1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSONERASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: MUHAMMAD SYAHREZA NIM : 050200062 Departemen : Hukum Ekonomi
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
2 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSONERASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: MUHAMMAD SYAHREZA NIM : 050200062 DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI
Disetuji Oleh: Ketua Departemen
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH. NIP : 195603291986011001
Dosen Pembimbing I
Prof.Dr. Budiman Ginting, SH, M.hum NIP : 19590511198601101
Dosen Pembimbing II
Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum NIP :197302202002121001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
3 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSONERASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK *) Budiman Ginting **) Mahmul Siregar ***) Muhammad Syahreza ABSTRAKSI Dalam hukum perjanjian, kedudukan yang seimbang bagi para pihak merupakan sesuatu yang prinsip dan merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak, di satu pihak bank mencoba membuat suatu akad menjadi lebih mudah untuk dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak dengan jalan bank menentukan secara sepihak beberapa isi atau seluruh isinya, di lain pihak, konsumen dalam hal ini adalah nasabah bank tidak atau kurang memiliki posisi tawar (bargining position) dalam pembuatan klausul – klausul dalam akad tersebut. Dalam perjanjian kredit bank, di satu sisi bank berada dalam posisi kuat karena berkedudukan dalam posisi kuat yang memiliki dana. Di sisi lain debitur begitu lemah karena berkedudukan sebagai pihak “terpaksa” menandatangani perjanjian kredit dikarenakan kebutuhan kredit amat besar. Hal ini menyebabkan dari gambaran tersebut debitur menjadi perlu untuk dilindungi oleh hukum positif Indonesia. Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Adapun data sekunder yang digunakan penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku perpustakaan, artikel-artikel, internet, termasuk perundangundangan. UUPK telah mengatur tentang pencantuman klausula Baku dan berdasarkan pasal 18 ayat (3) UUPK maka klausula baku yang melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1 ) dan ayat (2) UUPK klausula baku tersebut batal demi hukum. Namun masih diperlukan upaya dari pihak nasabah debitur selaku konsumen untuk mengajukan pembatalan atau penyelesaian akibat adanya klausula baku yang dirasakan sangat merugikannya. Dalam UUPK telah diatur tentang pengajuan gugatan, berdasarkan pasal 46 ayat 2 UUPK disebutkan bahwa pengajuan gugatan melaui pengadilan dapat dilakukan oleh siapapun baik oleh seorang konsumen, sekelompok konsumen, LPKSM maupun lembaga pemerintah. Namun pengajuan penyelesaian sengketa melalui BPSK menurut UUPK hanya dapat dilakukan oleh seorang konsumen. Adanya PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah seakan memberikan masukan hagi penyelesaian sengketa konsumen dan diharapkan bisa melindungi hak-hak nasabah debitur selaku konsumen disamping tetap melindungi kepentingan pihak bank sebagai pelaku usaha. Adapun saran adalah Debitur hendaknya memahami standard contract yang ditawarkan bank dalam pemberian kredit agar terhindar kerugian-kerugian akibat adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian. *) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa semester 9 FH USU Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
4 KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan segenap keikhlasan hati, penulis Panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Rabb penentu Jalan hidup manusia Yang Maha Agung dan telah menghantarkan penulis hingga di batas ini, tidak lupa pula penulis ucapkan shalat beriring salam kepada teladan kita Rasulullah SAW semoga mendapatkan syafaatnya di akhir kelak. Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, Departemen Hukum Ekonomi, Universitas Sumatera Utara. Penulis sangat menyadari bahwa kehadiran karya ini tidak terlepas dari perhatian, bimbingan, dorongan dan bantuan dari semua pihak. Untuk ini izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Bapak Syafruddin, SH,MH. Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 4. Bapak M.Husni, SH, M.Hum. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
5 5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution,SH, MH. Selaku ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum. Selaku Sekretaris 9. Bapak Sunarto Adiwibowo, SH, M.Hum. Selaku Dosen Wali Penulis yang telah banyak memberikan masukan selama perkuliahan. 10. Bapak dan Ibu Dosen Selaku Staff pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan 11. Kedua orang tuaku, Orang yang paling saya Sayangi dan rindukan Papi (Alm.) Sj.Aen Sjahril,Th dan orang yang saya sayangi dan hormati Mami Hj. Ida Zurnida Zakir. Terima kasih yang tak terhingga atas doa, curahan kasih saying, dan segala bentuk dukungan yang selalu diberikan yang tidak mungkin dapat saya balaskan sampai kapan pun. 12. Kakak dan Abangku, Imelda sartika Dewi, STP, Drg. Rinia Komala Sari dan M. Wisnu Wardhana., Terima Kasih Atas semua bantuan saran, semangat dan Kasih sayang nya. 13. Spesial Thank to Ziz Noura siregar, Am.Keb segala dukungan dan semangatnya selama ini kepada penulis. “Alhamdulillah ,akhirnya selesai juga Ay”. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
6 14. Kawan-kawan Lapoya Blok 1 – Blok 6, yang selalu ada dalam bermain dikeseharianku. 15. Kawan-Kawan The Chungkiller: Abdi SH (Bewok), Faisal SH ( Onta), Randy SH (ustadz Ranje), Wilson (Koko). Makasi shob atas semuanya., gak ada loe gak rame shob. 16. Kawan-kawan seperjuangan skripsi: Yuni, Rafi, Ade, Kiky, Oyi, makasi friend sudah selalu saling motivasi. 17. Semua Kawan-kawan stambuk ’05 yang gak bisa disebutin satu persatu, Khususnya buat anak-anak Departemen Hukum Ekonomi: Nina, Agung, Lidya, Sadli. 18. Seluruh Pihak yang telah memberikan bantuanya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bias sebutkan satu persatu.
Medan, November 2009 Penulis
Muhammad Syahreza
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
7
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ............................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..............................................................................
ii
DAFTAR ISI ............................................................................................
v
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Permasalahan ......................................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................
7
D. Keaslian Penulisan ..............................................................
7
E. Tinjauan Pustaka .................................................................
8
F. Metode Penelitian................................................................
12
G. Sistematika Penulisan ..........................................................
14
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Tinjauan Secara Umum Mengenai Perjanjian .....................
16
B. Asas-asas Perjanjian ...........................................................
18
C. Standart Contract ...............................................................
28
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DI INDONESIA A. Pengertian Kredit ...............................................................
38
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
8 B. Prinsip Pemberian Kredit ....................................................
40
C. Perjanjian Kredit Bank Adalah Perjanjian Tidak Bernama ..
42
D. Bentuk, Isi dan Fungsi Perjanjian Kredit Bank ...................
44
E. Perjanjian Kredit Dalam Bentuk Standart Contract .............
47
F. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank ........................................
49
G. Perlindungan Konsumen .....................................................
50
BAB IV PERLINDUNGAN KLAUSULA
HUKUM
EKSONERASI
TERHADAP YANG
DEBITUR
TERDAPAT
ATAS PADA
PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula Eksenorasi yang Terdapat pada Perjanjian Kredit Bank .........................................................................
54
B. Bentuk Perlindungan Hukum atas Klausula Eksonerasi pada Perjanjian Kredit Bank ..............................................
56
C. Ketentuan Batalnya Klausula Eksenorasi Bila Sangat Merugikan Pihak Lain ........................................................ BAB V
82
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .........................................................................
85
B. Saran ...................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bank sebagai lembaga keuangan mempunyai peran yang sangat strategis
dalam
kegiatan
perekonomian
melalui
kegiatan
usahanya
menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kredit bagi usaha-usaha produktif maupun konsumtif, sekaligus menjadi penentu arah bagi perumusan kebijakan pemerintah di bidang
moneter dan keuangan dalam rangka
mendukung stabilitas pembangunan nasional, khususnya untuk dapat menjadi tempat penyimpanan dana yang aman, sekaligus sebagai tempat yang diharapkan dapat melakukan kegiatan perkreditan demi kelancaran dunia usaha dan perdagangan 1. Setiap orang secara sadar ataupun tidak, pasti pernah melakukan kegiatan kredit. Istilah yang kadangkala disamakan dengan hutang atau pinjaman ini telah dikenal, dimulai dari elemen terkecil masyarakat yakni keluarga.
Misalnya dengan meminjam uang pada tetangga dengan
pengembalian secara berangsur, hingga pada elemen yang lebih besar yakni negara.
Indonesia khususnya, untuk dapat melakukan pembangunan dan
perbaikan di segala sektor kehidupan masih membutuhkan pinjaman luar negeri yang akan dikembalikan secara berkala kepada negara donor ataupun
1
Teguh Pudjo Mulyono,Manajemen (Yogyakarta:BPFE,1989) .hal.56
Perkreditan
Bagi
Bank
Komersil.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
2 kepada organisasi internasional pemberi hutang (kredit), dikarenakan modal dalam negeri yang masih kurang 2. Sebelum pemikiran manusia berkembang seperti sekarang ini perkreditan masih begitu sederhana karena masih belum dituangkan dalam bentuk kontrak atau perjanjian-perjanjian tertulis. Kredit hanya dilakukan secara lisan dan didasari oleh kepercayaan masing-masing pihak. Namun seiring dengan kompleksnya permasalahan maka perkreditan juga berkembang dengan pola-pola baru yang tidak lagi berbasis pada kepercayaan dalam arti kemanusiaan belaka, tetapi juga pada nilai-nilai yang sifatnya lebih ekonomis, misalnya dengan mengenakan prosentasi bunga pada pinjaman. Bahkan kini kredit tidak lagi dilakukan oleh orang perorangan, tetapi oleh lembaga keuangan yaitu Bank 3. Kredit juga telah dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis dan idealnya perjanjian tersebut tentu harus disepakati oleh kedua belah pihak, yang berisi seluruh keinginan serta semua mekanisme dari awal sampai akhir proses perjanjian sekaligus pembagian pertanggungjawaban masing-masing apabila terjadi suatu hal di luar dari apa yang telah diperjanjikan. Adanya perjanjian kredit dalam bentuk tertulis memang lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak, namun disamping keuntungan itu banyak pula debitur yang justru mengeluhkan tentang perjanjian kredit yang mereka buat, hal ini dikarenakan proses pengajuan kredit hingga saat penandatanganan perjanjian yang terlalu rumit. Saat ini untuk memperoleh
2
Joni Emirzon, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Palembang:universitas sriwijaya, 1998), Hal.1 3 Ibid Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
3 calon debitur benar-benar “dicurigai” terlebih dahulu. Kepercayaan bank baru ada bila calon debitur telah lulus dari berbagai macam uji kelayakan termasuk terhadap kehidupan pribadi calon debitur 4. Problem lainnya adalah mengenai beratnya resiko yang dibebankan kepada debitur. Sebagian besar debitur mengatakan bahwa timbulnya permasalahan ini diakibatkan oleh materi perjanjian kredit yang kurang proporsional dalam pembagian tanggung jawab antara para pihak karena lazimnya perjanjian di buat dalam bentuk standart contract yang kurang memberikan perlindungan bagi debitur. Dengan digunakannya standart contract oleh pihak bank tentu menjadi suatu dilematis tersendiri bagi calon debitur. Sementara disatu sisi ia berada dalam suatu kondisi yang sangat membutuhkan dana demi kelangsungan hidupnya secara pribadi, keluarganya ataupun lapangan usahanya. Tetapi di sisi lain bank yang diharapkan mampu memberikan jalan keluar berupa dana kredit baru bersedia membantu bila calon debitur mau menandatangani perjanjian yang isinya sangat membebani. Pilihannya hanya menandatangani perjanjian yang cukup berat sebelah itu dengan konsekuensi memperoleh kredit atau tidak menandatanganinya dengan konsekuensi tidak memperoleh kredit (take it or leave it). Belum lagi dengan adanya klausula eksonerasi yang semakin meminimalkan atau bahkan menghapus tanggung jawab bank sebagai kreditur5.
