TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA (STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH)
TESIS
Oleh
BUDI HERMANTO 087011004/MKn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA (STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
BUDI HERMANTO 087011004/MKn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA (STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH) : Budi Hermanto : 087011004 : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum) Anggota
(Notaris Syahril Sofyan,SH,MKn) Anggota
Ketua Program Studi,
Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
(Prof.Dr.Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 22 Desember 2009 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Telah diuji pada Tanggal : 22 Desember 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota
:
1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
ABSTRAK Bencana tsunami dan gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan dahsyat dan kematian dalam jumlah yang sangat besar sehingga banyak fasilitas umum termasuk perumahan warga yang hancur akibat bencana tersebut. Bencana tersebut juga menyebabkan banyak tanah yang ada di Aceh kehilangan tapal batasnya termasuk kepemilikan hak atas tanah tersebut sehingga menimbulkan permasalahan pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak dalam hal ini pihak penyewa yang ada dikampung jawa belum lagi permasalahan pembangunan perumahan warga yang hancur karena bencana tersebut, untuk itu dibutuhkan percepatan rekonstruksi di Aceh agar Aceh dapat pulih seperti sediakala. Sehingga dibentuklah BRR untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi atas perumahan warga yang terkena bencana. Atas permasalahan pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak atau penyewa yang terjadi di kampung jawa tersebut itu dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah diantara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, untuk itu perlunya suatu tinjauan hukum atas pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh penyewa. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran secara jelas dan terperinci semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yangada sekarang yang berkaitan dengan problematika pengakuan kepemilikan atas tanah hak milik di kampung jawa, Banda Aceh. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang menghubungkan peraturan-peraturan hukum dengan data dan prilaku serta kebiasaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan yaitu dengan pihakpihak yang terkait dengan pelaksanaan tindakan hukum tersebut, sedangkan dalam pendekatan yuridis normatif diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa di kampung jawa meskipun dilakukan dibawah tangan tanpa melibatkan pejabat yang berwenang untuk itu, sudah cukup kuat karena perjanjian sewa menyewa tersebut mengikat para pihak yang membuat perjanjian itu, dan perjanjian sewa menyewa tersebut juga sesuai dengan syarat sahnya perjanjian menurut peraturan perundangan yang berlaku. BRR merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana sesuai dengan Perpu nomor 2 tahun 2005 yang telah disahkan menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2005, BRR hanya akan melakukan pembangunan rumah diatas tanah warga yang terkena bencana apabila diatas tanah tersebut tidak ada sengketa dan apabila dikemudian hari muncul sengketa diatas tanah yang sedang berjalan proses pembangunannya maka BRR dengan segera menghentikan pembangunan rumah tersebut sampai sengketa diatas tanah tersebut dapat diselesaikan. Penyelesaian sengketa sewa menyewa antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa yang terjadi di kampung jawa itu dilakukan dengan cara mediasi yang difasilitasi oleh LBH Banda Aceh, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini. Kata kunci : Tinjauan Hukum, Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penyewa Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
ABSTRACT The tsunami and earth quake that happened in Aceh causeda considerable damage and kliled a great number of people. A lot of public facilities including the residents’houses were ruined as well because of the disaster. The disaster also damage many land boundaries so that many landowners could no longer identify their lands. The loss of the land boundaries caused a problem. Many tenants from Kampung Jawa claimed that the lands belonged to them. Another problem was the reconstruction of the residents’ damage houses. Therefore the rekonstruction should be accelerated so that Aceh would recover. In response to it rehabilitation and reconstruction body (BRR) was established to rehabilitate and reconstruct the residents’ damage houses. The problem of claims for landownership by the tenants happening at Kampung Jawa could be solved through negotiation between the land owners and the tenants. In relation to the problem a legal review was needed. This is also a descriptive analysis which showed all symptoms and facts clearly and in detail and to analyse the land claims of the tenants at Kampung Jawa, Banda Aceh. While the approaches applied were juridical – empirical and juridical – normative. Juridical – emperical approach is one which relates rules and data, acts and habits which flourish in the society. The data were directly collected from the field that is from the parties involved in the performance of the legal action while the juridical – normative approach is one which refers to legal norms contained in the legal regulations. The legal strength of renting made by the landowners and the tenants at Kampung Jawa was strong enough although it was made without being participated by the authorized officials because the agreement had bound both parties. It was also suitable with the legal requirement or regulations. BRR is an institution established in order to acceleratethe rehabilitation and reconstruction of the regions after the disaster. It was basedon the regulation number 2 of 2005 which had been legalized to become regulation number 10 of 2005. The BRR build the houses only on the lands of the citizens damage by the natural disaster and when the land was free from a legal dispute. When later on a dispute arised about the land on which the process of construction was going on, the BRR would immediately stop the reconstruction until the dispute was solved. The settlement of the dispute between the landowners and the tenants at Kampung Jawa was done by means of a mediator provided by Banda Aceh Legal Aid so that no party underwent loss.
Key words : legal review, right for landownership, tenants
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
KATA PENGANTAR
Sebagai umat beragama, pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas ijin dan rahmat Nyalah sehingga Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan faktor teknis yang sangat terbatas. Tesis
ini
berjudul
TINJAUAN
HUKUM
ATAS
PENGAKUAN
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak utamanya komisi pembimbing, baik yang bersifat moril maupun materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Pembimbing Utama, Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Syahril Syofyan, SH, Mkn masing-masing selaku Pembimbing. 4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.hum dan Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, masing-masing selaku Penguji. yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Atas segala bantuan tersebut penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga bapak/ibu senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasih-Nya dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya kepada Nusa dan Bangsa dan Agama Ucapan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada : 1.
Kedua orang tua tercinta, ayahanda Ong Miau Cun dan ibunda Lie Moy Yin (almarhum) yang telah membesarkan dan mendidik dengan memberikan kasih sayang yang tulus dan semangat kepada penulis, sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh cobaan ini, oleh karena itu penulis berdoa semoga kiranya ayahanda Ong Miau Cun senantiasa dalam lindungan Nya dan diberi kesehatan serta keselamatan, amin.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
2.
Saudara-saudari penulis, yang telah banyak memberi dukungan baik moril maupun materiil, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi kesehatan, keselamatan dan rezeki yang berlimpah.
3.
Bapak/ibu dosen dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan serta seluruh staf pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
4.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mampu penulis sebut satu persatu. Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya
namun sebagai manusia, penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam tesis ini. Oleh karena itu penulis berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang produktif.
Medan,
Desember 2009 Penulis
Budi Hermanto
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT ..........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
iii
DAFTAR ISI........................................................................................................
vi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................................
9
C. Tujuan Penelitan .....................................................................................
9
D. Manfaat Penelitian .................................................................................
10
E. Keaslian Penelitian ................................................................................
10
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi ...............................................................
11
1. Kerangka Teori .................................................................................
11
2. Konsepsi ...........................................................................................
19
G. Metode Penelitian ...................................................................................
20
1. Sifat Penelitian .................................................................................
20
2. Lokasi Penelitian ..............................................................................
21
3. Cara Pengumpulan Data ...................................................................
21
4. Analisis Data ....................................................................................
22
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA MENYEWA ANTARA PENYEWA DENGAN PEMILIK TANAH DI KAMPUNG JAWA ...........................................................................
23
A. Perjanjian ditinjau dari Sudut KUHPerdata ...........................................
23
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
B. Sewa Menyewa Rumah dalam KUHPerdata ................................
67
C. Kekuatan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa Antara Penyewa
dengan Pemilik Tanah di Kampung Jawa ....................................
74
BAB III ALAS HAK BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI (BRR) ACEH DALAM PEMBERIAN BANTUAN PERUMAHAN TERHADAP MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM TSUNAMI DI KAMPUNG JAWA.................
79
A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami ..........................
79
B. Proses Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami ....................................
90
C. Alas Hak Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dalam Pemberian Bantuan Perumahan Terhadap Masyarakat Korban Bencana Alam Tsunami di Kampung Jawa......................
96
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PEMILIK TANAH DENGAN PENYEWA ATAS TANAH YANG TELAH DIBANGUN RUMAH OLEH BRR ................................................. 106
BAB V
A. Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian .........................................
106
B. Sewa Menyewa Rumah Menurut Undang-undang Perumahan dan Pemukiman ............................................................................................
114
C. Penyelesaian Sengketa antara Pemilik Tanah dengan Penyewa ............
117
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 122 A. Kesimpulan ............................................................................................
122
B. Saran ......................................................................................................
124
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 126
BAB I
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 pada skala Richter mengguncang kawasan pantai barat laut Sumatra. Menyusul gempa bumi tersebut, gelombang tsunami menghantam pantai barat laut Sumatra, terutama daerah Aceh dan Sumatera Utara, yang mengakibatkan kerusakan dahsyat serta kematian dalam jumlah sangat besar. Diperkirakan bahwa sedikitnya 131.000 orang meninggal dunia, 37.000 orang hilang, serta 550.000 warga harus mengungsi akibat bencana tersebut. 1 Pemerintah memperkirakan total kerugian harta benda yang terjadi adalah senilai 5,9 Miliar dollar Amerika Serikat. Kerusakan teramat parah terjadi di Banda Aceh serta kota-kota pesisir lainnya di kawasan barat laut Sumatra. Bencana alam tersebut menghancurkan banyak industri lokal, termasuk industri perikanan yang menjadi salah satu andalan mata pencaharian masyarakat dan ribuan rumah penduduk. Bencana tsunami dan gempa bumi yang teramat dahsyat tersebut mengundang simpati dan bantuan yang luar biasa besarnya dari seluruh penjuru dunia, baik donatur perseorangan maupun lembaga-lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, baik domestik maupun internasional, swasta maupun pemerintahan. Bantuan-bantuan 1
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=31859:badan rehabilitasi-dan-rekonstruksi-aceh-nias-&catid=42:laporan-khusus&Itemid=65 diakses tanggal 13 Februari 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
tersebut bertujuan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi daerah yang terkena bencana tsunami, dengan membangun kembali jalan raya, perumahan, gedung sekolah dan rumah sakit. Maka untuk mempercepat rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap daerahdaerah yang terkena bencana tsunami tersebut, pada tanggal 16 April 2005, berdasarkan Perpu nomor 2 Tahun 2005 yang sekarang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005, pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk Aceh dan Nias dengan mandat sebagai koordinator tunggal untuk seluruh upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh dan Nias. Sejak pembentukannya, BRR telah menunjukkan kepemimpinannya dalam proses rekonstruksi di Aceh dan Nias yang didasarkan pada partisipasi dan aspirasi masyarakat (community driven reconstruction). Tahun 2006 menjadi tahapan yang sangat penting dari seluruh proses rekonstruksi jangka panjang di Aceh dan Nias. Sebagai suatu contoh, diproyeksikan bahwa sekitar 80.000 rumah akan harus selesai dibangun menjelang akhir 2006, dan seluruh rumah sejumlah 120.000 unit harus selesai dibangun sebelum akhir 2007. Jelaslah bahwa semua masalah dan hambatan yang teridentifikasi pada tahun pertama, tahun 2005, harus segera diatasi untuk menjamin percepatan rekonstruksi di Aceh dan Nias pada tahun 2006 dan tahun-tahun selanjutnya. Demikian halnya dengan pembangunan perumahan bagi pemukiman penduduk di Kampung Jawa juga dilakukan oleh BRR. Pembangunan perumahan untuk pemukiman ini diajukan oleh masyarakat Kampung Jawa kepada BRR. Pada Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
saat pengajuan permohonan untuk bantuan pembangunan perumahan tersebut terdapat 5 (lima) kepala keluarga dengan inisial Ma, MY, Jon, Joh dan Su yang mengaku sebagai pemilik tanah. Dimana surat-surat tanah serta dokumen-dokumen lainnya yang mereka miliki telah musnah karena bencana tsunami. Setelah melakukan penelitian dan pengukuran BRR yang dibantu oleh BPN maka pada tahun 2005 di bangunlah perumahan diatas tanah tersebut. Pada saat pembangunan perumahan sedang berlangsung di Kampung Jawa pada bulan April 2006, Sayid Muhammad Ibrahim salah seorang ahli waris dari Said Muchtar datang dari Jakarta ke Banda Aceh untuk melihat tanah dan rumah yang disewakannya itu yang terletak di Kampung Jawa. Disana ia bertemu dengan ke lima orang penyewa rumahnya dan mendapatkan pemberitahuan bahwa tanah beserta banguan yang sedang dibangun itu sudah menjadi milik ke lima penyewa tersebut. Para penyewa mengakui bahwa tanah tersebut telah mereka beli dari pemilik tanah sebelum tahun 2004. Namun karena bencana tsunami segala surat-surat yang berkaitan dengan jual beli tersebut telah hilang dan musnah. Namun Sayid Muhammad Ibrahim sebagai salah seorang ahli waris dari pemilik tanah tersebut tidak pernah mengetahui adanya jual beli tanah tersebut. Dengan menunjukkan segala surat-surat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut kepada pihak BRR, maka pihak BRR dengan segera menghentikan pembangunan terhadap lima rumah milik penyewa tersebut. Hal tersebut dilakukan karena pihak BRR tidak akan membangun rumah diatas tanah yang sedang dalam sengketa dan
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
rumah tersebut baru akan dibangun kembali apabila rumah tersebut sudah bebas dari sengketa. Untuk itu kemudian masalah ini dibawa ke Lembaga Bantuan Hukum untuk diselesaikan, dan oleh Lembaga Bantuan Hukum masalah ini kemudian diselesaikan secara musyawarah dengan jalan melakukan mediasi antara para pihak tersebut, yang kemudian diselesaikan dengan diterbitkannya surat perjanjian perdamaian diantara para pihak yang disetujui dan disepakati oleh para pihak tersebut, dengan disaksikan oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum. Dalam KUH Perdata tidak ditemukan rumusan perjanjian dalam pasalpasalnya, tetapi dari judul BAB II Buku III KUH Perdata tersebut ditemukan istilah perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Istilah perjanjian di sini merupakan terjemahan dari contract atau overeenkomst. Dengan demikian secara logis dapat disimpulkan bahwa batasan atau arti perjanjian dapat dilihat dari Pasal 1313 KUH Perdata, yang berbunyi : ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan, sumber-sumber itu tercakup dalam undang-undang. Dari peristiwa tersebut timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian hubungan perikatan dan perjanjian di mana perjanjian itu menerbitkan perikatan. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Secara yuridis, pengertian perjanjian sebagai sumber perikatan diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 2 Menurut pandangan Utrecht, suatu perbuatan hukum yang bersegi dua adalah tiap perbuatan yang berakibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subjek hukum (dua pihak) atau lebih. Tiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian (overeenkomst). 3 M. Yahya Harahap mengatakan, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi itu. 4 KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian 5 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari antara lain seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam dan lain-lain.
2
Subekti, Aneka Perjanjian (Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm 1 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1953), hlm 144 4 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm 13 5 Ada 14 jenis perjanjian, antara lain: a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian cuma-Cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; e. Perjanjian tidak bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjin riil; j. Perjanjian liberatori; k. Perjanjian pembuktian; l. Perjanjian untung-untungan; m. Perjanjian publik; n. Perjanjian campuran. Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Buku I), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 66 3
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pasal 1548 KUH Perdata mengatakan : ”Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”. Dari definisi tersebut, maka dapat ditelaah bahwa : a. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa. b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan dimiliki. c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula. Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, bernama, obligatoir dan konsensuil. Hal ini karena dalam perjanjian sewa menyewa menimbulkan hak dan kewajiban pada dua pihak. Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menyerahkan penguasaan objek untuk digunakan dan dinikmati oleh pihak lain (penyewa). Di sini yang diperjanjikan bukan penyerahan hak milik atas benda, namun hak untuk menikmati atas suatu benda dalam kurun waktu tertentu yang disebut juga Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
hak sewa. Sebagai konsekwensi hukumnya, pihak yang diserahkan (penyewa) berkewajiban melakukan kontra prestasi dengan membayar sejumlah uang sewa. Penyewa memiliki hak untuk menikmati benda yang disewanya selama waktu tertentu. Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam bab ke tujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu, oleh karena ”waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa. Hal tersebut di atas berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa yang terjadi di Aceh dimana sebelum terjadinya bencana alam tsunami sewa menyewa itu berjalan lancar-lancar saja akan tetapi setelah datangnya bencana alam tsunami yang menghancurkan segala tapal dan batas-batas rumah yang ada di Aceh serta menghilangkan sertifikat perumahan yang ada di Aceh sehingga terjadi permasalahan pertanahan yang sangat rumit. Belum lagi adanya permasalahan pengakuan tentang kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak, disini termasuk juga pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh mantan penyewa pasca tsunami, dengan mana penyewa memanfaatkan keadaan yang ada pada saat adanya bencana alam tsunami dengan mengklaim dan mengaku sebagai pemilik hak atas tanah diatas tanah yang disewa sebelum tsunami itu terjadi. Bahkan menyatakan telah membeli tanah yang disewanya itu dengan pihak yang berkaitan dengan pemilik atas tanah yang Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
sesungguhnya tanpa dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah berupa surat-surat ataupun dokumen-dokumen mengenai pembelian tanah tersebut, dengan alasan suratsuratnya sudah musnah akibat tsunami (misbruik van omstandigheden) Hal tersebut dapat saja terjadi karena orang yang sesungguhnya memiliki tanah tersebut juga telah meninggal dunia karena bencana alam tsunami. Namun demikian sipenyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian tanah tersebut karena menurut mantan
penyewa tersebut bahwa pembelian tanah itu
dilakukan secara cicilan dan tidak dibuat dalam suatu kuitansi atau surat perjanjian. Oleh karena para penyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian atas tanah tersebut sehingga posisinya sangat tidak menguntungkan, sementara pemilik tanah yang baru datang dari Jakarta tersebut dapat menunjukan segala suratsurat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut sehingga secara yuridis pemilik tanah tersebut merupakan pihak yang lebih berhak dan berwenang atas tanah tersebut. Dengan demikian sesuai Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata jo Pasal 1320 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak ditentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian suatu kontrak yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal di atas, maka diakui oleh hukum atas pelaksanaannya dan mnegikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa antara penyewa dengan pemilik tanah/rumah di Kampung Jawa? 2.
