti bahwa seseorang yang sukarela mengurus kepentingan orang lain atau melakukan perwakilan sukarela tanpa suatu kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya; serta perbuatan yang dilakukannya dengan tidak setahu/persetujuan pihak yang diurusnya, maka secara diam-diam telah mengikatkan diri untuk melanjutkan penyempurnaan penyelesaian perbuatan tersebut. Dia mesti memikul segala beban yang timbul akibat perbuatan sukarelanya serta tunduk terhadap semua kewajiban seperti layaknya dia benar-benar telah mendapat persetujuan sebelumnya untuk itu dari orang yang berkepentingan. Perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad), seolah-olah merupakan delik atau “quasi-delict”. Misalnya, seseorang oleh karena “kelalaian” (culpa) atau ole karena kekurang hati-hatian (onvorzichtigheid) telah mengakibatkan luka atau mati, ataupun menimbulkan kerugian harta benda orang lain; adalah perbuatan/tindakan yang mendekati perbuatan delik pidana. Mengenai onrechtmatige daad ini diatur dalam Pasal 1365 K.U.H.Perdata, yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum/perbuatan dursila yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap orang lain, mewajibkan sipelaku untuk membayar ganti kerugian. 5 Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu. Anggapan lain yang dikenal adalah bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis. Hal ini sebenarnya tidaklah demikian, kecuali dalam hal-hal tertentu yang telah diatur oleh undang-undang. Kebanyakan perjanjian dibuat secara lisan. Mungkin sebagian orang sangat memerlukan supaya perjanjian tersebut dibuat secara tertulis untuk jangka waktu tertentu dan ini banyak
5
M.Yahaya.Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 28.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
dipersoalkan, atau untuk jangka waktu yang lama, tetapi ini hanya untuk tujuan praktis mengenai pembuktian, dan biasanya menurut hukum tidak perlu. 6 Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 K.U.H. Perdata, yang berbunyi bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal ini mengandung arti bahwa perjanjian harus selalu ada 2 (dua) pihak yang membuatnya (bilateral), yang masing-masing pihak dalam perjanjian (timbal balik) memegang hak dan terbeban kewajiban (obligation). Misalnya dalam perjanjian antara A sebuah perusahaan jasa konstruksi dengan B seorang investor ingin membangun pabrik tekstil di Kota Semarang, mereka telah mengadakan perjanjian bahwa A yang melaksanakan pembangunannya, maka disini pihak A terbebani kewajiban membangun pabrik tekstil dengan segala fasilitasnya sampai selesai dan ia sekaligus juga berhak mendapatkan pembayaran/pemborongan yaitu seluruh biaya yang dikeluarkan guna pembangunan pabrik beserta seluruh keuntungan yang diperolehnya, sebaliknya B disamping ia berhak mendapatkan pabrik tekstil juga ia terbebani kewajiban membayar si A. 7 Subyek perjanjian harus dicantumkan dengan tegas dan benar, karena penyebutan yang keliru akan mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan. Mengenai berapa pihak yang harus dicantumkan dalam akta adalah tergantung dari jenis perjanjiannya, untuk perjanjian timbak balik dicantumkan dua pihak, yaitu pihak pertama dan pihak kedua.Dan yang perlu diperhatikan disini bahwa penyebutan satu pihak tidak berarti sama dengan satu orang, dengan kata lain satu pihak dalam perjanjian dapat terdiri dari satu orang atau lebih. 8 ”Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 K.U.H. Perdata ini adalah : 9 1.
tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
2.
tidak tampak asas konsensualisme, dan
3.
bersifat dualisme”.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan karena dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian tersebut maka dicari pengertian dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut dengan perjanjian 6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 93. Djoko Triyanto, Hubungan Kerja Di Perusahaan Jasa Konstruksi, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 42. 8 Ibid., hal. 53-54. 9 Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 25. 7
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
adalah Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi tersebut, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut teori lama (doktrin), unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut : 1.
adanya perbuatan hukum,
2.
persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3.
persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4.
perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5.
pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain,
6.
kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7.
akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan
8.
persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundangundangan. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van dunne, yang diartikan
dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru ini tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Menurut teori baru ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu : 10 1.
tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan, 10
Salim H.S, ibid, hal. 26.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
2.
tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, 3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum antara para pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak yang lain memikul kewajiban menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah ”Objek” atau “voorwerp” dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum; sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “schuldeiser” atau “kreditur”. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “schuldenaar” atau “debitur”. 11 Jika undang-undang telah menetapkan “subjek” perjanjian yaitu pihak kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari atau “objek” dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri. “Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 K.U.H.Perdata, prestasi yang diperjanjikan itu adalah menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu (te geven, te doen, of niet te doen)”. 12
B. Syarat – syarat sahnya Kontrak
11 12
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 7. Ibid., hal. 10.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan diantara para pihak mengenai hal pokok atau unsur essensial dari kontrak tersebut. Dalam hal kontrak konstruksi misalnya, apabila telah tercapai kesepakatan mengenai penawaran dan pembayaran, maka lahirlah suatu kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undang-undang. Meskipun suatu kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, akan tetapi agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat sahnya kontrak tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 13 (1) Syarat sah umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata, yang terdiri dari: a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab/kausa yang halal. (2) Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan Pasal 1339 K.U.H.Perdata, yang terdiri dari: a. syarat itikad baik; b. syarat sesuai dengan kebiasaan; c. syarat sesuai dengan kepatutan; d. syarat sesuai dengan kepentingan umum. Keempat syarat sah umum yang diatur dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata biasa disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal. Dua syarat yang pertama yaitu satu dan dua merupakan syarat yang subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak. Sedangkan
13
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 33. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjiannya sendiri. Keempat syarat tersebut adalah essentialia dari suatu perjanjian yang berarti tanpa syarat-syarat tersebut, perjanjian atau kontrak dianggap tidak pernah ada. Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa apabila salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan kontrak yang telah disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang merasa keberatan maka kontrak tersebut tetap dianggap sah. Dan apabila syarat ketiga dan keempat tida terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa kontrak tersebut dari awal dianggap tidak ada. 14 Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai syarat-syarat sahnya suatu kontrak, penulis akan mencoba menguraikan syarat-syarat tersebut satu persatu: (1) Syarat sah umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata, yang terdiri dari a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Syarat yang pertama sahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. “Kesepakatan para pihak merupakan suatu unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling terpenting adalah adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya”. 15 Demikian halnya dengan kontrak konstruksi, dimana suatu kontrak akan dapat tercapai apabila kata kesepakatan mengenai penawaran dan pembayaran telah tercapai diantara pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa.
14 15
Salim H.S, Op.Cit.,hal. 34-35. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 14.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Antara para pihak yang mengadakan suatu kontrak atau perjanjian harus ada kesepakatan (konsensus), artinya bahwa kedua belah pihak harus menyetujui tentang prestasi dan benda yang menjadi objek perjanjian atau suatu kontrak dan tentang syarat-syarat yang menjadi berlaku bagi perjanjian atau kontrak tersebut. Adapun yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud dengan “sesuai” tersebut adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain. 16 Ada 5 (lima) cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak atau kesepakatan, yaitu dengan 1.
bahasa yang sempura dan tertulis;
2.
bahasa yang sempurna secara lisan;
3.
bahasa yang tidak sempurna akan tetapi dapat diterima oleh pihak lawan. Karena di dalam kenyataan seringkali seseorang menyampaikannya dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4.
bahasa isyarat akan tetapi dapat diterima oleh pihak lawannya;
5.
diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima oleh pihak lawan (Sudikno Mertokusumo, 1987:7).