4
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 227. 5
Ibid, hal 228
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
4 Akhirnya calon debitur terpaksa menandatangani standart contract tersebut dengan harapan kredit yang diberikan mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi dan menjalankan kembali usaha debitur yang sempat terhenti. Namun pada kenyataannya hal tersebut hanya pertolongan yang bersifat sementara. Dibalik itu justru melahirkan permasalahan yang lebih besar. Debitur harus memenuhi segala kewajiban atas pemberian fasilitas kredit sementara usaha yang mereka lakukan baru masih dalam tahap “belajar berjalan”. Apabila debitur tidak mampu membayar kredit secara tepat waktu biasanya bank dalam perjanjian tersebut menerapkan sistem bunga berbunga dimana keterlambatan membayar bunga pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan akan berbunga pula. Akhirnya hutang belum terbayar lunas debitur telah terbebani lagi oleh bunga yang terus membengkak. Fenomena-fenomena seperti ini menunjukkan bagaimana rendahnya posisi tawar bagi debitur bila berhadapan dengan bank dalam sebuah perjanjian kredit. Apalagi apabila debitur adalah para pelaku ekonomi kecil dimana dalam tataran praktis, untuk memperoleh kredit bank jauh lebih sulit dan melewati birokrasi yang panjang dibandingkan para pelaku ekonomi menengah ke atas. Beberapa ahli hukum memang mengatakan bahwa asumsi yuridis perlindungan hukum bagi debitur adalah sesuatu yang sudah usang. Alasan yang dikemukakan karena setelah perjanjian kredit dibuat, justru bank yang berada dalam pihak lemah karena debiturlah yang kemudian melalaikan kewajiban untuk membayar kredit. Ini adalah pendapat yang berlebihan karena tidak
mungkin
seorang debitur sengaja melupakan dan melalaikan
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
kewajibannya
untuk
membayar
tagihan
kredit
sementara
5 di setiap
keterlambatan ia dikenakan “sanksi” berupa pembungaan atas bunga berbunga yang menyebabkan hutangnya semakin bertambah bahkan melebihi hutang pokoknya. Disamping itu kekhawatiran yang lain akan menanti yaitu kehilangan benda berharga baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang telah diagunkan kepada pihak bank dan nilainya minimal 30% lebih besar dari jumlah kredit yang dikeluarkan. Berbeda dari sisi bank yang tampak adalah keinginan bank untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari debitur dengan menggunakan kondisi debitur yang lemah secara ekonomis maupun psikologis dengan memasukkan klausula-klausula tidak wajar dan tidak adil dalam perjanjian kredit tersebut 6. Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula baku. Eksonerasi sendiri diartikan secara berbeda-beda. Mariam Darus Badarulzaman menyebutnya dengan klausul eksonerasi, sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeini menyebutnya dengan istila klausula eksemsi, sedangkan Barnes menyebutnya dengan istilah exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Barnes adalah “a provision in a contract that attempts to relieve one party to the contract from liability for the consequences of his or her own negligence” 7. Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh para pakar hukum tersebut, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak 6
Az. Nasution, Suatu pengantar ,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media , 2002). Hal. 94 7
ibid, hal. 107
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
6 dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. Dari uraian-uraian di atas akhirnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana hukum positif Indonesia mampu memberikan perlindungan terhadap debitur dalam perjanjian kredit dengan pihak bank sebagai kreditur atas penggunaan standart kontrak dengan mengangkat judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSONERASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas penulis menyampaikan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana hukum positif Indonesia memberikan perlindungan hukum terhadap debitur atas klausula eksonerasi yang terdapat pada perjanjian kredit bank? 2. Dapatkah klausula eksonerasi ini dibatalkan bila sangat merugikan pihak lain?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk menelusuri ketentuan dalam hukum positif Indonesia yang memberikan perlindungan hukum terhadap debitur atas klausula eksonerasi yang terdapat pada perjanjian kredit bank. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kedit bank Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
7 Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat berfungsi serta bermanfaat : 1. Bagi Masyarakat Untuk memberikan gambaran kepada debitur dalam kedudukannya sebagai konsumen bank tentang perlindungan yang diberikan oleh Hukum Positif Indonesia atas penggunaan klausula eksonerasi perjanjian kredit bank
2. Bagi Pemerintah Sebagai suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk melengkapi ketentuan perbankan maupun perlindungan konsumen yang masih belum mengatur secara khusus tentang batasan penggunaan dan perlindungan bagi debitur. 3. Bagi Peneliti Lain Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penulisan hukum perdata bisnis khususnya yang berkaitan dengan masalah perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum positif Indonesia atas Klausula Eksonerasi yang terdapat pada perjanjian kredit bank.
D. Keaslian Penulis Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank merupakan Hasil dari penelitian penulis. Penulis Telah melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak ada mahasiswa yang menulis tentang judul tulisan ini. Karena para mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran penulis. Jika dikemudian hari telah nyata ada skripsi Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
8 yang sama dengan skripsi ini, sebelum skripsi ini dibuat, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun
mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank
berasal dari
dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak
dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan bank Indonesia. Di dalam praktik perbankan, setiap bank telah menyediakan blanko atau formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Blanko perjanjian kredit ini diserahkan terhadap debitur untuk disetujui dan tanpa memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk melakukan negoisasi atas syarat-syarat yang disodorkanya. Perjanjian demikian dikenal dengan perjanjian standar atau baku. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa klausula baku atau perjanjian standar
adalah
melanggar
asas
kebabasan
berkontrak
yang
bertangungjawab. Dalam perjanjian demikian nyata bahwa kedudukan kreditur atau pengusaha/
pedagang tidak seimbang dan membuka peluang luas baginya
untuk menyalahgunakan kedudukannya. 8 Pelaku usaha mengatur hak-haknya yang
menguntungkan, tetapi tidak kewajibannya, oleh karena praktik-praktik
demikian perlu ditertibkan. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal UUPK menyatakan sebagai berikut : 8
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005) ,hal. 117 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
9 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen; c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen; f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti; (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula baku. Eksonerasi sendiri diartikan secara berbeda-beda. Mariam Darus Badarulzaman menyebutnya dengan klausul eksonerasi, sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeini menyebutnya dengan istilah klausula eksemsi, sedangkan Barnes menyebutnya dengan istilah exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Barnes adalah “a provision in a contract that attempts to relieve one party to the contract from liability for the consequences of his or her own
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
negligence”
9
10 .Shidart membedakan antara klausula baku dengan klausula
eksonerasi yaitu bahwa, kalau dalam klausula baku, yang ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipersoalkan adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha 10. Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh para pakar hukum tersebut, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. Menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, Nik Ramlah Mahmood mengemukakan sebagai berikut : Clauses in standard form contracts which exempt or limit a contracting party’s liability for certain breaches of the expressed or implied terms of the contract or for the commission of a tort, operate extremely harshly against, and to the detriment of, consumers. Such clauses are found at the back of tickets of public transport, on receipt and other types of standard form consumer contracts. 11 R.H.J. Engels menyebut adanya tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yaitu sebagai berikut : a. Tanggungjawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian. b. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat). c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggungjawab yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. 12 9
Ibid., hal. 107 Ibid., hal. 114 11 Nik Ramlah Mahmood, Unfair Terms in Malaysian Consumer Contracts – The Need For Increased Judicial Cretivity 12 N.H.T Siahaan,Op Cit. hal 108. 10
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
11 Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggungjawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajibankewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah gantirugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal itu. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain, biasanya dengan menerima sesuatu dari kreditur yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang. Pemberian pinjaman kadang memerlukan juga jaminan atau agunan dari pihak debitur. Jika seorang debitur gagal membayar pada tenggat waktu yang dijanjikan, suatu proses koleksi formal dapat dilakukan yang kadang mengizinkan penyitaan harta milik debitur untuk memaksa pembayaran 13 Perlindungan Konsumen pada dasarnya merupakan bagian penting dalam ekonomi pasar (laissez faire). Di pasar bebas, para pelaku menawarkan produk dan jasa dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi, berhadapan dengan para pembeli dan konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa yang murah dan aman di sisi lain. Tetapi di dalam pasar bebas, kedua pihak itu tidak memiliki kekuatan yang sama. Posisi pihak pelaku usaha jauh lebih kuat ketimbang para konsumen yang merupakan perorangan, karena penguasaan informasi tentang produk sepenuhnya ada pada produsen. 14 Dengan demikian, posisi para konsumen sebenarnya amat rentan untuk dieksploitasi. Hanya dengan seperangkat aturan hukum atau perundang-undangan
13
http://id.wikipedia.org/wiki/debitur, diakses tanggal 11 september 2009 Nining Muktamar et al., Berperkara Secara Mudah, Murah dan Cepat, Pengenalan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen .( Jakarta:Piramedia, 2005). hal. 2. 14
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
12 yang ditetapkan oleh Negara, ketimpangan informasi tersebut dapat diatasi. Sehingga, keberadaan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara tersebut, benar-benar dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen. Yang dimaksud dengan konsumen dalam hal ini adalah “ pengguna terakhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 15.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan secara hukum dengan cara membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma, ketentuan-ketentuan dan pendapat para ahli hukum tentang perlindungan terhadap debitur atas penggunaan klausula eksonerasi pada perjanjian kredit bank. Karena penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif maka data yang diperoleh berasal dari pustaka sehingga merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer. 2. Bahan Hukum 15
Munir Fuadi, Op Cit, hal. 228.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
13 Penelitian ini menggunakan data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer, data sekunder ini mencakup: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UUD 1945, KUH Perdata, UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 27/162/Kep/Dir tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengkreditan Bank bagi Bank umum, Surat Edaran BI No.27/7/UPPB tentang surat edaran kepada semua Bank umum di Indonesia bentuk Kewajiban Penyusunan dan pelaksanaan perkreditan bagi Bank umum. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer sehingga dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, makalah maupun hasil wawancara dari para ahli di bidang perlindungan konsumen, standart contract, maupun kredit bank. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan Kamus Perbankan. 3. Teknik Pengumpulan Data Bahan diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, perundang-undangan, makalah, artikel, laporan penelitian ataupun literatur lainnya yang berkaitan dengan Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
14 tema penelitian. Kemudian bahan-bahan tersebut dikelompok-kelompokkan menjadi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier lalu disusun secara sistematis, dianalisa dan kemudian dikembangkan menjadi skripsi 4. Analisis Data Bahan Hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya kemudian akan Dianalisis secara perspektif dengan menggunakan metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang diperoleh akan dibaca, ditafsirkan,dibandingkan,dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik satu kesimpulan akhir. 16
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini maka penulis akan menyajikannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I:
Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan yang digunakan.
BAB II:
Bab ini merupakan bab yang berisi tentang tinjauan umum tentang perjanjian. Bab ini menguraikan tinjauan secara umum tentang
16
Bambang Sunggono, Metdologi Penelitian Hukum,Suatu pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 10-11 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
15 perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, tinjauan tentang Standart Contract serta juga terdapat klausula eksonerasi.
BAB III: Bab ini merupakan bab yang berisi tentang Tinjauan tentang perjanjian kredit bank di Indonesia. Bab ini membahas tentang Pengertian kredit, prinsip pemberian kredit, perjanjian kredit bank adalah perjanjian tidak bernama, bentuk dan isi perjanjian kredit bank, fungsi perjanjian kredit, perjanjian krdit dalam bentuk standart contract, hapusnya perjanjian kredit bank, serta perlindungan konsumen.
BAB IV: Bab ini merupakan yang berisi tentang perlindungan hukum terhadap debitur atas klausula eksonerasi yang terdapat pada perjanjian kredit bank. Dalam bab ini akan diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas penulis yakni berkenaan dengan ketentuan dalam hukum positif Indonesia yang memberikan perlindungan hukum terhadap debitur atas klausula eksonerasi yang terdapat pada perjanjian kredit bank dan ketentuan batalnya klausula eksonerasi bila sangat merugikan pihak lain BAB V:
Bab ini merupakan bab penutup, dalam bab terakhir ini akan dikemukan beberapa kesimpulan dan saran sebagai sumbangan pemikiran penulis dalam memecahkan persoalan praktek penggunaan klausula eksonerasi.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Tinjauan Secara Umum Mengenai Perjanjian Perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang terdapat pada buku III KUH Perdata. Istilah perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari
pada pengertian perjanjian (Overenenkomst). Hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya adalah sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-undang. Perbedaan lain dari keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan (kata sepakat) diantara mereka, sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang. Dengan demikian keduanya juga berbeda dari konsekuensi Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
17 hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum. 17 Mengenai pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yang dinamakan perjanjian adalah, “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Terhadap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terdapat kelemahan. Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian tersebut di atas yaitu: Pertama, kata “perbuatan” dianggap memberikan pengertian yang luas karena didalamnya tercakup “Onreechtmatige” 18 dan “Zaakwarneming” 19, padahal yang diharapkan dalam perjanjian adalah hanya hal-hal yang dikehendaki, dan yang dikehendaki adalah tindakan hukum atau perbuatan hukum. Lebih tepat apabila kata “perbuatan” dalam pasal tersebut ditambah dengan kata “perbuatan hukum”. Kedua, terhadap kata dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, memberikan pemahaman yang sempit karena sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Yang demikian hanya cocok untuk perjanjian sepihak sebab dalam perjanjian timbal balik pada kedua belah pihak ada hak dan kewajiban. 20
17
http://raimondfloralamandasa.blogspot.com/2009/01/perjanjian-dan-perikatan-oleh-raimondf.html, diakses terakhir tanggal 20 november 2009. 18 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/VARIA MEMBEDAH PMH DAN WANPRESTASI.pdf , diakses terakhir tanggal 20 November 2009 19 Ibid 20 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kedua. (Bandung: Bina Cipta, 1987). hal.49 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
18 Selain pengertian perjanjian yang dirumuskan Pasal 1313 KUH Perdata sebenarnya ada beberapa orang sarjana yang mencoba memberikan pengertian tentang perjanjian itu antara lain: a. R. Subekti Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Jika dihubungkan dengan Pasal 1313 KUH Perdata, maka pendapat R. Subekti tentang definisi perjanjian dapat dikatakan lebih lengkap, sebab dalam perjanjian tersebut terdapat dua orang atau lebih yang saling berjanji. Sehingga hubungan tersebut dapat dikatakan terjadi secara timbal balik tidak hanya dari satu pihak saja. 21 b. R. Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 22 Jika dihubungkan dengan Pasal 1313 KUH Perdata maka pengertian perjanjian menurut R. Setiawan sudah dipersempit, dengan ditambahkannya kata “perbuatan hukum”, namun tetap belum menunjukkan tujuan dari perbuatan hukum yang diadakan tersebut. Pendapat para sarjana di atas ternyata belum memuaskan dan menurut pengertian saya, perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Pengertian perjanjian mengandung 21 22
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa.1990). hal .13 R.Setiawan , Op Cit, hal.48
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
19 beberapa unsur antara lain adanya perbuatan hukum, berdasarkan kata sepakat, sepakat itu harus dinyatakan, adanya sepakat harus saling tergantung satu sama lain dan sepakat itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian 1. Asas-asas perjanjian Berbicara mengenai perjanjian dalam KUH Perdata, maka perlu dipahami mengenai asas perjanjian yang merupakan landasan untuk membuat dan melaksanakan perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan asas, yaitu: Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat hukum dalam peraturan konkrit tersebut. 23 Asas-asas dalam perjanjian: a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan pada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dan pelaksanaan serta persyaratanya menentukan bentuk perjanjian yang tertulis dan lisan. 24 Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.
