PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENDAFTAR PERTAMA MEREK DALAM TINDAKAN PASSING OFF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh : SAFIRA MAHARANI NIM. 16140480000006
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
P4RIINDT]NGA}I EUKUM TERHADAP PENDAF'TAR PERTAMA MEREK DALAM TINDAKAN PI SSING OFF , (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor
890 IVPdt.Sus/2012)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sa$ana Hukum (S.H)
Oleh:
Safira Maharani
NIM. 16140480000006
bing
I
Pembimbing
il\ Elviza Fauzi
t.
II
-j
h)
Ali Mansur, S.Ag., MA. NIP. 19760506201411 I 002
sH.,MH,
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI,ILMU IIUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF IIIDAYATULLAII
JAKARTA 1437 W 2016 I\{
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang beg'udul Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar Pertama Merek Dalam Tindakan Paxing O/(Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 I(Pdt.Sus/2012) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syariftlidayatullah Jakarta pada tanggal23 Juni 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Saq'ana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum. I akafia, 23 Juni 20 1 6
Mengesahkan
1216 199603
i
001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua
Drs. H. Asep Svarifuddin Hidavat. SH.. MH. NIP. 19691121 199403 1001
2. Sekretaris
Drs. Abu Thamrin, SH.. MH. NIP. 19650908 199503 i 001
3. Pembimbing
I
4. Pembimbing II
: ElvizaFauzia. SH..
:
I
MH.
!-.,..)
Ali Mansur. S.Ag.. MA.
: Dr. H.
Nahrowi. SH. MH.
NIP. 197302151 99903 6. Penguji
II
i
002
Arifiani. S.Ag.. MH. NrP. 19670708 200212 1009
: Feni
1,
t,1/
NIP. 19760s06 2014t1 1002 5. Penguji
....)
LEMBAR PERNYATAA}I Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Sernua sumber yang saya gunakan dalam penulisan cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini
telah
di Universitas
saya
Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
111
ABSTRAK Safira Maharani. NIM 16140480000006. Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar Pertama Merek Dalam Tindakan Passing Off. (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012) Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M. xii + 79 halaman + 25 lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap suatu merek dari tindakan passing off dan untuk mengetahui apakah interpretasi hakim dalam pertimbangan hukum pada kasus white horse ini telah sesuai dengan ketentuan pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan kasasi tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan normatif empiris dimana melihat sisi implementasi ketentuan hukum normatif (Undang-undang) pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat dan disertai dengan pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Sumber data diperoleh melalui penelitian wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam memutus sengketa merek ini telah keliru dan kurang tepat, sebab terjadinya ketidaksesuaian dengan fakta hukum dan alasan-alasan hukum yang diketemukan dalam putusan kasasi dengan kenyataannya. Pada hakikatnya hukum merek di Indonesia menganut sistem konstitutif (first to file)yakni hak atas merek tercipta karena dilakukan pendaftaran oleh pemilik merek di kantor merek dalam hal ini Direktorat Hak Kekayaan Intelektual dan terhadap fakta yang diajukan dalam persidangan dan dimuat dalam putusan sungguh tidak mendasar dan tidak benar karena kenyataannya merek white horse telah terdaftar lebih dahulu atas nama PT. White Horse Ceramic Indonesia serta tidaklah tepat menyatakan bahwa pemohon kasasi telah melakukan itikad tidak baik dalam usahanya dan merek white horse yang dimaksudkan pada kasus ini bukan termasuk merek terkenal sehingga tidak terbukti bahwa pemohon kasasi telah melakukan unsurpassing off terhadap merek tersebut. Kata Kunci
Pembimbing Daftar Pustaka
: Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar Pertama Merek Dalam Tindakan Passing Off. (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012) : Elviza Fauzia SH., MH Ali Mansur, S.Ag., MA : Tahun 1980 sampai Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala petunjuk dan kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terbesar sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Ahmad Zawawi, MH. dan Ibunda Sahlah Zulfika beserta adik-adikku terkasih dan tercinta Muthia Rahmah dan Saiful Umam yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua. Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayahNya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan demikian, sudah sepatutnya pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. dan Drs. Abu Tamrin, SH., M. Hum. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Elviza Fauzia, SH., MH. dan Ali Mansur, S.Ag., MA. Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi selama membimbing penulis. 4. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 5. Law Offices Otto Hasibuan & Associated terutama Sordame Purba SH, kuasa hukum dalam kasus ini yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan penjelesan serta arahan dan saran selama penulis melakukan wawancara. 6. Pejabat Direktorat Merek cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Dwi Agustine Kurniasih SH., MH selaku pejabat Badan Pembinaan Hukum Nasional yang telah memberikan penjelasan kasus ini serta berbagi ilmu pengetahuan dan saran dalam proses penyelesaian skripsi penulis. 7. Terakhir untuk semua pihak-pihak yang telah membantu penulis dari awal proses pembuatan skripsi hingga penyempurnaan skripsi berakhir, hanya doa yang dapat saya sampaikan semoga amal baik kalian dibalas oleh Allah SWT
vi
dengan balasan yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini. Jakarta, 20 Juni 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i PERSETUJUAN BIMBINGAN .......................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................v KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1 B. Identifikasi Masalah ........................................................................8 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 8 D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................................... 9 E. Kerangka Konseptual ....................................................................10 F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 11 G. Metode Penelitian ........................................................................ 13 H. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK A. Pengertian Merek ........................................................................ 18 B. Jenis Merek ................................................................................. 20 C. Persyaratan Merek ....................................................................... 21 D. Pendaftaran Merek ....................................................................... 23 E. Penghapusan Dan Pembatalan Merek ......................................... 27 F. Lisensi Merek .............................................................................. 30
BAB III
MEREK TERKENAL DAN PASSING OFF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
viii
A. Konsep Merek Terkenal ............................................................... 32 1. Pengertian Merek Terkenal …………………..……………….33 2. Kasus Merek Terkenal .............................................................. 34 3. Eksistensi Merek Terkenal ....................................................... 38 B. Konsep Passing Off ....................................................................... 40 1. Pengertian Passing Off ............................................................ 42 2. Dasar Hukum Passing Off ........................................................ 45 3. Itikad Baik ............................................................................... 49 4. Akibat Hukum Dari Tindakan Passing off ............................... 52 5. Persamaan Pada Pokoknya ...................................................... 55 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ATAS MEREK DALAM KASUS PASSING OFF A. Duduk Perkara............................................................................... 59 B. Analisis Penulis ............................................................................ 63 A. No table of contents entries found.Kesimpulan ................... … 74 B. Saran ............................................................................................ 75 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi 2. Surat Permohonan Data Wawancara Law Offices Otto Hasibuan & Associates 3. Surat Permohonan Data Wawancara Direktorat Merek cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Republik Indonesia 4. Surat Permohonan Data Wawancara Dwi Agustine Kurniasih SH., MH cq. Badan Pembinaan Hukum Nasional 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dengan Sordame Purba SH. Advokat Law Offices Otto Hasibuan & Associates 6. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dengan Direktorat Merek 7. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Dwi Agustine Kurniasih SH., MH ix
8. Hasil Wawancara dengan Sordame Purba SH., MH Advokat Law Offices Otto Hasibuan & Associates 9. Hasil Wawancara dengan Lili Evelina Sitorus, SH., MH dan Adi Supanto, SH., MH Pejabat Direktorat Merek. 10. Hasil Wawancara dengan Dwi Agustine Kurniasih SH., MH 11. Penelusuran merek 12. Dokumentasi Gambar Melakukan Wawancara
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan Negaranegara di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh pengaruh globalisasi yang menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih maju sehingga produk barang atau jasa dari Negara lain akan dengan cepat diperoleh. Kegiatan ekonomi dan perdagangan yang semakin meningkat sebagian juga berasal dari produk-produk kekayaan intelektual seperti karya cipta, merek, paten maupun penemuan-penemuan di bidang teknologi. Indonesia sebagai Negara berkembang perlu mencermati dan memahami dinamika kegiatan ekonomi dan perdagangan guna mengantisipasi permasalahan yang akan muncul demi terciptanya perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual berlandaskan dengan unsur itikad baik serta mempertahankan iklim persaingan usaha sehat. Pada hakikatnya suatu hak kekayaan intelektual merupakan hak yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. 1 Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, sistem hak kekayaan intelektual mempunyai prinsip-prinsip salah satunya 1
Suyud Margono, Hak Milik Industri, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 7
1
2
adalah prinsip keadilan (the principle of natural justice). Prinsip ini menunjukan bahwa seseorang atau kelompok penemu sebuah penemuan atau orang lain yang bekerja dan membuahkan hasil dari kemampuan intelektual wajar untuk memperoleh imbalan.2 Keikutsertaan Indonesia dalam menandatangani Persetujuan tentang aspek-aspek dagang hak kekayaan intelektual diantaranya adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/ TRIPs yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia yang juga didukung dengan disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) pada tanggal 2 November 1994. Dan ketentuan perjanjian TRIPs telah membawa harmonisasi dalam menyelaraskan beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti Undang-undang tentang hak cipta, paten dan merek. Dalam rangka
untuk
mendorong
persaingan
usaha
sehat
serta
mengikuti
perkembangan bisnis dan perkonomian kontemporer, Indonesia telah banyak perubahan pada Undang-undang Merek dan yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek atas perubahan
2
Henry Soelistyo Budi dan Suyud Margono, Bunga Rampai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Jakarta: Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia, 2001), h. 38.
3
Undang-undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Merek yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001.3 Indonesia
memiliki
berbagai
perjanjian
internasional
sebagai
perlindungan hukum terhadap merek seperti meratifikasi Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang The Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau lebih dikenal dengan Paris Convention yang diadakan tanggal 20 Maret 1983. Kemudian Indonesia juga turut serta dalam International Union for the Protection of Industrial Property yaitu organisasi dunia yang khusus memberikan perlindungan hukum terhadap Hak Milik Perindustrian dan diatur oleh Sekretariat Internasional WIPO. WIPO merupakan salah satu dari 14 “Specialized Agencies” dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).4 Adanya pranata hukum yang berupa peraturan perundang-undangan di bidang merek sekaligus menjadi bagian dari hak kekayaaan intelektual serta berperan penting dalam perdagangan barang maupun jasa baik secara nasional maupun internasional. Merek dianggap sebagai “roh” dari suatu produk. Dan merek menjadi ciri khas antara produk barang dan/atau jasa sejenis yang dapat
3
Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 5 4
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), h. 2-3
4
dibedakan asal muasalnya, kualitasnya, serta keterjaminannya. 5 Merek juga memiliki fungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa yang dibuat seseorang atau badan hukum lain.6 Berkembangnya dunia usaha dan bisnis saat ini dengan beragam merek, maka hal ini tidak menutup fakta banyak terjadi pelanggaran merek terutama pada merek-merek terkenal. Pada saat ini modus pelanggaran merek telah bergerak ke tingkat yang lebih canggih, pelanggaran merek ini disebut passing off (pemboncengan reputasi). Passing off secara kepustakaan hukum Indonesia belum begitu dikenal dengan demikian istilahnya masih terasa asing. Passing off merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan. Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hukum diberikan terhadap suatu barang atau jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai reputasi. Adanya perlindungan hukum ini mengakibatkan pesaing bisnis tidak berhak menggunakan merek, huruf-huruf dan bentuk kemasan 5
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 329 6
Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), h. 322
5
dalam produk yang digunakannya. Passing off mencegah pihak lain untuk melakukan beberapa hal, yaitu:7 1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang atau jasa tersebut milik orang lain; 2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan barang atau jasa milik orang lain; Passing off juga diartikan sebagai tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.8 Dalam sistem hukum common law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikarenakan tindakan ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Hal tersebut dilandasi niat untuk mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya tidak perlu memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi. Passing off juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan 7
Sri Ahyani, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Atas Action For Passing Off , Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September, 2012, h. 540. 8
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1997), h. 235.
6
menyebabkan kebingungan public (public confusion) ataupun misleading di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.9 Fenomena keberagaman merek di Indonesia sering memunculkan permasalahan, seperti adanya persamaan merek pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya, adanya pelanggaran pada suatu merek. Hal demikian membuat para pemilik merek berusaha mempertahankan kepemilikan merek tersebut demi mendapatkan perlindungan hukum agar mencegah tindakan pelanggaran
merek
oleh
pihak-pihak
yang
bermaksud
melakukan
ketidakjujuran dan kecurangan. Dan demi terwujudnya keadilan serta kepastian hukum pada sengketa merek maka para pihak yang merasa dirugikan akan meminta ketegasan dengan mengajukan gugatan serta memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Niaga dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk menghapus atau membatalkan merek yang dianggap meniru atau meminta hakim agar memutuskan sengketa seadiladilnya. Permasalahan sengketa merek semakin beragam tersebut juga terjadi terhadap kasus merek white horse dan pokok permasalahan pada putusan kasasi ini ialah telah terjadinya ketidakselarasan antara das sein dan das sollen terhadap merek yang terdaftar di Direktorat Jenderal KI, dimana adanya itikad tidak baik, mempunyai persamaan merek baik pada nama, gambar, kata,
9
Nur Hidayati, Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember, 2011, h. 179
7
huruf, susunan warna, bentuk merek milik Pemohon kasasi dan Termohon kasasi serta ketidaksesuaian warna merek yang didaftar dengan yang dipasarkan atau diedarkan, mengesampingkan sistem konstitutif (first to file) dan faktanya gugatan merek yang diajukan Penggugat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri telah jatuh masa tempo (daluwarsa). Apabila merujuk pada dasar hukum merek maka hal ini jelas telah menyalahi aturan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 61 ayat (2) huruf b dan Pasal 69 ayat (1) pada ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, karena ketika terdapat persamaan merek pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/ atau jasa sejenis maka Direktorat Jenderal KI harus menolaknya, namun pada faktanya Direktorat Jenderal KI tetap menerima pendaftaran merek yang diidentifikasi memiliki persamaan merek. Sesuai dengan uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis mendeskripsikan bahwa permasalahan tentang kasus merek white horse menarik untuk dibahas lebih meneliti sehingga dapat ditemukan kolerasi antara putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan norma hukum dalam perudang-undangan, oleh karena itu penulis mengangkat ini sebagai sebuah skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENDAFTAR PERTAMA MEREK DALAM TINDAKAN PASSING OFF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012)”
8
B. Identifikasi Masalah 1. Ketentuan aturan passing off dalam Undang-undang merek Indonesia 2. Kriteria merek terkenal 3. Fakta hukum terhadap terdapatnya persamaan pada pokoknya 4. Unsur itikad tidak baik dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya 5. Ketegasan sistem pendaftaran merek serta masa perlindungan merek 6. Harus terciptanya kekolerasian pertimbangan hukum yakni dengan melihat kenyataan pada bukti hukum dan peraturan perundang-undangan merek di Indonesia 7. Terwujudnya tujuan hukum dalam putusan kasasi ini. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam hal ini penulis akan membatasi masalah penelitian agar masalah dalam skripsi ini lebih terfokus dan spesifik, yaitu perlindungan hukum terhadap pendaftar pertama merek dalam tindakan passing off. Objek yang diteliti adalah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
890
K/Pdt.Sus/2012
yang disesuaikan
dengan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan penulisan skripsi ini.
9
2. Perumusan Masalah a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia? b. Apakah interpretasi hakim dalam pertimbangan hukum pada kasus white horse sudah sesuai dengan ketentuan pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini ialah: a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia. b. Untuk mengetahui interpretasi hakim dalam pertimbangan hukum pada kasus white horse sudah sesuai dengan ketentuan pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pihak-pihak di antaranya: a.
Bagi para akademisi agar penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan.
b.
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pengetahuan baru dan terpenuhinya keadilan serta kepastian hukum
10
c.
Untuk Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, lebih teliti serta lebih selektif dalam proses pendaftataran merek.