Bagaimanakah alas hak bagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dalam pemberian bantuan perumahan terhadap masyarakat korban bencana alam tsunami di Kampung Jawa?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara pemilik tanah dengan penyewa atas tanah yang telah dibangun rumah oleh Badan Rehabilitsi dan Rekonstruksi (BRR)?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perjanjian sewa menyewa antara penyewa dengan pemilik tanah/rumah di Kampung Jawa. 2. Untuk mengetahui peranan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dalam pemberian bantuan perumahan terhadap masyarakat korban bencana alam tsunami di Kampung Jawa. 3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa antara pemilik tanah dengan penyewa atas tanah yang telah dibangun rumah oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR).
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. a. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum terutama hukum perjanjian dan perikatan dalam bidang sewa-menyewa rumah sehingga dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan suatu konsep ilmiah tentang perjanjian sewa menyewa yang pada akhirnya dapat menambah khasanah ilmu hukum perdata. b. Secara Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa tentang kepemilikan atas tapak rumah tinggal, praktisi hukum, dan mahasiswa hukum
E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, maupun data yang ada dan penelusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya Sekolah Pasca Sarjana, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan judul ini belum ada dilakukan penelitian sebelumnya, oleh karena itu proposal penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual maka dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan di bidang hukum jaminan dan jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undangundang, sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank, yang mana merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini. 6 Serta suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. 7 Kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian. 8 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini untuk menjelaskan perubahan yang diamati dalam masyarakat.
6
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm 27 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarata : Rineka Cipta, 1998), hlm 23 8 M.Solly Lubis, ibid,hlm 23 7
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Perjanjian atau persetujuan yang merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dalam Pasal 1313 Buku III tentang Perikatan (verbintenis) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 9 Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi tersebut dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda-beda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang. 10 Begitu juga halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang dikemukakan bahwa perumusan pengertian perjanjian atau persetujuan yang dikemukakan Pasal 1313 KUH Perdata pada dasarnya kurang memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah
9
R.Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), hlm 304 yang menyebutkan Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 10 Mariam Darus Badrulzaman&kawan-kawaan,Ibid,hlm 25
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri” jadi ada konsensus antara pihak-pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 11 Atas dasar yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Untuk itu dapat dilihat perumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa para sarjana terhadap perjanjian tersebut, antara lain menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 12
11 12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm 78 Abdul kadir Muhammad, ibid,hlm 78
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Menurut W. Projodikoro, bahwa Perjanjian adalah suatu pehubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 13 Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumbersumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui, antara lain : a. Asas Personalia Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata. 14 Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian
13
Wirdjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1973), hlm 9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1986),
14
hlm 33
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan pasal tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. b. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Ketentuan yang mengatur mengenai asas konsensualits ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. 15
15
R.Subekti Tjitrosudibio,ibid,hlm 305
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
c. Asas Kebebasan Berkontrak Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya terdapat pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya ada pada ketentuan angka 1 dari Pasal 1320 KUH Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya terdapat dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”. Ketentuan yang disebutkan dalam pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. d. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagimana dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. Agak berbeda dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Jadi pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainnya dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya disebutkan bahwa perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali kecuali atas sepakat kedua belah pihak atau apabila alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Adapun alasan-alasan yang diberikan undang-undang sebagaimana dimaksud di atas, antara lain : 1.
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tidak tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 1571 KUH Perdata, dapat dihentikan secara sepihak dengan memperhatikan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
2.
Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya jika ia menghendakinya.
3.
Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1817 KUH Perdata, bahwa penerima kuasa dapat membebaskan dirinya dari kuasa dengan pemberitahuan penghentian kepada si pemberi kuasa. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menanggapi ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata ini Abdul Kadir Muhammad, mengemukakan pendapatnya yang menyatakan: ”Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan”. 16 Di samping ketentuan di atas, berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata maka perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan adanya
16
Abdul Kadir Muhammad,op.cit,hlm 99
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
perjanjian ini maka lahirlah apa yang disebut dengan perikatan antara para pihak yang membuatnya. 2. Konsepsi Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abtraksi dan realitas. 17 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abtraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut dengan definisi operasional. 18 Suatu kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. 19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai 20 , oleh karena itu dalam penelitian ini akan dirumuskan definisi-definisi sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 21 Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran
17
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004, hlm 30 18 Sumadi Suryabrata dalam Tan Kamelo, ibid, hlm 30 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, 1984, hlm 132 20 Tan Kamelo, ibid, hlm 30-31 21 Lihat Pasal 1131 KUH Perdata
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
sesuatu harga, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. 22 Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan berupa akta otentik maupun akta di bawh tangan.
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. 23 Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran secara jelas dan terperinci semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang24 berkaitan dengan problematika pengakuan kepemilikan atas tanah hak milik di Kampung Jawa, Banda Aceh. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris adalah suatu penelitian yang meneliti perturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan 22
Lihat Pasal 1548 KUH Perdata Soerjono Soekanto, op. cit, hlm 43 24 Winarno Surakhmad, Dasar Dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 2001), hlm 132 23
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dengan data dan perilaku, kebiasaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan (field research) yaitu pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tindakan hukum tertentu. Sedangkan dalam pendekatan yuridis normatif diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. 2. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul tesis ini maka penelitian dilakukan di Kampung Jawa, Banda Aceh, Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. 3. Cara Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, maka dalam penelitian tesis ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal olmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan perjanjian. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian. Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung dengan informan dengan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Adapun pihak yang akan diwawancarai yaitu : 1. Sayid Muhammad Ibrahim selaku pemilik tanah 2. Kamaruddin, SH selaku Wakil Direktur Operasional LBH Banda Aceh 3. Kamar Farza, SH selaku pihak BRR 4. Analisis Data Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA MENYEWA ANTARA PENYEWA DENGAN PEMILIK TANAH DI KAMPUNG JAWA
A.
Perjanjian Ditinjau Dari Sudut KUHPerdata
1.
Pengertian perjanjian pada umumnya Dalam pengetahuan ilmu hukum, soal istilah adalah sangat penting. Dalam
mempelajari pelbagai sudut dari hukum seperti isi, sifat, maksud dan lain-lain para ahli hukum selalu mempergunakan kata-kata atau suatu istilah hukum yang dimaksudkan untuk menggunakan suatu pandangan atau suatu pendapat. Dengan berbagai pandangan dan pendapat ini maka sering kali ada perbedaan pengertian diantara
para
ahli
hukum
tentang
suatu
istilah.
Untuk
menghindarkan
kesalahpahaman ini, perlu adanya kata sepakat diantara para ahli hukum tentang arti kata atau istilah yang dipergunakan. Kalau kata sepakat ini tidak tercapai maka segala pertukaran pikiran hanya akan berkisar mengenai debat pendapat tentang soal pengetian istilah saja dan tidak akan pernah sampai kepada inti persoalan yang dimaksudkan. Mengingat itu semua, dalam tulisan ini perlu lebih dahulu diterangkan tentang pengertian perjanjian yang dimaksudkan. Sebagai kita ketahui, bahwa pada umumnya hukum perjanjian ini terdapat dalam Buku III KUHPerdata, buku ketiga ini terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturanperaturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat Pasal 1313 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal ini “Perjanjian adalah, suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 25 Ketentuan Pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan antara lain : a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya dimana kita mengikatkan, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua belah pihak, dan seharusnya perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada kosensus antara pihak-pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus karena dalam pengertian ‘perbuatan’
termasuk
juga
tindakan
melaksanakan
tanpa
kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, dan seharusnya dalam perumusan itu dipakai kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena pengertian perjanjian dalam pasal tersebut dapat juga mencakup pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal.
25
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1993),
hlm 224.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
d. Tanpa menyebut tujuan, karena dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 26 Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas maka menurut Abdulkadir Muhammad, perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 27 Hukum yang mengatur perjanjian itu disebut hukum perjanjian. Mengenai pengertian perjanjian yang disebut dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa : “Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat, bahwa defenisi perjanjian pada Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas karena mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya, karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya.” 28 Menurut Wirjono Prodjodikoro: “Perjanjian adalah, suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 29 26
Ibid, hal.224 Ibid., hal.225 28 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm 89 29 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cet. VIII, (Bandung: Sumur, 1993), hlm 9 27
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pada dasarnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. KUHPerdata membedakan 3 (tiga) golongan yang bersangkutan pada perjanjian itu antara lain : 1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340 KUHPerdata). 2. Para ahli waris mereka, dan mereka yang mendapat hak dari padanya (Pasal 1318 KUHPerdata). 3. Pihak ketiga (Pasal 1340 ayat 2 KUHPerdata jo Pasal 1317 KUHPerdata). 30 Buku III KUHPerdata menganut azas kebebasan dalam membuat perjanjian. Azas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua pihak. Tetapi dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. 31 Subekti, mengatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
30
Munir Fuady, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, .(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 56 31 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari System Hukum Benda, (Bandung: Alumni, 1997), hlm 81
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
melaksanakan suatu hal”.
32
Dari pengertian perjanjian yang dikemukakan di atas
secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada sesuatu bentuk tertentu, perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dan dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta, dan andai kata dibuat secara tertulis maka hal ini bersifat sebagai alat pembuktian bila terjdi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu Undang-Undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta notaris, demikian Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan. 33 Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan unsur – unsur perjanjian itu antara lain sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Adanya pihak-pihak, sedikit-dikitnya 2 (dua) orang. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu. Ada tujuan yang akan dicapai. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. 34
32
R. Subekti, Hukum Perjanjian,( Jakarta: Intermasa, 1984), hlm 12 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1984), hlm 43. 34 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1993), hlm 73. 33
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pihak-pihak dalam suatu perjanjian disebut sebagai subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Persetujuan antara para pihak dalam suatu perjanjian bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan itu ditujukan dengan adanya penerimaan tanpa syarat atau suatu tawaran, apa yang ditawarkan dan dirundingkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujui oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu, maka timbullah persetujuan. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihakpihak, kebutuhan mana yang dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain, tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang. Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. Bentuk dalam suatu perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentuk tertentu itu biasanya berupa akta. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak itu sudah cukup, kecuali jika pihakpihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis. Syarat-syarat tertentu dalam suatu perjanjian sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak-hak dan kewajiban para pihak.
2. Bentuk dan Jenis-jenis Perjanjian a. Bentuk Perjanjian Bentuk kontrak/perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a) Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. b) Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). 35 Bentuk perjanjian dapat dilakukan secara diam-diam. Lisan dan tertulis artinya perjanjian tertulis dapat berbentuk akta di bawah tangan dapat perjanjian standart dan bukan standart. Latar belakang tumbuhnya perjanjian standart ini adalah keadaan sosial/ekonomi
perusahaan
yang
besar-besar,
perusahaan-perusahaan
semi
pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam
35
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2003), hlm 61
Sinar
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
suatu organisasi dan untuk kepentingan menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada contract partnernya. Pihak lawannya (wedepartij) yang ada pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya apa yang diterima. Menurut perundang-undangan tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis, seperti perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUHPerdata). Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, dibuat di hadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap (Pasal 1682 KUHPerdata), perjanjian mendirikan PT (Pasal 38 KUHDagang) dan lain-lain. Menurut bentuknya akta itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang memuat tentang adanya peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar adanya hak atau perikatan dan mengikat bagi pembuatnya ataupun bagi pihak ketiga. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dapat dibagi menjadi 2, yaitu : a. Akta Pejabat yaitu akta yang inisiatif pembuatannya dari pejabat yang bersangkutan (dibuat oleh pejabat), contohnya akta kelahiran. b. Akta para pihak yaitu akta yang inisiatif pembuatannya dari para pihak dihadapan pejabat yang berwenang, contohnya akta sewa menyewa. 2. Akta dibawah tangan adalah akta yang pembuatannya dilaksanakan sendiri oleh para pihak atau tidak ada campur tangan dari pejabat, akta dibawah tangan ini Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya. 36 Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, oleh karena dalam KUHPerdata ada dikenal suatu azas yang disebut sebagai azas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid), azas yang dimaksud terjelma dalam ayat (1) dari Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. 37 Itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-Undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Dari Pasal
1338 ayat (1) dapat dikatakan bahwa, Pasal itu seolah-olah
membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Dari prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pada dasarnya memang hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, contohnya: perjanjian untuk melakukan pemogokan terhadap angkutan umum, dan kepatutan, contohnya: 36
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009),
hlm.64. 37
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm 25.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
perjanjian pembocoran rahasia perusahaan serta kesusilaan, contohnya: perjanjian pelacuran, sehingga akibat hukum untuk perjanjian-perjanjian sebagaimana yang disebut diatas adalah batal demi hukum karena perjanjian tersebut dari sejak semula dianggap tidak pernah ada, demikian Pasal 1339 KUHPerdata menentukan. Apa yang dikatakan R. Subekti adalah sangat tepat sekali yaitu bahwa : “Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa Pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihakpihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian.” 38 Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, sebab Pasal-pasal dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang-orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang bersangkut paut dengan perjanjian itu. 39 Kalau sekitarnya para pihak tidak mengatur sendiri tentang suatu soal, maka dapat diartikan bahwa pihak-pihak mengenai soal tersebut secara otomatis atau dengan sendirinya akan tunduk kepada KUHPerdata. Hal-hal demikian adalah sering dijumpai dalam pergaulan hukum, sebab para pihak biasanya hanya menyetujui halhal yang pokok saja tidak sampai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya. Namun demikian dalam hubungan azas kebebasan berkontrak tersebut, untuk beberapa perjanjian tertentu Undang-Undang menentukan suatu bentuk, sehingga 38
Ibid., hal. 32 Muljadi, Kurniawan Dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 18 39
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian adalah tidak sah. Dengan demikian bentuk-bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu, misalnya dari perjanjian tertentu tersebut adalah perjanjian hibah benda tidak bergerak (Pasal 1682 KUHPerdata), perjanjian mendirikan PT (Pasal 38 KUHDagang), kedua perjanjian itu harus dibentuk dengan akta notaris, demikian juga dengan perjanjian perdamaian diciptakan secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata). 40 Untuk perjanjian-perjanjian tersebut ditetapkan suatu formalitas atau bentuk tertentu apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-Undang, maka ia adalah batal demi hukum. Menurut Asser suatu perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang harus dipehuni, diantaranya adalah : 1. Unsur Essensialia, yaitu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu perjanjian, unsur ini sangat erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, contohnya dalam suatu perjanjian itu harus adanya kesepakatan. 2. Unsur Naturalia, yaitu unsur yang lazimnya ada atau sifat bawaan perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya
menjamin
terhadap cacat tersembunyi.