23
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Cetakan Kedua. (bandung: Alumni, 1994) ,hal.33. 24 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak innominaat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,2004), hal 9 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
20 Dalam pasal tersebut terkandung suatu kebebasan untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, perjanjian tersebut berlaku atau mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang-undang. Namun berlakunya asas ini dibatasi oleh pasal 1337 KUH Perdata yang menentukan bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. b. Asas Konsensuil Asas konsensuil artinya bahwa perjanjian itu terjadi (lahir) sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 Bagian (1) KUH Perdata. Hal ini berarti bahwa untuk terjadinya perjanjian tidak diisyaratkan memenuhi formalitas tertentu, perjanjian secara lisan pun diperbolehkan, kecuali apabila undang-undang mensyaratkan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. 25 c. Asas Kepastian Hukum ( Pacta Sunt Servanda) Makna dari asas ini adalah perjanjian wajib ditaati dan dilaksanakan karena mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian Pacta Sunt Servanda ini berhubungan dengan akibat hukum dari perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
25
http://www.legalitas.org/?q=node/202, diakses terakhir tanggal 2 oktober 200
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
21 Maksud asas ini dalam suatu perjanjian, tidak lain adalah mendapatkan kepastian hukum bagi pihak yang telah membuat perjanjian itu, dimana para pihak harus dengan sungguh-sungguh mematuhi isi dari perjanjian yang telah dibuat. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Adapun Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata menentukan, “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dari ketentuan pasal tersebut diketahui bahwa sudah selayaknya sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi oleh para pihak tersebut. 26
d. Azas Itikad Baik Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada
26
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html ,diakses terakhir tanggal 9 Oktober 2009 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
22 akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 27 e. Asas Kesamaan dalam Hukum Para pihak pada dasarnya diberikan kedudukan dan mempunyai kedudukan yang sama, diberikan hak dan mempunyai kewajiban sebagaimana sesuai dengan di perjanjikan. 28 2. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang terdapat pada setiap perjanjian, dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut ma suatu perjanjian dapat berlaku sah.Adapun keempat syarat tersebut adalah: 1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. 29 Dua syarat yang pertama, yaitu sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 30
27
Djuhendra hasan, Pengkajian Masalah Hukum kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit, ( Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Ham RI, 2004) , Hal. 24. 28 Ibid ,hal .25 29 Subekti. Op Cit, hal.17. 30 http://www.primaironline.com/interaktif/detail.php?catid=Tips&artid=syarat-sahnyasebuah-perjanjian, diakses terakhir tanggal 9 Oktober 2009 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
23 Kesemua syarat tersebut di atas, harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, sebab apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian dibatalkan (dapat dibatalkan). Demikian pula bila syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian itu dapat batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. 3. Subyek dan Obyek Perjanjian Pihak-pihak yang menjadi pendukung dalam suatu perjanjian disebut subyek hukum. Subyek perjanjian ini sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak tertentu di mana masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang berbeda. Pihak yang berhak atas suatu prestasi mempunyai kedudukan sebagai kreditur dan pihak yang wajib berprestasi berkedudukan sebagai debitur. Dalam suatu perjanjian dapat terjadi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya beberapa orang debitur berhadapan dengan seorang kreditur. Hal ini tidak akan mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah tetapi perjanjian tetap sah berlaku. 31 Adapun yang dapat menjadi subyek perjanjian adalah manusia pribadi dan badan hukum. Kepada subyek perjanjian diisyaratkan harus cakap melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini harus memiliki kemampuan untuk
31
“Dasar-Dasar Hukum Perdata 2”, http://www.scribd.com/doc/14232024/Dasar-Dasar Hukum Perdata-Indonesia2, diakses terakhir tanggal 11 oktober 2009 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
24 membuat perjanjian dan mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Selain subyek perjanjian, obyek perjanjian adalah prestasi. Tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan perbuatan hukum tidak berarti apa-apa. Adapun yang dimaksud dengan prestasi menurut Abdul Kadir Muhammad adalah, “Kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian”. 32 Suatu pretasi harus tertentu atau sekurang-kurangnya mempunyai jenis tertentu serta benar dapat dilaksanakan. Apabila tidak dapat dilaksanakan adalah merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan. Hal ini akan mengakibatkan sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak berharga (ongeldig) dan tidak ada kewajiban untuk memenuhinya. 33 Obyek atau voorwer dari suatu perjanjian adalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang harus dilakukan dalam suatu perjanjian dapat berupa: menyerahkan sesuatu (te geven), melakukan sesuatu (te doen), tidak melakukan sesuatu (niet te doen). 34 Mengenai prestasi yang harus dilakukan dalam perjanjian terdapat perbedaan pendapat diantara para sarjana hukum. Pendapat pertama mengatakan bahwa prestasi yang menjadi obyek perjanjian harus sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Ini didasarkan pada pendapat bahwa setiap prestasi
32
Abdul Kadir Muhammad . Hukum Perikatan. (Jakarta: Bina Aksara, 1990), hal.81 “Sistematika KUH Perdata Dan Pembagian Hukum Perikatan”, http://hermannotary.blogspot.com/2009/06/sistematika-kuh-perdata-dan-pembagian.html, diakses terakhir tanggal 11 oktober 2009 34 “Tata Cara Membuat Suatu Perjanjian”, http://www.dwp.or.id/dwp1.php?kas=12&noid=26, diakses terakhir tanggal 11 oktober 2009 33
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
25 harus mempunyai nilai uang. Sedangkan pendapat lain mengatakan prestasi dapat berupa sesuatu yang tidak bernilai uang. Ini didasarkan pada ganti rugi tidak berwujud yang berupa pemulihan di bidang moral dan kesopanan. 35 4. Berakhirnya Perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, namun berakhirnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat saja hapus tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya dalam perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus sedangkan perjanjian jual beli tidak karena perikatan menyerahkan barang yang belum terlaksana. 36 Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan disebutkan mengenai hal-hal apa saja yang menyebabkan berakhirnya perikatan dan perjanjian. a. Penawaran Pembayaran Tunai Yang Diikut i Dengan Penitipan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hal ini si kreditur menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur menolak menerima pernbayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada Notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur l. untuk melaksanakan pembayaran. Jika kreditur menolak,
maka
dipersilakan
oleh
notaris
atau
panitera
untuk
menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga, rnaka hal ini dicatat dalam berita acara tersebut, hat ini merupakan bukti bahwa kreditur 35 36
Ibid Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal.49
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
26 menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus. b. Perjumpaan Hutang (Kompensasi) Dalam hal terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditur dan debitur saling mempunyai hutang dan piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan hutang untuk uatu jumlah yang sama. Hal ini rerjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika c. Pergantian Debitur Pelaku pembayaran pada prinsipnya adalah debitur, untuk kemudian membayar (prestasi) kepada kreditur. Meskipun pada prinsipnya pelaku debitur dapat dimungkinkan pihak ketiga yang melakukan prestasi. Pihak Ketiga dapat melakukan prestasi dengan adanya: a.
Alasan dengan memberikan kuasa
b.
Mempunyai kepentingan terhadap debitur
c.
Pihak ketiga adalah sebagai penjamin, kedudukan penjamin adalah sebagai pengganti debitur jika debitur wanprestasi.
Konsekwensinya bila pihak ketiga melaksanakan prestasi untuk debitur: Pihak ketiga memiliki hak Regres, maka demi hukum pihak ketiga berhak menuntu kembali pada debitur. Disini terjadi perpindahan kedudukan kreditur, Pihak ketiga menjadi kreditur baru yang dapat menuntut debitur tanpa harus ada perjanjian lagi, Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
27 sedangkan kreditur lama yang terpengaruhi haknya tidak terkait lagi dalam perikatan. Tambahan mengenai hapusnya perikatan: 37 a. Subrograsi Penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Dalam Subrograsi, perikatan antara kreditur lama dan debitur hapus karena pembayaran. b. Novasi / Pembaharuan hutang Pembaharuan hutang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dimana pihak kreditur dan debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan perikatan baru. c. Cessie Cara pengalihan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh dilakukan dengan cara membuat akta autentik atau dibawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Dalam Cessie perikatan tidak dihapusnya hanya beralih kepihak sebagai kredit baru. Perjanjian berakhir karena: a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak Perjanjian yang diadakan oleh para pihak akan berlaku untuk waktu tertentu sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama. Misalnya
37
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Doktrin_SubrogasiCessieNovasi.pdf
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
28 perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam Pasal 1570 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu perhentian untuk itu. b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian Hal seperti ini diatur dalam Pasal 1066 ayat 3 KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian itu berakhir. Misalnya jika salah satu pihak meninggal, maka perjanjian pemberian kuasa akan menjadi hapus. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata. d. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam pasal 1817 KUH Perdata. e. Perjanjian berakhir karena putusan hakim Perjanjian ini hanya akan hapus apabila hakim telah menetapkan putusannya. Jadi perjanjian ini tidak akan hapus dengan sendirinya apabila belum diputuskan oleh hakim. Misalnya pembatalan perjanjian jual beli tanah harus diajukan ke muka hakim terhitung sejak anak tersebut menjadi dewasa, hal ini diatur dalam pasal 1454 KUH Perdata. f.
Tujuan perjanjian telah tercapai
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
29 Bahwa sejak tercapainya apa yang telah disepakati oleh para pihak, maka sejak itu pula perjanjian akan dihapus. Misalnya dalam perjanjian kerja, bila pihak yang satu telah melakukan prestasi dan pihak lainnya telah melakukan kontraprestasi, maka apa yang telah disepakati dikatakan telah tercapai. g. Dengan perjanjian para pihak (herroeping) Bahwa perjanjian itu juga dapat berakhir, apabila para pihak setuju untuk mengakhirinya, sebab dianggap tidak perlu lagi untuk melanjutkannya. Misalnya dalam Pasal 1571 KUH Perdata perjanjian sewa-menyewa. Dengan demikian suatu perjanjian itu berakhir apabila tujuan dari perjanjian telah tercapai, yang berarti para pihak atau masing-masing pihak telah menunaikan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang dibuat Dengan demikian berakhirnya suatu perjanjian akan dengan sendirinya menghapus perikatan yang ada, akan tetapi dengan hapusnya perikatan belum tentu berakhir pula perjanjian yang ada. C. Standart Contract Perjanjian standar tumbuh berkembang di latar belakangi dengan keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaanperusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada pihak lawannya (counter party / wederpartij). 38 Dalam perjanjian standar biasanya pihak lawan mempunyai kedudukan (bargaining position) yang lemah, baik karena posisi sosial-ekonominya, maupun
38
Hasanudin Rahman. Legal Drafting, ( Bandung : Citra Aditya Bakti. 2000). Hal. 134
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
30 karena ketidaktahuannya mengenai perbuatan hukum yang akan diperbuatnya serta akibat hukumnya. 39 Banyak ahli hukum menilai perjanjian standar sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat, dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Namun demikian perjanjian standar sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis karena para pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya dan waktu, selain itu perjanjian standar berlaku di masyarakat sebagai suatu kebiasaan. 40 1. Pengertian Standart Contract (Perjanjian Standar) Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda, yaitu “standaard contract” atau “standaard voorwarden”, dalam bahasa Jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah “Allgemene geschafts bedingun”, “standaard vertrag”, “standaardkonditionen”. Hukum Inggris mengenal perjanjian standar sebagai “standard contract” atau “take it or leave it contract”. Treitel memberikan definisi perjanjian standar sebagai “The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are used for all contracts of the same kind, and are only varied so far as the circumstances of each contracts require.” Yang terjemahannya adalah “syarat-syarat dalam perjanjian yang ditampilkan dalam bentuk formulir yang dicetak dalam bentuk baku yang digunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya, dan hanya berbeda sepanjang diperlukan oleh suatu keadaan”. 41
39
Mariam D.Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. (Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994) . hal
40
Ibid. Treitel, G.H.. The Law of Contract 9t h edition. (London : Sweet & Maxwell, Ltd. 1995).
46. 41
hal. 196. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
31 Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai sebuah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. 42 Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. 43 Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian standar adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang distandardisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran. 44 Dari definisi para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian standar adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausula-klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Suatu perjanjian standar biasanya digunakan oleh anggota suatu asosiasi dagang untuk membuat perjanjian di antara sesamanya ataupun dengan pihak lain, dalam hal ini masyarakat. Perjanjian standar bahkan diatur oleh undangundang. Selain itu, perjanjian standar juga digunakan sebagai alat untuk mengalokasikan risiko dalam perjanjian, dalam hal ini dipergunakan untuk
42
Mariam D.Badrulzaman .Op Cit. hal.47 Ibid 44 Muhammad Abdukadir. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1992). hal.6. 43
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
32 menentukan terlebih dahulu pihak mana yang harus bertanggung jawab terhadap risiko yang timbul. 45
2. Ciri-ciri Perjanjian Standar Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri perjanjian standar mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, yang antara lain adalah sebagai berikut : 46 a. Bentuk perjanjian tertulis; Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. b. Format perjanjian distandardisasikan; Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. c. Syarat-syarat perjanjian (terms) ditentukan oleh pengusaha; Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. 45 46
Karena syarat-syarat
perjanjian
itu dimonopoli oleh
Treitel, G.H. Op Cit. hal. 196. Ibid. hal 6-9
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
33 pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha ketimbang konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. d. Konsumen hanya menerima atau menolak; Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen tersebut bersedia memikul beban tanggung jawab. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan negoisasi syarat-syarat yang sudah distandardisasikan tersebut. e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau badan peradilan; Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula standar mengenai penyelesaian sengketa. Jika timbul sengketa dikemudian hari dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase terlebih dahulu atau alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolutions) sebelum diselesaikan di pengadilan. f. Perjanjian standar selalu menguntungkan pengusaha; Perjanjian standar dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian akan selalu menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut: 1) efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; 2) praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
34 atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; 3) penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang ditawarkan padanya; 4) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak; 5) pembebanan tanggung jawab. Sedangkan Mariam D. Badrulzaman menjelaskan bahwa ciri-ciri perjanjian standar adalah sebagai berikut : 47 a. Perjanjian standar sepihak; Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditur
yang
lazimnya
mempunyai
kedudukan
ekonomi
kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif. b. Perjanjian standar yang ditetapkan oleh pemerintah; Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan , Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan. c. Perjanjian standar yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat;
47
Mariam D. Badrulzaman, Op Cit. hal. 50.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
35 Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan. 3. Validitas Perjanjian Standar Syarat sahnya suatu perjanjian standar adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya, yakni sebagaimana bunyi pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 48 a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya (wilsovereenstemming / Agreement); Secara formil suatu pernyataan kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian tertulis cukup dengan pembubuhan tanda tangan pada perjanjian tersebut. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Capacity); Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perikatan pada dasarnya adalah sebagaimana bunyi pasal 1330 KUHPerdata, yaitu sudah dewasa (jo. pasal 330 KUHPerdata, umur 21 tahun ke atas), dan tidak sedang berada di bawah pengampuan (jo. pasal 433 KUHPerdata). Namun selain itu juga memerlukan ketentuan-ketentuan tertentu yaitu mengenai orang yang berhak atau memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian. Misalnya suatu Perseroan Terbatas, maka pihak yang memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian adalah Direksi dari Perseroan Terbatas tersebut sebagai mana diatur dalam pasal 79 ayat (1), pasal 82, dan pasal 89 UU No.1 thn 1995 tentang Perseroan Terbatas. 48
Mariam D. Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikata, (Bandung : Citra Aditya Bakti. 2001). hal 79 – 82. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
36 c.
