Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah & Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh Rizky Ramandhika 1111048000074
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima saksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Oktober 2015
Rizky Ramandhika
iii
ABSTRAK
RIZKY RAMANDHIKA 1111048000074 PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 79 halaman. Penelitian ini menganalisa bagaimana persetujuan dewan perwakilan rakyat terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yaitu sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisa lebih jauh tentang peran Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pengangkatan pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam perundang-undangan, kepustakaan, pendapat ahli, dan jurnal. Penulis menganalisa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya undangundang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian kemudian bagaimana persetujan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan apa dampaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Ketatanegaraan Indonesia. Penulis menganalisa dengan cara mencari sumber-sumber terkait yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia dengan melihat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, pendapat ahli maupun sumber yang lain. Sistem ketatanegaraan Indonesia menggunakan sistem presidensil sehingga tidak sesuai apabila DPR ikut menyetujui pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hasil Penelitian menunjukan bahwa penulis tidak setuju dengan adanya frasa “atas persetujuan DPR” karena Negara Indonesia menganut sistem presidensil dan juga Kapolri berada dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden atas nama rakyat. penulis lebih setuju dengan “atas Pertimbangan” Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan catatan-catatan khusus kepada presiden sebagai bentuk pengawasan, dampak dari peran DPR adalah Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensil, Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten. Kata Kunci
: Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Pengangkatan Kepala Kepolisian , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Pembimbing
: Dr, Sodikin SH, MH, MSi Nur Rohim Yunus, LL.M
Daftar Pustaka
: Tahun 1957 Sampai Tahun 2015 iv
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah swt yang maha kasih serta maha penyayang, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN” Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada seluruh nabi yang telah berjasa mengajarankan umat manusia tentang sifat Welas Asih, Kesabaran, Kejujuran, Keberanian, Kepasrahan, Kewaspadaan, Kehati-hatian dan semua tentang sifat kebaikan yang menghantarkan manusia dari zaman kegelapan ke zaman penuh dengan kedamaian dan suka cita Penulisan skripsi ini dilakukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak mungkin diselesaikan dengan baik dan tepat oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Asep Syarifuddin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. dan Abu Thamrin, SH, M.H. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr, Sodikin S.H, M.H, MSi dan Nur Rohim Yunus LL.M selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan dalam menyusun skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah dari Allah swt. 4. Ismail Hasani, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu membantu penulis dari semester I hingga semester VIII, semoga bapak selalu mendapat keberkahan. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen-dosen Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmunya selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah dari Allah SWT. 6. Kedua orang tua tercinta Bapak Fifin Arifin dan Ibu Neneng Supriyatin yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, memberi dukungan baik materil maupun moril, dan tiada henti mendoakan penulis hingga penulis selesai menyelesaikan skripsi ini. 7. Kepada Keluarga Besar RELIGI (Rela Tak Di Gaji) Kanjeng, Aki Balong, Bu Blor, Pak Sana, Bu Raksa, Ki Santang, Loreina, Sulaiman, Papahnonok, Wulan, Kalinyamat, Muria, Sawo, Nyimas, Ghyby,
yang selalu mensupport penulis
dengan berbagai macam petunjuk yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan vi
8. Kepada Yunita Chairani Damanik kekasih tercinta yang selalu membantu penulis dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan cukup baik walaupun sampai harus terlunta-lunta tetapi penulis tetap semangat, I Love you full……. 9. Teman-teman Ilmu Hukum: Sandi, Kiki, Isam, Tomi, Aryo, Gari, Ridwan, Nando, Anto, Haidar, Jemi, Tege, Marwan, Ade, Adri, Uyung, Ian, Daboy, Gilang, Waldan, Masda, Ulama, Riyan, Engkoh, yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya terima kasih atas kebersamaanya, semangatnya, serta wawasannya sehingga penulis bisa mencapai tahap ini semoga kita semua bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-sebesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya bagi penulis.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Rizky Ramandhika
vii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING …….....................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…………………...…….ii LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………...iii ABSTRAK ………………………….…………………………………………..…. .iv KATA PENGANTAR …………………………………………………………..….v DAFTAR ISI ……………………………………………………………................vii
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ……………………………………..1
B.
