PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
SKRIPSI
DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH GELAAS SARJANA HUKUM
OLEH : HENDRA JUSANDA NIM DEPARTEMEN
: 020 – 222 – 124 : HUKUM INTERNASIONAL
DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321
Pembimbing I
Pembimbing II
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321
Arif, SH, M.H NIP. 132 056 842
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul : “PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”. Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafaruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 6. Bapak Arif, SH, M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 7. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan,
Maret 2008 Penulis,
Hendra Jusanda
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini khususnya hukum internasional sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Hukum Humaniter Internasional” atau “Hukum Internasional Humaniter”. Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan “hukum perang” (laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Dimana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum yang tertulis. Seorang sarjana bernama Kunz berpendapat bahwa hukum perang itu merupakan bagian tertua dari hukum internasional dan yang pertama dikodifikasi. Hukum perang ini juga dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan internasional. 1 Sejalan dengan perkembangan hukum perang tersebut khususnya setelah Perang Dunia I yang ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi umat manusia, baik itu kombatan (tentara) maupun penduduk sipil, orang-orang mulai membenci istilah hukum perang. Perang telah membawa banyak korban dan kerugian
1
GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 1-2.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
baik itu harta, benda maupun jiwa manusia sehingga membuat manusia membenci perang dan berupaya sekuat-kuatnya memperkecil kemungkinan terjadinya perang. 2 Suasana anti perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak lagi mengingingkan adanya perang, maka dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai lagi. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang ini, yaitu “laws of armed conflict” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “hukum pertikaian bersenjata”. Seorang sarjana bernama J. Pictet, menyatakan : “the term armed conflict tends to replace, at kast in all relevant legal formulation the older nation of war”. Sehingga akhirnya istilah laws of war atau hukum perang berubah menjadi laws of armed conflict atau hukum pertikaian bersenjata. Hingga kemudian setelah mengalami perkembangan, maka kemudian istilah pertikaian bersenjata ini mengalami
perubahan
dan
berkembang
lagi
menjadi
“Hukum
Humaniter
Internasional” (International Humanitarian Law). 3 Selanjutnya istilah “laws of armed conflict” tersebut secara formal dipakai dalam Konvensi, Resolusi dan Protocol Internasional, yaitu : a. Konvensi Jenewa 1949. b. Konvensi Den Haag 1954. c. Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 d. Resolusi Majelis Umum PBB 2 3
Ibid, hal. 2. J. Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, hal. 7.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Sesudah Perang Dunia II, setelah melihat kekejaman perang dan hasil teknologi atom di Hiroshima dan Nagasaki, segi-segi kemanusiaan yang selama ini ditinggalkan, dibicarakan kembali dan mempunyai pengaruh yang cukup. Aspek ini ikut memberi peluang timbulnya hukum humaniter internasional. Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi tertentu (perang), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Sehubungan dengan arah hukum humaniter internasional tersebut di atas, kiranya hukum humaniter internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban sengketa bersenjata, sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan internasional yang lain yang berhubungan dengan itu. Hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang (definisi hukum humaniter Departemen Kehakiman). Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi serta peranannya dalam situasi tertentu (konflik) tersebut diperlakukan sama bagi semua/sesama individu/warga Negara yang sedang bersengketa (baik dari kombatan maupun penduduk sipil) yang merupakan landasan utama pemikiran para ahli huikum humaniter internasional untuk menciptakan hukum humaniter internasional sebagai bagian dari hukum internasional. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba menggabungkan ide moral dan ide
hukum dalam suatu disiplin ilmu. J. Pictet
menyatakan :”…humanitarian law appers to combine two ideas of a different character, the one legal and the other moral…”.4 Demikianlah ruang lingkup dan perkembangan hukum humaniter internasional yang dapat disamakan dengan hukum perang. Namun sejalan dengan telah diadakannya Konvensi Jenewa 1949 dan kemudian dilengkapi dengan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa I dan II tahun 1977, hukum humaniter internasional terikat oleh aturan-aturan formal yang menyangkut aturan kemanusiaan, ialah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam krisis/perang dan dalam situasi tertentu. Menurut J. Pictet, hukum humaniter internasional adalah : “aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya”. Sehingga cabang hukum ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya pertikaian senjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. 5 Sejalan dengan hal tersebut, perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang, namun kondisi dunia sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik senjata terjadi dimana-mana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara Palestina dan Israel, Konflik di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan (tentara) maupun dari penduduk sipil. 4
J. Pictet pertama kali memakai istilah “International Humanitarian Law” dalam bukunya “The Principles of International Humanitarian Law”, ICRC, Geneva Swiss, (tanpa tahun) hal. 9, seperti dikutip oleh GPH. Haryomataram, hal. 24. 5 H.A. Masyhur Effendi, Hukum Humanier Internasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1994, hal. 49. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Ketidakmampuan PBB untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia menyebabkan banyaknya terjadi konflik bersenjata. Ketidakmampuan PBB menahan sepak terjang Amerika Serikat di Irak, menyebabkan Bush secara fundamental mengubah Amerika dan dunia. Hanya dalam waktu 17 bulan, misalnya, Presiden Bush telah mendeklarasikan dua perang besar. Ketika melengserkan rezim Taliban, tujuannya adalah memburu Osama bin Laden. Tapi, pada saat yang sama, keuntungan strategis dari menempatkan pangkalan militer di sekujur Asia Tengah juga diperoleh. 6 Lebih dari 650 pakar urusan luar negeri dari Amerika Serikat dan negaranegara lain menandatangani surat terbuka yang mengecam kebijakan luar negeri pemerintahan George W Bush Surat terbuka tersebut menjabarkan serangkaian kesalahan di Irak, Afghanistan dan tempat lainnya di dunia.
7
Para pakar menilai
bahwa kebijakan Amerika saat ini yang berpusat sekitar perang di Irak merupakan kebijakan yang paling salah arah sejak periode Vietnam, yang membahayakan tujuan perjuangan melawan teroris-teroris ekstrim. Diimbuhkan bahwa akibat dari kebijakan ini telah sangat negatif bagi kepentingan Amerika Serikat, namun hal tersebut tidak mengurangi niat George W. Bush untuk menginvasi Irak. 8 Demikianlah kalau dilihat invasi Amerika Serikat di Irak. PBB yang notabene sebagai organisasi perdamaian internasinal
dan dunia tidak mampu
meredam hal tersebut. Invansi Amerika Serikat telah menelan banyak korban baik korban jiwa maupun harta di Irak. Tujuan invasi yang seakan dibuat-buat makin
6
Hartono Ruslam DES, Demokratisasi dan Restrukturisasi DK PBB, Harian Republika, Jumat 24 Oktober 2004. 7 Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hal. 19. 8 http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/13/time/10557/idne ws/223507/idkanal/10, 9 April 2003, suara pembaharuan.online. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
melengkapi penderitaan panjang di Irak. Seperti apa yang tertuang dalam Resolusi DK PBB nomor 1441 tahun 2002 yang diadopsi dalam sidang DK PBB yang ke 4644 tanggal 8 Nopember 2002 yang menyatakan bahwa Irak harus memberitahukan tempat-tempat pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir. 9. Ternyata setelah 5 minggu Inspektur pemeriksa senjata dari PBB memeriksa hampir lebih dari 230 tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat pengembangan dan pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir di Irak hasilnya adalah nol besar seperti yang diungkapkan oleh Jenderal Hossam Mohammed Amin Kepala Direktorat Monitoring Nasional Irak yang bekerja sama dengan United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission (UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA)10. Setelah Perang Teluk pada tahun 1990 terjadi, dunia kembali dikejutkan dengan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta Inggeris, Spanyol dan Australia ke Irak. Namun terdapat perbedaan dimana pada waktu Perang Teluk 1990 Amerika Serikat beserta sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional mendapat restu dari PBB dan dunia internasional, tetapi dalam Invasi ke Irak ini, Amerika Serikat tidak mendapat dukungan dari dunia internasional maupun PBB secara resmi. Pada tanggal 19 Desember 2002 Amerika Serikat menyatakan dokumen Irak sama sekali tidak lengkap dan mengklaim AS pnya data intelijen tentang senjata pemusnah massal yang disembunyikan oleh Saddam Husein. Pada kenyataannya, PBB menyatakan tidak menemukan jenis dan bentuk proliferasi senjata pemusnah massal apapun di Irak. Dan, ternyata Irak juga bisa bersikap kooperatif dengan tim PBB, bahkan mengeluarkan deklarasi tentang kosongnya senjata pemusnah massal
9
A. Fatih Syuhud, Ambisi Amerika dan Realitas Dunia Multipolar, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University of India, Waspada Online, 24 Juni 2004. 10 http://www.cnn.com/2003/WORLD/meast/01/02/sproject.irq.inspections/index.html Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dan dengan sukarela menghancurkan rudal Al Samoud. Penemuan fakta di lapangan yang berbeda dengan harapan AS ternyata tidak mengurungkan niat untuk tetap menginvasi Irak. Kemudian di sinilah AS melakukan tindakan sepihak menyerang Irak, pada hal bukti profilerasi senjata tidak ditemukan PBB. Andaipun ternyata tim PBB menemukan bukti, maka pihak AS tidak serta merta memiliki otoritas meakukan serangan dengan menafsirkan kalimat “konsekuensi serius” secara sepihak. Akan tetapi kalimat tersebut masih harus diolah Dewan Keamanan PBB guna melakukan tindakan apa yang selanjutnya diberikan kepada Irak. “Konsekuensi serius” itu akan berada pada tahapan berikutnya, yaitu pada ruang Pasal 41 Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan Dewan Keamanan masih harus menggunakan tindakan di luar kekuatan bersenjata agar keputusannya dapat dijalankan dan dapat meminta anggota PBB untuk melaksanakan tindakan itu. Tindakan itu antara lain pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alat komunikasi lain, serta pemutusan hubungan diplomatik guna memaksa Irak menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal. 11 Invasi Amerika Serikat di Irak yang berkedok untuk menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal di Irak hanyalah kedok belaka. Saat ini terdapat sikap umum bahwa Amerika tidak tertarik pada demokrasi atau kesejahteraan rakyat Irak. Amerika Serikat hanya hendak menguasai ekonomi dan ladang minyak Irak. Politik membebaskan Irak tampaknya telah berganti arah setelah kegagalan strategi AS untuk memecah-belah Syiah dan Sunni. Pada minggu
11
Harian Kompas, Jakarta, edisi Minggu 13 April 2003, hal. 2.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
lalu, kedua kelompok ini bertempur dengan sengit melawan pasukan pendudukan. Pada minggu kedua April, di Falluja saja lebih dari 600 warga Irak terbunuh oleh Amerika. Satu anggota dari Iraqi Governing Council (IGC) tunjukan AS mengundurkan diri. Adnan Pachachi, anggota pro-AS, menyebut aksi Amerika di Falluja sebagai illegal. Apa yang paling menyakitkan rakyat Irak adalah larangan pasukan AS atas penyebaran suplai bantuan makanan dan obat-obatan. 12 Terdapat sejumlah kasus pembunuhan brutal atas rakyat yang tak berdosa di checkpoint militer. Begitu juga sejumlah kasus yang tidak diinginkan: penggeledahan yang tidak mempertimbangkan tata krama adat setempat, penahanan, penyiksaan, dan lain-lain. Apa yang menyulut lingkaran krisis di Irak adalah penundaan yang disengaja oleh pasukan pendudukan dalam memberlakukan aktivitas “perbaikan dan rehabilitasi” oleh Coaltion Provisional Authority (CPA) atau otoritas sementara koalisi dan 350 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berada di Irak. Setahun telah berlalu dan tidak ada perbaikan terjadi dalam segi keamanan dan normalisasi kehidupan. Rakyat awam Irak lebih kuatir tentang penghasilan sehari-hari dan keamanan mereka. Rakyat Irak percaya bahwa beberapa persoalan seperti listrik, minyak, pekerjaan, komunikasi telepon, kebebasan rakyat untuk bepergian, pendidikan, dan lain-lain akan dapat diatasi oleh AS dalam beberapa bulan saja. Akan tetapi mereka tidak tertarik dalam hal-hal semacam ini. Sinyalemen seperti ini tampaknya benar karena semakin tidak stabil, tidak aman dan anarki, maka akan semakin besarlah alasan bagi pasukan pendudukan untuk tetap terlibat dalam bidang militer di Irak 13.
12 13
Ibid A. Fatih Syuhud, op.cit.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis ingin lebih mengetahui tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan terhadap penduduk sipil sebagai korban
dalam invasi
Amerika Serikat ke Irak
ditinjau dari hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi manusia, sehingga dapat diketahui bahwa pada dasarnya penduduk sipil diberikan perlindungan dan tidak boleh menjadi sasaran dalam suatu konflik bersenjata. B. Rumusan Masalah Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional. 2. Bagaimana penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak . 3. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi
Amerika Serikat ke Irak
ditinjau dari hukum Humaniter
Internasional. 2. Untuk mengetahui penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak . Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia. Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk : 1. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang hal-hal yang berhubungan perlindungan yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Hak Asasi 2. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisaanalisa yang bersifat objektif. 3. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia global pada saat ini khususnya dalam perkembangan penerapan (law enforcement) terhadap hukum internasional dewasa ini.
D. Keaslian Penulisan Pembahasan ini dengan judul : “PERLINDUNGAN
TERHADAP
PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”, adalah judul yang
sebenarnya tidak asing lagi di telinga kita, karena sebelumnya telah
banyak dibahas di berbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah perlindungan yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional maupun Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Hukum Hak Asasi. Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional Isitilah hukum humaniter atau “International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict” berasal dari istilah hukum perang (laws of war) yang kemudian berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang pada akhirnya saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. 14
Haryomataram membagi hukum Humaniter Internasional ini menjadi 2 (dua) aturan pokok, yaitu : 15 1). Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law). 2). Hukum yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil akibat perang (Hukum Jenewa/The Jenewa Laws). Mochtar Kusumaatmadja membagi Hukum Perang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 16
14
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 2-3. Ibid, hal. 5 16 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12. 15
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
1). Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2). Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : a). hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b). hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Berdasarkan uraian di atas, maka hukum Humaniter Internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Seperti telah diketahui bersama, semula istilah yang digunakan adalah Hukum Perang, tetapi karena istilah Perang tidak disukai karena trauma yang disebabkan oleh Perang Dunia II yang memakan banyak korban, maka istilah Hukum Perang diganti menjadi Hukum Humaniter Internasional. 17 Hukum humaniter Internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan pada perlindungan individu, khususnya dalam siatuas tertentu, yaitu situasi perang/pertikaian bersenjata serta akibatnya yaitu perlindungan terhadap korban perang/pertikaian bersenjata. Dengan kata lain, hukum Humaniter Internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi termasuk dalam kondisi perang.