E. Kerangka Konseptual Dalam pembahasan konseptual, akan diuraikan beberapa konsepkonsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. 2. Hak atas merek adalah hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. 3. Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah Sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. 4. Passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement. (passing off adalah tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum persaingan
11
curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek)10 5. Itikad baik dirumuskan sebagai permohonan mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain. F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Pertama, Tesis yang disusun oleh Slamet Yuswanto, SH, Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro Semarang tahun 2002 dengan judul Perlindungan Hukum Hak Atas Merek Terhadap Tindakan Passing Off, Tesis ini membahas perlindungan hukum hak atas merek untuk mencegah segala perbuatan curang dan menganalisis tindakan passing off terhadap beberapa merek terkenal melalui putusan pengadilan. Kedua, skripsi yang dibuat oleh Erni Vika Qomari, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dari Universitas Wijaya Putra pada tahun 2014 dengan judul Penegakan Hukum Hak Merek Terhadap Pelanggaran Pada Pokoknya di Indonesia, skripsi ini membahas mengenai bagaimana penegakan hukum terhadap hak merek yang terbukti melanggar ketentuan Undang-undang merek kemudian penulis disini juga mengangkat satu kasus sebagai objek dari
10
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West Publishing Co, 2004), h. 1115.
12
penelitian
skripsinya
yaitu
kasus
merek
SINAR
UNIVERSAL
Vs
UNIVERSAL. Ketiga, skripsi berjudul Persamaan Unsur Pokok Pada Merek Gudang Garam dan Gudang Baru yang disusun oleh Dandy Hernady, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015, dalam penulisan ini terfokus pada analisis putusan kasasi Mahkamah Agung antara Gudang Garam dan Gudang Baru, dimana keduanya dinilai memiliki kesamaan nama dan produk dan hampir tidak memiliki pembeda seperti kesesuaian maksud dari ciri-ciri merek dalam Undang-undang. Buku karangan OK. Saidin berjudul “Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right)” diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada tahun 2007. Dalam buku ini terdapat pembahasan mengenai yurisprudensi mengenai pelanggaran merek dan hanya beberapa diantaranya lebih mengulang tinjauan pada ketentuan Undang-undang merek Nomor 15 Tahun 2001. Jurnal Wawasan Hukum Vol. 27 No. 02 September 2012 yang ditulis oleh HJ. Sri Ahyani (dosen tetap sekolah tinggi hukum Bandung) mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Atas Action For Passing Off”. Jurnal ini membahas lebih menyeluruh terhadap tindakan passing off dalam suatu merek dan kajiannya hanya lebih fokus mengenai dasar hukum passing off secara internasional, tidak menyinggung dasar hukum passing off yang
13
mendekati dalam Undang-undang di Indonesia dan jurnal ini juga mengangkat beberapa kasus merek. Berdasarkan keseluruhan tinjauan review kajian terdahulu di atas, bahwa perbandingan sekaligus pembeda penulisan skripsi ini adalah terfokus di bidang merek yang membahas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar Pertama Merek Dalam Tindakan Passing Off (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012) dengan merek white horse yang merujuk kepada putusan Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012 serta melihat pertimbangan hukum dalam putusan tersebut demi menciptakan perlindungan terhadap merek yang lebih dahulu terdaftar serta mencegahnya dari tindakan passing off, penulis juga akan menjelaskan beberapa hal mengenai passing off dan meneliti kolerasi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif empiris dimana melihat sisi implementasi ketentuan hukum normatif (Undang-undang) pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat dan disertai
14
dengan pengetahuan yang didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi.11 2. Jenis Penelitian Dalam jenis penelitian ini secara lebih spesifik menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.12 3. Sumber data a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undangundang Hukum Perdata, Paris Convention, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer
11
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta, 2010), h. 19
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43
15
serta implementasinya 13 Pada bahan sekunder penulis menggunakan literatur, internet, karangan ilmiah, jurnal, makalah umum, majalah, surat kabar dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Penelitian Wawancara (Interview) Melalui penelitian ini, dilakukan wawancara kepada pihakpihak yang terkait yakni kuasa hukum pemohon kasasi Dr. Otto Hasibuan, SH., MM. dan rekan advokat serta Direktorat Merek Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Republik Indonesia. b. Studi Pustaka (Library research) Melalui studi pustaka ini, dikumpulkan data dalam upaya mencapai tujuan penelitian serta melakukan studi dokumen terhadap data sekunder/ pustaka hukum dari sumber primer berupa Undangundang dan beberapa persetujuan Internasional. 5. Metode Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang 13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet.XI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h. 15
16
dinyatakan responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Tujuannya untuk menggambarkan secara mendalam terhadap kasus-kasus yang diteliti. Analisis data secara kualitatif lebih menekankan pada kualitas atau isi dari data tersebut secara mendalam dan menyeluruh.14 H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan ini perlu adanya suatu uraian mengenai susunan dari penulisan skripsi penulis agar pembahasan menjadi terarah dan teratur, maka dengan itu untuk penulisan ini akan dibagi ke dalam 5 (lima) bab yaitu : BAB I
Berisi pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kajian (Review) Studi Terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II
Penulis menguraikan tentang Tinjauan Umum Merek yang terdiri dari Pengertian Merek, Jenis Merek, Persyaratan Merek, Pendaftaran Merek, Penghapusan dan Pembatalan Merek, Lisensi Merek.
BAB III
Pada bab ini akan membahas mengenai Merek Terkenal dan Passing Off Dalam Perundang-undangan Merek Di
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 32
17
Indonesia seperti Konsep Merek Terkenal yang teridiri dari Pengertian Merek Terkenal, Kasus Merek Terkenal, Eksistensi Merek White Horse, Konsep Passing Off yang tersusun dari Pengertian Passing Off, Dasar Hukum Passing off, Itikad Baik, Akibat Hukum Dari Tindakan Passing Off, Persamaan Pada Pokoknya. BAB IV
Bab
ini
menjelaskan
tentang Perlindungan Hukum
Terhadap Hak Atas Merek Dalam Kasus Passing Off yang berisikan mengenai Duduk Perkara, Analisa Penulis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/ Pdt.Sus/2012. BAB V
Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan yang
disertai
dengan
saran-saran
atas
keseluruhan
penjelasan dan penjabaran terhadap perlindungan hukum merek white horse.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK A. Pengertian Merek Definisi merek memerlukan penjelasan yang lebih terperinci agar terhindar dari kesalahpahaman pengertian karena suatu merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan jasa. Merek dan tanda-tanda lainnya yang digunakan dalam usaha perindustrian dan perdagangan barang atau jasa merupakan sarana untuk memajukan hubungan perdagangan. Merek (trademark) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasi asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan atau jasa perusahaan lain.1 Berikut ini terdapat uraian pengertian merek dari beberapa kalangan ilmuwan, di antaranya: Menurut H.M.N Purwo Sutjipto, SH., memberikan rumusan bahwa merek adalah suatu tanda dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.2 Pendapat Prof. R. Soekardono, SH., definisi merek adalah sebuah tanda (jawa: ciri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitasnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang
1
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Ekslusif, (Surabaya: Airlangga Universiti Press, 2007), h. 160-161. 2
H.M.N. Purno Sujipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, (Djambatan, 1984), h. 82.
18
19
dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.3 Mr. Tirtamidjaya mengutip pendapat Prof. Vollmar memberikan rumusan bahwa suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya guna membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainya.4 Drs. Iur. Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari aspek fungsinya yaitu, suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya. Oleh karena itu, barang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.5 Kemudian Harsono Adisumarto, SH., MPA, juga merumuskan bahwa merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari mana pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan.6 Menurut T. Mulya Lubis, menjelaskan merek adalah sebuah tanda pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of distringusshing)
3
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cet. VIII, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983),
4
Mr. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, (Djambatan: 1962), h. 82.
5
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Prad Paramita, 1980), h. 84.
6
Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1990), h.
h. 149.
44.
20
dengan barang-barang sejenis, kalau tidak ada daya membeda maka tidak mungkin disebut merek.7
Pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek disebutkan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Menurut Wiratno Dianggoro yang dikutip Insan Budi Maulana mengatakan merek sebagai tanda pengenal dan tanda pembeda akan dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Karena disatu sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksi khususnya mengenai kualitas pemakaianya. Dari sisi pedagang, merek digunakan sebagai promosi barangbarang dagangannya untuk promosi guna mencari dan meluaskan pasar. Dari sisi konsumen merek digunakan untuk pilihan-pilihan barang yang akan dibeli.8 A. Jenis Merek Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek jenis merek terbagi menjadi dua yaitu: Merek dagang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sedangkan Merek jasa pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek ialah merek yang digunakan pada jasa yang 7
T. Mulya Lubis, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000),
h.5. 8
Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa ke Masa, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1999), h. 101.
21
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Selain jenis merek di atas, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek juga mengenal jenis merek lainnya, yaitu Merek kolektif Pasal 1 angka 4 mendefinisikan merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/ atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/ atau jasa sejenis lainnya. Di samping jenis barang sebagaimana yang tercantum dalam Undangundang
Nomor
15
Tahun
2001
Tentang
Merek,
terdapat
juga
pengklasifikasian lain yang didasarkan kepada bentuk atau wujudnya, dan menurut Suryatin berikut ini beberapa jenis merek diantaranya: Merek lukisan (beel mark), Merek kata (word mark), Merek bentuk (form mark), Merek bunyi-bunyian (klank mark), Merek judul (little mark). 9 B. Persyaratan Merek Syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau badan hukum ketika ingin mendaftarkan merek tersebut yakni merek tersebut harus mempunyai daya pembedaan yang cukup. 10 Jika suatu barang atau hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap
9
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 346
10
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 348
22
sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek. 11 Pada ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek telah disebutkan bahwa suatu merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum; 2. Tidak memiliki daya pembeda; 3. Telah menjadi milik umum; atau 4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek memuat ketentuan mengenai penolakan pendaftaran apabila: a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis; c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal; d. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwewenang; f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis pihak yang berwewenang.
11
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 26
23
C. Pendaftaran Merek Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Hal ini berarti bahwa hak atas merek baru lahir jika telah didaftarkan oleh pemiliknya ke kantor merek dalam hal ini Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Dengan demikian sifat pendaftaran hak atas merek merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemiliknya, tanpa didaftarkan hak itu tidak akan timbul, karena hak itu pada dasarnya diberikan oleh Negara atas dasar pendaftaran. Terdapat dua sistem yang dianut di Indonesia mengenai pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif, untuk Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sistem pendaftarannya menganut sistem konstitutif, sama dengan Undang-undang sebelumnya yakni Undangundang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Merek. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undangundang Merek Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif (Undangundang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek).12 Dalam sistem konstitutif (first to file principle), hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran artinya hak eksklusif atas sesuatu merek diberikan karena adanya pendaftaran (requerid by registration). Pada sistem konstitutif pendaftaran merek mutlak dilakukan sehingga merek yang tidak 12
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 362
24
didaftar tidak akan mendapat perlindungan hukum. 13 Sedangkan sistem deklaratif (first to use principle) titik berat diletakkan atas pemakaian pertama. Siapa yang memakai pertama suatu merek maka pemakai pertama merupakan yang berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek, bukan karena adanya pendaftaran.14 Urgensi pendaftaran merek di Indonesia diberikan kepada pemilik merek yang mendaftarkan mereknya, artinya bahwa hak atas merek lahir sejak tanggal
penerimaaan
permohonan
(filing
date)
merek,
pengukuhan
pendaftaran merek di Direktorat Jenderal KI memiliki fungsi diantaranya:15 1. Sebagai alat bukti bagi pemilik merek yang didaftarkan; 2. Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dan dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis; 3. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang dan/atau jasa sejenis;
13
Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, h. 331. 14
15
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 363.
http://www.dgip.go.id/fungsi-pendaftaran-merek, Diakses pada tanggal 3 Februari 2016, Pukul 19.30 WIB.
25
Tata cara permohonan pendaftaran merek di Indonesia telah termuat dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yakni Permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. Selanjutnya Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya, Pemohon yang dimaksud dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama atau badan hukum, kemudian untuk permohonan yang diajukan lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. Dan permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. Sedangkan untuk permohonan yang diajukan melalui Kuasanya (Konsultan
26
Hak Kekayaan Intelektual), surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Apabila merek menggunakan bahasa asing atau terdapat huruf selain latin atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, wajib disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan latin.16 Adapula permohonan pendaftaran dengan hak prioritas, hak prioritas merupakan hak permohonan untuk mengajukan permohonan yang berasal dari Negara yang tergabung dalam Paris Convention For Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing The World Trade Organization. Untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di Negara asal merupakan tanggal prioritas di Negara tujuan yang juga anggota perjanjian tersebut dan dilakukan dalam kurun waktu tertentu.17 Ketentuan mengenai permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek disebutkan bahwa: Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran Merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing The World Trade Organization. 16
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 369-370.
17
Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek, h. 32.
27
Hal tersebut dimaksudkan untuk menampung kepentingan Negara yang hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing The World Trade Organization. Subyek hukum (perorangan maupun badan hukum) yang telah mendapatkan hak secara prioritas akan dilindungi haknya di Negara luar (Negara dimana yang bersangkutan mendaftarkan hak prioritasnya) seperti ia mendapatkan perlindungan di Negaranya sendiri. D. Penghapusan dan Pembatalan Merek Penghapusan dan pembatalan merek diatur dalam Pasal 61 sampai dengan 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Merek terdaftar dapat dihapuskan karena empat kemungkinan yaitu:18 1. Atas prakasa Direktorat Jenderal KI; 2. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan; 3. Atas putusan Pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan; 4. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya; Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Jenderal KI dapat dilakukan apabila: 1. Merek terdaftar tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran 18
Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013), h.3.
28
atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal KI, seperti: larangan impor, larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 2. Merek digunakan untuk jenis barang/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftarkan. Untuk penghapusan pendaftaran merek akan dicatat dalam Daftar Umum Merek serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Dan penghapusan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal penghapusan tersebut. Atas hal tersebut Direktorat Jenderal akan memberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau Kuasanya dengan menyebutkan alasan penghapusan merek tersebut. Dengan demikian terhadap penghapusan pendaftaran merek mengakibatkan
berakhirnya
perlindungan
hukum
atas
merek
yang
bersangkutan. Begitu juga pada merek terdaftar dapat dibatalkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan pihak yang
29
berkepentingan dengan alasan berdasarkan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Dan kewenangan mengadili gugatan penghapusan dan pembatalan merek terdaftar ialah Pengadilan Niaga. Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek atau gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, sebagaimana termuat dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Pembatalan pendaftaran Merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan tersebut. Kemudian pembatalan pendaftaran tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan pembatalan dan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, dan sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk pencoretan pendaftaran suatu merek dari Daftar Umum Merek akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Dengan demikian pembatalan dan pencoretan
30
pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.19 E. Lisensi Merek Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal KI dengan dikenai biaya, akibat hukum dari adanya pencatatan perjanjian lisensi tersebut adalah bahwa perjanjian lisensi tersebut selain berlaku bagi para pihak juga mengikat pihak ketiga.20 Dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor l5 Tahun 2001 Tentang Merek disebutkan bahwa penggunaan merek terdaftar di Indonesia oleh penerima lisensi dianggap sama dengan penggunaan merek tersebut di Indonesia oleh pemilik merek. Namun apabila perjanjian lisensi memuat ketentuan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan 19
OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 396
20
Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, h. 29
31
mengembangkan teknologi pada umumnya maka Direktorat Jenderal wajib untuk menolak melakukan pencatatan perjanjian lisensi tersebut, dengan memberitahukan alasannya kepada pemilik merek dan/ atau kuasanya.21
21
h. 3.
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
BAB III MEREK TERKENAL DAN PASSING OFF DALAM PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA A. Konsep Merek Terkenal Pada hakikatnya merek terkenal merupakan suatu bentuk goodwill yang berhasil diperoleh suatu merek karena kemampuan pemilik atau pemegang hak atas merek untuk meyakinkan konsumen akan jaminan kualitas dari produk yang dilekati oleh mereknya tersebut. Untuk dapat menjadi terkenal diperlukannya efforts atau usaha dengan banyak pengorbanan dan kerja keras.1 Terdapat 3 (tiga) tingkat kemashuran merek, diantaranya:2 1. Merek biasa (normal mark) Merupakan merek yang tergolong tidak mempunyai reputasi tinggi. Merek yang berderajat „biasa‟ ini dianggap kurang memberi pancaran simbolis gaya hidup baik dari segi pemakaian maupun teknologi. Masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah. 2. Merek terkenal (well-known mark) Meskipun dalam bahasa Indonesia kata “well-known mark” diterjemahkan menjadi merek terkenal begitu juga kata “famous mark” sehingga pengertian merek terkenal tidak membedakan arti atau tidak menentukan tingkatan arti “famous mark” dan “well-known mark”. Merek terkenal (well-known mark) merupakan merek yang memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik serta merek ini mempunyai tingkatan di atas derajat merek biasa.