Batasan Dan Rumusan Masalah ……….………….................6
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………............... ..7
D.
Tinjauan Kajian Terdahulu ………………………………......9
E.
Kerangka Konseptual ………………………………............ 10
F.
Metode Penelitian …………………………………………..13
G.
Sistematika Penulisan …………………………………........16
viii
BAB II
BAB III
NEGARA HUKUM INDONESIA A.
Teori Negara Hukum…………………………... …….…… 17
B.
Sistem Check and Balance…………. …………………….. 21
C.
Hak Prerogatif Presden Sebagai Kepala Negara…….............22
D.
Lembaga Perwakilan Rakyat …………………….………....26
E.
Uji Kepatutan dan Kelayakan…………. ……………….......30
LEMBAGA KEPOLISIAN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAN INDONESIA A.
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia………... ...34 1. Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia……....34 2. Kedudukan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia…..37 3. Tugas dan Kewenangan Lembaga Kepolisian…………..40
B.
Dewan Perwakilan Rakyat.....................................................45 1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat…………………44 2. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat……………………45 3. Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat……46
C.
Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan ........…… 47
ix
BAB IV
PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A.
Landasan Filosofis Sosioligis dan Yuridis Terbentuknya Undang Undang No 2 Tahun 2002…………….................. 51 1. Landasan Filosofis……………………………………….51 2. Landasan Sosiologis……………………………………..52 3. Landasan Yuridis…………………………………….......57
B.
Peran Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia………..................... 58
C.
Dampak Adanya Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam Hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia…..………………………………………………..70 PENUTUP
BAB V A.
Kesimpulan …………………….……………………….. …74
B.
Saran ………………………….…………………………….75
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...76
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam suku bangsa ras dan budaya yang tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia. Kedaulatan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.1 Dimana pun suatu negara yang berkedaulatan hukum salah satu tujuan pokoknya adalah melindungi Hak Asasi Manusia dan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi warga negara. Keberadaan suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya Hak Asasi Manusia dan kehidupan demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memiliki hak asasi bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.2 Hak asasi manusia adalah hak dasar kodrati setiap orang yang keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian.
1
Janedri M Gaffar, Demokrasi konstitusional praktik ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.7. 2
Rhona K.M smith, at.al.---, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:PUSHAM UII, 2008), h,11
1
2
Tuhan dan karenanya, negara wajib melindunginya. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia secara yuridis didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemberian jaminan hak asasi yang biasa disebut juga sebagai hak konstitusional. Suatu negara hukum yang lahir dari konstitusionalisme harus bercirikan : 1) adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, 2) adanya peradilan yang bebas dan mandiri 3) serta adanya asas legalitas. Oleh karena itu, hak konstitusional warga negara harus dijamin dalam konstitusi sebagai bentuk pengakuan Hak Asasi Manusia serta adanya peradilan yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Selain itu yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.3 Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik 3
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:Sinar Bakti,1988) h., 153.
3
tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu yang terpenting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.4 Negara Republik Indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-lembaga negara tidaklah diadakan pemisahan yang kaku dan tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya. Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu : 1. Legislatif yaitu bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 2. Eksekutif yaitu bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menterimenteri yang membantunya. 3. Yudikatif yaitu bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kekuasaan
Legislatif
sebagai
pembuat
undang-undang
dalam
hal
menjalankan praktik ketatanegaraan, sebagai pembuat hukum di suatu Negara. 4
Ibid., h. 154.
