KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
MAYA NOVIRA 090200022
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : MAYA NOVIRA NIM: 0 9 020 0022
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan., SH,M.H. NIP : 195703261986011001
Dosen Editor
Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum. NIP : 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAKSI *) Maya Novira **) Marlina ***) Rafiqoh Lubis Sistem Peradilan Pidanan Anak di Indonesia selama ini dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mana dalam pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang masih menempatkan Anak sebagai objek demi tercapainya tujuan Pidana. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak selama ini hampir tidak memperhatikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana sehingga lebih merugikan Anak Pelaku. Pelaksanaan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 yang tidak mengedepankan perlindungan terhadap Anak dan juga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di dalam masyarakat sehingga melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun rumusan permasalahanyang akan dibahas didalam tulisan ini adalah apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana dan bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research (penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah sesuai dengan prinsip perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana baik menurut instrumen hukum nasional maupun internasional, hal ini dapat diketahui dengan dianutnya beberapa asas yang harus dikedepankan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan sarana penal dan non penal. Sarana penal dilakukan dengan penerapan sistem peradilan pidana yang dimulai dengan proses penyidikan, penuntutan, persidangan, pembinaan lembaga. Sarana non penal dilakukan dengan penerapan upaya Diversi dan Restorative Justice, namun dalam penerapannya sarana non penal juga dilakukan dalam sarana penal. *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
A. PENDAHULUAN Krisis nilai moral yang diakibatkan dari berkembangnya arus globalisasi dapat terlihat jelas dengan berkembangnya kejahatan yang diberitakan pada berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik.Hal ini tentu sangatlah memperihatinkan, terlebih lagi diantara pelaku-pelaku tindak kejahatan tersebut adalah seorang anak, bahkan anak yang masih di bawah umur. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak, memberikan istilah terhadap anak pelaku tindak pidana, yaitu “juvenile delinquency” atau yang lebih dikenal dengan anak delikuen.Juvenile Delinquency sebenarnya memiliki berbagai istilah, ada yang menyebutnya dengan kenakalan remaja atau sering juga diistilahkan sebagai kejahatan anak, namun istilah kejahatan anak sangat tajam (kasar) bila dilabelkan pada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa yang dikatakan Anak Nakal adalah anak sebagai pelaku tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang tidak lazim dilakukan oleh anak.1 Anak yang melakukan tindak pidana (anak nakal/anak delikuen) seharusnya dilindungi segala haknya dan tetap diberikan pengayoman dan pembekalan pembinaan oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, bukanlah dijauhkan dan diberi label yang akan memberi dampak yang buruk pada psikis anak tersebut. Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak tentunya sangatlah memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan konsep perlindungan anak, karena pemidanaan terhadap anak benar-benar hanya sebagai ultimum remidium (pilihan terakhir) hal ini sesuai dengan konsep perlindungan anak baik yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Peraturan perundangundangan yang mengandung unsur pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana tetap memperhatikan konvensi-konvensi internasional mengenai perlindungan anak dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak, meskipun anak tersebut telah disangkakan, didakwa, bahkan telah dipidana, namun mereka harus tetap diberikan
1
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
perlindungan karena masih dikatakan sebagai “Anak” yang harusnya mendapat perlindungan sebagai tunas bangsa. Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang bertujuan menanggulangi kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia sering mengalami permasalahan, diantaranya dalam hal penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang menimbulkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak. Bukti yang terlihat dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang memberikan dampak negatif pada anak, yaitu dengan berkembangnya kasus kejahatan anak yang penerapannya mendapat berbagai kontroversi dari pihak-pihak yang berperan dalam perlindungan anak. Kasus-kasus tersebut diantaranya: 1. Kasus Raju (8 tahun) yang harus menjalani proses peradilan yang cukup panjang hingga putusan pengadilan. Permasalahan yang dialami Raju adalah perkelahian di usia anak, namun akibat perkelahian tersebut Raju harus menjalani proses peradilan anak yang menuai kontroversi karena pelaksanaan proses peradilan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.2 2. Kasus 10 orang anak SD yang ditahan karena tuduhan perjudian koin Rp 500,- di Bandara Soekarno-Hatta (29 Mei 2009). Kesepuluh anak tersebut menjalani masa penahanan selama 29 (dua puluh sembilan) hari, dan pada akhirnya juga menjalani proses persidangan di pengadilan.3 3. Kasus pencurian sandal jepit oleh siswa SMK berusia 15 tahun yang diadili di Pengadilan Negeri Palu, Selasa 20 Desember 2011 karena didakwa mencuri sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Siswa kelas 1 SMK
2
D. Andriyanto, “Analisis Kasus Raju (Dimanakah keadilan itu)”, (lihat: http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakah-keadilan.html.Diakses tanggal 19 Maret 2013, 20.00. 3 Hadi Supeno, “Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan”, (lihat:http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=anak+yang+dit uduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24lVThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id &sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9YDIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh %20bermain%20judi&f=false), terakhir dikunjungi 19 Maret 2013, 20.45.