17
Pada Perang Dunia I terdapat lebih dari 60 juta jiwa terbunuh. Pada abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad ke-19 mencapai 16 juta jiwa. Pada Perang Dunia II korban mencapai 38 juta jiwa, sedangkan pada koflik-konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa, seperti dikutip oleh ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999, hal. 6. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Sehubungan dengan arah hukum Humaniter Internasional tersebut di atas, kiranya hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlidnungan korban sengketa bersenjata sebagaimana diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan Internasional lainnya yang berhubungan dengan itu. Sedangkan
hukum Humaniter
Internasional
dalam arti luas adalah
keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan Internasional lainnya baik tertulis atau tidak yang mencakup Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat martabat pribadi seseorang. Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua individu/warga negara yang sedang bersengketa baik militer atau sipil merupakan landasan utama pemikiran para ahli Hukum Internasional untuk menciptakan hukum Humaniter Internasional sebagai bagian dari hukum Internasional. J. Pictet lebih lanjut menjelaskan arti hukum Humaniter Internasional, yaitu : “International Humanitarian Law is wide sense, is constituted by all the International legal provisions, whether writers or customary ensuring respect for individual and his well being”. 18 Dari definisi yang dikemukakan oleh J. Pictet ini tampak bahwa hukum Humaniter Internasional juga mencakup Hak Asasi Manusia. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa :“Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan
18
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 15.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan melakukan perang itu sendiri”. 19 Apabila diperhatikan kembali definisi dari hukum Humaniter Internasional tersebut dan dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum Humaniter Internasional, maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak-hak asasi manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada waktu manusia “dikuasai” emosi,
terutama
pada
saat-saat
kritis
dengan
memperhatikan cara-cara (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran Internasional yang tinggi. Gezaherzegh memberi definisi hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dengan membagi hukum Humaniter Internasional pada Hukum Jenewa saja. Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram sebagai berikut : a). Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat Internasional dan Humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila The Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan. b). Human rights tidak dimasukkan karena di dalam Negara sosialis, human rights ini ditegakkan (enforced) oleh Negara dengan jalan menggunakan hukum nasional. 19
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980, hal. 5. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum Humaniter Internasional merupakan
bagian dari Hukum Perang, khusus perlindungan korban perang.
Sedangkan Hukum Perang itu sendiri mengatur cara berperang (conduct of war). 20 Pada hakikatnya Hukum Perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau demikian halnya, hukum Humaniter Internasional dalam arti luas tepat untuk dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul antar dua negara. J.G. Starke
termasuk
aliran
tengah, menurut
istilah
Haryomataram,
menyatakan :”…as will appear post, the appellation “laws of war” has been replaced by that of International Humanitarian Law…”. 21 Kesan yang didapat dalam hal ini adalah bahwa dengan Hukum Humaniter Internasional berperang lebih dapat dikendalikan. Sedangkan Haryomataram berpendapat dan menyimpulkan bahwa hukum Humaniter Internasional mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa dengan dua Protokol Tambahannya.
22
2. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam Hukum Humaniter Internasional Prinsip atau asas pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam hukum Humaniter Internasional, yaitu suatu prinsip atau asas yang
20
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 16. Ibid, hal. 17. 22 GPH. Haryomataram, Op.cit, ha.l. 25 21
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yakni kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.
23
Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan objek kekerasan. Ini sangat penting ditekankan karena perang, sejak ia mulai dikenal, sesungguhnya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negaranegara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dan tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini sudah diakui sejak zaman kuno. Setiap kodifikasi hukum modern kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekerasan perang. 24 Menurut J. Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan : ”the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation”. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principle of application), yakni :
25
a). Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil. 23
Ibid,, hal. 63. ICRC, Op.cit, hal. 73-74. 25 Ibid. 24
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
b). Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan (walaupun) dalam hal reprisal (pembalasan). c). Tindakan maupun ancaman kekekasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang. d). Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-tidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin. e). Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dari pernyataan J. Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Karena, dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi, secara normative, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja. 26
26
Ibid, hal. 75.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan
perlindungan terhadap penduduk sipil yang
menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak oleh Hukum Humaniter Internasional. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum internasional
khususnya yang
berkaitan penduduk sipil yang menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak oleh Hukum Humaniter Internasional. 2. D a t a Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan
dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan sistematika penulisan.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM PERANG
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter, Sumber-Sumber Hukum Humaniter, Sarana
dan Metoda Berperang dan Hubungan Hukum
Humaniter dengan Hak Asasi Manusia BAB III
SEKILAS MENGENAI INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK Bab ini akan menguraikan mengenai Kemelut Panjang di negara Irak, Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Irak, Taktik Devide et Impera Amerika Serikat di Irak dan Reaksi Dunia dan Sejumlah Pakar terhadap Invasi Amerika Serikat Ke Irak
BAB IV
PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Bab ini akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi den Haag 1899 dan 1907, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi Jenewa 1949, Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977 dan Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM KONFLIK BERSENJATA
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Hukum Humaniter atau lengkapnyadisebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter. Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.” 27 Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”28 Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” 29 Esbjorn Rosenbland menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral.
27
GPH Haryomataram, Op.cit.hal. 21. Ibid, hal. 22. 29 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. hal. 52. 28
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.” 30 S.R Sianturi menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“31 Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
32
Berdasarkan berbagai rumusan dari para sarjana tentang definisi hukum humaniter di atas, maka dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibatakibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negaranegara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara 30
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal. 10. Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120. 32 Ibid, hal. 122. 31
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu : 33 1). Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2). Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3). Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
33
GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 12. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Hukum perang
atau
yang
sering
disebutdengan
hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasanpembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsabangsa. 34 Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negaranegara.
35
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem 34 35
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 20. Ibid, hal. 24.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang. Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihakpihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut : 36 1). Zaman Kuno Sebelum perang dimulai, maka pihakmusuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu dari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang 36
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28, Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005, hal. 12. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 37 (1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. (2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimanandisebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu. (3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. 37
GPH Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002,
hal. 15. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik. 2). Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu. 38 3). Zaman Modern Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggotan Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalamanpengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique”
38
Ibid, hal. 20.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unitunit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.
39
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dan sebagainya. 40 Dengan demikian, tidak seperti pada masamasa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan
yang
sangat
penting
bagi
hukum
humaniter
dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negaranegara setelah tahun 1850.
B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Humaniter Internasional, terlebih dahulu kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Internasional yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagama Mahkamah Internasional yang terdiri dari : 39 40
ICRI, Op.cit, hal. 20. Ibid, hal. 45.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan. 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum. 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum. Dengan demikian, perjanjian internasional diakui secara tegas (expressly recognized), kebiasaan diterima sebagai hukum (accepted as law) sedangkan prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab (civilized nation) dalam arti love peace nationa. 41 Dengan demikian, hukum Humaniter Internasional selain terikat oleh sumbersumber hukum Internasional, juga terikat oleh hukum formal yang menyangkut aturan-aturan kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949, diciptakan untuk “respect for human personality and equity”, beserta aturan-aturan hukum humaniter internasional yang lainnya yang di dalam operasionalnya terbagi dalam dua aspek, yaitu satu aspek yang terkait dengan hukum perang, sedangkan di pihak lian terikat dengan hak-hak asasi manusia. Sehingga sasaran utama hukum Humaniter Internasional adalah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam situasi perang/krisis dan dalam keadaan tertentu. Menurut J. Pictet, hukum Humaniter Internasional adalah aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya. Sehingga cabang hukum
41
GPH Haryomataram, Op.cit, hal. 20.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya konflik antar negara, karena itu hukum Humaniter Internasional ini mempunyai sifat internasional pula. 42 Seperti telah dikemukakan di atas, hukum Humaniter Internasional terdiri dari Hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat berperang dan Hukum Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Berikut ini akan dilihat kedua hukum tersebut sebagai sumber hukum Humaniter Internasional. Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi Den Haag ini merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konferensi-konferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan 1907.
a). Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18 Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah : (1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
42
Ibid, hal. 59.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(2). Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; (3). Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : (1).
Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
(2). Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang. (3). Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun juga dilarang.
b). Konvensi Den Haag 1907 Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut : (1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; (2).
Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata;
(3). Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; (4). Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; (5). Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(6). Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang; (7). Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; (8). Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; (9). Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; (10). Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; (11). Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; (12). Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; (13). Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 antara lain adalah : (1). Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Peperangan Perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904 dimulai dengan suatu serangan secara tiba-tiba oleh Jepang terhadap kapal perang Rusia. Kejadian inilah yang menjadi bahan pembicaraan dalam Konferensi Den Haag tahun 1907, yang hasilnya adalah disepakatinya Konvensi III tahun 1907 yang judul resminya “Hague Convention No. III Relative to the Opening of Hostilities”, dimana Pasal 1 Konvensi ini berbunyi : “The Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence without previous and explecit warning, in the either of a reasoned declaration of war or of an ultimatum with conditional declaration of war”. Dengan demikian, suatu perang dapat dimulai dengan : (a). Suatu pernyataan perang, disertai dengan alasannya. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(b). Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang yang bersyarat. Apabila penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan pihak yang mengirim ultimatum dalam waktu yang ditentukan, sehingga pihak pengirim ultimatum akan berada dalam keadaan perang dengan penerima ultimatum.
(2). Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Konvensi ini judul lengkapnya adalah “Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land”. Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga dengan lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II 1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku. Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain : (a). Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang termasuk “belligerents”, yaitu tentara. Pasal ini juga mengatur mengenai syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh kelompok milisi dan korps sukarela, sehingga mereka bisa disebut sebagai kombatan, yaitu : (1). Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; (2). Memakai tanda/atribut yang dapat dilihat dari jauh; (3). Membawa senjata secara terbuka; Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(4). Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. (b). Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse, yang dikategorikan sebagai “belligerent”, yang harus memenuhi syarat-syarat : (1). Penduduk dari wilayah yang belum dikuasai; (2). Secara spontan mengangkat senjata; (3). Tidak ada waktu untuk mengatur diri; (4). Membawa senjata secara terbuka; (5). Mengindahkan hukum perang. (3). Konvensi V Den Haag 1907 mengenai Negara dan Orang Netral dalam Perang di Darat Konvensi ini lengkapnya berjudul “Neutral Powers and Persons in Land Warfare”. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan, yaitu mengenai Negara Netral (Neutral Powers) dan Orang Netral (Neutral Persons). Yang dimaksud dengan negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, tidak ada keharusan negara tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka kedaulatan negara tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi V yang menyatakan “The territory of neutral Powers is inviolable”. Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa. Sedangkan yang dimaksud dengan orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral, Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
misalnya dengan menjadi relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 17).
4). Konvensi XIII Den Haag mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Konvensi ini berjudul “Neutral Rights and Duties in Maritime Wars”, yang secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negara-negara netral dalam perang di laut. Konvensi ini menegaskan bahwa kedaulatan negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya saja, namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut, seperti tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan kapal perang negara yang bersengketa di perairan negara netral.
2). Konvensi Jenewa 1949 Konvensi Jenewa 1949 tersebut terdiri dari 4 (empat) buah konvensi yaitu : a). Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. b). Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di Laut yangLuka, Sakit dan Korban Kapal Karam. c). Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang. d). Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Sipil di Waktu Perang.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut pada tahun 1977 ditambah lagi dengan Protokol Tambahan 1977, yakni disebut dengan : a). Protocol additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the protections of victims of international armed conflict (Protokol Tambahan I) b). Protocol additional to the Geneva Conventions of 12 August, and relating to the protections of victims of non- international armed conflict (Protokol Tambahan II) Baik Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dan konvenis-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pertikaian bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol
I
tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata noninternasional.
a). Pokok-Pokok Konvensi Jenewa 1949 : Ketentuan yang bersamaan (Common Articles) Dalam keempat Konvensi Jenwa 1949 mengenai perlindungan korban perang terdapat ketentuan-ketentuan yang sama atau yang bersamaan. Yang terpenting diantaranya, adalah mengenai ketentuanketentuan pokok dari Konvensi-konvensi Jenewa, yang di dalam keempat Konvensi terdapat dalam Bab I. Hal ini merupakan suatu kemajuan besar dalam sistematika susunan pasal-pasal dan menekankan keseragaman serta kesatuan dari keempat konvensi ini sebagai suatu perangkat Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
ketentuan tertulis mengenai perlindungan korban perang. Ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi-konvensi Jenewa tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu :
(1). Penghormatan dari Konvensi-konvensi Mengenai penghormatan dari konvensikonvensi ini terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa “Pihak Peserta Agung berjanji untuk menjamin penghormatan dalam segala keadaan”. Ketentuan mengenai penghormatan diletakkan dalam Pasal 1 menandakan bahwa peserta-peserta konferensi hendak menekankan pentingnya kewajiban penandatangan untuk menghormati ketentuanketentuan konvensi dan lebih bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Selain hal tersebut, Pasal 1 ini berarti juga bahwa berlakunya ketentuanketentuan konvensi tidak boleh dipengaruhi oleh sifat dari sengketa bersenjata. Ketentuan-ketentuan konvensi mengenai perlindungan korban perang (yang sakit, luka, tawanan perang, dsb) tetap berlaku, tidak perduli apakah perang itu adil atau tidak adil, perang agresi atau perang mempertahankan diri. Yang menjadi ukuran adalah apakah telah ada sengketa bersenjata atau pendudukan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2). Berlakunya Konvensi-Konvensi Mengenai berlakunya konvensikonvensi dinyatakan dalam Pasal 2 Paragraf 1, bahwa “ …Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata (armed conflict) lainnya yang mungkin timbul antara
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui salah satu diantara mereka”. Dengan pernyataan bahwa Konvensi tahun 1949 ini berlaku bagi setiap sengketa bersenjata (armed conflict), maka tidak ada lagi kemungkinan bagi suatu negara untuk mengelakkan diri dari kewajiban-kewajiban konvensi dengan menyangkal adanya perang dalam arti hukum. Jadi menurut ketentuan di atas, konvensi-konvensi ini berlaku dalam setiap persengketaan senjata internasional, dengan tidak mempersoalkan apakah peristiwa ini menurut salah satu atau semua pihak dalam konvensi merupakan suatu “pembelaan diri yang sah”, “aksi polisi”, “insiden” atau suatu tindakan pengamanan kolektif dalam rangka piagam PBB. Selain hal tersebut di atas, “…Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan”. Dalam hal ini ketentuan mengenai perlindungan korban perang Konvensi Jenewa 1949 dengan sendirinya berlaku.
Di samping hal tersebut di atas, Pasal 2 paragraf 3 Konvensi juga
menyatakan bahwa “Meskipun salah satu dari negaranegara dalam sengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan tetap sama terikat olehnya di dalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan bukan negara peserta, apabila negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini”. Ketentuan ini membuka peluang bagi suatu pihak dalam persengketaan yang belum menjadi peserta resmi Konvensi Jenewa untuk menerima ketentuanketentuan Konvensi dengan jalan menyatakan menerima ketentuanketentuan konvensi, mematuhi dan melaksanakannya secara de facto. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
C. Sarana dan Metoda Berperang Berbicara mengenai sarana dan metode berperang, adalah berbicara mengenai hukum Den Haag. Hukum Den Haag, sebagaimana diketahui, sebagian besar terdapat di dalam
konvensi-konvensi
yang
dihasilkan
dalam
Konferensi-Konferensi
Perdamaian pada tahun 1899 dan 1907. Namun dalam perkembangannya, diketahui pula bahwa ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang tersebut tidak hanya terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haag saja, melainkan terdapat pula dalam Protokol Tambahan tahun 1977. 43 Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haag IV tahun 1907 terutama lampiran (annex-nya) yang berjudul Regulations Respecting the Laws and Customs of War on Land, atau sering disebut dengan “Hague Regulation” yang mengatur mengenai hukum kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarna atau alat berperang.