4
Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Dalam membentuk undang-undang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Negara Indonesia selain menggunakan konsep trias politica juga mengenal dengan adanya teori sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensil yang termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan pemerintah berdasarkan undang-undang” bahwa sesungguhnya presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas roda pemerintahan suatu Negara oleh karena itu presiden berhak atas hak prerogratifnya mengangkat jajaran pemerintahanya tanpa terperngaruh oleh lembaga lain, dalam hal ini pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). Lembaga kepolisian merupakan lembaga independen dibawah ranah eksekutif yang bertugas mengawal negara Indonesia dalam menjaga kestabilan dari segi internal. Fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu dewan perwakilan rakyat ikut serta dalam menentukan Kepala Kepolisian Republik Indonesia bersama presiden padahal sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensil kewenangan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia harusnya utuh berada ditangan presiden karena presiden memiliki hak prerogratif dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Penulis berkeinginan untuk meniliti lebih dalam tentang permasalahan ini dengan judul “Persetujuan Dewan Perwakilan
5
Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian ” B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat begitu luasnya cakupan pada pembahasan ini, maka penulis membatasi pembahasan yaitu sebatas peranan dan hubungan lembaga Legislatif dengan lembaga Eksekutif, sejarah singkat lembaga kepolisian di indonesia, mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta teori yang berhubungan dengan Negara hukum. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: a. Apa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002? b. Bagaimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia? c. Bagaimana dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan penulisan penelitian adalah sebagai berikut:
6
a. Untuk mengetahui
apa landasan
filosofis,
sosiologis
dan
yuridis
terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian b. Untuk mengetahui bagaimana peran dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia c. Untuk mengetahui dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan kepala kepolisian republik indonesia 2. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai fungsi kekuasaan legislatif serta dapat mengetahui sejauh mana hubungan lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam suatu praktek ketatanegaraan dan memperkaya khazanah penelitian ilmiah hukum tata negara yang bermanfaat bagi setiap bangsa. b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagi Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu hukum khususnya di bidang kelembagaan negara yang berkaitan dengan Peran lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya yang nantinya diharapkan dapat dipergunakan untuk bahan kajian mahasiswa. 2) Bagi Masyarakat Umum
7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah tambahan informasi kepada masyarakat dan diharapkan bisa menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam hal kewenangan dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. 3) Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam peranya mengangkat Kepala Kepolisian Republik Indonesia bersama presiden dalam hal ini agar Dewan Perwakilan Rakyat mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas sebagai berikut: Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Alam Saputra yang berjudul “Pergeseran Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran kewenangan pangangkatan Duta dan Konsul Republik Indonesia sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terlihat pada posisi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hak penuh dari Presiden untuk mengangkat Duta
dan Konsul. Namun setelah
perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebelum Duta dan Konsul diangkat oleh
8
presiden, maka harus mendapatkan pertimbangan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian Skripsi yang dilakukan oleh Lana Rachmalia Octavani pada tahun 2013 yang berjudul “ Pergeseran Kewenangan Lembaga Negara Setelah Amandemen
Undang-Undang
Dasar
1945
(Studi
Terhadap
Majelis
Permusyawaratan Rakyat)” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran kewenangan lembaga tinggi Negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Skripsi yang saya lakukan ada perbedaan dengan dua penulis skripsi diatas karena berbeda obyek penelitian, penulis pertama obyek penelitianya adalah Duta Konsul sedangkan skripsi penulis obyek penelitianya adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk penulis kedua berbeda dengan skripsi penulis karena beliau
berbicara
tentang
pergeseran
kewenangan
lembaga
Majelis
Permusyawaratan Rakyat sedangkan skripsi penulis berbicara tentang Dewan Perwakilan Rakyat yang ikut campur dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. E. Kerangka Konseptual Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan anatara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian
9
mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut5. Penulisan skripsi ini menggunakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Negara Hukum Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaannya didasarkan atas hukum. Menurut Arif Sidharta, ciri negara hukum ada lima yakni: (1) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) perlakunya asas kepastian hukum, (3) adanya persamaan didepan hukum (equality before the law), (4) penerapan asa demokrasi, (5) pemerintah dan pejabat yang amanah dalam mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat6 2. Trias Politica Trias Politica, yaitu bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaankekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. Ada perbedaan antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif kedalam
kekuasaan
eksekutif,
sedangkan
Montesquuie
memandang
kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. 5
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h, 132.
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, (November 2004), hal, 124.