40
Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1984), hlm 33
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
3. Unsur Accidentalia, yaitu unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya pemilihan tempat kedudukan. 41 b. Jenis-Jenis Perjanjian Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUHPerdata, dapat digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan. Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenisnya yang telah diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam Undang-Undang maupun hanya merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sehari-hari. R. Subekti, menggolongkan jenis-jenis perjanjian, antara lain : 1. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak satu atau si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 2. Perjanjian tukar- menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Demikian Pasal 1541 KUHPerdata menentukan. 3. Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian Pasal 1548 KUHPerdata menentukan. 4. Perjanjian sewa-beli adalah suatu perjanjian jual-beli dimana penjual menyerahkan barang yang dijual secara nyata (feitelijk) kepada pembeli, akan tetapi penyerahan tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik, hak milik baru berpindah atau diserahkan yakni pada saat ‘pembayaran termein terakhir’
41
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm.46
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dilakukan pembeli tetapi sekalipun pembayaran dilakukan secara berkala, namun barang yang dibelikan harus diserahkan kepada penguasaan pembeli secara nyata. 5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Dalam perjanjian ini dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan. b. Perjanjian kerja atau perburuhan. Yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan dimana pihak majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. c. Perjanjian pemborong pekerjaan Adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan. 6. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 7. Perjanjian persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha atau bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama. 8. Perjanjian penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana dipenghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan Cuma-Cuma dimana perkataan ‘dengan Cuma-Cuma’ itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lain tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan, perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak. 9. Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian riil, yang berarti bahwa perjanjian ini baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan. 10. Perjanjian pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai secara CumaCuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu tertentu, akan mengembalikannya. 11. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain atas suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
12. Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. 13. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 14. Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. 15. Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. 42 Mengenai jenis perjanjian yang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi dijumpai beberapa jenis perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, ada menyebutkan beberapa jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian Timbal-Balik Dan Perjanjian Sepihak. 1. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar. 2. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah, dimana pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. b. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Alas Hak Yang Membebani. 1. Perjanjian Percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam-pakai, perjanjian hibah 2. Perjanjian Dengan Alas Hak Yang Membebani adalah perjanjian dalam mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra-prestasi dari pihak lainnya sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. c. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama. 1. Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar – menukar, pertanggungan.
42
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm .35
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
2. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. d. Perjanjian Kebendaan Dan Perjanjian Obligatoir. 1. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. 2. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, dimana pembeli berhak menuntut penyerahan barang, dan penjual berhak atas pembayaran harga selain itu pembeli juga berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. e. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real. 1. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. 2. Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya perjanjian jual-beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam-pakai. 43 c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), artinya bagi bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam Undang-Undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun, 43
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hlm 50.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan, 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan 44 Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sehingga ia diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata adalah : 1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consensus). 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity). 3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter). 4. Ada suatu sebab yang halal (Legal cause). 45 Keempat hal tersebut diatas, dikemukakan sebagai berikut : 1. Kesepakatan (Toesteming) Kedua Belah Pihak Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan: 1. Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
44
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm 100 45 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1982), hal. 88
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; 4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan 46 Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 2. Kecakapan Bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUHPerdata yaitu: 1. Anak di bawah umur (minderjarigheid), 2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan 3. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangnnya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963. 46
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),( Yogyakarta, 1987), hal 7.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Disamping itu orang yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga dan orang yang telah dinyatakan hilang (afweizig) berdasarkan putusan Pengadilan Negeri juga tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 3. Adanya Objek Perjanjian Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur merupakan hak bagi kreditur, sebaliknya juga apa yang menjadi kewajiban kreditur merupakan hak bagi debitur. Prestasi terdiri atas: 1. 2. 3. 4.
Memberikan sesuatu Berbuat sesuatu Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Adanya causa yang halal (Geoorloofde Oorzaak) Objek perjanjian berdasarkan Pasal 1332 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1334 KUHPerdata adalah terdiri dari : 1. Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung 2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 47 Mengenai syarat-syarat sah suatu perjanjian dimana dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syaratsyarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum 47
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009),
hlm.56
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
yang dilakukan itu. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang diakui oleh Hukum. Sebaliknya apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat menurut Undang-Undang, maka perjanjian tersebut tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 48 Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa, disaat pihak-pihak mengakui dan memenuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, maka perjanjian itu tetap berlaku antara mereka, tetapi apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui lagi maka hakim dapat membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah, kesepakatan, seiasekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Subekti, mengatakan bahwa “Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan kedua subyek ini yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu”. 49 Hal-hal yang dikehendaki oleh suatu pihak adalah juga dikehendaki oleh pihak lain, kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam hal jual-beli, sipenjual menghendaki sejumlah uang sedangkan sipembeli menghendaki suatu barang dari si penjual. Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
48 49
Ibid,. Hal 90. R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm 17
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. Persetujuan itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan, demikian Pasal 1321, 1322, dan 1328 KUHPerdata menentukan Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal yang pokok, yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti Undang-Undang sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 378 KUHPidana. Dikatakan menipu menurut pengertian Undang-Undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya agar menyetujui (Pasal 1328 KUHPerdata). Sebagai contoh ialah sebagai berikut : “Seorang menjual mobil dengan mengatakan kepada calon pembelinya bahwa mobil itu baru betul, padahal sebelumnya ia telah memutar balik alat penghitung kilometernya, mengecat indah mobil itu, nomor mesinnya dipalsu,
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
nomor akses dipalsu, sehingga ia memberi kesan yang memperdayakan seolah-olah keadaannya baru, sehingga pembeli tadi terjerumus karenanya”. 50 Menurut Yurisprudensi, tidak cukup dikatakan ada penipuan, apabila hanya berupa kebohongan belaka mengenai suatu hal baru dan penipuan kalau disitu ada tipu muslihat yang memperdayakan, misalnya pedagang lazim memuji barang – barang sebagai yang paling baik, hebat, padahal tidak demikian, ini hanya kebohongan belaka tidak termasuk penipuan. Akibat hukum itu ada persetujuan kehendak karena paksaan, kekhilafan dan penipuan ialah bahwa perjanjian itu dapat diminta pembatalannya kepada hakim (voidable). Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat diminta dalam tenggang waktu 5 (lima) tahun, dalam hal paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dalam hal ada kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilfan dan penipuan itu. Orang yang membuat satu perjanjian harus cakap menurut hukum. Memang dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
50
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1982), hlm 91
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
“Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun”. 51 Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. 52 Disamping itu orang yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga dan orang yang telah dinyatakan hilang (afweizig) berdasarkan putusan Pengadilan Negeri juga tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa menurut Hukum Perdata diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : Belum dewasa adalah mereka yang belum berumur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 53
51
Ibid., h. 92 R.Subekti, ibid, hlm 90 53 R.Subekti I,R.Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm 98 52
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Orang dewasa yang tidak sehat pikirannya, dungu, sakit ingatan, dan pemboros tidaklah mampu menginsafi tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya, oleh sebab itu pembuat Undang-Undang menyatakan bahwa orang yang tidak sehat pikirannya adalah tidak cakap bertindak dalam hukum. Ia berada dibawah pengampuan, dan harus diwakili oleh pengampu dan kuratornya. Seorang perempuan yang telah bersuami juga tidak dapat bertindak untuk mengadakan suatu perjanjian tanpa bantuan atau izin dari suaminya, demikian menurut Pasal 108 KUHPerdata, ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami dalam KUHPerdata, ada hubungan dengan sistem hukum yang dianut dalam hukum Perdata Barat (Negeri Belanda) yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada suami. Tetapi sejak dikeluarkan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ketentuan Pasal 108 di atas tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dalam surat edaran tersebut, Mahkamah Agung menganggap bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata, tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin dari suaminya tidak berlaku lagi. Dengan demikian berarti sejak tanggal 4 Agustus 1963, seorang perempuan yang telah bersuami adalah cakap bertindak didalam hukum, meskipun tanpa bantuan dari suaminya. Surat edaran Mahkamah Agung tersebut di atas adalah sejalan dengan ketentuan yang berlaku di negeri Belanda, dimana peraturan tentang ketidak cakapan seseorang perempuan yang bersuami di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Mahkamah Agung adalah tepat, oleh karena hukum di negeri kita adalah bersumber dari Negeri Belanda. Lagi pula ketentuan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata, tidak sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat Indonesia diabad ke 21 ini. Sehubungan dengan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum, Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa : “Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum jadi tidak perlu lagi izin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan istri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim”. 54 Akibat hukum ketidak-cakapan atau ketidak–wenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voldable). Jika pembatalan itu tidak dimintakan pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak. 55 Sebagai syarat ketiga disebut suatu perjanjian harus mempuyai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas. Syarat ini adalah perlu untuk menentukan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak di dalam suatu perjanjian. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipatuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan objek perjanjian. Oleh Subekti disebutkan bahwa, “Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang itu sudah ada atau sudah 54
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hlm 92 55
Sudikno Metrokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, 1987), hlm 57.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
berada di tangannya si berutang pda waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-undang.” 56 Begitu juga mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya, suatu perjanjian jual-beli mengenai panen padi dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah tetapi jika suatu perjanjian jual-beli kopi untuk seribu rupiah dengan tidak memakai penjelasan yang lebih terang lagi, dianggap tidak cukup jelas untuk dinyatakan sah. Selanjutnya Pasal 1332 KUHPerdata, menetapkan bahwa hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat dijadikan objek perjanjian. Jika prestasi yang diperjanjikan itu kabur sehingga perjanjian tidak dapat dilaksanakan, maka objek perjanjian dianggap tidak ada. Akibat tidak dipenuhinya syarat ketiga ini, maka perjanjian yang dilaksanakan batal demi hukum. Demikian Pasal 1333 KUHPerdata menentukan. 57 Oleh Pasal 1329 KUHPerdata, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian karena suatu sebab atau causa yang halal. 58 Undang-Undang tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai sebab (Oorzaak, causa) tersebut. Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan causa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causalitet. Adapun yang dimaksud dengan pengertian ‘causa’ bukan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian. 56
R. Subekti I, op.cit, 1994,, hlm 19 A. Pitlo, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm 18. 58 Sudikno Metrokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, 1987), hlm 26. 57
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Sehubungan dengan causa ini Prof. Subekti mengatakan bahwa : “Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka,bahwa sebab itu adalah suatu yang meyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang oleh sebab yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang”. 59 Hukum pada hakikatnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam keinginan seseorang atas apa yang dicita-citakannya, yang penting bagi hukum adalah tindakan orang-orang dalam masyarakat, jadi yang dimaksud dengan causa yang halal dari suatu perjanjian adalah ‘isi dan tujuan’ dari perjanjian itu sendiri, yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual-beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang, jika salah satu dari isi perjanjian jual-beli ini tidak dipenuhi, maka dalam hal ini Subekti, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : “Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan”. 60 Namun demikian pembentuk Undang-Undang mempunyai pandangan bahwa, perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-
59
Ibid., hlm 18 Ibid., h. 20
60
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilan atau ketertiban umum, demikian Pasal 1337 KUHPerdata menentukan. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang terlarang tidak mempunyai kekuatan, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1335 KUHPerdata. 61 4. Tempat Lahirnya Perjanjian Dalam hukum perjanjian ada suatu azas yang dikenal dengan azas konsensualitas. Dengan azas
ini sudah ada kriteria tentang saat lahirnya suatu
perjanjian. Sebenarnya adalah sangat sulit untuk menentukan sejak kapan lahirnya suatu perjanjian, apakah sejak adanya kata sepakat atau apabila setelah syarat-syarat dari perjanjian semua dipenuhi. Akan tetapi dengan adanya azas konsensualitas tersebut hal ini tidak merupakan suatu masalah lagi. Oleh Subekti dikatakan bahwa “menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antar kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian”. 62 Suatu sepakat adalah suatu persesuaian paham dan merupakan kehendak pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga merupakan keinginan dari pihak yang lain, meskipun kehendak tersebut tidak bersamaan tetapi secara timbal balik, dimana akhirnya kedua kehendak itu berpadu satu sama lain. 61
Suryodiningrat R. M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, (Bandung: Tarsito, 1982),
hlm 65. 62
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid I ( Bagian Kedua ), (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm 26
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk mengetahui apa yang telah dilahirkan suatu perjanjian, atau kapankah perjanjian itu dilahirkan, maka harus diperhatikan dahulu apakah telah tercapai sepakat dan bila tercapai sepakat tersebut, oleh karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat. Apabila kata sepakat tersebut diterbitkan melalui surat-surat, telegram atau dalam pembicaraan via telephone misalnya apabila seseorang melakukan penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis dalam keadaan ini lahirnya perjanjian tersebut apakah pada detik dikirimkannya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang melakukan penawaran. Dalam hubungan ini, Subekti mengatakan : Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. 63 Untuk itu menurut Subekti persetujuan kehendak itu dapat ternyata dari tingkah laku berhubung dengan kebutuhan lalu lintas masyarakat dan kepercayaan, yang diakui oleh pihak lainnya baik secara lisan maupun secara tertulis termasuk telegram atau pun pembicaraan lewat via telephone, contohnya seorang naik bis kota, dengan perbuatan naik bis kota itu ada persetujuannya untuk membayar ongkos dan kondektur ternyata menerima ongkos tersebut. Ini berarti kondektur bis telah setuju mengikatkan diri untuk mengangkut penumpang itu walaupun tidak dinyatakan dengan tegas. Demikian juga persetujuan atau perjanjian melalui telegram atau pun
63
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
28
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
pembicaraan lewat via telephone asalkan diakui dan dipercaya oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut telah lahir diantara mereka. Demikian juga halnya mengenai tempat atau daerah domisili pihak yang mengadakan penawaran itu berlaku sebagai tempat lahir atau ditutupnya suatu perjanjian. Tempat adalah sangat penting untuk menentukan hukum manakah yang berlaku, jika kedua belah pihak berada di tempat atau negara yang berlainan ataupun adat kebiasaan mereka tidak sama. Seseorang menepati janjinya adalah disebabkan pertama-tama adanya kaedah agama dan kesusilaan. Disamping itu seseorang menepati janji adalah karena hukum telah mengatur dan memberi sanksi-sanksi kepada setiap orang yang tidak memenuhi janjinya. Pada hakekatnya merupakan kehendak umum bahwa janji seseorang dapat dipercaya oleh karena keadaan menghendaki bahwa orang harus menepati janjinya, sebab dalam Pasal 1338 KUHPerdata telah disebutkan bahwa setiap perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, untuk itu setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh para pihak sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. 5. Pembatalan Dan Hapusnya Suatu Perjanjian a.
Pembatalan Suatu Perjanjian Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah
dikatakan di muka bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak dipenuhi maka
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
perjanjian batal demi hukum, sedangkan tentang syarat subyektif, perjanjian baru dapat dibatalkan apabila diminta kepada hakim. Menurut KUHPerdata pengertian pembatalan perjanjian digambarkan dalam dua bentuk yaitu : 1. Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) 2. Pembatalan relatif (relative nietigheid). 64 Yang dimaksud dengan batal secara mutlak disini yaitu suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak, dimana perjanjian seperti ini dianggap tidak pernah ada sejak semua terhadap siapapun juga. Misalnya, terhadap suatu perjanjian yang akan diadakan tidak mengindahkan cara yang dikehendaki oleh Undang-Undang secara mutlak. 65 Suatu perjanjian adalah batal mutlak apabila causanya bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan ketertiban umum, ataupun dengan Undang-Undang. Misalnya, penghibahan benda tidak bergerak harus dengan akte notaris termasuk tanah yang bersertifikat karena tanah yang bersertifikat juga merupakan sebagai suatu benda tidak bergerak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1682 KUHPerdata, kemudian perjanjian perdamaian juga harus dibuat secara tertulis karena perjanjian perdamaian merupakan suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak berjanji untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1851
64 65
R Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hlm 36. Ibid., hal 37
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
KUHPerdata, konsekuensi apabila perjanjian-perjanjian yang disebut diatas tidak diikuti adalah bahwa terhadap perjanjian-perjanjian tersebut batal demi hukum. Menurut Subekti bahwa “Dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang–orang yang bermaksud membuat perjanjian itu”. 66 Dengan demikian para pihak yang hendak meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal, maka oleh sebab itu pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lainnya dimuka hakim karena dasar hukumnya tidak ada, hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa diantara pihak-pihak tidak pernah ada perjanjian. Jika suatu perjanjian tidak mengandung suatu hal tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan, sebab tidak jelas apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Demikian juga dengan perjanjian yang isinya tidak halal. Dari keterangan-keterangan di atas teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bertentangan dengan hukum dan kepatutan, dan tidak boleh karena perjanjian-perjanjian yang bersifat melanggar itu harus dicegah. Yang dimaksud dengan batal relatif adalah suatu perjanjian yang tidak batal dengan sendirinya, tetapi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. 66
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1982), hlm 22
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pembatalan relatif ini dapat dibagi menjadi dua macam pembatalan, pembatalan-pembatalan tersebut adalah : a. Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka kapan hakim diminta supaya menyatakan batal (nieting verklaard) misalnya dalam perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa atau dibawah umur, pengampuan atau yang berada dibawah pengawasan curatele. b. Pembatalan belaka oleh hakim yang putusannya harus berbunyi ‘membatalkan’ misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan ataupun penipuan. 67 Pasal 1446 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang dibawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Selanjutnya ayat 2 dari Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa perikatanperikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orangorang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka. Jika pada waktu pembatalan ada kekurangan mengenai syarat subyektif, maka sebagaimana yang diterangkan sebelumnya bahwa perjanjian itu bukanlah batal demi hukum tetapi dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak, pihak mana adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum. Pembatalan dapat diterima oleh orang tua atau walinya, ataupun oleh ia sendiri setelah ia menjadi cakap dan pihak yang 67
Ibid., hal 25-26
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
memberikan izin perjanjian itu secara tidak bebas. 68 Dengan demikian ketidak cakapan dan ketidak bebasan seseorang dalam memberikan perizinan dalam suatu perjanjian memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat untuk meminta pembatalan perjanjian, dengan pengertian bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu, sebab hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh Undang-Undang diberi perlindungan itu. Adanya kekurangan tentang syarat subyektif adalah tidak dengan begitu mudah dapat diketahui, jadi harus dimajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Undang- Undang memberi kebebasan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Walaupun Undang-Undang telah memberikan hak untuk meminta pembatalan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut akan hilang jika batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 1454 KUHPerdata, tidak dipergunakan. Dimana hak meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454 KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 (lima) tahun, waktu mana mulai berlaku dalam hal ketidak cakapan suatu pihak sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. b. Hapusnya Perjanjian Dalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan cara hapusnya perjanjian yaitu sebagai berikut : 68
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Alumni, Bandung, 1992),
hlm 58
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
a. Pembayaran Istilah pembayaran tidak selalu harus diartikan terbatas pada pelunasan hutang semata-mata, karena bila ditinjau lebih jauh pembayaran tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang atau barang tetentu. Pembayaran dapat juga dilakukan dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dalam bentuk yang tidak berwujud, pembayaran prestasi dapat pula dilakukan dengan melakukan sesuatu. Timbulnya alasan untuk melakukan pembayaran adalah adanya perjanjian itu sendiri. pembayaran harus didahului oleh tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum baik hubungan hukum jual beli, hutang piutang, melakukan jasa dan sebagainya. Hal ini didukung oleh pendapat yang mengatakan : “Pembayaran tanpa hutang adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipikirkan alasannya atau tak beralasan sama sekali. Karena secara yuridis, setiap pembayaran didahului dengan penetapan hutang. Maka pembayaran pada dasarnya, adalah perwujudan dari hutang prestasi. Dengan pembayaran prestasi perjanjian hapus dengan sendirinya”. 69 Dari ketentuan undang-undang dapat dilihat bahwa pada umumnya pembayaran tidak mendasarkan pada formalitas tertentu, walau ada beberapa jenis perjanjian
yang
menentukan
formalitas
pembayaran.