Prinsip ini mengacu pada
ketetnuan Pasal 22 Hague Regulation yang menyatakan bahwa :”hak belligerents untuk menggunakan sarana dalam menghancurkan musuh adalah tidak tak terbatas (is not unlimited)”. Dengan demikian, jelaslah bahwa negara yang bersengketa tidak dapat sebebas-bebasnya menggunakan ranjau, torpedo, proyektil, senjata-senjata beracun,
43
Oleh karena itu, menurut ICRC, Protokol Tambahan tahun 1977 disebut juga dengan “Hukum Campuran” (Mixed Law), karena tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil saja, melainkan juga mengatur tentang metode dan sarana berperang. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
senjata-senjata yang menyebabkan luka berlebihan dan sebagainya, namun dibatasi oleh berbagai syarat-syarat tertentu. Hal ini mencerminkan bahwa para penggunaan senjata pihak yang bersengketa adalah tidak tak terbatas (=sangat terbatas). 44 Selanjutnya ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 terdapat pada Bagian I dan III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Comabatan and Prisoner of War Status. Secara garis besar, ketentuan
mengenai alat dan cara berperang dalam
Protokol ini
disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan peraturan dasar (basic rules), ketentuan-ketentuan mengenai senjata baru, adanya penambahan lambanglambang internasional yang harus dihormati selama peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapt terlibat dalam sengketa bersenjata, antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata dan sebagainya.
D. Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab
menyebarkan
penerangan
mengenai
hukum
humaniter
internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar
44
Pasal 23 Hague Regulation
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut. Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensikonvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia. Sedangkan di sisi lain, dalam konvensikonvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika. Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hakhak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa. Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status“belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran akan Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI).45 Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional. Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional : 46 a). Aliran Integrationis Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu : (1). Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku
45
Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997, Hal. 85-86. 46 Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 120. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. (2). Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional. b). Aliran Separatis Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada : (1). Obyeknya Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut. (2). Sifatnya Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta peremptory. (3). Saat berlakunya Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Salah seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja. c). Aliran Komplementaris Aliran Komplementaris melihat Hukum Ha k Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu : 47 (1). Dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah
47
Ibid, hal. 136.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
mempunyai aparatmekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negaranegara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. (2). Dalam hal sifat pencegahan Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif. Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya.Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan di lain pihak peraturanperaturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag. Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul dalam Protokol-Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan
sipil, politik, ekonomi dan budaya dan setiap orang
perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dan sebagainya) dari korban dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang. Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Selain hal tersebut, terdapat pula persamaan antara Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Persamaan tersebut antara lain : 48 (1). Sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia, Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokolnya yang memberikan kewajiban kepada negara peserta dan menjamin hak-hak individual dari orangorang yang dilindungi.
48
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 103. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(2). Hukum humaniter internasional menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir, hukum humaniter internasional mengikuti pendekatan yang sama dengan system hak asasi manusia, dengan memperluas perlindungan hukum humaniter internasional bagi semua orang sipil. (3). Di satu sisi landasan pengaturan hak asasi manusia adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia, yaitu : kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb. Atas dasar tersebut dibuatlah peraturanperaturan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain hukum humaniter internasional dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, hukum humaniter internasional memuat peraturanperaturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut merupakan hakhak minimal. Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau dapat juga disebut sebagai hakhak yang paling dasar, menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua system hukum tersebut. Oleh karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan. Instrumeninstrumenhukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok : 49
49
Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(a). Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak asasi manusia internasional. (b). Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak. (c). Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh. (d). Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat sengketa bersenjata.
BAB III SEKILAS MENGENAI INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
A.
Kemelut Panjang di negara Irak Setelah Perang Teluk pada tahun 1990 terjadi, dunia kembali dikejutkan
dengan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta Inggeris, Spanyol dan Australia ke Irak. Namun terdapat perbedaan dimana pada waktu Perang Teluk 1990 Amerika Serikat beserta sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional mendapat restu dari PBB dan dunia internasional, tetapi dalam Invasi ke Irak ini, Amerika Serikat tidak mendapat dukungan dari dunia internasional maupun PBB secara resmi. Beberapa peristiwa yang dianggap melatarbelakangi terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak ini, adalah antara lain 50 : 1. Pada tanggal 11 September 2001 Amerika Serikat mengalami tragedi yang disebabkan oleh serangan teroris yang mengakibatkan hancurnya gedung World Trade Centre (WTC) dan menewaskan lebih kurang 5000 jiwa. 2. Pada tanggal
30 Januari 2002 Presiden Amerika Serikat George W. Bush
menyebut istilah “poros setan” bagi Korea Utara, Iran, Irak dalam pidatonya di depan anggota kongres dan senat AS. Istilah titik awal kampanye politik dan diplomatik Amerika Serikat menuju Perang Irak. 3. Pada tanggal
6 Februari 2002, Para pejabat tinggi AS mulai menyebut-nyebut
soal pergantian rezim di Irak. 4. Pada tanggal
12 September 2002, Presiden Amerika Serikat George W. Bush
menyatakan di depan Majelis Umum PBB, bahwa Amerika Serikat tidak akan membiarkan Saddam Husein menghancurkan dunia dengan senjata pemusnah massal.
50
Majalah Mingguan Gatra, Jakarta, edisi 5 April 2003, hal. 30.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
5. Pada tanggal
17 Oktober 2002 Senat AS menyetujui peningkatan anggaran
militer terbesar dalam dua dasawarsa terakhir, yaitu US$ 355,1 miliar (sekitar 3.200 triliun). 6. Pada tanggal 8 November 2002 PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. 1441 yang isinya : “Irak diwajibkan menyerahkan semua senjata pemusnah massal. Jika tidak, Amerika Serikat akan melakukan serarangan militer. 7. Pada tanggal 27 November 2002 Tim Hans Blix menyelesaikan inspeksi pertama selama empat tahun. 8. Pada tanggal 7 Desember 2002 Baghdad menyerahkan dokumen “pengakuan dosa” setelah 12 ribu halaman, berisi data-data program nuklir, kimia dan biologi. Peristiwa 6 Februari 2002, Para pejabat tinggi AS mulai menyebut-nyebut soal pergantian rezim di Irak. 9. Pada tanggal 19 Desember 2002 Amerika Serikat menyatakan dokumen Irak sama sekali tidak lengkap dan mengklaim AS pnya data intelijen tentang senjata pemusnah massal yang disembunyikan oleh Saddam Husein. 10. Pada tanggal 9 Januari 2003 Blix mengakui masih ada tanda Tanya terhadap senjata pemusnah massal Irak, tetapi dia tidak bisa menemukan bukti. 11. Pada tanggal 20 Januari
2003 Menteri Pertahanan Inggeris Geoff Hoon
mengumumkan pengiriman 26.000 tentara Inggeris ke Teluk. 12. Pada tanggal 27 Januari 2003 Hans Blix melaporkan di depan Dewan Keamanan bahwa Irak tidak menunjukkan kerjasama yang sebenar-benarnya untuk pelucutan senjata. 13. Pada tanggal 30 Januari 2003 Presiden Bush memberi batas waktu beberapa minggu lagi bagi upaya diplomasi anggota Dewan Keamanan PBB. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
14. Pada tanggal 6 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS Colin Powell menyatakan Irak punya keterkaitan dengan Al-Qaidah. Senjata kimia dan biologi Irak diduga diserahkan kepada Al–Qaidah. 15. Pada tanggal 14 Februari 2003 Blix melaporkan bahwa Irak telah bekerja sama secara baik dengan tim inspeksi senjata. 16. Pada tanggal 14 Februari 2003 Pentagon mengumumkan 150.000 tentara AS di kawasan Teluk siap berperang. Pada hari ini pula demonstrasi anti perang terbesar dalam sejarah merebak di seluruh dunia. 17. Pada tanggal 20 Februari 2003 Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld menyatakan tentara di Teluk sudah cukup memadai untuk melakukan invasi ke Irak. 18. Pada tanggal 24 Februari 2003 Amerika Serikat, Inggris dan Spanyol mengusulkan resolusi kedua agar serangan benar-benar bisa dilegalkan. Sedangkan Jerman, Prancis dan Rusia mengajukan resolusi tandingan untuk memperpanjang masa inspeksi. 19. Pada tanggal 26 Februari 2003 Perdana Menteri Inggris Tony Blair mendapat tantangan serius dari parlemen Inggris karena Blair mendukung sikap AS untuk berperang tanpa resolusi PBB. 20. Pada tanggal 1 Maret 2003 Irak mulai menghancurkan rudal Al-Samoud. 21 Pada tanggal 7 Maret 2003 Kepada Dewan Keamanan PBB Blix menyatakan timnya membutuhkan beberapa bulan lagi untuk menuntaskan tugas inspeksi. 22. Pada tanggal 10 Maret 2003 Prancis dan Rusia bertekad memveto usul AS dan sekutunya di Dewan Keamanan PBB.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
23. Pada tanggal 11 Maret 2003 Menteri Perhanan AS Donald Rumsfeld menyatakan bahwa AS akan tetap menggempur Irak meskipun tanpa dukungan Inggris. 24. Pada tanggal 16 Maret 2003 Bush, Blair dan PM Spanyol Jose Maria Axnar bertemu di Pulau Azores di tengah Lautan Atlantik untuk mematangkan strategi serangan ke Irak. 25. Pada tanggal 17 Maret 2003 Bush menyatakan Saddam Husein dan anak-anaknya harus meninggalkan Irak dalam jangka waktu 48 jam. Jika menolak, konflik militer akan dimulai sesuai dengan kehendak kami. 26. Pada tanggal 18 Maret 2003 Saddam Husein menolak ultimatum Bush. 27. Pada tanggal 19 Maret 2003 Parlemen Irak memberi persetujuan kepada pimpinan mereka untuk berperang. Sementara itu, Bush mengklaim telah mendapat dukungan penuh dari 45 negara baik secara moril maupun logistic. 28. Pada tanggal 20 Maret 2003 Amerika Serikat dan sekutunya mulai menyerang Irak. Bush berpidato di bawah perintah saya kekuatan koalisi mulai menghancurkan sasaran-sasaran tertentu, untuk melemahkan kemampuan tempur Saddam. Pada kenyataannya, PBB menyatakan tidak menemukan jenis dan bentuk proliferasi senjata pemusnah massal apapun di Irak. Dan, ternyata Irak juga bisa bersikap kooperatif dengan tim PBB, bahkan mengeluarkan deklarasi tentang kosongnya senjata pemusnah massal dan dengan sukarela menghancurkan rudal Al Samoud. Penemuan fakta di lapangan yang berbeda dengan harapan AS ternyata tidak mengurungkan niat untuk tetap menginvasi Irak.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Kemudian di sinilah AS melakukan tindakan sepihak menyerang Irak, pada hal bukti profilerasi senjata tidak ditemukan PBB 51. Andaipun ternyata tim PBB menemukan bukti, maka pihak AS tidak serta merta memiliki otoritas meakukan serangan dengan menafsirkan kalimat “konsekuensi serius” secara sepihak. Akan tetapi kalimat tersebut masih harus diolah Dewan Keamanan PBB guna melakukan tindakan apa yang selanjutnya diberikan kepada Irak. “Konsekuensi serius” itu akan berada pada tahapan berikutnya, yaitu pada ruang Pasal 41 Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan Dewan Keamanan masih harus menggunakan tindakan di luar kekuatan bersenjata agar keputusannya dapat dijalankan dan dapat meminta anggota PBB untuk melaksanakan tindakan itu. Tindakan itu antara lain pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alat komunikasi lain, serta pemutusan hubungan diplomatik guna memaksa Irak menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal. Karena itu serangan dan aksi militer tidak dapat ditafsrikan sebagai wujud “konsekuensi serius” yang serta merta dapat dilakukan Dewan Keamanan PBB apabila oleh tindakan-tindakan sepihak pemerintah AS. Aksi militer harus dilakukan jika “konsekuensi serius”
pada ruang Pasal 41 Piagam PBB dianggap tidak
mencukupi, maka dapat digunakan blokade angkatan darat, laut dan udara yang mungkin diperlukan guna memelihara atau memulihkan ancaman perdamaian serta keamanan internasional. Selanjutnya kalau kita lihat sejumlah insiden terakhir di Irak telah memaksa AS untuk mendeklarasikan bahwa ia akan melakukan kebijakan yang lebih agresif dalam menghadapi ‘aksi teroris’ dan perlawanan bersenjata. Tidak ada
51
Harian Kompas, Jakarta, edisi Minggu 13 April 2003, hal. 2.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
yang tahu apakah langkah semacam itu akan berguna dalam jangka panjang. Terutama ia tampak kontraproduktif dalam usaha AS merebut hati rakyat Irak52. Perlawanan telah mendapatkan momentum di Irak. Ia merefleksikan perencanaan dan koordinasi yang lebih canggih. Terdapat juga gejala bahwa perlawanan bersenjata tidak lagi terbatas dilakukan warga Irak tetapi ada kemungkinan partisipasi elemen asing yang memasuki Irak dari berbagai negara. Fareed Zakaria, redaktur Newsweek mencatat pada November ‘semakin jelas bahwa resistansi di Irak bukanlah pekerjaan sekelompok kecil orang, tetapi telah menjadi gerakan yang semakin meluas.’ Laporan berbagai kantor berita mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara komando AS di Irak dan CIA tentang jumlah yang sebenarnya dari kelompok perlawanan. Jenderal John Abizaid percaya jumlah mereka sekitar 5000 sedang CIA memperkirakan sekitar 50.000. Suatu perbedaan yang sangat menyolok dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan besar AS dalam konteks pengumpulan intelijen militer 53. Peningkatan
respons
militer
bukanlah
jawaban
terbaik.
Perang
nonkonvensional sangat tergantung pada simpati rakyat. Semakin banyak pasukan konvensional memanifestasikan diri melalui pengeboman dan berbagai perangkat keras
militer
di
jalan-jalan,
semakin
mengesankan
adanya
peningkatan
ketidaknormalan. Langkah semacam itu hanya akan mengalienasi populasi lokal dan hidup keseharian mereka. Tayangan televisi tentang anak-anak kecil yang memeluk
52
A. Fatih Syuhud, Kemelut Panjang di Irak, WASPADA Online 04 Mei 2004, penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New Delhi, India. Indonesia, Malaysia Singapore Canada Brunei Australia Islam America Blogger Indonesia 53 Ibid. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
ibu mereka ketika pasukan AS memeriksa baju mereka, jelas tidak akan menciptakan dukungan dan simpati bagi pasukan koalisi di dunia Arab 54. Aspek lain yang mengancam hubungan konstruktif di Irak adalah perubahan radikal dalam perimbangan pemerintahan. AS tampaknya mengacuhkan fakta bahwa populasi Sunni di Irak merupakan komponen intelektual sentral di Irak. Komunitas Sunni ini telah menciptakan banyak politisi, profesional, insinyur, guru, pedagang dan pemimpin pasukan. Sebaliknya, populasi Syiah lebih terlibat dalam bidang teoktratis dan bagian kecil pemerintahan. Sejumlah usaha saat ini untuk menciptakan mayoritas Syiah pada eselon kekuasaan dan memarjinalkan pengaruh Sunni cukup mengundang kecurigaan. Akan lebih tepat seandainya otoritas koalisi menciptakan perimbangan antara Sunni yang menuntut kekuasaan dan Syiah yang meminta demokrasi langsung, bukan pemilu tidak langsung. Terdapat juga dua elemen lain yang mempengaruhi psikis publik Irak. Ketergantungan AS pada kalangan ekspatriat Irak sebagai ‘anak emas’ dalam reformulasi basis kekuasaan dan anggapan miring atas elemen suku Kurdi telah menciptakan dinamikanya sendiri. Pada 16 Oktober 2003 , AS memperoleh kemenangan diplomatik di DK PBB. Pada hari itu, DK PBB secara bulat mengadopsi resolusi tentang rekonstruksi politik dan ekonomi di Irak. Resolusi ini mempertegas berbagai Resolusi sebelumnya termasuk Resolusi 1483 pada 22 Mei 2003, Resolusi 1500 pada 14 Agustus 2003, dan sejumlah resolusi yang berkaitan dengan ancaman perdamaian dan keamanan yang disebabkan oleh aksi teroris seperti Resolusi 1373 pada 28 September 2001 55.