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. 17 Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi di dalam masyarakat, akan tetapi kesepakatan secara lisan ini adakalanya tidak 16 17
Salim H.S, Op.Cit., hal. 33. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 15.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
disadari sebagai suatu perjanjian, padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, misalnya seseorang membeli keperluan sehari-hari di toko, maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan ecara lisan antara para pihak. “Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, misalnya penjual soto, si pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual akan mengantarkan satu mangkuk soto.”. 18 Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, maka kita akan langsung naik tanpa bertanya mau kemana mobil tersebut dan berapa biayanya. Dan bila telah sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya, sehingga kita tidak pernah mengucapkankan sepatah kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. 19 “Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan menggunakan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah guna memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari”. 20 Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya suatu kontrak, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, meskipun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian,
18
Ibid., hal. 16. Ibid., hal. 16. 20 Salim H.S, Loc.Cit., hal. 33. 19
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah tercapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian atau kontrak tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena 21: a. b. c. d.
kekhilafan (dwaling) atau kesesatan; paksaan (dwang); penipuan (bedrog), dan; penyalahgunaan keadaan. Secara sederhana penulis akan menguraikan keempat hal yang menyebabkan
terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut, yakni sebagai berikut: 22 Kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak keliru mengenai apa yang diperjanjikan, akan tetapi pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Paksaan terjadi apabila salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena tekanan (dipaksa secara psikologis), sehingga yang dimaksud dengan paksaan bukanlah paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan diantara para pihak. Penipuan terjadi apabila salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak yang lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan kehendak ini disebut juga dengan cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam BW, sedangkan tiga lainnya, yakni penipuan, kekhilafan, dan paksaan diatur dalam BW. Penulis sendiri berpendapat bahwa perbedaan antara kekhilafan dan penipuan adalah terletak pada suatu cara bagaimana salah satu pihak di dalam
21 22
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 17. Ibid., hal. 18.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
mempengaruhi guna merugikan pihak lawannya dalam suatu kontrak. Untuk itu menurut pendapat penulis yang dimaksud dengan kekhilafan adalah bahwa salah satu pihak tidak menyadari apa yang menjadi objek dalam kontrak tersebut, akan tetapi setelah pihak tersebut mengalami kerugian baru pihak tersebut menyadari bahwa telah terjadi kekeliruan. Sedangkan yang dimaksud dengan penipuan adalah bahwa salah satu pihak secara sadar telah melakukan penipuan terhadap pihak lawannya guna membuat kerugian bagi pihak lawannya dalam suatu kontrak. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. “Untuk mengadakan kontrak, para pihak harus cakap, akan tetapi dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap menurut hukum”. 23 Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu kontrak yakni apabila seseorang tersebut belum berumur 21 tahun atau belum dewasa (Pasal 330 K.U.H.Perdata), kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup umur 21 tahun. “Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros”24 dan walaupun kadang kala ia cakap menggunakan pikirannya (Pasal 433 K.U.H.Perdata).
23 24
Ibid., hal. 29. Loc.Cit., hal. 29.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum”. 25 Dalam pasal 1330 K.U.H.Perdata ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: a.
orang-orang yang belum dewasa;
b.
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c.
orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Khusus terhadap huruf c di atas mengenai perempuan dalam hal yang
ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak berlaku atau tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963, sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat suatu perjanjian. Konsekuensi yuridis apabila ada dari para pihak dalam kontrak yang ternyata tidak cakap untuk membuat suatu kontrak, yakni 26 : (a) Jika kontrak tersebut dilakukan oleh orang yang belum dewasa atau orangorang yang ditaruh di bawah pengampuan, maka kontrak tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya atau pengampuannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1446 ayat (1) K.U.H.Perdata jo. Pasal 1331 ayat (1) K.U.H.Perdata. 25 26
Salim H.S, Loc.Cit., hal. 33. Munir Fuady, Op.Cit., hal. 61-62.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
(b) Terhadap kontrak yang dibuat oleh wanita yang bersuami dan oleh orangorang belum dewasa yang mendapat status disamakan dengan orang dewasa, melampaui kekuasaan mereka, hanyalah batal demi hukum sekadar kontrak tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1446 ayat (2) K.U.H.Perdata jo. Pasal 1331 ayat (1) K.U.H.Perdata. (c) Terhadap suatu kontrak yang dibuat oleh orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 angka 3 K.U.H.Perdata, maka mereka dapat menuntut pembatalan kontrak tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. “Apabila suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolaholah kontrak tersebut tidak pernah ada. Dan untuk itu, setiap benda atau prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar”. 27 c.
Suatu hal tertentu. Di dalam suatu kontrak, bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi
(pokok perjanjian), dimana prestasi tersebut harus jelas dan ditentukan oleh para pihak. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur, dan prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi tersebut terdiri dari : 1.
menyerahkan/memberikan sesuatu;
2.
berbuat sesuatu, dan
3.
tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 K.U.H.Perdata). ”Untuk
menentukan
barang
yang
menjadi objek
perjanjian,
dapat
dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau
27
Ibid., hal. 62.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak”. 28 Misalnya, dalam kontrak konstruksi, maka yang menjadi pokok perjanjian adalah mewujudkan hasil perencanaan jasa konstruksi menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lainnya. Untuk menentukan tenang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak, seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”. d. Suatu sebab/kausa yang halal. “Dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata tidak dijelaskan pengertian kausa yang halal (orzaak). Di dalam Pasal 1337 K.U.H.Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang”. 29 “Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, akan tetapi yang dimaksud suatu sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undang” 30, kesusilaan, dan ketertiban umum. “Sejak tahun 1927 Hoge Raad mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak”. 31 Sebagai contoh penyedia jasa dan pengguna jasa melakukan kerjasama untuk membangun sebuah bangunan, akan tetapi penawaran yang diajukan oleh pihak penyedia jasa tidak menghasilkan kompetensi yang efektif, sehingga tidak mencapai tujuan dari pihak pengguna jasa, karena pihak pengguna jasa menginginkan suatu kerjasama yang efektif. 28
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 30. Salim H.S, Loc.Cit., hal. 34. 30 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 31. 31 Salim H.S, Loc.Cit., hal. 34. 29
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Adakalanya jika dalam suatu kontrak tidak disebutkan perihal tentang suatu kausa, tidak berarti bahwa kontrak tersebut tidak mempunyai kausa. Kausa tidak perlu disebutkan dalam kontrak (Pasal 1336 K.U.H.Perdata). Demikan juga jika di samping kausa yang disebutkan dalam kontrak, ada kausa yang lain dan tidak disebutkan, tidak berarti bahwa kontrak tersebut tidak sah. Apabila kausa tersebut legal, maka kontrak yang bersangkutan tetap sah. Konsekuensi yuridis apabila syarat kausa yang legal dalam suatu kontrak sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata tidak dipenuhi. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa kontrak yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 K.U.H.Perdata. Dengan perkataan lain, suatu kontrak tanpa suatu kausa yang legal akan merupakan kontrak yang batal demi hukum (nietig, null, and void). 32
(2) Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan Pasal 1339 K.U.H.Perdata, yang terdiri dari: 1.
Kontrak Harus Dilaksanakan dengan Iktikad Baik Menurut Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata, suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan iktikad baik (goeder, trouw, bona fide). Rumusan dari Pasal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya iktikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata. Unsur iktikad baik hanya diisyaratkan dalam hal ”pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur iktikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur kausa yang legal dari Pasal 1320 K.U.H.Perdata.
32
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 75.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Dengan demikian, suatu kontrak dapat saja dibuat secara sah, dalam arti telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak, sesuai dengan Pasal 1320 K.U.H.Perdata, dan karenanya kontrak tersebut dibuat dengan iktikad baik, akan tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan salah satu pihak atau merugikan pihak ketiga.Hal ini bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata.
2.
Kontrak Harus Sesuai dengan Asas Kepatutan. Suatu kontrak juga harus sesuai dengan asas “kepatutan”, untuk itu
pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut : (a) Fungsi yang melarang Kontrak yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan. Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi bertentangan dengan asas kepatutan (reasonability). (b) Fungsi yang menambah Suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak, dimana tanpa isian tersebut, tujuan dibuatnya suatu kontrak tersebut tidak akan tercapai. Misalnya terhadap suatu kontrak jual beli (yang dibayar kemudian) tidak jelas siapa yang harus menanggung resiko inflasi/devaluasi mata uang, maka Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
adalah sesuai dengan asas “kepatutan” jika di pengadilan hakim menafsirkan bahwa resiko inflasi/devaluasi mata uang tersebut dipikul bersama secara fifty-fifty. 3.
Kontrak Tidak Melanggar Prinsip Kepentingan Umum Suatu pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak tidak boleh melanggar
kepentingan umum (openbaar orde). Hal ini disebabkan karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada suatu kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan sesuai dengan Pasal 1339 K.U.H.Perdata hal tersebut tidak dibenarkan. 4.
Kontrak Harus Sesuai dengan Kebiasaan. Pasal 1339 K.U.H.Perdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya
mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan.
C. Asas-asas Hukum Kontrak. Di dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, untuk itu penulis akan menguraikan asas-asas yang terdapat dalam suatu kontrak satu persatu. 1.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) merupakan salah satu asas
yang sangat penting dalam hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dianalisa dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata, yang berbunyi Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” Dengan menekankan pada kata “semua”, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan perkataan lain : dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan untuk membuat undangundang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjianperjanjian yang kita adakan itu. 33 “Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa “tiap perjanjian mengikat kedua pihak”. Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan”. 34 Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk: a.
membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.
mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c.