Suatu hal tertentu (bepaald onderwrep / Certainty of terms); Suatu perjanjian harus memiliki suatu objek tertentu.
d.
Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak / legality); Yang dimaksud dengan kausa adalah isi atau maksud
dari suatu perjanjian. Berkaitan dengan hal diatas, maka apabila suatu perjanjian standar telah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, maka berlaku pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya dengan disertai konsekuensi pada ayat (2) yang menyatakan bahwa suatu persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain melalui kesepakatan atau oleh undang-undang. Lebih lanjut pada ayat (3) menekankan bahwa pelaksanaan perjanjian harus dengan itikad baik. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perjanjian standar adalah sah sepanjang secara formil dan materiil terpenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata.
D. Klausula Eksonerasi (Exemption Clause) 1.
Pengertian Rijken mendefinisikan bahwa syarat eksonerasi adalah klausul
yang
dicantumkan dalam suatu
perjanjian
yang
mana satu
pihak
menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Senada dengan Rijken, Treitel mendefinisikan klausula eksonerasi sebagai a clause excluding or limiting liability”, yang Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
37 terjemahannya adalah “sebuah klausula yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab”. 49 2. Tanggung jawab dan klausula eksonerasi; Masalah tanggung jawab dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung jawab yang menjadi beban konsumen dan yang menjadi beban pengusaha. Apabila ditelaah secara cermat, beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada beban tanggung jawab pengusaha. Bahkan terlintas kesan bahwa pengusaha berusaha supaya bebas dari tanggung jawab. Keadaan tersebut dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat kurang dapat dipahami oleh konsumen ketika membuat perjanjian dengan pengusaha. Syarat yang berisi pembebanan tanggung jawab ini disebut klausula eksonerasi. 50 Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pengusaha secara sepihak dapat juga berasal dari rumusan undang-undang. 51 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi tersebut. 49
Ibid. Hal 197 Muhammad Abdulkadir. Op Cit. hal. 18. 51 Ibid. hal 20. 50
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
38 Bagaimanapun juga, eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian : 52 1)
Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur);
Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misal dalam perjanjian jual-beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi. 2) Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian;
52
Ibid. hal 21-22.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
39 Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen, dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab pengangkut. 3)Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga; Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung
jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat
perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
40
BAB III TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DI INDONESIA
A. Kredit Pada awalnya kredit merupakan istilah dari bahasa latin, yakni “creditus” yang kemudian diadaptasi menjadi kredit dalam perbendaharan kata bahasa Indonesia. Adapun maknanya adalah kepercayaan, sehingga dapat dikatakan dalam hubungan ini kreditur mempunyai kepercayaan, sehingga dapat dikatakan dalam hubungan ini kreditur mempunyai kepercayaan kalau debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan. Dalam hukum positif Indonesia yakni Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 sebagai perubahan Undang-Undang No 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, digunakan dua istilah yang berbeda namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Istilah pertama adalah “kredit” seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 butir ke 11, sedangkan istilah yang kedua adalah “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah” yang disebutkan dalam Pasal 1 butir ke 12 dalam undang-undang yang sama. Hal yang dapat membedakan diantara keduanya adalah pada bank yang melakukan kegiatan tersebut. Bank konvensional menggunakan istilah kredit, dan bank syariah menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam Undang-Undang tersebut, kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
41 bunga. Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah berjangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil 53. Dari rumusan tersebut, perbedaan prinsip diantara keduanya hanyalah pada bentuk kontraprestasi yang akan diberikan debitur kepada kreditur atas pemberian kredit pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontraprestasinya berupa bunga, sedangkan pada bank syariah kontraprestasinya berupa imbalan atau bagi hasil, namun dalam skripsi ini tidak termasuk di dalamnya tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Adapun fungsi dari kredit adalah: 54 a. Meningkatkan daya guna uang b. Meningkatkan peredaran lalu lintas uang c. Meningkatkan daya guna peredaran barang d. Salah satu alat stabilitas ekonomi e. Meningkatkan kegairahan berusaha f.
Meningkatkan pemerataan pendapatan
g. Meningkatkan hubungan internasional
B. Prinsip Pemberian Kredit Dari sisi bank, kadangkala pemberian kredit kepada debitur memang mengandung sesuatu resiko tertentu, seperti ketidakmampuan debitur dalam mengembalikan kredit 53
Pasal 1 butir 11 dan 12 ,Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. OP. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Edisi Revisi, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1991), hal.103. 54
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
42 beserta bunganya maupun ketiadaan itikad baik dari debitur, sehingga biasanya bank melakukan pemeriksaan secara hati-hati dan teliti dalam segala aspek terlebih dahulu sebelum mengeluarkan dana. Sesuai dengan penjelasan pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998, beberapa aspek yang harus dipertimbangkan oleh bank tersebut adalah Character (kepribadian), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Condition (kondisi ekonomi), dan Collateral (Agunan) yang kemudian dikenal dengan istilah 5C. Character (kepribadian) adalah penilaian oleh bank yang menyangkut watak dan pribadi debitur. Penilaian ini untuk mengetahui tingkat kejujuran maupun adanya itikad baik dari debitur sehingga dapat memberikan kepastian pada pihak bank bahwa debitur memang memiliki niat yang baik atas pemberian kredit. Capacity (kemampuan) adalah penilaian oleh bank yang menyangkut kemampuan debitur di bidang usaha yang akan diberikan kredit maupun manajerialnya untuk meyakinkan bank bahwa debitur memang benar-benar memiliki kemampuan untuk mengembalikan kredit tepat pada waktunya. Capital (modal) adalah penilaian bank terhadap posisi keuangan debitur secara keseluruhan. Hal ini dapat diketahui dari laporan keuangan perusahaan debitur. Condition of Economy (kondisi ekonomi) artinya bank harus menganalisa terlebih dahulu mengenai kondisi ekonomi mikro maupun makro perekonomian, khususnya yang menyangkut jenis usaha dari debitur yang akan diberikan kredit. Collateral (agunan) artinya debitur harus menyerahkan jaminan kepada pihak bank berupa agunan yang bernilai dan berkualitas tinggi, mudah dicairkan dan jumlahnya minimal sebesar jumlah kredit yang akan diberikan. 55
55
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya, 1999 ), hal.28. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
43 Selain prinsip 5C tersebut, ada prinsip-prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berkaitan dengan debitur dan harus dipertimbangkan oleh bank, yaitu prinsip 5 P, yakni party (para pihak), purpose (tujuan), payment (pembayaran), profitability (perolehan laba), dan protection (perlindungan). Party, artinya bank sebagai pihak yang memberikan kredit sebelumnya harus memperoleh suatu kepercayaan terlebih dahulu terhadap debitur. Purpose, artinya bank harus benar-benar mengetahui tujuan dari debitur atas kredit yang akan diberikan. Termasuk mengawasi jalannya kredit agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Payment, artinya bank harus pula memperhatikan dan menganalisis secara seksama tentang ada tidaknya sumber pembayaran debitur apabila kredit diberikan. Hal ini dimaksudkan agar setiap kredit yang diberikan oleh bank dapat kembali lagi. Profitability, artinya bank sebagai kreditur harus melakukan penilaian terhadap laba perusahaan dan membandingkannya dengan bunga yang akan ditetapkan atas pemberian kredit, sehingga dari penilaian tersebut dapat diketahui kemampuan debitur untuk melakukan pembayaran kembali. Protection, artinya untuk memberikan perlindungan terhadap kredit, maka bank harus memperhatikan jaminan yang debitur berikan. Hal ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga seandainya dikemudian hari terjadi hal-hal diluar prediksi semula. 56
C. Perjanjian Kredit Bank Adalah Perjanjian Tidak Bernama Mengenai jenis dari perjanjian kredit bank, diantara para ahli hukum masih belum ada kesesuaian pendapat. Sebagian ahli mengutarakan bahwa perjanjian kredit pada
56
Munir Fuady, Ibid, hal.29.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
44 hakikatnya sama dengan perjanjian pinjam meminjam uang, yakni bank sebagai pihak yang meminjamkan dan debitur sebagai sebagai pihak yang diberikan pinjaman, sehingga seharusnya tunduk pada Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pemikiran ini di dukung oleh R. Soebekti, Miriam Badrul Zaman dan Munir Fuady. Sementara yang menyangkal adalah Sutan Remi Sjahdeni. Ia mengutarakan bahwa peerjanjian kredit sama sekali tidak identik dengan perjanjian pinjam meminjam uang seperti yang diatur dalam bab XIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian ini termasuk dalam perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenskomst) karena tidak ada kesamaan dengan jenis perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia. Dengan kata lain, tidak terdapat ketentuan khusus yang mengaturnya. Oleh karena itu dasar hukumnya dikembalikan kepada persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan debitur sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.57 Pemikiran Sutan Remi Sjahdeni tersebut tampaknya patut untuk didukung mengingat adanya kenyataan perjanjian pinjam meminjam uang memang memiliki ciri yang berbeda dengan perjanjian kredit. Adapun ciri khas yang membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam meminjam uang tersebut adalah 58: a. Perjanjian kredit adalah perjanjian yang bersifat konsensual. Artinya, perjanjian dianggap terjadi ketika ada kesepakatan kehendak diantara para pihak, bukan pada saat penyerahan barang seperti yang terjadi pada perjanjian pinjam meminjam yang bersifat riil. Hal ini terlihat pada perjanjian kredit dengan syarat tangguh. 57
Rachmadi Usman. Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: AksaraPersada Indonesia), hal.261. 58 Sutan Remi Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. (Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Jakarta. 1993),hal 181 Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
45 Pada perjanjian ini, walaupun perjanjian tersebut telah ditandatangani, namun apabila disepakati bahwa kreditur akan mengeluarkan kredit setelah debitur memenuhi syarat tertentu, maka yang berlaku adalah kesepakatan tersebut. Sedangkan
pada perjanjian pinjam
meminjam uang,
begitu
perjanjian
ditandatangani, mutlak harus ada penyerahan dana. b. Dalam perjanjian kredit, penyerahan dana harus digunakan sesuai dengan keperluan dan tujuan yang telah diperjanjikan diantara para pihak. Jadi tidak ada keleluasaan bagi debitur untuk menggunakan dana seperti yang terjadi dalam perjanjian pinjam meminjam uang. c. Dalam perjanjian kredit, penyerahan dana dilakukan dengan menggunakancek, rekening koran atau pemindah bukuan. Namun dalam perjanjian pinjam meminjam uang, dana diberikan secara langsung dari kreditur kepada debitur. d. Dalam perjanjian kredit, setiap dana yang keluar selalu berada dalam pengawasan pihak bank dan berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam uang karena setelah menyerahkan uang, kreditur tidak lagi mengawasi kemana keluarnya uang yang dipinjamkan tersebut. Hak pemanfaatan tersebut menjadi hak mutlak bagi debitur.
D. Bentuk, Isi dan Fungsi Perjanjian Kredit Bank Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 tidak pernah dijelaskan secara spesifik mengenai bentuk dari perjanjian kredit. Ini berarti perjanjian dapat dibuat tertulis maupun tidak tertulis (lisan). Namun bila mengacu pada Instruksi Presidium No. 15/IN/10/66 Tentang Pedoman Kebijakan dibidang Perkreditan Juncto Surat Edaran (SE) BNI Unit I No. 2/539/UPK/Pemb, Surat Edaran BNI Unit I No. 2/649/UPK Pemb, dan Instruksi Presidium Kabinet No. 10/EK/2/1967, maka Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
46 perjanjian kredit mutlak harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Kewajiban ini juga masih diatur lagi dalam Surat Keputusan Direksi BI. No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran BI No. 27/7 UPBB Masing- Masing tanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bagi Bank Umum yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. 59 Adapun mengenai isi dari perjanjian kredit, diserahkan kepada masing-masing bank untuk menetapkannya. Namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan halhal sebagai berikut: 60 a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit. Ditinjau dari sisi bank, perjanjian kredit yang baik sekurang-kurangnya berisi klausula-klausula sebagai berikut: a. Klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik. b. Klausula tentang bunga, commiten fee, dan denda kelebihan tarik c. Klausula tentang kausa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah debitur. d. Klausula tentang Reprensentation and Warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, 59 60
Rachmadi Usman. Op Cit, hal.264. Rachmadi Usman. Op Cit, hal. 267.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
47 keadaan keuangan dan harta kekayaan debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut. e. Klausula tentang condition precedent, yaitu klausula tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan debitur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut. f. Klausula tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan g. Klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan. h. Klausula tentang affirmative convenants, yaitu klausula yang berisi janji-janji debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku. i. Klausula tentang negative convenants, yaitu klausula yang berisi janji-janji debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku. j. Klausula tentang financial covenants, yaitu klausula yang berisi bahwa debitur berkewajiban untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu. k. Klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan dan penyelesaian kredit. l. Klausula tentan event of default, yaitu klausula yang menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
48 kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit. m. Klausula tentang arbitrase, yaitu klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional. n. Klausula-klausula bunga rampai atau miscellaneous provisions,
yaitu
klausula-klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-klausula lain. Termasuk di dalamnya adalah pasal tambahan, yaitu klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat dan ketentuan yang menyimpang demi syarat dan ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan standard contract. 61 Dengan adanya pemberian kredit oleh bank kepada debitur dengan diwujudkan dalam bentuk kontrak atau perjanjian tertulis maka diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak. Menurut Ch. Gatot Wardoyo, secara khusus menjelaskan perjanjian kredit bank memiliki beberapa fungsi yaitu: 62 a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian jaminan. b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara debitur dengan kreditur. 61 62
Sutan Remi Sjahdeini. Op Cit, hal. 178-179. Sutan Remi Sjahdeini. Op Cit. hal.200
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
49 c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitor-monitor kredit. E. Perjanjian Kredit Dalam Bentuk Standart Contract Untuk memberi kemudahan dan kepraktisan dalam hal administrasi, perjanjian kredit di Indonesia dan negara-negara manapun di dunia umumnya selalu dibuat dalam bentuk standart contract, yaitu perjanjian yang hampir keseluruhan klausulanya telah dibakukan, disusun oleh salah satu pihak yang lebih kuatdan memberatkan pihak lain secara ekonomis dan psikologis memiliki kedudukan lebih lemah. Dalam Standard Contract ini, yang belum dibakukan biasanya hanya menyangkut jenis, harga, jumlah dan ciri spesifik lain dari obyek perjanjian. Secara umum Standard Contract mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 63 a. Isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat b. Debitur sama sekali tidak terlibat bersama-sama dalam menentukan isi perjanjian c. Bentuknya tertentu, yakni tertulis d. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif
Masih terjadi perdebatan terhadap legalitas sebuah standard contract sebagai suatu perjanjian yang sah, apalagi bila dikaitkan dengan asas kebebasan kehendak dalam melakukan kontrak atau yang lazim disebut sebagai asas kebebasan berkontrak. Sluitjer mengemukakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian karena kedudukan pengusaha yakni bank adalah
63
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:Alumni .1994), hal.50 .
