PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: ALI ALATAS 109048000012
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436H/2015M
i
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor OlIKPPU-I12010)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh:
AliAlatas
~.
109048000012
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Zainuddin All, MA
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKUL TAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF H1DAYATULLAH JAKARTA 1436H12015M
ii
(lembmtn ioi digunalian setaJah selesai SidaDg sluipsi dilaksanakan) PENGESABAN
PANITIA UJIAN SKlUPSI
Skripsi yang berjudul "PEMBUKTIAN PERJANJIAN KAJlTEL MENURUT HUK.UM PERSAINGAN USABA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaba N«Jmor 01/KPPU-I12010)" telah diajukan dalam sidang nlunaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri .Syarif HidayatuIlah Jakarta pada tanggal 2 Juli 2015. Skrlpsi ini telah diterima sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata Satu (8-1) pada Program Srow Umu Hukum.
Jakarta, 10 Jul4 2015
Mengesabkan
Dekan,
l-~
1. Ketua
PANffiA UJIAN: : Asep SyarifuddinHidayat, 8H.~. NIP. 196911211994031001
2. 8ekretaris
: Drs, Abu 'Iamrin, 8H.~M.Hum. NIP. 196509081995031001
(.... w-...) ~
3. Pembiwbing ; Prof: H. Zainuddin Ali,MA.
I II.
W4~'t"".V;-
4. Penguji 1
: Dr. Djawahir Hejazziey, SH.,MH., MA.
S. Penguji 2
: H. MYasir, SH. MH.
I!
I
)
(
NlP.195510151979031002
iii
(.. .........) ~• 1 ~.-<-'
~
••••
,/'
( ... d.. )
l(
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan
karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
ABSTRAK ALI ALATAS. NIM 109048000012. PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xiii + 69 halaman + 3 halaman daftar pustaka + halaman lampiran. Penelitian ini melihat penggunaan teori pembuktian undang-undang negatif yang dianut di Indonesia khususnya rezim hukum persaingan usaha Indonesia sebagaimana dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga dijabarkan Perkom no 4 tahun 2010 tentang penjelasan pasal 11 tentang kartel yang mana dijalankan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam membuktikan perjanjian kartel, terutama dalam kasus kartel semen tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian ini, keputusan yang diambil oleh majelis komisi yang memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kartel. merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah.. Kata Kunci : Kartel, KPPU, Bukti Tidak Langsung, Perjanjian, Pasar Oligopoli. Pembimbing Daftar Pustaka
: Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA : Tahun 1970 s.d Tahun 2014 v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang membawa rahmat Allah SWT dan mengenalkan kita kepada jalan kebenaran, jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. 2. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum serta Drs. Abu Thamrin, SH, MH. selaku sekretaris program studi Ilmu Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini. 3. Prof. H. Zainuddin Ali, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan masukan hingga skripsi ini selesai. 4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan H M. Yasir, SH, MH yang telah bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi ini serta memberikan banyak masukan terhadap penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengetahui kesalahan dalam penulisan skripsi ini. vi
5. Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Alfitra, SH. MH. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun hal akademik lainnya. 7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 8. Sebesar-besarnya tidak pernah terlupa penulis ucapakan kepada Ayahanda Saifuddin Abubakar dan Ibunda Siti Nurhasanah, yang selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan Iman, Islam dan mengasihi keduanya. 9. Jid Habib Abdullah Alatas dan Almarhumah Jidah Hababah Khadijah Alkaff serta Almarhum Baba Sain Nahili dan Jidah Nene yang selalu memberikan doa dan kasih sayang untuk kesuksesan dan menginspirasi penulis. Semoga mereka baik yang masih hidup maupun yang tidak selalu dibawah naungan rahmat Allah SWT 10. Saudara-saudara penulis Muhammad Naquib, Ibrahim, Fikri Syarif atas segala doa dan bantuannya. 11. Ammati Wirda, ammi Nuh, ammati Mona, ammi Hanif dan ammi Abbas beserta segenap keluarga Abdullah Alatas lainnya untuk segala doa dan dukungan untuk penulis. vii
12. Keluarga Besar Sain Nahili kota bambu yang turut mendukung penulis. 13. Imam Besar FPI Al Habib Dr. Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS. Dan Al Habib Ir. Ali Zainal Abidin bin Hasan Assegaf yang telah menjadi pembina dan menasehati penulis dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. 14. Seluruh keluarga besar Front Pembela Islam dan Majelis Ta’limul Ansab untuk memberikan dukungan moril bagi penulis. 15. Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Syafiq Shalabiyah, Fachrobi, Jajang Indra Fadilah, Irvan, Anto, Jerry, Rizki, Arfandi, Arif Prasetyo, serta sahabat–sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya. Jakarta
Juni 2015
Ali Alatas
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI..........................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................
iv
ABSTRAK.......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR....................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xii
BAB I
1
Bab II
Pendahuluan………………………………………………… A. Latar Belakang……………………………………………
1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah…………….
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………...
6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……………………..
7
E. Kerangka Teori dan Konseptual………………………….
8
F. Metode Penelitian…………………………………………
14
G. Teknik Penulisan..................................................................
18
H. Sistematika Penulisan……………………………………..
18
Studi Teoritis Pembuktian Perjanjian Kartel.................……
20
A. Aspek Pembuktian.......................………………………...
20
B. Konsep Kartel dan Pelarangannya......................................
29
ix
C. Perjanjian Kartel…………………………………………..
39
BAB III
Posisi Kasus............…………………………………………….
46
BAB IV
Analisis Kasus Kartel Semen Indonesia 2010............……….
63
A. Pembuktian Perjanjian Kartel Semen di Indonesia...……...
63
B. Pertimbangan Majelis Komisi Dalam Putusannya…….......
65
C. Metode Pembuktian yang Digunakan KPPU........................
66
BAB V
PENUTUP..................................................................................
68
A.
Kesimpulan.....................................................................
68
B.
Saran...............................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... LAMPIRAN.......................................................................................................
x
70
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 10 tahun 2010 tentang Penjelasan Pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
xi
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi, industri dan perdagangan dewasa ini di Indonesia amatlah pesat. Perkembangan ini dapat dilihat munculnya beragam variasi barang dan/atau jasa yang tidak sepi dari peminatnya. Terlebih lagi, kuatnya arus industrialisasi dan perdagangan global lewat investasi multinasional, mendorong terciptanya iklim usaha di Indonesia menjadi lebih semarak. Kondisi ini tentu pada akhirnya menciptakan suatu persaingan yang ketat antar pelaku usaha. Persaingan dalam kegiatan usaha adalah suatu hal yang niscaya dan merupakan “nafas” dari kegiatan usaha itu sendiri.1 Tidak ada kegiatan usaha yang dilakukan oleh sesama manusia yang tidak memunculkan suatu persaingan karena tentunya pelaku usaha memerlukan konsumen agar usahanya dapat mendatangkan keuntungan. Pada akhirnya para pelaku usaha mencoba berbagai cara untuk menarik hati konsumen. Dalam salah satu bentuk pasar yaitu pasar oligopoli,2 disana hanya terdapat sedikit pelaku usaha dalam pasar tersebut yang mana akibat diterapkan barrier to entry atau hambatan masuk kedalam pasar tersebut. Dalam pasar jenis ini pula 1
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1. 2
Selain pasar oligopoli terdapat bentuk pasar lain seperti pasar persaingan sempurna, pasar persaingan monopolistik dan pasar monopoli, selebihnya dapat dibaca di Leonard S Silk, PrindsipPrinsip dan Masalah-Masalah Ilmu Ekonomi Modern, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1970), h. 42-43.
1
2
terdapat saling ketergantungan antara masing-masing pelaku usaha sehingga keputusan strategis suatu perusahaan tergantung dari keputusan strategis perusahaan lainnya yang terdapat dalam pasar tersebut.3Kondisi pasar inilah yang kemudian melahirkan tindakan kartel.4 Kartel sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang diterapkan antar pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksinya. Asumsinya apabila produksi mereka didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan dalam pasar tetap, akan berakibat pada naiknya harga produk ketingkat yang lebih tinggi. Namun apabila jumlah produk di pasar berlimpah maka akan berkaibat pada penurunan harga.5 Apabila terjadi persaingan yang sehat maka tentunya terjadi perlombaan antara pelaku usaha untuk memuaskan konsumen dengan menurunkan harga atau menaikan kualitas produknya. Akan tetapi untuk menghindari kerugian akibat tidak efisiennya pelaku usaha, justru pelaku usaha terkadang melakukan kerjasama untuk mengatur harga dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran untuk menaikan harga produk yang akan merugikan konsumen.
3
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta: GTZ, 2009), h. 36. 4
Ibid, h. 106.
5
Ibid, h. 106.
3
Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada struktur pasar oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai pangsa pasar.6 Pelaku usaha mencoba untuk membentuk suatu kerjasama horizontal atau biasanya berbentuk asosiasi yang sesungguhnya dapat melakukan tindakan positif seperti standarisasi kelayakan suatu produk tetapi digunakan untuk melakukan pengaturan harga yang dapat menghambat persaingan usaha.7 Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan bahwa perjanjian kartel dikategorikan termasuk sebagai perjanjian yang dilarang oleh undang-undang tersebut.8 Perjanjian disini bukan hanya mengenai perjanjian yang tertulis, tetapi juga perjanjian yang tidak tertulis.9 Pentingnya mengakui perjanjian yang tidak tertulis tersebut karena tentunya pelaku usaha tidaklah ceroboh dengan memformalkan perjanjian mereka dalam bentuk tertulis, sehingga dapat dengan mudah terbuktikan.10 Salah satu kasus kartel terakhir yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus dugaan kartel semen yang dilakukan oleh Asosiasi Semen Indonesia. Dimana saat itu terdapat fakta bahwa harga semen di 6
Ibid, h. 106.
7
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 117. 8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. 9
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , h. 86.
4
Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.11 Kondisi ini juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat itu yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.12 Sehingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga terjadi pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 5 tentang perjanjian pengaturan harga dan pasal 11 tentang kartel. Walaupun banyak pihak yang merasakan aroma praktek kartel tersebut, namun pada tanggal 18 Agustus KPPU memutuskan bahwa tindakan para pelaku usaha semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti melakukan tindakan perjanjian kartel. Oleh karenanya penulis merasa perlu menelitinya yang hasilnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul, PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010). B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.
Identifikasi Masalah
11
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-HargaSemen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013. 12
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppu-sinyalirpraktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013.
5
Dari Pemaparan diatas terdapat berbagai permasalahan yang dapat di indentifikasi, yang pada gilirannya akan diteliti sesuai batasan kemampuan penulis, masalah yang dapat di identifikasi penulis yaitu; a. Bagaimanakah menjaga persaingan agar tetap sehat? b. Bagaimakah melindungi konsumen dalam persaingan usaha yang tidak sehat? c. Bagaimanakah penegakan hukum pada hukum persaingan usaha di Indonesia? d. Apakah asosiasi pelaku usaha dapat terhindar dari perjanjian kartel? e. Bagaimanakah membuktikan telah terjadi perjanjian kartel menurut hukum persaingan usaha Indonesia? 2.
Pembatasan Masalah Berdasarkan dari apa yang telah penulis identifikasi, karena begitu luasnya
cakupan penelitian ini, maka kajian ini hanya akan dibatasi pada perihal pembuktian perjanjian kartel yang digunakan dalam membuktikan terjadinya tindakan yang dimaksud oleh pasal 11 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu mengenai kartel, yang mana juga dibatasi pada studi kasus putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 01/KPPU-I/2010. 3.
Rumusan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pembuktian perjanjian kartel menurut hukum persaingan usaha Indonesia? b. Bagaimana pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan putusannya? c. Apakah metode pembuktian yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pembuktian perjanjian kartel menurut hukum persaingan usaha Indonesia. b. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan putusannya. c. Untuk mengetahui metode pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010.
2.
Manfaat Penelitian
7
Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, penulis juga berharap ada manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, antara lain : a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin memperkaya dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum sehingga dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan dalam Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan Usaha pada khususnya b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan kepada masyarakat perihal perilaku kartel sebagai salah satu perilaku yang dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. D.
Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Setelah penulis melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Tesis berjudul Kajian Pendekatan Hukum Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha, Penulis Felix Marcel Tambunan, 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Penilitian tersebut membahas tentang pendekatan hukum kartel menurut hukum persaingan usaha dengan membandingkan antara hukum persaingan usaha Indonesia dengan hukum persaingan usaha Amerika Serikat. Bahasan tersebut juga menyentuh permasalahan penggunaan
rule of reason yang digunakan rezim hukum Indonesia dalam
8
permasalahan Kartel dengan membandingkan kepada Amerika Serikat yang menggunakan pendekatan per se illegal dalam konstruksi norma mengenai kartel. Setelah itu terdapat skripsi berjudul Pembuktian Praktik Kartel Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Kasus-Kasus Kartel Di Indonesia, Ananta Aji Guna, 2010, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penilitian ini juga membahas tentang kartel, penelitian ini lebih ditekankan kepada hukum pembuktiannya sehingga muncul istilah direct evidence dan circumstansial evidence. Perbedaan mendasar kedua studi tersebut dengan apa yang akan penulis bahas adalah karena penulis melakukan analisis terhadap suatu kasus kartel dengan menggunakan pendekatan pembuktian Kartel setelah dikeluarkannya Perkom nomor 4 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang mana kedua studi sebelumnya belum menyentuhnya. E.
Kerangka Teori dan Konseptual 1.
Kerangka Teori Beberapa teori yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah sebagai
berikut: a. Teori Ikatan dalam Hukum persaingan Usaha
9
Dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan.13Yang menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini dibagi dua, yaitu;Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum.Mengingat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan. Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum, tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga dibawah harga pasar. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus” dengan “permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami kerugian atau “tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang disebut dengan “expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan “tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement adalah jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku 13
86.
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
10
seorang atau sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain “ikut” dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.14 b. Teori Pembuktian 1) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim menjadi tidak diperlukan. 2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karen itu diperlukan keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan Logis
14
87-87.
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
11
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini,
hakim
dapat
memutusakn
seseorang
bersalah
berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. 4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini, pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalm KUHAP pasal 183 disebutkan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal 184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperloeh dari keyakinan tersebut. sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.15
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
12
2.
Kerangka Konseptual Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait
terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a.
Perjanjian Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata: “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16 b.
Kartel Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan mengenai kartel yaitu; “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.”
Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa kartel adalah suatu tindakan perjanjian antar pelaku usaha yang bertujuan „mempengaruhi harga‟ 16
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak (Jakarta; Rajawali Press, 2010), h. 2
13
dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran suatu barang dan/atau jasa sehingga „dapat berakibat‟ pada terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Menurut KPPU dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 mengenai pedoman pelaksanaan pasal 11 tentang kartel, suatu kartel dapat terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga mereka dapat menaikan harga dan memeperoleh keuntungan di atas harga yang kompetitif.17 Menurut Richard Postner sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa Kamal Rokan, kartel adalah “a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of”.18 Terdapat beberapa karakteristik dari kartel yaitu, terdapat konspirasi antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar 17
Lampiran, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 18
117.
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
14
penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap konsumen, produksi atau wilayah pemasaran. Keempat, adanya perbedaan kepentingan misalnya karena perbedaan biaya.19 F.
Metode Penelitian 1.
Tipe Penelitian Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.20 Penulis dalam melakukanproses penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.21 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran) hukum. Sementara metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis yakni mengungkapkan
19
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 107.
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42. 21
Fahmi M. Ahmadi, Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 31.
15
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian.22 2.
Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan
perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang ada pada skripsi ini tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan perundang-undangan
pasti
digunakan dalam skripsi ini. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga digunakan sebagai arahan untuk menghindari kekeliruan dalam pengambilan konklusi. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach), yang digunakan untuk memahami konsep-konsep penting yang akan dibahas dalam penelitian ini. 3.
Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang artinya
data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan lain-lain.23 Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier : a.
Bahan Hukum Primer
22
Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ke-3, h. 12.
175.
16
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan
putusan-putusan
hakim.24
Peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi25, misalnya dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
c.
Bahan Non-Hukum
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 141. 25
Ibid, h.141.
17
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.26Bahanbahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti. 4.
Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara pengolahan sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang
bersifat
umum
terhadap
permasalahan
konkret
yang
dihadapi,27sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Selanjutnya sumber data yang telah diolah lalu dianalisis dan dikaji untuk mengetahui bagaimana pendekatan Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan Perjanjian kartel.
26
27
Ibid. h. 143.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.
18
G.
Teknik Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
H.
Sistematika Penulisan Sesuai dengan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I
Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Pada bab ini merupakan tinjauan umum pembuktian, konsep kartel, Perjanjian kartel.
BAB III
Pada bab ini membahas mengenai tentang posisi kasus kartel semen tahun 2010.
BAB IV
Pada bab ini
merupakan analisis
terhadap
Penerapan
pembuktian perjanjian sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha mengenai Kartel.
19
BAB V
Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dan beberapa saran-saran yang coba diajukan penulis.
BAB II STUDI TEORITIS PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL
A.
Aspek Pembuktian 1.
Definisi Pembuktian Kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang apabila diterjemahkan
kedalam bahasa inggris terdapat dua kata yaitu evidence dan proof. Evidence memiliki makna informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar. Sedangkan kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas mengacu pada proses itu sendiri.1 Karenanya evidence lebih dekat maknanya kepada alat bukti sedangkan proof dapat diartikan pembuktian yang mengarah pada suatu proses.2 Oleh sebab itu, bukti merujuk pada suatu alat-alat bukti yang mana termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Sementara pembuktian merujuk pada suatu proses mengenai pengumpulan bukti, memperlihatkan bukti sampai dengan penyampaian bukti tersebut kepada pengadilan.3
1
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta;Penerbit Erlangga, 2012), h. 2. Ibid, h. 2-3 3 Ibid, h. 4 2
20
21
2.
Teori Pembuktian Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukanlah merupakan lembaga
peradilan, tetapi dalam Undang-undang diberi kewenangan untuk memutus perkara (quasi Yudisial) dalam kasus Persaingan Usaha, karenanya dalam membahas tentang pembuktian suatu perkara perlu juga kiranya dipahami tentang teori-teori pembuktian dalam menilai alat-alat bukti yang ada, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: a.
Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang
disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim menjadi tidak diperlukan. b.
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-
undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
22
c.
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan Logis Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. d.
Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,
pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalam KUHAP pasal 183 disebutkan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal
23
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari keyakinan tersebut. sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.4 Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang dipakai seperti yang telah dijelaskan di atas. Jika diamati secara seksama karakter yang ada dalam proses pembuktian di KPPU masuk pada kategori yang terakhir yaitu teori pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.5 3.
Alat Bukti Alat Bukti (bewijsmiddel) yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam KUHAP.6 Alat-alat bukti yang digunakan dalam persaingan usaha sebagaimana dijelaskan oleh pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu; a.
Keterangan saksi
b.
Keterangan ahli
c.
Surat dan atau dokumen
d.
Petunjuk
e.
Keterangan Pelaku usaha.
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
5
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011, h. 131. 6
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h. 37.
24
Alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara persaingan ini dapat dijabarkan sebagai berikut; a.
Keterangan saksi Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya
pelanggaran terhadap Undang-undangnomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.7 b.
Keterangan/pendapat ahli Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan
dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan memberikan keterangan pendapat guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan.8 Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaaan perkara yang rumit. Saksi ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU.9 c.
Surat dan/atau dokumen Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam pemeriksaan suatu perkara
menggunakan
7
juga
surat/dokumen
yang
dianggap
relevan
Ibid, h. 161. Ibid, h. 161. 9 Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 131. 8
terhadap
25
perkaranya, mulai dari surat yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan RI, kemudian bukti tertulis lainnya seperti berita acara kesepakatan, memorandum of understanding, dan perjanjian tertulis lain yang berhubungan dengan penetapan harga.10 Suatu petunjuk yang didapat dalam bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan pembuktian surat atau dokumen.11 d.
Petunjuk Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah: “Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak dan siapa pelakunya.”
Dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, alat bukti petunjuk merupakan indirect evidence yang dapat diterima, akan tetapi penggunaan bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, harus dilihat kasus per kasus.12 e.
Keterangan Pelaku Usaha Keterangan pelaku usaha ini termasuk keterangan pelapor dan terlapor.
Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada KPPU mengenai terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UndangUndang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan 10
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, (Malang; Setara Press, 2013), h. 92. 11
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 132.
12
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, h. 164.
26
Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak. Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an yang kuat dan dapat diterima Majelis Komisi.13 Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh KPPU dalam Perkom Nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain: 1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran. 2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau per semester). 3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan). 4. Data kapasitas produksi. 5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang saling berkoordinasi.
13
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, h. 161.
27
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang berlebih/excessive profit. 7. Hasil analisis data concious parallelism terhadap koordinasi harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran. 8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir. 9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya. 10. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel. 11. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel. 12. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel. 13. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada perkom.14 4.
Bukti Langsung dan Tidak Langsung 14
Dalam perkom dijelaskan mengenai indikator-indikator ekonomi yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan dugaan awal telah terjadinya perilaku kartel, lebih lanjut dapat dibaca di Perkom
28
Dalam hukum persaingan usaha khusunya mengenai kartel biasanya digunakan dua Metode pembuktian, yaitu pembuktian lewat direct evidence atau bukti tidak langsung dan pembuktian lewat circumstancial evidence atau bukti situasional atau lebih dikenal indirect evidence atau bukti tidak langsung.15 Pembuktian langsung adalah pembuktian yang diarahkan pada eksistensi penjanjian dengan membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan dari suatu tindakan kartel. Sedangkan pembuktian berdasarkan keadaan atau pembuktian tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah terjadi koordinasi di antara mereka.16 Terdapat dua macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau fasilitasi lebih penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah bukti dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan substansi komunikasi tersebut.17 Di negara lain, misal Australia, untuk membuktikan eksistensi kesepakatan (meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa 15
A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9.
16
Ibid, h. 9.
17
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 141.
29
dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya.18 Namun bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing secara ketat (highly competitive).19 Karenanya, di Indonesia sendiri masih terdapat pro kontra dalam menggunakan bukti tidak langsung. Mengingat dalam sistem hukum beracara baik dalam HIR-RBG atau dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dikenal dalam alat bukti yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun bukti ekonomi.20 Penegakan hukum persaingan selalu berusaha mendapatkan bukti langsung berupa perjanjian dalam kasus kartel, dimana dalam kenyataannya sangat sulit didapatkan sebagaimana yang sudah diuraikan di bagian terdahulu. Sehingga bukti tidak langsung menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian kartel.21 B.
Konsep Kartel Dan Pelarangannya 1.
Definisi Kartel
18
Ibid, h. 132.
19
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), h. 43. 20
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 142.
21
Ibid, h. 140.
30
Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun disisi lain juga diartikan secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan
yang
seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk ”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.22 Dalam Black’s Law Dictionary, Kartel adalah: “an association of two or more legally independent entities that explicitly agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing their collective profits”23 Yang diterjemahkan “suatu perkumpulan dari dua atau lebih subjek hukum yang secara jelas setuju untuk mengatur harga atau jumlah produksinya dengan maksud untuk meningkatkan keuntungan mereka bersama” Menurut Sukarmi kartel merupakan “kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar.”24 Menurut Didik J. Rachbini, Jika para yang bersaing ternyata melakukan koordinasi bersama untuk mengontrol pasar, maka usaha ini disebut sebagai praktek
22
Anna maria Tri Anggraini, ”Penggunaan Analisis Ekonomi Dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”,Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha edisi 4 (Desember 2010), h. 31. 23
24
Ganner B.A, Black’s Law Dictionar, (St Paul Minn: West Group, 1999), h. 206.
Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, JurnalPersaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha edisi 6 KPPU (Desember 2011), h. 133.