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d.
menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan, dan
e.
kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III BW yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 35 33
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1984), hal. 14. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980), hal. 127. 35 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 4. 34
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaiscance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Ressaue. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan yang lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah, sehingga pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat. Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak akan tetapi perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak. 36 2.
Asas Konsensualisme “Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak”. 37
“Meskipun demikian, untuk menjaga
kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajban untuk memenuhi prestasi)
36 37
Salim H.S, Loc.Cit., hal. 9. Ibid., hal. 10.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau yang dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu”.38 Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah suatu kontrak, meskipun kontrak tersebut belum dilaksanakan pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan kedua belah pihak sehingga melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. “Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun sebenarnya sah menurut hukum”. 39 Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, akan tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta dibawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila
38
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 35. 39 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 31. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam K.U.H.Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. “Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap konrak konsensual, sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riil tidak berlaku”. 40 Terhadap beberapa jenis kontrak diisyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu, sehingga disebut
kontrak formal. Ini adalah merupakan
perkecualian dari prinsip umum tentang asas konsensual tersebut. Contoh kontrak yang harus dibuat secara tertulis (perkecualian dari asas konsensual) adalah: (a) kontrak perdamaian. (b) kontrak pertanggungan. (c) kontrak penghibahan. 3.
Asas Pacta Sunt Servanda “Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak
tersebut karena karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang”. 41 Asas pacta sun servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 40 41
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 3. Ibid., hal. 4-5.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Asas pacta sunt servanda dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata, yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja. 42 4.
Asas Iktikad Baik (Goede Trouw) Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad merupakan asas yang menyatakan bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu: a.
Iktikat baik nisbi, dimana orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.
b.
Iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Asas iktikad baik sangat penting dalam sebuah perjanjian, sehingga dalam perunding-undingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang harus dikuasai oleh 42
Salim H.S, Op.Cit., hal. 10.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak tersebut harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. 43 “Secara umum iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya”. 44 “Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik”. 45 5.
Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan suatu asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan dalam Pasal 1340 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang
membuatnya.
Akan
tetapi,
ketentuan
tersebut
memiliki
pengecualiannya, sebagaimana dalam Pasal 1317 K.U.H.Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
43
Ahmadi Miru, Loc.Cit., hal. 4. Ibid., hal. 7. 45 Ibid., hal. 5. 44
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 K.U.H.Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Pasal 1317 K.U.H.Perdata mengatur tentang pengecualiaannya, sedangkan Pasal 1318 K.U.H.Perdata mengenai ruang lingkupnya yang luas. “Di dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, sudah pasti harus dicantumkan identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan kewarganegaraannya”. 46 Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai modal yang besar untuk dapat membeli seluruh tanah yang dimiliki masyarakat kita. WNA hanya diberikan untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak pakai, karena hak-hak ini sifatnya sementara. 6.
Asas Obligator dari Suatu Kontrak Berdasarkan hukum kontrak yang menyatakan bahwa suatu kontrak bersifat
obligator. Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Akan tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak
46
Salim H.S, Op.Cit., hal. 13.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
lain. “Untuk dapat memindahkan hak milik, diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” (levering)”. 47
BAB III HAL UMUM MENGENAI KONTRAK KONSTRUKSI
Elemen yang paling penting dalam suatu proses kerjasama antara berbagai pihak untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang telah disepakati bersama adalah kontrak. Dalam proyek konstruksi, kontrak merupakan dokumen yang harus dipatuhi dan dilaksanakan bersama oleh para pihak yang telah sepakat untuk saling terikat. Untuk itu tahap awal yang harus terlebih dahulu dipahami adalah dasar-dasar pengertian kontrak serta konsep kontrak konstruksi. A. Pengertian Kontrak Konstruksi Istilah
kontrak kerja konstruksi merupakan terjemahan dari construction
contract. Kontrak kerja konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta. 47
Munir Fuady,Op.Cit., hal. 31.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Adapun yang dimaksud dengan kontrak kerja konstruksi dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah: “Keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Dokumen merupakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi. Konstruksi merupakan susunan (model, letak) dari suatu bangunan. Adapun dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan kontrak konstruksi, adalah meliputi: 48 1. Surat perjanjian yang ditandatangani oleh pengguna jasa dan penyedia jasa; 2. Dokumen lelang, yaitu dokumen yang disusun oleh pengguna jasa yang merupakan dasar bagi penyedia jasa untuk menyusun usulan atau penawaran untuk pelaksanaan yang berisi lingkup tugas dan persyaratannya (umum dan khusus, teknis, dan administratif, kondisi kontrak); 3. Usulan atau penawaran, yaitu dokumen oleh penyedia jasa berdasarkan dokumen lelang yang berisi metode, harga penawaran, jadwal waktu, dan sumber daya; 4. Berita acara yang berisi kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa selama proses evaluasi usulan atau penawaran oleh pengguna jasa antara lain klarifikasi atas hal-hal yang menimbulkan keraguan; 5. Surat pernyataan dari pengguna jasa yang menyatakan menerima atau menyetujui usulan atau penawaran dari penyedia jasa; 6. Surat pernyataan dari penyedia jasa yang menyatakan kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan. Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi, yakni timbulnya hak dan kewajiban di antar para pihak. Momentum timbulnya akibat hukum tersebut adalah sejak ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa. Dengan demikian, dapat dikemukakan unsur-unsur yang harus ada dalam suatu kontrak konstruksi, yaitu: 1.
Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa; 48
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Op.Cit., hal. 90. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
2.
Adanya objek, yaitu konstruksi;
3.
Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Didalam Blacklaws Dictionary, contract construction, is: 49 Type of contract in which plans and specification for construction are made a part of the contract itself and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is being constructed. Artinya, kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri. Kontrak konstruksi tersebut pada umumnya melindungi kedua subkontraktor dan para pihak sebagai pemilik bangunan sebagai dasar dari perjanjian tersebut. Unsur-unsur kontrak konstruksi yang tercantum dalam definisi di atas adalah:
1.
adanya kontrak,
2.
perencanaan,
3.
pembangunan, dan
4.
melindungi subkontraktor dan pemilik bangunan.
B. Dasar Hukum Kontrak Konstruksi Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak kerja konstruksi, adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang ini dibuat pada masa reformasi. Adapun latar belakang lahirnya undang-undang ini karena berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi pada pengembangan jasa konstruksi yang sesuai
dengan
karakteristiknya.
Hal
ini
mengakibatkan
kurang
berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara 49
Ibid., hal. 91.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
optimal maupun bagi kepentingan masyarakat. Undang-undang ini ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999. Ketentuannya terdiri atas 12 bab dan 46 pasal. Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, meliputi: a. Ketentuan Umum (Pasal 1); b. Asas dan tujuan (Pasal 2 sampai dengan Pasal 3); c. Usaha jasa konstruksi (Pasal 4 sampai dengan Pasal 13); d. Pengikatan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 sampai dengan Pasal 22); e. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 23 sampai dengan Pasal 24); f. Kegagalan banngunan (Pasal 25 sampai dengan Pasal28); g. Peran masyarakat (Pasal 29 sampai dengan Pasal 34); h. Pembinaan (Pasal 35); i. Penyelesaian sengketa (Pasal 36 sampai dengan Pasal 40); j. Sanksi (Pasal 41 sampai dengan Pasal 43); k. Ketentuan peralihan (Pasal 44 sampai dengan Pasal 46). 2.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi. Peraturan Pemerintah ini merupakan penjabaran dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 13 yang berkaitan dengan usaha jasa konstruksi dan Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang berkaitang dengan peran serta masyarakat jasa konstruksi.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
5.
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
2000, maka dikeluarkan Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: S-42/A/2000 dan Nomor: S-2262/D-2/05/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
Asas-asas Hukum Kontrak Konstruksi Asas-asas hukum dalam penyelenggaraan kontrak konstruksi diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yakni disajikan sebagai berikut: 1.
Asas kejujuran dan keadilan Asas kejujuran dan keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memeperoleh haknya.
2.
Asas manfaat Asas ini mengandung pengetian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi, dan efektivitas yang dapat
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. 3.
Asas keserasian Asas ini mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi.
4.
Asas keseimbangan Asas ini mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerja lainnya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai. Di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa.