10
Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya sehingga dalam praktik ketatanegaraan dapat mengurangi masalah-masalah antar lembaga dan agar setiap lembaga tidak melakukan kesewenangwenangan dalam hal menjalankan tugasnya. 3. Sistem Pemerintahan Presidental, parlementer dan referendum Moh. Mahfud mengemukakan bahwa dalam studi ilmu negara dan ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu Presidental, Parlementer, dan Referendum.7 : a. Didalam sistem Presidental dapat dicatat adanya prinsip-prinsip sebagai berikut : Kepala negara menjadi kepala pemerintahan dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), kedudukan pemerintah dan parlemen adalah sejajar. Kemudian Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden, Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat. b. Sistem Parlementer, menganut ciri-ciri sebagai berikut : Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa), pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh 7
Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet -II (Jakarta, Rineka Cipta, 2001), h. 90
11
parlemen melalui mosi, (karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari (dan tergatung pada ) parlemen. Sebagai imbangan dari lebih lemahnya kabinet ini, maka kabinet dapat meminta kepala negara untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan-alasan yang sangat kuat karena parlemen dinilai tidak representatif. Tapi jika demikian yang terjadi maka dalam waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru. c. Sistem Referendum. Dalam sistem ini, lembaga eksekutif merupakan bagian dari lembaga legislatif, jadi Lembaga Eksekutif adalah badan pekerja dari lembaga legislatif yang dibentuk oleh lembaga legislatif sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lembaga legislatif dalam sistem ini dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum. Pembuatan undang-undang di dalam sistem referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui dua macam mekanisme, yaitu Referendum ogligator, yaitu referendum untuk menentukan disetujui atau tidaknya oleh rakyat berlakunya suatu peraturan atau perundang-undangan baru. Referendum ini disebut referendum wajib. Referendum fakultatif, yaitu referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau undang-undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum tidak wajib.
12
F. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi.8 Dari penelitian tersebut dapat dijadikan dasar pemikiran bahwa suatu penelitian diselesaikan untuk dapat menjawab isu-isu penting dan terhangat yang terjadi di dalam suatu masyarakat khususnya di bidang hukum dengan menganalisis isu-isu tersebut. Setelah dianalisa maka dilakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta-fakta hukum yang relevan untuk menjawab permasalahan yang ada.9 Selain itu menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi di bidang hukum yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten, yang bertujuan untuk memperlajari suatu gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.10 1. Jenis Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada sejauh mana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolsian Republik Indonesia dan hubungan Dewan Persetujuan Rakyat dengan Presiden dalam
8
Peter mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:kencana,2009) h.35.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI Press, 1982) h.43.
10
Topo Santoso,”Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif”:Pelatihan Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia” 25 April 2005 Depok.
13
hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini menggunakan
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis dan konseptual hukum (conceptual approach).11 Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan perundangundangan beranjak pada peraturan yang berkaitan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat, hubungan dewan perwakilan rakyat dengan presiden dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta mekanisme pengangkatannya. Pendekatan sejarah dilakukan untuk mengetahui asal ataupun sebab lahirnya Lembaga Legislatif dan Lembaga Kepolisian Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan cara menelaah pandangan para ahli hukum tata negara yang berkaitan dengan Lembaga Legislatif, Lembaga Eksekutif dan Lembaga Kepolisian dan menghubungkan dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan sejarah. 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan Hukum Primer
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI(Surabaya: Kencana, 2010), h.126
14
Badan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar 1945 2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian b.Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari buku-buku yang berhubungan dengan trias politika, Negara hukum, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, Lembaga kepolisian dan buku-buku Hukum Tata Negara, skripsi, tesis dan disertasi tentang hukum tata negara yang berkaitan dengan peran lembaga legislatif, hubungan lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia c. Bahan Non Hukum Adalah bahan yang menunjang petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Ensiklopedia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
15
pendekatan yang dilakukan oleh penulis yakni pendekatan perundangundangan dan sejarah, kemudian dihubungkan dengan pendapat para ahli hukum. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Terbitan Tahun 2012, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan adalah sebagai berikut: BAB I :Merupakan pendahulu yang bermuatkan: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Review/ Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II :Merupakan bab pembahasan tentang landasan teori seperti teori Negara hukum, sistem check and balance, hak prerogratif dan presiden sebagai kepala Negara dan teori perwakilan rakyat BAB III :Merupakan bab pembahasan tentang mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, sejarah lembaga kepolisian, kedudukan lembaga
kepolisian
dalam
praktek
ketatanegaraan,
mekanisme
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam perundangundangan
16
BAB IV :Merupakan bab yang akan membahas tentang landasan filosofis, sosiologis dan yuridis Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dampak adanya peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia BAB V :Merupakan Bab Penutup, dalam bab ini akan menjelaskan Tentang kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan akan diuraikan secara ringkas menganai jawaban dari permasalahan inti yang sebagaimana telah diuraikan pada bab pendahuluan. Saran berisi masukan-masukan dari penulis terkait dengan pembahasan.