1
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjajian TRIPs, (Bandung: PT. Alumni, 2011), h. 153. 2
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 80-85.
32
33
3. Merek termashur Merupakan merek yang sedemikian rupa mashurnya di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan reputasinya digolongkan sebagai „merek aristorkat dunia‟. 1. Pengertian Merek Terkenal Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.03.HC.020.1 tahun 1991 Tentang Penolakan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang Mirip dengan Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain, menyebutkan bahwa merek terkenal adalah merek asing yang secara mum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan hukum baik didalam maupun luar wilayah Republik Indonesia. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1486 K/Pdt/1991 tanggal 28 Nopember 1995 secara tegas memberikan kriteria yaitu suatu merek termasuk dalam pengertian well-known marks pada prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar dari batasbatas regional malahan sampai kepada batas-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek telah didaftarkan di banyak Negara di dunia, maka dikualifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar sampai ke batas-batas di luar Negara asalnya. Maksud Merek terkenal dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 keberadaannya belum termuat secara spesifik namun pada penjelasan Pasal 6 terdapat ketersiratannya yang menyebutkan bahwa:
34
“………… pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa Negara di dunia dan bukti pendaftaran merek di beberapa Negara”. Ketentuan WIPO menetapkan kriteria merek terkenal yakni sebagai berikut:3 a. Pemakaian yang begitu lama; b. Penampilan merek yang mempunyai ciri khas tersendiri yang melekat pada ingatan masyarakat luas; c. Pendaftaran merek di beberapa Negara; d. Reputasi merek yang bagus karena produk-produl atau jasajasa yang dihasilkan mempunyai mutu yang prima, nilai estetis serta nilai komersial yang tinggi; e. Pemasaran dan peredaran produk-produk dengan jangkauan yang luas hampir di seluruh dunia: 2. Kasus Merek Terkenal Terdapatnya aspek transnasional atau internasional yang sangat kuat dari isu tentang kasus merek terkenal, dimana hak atas merek dilahirkan oleh sistem hukum nasional tertentu terutama dengan mekanisme pendaftaran (teori konstitutif). Namun dengan ajektif „terkenal‟, merek ini memperoleh perlindungan khusus yakni setiap Negara harus melindunginya meski tanpa melalui suatu proses pendaftaran 3
Cassavera, 15 Kasus Sengketa Merek Di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 117
35
sekalipun. Sebagaimana anotasi yang dibuat oleh Prof. Asikin Kusumah Atmadja dalam kasus Woodstock & snoopy (Putusan MARI No. 1272 K/PDT/1984) menyatakan secara hukum sesuai dengan moral perdagangan yang baik para pedagang wajib menjauhkan diri dari segala usaha untuk membonceng
pada
ketenaran
merek
dagang
milik
orag
lain
(nasional/asing). Meskipun merek dagang tersebut belum terdaftar di Indonesia atau belum masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Berikut beberapa kasus merek terkenal yang terjadi di Indonesia diantaranya pertama, kasus merek Giordano, merek ini didaftarkan di Hongkong oleh Giordano Ltd. (pihak selaku pemilik merek) karena memiliki pangsa pasar yang luas di banyak Negara, merek Giordano kemudian
memperoleh
predikat
sebagai
merek
terkenal.
Dalam
perkembangannya ada seorang warganegara Indonesia Woe Budi Hermanto yang mendaftarkan merek Giordano kepada Direktorat Merek Indonesia. Pemilik merek Giordano (Giordano Ltd) yang belum mendaftarkan mereknya ke Direktorat Merek Indonesia, kemudian mengajukan gugatan pembatalan terhadap merek Giordano yang mendaftarkan oleh Woe Budi Hermanto tersebut. Dalam kasus ini Mahkamah Agung mempertimbangkan maka atas Uni Paris Pasal 6 bis dan pasal 8 pemohonan peninjauan kembali berhak atas perlindungan mereknya tanpa kewajiban untuk mendaftarkan di Indonesia (Putusan MARI No. 426 PK/PDT/1994).
36
Kedua, kasus Nike Putusan MARI No. 220 PK/PDT/1986, merek Nike merupakan merek untuk sepatu, tas, topi, baju yang telah terkenal, suatu waktu pemilik sah merek Nike dilanggar haknya walaupun mereknya tersebut belum didaftarkan didalam yurisdiksi Indonesia sehingga ketika terjadi pendaftaran merek tersebut di Indonesia oleh pihak yang tidak berhak, maka pemilik merek terkenal tersebut tetap memperoleh perlindungan hukum walaupun belum diaturnya secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan tentang merek terkenal namun tidak lantas membuat pengadilan berpangku tangan begitu saja, karena dengan terdapatnya yurisprudensi terhadap beberapa kasus merek, hal tersebut dirasa dapat menjadi rujukan dan jauh lebih maju dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga,
kasus
merek
Gucci
S.P.A
Putusan
MARI
No.
3485/PDT/1992 dimana merek dagang Termohon Kasasi I/ Tergugat Asal I (barang-barang tidak sejenis) dengan barang produk Pemohon Kasasi/ Penggugat
Asal
terdapat
persamaan
pada
keseluruhan
dan/ atau
keseluruhannya, dengan demikian hal tersebut menunjukkan adanya unsur itikad tidak baik dari Termohon Kasasi I/ Tergugat Asal I karena masyarakat pada umumnya atau konsumen pada khususnya akan menganggap asal usul produk barang-barang Termohon Kasasi I/ Tergugat Asal I akan diperkirakan berasal dari produk Pemohon Kasasi/
37
Penggugat Asal. Mahkamah Agung berpendapat terhadap pemakaian dan penggunaan merek dagang „Gucci‟ oleh Termohon Kasasi I/ Tergugat Asal I dengan merek dagang yang sama milik Pemohon Kasasi/ Penggugat Asal tidak lain adalah adanya niat dari Termohon Kasasi I/ Tergugat Asal I untuk membonceng ketenaran merek dagang Pemohon Kasasi/ Penggugat Asal serta dapat menimbulkan keraguan bagi konsumen tentang asal usul dan kualitas barang dari Termohon Kasasi/ Teegugat Asal I. Sehingga Mahkamah Agung memutus bahwa Indonesia sebagai Negara peserta konvensi paris dan harus mematuhi ketentuan untuk tetap memberikan perlindungan hukum sama seperti Negara asal barang merek Gucci di Italia, karena merek Gucci tergolong merek dagang terkenal. Menurut penulis putusan terebut kurang tepat, karena dalam konevensi paris hanya berbicara tentang perlindungan hukum terhadap merek terkenal untuk barang sejenis saja. Dan seharusnya dalam kasus ini hakim dapat menggunakan penemuan hukum dengan menyatakan bahwa terdapatnya pendaftaran dengan itikad tidak baik dan passing off terhadap suatu merek terkenal sebagaimana termuat dalam Pasal 16 Ayat 3 Perjanjian TRIPs sebagai perlindungan hukum merek terkenal untuk barang atau jasa yang tidak sejenis.
38
3. Eksistensi Merek White Horse Eksistensi merek white horse di Indonesia berawal dari berdirinya PT. Wahyunusa Wahana pada tahun 1987 sebagai perusahaan lokal yang salah satu bidang usaha utamanya memproduksi dan menjual keramikkeramik lantai dengan merek WHITE HORSE dan terdaftar pada tanggal 24 September 1996 dan keluar sertifikat merek nomor 395705 tanggal 2 Oktober 1997 dengan perpanjangan sampai 24 September 2006. Berdasarkan Akta Notaris No. 6 tanggal 2 Oktober 2001 yang disahkan oleh Notaris Lieyono, SH, di Jakarta, nama perusahaan diubah dari PT. Wahyunusa Wahana menjadi PT. White Horse Ceramic Indonesia, dan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. C-14376 HT.01.04 Tahun 2001 tanggal 28 Nopember 2001 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Oktober 2005 No.82. White Horse Ceramic CO, Ltd. Taiwan merupakan suatu badan hukum yang didirikan menurut hukum Taiwan, Republik of China, bergerak di bidang industri keramik yang memakai merek WHITE HORSE, sejak tahun 1990 telah mengekspor keramiknya ke Indonesia, pada tanggal 26 Juni 1997 merek white horse terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan keluar sertifikat merek Nomor 422866 pada tanggal 10 Februari 1999 dengan perpanjangan merek hingga 17
39
Maret 2008. Setelah terdaftar di Indonesia barulah merek white horse milik White Horse Ceramic CO, Ltd. Didaftarkan di beberapa Negara seperti Pendaftaran White Horse di Malaysia tanggal 12 Juli 1997, di Thailand tanggal 19 September 2005, di Vietnam tanggal 24 April 2000, di Laos tanggal 17 November 2000, di Kamboja tanggal 10 Januari 2001, di Jepang tanggal 21 Januari 2000, di Korea tanggal 6 Agustus 2001, di China tanggal 21 Juli 2002, di Spanyol tanggal 5 November 1999, di Itali tanggal 7 September 1999, di India tanggal 18 Juli 2002; Pemilihan merek white horse bagi penulis memiliki beberapa alasan diantaranya pernyataan dan pengakuan suatu badan hukum sebagai pemilik dan pendaftar yang sah terhadap merek white horse yang juga diklaim termasuk sebagai merek terkenal serta menyatakan pihak lawan telah melakukan passing off dan itikad tidak baik terhadap mereknya karena melihat bahwa merek white horse miliknya (klaim merek terkenal) terdapat persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dengan merek white horse pihak lawan. Untuk kasus merek dengan unsur passing off sudah sering sekali terjadi, namun khusus pada kasus merek white horse ini pada tahun 2012 penulis cukup dibingungkan atas putusan merek di tingkat pertama dan kasasi yang cepat memutuskan bahwa merek white horse termasuk merek terkenal dengan pertimbangan hanya telah terdaftar di mancanegara, hal tersebut menurut penulis dirasa kurang cukup atau kurang tepat. Padahal
40
telah disebutkan dalam ketersiratan penjelasan Pasal 6 Undang-undang merek di Indonesia, ketentuan WIPO dan lain-lain. Ketentuan dari sisi putusan kasasi penulis juga menemukan dan melihat antara kedua merek white horse tersebut seakan cenderung benarbenar memiliki persamaan sehingga terkesan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual mentolerasikan terdapatnya unsur persamaan merek pada pokoknya dan/ atau keseluruhuannya. Kemunculan isu terdapatnya unsur merek terkenal, passing off dan persamaan merek white horse ini menjadi ketertarikan bagi penulis untuk menelusuri kebenaran fakta hukumnya yakni dengan mencari tahu bukti (didukung dengan lampiran filing date dan wawancara pihak-pihak terkait) dan mengikuti alur perkembangan upaya hukum merek tersebut, serta melihat apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim sesuai dengan tujuan dan fakta hukum, karena di Indonesia ketentuan mengenai aturan merek terkenal dan passing off belum tercantum secara spesifik dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang merek. B. Konsep Passing Off Passing off adalah tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan, maupun hukum. Tindakan ini bisa terjadi dengan membonceng secara meniru milik sah pihak lain yang telah memiliki reputasi
41
baik. Cara membonceng reputasi (good will) ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun bidang hak cipta.4 Membahas passing off hal tersebut juga terkait erat dengan apa yang disebut goodwill, goodwill sering digunakan dalam arti yang bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan sebagai “itikad baik”. Goodwill juga dapat diartikan suatu kebaikan yang bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi dan keterkaitannya dalam usaha bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena meyakinkan pihak konsumen untuk membeli produknya.5 Elemen yang terdapat pada tindakan passing off sebagaimana terkait di atas yaitu elemen pertama adalah dengan adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum. Pada elemen passing off yang kedua, adanya misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada
4
Muhammad Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, h. 265. 5
Dwi Agustine Kurniasih, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember 2008, h. 4.
42
pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih produk yang diinginkan. Selanjutnya, elemen passing off yang ketiga yaitu
terdapatnya
kerugian
yang
timbul
akibat
adanya
tindakan
pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh masyarakat (public misleading).6 1. Pengertian Passing Off Secara bahasa passing off berasal dari idiom pass off yang berarti mempergunakan, menghilang, menipu sehingga passing off berarti melakukan dengan mempergunakan sesuatu cara, penghilangan, penipuan. 7 Berkaitan dengan merek, passing off merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Passing off sering diartikan sebagai perbuatan yang mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan.8 6
Frans. H. Winata, Pemboncengan Reputasi Merek (Passing Off) sebagai Tindakan Persaingan Curang, http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel/ diakses tanggal 17 Februari 2016. 7
John M. Echols and Hassan Shadily, An English – Indonesian Dictionary (Kamus InggrisIndonesia), (New York: Cornell University Press, 1975), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 420. 8
Dwi Agustine Kurniasih, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember, 2008, h.3.
43
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:9 The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement. (passing off adalah tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek). Istilah passing off atau pemboncengan tidak dikenal dan belum diterapkan di Indonesia, namun ketersiratannya sudah dapat terlihat dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yakni perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak dengan menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain, sehingga secara langsung telah mengindikasikan adanya bentuk pelanggaran peniruan, dimana pelaku peniruan menggunakan merek yang tidak sama tetapi ada persamaan dari sudut pandang (secara visual), suara atau bunyi. Dengan demikian hal ini dapat berpotensi terjadinya passing off seperti contoh Putusan Nomor 013 K/N/HaKI/2003 kasus sengketa merek Davidoff. Dalam sistem Common Law pihak yang merasa dirugikan dapat mengadakan suatu aksi yang biasa dikenal dengan the action for passing off yang menurut Copinger sebagaimana dikutip Djumhana dan Djubaedillah; The action for passing off lies where the defendant has represented to the public that his goods or business are the goods or business of the plaintiff. 9
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, h. 1115.
44
A defendant may make himself liable to this action by publishing a work under the same title as the plaintiff's, or by publishing a work where 'get up' so resemble that of the plaintiff's work as to deceive the public into the belief that it is the plaintiff's work, or is associated or connected with the plaintiff. (Tindakan terhadap pemboncengan reputasi dilakukan ketika tergugat telah menampilkan kepada masyarakat bahwa barang atau bisnisnya adalah barang atau bisnis penggugat. Tergugat mungkin harus bertanggungjawab atas tindakannya memproduksi produk dengan nama yang sama dengan penggugat, atau memproduksi produk di mana kemasannya menyerupai produk penggugat dengan menipu masyarakat sehingga percaya bahwa ini adalah produk penggugat, atau berkaitan atau berhubungan dengan penggugat).10 Dalam suatu pertemuan World Intellectual Property Organization (WIPO), telah didiskusikan upaya efektif perlindungan hak kekayaan intelektual dari persaingan curang atau unlawful competition (persaingan yang melawan hukum) di Jenewa, antara lain disinggung action for passing off sebagai alternatif melawan tindakan persaingan curang sebagai berikut: In countries that follow common law tradition, the action of passing off is often considered as the basic of protection against dishonest business competitors. The passing off action can be described as a legal remedy for cases in which the goods or services of one person are represented as being those of somebody else. What is common to these cases is that they were buying the plaintiff’s goods, when they actually obtained the goods of the defendant. 11 (di Negara yang menganut tradisi hukum umum, tindakan pemboncengan reputasi sering ditujukan sebagai dasar perlindungan melawan pesaing-pesaing usaha yang curang. Tindakan terhadap pemboncengan reputasi dapat dijelaskan sebagai sebuah upaya hukum yang sah untuk kasus dimana suatu barang atau jasa dianggap sama seperti barang atau jasa orang lain. Pada umumnya dalam kasus-kasus ini penggugat kehilangan konsumen disebabkan tergugat menggiring mereka (konsumen) untuk percaya bahwa mereka membeli barang-barang penggugat padahal yang mereka beli atau dapatkan adalah barang-barang tergugat). 10
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, h. 267, dikutip dari Copinger, Skone James, Copyright, Cet. XII, (London: Sweet & Maxwell, 1980), h. 327. 11
http://www.wipo.com, Di akses pada tanggal 12 Februari 2016, Pukul 14.30 WIB.