5.
Asas kemandirian Asas ini mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional.
6.
Asas keterbukaan Asas ini mengandung pengertian ketersediaaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak untuk terwujudnya transparansi
dalam
penyelenggaraan
pekerjaan
konstruksi.
Hal
ini
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian memperoleh haknya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan. 7.
Asas kemitraan Asas ini mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
8.
Asas keamanan dan keselamatan Asas ini mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan, dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. Pelaksanaan jasa konstruksi didasarkan pada kontrak konstruksi, yang dibuat
antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Oleh sebab itu di dalam pelaksanaan kontrak konstruksi harus didasarkan pada asas-asas tersebut di atas. Asas-asas ini harus dilaksanakaan oleh pengguna jasa dan penyedia jasa dengan iktikad baik. Apabila asas-asas tersebut tidak dilaksanakan, berimplikasi terhadap rendahnya kualitas jasa konstruksi yang dilaksanakan oleh penyedia jasa sehingga rendah kualitasnya.
C. Jenis-Jenis Kontrak Konstruksi
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Kontrak konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu menurut ruang lingkup pekerjaannya (usahanya), imbalannya, jangka waktu, dan cara pembayaran hasil pekerjaan”. 50 Penulis akan mencoba menguraikan satu persatu dari empat jenis kontrak konstruksi tersebut diatas. 1.
Kontrak konstruksi menurut usahanya (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi). Kontrak konstruksi ini merupakan penggolongan kontrak berdasarkan atas jenis usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa. Dan kontrak jenis ini dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Kontrak perencanaan konstruksi yakni merupakan kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak. Salah satu pihak, yaitu pihak perencana memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi. Layanan jasa perencanaan tersebut meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi; b. Kontrak pelaksanaan konstruksi, yaitu merupakan kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pelaksanaan konstruksi; c. Kontrak pengawasan, yaitu merupakan kontrak antara orang perorangan atau badan usaha lainnya dalam pengawasan konstruksi.
50
Ibid., hal. 92.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
2.
Kontrak kerja konstruksi berdasarkan imbalannya (Pasal 20 ayat (3) huruf a dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi). Kontrak kerja konstruksi ini merupakan konrak yang dibuat berdasarkan atas imbalan atau biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan suatu konstruksi. Kontrak kerja konstruksi berdasarkan imbalannya ini dapat dibagi menjadi 5 (lima) macam, yaitu akan diuraikan sebagai berikut: a. Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan lump sum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 1 merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap. “Semua resiko yang mungkin akan terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia Jasa sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.” 51 Selanjutnya dalam penjelasan mengenai Pasal 21 ayat (1) tertulis: “Pada pekerjaan dengan bentuk Lump sum, dalam hal terjadi pembetulan perhitungan perincian harga penawaran, karena adanya kesalahan aritmatik maka harga penawaran total tidak boleh dirubah. Perubahan hanya boleh dilakukan pada salah satu volume atau harga satuan, dan semua akibat resiko akibat perubahan karena adanya koreksi aritmatik menjadi tanggung jawab sepenuhnya Penyedia Jasa, selanjutnya harga penawaran menjadi harga kontrak/harga pekerjaan. 52 Adapun yang dimaksud harga pasti adalah suatu harga yang pasti dan tertentu telah disetujui para pihak sebelum kontrak ditandatangani. Harga ini tetap tidak berubah selama berlakunya kontrak dan tidak dapat diubah kecuali karena perubahan lingkup pekerjaan atau kondisi pelaksanaan dan 51 52
Ibid., hal. 93. Nazarkhan Yasin, Op.Cit., hal. 20-21.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
perintah tambahan dari Penguna Jasa. Dalam kontrak Lump sum, resiko biaya bagi pengguna jasa minimal (kecil) memberi cukup pengawasan atas pelaksanaan dan pengikatan. “Keuntungan Penyedia Jasa, apabila terdapat selisih antara nilai kontrak dan biaya yang dikeluarkan Penyedia Jasa, termasuk overhead dan biaya-biaya tidak langsung. Oleh karena itu, Penyedia Jasa harus menambahkan sejumlah biaya untuk menutupi resikoresiko kenaikan biaya/harga-harga”. 53 “Inti kontrak ini adalah jangka waktu tertentu, harga yang pasti dan tetap, serta resiko seluruhnya ditanggung oleh Penyedia Jasa”. 54 b. Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan harga satuan (unit price), yaitu kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu. Maka volume pekerjaannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia jasa. 55 Dalam kontrak harga satuan, penyedia jasa dibayar suatu jumlah yang pasti untuk setiap satuan pekerjaan yang dilaksanakan. Untuk menghindari sengketa mengenai berapa pekerjaan yang sesungguhnya dilaksanakan, setiap satuan pekerjaan harus ditentukan dengan tepat.
53
Ibid., hal. 22. Salim H.S, Op.Cit., hal. 93. 55 Ibid., hal. 93. 54
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Dalam menggunakan metode harga satuan, pengguna jasa memperkirakan resiko atas jumlah pekerjaan yang akan dilaksanakan, termasuk perkiraan resiko pekerjaan yang dibuat pengguna jasa atau perencana (arsitek). Bentuk kontrak harga satuan tidak mengandung resiko pengguna jasa membayar lebih besar karena volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak lebih besar daripada kenyataan sesungguhnya sehingga penyedia jasa mendapat keuntungan yang tak terduga. Sebaliknya, penyedia jasa juga tidak menanggung resiko rugi apabila volume pekerjaan sesungguhnya lebih besar daripada yang tercantum dalam kontrak karena yang dibayarkan kepada penyedia jasa adalah pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan. Inti dari kontrak ini adalah harga yang pasti untuk setiap satuan/unsur, dan volume pekerjaan dilakukan secara bersama. c. Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan biaya tambah imbalan jasa (cost plus fee contract), yaitu kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan jenis pekerjaan dan volumenya belum diketahui dengan pasti. Penyedia jasa dibayar seluruh biaya untuk melaksanakan pekerjaan, ditambah jasa yang biasanya dalam bentuk persentase dari biaya (misalnya 10%). Dalam hal ini tidak ada batasan mengenai besarnya biaya seperti batasan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai biaya selain yang sudah jelas seperti biaya bahan, peralatan, alat bantu, upah, sewa, dan lain-lain ditambah imbalan jasa yang telah disepakati kedua belah pihak. 56 “Dalam hal penentuan biaya ada kata “dan lain-lain” yang dapat berarti bermacam-macam mulai dari biaya-biaya pengetesan bahan overhead, 56
Nazarkhan Yasin, Op.Cit., hal. 29.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
asuransi, keselamatan. Hal ini diakui sebagai biaya, akibatnya jasa akan bertambah pula”. 57 “Kekurangan dari kontrak ini adalah pengguna jasa kurang dapat mengetahui biaya aktual proyek yang akan terjadi. Pemilik harus menempatkan staf untuk memonitor kemajuan pekerjaan sehingga dapat diketahui apakah biaya-biaya yang ditagih benar-benar dikeluarkan”. 58 Unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak ini yaitu: 1) jenis dan volume pekerjaan belum diketahui secara pasti; 2) pembayaran dilakukan berdasarkan atas dasar pengeluaran dan pembayaran imbalan jasa. d. Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan gabungan antara Lump Sum dan harga satuan merupakan gabungan lump sum dan atau harga satuan dan atau tambah imbalan jasa dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan sejauh yang disepakati para pihak dalam kontrak kerja konstruksi. 59 “Secara teknis, hal ini tidak dapat dihindari karena dalam suatu pekerjaan proyek besar yang kompleks, yang memungkinkan beberapa pekerjaan belum dapat ditentukan volumenya pada awalnya sehingga untuk pekerjaan ini diberlakukan bentuk harga satuan”. 60 e. Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan aliansi merupakan kontrak pengadaan jasa, yang mana harga kontrak referensi ditetapkan ruang 57
Ibid., hal. 33. Wulfram I. Ervianto, Manajemen Proyek Konstruksi, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 120. 59 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Loc.Cit., hal. 93 60 Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Op.Cit., hal. 27. 58
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
lingkupnya, sedangkan volume pekerjaannya belum diketahui atau pun diperinci secara pasti. Pembayaran pekerjaannya dilakukan secara biaya tambah imbalan jasa dengan suatu pembagian tertentu yang disepakati bersama atas penghematan atau pun biaya lebih yang timbul dari perbedaan biaya sebenarnya dan harga kontrak referensi. Inti atau unsur dari kontrak ini yaitu: 1) harga kontrak referensi ditetapkan lingkupnya, 2) volume pekerjaan belum diketahui atau diperinci secara pasti, 3) pembayaran dilakukan secara tambah imbal jasa, 4) adanya kesepakatan, dan 5) adanya harga perbedaan biaya sebenarnya dan harga kontrak referensi. 3.