54
Ibid. Sejak itu, diadakan pertemuan donatur di Madrid di mana sejumlah AS.5 milyar dijanjikan dalam bentuk bantuan dan hutang guna membantu membangun kembali Irak. Banyak ungkapan indah terdengar tetapi faktanya adalah sampai saat ini India, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia dan Jepang belum mengirim satupun pasukan sebagai penjaga perdamaian atau untuk memperbaiki kondisi 55
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Perdebatan tentang legalitas keterlibatan bersenjata di Irak saat ini semakin kompleks dengan adanya keputusan Komando AS untuk menjalankan kebijakan yang lebih agresif. Protokol 1 1997 Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 dijadikan rujukan oleh kelompok civil society berkenaan dengan meningkatnya insiden ‘collateral damage’ yang diderita warga sipil. Kondisi yang semakin memburuk jelas akan mempengaruhi impelementasi tindakan legal yang diperlukan bagi pembentukan Pemerintahan Irak yang sah di masa depan. Demokrasi dalam maknanya yang sejati juga akan mungkin diaplikasikan di Irak dan Afghanistan. Ia membutuhkan banyak waktu dan kesabaran. Akan tetapi, proses perubahan, baik politik maupun ekonomi akan sulit bahkan tidak mungkin tercapai melalui moncong senjata. Langkah membangun kepercayaan hendaknya dimulai dengan membawa kembali suasana normal. Kredibilitas harus diperbaiki demi suksesnya proses ini. Dan harus ada pemahaman di Irak bahwa demokrasi dan pengembangan prinsip demokrasi bukanlah bagian dari opsi geostrategi barat. Signifikansi dari kunjungan rahasia Presiden Bush pada hari Thanksgiving ke basis militer AS di Irak hendaknya tidak terlalu dilebih-lebihkan. Memang, kunjungan ini penting untuk mendapatkan suara domestik AS, tetapi kita tidak tahu apakah hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi kejadian di lapangan di Irak. Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa selain alasan untuk melucuti senjata pemusnah massal, biologi dan kimia yang dimiliki Irak, maka alasan-alasan lain yang mendorong invasi Amerika Serikat ke Irak adalah 56 :
stabilitas dan keamanan. Kehadiran pasukan Turki juga digagalkan pada detik-detik akhir, diakses dari situs : http://www.global.com, tanggal 23 Maret 2001. 56
Elba Damhuri, Dibalik Invasi Amerika Serikat ke Irak, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003, hal. 34. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
1. Alasan ekonomi terutama minyak Irak yang memiliki cadangan terbesar kedua di dunia. Seperti kita ketahui bahwa negara-negara industri maju sangat tergantung pada energi, dalam hal ini minyak dan gas. Untuk itu Amerika Serikat yang membutuhkan minyak per hari 20 juta barel sedangkan cadangan minyak yang dimilikinya sekitar 30,4 miliar barel sangat berambisi untuk penguasaan pengoperasian dan pengelolaan minyak di Irak yang berjumlah sekitar 112 miliar barel. 2. Irak terkait dengan jaringan terorisme dunia seperti Al-Qaida. Hingga saat ini tidak ada satupun resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyatakan Irak terlibat dalam gerakan terorisme Al-Qaida pasca pemeriksaan tim pemeriksa persenjataan PBB (tim PBB) yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Berkaitan dengan tuduhan AS kepada Irak sebagai negara sponsor teroris sebenarnya sangat riskan dan debatable tuduhan seperti itu dapat dibuktikan. 3. Dendam pribadi Bush terhadap Shaddam Husein. Seperti yang kita ketahui bahwa George W. Bush merupakan anak dari George Bush yang merupakan mantan Presiden Amerika Serikat. George Bush ketika Perang Teluk tahun 1990 menjabat sebagai Presiden AS, tetapi cita-cita George Bush untuk menggulingkan rezim Saddam Husein pada waktu itu tidak tercapai. Sekarang hal tersebut dilanjutkan oleh anaknya George W. Bush dengna melakukan invasi ke Irak dan menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dengan dalih ingin membentuk negara Irak yang lebih demokratis yang bebas dari belenggu dan kekejaman serta kekuataan rezim Saddam Husein.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Selama masa invasi Amerika Serikat ke Irak, ada perkembangan yang membuat kita merasa trenyuh dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat yang meminta diadakan pengadilan internasional terhadap orang-orang Irak yang dianggap melakukan kejahatan perang, termasuk siapa saja yang memerintahkan aksi bom mobil yang menewaskan serdadu dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat. Usul itu diajukan sejumlah senator dan anggota DPR, sehari setelah duta besar dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat untuk urusan kejahatan perang mengatakan dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat bermaksud menginvestigasi dan menghukum pelanggar hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim di Irak. Menurut para pembuat undang-undang itu, aksi bom bunuh diri melanggar hukum internasional seperti tertera dalam konvensi Den Haag 1907 dan Jenewa 1949 yang menetapkan standar untuk operasi militer dan perlakuan terhadap para tawanan perang.
Pada sisi lain kita juga mengikuti bahwa sejumlah LSM dan tokoh masyarakat di AS, yang tergabung dalam Center for Constitutional Rights (CCR), telah mengajukan surat kepada Jaksa Internasional pada Pengadilan Kriminal PBB di Den Haag yang isinya melaporkan berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer AS selama melancarkan agresi ke Irak. CCR menilai pengeboman bertubi-tubi sejak perang dilancarkan 20 Maret, yang tidak memedulikan apakah itu sasaran sipil atau militer, sebagai kejahatan perang
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Bukti paling nyata terjadi Selasa ketika meriam tank-tank AS dengan sengaja menembak Palestine Hotel yang sudah diketahui sebagai tempat menginap ratusan wartawan internasional peliput jalannya perang. Korbannya dua juru kamera dari Reuters (Inggris) dan Telecinco (Spanyol) tewas seketika dan sejumlah lainnya cedera. Tak jauh dari hotel itu, kantor jaringan televisi Al-Jazeera (Qatar) juga diserang dan menewaskan seorang wartawan. Seperti diketahui bahwa Al-Jazeera selama ini menyampaikan pemberitaan yang cukup berimbang mengenai jalannya perang dan bukan semata dari sisi pihak koalisi Amerika atau Inggris. Para wartawan yang bertugas di Baghdad dapat dianggap sebagai kaum sipil yang mewakili mata dunia mengenai sepak terjang tentara dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris, dan situasi yang dialami masyarakat sipil di Irak. Mereka berbeda dengan para wartawan yang ditanamkan (embedded) bersama-sama militer dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi bagian dari operasi militer koalisi. Dari kejadian ini, bisa dikataian ada indikasi sebagai kesengajaan dengan menyerang sasaran pers di Baghdad, mungkin untuk tujuan intimidasi. Menurut Sekjen International Federation of Journalists yang berpusat di Brussels serangan yang sengaja ditujukan kepada para wartawan jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Sehingga menjadi pertanyaan kita, apakah aksi-aksi seperti ini tidak menggugah para pembuat undangundang di dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat untuk menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang pantas diajukan ke pengadilan internasional?
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Sejauh ini, sekurangnya 10 pekerja pers dari berbagai media telah tewas karena meliput jalannya perang. Itu semua demi menjelaskan kepada dunia mengenai tragedi terhadap kemanusiaan yang tengah dialami bangsa Irak. Selain itu, yang makin membuat kita harus merasa prihatin adalah tingginya angka kematian di kalangan rakyat sipil Irak akibat agresi ini.
Menurut catatan pihak Irak, sekurangnya 600 penduduk sipil (pria, wanita, orang tua atau anak-anak) tewas secara mengenaskan akibat agresi AS dan Inggris itu. Tidak dipungkiri dalam sejumlah kasus, militer Irak menggunakan tameng manusia untuk melindungi perlawanan mereka, dan tindakan ini juga tidak bisa dibenarkan. Dalam hukum humaniter internasional ditegaskan ada prinsip-prinsip dasar harus dipatuhi dalam perang: dilarang menyerang penduduk sipil; yang sakit dan cedera harus dirawat; semua pihak harus bertanggung jawab melindungi kaum sipil yang berada di tengah konflik; dan pasukan pendudukan harus bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat di wilayah pendudukan mereka. Tentunya prinsip-prinsip itu sudah jelas dan berbagai kejadian memperlihatkan semua pihak yang bertanggung jawab atas agresi dan perang ini sebenarnya patut dijadikan penjahat perang. Namun itulah hukum rimba, siapa berkuasa berhak menentukan kebenarannya sendiri.
B.
57
Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Irak Kalau kita perhatikan apa yang terkandung dalam resolusi-resolusi Dewan
Keamanan PBB yang pembuatannya dibawah tekanan rezim pemerintah negara sekular federal Amerika mengenai masalah penyerangan Irak ke Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990, maka akan terbukalah bahwa sebenarnya Irak telah dijajah secara
57
Ibid, hal. 36.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
tidak langsung oleh rezim pemerintah negara sekular federal Amerika sejak tahun 1991 ketika resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 687/1991 yang diadopsi tanggal 3 April 1991 yang memutuskan bahwa Irak dengan tanpa sarat harus menghancurkan semua persenjataan kimia dan biologinya serta misil-misilnya yang mampu menempuh jarak lebih dari 150 km58.
Seterusnya 4 tahun kemudian, rezim pemerintah negara sekular federal Amerika dengan DK PBB mengadopsi resolusi nomor 986/1995 tanggal 14 April 1995 yang memutuskan bahwa minyak Irak dijual harus melalui PBB dimana hasil uang penjualan minyak itu dimasukkan kedalam Escrow account di Banque Nationale de Paris di New York untuk dipakai pembelian makanan, obat-obatan dan peralatan kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun minyak yang akan diekspor itu harus melalui pipa Kirkuk-Yumurtalik dari Irak ke Turki, sedangkan sisa minyaknya yang lain disalurkan melalui terminal minyak di Mina Al-Bakr. 59
Dimana penerapan resolusi DK PBB nomor 986/1995 ini diawali dengan penandatanganan Memorandum of Understanding antara Sekretariat PBB dan Pemerintah Irak passa tanggal 20 Mei 1996 di New York 60. Jadi secara de-jure Irak dari tanggal 20 Mei 1996 telah dikuasai dan dijajah oleh rezim pemerintah negera sekular federal Amerika dengan melalui resolusi-resolusi DK PBB.
Jelas, setelah Irak dijajah oleh rezim pemerintah negera sekular federal Amerika dengan melalui resolusi-resolusi DK PBB, maka pemerintah Irak dibawah
58
Ahmad Sudirman, yang jelas Bush ingin rebut sumber minyak Saddam setelah Irak dijajah Amerika melalui resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB sejak 11 tahun yang lalu, Xaarjet, Stockholm Swedia, 4 Januari 2003. 59 Ibid. 60 Ibid Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Saddam Hussein tidak mempunyai lagi kekuasaan penuh dalam mengontrol bidang ekonomi dan perdagangan terutama dalam menangani penjualan minyak dan membuat anggaran pendapatan dan belanja negaranya.
Karena itu dalam rangka menjalankan program penjualan minyak Irak yang hasilnya dipakai untuk membeli makanan, maka Sekretaris Jenderal PBB yang ditekan oleh rezim pemerintah negara sekular federal Amerika mendirikan Kantor untuk Program Irak yang dinamakan the Office of the Iraq Programme (OIP) pada tanggal 13 Oktober 1997 dan yang mulai bekerja efektif tanggal 15 Oktober 1997 dengan dipimpin oleh Eksekutif Direktur Benon V. Sevan dari Cyprus. Nah, secara de-pacto, dari mulai tanggal 15 Oktober 1997 Irak telah dipimpin oleh Eksekutif Direktur Benon V. Sevan di New York.
Jadi, apapun alasan Bush untuk melenyapkan Saddam Hussein yang utama bukan karena Saddam Hussein harus melucuti persenjataan militernya dan menghentikan pengembangan pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklirnya, melainkan yang ingin dirampas oleh Bush dari tangan Saddam adalah sumber-sumber minyak yang ada di Irak untuk menmghidupi roda perekonomian negara sekular federal Amerika. Seperti apa yang tertuang dalam Resolusi DK PBB nomor 1441 tahun 2002 yang diadopsi dalam sidang DK PBB yang ke 4644 tanggal 8 Nopember 2002 yang lalu: "….. Decides that, in order to begin to comply with its disarmament obligations, in addition to submitting the required biannual declarations, the Government of Iraq shall provide to the United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission (UNMOVIC), the International Atomic Energy Agency (IAEA), and the Council, not later than 30 days from the date of this resolution, a Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
currently accurate, full, and complete declaration of all aspects of its programmes to develop chemical, biological, and nuclear weapons, ballistic missiles, and other delivery systems such as unmanned aerial vehicles and dispersal systems designed for use on aircraft, including any holdings and precise locations of such weapons, components, subcomponents, stocks of agents, and related material and equipment, the locations and work of its research, development and production facilities, as well as all other chemical, biological, and nuclear programmes, including any which it claims are for purposes not related to weapon production or material". 61
Ternyata setelah lima minggu Inspektur pemeriksa senjata dari PBB memeriksa hampir lebih dari 230 tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat pengembangan dan pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir di Irak hasilnya adalah nol besar seperti yang diungkapkan oleh Jenderal Hossam Mohammed Amin Kepala Direktorat Monitoring Nasional Irak yang bekerja sama dengan United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission (UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA). "...The inspections have been intrusive and surprising. All those activities prove that the Iraqi declarations are credible and the American allegations are baseless. They are lying for political reasons. We hope that this is a start point [to] think correctly and give the Iraqi people their rights to live without embargo, without sanctions." 62.
Nah sekarang, setelah hasil pemeriksaan senjata di Irak adalah nol besar, Bush terus menekan DK PBB untuk membuat resolusi yang baru yang diberi nomor 61
Resolutin 1441 (2002) Adopted by the Security council at tis 4644 th meeting, on 8 November 2002. 62 http://www.cnn.com/2003/WORLD/meast/01/02/sproject.irq.inspections/index.html. Friday, Januariy 3, 2003. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
1454 yang diadopsi dalam sidang DK PBB yang ke 4683 tanggal 30 Desember 2002 yang memutuskan: “…..Decides to conduct a thorough review of the Goods Review List and the procedures for its implementation both 90 days after commencement of the period as defined in paragraph 1 of resolution 1447 (2002) and prior to the end of the 180-day period so defined and thereafter to conduct regular, thorough reviews, and, in this connection, requests the Committee established by resolution 661 (1990) to review the Goods Review List and the procedures for its implementation as part of its regular agenda and recommend to the Security Council necessary additions to, and/or deletions from, the Goods Review List and procedures " 63.