31
kartel, yang sangat merugikan masyarakat. Koordinasi ini biasa diwujudkan dalam berbagai cara, yaitu perjanjian pengendalian harga, jumlah yang diproduksi, dan wilayah pemasaran. Praktek ini merupakan usaha pelaku-pelaku ekonomi untuk mengendalikan pasar secara horizontal (horizontal restraint).25 Richard Postner sebagaimana yang dikutip Mustafa Kamal Rokan, kartel adalah: “a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of.”26 Artinya: (Sebuah perjanjian diantara pelaku usaha untuk mengatur harga dari produk yang mereka jual (atau setidaknya membatasi pengeluaran produknya) selayaknya sebuah perjanjian yang lain dimana para pihak tidak akan setuju kecuali hal tersebut akan menguntungkannya; pen)
Menurut KPPU suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga mereka dapat menaikan harga dan memperoleh keuntungan diatas harga yang kompetitif.27
25
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna, (Jakarta: Granit, 2004), h. 124. 26
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, (Jakarta: RajawaliPers, 2012), h. 117. 27 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
32
Kartel merupakan salah satu strategi yang digunakan para pelaku usaha untuk mempengaruhi harga suatu komoditas tertentu dengan cara mengatur jumlah produksinya. Asumsinya, jika mereka mengurangi jumlah produksinya sedangkan permintaan pasar tetap maka akan berakibat pada naiknya harga ketingkat yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya, apabila jumlah produknya berlimpah dipasar maka harga akan turun.28 Agar harga pasaran produksinya tidak terlalu jatuh dan tetap dapat bisa memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha biasanya membuat suatu perjanjian diantaranya untuk mengatur mengenai jumlah produksi yang ada di pasar sehingga harga dapat dijaga untuk tidak terlalu murah.29 Biasanya perjanjian kartel tesebut dipraktikan dalam asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi dagang tersebut para pelaku usaha anggotanya akan mudah untuk menyusun standarisasi dan juga sekaligus melakukan pengaturan harga yang dapat menghambat persaingan usaha sehat.30 Kartel memiliki beberapa karakteristik yaitu, pertama, terdapat konspirasi antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap konsumen, produksi atau wilayah
28
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: AntaraTeksdanKonteks, (Jakarta: GTZ, 2009), h. 106.
117.
29
Ibid, h.107.
30
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
33
pemasaran. Keempat, adanya perbedaan kepentingan misalnya karena perbedaan biaya.31 Karena kartel biasanya berujung pada penetapan harga, struktur pasar dapat juga mempengaruhi terjadinya penetapan harga harga tersebut. Herbert Hoverkamp menjelaskan mengenai karakteristik pasar dan faktor-faktor yang mendukung terjadinya price fixing, yaitu: a. Market concentration Tingkat konsentrasi pasar dimana hanya terdapat sejumlah kecil perusahaan sejenis dan kesamaan kondisi dari masing-masing pelaku usaha, akan memperbesar kemungkinan terjadinya price fixing b. Barrier to entry Hambatan masuk yang besar menyebabkan sulitnya pesaing untuk masuk sehingga barang subtitusi tidak tersedia di pasar. Dalam kondisi ini, pemain lama dalam di pasar bersangkutan (incumbent) berkemungkinan besar melakukan kolusi dengan perusahaan lain untuk menetapkan harga c. Sales method Metode
penjualan
melalui
proses
pelelangan,
memperbesar
kemungkinan untuk timbulnya price fixing dikalangan pelaku usaha d. Product Homogenity
31
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , h. 107.
34
Homogenitas produk atau kesamaan produk yang tersedia dipasar akan memudahkan pelaku usaha untuk melakukan price fixing. e. Facilitation device Sarana yang dapat memfasilitasi terjadinya price fixing seperti standarisasi produk, integrasi vertical, pengaturan harga penjualan oleh para pengecer dan pengumuman harga (secara eksplisit atau implisit) serta pengiriman harga pola dasar. Selain itu, sarana dalam asosiasi dagang yang menaungi kepentingan pelaku usaha juga dapat dijadikan fasilitas bagi pelaku usaha untuk melakukan perjanjian penetapan harga.32 Kesuksesan dari kartel tergantung pada jenis industri, caranya beroperasi dimana faktor utama penentunya tergantung pada kerjasama diantara pesaing itu sendiri. Semakin banyak jumlah pelaku usaha pesaing yang ikut dalam kerjasama kartel itu, maka control atau pengawasan yang dilakukan akan semakin sulit.33 2.
Akibat Kartel Kartel dapat memberikan kerugian bagi perekonomian suatu negara sebagai
contoh misalnya dapat mengakibatkan terjadinya inefisinsi alokasi, inefisiensi produksi, menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru, menghambat masuknya 32
A.M. Tri Anggraini, Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,editor Ridwan Khairandy, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), h, 262-264. 33 Marshall Sumantri, Dugaan Praktek Kartel yang dilakukan penyedia jasa telepon selular dalam penetapan tariff SMS (Short Message Service) ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), h. 32.
35
investor baru, serta menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat.34 Kerugian atas kartel juga dapat dirasakan konsumen, karena konsumen harus membayar harga atas barang dan atau jasa lebih mahal dari pada harga pasar. Disamping itu juga terbatasnya barang dan atau jasa yang diproduksi, baik dari sisi jumlah maupun mutunya, dan yang terakhir adalah terbatasnya pilihan Pelaku Usaha.35 Akibat lain yang ditimbulkan kartel adalah terciptanya praktek monopoli oleh pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro mengakibatkan inefisiensi pengalokasian sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss. Dari sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas barang yang bersaing dan layanan purna jual yang baik.36 3.
Pelarangan Kartel Usaha melarang tindakan dari kartel ini mulai dikenal lewat Section 1
Sherman Act yang berbunyi; Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restrain of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony. 34
35
Jurnal edisi 4 2010, h. 41.
Ibid, h. 41. Didik J. Rachbini, Cartel and Merger In Control In Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis,(volume 19 mei-juni 2002), h. 11-12 /4.Khemani R Shyam. 36
36
(setiap perjanjian, persekutuan dalam bentuk trust atau yang lainnya, atau konspirasi dalam penguasaan perdagangan diantara beberapa pihak, dengan negaranegara lain, dengan ini dinyatakan illegal. Setiap orang yang melakukan perjanjian atau kombinasi atau konspirasi yang telah dinyatakan illegal dianggap bersalah atas kejahatan serius; Pen) Di Amerika Serikat kartel, sebagaimana price fixing, dianggap sebagai naked restraint (penguasaan pasar secara nyata/terang-terangan;pen) yang bertujuan tunggal untuk mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu wajar Sherman Act memperlakukan kartel sebagai Per Se illegal, demikian juga dengan Australia dan Uni Eropa. Alasannya menurut mereka, kartel tidak menghasilkan efisiensi sama sekali atau efesiensi yang didapat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.37 Sedang Indonesia sejak tahun 1999 menerapkan melakukan pelarangan terhadap kartel sebagaimana dalampasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan mengenai kartel yaitu; “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.38 37
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 56. 38
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
37
Dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa pelarangan kartel di Indonesia sedikit berbeda dengan yang dilakukan dengan sebagaimana yang dianut oleh sebagian negara-negara Barat, Indonesia merumuskan pelarangan kartel dengan rumusan rule of reason yang mana dalam membuktikan kartel yang dilarang, harus diperiksa alasan-alasan para pelaku usaha apakah kartel yang dilakukan mereka dapat diterima (reasonable restraint) atau tidak.39 Dalam Islam pada prinsipnya apabila kita melakukan mu’amalah selain objek mu’amalah yaitu barang dan/atau jasa yang harus diperhatikan kehalalannya, aspek mengenai metode ber-mu’amalah juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Ini didasari oleh ayat- ayat Al Qur‟an sebagai berikut; ١٨٨ ٌَٱۡل ۡث ِى َوأََت ُ ۡى ت َعۡ هَ ًُى ِ ََُّو ََل ت َۡأ ُكهُ ٓىاْ أَيۡ َٰ َىنَ ُكى َب ۡيَُ ُكى ِب ۡٱن َٰ َب ِط ِم َوت ُ ۡدنُىاْ ِب َها ٓ ِإنَى ۡٱن ُح َّك ِاو ِنت َۡأ ُكهُىاْ فَ ِز ٗيقا ِّي ٍۡ أَ ۡي َٰ َى ِل ٱن ِ ۡ اس ِب “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui40” Selain ayat di atas Allah SWT juga berfirman; ٓ َّ َِٰ ٓيَأَيُّ َهاٱنَّذِيٍَ َءا َيُُىاْ ََل ت َۡأ ُكهُ ٓىاْ أَيۡ َٰ َىنَ ُكى بَ ۡيَُ ُكى بِ ۡٱن َٰبَ ِط ِم إ َّ ٌَّ ِس ُك ۡۚۡى إ ٌَٱَّللَ َكا َ ُاض ِ ّيُ ُك ۡۚۡى َو ََل ت َۡقتُهُ ٓىاْ أََف ٖ َل أٌَ ت َ ُكىٌَ تِ َٰ َج َزة ً َعٍ ت ََز ٢٩ ِب ُك ۡى َر ِح ٗيًا “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
39
Pedoman pasal 11, h. 24
40
Q.S. Al Baqarah, 188.
38
sama-suka di antara kamu. Danjanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu41” Makna dari lafazh بِ ۡٱن َٰبَ ِط ِمmengisyaratkan kepada kita bahwa penguasaan atau perpindahan kekayaan tidak boleh dilakukan “…Secara zalim melalui dominasi, pencurian, kecurangan, riba, penimbunan, judi, suap, tindak perugian, penipuan, pencurangan, segala cara lain yang mengandung kezaliman atau penipuan, jual beli sesuatu yang tidak diperbolehkan, atau sewa-menyewa sesuatu yang tidak diperbolehkan.”42 Kartel juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terlarang atau haram dilakukan, ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi; عٍ يعًز بٍ عبد هللا رضي هللا عُه عٍ رسىل هللا صهي هللا عهيه وسهى قال َليحتكز 43 اَلخاطئ “Dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun (Ihtikar) kecuali dia berdosa”. Ihtikar seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan/atau penimbunan, padahal sesungguhnya ihtikar tidak identik dengan itu. Dalam Islam seseorang boleh saja menjadi penjual satu-satunya dipasar demikian pula memiliki stock barang untuk keperluan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikti barang untuk harga yang
41
Q.S. An Nisa, 29.
42
Yusuf Al Qardhawi, Yusuf Al-Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, Penerjemah Ferdian Hasmand, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014).h. 85 43
Shahih Muslim Hadits Nomor 1605.
39 lebih tinggi.44 Di zaman Rasullulah SAW, salah satu cara melakukan ihtikar adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut.45 Pendapat ini diperkuat lewat hadits Rasulullah SAW yang berbunyi; 46
يٍ احتكز حكزة يزيد أٌ يغاني بها عهى انًسهًيٍ فهى خاطئ
Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa
Perilaku ihtikar yang dilakukan secara berkelompok itulah yang memiliki kesamaan dengan perilaku kartel, yang mana keduanya memiliki kesamaan tujuan yaitu “bermaksud mempengaruhi harga” di pasar agar lebih tinggi dari harga semestinya. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam juga mengharamkan praktek kartel. C.
Perjanjian Kartel Kartel pada dasarnya merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antara keduanya.47 Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tindakan kartel dikategorikan sebagai suatu perjanjian yang dilarang. Maka dari itu, pemahaman tentang konsep perjanjian sangatlah penting 44
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 185. 45
Ibid, h. 174.
46
Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.
47
Farid Nasution dan RetnoWiranti, Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi ( Jakarta, 2008), h. 4.
40
Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijkwetboek atau Kitab UndangUndang Hukum Perdata “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.48 Suatu perjanjian atau kontrak terlahir pada saat terjalinnya kesepakatan. Oleh karena itu, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan.49 Oleh sebab itu consensus atau kesepakatan menjadi dasar yang sangat penting bagi suatu perjanjian. Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa; “Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Walaupun secara sepintas definisi perjanjian dalam pasal 1313 BW dengan definisi perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlihat sama namun sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya. 48
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
49
Ibid, h. 3.
2.
41
Menurut Kamal Rokan, perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya atau lebih pelaku usaha dalam konteks strategi pasar. Oleh karenanya, esensi dari perjanjian dalam persaingan usaha yaitu kesepakatan antara para pelaku usaha, yang seharusnya bersaing, tentang tingkah laku pasar mereka baik keseluruhannya maupun sebagian dari keseluruhan tingkah laku pasar.50 Sehingga persaingan diantara pelaku usaha, pada akhirnya, menghilang. Kartel merupakan akibat dari struktur pasar yang oligopolis.51Oleh karena itu, “Perjanjian” pada pasar oligopoli lebih mengarah pada perjanjian yang bersifat horizontal. Pada struktur pasar ini pun biasanya tidak terjadi perjanjian yang bersifat tertulis atau lisan antar pelaku usaha, namun biasanya di tentukan oleh “saling keterkaitan reaksi tanpa perjanjian” dan perilaku yang saling disesuaikan.52 Perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling” ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga tak jarang perjanjian dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan perjanjian dalam pengertian KUHperdata dengan perjanjian dalam hukum anti monopoli.53
50
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
86. 51
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta; GTZ, 2009), h. 106. 52 Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h. 89. 53
Ibid, h. 86.