45
Passing off merupakan bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan curang dalam bisnis. Hal ini juga ditegaskan oleh Mollengraaf yang mengatakan bahwa: Persaingan semacam itu berwujud penggunaan upaya, ikhtiar yang bertentangan dengan kesusilaan dan kejujuran di dalam pergaulan hukum dengan tujuan untuk mengelabui mata masyarakat umum dan merugikan pesaingnya, segala sesuatu ini untuk menarik langganan orang lain atau memperbesar peredaran barang-barangnya.12 Dengan demikian, pentingnya suatu perlindungan merek atas praktik action for passing off dengan tujuan untuk menjamin konsumen bahwa barang yang dibeli itu berasal dari perusahaan pemilik merek, menjamin mutu barang, memberi nama lambang, dan memberi perlindungan kepada pemilik merek yang sah yang ditiru orang lain untuk barang yang sah, untuk barang yang bermutu rendah.13 2. Dasar Hukum Passing Off Ketentuan mengenai passing off dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak diatur secara khusus, namun perlu ditafsirkan bahwa perlindungan merek dari passing off itu sifatnya termasuk mengenai reputasi bisnis atau nama baik (good will). Dengan demikian untuk memberikan perlindungan terhadap merek yang terdaftar dari tindakan passing off dapat diimplementasikan melalui ketentuan dalam Kitab Undang12
13
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, h. 177-178
Suyud Margono dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, h. 160
46
undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods/ (TRIPs), walaupun sebenarnya belum terdapat pasal tertentu dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang secara spesifik (mengenai passing off). Hakikatnya ketentuan passing off dapat dilihat dari sisi dasar hukum dan merujuk dengan berbagai pasal yang berdekatan kaitannya, seperti: Pasal 15 ayat (1) TRIPs: Any sign, or combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertalking, shall be capble of constituting a trademark. Such signs in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combination of colors as well as any combination of such signs shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, members may require as a condition of registration that signs be visually perceptible; (Tiap tanda atau kombinasi apa pun dari tanda, yang dapat membedakan barang atau jasa satu perusahaan dari perusahaan lain, dapat menjadi merek dagang. Tanda-tanda tersebut, khususnya kata-kata termasuk nama pribadi, huruf-huruf, angka-angka, elemen-elemen figuratif dan kombinasi dari warna seperti juga halnya dengan kombinasi dari tanda-tanda tersebut dapat disetujui untuk mendaftarkan sebagai merek dagang. Dimana tanda-tanda tidak secara langsung dapat membedakan barang atau jasa yang relevan, para anggota dapat membuat hal yang dapat didaftarkan bergantung pada pembedaan yang didapat melalui penggunaan. Para anggota dapat meminta sebagai suatu kondisi pendaftaran bahwa tanda-tanda dapat dilihat dengan jelas). Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (1): The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from us-ing in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademarks is registered where such use would result in a likehood of confusion shall be presumed.
47
The right described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of members making rihts available on the basic of use. (Pemilik suatu merek dagang terdaftar memiliki hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh izin dari pemilik atas penggunaan dalam hal perdagangan tanda-tanda yang sama atau identik untuk barang atau jasa yang identik atau serupa dengan yang sehubungan dengan merek dagang yang didaftarkan dimana penggunaan tersebut dapat mengakibatkan suatu kesesatan atas keserupaannya. Dalam hal penggunaan atas suatu tanda yang identik untuk barang atau jasa yang identik, suatu kesesatan atas keserupaan harus dianggap ada. Hak-hak yang dijelaskan di atas tidak boleh merugikan hak-hak yang telah ada, atau mempengaruhi kemungkinan dari para anggota agar hak-hak menjadi dapat digunakan atas dasar penggunaan). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai Negara anggota, Indonesia diwajibkan untuk memberikan perlindungan terhadap merek dari perbuatan passing off sebagai konsekuensi dan keikutsertaan dalam instrumen internasional sebagaimana pada Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) TRIPs tersebut, walaupun pada hakikatnya dalam TRIPs Agreement tidak terdapat penjelasan secara khusus mengenai passing off, namun pada Negara-negara yang menganut common law system, passing off berkembang sebagai bentuk praktek persaingan curang dalam usaha perdagangan atau perniagaan, seperti Pasal 10 bis paris convention lebih mengenal istilah perbuatan curang (unfair competition) yang berbunyi bahwa persaingan curang adalah setiap perbuatan persaingan yang bertentangan dengan kejujuran dan kepatutan dalam praktiknya di bidang perindustrian dan perdagangan.14 Untuk Negara peserta atau anggota konvensi
14
Suyud Margono, Hak Milik Industri, h. 112
48
Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan tidak jujur.15 TRIPs juga telah memberikan penekanan terhadap praktik-praktik komersial yang tidak jujur, hal ini dapat terlihat pada kalimat Pasal 39 ayat (2) TRIPs: Memungkinkan perorangan dan badan hukum untuk mencegah diumumkannya, diberikannya kepada, atau dipergunakannya oleh pihak lain secara melawan hukum informasi yang dikuasainya secara tanpa izin dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek komersial yang jujur… Yang dimaksudkan praktik-praktik komersial yang tidak jujur ialah suatu tindakan yang paling tidak mencakup praktik berupa tindakan ingkar janji dan dapat berpotensi mengakibatkan passing off terhadap suatu merek yang bersumber dari persaingan usaha curang.16 Dalam sistem common law persaingan curang adalah perbuatan melawan hukum, diartikan sebagai praktek curang dalam bisnis atau usaha. Ketentuan perbuatan melawan hukum tersebut telah termuat pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
15
16
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, h. 235
Sri Ahyani, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Atas Action For Passing Off, (Bandung: Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September, 2012), h. h. 542.
49
Kerugian yang dimaksud adalah kerugian-kerugian itu harus ada hubungannya secara langsung dan kerugian itu ditimbulkan karena kesalahan pembuat atau pelaku sedangkan kesalahan ialah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).17 Pasal 382 bis Bab XXV Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Perbuatan curang juga menyebutkan: Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkurenkonkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah. Pada Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinikan bahwa: Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemsaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 3. Itikad Baik Prinsip terpenting dalam roda persaingan usaha atau berbisnis ialah itikad baik, begitu pula mengenai pendaftaran hak merek sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yaitu:
17
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 294.
50
Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh dan menyesatkan konsumen. Black Law Dictionary menyebutkan bahwa definisi itikad baik (good faith) adalah: A state of mind consisting in (1) honestyin belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence f intent to defraud or to seek unconscionable advantage. (suatu kondisi pemikiran yang mengandung hal-hal seperti (1) kejujuran pada kewajiban atau tugas, (2) kesetiaan dalam melakukan tugas atau kewajiban, (3) memperhatikan stardar komersial yang adil dalam perdagangan atau bisnis, atau (4) tidak berniat menipu atau mencari keuntungan pribadi).18 Berikut ini terdapat berbagai pendapat dari para ahli hukum memahami pengertian itikad baik, diantaranya: Subekti mengemukakan itikad baik ialah kedua belah pihak harus berlaku yang patut terhadap yang lain, tanpa tipu daya, tanpa muslihat, tanpa akal-akal dan tanpa mengganggu pihak lain, tidak melihat kepentingan sendiri saja tetapi kepentingan pihak lain.19 Salim H.S berpendapat bahwa azaz itikad baik merupakan azaz dimana para pihak (pihak kreditur dan debitur) harus melaksanakan subtansi
18
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, 6th ed, (USA: West Publishing, 2004), h.
762. 19
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermusa, 1994), h. 139.
51
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.20 M. Yahya Harahap berpendapat bahwa jangkauan atau aspek pengertian itikad baik meliputi:21 1. Meniru, mencontoh, mereproduksi atau mengkopi merek orang lain yang sudah terdaftar atau merek orang lain yang sudah terkenal, meskipun belum terdaftar 2. Membonceng atau membajak merek orang lain yang sudah terdaftar atau merek orang lain yang sudah terkenal, meskipun belum terdaftar 3. Penyesatan atau penipuan khalayak ramai dengan cara meniru, membonceng atau membajak merek orang lain yang sudah terdaftar atau merek orang lain yang sudah terkenal, meskipun belum terdaftar dengan tujuan untuk mengeruk keuntungan secara tidak jujur 4. Peniruan atau mereproduksi merek orang lain yang sudah terdaftar atau merek orang lain yang sudah terkenal, meskipun belum terdaftar baik secara keseluruhan atau pada pokoknya yang membingungkan atau mengacaukan khalayak ramai tentang asal dan kualitas barang. Adapun beberapa ketentuan yang juga mengatur itikad baik seperti dalam Pasal 530, Pasal 531 dan Pasal 575 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Pasal 530 menjelaskan tentang penguasaan atau kepemilikan atas suatu benda terdapat itikad baik atau itikad buruk. Sedangkan Pasal 531 merumuskan bahwa itikad baik merupakan tanda penguasaan yang sah atas benda, sebaliknya itikad buruk merupakan tanda penguasaan yang tidak sah atas suatu benda.
20
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 50. 21
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, h. 590-591.
52
Pada Pasal 575 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disimpulkan bahwa hak untuk menikmati kebendaan terhadap suatu penguasaan benda diberikan kepada yang beritikad baik. Kemudian Pasal 1338 Kitab Undangundang Hukum Perdata juga menyebutkan semua persetujuan yang dibuat harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 7 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal 52 angka 1 Undang-undang Praktik Perdagangan Australia 1974 (Trade Practices Act 1974) berbunyi: A corporation shall not, in trade or commerce, engage in conduct that is misleading or deceptive. (Suatu perusahaan dalam pelanggaran perdagangan dan perniagaan tidak diperkenankan terlibat dalam tindak tipu muslihat atau kecurangan atau kecenderungan menyesatkan atau mencurangi). Ketentuan Pasal 52 ini digunakan sebagai dasar persidangan untuk memeriksa
perusahaan-perusahaan
yang
telah
menurunkan
reputasi
perusahaan lain. Tipu muslihat dan penyesatan adalah bagian dari tindakan yang dapat dikategorikan sebagai itikad tidak baik.22 4. Akibat Hukum dari Tindakan Passing Off Menurut A. Ridwan Halim, akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah
22
Sri Ahyani, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Atas Action For Passing Off, h. 548.
53
ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum, atau dengan kata lain suatu akibat hukum ialah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.23 R. Soeroso mengemukakan akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum, suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Undangundang, sehingga apabila dilanggar akan berakibat kepada orang yang melanggar dan ia dapat dituntut di muka pengadilan.24 Apabila akibat hukum berpotensi passing off terhadap suatu merek, maka Pasal 76 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek merumuskan bahwa Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa : a. Gugatan ganti rugi, dan/ atau b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat hukum secara umum atas tindakan passing off dapat berupa: a. Ganti kerugian, baik dapat berupa ganti rugi materill maupun ganti rugi immaterill, yang dimaksudkan ganti rugi materill yakni kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang, sedangkan ganti rugi immaterill adalah tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh penggunaan merek 23
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003), h. 50-51. 24
Soedjono Dirdjonisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 131-132
54
dengan tanpa hak, sehingga pihak yang berhak menderita kerugian secara moral.25 Dan pengugat yang mengalami kerugian juga dapat menunjukkan bahwa tergugat merusak potensi penggugat untuk mempergunakan itikad baiknya di masa yang akan datang.26 b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut dapat berupa pembatalan pendaftaran merek yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal KI dengan mencoret merek bersangkutan dari Daftar Umum Merek serta memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan tersebut, maka terhadap hal tersebut secara otomatis mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan. Dan selama pemeriksaan berlangsung pemilik merek juga dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk mencegah kerugian yang lebih besar yakni produksi, peredaran dan/ atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak, ketentuan ini termuat dalam Pasal 78 (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. c. Dapat diajukan dengan tuntutan pidana, sebagaimana terumus dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi:
25
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, h. 365. 26
h. 155.
Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Alumni, 2013),
55
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 5. Persamaan Pada Pokoknya Terminiologi persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan atau persamaan arti yang terdapat dalam merek tersebut.27 Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2279 PK/Pdt/ 1992 tanggal 6 Januari 1998 menyatakan bahwa merek yang mempunyai 27
persamaan
pada
pokoknya
maupun
keseluruhan
dapat
OK Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 359.
56
dideskripsikan sebagai sama bentuk (similarity of form), sama komposisi (similarity of compotition), sama kombinasi (similarity of combination) dan sama unsur elemen (similarity of elements).28 Tim Lindsey menyebutkan bahwa cara memutuskan suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya yaitu dengan membandingkan kedua merek, selain melihat persamaan dan perbedaan juga memperhatikan ciri-ciri penting dan kesan kemiripan antar keduanya.29 Adapun penentuan adanya kemiripan dapat didasarkan pada beberapa faktor diantaranya:30 1. Kemiripan persamaan gambar; 2. Hampir mirip atau hampir sama susunan kata, warna atau bunyi; 3. Tidak mutlak barang harus sejenis atau sekelas; 4. Pemakaian merek menimbulkan kebingungan nyata (actual confusion) atau menyesatkan (deceive) masyarakat konsumen. Faktor keempat merupakan faktor yang paling pokok dalam doktrin ini yakni sebuah pemakaian merek yang memiliki persamaan pada pokoknya menimbulkan semacam persamaan membingungkan (a likehood of confusion)
28
Casavera, 15 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, h. 197.
29
Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, h. 147.
30
Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan UU No. 19 Tahun 1992, h. 417
57
sehingga memiliki potensi menyesatkan (deceive) terhadap konsumen, karena oleh konsumen seolah-olah merek tersebut dianggap sama sumber produksi dan sumber asal geografis dengan gambar milik orang lain. Konsep a likehoood of confusion terjadi pada situasi masyarakat telah salah mengenali identitas produk barang atau jasa (direct confusion), namun risiko atas hal tersebut membuat masyarakat akan mempercayai bahwa produk yang relevan dengan barang atau jasa yang berasal dari perusahaan yang sama atau secara ekonomi berasal dari perusahaan terkait, dengan begitu dapat menimbulkan kebingungan secara tidak langsung (indirect confusion). 31 Merek akan ditolak pendaftarannya apabila memiliki persamaan pada pokoknya untuk barang atau jasa sejenis ataupun tidak sejenis, dimana terdapat risiko kebingungan dari konsumen dalam wilayah merek senior tersebut yang telah terlindungi. Pengadilan di Negara lain seperti Amerika Serikat menentukan adanya suatu persamaan pada pokoknya dalam suatu merek berpatokan pada sound (bunyi), sight (pandangan) dan meaning (arti). 32 Sedangkan di Jepang persamaan unsur pokok didasarkan pada tiga kriteria, yaitu Gaikan
31
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi), (Jakarta: Kencana, 2015), h. 183. 32
H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, (Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), h. 272.