ini didakwa dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah. 4 4. Kasus penjambretan tas berisi uang senilai Rp 1.000,- oleh DW (15 tahun). DW harus menjalani masa penahanan selam 3 (tiga bulan) di Kepolisian dan Kejaksaan, dan menjalani proses persidangan di pengadilan, dengan tuntutan 7 (tujuh) bulan penjara oleh Jaksa.5 Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak yang terjadi selama ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang menitikberatkan pada pencapaian dari tujuan pidana. Hal tersebut dapat dilihat bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap Anak Nakal tidak jauh berbeda dengan sanksi yang diatur dalam KUHP, yang menjadikan penjara sebagai Pidana Pokok namun bukan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) melainkan sebagai pidana pokok yang utama.6 Pidana penjara yang ditetapkan sebagai pidana pokok yang diterapkan terhadap Anak Nakal mencerminkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 belum sepenuhnya mengutamakan perlindungan terhadap anak sebagaimana yang telah diatur dalam instrumen hukum nasional maupun hukum internasional. Peletakan pidana penjara pada pidana pokok tersebut mengakibatkan begitu mudahnya aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, dan hakim) untuk menentukan hukuman terhadap Anak Nakal sama seperti hukuman orang dewasa tanpa memperhatikan kepentingan anak, keadaan anak baik sosial, psikologis, pendidikan dan hal lain guna melindungi anak tersebut meskipun ia telah melakukan tindak pidana, seperti yang dipaparkan pada 4 (empat) contoh kasus di atas. Penerapan sistem peradilan pidana anak ini sudah selayaknya menjadi perhatian bagi kita semua, terutama bagi para penegak hukum agar dapat mencari solusi demi mengurangi serta menyelesaikan permasalahan yang timbul, misalnya
4
Damang, “Menyoal Revisi Peradilan Pidana Anak (Catatan Singkat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012), dalam http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilanpidana-anak-catatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html, 13 maret 2013, 21.00. 5 Luh De Suriyani, “Koin Rp 1000 untuk Anak yang Terancam Penjara di Bali”, dalam http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anak-yang-terancampenjara-di-bali.html, 19 Maret 2013, 21.15. 6 Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
dengan melakukan pembaharuan hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Negara Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dalam 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkannya akan menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka tulisan ini diberi judul “KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”. B. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana? 2. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? C. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, yakni penellitian yang dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi, yang mana peraturan perundang-undangan yang menjadi objek pokok penelitian dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Sumber / Bahan Hukum Data
yang
dipergunakan dalam
penelitian
skripsi
ini
adalah data
sekunder.Adapun data sekunder yang diperoleh dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian ini dirumuskan untuk mencari bahan-bahan atau data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan buku-buku atau literatur, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang dianggap sebagai pendukung. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif.Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam tulisan ini. D. HASIL PENELITIAN 1. Prinsip Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana ditinjau dari UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana AnakKaitannya dengan Instrumen Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perlindungan Anak sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tidak terlepas dari prinsip perlindungan hukum baik yang diatur dalam instrumen hukum internasional maupun dalam hukum nasional sebelum adanya undang-undang ini. Perlindungan anak dalam intrumen hukum iinternasional terlihat dalam Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Convention on the Rights of the Child) dimana konvensi ini merupakan akar dari perlindungan anak secara umum dalam hukum internasional, namun Pasal 40 dalam konvensi ini yang khusus mengatur tentang perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yang berisi:7 1. Negara-negara Anggota mengakui hak setiap anak yang dinyatakaan sebagai terdakwa atau diketahui telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan sedemikian rupa, sesuai dengan kemajuan pengertian anak tentang harkat dan martabatnya, sambil mengusahakan agar anak mempunyai rasa hormat pada hak-hak asasi dan kebebasan pihak lain, dengan tetap mempertimbangkan usia dan keinginan anak dalam rangka mengintegrasikannya kembali sesuai dengan peran konstruktifnya di masyarakat. 7
Dikutip dalam Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency Penanggulangannya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1997, hal.94-96.