42
Karenanya, dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999, salah satu syarat terjadinya kartel adalah terjadinya perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha, yang mana terdapat dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan kolusi diam-diam.54 Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya. 55 Sedangkan kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuanpertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.56
54
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h. 4.
55
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h.8.
56
Ibid, h. 8-9.
43
Hal terpenting dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan.57Yang menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini dibagi dua, yaitu; Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Mengingat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan. Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum, tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga dibawah harga pasar. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus” dengan “permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami kerugian atau “tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan melihat pasar sehingga dalam
perjanjian
hukum
persaingan
usaha
ada
yang
disebut
dengan
“expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan “tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement adalah jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku seorang atau sekelompok pelaku usaha
57
86.
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
44 membuat pelaku usaha lain “ikut” dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.58 Tacit agreement sebagaimana yang dimaksud diatas dapat juga dikatakan sebagai Implicit Collusion yang dijelaskan David C. Colanderyaitu, “Multiple firms make the same pricing decisions even though they have not explicitly consulted with one another. They “just happen” to come to collective decision.59.” (Para pelaku usaha menyamakan kebijakan harganya walaupun mereka tidak pernah secara eksplisit membicarakannya satu sama lain. Para pelaku usaha ini “hanya kebetulan” memiliki kesamaan kebijakan harga) Kata “just happen” (kebetulan) yang disebut oleh Colander tadi menyiratkan bahwa sesungguhnya para pelaku usaha (multiple firms) tadi melakukan berbagai cara tentang bagaimana menentukan harga pasar suatu komoditi agar seolah-olah terbentuk secara alamiah dan bukan merupakan hasil dari kesepakatan antar pelaku usaha. Lebih lanjut, Colander mengatakan, “Oligopolies often operate close to the fine edge of the law as they can. For example, many oligopolistic industries allow a price leader to set the price, and the the others will follow suit. The airline and steel
58
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
59
David C. Colander, Micro Economics, Sixth Edition, (New York;Mcgraw-Hill/Irwin, 2006)
87-87.
h. 307.
45
industries take that route. Firms just happen to charge the same price or very close to the same price.”60 (Para pelaku oligopoli (termasuk kartel) seringkali sebisa mungkin mencari celah hukum. Sebagai contoh, banyak suatu bidang industri yang telah terjadi oligopoli, pemimpin di Industri tersebut menetapkan harga dan yang lainnya hanya tinggal mengikuti. Industri pesawat terbang dan industri baja sebagai contohnya. Di sana para pelaku usaha hanya kebetulan menetapkan harga yang sama atau mendekatinya.)
60
Ibid, h. 307.
BAB III POSISI KASUS
Pada tahun 2010, terdapat kasus kartel yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha yaitu tentang kasus dugaan kartel semen yang dilakukan oleh Asosiasi Semen Indonesia. Dimana saat itu terdapat fakta bahwa harga semen di Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.1 Menurunnya harga salah satu komponen penting dalam proses produksi semen ini seharusnya diiringi juga dengan menurunnya harga jual semen. Akan tetapi, kenyataan sebaliknya disaat harga bahan bakarnya cenderung turun harga semen mengalami kenaikan harga, padahal sesungguhnya komponen bahan bakar memiliki pengaruh 30% sampai 40% terhadap kecenderungan harga semen.2 KPPU menduga, harga semen memiliki kecenderungan lebih mahal apabila dibandingkan dengan negara produsen lain semisal negara-negara yang tergabung di ASEAN. Harga semen Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya, 30 hingga 40 persen lebih mahal.3
1
t.t., KPPU Duga Ada Kartel Harga semen: http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-Harga-SemenIndonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013 2
Nurseffi Dwi Wahyuni, KPPU: 8 Perusahaan Semen Diduga Lakukan Kartel,http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaan-semendiduga-lakukan-kartel, diakses pada tanggal 1 Juni 2014
46
47
Berdasarkan data harga semen internasional pada tahun 2007, KPPU membandingkan harga semen Indonesia yang senilai USD 83,8 per ton dengan negara lain seperti Malaysia (USD 62,6/ton), Filipina (USD 84,5/ton), Vietnam (USD 57,75/ton), dan Thailand (USD 67,87/ton). Harga semen Filipina, lebih tinggi dibandingkan Indonesia.Sebab, Filipina sebagian besar impor semen dari Indonesia.4 Dugaan ini semakin diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat itu yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.5Dalam Industri semen di Indonesia hanya terdapat delapan perusahaan semen yang seluruhnya tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia disingkat ASI. Para perusahaan ini yang kemudian menjadi terlapor pada kasus semen ini antara lain; 1.
Terlapor I, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk, berkedudukan di Wisma Indocement, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 70 – 71 Jakarta 12910, Indonesia.
2.
Terlapor II, PT Holcim Indonesia, Tbk, berkedudukan di Menara Jamsostek, North Building 15thfloor, Jalan Gatot Soebroto, No. 38 Jakarta, Indonesia.
3
t.t. Semen Mahal, Indikasi Kartel Menguat, http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Semen-Mahal,-Indikasi-KartelMenguat;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296281b4360d204dc7d8b0fb1ddb1070d89a, diakses pada tanggal 1 Juni 2014 4
5
Ibid
t.t., KPPU Sinyalir Praktek Kartel Industri Semen http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppu-sinyalirpraktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013
48
3.
Terlapor III, PT Semen Baturaja (Persero), berkedudukan di Jalan Abikusno Cokrosuyoso Kertapati, PO BOX 1175 Palembang 30001,Sumatera Selatan, Indonesia;
4.
Terlapor IV, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, berkedudukan di Gedung Utama Semen Gresik, Jalan Veteran Gresik Jawa Timur 61122, Indonesia;
5.
Terlapor V, PT Semen Andalas Indonesia, berkedudukan di Jalan Imam Bonjol No. 42A, Medan Sumatera Utara, Indonesia;
6.
Terlapor VI, PT Semen Tonasa, berkedudukan di Biringere-Pangkep Sulawesi Selatan 90651, Indonesia;
7.
Terlapor VII, Semen Padang,
berkedudukan di Indarung Padang,
Sumatera Barat 25237, Indonesia; 8.
Terlapor VIII, PT Semen Bosowa Maros, berkedudukan di Menara Bosowa, Lantai 19 Jl. Jenderal Sudirman No. 5 Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.6
Menurut KPPU, para terlapor tersebut diduga melakukan Pelanggaran terhadapPasal 5 dan Pasal 11 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.7
6
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010, hal. 1
7
Ibid hal. 3.
49
Terdapat fakta bahwa terjadi kenaikan permintaan sejak tahun 2004 sampai dengan 2009 yang mana dapat dilihat dari tabel tentang konsumsi semen nasional8 sebagai berikut; Tabel Konsumsi Nasional Semen 2004-2009 Tahun (ton) No Daerah
2004
2005
2006
2007
2008
2009
417,427
461,528
916,680
1,027,009
1,057,192
958,480
1,687,724
1,783,554
1,678,390
1,936,536
2,181,697
2,317,067
557,937
560,062
500,733
564,859
800,607
704,837
907,618
786,319
827,793
978,980
899,721
875,694
587,210
628,411
631,872
680,048
756,390
700,649
265,658
257,680
345,553
401,011
369,632
383,006
715,909
781,412
820,949
965,511
1,110,342
1,159,505
169,441
203,937
229,349
222,061
263,037
262,784
261,728
282,144
333,494
370,842
428,027
490,488
D.I. 1 Aceh Sumater 2 a Utara Sumater 3 a Barat 4
Riau Kepulau
5 an Riau 6
Jambi Sumater
7 a Selatan Bangka8 Belitung Bengkul 9 u
8
Putusan h. 5-6
50
Lampun 10
722,960
751,603
739,983
895,976
1,069,110
1,020,247
6,293,612
6,496,650
7,024,796
8,042,833
8,935,755
8,872,757
3,541,244
3,666,752
3,294,108
3,392,884
3,627,377
3,528,612
1,768,083
2,107,707
1,877,605
1,977,810
2,044,455
1,837,419
4,965,482
5,201,285
5,022,596
4,792,657
5,338,018
5,479,321
3,532,053
3,528,946
3,575,353
3,795,264
4,353,100
4,485,997
589,700
600,018
805,174
985,261
719,922
600,840
4,386,958
4,511,634
4,696,457
4,712,761
5,163,773
5,193,776
Total
18,783,52
19,616,34
19,271,29
19,656,63
21,246,64
21,125,96
Jawa
1
2
3
7
5
5
343,293
366,151
390,165
446,396
560,711
553,584
296,803
376,307
384,882
466,858
594,760
631,077
122,976
149,260
181,413
258,434
358,835
326,516
g Total Sumater a DKI 11 Jakarta 12
Banten Jawa
13 Barat Jawa 14 Tengah D.I. 15
Yogyaka rta Jawa
16 Timur
Kaliman 17 tan Barat Kaliman 18
tan Selatan
19
Kaliman
51
tan Tengah Kaliman 20
tan
694,792
679,637
697,744
804,866
924,216
924,764
1,457,864
1,571,355
1,654,204
1,976,554
2,438,522
2,435,941
196,328
174,392
215,178
231,425
258,290
297,061
843,683
894,060
963,708
1,006,614
1,374,347
1,668,974
Timur Total Kalima ntan Sulawesi 21
Tenggar a Sulawesi
22 Selatan Sulawesi 23
37,593 Barat Sulawesi
24
263,269
254,628
274,600
333,752
363,687
396,126
378,027
343,923
389,192
401,885
473,932
472,293
73,670
71,250
85,200
98,960
130,437
130,669
1,754,977
1,738,253
1,927,878
2,072,636
2,600,693
3,002,716
716,888
788,887
763,183
851,341
1,082,190
1,105,213
Tengah Sulawesi 25 Utara Gorontal 26 o Total Sulawes i 27
Bali
52
Nusa 28
Tenggar
381,035
364,592
424,488
491,580
570,657
647,218
346,577
306,732
311,726
309,612
369,715
424,104
1,444,500
1,460,211
1,499,397
1,652,533
2,022,562
2,176,535
211,928
250,964
309,721
345,096
395,530
329,767
a Barat Nusa 29
Tenggar a Timur TotalNu sa Tenggar a
30
Maluku Maluku
31
42,240 Utara Papua
32
11,521 Barat
33
Papua
262,076
299,190
287,976
402,128
453,033
418,783
474,004
550,154
597,697
747,224
848,563
802,311
30,208,47
31,432,96
31,975,26
34,148,41
38,092,74
38,416,22
8
5
5
7
0
5
Total Indonesi a Timur Total Indonesi a
Data konsumsi semen nasional dari 2004 sampai dengan 2009 diatas memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan permintaan dari tahun ke tahun atas produk
53
semen. Terdapat indikasi terjadinya kenaikan harga sebagaimana yang dijelaskan Direktur Komunikasi KPPU Ahmad Junaidi saat itu yang mengatakan bahwa ketika demand mengalami kenaikan dan supply stabil maka akan terjadi kenaikan harga.9 Maksudnya apabila jumlah supply tidak berubah baik sengaja maupun tidak, disaat demand mengalami kenaikan maka yang akan terjadi adalah kenaikan harga, Lebih lanjut, dugaan telah terjadi kartel diperkuat lewat pertemuan-pertemuan intens para perusahaan semen yang diwadahi oleh Asosiasi Semen Indonesia (Selanjutnya disebut ASI).10 ASI yang didirikan pada tanggal 7 Oktober 1960 dan berkedudukan di Jakarta, merupakan forum yang mewadahi perusahaan produsen semen dalam hal komunikasi, konsultasi, kerjasama dan koordinasi antara sesama produsen semen di Indonesia. Nantinya ASI juga bertindak sebagai jembatan dan saluran komunikasi, konsultasi dan informasi dengan pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait baik ditingkat nasional, regional dan internasional.Oleh karena itu, anggota ASI wajib untuk memberikan saran, data dan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk tercapai tujuan dan usaha ASI. Dalam struktur keorganisasian ASI terdapat lembaga yang disebut dengan presidium. Presidium ini merupakan perangkat organisasi ASI yang bertindak sebagai lembaga perwakilan anggota dan merupakan lembaga kekuasaan tertinggi 9
Nurseffi Dwi Wahyuni, KPPU: 8 Perusahaan Semen Diduga Lakukan Kartel, DetikFinance, http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaansemen-diduga-lakukan-kartel. 10
Putusan, hal. 51.