Menurut
Harahap
pembayaran bukanlah tindakan hukum, oleh karena itu pembayaran dapat dilakukan tanpa ikatan formalitas. 70
69 70
M. Yahya Harahap, Segi- segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hlm.108 Ibid., hlm 108
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pihak yang harus melakukan pembayaran adalah yang berkepentingan sendiri yaitu debitur. Jika bertitik tolak dari Pasal 1381 KUH Perdata, maka telah ditentukan orang-orang yang dapat melakukan pembayaran yaitu : 1.Debitur sendiri sebagai orang yang berkepentingan 2.Penjamin (borgtocht) 3.Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penitipan Hal ini ditentukan dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian menyerahkan menyerahkan suatu benda bergerak. Oleh karena itu dalam perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu maupun dalam penyerahan benda tak bergerak, penawaran dan penitipan ini tidak mungkin dilakukan Dalam perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu prestasi tidak mungkin dititipkan tapi harus dilakukan oleh debitur sendiri, demikian pula halnya dengan penyerahan benda tak bergerak. Jadi penawaran tunai yang diikuti kosignasi adalah khusus untuk perjanjian pembayaran uang dan penyerahan benda-benda bergerak. c. Pembaharuan hutang (novasi) Pembaharuan hutang ini lahir dari persetujuan para pihak, yaitu dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang bersamaan dengan penghapusan tadi, perjanjian tersebut diganti dengan perjanjian baru Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Menurut ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata, pembaharuan hutang terjadi apabila : 1. Kreditur mengadakan ikatan perjanjian hutang terhadap debitur dengan tujuan menghapuskan dan mengganti perjanjian lama, dengan perjanjian baru. Dalam hal ini perjanjiannya diperbaharui, sedangkan para pihaknya tetap seperti semula 2. Seorang debitur baru menggantikan debitur lama yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran oleh kreditur 3. Dengan membuat perjanjian baru yang menggantikan kreditur lama dengan kreditur baru yang kreditur lama tidak berhak lagi menuntut pembayaran dari ikatan perjanjian lama. d. Perjumpaan hutang atau kompensasi. Terjadinya perjumpaan hutang (kompensasi) adalah akibat berjumpanya dua pribadi yang sama-sama berkedudukan sebagai debitur antara yang satu dengan lainnya mewajibkan mereka saling melunasi dan membebaskan diri dari perhutangan. Jadi apabila pada waktu yang bersamaan terdapat dua pribadi yang saling menjadi debitur, masing-masing mereka dapat melunasi hutang piutang dengan jalan kompensasi, baik untuk seluruh hutang maupun untuk sebagian hutang dan saling melakukan perhitungan sesuai dengan besar kecilnya tagihan masing-masing. e.
Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang atau konfusio dan semua tagihan menjadi hapus seperti yang tersebut dalam Pasal 1436 KUHPerdata.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
f. Penghapusan hutang Tindakan kreditur membebaskan kewajiban debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian. Hal yang sangat dibutuhkan dalam pembebasan hutang ialah, adanya kehendak kreditur membebaskan kewajiban debitur untuk melaksanakan pemenuhan perjanjian yaitu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari perutangan sehingga dengan demikian perjanjian itu gugur dengan sendiri (Pasal 1438 KUHPerdata sampai dengan 1443 KUHPerdata). g. Musnahnya barang yang terhutang. Perjanjian hapus karena musnah atau lenyapnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk barang harus sesuai dengan ketentuan lebih lanjut dari Pasal 1444 KUHPerdata yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Musnahnya atau lenyapnya barang harus diluar perbuatan dan kesalahan debitur. Musnahnya barang tersebut akibat dari sebab yang berada di luar kekuasaan debitur. 2. Kemusnahan barang itu sendiri harus terjadi pada saat sebelum jatuh tenggang waktu penyerahan. Untuk hal ini terdapat pengecualian yaitu debitur terbebas dari kewajiban, sekalipun musnahnya barang terjadi sudah lewat waktu penyerahan, asalkan musnahnya barang itu akan terjadi juga di tangan kreditur seandainya diserahkan oleh sebab peristiwa yang sama.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
3. Debitur berkewajiban untuk membuktikan kebenaran tentang musnahnya barang itu disebabkan oleh peristiwa yang berada di luar perhitungan debitur. h. Kebatalan atau pembatalan. Perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau yang ditaruh dibawah pengampunan adalah batal demi hukum dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal semata-mata atas dasar kebelum-dewasaan atau pengampuannya itu. Undang-undang juga menentukan jangka waktu suatu tuntutan pembalatan itu dapat diajukan yaitu lima tahun yang mulai berlaku : 1. 2. 3. 4.
Dalam hal kedewasaan, sejak hari kedewasaan Dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan Dalam hal adanya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti Dalam hal adanya kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu 5. Dalam hal kebatalan yang tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk kesadaran itu ada. 71
i. Lewatnya waktu. Lewatnya waktu akan membebaskan seseorang dari suatu kewajiban. Dalam kaitan antara lampaunya waktu dengan perjanjian, maka dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Membebaskan seseorang dari kewajiban setelah lewat jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan Undang-Undang.
71
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Alumni, Bandung, 1992),
hlm 75
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
2. Memberikan kepada seseorang untuk memperoleh sesuatu hak setelah lewat jangka tertentu sesuai dengan yang ditetapkan Undang-Undang. Apabila dilihat dari segi yuridis lampau waktu merupakan suatu tanggapan hukum (wetttelijk vermoeden). Dengan lampaunya waktu tertentu dianggap perjanjian telah hapus,
sehingga debitur terbebas dari kewajiban
pemenuhan prestasi. Disamping itu dapat pula dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah lewat jangka waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1946 KUHPerdata yang menyatakan bahwa daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. 6. Hak dan Kewajiban Para Pihak Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepada kreditur. Dalam istilah hukum disebut ‘schuld’. Disamping itu, debitur juga mempunyai tanggung jawab bahwa ia menjamin akan memenuhi prestasi atau hutangnya dengan seluruh harta benda kekayaannya. Tanggung jawab ini disebut dengan “haftung”. 72 Apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, ia dikatakan ingkar janji atau disebut “wanprestasi”. Seseorang dapat dikatakan wanprestasi apabila ia tidak memenuhi prestasi atau kewajibannya. Ada 2 kemungkinan yang menyebabkan tidak terpenuhinya prestasi : 1. Kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. 72
R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Intermasa, Jakarta, 1970), hlm 64.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dalam hal ini, ada 4 keadaan untuk menentukan apakah seorang debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi,yaitu : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. d. Debitur melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan menurut perjanjian. 2. Karena adanya keadaan yang memaksa (overmacht) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadinya suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian 73 Terhadap debitur yang wanprestasi kreditur berhak untuk menuntut : a. b. c. d. e.
Pemenuhan perjanjian Ganti Rugi Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi Pembatalan perjanjian Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi. 74 Dalam suatu perjanjian ada juga yang disebut dengan “resiko” yaitu
kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang diperjanjikan. Risiko ini dapat dibedakan kedalam: 1. Risiko pada perjanjian sepihak 73 74
Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1997), hlm. 20 R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ( Intermasa, Jakarta, 1970), hlm 75.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dalam Pasal 1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu, dari sejak perikatan itu dilahirkan risiko ditanggung oleh kreditur. Pasal 1237 KUHPerdata kemudian diperluas oleh Pasal 144 KUHPerdata, dimana ditentukan bahwa apabila dalam perikatan sepihak terjadi ingkar janji (wanprestasi) diluar kesalahan debitur, maka risiko ada pada pihak kreditur. 2. Risiko pada perjanjian timbal balik. Pada masalah ini para sarjana hukum mencari penyelesaian yang dibuktikan dengan suatu azas kepatutan. Menurut azas kepatutan, dalam perjanjian timbal balik risiko ditanggung oleh mereka yang melakukan prestasi (Pasal 1339 KUHPerdata) 75 7. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian Ada beberapa asas yang tedapat dalam hukum perjanjian yaitu : a) Asas kebebasan mengadakan perjanjian. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan perjanjian-perjanjian, bebas menentukan isi, syarat-syarat perjanjian,
75
Ibid., hal 62.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dengan bentuk tertentu dan bebas memilih Undang-Undang dipakainya untuk perjanjian itu. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh UndangUndang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 76 b) Asas Konsensualisme. Asas ini juga ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini berkaitan dengan adanya keinginan atau kemauan para pihak untuk mengadakan perjanjian untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian yang dibuat. Menurut Grotius mengatakan bahwa pacta sunt servanda yang berarti janji itu mengikat. Seterusnya ia mengatakan lagi bahwa kita harus memenuhi janji kita. 77 c) Asas Kepercayaan Asas ini dimuat dalam Pasal 1338 jo 1334 KUHPerdata. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa antara satu dengan yang lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. d) Asas kekuatan mengikat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata. Maksudnya didalam perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat karena perjanjian 76 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 111. 77 Ibid., hal. 109.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
terkandung asas kekuatan mengikat karena terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kepatutan dan kebiasaan akan mengikat para pihak. e) Asas persamaan Hak Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUHPerdata. Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. f) Asas Keseimbangan Asas ini dimuat dalam Pasal 1338 dan Pasal 1244 KUHPerdata yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak g) Asas Kepentingan umum Asas ini menghendaki kedua belah pihak memperhatikan kepentingan umum yang berhubungan dengan perjanijian yang dibuat. Jadi unsur kepentingan umum harus benar-benar diutamakan oleh kedua belah pihak. h) Asas Kepatutan Asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan persetujuanpersetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Asas kepatutan ini menurut Badrulzaman, harus dipertahankan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 78 i) Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk mengugat kontreksepsi dari debitur. Hal ini terlihat pula dalam zaakwaarneming yaitu seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan suka rela (moral), yang bersangkutan mempunyai
kewajiban
(hukum)
untuk
meneruskan
dan
menyelesaikan
perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberi motivasi yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) dan sebagai panggilan dari hati nurainya j) Asas Kebiasaan Asas ini dimuat daam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat uhtuk hahal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan kebiasaan diikuti. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas diyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
78
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.
44.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan UndangUndang. Pasal 1347 KUHPerdata menyatakan pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata menurut Badrulzaman, ialah kebiasaan pada umumya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUHPerdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim belaku didalam golongan tertentu. 79 k) Asas sistem terbuka Asas ini penting diperhatikan dalam perjanjian. Sistem perjanjian yang bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga dapat menuntut apabila perjanjian tersebut dianggap merugikan kepentingannya.
B. Sewa Menyewa Rumah Dalam KUHPerdata KUHPerdata Buku III memuat ketentuan mengenai sewa menyewa tanah, rumah dan isi rumah, namun tidak mengatur sewa menyewa barang-barang seperti mobil dan lain sebagainya baik secara lisan maupun tulisan.
79
Ibid., hal. 117.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pada prinsipnya perjanjian sewa menyewa secara lisan maupun tulisan tidak jauh berbeda dan segala ketentuan KUHPerdata mengenai perjanjian sewa menyewa secara tertulis berlaku pula untuk perjanjian sewa menyewa yang dibuat secara lisan. Pengertian sewa menyewa juga diatur dalam pasal 1548 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa sewa menyewa itu adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. 1. Hak Dan Kewjiban Pemilik rumah (Pemberi Sewa) Pihak yang menyewakan berhak untuk menerima pembayaran uang sewa dari pihak penyewa sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian sewa menyewa berdasarkan kesepakatan diantara mereka. Pasal 1550 KUHPerdata menyebutkan tiga hal kewajiban pokok dari pihak yang menyewakan yaitu : 1. Untuk menyerahkan barangnya kepada si penyewa 2. Untuk memelihara barangnya sedemikian rupa sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan 3.
Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa Pasal 1551 KUHPerdata mewajibkan pemilik rumah untuk menyerahkan
barangnya kepada si penyewa dalam keadaan terpelihara dengan baik, namun bukan
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
berarti barang yang kurang terpelihara dengan baik tidak boleh disewakan, boleh saja apabila sipenyewa tahu betul akan hal tersebut dan menyetujuinya. Pasal 1552 KUHPerdata menyebutkan kepada pemilik rumah juga diwajibkan untuk menanggung sipenyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakannya itu, walaupun pemilik rumah sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat perjanjian sewa tersebut dan apabila cacat-cacat itu mengakibatkan sesuatu kerugian pada sipenyewa maka pemilik rumah diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.
2. Hak dan Kewajiban Penyewa Penyewa mempunyai hak untuk menerima barang yang disewanya untuk dinikmati dalam keadaan baik dan bebas dari ikatan tuntutan hak apapun yang datang dari pihak ketiga, oleh karenanya pihak penyewa juga berhak mendapat perlindungan dari pihak yang menyewakan atas barang yang menjadi objek sewa menyewa. Bagi pihak penyewa ada dua kewajiban utama yaitu : a.
Memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewa menyewa
b.
Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut
perjanjian. 80 Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang bapak rumah yang baik berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan barang itu kepunyaan sendiri.
80
R. Subekti, Op. Cit, hlm 43
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pasal 1564 KUHPerdata menyebutkan pihak penyewa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk segala kerusakan-kerusakan yang diterbitkan oleh pihak penyewa sendiri pada barang yang disewanya selama berlangsungnya waktu sewa terkecuali apabila pihak penyewa dapat membuktikan bahwa terjadinya kerusakan tersebut adalah di luar kesalahan atau dengan kata lain kerusakan itu terjadi dengan suatu keadaan yang memaksa. Pasal 1583 KUHPerdata mewajibkan penyewa melakukan pembetulanpembetuan kecil sehari-hari. Pasal ini juga memberikan contoh dari perbaikan kecil seperti perbaikan pada lemari toko, penguncian jendela dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa penyewa harus bertanggung jawab penuh dalam menjaga dan memelihara objek yang disewanya selama masa sewa berlangsung, apabila terdapat kerusakan atas objek sewa, maka penyewa harus melakukan perbaikan, karena kerusakan tersebut bukan merupakan tanggungan pemilik barang.