Pemahaman dan
2. Pada akhirnya, berkaitan dengan ketentuan instrumen internasional yang relevan, negara-negara anggota harus secara khusus menjamin bahwa: (a) Tidak boleh anak didakwa, dituntut, atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaiannya itu tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat perbuatan pelanggaran itu dilakukannya. (b)Setiap anak yang didakwa atau dituntut sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana harus paling tidak dijamin hak-haknya berikut ini: (i) anak dianggap tak bersalah sampai ada pembuktian kesalahannya secara hukum; (ii) anak berhak diberitahu dengan jelas dan langsung tuduhan yang ditujukan terhadapnya, apabila perlu, dilakukan melalui orang tuanya atau kuasa hukumnya dan kepada mereka diberikan bantuan hukum dalam rangka persiapan pembelaannya; (iii) demi kepastian hukum dan mencegah terjadinya penundaan penanganan, oleh lembaga yang berkompeten, bebas dan tak memihak atau lembaga yudisial dalam kerangka pemeriksaan yang fair sesuai hukum yang berlaku, anak harus didampingi penasihat hukumnya, kecuali adanya alas an-alasan demi kepentingan terbaik anak, namun dengan tetap memperhatikan usia dan situasi anak, orang tua atau kuasa hukumnya; (iv) agar tidak ada paksaan dalam memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah; pengujian terhadap kesaksian yang merugikan anak dan untuk memperoleh kepastian bahwa peran serta saksi dan pengujian kesaksiannya betul-betul atas kehendak anak, pengujian itu harus dilandaskan atas dasar persamaan hak; (v) bila dipertimbangkan adanya pelanggaran hukum pidana, keputusan dan setiap tindakan yang dijatuhkan harus di bawah pengawasan pihak yang lebih berkompeten, bebas dan tak memihak atau badan yudisial sesuai ketentuan hukum yang berlaku; (vi) anak yang tidak memahami atau tidak bisa berbicara bahasa yang digunakan, harus dibantu seorang penerjemah yang bebas. (vii) anak berhak menikmati privacynya di semua tingkatan pemeriksaan. 3. Negara anggota dalam mendukung Konvensi ini harus menetapkan Hukum, prosedur, pihak-pihak yang diberi wewenang, lembaga khusus untuk menanngani anak yang didakwa, dituntut, atau dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana, secara khusus: (a) penetapan batas usia minimal terendah bagi seorang anak yang dinyatakan belum layak dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana; (b)apabila diperlukan dan dikehendaki, tindakan terhadap anak yang dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan, persyaratan hak asasi manusia dan kuasa hukum harus dipenuhi. 4. Berbagai disposisi seperti perhatian, bimbingan, perintah pengawasan, konseling, probation, bimbingan untuk membantu perkembangan, pendidikan, program training vokasional dan alternatif lain ke dalam lembaga, harus memungkinkan untuk menjamin bahwa anak diperlakukan
dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraan manusia dan proporsional baik dengan keadaan lingkungan dan perbuatannya. Prinsip perlindungan hukum dalam intstrumen hukum internasional khusus terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules).Beijing Rules disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan menjadi Resolusi PBB pada tanggal 29 November 1985 dalam Resolusi 40/33.Beijing Rules membahas tentang perlindungan terhadap anak dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, untuk penggambaran isi dari Beijing Rules ini akan dibahas secara singkat oleh penulis dalam pembahasan berikut. Bagian I :General Principles (Asas Umum) Bagian ini secara umum berisi tentang perlunya Kebijakan Sosial yang Komprehensifyang bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin kesejahteraan anak, yang pada gilirannya akan mengurangi campur tangan sistem peradilan anak.8 Artinya kebijakan sosial yang diatur dalam bagian ini benar-benar bertujuan untuk
memberikan kesejahteraan terhadap anak, hal tersebut dapat
tercapai apabila dilakukan dengan tidak mendekatkan atau melibatkan anak dengan sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku tindak pidana. Bagian II Penyelidikan dan Penuntutan Penanganan anak di tingkat penyelidikan dan penuntutan harus dihindari dari sikap yang mengarah pada penekanan terhadap anak seperti pertanyaan yang bersifat gertakan bernada keras maupun tindakan kekerasan (kontak fisik), agar
tidak
menimbulkan ketakutan dari dalam diri anak. Diversi(pengalihan), suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan sebetulnya telah mengalami proses stigmatisasi.9 Bagian III Ajudikasi dan Disposisi Proses adjudikasi dan disposisi, memberikan syarat penting yang wajib untuk diperhatikan ialah menjadikan laporan penyelidikan sosial anak, prinsip dan 8
Ibid., hal.109. Ibid.