54 ASI.11Singkatnya sebagai organisasi, lembaga presidium tersebut merupakan bagian terpenting dalam keorganisasian ASI. Dalam rapat Presidium ASI pernah dilakukan pembahasan tentang: a.
ASI bukan merupakan partner pemerintah, namun ASI harus melakukan lobby mengatur pemerintah dan menjadi badan yang diperhitungkan pemerintah.
b.
perlu mengecek kebenaran bahwa mengumpulkan data-data tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah.
c.
perlu mengecek apakah menjaga gejolak harga semen tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah.
d.
mengganti istilah rapat informasi.
e.
ASI supaya melakukan lobby ke pemerintah c.q. Direktrorat Jenderal Agro dan Kimia untuk usulan pengenaan bea masuk import semen sebesar 10% (sepuluh persen) dan clinker sebesar 15% (lima belas persen).
ASI juga mengumpulkan data-data yang terkait dengan produksi dan pemasaran dikarenakan adanya surat dari Kementerian Perindustrian yang memohon bantuan kepada ASI untuk secara rutin setiap bulan melaporkan perkembangan produksi, pemasaran dan stok semen per produsen. menurut pemerintah, peran ASI dalam penyelenggaraan rapat-rapat teknis dan ekonomi bisnis adalah sebagai
11
Putusan, hal. 51.
55
pelaksanaan dari Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dimana ayat 1 berbunyi; “sesuai dengan izin usaha industri yang diperolehnyaberdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan informal industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada pemerintah.”
Karenanya, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) yang disimpulkan oleh Majelis Komisi, yakni;12 a.
Bahwa dalam setiap pasar bersangkutan diduga terjadi upaya memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain yang memiliki biaya produksi per ton relatif tinggi untuk dapat memasarkan di produknya di wilayah propinsi lainnya dengan menjaga harga dalam level yang cukup tinggi;
b.
Bahwa dalam setiap pasar bersangkutan, beberapa pelaku usaha memiliki pasokan yang cukup dan biaya per ton yang cukup rendah dibandingkan dengan pesaingnya, namun terdapat kecenderungan pergerakan harga yang sama yang diduga untuk mempertahankan pangsa pasar;
c.
Bahwa berdasarkan analisa tentang tingkat keuntungan untuk masingmasing Terlapor dan dengan dikaitkan dengan tujuan dari kartel adalah memaksimalkan
keuntungan,
maka
dengan
memperhatikan
perbandingan biaya per ton, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 12
Putusan, h. 380-381
56
2009 diduga terjadi upaya untuk mengatur harga pada level yang cukup tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan; d.
Bahwa dugaan terjadinya kartel dan penetapan harga adalah dengan mempertimbangkan adanya rapat-rapat di Asosiasi Semen Indonesia (selanjutnya disebut ASI) yang menyajikan laporan realisasi produksi dan pemasaran dari masing-masing Terlapor serta adanya presentasi dari pemerintah terkait dengan harga dimasing-masing wilayah Ibukota Propinsi. Hal ini diduga merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan dan menentukan harga;
e.
Bahwa berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan terjadi pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 5Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh: Terlapor I (ITP), Terlapor II (HI),Terlapor III (SB), Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge), Terlapor VI (ST), Terlapor VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM);
Majelis Komisi berpendapat indikasi ada tidaknya kartel dan penetapan harga sekurang-kurangnya harus memenuhi kriteria: (1) Harga yang paralel dan eksesif, (2) Pengaturan produksi dan pemasaran, (3) Keuntungan yang eksesif. Berikut hasil analisis yang dilakukan oleh Majelis Komisi;
a.
Harga Paralel
57
Dalam menentukan Harga Paralel (Price Parallelism), Majelis Komisi menemukan terdapat 14 (empat belas) provinsi yang terjadi harga parallel. Terdapat 3 Terlapor yang paling sering terlibat dalam tindakan harga paralel yaitu Terlapor I di 14 propinsi, Terlapor II di 9 propinsi dan Terlapor IV di 7 propinsi. Karena itu, Majelis Komisi menilai dan menyimpulkan berdasarkan analisis hasil uji statistik menunjukkan terjadi harga yang paralel di 14 propinsi.13 b.
Harga eksesif Dalam menentukan harga eksesif atau harga yang berlebih dan tidak wajar,
Majelis Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan harga yang signifikan antara harga rata-rata franco pabrik yang lebih rendah daripada harga rata-rata ritel di Indonesia. Perbedaan harga ini belum temasuk ongkos angkut dan biaya pemasaran lainnya. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, Majelis Komisi menyimpulkan tidak cukup alasan untuk menyatakan harga semen para Terlapor adalah eksesif.14 c.
Pengaturan Produksi dan Pemasaran Majelis Komisi berpendapat suatu perusahaan dapat dinilai melakukan
pengaturan pasokan apabila masing-masing Terlapor memproduksi semen di bawah 75% dari kapasitas produksi. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan adanya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi semen dalam negeri yang terus positif selama lima tahun terakhir.
13
Putusan, hal. 407-410.
14
Putusan, hal. 424-425.
58
Majelis Komisi berpendapat utilisasi kapasitas produksi selalu meningkat setiap tahunnya dan sejaktahun 2007 utilisasi kapasitas produksi berada padakisaran 73,52% (angka terendah pada tahun 2006) sampai dengan 88,01% (angka tertinggi pada tahun 2008) dan meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, selama lima tahun terakhir, utilisasi kapasitas produksi Terlapor I (ITP) selalu berada dalam posisi terendah bila dibandingkan dengan Terlapor yang lain. Menurut penilaian Majelis Komisi, angka total produksi para terlapor terus meningkat sejalan dengan peningkatan volume peningkatan produksi. Ini sejalan dengan peningkatan permintaan semen sehingga Majelis Komisi menilai tidak ada upaya untuk mengurangi/membatasi produksi/pasokan dari para Terlapor penjualan dan konsumsi. Dengan demikian Majelis Komisi menyimpulkan tidak terdapat cukup alasan untuk mengatakan adanyaupaya pengaturan produksi dan pemasaran.15 d.
Keuntungan eksesif Dalam mencari keuntungan berlebih atau tidak wajar (Excessive Profit)
Majelis Komisi menggunakan rasio keuangan Return On Investment (ROI) para Terlapor dengan suatu angka pembanding yaitu rata-rata kupon (bunga variabel) obligasi negara berjangka 10 tahun ditambah dengan insentif bagi perusahaan investor untuk melakukan investasi atau ekspansi usaha di luar obligasi negara. Ratarata bunga obligasi ± 10% (kurang lebih sepuluh persen) dan insentif wajar rata-rata ±
15
Putusan, hal. 412-413.
59
5% (kurang lebih limapersen), maka keuntungan berlebih terjadi apabila ROI para terlapor melebihi 15 % (lima belas persen).16 Majelis Komisi berpendapat bahwa rata-rata ROI selama 5 tahun terakhir pada umumnya berada di bawah angka pembanding dimaksud di atas, kecuali Terlapor IV yang menunjukkan ROI sebesar 20,48% yang menurut Terlapor IV merupakan akibat dari peningkatan efisiensi. Maka dari itu, Majelis Komisi masih menilai keuntungan para terlapor sebagai wajar dan oleh karenanya keuntungan para terlapor tidak termasuk keuntungan yang berlebih atau tidak wajar.17 Terkait dengan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh ASI LHPL menyatakan rapat-rapat ASI merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan dan menentukan harga yang dibuktikan dengan adanya surat undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat ASI Bidang Ekonomi dan Bisnis yang dihadiri oleh wakil dari Pemerintah yaitu dari Kementerian Perindustrian (Sebelumnya Departemen Perindustrian) dan Kementerian Perdagangan
(Sebelumnya
Departemen
Perdagangan),
yang
secara
rutin
mengagendakan: a.
Evaluasi mengenai distribusi semen disetiap daerah pemasaran berkaitan dengan masalah kelancaran pasokan dan stok;
b.
Konfirmasi realisasi pengadaan semen per pabrik danper daerah;
c.
Kinerja masing-masing unit pabrik;
d.
Evaluasi pengadaan semen;
16
Putusan, hal. 413.
17
Putusan, hal. 414.
60
e.
Proyeksi sementara pengadaan semen nasional.18
Majelis Komisi kemudian menilai bahwa alat bukti dalam hal ini surat undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat ASI merupakan alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya perjanjian di antara para Terlapor untuk mengatur harga dan pasokan. Ini juga diperkuat dalam pendapat atau pembelaan para Terlapor yang tidak membantah adanya rapat rutin ASI dan penyampaian data realisasi produksi dalam rapat-rapat tersebut.19 Menurut Majelis Komisi, kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi kepada pemerintah terkait dengan kegiatan usahanya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 seharusnya disampaikan langsung kepada Pemerintah tanpa melalui ASI. Majelis Komisi menyatakan tidak menemukan adanya bukti dokumen mengenai pengaturan produksi maupun harga secara eksplisit yang dilakukan oleh para Terlapor. Akan tetapi, dengan diketahuinya mengenai informasi data realisasi produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI, maka menurut Majelis Komisi secara individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan mempertimbangkan data realisasi produksi
18
Putusan, hal. 414-415.
19
Putusan, hal. 418.
61
dan harga per Propinsi dari Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan Pemerintah, sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi.20 Tetapi Majelis Komisi menilai, bahwa berdasarkan pertimbangan terhadap harga paralel (price parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive profit), tidak cukup alasan untuk menyatakan terdapat petunjuk adanya kartel. Oleh karena itu, unsur perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran tidak terpenuhi, dan memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kartel.21 Bersamaan dengan itu Majelis Komisi memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah yakni; a.
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membubarkan ASI karena dapat memfasilitasi terjadinya pengaturan harga, produksi dan pemasaran dalam industri semen dan selanjutnya tugas fungsi ASI dapat ditangani oleh Pemerintah;
b.
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) guna melindungi konsumen;
20
Putusan, hal. 419.
21
Putusan, hal. 423-424
62
c.
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menjaga ketersediaan pasokan semen di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau;22
22
Putusan, hal. 424.
BAB IV ANALISIS KASUS KARTEL SEMEN INDONESIA 2010 A.
Pembuktian perjanjian kartel semen di Indonesia Dalam membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian kartel dalam rezim hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana kita ketahui tidak mengharuskan terdapatnya perjanjian tertulis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa; “Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.” Dapat dilihat dari kasus diatas, bahwa kecenderungan untuk melakukan perjanjian kartel besar kemungkinannya dengan media Asosiasi Semen Indonesia. Karena sebagaimana disebut dalam Peraturan Komisi nomor 4 tahun 2010 Tentang penjelasan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Kolusi diam-diam dapat terjadi dengan media Asosiasi Industri agar pertemuan antara para anggota kartel dapat dikamuflasekan sebagai pertemuan yang legal.1 Walaupun tidak ditemukan bukti spesifik yang membuktikan telah terjadi perjanjian kartel, dengan diketahuinya mengenai informasi data realisasi produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan berdasarkan notulen rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI, secara individual, para Terlapor dengan difasilitasi
1
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, hal.8.
63
64
oleh ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan mempertimbangkan data realisasi produksi dan harga per propinsi dari Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan pemerintah, sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi.2 Dalam hukum persaingan usaha, perjanjian yang dilakukan para anggota kartel dapat dilakukan secara diam-diam atau kolusi implisit, yang mana dibuat suatu kondisi bahwa seolah-olah telah terjadi pergerakan menuju persamaan harga yang bergerak secara alami, yang disebut Colander sebagai “just happen” atau kebetulan saja. 3 Namun memang bukti ini belum cukup karena KPPU harus bisa membuktikan bahwa para Terlapor secara sengaja telah melakukan Perjanjian kartel. Oleh karena itu, KPPU melakukan analisa ekonomi terhadap harga paralel (price parallelism), harga yang eksesif
(excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan
keuntungan yang eksesif (excessive profit). Ini
merupakan
bukti
tidak
langsung
atau
bukti
situasional
(Indirect/Circumtantial Evidence) dalam membuktikan eksistensi kesepakatan (meeting of the minds),4 yang mana berdasarkan kesimpulan yang diambil dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor
2
Putusan, hal. 419.