20
83
83
85
Perpres No 17 Tahun 2011 pasal 16 ayat 1
Unsur Filosofis, berisi landasan kewenangan suatu instansi/ lembaga dalam menyusun peraturan (masalah sosial yang ingin diselesaikan dengan peraturan); Unsur Sosiologis, berisi fakta yang ingin diatur (penyebab utama masalah sosial); Unsur Yuridis, memuat pernyataan tentang pentingnya pengaturan (solusi atas permasalahan).
85
BAB II NEGARA HUKUM INDONESIA
A. Teori Negara Hukum Konsep negara hukum merupakan salah satu objek studi yang selalu aktual untuk dapat dikaji lebih dalam. Pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Oleh karena itu, dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu diketahui terlebih dahulu gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.1 Awal mula gagasan hukum sudah berkembang sejak 1800 SM.2 Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani Kuno yang dikemukakan oleh Plato, ketika memperkenalkan konsep nomoi.3 Menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan pada hukum yang baik, yaitu negara yang berkonstitusi dan berkedaulatan hukum.4 Terdapat tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang dilaksanakan:
1
Jazim Hamidi, dkk. Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h
143 2
J.J. Von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pembangunan,
1988), h.7 3
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007), h.3
4
Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara, h.143
17
18
1) Untuk kepentingan umum 2) Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi. 3) Atas kehendak raykat, bukan karena paksaan atau tekanan yang dilaksanakan oleh pemerintahan despotik. Pada perkembangannya, Immanuel Kant memberikan gambaran tentang negara hukum Liberal, yaitu negara hukum dalam arti sempit yang menempatkan fungsi recht pada staat, sehingga negara berfungsi sebagai penjaga malam. Artinya, tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat, jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat tidak boleh ada campur tangan pemerintah yang sewenang-wenang. Dalam konsep negara hukum selanjutnya muncul istilah rechtsstaat yang banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law. Konsep rechtsstaat ini dikemukakan oleh Frederick Julius Stahl5 yang menyatakan bahwa dalam negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara formal, yaitu sebagai berikut: 1) Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia 2) Penyelenggara negara harus berdasarkan teori Trias Politika 3) Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang 4) Adanya pengadilan administrasi jika pemerintah melanggar Hak Asasi Manusia dalam menjalankan tugasnya. 5
Moh. Mahmud.M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), h.127 h
19
Berbeda
dengan
Eropa
Kontinental,
negara-negara
Anglo-Saxon
menyebutnya sebagai the rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey. Menurut Dicey konsep the rule of law menekankan pada tiga tolak ukur yang meliputi6 supremasi hukum ( supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights). Rechtsstaat banyak dianut negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo-Saxon yang bertumpu pada sistem common law. perbedaan dua konsep tersebut adalah pada konsep civil law lebih menitikberatkan pada administrasi, sedangkan pada konsep common law menitikberatkan pada yudisial. Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi dimaknai berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda sangat tergantung pada ideologi dan sistem politik suatu negara. Setiap tindakan penguasa ataupun raykatnya harus berdasarkan pada hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan negara hukum, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyat. Menurut Tahir Azhari7 dalam penelitiannya sampai kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu genus begrip yang terdiri atas lima konsep, sebagai berikut: 1) Konsep negara hukum menurut AL Quran dan sunah yang diistilahkannya dengan nomokrasi Islam 6
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h.30 7
M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet.III (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007), h.83-84
20
2) Konsep rechtstaat 3) Konsep rule of law 4) Konsep socialist legality 5) Konsep negara hukum Pancasila Konsep rule of law merupakan pengembangan semata dari konsep rechtsstaat. Sementara itu, antara konsep rule of law dengan socialist legality mengalami pengembangan sejarah dan ideologi yang berbeda di mana rechtsstaat dan rule of law berkembang negara Inggris, Eropa Kontinental, dan Amerika Serikat, sedangkan socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis seperti Rusia, Korea utara, China. Namun sebenarnya, ketiga konsep tersebut lahir dari akar yang sama yaitu manusia sebagai titik fokus yang menempatkan rasionalisme, humanisme, dan sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi sumber nilai. Pada sisi yang lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai.8 Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Al Quran dan sunah, sedangkan konsep negara hukum Pancasila menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau ukuran nilai, sehingga kedua konsep ini memiliki kesamaan yang berpadu pada perlakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis. Selain itu, kedua konsep ini menempatkan Tuhan, manusia, agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