3. Risiko Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menentukan apabila barang yang disewa itu sama sekali musnah karena suatu peristiwa yang di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Misalnya ketika terjadi bencana alam seperti tsunami yang pernah menimpa sebagaian wilayah Indonesia, menyebabkan banyak rumah yang hancur. Hal tersebut terjadi diluar kehendak para pihak oleh karenanya perjanjian gugur demi hukum.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Perkataan gugur demi hukum inilah disimpulkan bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, hal mana berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang yang disewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan, dan hal ini memang suatu peraturan resiko yang setepatnya, karena pada asasnya seiap pemilik barang wajib menanggung segala resiko atas barang miliknya. 81 Pasal 1553 KUHPerdata menyatakan juga bahwa bila barang yang disewakan hanya sebagian saja yang musnah, maka si penyewa dapat memiih antara pembatalan persewaan atau pengurangan harga sewa, akan tetapi ganti kerugian tidak dapat dituntut. Misalnya apabila terjadi suatu kebakaran yang berasal dari rumah tetangga yang terbakar sehingga merembet dan memusnahkan sebagian dari rumah yang menjadi objek sewa menyewa, maka baik pemilik rumah ataupun penyewa tidak dapat menuntut ganti rugi, karena kejadian terebut bukan merupakan kesengajaan yang dibuat, namun penyewa mempunyai hak untuk membatalkan atau meminta pengurangan sebagian harga sewa. Dalam Pasal 1552 ayat (1) KUHPerdata menentukan apabila terhadap objek sewa terdapat cacat yang berakibat penyewa terhalang memakai objek sewa, maka pihak yang menyewakan harus menanggung walaupun pada saat persetujuan sewa menyewa diadakan pemilik barang tidak tahu adanya cacat itu. Pasal 1552 ayat (2) KUHPerdata menegaskan, apabila si penyewa mendapat rugi sebagai akibat dari cacat itu, maka pihak yang menyewakan harus memberi ganti kerugian. Pasal diatas merupakan pasal yang melindungi kepentingan pihak penyewa, karena sebagai penyewa tidak selamanya ia mengetahui secara detil atas objek yang
81
Ibid, hlm 44
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
akan di sewa, adakalanya setelah sewa berlangsung selama beberapa waktu barulah kelihatan kekurangan atau cacat dari objek sewa, cacat mana mungkin saja sangat merugikan penyewa, sehingga merupakan tanggung jawab pemilik rumah untuk memberi ganti rugi kepada penyewa karena telah mengeluarkan biaya sewa. Dalam perjanjian sewa menyewa pengaturan masalah resiko adalah apabila terjadi sesuatu peristiwa atas barang yang disewa, bisa saja terjadi karena disebabkan kelalaiannya atau karena keadaan yang memaksa di luar kesanggupan dan jangkauan salah satu pihak. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan rusaknya atau tidak dapat dipergunakan sebagai mana mestinya dikarenakan kesengajaan dari salah satu pihak, maka dalam hal ini resiko atas terjadinya peristiwa tersebut dikarenakan kesalahan pihak yang menyewakanlah yang harus bertanggung jawab atas resiko yang terjadi dan jika pihak penyewa yang melakukan kesalahan terebut maka pihak penyewalah yang harus menanggung resiko. Tetapi apabila terjadinya suatu peristiwa telah menimpa barang yang disewa disebabkan oleh suatu keadaan yang memaksa, misalnya karena bencana alam, maka dalam hal ini pihak penyewa terhindar dari tanggung jawab dan pihak yang menyewakan tidak dapat meminta tanggung jawab resiko kepada pihak penyewa.
4. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa Perjanjian sewa menyewa dapat berakhir dengan 2 (dua) cara yaitu : 1. dengan sendirinya pada waktu tertentu 2. setelah dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang waktu
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dengan sendirinya berakhir menurut Pasal 1570 KUHPerdata hanya terjadi kalau perjanjian sewa menyewa di bentuk secara tertulis serta dalam perjanjian tersebut disebutkan suatu waktu tertentu untuk berakhirnya persetujuan. Pasal 1571 KUHPerdata menyebutkan, apabila sewa menyea dibuat secara lisan atau dengan tulisan yang tidak menetapkan suatu waktu tertentu bagi akhirnya persewaan, maka sewa menyewa selalu hanya dapat dihentikan secara pemberitahuan oleh salah satu pihak kepada pihak lain, bahwa sewa menyewa dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang yang lamanya tergantung dari adat kebiasaan. Kalau terjadi penghentian semacam ini dalam persetujuan sewa menyewa, maka setelah tenggang tersebut lampau, si penyewa yang memakai barang yang di sewa bertindak tanpa hak dan dapat di usir sewaktu-waktu. Mengenai hal ini Pasal 1572 KUHPerdata mengtakan si penyewa ini tidak dapat mengemukakan suatu persewaan baru yang diadakan secara diam-diam. Bila sewa menyewa yang dibuat secara tulisan dan berhenti pada suatu waktu tertentu berdasarkan Pasal 1573 KUHPerdata, bila jangka waktu sewa telah berakhir dan penyewa tetap menguasai barang yang disewanya dan oleh pemilik barang dibiarkan saja, maka dalam hal ini terbentuklah suatu persewaan baru yang akibatakibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan dengan lisan. Pasal 1575 KUHPerdata menentukan bahwa persetujuan sewa menyewa tidak berhenti dengan meninggalnya salah satu pihak karena pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari suatu perjanjian menurut hukum waris dengan sendirinya beralih pada ahli waris. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pasal 1579 KUHPerdata mengatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila diperbolehkan dalam perjanjian. Pasal tersebut melindungi kepentingan dari penyewa bahwa pemilik rumah tidak dapat sekehendak hatinya menghentikan sewa menyewa dengan alasan bahwa ia memerlukan barang tersebut untuk di pakai sendiri. Apabila hal ini tidak diatur maka penyewa merupakan pihak yang paling dirugikan.
C. Kekuatan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa Antara Penyewa dengan Pemilik Tanah Di Kampung Jawa
Perjanjian sewa menyewa rumah di Kampung Jawa, Desa Keudah Kecamatan Kota Raja masih banyak dilakukan dengan sewa menyewa di bawah tangan. Sewa menyewa di bawah tangan ini dilakukan karena berdasarkan saling percaya satu sama lain dan berdasarkan kekeluargaan. Disamping itu untuk melakukan sewa menyewa tersebut tidak memerlukan biaya untuk membuat perjanjian dihadapan pejabat yang berwenang. 82 Perjanjian sewa menyewa rumah antara Bapak Marlidon sebagai Penyewa dengan Bapak Said Muktar sebagai pemilik tanah atau yang menyewakan di Kampung Jawa ini hanya dilakukan dengan memakai kertas segel dan tanpa adanya saksi-saksi yang turut serta menandatangani perjanjian sewa menyewa tersebut, perjanjian sewa menyewa ini hanya ditanda tangani oleh Bapak marlidon sebagai 82
Wawancara dengan Bapak Johan, salah seorang penyewa, pada tanggal 8 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
pihak penyewa dengan Bapak Said Muktar sebagai pihak yang menyewakan, akan tetapi karena bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang melanda kota Banda Aceh dan sekitarnya termasuk juga terjadi di Kampung Jawa maka segala surat-surat yang berkaitan dengan sewa menyewa tersebut pun telah hilang/musnah akibat bencana tersebut. 83 Sementara perjanjian sewa menyewa antara Bapak Mohammad Yatim sebagai salah seorang
penyewa dengan Bapak Said Muktar sebagai pemilik tanah di
Kampung Jawa ini dilakukan dengan dibuatnya surat perjanjian sewa menyewa dibawah tangan pada selembar kertas, dan kemudian surat perjanjian tersebut ditanda tangani oleh Bapak Muhammad Yatim sebagai penyewa dengan Bapak Said Muktar sebagai pemilik tanah atau pihak yang menyewakan dengan disaksikan oleh istri Bapak Muhammad Yatim yang juga turut menandatangani perjanjian sewa menyewa tersebut, akan tetapi surat perjanjian sewa menyewa tersebut pun telah hilang atau musnah karena bancana alam tsunami tersebut. 84 Berdasarkan hasil penelitian, perjanjian sewa menyewa yang terjadi di Kampung Jawa merupakan perjanjian yang sah artinya perjanjian tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sehingga ia diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian itu tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian.
83
Wawancara dengan Bapak Marlidon, salah seorang penyewa, pada tanggal 8 Oktober 2009 Wawancara dengan Bapak Mohammad Yatim, salah seorang penyewa, pada tanggal 9 Oktober 2009 84
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai mana dikehendaki oleh mereka. Maka dengan demikian perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak tersebut diatas meskipun dilakukan di bawah tangan diakui oleh hukum dan merupakan undang-undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut, hal ini sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya sehingga perjanjian sewa menyewa antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa di kampung jawa tersebut merupakan suatu perjanjian yang sah dan mengikat para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian sewa menyewa tersebut. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman juga menyebutkan didalam pasal 12 ayat (3) bahwa penghunian rumah dengan cara sewa menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, hal ini berarti bahwa perjanjian sewa menyewa boleh saja dilakukan dibawah tangan tidak harus dengan akta otentik asal saja dibuat secara tertulis diantara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 disebutkan lagi bahwa pihak penyewa wajib untuk menaati berakhirnya Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis dan apabila setelah lewat jangka waktu pihak penyewa tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian sewa menyewa tersebut maka penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya, hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, untuk itu apabila penyewa tidak mau meninggalkan rumah yang disewa setelah lewat jangka waktu sewa maka pihak yang menyewakan dapat meminta bantuan pihak kepolisian untuk memaksa pihak penyewa pergi dari rumah yang disewa dan segala biaya pengosongan yang berkaitan dengan itu menjadi tanggungan pihak penyewa. Kemudian lagi dalam pasal 12 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 juga menyebutkan bahwa sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas maka meskipun perjanjian sewa menyewa tersebut tidak dilakukan dihadapan seorang pejabat yang berwenang. Namun demikian perjanjian sewa menyewa tersebut diakui oleh hukum dan merupakan undang-undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi bila dibandingkan dengan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang berarti bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna atau tidak maupun benar atau tidaknya akta itu cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri, dengan Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
kata lain tidak memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya sedangkan akta dibawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya artinya kekuatan akta dibawah tangan ini dapat dipersamakan kekuatannya dengan akta otentik bila dalam hal pembuktiannya oleh para pembuat akta dibawah tangan mengakui atau membenarkan bahwa merekalah yang menandatangani akta dibawah tangan tersebut, oleh karena itu perbedaan antara akta dibawah tangan dengan akta otentik adalah terletak pada ada atau tidaknya campur tangan dari pihak yang berwenang.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
BAB III ALAS HAK BAGI BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI (BRR) ACEH DALAM PEMBERIAN BANTUAN PERUMAHAN TERHADAP MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM TSUNAMI DI KAMPUNG JAWA
A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami Pendaftaran tanah dilakukan oleh lembaga pemerintah secara sentralistik berdasarkan maksud Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dimana pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Unsur-unsur pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tersebut adalah meliputi serangkaian kegiatan, dilakukan oleh pemerintah, terus menerus, berkesinambungan dan teratur. Rangkaian kegiatan pendaftaran tanah dilakukan secara sistematis, untuk kegiatan administrasi maupun kegiatan operasional yang meliputi pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah, serta pemberian sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan secara serentak atas semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atas prakarsa pemerintah. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama sekali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. 85 Asas pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan prinsip sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka untuk menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (suatu rechtskadaster atau legal cadastre). 86 Adapun tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: a.
b.
c.
Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah dilakukan atas tanah hak di atas permukaan bumi,
sebagaimana dikemukakan oleh Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad: 85
Lihat Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 86 Boedi Harsono, op. cit., hlm 425
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, mengartikan tanah sebagai permukaan bumi (the surface of the earth). Dengan demikian, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang PokokPokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lainnya. Tegasnya, meskipun secara pemilikan hak atas tanah hanya atas permukaan bumi, penggunaannya selain atas tanah itu sendiri, juga atas tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya. Itu sangat logis, karena suatu hak atas tanah tidak akan bermakna apapun juga kepada pemegang haknya tidak diberikan kewenangan untuk menggunakan sebagian dari tubuh bumi, air dan ruang di atasnya tersebut. 87 Hal ini sejalan dengan pendapat Boedi Harsono yang menyatakan, yuridis tanah merupakan permukaan bumi, yang berdimensi dua dan dalam penggunaannya tanah berarti ruang yang berdimensi tiga. 88 Untuk mengatasi persoalan administrasi pertanahan Pasca Tsunami, maka pendaftaran tanah ulang dilakukan berdasarkan kebijakan Badan Pertanahan Nasional secara sistematis berbasis masyarakat melalui program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System), Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Selanjutnya pada tahun 2007, pendaftaran tanah dilakukan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan 87
Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hlm 71. 88 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan (Edisi Revisi), Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 296.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Pada mulanya untuk mengatasi pemulihan hak keperdataan kepemilikan tanah masyarakat di Aceh dilaksanakan melalui kegiatan Reconstruction of Aceh Land Administration System (RALAS) untuk wilayah terkena Gempa dan Tsunami. Sistim berbasis masyarakat dalam pendaftaran tanah masyarakat di daerah Tsunami bertujuan untuk membangun kembali sistem administrasi pertanahan, meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah, meningkatkan efisiensi, transparansi dan kualitas pelayanan pertanahan, dan memperbaiki kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien dan transparan. 89 Pendaftaran tanah melalui program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) telah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan bantuan pembiayaan negara-negara Multi Donor Fund (MDF) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 90 Akibat Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah mengaburkan administrasi pertanahan berupa hilangnya bukti dokumen kepemilikan tanah, batasbatas tanah, bukti fisik bangunan serta rusak dan hilangnya dokumen arsip pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten, maka sistim melibatkan
89
Fauzi Azhary, Penanganan Masalah Pertanahan Pasca Tsunami Dan Konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, Seminar Nasional Penanganan Pertanahan di Nanggroe Aceh Darussalam, Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh LBH Banda Aceh, Tanggal 20 September 2006, hlm 1-7. 90 Ibid, hlm 25
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
masyarakat dalam melakukan pendaftaran tanah ulang merupakan solusi yang harus diambil oleh Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah secara sistematis berbasis masyarakat merupakan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak meliputi semua obyek tanah yang berada di seluruh wilayah dalam suatu Gampong/Kelurahan yang ditetapkan sebagai lokasi bencana. Dalam proses pendaftaran tanah berbasis masyarakat banyak mengalami kendala diantaranya ada tanah yang musnah, hilangnya tanda batas bidang tanah termasuk tanda batas alam dan titik dasar teknis (TDT), meninggalnya pemilik tanah, atau pemilik tanah dan ahli waris yang belum bertempat tinggal di lokasi letak tanah dan tidak tersisa seorangpun pada wilayah bencana Tsunami. Lalu pemberian sertifikasi melalui program ini dihentikan akibat belum ada aturan hukum yang dapat menjadi dasar untuk penetapannya agar tidak terjadi sertifikasi ganda dan konflik di kemudian hari. 91 Walaupun sistim melibatkan masyarakat dalam melakukan pendaftaran tanah ulang merupakan solusi yang tepat diambil kebijakan oleh Badan Pertanahan Nasional tentunya hal ini tidak dapat dilaksanakan karena belum adanya aturan hukum sebagai dasar penerbitan sertifikat hak atas tanah masyarakat korban Tsunami. Setelah mengetahui dokumen tanah yang berada pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Nanggroe Aceh Darussalam mengalami kerusakan (hancur/ hilang) hanya 20%, selebihnya kemungkinan dapat diselamatkan dengan proses 91
Laporan ARRA (Aceh Reconstruction And Rehabilitation Appraisal) Kedua, Mei-Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, FISIP Universitas Malikussaleh dan Yayasan Pengembangan Kawasan, hlm. 3.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
restorasi
92
. Maka Badan Pertanahan Nasional dan Badan Arsip Nasional melakukan
kerjasama dengan Japan International Coorporation Agency (JICA) dalam rangka menyelamatkan arsip-arsip pertanahan yang terendam dan rusak saat Tsunami 93 . Setelah berselang waktu lebih dari 2 (dua) tahun, tepatnya bulan Oktober 2008 dimana seluruh salinan arsip pertanahan telah berada kembali pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya memberikan harapan kepada masyarakat korban Tsunami untuk mendapatkan jaminan kepastian hak atas tanah Pasca Tsunami 94 . Pendaftaran tanah ulang pada lokasi bencana gempa dan Tsunami dengan sistim berbasis masyarakat dikenal dengan nama program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System). Akibat program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System), tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan pendaftaran tanah sesuai maksud Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu membentuk Panitia Ajudikasi.