3
David C. Colander, Micro Economics, Sixth Edition,(New York;Mcgraw-Hill/Irwin, 2006) h., h. 307. 4
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011), hal. 132
65
komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah terjadi koordinasi di antara mereka.5 Menurut Majelis Komisi yang menilai bukti-bukti diatas, masih kurang cukup dalam membuktikan telah terjadi perjanjian kartel sebagaimana dugaan awal. Sehingga Majelis Komisi memutuskan bahwa seluruh pelaku usaha semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti dalam melakukan perjanjian kartel. B.
Pertimbangan Majelis Komisi dalam putusannya Diputuskannya para terlapor terbukti melakukan perjanjian kartel semen menurut Majelis Komisi didasarkan pertimbangan penilaian terhadap harga paralel (price parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive profit), tidak cukup alasan untuk menyatakan terdapat petunjuk adanya kartel. Itu artinya Majelis Komisi berkesimpulan bahwa terjadinya beberapa kesamaan pergerakan harga, yang sebelumnya dijadikan dalil dalam mengindikasikan telah terjadi kartel, selain bukti absensi dan notulen, bisa merupakan hasil dari proses pasar yang alamiah atau pertanda bahwa telah terjadi persaingan yang ketat antar para pelaku usaha.6 Karena itu, bukti yang ada belum cukup untuk membuktikan terjadinya perjanjian kartel
5
6
Majalah kompetisi edisi 1 2008
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), hal. 43.
66
C.
Metode pembuktian yang digunakan KPPU. Karakter yang ada dalam proses pembuktian di KPPU termasuk kedalam teori pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.7 Dalam pasal 42 tersebut, disebutkan bahwa alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Dari uraian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa KPPU menemukan bukti surat dan atau dokumen absensi pertemuan dari para terlapor yang tergabung dalam ASI dimana di sana dimungkinan terjadinya perjanjian kartel. Tetapi, bukti tersebut masih belum cukup dalam membuktikan telah terjadi perjanjian kartel. KPPU masih perlu membuktikan bahwa apakah telah terjadi perjanjian kartel dengan melihat petunjuk dengan melihat harga paralel (price parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive profit), yang mana merupakan efek ke pasar komoditas semen apabila telah terjadi perjanjian kartel. Ternyata menurut Majelis Komisi setelah menilai bukti yang ada, tidak cukup membuktikan telah terjadi kartel. Keputusan yang diambil oleh majelis komisi ini merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori
7
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011, h. 131.
67
pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan
Dari segala pemaparan diatas penulis menyimpulkan, bahwa keputusan yang diambil oleh majelis komisi yang memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kartel. merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah. Akan tetapi, keputusan KPPU memiliki kerancuan, karena disaat KPPU memutuskan bahwa para pelaku usaha industri semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak bersalah, dilain pihak KPPU merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membubarkan ASI dengan alasan dapat memfasilitasi terjadinya kartel. Ini seakan mencerminkan sesungguhnya KPPU masih menduga bahwa telah terjadi Kartel yang dilakukan oleh ASI akan tetapi KPPU tidak berhasil menemukan buktinya, sehingga menimbulkan kesan bahwa KPPU kurang kuat atau cenderung lemah dalam menegakan hukum persaingan usaha khususnya mengenai kartel.
68
69
B.
Saran 1. keputusan KPPU memiliki kerancuan, karena disaat KPPU memutuskan bahwa para pelaku usaha industri semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak bersalah, dilain pihak KPPU merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membubarkan ASI dengan alasan dapat memfasilitasi terjadinya kartel. Ini seakan mencerminkan sesungguhnya KPPU masih menduga bahwa telah terjadi Kartel yang dilakukan oleh ASI akan tetapi KPPU tidak berhasil menemukan buktinya, sehingga menimbulkan kesan bahwa KPPU kurang kuat atau cenderung lemah dalam menegakan hukum persaingan usaha khususnya mengenai kartel 2. seharusnya KPPU sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk mengadili
dan
memutuskan
perkara
persaingan
usaha,
haruslah
mengkonstruksikan Putusan dengan jelas tanpa menimbulkan penafsiran bermacam-macam yang dapat menyulitkan para pihak nantinya dimasa yang akan datang. Akan tetapi, kalau seandainya benar bahwa sesungguhnya KPPU masih menduga telah terjadi perjanjian kartel diantara perusahaan semen tersebut tapi tidak dapat menemukan bukti yang cukup, maka berarti perlu ada penguatan KPPU dalam penyidikan untuk penggalian bukti-bukti lebih dalam lagi.
70
DAFTAR PUSTAKA A.
BUKU
Ahmadi, Jaenal Arifin, Fahmi M. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Ali, Zainuddin. Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Al-Qardhawi, Yusuf, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat. Penerjemah Ferdian Hasmand. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014. Azwar Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. B.A, Ganner. Black’s Law Dictionar. St Paul Minn: West Group, 1999. C. Colander, David. Micro Economics, Sixth Edition. New York: Mcgraw-Hill/Irwin, 2006. Fahmi Lubis, Andi. Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Jakarta: GTZ, 2009. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2. Malang: Bayumedia Publishing, 2006. J. Rachbini, Didik. Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna. Jakarta: Granit, 2004. Kamal Rokan, Mustafa. Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia. Jakarta: RajawaliPers, 2012. Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, cetakan keenam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Meyliana, Devi. Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha. Malang: Setara Press, 2013.
71
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Press, 2010. O.S. Hiariej, Eddy. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, 2012. S Silk, Leonard. Prindsip-Prinsip dan Masalah-Masalah Ilmu Ekonomi Modern. Jakarta: PT Gunung Agung, 1970. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Tri Anggraini, A.M. Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,editor Ridwan Khairandy. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006. Usman, Rachmadi. Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika, 2013.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN dan AL-QURAN
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010. Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan KPPU Q.S. Al Baqarah ayat 188. Q.S. An Nisa, ayat 29. Shahih Muslim Hadits Nomor 1605. Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.
72
C.
SKRIPSI dan JURNAL
J. Rachbini, Didik. Cartel and Merger In Control In Indonesia,Jurnal Hukum Bisnis,(volume 19 mei-juni 2002), hal. 11-12 /4.Khemani R Shyam. A. Junaidi. “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 Tahun 2008. Maria Tri Anggraini, Anna. Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010. Nasution dan RetnoWiranti, Farid. Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi. Jakarta, 2008. Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, JurnalPersaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha edisi 6 KPPU (Desember 2011), hal. 133. Sumantri, Marshall. DugaanPraktekKartel yang dilakukan penyedia jasa telepon selular dalam penetapan tariff SMS (Short Message Service) ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009. D.
INTERNET http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel Harga-Semen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013 http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaansemen-diduga-lakukan-kartel, diakses pada tanggal 1 Juni 2014 http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Semen-Mahal,-Indikasi-KartelMenguat;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296281b4360d204dc7d8b0fb1ddb1070d8 9a, diakses pada tanggal 1 Juni 2014 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppusinyalir-praktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013
LAMPIRAN SALINAN PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 11 TENTANG KARTEL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dipandang perlu menetapkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); 2. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 3. Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2006. Memperhatikan Hasil Rapat Komisi tanggal 7 April 2010. : Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERATURAN KOMISI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 11 TENTANG KARTEL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 11 tentang Kartel dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tdak Sehat, yang selanjutnya disebut Pedoman, adalah dokumen pedoman pelaksanaan Pasal 11. 2. Komisi adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 2 1. Pedoman merupakan penjabaran prinsip dasar, dan contoh-contoh pelaksanaan ketentuan Pasal 11. 2. Pedoman merupakan pedoman bagi : a. Pelaku usaha dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahami aketentuan Pasal 11 tentang Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; b. Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana bdimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 3 1. Pedoman adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. 2. Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan standar minimal bagi Komisi dalam melaksanakan tugasnya, yang menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini, serta mengikat semua pihak. Pasal 4 Putusan dan kebijakan berkaitan dengan Pasal 11, yang diputuskan dan ditetapkan oleh Komisi sebelum dikeluarkannya Peraturan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 9 April 2010 KOMISI USAHA
PENGAWAS
PERSAINGAN
KETUA, Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E, M.S.
BAB I LATAR BELAKANG Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang anti-persaingan. Persaingan merupakan sesuatu yang baik bagi masyarakat maupun bagi perkembangan perekonomian suatu bangsa karena berbagai alasan. Salah satu di antaranya adalah dapat mendorong turunnya harga suatu barang atau jasa, sehingga menguntungkan konsumen. Di samping itu, persaingan juga dapat mendorong efisiensi produksi dan alokasi serta mendorong para pelaku usaha berlomba melakukan inovasi baik dalam infrastruktur maupun produknya agar dapat memenangkan persaingan atau setidak-tidaknya dapat tetap bertahan di pasar. Sebaliknya di sisi lain, persaingan juga akan memberikan keuntungan yang semakin berkurang bagi produsen, karena mereka bersaing menurunkan harga untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Hal yang paling mengkhawatirkan bagi pelaku usaha adalah apabila seluruh pelaku usaha menurunkan harganya, sehingga mereka mengalami penurunan keuntungan secara keseluruhan. Agar para pelaku usaha tetap dapat mempertahankan keuntungan, maka mereka berusaha untuk mengadakan kesepakatan dengan cara membentuk suatu kartel. Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih mahal suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang biasa diperlukan masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan perekonomian, karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi, yang akan menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri. Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka, seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara horizontal, kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen secara non-teritorial, dan pembagian pangsa pasar. Akan tetapi perlu pula kita sadari bahwa kartel yang efektif tidaklah mudah untuk dicapai. Bagaimanapun terdapat kecenderungan para pelaku
usaha akan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaannya masingmasing. Salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel, yaitu: a. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakankebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya. b. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuanpertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi. Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik: 1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha. 2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat keputusan. 3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka. 4. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi. 5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada anggota kartel lainnya. 6. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat laporan produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel
7. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih terjamin. Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif, diantaranya: a. Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit untuk terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar terkonsentrasi. b. Produk di pasar bersifat homogen. Karena produk homogen, maka lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga. c. Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah produksi maupun harga. d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar. e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Seperti telah dijelaskan, bahwa dalam suatu kartel terdapat kecenderungan bagi anggotanya untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku usaha tidak terlalu banyak, maka mudah untuk diawasi. f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar. Kartel akan semakin efektif jika dapat dengan cepat merespon kondisi pasar dan membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan. g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya membutuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha yang akan masuk ke pasar. Oleh karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan. Selain daripada itu, agar suatu kartel bisa efektif, maka para anggota kartel harus memenuhi syarat-syarat, diantaranya adalah: a. Anggota kartel harus setuju untuk mengurangi produksi barang dan kemudian menaikkan harganya atau membagi wilayah. Perjanjian kartel yang efektif dapat mengakibatkan kartel itu bertindak sebagai monopolis yang dapat
menaikkan dan atau menurunkan produksi dan atau harga tanpa takut pangsa pasar dan keuntungannya berkurang. b. Oleh karena kartel rentan terhadap kecurangan dari anggota kartel untuk menjual lebih banyak dari yang disepakati atau menjual lebih murah dari harga yang telah ditetapkan dalam kartel, maka diperlukan monitoring atau mekanisme hukuman bagi anggota kartel yang melakukan kecurangan. c. Karena kartel pada prinsipnya melanggar undang-undang, maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk mendorong anggota kartel untuk bekerja secara rahasia guna menghindari terungkapnya atau diketahuinya kartel oleh otoritas pengawas persaingan usaha. d. Agar kelangsungan kartel dapat terjaga, maka para anggota kartel akan berupaya mencegah masuknya pelaku usaha baru yang tertarik untuk ikut menikmati harga kartel. Selanjutnya terdapat juga beberapa kondisi bagi para pelaku usaha melakukan kartel antara lain: a. Dengan melakukan kartel, para pelaku usaha mampu menaikkan harga. Apabila permintaan tidak elastis, maka akan menyebabkan konsumen tidak mudah pindah ke produk atau jasa lain, hal ini akan menyebabkan harga suatu produk atau jasa akan lebih tinggi. Begitu pula, apabila terdapat kondisi dimana sulit bagi barang substitusi masuk ke pasar, karena tidak ada barang atau jasa lain di pasar, maka harga tetap akan tinggi. b. Adanya kondisi dimana kecil kemungkinan kartel akan terungkap dan kalaupun diketahui, maka hukuman yang akan dijatuhkan relatif rendah, sehingga para anggota kartel masih merasa untung. c. Biaya yang dikeluarkan untuk terjadinya kartel dan biaya untuk memelihara kartel lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan. Walaupun tidak diketahui berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel, namun kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan. Pengalaman di berbagai negara, memperlihatkan bahwa harga kartel bisa mencapai 400% (empat ratus persen diatas harga pasar). Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Lebih lanjut lagi, sebenarnya kartel bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga merugikan perkembangan perekonomian suatu bangsa, karena kartel
menyebabkan terjadinya inefisiensi sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya. Penanganan kartel oleh lembaga persaingan usaha di berbagai belahan dunia, berkembang dengan cepat seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan kartel yang dihadapi. Keberadaan lembaga persaingan telah disiasati oleh berbagai pelaku usaha untuk menghindarkan diri dari bukti-bukti kartel seperti pertemuan rutin, perjanjian untuk melakukan pengaturan dan hal-hal yang cenderung menjadi bukti bagi penegak hukum persaingan. Dalam hal inilah maka berkembang model pembuktian kartel dengan menggunakan indirect evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan berbagai hasil analisis ekonomi yang bisa membuktikan adanya korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya. Melihat dampak praktek kartel yang dapat menghalangi terciptanya persaingan usaha yang sehat, maka diperlukan adanya suatu pedoman yang mampu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang larangan kartel sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 tahun 1999.