Tentu saja, dengan keluarnya resolusi DK PBB nomor 1454 tahun 2002 ini makin memperjelas bahwa Bush ingin mencekik Saddam dan melumpuhkan perekonomian dan kehidupan rakyat Irak yang berada dibawah pimpinan Saddam Hussein dan sekaligus ingin merebut sumber-sumber minyak yang ada di Irak dari tangan Saddam untuk kepentingan kehidupan roda perekonomian negara sekular federal Amerika. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Perdana Menteri Irak Tariq Aziz bahwa Amerika akan menyerbu Irak, menduduki Irak dan menggunakan sumber-sumber daya nasional Irak untuk kepentingan rezim kapitalis Amerika. Jika Amerika menjadi lebih kuat secara ekonomi, ketika Amerika mengambil alih seluruh minyak kawasan ini, dan mencengkeramnya, dia bisa menekan setiap negara yang membutuhkan minyak, secara politis dan ekonomis 64.
63
Resolution 1454 (2002) Adopted by the Security Council at its 4683rd meeting, on 30 December 2002. 64 http://www.detik.com/peristiwa/2003/01/03/20030103-110350.sthtml. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Provokasi Amerika Serikat tentang adanya senjata pemusnah massal Irak terkait dengan jaringan teroris Al-Qaida dan Saddam yang membuat Irak menjadi tidka demokratis tampaknya hanya kamuflase Amerika Serikat. Di balik itu, ada alasan sebenarnya yang memang tak pernah mau diungkapkan Bush dan seluruh pimpinan Amerika lainnya serta para sekutunya. Berkali-kali mereka mengatakan, bukan karena minyak mereka menyerang Irak. Namun, itu pun semata-mata harus melalui pintu Dewan Keamanan PBB (Pasal 42 Piagam PBB) tidak dengan tindakan sepihak pemimpin negara.
C.
Taktik Devide et Impera Amerika Serikat di Irak Setahun setelah pendudukan Irak, Syiah dan Sunni sepakat pada satu hal:
Amerika harus pergi. Berhadapan dengan resistansi sengit rakyat Irak, AS berencana untuk menyerahkan tugas keamanan internal pada rejim pilihannya dan segera mengangkat pasukan polisi lokal, sambil tetap memegang tampuk kekuasaan. Tetapi usaha Amerika akan sulit berhasil. Kekerasan dan instabilitas tampak masih akan berlanjut di Irak 65. Mayoritas rakyat Irak percaya bahwa AS menginvasi negara mereka untuk mengontrol minyak mereka tetapi itu tentu saja bukan satu-satunya alasan. Banyak kalangan intelektual Irak yang percaya bahwa tujuan AS di Irak adalah untuk mengukir dan mengontrol koridor strategis baru di jantung Timur Tengah. Bertetangga dengan Jordan yang merupakan aliansi setia, mereka percaya rencana pendudukan Amerika adalah untuk mendominasi teritorial vital yang berawal dari Israel dan berakhir di perbatasan Irak dengan Iran, Suriah, Saudi Arabia dan Turki
65
A. Fatih Syuhud, Taktik Divide et Impera AS di Irak, Waspada Online, 04 Mei 2004, hal. 3.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
yang secara geografis berbatasan. Apabila Amerika berhasil mengkonsolidasi kekuatannya, mereka kuatir AS akan berada dalam posisi dapat mempengaruhi berbagai peristiwa di negara-negara tetangga sebagai sebuah kemungkinan skenario untuk meredefinisi tatanan politik di kawasan itu. 66 Kontradiktif dengan janji-janji liberal pemerintahan US dan Inggris untuk membawa demokrasi dan kebebasan pada bangsa Irak dan mengeliminasi WMD (weapons of mass destruction – senjata pemusnah masal), pasukan pendudukan justru telah menggiring Irak menjadi sebuah neraka dunia. Amerika, yang sebelumnya mengklaim telah “memerdekakan” mayoritas populasi Syiah, saat ini menggunakan mesin perang mereka untuk menindas Syiah yang menuntut penarikan mundur mereka dari area konsentrasi populasi dan lokasi tempat-tempat suci. Sebaliknya, Amerika mulai memecah-belah rakyat Irak menurut garis sektarian dengan cara meledakkan tempat-tempat peribadatan. Akan tetapi, sampai saat ini tak satupun dari permintaan mereka terakomodasi67. Saat ini terdapat sikap umum bahwa Amerika tidak tertarik pada demokrasi atau kesejahteraan rakyat Irak. Mereka hanya hendak menguasai mereka. Politik membebaskan Irak tampaknya telah berganti arah setelah kegagalan strategi AS untuk memecah-belah Syiah dan Sunni. Pada minggu lalu, kedua kelompok ini bertempur dengan sengit melawan pasukan pendudukan. Pada minggu kedua April, di Falluja saja lebih dari 600 warga Irak terbunuh oleh Amerika. Satu anggota dari Iraqi 66
Ibid. Sementara itu kalangan Syiah yang terbukti lebih taat pada Pentagon daripada kaum mereka sendiri mendapat penghargaan. Selama setahun ini, Amerika telah kehilangan kepercayaan dari kelompok-kelompok Syiah termasuk kalangan moderat yang semestinya dapat menjadi tulang punggung kebijakan dan aksi AS melawan Saddam Hussein. Rejim sebelumnya umumnya dituduh sebagai pelaku penindasan perlawanan Syiah di selatan Irak pada 1991, pengeboman suku Kurdi pada 1983 dan mengubur rakyat di kuburan massal. Akan tetapi daftar kriminal perang yang dilakukan AS di tempat-tempat semacam Basra, Nassiriya, Kut, Najaf, Karbala, Ramadi, Falluja, Abu Gharib dan Amara melalui operasi militer telah melebihi proporsi yang dilakukan Saddam. 67
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Governing Council (IGC) tunjukan AS mengundurkan diri. Adnan Pachachi, anggota pro-AS, menyebut aksi Amerika di Falluja sebagai illegal. Apa yang paling menyakitkan rakyat Irak adalah larangan pasukan AS atas penyebaran suplai bantuan makanan dan obat-obatan. Terdapat sejumlah kasus pembunuhan brutal atas rakyat yang tak berdosa di checkpoint militer. Begitu juga sejumlah kasus yang tidak diinginkan: penggeledahan yang tidak mempertimbangkan tata krama adat setempat, penahanan, penyiksaan, dan lain-lain. Apa yang menyulut lingkaran krisis di Irak adalah penundaan yang disengaja oleh pasukan pendudukan dalam memberlakukan aktivitas “perbaikan dan rehabilitasi” oleh Coaltion Provisional Authority (CPA) atau otoritas sementara koalisi dan 350 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berada di Irak. Setahun telah berlalu dan tidak ada perbaikan terjadi dalam segi keamanan dan normalisasi kehidupan. Rakyat awam Irak lebih kuatir tentang penghasilan sehari-hari dan keamanan mereka. Rakyat Irak percaya bahwa beberapa persoalan seperti listrik, minyak, pekerjaan, komunikasi telepon, kebebasan rakyat untuk bepergian, pendidikan, dan lain-lain akan dapat diatasi oleh AS dalam beberapa bulan saja. Akan tetapi mereka tidak tertarik dalam hal-hal semacam ini. Sinyalemen seperti ini tampaknya benar karena semakin tidak stabil, tidak aman dan anarki, maka akan semakin besarlah alasan bagi pasukan pendudukan untuk tetap terlibat dalam bidang militer di Irak 68. Pemberlakuan dramatis Konstitusi Interim Irak (KII) pada 8 Maret sebagai Hukum Administrasi fundamental telah mengancam kepentingan legitimate dari kalangan mayoritas Irak (baik Sunni maupun Syiah). Dokumen interim sebanyak 62
68
A. Fatih Syuhud, op.cit, hal. 4.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Artikel akan memutuskan masa depan Irak dalam konteks bentuk pemerintahan dan dasar dari konstitusi permanen. Hukum ini mengecam rejim sebelumnya dan kebijakan penindasannya di berbagai pasalnya tetapi sama sekali tidak berkomentar atas penindasan dan kejahatan yang lebih besar yang dilakukan oleh pasukan pendudukan yang tinggal di Irak. Ia juga memberikan kesempatan pada Pemerintahan Interim (PI) dalam fase pertama dan Pemerintahan Transisi (PT) pada fase kedua untuk menentukan pemerintahan masa depan 69.
D.
Reaksi Dunia dan Sejumlah Pakar terhadap Invasi Amerika Serikat Ke Irak Lebih dari 650 pakar urusan luar negeri dari Amerika Serikat dan negara-
negara lain menandatangani surat terbuka yang mengecam kebijakan luar negeri pemerintahan George W Bush 70. Dikatakan bahwa kebijakan Bush telah membahayakan perang melawan terorisme 71. Para pakar menyerukan pemerintah AS untuk mengubah kebijakan tersebut. Surat terbuka tersebut menjabarkan serangkaian kesalahan
di
Irak,
Afghanistan
dan
tempat
lainnya
di
dunia.
Dalam surat tersebut dinyatakan : "…Kami menilai bahwa kebijakan Amerika saat ini yang berpusat sekitar perang di Irak merupakan yang paling salah arah sejak periode Vietnam,
yang
membahayakan
tujuan
perjuangan
melawan
teroris-teroris
69
Kedua rejim (PI dan PT) dalam kedua fase tersebut hampir tidak dapat dianggap mewakili. Hukum ini juga mengakui pemerintahan regional Kurdi sejak Maret 2003. Ia juga memberikan suku Kurdi terlalu banyak hak-hak dengan kekuasaan veto atas pembentukan konstitusi permanen. Dengan kata lain, Hukum ini tidak hanya kurang dalam segi keseimbangan yudisial untuk menciptakan demokrasi, tetapi juga tampak bias terhadap kelompok mayoritas. Sangat sulit bagi faksi-faksi Irak untuk sepakat pada sebuah Konstitusi permanen di bawah ketentuan Hukum ini. Sebagai akibat dari “situasi tidak sepakat”, Hukum ini akan terus menuntun Irak. Dengan kata lain, Hukum pasukan pendudukan akan menang. Ia akan memecah-belah masyarakat Irak untuk waktu lama. 70 http:www.detiknews.com/index.php./detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/3/time/10.55.7/idne ws/ 71 Isi surat dari kelompok non-partisan Security Scholars for a Sensible Foreign Policy yang dirilis hari Selasa (12/10/2004) waktu setempat atau Rabu (13/10/2004) WIB. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
ekstrim…,". Diimbuhkan bahwa "akibat dari kebijakan ini telah sangat negatif bagi kepentingan AS. Orang yang pertama kali berinisiatif menulis surat tersebut adalah Dr Stuart J. Kaufman, seorang profesor ilmu politik di Universitas Delaware, AS. Statemen yang dirilis menjelang pemilihan presiden AS ini dimaksudkan untuk mempengaruhi opini publik, bukan mendukung salah satu kandidat presiden AS 72. Dalam pernyataan bersama itu disebutkan bahwa pemerintah AS tidak mengirimkan cukup pasukan ke Afghanistan untuk memerangi al Qaeda, dan bahwa fokus di Irak telah mengalihkan banyak sumber daya yang dibutuhkan dari Afghanistan. Dicetuskan pula bahwa tindakan Amerika di Irak telah meningkatkan popularitas al Qaeda di beberapa negara dan menarik rekrutmen-rekrutmen baru. Pada saat ini, perdebatan di PBB berkisar tentang langkah kedaulatan yang akan dinikmati pemerintahan Irak dan kekuasaan apa, apabila ada, yang akan dimiliki berkaitan dengan aktivitas pasukan asing pimpinan AS. Amerika biasanya kurang suka menempatkan pasukannya di bawah komando asing atau internasional dan rekayasa semantik saat ini sedang berjalan yang akan memungkinkan Irak, dan para pendukungnya, menikmati perangkap kekuasaan dan pada waktu yang sama mempertahankan substansi kekuasaan di tangan AS. Terdapat penyesalan kolektif dari media barat yang telah terperdaya oleh propaganda justifikasi perang Irak, dan dunia semestinya menghargai secara publik atas sikap ini. Media Amerika khususnya sangat rentan pada paranoia yang tercipta oleh tragedi 11 September 2003 dan propaganda sukses Bush yang mengidentikkan perang melawan teror dengan Irak. Kendatipun usaha ini kurang berhasil meyakinkan
72
Demikian seperti diberitakan Associated Press, Rabu (13/10/2004).