92
Serambi Indonesia, Permasalahan aministrasi pertanahan masyarakat korban Tsunami dapat diatasi, tanggal 12 Februari 2005 berdasarkan sumber yang dilansir oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 93 Proteksi Hukum Atas Status Tanah Korban Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, Laporan Analisis Kebijakan Kata Hati Institut, Juli 2005, Banda Aceh, hlm 2 94 Wawancara dengan Bapak Yasril, SH, Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh, pada tanggal 14 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Panitia Ajudikasi yang dibentuk akan melaksanakan tugas dengan mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah. 95 Baru pada tahun 2007, pendaftaran tanah dilakukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Hakekat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diterbitkan oleh pemerintah apabila dalam keadaan memaksa dan segera dilaksanakan. Sebagai dasar pertimbangan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, sebagaimana tercantum dalam konsiderannya : a. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi lanjutan pada tanggal 28 Maret 2005 di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara telah mengakibatkan korban jiwa, harta benda dan kerusakan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan; 95
Lihat, Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Lihat juga Pasal 1 angka 2, yang menyatakan Panitia Pemeriksaan Tanah B yang selanjutnya disebut “Panitia B” adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
b. bahwa bencana alam tersebut selain mengakibatkan korban jiwa, harta benda dan kerusakan yang luar biasa juga menimbulkan permasalahan hukum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan perbankan; c. bahwa permasalahan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, sangat mendesak untuk segera ditangani, guna mengembalikan kondisi psikologis penduduk, kehidupan sosial ekonomi dan normalisasi pemerintahan melalui usaha rehabilitasi dan rekonstruksi; d. bahwa dalam penanganan permasalahan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf c perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan pertimbangan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, secara tegas disebutkan bencana Tsunami telah menimbulkan permasalahan hukum dalam kaitan administrasi pertanahan yang sangat mendesak untuk segera ditangani oleh BRR NAD-Nias. Dimana keberadaan BRR NAD-Nias diatur kewenangannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550). Pendaftaran tanah ulang pasca Tsunami di Aceh dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007, dilaksanakan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, yang secara tegas Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. 96 Pendaftaran tanah ulang pasca Tsunami menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, bertujuan untuk mengatasi konflik pertanahan : (1) Tanah yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami terdiri atas tanah yang masih ada dan tanah musnah. (2) Penetapan dan pengumuman tanah musnah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pengumuman tanah musnah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. 97 Pengaturan atas tanah korban bencana Tsunami yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, yaitu : a) Hak atas tanah musnah dan hak yang membebani tanah musnah menjadi hapus. Buku tanah, tanda bukti hak atas tanah, dan dokumen yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lain atas tanah musnah termasuk tanah yang belum terdaftar, dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai tanda bukti hak yang sah. 98
96
Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 97 Pasal 3 Perpu No. 2 Tahun 2007. 98 Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2007.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
b) Terhadap tanah yang masih ada baik terdaftar maupun tidak terdaftar, yang dapat diidentifikasi maupun tidak, dilakukan pengukuran kembali dan penetapan batas berdasarkan penunjukkan batas oleh pemegang hak atas tanah atau ahli waris bersama masyarakat, pejabat kelurahan, gampong, atau desa setempat, dan Kepala Kantor Pertanahan, untuk kemudian dibuatkan sertifikat hak atas tanah. 99 c) Tanah yang sudah terdaftar tetapi tanda bukti haknya rusak, hilang, atau musnah, diterbitkan tanda bukti hak pengganti dengan sistem penomoran identitas bidang. Dengan penerbitan tanda bukti hak pengganti maka tanda bukti hak atas tanah yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan tanah yang belum terdaftar yang berasal dari bekas tanah hak milik adat, dapat dilakukan pengakuan atau penegasan hak oleh Kantor Pertanahan untuk diterbitkan tanda bukti hak. Kemudian, tanah yang belum terdaftar yang berasal dari tanah Negara dapat diberikan hak atas tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan dengan sistem penomoran identitas bidang. 100 Dokumen pertanahan dapat berupa dokumen tertulis atau dokumen elektronik. Di mana dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik itu juga berlaku sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen tertulis. Apabila dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik akan diterbitkan sebagai produk hukum tertulis maka dapat dilakukan pencetakan dokumen elektronik. Hasil cetak dari dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi setiap hasil pencetakan dokumen elektronik itu wajib dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk dengan dibuatkan Berita Acara. 101 Dengan demikian pengaturan atas tanah korban bencana Tsunami sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
99
Pasal 6 Perpu No. 2 Tahun 2007. Pasal 7 Perpu No. 2 Tahun 2007. 101 Pasal 14 Perpu No. 2 Tahun 2007. 100
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Tahun 2007 sangat terlambat diterbitkan oleh Pemerintah. Walaupun kehadirannya untuk mengatasi permasalahan pertanahan pasca tsunami, khususnya untuk melakukan pendataan dan pengukuran ulang terhadap tanah yang masih ada baik terdaftar maupun tidak terdaftar, masih dapat diidentifikasi maupun tidak, tetap dilakukan pengukuran kembali dan penetapan batas berdasarkan penunjukkan batas oleh pemegang hak atas tanah atau ahli waris bersama masyarakat, pejabat kelurahan, gampong, atau desa setempat, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk selanjutnya dibuatkan sertifikat hak atas tanah. 102 Dalam hal ini masih adanya kekurangan kelengkapan atas permohonan pemegang hak atas tanah baik pada bidang tanah yang sudah terdaftar, dan telah dilakukan pengukuran dilapangan dengan melibatkan pemohon hak atas tanah dan menunjukkan batas-batas tanah dan turut dihadiri oleh saksi-saksi sesuai pernyataan pemohon dalam melakukan peninjauan kelapangan. Dalam peninjauan kelapangan panitia ajudikasi tidak didampingi oleh pemohon. Semestinya Panitia Ajudikasi setelah mempelajari maksud pemohon, maka perlu dimintakan pada pemohon ,untuk memperlihatkan alas hak ats tanah tersebut diatas serta melakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh untuk mendapatkan alas hak atas tanah tersebut.
102
Pasal 6 Perpu No. 2 Tahun 2007.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Hal ini tidak dilakukan oleh Panitia Ajudikasi berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yasril, SH
103
, dimana disebutkan Panitia Ajudikasi dalam melakukan
tugasnya tidak pernah meminta klarifikasi alas hak yang tersedia pada Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan setelah diproses oleh Panitia Ajudikasi maka diserahkan pada Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh untuk dikeluarkan sertifikat tanda bukti hak.
B. Proses Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami Setiap melaksanakan tugas
mengacu pada Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, bahwa Panitia Pemeriksaan Tanah A disebut Panitia A merupakan panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah. 104 Prosedur pendaftaran tanah dilakukan oleh pemohon dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan melalui Panitia Ajudikasi setempat
103
Wawancara dengan Bapak Yasril, SH Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh, pada tanggal 14 Oktober 2009 104 Lihat, Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Lihat juga Pasal 1 angka 2, yang menyatakan Panitia Pemeriksaan Tanah B yang selanjutnya disebut “Panitia B” adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dengan melengkapi syarat-syarat dalam pelaksanaan permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemohon membawa bukti alas hak atas tanah, Pemohon mendaftar di loket kantor pertanahan, Loket pendaftaran tanah mendistribusikan ke seksi yang bersangkutan, Seksi mengolah data dan menyiapkan keputusan, Kepala kantor menandatangani kegiatan pendaftaran tanah tersebut, Dari Kepala Kantor dikirim ke seksi yang bersangkutan, seksi mengirim kembali ke Loket, 7. Kemudian loket menyerahkan hasilnya kepada Pemohon. 105 alam melaksanakan tahapan pendaftaran tanah, Panitia Ajudikasi menemukan kekurangan kelengkapan atas permohonan pemegang hak atas tanah baik pada bidang tanah yang belum terdaftar maupun yang sudah terdaftar, maka dilakukan pengukuran dan melakukan gambar situasi dilapangan. Pada waktu pengukuran lapangan dilibatkan pemohon hak atas tanah dan penunjukan batas-batas tanah dan turut dihadiri saksi-saksi sesuai pernyataan pemohon.
Kekurangan dokumen permohonan yang dialami secara umum yaitu alas hak tanah atau dokumen lain yang berkaitan dengan tanah tidak ada lagi karena hilang atau rusak sewaktu Tsunami. Untuk ini Panitia Ajudikasi melakukan peninjauan kelapangan tanpa dihadiri pemohon untuk : 106 1.
2.
3.
Mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah tersebut yang dapat digunakan untuk lebih memperkuat kesaksian atau keterangan mengenai pembuktian kepemilikan tanah tersebut. Meminta keterangan tambahan dari masyarakat sekitarnya yang diperkirakan mengetahui riwayat kepemilikan bidang tanah tersebut dengan melihat usia dan lamanya ia tinggal di daerah tersebut. Melihat keadaan bidang tanah di lokasi untuk mengetahui apakah yang bersangkutan secara fisik menguasai tanah tersebut atau digunakan pihak lain, dengan seizin yang bersangkutan selain itu menilai bangunan dan
105
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. 106 S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar Yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), (Pustaka Bangsa Press, Medan), hlm 128-129.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
tanaman yang ada di atas bidang tanah yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk pembuktian kepemilikan seseorang atas bidang tanah tersebut. Menurut Abdurrahman, para petugas pendaftaran tanah tidaklah bersikap pasif atau Lijdelijk”, artinya menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang meminta pendaftaran. Kita telah mengetahui, bahwa baik pada pembukuan untuk pertama kali maupun pada pendaftaran atau pencatatan perubahanperubahannya, kemudian para petugas pelaksanaan diwajibkan untuk mengadakan penelitian seperlunya untuk mencegah terjadinya kekeliruan. Batas-batas tanah ditetapkan dengan memakai sistem “contradictoire delimitatie” sebelum tanah dan haknya dibukukan diadakan pengumuman, perselisihan-perselisihan diajukan ke pengadilan, bila tidak dapat diselesaikan oleh berkepentingan. Sejauh mungkin diadakan usaha-usaha agar keterangan-keterangan yang ada pada tata usaha Kantor Pendaftaran Tanah itu selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Atas segala keterangan yang diberikan oleh pemohon dan segala data kegiatan peninjauan lapangan wajib disimpan oleh Panitia Ajudikasi sebagai warkah pada Kantor Pertanahan setempat. Dengan maksud Pasal 60 ayat (6) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu : Pemegang hak atau kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan menyerahkan bukti tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bertanggung jawab secara hukum pidana maupun perdata mengenai kebenaran bukti tertulis yang diserahkan dan Panitia Ajudikasi bertanggung jawab untuk menyimpan dan mengamankan sebagai bahan penelitian dan pengumuman data yuridis bidang tanah yang bersangkutan dan untuk selanjutnya disimpan sebagai warkah di Kantor Pertanahan. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Selanjutnya Panitia Ajudikasi melakukan peninjauan kelapangan tanpa dihadiri pemohon untuk mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah untuk mengetahui riwayat kepemilikan, lamanya ia tinggal, dan adanya penguasaan secara fisik atas bidang tanah, dan turut menilai bangunan dan tanaman yang berada di atasnya yang dipergunakan sebagai petunjuk pembuktian kepemilikan seseorang atas bidang tanah. Untuk memberi kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan mengenai data fisik dan data yuridis yang dikumpulkan Panitia Ajudikasi, maka diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa/Lurah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi maksud Pasal 63 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu : Untuk memberi kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan mengenai data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan oleh Panitia Ajudikasi, maka daftar data yuridis dan data fisik bidang tanah (daftar isian 201C) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peta bidang-bidang tanah diumumkan dengan menggunakan daftar isian 201B selama 30 (tigapuluh) hari di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan. Untuk dapat dijadikan dasar pendaftaran hak atas tanah, maka Panitia Ajudikasi
membuat berita acara pengesahan data fisik dan data yuridis untuk
diajukan kepada Kantor Pertanahan. Selanjutnya Kantor Pertanahan mengeluarkan penetapan pemberian hak dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja kepada Panitia Ajudikasi. Sebagaimana maksud Pasal 66 ayat (2), ayat (4) dan ayat (6) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu : Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Dalam pendaftaran tanah secara sistematik Kepala Kantor Pertanahan diberi kewenangan untuk menetapkan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penetapan pemberian hak dikeluarkan secara kolektif dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usul pemberian hak tersebut dari Ketua Panitia Ajudikasi. Setelah penetapan pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat 5 ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan, daftar isian 310 yang dihalaman terakhir memuat keputusan pemberian hak tersebut, diserahkan kembali kepada Ketua Panitia Ajudikasi untuk dijadikan dasar pendaftaran hak atas tanah tersebut. Sertifikat hak milik merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat lahan tanahnya secara turun temurun, terkuat dan terpenuh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tentunya hal ini dikeluarkan untuk menjamin kepastian hak atas tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku-buku tanah hak yang bersangkutan. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar dalam berperkara di pengadilan.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Atas dasar adanya penetapan pemberian hak, maka dilakukan pembukuan hak untuk dikeluarkan sertifikat oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor Pertanahan. Pengaturan kewenangan Panitia Ajudikasi diatur dalam Pasal 69 ayat 1 dan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu : Untuk hak-hak atas tanah, hak pengelolaan dan tanah wakaf yang sudah didaftar dalam buku tanah dan memenuhi syarat untuk diberikan tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diterbitkan sertifikat. Penandatanganan sertifikat dilakukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor Pertanahan. Lebih lanjut Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut, apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, hakikatnya adalah memberikan jaminan kepastian hukum yang bermuara pada pemberian perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah di Indonesia. Tahap akhir dari pendaftaran tanah adalah :
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
1. Untuk proses pendaftaran tanah pertama, hak-hak atas tanah adalah dengan penerbitan sertifikat atas tanah. 2. Untuk proses peralihan, perpindahan hak atas tanah atau pembebanan dan pencoretannya akan tercatat dalam daftar buku tanah dan terakhir harus tercatat pula dalam sertifikat tanahnya. 107 Dengan demikian sertifikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subjek hukum hak atas tanah, sehingga adalah naif sekali apabila Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksananaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya mensyaratkan alat bukti yang memiliki bobot yang sangat ringan. Dengan alat bukti yang sangat ringan maka diperlukan adanya alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan sertifikat tanah.