BAB II TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN 2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman Pembuatan pedoman ini adalah merupakan salah satu tugas dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebagai suatu upaya untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat. Selain itu, pedoman ini juga merupakan upaya dari KPPU untuk menyampaikan pandangannya tentang pengertian kartel sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999. Melalui pedoman ini, diharapkan akan lebih menjamin terciptanya kepastian hukum dalam bidang Hukum Persaingan Usaha. Dengan demikian, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 11 tentang Kartel bertujuan untuk: 1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang Kartel sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999. 2. Memberikan dasar dan pemahaman yang jelas dalam pelaksanaan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang diuraikan dalam pedoman ini. 3. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan berperilaku untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat dan tumbuh secara wajar. 4. Metode pendekatan yang digunakan oleh KPPU dalam memeriksa dan melaksanakan penegakan hukum yang mengatur tentang kartel. 5. Memberikan gambaran tentang dampak-dampak kartel Istilah kartel sebenarnya merupakan istilah umum yang dipakai untuk setiap kesepakatan atau kolusi atau konspirasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Pemakaian istilah kartel juga dibagi dalam kartel yang utama dan kartel lainnya. Kartel yang utama terdiri dari kartel mengenai penetapan harga, kartel pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen. Suatu kartel dianggap sangat berbahaya karena para pelakunya sepakat melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis yang meliputi harga, wilayah dan konsumen. Kartel juga sangat berbahaya karena dapat berperilaku seperti monopolis yang dapat menentukan tingkat harga yang sangat tinggi atau jumlah produksi, sehingga akan menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel akan menyebabkan
kerugian bagi konsumen karena harga akan mahal dan terbatasnya barang atau jasa di pasar. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengatur secara spesifik dalam pasal-pasal tersendiri mengenai penetapan harga, persekongkolan tender, pembagian wilayah atau konsumen atau pasar. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kartel dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 haruslah tidak termasuk yang telah diatur dalam pasal-pasal lainnya dalam UU tersebut. Pedoman kartel ini akan menekankan pada pelarangan kartel yang menekankan pada kesepakatan untuk mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa yang dimaksudkan untuk mempengaruhi harga. Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan konsumen, karenanya penegakan hukumnya dengan menerapkan prinsip per se illegal. Sedangkan pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999, mengadopsi prinsip rule of reason. Perumusan kartel sebagai suatu yang diperiksa menurut prinsip rule of reason sudah sesuai dengan perkembangan penegakan hukum persaingan yang cenderung untuk melihat dan memeriksa alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar Hukum Persaingan Usaha. Dengan demikian KPPU harus dapat membuktikan bahwa alasan-alasan dari pelaku usaha tersebut tidak dapat diterima (unreasonable). Alasan-alasan dari pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang menghambat perdagangan dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat diterima (reasonable) atau tidak dapat diterima (unreasobale restraint) apabila: 1. Kegiatan para pelaku usaha menunjukkan tanda-tanda adanya pengurangan produksi atau naiknya harga. Apabila terdapat tanda-tanda tersebut, maka perlu diperiksa lebih lanjut; 2. Apakah kegiatan para pelaku usaha bersifat naked (langsung) atau ancillary (tambahan). Kalau kegiatan tersebut bersifat naked, maka merupakan perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan kalau ancillary, maka diperkenankan. 3. Para pelaku usaha mempunyai market power. Apabila para pelaku usaha mempunyai market power, maka terdapat kemungkinan mereka menyalahgunakan kekuatan tersebut. 4. Apakah terdapat hambatan masuk ke pasar yang tinggi. Walaupun para pelaku usaha mempunyai market power, akan tetapi kalau tidak ada
hambatan masuk ke pasar yang berarti, maka akan mudah bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar. 5. Perbuatan para pelaku usaha apakah menciptakan efisiensi yang substansial dan menciptakan peningkatan kualitas produk atau servis atau adanya innovasi. Apabila alasan-alasan ini tidak terbukti, maka perbuatan tersebut adalah ilegal. 6. Perbuatan-perbuatan para pelaku usaha tersebut memang diperlukan untuk mencapai efisiensi dan inovasi. Artinya harus dibuktikan apakah perbuatan para pelaku usaha tersebut adalah alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. 7. Perlu dilakukan adanya ”balancing test” artinya perlu diukur keuntungankeuntungan yang diperoleh dari perbuatan para pelaku usaha dibandingkan dengan akibat-akibat negatifnya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dari kerugiannya, maka perbuatan tersebut dibenarkan. Jadi dalam memeriksa suatu perkara secara rule of reason, maka perlu ditempuh langkah-langkah tersebut sebelum menyatakan suatu perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima (reasonable restraint) atau tidak dapat diterima (unreasonable restraint). 2.2. Cakupan Pedoman Pedoman ini akan menjelaskan prinsip-prinsip umum dan standar-standar dasar yang akan digunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan dan analisa terhadap suatu kartel sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999. Pedoman ini harus dilihat sebagai penjelasan yang bersifat umum dan lebih difokuskan pada batasan-batasan ketentuan yang dianggap melanggar prinsipprinsip Hukum Persaingan Usaha, sehingga dalam prakteknya, penerapan pedoman ini akan disesuaikan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan kasus per kasus. Ketentuan dalam pedoman ini juga harus ditinjau secara kritis dan konstruktif, terutama penerapannya dalam pemeriksaan suatu kasus dan bukti-bukti yang ada. Sistematika pedoman ini mencakup: BAB I : Latar Belakang
Bab ini menjelaskan mengenai kartel pada umumnya dan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kartel, serta akibat kartel bagi perkembangan ekonomi dan masyarakat. BAB II : Tujuan dan Cakupan Pedoman Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan pedoman dan hal-hal yang tercakup dalam pedoman BAB III : Pasal Terkait dan Larangan Kartel Bab ini menjelaskan tentang pengertian dan cakupan kartel menurut UU Nomor 5 Tahun 1999, penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 11 serta pasalpasal lain dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan Kartel. BAB IV : Pengaturan Kartel dan Contoh Kasus Bab ini menjelaskan konsep dari kartel, indikasi, dampak dari kartel dan hal hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisa adanya kartel. Selanjutnya untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka akan dijelaskan pula beberapa contoh kasus. BAB V : Aturan Sanksi Bab ini menjelaskan sanksi-sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan oleh KPPU kepada para pelaku kartel. BAB VI : Penutup
BAB III PASAL TERKAIT DAN LARANGAN KARTEL 3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kartel dan Penjabarannya Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila kita teliti perumusan pasal ini, maka yang dilarang adalah perjanjian di antara para pesaing yang berisi pengaturan terhadap produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga, yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kartel merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum, maka adalah wajar apabila para pelaku kartel akan berusaha agar tidak mudah untuk dideteksi oleh penegak hukum. Oleh karenanya kesepakatan-kesepakatan atau kolusi antar pelaku usaha ini jarang berbentuk tertulis agar tidak mudah untuk terdeteksi dan tidak terdapat bukti-bukti tertulis. Dilihat dari perumusan pasal 11 yang menganut rule of reason, maka ditafsirkan bahwa dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran terhadap ketentuan ini, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan terlebih dahulu dibuktikan telah terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel akan dilihat alasan-alasan dari para pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel tersebut dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan demikian, maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam mengenai alasan kesepakatan para pelaku usaha dimaksud dibandingkan dengan kerugian ataupun hal-hal negatif kartel baik bagi persaingan usaha. 3.2. Penjabaran Unsur Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 berbunyi:
”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. ” Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 adalah sebagai berikut: 1. Unsur Pelaku Usaha Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam kartel, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel membutuhkan keterlibatan sebagian besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan. 2. Unsur Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. 3. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya. Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009, tanggal 1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan. 4. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. 5. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya.
6. Unsur Barang Barang menurut pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 7. Unsur Jasa Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 8. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli Praktek monopoli menurut pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum. 9. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah.
3.3. Ketentuan Lain yang Relevan Ketentuan mengenai larangan kartel dapat juga ditemukan dalam pasal-pasal lain yang ada dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu: 1. Pasal 5 mengenai penetapan harga yang berbunyi: 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha 1. pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Sekilas pasal ini memiliki kesamaan dengan pasal 11 yang mengatur mengenai kartel, perbedaan antara pasal 11 dengan pasal 5 adalah dalam pasal 5, pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga. Sedangkan pada kartel yang disepakati oleh anggota adalah mempengaruhi harga dengan jalan mengatur produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, yang melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap harga barang atau jasa yang mereka produksi. 2. Pasal 7 yang berbunyi : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Perbedaan antara pasal 7 dengan pasal 11 adalah : Pasal 7 mensyaratkan adanya penetapan harga dibawah harga pasar, 1. sedangkan pasal 11 terdapat kesepakatan mengenai jumlah produksi dan pemasaran barang atau jasa. Ketentuan dalam pasal 7 bertujuan untuk mematikan pesaing atau 2. mengurangi persaingan. 3. Pasal 9 mengenai pembagian wilayah yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Rumusan pasal 9 ini memiliki persamaan dengan pasal 11. Namun tujuan perjanjian dalam pasal 9 adalah membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang atau jasa. Pasal 9 tidak mensyaratkan adanya kesepakatan produksi barang dan jasa sebagaimana disyaratkan dalam pasal 11. 4. Pasal 10 mengenai Pemboikotan yang berbunyi: 1. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.” 2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Apabila kita perhatikan pasal 10 ini sekilas sepertinya tidak terdapat kesamaan dengan pasal 11. Namun, baik pasal 10 maupun pasal 11 dapat mempengaruhi jumlah barang yang beredar di pasar. Selain itu, keduanya juga dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen, karena baik melalui kartel maupun melalui pemboikotan selain akan mengakibatkan berkurangnya barang atau jasa di pasar juga dapat mengakibatkan naiknya harga. Perbedaan di antara keduanya adalah sarana yang digunakan, dalam kartel pelaku usaha sepakat untuk mengatur produksi, sedangkan dalam pemboikotan pelaku usaha sepakat untuk menghambat pelaku usaha lain, yang pada akhirnya juga akan mengakibatkan terhambatnya produksi barang atau jasa. 5. Pasal 12 mengenai Trust yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Perbedaan Trust dengan Kartel adalah bahwa perjanjian dalam Trust adalah membentuk suatu gabungan perusahaan dengan tetap menjaga kelangsungan perusahaan yang menjadi anggota Trust. Sedangkan dalam kartel tidak terjadi gabungan perusahaan, hanya sepakat untuk melakukan koordinasi atau kolusi. 6. Pasal 22 mengenai persekongkolan yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Dalam literatur hukum persaingan di berbagai negara, persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk kartel. Namun jika dibandingkan dengan rumusan pasal 11, maka pasal 22 ini tidak mempunyai kesamaan.