Kontrak kerja konstruksi berdasarkan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan (Pasal 20 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi). Kontrak kerja konstruksi berdasarkan jangka waktunya merupakan suatu kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Di dalam kontrak tersebut ditentukan lamanya kontrak kerja konstruksi dilaksanakan. Kontrak ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 61 a. Tahun tunggal Yakni merupakan pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai selama 1 (satu) tahun. b. Tahun jamak Yakni merupakan pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai lebih dari 1 (satu) tahun.
4.
Kontrak kerja konstruksi berdasarkan cara pembayaran hasil pekerjaan (Pasal 20 ayat (3) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). 61
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, op.cit., hal. 94.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Kontrak kerja konstruksi ini merupakan penggolongan kontrak berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan oleh pengguna jasa, apakah sesuai kemajuan atau secara berkala. Kontrak jenis ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a. Sesuai kemajuan pekerjaan “Dalam bentuk kontrak dengn sistem/cara seperti ini, pembayaran kepada penyedia jasa dilakukan atas dasar prestasi/kemajuan pekerjaan yang telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam kontrak”. 62 Dengan kata lain kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan dalam beberapa tahapan dan bisa juga pembayaran dilakukan sekaligus pada saat pekerjaan fisik selesai 100% (turn key) atau lebih tepatnya disebut dengan “pra pendanaan penuh”. b. Pembayaran secara berkala Dalam bentuk kontrak ini, prestasi penyedia jasa dihitung setiap akhir bulan. Setelah prestasi tersebut diakui pengguna jasa maka penyedia jasa dibayar sesuai prestasi tersebut. Kelemahan cara ini adalah berapa pun kecilnya prestasi penyedia jasa pada suatu bulan tertentu, tetap harus dibayar. Hal ini sangat mempengaruhi prestasi pekerjaan yang seharusnya dicapai sesuai jadwal pelaksanaan sehingga dapat mempengaruhi atau membahayakan waktu penyelesaian.
62
Nazarkhan Yasin, Op.Cit., hal. 37.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Oleh karena itu, cara pembayaran ini sering dipadukan dengan mempersyaratkan jumlah pembayaran minimum yang harus dicapai setiap bulan diselaraskan dengan prestasi yang harus dicapai sesuai jadwal”. 63 Disamping pembagian tersebut di atas dalam pelaksanaan proyek pemerintah, dikenal juga kontrak berdasarkan objeknya, yakni penggolongan kontrak berdasarkan atas jenis prestasi yang akan dilakukan oleh para pihak, yang dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu: 1.
Kontrak pengadaan barang Merupakan suatu kontark yang dibuat oleh para pihak, dimana objeknya berupa barang, yang dipergunakan untuk kepentingan Pemerintah.
2.
Kontrak konsultasi Merupakan suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, yang mana pihak penyedia jasa memberikan layanan jasa profesional dalam berbagai bidang untuk mencapai sasaran tertentu yang hasilnya berbentuk piranti lunak. Kontrak ini disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang ditetapkan pengguna. “Penggolongan yang paling esensi dalam kontrak kerja konstruksi adalah
penggolongan berdasarkan atas jenis usahanya, yaitu kontrak perencanaan, kontrak pelaksanaan konstruksi, dan kontrak pengawasan. Apabila ketiga kontrak ini dilaksanakan maka di dalamnya akan dituangkan pula kontrak berdasarkan imbalan, jangka waktunya, dan cara pembayarannya”. 64
63 64
Ibid., hal. 36. Ibid., hal. 95.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
D. Para Pihak dan Objek dalam Kontrak Kontruksi Para pihak yang terdapat dalam kontrak konstruksi, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa. Pihak penyedia jasa terdiri atas perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Masing-masing penyedia jasa terdiri dari orang perorangan atau badan usaha yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pengguna jasa adalah perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa perencanaan. Pihak pengguna jasa mempunyai hubungan dengan para perencana konstruksi, pelaksana, dan pengawas kostruksi. Para pihak dalam kontrak konstruksi tersebut akan penulis uraikan satu persatu, yakni sebagai berikut ini. 1.
Perencana Konstruksi “Yang
dimaksud perencana konstruksi adalah penyedia jasa oang
perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli di bidang perencanaan jasa konstruksi”, 65 yakni oleh arsitek (architect) atau insinyur (engineer). Meskipun perencana tidak merupakan pihak yang terkait dalam kontrak konstruksi, akan tetapi perencana yaitu arsitek atau insinyur memiliki peranan penting dalam kontrak kontruksi. “Arsitek disini berfungsi penasehat bagi si pemberi tugas, dan bertugas menyusun rencana bangunan, bentuk, tipe konstruksi, dan material yang digunakan, pengawasan yang menyangkut dengan dampak lingkungan, dan pertimbangan-pertimbangan keindahan bangunan sesuai yang dikehendaki oleh pengguna jasa.
65
Ibid., hal. 95.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Perencana/Arsitek/Ahli dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni perorangan, dan badan usaha baik pemerintah maupun swasta. Untuk mendirikan perusahaan jasa konstruksi, perencana harus memperoleh izin dari Menteri Pekerjaan Umum/Pejabat yang ditunjuk. Izin tersebut adalah Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK)”. 66 Objek dalam kontrak perencanaan jasa konstruksi adalah memberikan layanan perencanaan jasa konstruksi yang meliputi bidang pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan atau tata lingkungan (Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi). Ruang lingkup pekerjaannya, meliputi: 67 a. survei, b. perencanaan umum, studi makro, dan studi mikro, c. studi kelayakan proyek, industri, dan produksi, d. perencanaan teknik, operasi, dan kepemeliharaan, dan e. penelitian (Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi). 2.
Pelaksana Konstruksi/Pemborong “Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli atau profesional di bidang pelayanan jasa konstruksi. Pelaksana konstruksi tersebut tersebut mampu menyelenggarakan
66
Djumialdji, Hukum Bangunan. Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 30. 67 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.Cit., hal. 96. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
kegiatannya untuk mewujudkan hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau fisik lainnya”. 68 Pemborong dapat perorangan maupun badan hukum, baik pemerintah maupun swasta. Bagi proyek-proyek pemerintah, pemborong harus berbadan hukum. “Pemborong yang melaksanakan kegiatan di bidang usaha jasa konstruksi diwajibkan untuk memperoleh izin Menteri Pekerjaan Umum atau pejabat yang ditunjuk (Kepmen PU Nomor 139/KPTS/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Izin Usaha Konstruksi). Izin tersebut dinamakan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK)”. 69 Usaha jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi memberikan layanan jasa
pelaksanaan, yang meliputi pekerjaan: a. Arsitektural, b. Sipil, c. Mekanikal, d. Elektrikal, dan atau e. Tata lingkungan (Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi). “Objek dalam pelaksanaan kontrak konstruksi adalah mewujudkan hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lainnya”. 70 3.
Pengawas Konstruksi
68
Ibid., hal. 96. Djumialdji, Op.Cit., hal. 26. 70 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Loc.Cit., hal. 96. 69
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Pengawas konstruksi merupakan salah satu pihak dalam kontrak konstruksi, yang bertugas melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai dengan selesai dan diserahterimakan. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan dan badan usaha. Syarat menjadi seorang pengawas adalah apabila dinyatakan sebagai ahli yang profesional di bidang pengawasan. Bidang-bidang pekerjaan pengawasan meliputi pekerjaan: 71 a. Arsitektural, b. Sipil, c. Mekanikal, d. Elektrikal, dan atau e. Tata lingkungan (Pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi). Lingkup layanan jasa pengawasan pekerjaan konstruksi dapat terdiri dari: a. pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi; b. pengawasan keyakinan mutu dan ketetapan waktu dan proses perusahaaan dari hasil pekerjaan konstruksi. Secara strategis lingkup pelayanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terdiri dari jasa rancang bangun, perencanaan, pengadaan, dan peaksanaan terima jadi, dan penyelenggaraan pekerjaan terima jadi. Pengembangan layanan jasa perencanaan dan atau pengawasan lainnya dapat mencakup antara lain jasa manajemen proyek, manajemen konstruksi, penilaian kualitas, kuantitas, dan biaya pekerjaan.