C. Alas Hak Badan Rekonstruksi Dan Rehabilitasi (BRR) Aceh Dalam Pemberian Bantuan Perumahan terhadap Masyarakat Korban Bencana Alam Tsunami di Kampung Jawa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD-Nias (selanjutnya disebut BRR), dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perpu) Nomor 2 Tahun 2005. Sebagai penguatan dari Perpu ini, diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi
NAD-Nias
menjadi
Undang-Undang,
dan
untuk
organisasionalnya juga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2005
107
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Arkola Surabaya, Surabaya, 2003), hlm 140.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
tentang Keanggotaan Dewan Pengarah dan Dewan Pengawas serta Pejabat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja serta Hak Keuangan BRR Wilayah dan kehidupan Masyarakat Provinsi NAD-Nias, yang telah dirubah dengan Perpres Nomor 76 Tahun 2006. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Perpu Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NADNias, dinyatakan bahwa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, selanjutnya disebut sebagai Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, adalah lembaga yang dibentuk dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana”. Jadi jelaslah bahwa BRR merupakan suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pada wilayah pasca bencana (Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara). Rehabilitasi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana, konsisten dan berkelanjutan untuk memperbaiki dan memulihkan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai dengan sasaran utama untuk memungkinkan terjadinya normalisasi atau perjalanannya secara wajar semua aspek pemerintahaan dan kehidupan masyarakat di Wilayah Pasca Bencana. Selanjutnya rekonstruksi adalah pembanguan kembali semua prasarana, sarana kelembagaan di Wilayah Pasca Bencana, baik ditingkat penerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan kertertiban, dan bangkitnya peran serta partisipasi
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana. 108 BRR terdiri dari lembaga yaitu Badan Pelaksana (Bapel) yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, Badan Penasehat tingkat tinggi untuk memandu strategi rekonstruksi, dan Badan Pengawas untuk memantau kegiatan, menangani pengaduan masyarakat dan melakukan audit. Ketiga Badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 109 Prioritas utama BRR adalah untuk mengklarifikasi misinya, membangun kepengurusannya dan mengembangkan berbagai Standart Operating Prosedure untuk mengadakan koordinasi, kepemimpinan strategis dan kendali mutu atas berbagai macam kegiatan yang sedang dilakukan oleh para donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 110 BRR menetapkan proses peninjauan kembali dan persetujuan untuk memastikan bahwa proyek-proyek tersebut sesuai dengan prioritas dan kebutuhan pemulihan secara langsung. BRR juga membangun sebuah pusat operasi untuk menelusuri proyek-proyek yang dibiayai para donor dan berupaya untuk membuat kerangka kerja baru untuk koordinasi donor. Dengan alokasi sumberdaya yang cukup 108
Lihat Pasal 1 angka 2 dan 3 Perpu No.2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara 109 Dokumen Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Laporan Desember 2006, upaya pemilihan dan kegiatan yang Akan Datang. hlm 8 110 Wawancara dengan Kamar Farza, SH (Kepala Layanan Hukum, BRR NAD-Nias) untuk Kota Banda Aceh , mengatakan bahwa dalam ranagka melakukan upaya rekonstruksi ada sekitar 124 LSM Internasional, 430 LSM Nasional, lusinan lembaga donor dan lembaga PBB. Untuk penggalang dan terbesar dalam rangka mendukung upaya bantuan dan pemulihan, seperti LSM-LSM Internasional dan Organisai-Organisasi yaitu Palang Merah/Bulan Sabit Merah, CARE, CARDI ,Catholik Relief Service, Mercy Corps, Oxfam, Save the Children dan World Vision.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
besar dari moratorium Paris Club, BRR menjadi sumber dana pemerintah yang penting untuk kegiatan rekonstruksi. BRR juga telah memberi kewenangan tambahan untuk melaksanakan proyek-proyek rekonstruksi perumahan melalui kontrak langsung. Dalam hal ini BRR bertindak langsung jika ada kekurangan atau jika ada program-program yang tidak berjalan dengan baik, dengan cara mengambil alih tanggung jawab atas program tersebut atau mengalihkannya kepada lembaga lain. 111 Dalam rangka menjalankan tugasnya BRR mempunyai rencana induk rehabilitasi. 112 Rencana tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun, sesuai periode waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009. Hal ini berarti bahwa BRR akan berakhir setelah masa tugasnya berakhir, yaitu tahun 2009, dan dalam melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pendanaan BRR berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan dari negara-negara donor. Dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara harus didasarkan pada suatu rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi, yang didasarkan kepada berbagai filosofi, norma-norma, peraturan perundang-undangan dan aspirasi masyarakat yang terkena bencana. Namun demikian kebijakan dan strategi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, yang terkait dengan aspek 111
Dokumen BRR,Op. Cit, hlm 9. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi SUMUT,yang selanjutnya disebut rencana induk adalah rencanarencana (blueprints) yang disusun oleh Pemerintah Daerah dalam rangka rehabilitasi dan Rekonstruksi diwilayah Pasca Bencana. 112
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
pemerintahan dan pembangunan di NAD, harus dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pelaksanaan otonomi khusus. 113 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Kekhususan Aceh, serta dengan adanya Keputusan Presiden yang melandasi pelaksanaan darurat sipil dan tertib sipil di Aceh. Integrasi kebijakan sektoral dan regional dijabarkan dalam rencana kerja berdasarkan lokasi, kegiatan yang dilakukan, pelaksanaan kegiatan, waktu pelaksanaan, dan sumber dana. Setiap tahap mulai dari tahap penetapan kebijakan, strategi, pengembangan wilayah, penetapan rencana kerja, pelaksanaan dan monitoring, evaluasi dan akuntabilitas melibatkan aspirasi, harapan dan partisipasi masyarakat. Dalam hal pemberi tugas adalah NGO, maka dalam hal ini NGO ikut serta dalam pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2005 tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing Dalam Rangka Hibah Untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Pasal 1 angka 3 Perpres tersebut, menyatakan bahwa Lembaga/Perorangan Asing adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Asing, Perusahaan Asing,
113
Otonomi Khusus dimaksudkan memberikan keleluasaan kepada daerah bik dari aspek pemerintahan, pembanguan dan kemasyarakatan sesuai dengan nilai dan budaya lokal yang berlandaskan pada penerapan Syariat Islam.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Universitas Asing, dan Perorangan Asing, yang memberikan Hibah dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk
dapat
berperan
serta
dalam
rehabilitasi
dan
rekonstruksi,
lembaga/perorangan asing mengajukan proposal program kepada Badan Pelaksana (BRR), yang sekurang-kurangnya memuat gambaran mengenai : a. Lembaga/perorangan asing yang bersangkutan; b. Program yang akan dilaksanakan; c. Mitra lokal yang dilibatkan dalam program yang dimaksud; d. Sektor, lokasi dan jangka waktu pelaksanaan program; e. Hasil yang diharapkan dari program yang dimaksud; f. Kebutuhan pembiayaan dan sumber dananya; g. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pelaksanaan program 114 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk daerah-daerah yang terkena dampak bencana alam gempa dan tsunami itu didasarkan pada data-data yang diberikan kepadanya, seperti surat keterangan dari lurah setempat. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) hanya akan membangun rumah diatas tanah warga yang rumahnya telah musnah atau hancur karena bencana gempa dan tsunami akan tetapi dengan ketentuan diatas tanah yang akan dibangun rumah tersebut harus bebas dari sengketa dan ada pemiliknya. Apabila pembangunan rumah diatas tanah tersebut sedang berjalan tiba-tiba muncul masalah atau sengketa mengenai status kepemilikan hak atas tanah tersebut maka pihak BRR akan dengan segera menghentikan
114
Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005 tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing Dalam Rangka Hibah Untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
pembangunan rumah diatas tanah tersebut, dan pembangunan rumah tersebut baru akan dilanjutkan kembali apabila sengketa diatas tanah yang sedang dibangun itu telah bebas dari sengketa. Masalah sengketa tanah ini bisa terjadi karena pihak BRR tidak melakukan pemeriksaan maupun penelitian diatas tanah yang akan dibangun rumah jadi hanya menerima begitu saja pernyataan dan data yang diberikan kepadanya. Hal ini bisa terjadi karena dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi untuk pemulihan aceh hanya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) sebagai wadah tunggal yang dibentuk pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk pemulihan Aceh sementara wilayah yang akan dibangun cakupannya sangat luas dan juga BRR dalam menajalankan tugas untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi mempunyai jangka waktu sehingga segala data yang diberikan kepadanya selalu ditampung dan diterima begitu saja tanpa melakukan peninjauan terlebih dahulu. Berdasarkan pernyataan dari Bapak Jono yang merupakan salah satu penyewa rumah diatas tanah milik pak Said Muktar atau pihak yang menyewakan mengatakan bahwa setelah bencana alam tsunami melanda daerah tersebut yang mengakibatkan rumah yang dihuninya itu musnah atau hilang sehingga beliau harus tinggal dibarakbarak bersama dengan warga yang lainnya. Hal itu membuat Bapak Jono merasa sangat tidak nyaman tinggal dibarak selama berbulan-bulan bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar kabar bahwa BRR akan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk rumah-rumah yang hancur akibat bencana tsunami di daerah Kampung Jawa. BRR hanya akan membangun rumah warga yang hancur akibat bencana tsunami Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
apabila diatas tanah yang akan dibangun tersebut ada pemiliknya dan diatas tanah yang akan dibangun rumah itu harus bebas dari sengketa pertanahan. 115 Berdasarkan informasi itu maka Bapak Jono beserta dengan para penyewa lainnya seperti Bapak Marlidon, Bapak Mohammad Yatim, Bapak Johan, dan Ibu Suriati yang merupakan para penyewa diatas tanah milik Bapak Said Muktar itu merencanakan untuk mengurus segala surat-surat yang berkaitan dengan tanah tersebut dan oleh karena Bapak Said Muktar telah meninggal bersama dengan isteri dan anak-anaknya sementara ahli waris lain dari Bapak Said Muktar pun tidak diketahui keberadaannya maka para penyewa ini datang ke kantor lurah untuk meminta surat keterangan agar tempat yang dulu mereka tinggalin itu bisa dibangun rumah kembali. 116 Berdasarkan surat keterangan dari lurah dan pengakuan dari tetangga-tetangga maka pihak BRR menerima permohonan dari para penyewa tersebut untuk dibangun rumah hunian diatas tanah yang ditunjuk oleh para penyewa tersebut. Pada saat pembangunan rumah sedang berjalan diatas tanah tersebut tiba-tiba datang Bapak Said Muhammad Ibrahim yang mengaku sebagai salah seorang ahli waris diatas tanah tersebut dengan menunjukkan surat-surat yang berkaitan dengan itu maka timbullah sengketa diatas tanah tersebut. Setelah itu berdasarkan laporan dari Bapak Said Muhammad Ibrahim dan kuasa hukumnya ke pihak BRR maka pihak BRR segera menghentikan pembangunan
115 116
Wawancara dengan Bapak Jono, salah seorang penyewa, pada tanggal 9 Oktober 2009 Wawancara dengan Ibu Suriati, salah seorang penyewa, pada tanggal 9 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
rumah diatas tanah tersebut dan pihak BRR baru akan melanjutkan kembali pembangunan rumah diatas tanah tersebut apabila diatas tanah tersebut telah bebas dari sengketa. Berdasarkan alas hak yang ada pada BRR untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh harusnya BRR dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu dapat melakukan kerja sama dengan pihak-pihak masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat sehingga dapat mencapai hasil yang lebih maksimal dan memuaskan. Berdasarkan uraian diatas BRR dalam upaya melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat di Aceh harus didasarkan pada suatu rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi yang didasarkan pada norma-norma, peraturan perundang-undangan dan aspirasi masyarakat yang terkena bencana. Namun kenyataannya dalam fakta di lapangan tidak semua hal dapat dilakukan dengan didasarkan pada rencana induk, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu yang tersedia sangat singkat hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun saja apabila mengingat banyaknya wilayah yang harus diselesaikan untuk dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk seluruh wilayahwilayah yang terkana bencana tsunami. Hal yang demikianlah yang menyebabkan terjadinya permasalahan seperti yang terjadi di Kampung Jawa dimana pembangunan rumah dilakukan diatas tanah milik orang lain sementara yang memohon pembangunan rumah itu hanya berstatus sebagai penyewa, hal ini bisa terjadi karena BRR tidak melakukan peninjauan ulang Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
terhadap setiap data atau pernyataan yang diberikan oleh para pemohon. BRR tidak melakukan peninjauan kembali kelapangan karena keterbatasan waktu dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh BRR, untuk itu seharusnya BRR karena keterbatasan waktu dan sumber daya manusianya harus bekerja sama dengan masyarakat setempat dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PEMILIK TANAH DENGAN PENYEWA ATAS TANAH YANG TELAH DIBANGUN RUMAH OLEH BRR A. Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian Secara teori mungkin masih benar pandangan bahwa dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu peradilan masih tetap relevan sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan. 117 Akan
tetapi
pengalaman
pahit
yang
menimpa
masyarakat
dengan
mempertontonkan sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien, dengan mana peneyelesaian sengketa atau penyelesaian suatu perkara memakan waktu sampai puluhan tahun dan prosesnya pun bertele-tele yang dililit lingkaran upaya hukum yang tidak berujung mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, padahal masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat dan tidak bertele-tele sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama. Dalam hal ini kenyataannya dalam praktik berbicara sampai saat ini manusia di negara manapun belum mampu menciptakan dan mendesain sistem peradilan yang 117
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 229
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
efektif dan efisien. Ternyata, mendesain sistem peradilan yang efektif dan efisien itu tidaklah gampang karena terlampau banyak aspek yang saling bertabrakan. Dengan mana terlampau banyak beragam kepentingan yang harus dilindungi, sedang pada sisi lain kepentingan itu saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Pada satu sisi harus dibuat sistem yang mampu melindungi kepentingan penggugat, disisi lain harus pula diberi perlindungan kepada tergugat yang mengalami kekalahan untuk mengajukan upaya banding dan kasasi. Dengan mana pihak yang dimenangkan dalam pengadilan negeri menginginkan agar putusan tersebut langsung berkekuatan hukum tetap sehingga dalam waktu yang relatif singkat putusan tersebut dapat dieksekusi, sementara disisi lain pihak yang dikalahkan dalam pengadilan negeri menginginkan agar dibuka peluang untuk diajukan banding ataupun kasasi. 118 Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien, itu disebabkan pada masa belakangan ini berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam berbagai bentuk, yaitu : 1. Mediasi, yaitu melalui sistem kompromi diantara para pihak sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong dan fasilitator saja. Dasar hukumnya adalah PERMA Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai penyempurnaan dari SEMA Nomor 1 tahun 2002
118
Ibid, hlm.229-230
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dan telah diganti dengan PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 119 2. Konsiliasi, yaitu melalui konsiliator dengan mana pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian akan tetapi keputusan tetap ditangan para pihak. 3. Expert Determination, yaitu menunjuk seorang ahli untuk memberikan penyelesaian yang menentukan. Oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat kepada para pihak. 4. Mini Trial, yaitu para pihak sepakat untuk menunjuk seorang advisor yang akan bertindak: a. memberi opini kepada kedua belah pihak b. opini diberikan oleh advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak c. opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak serta memberi pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh oleh para pihak. 120 Dalam hukum acara juga menghendaki agar hakim harus mendahului dilakukannya perdamaian diantara para pihak yang sedang bersengketa. Para pihak menyelesaikan sendiri terlebih dahulu sengketa diantara mereka dengan melalui kesepakatan tanpa campur tangan dari hakim. Selanjutnya apabila terjadi kesepakatan
119 120
http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/IMPLEMENTASI_MEDIASI.ppt. Ibid, hlm.236.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
diantara mereka maka kesepakatan perdamaian itu diminta kepada hakim untuk dituangkan dalam bentuk akta perdamaian. Dengan demikian tampak jelas terhadap perdamaian yang disepakati para pihak yang berperkara itu intervensi hakim sangat kecil hanya berupa pembuatan akta perdamaian yang dijatuhkan sebagai putusan pengadilan yang berisi amar menghukum para pihak untuk mentaati dan memenuhi isi perjanjian perdamaian tersebut. 121 Kenyataan dalam praktik yang dihadapi jarang dijumpai hakim mengeluarkan putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan melalui peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya hampir seluruhnya itu berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing) jarang ditemukan penyelesaian perkara di pengadilan berdasarkan konsep sama-sama menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini maka kesungguhan, kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan perkara boleh dikatakan sangat kurang. Hukum acara yang menghendaki perdamaian tidak berperan sama sekali sebagai landasan hukum menyelesaikan perkara melalui perdamaian. Ada yang berpendapat bahwa kekurangan itu bukan semata-mata disebabkan faktor kurangnya kemampuan, kecakapan, dan dedikasi hakim akan tetapi lebih didominasi oleh motivasi dan peran para advokat atau kuasa hukum dari para pihak yang bersengketa. Mereka lebih cenderung mengarahkan pada proses litigasi berjalan terus mulai dari peradilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali demi mengejar professional fee
121
Ibid, hlm.239.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
yang besar dan berlanjut, disamping itu terdapat juga adanya gejala perilaku hakim yang tidak sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam mendamaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya hanya bersifat formalitas, kalau begitu kekurangan pengadilan dalam menghasilkan penyelesaian sengketa melalui perdamaian bukan karena distorsi dari pihak advokat atau kuasa hukum dari pihak yang besengketa saja akan tetapi melekat pada diri pribadi para hakim yang lebih mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan yang mengatakan bahwa keadilan yang hakiki itu diperoleh pihak yang bersengketa melalui perdamaian. Berdasarkan hal tersebut diatas maka banyak permasalahan atau sengketa itu tidak diselesaikan melalui pengadilan, penyelesaian suatu masalah atau sengketa dapat ditempuh dengan berbagai cara diluar pengadilan sebagaimana yang telah diuraikan diatas dan juga membawa banyak keuntungan bagi pihak-pihak yang bersengketa apabila penyelesaian masalah atau sengekta dengan jalur perdamian (1851 KUHPerdata) 122 . Penyelesaian sengketa melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determinition, ataupun mini trial mengandung berbagai keuntungan, diantaranya yaitu : 122
Dalam Pasal 1851 KUHPerdata disebutkan bahwa perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara, hal ini berarti bahwa dengan perdamaian dapat mencegah timbulnya suatu perkara sampai ke pengadilan karena para pihak menyelesaikan sendiri sengketa diantara mereka.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
1. Penyelesaian bersifat informal Penyelesaian melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum dengan mana kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral 2. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri Penyelesaian tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter akan tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan mereka karena merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan. 3. Jangka waktu penyelesaian pendek Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Hal itulah yang mengakibatkan sengketa itu dapat dengan cepat diselesaikan. 4. Biaya ringan Boleh dikatakan tidak diperlukan biaya dalam menyelesaikan suatu sengekta, meskipun ada sangat murah. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitrase yang harus mengeluarkan biaya yang mahal. 5. Aturan pembuktian tidak perlu Tidak ada pertarungan yang sengit antara para pihak untuk saling membantah atau saling menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan prinsip pembuktian yang
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