58
(penglihatan/
penampilan),
Shouko
(cara
pengucapan)
dan
Kannen
(pengertian).33
33
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 74.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ATAS MEREK DALAM KASUS PASSING OFF A. Duduk Perkara Kasus merek white horse antara PT. WHITE HORSE CERAMIC INDONESIA (d/h bernama PT. WAHYUNUSA WAHANA) yang diwakili oleh Presiden Direktur, Wahyudi Widjaja, berkedudukan di Lantai 19 Wisma 77, Jl. Jenderal S. Parman Kav. 77 Slipi, Jakarta Barat. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Otto Hasibuan, SH., MM., dan kawan-kawan Advokat, disebut sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat. Melawan WHITE HORSE CERAMIC CO. LTD TAIWAN, suatu badan hukum yang didirikan menurut hukum Taiwan, Republik of China, yang diwakili President Director, Liao Jung Chu, berkedudukan di Nomor 27-1, Pei Kao Shan-Ting, Gau-Rong Li, Yang-Mei Chen, Taoyuan Hsien, Taiwan, Republic of China, dalam hal ini memberi kuasa dan memilih domisili hukum pada kantor kuasanya Dr. Juniver Girsang, SH., MH., dan kawan-kawan, para Advokat, disebut sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat Bermula saat Penggugat menggugat Tergugat melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan berakhir dengan amar putusan
Nomor
33/Merek/2012/PN. Niaga Jkt.Pst
menyebutkan
bahwa
mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan menyatakan bahwa Penggugat
59
60
sebagai pendaftar yang beritikad baik dan juga sebagai pemilik sah merek white horse kemudian putusan tersebut telah menyatakan adanya pembatalan merek milik Tergugat dengan mencoretnya dari Daftar Umum Merek melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dikarenakan terdapatnya persamaan pada keseluruhan merek white horse. Terhadap amar putusan tersebut Tergugat berkeberatan menerima hasil putusan tersebut dan akhirnya melalui kuasa hukum pihak Tergugat/ Pemohon kasasi melakukan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menggugat Penggugat/ Termohon kasasi dengan maksud menjelaskan dan menyatakan keberatannya serta ketidakpuasan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebelumnya, pada amar putusan kasasi Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012 menurut pihak Pemohon kasasi/ Tergugat justru tidak membuahkan hasil karena putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT WHITE HORSE CERAMIC INDONESIA (d/h bernama PT WAHYUNUSA WAHANA) tersebut dan menghukum Pemohon Kasasi/ Tergugat untuk membayar ongkos perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Amar kasasi tersebut diputuskan berdasarkan pertimbangan bahwa merek white horse Penggugat adalah merek terkenal karena telah terdaftar dimancanegara, merek white horse yang digunakan Pemohon Kasasi/ Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek white horse milik Termohon Kasasi/ Penggugat sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-
61
Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Pemohon Kasasi/ Tergugat mempunyai itikad tidak baik mendaftarkan merek white horse atas nama Tergugat karena ijin Penggugat untuk menggunakan merek white horse milik Penggugat sudah berakhir dan pendaftaran oleh Tergugat dengan alasan perpanjangan tidak dapat dibenarkan karena tidak terbukti ada ijin perpanjangan dari Termohon Kasasi/ Penggugat. Terdapat beberapa fakta yang muncul dalam putusan kasasi tersebut dan perlu untuk diteliti kembali, diantaranya ketika Termohon kasasi dinyatakan sebagai pendaftar yang beritikad baik dan juga sebagai pemilik sah merek white horse sedangkan telah jelas disebutkan berulang-ulang bahwa Pemohon kasasi telah mendaftarkan merek white horse milik PT. WAHYUNUSA WAHANA (telah berganti nama menjadi PT. WHITE HORSE CERAMIC INDONESIA) lebih dahulu yaitu sejak tanggal 24 September 1996 dengan kelas barang 19 dan sertifikat merek Nomor 395705. Sedangkan Termohon kasasi WHITE HORSE CERAMIC, CO. LTD. TAIWAN mendaftarkan merek white horse di Indonesia pada tanggal 10 Februari 1999 dengan sertifikat merek Nomor 422688 dan di Negara asalnya Taiwan terdaftar tanggal 1 September 1997 dengan sertifikat merek Nomor 00774004. Persamaan merek pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dapat terlihat antara merek white horse milik Pemohon kasasi (gambar seekor Kuda Putih menghadap ke arah kiri, ada dalam kotak berbentuk jajar genjang, latar
62
belakang warna hijau, dengan susunan huruf warna putih, membentuk kata berbunyi White horse) dengan merek white horse yang didaftar Termohon kasasi dan merek tersebut menimbulkan kesan adanya persamaan, karena dalam hukum merek diharuskan untuk setiap merek mempunyai suatu daya pembeda, sebagaimana Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yaitu: 1. Terdapat kesamaan bentuk; -
Gambar kotak sama-sama berbentuk gambar kotak berbentuk persegi empat jajar genjang;
-
Gambar Kuda Putih sama-sama gambar Kuda Putih yang sedang berlari;
2.
Terdapat kesamaan cara penempatan; -
Gambar kuda putih dan tulisan WHITE HORSE sama-sama berada dalam kotak berbentuk jajar genjang;
-
Gambar kuda putih sama-sama terletak di atas tulisan WHITE HORSE;
3. Terdapat kesamaan cara penulisan; Menggunakan cara penulisan sama-sama mengandung huruf-huruf WHITE HORSE; 4. Terdapat kesamaan kombinasi antara unsur-unsur; -
Kombinasi tulisan WHITE HORSE sama-sama memakai jenis huruf sama;
63
-
Kombinasi warna gambar kotak sama-sama berwarna putih;
5. Terdapat kesamaan bunyi ucapan; Merek milik Penggugat dan Tergugat sama-sama berbunyi white horse yang dalam bahasa Inggris berarti Kuda Putih; Berikut ini apabila merek white horse milik Pemohon kasasi disandingkan dengan merek white horse yang didaftar Termohon kasasi, terbukti terdapat kesamaan pada pokoknya atau keseluruhan pada kedua merek tersebut yaitu sebagai berikut: Merek milik Termohon Kasasi
Merek milik Pemohon Kasasi
B. Analisis Penulis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 890 K/Pdt.Sus/2012. Berdasarkan pada penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa putusan kasasi tersebut berarti menguatkan dugaan atas adanya persamaan merek milik Pemohon kasasi dengan Termohon kasasi sehingga dapat menimbulkan kebingungan dan menyesatkan konsumen serta memungkinkan akan memunculkan tindakan pemboncengan merek (Passing off). Dari kasus tersebut penulis menyimpulkan masih diperlukannya beberapa bukti demi untuk memperkuat segala pertimbangan hukum, maka dengan demikian akan
64
diketahui sumber dari ketidakselarasan serta kekeliruan dan kekhilafan dalam memahami pernyataan dan penjelasan dari pihak Termohon Kasasi/Penggugat maupun Pemohon Kasasi/Tergugat, karena pada hakikatnya hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara diharapkan dapat mewujudkan tujuan hukum, terutama asas keadilan dan asas kepastian hukum. Hasil putusan pada judex facti dan judex juris jelas terlihat bahwa dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tidak menerapkan sistem konstitutif yang dianut di Indonesia secara tepat serta mengesampingkan aturan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagaimana fakta-fakta yang terlampir dan telah keliru menerapkan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 61 ayat 2 huruf (b) dan Pasal 69 dengan begitu masih terdapatnya keraguan atas ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Pada hakikatnya dalam pemeriksaan dan pertimbangan hukum, sudah sepatutnya diperhatikan secara meneliti bagaimana penentuan kriteria suatu merek terkenal, jangka waktu pembatalan pendaftaran merek, pendaftaran merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, merek yang memiliki persamaan merek pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya, lampiran filing date, klasifikasi kelas merek, karena hal tersebut dapat berdampak terhadap putusan hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara, sehingga
65
menyebabkan putusan tersebut tidak memiliki interpretasi yang jelas apa kriteria suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya.1 Menurut
penulis
Majelis
Hakim
tidak
tepat
dalam
menginterpretasikan hukum dalam putusan kasasi ini, hal ini disebabkan dalam judex facti (dalam hal ini Pengadilan Negeri disebut judex facti) Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan Penggugat dan menurut Tergugat putusan tersebut dirasa tidak tepat oleh karena itu sudah seharusnya Majelis Hakim pada judex facti benar-benar memeriksa seluruh fakta-fakta hukum (bukti atau data) mengenai sengketa merek white horse ini, agar pertimbangan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, sehingga dalam judex juris (dalam hal ini Mahkamah Agung disebut sebagai judex juris) Majelis Hakim dapat memeriksa ketentuan judex facti dengan benar dan jelas serta akan melahirkan interpretasi hukum yang tepat. Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 638 K/Sip/1969 tanggal 22 Juli 1970 menegaskan putusan yang tidak lengkap/ atau kurang cukup (onvoldoende gemotiveerd atau insufficient judgement) terhadap apa yang menjadi dasar alasan putusan, sehingga mengakibatkan adanya kesalahan dalam penerapan hukumnya dan hal tersebut merupakan suatu kekhilafan judex facti atau kekeliruan yang nyata, dengan demikian cukup alasan apabila kasasi tersebut harus dibatalkan. 1
Sentosa Sembiring, Prosedur Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Hak Cipta, Paten dan Merek, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2002), h. 37-38.
66
Pada putusan kasasi ini, penulis berpendapat Majelis Hakim dalam judex juris amar putusannya hanya cenderung menilai dan mengabulkan permohonan Termohon kasasi dan menilai bahwa penerapan hukum yang ditentukan judex facti sudah tepat dan benar sehingga asas keadilan tidak dapat dirasakan pihak Pemohon kasasi, meskipun sesungguhnya kedudukan Mahkamah Agung sebagai judex juris hanya untuk memeriksa penerapan hukum, interpretasi, kontruksi hukum terhadap fakta-fakta yang sudah ditentukan judex facti, namun tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa hakim dalam judex juris yang tetap mewujudkan tujuan hukum bagi para pihak yang bersengketa terutama asas keadilan dan asas kepastian hukum serta menerapkan pertimbangan hukum dalam putusannya berdasarkan yurisprudensi. Selanjutnya untuk ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak dapat diterapkan dalam perkara ini dan menurut Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek gugatan pembatalan merek ini telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang, sehingga putusan judex facti sudah sepatutnya untuk dibatalkan. Kejelasan tersebut terlihat kembali dengan terlampirnya data-data pada putusan kasasi ini mengenai kebutuhan terwujudnya suatu merek seperti pendaftaran
merek,
ketentuan
jangka
waktu
perlindungan
merek,
perpanjangan merek. pendaftaran merek white horse atas nama Pemohon
67
kasasi/ Tergugat terdaftar di Indonesia pada tanggal 24 September 1996 dan keluar sertifikat merek Nomor 395705 pada tanggal 2 Oktober 1997 dengan perpanjangan merek hingga 24 September 2006 sedangkan merek white horse atas nama Termohon kasasi/ Penggugat terdaftar di Indonesia pada tanggal 26 Juni 1997 dan keluar sertifikat merek Nomor 422866 pada tanggal 10 February 1999 dengan perpanjangan merek hingga 17 Maret 2008. Dengan demikian telah terbukti bahwa merek white horse merupakan milik Pemohon kasasi yang terdaftar lebih dahulu di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Republik indonesia, sedangkan merek white horse yang diklaim sebagai milik Termohon kasasi ternyata baru didaftarkan di Indonesia dan mancanegara setelah adanya pendaftaran merek white horse Pemohon kasasi di Indonesia. Berdasarkan putusan kasasi, penulis menemukan terdapat beberapa perbedaan antara merek white horse milik Pemohon kasasi dan Termohon kasasi, seperti perbedaan unsur milik Termohon kasasi yang mendaftarkan warna latar belakang merek dengan warna hitam putih,2 namun dalam kasasi Termohon kasasi mendalilkan bahwa deskripsi warna latar belakang merek white horse miliknya berlatar belakang hijau dan telah memasarkan merek white horse tersebut menggunakan warna latar belakang merek berwarna hijau,3 dengan begitu keberadaan merek white horse milik Termohon kasasi telah termasuk menyalahi Pasal 61 ayat 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 15 2
3
www.dgip.go.id//e-ladi, Diakses pada tanggal 15 Mei 2016, Pukul 21.05 WIB. Terlampir dalam Putusan Kasasi h.3.
68
Tahun 2001 Tentang Merek dan sebagaimana ditegaskan oleh pihak Direktorat Jenderal KI bahwa tidak dibenarkan untuk siapapun mendaftarkan suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dengan milik orang lain.4 Berikut ini perbandingan klasifikasi kelas merek white horse antara milik Pemohon kasasi dan Termohon kasasi yaitu:5 Merek White horse milik Pemohon Merek White horse milik Termohon Kasasi
(Terdaftar
24
September Kasasi (Terdaftar 10 Februari 1999),
1996), uraian barang:
uraian barang:
Batu-batu alam dan buatan, kapur, Batu bata, batu ubin untuk panel spesi, kapur tembok dan batu kerikil, dinding dan pelapis lantai, ubin bahan-bahan untuk membuat jalan lantai, ubin jalan bukan dari logam, ialah: aspal, pek dan bitumen, rumah- lantai ubin bukan dari logam, genting rumah
yang
dapat
dipindah- bukan dari logam, ubin bukan dari
pindahkan.
logam untuk bangunan, ubin dinding bukan dari logam untuk bangunan, lapis dinding bukan dari logam untuk bangunan, lantai bukan dari logam.
Dari perbandingan deskripsi klasifikasi merek di atas, terlihat uraian barang yang didaftarkan oleh Pemohon kasasi berbeda dengan Termohon
4
Wawancara Pribadi dengan Lili Evelina Sitorus, SH., MH dan Adi Supanto, SH., MH Pejabat Direktorat Merek, Jakarta Selatan, 10 Mei 2016. 5
Terlampir dalam Penelusuran Merek
69
kasasi, namun kedua uraian tersebut masuk dan terdaftar dalam kategori klasifikasi kelas merek kelas 19.6 Beberapa perbedaan diatas merupakan suatu taktik atau strategi agar tidak terdapat persamaan secara keseluruhan terhadap merek white horse milik
Pemohon
kasasi
dan
dapat
menyesatkan
masyarakat
atau
membingungkan konsumen serta menimbulkan kesan kepada masyarakat seolah-olah barang atau jasa yang diproduksikannya sama dengan merek yang sudah ada atau telah terdaftar. Hal tersebut selaras dengan ketegasan agama Islam yang melarang umat manusia memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: Al-Baqarah ayat 188:
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”. Begitu juga hal terpenting yang harus tercipta ialah terdapatnya unsur itikad baik dalam mengembangkan mereknya, sehingga dapat disimpulkan kategori Pasal yang tepat untuk menerapkan hukum terhadap sengketa tersebut, karena ketika hal terpenting seperti itikad baik saja sudah terabaikan maka seseorang ataupun badan hukum yang mengabaikan ketentuan dalam 6
Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, h. 39.
70
Undang-undang Merek dapat disebut peniru yang beritikad tidak baik atau merupakan suatu permulaan untuk melakukan perbuatan curang. Itikad baik dalam mengembangkan suatu merek dapat dimulai dengan melakukan pendaftaran merek sebagaimana selaras dengan ketentuan sistem konstitutif di Indonesia, karena pada merek terdaftar akan memunculkan bentuk perlindungan hukum berupa hak atas merek yang hanya diberikan hak tersebut kepada pemilik merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada seseorang, beberapa
orang
secara
bersama-sama
atau
badan
hukum
untuk
menggunakannya. Pendaftaran merek akan membutuhkan ketelitian serta akan melalui serangkaian pemeriksaan subtabtantif, maka dari itu peran pemeriksa pada Direktorat Jenderal akan sangat mempengaruhi kinerja tersebut terutama dalam mendeskripsikan suatu merek agar terhindar dari identifikasi persamaan merek maka diperlukannya daya pembeda antara merek yang didaftar dengan merek milik orang lain, karena untuk suatu merek yang terdapat persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya akan mudah mengacaukan atau membingungkan masyarakat sehingga harus ditolak sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
71
Terdapatnya
persamaan
merek
pada
pokoknya
dan/
atau
keseluruhannya, hal ini juga rentan dengan pemboncengan merek pihak lain atau passing off yang menimbulkan salah satu kondisi yaitu mengecoh atau menyesatkan konsumen dan ketentuan passing off harus memenuhi adanya suatu reputasi dari merek tersebut. Sebagaimana wawancara penulis dengan kuasa hukum Pemohon kasasi dan Direktorat Jenderal KI serta ditegaskan juga dalam putusan peninjauan kembali telah dikatakan bahwa pada faktanya merek white horse milik Termohon kasasi bukanlah merupakan merek terkenal seperti yang dikemukakan Termohon kasasi di tingkat pertama dan tingkat kasasi, dengan demikian tidaklah tepat dan mendasar apabila Termohon kasasi mengklaim bahwa Pemohon kasasi mondompleng/ menjiplak ketenaran merek white horse milik Termohon kasasi,7 karena untuk membuktikan suatu merek sebagai merek terkenal harus telah melakukan promosi besar-besaran, terdaftar di beberapa Negara, berinvestasi di beberapa Negara, 8 pangsa pasar luas dan terdapat pengetahuan masyarakat terhadap merek tersebut.9 Penulis menyimpulkan bahwa pernyataan pihak Termohon kasasi bahwa Pemohon kasasi telah melakukan passing off terhadap merek miliknya
7
Terlampir dalam Putusan Kasasi h.5
8
Wawancara Pribadi dengan Sordame Purba, SH. Advokat Law Offices Otto Hasibuan & Associates, Jakarta Pusat, 23 Mei 2016. 9
Wawancara Pribadi dengan Adi Supanto, SH., MH Pejabat Direktorat Merek, Jakarta Selatan, 10 Mei 2016.