E. Pola Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
71
Ibid., hal. 96-97.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Meskipun pembuatan kontrak konstruksi didasari oleh iktikad baik dari para pihak, pasal mengenai hal ini harus diatur dengan baik, untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa atau perselisihan mengenai kontrak tersebut. Apabila hal ini tidak diatur dengan baik, maka sengketa atau perselisihan akan berlarut-larut atau berkepanjangan tanpa ada penyelesaian, Akan tetapi, meskipun sengketa/perselisihan ini awalnya disepakati untuk diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, tetapi yang sering terjadi adalah tidak ditetapkannya batas waktu musyawarah sehingga musyawarah berlangsung tanpa batas waktu. Oleh karena itu, batas waktu musyawarah untuk mufakat harus ditetapkan. “Lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan atau sengketa harus ditetapkan secara tegas sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 36 dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 49 ayat (1)”.72 Secara umum, pengertian pola penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk atau kerangka untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa. Unsur-unsur yang tercantum dalam penyelesaian sengketa konstruksi, yaitu: 1.
kerangka untuk mengakhiri atau menyelesaikan;
2.
sengketa;
3.
antara pengguna jasa dan penyedia jasa;
4.
yang didasarkan pada kontrak konstruksi.
72
Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Op.Cit., hal. 87.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Richard L. Abeld mengemukakan pengertian sengketa (dispute), yakni pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent calaim) terhadap sesuatu yang bernilai. Unsur-unsur sengketa, yaitu: 1.
adanya pernyataan publik;
2.
mengenai tuntutan;
3.
yang tidak selaras (inconsistent calaim), dan
4.
terhadap sesuatu yang bernilai. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
jasa konstruksi dan kontrak yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang muncul di antara pihak. Pola penyelesaian sengketa jasa kontruksi diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Penjabaran dari pasal ini dapat dilihat pada Pasal 49 sampai dengan Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) cara, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa antara pengguna jasa dan penyedia jasa dengan memilih penyelesaian melalui pengadilan. Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, prosedur dan prosesnya mengikuti ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan bersifat mengikat, artinya, putusan tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka pengadilan dapat melaksanakan Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
eksekusi terhadap isi putusan pengadilan dengan cara paksa, yaitu dengan menggunakan alat-alat kepolisian. Akan tetapi, pada kenyataannnya bahwa pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang disukai dan diminati untuk menyelesaikan sengketa konstruksi, karena penyelesaiannya membutuhkan “waktu yang sangat lama (bertahun-tahun), biaya yang tidak sedikit (tidak resmi), sifatnya terbuka, para hakimnya hanya memiliki pengetahuan hukum, dengan kata lain para Hakim atau Jaksa tidak berlatar belakang disiplin ilmu teknik-seorang Insinyur, ahli ekonomi, atau arsitek”. 73 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau lazim disebut dengan alternaif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolation-ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak. Di dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1.
melalui pihak ketiga, yaitu a) mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh lembaga arbitrase dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa); b) konsiliasi. Dengan demikian, bahwa penyelesaian sengketa konstruksi melalui lembaga
di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara: 1.
mediasi,
2.
konsiliasi, 73
Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 90. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
3.
arbitrase. Ketiga cara tersebut diatas, akan penulis uraikan sebagai berikut.
a.
Mediasi “Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa, yang mana pihak ketiga tersebut bertindak sebagai penasihat/penengah (mediator)”.74 Tugas mediator adalah bertindak sebagai fasilitator, yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur suatu pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan. Untuk menyelesaikan persoalan para pihak, pihak mediator dapat meminta bantuan penilai ahli. Apabila mediator berhasil dalam menyelesaikan sengketa para pihak, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak bersifat final dan mengikat kedua belah pihak. 75 Tujuan mediasi adalah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk: 1. menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; 2. melenyapkan kesalahpahaman; 3. menentukan kepentingan yang pokok; 4. menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat disetujui; 5. menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak.
74 75
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.Cit., hal. 122. Ibid., hal. 123.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Sedangkan manfaat yang paling esensi dari mediasi adalah cepat, murah, dan komunikasi antara para pihak. Mediasi ini difokuskan untuk menyelesaikan persoalan secara damai”. 76 b. Konsiliasi Konsiliasi adalah suatu upaya untuk mendamaikan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa terhadap sengketa yang timbul di bidang jasa konstruksi Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa konsiliasi dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator (Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Syarat menjadi konsiliator, yaitu: a. ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa; b. harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh lembaga. Tugas konsiliator adalah menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Apabila rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan pemecahan masalah dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. c.
Arbitrase Penyelesaian sengketa kontrak konstruksi dengan menggunakan cara arbitrase mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
76
Ibid., hal. 122-123.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Alternaif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999). “Bentuk perjanjian arbitrase adalah dibuat secara tertulis”. 77 Yang dimaksud perjanjian arbitrase adalah klausula atau pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak. Biasanya disebut klausula arbitrase atau Arbitration Clause atau dalam bahasa hukum disebut Pactum Arbitri. Biasanya klausula arbitrase ini dicantumkan pada bagian akhir kontrak konstruksi. Contoh klausula arbitrase yang sederhana : “Apabila di kemudian hari terjadi perselisihan mengenai isi perjanjian ini, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut pada tingkat pertama dan terakhir melalui arbitrase”. 78 Dalam praktiknya bahwa para pihak yang mengadakan kontrak konstruksi telah mencantumkan cara penyelesaian sengketa yang muncul di antara para pihak. Salah satu cara adalah melalui lembaga arbitrase. Keanggotaan arbitrase ini terdiri dari: a. seorang wakil dari Pihak Pertama (Pengguna Jasa) sebagai anggota; b. seorang wakil dari Pihak Kedua (Penyedia Jasa) sebagai anggota; c. seorang ahli sebagai Ketua, yang pengangkatannya disetujui oleh pengguna jasa dan penyedia jasa.
77
Ibid., hal. 124. Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi, Op.Cit., hal. 90-91. 78
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Para arbiter inilah yang mengadakan persidangan dan mengambil keputusan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang muncul di antara para pihak. Putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat”. 79 Penyelesaian perselisihan akan diteruskan melalui Pengadilan, apabila melalui cara tersebut di atas tidak tercapai penyelesaian.
BAB IV TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK TERHADAP TERJADINYA KEGAGALAN BANGUNAN DI DALAM KONTRAK KONSTRUKSI
Kegagalan bangunan diartikan sebagai keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan, dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir 79
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Loc.Cit., hal. 124.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
pekerjaan konstruksi (Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). A. Faktor dan Penilaian Terjadinya Kegagalan Bangunan di Dalam Kontrak Konstruksi “Kegagalan bangunan dari segi tanggung jawab dapat dikenakan kepada institusi maupun orang perseorangan, yang melibatkan ketiga unsur yang terkait, yaitu: (1) Perencana, (2) Pengawas, (3) Pelaksana”. 80 Jika disebabkan karena kesalahan pengguna jasa/bangunan dalam pengelolaan dan menyebabkan kerugian pihak lain, maka pengguna jasa/bangunan wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.
a.
Kegagalan Perencana Faktor penyebab kegagalan perencana umumnya disebabkan oleh: 1. terjadinya penyimpangan dari prosedur baku, manual, atau peraturan yang berlaku; 2. terjadinya kesalahan dalam penulisan spesifikasi teknik; 3. kesalahan atau kurang profesionalnya perencana dalam menafsirkan data perencanaan dan dalam menghitung kekuatan rencana suatu komponen konstruksi; 80
http://www.google.com/buletin.htm. Penyebab dan indikator Kegagalan Bangunan Jalan dan jembatan. Oleh : Ir. Sjofva Rosiansjah, MM. Diakses pada tanggal 24 Agustus 2007, pukul 19.00 WIB.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
4. perencanaan dilakukan tanpa dukungan data penunjang perencanaan yang cukup dan akurat; 5. terjadi kesalahan dalam pengambilan asumsi besaran rencana (misalnya beban rencana) dalam perencanaan; 6. terjadi kesalahan perhitungan arithmatik; 7. kesalahan gambar rencana. b. Kegagalan Pengawas Faktor penyebab kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh: 1. tidak melakukan prosedur pengawasan yang benar; 2. menyetujui proposal tahapan pembangunan yang tidak sesuai dengan spesifikasi; 3. menyetujui proposal tahapan pembangunan yang tidak didukung oleh metode konstruksi yang benar; 4. menyetujui gambar rencana kerja yang tidak didukung oleh perhitungan teknis. c.