9
pedoman penyelesaian perkara dan penempatan anak, sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian dan penetapan sanksi. Satu asas penting yang harus diingat dengan kaitan ini, ialah penempatan anak di dalam lembaga koreksi (penjara) hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun hanya untuk jangka pendek.Penahan anak semata-mata karena alasan penundaan sidang dihindarkan. (Rule 19-20).10 Bagian IV dan V Pembinaan Luar dan Dalam Lembaga Penempatan anak di luar lembaga dan di dalam lembaga harus tetap pada konteks untuk pembinaan. Pembinaan di luar lembaga tetap harus disiapkan secara matang dan tersistematis dengan melibatkan peran lembaga-lembaga kesejahteraan anak dengan petugas yang berkualitas. Prinsip perlindungan anak dalam intrumen hukum nasional juga terlihat di dalam beberapa undang-undang di Indonesia, diantaranya diatur dalam UndangUndang Nomr 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Prinsip perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terlihat dalam Pasal 2 undang-undang tersebut yang mengandung beberapa asas yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, dan telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak baik dalam intrumen hukum internasional maupun intrumen hukum nasional. Prinsip-prinsip perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana yang telah terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ialah sebagai berikut : a. Batasan Usia Anak Usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Usia yang dapat dilakukan penahanan ialah usia 14 (empat belas) tahun atau lebih atau dengan memperhatikan tindak pidana yang dilakukan. Anak yang usianya belum mencapai 12 (dua belas tahun) hanya dapat dilakukan pembimbingan dan pembinaan terhadap anak. 10
Ibid., hal.112
Ketentuan batas usia Anak ini telah sesuai dengan Beijing Rules yang menentukan bahwa dalam menentukan batas usia anak harus memperhatikan keadaan Anak dan tidak ditentukan terlalu rendah. Konvensi Hak-Hak Anak juga menyebutkan bahwa setiap negara anggota herus menentukan batas usia minimum yang belum dapat diterapkan sistem peradilan pidana, dimana dalam undang-undang ini sudah menetukan tersebut. b. Ketentuan Sanksi Undang-Undang ini telah menentukan sanksi yang jauh berbeda dari ketentuan KUHP dan Undang-Undang Pengadilan Anak, yang tidak mencerminkan perlindungan, pemulihan, dan pembinaan terhadap Anak.Undang-undang ini meletakkan sanksi penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir, sedangkan sanksi pidana pokok sebelumnya mengarah kepada perlindungan, pemulihan, dan pembinaan anak. Ketentuan sanksi ini telah sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa pidana penjara dapat diterapkan terhadap anak apabila tidak ada upaya terahkir lagi, dan dilakukan terpisah dari penjara dewasa. Instrumen hukum internasional juga mengatur mengenai asas proporsionalitas yang membatasi pemberian sanksi yang bersifat memberikan tekanan terhadap anak, tetapi membatasi pemberian tanggapan masyarakat yang menimbulkan perbuatan antisosial pada Anak. c. Diversi dan Keadilan Retoratif Diversi dan Keadilan Restoratif menjadi dasar dari pembaharuan hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, yang dapat dilihat di dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang bertujuan untuk menghindari anak pelaku tindak pidana dari jerat hukuman atau pemidanaan, kedua konsep tersebut merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak yang melakukan dan anak yang menjadi korban dalam tindak pidana tersebut, dengan melibatkan masing-masing keluarga mereka, serta pihak-pihak lain, dengan tujuan proses penyelesaian perkara
diusahakan agar anak pelaku tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana. Ketentuan baru ini telah sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Beijing Rules yang menekankan bahwa upaya Diversi harus diprioritaskan dalam penanganan Anak, hal ini berguna untuk menjauhkan anak dari penyelesaian dengan sistem peradilan pidana yang cenderung memberikan dampak negatif bagi anak. d. Acara Peradilan Pidana Anak Penanganan perkara Anak dilakukan oleh unit khusus yang menangani Anak, dan mengupayakan diversi sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara Anak, hal ini sesuai dengan Rule 6 Beijing Rules bahwa setiap aparat penegak hukum diberikan kewenangan
yang luas untuk melakukan diskresi pada perkara anak.Masa
penahanan anak yang jauh berbeda dan lebih singkat dibandingkan dengan UndangUndang Pengadilan anak menunjukkan bahwa penahanan tidaklah semata-mata dilakukan untuk menanti keputusan dalam jalannya persidangan. Penahanan terhadap Anak dilakukan di Lembaga khusus Anak yang bertujuan memberikan pembinaan terhadap Anak. 2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Di Indonesia Dari Perspektifundang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentangsistem Peradilan Pidana Anak Lingkup kajian kebijakan penanggulangan kejahatan anak menempatkan posisi anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan. Anak yang berada pada posisi sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni melalui Sarana Penal atau dengan Sarana Non Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan tidak menutup kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila diselesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara kriminologi terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya.Pendekatan kriminologi terhadap anak pelaku kejahatan juga berfungsi
dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut dapat digambarkan dengan skema berikut : Skema 2 Lingkup Kajian tentang Perilaku Delinkuensi Anak11 KORBAN ANAK
ANAK BERMASALAH DALAM PERILAKUNYA
PELAKU
SARANA NON PENAL
SARANA PENAL
IUS CONSTITUTUM
PENDEKATAN KRIMINOLOGIK
IUS CONSTITUENDUM
a. Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dalam Penanggulangan Kejahatan yang dilakukan Anak Kebijakan hukum pidana (penal) merupakan pelaksanaan atau penerapan hukum acara pidana berdasarkan undang-undang oleh alat-alat kelengkapan negara, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan balai pemasyarakatan, atau yang lebih dikenal
dengan
istilah
Sistem
Peradilan
Pidana.