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
negara berpengaruh di Eropa seperti Prancis dan Jerman. Akan tetapi pertanyaan \ kunci dari tragedi di Irak tetap belum terjawab : Bagaimana kekuasaan Amerika dapat dimanfaatkan untukkebaikan dunia yang lebih riil dan bagaimana Uni Eropa (UE) dan kekuatan besar lain seperti Cina dan Rusia dapat memberikan tekanan untuk menghancurkan desain imperialisme AS ? PM Inggris Tony Blair mungkin mempunyai alasannya sendiri untuk selalu mengikuti kebijakan AS, akan tetapi apabila dia berpura-pura dapat mempengaruhi kebijakan Amerika, jelas dia secara signifikan telah gagal dalam segala bidang di Irak.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi den Haag 1899 dan 1907 Sejak invasinya ke Irak tahun 2003, AS sudah membunuh lebih dari satu juta rakyat Irak. Hal ini terungkap dalam riset yang dilakukan lembaga survei di Inggris Opinion Research Business (ORB). Dalam riset yang dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 2.414 warga Irak usia dewasa, mayoritas mengakui kehilangan sedikitnya satu anggota keluarga dalam satu rumah tangga, akibat konflik dan bukan karena sebab-sebab alamiah. Dalam survei yang dilakukan sendiri oleh ORB, ditemukan fakta sekitar 1, 2 juta orang tewas. Namun survei itu belum dilakukan secara komprehensif dan belum menjangkau daerah-daerah pedalaman, sehingga jumlah itu besar kemungkinan akan lebih besar. Riset hanya dilakukan di 15 provinsi dari 18 provinsi yang ada di Irak. Provinsi yang belum diriset termasuk dua provinsi yang selama ini dikenal rawan, yaitu Kerbala dan Anbar, serta provinsi Arbil di utara karena otoritas pemerintah setempat melarang tim riset melakukan penelitian di wilayah itu. 73
73
Invasi AS bunuh lebih satu juta warga sipil Irak, diakses dari :http://english.aljazeera.net/NR/exeres/9AFAB89C-4313-4861-B592-FEFD4328F1DD.htm
situs
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Berapa jumlah pasti warga sipil di Irak yang tewas akibat invasi AS, selama ini masih menjadi kontroversi. Tahun 2004, jurnal kedokteran The Lancet menyebutkan bahwa jumlah warga Irak yang tewas selama invasi lebih dari 100.000 orang. Sedangkan Iraq Body Count memperkirakan jumlah warga sipil yang tewas antara 80 ribu sampai 88 ribu lebih, dan angka itu dipertanyakan validitasnya oleh banyak pihak termasuk oleh otoritas AS di Irak. 74 Para korban yang meninggal dunia banyak berasal dari penduduk sipil. Pembunuhan terhadap penduduk sipil ini contohnya adalah pengeboman pasar yang terjadi di pasar Irak. Menteri penerangan Irak Mohammed Sa'id al-Sahaf, menyatakan pengeboman pasar yang memakan korban sipil ini sepenuhnya merupakan kesalahan pasukan koalisi. Sementara Pusat komando Amerika di Qatar menyatakan tengah meneliti insiden ini. Sehari sebelumnya, Irak juga menyalahkan pasukan Amerika, yang menurut mereka bertanggung jawab atas ledakan di sebuah pasar lain di Baghdad. Ledakan itu menewaskan 14 warga sipil. Pentagon membantah dan menyatakan sama sekali tak pernah mengarahkan rudal ke kawasan itu. Invasi Amerika Serikat ke Irak ternyata memakan korban besar di kalangan sipil. Jumat lalu, misalnya, Pemerintah Irak menyatakan bahwa pemboman pesawat-pesawat AmerikaInggris semalam sebelumnya di Najaf menewaskan sedikitnya 26 warga sipil, sementara sorti pengeboman di atas Baghdad pada malam yang sama menewaskan tujuh orang. 75 http://www.gatra.com/2003-03-31/versi_cetak.php?id=26793 Berdasarkan data-data korban di atas, jelas bahwa invasi Amerika Serikat yang telah memakan banyak korban sipil bertentangan dengan hukum Humaniter
74
Ibid. Duduki Dulu, Demokrasi Kemudian, diakses dari situs : http://www.gatra.com/2003-0331/versi_cetak.php?id=26793, tanggal 31 Maret 2003. 75
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Internasional. Pada dasarnya para ahli internasional telah merumuskan apa yang dinamakan dengan”Declaration of Minimum Humanitarian Standard” yang berisi prinsip-prinsip manusia kekerasan
dasar yang memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi
yang dapat diberlakukan dalam berbagai situasi, termasuk di dalamnya internal
(internal
violence),
gangguan-gangguan
(disturbances),
ketegangan-ketegangan (tension) maupun dalam berbagai keadaan darurat. 76 Hal ini kemudian direalisasikan di dalam konvensi-konvensi internasional lainnya, seperti konvensi menentang penyiksaan dan perlakkuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusiawi. Jadi, dengan adanya konvensi yang bersifat internasional ini, maka penduduk sipil yang menjadi korban invasi Amerika Serikat di Irak dapat dilindungi atau setidaknya diberikan perlindungan atau rehabilitasi dengan tetap mengacu pada pernyataan hak-hak asasi manusia sedunia PBB 1948. Seperti telah diketahui bersama, konvensi Den Haag ini mengatur tentang perang yang bersifat internasional. Di mana baik dalam Konvensi Den Haag maupun Peraturan Den Haag yang mengatur hukum kebiasaan perang baik di darat tidak menetapkan dan merumuskan batasan pengertian penduduk sipil. Meskipun demikian, di dalam Peraturan Den Haag terdapat pula ketentuan-ketentuan yang mengatur orang-orang yang tidak tergolong anggota angkatan bersenjata. Di samping milisi dan barisan sukarelawan yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan baginya diberlakukan hukum hak dan kewajiban peserta leeve en messe, 77 petugas sipil, pengantar surat,78 orang-perorangan yang melanggar gencatan bersenjata, 79 penghuni 76
Ibid. Pasal 2 Peraturan Den Haag 78 Pasal 29 Peraturan Den Haag 79 Pasal 41 Peraturan Den Haag 77
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dan penduduk di wilayah yang diduduki dan sebagainya. 80 Karena bukan anggota angkatan bersenjata, mereka itu adalah pendudduk sipil menurut Konvensi Den Haag ini. Berbagai macam orang yang tidak tergolong angkatan bersenjata itu di dalam Peraturan Den Haag ini dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu mereka yang merupakan penduduk sipil yang tidak ikut serta di dalam permusuhan dan penduduk sipil yang ikut serta dalam permusuhan. Khusus bagi penduduk sipil yang tidak ikut serta di dalam permusuhan diatur di dalam Pasal 42-56 Peraturan Den Haag. Perlindungan lain yang diberikan khusus kepada penduduk sipil yang berada di wilayah yang diduduki musuh adalah berupa perlindungan terhadap korban perang sebagai akibat bahaya dari operasi militer dan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari musuh yang menguasai. 81 Adapun perlindungan yang ditetapkan itu, dalam garis besarnya adalah sebagai berikut : a. Penduduk sipil yang tidak boleh dipaksa untuk memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan yang bertikai atau tentang
perlengkapan
pertahanannya. 82 b. Penduduk sipil tidak boleh diminta untuk bersumpah setia kepada penguasa pendudukan. 83 c. Hak-hak pribadi dan harta penduduk sipil harus dihormati. 84 d. Penjarahan-penjarahan terhadap penduduk sipil dilarang. 85
80
Pasal 42-56 Peraturan Den Haag Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 81. 82 Pasal 44 Peraturan Den Haag 83 Pasal 45 Peraturan Den Haag 84 Pasal 46 jo Pasal 53 Peraturan Den Haag 85 Pasal 47 Peraturan Den Haag 81
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
e. Pengutan pajak dan pengutan lain dari penduduk sipil tidak boleh dilakukan sewenang-wenang. 86 f. Penduduk sipil tidak boleh dihukum secara umum. 87 g. Pencabutan hak penduduk sipil tidak boleh dilakukan sewenang-wenang. 88 Selanjutnya perlindungan terhadap penduduk sipil yang ikut serta dalam permusuhan, dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok : 1). Perlindungan Peserta Levee en Masse Di dalam Peraturan Den Haag peserta Leeve en Masse ditetapkan sebagai belligerent bila memiliki persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Peraturan Den Haag tersebut. Persyaratan itu adalah bahwa waktu ikut serta dalam permusuhan mereka membawa senjata secara terang-terangan dan mematuhi hukum dan kebiasaan perang. Karena ditetapkan sebagai belligerent, peserta leeve en masse itu berhak atas perlindungan yang ditetapkan bagi angkatan bersenjata, yakni bila tertangkap, berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 89
Ini berarti bahwa pada umumnya
perlindungan yang diberikan di dalam Bab II dan III Seksi I Peraturan Den Haag tersebut yang masing-masing mengatur perlindungan bagi tawanan perang serta mereka yang sakit dan terluka, berlaku bagi peserta leeve en masse itu.
2). Perlindungan Penduduk Sipil Pengantar Surat Petugas sipil pengantar surat untuk angkatan bersenjata sendiri ataupun untuk angkatan bersenjata musuh yang melakukan tugasnya secara terbuka, tidak diperlakukan sebagai mata-mata. Demikian juga petugas komunikasi lain yang 86
Pasal 48, 49 dan Pasal 51 Peraturan Den Haag Pasal 50 Peraturan Den Haag 88 Pasal 52 Peraturan Den Haag 89 Pasal 52 Peraturan Den Haag 87
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
menghubungkan bermacam bagian angkatan bersenjata atau berbagai bagian wilayah. 90 Karena tidak diperlakukan sebagai mata-mata, maka mereka itu tidak dapat pula dihukum sebagai mata-mata.
3). Pelanggar Gencatan Senjata Pelanggaran gencatan senjata dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang atau oleh orang-perorangan
atas kehendak sendiri. Pelanggaran yang
terakhir ini dapat dilakukan oleh penduduk sipil. Dalam hal demikian penduduk sipil itu dilindungi dari penyerahan dirinya kepada musuh untuk dihukum karena perbuatannya. 91 Perlindungan itu dapat karena Peraturan Den Haag membatasi hak pihak musuh sampai pula pada permintaan dihukumnya pelaku pelanggaran tersebut atau permintaan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Jika kita lihat dari perlindungan terhadap penduduk sipil yang diberikan oleh Konvensi Den Haag maupun oleh Peraturan Den Haag dapat kita tarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban invasi Amerika Serikat di Irak.
B. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi Jenewa 1949 Konferensi diplomatik yang diselenggarakan atas undangan Dewan Federal Swiss di Jenewa pada tanggal 21 April – 12 Agustus 1949, berhasil menerima empat rancangan konvensi yang diajukan oleh Komite Internasional Palang Merah
90
Pasal 29 Peraturan Den Haag
91
Pasal 40 dan Pasal 41 Peraturan Den Haag
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
(International Committee of the Red Cross) menjadi Konvensi. Keempat konvensi tersebut adalah : a). Konvensi Jenewa mengenai perbaikian keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran darat, selanjutnya disebut Konvensi Jenewea I tahun 1949. b). Konvensi Jenewa mengenai perbaikan keadaan angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam, selanjutnya disebut Konvensi Jenewa II tahun 1949. c). Konvensi Jenewa mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, selanjutnya disebut Konvensi Jenewa III tahun 1949. d). Konvensi Jenewa mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil di masa perang, selanjutnya disebut Konvensi Jenewa IV tahun 1949. Dari judul konvensi tersebut tampak bahwa Konvensi I, II, III tahun 1949 terutama berisi ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan bagi anggota angkatan bersenjata yang menjadi korban perang. Sedangkan Konvensi Jenewa IV tahun 1949 hanya berisi ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan penduduk sipil di masa perang. Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa perlindungan penduduk sipil di masa perang hanya diatur di dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949, tetapi dalam Konvensi Jenewa I, II dan III tersebut ada juga disinggung dan diatur. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 ini diatur mengenai pertikaian bersenjata yang bersifat non-internasional. Walaupun Konvensi Jenewa 1949 seperti halnya Konvensi Den Haag tidak menetapkan secara eksplisit tentang apa yang dimaksud dengan perang. Namun dalam keempat pasal kembarnya, ada ditetapkan mengenai keadaan yang merupakan syarat bagi berlakunya ketentuan tersebut. Dari ketentuan Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
yang menetapkan keadaan yang merupakan syarat bagi berlakunya konvensi itu dapat disimpulkan pengertian perang. Keadaan yang dimaksud adalah pertikaian bersenjata, yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1). Pertikaian bersenjata Internasional Pertikaian bersenjata dalam konvensi ini dimaksudkan untuk menggantikan istilah perang yang digunakan dalam konvensi-konvensi sebelumnya. Penggantian istilah itu dimaksudkan untuk menyempurnakan pengertian perang tersebut. Adapun pertikaian bersenjata internasional adalah pertikaitan bersenjata yang terjadi di antara dua negara atau dua pihak peserta agung. Jadi, pelakunya adalah negara, sehingga bersifat internasional. Untuk invasi Amerika Serikat ke Irak, jelas merupakan pertikaian bersenjata yang bersifat internasional, karena melibatkan dua negara. Namun, pertikaian bersenjata tersebut belum dapat dikategorikan sebagai perang. Seperti diketahui, bahwa gertakan Presiden Bush yang bertalu-talu sejak beberapa bulan pada tahun 2002-2003 terakhir kini benar-benar diwujudkan, yaitu dengan mengirim ribuan pasukan ke Irak untuk misi invasi ke Irak dan untuk menggulingkan kepemimpinan Saddam Husein yang diklaim oleh Bush sebagai tahap awal untuk menciptakan demokratisasi Irak. Meski sulit dipercaya oleh manusiamanusia yang bernurani, dan yang sedikit banyak menyadari betapa akan dahsyatnya penghancuran oleh Amerika Serikat itu, Irak sungguh-sungguh diserang. Umumnya media menyebut peristiwa ini secara gampangan sebagai “perang”. Faktanya, ia sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” (invasion), dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” (massacre), lantaran dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang Amerika Serikat yang berteknologi tinggi itu. Satu-satunya alasan Amerika Serikat yang dicoba dikaitkan dengan hukum dalam menyerbu Irak adalah bahwa Irak melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, yang mengharuskannya menghancurkan semua persenjataan pemusnah masalnya, termasuk nuklir, kimia dan biologi (CBW), setelah Irak mengakhiri pendudukannya atas Kuwait (1991). Kalaupun alasan yuridis-formal ini bisa dibenarkan, ia mengidap masalah. 92 Pertama, alasan pelanggaran itu tentunya harus diterapkan secara konsisten, yaitu harus berlaku pula bagi semua negara yang melanggar resolusi DK-PBB maupun semua kesepakatan internasional. Faktanya, hampir 90 buah resolusi serupa telah dan sedang dilanggar oleh sekutu-sekutu terdekat AS. Misalnya serbuan Maroko atas Sahara Barat, pendudukan Turki terhadap Siprus Utara dan, tentu saja, keganasan Israel atas Palestina dengan melanggar berpuluh-puluh resolusi Dewan Keamanan PBB maupun Majelis Umum PBB dalam 25 tahun terakhir. Semua tindakan itu masih berlangsung sampai hari ini. Kalapun benar Irak memiliki senjata nuklir, dan jika pemilikan ini harus dihukum, maka tentunya yang juga harus dihukum paling sedikit adalah India, Pakistan, Korea Utara dan Israel. Mereka semua memiliki nuklir, dengan melangggar perjanjian non-proliferasi (NPT), yang membatasi pemilikan nuklir hanya pada negara-negara besar yang disebut “The Nuclear Club”. 93
92
Harja Syaputra, Invasi Amerika Serikat ke Irak, http://harjasaputra.wordpress.com/2007/05/19/irak-pasca-perang-3/ 93 Ibid.