8
Jazim Hamidi, dkk. Teori hukum tata Negara. h.145
21
B. Sistem Check and Balance Sistem check and balance pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada abad pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan. Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi oleh negara Amerika Serikat. Negara yang menganut demokrasi terkenal dengan ajaran trias politika yaitu pembagian kekuasaan didasarkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai akibat pembagian kekuasaan kenegaraan ini munculah lembaga-lembaga kenegaraan yang masing-masing diserahi dalam melakukan bidang kekuasannya.9 Masing-masing lembaga tersebut harus mempunyai kekuasaan yang terpisah dan mampu berjalan sendiri tanpa saling mempengaruhi dan terpengaruh, serta tidak saling mencampuri satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai perlengkapan yang melakukannya. Selanjutnya, bahwa di dalam ajaran trias politica itu terdapat suasana “check and balances” dimana didalam hubungan antar lembaga negara tersebut saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan atau masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya sehingga antar lembaga-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.10 Ketiga lembaga negara tersebut harus berjalan sesuai mekanisme check and balances, saling mengontrol/mengawasi dan menyeimbangkan.
9
Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet.III (Jakarta-bandung: PT Eresco ,1960) , h. 29. 10
Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945,(Jakarta:PT Gramedia,1989) h.31
22
Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atapun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
C. Hak Prerogratif Presiden Sebagai Kepala Negara Prerogatif (bahasa Latin: praerogatio, -onis (femininum); bahasa Inggris: prerogative; bahasa Jerman: das Vorrecht; "hak istimewa") dalam bidang hukum adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. Hal ini merupakan aspek umum dari hukum feodal atau kerajaan. Kata "prerogatif" dalam bahasa Latin diartikan hak lebih tinggi (diberi preferensi) dalam makna hukumnya.11 Hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.12 Hal ini
11
Prerogratif dari Wikipedia eniklopedia bebas diakses pada tanggal 16-06-2015 pukul 13.05 WIB https://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif 12
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta:PT Gama Media, 1999), h,256
23
bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat. Bentuk kekuasaan Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dapat dikelompokkan sebagai berikut : a) Kekuasaan Kepala Negara Kekuasaan
Presiden
sebagai
kepala
negara
hanyalah
kekuasaan
administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain13.Kekuasaan Kepala Pemerintahan. b) Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit, pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan
sebagai
berdasarkan
pada
kekuasaan konstitusi
pelaksanaan dan
pemerintahan
peraturan
sehari-hari
perundang-undangan.
Pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari
13
Titik triwulan tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:PT Kencana, 2011). h, 206
24
badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Pada Undang Undang Dasar 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. c) Kekuasaan Legislatif Undang Undang Dasar 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden adalah “partner” Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi legislatif. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakan hak vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggung jawabannya baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum.14 Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dinyatakan secara eksplisit sebanyak 24 bentuk dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangundangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan tersebut dikategorikan sebagai berikut : a. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri, Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :
14
Ibid. h.205
25
1) Kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan (Kepolisian Negara Republik Indonesia ) 2) Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya 3) Kekuasaan mengangkat duta dan konsul 4) Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945. 5) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. 6) Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan Rancangan UndangUndang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. 7) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung Republik Indonesia. 8) Kekuasaan mengangkat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia) 9) Kekuasaan mengangkat Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) b. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah : 1) Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian 2) Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain 3) Kekuasaan membentuk undang-undang 4) Kekuasaan menetapkan Peraturan Pengganti Undang-undang 5) Kekuasaan menetapkan APBN Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan
persetujuan DPR terlebih dahulu.
Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka
26
harus mendapat persetujuan DPR. Jika
perjanjian dianggap kurang
penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan
persetujuan
Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya tersisihnya peran wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara. D. Lembaga Perwakilan Rakyat Teori Perwakilan Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili,
dan
ketiga
berkaitan
dengan
bagaimana
hubungan
serta
kedudukannya.15 Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya “wakil”, yaitu: 1) adanya partai, 2) adanya kelompok, dan 3) adanya daerah yang diwakili.
15
Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (medan: Syiah Kuala University Press 2008), h. 41
27
Klasifikasi yang demikian, maka akan melahirkan tiga jenis perwakilan, yaitu perwakilan politik (political representative), perwakilan fungsional (functional representative) dan perwakilan daerah (regional representative).16 Menurut Leon Duguit, dasar adanya jalinan hubungan antara pemilih (rakyat) dengan wakilnya adalah keinginan untuk berkelompok, yang disebut solidaritas social, sebagai dasar lahirnya hukum obyektif untuk membentuk lembaga perwakilan.17 Menyangkut dengan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili ada dua teori yang amat terkenal di samping teori-teori lain, yaitu Teori Mandat dan Teori Kebebasan. Kedua teori tersebut merupakan hasil perkembangan pemikiran yang bersifat saling melengkapi terhadap teori sebelumnya. Menurut Teori Mandat memandang bahwa para wakil menempati kursi di lembaga perwakilan atas dasar mandat dari rakyat, yang dinamakan mandataris. Teori yang berkembang oleh J.J. Rousseau dan Pation ini lahir pada waktu saat revolusi dan dalam perjalananya terpecah menjadi 3 (tiga) macam.18 : yaitu a. Teori Mandat Imperatif Teori ini mengatakan bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang mewakilinya. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil,
16
ibid, h 41
17
Bintan r saragih, Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia, (Jakarta:gaya media pratama, 1988), h, 84-85 18
Eddy purnama, lembaga perwakilan rakyat. h. 44
28
maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya. Untuk adanya suatu jaminan yuridis bagi rakyat agar para wakil tidak bertindak menyimpang dari keinginannya, maka lembaga recall merupakan benteng dipergunakan untuk menjaga pola hubungan imperatif ini. Lembaga recall ini dimaksudkan untuk dapat menarik kembali si wakil bila terbukti aktivitasnya tidak sesuai dengan keinginan rakyat yang diwakilinya. Konsep ini sepertinya tidak efisien dan dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil setiap saat jika ingin bertindak harus terlebih dahulu menunggu intruksi dari pihak yang diwakilinya. b. Teori Mandat Bebas Teori ini mengatakan bahwa para wakil yang duduk di dalam lembaga perwakilan tidak terikat dengan para pemilih, karena setiap wakil yang dipilih dan duduk disana adalah orang-orang yang telah dipercaya dan memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya. Oleh karena itu, para wakil tidak terikat dengan instruksi-instruksi dari para pemilihnya dan tidak dapat ditarik kembali oleh mereka. Dalam konsepsi seperti ini terlihat bahwa antara si wakil dengan yang diwakili tidak terdapat hubungan secara hukum, dalam hal ini si wakil hanya dibebani tanggung jawab politik semata yang memberi konsekuensi bila aktivitas si wakil tidak dapat memuaskan pihak yang diwakili, maka para wakil tersebut tidak mempunyai peluang untuk dipilih kembali, Ajaran Mandat Bebas ini selanjutnya berkembang lagi dalam bentuknya lain yaitu
29
c. Teori Mandat Representatif Teori ini mengatakan bahwa para wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan. Sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggungjawabannya, yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan kepada rakyat pemilihnya. Perkembangan teori mandat yang demikian melahirkan rasa yang kurang puas bagi para pemikir lainnya, karena dianggap teori tersebut belum memiliki landasan yang kuat tentang kebebasan hukum dari lembaga perwakilan rakyat, ketiga teori diatas merupakan penjelasan awal bagaimana teori perwakilan rakyat terbentuk dan telah banyak disempurnakan oleh ilmuwan lain yang kemudian lahir kembali teori baru yang dinamakan dengan teori organ yang dipelopori oleh Von Gierke kebangsaan jerman. d. Teori Organ Ajaran ini melihat bahwa Negara merupakan suatu organisasi yang memiliki alat-alat
perlengkapan
dengan
fungsi
sendiri-sendiri
dan
saling
ketergantungan. Lembaga perwakilan rakyat sebagai salah satu alat perlengkapan dimaksud bebas berfungsi sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar, karena itu setelah rakyat memilih wakil-wakilnya untuk menempati lembaga perwakilan, mereka tidak perlu lagi mencampuri kewenangan