Kegagalan Pelaksana Faktor penyebab kegagalan pelaksana umumnya disebabkan oleh: 1. tidak mengikuti spesifikasi sesuai kontrak; 2. salah mengartikan spesifikasi; 3. tidak melaksanakan pengujian mutu dengan benar; 4. salah membuat metode kerja; 5. salah menbuat gambar kerja; 6. pemalsuan data profesi;
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
7. merekomendasikan penggunaan peralatan yang salah. d. Kegagalan Pengguna Jasa/Bangunan Faktor penyebab kegagalan pengguna jasa/bangunan umumnya disebabkan oleh: 1. penggunaan bangunan yang melebihi kapasitas rencana; 2. penggunaan bangunan di luar dari peruntukan rencana; 3. penggunaan bangunan yang tidak didukung dengan program pemeliharaan yang sudah ditetapkan; 4. penggunaan bangunan yang sudah habis umur rencananya. Untuk mendapatkan faktor penyebab kegagalan konstruksi tidak mudah. Kadangkala sumber dari kegagalan itu sendiri merupakan akumulasi dari berbagai faktor.(Ofyer, 2002), Pada studi lain Pranoto (1997) menyatakan secara umum, sumber kegagalan konstruksi seringkali dipengaruhi oleh faktor alam dan perilaku manusia. Faktor alam dicontohkan sebagai kegagalan yang terjadi akibat perubahan dinamik dari alam, seperti letusan gunung berapi, banjir, gelombang laut dan gempa bumi. Indonesia sendiri merupakan kawasan yang dilalui oleh salah satu jaringan gempa (circum Pacific). Perilaku
manusia
juga
berperan
signifikan.
Vicknasyon
(2003)
mengemukakan, 80% dari total kegagalan konstruksi dimungkinkan penyebabnya faktor manusia. Riset yang dilakukan Ofyer (2002) menyatakan hal seperti itu di
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Amerika disebabkan oleh faktor konstruksi (54%), desain (17%), perawatan (15%), material (12%) dan hal yang tak terduga (2%). “Rekomendasi teknik yang baik merupakan hasil dari penelitian yang akurat. Selanjutnya, rekomendasi teknik yang baik akan mengarah kepada perencanaan struktur yang akurat dan aman. Sebaliknya, bila penelitian lapangan dilakukan dengan tidak mematuhi standar operasional prosedur, akan menghasilkan rekomendasi dengan kualitas semu”. 81 Implikasi negatif terhadap politik, sosial dan teknis dari suatu bangunan merupakan kegagalan bangunan. Kerusakan lingkungan dari suatu pabrik penambangan misalnya, termasuk kegagalan bangunan. Bukan hanya saat pelaksanaan konstruksi, kesalahan desain memberikan kontribusi terhadap kegagalan bangunan. Bangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya bisa karena kesalahan dalam konsep desain, meskipun pelaksanaannya benar, juga termasuk dalam kegagalan bangunan. Format Tolok Ukur Kegagalan Bangunan. Format tolok ukur kegagalan bangunan disusun berdasarkan tahapan kegiatan (life cycle) sebagaimana umumnya dilakukan, yaitu diawali dengan Perencanaan, Sifat Bahan Bangunan, Pengujian Bahan dan Bangunan/Konstruksi, Pelaksanaan dan Pengawasan dan Pemeliharaan Bangunan. Walaupun demikian life cycle dari suatu profesi dapat saja berbeda atau lebih spesifik.
81
http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/26/opi4.htm. Kecelakaan dan Kegagalan Konstruksi. Oleh : M. A. Wibowo. Diakses pada tanggal 9 Februari 2008, pukul 14.35 WIB. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
“Dalam menetapkan rambu-rambu tersebut harus didasarkan pada Peraturan Nasional dan Peraturan Daerah yang kemudian dapat diikuti oleh Ketentuan Standar lain yang dapat bersumber dari berbagai standar yang layak yang tidak tercantum dalam Peraturan Nasional maupun Peraturan”. 82 Yang melakukan penilaian terhadap kegagalan bangunan adalah satu atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompoten dalam bidangnya, bersifat independen, dan mampu memberikan penilaian secara objektif. Penilai dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan, yang dipilih dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. Sedangkan peran pemerintah adalah untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada keselamatan umum. Termasuk dalam hal ini, yaitu memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak. Syarat menjadi Penilai Ahli harus memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada lembaga. Tugas Penilai Ahli antara lain: 83 1. 2. 3.
menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan; menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan; menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan; 82
http://sipil-uph.tripod.com/steffie_tumilar.pdf. Latar Belakang dan Kriteria dalam Menentukan “Tolok Ukur” Kegagalan Bangunan. Steffie Tumilar – HAKI, Jakarta, Mei 2006. Diakses pada tanggal 9 Februari 2008, pukul 14.35 WIB.
83
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.Cit., hal. 125.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
4. 5.
menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak-pihak yang melakukan kesalahan; menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian. Kewajiban Penilai Ahli adalah melaporkan hasilnya penilaiannya kepada
pihak yang menunjuknya dan menyampaikan kepada lembaga atau instansi yang mengeluarkan izin
membangun, paling
lambat
3 (tiga) bulan setelah
melaksanakan tugasnya. Kewenangan Penilai Ahli adalah untuk: 1.
menghubungi pihak-pihak terkait, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan;
2.
memperoleh data-data yang diperlukan;
3.
melakukan pengujian yang diperlukan;
4.
memasuki lokasi tempat terjadinya kegagalan bangunan. Biaya penilai ahli menjadi beban pihak atau pihak-pihak yang melakukan
kesalahan, dan selama penilai ahli melakukan tugasnya, maka pengguna jasa menanggung pembiayaan pendahuluan. B. Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan di Dalam Kontrak Konstruksi Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh penilai ahli terhadap hasil perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi, dapat menentukan siapakah yang bersalah dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, apakah perencana konstruksi, pelaksana konstruksi atau pengawas konstruksi. Para pihak yang bersalah ini dibebani tanggung jawab, baik tanggung jawab perdata, administratif, maupun tanggung jawab pidana. 84 Jangka waktu pertanggung jawaban atas kegagalan bangunan ditentukan sesuai dengan umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10 tahun, 84
Ibid., hal. 126.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Penetapan umur konstruksi yang direncanakan harus secara jelas dan tegas dinyatakan dalam dokumen perencanaan, serta disepakati dalam kontrak kerja konstruksi (Pasal 35 ayat (2) PP Nomor 29 Tahun 2000). Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi (Pasal 35 ayat (3) PP Nomor 29 Tahun 2000).
Filosofi maksimum 10 tahun adalah efisien pemanfaatan dana pertanggungan dengan anggapan bahwa pada umumnya apabila suatu bangunan setelah 10 tahun tidak terjadi apa-apa, maka biasanya bangunan tersebut aman dari segi konstruksinya. Umur bangunan ditentukan oleh perencana sesuai dengan sifat karakter bangunaan itu sendiri. Yang dibatasi maksimum 10 tahun adalah tanggung jawab penyedia jasa dalam hal kegagalan bangunan dan dituangkan dalam dokumen lelang. Jadi meskipun umur bangunan direncakan lebih dari 10 tahun, tanggungjawab penyedia jasa dalam kegagalan bangunan ditentukan hanya 10 tahun.
Pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan untuk perencana konstruksi mengikuti kaidah teknik perencanaan dengan ketentuan sebagai berikut: 85
a.
selama masa tanggungan atas kegagalan bangunan di bawah 10 (sepuluh) tahun berlaku ketentuan sanksi profesi dan ganti rugi;
85
Penjelasan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Peyelenggaraan Jasa Konstruksi. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
b.
untuk kegagalan bangunan lewat dari masa tanggungan dikenakan ketentuan sanksi profesi. Sebagai dasar penetapan jangka waktu pertanggungjawaban, perencana
konstruksi wajib menyatakan dengan jelas dan tegas tentang umur konstruksi yang direncanakan, dalam dokumen perencanaan dan dokumen lelang, dilengkapi dengan penjelasannya. Tanggungjawab para pihak disajikan sebagai berikut ini. 86 1.
Tanggung jawab perencana konstruksi Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka ia hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum/tidak diubah. Perencana konstruksi dibebaskan dari tanggung jawab atas kegagalan bangunan sebagai akibat dari rencana yang diubah pengguna jasa dan atau pelaksana konstruksi tanpa persetujuan tertulis dari perencana konstruksi.
2.