diakses
dari
situs
:
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Kedua, serbuan Amerika Serikat terhadap Irak inilah yang sudah pasti melanggar aturan main internasional, sebab menurut Pasal 41 dan 42 Piagam PBB, tiada satu pun negara anggota yang berhak menerapkan resolusi apapun secara militer kecuali telah diputuskan oleh Dewan Keamanan bahwa memang telah terjadi pelanggaran material atas resolusi tersebut.94 Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan juga harus memutuskan sebelumnya bahwa semua cara nonmiliter memang telah diupayakan tapi tidak mempan, dan Dewan Keamanan PBB pula yang harus memberi wewenang untuk menggunakan cara militer. Faktanya, sampai sidangnya yang terakhir bulan lalu, Dewan Keamanan PBB tak juga memberi wewenang itu, meski AS sudah berupaya habis-habisan meyakinkan siding termasuk dengan memanipulasi data bahwa Irak memang sungguh-sungguh memiliki senjata-senjata pemusnah massal itu. Mekanisme itulah yang ditempuh pada November 1990 (di masa kekuasaan Bush Senior), ketika Dewan Keamanan PBB menerapkan resolusi 678 sebagai respon terhadap pendudukan Irak atas Kuwait, suatu tindakan yang melanggar sejumlah resolusi yang dikeluarkan pada Agustus 1990 yang mendesak Irak agar segera mundur dari negeri mini itu. Irak akhirnya menaati resolusi ini pada Maret 1991. Tentu saja ia sekarang bisa diperdebatkan: Apakah resolusi itu masih boleh dianggap berlaku pada tahun 2003, ketika pokok masalahnya sangat berbeda? Amerika Serikat pun sepenuhnya mengerti aturan main ini. Itu sebabnya, sejak semula ia berusaha keras memperoleh persetujuan Dewan Keamanan PBB, yang oleh Presiden Bush tak hentihentinya dipuji dan dia nyatakan bahwa dia menghormati lembaga terpenting PBB ini. Tapi ketika makin terlihat gejala Dewan Keamanan PBB akan menolaknya, Bush
94
Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
mulai berbalik dan menggertak bahwa Amerika Serikat akan tetap menyerang Irak secara unilateral kalaupun DK tak menyetujuinya. Dan ketika Dewan Keamanan PBB benar-benar menolaknya, Amerika Serikat sunguh-sungguh membombardemen rakyat Irak. 95 Dengan aksi ilegalnya ini, Amerika Serikat yang berdalih ingin “mengubah rezim” Baghdad dan membidik Presiden Saddam Hussein (seraya tahu pasti bahwa korban-korban utamanya adalah rakyat sipil Irak) secara serius melanggar prinsip keamanan kolektif dan kewenangan PBB serta membuka lebar pintu bagi anarki internasional. Tindakan ini merupakan aksi unilateral pertama dalam sejarah PBB. 2). Pertikaian bersenjata non-Internasional Pertikaian bersenjata yang bersifat non-internasional diatur di dalam 3 (tiga) pasal kembar Konvensi Jenewa tahun 1949. Sesuai dengan ucapan salah satu delegasi dalam konferensi Jenewa tahun 1949, pasal itu sering disebut sebagai suatu Konvensi Kecil (Convention in Miniature), karena merupakan salah satu pasal yang mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949, karena merupakan salah satu pasal yang mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949. 96 Adapun yang dimaksud dengan pertikaian bersenjata non-internasional dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 ialah pertikaian bersenjata yang terjadi dalam wilayah salah satu pihak peserta agung. Perumusan yang singkat ini memberikan pengertian yang sangat umum, karenanya wajar jika dikhawatirkan oleh para utusan dalam konferensi penetapan konvensi itu bahwa perumusan itu nantinya akan diartikan 95 96
Ibid. Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 23-24.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
mencakup setiap bentuk tindakan yang dilakukan oleh setiap kekuatan bersenjata seperti pemberontakan atau gerombolan/berandalan. Oleh karena itu, perlu diadakan pembatasan tentang pertikaian bersenjata non-internasional tersebut. Untuk mendapatkan pembatasan tersebut, kiranya pendapat J. Pictet, dapat digunakan sebagai pegangan. Dalam hal pembatasan pengertian itu, Pictet berpendapat bahwa pertikaian bersenjata non-internasional dalam Pasal 3 Konvensi Kembar tersebut haruslah diartikan sebagai pertikaian bersenjata yang pihak-pihaknya bertikai dengan mempergunakan angkatan bersenjata.97 Ringkasnya, pertikaian yang dalam banyak seginya menyerupai perang internasional, tetapi terjadi dalam satu wilayah negara. Perumusan J. Pictet ini bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949, tampak menambah persyaratan bagi pertikaian bersenjata non-internasional yang telah ditetapkan oleh konvensi tersebut. Pasal kembar itu kiranya hanya menetapkan satu persyaratan, yakni persyaratan wilayah. Pertikaian bersenjata yang ditetapkan itu adalah pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam satu wilayah negara peserta konvensi. Pictet menambahkan satu persyaratan lagi bagi pertikaian itu, yakni persyaratan dengan menggunakan angkatan bersenjata oleh pihak-pihak yang bertikai. 98 Selanjutnya perlindungan penduduk sipil yang diatur di dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 adalah perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang, yaitu : 1. Perlindungan Umum (General Protection against The Effect of Hostilities). 97
J. Pictet, Commentary IV Geneva Convention, seperti dikutip oleh F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, hal.37 98 Ibid. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1949, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam hal keadaan perang, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh diberlakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 27-34, yaitu : a). melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan. b). melakukan tindakan yang menimbulkan pendertaan jasmani. c). menjatuhkan hukuman secara kolektif. d). melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan. e). melakukan pembalasan. f). menjadikan mereka sebagai sandera. g). melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. Dengan demikian besarnya perhatian yang diberikan oleh Konvensi Jenewa 1949 untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerahdaerah keselamatan (safety zone), dengan persetujuan bersama antara pihak-pihak yang
bersangkutan. 99 Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan
terhadap akibat
perang, yaitu orang yang terluka dan sakit, lemah, perempuan yang memiliki anakanak balita, lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :
99
Pasal 14 Konvensi Jenewa IV tahun 1949.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
a). daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diiperintah oleh negara yang mengadakan. b). daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu. c). daerah-daerah itu harus jauh letakknya dan tidak ada hubungan dengan segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan administrasi yang besar. d). daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut perkiraan dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan. Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi, perlakuan khusus yang harus diberikan terhadap anak-anak, para pihak yang bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu atau terpisah dari orangtua mereka. Perlakuan khusus terhadap anak-anak yang diatur dalam Pasal 77 Protokol I. Menurut Protokol I tahun 1977, anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan yang dibutuhkan sesuai dengan usia mereka. Mereka tidak boleh didaftarkan menjadi angkatan perang sebelum usia 15 tahun, dan jika sebelum usia tersebut mereka terlibat langsung dalam peperangan, maka apabila tertangkap, mereka harus menerima perlakuan khusus sesuai dengan usia mereka, dan terhadap mereka yang tertangkap sebelum usia 18 tahun, serta tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, yaitu : 1). Orang asing di wilayah pendudukan. Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di dalam wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara mana mereka berdiam. Berdasarkan Pasal 35 Konvensi IV, mereka harus diberi izin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan tersebut dipertimbangkan kembali. Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (hukum perang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia terhadap mereka harus dijamin. Oleh karena itu, mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan dan sebagainya.
2). Orang yang tinggal di wilayah pendudukan. Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa pendudukan (occupaying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki musuh berlaku (secara de jure) walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah penguasa pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka pemerintah daerah di wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala. Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya, misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk penguasa pendudukan, tidak boleh dipaksa Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpulan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkna tugas-tugasnya. Penguasa pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk. 100 Apabila penguasa pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut, maka mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri sesuai dengan Pasal 59-61 Konvensi Jenewa IV tahun 1949.
3). Interniran Sipil Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur di dalam Seksi IV, Pasal 79-135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan daapt dilakukan apabila terdapat alas an keamanan yang riil dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakikatnya bukan merupakan suatu hukuman, hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. 101 Oleh karena itu, walalupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka. 102 Selanjutnya para interniran itu tidak boleh ditempatkan dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Setelah permusuhan berakhir, para interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara mereka.
100
Pasal 50 Konvensi Jenewa IV tahun 1949. Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 22. 102 Pasal 80 Konvensi Jenewa IV tahun 1949. 101
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
2. Perlindungan Khusus Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil.
C. Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977 Protokol Tambahan Kovensi Jenewa yang mengatur mengenai
sengketa
bersenjata internasional adalah Protokol Tambahan I tahun 1977 yang judul aslinya adalah Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protecting of Victims of International Armed Conflict. Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa tahun 1949. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, yaitu ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Common Article. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat internasional. Pasal 2 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa konvensi ini berlaku dalam hal : 1). Perang yang diumumkan.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
2). Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui. Dalam hal ini invasi Amerika Serikat ke Irak masuk dalam kategori ini. Karena senjata ini banyak dikualifikasikan oleh berbagai pihak bukan sebagai perang walaupun ada sebuah kenyataan sebuah konflik bersenjata sedang terjadi. 3). Pendudukan sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Dalam invasi Amerika Serikat ke Irak walaupun perlawanan Irak tidak seimbang, namun tetap terjadi perlawanan. Faktanya, pertikaian bersenjata yang terjadi di Irak tersebut sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad. Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” (invasion), dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” (massacre), lantaran dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang AS yang berteknologi tinggi itu Di samping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol Tambahan I tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip
Hukum Internasional mengenai hubungan
bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 103
103
ICRC, Op.cit, hal. 133-134.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Dimasukkannya situasi-situasi baru tersebut (colonial domination, alien occupation dan racist regimes) yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflicts ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan suatu perkembangan baru yang cukup revolusioner terhadap Konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bahwa menurut Konvensi Jenewa yang dimaksud konflik bersenjata internasional
adalah konflik yang terjadi antar negara. Tetapi dengan adanya
perkembangan baru di dalam Protokol I, maka pengertian konflik bersenjata yang bersifat internasional menjadi lebih luas lagi, yakni tidak hanya meliputi konflik antar negara tetapi juga mencakup apa yang disebut dengan CAR Conflik tersebut. Adapun yang dimaksud dengan CAR Conflict dalam Protokol I tersebut adalah konflikkonflik yang berkaitan dengna upaya untuk menentukan nasib sendiri (Right to SelfDetermination). 104 Di samping itu, dalam Protokol Tambahan I ini terdapat juga beberapa ketentuan pokok yang menentukan, antara lain : 105 a. Melarang : serangan yang membabi buta dan reprisal (pembalasan) terhadap : (1). penduduk sipil dan orang-orang sipil; (2). obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; (3). benda-benda budaya dan tempat religius; (4).bangunan dan instalasi berbahaya; (5). lingkungan alam.
104
Ibid. Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam Hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 12. 105
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
b. Memperluas : perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer. c. Menentukan : kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (missing persons). d. Menegaskan : ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan militer (relief supplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil. e. Memberikan : perlindungan terhadap
kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan
sipil. f. Mengkhususkan : adanya tindakantindakan yang harus dilakukan oleh negaranegara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter. Pelanggaranpelanggaran terhadap ketentuan sub (a) tersebut di atas, dianggap sebagai pelanggaran berat hukum humaniter dan dikategorikan sebagai kejahatan perang (wars crimes). Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dikenal istilah grave breachers. Dalam Konvensi Geneva (IV) tahun 1949, grave breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional dalam hubungannya dengan istilah ”orang-orang yang dilindungi” (the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau domestik (Psl 4 Jo. Psl 147 Konvensi Geneva IV). Sementara yang dimaksud sebagai ”the protected persons” adalah ”… mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan, berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya”.Penggunaan terminologi ”the protected Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
person” di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Jenewa. Maksudnya meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan II Konvensi Geneva dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai ”the protected persons”. 106 Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut. Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukkan para korban sipil dalam konflik internal sebagai ”the protected persons”. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal for Former Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia termasuk ”orang orang yang dilindungi” dari kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting dalam pengklasifikasian ”orang-orang yang dilindungi” bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap korban korban tersebut. 107 ”Kelemahan” Konvensi Jenewa., tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus meningkat. Konflik internal Yugoslavia serta Genoside di Rwanda barangkali dapat disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketentuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya, dengan jelas menegaskan mengenai otoritas jurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Jenewa., serta protokol tambahannya (Protokol Tambahan II). Ini 106 107
Andrey Sudjatmoko, Op.cit, hal. 15. Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
merupakan kali pertama di mana pelanggaran atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan selama konflik internal, dikriminalisasikan dalam sebuah instrumen hukum internasional. Hal yang sama juga terjadi pada peradilan bekas Yugoslavia, di mana dalam persidangan kasus Tadic, pengadilan secara jelas menegaskan bahwa kasus tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Seakan tak puas dengan pola-pola precedent dalam bentuk keputusan peradilan, kriminalisasi kejahatan perang dalam sebuah konflik internal akhirnya dikukuhkan dunia internasional dalam sebuah statuta yang kita kenal sebagai Statuta Roma (Pasal 8 (2) (c ) ). Untuk itu Statuta Roma boleh disebut sebagai upaya penyempurnaan Konvensi Jenewa. 108
D. Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak Ratapan dan isak tangis bangsa Irak tidak lagi bisa mengeluarkan air mata tapi sudah mengeluarkan air mata darah. Bila bangsa Irak telah sampai pada batas kesabaran dan berkata “Ini sudah cukup”. Maka Irak mulai membara, seperti yang kita saksikan minggu-minggu ini. Kota Fallujah bergolak, disusul Najaf, Ramadi, Sadr City, Baghdad. Juga kemudian kota-kota lain seperti Nassiriya, Anbar, Amara, Karbala, Kut, Kirkuk, Baquba dll. Pertempuran menggoncang Irak dari utara sampai ke selatan. Bangsa Irak sudah bangkit. Sejarah selalu ingin berulang, tidak ada satu bangsapun yang mau menyerah begitu saja kepada penjajah. Dari semula, pembantaian rakyat Irak ini tidak mempunyai legitimasi sama sekali bagi pihak agresor dan penjajah. Sejak setahun yang lalu, saat presiden George 108
J. Supoyo, Hukum Perang di Udara dalam Hukum Humaniter, Gunung Agung, Jakarta, 1996, hal. 20. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
W. Bush memerintahkan invasi ke Irak. Sejak bulan Maret 2003, saat operasi militer Amerika dan koalisinya dengan sebutan Operation Iraq Freedom, terungkap dengan nyata bahwa itu adalah peperangan yang tidak perlu. Alasannya, pemerintah Saddam Husein tidak terbukti menjadi ancaman Amerika dan negara-negara teluk lainnya. Irak tidak terbukti mengembangkan dan memiliki senjata pemusnah masal, apalagi senjata nuklir. Bangsa Irak tidak terbukti ada hubungan dan menyokong terorisme internasional. Irak sudah menerima hukumannya karena menyerbu Kuwait, berupa embargo internasional selama 13 tahun, yang berakibat timbulnya bencana mengerikan yang menimpa berjuta-juta anak-anak Irak.Angkatan Bersenjata Irak telah hancur. Selama embargo, Amerika dan koalisinya dengan semena-mena mengebom wilayah Irak dengan menggunakan pesawat tempur mereka tanpa ada perlawanan. Belum lagi dampak yang sangat mengerikan karena penggunaan persenjataan dengan kandungan depleted uranium (DU); berupa kontaminasi partikel debu radioaktif yang bisa menyebabkan kanker, cacat lahir dan perubahan genetika lainnya bagi bangsa Irak dan generasi sesudahnya. 109 Jadi, apa alasan yang mendasar bagi Amerika dan koalisinya menggempur dan menduduki Irak? Tidak ada sama sekali. Legitimasi peperangan ini hanya berdasarkan pada kebohongan dan data inteligen yang menyesatkan. Bukan hanya kebohongan kepada Kongres Amerika dan publik Amerika saja, tapi juga kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sungguh suatu pembodohan global yang sangat hebat. Dan setelah bencana ini berlangsung sekian lama, fakta-fakta nyata berbicara dan kebohongan-kebohongan Amerika dan koalisi terungkap; tak satupun pemerintahan yang berani angkat bicara dan bertindak, PBB demikian juga. Hanya menyaksikan 109
Krisnadi Yuliawan, Invasi Amerika Serikat ke http://www.gatra.com/2003-03-31/versi_cetak.php?id=26793, hal. 1.