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
50 seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wet gever). 64 Dalam hal ini yang menentukan semua syarat-syarat adalah bank, sementara debitur sama sekali tidak terlibat, dan ini tentulah bukanlah suatu perjanjian. Sementara Pitlo mengatakan bahwa standard contract ini adalah perjanjian paksaan (dwang contract) yang walaupun secara yuridis-teoritis tidak memenuhi ketentuan undang-undang, tetap diterima sebagai suatu perjanjian karena adanya suatu kebutuhan dalam masyarakat. 65 Pendapat ini ditentang oleh Stetin dan Asser Rutten yang pada intinya mengemukakan bahwa dalam standard contract sama sekali tidak melanggar dari asas kebebasan berkontrak karena dengan ditandatanganinya suatu perjanjian berarti para pihak dianggap telah mengerti, mengetahui dan bersedia menerima segala konsekuensi dari perjanjian tersebut. 66 F. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa perjanjian baik yang secara tegas disebutkan dalam undang-undang (perjanjian bernama) maupun tidak, dapat berakhir dengan sepuluh cara seperti disebutkan dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun dalam perjanjian kredit bank, pada umumnya dapat hapus dengan empat cara yaitu: a. Pembayaran Artinya perjanjian kredit menjadi berakhir dengan pembayaran lunas hutang pokok beserta bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya oleh debitur. b. Subrogasi
64
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. ( Jakarta: Grasindo. 2000), hal.120. Ibid, hal.12 . 66 Ibid. 65
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
51 Artinya perjanjian kredit menjadi berakhir sebagai akibat adanya penggantian kedudukan dari kreditur lama kepada pihak ketiga sebagai kreditur yang baru. Jadi segala hak-hak kreditur yang lama beralih kepada kreditur yang baru. c. Pembaharuan hutang (novasi) Artinya perjanjian kredit berakhir dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru maupun kreditur baru. Pada umumnya pembaharuan hutang terjadi pada perjanjian kreditnya itu sendiri sehingga secara otomatis perjanjian kredit yang lama menjadi tidak berlaku dan digantikan dengan perjanjian kredit yang baru. d. Penjumpaan hutang (kompensasi) Artinya perjanjian kredit berakhir bila hutang debitur oleh bank dikompensasikan dengan barang jaminan milik debitur. G. Perlindungan Konsumen Seperti diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsumen dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 selanjutnya disebut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang atau perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
52 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa debitur sebagai nasabah bank juga berkedudukan sebagai konsumen sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dalam UUPK berlaku bagi dirinya. Begitu pula terhadap bank yang dalam UUPK ini berkedudukan sebagai pihak pelaku usaha yang menyediakan jasa. 1. Hak Konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 Salah satu indikator telah tercapainya kesejahteraan konsumen adalah dengan diakui dan dilindunginya hak-hak konsumen. Di Indonesia, hak-hak itu diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan hukum, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
53 h. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi, dan atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 67
2. Hak Pelaku Usaha Dalam UU. No. 8 Tahun 1999 Sama halnya dengan konsumen, hak-hak pelaku usaha juga telah diatur secara tegas dalam undang-undang ini. Adapun hak-hak pelaku usaha tersebut dicantumkan dalam pasal 6 yaitu: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan-peraturan perundangundangan lainnya. Hak-hak sebagaimana yang tersebut dalam UU tersebut bukanlah akhir ataupun awal hak-hak konsumen melainkan ada hubungannya dengan berbagai peraturan atau undang-undang yang ada kesesuaian materi dalam hal perlindungan konsumen. Hak nasabah sebagai konsumen bisnis bank tidak tersurat secara terperinci
67
Shidarta. Op.Cit. Hal. 18
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
54 dalam UU No. 10 Tahun 1998 ( tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan) namun dalam berbagai pasal dalam UU tersebut dan peraturan lainnya dijelaskan bahwa hak-hak nasabah antara lain: 1. Memperoleh informasi tentang berbagai resiko produk perbankan (pasal 29 UU No. 10 Tahun 1998). 2. Memperoleh kerahasiaan nasabah maupun simpanannya (pasal 40 UU No. 10 Tahun 1998). 3. Jaminan simpanan terhadap rekening nasabah di bawah Rp100juta dengan ketentuan yang ada (pasal 11 UU Lembaga Penjamin Simpanan). Dalam kenyataannya ada beberapa hal yang menyebabkan pergesekan dalam hubungan antara nasabah dan bank, jika pergesekan itu tidak diselesaikan dengan cepat dan memuaskan maka akan memunculkan resiko timbulnya sengketa antara keduanya. Beberapa hal tersebut antara lain yaitu : 1. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank 2. pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang 3. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana 4. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank. 68
68
http://blog.uny.ac.id/bambysroom/2009/09/02/mediasi-sebagai-alternatif-penyelesaiansengketa-antara-nasabah-dan-bank-serta-konsepsi-kedepannya/, diakses terakhir tanggal 28 November 2009. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
55
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSONERASI PADA PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Klausula Eksenorasi yang Terdapat pada Perjanjian Kredit Bank Umumnya suatu perjanjian pasti melalui sebuah proses negosiasi diantara para pihak pembuat perjanjian. Namun akhir-akhir ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi tanpa melalui proses negosiasi, melainkan dengan cara dimana pihak yang satu telah menyiapkan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang sudah lengkap dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama standart contract ini sebenarnya sudah dikenal zaman Yunani Kuno. 69 Salah satunya yaitu dengan adanya penetapan harga barang dalam praktek jual beli yang ditentukan sepihak 69
Shidarta, Op Cit, hal. 119
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
56 oleh penjual tanpa memperhatikan kualitas barang yang dijual, namun seiring perkembangan jaman standart contract tidak hanya menyangkut harga tetapi lebih menyangkut ke hal-hal yang detail dan spesifik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat permasalahan yang timbul juga semakin kompleks, beriringan dengan semakin tingginya beriringan dengan semakin tingginya tingkat peradaban manusia. Dalam dunia perbankan di Indonesia penggunaan standart contract dalam pembelian fasilitas kredit pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kepraktisan bagi para pihak yang bertransaksi, karena tidak mungkin bila bank harus melakukan negosiasi tentang substansi perjanjian dengan setiap orang yang akan menjadi debitur. Selain banyak menguras tenaga dan fikiran juga akan memakan waktu yang cukup lama, bahkan akan menjadi kesulitan tersendiri dalam administrasi maupun dalam pelaksanaan perjanjiannya. Oleh karena itu dalam standard contract telah diuraikan secara jelas tentang hak maupun kewajiban dari masing-masing pihak. Permasalahan menjadi timbul ketika dalam prakteknya pihak bank justru memanfaatkan hal tersebut untuk menekan debitur dengan membuat klausulaklausula yang memberatkan atau yang disebut sebagai klausula eksonerasi sehingga yang terjadi adalah ketidak seimbangan posisi tawar diantara mereka. Di satu sisi bank berada dalam posisi kuat karena berkedudukan dalam posisi kuat yang memiliki dana. Di sisi lain debitur begitu lemah karena berkedudukan sebagai pihak
“terpaksa” menandatangani perjanjian kredit
dikarenakan
kebutuhan kredit amat besar. Padahal dalam hukum perjanjian, kedudukan yang seimbang bagi para pihak merupakan sesuatu yang prinsip dan merupakan wujud Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
57 dari asas kebebasan berkontrak, dari gambaran tersebut debitur menjadi perlu untuk dilindungi oleh hukum positif Indonesia. Pada hakekatnya tujuan pembatasan atau pembebasan tanggung jawab (klausula eksonerasi) bukanlah untuk memojokkan atau merugikan salah satu pihak, tetapi justru membagi beban resiko yang layak. Klausula eksonerasi dalam dapat berarti bertentangan dengan tujuan klausula eksonerasi itu sendiri, seperti yang telah diketengahkan di atas, yaitu syarat yang menghendaki adanya beban resiko yang layak. Pada standart contract dalam perjanjian kredit bank ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk menanggung ganti rugi kepada debitur adalah sebagai berikut: 70 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur b. debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu c. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu d.
bentuknya tertulis
e.
dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual Mengingat perjanjiannya berbentuk standard contract, pada dasarnya debitur
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menegosisasikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian tersebut. Dengan arti kata debitur hanya diberi kesempatan untuk menerima atau menolak perjanjian yang diberikan oleh bank. Namun pada kenyataannya, kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian itu
70
Mariam D. Badrulzaman , Aneka Hukum Bisnis.( Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994.) hal.48.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
58 tetap ada, hanya saja ditujukan pada debitur-debitur dengan jumlah kredit yang tinggi dan nilai posisi tawar yang cukup kuat.71
B. Bentuk
Perlindungan
Hukum
atas
Klausula
Eksonerasi
pada
PerjanjianKredit Bank Pada dasarnya perlindungan terhadap debitur sudah diawali dengan adanya asas keseimbangan dan keselarasan yang tercantum dalam norma dasar negara kita, yakni pancasila khususnya sila ke lima yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berdasarkan asas keseimbangan ini maka tidak dikehendaki adanya suatu hubungan yang timpang diantara sesama manusia Indonesia di mana yang satu lebih kuat dan mendominasi yang lainnya. 72 Asas ini kemudian dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945, mengatur bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 73 Ini berarti tidak ada seorang warga negarapun yang memiliki kedudukan istimewa di muka hukum. Begitu pula halnya terhadap debitur maupun kreditur yang ada dalam perjanjian kredit bank. Semua adalah sederajat dan memiliki hak-hak yang seimbang satu sama lain. Namun demikian mengingat kedudukannya sebagai dasar negara dan UUD, perlindungan yang diberikan ini masih begitu umum dan abstrak, sehingga masih memerlukan peraturan perundang-undangan lain dibawahnya. Secara garis besar, perlindungan hukum terhadap debitur atas penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit dikarenakan posisinya sebagai pihak dalam perjanjian kredit dapat diambil dari beberapa sumber hukum, antara lain : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). b. Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 JO Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (UUP) dengan dilengkapi ketentuan-ketentuan khusus dibidang perbankan. c. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 (UUPK).
71
Ibid http://www.scribd.com/doc/19537895/Kedudukankan-Para-Pihak-Dalam-Perjanjian- , diakses terakhir tanggal 29 november 2009 73 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27. 72
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
59 Bentuk perlindungan hukum ini selanjutnya akan dijelaskan oleh penulis di bawah ini: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Secara substansial, hukum keperdataan yang di Indonesia secara umum diatur dalam KUH Perdata, merupakan area hukum yang sangat luas dan paling dinamis. Khususnya dalam lapangan hukum perjanjian yang bersifat terbuka sehingga memberi kesempatan kepada para pihak untuk membuat jenis perjanjian baru yang sebelumnya tidak pernah ada dan tidak diatur dalam KUH Perdata itu sendiri. Salah satu jenis perjanjian baru itu adalah perjanjian kredit bank. 74 Walaupun demikian, bukan berarti bahwa perjanjian dengan jenis baru tersebut dapat membebaskan para pihak untuk tidak tunduk pada ketentuan KUH Perdata. KUH Perdata terus berlaku sepanjang mengenai azas dan prinsip dasar dari perjanjian. Hal ini berarti bahwa perjanjian kredit bank dalam bentuk standart contract secara umum juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Perlindungan tersebut terdapat pada ketentuan75 : 1) Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian Telah diketahui bahwa pada dasarnya setiap orang dapat membuat perjanjian asalkan syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah kesepakatan, cakap hukum, hal tertentu dan sebab yang halal. Bila 74
http://www.scribd.com/doc/19537895/Kedudukankan-Para-Pihak-Dalam-Perjanjiandiakses terakhir tanggal 29 november 2009. 75 http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.html diakses terakhir tanggal 29 november 2009.