Tanggung jawab pelaksana konstruksi Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahannya maka ia dijatuhi sanksi administratif dan pembayaran ganti rugi. Penjatuhan sanksi dan pembayaran ganti rugi dapat dikenakan pada usaha perseorangan dan atau badan usaha pelaksana konstruksi penandatanganan kontrak kerja konstruksi.
3.
Tanggung jawab pengawas konstruksi
86
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Loc.Cit., hal. 126.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pengawas maka ia dapat dijatuhi sanksi administratif dan pembayaran ganti rugi. Penjatuhan sanksi dan ganti rugi dapat dikenakan pada usaha orang perseorangan dan atau badan usaha pengawas konstruksi penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Tanggung jawab penyedia jasa tidak berhenti setelah masa pemeliharaan habis, tetapi tetap dibebani tanggung jawab dalam waktu tertentu sesuai dengan klausul kontrak (biasanya dicantumkan dalam pasal kegagalan bangunan). Tanggung jawab ini disebut jaminan konstruksi. “Dalam Undang-undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999 pada Bab VI Pasal 25 ayat (2) disebutkan kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun”. 87
Dalam masa pemeliharaan penyedia jasa wajib memantau hasil kerjanya, dan menjaga (memelihara) agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan. Apabila terjadi kerusakan bangunan yang disebabkan karena kualitas yang tidak sesuai spesifikasi teknik maka sudah tentu semua biaya perbaikan ditanggung oleh penyedia jasa. Masa pemeliharaan sebagaimana tercantum dalam kontrak bukanlah waktu untuk
87
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/18/s1.htm. Masa Pemeliharaan dan Jaminan Konstruksi. IGN Upadhana. Anggota ATAKI (Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia). Diakses pada tanggal 9 Februari 2008, Pukul 16.00 WIB. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan, melainkan untuk pemeliharaan pekerjaan yang sudah 100 persen selesai, dan telah dilakukan serah terima pertama pekerjaan.
“Pengguna jasa wajib melaporkan terjadinya kegagalan bangunan dan tindakan-tindakan yang diambil kepada Menteri atau intansi yang berwenang dan Lembaga. Apabila pengguna jasa melakukan kesalahan atas kegagalan bangunan maka ia bertanggung jawab atas kegagalan bangunan tersebut”. 88 C. Sanksi yang Dikenakan Kepada Para Pihak atas Terjadinya Kegagalan Bangunan Sesuai dengan Pasal 43 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, maka pihak penyedia jasa yang melakukan kesalahan dan mengakibatkan kegagalan bangunan bisa dikenai sanksi pidana, yakni : Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak. Barang
siapa yang
melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak. 88
Pasal 45 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan atau menyebabkan timbulanya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak. “Yang dimaksud sanksi sebesar 10% adalah 10% dari nilai kontrak yang bersangkutan, misal : kontrak perencanaannya 10% dari kontrak perencanaan”. 89 Sanksi yang dikenakan kepada penyedia jasa yang gagal dalam pelaksanaan bangunan adalah berupa sanksi profesi dan sanksi administratif. Sanksi administratif ini berupa : 90 1. 2. 3. 4. 5. 6.
peringatan tertulis; penghentian sementara sebagian atau keseluruhan pekerjaan konstruksi; pembekuan izin usaha; pencabutan izin usaha; pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Termasuk dalam hal ini larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan
konstruksi atau larangan melakukan pekerjaan. Penjatuhan sanksi administrasi ini tergantung pada berat ringannya kesalahan yang dilakukan oleh penyedia jasa.
Di samping itu, sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa dapat berupa: 91
89
http://www.pu.go.id/bapekin/pusatpembinaan/sosialisasi/bandung.htm. Diakses pada tanggal 9 Februari 2008. 90 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Loc.Cit., hal. 126. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
1. 2. 3. 4. 5. 6.
peringatan tertulis; penghentian sementara pekerjaan konstruksi; pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi; pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan
dengan mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan: a.
persyaratan dan jangka waktu serta nilai pertanggungan ditetapkan atas dasar kesepakatan;
b.
premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi tanggungan penyedia jasa menjadi bagian dari unsur biaya pekerjaan konstruksi. Dalam hal pengguna jasa tidak bersedia memasukkan biaya premi, maka
resiko kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab pengguna jasa.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
91
Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dalam penulisan skripsi ini, kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Bahwa dalam hal terjadinya kegagalan bangunan yang diakibatkan oleh para pihak yang dinyatakan bersalah sehingga
mengakibatkan terjadinya
kegagalan bangunan, bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut. Suatu bangunan dikatakan mengalami kegagalan bangunan apabila telah dinilai oleh Penilai Ahli yang profesional serta dapat memberikan penilaiannya secara objektif. Dalam Undang-undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999 pada Bab VI Pasal 25 ayat (2) disebutkan kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pengguna jasa wajib melaporkan terjadinya kegagalan bangunan dan tindakan-tindakan yang diambil kepada Menteri atau intansi yang berwenang dan Lembaga. Apabila pengguna jasa melakukan kesalahan atas kegagalan bangunan maka ia bertanggung jawab atas kegagalan bangunan tersebut 2.
Para pihak yang dinyatakan bersalah oleh Penilai Ahli atas terjadinya kegagalan bangunan wajib bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut dibebani tanggung jawab, baik tanggung jawab perdata berupa ganti rugi, sanksi administratif sesuai Pasal 42 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, maupun tanggung jawab pidana sesuai dengan Pasal 43 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, maka pihak penyedia jasa yang melakukan kesalahan dan mengakibatkan kegagalan bangunan bisa dikenai
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
sanksi pidana. Apabila kegagalan bangunan dilakukan oleh perencanaan pekerjaan konstruksi dan pengawas pelaksanaan pekerjaan konstruksi dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak, sedangkan kegagalan bangunan yang dilakukan oleh pelaksanaan pekerjaan konstruksi dikenai paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak.
B. SARAN
Adapun yang menjadi saran dalam penulisan skripsi ini, yakni sebagai berikut:
1.
Oleh karena beratnya tanggung jawab sesuai ketentuan undang-undang, kiranya kepada para pihak yang terkait dalam kontrak konstruksi untuk lebih berhati-hati dalam proses perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan terhadap jalannya suatu pekerjaan konstruksi. Perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan bangunan dan berakibat sanksi pidana atau denda.
2.
Penerapan dan pelaksanaan Undang-undang Jasa Konstruksi, kiranya dapat lebih maksimal dan sesuai dengan tujuan diterbitkannya undang-undang tersebut, sehingga dapat mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku: Djumialdji. 1996. Hukum Bangunan: Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Fuady Munir. 2007. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti. Harahap M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Miru Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Muhammad Abdulkadir. 1986. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Mustafa Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Aditya Bakti. Nazarkhan Yasin. 2002. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ----------. 2004. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Salim HS. 2003. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. ----------. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Subekti. 1980. Pokok Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. ----------. 1984. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Triyanto Djoko. 2004. Hubungan Kerja Di Perusahaan Jasa Konstruksi. Bandung: Mandar Maju. Wulfram I. Ervianto. 2007. Manajemen Proyek Konstruksi. Yogyakarta: Andi. Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
2. Website: http://www.google.com/buletin.htm.
Penyebab
dan
indikator
Kegagalan
Bangunan Jalan dan jembatan. Oleh : Ir. Sjofva Rosiansjah, MM. Diakses pada tanggal 24 Agustus 2007. http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/26/opi4.htm.
Kecelakaan
dan
Kegagalan Konstruksi. Oleh : M. A. Wibowo. Diakses pada tanggal 9 Februari 2008. http://sipil-uph.tripod.com/steffie_tumilar.pdf. Latar Belakang dan Kriteria dalam Menentukan “Tolok Ukur” Kegagalan Bangunan. Steffie Tumilar – HAKI, Jakarta, Mei 2006. Diakses pada tanggal 9 Februari 2008.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/18/s1.htm. Masa Pemeliharaan dan Jaminan Konstruksi. IGN Upadhana. Anggota ATAKI (Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia). Diakses pada tanggal 9 Februari 2008.
http://www.pu.go.id/bapekin/pusatpembinaan/sosialisasi/bandung.htm.
Diakses
pada tanggal 9 Februari 2008.
3. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. 2007. Bandung: Citra Umbara.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 2007. Bandung: Citra Umbara. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Jasa Konstruksi Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Romelda Proniastria Simamora : Tanggungjawab Para Pihak Dalam Hal Terjadi Kegagalan Bangunan Di Dalam Kontrak Konstruksi, 2008. USU Repository © 2009