Irak
dan
Legitimasinya,
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
dan diam. Bahkan korban jiwa rakyat Irak yang tidak berdosa, yang mencapai hitungan 10.000 jiwa tidak menjadi perhatian sama sekali. Tapi kalau timbul korban 1 tentara Amerika dan koalisi, langsung menjadi headline media masa di seluruh dunia. Maka jangan terkejut, kalau bangsa Irak marah. Marahnya suatu bangsa, tidak saja mampu membakar dan membantai empat orang tentara bayaran Amerika, tapi mampu menghanguskan lembah subur sungai Euphrat dan Tigris, bahkan seluruh wilayah Irak. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. Itulah, saya pikir, penjelasan yang masuk akal atas bangkitnya perlawanan bangsa Irak belakangan ini terhadap aksi pendudukan
Amerika dan koalisinya. Sepintas, rentetan peristiwa-peristiwa
sebelumnya, yaitu pembantaian mengerikan yang menimpa 4 orang tentara bayaran Amerika di Fallujah dan usaha penangkapan seorang ulama muda syiah Moqtada AlSadr atas tuduhan pembunuhan rivalnya; menjadi sebab utama meletusnya perang perlawanan. Tapi dua hal itu hanyalah pemicu bangkitnya perlawanan, seperti yang saya jelaskan sebelumnya akar permasalahan sebenarnya bukanlah itu. Sungguh suatu hal yang janggal, Amerika begitu serius dan sangat berkeinginan untuk menangkap seseorang dengan tuduhan pembunuhan kriminal biasa. Bagaimana dengan pembunuh-pembunuh yang ada di dalam pasukan Amerika dan koalisi, yang telah membantai rakyat Irak tak berdosa, setelah terbukti secara nyata bahwa penyerangan itu tidak sah. Dengan mengamati fakta-fakta pada pemberitaan selama ini dan sedikit analisa, sebenarnya rakyat Irak tidak begitu menghendaki kehadiran Amerika di tanah Irak, tidak ada sambutan yang gegap gempita, sorak sorai dan senyuman penyambutan serta kalungan bunga. Kemudian diperparah oleh tindakan pasukan dan politisi Amerika yang arogan. Kegagalan Amerika dalam mendekati dan mengambil hati
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
rakyat Irak, juga memberikan kontribusi. Dan yang terakhir adalah kesombongan Amerika sebagai negara adidaya dan penjajah. 110 Sebaliknya bagi bangsa Irak, perlawanan yang dilakukan mempunyai landasan dan legitimasi yang cukup kuat. Bangsa mana yang mau dijajah, bangsa mana yang mau dihina dan diinjak-injak kehormatan dan kedaulatannya. Bangsa mana yang mau diperlakukan sebagai bangsa inverior oleh bangsa lain. Kecuali orang yang kurang waras dan tidak mempunyai harga diri lagi. Peperangan akibat perlawanan rakyat Irak telah meluas ke hampir seluruh kota-kota penting Irak. Kelompok Mujahidin Sunni memulai dari Fallujah, kemudian menjalar ke Irak Tengah dan Utara. Sedangkan kelompok Pasukan Mahdi Syiah, yang dipimpin oleh Al-Sadr, yang disebut juga Pasukan Jubah Hitam, memulainya dari Najaf dan menjalar ke Irak Tengah dan Selatan. Laporan Al-Jazeera, yang mengutip pernyataan para Mujahidin Sunni Fallujah, bahwa kelompok Mujahidin mendukung sepenuhnya perlawanan yang dikobarkan oleh pasukan Al-Sadr. Sejak berkobarnya perlawanan rakyat Irak, sampai saat ini, telah jatuh korban di pihak Irak sebanyak 400 orang sahid dan ribuan terluka. Dari pihak Amerika dan koalisinya telah tewas sebanyak 50 orang. Sementara itu, jumlah korban peperangan di pihak Irak secara keseluruhan mencapai 50.000 orang (termasuk 10.638 korban rakyat sipil), korban di pihak Amerika dan koalisi total 750 orang (korban tentara Amerika 650 orang).111 Membicarakan perang Irak dan korban-korban terutama yang menimpa penduduk sipil, jelas bertentangan tidak hanya dengan Hukum Humaniter Internasional, namun yang pasti bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. 110 111
Ibid. Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Pada dasarnya Declaration of Human Rights, atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, banyak mengandung prinsip-prinsip
dasar mengenai
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang di Irak dapat diterapkan. Di dalam mukaddimah dijumpai pernyataan dunia tentang hak-hak asasi manusia mempertimbangkan beberapa hal, antara lain : a). bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian dunia. b). bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati kemanusiaan, terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan, kebebasan berbicara, agama dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat jelata. c). bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan. d). bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan sekali lagi dalam Piagam Kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang manusa dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan memajukan kemajuan sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
e). bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan yang benar dari janji ini. Selanjutnya mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil ini dapat dilihat juga dalam Konvensi yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Dimana sebenarnya peraturan-peraturan ini dapat diterapkan untuk melindungi penduduk sipil yang menjadi korban dalam konflik bersenjata di Irak, sebab latar belakang dilaksanakannya Konvensi ini adalah untuk dapat menjadikan lebih efektif perjuangan menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia. Selanjutnya di dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia bagi Umat Islam yang dideklarasikan pada tanggal 5 Agustus 1990, Pasal 3 menyatakan bahwa dalam konflik bersenjata, tidak diperkenankan untuk membunuh orang yang tidak bisa melawan seperti orang tua, perempuan dan anak-anak. Orang yang terluak dan sakit berhak utnuk mendapatkan perawatan medis, dan tawanan perang mempunyai hak untuk diberi makan, naungan dan pakaian, serta larangan untuk merusak tubuh orang yang sudah mati. Mengenai Genocida, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocida, tanggal 9 Desember 1984 Pasal 2 dengan jelas menyatakan bahwa perbuatan membunuh para anggota kelompok, menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok, dan dengan paksa mengalihkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain dapat digolongkan pembantaian massal yang Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
amat dicaci, sedangkan bagi anak-anak khususnya dapat diterapkan Konvensi PBB mengenai Hak Anak (Convention of The Right of Child). Pertanggungjawaban terhadap korban yang berasal dari penduduk sipil dalam invasi Amerika Serikat ke Irak adalah dengan diadbentuknya pengadilan HAM yang permanent yang diberlakukan bagi para penjahat perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan dimaksud adalah International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Walaupun selama ini pengadilan sejenis pernah ada, namun sifatnya hanya pengadilan ad hoc, misalnya pengadilan di Yugoslavia dan Ruwanda, dimana sampai pada tahun 2000 belum sampai 60 negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Untuk invasi Amerika Serikat yang direncanakan dengan persiapan yang matang oleh Presiden Bush, dapat diberlakukan ketentuan ini. Yang juga mesti diingat, invasi ke Irak bukanlah rencana mendadak. Ide ini sudah muncul secara serius dalam surat terbuka Project for the New American Century, sebuah kelompok pemikir kaum konservatif, yang ditujukan untuk Presiden Clinton pada Januari 1998. Kumpulan pemikir utama kaum konservatif ini memperingatkan Clinton bahwa strategi containtment (pembendungan) untuk Irak telah gagal total. "Maka sekarang, menyingkirkan Saddam dari tampuk kekuasaan harus menjadi tujuan dari politik luar negeri Amerika," demikian tertulis dalam surat yang ditandatangani 18 pemikir konservatif itu. 112 Lima sebelum melakukan invasi, 18 nama yang menandatangani surat itu cuma mantan pejabat pemerintahan Partai Republik Ronald Reagan yang berkiprah di pusat studi maupun lingkungan akademik. Tapi kini, separuh dari 18 penandatangan
112
Krisnadi Yuliawan, Op.cit, hal. 2.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
itu punya posisi penting dalam pemerintahan Bush. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, deputinya, Paul Wolfowitz; dua pejabat penting Departemen Luar Negeri Richard Armitage dan John Bolton, serta Elliot Abrams, sekarang pejabat penting Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Bahkan, sebelum muncul surat yang diserahkan pada Presiden Clinton pada 1998 itu, ide mengubah rezim Baghdad sudah lama ada. Pada 1996, Richard Perle yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua Dewan Kebijakan Pertahanan Amerika-- mengirimkan sebuah memo untuk Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu. Perle seorang penganut garis kerasmengusulkan untuk mengganti Saddam Hussein dengan Hussein, Raja Yordania masa itu, sebagai bagian dari rencana memperkuat Israel. Perle mencoba merancang perubahan yang bisa mengamankan "jalan-jalan dan perbatasan" Israel lewat revolusi paksa di dunia Arab. Surat Perle ini juga disampaikannya kepada Presiden Clinton. 113 Doktrin preemption (duduki lebih dulu) belakangan memang tengah naik daun di Amerika, terutama setelah serangan 11 September ke menara kembar World Trade Centre, New York. Doktrin yang telah mewujud dalam invasi militer Amerika ke Irak ini, jelas mengkhawatirkan dunia. Sebab tentu ada kemungkinan nafsu agresi Amerika tak hanya berhenti di Irak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, di dalam artikel 7 Statuta Tribunal untuk negara bekas Yugoslavia menyatakan bahwa pertanggung jawaban dalam pelanggaran HAM bersifat individual. Ayat pertama artikel 7 tersebut menyebutkan, siapapun orang orang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan melakukan atau hal-hal yang lain yang membantu dan bersekongkol dalam merencanakan
113
Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
persiapan atau pelaksanaan kejahatan seperti yang tersebut dalam artikel 2 sampai artikel 5 pada statute tersebut, seperti genocida, crime against humanity, violation of the law or custom of war, harus bertanggung jawab secara individu terhadap kejahatan yang dilakukannya. Ayat kedua menyebutkan, posisi/jabatan resmi untuk semua tersangka apakah kepala negara atau kepala pemerintahan atau sebagai pejabat pemerintahan resmi yang bertanggung jawab tidak bisa membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya ataupun yang mengurangi hukuman. 114
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat
dikemukakan dalam
skripsi ini adalah sebagai
berikut : 1. Perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi
korban
dalam invasi
Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional, adalah : dapat diterapkan. Perlindungan terhadap penduduk sipil yang notabene bukan merupakan sasaran perang, dapat diberikan oleh Hukum Humaniter Internasional, yaitu dengan penerapan Konvensi Den Haag 1887 dan Konvensi Den Haag 1907 maupun Konvensi Jenewa tahun 1949 dengan Protokol Tambahan I tahun 1977 yang khusus mengatur perlindungan korban dalam pertikaian senjata yang bersifat internasional. 114
Djaka Sugiarta, Pelaku Pelanggaran HAM Bertanggung jawab Secara Individu, Harian Mimbar Umum, Edisi Kamis, 2 Maret 2000, hal. 6. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
2. Penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak dapat diberlakukan. Walaupun banyak pihak yang menyatakan bahwa secara de facto pertikaian bersenjata di Irak belum dapat dikategorikan sebagai perang, dengan kondisi pertikaian senjata yang tidak berimbang antara Irak dan Amerika Serikat, namun dengan melihat pertikaian senjata dimana armada perang Amerika Serikat termasuk peralatan perang dan para prajuritnya maka Invasi Amerika Serikat di Irak sudah dapat dikategorikan sebagai perang. Hukum Humaniter dapat diterapkan untuk invasi Amerika Serikat ke Irak, baik itu Konvensi Den Haag 1887 dan Konvensi Den Haag 1907 maupun Konvensi Jenewa tahun 1949 dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang juga mengatur sarana dan tata cara dalam berperang. 3. Perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi
korban
dalam invasi
Amerika serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia adalah dengan menerapkan apa yang telah tertera di dalam : a). Declaration of Human Rights, atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia. b). Konvensi yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984. c). Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia bagi Umat Islam yang dideklarasikan pada tanggal 5 Agustus 1990, Pasal 3 menyatakan bahwa dalam konflik bersenjata, tidak diperkenankan untuk membunuh orang yang tidak bisa melawan seperti orang tua, perempuan dan anak-anak. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
d). Mengenai Genocida, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocida, tanggal 9 Desember 1984 Pasal 2 dengan jelas menyatakan
bahwa perbuatan membunuh
para anggota kelompok,
menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok, dan dengan paksa mengalihkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain dapat digolongkan pembantaian massal yang amat dibenci.
B. Saran-Saran Saran-saran yang dapat
dikemukakan dalam
skripsi ini adalah
sebagai
berikut : 1. Badan dunia khususnya PBB PBB diharapkan dapat berperan aktif tidak saja dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, tetapi juga dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi global di kalangan anggota PBB khususnya dalam proses
pengambilan keputusan di lembaga-lembaga PBB, sehingga
Amerika Serikat tidak lagi mendominasi berbagai keputusan di dalam tubuh PBB. 2. PBB hendaknya dapat berperan lebih aktif lagi, khususnya dalam upaya penerapan hukum Humaniter Internasional dalam rangka melindungi, termasuk di dalamnya memberikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada para rakyat yang menjadi korban pertikaian senjata di Irak. 3. Dunia internasional kiranya perlu membentuk satu badan yang sifatnya independen yang khusus bertugas untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, sehingga para korban dapat mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU-BUKU Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003. Ahmad Sudirman, Bush ingin rebut sumber minyak Saddam, Xaarjet, Stockholm Swedia, 4 Januari 2003. Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Elba Damhuri, Dibalik Invasi Amerika Serikat ke Irak, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003. F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1999. Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997. Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002. GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984. -------------------------, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988. -------------------------, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. H.A. Masyhur Effendi, Hukum Humanier Internasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1994. International
Committee
of
the
Red
Cross
(ICRC),
Pengantar
Hukum
Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28, Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979. ------------------------------, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
Supoyo, Hukum Perang di Udara dalam Hukum Humaniter, Gunung Agung, Jakarta, 1996.
2. INTERNET A. Fatih Syuhud, Taktik Divide et Impera AS di Irak, Waspada Online, 04 Mei 2004. A. Fatih Syuhud, Ambisi Amerika dan Realitas Dunia Multipolar, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University of India, Waspada Online, 24 Juni 2004. Duduki Dulu, Demokrasi Kemudian, diakses dari situs : http://www.gatra.com/200303-31/versi_cetak.php?id=26793, tanggal 31 Maret 2003. Harja
Syaputra,
Invasi
Amerika
Serikat
ke
Irak,
diakses
dari
situs
:
http://harjasaputra.wordpress.com/2007/05/19/irak-pasca-perang-3/ http:www.detiknews.com/index.php./detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/3/time/ 0.55.7/idnews http://www.cnn.com/2003/WORLD/meast/01/02/sproject.irq.inspections/index.html. Friday, Januariy 3, 2003. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/13/time/105 57/idnews/223507/idkanal/10, 9 April 2003, suara pembaharuan.online. http://www.cnn.com/2003/WORLD/meast/01/02/sproject.irq.inspections/index.html Invasi AS bunuh lebih satu juta
warga
sipil Irak, diakses dari situs
:http://english.aljazeera.net/NR/exeres/9AFAB89C-4313-4861-B592 http://www.detik.com/peristiwa/2003/01/03/20030103-110350.sthtml. Krisnadi
Yuliawan,
Invasi
Amerika
Serikat
ke
Irak
dan
Legitimasinya,
http://www.gatra.com/2003-03-31/versi_cetak.php?id=26793 Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009
3. SURAT KABAR / MAJALAH Djaka Sugiarta, Pelaku Pelanggaran HAM Bertanggung jawab Secara Individu, Harian Mimbar Umum, Edisi Kamis, 2 Maret 2000. Hartono Ruslam DES, Demokratisasi dan Restrukturisasi DK PBB, Harian Republika, Jumat 24 Oktober 2004. Majalah Mingguan Gatra, Jakarta, edisi 5 April 2003. Harian Kompas, Jakarta, edisi Minggu 13 April 2003.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009