72
adalah tidak benar dan faktanya tidak demikian, dikarenakan telah terbukti bahwa merek white horse yang diklaim Termohon kasasi bukanlah termasuk merek terkenal, walaupun sebelumnya merek white horse milik Termohon kasasi telah mengklaim melakukan promosi dan pemasaran besar-besaran di 14 Negara sehingga menurut Termohon kasasi merek white horse miliknya termasuk kategori merek terkenal, namun menurut penulis hal tersebut telah keliru karena merek yang dipromosikan di mancanegara ialah merek Horse bukan white horse. Dan tidak dibenarkan jika merek terkenal dapat berubahubah nama mereknya disebabkan apabila suatu merek dinyatakan terkenal maka akan dibutuhkan waktu dan bukti untuk mempromosikan merek tersebut secara luas dan besar-besaran, investasi, menjaga kualitas, image dan citra agar merek tersebut tetap digemari oleh konsumen. Berdasarkan fakta data putusan termuat pula bahwa pendaftaran yang dilakukan di Negara-Negara tersebut sungguh tidak selaras dengan pernyataan Termohon kasasi, disebabkan promosi merek white horse milik Termohon kasasi baru dilakukan setelah merek white horse Pemohon kasasi terdaftar di Direktorat Jenderal Hak cipta, Paten dan Merek Departemen Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 24 Sepetember 1996. Dengan demikian mengenai pendaftaran yang dilakukan Termohon kasasi dapat diidentifikasi mempunyai persamaan merek pada pokoknya dengan merek milik Pemohon kasasi serta terdapatnya unsur itikad tidak baik dalam
73
mengembangkan usahanya. Hal ini didukung dengan terlampirnya filing date pendaftaran merek di beberapa Negara.10 Sesungguhnya tujuan perlindungan merek atas praktik action for passing off adalah menjamin kepada konsumen bahwa barang yang dibeli itu berasal dari perusahaan pemilik merek, menjamin mutu barang, memberi nama lambang, dan memberi perlindungan kepada pemilik merek yang sah yang ditiru orang lain untuk barang yang sah, untuk barang yang bermutu rendah.11 Hemat penulis berpendapat terhadap keseluruhan penjelasan di atas bahwa kurang tepat dan tidak sesuainya Majelis Hakim dalam memeriksa suatu fakta hukum beserta interpretasi hukumnya dan terhadap pertimbangan hukum dalam judex facti dan judex juris untuk tidak dipertahankan dan harus dibatalkan, dikarenakan telah jelas terdapat cukup alasan untuk mengabulkan Permohonan kasasi merek white horse tersebut.
10
11
Terlampir dalam Putusan Kasasi h. 27
Suyud Margono dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, h. 160.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab I sampai bab IV diatas, pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa: 1. Perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangundangan merek di Indonesia secara spesifik begitu juga terhadap merek terkenal, karena passing off pada suatu merek biasa dikenal dalam sistem common law hanya untuk merek terkenal yang telah memiliki reputasi. Mengenai passing off terdapat beberapa Pasal yang menyiratkan ketermuatannya dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek diantaranya Pasal 4, Pasal 6, Pasal 76, Pasal 91 serta Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods/ (TRIPs). 2. Interpretasi hakim dalam pertimbangan hukum pada kasus white horse ini kurang tepat atau keliru, sebab terjadinya ketidaksesuaian dengan fakta hukum dan alasan-alasan hukum yang diketemukan, karena dalam hal ini Majelis Hakim tidak merujuk kepada yurisprudensi kasus merek yang pernah ada dan terkesan mengesampingkan
74
75
ketentuan sistem konstitutif (first to file) yang dianut dalam Undangundang merek di Indonesia serta cenderung melihat hanya dari sisi pembuktian pihak Termohon kasasi saja, sehingga cukup terbukti dan beralasan terhadap putusan pada judex facti dan judex juris untuk dibatalkan. B. Saran 1. Bagi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual supaya mempertegas kembali penjelasan mengenai persamaan merek pada pokoknya baik untuk barang sejenis atau tidak sejenis. 2. Bagi penentu kebijakan (DPR) agar dapat segera merealisasikan ketentuan aturan mengenai merek terkenal dalam beberapa Pasal pada Undang-undang merek dan menambah muatan materi dengan mengadopsi aturan common law yaitu passing off serta dapat menerapkannya secara menyeluruh pada berbagai Undang-undang perdagangan atau perniagaan tidak hanya untuk ketentuan merek saja. 3. Bagi pendaftar merek agar menguraikan dengan jelas merek yang didaftarkan baik mengenai jenis merek, bentuk, warna, tulisan (susunan kata) dan bunyi (ucapan) supaya menghindari kekeliruan dan kebingungan serta menerapkan kesesuaian antara merek yang didaftarkan dengan yang diedarkan atau dipasarkan.
DAFTAR PUSTAKA Adisumarto, Harsono, Hak Milik Perindustrian, Jakarta: Akademika Pressindo, 1990. A. Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, St. Paul, Minn: West Publishing Co, 2004. Budi, Henry Soelistyo dan Suyud Margono, Bunga Rampai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Jakarta: Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia, 2001. Budi Maulana, Insan, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa ke Masa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Campbell Black, Henry, Black Law Dictionary, 6th ed, USA: West Publishing, 2004. Casavera, 15 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Copinger, Skone James, Copyright, Cet. XII, London: Sweet & Maxwell, 1980. Dirdjonisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1997. Duswara Machmudin, Dudu, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003. Gautama, Sudargo, Hukum Merek Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Harahap, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Hasibuan, H.D. Effendy, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. H.S, Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
76
77
Jened, Rahmi, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Ekslusif, Surabaya: Airlangga Universiti Press, 2007. ____________ , Hukum Merek (Trademark Law Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi), Jakarta: Kencana, 2015. Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2013. Lubis, T. Mulya, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000. Margono, Suyud, Hak Milik Industri, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Margono, Suyud dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Jakarta: Grafindo, 2002 M. Ramli, Ahmad, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013. M. Echols, John, and Hassan Shadily, An English – Indonesian Dictionary (Kamus Inggris-Indonesia), New York: Cornell University Press, 1975, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Miru, Ahmadi, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. Saidin, OK., Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013. Sembiring, Sentosa, Prosedur Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Hak Cipta, Paten dan Merek, Bandung: CV. Yrama Widya, 2002. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet.XI, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cet. VIII, Jakarta: Dian Rakyat, 1983.
78
Slamet Kurnia, Titon, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjajian TRIPs, Bandung: PT. Alumni, 2011. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, 2010. Sujipto, H.M.N. Purno, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, Djambatan, 1984. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Jakarta: Prad Paramita, 1980. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermusa, 1994. Tirtaamidjaya, Mr., Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan: 1962. Usman, Rahmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003. Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Zen Umar Purba, Achmad, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT. Alumni, 2005. Perundang- Undangan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-undang Praktik Perdagangan Australia 1974 (Trade Practices Act 1974) Perjanjian Internasional Paris Convention
79
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/ TRIPs. Jurnal Ahyani, Sri, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Atas Action For Passing Off, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September, 2012. Hidayati, Nur, Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011. Kurniasih, Dwi Agustine, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember 2008. Website http://www.dgip.go.id/fungsi-pendaftaran-merek, Diakses pada tanggal 3 Februari 2016, Pukul 19.30 WIB. http://www.wipo.com, Di akses pada tanggal 12 Februari 2016, Pukul 14.30 WIB. www.dgip.go.id//e-ladi, Diakses pada tanggal 15 Mei 2016, Pukul 21.05 WIB. H. Winata, Frans, Pemboncengan Reputasi Merek (Passing Off) sebagai Tindakan Persaingan Curang, http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel/ diakses tanggal 17 Februari 2016.
KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM reb.
(62-21) 74711537,7401925 Fax. 162-21) 7491821 Website : www.uinjK.ac.id E-mail :
[email protected]
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 lndonesia Nomor
:
Un.01/F.4/PP.0'1.'1l
ta
7
Jakarta, 29 lt/aret 2016
12016
Lampiran Perihal
: Mohon Kesediaan Meniadi
Pembimbinq Skripsi Yang Terhormat
1. Elviza Fauziah, SH, MH 2. Ali Mansur, S. Ag MA (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Di
JAKARTA Assal amu' alaikum Wr. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa: Nama NIM
: :
: Skripsi :
Prodi/Konsentrasi Judul
Safira Maharani 16140480000006 llmu Hukum/ Hukum Bisnis
Perlindungan Hukum Terhadap Merek White Horse Dari Tindakan Passing Off (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.890 K/Pdt,susi201 2)
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut
1.
2.
3, 4. 5. 6, 7.
:
Topik bahasan dan out ne bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan dan penyempurnaan. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta." Bimbingan skripsi minimal dilakukan 4x termasuk penyampaian surat bimbingan, dan maksimal 6x, Lama bimbingan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan terhitung mulal tanggal surat penunjukan pembimbing, Setiap selesai melakukan bimbingan skripsi, blanko harus diparaf oleh pembimbing.
Jika skripsi sudah selesai dan ditandatangani oleh pembimbing, maka lembar blanko ini harus diserahkan ke sekretaris Program Studi llmu Hukum. Bimbingan skripsi dilakukan secara serius dan terarah.
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih Wassalamu' alaikum Wr. Wb.
Tembusan : 1. Yth. Kasubag Akademik & kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum 2. Yth. Sekretaris Program Studi llmu Hukum 3. Arsip
I(EMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIFHIDAYATULLAHJArsAK--TA FAKULTAS SYARIAII DAN HUKUM
Jln. lr
H. Juanda No.
Nomor Lampiran Hal
95 Ciputat Jakarta
:un.o1 /F4 ,
Telo. 162-211747 11537 ,7401925 Fax- (62-21) 7 491a21 Wdbsite : w,.4ruuinjkt.ac.id E-mail : syar-hukuln(@yanoo-com
154'12, lndonesia
/KNt.ol.$t
591
t2016
Jakarta, 5
April 2016
Pu"roohonan Data/ Wawancara Kepada Yth. Law Offices Otto Hasibuan & Associates
Di Jakarta A s sal amu'
alaikum, Wr. Wb.
Dekan Fakultas syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa:
Nama TempaV Tanggal Lahir NIM Semester Program Studi Alamat
Telp/t{p
: Safira Maharani
: Jakarta,24 Januai 7994 :16140480000006 :8
Ilmu Hukurn Jl. Rancho Indah No. 100 Rt. 004/ 002, Jakarta Selatan : o857 7 859209 1 I 082213 5 44062
:
:
Adalah benar yang bersangkutal mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul :
UIN Syarif
Perlindungan Ilukum Terhadap Merek lYhite Hone DatiTindal
Off
untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan-untuk wawancara serla memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud. Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terimakasih. I{as s al amu' alaikum,Wr. Wb. a.u. Dekan Kepala Bagian Tata Usatra
GURUH,M.PD 19'8710 1 001
Tembusan:
1.
2.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum LIIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ka/ Sekprodi Ilmu Hukum
I
I(EMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (urN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
II-.
tIII I
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Telp. (021) 74711537 Websitc; rvrvrv.uinjkt.ac.id, Email: [email protected]
Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat Tangerang Selatan
Nomor Lampiran Hal
: Un
ol / F4 / KM.o1.o3
/ qgG
12016
Jakarta, 3 Mei 2016
.
: Permohonan Data/ Walvancara
Kepada Yth. Direklorat Merek cq Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan HAM
Di Jakarta As sal amu' a la i ku tn,
rI4'. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa:
Nama Tempat/ Tanggal
NIM Semester Program Studi Alamat
Telp/Hp
Lahir
: Safira Maharani
: Jakart4 24 Januari 1994 :16140480000006 :8 : Ilmu Hukum : Jl. Rancho Indah No. 100 Rt. 0041 002, Jakarta Selatan : 0857 7 8592O9 1 I 0822 13 5 44062
Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Huk-um UIN Syarif Hidayatullah Jakartayang sedang menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan flukum Terhadap M.erek |lthite Horse Dari Tindakan Passing (Analisis Putusan Mahkamah Agung No' 890 K/Pdt.sus/2012)
Off
Untuk nrelengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapik/lbu dapat meneritna yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud. Atas kerjasama dan bantuannva, kami ucapkan terimakasih. Was.ru I u ntu'al Lt i k utn, ll'r. I l,'h-
GURIJII, M.PI) i98710 1001 Tembusan: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN SyarifHidayatuliah Jakarta 2. Ka/ Sekprodi Ilmu Hukum
i I
KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYAT ULLAH JAKARTA
IIL.
]\IIIIi
FAKULTAS SYARIAH DAN HT]KT]M \!ebsite:
JI. lr. H. Juanda No- 95 C:iputat Tangeraog Selatan
Nomor Lampiran Hal
: Un.01
/ P4 /KM.01.03
/lZzL
rr rr
rr.uinj kl.ac.id,
12016
E
Tclp. (021 nrail: hurnas.l!l!Lr
Jakarla, 17 Mei 2016
:
: Permohonan
Data/ Wawancara
Kepada Yth. Dwi Agustine Kumiasih SH., MH. Cq. Badan Pembinaan Hukum Nasional Republik lndonesia
Di Jakarta
Wr. W. Dekan Fakultas Syariah dan HuL:um UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa:
As salamu' alaikum,
NIM
Safira Maharani Jakarta 24 Januan 1994 16140480000006
Semester
8
Program Studi Alamat
Ilmu Hukum
Nama Tempat/ Tanggal Lahir
Telp/Hp
Jl. Rancho lndah No. 100 Rt. 004/ 002, Jakarta Selatan 085778592091
Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan Hukum Terhadap Merek Wite HoneDari Tindakan Possizg O/(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 890 K/Pdt.sus/2012)
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud. Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terimakasih. Was s al amu' alaikum, Wr. Wb.
a.n. Dekan Kepala Bagian Tata Usaha
GT'RT]I{, M.PD 198710 1001 Tembusan: Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidiyarullah Jalarta 2. Ka/ Sekprodi Ilmu Hukum
I.
Nomor
:01
Lampiran
:-
Hal
: Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah Jakarta di Jakada
Kami sebagai Narasumber/Informan dengan ini menerangkan bahwa: Safira Maharani
Nama
Lahir Semester Program Studi Tempat/Tgl.
Alamat
: Jakdrta / 24 Januari 1994 :
VIII
(Delapan)
: Ilmu Hukum
Jl. Rancho Indah Rt.004/002
No.l00, Kec.
Jagakarsa, Kel.
Tanjung Barat, Jakarta Selatan Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam penelitian skripsi yang berjudul "Perlindungan Hukum Terhadap Merek Wite Horse dai Tindakan Passing Off (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 890 K/Pdt.Sus/2012) ".
Demikian surat ini Kami buat agar dipergunakan sebagaimana mesti4ya.