Menurut
“Strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :
A.
Mulder,
12
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; b. apa yangdapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
11
Paulus Hadisuprapto, op.cit., hal.79. Dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media group, Jakarta, 2008, hal.23. 12
Sistem Peradilan Pidana pada Anak (disingkat dengan SPPA), berkaitan dengan perumusan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana serta penerapan dari sistem peradilan pidana anak pelaku tindak pidana 1) Perumusan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan jenisjenis sanksi (pidana), yang terdiri dari: a. Hukuman Pokok: 1) hukuman mati; 2) hukuman penjara; 3) hukuman kurungan; 4) hukuman denda; b. Hukuman Tambahan: 1) pencabutan beberapa hak yang tertentu; 2) perampasan barang yang tertentu; 3) pengumuman keputusan hakim. Pasal 10 KUHP tersebut tidak menyebutkan adanya sanksi tindakan yang dimasukkan jenis sanksi dalam hukum pidana, namun menurut Satochid Kertanegara menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan terdapat dalam pasal 45 KUHP.13 Meskipun sebenarnya Pasal 45 KUHP tersebut termasuk ke dalam hal-hal yang mengurangi atau pengecualian pidana terhadap anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 16 tahun) yang melakukan tindak pidana, namun apabila Satochid Kertanegara menyebutkan Pasal 45 KUHP tersebut sebagai sanksi tindakan, maka sanksi tindakan di dalam KUHP tersebut hanya berlaku jika pelaku belum berusia 16 tahun, yang terdiri dari : a) pengembalian kepada orangtua, wali, atau pemeliharanya; b) penyerahan tersangka kepada pemerintah. Perkembangan hukum yang pada akhirnya menghapus ketentuan Pasal 45 KUHP dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, kemudian perkembangan sosial yang juga berpengaruh pada berkembangnya peraturan perundang-undangan, akhirnya melahirkan Undang13
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 54.
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang saat ini masih dalam tahap sosialisasi, namun pada tanggal 30 Juli 2014 akan menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat dan dibandingkan pada tabel berikut : Tabel 1 Perumusan Sanksi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 Sanksi Pidana
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Sanksi Pidana
Pidana Pokok a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: (1) pembinaan di luar lembaga; (2) pelayanan masyarakat; atau (3) pengawasan c. pelatihan kerja; 2. Pidana Tambahan d. pembinaan dalam lembaga; a. perampasan barang- barang e. penjara. tertentu; dan/atau b. pembayaran ganti rugi. 2. Pidana Tambahan a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat. Sanksi Tindakan Sanksi Tindakan 1. Pidana Pokok a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan
1. mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh; 2. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau 3. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
1.
1. 2. 3. 4.
pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS); 5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. perbaikan akibat tindak pidana.
Sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam KUHP, hanya saja di dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak Pidana Mati dan Pidana Penjara (seumur hidup) tidak dapat diberlakukan terhadap anak (menurut Undang-Undang Pengadilan Anak belum mencapai usia 18 tahun dan belum kawin), melainkan pidana tersebut diganti dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.14 Pemberian sanksi pidana maupun tindakan menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, ditentukan berdasarkan subjek anak yang melakukan, jika anak yang melakukan itu adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang melakukan tindak pidana maka dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Namun apabila yang melakukan adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, maka terhadapnya hanya dapat diterapkan sanksi tindakan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meletakkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir sebagai (ultimum remidium), sebagai wujud pelaksanaan perbaikan, pembinaan, dan mendidik Anak pelaku tindak pidana, serta memberikan sanksi tindakan yang jauh lebih banyak sebagai hal yang lebih mendukung tujuan pembinaan dalam undang-undang ini. Pasal 69 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemberian sanksi pidana maupun sanksi tindakan ditentukan berdasarkan usia anak pelaku, Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur ketentuan khusus dalam perumusan sanksi, yakni apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Artinya, bahwa perumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tergantung kepada hukum materiil yang telah dilanggar oleh Anak, apabila misalnya hukum materiil yang dilanggar oleh anak itu mengandung sistem sanksi alternatif, maka sanksi tersebutlah yang diberikan kepada anak, demikian pula pada perumusan sanksi secara tunggal, hal ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
14
Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
2) Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berbeda dengan Sistem Peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahunn 1997, dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui upaya Diversi. a) Penyidikan Penyidikan terhadap perkara Anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh Penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan syarat yang ditentukan.15 Penyidikan dalam perkara Anak melibatkan peran serta dari Pembimbing Kemasyarakatan,
yakni
dengan
diwajibkannya
Penyidik
untuk
meminta