, ,
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
60 kesemuanya terpenuhi, maka sesuai dengan ketentuan pasal 1338 (1) KUH Perdata, perjanjian itupun menjadi sah berlaku bagi para pihak sebagai undang-undang. Begitu pula dalam perjanjian kredit, untuk dapat berlaku sah dan mengikat diantara para pihak yang membuatnya, maka terpenuhinya ketentuan pasal 1320 KUH Perdata menjadi suatu syarat mutlak. Berkaitan dengan adanya kesepakatan, ini berarti pihak-pihak dalam perjanjian harus melalui proses penyesuian kehendak, yakni proses “tawar-menawarí” keinginan yang selanjutnya disepakati. Proses kesesuian kehendak ini harus terjadi secara bebas dan tidak boleh mengandung paksaan, kesesatan atau penipuan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, ataupun dari pihak ketiga (Pasal 1321 BW). Sesuai dengan ketentuan pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata, maka paksaan itu dapat dianggap terjadi bila terdapat suatu perbuatan yang menimbulkan ketakutan pada seseorang yang berpikiran sehat bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Ancaman tersebut harus benar-benar ada dan menimbulkan ketakutan. Misalnya, suatu perbuatan yang membuat seseorang itu terpaksa menandatangani perjanjian karena tidak ada cara lain untuk menghindari kerugian yang diancamkan padanya. Paksaan tidak hanya dapat dilakukan terhadap pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga terhadap suami atau isteri dari pihak yang membuat perjanjian ataupun keturunannya dalam garis lurus keatas maupun kebawah. Sedangkan yang dapat melakukan paksaan haruslah Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
61 salah satu pihak dalam perjanjian atau pihak ketiga yang memiliki kepentingan atas perjanjian tersebut. Berarti suatu paksaan tidak dianggap terjadi apabila ditujukan kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan darah ataupun hubungan perkawinan dengan pihak yang membuat perjanjian, walaupun hubungan tersebut sudah amat dekat. Paksaan juga tidak dianggap terjadi bila dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kepentingan atas dibuatnya perjanjian. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1323 dan 1325 KUH Perdata. Dengan penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank maka menurut analisa saya, syarat dari adanya kesesuaian kehendak secara bebas menjadi tidak ada, apalagi bila posisi tawar tidak seimbang, padahal adanya keseimbangan posisi tawar merupakan syarat sah terwujudnya kesesuaian kehendak. 76 Ini dikarenakan pihak bank sebagai pihak yang memiliki dana telah menentukan isi perjanjian terlebih dahulu tanpa pernah membicarakannya pada debitur. Klausula-klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit telah dibakukan secara sepihak dan disodorkan kepada debitur dalam bentuk formulir. Debitur hanya diberi kesempatan untuk membaca dan kemudian dihadapi pilihan menerima atau menolak. Dalam praktek pilihan selalu pada menerima karena kredit tidak akan pernah keluar bila ia tidak menerima klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian, walaupun klausula tersebut sangat memberatkan.
76
Sutan Remi Sjahdeni, Op cit, hal. 185
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
62 Bila dikaitkan dengan pasal 1324 KUH Perdata, terlihat bahwa bank sebagai pihak dengan posisi tawar yang kuat telah memaksakan kehendaknya terhadap debitur untuk menerima saja seluruh isi perjanjian. Apalagi bila debitur adalah golongan masyarakat yang membutuhkan dana dan tidak memiliki alternatif lain selain memperoleh kredit untuk menolong kehidupan ekonominya. Pihak bank sama sekali tidak memberi toleransi untuk merundingkan klausula-klausula baru. Bila debitur memang membutuhkan kredit, maka tinggal menandatangani perjanjian. Tetapi bila tidak, maka debitur tidak perlu menandatanganinya. Dalam kondisi seperti itu tentu saja debitur berada dalam suatu ketakutan besar. Ketakutan akan adanya suatu kerugian ekonomi yang nyata dan ada di depan mata apabila ia tidak menandatangani perjanjian yang disodorkan oleh bank. Dalam mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian, bank juga acapkali tidak mengindahkan apa yang disyaratkan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Khususnya mengenai hal tertentu. Salah satu klausula eksonerasi
dalam
perjanjian
kredit
menyebutkan:
“Berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak jangka waktu perjanjian kredit dapat dilakukan perpanjangan dengan kewajiban debitur dibebani kembali kewajiban membayar biaya provisi dan supervition Fee, biaya legalisasi serta biaya lainnya yang ditentukan oleh Bank dan perpanjangan jangka waktu dituangkan dalam bentuk addendum yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.”. 77
77
Konsep Komparisi Perjanjian Kredit Non Perusahaan pasal 11 bagian 2
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
63 Klausula tersebut juga sangat bertentangan dengan asas kepatutan. Seperti diketahui, kepatutan adalah sesuatu yang oleh masyarakat dianggap layak dan patut sehingga harus diperhatikan dikehidupan seharihari. Dalam suatu perjanjian, memperjanjikan sesuatu yang belum pasti adalah sesuatu hal yang tidak patut. Ini berarti para pihak yang memperjanjikan sesuatu yang salah satu pihak belum mengerti dan memahaminya. Ditinjau dari sisi debitur, tentu saja dapat merugikan dikarenakan bisa saja ketentuan-ketentuan yang ada di kemudian hari itu akan sangat memberatkan posisinya, sementara bank dengan berdalih pada
klausula
yang
sama,
menghendaki
agar
perjanjian
terus
dilaksanakan.Walaupun perjanjian seperti ini pada akhirnya disepakati oleh para pihak, namun tetap saja mengandung konsekuensi yuridis perjanjian menjadi batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian, akan tetapi dalam prakteknya tidak ada suatu perjanjian menjadi batal demi hukum. 2) Pasal 1338 (3) Tentang adanya itikat baik Menurut R. Setiawan, itikad baik dalam suatu perjanjian itu dianggap ada apabila perjanjian di buat dan dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. 78 Artinya itikad baik itu tidak boleh ditafsirkan secara sempit, yakni hanya pada saat pembuatan perjanjian saja, tetapi juga termasuk rangkaian dari proses hubungan timbal balik yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Saat pelaksanaan perjanjian tidak bisa dipisahkan dengan saat pembuatan atau penandatanganan
78
R. Setiawan, Op Cit. hal.64
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
64 perjanjian. Demikian pula saat penandatanganan perjanjian tidak bisa dipisahkan dengan periode negosiasi yang mendahuluinya. Oleh karena itu, itikad baik tidak hanya disyaratkan pada pelaksanaan melainkan juga pada saat pembuatan dan bahkan pada periode negosiasi yang mendahului lahirnya suatu perjanjian. Selain itu, sesuatu yang diperjanjikan itu harus layak, mengandung nilai-nilai etis, serta memberikan hak dan tanggung jawab yang seimbang bagi semua pihak. Adanya itikad baik dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata berlaku mutlak dan tidak dapat disimpangi. Ini berarti, walaupun para pihak telah bersepakat untuk mencantumkan klausula-klausula eksonerasi yang berat sebelah Sedangkan Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun untuk tidak merugikan kepentingan umum. 79 Meskipun ketentuan pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, namun dalam prakteknya ada saja klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit yang mengesampingkan asas tersebut. Misalnya adanya klausula eksonerasi yang memberikan hak begitu besar kepada bank untuk dapat menuntut pembayaran secara sekaligus atas kredit yang diberikan kepada debitur tanpa alasan apapun. 80 Tampak di sini bahwa bank tidak beritikad baik dalam membuat
79
Sutan Remi Sjahdeni, Op Cit. Hal. 121 Mariam Darul Badruzaman, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (standart), Makalah Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Dalam Ari Purwadi, Perjanjian Baku Sebagai Upaya Mengamankan Kredit Bank. Majalah Hukum dan Pembangunan. No.1 Tahun XXV. FH-UI. 1995. Hal.59 80
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
65 perjanjian dikarenakan begitu besarnya wewenang yang ada padanya. Sementara akibat wewenang yang mau menang sendiri itu justru menimbulkan kerugian besar bagi debitur. Dengan adanya klausula eksonerasi yang berat sebelah seperti itu, walaupun para pihak telah samasama menyetujuinya maka undang-undang tetap memberikan perlindungan kepada debitur dengan menerapkan asas itikad baik sebagai alasan untuk tidak diberlakukan klausula eksonerasi itu dalam perjanjian. Dikaitkan dengan pasal 1337 KUH Perdata, menetapkan sebagai berikut: “Suatu causa adalah terlarang apabila causa itu dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan moral atau dengan ketertiban umum”, maka ini berarti bahwa undang-undang juga memberikan perlindungan terhadap debitur dari adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit yang bertentangan dengan undangundang, moral, dan atau ketertiban umum. Secara tegas pasal ini membatasi klausula seperti apa yang boleh dicantumkan dalam perjanjian, sehingga secara yuridis keseimbangan posisi tawar dapat diwujudkan. 3) Pasal 1339 KUH Perdata Selain adanya pembatasan menjadi klausula-klausula yang boleh dicantumkan dalam perjanjian seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1337 KUH Perdata, undang-undang juga memberikan perlindungan terhadap debitur dari sesuatu yang tidak secara tegas tertulis dalam perjanjian. Perlindungan tersebut disebutkan dalam pasal 1339 KUH Perdata yang selengkapnya menetapkan:
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
66 Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal ini mengandung arti bahwa bukan hanya ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak saja yang mengikat diantara mereka, tetapi juga ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, maupun kepatutan dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Pasal ini hanya bersifat melengkapi untuk hal yang tidak ditulis dalam perjanjian. Dalam dunia kredit bank, salah satu ketentuan yang harus diperhatikan itu adalah adanya asas-asas perkreditan yang sehat dalam memberikan kredit, atau yang lazim disebut sebagai 5C’s of credit. Azas ini menjadi sesuatu yang mutlak harus dipertimbangkan oleh bank sebelum menyetujui permohonan kredit.
b. Undang Undang No. 7 Tahun 1992 JO Undang Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Dalam Undang-undang ini, perlindungan terhadap debitur di bagi menjadi dua, yakni bersifat preventif dan yang bersifat represif. Perlindungan preventif adalah perlindungan yang sifatnya mencegah terjadinya suatu permasalahan, yaitu permasalahan yang mungkin timbul akibat ditandatanganinya perjanjian kredit bank. Perlindungan ini lazimnya melalui peraturan perundang-undangan yang memuat mekanisme yang menuntun pihak bank maupun debitur agar pada saat pelaksanaan perjanjian tidak menimbulkan permasalahan. Sedangkan perlindungan represif adalah Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
67 perlidungan yang diberikan terhadap debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat menanggulangi. 81 Perlindungan yang bersifat preventif ada dalam ketentuan pasal: 1) Pasal 8 UUP Bila melihat dari sisi transaksi kredit, hubungan antara bank dengan debitur memang hanya sekedar hubungan antara pemberi kredit dengan kredit saja. Tetapi bila melihatnya lebih jauh, sebenarnya hubungan tersebut lebih daripada itu karena menyangkut suatu kepercayaan, yakni kepercayaan antara bank sebagai kreditur terhadap debiturnya begitu pula sebaliknya. Bank percaya bahwa debitur akan bertanggung jawab atas kredit yang diberikan, termasuk untuk mengembalikannya beserta seluruh bunganya tepat waktu, dan debitur pun percaya bahwa bank dapat memberikan kredit yang dibutuhkan dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan
Dari sisi
bank, untuk memperoleh kepercayaan serta keyakinan itu, sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat 1 UUP maka bank berkewajiban untuk melakukan penilaian dan analisis yang mendalam mengenai berbagai aspek seperti itikad baik debitur, ataupun kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kreditnya. Secara terperinci, aspek-aspek penilaian tersebut diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 UUP. Aturan ini amat wajar karena tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian kredit oleh
81
http://khotibwriteinc.blogspot.com/2008/03/perlindungan-hukum-bagi-nasabah-bank.html , diakses terakhir tanggal 29 november 2009. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