Jak1rta,23 Mei 2016 Narasumber
KEMENTERIA"N HUIIUM DtrN HAI( ASASI MANUSItr R'I' DIREKTORAT JENDER.trIJ KEKAYAAN INTEI'EKTUAI' DIREKTORAT MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Selatan 12190 [. HR.Rasuna Said, Kavling 8-9, Jakarta Laman: http://www'dgiP' go'id
SURAT KETERANGAN RISET NO. HKI.4.HI.06 .06.06-t 67 1201 6
Yang bertanda tangan.dibawah ini menerangkan bahwa
:
Maharani
Nama
: Safira
NIM
:16140480000006
Program studi
: Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
jawab dan pengumpulan data di Benar telah mengadakan riset berupa wawancara, tanya Kementerian Direktorat Merek dan lndikasi Geografis, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, dengan Hukum dan HAM R.I., pada tanggal l0 Mei 2016 dalam rangka penyusunan skripsi
(Analisis judul ,,Perlindungan Hukum terhadap metek llhite Horse dari tindakan Passing olf Patusan Mahkamah Agung No. 890 MPdt.sus/2012)"' Demikian kami terangkan agar dapat dipergunakan seperlunya'
Jakarta,
l0 Mei 2016
$*t< Silanre!
1001
:01
Nomor Lampiran
: Surat Keterangan Telah Melalarkan Wawancara
Hal
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah Jakarta "l
di Jakarta
Kami sebagai Narasumber/Informan dengan ini menerangkan bahwa: Nama
Safira Maharani
Tempat/Tgl. Lahir
lakarta /
Semester
VIII (Delapan)
Program Studi
IlmuHukum
Alamat
Jl. Rancho Indah Rt.004/002 No.100, Kec. Jagakarsa, Kel.
24lantai 1994
Tanjung Barat, Jakarta Selatan Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam penelitian skripsi yang berjudul " Perlindungan Hukum Terhadap Merek llhite Horse dari Tindakan Passing Off (Analisis Puttsan Mahkamah Agung No. 890 I{/Pdt.Sus/20} 2)".
Demikian surat ini Kami buat agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 17 Mei 2016
N€'F rgH.,MFf
.
HASIL WAWANCARA Nama
: Sordame Purba, SH.
Advokat Law Offices Otto Hasibuan & Associates Jakarta, 23 Mei 2016 1. Apakah pengertian persamaan merek pada pokoknya dan persamaan merek pada keseluruhannya menurut ibu? Persamaan merek pada pokoknya dan persamaan merek pada keseluruhannya adalah adanya kesan yang sama, baik penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur maupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek yang bersangkutan. 2. Bagaimana pemahaman ibu mengenai passing off dalam konteks merek? Passing off pada umumnya digunakan terhadap perlindungan merek terkenal meskipun merek tersebut belum didaftarkan, sedangkan di Indonesia perlindungan merek tersebut adalah terhadap pendaftar pertama di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (first to file) 3. Apa saja yang termasuk dalam klasifikasi kelas barang dan jasa dari PT. White Horse Ceramic Indonesia? Klasifikasi kelas barang dan/ atau jasa dari PT. White Horse Ceramic Indonesia adalah kelas barang 19 4. Bagaimana kriteria merek terkenal menurut ibu? Kriteria merek terkenal terdiri melakukan promosi besar-besaran, terdaftar di beberapa Negara, berinvestasi di beberapa Negara. 5. Apakah merek white horse pada PT. White Horse Ceramic Indonesia merupakan merek terkenal? Merek white horse milik PT. White Horse Ceramic Indonesia bukan merupakan merek terkenal 6. Proses pembuktian seperti apakah yang dilakukan untuk mengidentifikasi bahwa merek white horse termohon kasasi merupakan merek terkenal? Termohon kasasi mendalilkan bahwa merek white horse miliknya adalah merek terkenal karena telah terdaftar di mancanegara. Dalam proses pembuktiannya, Termohon
kasasi mengajukan bukti-bukti surat berupa sertifikat merek di beberapa Negara dan iklan untuk merek “Horse”, sedangkan untuk merek white horse Termohon kasasi baru mendaftarkan pertama kali di Taiwan tahun 1997 dan di Indonesia pada tahun 1999, setahun setelah Pemohon kasasi mendaftarkan merek white horse di Direktorat Jenderal KI pada tahun 1996. 7. Bagaimana pendapat ibu terhadap suatu merek jasa atau barang yang bukan termasuk merek terkenal tetap mengajukan terdapatnya tindakan passing off ? Untuk merek terkenal dikenal dengan tindakan passing off, tetapi untuk Negara kita mengenal pendaftaran pertama (first to file) sehingga siapa pendaftar pertama maka ialah yang dilindungi haknya dan apabila ada peniruan atau pemalsuan terhadap merek kemudian hendak melakukan gugatan maka haruslah terlebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran merek. 8. Dalam kasus ini masing-masing pihak menyatakan pihak lawan telah melakukan pelanggaran merek yaitu tindakan passing off dan itikad tidak baik lalu bagaimana pendapat ibu? Perlu kami jelaskan lebih dahulu bahwa PT.Wahyunusa Wahana berdiri pada tahun 1987, kemudian pada tahun 1996 mendaftarkan merek white horse di Direktorat Jenderal Hak cipta, Paten dan Merek. Di tahun 2001 PT. Wahyunusa Wahana mengajukan perubahan nama perseroan menjadi PT. White Horse Ceramic Indonesia dan telah mendapat pengesahan. Pada tanggal 24 September 2006 PT. White Horse Ceramic Indonesia mengajukan permohonan perpanjangan merek Nomor 395705 untuk kelas barang 19, sedangkan Termohon kasasi mendaftarkan merek white horse pertama kali di Indonesia pada tahun 1999 dengan sertifikat Nomor 422866. 9. Apakah terdapat kerugian yang diterima PT. White Horse Ceramic Indonesia atas terjadinya kasus ini? Kemudian bagaimana dampak terhadap konsumen? Sudah pasti PT. White Horse Ceramic Indonesia mengalami kerugian akibat peniruan merek yang dilakukan oleh White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan dan jumlah produksi mengalami penurunan serta membingungkan konsumen dan juga merugikan konsumen.
10. Dalam merek seseorang atau perusahaan harus menonjolkan daya pembeda pada objek mereknya, bagaimana perbedaan merek antara milik PT. White Horse Ceramic Indonesia dengan White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan? Benar untuk setiap merek yang terdaftar harus mempunyai daya pembeda, dan untuk merek white horse milik PT. White Horse Ceramic Indonesia dengan White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan hampir tidak mempunyai daya pembeda sehingga dapat menyesatkan konsumen dan merugikan PT. White Horse Ceramic Indonesia selaku pemilik merek white horse yang dilindungi Undang-undang kerena sebagai pendaftar pertama. 11. Pada putusan dinyatakan bahwa antara pihak PT. White Horse Ceramic Indonesia dan White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan pernah mengadakan lisensi merek, namun kenapa pihak PT. White Horse Ceramic Indonesia tidak mengatakan diawal bahwa ia lebih dahulu yang memiliki hak atas merek white horse tersebut, sehingga menimbulkan tuduhan adanya persamaan merek milik White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan dengan PT. White Horse Ceramic Indonesia? Mengenai pemberian lisensi tidaklah benar, karena apa yang disebutkan dalam pernyataan ialah “pemberian izin pemakaian merek” merek white horse milik Termohon kasasi yang sudah terlanjur terdafttar di Taiwan dan hanya sebatas penggunaan untuk barang keramik saja 12. Apakah pada saat pergantian nama badan hukum telah dipertimbangkan bahwa telah terbentuk nama badan hukum white horse ceramic? Bagaimana kesesuaiannya dengan Undang-undang Merek yang berlaku di Negara Indonesia mengenai perubahan nama badan hukum? Sah-sah saja apabila perubahan nama perusahaan tersebut karena PT. White Horse Ceramic Indonesia selaku pemilik merek white horse yang dilindungi Undangundang. Dan mengenai pertimbangan mengapa berganti nama kami tidak dapat jelaskan karena itu rahasia perusahaan, menurut pendapat kami PT. White Horse Ceramic Indonesia adalah pemilik merek white horse sejak tahun 1996. 13. Bagaimana menurut pihak kuasa hukum pemohon kasasi mengenai mekanisme pendaftaran merek serta keluarnya sertifikat merek melalui Direktorat Jenderal KI
(berkaitan mengenai kasus ini dan jelas dasar hukum pada Undang-undang Merek harus ditolak)? Seharusnya Direktorat Jenderal KI lebih hati-hati dan teliti dalam memberikan setiap permohonan merek yang diajukan agar tidak terdapat adanya persamaan merek pada pokoknya maupun keseluruhannya termasuk kelas barang. 14. Bagaimana dengan perbedaan warna merek yang didaftarkan dengan yang diedarkan dan dideskripsikan? Hal tersebut tidak dibenarkan, sebagaimana ketentuan penjelasan Pasal 61 ayat (2) huruf (b) oleh karena itu dapat dilakukan penghapusan pendaftaran merek. 15. Menurut ibu, apakah kasus ini termasuk pada kategori telah jatuh masa tempo atau kadaluarsa dalam mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek berdasarkan pasal 69 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001? Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 69, pengajuan gugatan terhadap merek terdaftar adalah 5 tahun sejak pendaftaran merek. Dalam perkara a quo merek white horse milik PT. White Horse Ceramic Indonesia terdaftar tahun 1996 dan merek white horse milik White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan terdaftar tahun 1999, oleh karenanya pengajuan gugatan tersebut telah termasuk melewati batas jangka waktu yang ditentukan Undang-undang (kadaluarsa). 16. Bagaimana menurut pihak PT. White Horse Ceramic Indonesia atas putusan kasasi dari Mahkamah Agung sudahkah terpenuhinya tujuan hukum? Menurut pendapat kami, putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi ini belum mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum, hal tersebut terlihat ketika pihak Pemohon kasasi mengajukan peninjauan kembali, dimana dalam pertimbangan dengan sangat jelas mempertimbangkan bukti-bukti dan Undang-undang, kemudian pada amar putusannya Majelis Hakim telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari PT. White Horse Ceramic Indonesia (Pemohon peninjauan kembali) sebagai pendaftar pertama dan menyatakan merek white horse milik White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan bukanlah merek terkenal. 17. Menurut ibu, apakah dalam kasus ini pihak Direktorat Jenderal KI termasuk mengabaikan atau mengesampingkan sistem pendaftaran merek yang dianut di Indonesia?
Menurut pendapat kami, Direktorat Jenderal KI tentu telah melakukan kekeliruan dalam menerbitkan sertifikat atas permohonan pendaftaran merek white horse yang diajukan oleh Termohon kasasi. Apabila pemeriksaan subtantif sebelum keluarnya sertifikat dilaksanakan secara benar, tentu permohonan pendaftaran merek yang diajukan oleh Termohon kasasi harus ditolak, karena merek white horse telah didaftarkan terlebih dahulu oleh Pemohon kasasi dan sudah masuk daftar umum merek, hal ini sesuai dengan asas first to file sebagai bentuk perlindungan terhadap penggunaan merek di Indonesia. 18. Mengapa dalam kasus merek white horse ini kuasa hukum pemohon kasasi tidak menuntut pihak termohon kasasi dengan tuduhan pidana merek? Karena kuasa yang diberikan oleh PT. White Horse Ceramic Indonesia kepada kuasa hukumnya hanya terbatas pada penanganan perkara di Pengadilan Niaga saja. 19. Bagaimana nasib White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan setelah inkracht peninjauan kembali Mahkamah Agung? Sesuai dengan amar putusan peninjauan kembali yang telah inkracht, White Horse Ceramic, Co. Ltd. Taiwan tidak lagi mempunyai hak atas penggunaan merek dagang white horse, termasuk melarang produksi/ memperjualbelikan/ mengedarkan/ menarik barang-barang merek white horse kelas barang nomor 19 hasil produksinya selama ini. 20. Bagaimana pendapat kuasa hukum PT. White Horse Ceramic Indonesia mengenai pertimbangan hukum serta amar putusan kasasi tersebut ? Pendapat kami mengenai pertimbangan-pertimbangan Hakim kasasi dalam memutus perkara tersebut masih terdapat kekeliruan dan kekhilafan dan mengabaikan beberapa fakta hukum yang terungkap di persidangan. Hakim keliru mengatakan bahwa merek Termohon kasasi adalah merek terkenal karena telah terdaftar di beberapa Negara, padahal pendaftaran merek white horse milik Termohon kasasi pertama sekali didaftarkan di Indonesia pada tahun 1999, setelah PT. White Horse Ceramic Indonesia mendaftarkan terlebih dahulu merek tersebut kemudian barulah didaftar di Taiwan, Cina dll. Bahwa untuk dapat dinyatakan sebagai merek terkenal ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, selain terdaftar di beberapa Negara juga harus berinvestasi dan promosi besar-besaran, hal tersebut tidak terbukti telah dilakukan Termohon kasasi sehingga tidak dapat dikatakan merek terkenal. Dan mengklaim seakan-akan Pemohon kasasi sebagai
pihak yang melanggar atau bersalah dengan menerapkan Pasal 4, 5, 6, 61, 69 pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, menurut kami hal ini sungguh tidak tepat dan keliru. 21. Apa pandangan ibu dengan pernyataan bahwa Hakim yang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa merek ini salah dan keliru dalam menerapkan hukum? Hakim pemeriksa perkara di tingkat pertama dan tingkat kasasi memang telah salah dalam menerapkan hukum, hal ini kami sampaikan tentu dengan alasan hukum yang kuat sebagaimana telah kami sampaikan dalam memori peninjauan kembali. Alasan-alasan inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Hakim pemeriksa perkara tingkat
peninjauan
kembali
dalam
memutus
perkara
ini.
Dalam
beberapa
pertimbangannya, Hakim peninjauan kembali menilai bahwa pertimbangan Hakim tingkat pertama dan tingkat kasasi terdapat kekeliruan dan kekhilafan, sehingga Hakim peninjauan kembali memutuskan untuk membatalkan kedua putusan sebelumnya. 22. Bagaimana tanggapan ibu terhadap kinerja Direktorat Jenderal KI sehingga timbulnya persamaan merek pada pokoknya dan atau keseluruhannya pada merek white horse ini? Kami berharap Direktorat Jenderal KI lebih teliti dalam menerima permohonan pendaftaran merek agar kasus seperti white horse tidak terulang kembali. 23. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia? Indonesia tidak mengatur mengenai tindakan passing off, karena asas yang berlaku di Indonesia adalah first to file, artinya perlindungan diberikan kepada pendaftar pertama atas suatu merek. 24. Perlukah penambahan materi pada Undang-undang Merek saat ini dengan mengadopsi aturan common law yakni tindakan passing off? Undang-undang merek saat ini merupakan perubahan dan penyempurnaan atas 2 (dua) undang-undang tentang merek sebelumnya. Dalam hal perlindungan terhadap merek terus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan juga kebutuhan, namun segala perubahan tersebut tetap berlandaskan pada asas first to file, yaitu Negara menjamin hak atas merek bagi pendaftar pertama dan telah masuk dalam Daftar Umum Merek. penerapan aturan passing off tentunya akan menjadi pertimbangan bagi penentu kebijakan apabila memang dalam perkembangan dunia usaha mengindikasi kebutuhan
yang mendesak akan hal tersebut, namun perlu diingat adalah penerapan aturan ini akan sangat bertentangan dengan asas first to file yang selama ini dianut dalam sitem perlindungan merek di Indonesia.