pertimbangan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, Penyidik juga wajib meminta laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosiall sejak tindak pidana diajukan. Masingmasing hasil laporan tersebut wajib diserahkan oleh Balai Pemasyarakatan kepada Penyidik dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam. Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna penyidikan paling lama 24 jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan di ruang khusus unit pelayanan Anak, dan Penyidik harus berkoordinasi dengan Penuntut Umum guna memenuhi kelengkapan berkas baik secara materiil maupun formil dalam waktu 1 x 24 jam. b) Penahanan Penahanan di dalam Pasal 32 ayat (2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut : (1)Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan (2)diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
15
Lihat Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Penahanan tersebut juga baru dapat dilakukan apabila orangtua/Wali dan/atau lembaga tidak dapat menjamin bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau akan mengulangi tindak pidana. Jika Penahanan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tanahan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu, maka penahanan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Anak ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dalam hal tidak terdapat LPAS penahanan dapat dilakukan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Hal ini menandakan bahwa adanya lembaga khusus yang dibentuk oleh Pemerintah dalam proses peradilan anak yang belum diatur sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jangka waktu penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Jangka Waktu Penahanan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 PROSES
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Penahanan
Perpanjangan
Jumlah
Penahanan
Perpanjangan
Jumlah
Penyidikan
20 hari
10 hari
30 hari
7 hari
8 hari
15 hari
Penuntutan
10 hari
15 hari
25 hari
5 hari
5 hari
10 hari
Pengadilan
15 hari
30 hari
45 hari
10 hari
15 hari
25 hari
15 hari
30 hari
45 hari
10 hari
15 hari
25 hari
25 hari
30 hari
55 hari
15 hari
20 hari
35 hari
Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung
JUMLAH
200 hari
JUMLAH
110 hari
Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah berakhir, maka petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi Hukum. Hal ini berbeda dengan ketentuan jangka waktu penahanan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,
bahwa apabila jangka waktu penahanan yang telah ditentukan berakhir, maka penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, yakni paling lama 15 (lima belas) hari, jika masih diperlukan perpanjangan penahanan dapat dilakukan perpanjangan lagi untuk waktu paling lama 15 (lima belas) hari. c) Penuntutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa sebelum proses penuntutan dilaksanakan, Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi selama paling lama 7 (tujuh) hari setelah berkas perkara dilimpahkan, dan mengupayakan proses diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi akan memberikan 2 (dua) kemungkinan, apabila proses diversi berhasil mencapai kata sepakat, maka Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepaatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat surat Penetapan, namun apabila Diversi gagal maka Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perrkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. d) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk menangani perkara Anak dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Sebelum tahap persidangan dilanjutkan, Hakim wajib mengupayakan Diversi dengan ketentuan waktu yang sama seperti proses Diversi pada proses penyidikan dan penuntutan.Pemeriksaan ke tahap persidangan akan dilanjutkan apabila upaya Diversi dinyatakan gagal. Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang dewasa, dengan ketentuan tertutup untuk umum kecuali pada saat pembacaan putusan, harus dilakukan dengan terbuka untuk umum. Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak, sidang akan tetap dilanjutkan apabila orangtua/Wali dan/atau pembimbing tidak hadir. Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Sidang dimulai dengan pembacaan Dakwaan, setelah pembacaan surat dakwaan,
Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain. Pembacaan laporan hasil penelitian ini berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa sebelum sidang dibuka,
Hakim
memerintahkan agar
Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. e) Pelaksanaan Hukuman Pelaksanaan hukuman terhadap Anak (pelaku tindak pidana) menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh beberapa lembaga terkait yang nantinya akan memberikan pelayanan, perawatan, pendidikan, pembinaan anak, dan pembimbinga klien anak . Lembaga-lembaga terkait tersebut yaitu: (1)Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Lembaga ini merupakan tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Jadi selama proses peradilan pidana anak berlangsung, (penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan), maka selama itu Anak akan menjalani masa penahanan di LPAS sampai dengan proses peradilan pidana yang dijalani Anak selesai. (2)Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Lembaga ini merupakan lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Jadi, lembaga inilah yang akan menangani Anak yang telah dijatuhkan hukuman pidana yaitu pidana penjara. Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA, namun telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda, sedangkan yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa. (3)Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Lembaga Penyelengggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.Apabila dilihat dari pengertiannya, maka tidak terlihat bahwa LPKS berperan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak, namun LPKS tetap memiliki peran dalam pelaksanaan sistem peradilan pidanan Anak.