68 pihak bank memang mengandung banyak resiko seperti tidak kembalinya kredit atau yang lazim disebut kredit macet. Dikaitkan dengan perjanjian kredit antara bank dan debitur yang dibuat dalam bentuk standard kontrak, maka ketentuan pasal 8 ayat 1 UUP ini tetap harus diperhatikan dalam memasukkan klausula-klausula perjanjian mengingat ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dari setiap perjanjian. Bahkan walaupun dalam perjanjian itu sendiri tidak pernah disebutkan kalau para pihak harus tunduk pada pasal tersebut. Hal ini mengacu pada pasal 1339 KUH Perdata yang telah memberi ramburambu kepada para pihak untuk senantiasa berpedoman pada kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Apalagi perjanjian yang dibuat itu berbentuk standart contract yang isinya tidak ditentukan bersama-sama oleh kedua belah pihak, sehingga undang-undang merupakan tolak ukur pertama yang harus dipertimbangkan. Salah satu ketentuan dalam pasal 8 ayat 1 yang paling berkaitan langsung dengan debitur dan harus diperhatikan oleh bank pada saat membuat perjanjian kredit adalah perihal agunan. Dalam penjelasannya diatur bahwa agunan yang diberikan oleh debitur kepada bank sebagai jaminan hutang dapat hanya berupa proyek atau hak tagih yang dibiayai oleh kredit tersebut asalkan menurut penilaian bank, debitur telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur dalam mengembalikan keseluruhan kreditnya. Ini berarti bank tidak lagi berkewajiban untuk meminta agunan tambahan berupa barang-barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai. Ketentuan Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
69 tentang agunan ini sangat menguntungkan dan melindungi kepentingan debitur karena dalam membuat perjanjian kredit, Bank dibatasi kewenangannya untuk menentukan jenis dan jumlah agunan oleh undangundang. Pembatasan kewenangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kemungkinan bank menentukan jenis dan jumlah agunan yang terlampau besar dibandingkan dengan jumlah kredit yang diberikan sehingga akan memberatkan debitur (collateral oriented). Dalam perjanjian kredit yang berbentuk standart contact, klausula tentang agunan pada kenyataannya memang tidak dapat ditentukana sepihak oleh bank mengingat setiap debitur memiliki jenis agunan yang berbeda-beda dan jumlah kredit yang berbeda pula. Biasanya dalam perjanjian itu hanya berupa kalimat pendahuluan yang menyatakan bahwa debitur menyerahkan agunan untuk menjamin hutang-hutangnya. Sedangkan mengenai jenis dan jumlahnya masih berupa titik-titik yang nantinya diisi setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun demikian bukan berarti dengan adanya kesepakatan para pihak, bank bisa lepas dari ketentuan undang-undang untuk menentukan agunan. Bank tetap terikat, apalagi bila kesepakatan tersebut bersifat berat sebelah. Selanjutnya perlindungan hukum juga ada dalam pasal 8 ayat 2 UUP. Pada pasal ini ditegaskan bahwa bank dalam memberikan kredit harus pula sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Adapun ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan harus menjadi acuan tersebut memuat ketentuan : Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
70 a) Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis Adanya ketentuan ini dikarenakan UUP tidak pernah menegaskan bagaimana seharusnya bentuk dari perjanjian kredit. Ini berarti pemberian kredit sebelumnya dapat diperjanjikan dengan lisan ataupun tertulis. Namun dalam praktek perbankan, untuk mengamankan kredit serta memberikan kepastian hukum, Bank Indonesia dengan Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/SIR dan Surat edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPPB Masing tanggal 31 Maret 1995 , menetapkan bahwa setiap kredit yang disetujui dan disepakati, harus dituangkan dalam perjanjian (akad) kredit secara tertulis. Adapun mengenai klausula-klausula yang dapat dicantumkan dalam perjanjian kredit, dengan adanya Pakto Januari 1990 dimana pemerintah memberikan kemandirian kepada bank untuk menyelenggarakan usahanya, maka bank memiliki keleluasaan untuk membuat atau memasukkan klausula dalam perjanjian kredit asalkan tetap memperhatikan rasa keadilan. b) Bank
harus
kesanggupan
memiliki nasabah
keyakinan
debitur
yang
atas
kemampuan
diperoleh
dari
dan
penilaian
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih mempertegas pasal 8 ayat 1 UUP. c) Kewajiban
bank untuk
menyusun dan menerapkan prosedur
pemberian kredit.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
71 Kewajiban ini dimaksudkan agar bank memiliki standar hukum yang jelas dan tegas serta mengandung pengawasan internal pada semua tahapan dalam proses pemberian kredit. Selanjutnya, karena kebijakan perkreditan tersebut merupakan ketentuan internal yang dibuat sendiri oleh bank yang bersangkutan maka diharapkan mereka dapat melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Untuk itu Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lembaga pengawas akan melakukan pemantauan terhadap penerapan kebijakan internal bank tersebut secara berkala. Ketentuan ini disebutkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPPB, masing-masing dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 1995. Dalam ketentuan yang sama, ditetapkan pula pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank yang dapat dijadikan panduan bagi bank dalam menyusun kebijakan perkreditannya. Paling tidak kebijakan tersebut memuat dan mengatur hal-hal pokok mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit dan penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya ketentuan ini, maka bank dituntut untuk tetap konsekuen atas kebijakan internal yang telah mereka buat. Bank tidak dapat membuat perjanjian dan memberikan kredit keluar dari yang
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
72 digariskan sehingga tentu saja kepentingan debitur menjadi terlindungi. d) Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit Dalam praktek perbankan di tanah air, kadangkala bank sangat terbatas dalam memberikan informasi mengenai prosedur maupun persyaratan pemberian kredit terhadap debitur. Bank biasanya hanya sekedar menjawab apa yang ditanyakan dari pihak debitur atau kemudian menunjukkan aplikasi permohonan kredit untuk selanjutnya dibaca dan dipahami oleh pihak debitur sendiri. Hal ini tentu akan menyulitkan, apalagi bila debitur adalah kelompok masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang minim, sehingga bukan tidak mungkin dikemudian hari terjadi ketidaksepahaman antara dua kedua belah pihak. Untuk itu maka Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan yang menetapkan bahwa masing-masing bank wajib untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya kepada debitur perihal prosedur dan persyaratan pemberian kredit. e) Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau pihak yang terafiliasi Walaupun undang-undang telah membatasi wewenang bank untuk memberikan kredit berdasarkan prinsip perkreditan yang sehat, ataupun dengan kebijakan internal yang dibuat sendiri-sendiri oleh bank, kenyataannya masih ada saja yang tidak konsekuen. Bank masih saja mempertimbangkan hal-hal lain diluar ketentuan dan kebijakan Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
73 tersebut, seperti adanya referensi dari pejabat atau kedekatan hubungan pribadi antara bank dengan debitur. Bahkan yang lebih parah, justru referensi dari pejabat atau kedekatan hubungan ini yang dijadikan acuan utama pemberian kredit dan bukan 5C’s of credit. Akibatnya, debitur tersebut mendapat perlakuan yang istimewa dibandingkan debitur lain. Misalnya persyaratan-persyaratan yang cenderung dipermudah. Padahal pemberian kredit dengan cara-cara seperti ini lebih mengandung resiko dibanding pemberian kredit dengan jalur formal. Fenomena seperti ini telah berlangsung lama di dunia perbankan kita. Untuk mencegah terus berkembangnya permasalahan ini dan memberikan perlindungan bagi debitur-debitur yang jujur maka Bank Indonesia juga mengeluarkan ketetapan yang intinya melarang bank untuk memberikan persyaratan yang lebih mudah kepada debiturdebitur tertentu atau pihak yang terafiliasi. 2) Pasal 11 UUP Dalam pasal 11 ayat 1 UUP menegaskan bahwa pihak Bank Indonesia membatasi pemberian kredit terhadap debitur secara umum, ataupun terhadap debitur-debitur yang masih satu grup dengan bank yang bersangkutan. Besar batas maksimum yang dimaksud dalam pasal 11 ayat 1 UUP tersebut, ditegaskan lagi dalam ayat dua, yakni tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Pembatasan kredit ini dimaksudkan agar terjadi obyektifitas dalam penilaian persetujuan pemberian kredit karena Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
74 tidak menutup kemungkinan antara bank dengan debitur memiliki suatu hubungan khusus (seperti hubungan keluarga ataupun hubungan politis), sehingga kredit akan diberikan dengan prosedur yang cenderung dipermudah, dalam jumlah besar dan tidak memenuhi prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat. Dengan adanya pembatasan kredit maksimum yang dilakukan oleh Bank Indonesia, secara tidak langsung memberikan perlindungan terhadap nasabah kredit. Pembatasan ini mencegah debitur agar tidak terhimpit hutang bank yang jumlahnya terus membengkak dari hari ke hari dikarenakan pemberian kredit dalam jumlah besar yang tidak diimbangi dengan kemampuan debitur. Pasal ini juga memberikan perlindungan terhadap debitur yang jujur dari adanya kemungkinan tindakan semena-mena bank sebagai pemilik dana dan pihak yang memahami manajemen perbankan menekan debitur pada saat bernegosiasi mengenai jumlah kredit sehingga debitur memperoleh kredit terlampau kecil dengan tingkat bunga tinggi. Tentunya ini sangat memberatkan bagi debitur mengingat kedudukannya sebagai pihak yang harus mengembalikan kredit. Apalagi bila kesepakatan tersebut telah dicantumkan dalam klausula perjanjian yang berarti mengikat debitur. 3) Pasal 12 A ayat 1 diatur: Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
75 memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Dari pasal ini mengandung arti bahwa bank pada dasarnya dapat membeli sebagian ataupun seluruh barang-barang agunan yang dijaminkan oleh debitur apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan kredit, namun dengan persyaratan bahwa barang-barang agunan tersebut diserahkan secara sukarela dan tanpa paksaan dari siapapun serta sesegera mungkin harus dicairkan untuk dapat dimanfaatkan oleh bank. Penambahan pasal ini dalam UUP yang baru merupakan suatu langkah positif yang dapat memberikan perlindungan kepada debitur dibandingkan UUP sebelumnya. Hal ini dikarenakan UUP baru telah mengatur mengenai pelelangan agunan yang selama ini belum ada dan hanya mengandalkan kepada perjanjian kredit antara bank dengan debitur. Dengan ketentuan ini maka dalam perjanjian kredit bank tidak dapat lagi membuat klausula eksonerasi yang dapat menekan debitur untuk menyerahkan barang-barang agunannya apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya mengingat kesukarelaan debitur telah menjadi syarat mutlak yang diatur oleh undang-undang. Bank juga tidak dapat menggunakan lembaga penagih hutang (debt collector) untuk memaksa debitur. Dari sisi kreditur, tidak dapat dipungkiri ketentuan ini sangat memberatkan, apalagi bila debitur yang dihadapi adalah debitur dengan itikad tidak baik, sehingga diperlukan ketentuan pelaksana seperti Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
76 peraturan pemerintah yang kiranya dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak, baik debitur yang beritikad baik maupun kreditur 4) Pasal 29 UUP Pada intinya perlindungan terhadap debitur yang ada dalam pasal ini hampir sama dengan pasal-pasal sebelumnya. Yakni bersifat tidak langsung karena lebih membebankan tanggung jawab kepada pihak bank. Namun salah satu yang perlu dianalisa adalah tentang kewajiban bank untuk menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank seperti disebutkan dalam ayat 4. Ini mengandung makna bahwa sebelum melakukan transaksi, baik terhadap nasabah penyimpan dana maupun debitur, bank diwajibkan untuk memberitahukan kemungkinan resiko kerugian yang timbul akibat adanya transaksi tersebut. Di lihat dari sisi debitur maka adanya ketentuan ini sebenarnya dapat mewujudkan keseimbangan posisi tawar diantara para pihak pada saat perjanjian kredit disepakati asalkan benar-benar dilaksanakan. Seperti diketahui, ketentuan ini sebenarnya telah disyaratkan dalam UUP sebelumnya. Namun dalam praktek perbankan, masih saja belum dijalankan sebagaimana mestinya. Bank masih cenderung menutup-nutupi, terutama mengenai adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank yang umumnya membebani tanggung jawab lebih besar kepada debitur. Seharusnya bank secara gamblang memberikan keterangan tentang segala kemungkinan resiko Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
77 kerugian yang akan timbul dari adanya klausula eksonerasi perjanjian tersebut mengingat bank membuatnya dalam bentuk standard contract dan tentunya lebih memahaminya dibandingkan dengan debitur. 5) Pasal 49 ayat 2 UUP Seperti diketahui bahwa pemberian fasilitas kredit terhadap debitur sangat rawan kolusi, korupsi dan nepotisme. Oleh karena itu untuk melindungi debitur jujur dan beritikad baik, Undang-undang memberikan sanksi tegas kepada anggota dewan direksi, komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya yang dengan sengaja tidak menerapkan prinsipprinsip pemberian kredit yang sehat dengan ancaman pidana penjara paling lama delapan tahun, serta denda paling banyak seratus miliar rupiah. Sanksi ini juga diberikan terhadap anggota dewan direksi, komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya yang meminta, menerima, mengizinkan atau memberikan persetujuan untuk menerima suap dari debitur atas pemberian fasilitas kredit.