formil dan teknis yang sangat menjemukan seperti halnya dalam proses arbitrase dan pengadilan. 6. Proses penyelesaian bersifat Konfidensial Hal lain yang perlu dicatat bahwa penyelesaian sengketa melalui perdamaian itu benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial, hal ini disebabkan oleh karena penyelesaian sengketa dilakukan itu tertutup untuk umum dan yang mengetahui hal tersebut hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut. Dengan demikian tetap terjaga nama baik dari para pihak dalam pergaulan masyarakat, tidak demikian penyelesaian sengketa bila melalui pengadilan dengan mana persidangan terbuka untuk umum sehingga dapat menjatuhkan martabat seseorang. 7. Hubungan para pihak bersifat kooperatif Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian sengketa adalah hati nurani maka terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama, dengan mana kedua belah pihak tidak menabuh genderang perang dalam permusuhan akan tetapi dalam persaudaraan dan kerja sama. Masing-masing pihak menjauhkan permusuhan dan dendam. 8. Komunikasi dan fokus penyelesaian Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif diantara para pihak. Dalam komunikasi itu terpancar keinginan memperbaiki perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik untuk masa depan, jadi Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
melalui komunikasi itu apa yang mereka selesaikan bukan masa lalu akan tetapi masa yang akan datang. 9. Hasil yang dituju sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian perdamaian dapat dikatakan sangat luhur karena : a. sama-sama menang yang disebut dengan konsep win-win solution, dengan manjauhkan diri dari sifat egois dan serakah b. dengan demikian tidak ada yang menang maupun yang kalah dalam penyelesaian suatu sengketa seperti halnya dalam pengadilan maupun arbitrase. 10. Bebas emosi dan dendam Penyelesaian sengketa melalui perdamaian itu meredam sikap emosional kearah suasana bebas emosi selama berlangsungnya peneyelesaian maupun setelah penyelesaian dicapai yang tidak diikuti dendam dan kebencian akan tetapi rasa kekeluargaan dan persaudaraan. 123 Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan melalui mediasi harus dengan bantuan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator yaitu penolong atau fasilitator dalam menyelesaikan masalah atau sengketa yang ada diantara para pihak, seorang mediator harus bersikap netral dan tidak memihak. Bersikap netral itu berarti bahwa seorang mediator itu harus bersikap bebas dan merdeka dari pengaruh siapapun dan bebas secara mutlak dari paksaan dari pihak manapun, sedangkan tidak 123
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 236-238
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
memihak itu berarti bahwa seorang mediator tidak boleh bersikap diskriminatif tetapi harus memberi perlakuan yang sama kepada para pihak. 124
B. Sewa Menyewa Pemukiman
Rumah
Menurut
Undang-undang
Perumahan
dan
Undang-Undang tentang Perumahan dan Pemukiman diatur dalam UndangUndang Nomor 4 tahun 1992, didalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman diatur juga mengenai sewa menyewa rumah. Sewa menyewa rumah dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13. Didalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemiliknya hanya sah apabila ada persetujuan atau izin dari pemiliknya, hal ini berarti bahwa seseorang yang melakukan penghunian diatas rumah milik orang lain itu harus terlebih dahulu meminta ijin dari pemilik atas rumah tersebut dan apabila hal itu dilanggar maka penghunian tersebut dianggap sebagai melawan hak. Didalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa penghunian sebagaimana yang dimaksud diatas dilakukan dengan sewa menyewa maupun dengan cara bukan sewa menyewa. Penghunian rumah dengan cara sewa menyewa menurut undang-undang ini harus dilakukan dengan suatu perjanjian tertulis sedangkan penghunian rumah
124
Ibid, hlm.247.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dengan cara bukan sewa menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tidak tertulis, hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Didalam Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa pihak penyewa wajib mentaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis, hal ini berarti bahwa pihak penyewa harus segera melakukan pengosongan atau meninggalkan rumah yang disewanya itu apabila telah berkhir jangka waktu sewa menyewa sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian sewa menyewa yang telah mereka buat. Sementara didalam Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa dalam hal penyewa sebagaimana yang dimaksud diatas tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya. Hal ini berarti bahwa apabila setelah lewat jangka waktu sewa menyewa pihak penyewa tidak bersedia meninggalkan atau mengosongkan rumah yang disewa maka penghunian yang dilakukan oleh penyewa dianggap tanpa hak dan melawan hukum sehingga pihak yang menyewakan atau pemilik rumah dapat meminta bantuan pihak kepolisian untuk melakukan pengusiran dan pengosongan secara paksa kepada pihak penyewa. Didalam Pasal 12 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa sewa menyewa rumah dengan Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 tahun setelah berlakunya Undang-undang ini. Hal ini berarti bahwa setiap perjanjian sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tertulis maupun secara tertulis namun dalam perjanjian sewa menyewa yang dilakukan secara tertulis tersebut tidak disebutkan jangka waktu sewa menyewanya maka perjanjian-perjanjian seperti itu harus dinyatakan berakhir setelah 3 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Didalam Pasal 12 ayat (7) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas itu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Didalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari pemerintah. Hal ini berarti bahwa apabila pembangunan rumah hunian tersebut dilakukan dengan biaya bantuan dari pemerintah maka segala sewa menyewa yang berkaitan dengan rumah hunian tersebut diatur oleh pemerintah termasuk harga sewa menyewa atas rumah hunian tersebut.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
C. Penyelesaian Sengketa Antara Pemilik Tanah Dengan Penyewa Atas Tanah Yang Telah Dibangun Rumah Oleh BRR Sayid Muhammad Ibrahim salah seorang ahli waris dari Said Muchtar datang dari Jakarta ke Banda Aceh untuk melihat tanah dan rumah yang disewakannya itu yang terletak di Kampung Jawa. Disana Sayid Muhammad Ibrahim bertemu dengan ke lima orang penyewa rumahnya dan mendapatkan pemberitahuan bahwa tanah dan rumah yang disewakan kepada para penyewa itu telah hancur, untuk itu diatas tanah yang disewakan tersebut sedang dilakukan pembangunan rumah hunian dan rumahrumah hunian tersebut dinyatakan sudah menjadi milik ke lima orang penyewa tersebut. 125 Para penyewa mengaku bahwa tanah tersebut telah mereka beli dari Said Muktar selaku pemilik tanah sebelum tahun 2004, Namun karena bencana tsunami segala surat-surat yang berkaitan dengan jual beli tersebut telah hilang dan musnah. 126 Sayid Muhammad Ibrahim sebagai salah seorang ahli waris dari Said Muktar selaku pemilik tanah
tersebut tidak pernah mengetahui adanya jual beli tanah
tersebut, untuk itu Sayid Muhammad Ibrahim telah mencoba beberapa kali menjumpai para penyewa tersebut. Namun tidak mendapatkan tanggapan oleh para penyewa, hal tersebut mengakibatkan Sayid Muhammad Ibrahim meminta bantuan hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna), dengan menunjukkan segala surat-surat bukti alas hak atas tanah tersebut seperti surat penguasaan fisik atas tanah tersebut 125 126
Wawancara dengan Bapak Said Muhammad Ibrahim, pada tanggal 12 Oktober 2009 Wawancara dengan Bapak Marlidon, pada tanggal 12 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
dan surat keterangan ahli waris yang dikeluarkan oleh kepala desa kepada lembaga bantuan hukum Banda Aceh (LBH Bna). Maka kemudian Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) menyurati (Somasi) kepada pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) agar menghentikan pembangunan rumah diatas tanah tersebut karena tanah tersebut sedang dalam sengketa. Setelah mendapatkan surat dari pihak Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) maka pembangunan rumah diatas tanah sengketa tersebut segera dihentikan oleh BRR. Hal tersebut dilakukan karena pihak BRR tidak akan membangun rumah diatas tanah yang sedang dalam sengketa dan rumah tersebut baru akan dibangun kembali apabila rumah tersebut sudah bebas dari sengketa. Penyelesaian sengketa sewa menyewa ini, dilakukan dengan cara mediasi yang difasilitasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna). Adapun mediasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan pemanggilan terhadap para penyewa, yaitu Marlidon, Mohammad Yatim, Jono, Johan dan Suriati. 127 Selanjutnya dilakukan pertemuan antara para penyewa dan kuasa hukum Said Muhammad Ibrahim di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) dengan turut dihadiri oleh Said Muhammad Ibrahim, hasilnya disepakati untuk dilakukan perdamaian untuk mengakhiri penyelesaian sengketa sewa menyewa atas tanah tersebut. Dengan dasar perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) diterbitkan surat perdamaian antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa yang intinya 127
Wawancara dengan Bapak Mohammad Yatim, pada tanggal 12 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
bahwa pihak yang menyewakan mengijinkan para penyewa untuk melakukan pembangunan rumah tinggal diatas tanah tersebut dengan bantuan dari pihak BRR, dengan ketentuan penyewa tersebut akan diberikan kesempatan untuk menempati rumah tinggal yang dibangun oleh BRR tersebut selama 5 (lima) tahun tanpa dipungut uang sewa, akan tetapi setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun para penyewa itu harus mengembalikan rumah tersebut kepada pihak yang menyewakan. Dalam perjanjian perdamaian itu juga disepakati bahwa penyewa dapat membeli tanah yang disewakan itu dengan harga yang disepakati adalah Rp.350.000/M2 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah per meter) atau para penyewa dapat menyewa kembali rumah tersebut dengan biaya sewa yang akan disepakati dikemudian hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kamarudin, SH salah seorang kuasa hukum pihak yang menyewakan, mengatakan bahwa proses perdamaian dilakukan secara musyawarah antara para pihak. Tidak ada dilakukan intimidasi ataupun tekanan terhadap para penyewa. 128 Maka perdamaian ini merupakan kesepakatan dari para pihak untuk mengakhiri sengketa berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah. Penyelesaian sengketa sewa menyewa antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa yang dilakukan dengan proses mediasi yang difasilitasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh yang kemudian menghasilkan suatu perjanjian perdamaian diantara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa itu merupakan
128
Wawancara dengan Bapak Kamarudin, SH pada tanggal 14 Oktober 2009
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
suatu langkah atau jalan yang baik untuk ditempuh, karena dengan proses mediasi tersebut telah menghasilkan suatu perjanjian perdamaian diantara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa sehingga masalah sengketa sewa menyewa tersebut dapat diselesaikan dengan membawa dampak keuntungan bagi kedua belah pihak jadi tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini. Selain itu juga proses penyelesian sengketa sewa menyewa yang dilakukan dengan proses mediasi itu tidak membutuhkan waktu yang lama dan para pihak yang bersengketa pun tidak perlu mengeluarkan biaya dalam penyelesaian sengketa sewa menyewa tersebut. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara para penyewa dengan pihak yang menyewakan dengan mana pihak yang menyewakan memberikan tinggal gratis diatas tanah dan rumah tersebut selama lima tahun kepada para penyewa dan setelah lewat waktu lima tahun maka rumah dan tanah tersebut harus dikembalikan oleh para penyewa kepada pemilik rumah atau yang menyewakan, apabila setelah lewat waktu lima tahun para penyewa tdak bersedia meniggalkan rumah tersebut maka dalam hal ini sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman disebutkan bahwa pihak penyewa wajib untuk menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis. Apabila setelah lewat jangka waktu pihak penyewa tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian sewa menyewa tersebut maka penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
untuk menertibkannya, hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Untuk itu apabila penyewa tidak mau meninggalkan rumah yang disewa setelah lewat jangka waktu sewa maka pihak yang menyewakan dapat meminta bantuan pihak kepolisian untuk memaksa pihak penyewa pergi dari rumah yang disewa dan segala biaya pengosongan yang berkaitan dengan itu menjadi tanggungan pihak penyewa. Kemudian lagi dalam pasal 12 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 juga menyebutkan bahwa sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
1.
Kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak yang menyewakan dengan
pihak penyewa di Kampung Jawa meskipun dibuat
dibawah tangan sudah cukup kuat karena memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan meskipun perjanjian sewa menyewa tersebut tidak dilakukan dihadapan seorang pejabat yang berwenang. Namun demikian perjanjian sewa menyewa tersebut diakui oleh hukum dan merupakan undang-undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut (Pasal 1338 KUHPerdata). Akan tetapi bila dibandingkan dengan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang berarti bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna atau tidak maupun benar atau tidaknya akta itu cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri, dengan kata lain tidak memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya sedangkan akta dibawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya artinya kekuatan akta dibawah tangan ini dapat dipersamakan kekuatannya dengan akta otentik bila dalam hal pembuktiannya oleh para pembuat akta dibawah tangan mengakui atau membenarkan bahwa merekalah yang menandatangani akta dibawah tangan tersebut.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
2.
Alas hak bagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) aceh dalam pemberian bantuan perumahan terhadap korban bencana alam tsunami di Kampung Jawa adalah bahwa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) adalah lembaga yang dibentuk dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana jadi jelaslah bahwa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) merupakan suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pada wilayah pasca bencana, hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Republik Indonesia (Perpu) Nomor 2 Tahun 2005, yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD-Nias. BRR dalam memberikan bantuan perumahan kepada masyarakat korban bencana hanya dilakukan diatas tanah yang bebas dari sengketa dan apabila dalam tahap pembangunan sedang berlangsung ternyata muncul masalah atau sengketa diatas tanah tersebut maka pihak BRR akan dengan segera menghentikan pembangunan rumah tersebut sampai sengketa diatas tanah tersebut telah diselesaikan diantara para pihak yang terkait.
3.
Penyelesaian sengketa sewa menyewa antara pemilik tanah dengan penyewa atas tanah, dilakukan dengan cara mediasi yang difasilitasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna). Hasil dari musyawarah yang
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
difasilitasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) tersebut menghasilkan perdamaian kesepakatan dengan ditandatanganinya Surat Perjanjian Perdamaian oleh para pihak yang bersengketa.
B.
SARAN
1.
perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa meskipun dibuat dibawah tangan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian sewa menyewa tersebut akan tetapi dalam hukum pembuktian di pengadilan perjanjian dibawah tangan seperti ini sangat lemah karena tidak melibatkan pejabat yang berwenang, untuk itu disarankan setiap perjanjian sewa menyewa itu haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dihadapan notaris sehingga perjanjian tersebut selain mempunyai kekuatan mengikat juga merupakan alat pembuktian yang kuat di pengadilan.
2.
Dalam pemberian bantuan perumahan terhadap wilayah-wilayah yang terkena bencana alam hanya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) sebagai wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana sementara daerah yang akan dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi cakupannya sangat luas sehingga tidak terlalu efektif dalam pelaksanaannya, untuk itu disarankan kepada pemerintah agar dapat lebih aktif dalam melakukan pemantauan kedaerah-daerah serta
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
melakukan koordinasi dengan masyarakat setempat termasuk melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dalam rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana. 3.
Penyelesaian sengketa sewa menyewa antara pemilik tanah dengan penyewa atas tanah yang disewa, dilakukan dengan cara mediasi yang difasilitasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH Bna) merupakan suatu cara yang menguntungkan kedua belah pihak jadi tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini karena masing-masing pihak mendapat manfaat dan keuntungan atas perjanjian perdamaian tersebut, untuk itu seharusnya perjanjian perdamaian yang telah dibuat oleh LBH Banda Aceh tersebut selanjutnya dibawa ke Pengadilan Negeri untuk dimintakan pada hakim agar dibuat dalam bentuk akta otentik dan menghukum para pihak untuk mematuhi dan menjalankan isi dari perjanjian perdamaian tersebut.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku A. Pitlo, 1984, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta __________, 1986, Pembuktian Dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, alih bahasa M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta Ali, Chaidir, 1984, Badan Hukum, Alumni, Bandung Ashsofa, Burhan, 1998, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Badrulzaman, Mariam Darus dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan (Buku I), Citra Aditya Bakti, Bandung Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung __________, 1997, Mencari System Hukum Benda, Alumni, Bandung Chandra, S. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar Yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), Pustaka Bangsa Press, Medan Effendie, Bachtiar, Masdari Tasmin, A. Chodari, 1991, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung Fuady, Munir, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung __________, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan (Edisi Revisi), Djambatan, Jakarta
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
HS, Salim, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Kamelo, Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung Lubis, M.Solly, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta ____________, Sudikno, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Hukum Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Fakultas
Muhammad, Abdul Kadir, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung __________, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung Muljadi, Kurniawan Dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta Projodikoro, Wirdjono, 1973, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung ___________, 1981, Hukum Perdata Tentang Perjanjian Tertentu, Sumur, Bandung Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Samudera, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung Satrio, J., 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Alumni, Bandung Setiawan, R, 1977, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung Sitorus, Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Arkola Surabaya
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Subekti, R, 1995, Aneka Perjanjian (Buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung __________,1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta __________, 1970, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta Surakhmad, Winarno, 2001, Dasar Dan Teknik Research, Tarsito, Bandung Suryodiningrat R. M, 1982, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung Syahrani, Ridwan, 1992, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung Utrecht, 1953, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
B. Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Subekti, R, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Pertanahan. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005 tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing Dalam Rangka Hibah Untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007
C. Majalah, Makalah, Koran, Artikel Dokumen Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Laporan Desember 2006, Upaya Pemulihan Dan Kegiatan yang Akan Datang
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009
Fauzi Azhary, Penanganan Masalah Pertanahan Pasca Tsunami Dan Konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, Seminar Nasional Penanganan Pertanahan di Nanggroe Aceh Darussalam, Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh LBH Banda Aceh Laporan ARRA (Aceh Reconstruction And Rehabilitation Appraisal) Kedua, MeiJuli 2006, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, FISIP Universitas Malikussaleh dan Yayasan Pengembangan Kawasan Serambi Indonesia, Permasalahan aministrasi pertanahan masyarakat korban Tsunami dapat diatasi, tanggal 12 Februari 2005 berdasarkan sumber yang dilansir oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Proteksi Hukum Atas Status Tanah Korban Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, Laporan Analisis Kebijakan Kata Hati Institut, Juli 2005, Banda Aceh, hlm 2 Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi SUMUT, disusun oleh Pemerintah Daerah dalam rangka rehabilitasi dan Rekonstruksi diwilayah Pasca Bencana
D. Internet http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=31859: badan-rehabilitasi-dan-rekonstruksi-aceh-nias-&catid=42:laporankhusus&Itemid=65 diakses tanggal 13 Februari 2009 http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/IMPLEMENTASI_MEDIASI.p pt.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh), 2009