Persekongkolan dalam pasal 22 adalah untuk menentukan pemenang tender, sedangkan persekongkolan atau kolusi dalam pasal 11 adalah bertujuan mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa. Dalam hal ini persamaan esensial antara kedua pasal ini hanya terletak pada adanya perjanjian atau kesepakatan horizontal diantara para pelaku usaha pesaing yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. 7. Pasal 24 mengenai Persekongkolan yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.” Pasal 24 ini juga memiliki kesamaan dengan pasal 11, namun perbedaannya adalah persekongkolan dalam pasal 24 bertujuan menghambat produksi barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya. Namun perbuatan dalam kedua pasal ini sama-sama dapat menyebabkan diaturnya jumlah barang atau jasa yang ada di pasar.
BAB IV PENGATURAN KARTEL DAN CONTOH KASUS 4.1.
Konsep dan Definisi Kartel Suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan lainya, sehingga mereka dapat menaikkan harga dan memperoleh keuntungan di atas harga yang kompetitif. Pada umumnya kartel dilakukan secara diam-diam, Namun demikian tidak tertutup kemungkinan suatu kartel dilakukan secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh OPEC.
4.2.
Indikasi Kartel Sebagai lembaga yang diserahi tugas untuk mengawasi jalannya persaingan usaha, KPPU mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan menindak perilaku kartel di Indonesia. KPPU sebagaimana dirumuskan dalam pasal 36 UU Nomor 5 tahun 1999, mempunyai kewenangan melakukan penegakan hukum perkara kartel baik berdasarkan atas inisiatif KPPU sendiri atau atas dasar laporan dari masyarakat. 4.2.1. Indikator Awal Identifikasi Kartel Untuk memenuhi persyaratan bukti awal yang cukup, KPPU dapat memeriksa beberapa indikator awal yang dapat disimpulkan sebagai faktor pendorong terbentuknya kartel. Secara teori, ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau memfasilitasi terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku. Sebagian atau seluruh faktor ini dapat digunakan KPPU sebagai indikator awal dalam melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu. Beberapa diantara faktor-faktor tersebut akan diuraikan di bawah ini. Faktor struktural: a.1. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya CR4 ( jumlah pangsa pasar empat perusahaan terbesar) dan HHI (Herfindahl-Hirschman Index) merupakan indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong eksistensi kartel. a.2. Ukuran perusahaan Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tersebut tidak berbeda jauh. a.3. Homogenitas produk Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka. KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk tertentu untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut. a.4. Kontak multi-pasar Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai sasaran pasar yang luas. Multi-pasar dapat diartikan persaingan di beberapa area pasar atau di beberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang seharusnya bersaing untuk melakukan kolaborasi, misalnya dengan alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada insentif bagi para pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel karena adanya kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh area atau segmen pasar sasaran.
a.5. Persediaan dan kapasitas produksi Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu, kelebihan pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpang mengingat pasokan yang tersedia cukup banyak untuk “menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindentifikasi kartel. a.6. Keterkaitan kepemilikan Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya kepemilikan silang ini. a.7. Kemudahan masuk pasar: Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru. a.8. Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan
menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat permintaan tinggi dan terpaksa bersaing menurunkan harga mengingat sifat permintaan yang elastis. KPPU dapat mengukur karakter permintaan ini baik melalui survey dan penelitian pasar maupun informasi dari para produsen. a.9. Kekuatan tawar pembeli (buyer power) Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak akan berjalan secara efektif dan bubar dengan sendirinya. 4.2.2. Faktor Perilaku b.1. Transparansi dan Pertukaran Informasi Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling memberikan harga dan data produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat. b.2. Peraturan Harga dan Kontrak Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel. Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama
seperti klausul MFN (Most Favored Nations) atau meet the competition dalam suatu kontrak akan memudahkan kontrol terhadap anggota kartel yang menyimpang. Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun cukup dalam mengidentifikasi kartel, perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel. 4.3. Dampak Kartel Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian baik bagi perekonomian suatu Negara maupun bagi konsumen. 4.3.1. Kerugian bagi Perekonomian Suatu Negara a. b. c. d. e.
Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi. Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi. Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru. Menghambat masuknya investor baru. Dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negaranegara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat.
4.3.2. Kerugian bagi konsumen a. Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pada pasar yang kompetitif. b. Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha. c. Terbatasnya pilihan pelaku usaha. 4.4. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Menganalisa adanya Kartel 4.4.1. Alat Bukti Untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri, KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Dalam memperoleh alat bukti tersebut, KPPU akan menggunakan kewenangannya sesuai yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 berupa permintaan dokumen baik dalam bentuk hard copy
maupun soft copy, menghadirkan saksi dan melakukan investigasi ke lapangan. Apabila diperlukan akan dilakukan kerjasama dengan pihak berwajib yaitu kepolisian untuk mengatasi hambatan dalam memperoleh alat bukti dimaksud. Pada kasus tertentu, KPPU juga dapat memperoleh alat bukti melalui kerjasama dengan para personel perusahaan yang terlibat dalam suatu kartel dengan kompensasi tertentu. Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain: 1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran. 2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau per semester). 3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan). 4. Data kapasitas produksi. 5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang saling berkoordinasi. 6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang berlebih/excessive profit. 7. Hasil analisis data concius paralelism terhadap koordinasi harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran. 8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir. 9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya. 10. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel. 11. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel. 12. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada bagian 4.2.1. diatas. 4.4.2. Penerapan Rule of Reason Setelah diperoleh bukti-bukti yang cukup, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah benar-benar telah terjadi kartel yang dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha. Sesuai dengan perumusan pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka dalam rangka membuktikan apakah telah terjadi kartel yang dilarang perlu dilakukan pemeriksaan secara mendalam mengenai alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel. Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel ini dapat diterima (reasonable restraint). Suatu kartel atau kolaborasi dapat diketahui antara lain dari hal-hal berikut: a. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang dan atau jasa atau ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada, maka perbuatan para pelaku usaha tidak bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha. b. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan untuk mengurangi atau mematikan persaingan), atau bersifat ancillary (bukan tujuan dari kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan). Apabila kolaborasi bersifat naked, maka akan melawan hukum. c. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel mempunyai pangsa pasar (market power) yang cukup, maka mereka mempunyai kekuatan untuk menyalahgunakan kekuatan tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada market power, maka kemungkinan kecil kartel akan dapat mempengaruhi pasar. d. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang cukup besar, sehingga melebihi kerugian yang diakibatkannya. Apabila tidak membawa efisiensi berarti kartel hanya membawa kerugian. e. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel tersebut memang secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata lain untuk mencapai keuntungan-keuntungan yang pro persaingan
yang ingin dicapai, maka perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan, dan tidak terdapat cara lain atau alternatif lain yang seharusnya terpikirkan oleh para pelaku usaha. f. Balancing test. Setelah faktor-faktor lainnya tersebut diatas diperiksa, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel, dengan kerugian yang diakibatkannya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka perbuatan atau tindakan para pelaku usaha tersebut dapat dibenarkan. 4.5. Contoh Kasus 1. Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2005 mengenai kartel garam bahan baku di Sumatra Utara. Kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat tentang adanya kesulitan melakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara. Selain daripada itu juga ada kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera Utara. Adapun yang menjadi Terlapor dalam kasus ini adalah PT. G, PT B, dan PT GA dengan PT GR, PT SP, UD JW, dan UD SS. Dari hasil pemeriksaan didapat fakta yaitu adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan PT G, PT B dan PT GA (G3) dengan PT GR, PT SP, UD JW dan UD SS (G4) untuk menetapkan harga produk PT G lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT B dan PT GA. Adanya pemberian harga yang lebih tinggi untuk garam bahan baku yang dibeli oleh perusahaan di luar G3 dan G4. Penguasaan pemasaran garam bahan baku oleh G3 dan G4 di Sumatera Utara mencerminkan struktur pasar yang bersifat oligopolistik dimana terjadi koordinasi antara PT G, PT B, dan PT GA dengan PT GR, PT SP, UD JW, dan UD SS untuk bersama-sama melakukan pengontrolan pasokan dan pemasaran garam bahan baku di Sumatera Utara. Hal ini tercermin dari: 1. Persaingan semu diantara G3 dalam bentuk pengontrolan jumlah pasokan dan kebijakan penetapan harga jual garam bahan baku. 2. Sistem pemasaran yang menciptakan hambatan bagi pelaku usaha selain G3. 3. Konsumen harus menanggung harga yang relatif tinggi dan tidak wajar karena sistem pemasaran dimana jumlah pasokan garam belum tentu sama dengan permintaan konsumen.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka para terlapor dinyatakan secara sah dan meyakinkan melanggar UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diantaranya terbukti melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang dikenakan kepada PT G, PT B, PT GA. Para terlapor ini seperti dinyatakan oleh KPPU adalah merupakan pelaku usaha yang menguasai pasokan dan pemasaran garam di Sumatera Utara dan terbukti telah mengontrol pasokan dan pemasaran garam bahan baku di Sumatera Utara. Suatu kartel sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat terjadi apabila beberapa perusahaan A, B, C, D, E dan F yang memproduksi suatu barang atau jasa yang sama mengadakan konspirasi dan membentuk suatu kartel. Para pegawai senior atau pimpinan perusahaan A, B, C, D dan E secara rutin mengadakan pertemuan dan menetapkan kuota produksi atau banyaknya produksi dari masing-masing perusahaan. Kuota produksi ini disepakati dapat berubah-ubah sesuai dengan kesepakatan diantara mereka. Produksi selalu disesuaikan dengan permintaan pasar dan produksi oleh pelaku usaha yang bukan anggota dari Kartel. Secara keseluruhan pangsa pasar dari semua anggota kartel adalah diatas 60%, sehingga mempunyai kekuatan untuk mengatur jumlah produksi dan harga. Sebagai akibat dari kartel ini, maka harga barang di pasar bisa diatur oleh kartel sesuai dengan besarnya keuntungan yang akan mereka peroleh.
BAB V ATURAN SANKSI Menurut UU Nomor 5 tahun 1999 Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa macam sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggar Hukum Persaingan Usaha yaitu dapat berupa tindakan administratif, pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan, maka pelanggaran terhadap pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 dapat berupa: 1. Tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 5 tahun 1999: a. Penetapan pembatalan perjanjian. b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. c. Penetapan Pembayaran ganti rugi. d. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). 2. Pidana Pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 : a. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau b. Pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. 3. Pidana Tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999 : a. Pencabutan izin usaha; atau b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selamalamanya 5 (lima) tahun. c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
BAB VI PENUTUP Kartel dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perjanjian yang dilarang. Suatu kartel dilarang, karena para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu kartel dapat memperoleh keuntungan diatas harga yang kompetitif dengan cara mengatur jumlah produksi para anggotanya, sehingga akan berpengaruh terhadap harga barang di pasar. Melalui kartel para pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan seperti layaknya perusahaan yang memonopoli suatu pasar. Namun di sisi lain, kartel dapat merugikan perekonomian suatu bangsa karena akan menyebabkan inefisiensi alokasi dan inefisiensi produksi. Kartel juga dapat merugikan konsumen, karena konsumen dipaksa membayar suatu barang atau jasa lebih mahal dari seharusnya, bahkan dapat menyebabkan sebagian konsumen tidak mampu membeli barang atau jasa tersebut, padahal kalau harga sesuai harga pasar atau harga persaingan mereka mampu untuk membelinya. Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan konsumen, karenanya dalam penegakan hukum terhadap kartel biasanya dengan menerapkan prinsip per se illegal. Sedangkan pengaturan kartel dalam UU Nomor 5 tahun 1999 pasal 11 mensyaratkan adanya pembuktian telah terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebelum menentukan bersalah atau tidak para pelaku usaha yang melakukan kartel. Dengan demikian dalam UU Nomor 5 tahun 1999, Penegak Hukum Persaingan Usaha harus memeriksa secara mendalam alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel, baru kemudian memutuskan apakah kartel yang dilakukan para pelaku usaha tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
Ali Alatas
NIM
109048000012
Tempat/Tanggal Lahir
Jakarta/1 oktober 1991
Program Studi
Ilmu Hukum
Kosentrasi
Hukum Bisnis
Alamat Rumah
Jl. K.S. Tubun Raya, no. 13, RT/RW, 009/01, Kel Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat
Alamat Domisili
Jl. Ayub, no. 21, RT/RW, /, Kel. Pejaten Barat, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan
No. Telp
021 79170233
No. Hp
085888908944/02195364418
Nama Ayah
Saifuddin Abubakar
Nama Ibu
Siti Nurhasanah
Alamat Orang Tua
Jl. K.S. Tubun Raya, no. 13, RT/RW, 009/01, Kel Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat
Nomor Telp/HP Orang Tua
O21 92834302