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), tidak pernah menyebutkan dan memberikan definisi baku dari standart contract perjanjian kredit, yang ada hanyalah tentang klausula baku dan secara singkat diatur dalam pasal 18. Namun demikian bukan berarti UUPK tidak memberikan perlindungan terhadap debitur atas adanya standart contract tersebut, perlindungan itu tetap ada walaupun hanya bersifat umum dan tidak secara tegas ditujukan pada debitur-debitur dalam perjanjian kredit bank. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
78 Perlindungan umum yang dimaksud, disebutkan dalam pasal 2 UUPK yang menyebutkan adanya lima azas perlindungan konsumen, yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta asas kepastian hukum. Dalam penjelasannya,a asas-asas tersebut diuraikan sebagai berikut 82 : 1. Azas Manfaat, mengandung makna bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada konsumen maupun kepada pelaku usaha. 2. Azas Keadilan, mengandung makna bahwa baik konsumen maupun pelaku usaha diberikan kesempatan untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Azas Keseimbangan, mengandung makna bahwa negara memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah baik dalam arti materiil maupun spiritual. 4. Azas Keamana dan keselamatan, berarti bahwa negara memberikan jaminan atas keselamatan dan keamanan konsumen dalam pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Azas Kepastian Hukum, berarti bahwa negara menjamin adanya suatu kepastian hukum kepada konsumen maupun pelaku usaha dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dari ketentuan pasal dan penjelasannya, Azas manfaat dalam perbankan ditujukan kepada konsumen bank yaitu debitur dan 82
Azas perlindungan konsumen. http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/124411PK%20IV%202214.8483-Analisis%20yuridis-Literatur.pdf.Diakses terakhir tanggal 29 november 2009. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
79 pihak banknya sendiri. Dengan perlindungan tersebut dimaksudkan agar dapat memacu kegairahan berusaha debitur, sehingga tingkat perekonomian menjadi meningkat. Kemudian azas keseimbangan dan keadilan, pembentuk undang-undang telah meletakkan konsumen, pelaku usaha maupun pemerintah dalam posisi kepentingan yang setara. Maksudnya, tidak ada salah satu pihakpun yang kepentingannya lebih didahulukan, diutamakan bahkan diistimewakan dibandingkan pihak yang lain. Pembentuk undangundang juga menghendaki adanya suatu kondisi yang adil antara konsumen dan pelaku usaha, baik dari sisi hak maupun kewajibannya. 83 Berkaitan dengan azas-azas yang telah disebutkan terdahulu, maka pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian kredit bank juga dituntut untuk tetap mengacu pada azas dasar perlindungan konsumen tersebut. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya suatu standart contract yang berat sebelah. Baik bank maupun debitur harus menyadari sejak awal bahwa mereka mitra sejajar yang memiliki kepentingan seimbang satu sama lain, dan untuk itu mereka harus bekerjasama dengan cara-cara yang adil serta dengan pembagian hak maupun tanggung jawab yang adil pula. Selanjutnya perlindungan terhadap debitur ada pula dalam ketentuan pasal 7 butir b UUPK. Dalam pasal ini diuraikan bahwa pelaku usaha termasuk bank sebagai penyedia jasa dalam masyarakat berkewajiban untuk melakukan kegiatan usahanya dengan beritikad baik 83
Ibid
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
80 dan untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jasa yang ditawarkan. Berarti dalam melakukan transaksi dengan debitur, bank harus tetap mengindahkan norma-norma kepatutan, kebiasaan maupun hukum yang ada dalam masyarakat. Bank juga dituntut untuk transparan dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur sehingga dikemudian hari debitur tidak merasa tertipu atas penggunaan jasa tersebut. Seperti diketahui, pada umumnya permohonan kredit diajukan oleh debitur yang sedang membutuhkan dana, baik untuk dikonsumsi ataupun untuk perluasan usahanya, sehingga adanya kredit benar-benar diharapkan untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut. Tetapi hal ini justru dapat menjadi bumerang bagi debitur sendiri bila Ia tidak mengetahui secara jelas mengenai prosedur maupun ketentuanketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan kredit, ataupun resiko kerugian yang mungkin terjadi akibat disepakatinya perjanjian kredit. Karena itu kewajiban ini harus benar-benar dilaksanakan oleh bank, khususnya terhadap klausula-klausula perjanjian kredit yang mengikat secara langsung terhadap debitur. Ketentuan ini pada intinya sama dengan pasal 29 UU Perbankan yang juga mewajibkan bank untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya terhadap debitur, hanya saja UUPK tidak memberikan sanksi tegas terhadap pelaku usaha yang tidak taat pada kewajibannya ini. Selanjutnya dalam pasal 7 butir c, juga disebutkan bahwa pelaku usaha berkewajiban melayani konsumen dengan tidak Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
81 diskrimatif. Dalam kredit bank, pasal ini mengandung arti bahwa bank tidak boleh membeda-bedakan antara debitur yang satu dengan yang lainnya. Kedudukan mereka adalah sama sehingga berhak atas informasi yang sama, prosedur yang sama maupun ketentuan-ketentuan perjanjian kredit yang sama pula. Tidak diperkenankan seorang debitur lebih diistimewakan dengan kemudahan dan kelonggaran prosedur. Apalagi keistimewaan ini dikarenakan kedekatan hubungan antara bank dengan debitur. Bank juga tidak diperkenankan menawarkan jasanya dengan cara-cara pemaksaan, ataupun cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis terhadap debitur (pasal 15 UUPK). Dikaitkan dengan standart contract kredit bank, maka adanya klausulaklausula eksenorasi merupakan salah satu bentuk pemaksaan pihak bank terhadap debitur atas jasa fasilitas kredit yang ditawarkan. Hal ini dikarenakan klausula-klausula tersebut menekan seminimal mungkin kewajiban bank, sementara disisi lain justru memperbesar kewajiban debitur. Belum lagi debitur tidak memiliki cukup waktu untuk mempelajari dan memahaminya. Sementara bila debitur menolak, Ia akan dihadapkan pada situasi “Take it or leave it”, dan yang lebih memprihatinkan, ketika debitur mencoba untuk bertransaksi denagn bank lain, situasi yang sama akan muncul kembali. 84
84
Perlindungan konsumen, http://muji.unila.ac.id/ahde/bahan/28-11-2008.pptx ,diakses pada tanggal 29 november 2009. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
82 Dilatar belakangi fenomena tersebut, lebih khusus UUPK memberikan pembatasan dalam pasal 18 ayat 1 yang intinya melarang pelaku usaha dalam menawarkan produk barang dan/atau jasa untuk membuat atau mencantumkan klausula baku dalam setiap perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen, d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa, g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
83 h. Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Adapun maksud pembatasan pencantuman klausula baku dalam standart contract ini adalah untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Terhadap bank maupun pelaku usaha pada umumnya yang tidak mengindahkan ketentuan ini dan masih saja mencantumkan klausula baku yang berat sebelah, maka perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum. Untuk itu, mereka wajib menyesuaikan klausula baku yang ada dalam perjanjian mereka dengan ketentuan UUPK ini. Masih dalam ketentuan yang sama, pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak ataupun bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas. Termasuk pula terhadap kalimatkalimat yang sulit untuk dimengerti oleh konsumen (pasal 18 ayat 2 UUPK). Hal ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya nota pembelian barang yang menyatakan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali. Klausula ini diletakkan dibagian paling bawah dan dengan ukuran huruf sangat kecil. Di dunia perbankan, khususnya dalam akta perjanjian kredit juga didapati hal yang sama. Akta dibuat dengan huruf kecil-kecil, padahal jumlah klausulanya sangat banyak. Oleh karena itu, perjanjian seperti ini juga dapat dinyatakan batal demi hukum. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
84 Selain ancaman tersebut, UUPK juga memberikan ancaman sanksi yang lebih tegas terhadap bank maupun pelaku usaha lainnya, yakni pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda sebesar dua miliar rupiah (pasal 62 ayat 1 UUPK). Ancaman ini juga dikenakan kepada bank maupun pelaku usaha yang melakukan paksaan dalam menawarkan jasa seperti disebutkan dalam pasal 15 UUPK. Dapat pula dijatuhkan sanksi tambahan, yaitu pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan kerugian bagi konsumen, ataupun pencabutan izin usaha (pasal 63 UUPK).
C. Ketentuan Batalnya Klausula Eksonerasi Bila Sangat Merugikan Pihak Lain Pada hakekatnya orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, asalkan didasarkan iktikad baik dan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum. Dengan demikian perjanjian itu mengikat dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perajanjian itu. Hal ini sesuai dengan asas dalam perjanjian yaitu asas “kebebasan berkontrak” (contract vrijheid). Asas kebebasan berkontrak berarti bahwa setiap orang bebas untuk membuat suatu perjanjian apa saja dan apapun isinya.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
85 Pada hakekatnya tujuan pembatasan atau pembebasan tanggungjawab (klausula eksonerasi) bukanlah untuk memojokkan atau merugikan salah satu pihak, tetapi justru untuk pembagian beban resiko yang layak. Untuk mengurangi tanggungjawab salah satu pihak guna mengurangi resiko yang terlalu besar terhadap pihak lain, karena kemungkinan timbulnya banyak kesalahan-kesalahan, maka diadakan klausula eksonerasi. Bahwa, pada prakteknya sebelum berlakunya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), sering terdapat Klausula eksonerasi (pengecualian) pada suatu perjanjian kredit bank, dengan cara mencantumkan syarat sepihak dimana klausula ini menyatakan bahwa Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman kredit yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh Bank untuk merubah suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada masa / jangka waktu perjanjian kredit berlangsung. Dengan berlakunya UUPK, maka untuk ketentuan pencantuman klausula baku pasal 18 khususnya butir G telah dinyatakan larangan untuk : g)
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ; Atau dengan kata lain UUPK telah melarang Bank untuk menyatakan
tunduknya debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
86 dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh Bank dalam masa perjanjian kredit. Sehingga apabila masih ada pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit Bank, maka perjanjian ini adalah Dapat Dimintakan Pembatalan oleh Debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen [debitur] pengguna jasa perbankan. Hal ini bisa diilustrasikan seperti pada fakta, betapa berat-nya suku bunga yang harus ditanggung oleh Debitur, seperti pada periode tahun 1999 yaitu awal krisis moneter terjadi di Indonesia, dimana Bank secara sah telah menaikkan suku bunga pinjaman (sesuai pengamatan penulis) hingga mencapai 27% per tahun, dari suku bunga pinjaman sebelumnya yang hanya sebesar 10% s.d. 12%. Per.tahun, yang akibatnya banyak debitur-debitur bank yang tidak sanggup melunasi kewajiban hutang pokok berikut bunga yang telah dinaikkan sepihak oleh Bank. Selanjutnya penulis berpendapat bahwa dengan adanya larangan pencantuman klausula baku sebagaimana diatur pada pasal 18 UUPK ini sebaliknya akan menciptakan persaingan yang sehat diantara lembaga usaha yang menjalankan kegiatan usaha perbankan satu-sama lain dalam memberikan jasa kepada konsumen. Perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini telah diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Dalam Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Pengaduan didefinisikan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
87 7/7/PBI/2005, maka bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis
tentang
penerimaan
pengaduan,
penangangan
dan
penyelesaian
pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
88 A. Kesimpulan 1. Perlindungan hukum terhadap debitur atas penggunaan klausula eksonerasi meliputi: a. Perlindungan bersifat preventif ,yang bersifat mencegah permasalahan yang mungkin timbul akibat ditandatanganinya perjanjian kredit bank terdapat dalam Pasal 8 UUP , Pasal 11 UUP, Pasal 12 ayat 1, Pasal 29 UUP, Pasal 49 ayat 2 UUP, Pasal 2 UUPK. b. Perlindungan bersifat refpresif, perlindungan yang diberikan
terhadap
debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat menanggulanginya . 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di peradilan umum ( Pasal 45 ayat 1 UUPK ). 2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 1 butir 11), penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dengan cara sederhana, biaya murah, atau tanpa bayar dan proses perkara cepat. 3. Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
2.
89 Klausula eksonerasi dapat dibatalkan melalui gugatan ke pengadilan karena UUPK telah mengatur tentang pencantuman klausula Baku dan berdasarkan pasal 18 ayat (3) UUPK maka klausula baku yang melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUPK klausula baku tersebut batal demi hukum. Namun masih diperlukan upaya dari pihak nasabah debitur selaku konsumen untuk mengajukan pembatalan atau penyelesaian akibat adanya klausula baku yang dirasakan sangat merugikannya. Dalam UUPK telah diatur tentang pengajuan gugatan, berdasarkan pasal 46 ayat 2 UUPK disebutkan bahwa pengajuan gugatan melaui pengadilan dapat dilakukan oleh siapapun baik oleh seorang konsumen, sekelompok konsumen, LPKSM maupun lembaga pemerintah. Namun pengajuan penyelesaian sengketa melalui BPSK menurut UUPK hanya dapat dilakukan oleh seorang konsumen. Adanya PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah seakan memberikan masukan bagi penyelesaian sengketa konsumen dan diharapkan bisa melindungi hak-hak nasabah debitur selaku konsumen disamping tetap melindungi kepentingan pihak bank sebagai pelaku usaha.
B. Saran Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi debitur hendaknya lebih memahami dahulu standard contract yang ditawarkan bank dalam pemberian kredit, sehingga debitur dapat terhindar dari kerugian-kerugian akibat adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian meskipun dalam kenyataannya debitur adalah orang yang membutuhkan kredit yang diberikan oleh bank. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
90 2. Bagi Bank hendaknya tidak hanya memperhatikan keuntungan atau kemungkinan kegagalan pengembalian kredit semata, dengan cara membuat klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit, karena terkadang klausula yang dibuat
tersebut
justru
akan
menyulitkan
debitur
untuk
memenuhi
kewajibannya sehingga bank sendiri yang akan terkena imbas dari debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian. 2) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit/pembiayaan. 3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas. 4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui
isi
perjanjian 3. Bagi lembaga Perbankan khususnya Bank Indonesia sebagai pengawas melakukan perubahan hal-hal yang prinsip yang tidak boleh dilanggar oleh semua Bank, misalnya semua draft yang disiapkan untuk digunakan dalam hukumnya dengan pihak lain harus dikoreksi dulu oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai hal Lembaga Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan.
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
91
Buku-buku Aloysius, R. Entah. . Hukum Kontrak Atau Hukum Perjanjian. Disertasi. Universitas Merdeka Malang,2003. Badrulzaman, Mariam D. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994. Badrulzaman, Mariam D. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Adity Bakti. 2001. Emirzon, Joni, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 1998. Mariam Darul Badruzaman, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut PerjanjianBaku (standart), Makalah Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Dalam Ari Purwadi, Perjanjian Baku Sebagai Upaya Mengamankan Kredit Bank. Majalah Hukum dan Pembangunan. No.1 Tahun XXV. FH-UI.1995. Muhammad Abdukadir. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1992. Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya, 1999. Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2002 . Mulyono, Teguh Pudjo . Manajemen Komersil.Yogyakarta:BPFE,1989.
Perkreditan
Bagi
Bank
OP. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Edisi Revisi, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1991 Rahman, Hasanuddin, Legal Drafting. Bandung : Citra Aditya Bakti. 2000. Usman, Rachmadi. Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta: Aksara. Persada Indonesia . R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Cetakan Kedua. Bandung: Bina Cipta.1987. R. Soebekti, Aspek-Aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1979.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
92 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak innominaat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,2004). Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Kedua. Bandung: Bina Cipta.1987. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2000. Subekti, Hukum Perjanjian , Jakarta : Intermasa.1990. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Kedua.Penerbit Alumni. Bandung. 1994.
(Suatu
Pengantar).
Cetakan
Sjahdeini, Sutan Remi, . Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Treitel, G.H. The Law of Contract 9th edition. London : Sweet & Maxwell, Ltd. 1995.
PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang - Undang No. 7 Tahun 1992 JO Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
INTERNET Hukum Perikatan”, http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan , di akses terakhir tanggal 11 oktober 2009. “Sistematika KUH Perdata”, http://hermannotary.blogspot.com/2009/06/sistematika- kuh- perdata-danpembagian.html ,diakses terakhir tanggal 11 oktober 2009. “Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit”, http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf, diakses terakhir 25 Oktober 2009. Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
93
“Tata
Cara dalamm embuat perjanjian”, http://www.dwp.or.id/dwp1.php?kas=12&noid= 26, diakses terakhir tanggal 11Oktober 2009.
http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/124411PK%20IV%202214.8Analisis%20y uridis Literatur.pdf , diakses terakhir tanggal 29 november 2009. http://raimondfloralamandasa.blogspot.com/2009/01/perjanjian-dan-perikatan-olehraimondf.html,diakses terakhir tanggal 20 november 2009. http://khotibwriteinc.blogspot.com/2008/03/perlindungan-hukum-bagi-nasabahbank.html ,diakses terakhir tanggal 29 november 2009. http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.html, diakses terakhir tanggal 29 november 2009. http://www.scribd.com/doc/14232024/Dasar-Dasar-Hukum-Perdata-Indonesia-2, diakses trakhir tanggal 9 oktober 2009. http://www.scribd.com/doc/19537895/Kedudukankan-Para-Pihak-DalamPerjanjian-, diakses terakhir tanggal 29 november 2009. http://www.primaironline.com/interaktif/detail.php?catid=Tips&artid=syaratsahnyasebuah perjanjian , diakses terakhir tanggal 9 Oktober 2009 http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html, diakses terakhir tanggal 9 Okober 2009. http://www.legalitas.org/?q=node/202, diakses terakhir tanggal 2 oktober 2009. http://raimondfloralamandasa.blogspot.com/2009/01/perjanjian-dan-perikatan olehraimondf.html, diakses terakhir tanggal 20 november 2009.
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.
94
Muhammad Syafreza : Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, 2010.