LPKS berperan dalam sistem peradilan pidana Anak, khusus dalam hal terhadap anak yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, namun Anak tersebut masih berusia dibawah 12 (dua belas tahun). Anak dapat menjalani hariharinya di dalam LPKS sesuai dengan keputusan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional yang diajukan ke pengadilan dalam waktu 3 (tiga) hari untuk penetapan waktu kapan Anak tersebut mulai ditempatkan di LPKS. Anak menjalani program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di LPKS dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pelaksanaan program tersebut akan dievaluasi oleh Balai Pemasyarakatan, apabila menurut hasil evaluasi Anak masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, maka masa dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Selama program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan berlangsung, LPKS wajib memberikan laporan perkembangan Anak kepada Balai Pemasyarakatan setiap bulan secara berkala. b. Kebijakan Non-Penal dilakukan Anak
dalam
Penanggulangan
Kejahatan
yang
Kebijakan non-penal dalam penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tampak dengan adanya penerapan Diversi dan Keadilan Restoratif yang dimasukkan dalam proses sistem peradilan pidana anak. 1) Proses Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Melalui Diversi dan Keadilan Restoratif Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 harus selalu diupayakan pada setiap proses pemeriksaan perkara Anak, atau dengan kata lain proses diversi merupakan bahagian yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana. Diversi tersebut dilaksanakan jika perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan pengulangan tidak pidana (Lihat Pasal 7). Tujuan dari dilakukannya Proses Diversi dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ialah: a) mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b) menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c) menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Sehingga dalam pelaksanannya, Proses Diversi wajib memperhatikan: a) kepentingan korban; b) kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c) penghindaran stigma negarif; d) penghindaran pembalasan; e) keharmonisan masyarakat; dan f) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Penerapan atau pelaksanaan proses Diversi tidak dapat terhadap semua Anak yang melakukan atau semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, sehingga dalam Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan: (lihat Pasal 9 ayat (1)) a) kategori tindak pidana Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. b) umur Anak Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak, semakin tinggi prioritas Diversi. Hal ini terlihat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur bahwa Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (1) menyerahkan kembali kepada orangtua/Wali;atau (2) mengikutsertakannya
dalam
program
pendidikan,
pembinaa,
dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LKPS di instansi lain yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. (3) hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
(4) dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dasar dari pelaksanaan Diversi adalah kesepakatan, sehingga Diversi tidak dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan dari korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Walaupun demikian, Diversi dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan tersebut terhadap: (1) tindak pidana yang berupa pelanggaran; (2) tindak pidana ringan; (3) tindak pidana tanpa korban; atau (4) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau tindak pidana yang nilai kerugiannya tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat tersebut dapat berbentuk: (1) pengembalian kerugian dalam hal ada korban; (2) rehabilitasi medis dan psikologi; (3) penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; (4) keikutsertaan dalam pendidikan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau (5) pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa apabila upaya diversi berhasil, maka para pihak dapat membuat kesepakatan berupa: (1) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; (2) penyerahan kembali kepada orang tua/Wali (3) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3(tiga) bulan; atau (4) pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan Diversi akan dibuat penetapannya dan akan mempengaruhi pada pemberhentian pemeriksaan perkara baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan, namun apabila proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka proses peradilan pidana Anak akan dilanjutkan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sayangnya tidak mengatur tatacara penyelesaian atau penerapan sistem Keadilan Restoratif (Restorative Justice) secara rinci seperti penerapan diversi, hal ini mungkin akan dijabarkan pada peraturan pelaksana daripada undang-undang itu sendiri. 2) Peranan Lembaga Penegak Hukum Negara Republik Indonesia dalam Pelaksanaan Proses Diversi dan Keadilan Restoratif Pelaksanaan proses Diversi dan Keadilan Restoratif tidak terlepas dari keterlibatan beberapa lembaga penegak hukum negara Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena meskipun proses Diversi dan Keadilan Restoratif merupakan kebijakan penanggulangan non-penal, namun memiliki kaitannya yang erat dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak yang merupakan bahagian dari penerapan kebijakan penal. Salah satu yang terlihat jelas adalah bahwa “setiap proses pemeriksaan sistem peradilan pidana Anak wajib mengupayakan Diversi”. Artinya bahwa kebijakan penal dan non-penal menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilakukan secara bersamaan, hanya saja lebih mengutamakan upaya nonpenal dengan menerapkan sistem Diversi dengan cara melalui pendekatan Keadilan Restoratif. a) Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memiliki peran yang sama dalam pelaksanaan proses diversi. Proses Diversi wajib diupayakan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai/ berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan, dan upaya Diversi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila Diversi berhasil, maka penyidik, penuntut, dan hakim membuat berita acara Diversi disertai dengan kesepakatan Diversi dan diberikan kepada ketua pengadilan untuk dibuat penetapan. b) Balai Pemasyarakatan Balai pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Balai Pemasyarakatan memiliki peran yang dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dengan melakukan penelitian
kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di luar proses peradilan pidana, serta membuat laporan atas penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan. Balai Pemasyarakatan juga berfungsi untuk mengawasi jalannya proses penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga-Lembaga terkait yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA), Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Berkaitan dengan Diversi dan Keadilan Restoratif, maka Lembaga yang diawasi oleh Balai Pemasyarakatan adalah LPKS, sebab dalam pelaksanaan proses dan kesepakatan Diversi anak dapat diikutsertakan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga Pendidikan atau LPKS dalam jangka waktu yang ditentukan. Artinya, anak yang dalam masa Diversi ataupun dalam kesepakatan Diversi ditempatkan di Lembaga Pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dengan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). E. PENUTUP 1. Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap permasalahan yang berkenaan dengan kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana dari perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak pelaku tindak pidana dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengacu kepada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child), dan juga apabila diperhatikan telah mencakup sebagian besar prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana baik dalam instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional. Prinsip perlindungan Anak dalam undang-undang ini dapat dilihat dari dianutnya beberapa asas yang harus diterapkan dalam pelaksanaan Sistem Peradilam Pidana Anak.