HASIL WAWANCARA Nama
: Lili Evelina Sitorus, SH., MH dan Adi Supanto, SH., MH
Pejabat Direktorat Merek cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Jakarta, 10 Mei 2016. 1. Mengapa pihak Direktorat Jenderal KI menerima suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan atau keseluruhannya? Kami menegaskan dalam hal ini pihak Direktorat Jenderal KI tidak pernah menerima suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan atau keseluruhannya. 2. Bagaimana kriteria merek terkenal menurut bapak/ ibu? Dalam Pasal 6 telah disebutkan beberapa kategori merek terkenal dan tambahan dari saya untuk memasukkan ketentuan merek tersebut menjadi merek terkenal tentu harus terdaftar di beberapa Negara serta dibuktikan juga dengan promosi gencar-gencaran untuk memperluas pangsa pasar dan terdapatnya pengetahuan masyarakat atas merek tersebut. Dan menurut saya masih kurangnya pengaturan secara spesifik mengenai merek terkenal di Indonesia sehingga atas kasus merek terkenal beberapa hakim dapat melakukan interpretasi hukum. 3. Apakah merek white horse merupakan merek terkenal? Berdasarkan fakta-fakta hukum dan alasan-alasan hukum dalam putusan peninjauan kembali telah terbukti bahwa white horse bukan merupakan merek terkenal 4. Dalam merek seseorang atau perusahaan harus menonjolkan daya pembeda pada objek mereknya, bagaimana cara Direktorat Jenderal KI dalam membedakan merek antara milik PT. White Horse Ceramic Indonesia dengan White Horse Ceramic, CO. LTD. Taiwan? Hal tersebut dapat dilihat saat pendaftaran merek tersebut, untuk merek white horse antara milik PT. White Horse Ceramic Indonesia dengan White Horse Ceramic, CO. LTD. Taiwan jelas berbeda (keterangan dapat dilihat dalam www.dpig.go.id –-> eladi)
5. Apakah Direktorat Jenderal KI menerima surat lisensi merek white horse atas nama White Horse Ceramic, CO. LTD. Taiwan kepada PT. White Horse Ceramic Indonesia (d/h PT. Wahyunusa Wahana)? Kami tidak pernah menerima lisensi merek white horse 6. Apakah pada saat pergantian nama badan hukum telah dipertimbangkan bahwa telah terbentuk nama badan hukum white horse ceramic? Bagaimana kesesuaiannya dengan Undang-undang Merek yang berlaku di Negara Indonesia mengenai perubahan nama badan hukum? Mengenai pergantian nama badan hukum kami pihak Direktorat Jenderal KI tidak mengetahui apa yang menjadi alasannya karena itu rahasia. Menurut kami pergantian nama tidak boleh dan perubahan nama serta pengalihan nama keduanya diperbolehkan. 7. Apakah diperbolehkan mendaftar pada klasifikasi kelas barang yang sama? Persamaan klasifikasi kelas barang bukanlah yang menjadi persoalan karena yang harus diperhatikan yakni jenis barangnya, maksudnya ialah ketika kelas barang dan/ atau jasa sama dan jenis barang atau uraian barang atau deskripsi klasifikasi barang dan/ atau jasa berbeda maka merek tersebut dapat diterima, contoh satu perusahaan mendaftarkan merek barangnya kedalam kelas barang 25 dengan jenis dompet sedangkan satu perusahaan lain mendaftarkan jenis baju yang juga termasuk pada kelas barang 25, maka kedua merek ini dapat diterima. 8. Bagaimana menurut bapak/ ibu tentang penerimaan pendaftaran merek serta keluarnya sertifikat merek melalui Direktorat Jenderal KI (berkaitan mengenai kasus ini dan jelas dasar hukum pada Undang-undang Merek harus ditolak)? Apabila dilihat seksama jelas terlihat bahwa merek white horse dari kedua milik perusahaan berbeda ini terdaftar di Direktorat Jenderal KI dengan klasifikasi kelas merek yang sama yaitu kelas barang 19, namun yang berbeda ialah uraian jenis barang dari kedua perusahaan tersebut dan warna dari merek yang didaftarkannya, maka dari itu Direktorat Jenderal KI tidak ada alasan untuk tidak menerima merek tersebut. 9. Bagaimana dengan perbedaan warna merek yang didaftarkan dengan yang diedarkan dan dideskripsikan? Hal ini tentu tidak dibenarkan dalam Undang-undang merek seperti pada Pasal 7 disebutkan bagi permohonan pendaftaran yang diajukan maka harus mencantumkan
warna apabila merek tersebut terdapat unsur warna kemudian penjelasan Pasal 61 ayat (2) huruf b, karena terhadap merek yang digunakan dan ditemukan ketidaksesuaian dalam penggunaan warna dengan merek yang didaftar maka atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan penghapusan pendaftaran merek tersebut. 10. Menurut bapak/ ibu, apakah kasus ini termasuk pada kategori telah jatuh masa tempo atau kadaluarsa dalam mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek dan tepat menggunakan Pasal 69 (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001? Terhadap kasus ini termasuk sudah jatuh masa tempo atau kadaluarsa dalam mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek. 11. Bagaimana nasib White Horse Ceramic, CO. LTD. Taiwan setelah inkracht peninjauan kembali Mahkamah Agung? Tentu untuk pihak yang kalah harus mematuhi keputusan hukum yang bersifat inkracht, akan tetapi pihak White Horse Ceramic, CO. LTD. Taiwan meminta penundaan eksekusi 12. Bagaimana pemahaman bapak/ ibu mengenai passing off dalam konteks merek? Passing off hanya berlaku untuk merek terkenal dan lebih dikenal di Negara yang menganut sistem common law dan hal tersebut juga dekat kaitannya dengan persaingan tidak sehat.
HASIL WAWANCARA Nama
: Dwi Agustine Kurniasih, SH., MH
Pejabat Badan Pembinaan Hukum Nasional Republik Indonesia Jakarta, 17 Mei 2016 1. Apakah pengertian persamaan merek pada pokoknya dan persamaan merek paada keseluruhannya menurut ibu? Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsurunsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. 2. Bagaimana pemahaman ibu mengenai passing off dalam konteks merek? Passing off merupakan suatu perbuatan membonceng reputasi merek terkenal dan biasanya dilakukan dengan cara memirip-miripkan atau mempunyai maksud sama persis dengan merek orang lain atau dapat juga terdapatnya persamaan pada pokoknya antara dua merek, passing off termasuk dalam kategori pelanggaran merek, syarat untuk dapat menyatakan telah terjadinya passing off yaitu merek tersebut telah mempunyai reputasi tinggi. 3. Bagaimana kriteria merek terkenal menurut ibu? Kriteria merek terkenal sepintas dapat dilihat dalam Pasal 6, namun secara khusus mengenai merek terkenal belum diatur di Indonesia dan menurut saya inilah letak kekurangannya, karena apa yang termasuk kategori merek terkenal di luar negeri dengan di Indonesia berbeda. 4. Dalam kasus ini masing-masing pihak menyatakan pihak lawan telah melakukan pelanggaran merek yaitu tindakan passing off dan itikad tidak baik lalu bagaimana cara untuk mengetahui bahwa merek tersebut teridentifikasi telah melakukan itikad tidak baik? Hal ini dapat diketahui melalui pemeriksaan subtantif oleh pemeriksa merek, akan terlihat apakah merek tersebut telah sesuai dengan aturan merek yang berlaku di
Indonesia. Dan tentu terdapatnya passing off maka ini juga termasuk adanya unsur itikad tidak baik dalam mengembangkan usahanya. 5. Indonesia menganut sistem civil law (Eropa Kontinental) dan hanya mengenal perbuatan curang sedangkan pada sistem common law perbuatan pemboncengan reputasi merek (passing off) dapat dikategorikan sebagai persaingan curang dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum, karena pada tatanan hukum merek di Indonesia belum memuat definisi passing off, padahal sudah jelas kebutuhan kasus merek saat ini sangat membutuhkan eksistensi ketermuatan materi tersebut, apakah bapak setuju terhadap hal tersebut? Di Indonesia mengenai passing off belum diatur namun hal tersebut dapat dinyatakan juga sebagai persaingan curang dan tidak bisa dikategorikan persaingan usaha tidak sehat karena di Indonesia telah terdapat Undang-undang Persaingan Usaha tidak sehat, maka dari itu apabila ingin memasukan ketentuan passing off dalam Undnagundang maka terlebih dahulu memperjelas secara khusus subtansi kategori suatu merek terkenal, karena passing off ialah keadaan yang berdampingan dengan merek terkenal. 6. Bagaimana pendapat ibu terhadap suatu merek jasa atau barang yang bukan termasuk merek terkenal tetap mengajukan terdapatnya tindakan passing off ? Tentu dalam konteks passing off pada merek perlu dipahami hanya berlaku untuk merek terkenal saja dan harus telah mempunyai reputasi tinggi dan pihak yang merasa dirugikan harus dapat membuktikan reputasi mereknya. 7. Apakah diperbolehkan mendaftar dengan nama badan hukum yang hampir serupa dan juga mendaftarkan pada klasifikasi kelas barang yang sama? Harus dipahami dahulu dalam merek ada yang dinamakan pengalihan hak dan perubahan nama, karena pengalihan hak ialah adanya hak yang beralih antara dua perusahaan serta berubah dan berbedanya susunan direksinya, sedangkan perubahan nama adalah suatu perusahaan berubah namanya saja dan tidak ada perubahan dengan susunan direksinya serta tidak perlu ada pengalihan. HKI hanya melihat apakah sama atau berbeda susunan direksi perusahaan tersebut serta hanya periksa dokumen subtantif dan tidak memeriksa kepentingan atau administrasi PT, karena PT menjadi kewenangan Administrasi Hukum Umum. Tidak mengapa mendaftar di klasifikasi kelas berang yang
sama namun harus berbeda jenis atau uraian barangnya akan tetapi harus diperjelas kembali maksud dari merek sejenis dan tidak sejenis. 8. Bagaimana menurut ibu tentang penerimaan pendaftaran merek serta keluarnya sertifikat merek melalui Direktorat Jenderal KI apakah hal tersebut dibenarkan? Apabila melihat dari lembar pendaftaran dan sertifikat, menurut saya Direktorat Jenderal KI tidaklah salah karena penerimaan pendaftaran merek serta keluarnya sertifikat telah sesuai dengan tetap menolak segala unsur merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya, namun fakta yang terjadi pihak Penggugat dalam kasus ini mengklaim bahwa ialah yang benar dan sah untuk merek white horse tersebut. 9. Bagaimana dengan perbedaan warna merek yang didaftarkan dengan yang diedarkan dan dideskripsikan? Menurut saya, hal tersebut harus dipertegas kembali bahwa pentingnya kesesuaian antara merek yang didaftar dengan nama yang hendak digunakan dan dicetak diproduk, maka pada saat terjun ke pasaran merek tersebut sudah mudah untuk dikenali. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 61 ayat 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek. 10. Menurut ibu, apakah kasus ini termasuk pada kategori telah jatuh masa tempo atau kadaluarsa dalam mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek dan tepat menggunakan Pasal 69 (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 (Penggugat menggugat Tergugat di tahun 2012 sedangkan batas waktu telah lewat masa)? Apabila benar kasus ini telah lewat masa tempo yang ditentukan Undang-undang pada Pasal 69 ayat 1 maka gugatan tersebut tidak dapat diajukan pembatalan merek namun dalam putusan kasasi ini pertimbangan hakim ialah merek white horse milik Penggugat termasuk merek terkenal serta merujuk Pasal 69 ayat 2 dimana merek terkenal tidak akan mengenal batas waktu untuk mengajukan gugatan karena terhadap merek terkenal mempunyai keistimewaan tersendiri 11. Bagaimana menurut ibu atas putusan dari Mahkamah Agung sudahkah terpenuhinya tujuan hukum untuk para pihak yang dirugikan? Melihat dari respon para pihak atas putusan dari Mahkamah Agung di tingkat kasasi menyimpulkan bahwa pihak Tergugat belum dapat menerima sepenuhnya atas
putusan tingkat pertama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri tersebut, sehingga merasa belum terpenuhinya tujuan hukum yang diinginkan, hal ini juga dirasakan ketika pihak Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 12. Menurut ibu mengapa dalam kasus merek tidak banyak yang menuntut pihak yang tidak beritikad baik dan merugikan dengan tuntutan pidana merek? Menurut saya, kasus merek lebih cenderung untuk menuntut hak monopolis dibandingkan menuntut kerugian melalui jalur pidana, karena apabila merasa dirugikan atas kerugian yang telah terjadi akan sulit untuk memperhitungkan tingkat kerugian, dimana harus dinilai dari beberapa sudut baik omzet, kerugian materill atau immaterial sekalipun dan akhirnya yang terjadi ialah kerugian tidak akan kembali secara keseluruhan namun setengah saja atas kerugian tersebut. 13. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia? Perlindungan hukum terhadap merek dari tindakan passing off dalam konstitusi hukum Indonesia secara khusus belum diatur di Indonesia, namun terdapat beberapa Pasal dalam Undang-undang merek yang menyiratkan maksud dari perbuatan passing off diantaranya Pasal 4, Pasal 6, Pasal 76 dan Pasal 91. Pasal-pasal tersebut termasuk mewakili untuk perlindungan hukum terhadap suatu merek dari tindakan passing off 14. Perlukah penambahan materi pada Undang-undang Merek saat ini dengan mengadopsi aturan common law yakni tindakan passing off? Menurut saya, sudah saatnya membentuk aturan khusus mengenai merek terkenal berikut juga mengenai passing off yang berlaku di Indonesia sebagaimana telah banyak merek-merek terkenal telah masuk pasar Indonesia, karena aturan merek terkenal berbeda-beda antar Negara maka dari itu perlu untuk dipertegas kembali, dan saran saya alangkah baik dan segera mungkin untuk menerapkan passing off secara menyeluruh terhadap Undang-undang yang terkait mengenai perdagangan atau bisnis, agar cakupannya tidak hanya sebatas pada Undang-undang merek saja.
STATUS (TM) Kadaluarsa JENIS MEREK Merek Dagang NOMOR PERMOHONAN D001996020561 TANGGAL PENERIMAAN 24 Sep 1996 NOMOR PENGUMUMAN TANGGAL PENGUMUMAN NOMOR PENDAFTARAN 395705 TANGGAL PENDAFTARAN 02 Oct 1997 TANGGAL KEPEMILIKAN 24 Sep 1996 TANGGAL KADALUARSA 24 Sep 2006 ( 19 ) Batu-batu alam dan buatan, kapur, spesi, kapur tembok dan batu kerikil,bahan-bahan untuk membuat jalan ialah : aspal, pek dan bitumen, rumah-rumah yang yang dapat dipindah-pindahkan.DITOLAK untuk jenis barang : Keramik-keramik; keramik lantai, keramik dinding, DESKRIPSI KELAS granitto; bahan - bahan bangunan dari kayu, semen, pipa-pipa dari beton atau dari semen. Karena mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Daftar No. 280986, 290859, 284474, 335509 untuk barang sejenis. (Pasal 6 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas UU No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek). PRIORITAS NAMA PEMILIK - PT. WHITE HORSE CERAMIC INDONESIA (ID) NAMA KONSULTAN ALAMAT KONSULTAN NAMA MEREK WHITE HORSE TRANSLASI
GAMBAR
STATUS (TM) Kadaluarsa JENIS MEREK Merek Dagang NOMOR PERMOHONAN D001997012561 TANGGAL PENERIMAAN 26 Jun 1997 NOMOR PENGUMUMAN TANGGAL PENGUMUMAN NOMOR PENDAFTARAN 422866 TANGGAL PENDAFTARAN 10 Feb 1999 TANGGAL KEPEMILIKAN 26 Jun 1997 TANGGAL KADALUARSA 26 Jun 2007 ( 19 ) Batu bata, dan batu ubin untuk panel dinding dan pelapis lantai; ubin lantai; ubin jalan bukan dari logam; lantai ubin bukan dari logam; DESKRIPSI KELAS genting bukan dari logam; ubin bukan dari logam untuk bangunan; ubin dinding bukan dari logam untuk bangunan; lapis dinding bukan dari logam untuk bangunan; lantai bukan dari logam. PRIORITAS NAMA PEMILIK - WHITE HORSE CERAMIC CO.,LTD. (TW) NAMA KONSULTAN DRA. AMALIA ROOSENO ,SH,CS ALAMAT KONSULTAN
AMROOS LAW CONSULTANTS PERMATA HIJAU RAYA B29,SENAYAN,JAKARTA 12210 (ID)
NAMA MEREK WHITE HORSE TRANSLASI
GAMBAR
Dokumentasi Gambar Melakukan Wawancara
Foto bersama Sordame Purba SH. Selaku Advokat Law Offices Otto Hasibuan & Associates, Jakarta Pusat.
Foto bersama Lili Evelina Sitorus SH., MH Pejabat Direktorat Merek, Jakarta Selatan
Foto bersama Adi Supanto SH., MH Pejabat Direktorat Merek, Jakarta Selatan.
Foto bersama Dwi Agustine Kurniasih SH., MH Pejabat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Jakarta Timur