b. Kebijakan penanggulangan
kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di
Indonesia dalam perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dilakukan dengan sarana Penal atau Non-Penal. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Penal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan upaya hukum pidana, yaitu melalui proses penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan, serta pembinaan di Lembaga. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hanya dapat diterapkan terhadap Anak Pelaku yang telah berusia 12 (dua belas) tahun namun belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, akan tetapi Anak yang dapat dilakukan penahanan karena perbuatannya ialah anak yang berusia 14 (empat belas) tahun dan perbuatannya itu merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana penjara 7 tahun atau lebih. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan sistem Diversi dan dengan Keadilan Restoratif. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, namun dalam pelaksanaannya tetap melibatkan aparat penegak hukum. Sedangkan Keadilan Restoratif merupakan cara penyelesaian yang digunakan dalam proses diversi, yaitu dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Meskipun ada sarana Penal dan Non-Penal, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ini sarana Non-Penal lebih diutamakan, tetapi dalam penerapannya kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal juga dilakukan dalam penerapan sarana Penal. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam setiap proses peradilan pidana berlangsung, yakni dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, harus mengupayakan Diversi sebelum melanjutkan pemeriksaan perkaranya.
2. Saran Berdasarkan pembahasan dan pemaparan yang menjawab permasalahan dalam tulisan ini, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis, yaitu: a. Asas-asas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memenuhi prinsip perlindungan Anak pelaku tindak pidana haruslah benar-benar diterapkan dalam pelaksanaannya, karena apabila tidak diterapkan hal ini berarti bahwa tidak ada gunanya dilakukan pembaharuan hukum dalam peradilan anak, sebab asas perlindungan terhadap anak yang demikian banyak itu hanya dijadikan sebagai bingkai indah belaka tanpa aplikasi yang sesuai. Maka dari itu sebaiknya dalam demi terlaksananya asas-asas tersebut sebaiknya dibuat peraturan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan asas-asas tersebut dan memberikan ketentuan sanksi pidana yang benar-benar
ditegakkan
apabila
undang-undang
ini
tidak
dilaksanakan
berdasarkan asas-asas tersebut. b. Kebijakan penanggulangan baik melalui sarana penal maupun non-penal merupakan upaya yang sama baiknya dalam menanggulangi kejahatan terhadap Anak, namun dalam pelaksanaannya guna menentukan apakah akan diterapkan sarana penal atau non-penal, sebaiknya aparat penegak hukum serta lembaga yang terkait tetap melakukan hubungan yang integral dan professional satu sama lainnya dengan mempertimbangkan keadaan anak dan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh anak. Pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap Anak haruslah dilakukan oleh aparat yang professional dengan pengetahuan yang benar-benar dikuasai dalam hal perkara Anak, sehingga tidak terjadi keburukan yang akhirnya menimbulkan kerugian pada Anak. Lembaga-lembaga sebagaimana yang telah disebutkan dalam undang-undang ini harus benar-benar segera dibuat oleh pemerintah dan dijalankan sesuai dengan fungsinya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang ini.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hadisuprapto, Paulus, 1997, Juvenille Delinquency Penanggulangannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Pemahaman
dan
Sholehuddin, Muhammad, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT. Jasagrafindo Persada.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
C. Internet http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=ana k+yang+dituduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24l VThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id&sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9Y DIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh%20bermain %20judi&f=false) http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakahkeadilan.html. http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anakyang-terancam-penjara-di-bali.html. http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilan-pidana-anakcatatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html.