30
lembaga perwakilan tersebut. Menurut pandangan Gilbert Abcarian19 ada empat macam karakter hubungan antara wakil dengan yang diwakili. Apabila si wakil bertindak bebas menurut pertimbangan sendiri tanpa instruksi dari yang diwakili maka si wakil berada dalam karakter “trustee” (wali). Tetapi jika si wakil melaksanakan tugas melalui intruksi dari yang diwakili, maka karakternya di sini adalah sebagai “Delegate” (utusan). Si wakil menurut karakter “politico” bila dia mengemban kedua karakter di atas (kadang sebagai wali kadang sebagai utusan). Namun bila si wakil bertindak sesuai dengan program induk organisasinya maka dalam hal ini dia dianggap sebagai “partisan”. Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia sebagai lembaga yang mewakili masyarakat menganut teori organ karena setiap kewenangangya diatur oleh undang-undang karena itu masyarakat dianggap tidak perlu mencampuri urusan dewan perwakilan rakyat oleh sebab itu media cetak, media televisi sebagai salah satu bentuk pengawasan masyarakat terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
E. Uji Kepatutan dan Kelayakan ( fit and proper test ) Lembaga Perwakilan Rakyat mempunyai peranan yang sangat penting menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Seiring dengan perkembangan zaman, Hukum Tata Negara di Indonesia mulai perlahan lahan menguatkan basis aparatur di pemerintahan, dalam hal penguatan apratur Negara yang merupakan semangat 19
Ibid h. 46-47
31
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
28
Tahun
1999
Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Didalamnya terdapat asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu harus memiliki:20 a. Asas kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. b. Asas tertib penyelenggara Negara yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara. c. Asas kepentingan umum yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif. d. Asas keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperolah informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. e. Asas proposionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara. f. Asas profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil 20
akhir
dari
kegiatan
penyelenggaraan
negera
harus
dapat
Undang- Undang no 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi,Korupsi dan Nepotisme
32
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. h. Indonesia mengenal mekanisme uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh suatu lembaga dalam rangka menyeleksi calon pimpinan suatu lembaga tersebut, dalam fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang kemudian berkaitan dengan proses seleksi pejabat publik yang di kenal dengan istilah Fit and Proper Test, Secara substantif, Pada fungsi pengawasan, DPR-RI melakukan fit and proper test melalui rapat kerja, rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum. Banyak permasalahan yang berkembang dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.21 Fit and Proper Test di pemerintahan sudah digunakan sejak pemerintahan orde baru namun hanya pembaharuan istilah dan baru di atur dalam Keputusan Dewan Pewakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005 2006 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pasal 154 yang berbunyi : 1. Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar Dewan Pewakilan Rakyat melakukan/menganjurkan atau memberikan persetujuan atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna menugaskan kepada
21
Kep. DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 2006 Tentang Tata Tertib DPR RI
33
Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasan kepada komisi terkait. 2. Tata cara pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan meliputi : a. Penelitian administrasi b. Penyampaian visi dan misi c. Uji kelayakan (Fit and Proper Test) d. Penentuan urutan calon Tuntutan Undang-undang untuk memberikan predikat good governance kepada Negara dengan amanat Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi Korupsi Nepotisme yang dibebankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undangundang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan, maka untuk memaksimalkan sebuah cita-cita tersebut, dibutuhkan para pejabat publik yang memiliki tingkat profesionalitas yang tinggi yang mana seorang pejabat publik harus diuji sebelum menjalankan tugasnya yaitu dengan Fit and Proper Test yang sesuai dengan penjelasan UU No. 28 Tahun 1999 pasal 4 yang berbunyi “ Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum, asas keterbukaan, asas proporsional, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.”22
22
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Kolusi,Korupsi dan Nepotisme
BAB III LEMBAGA KEPOLISIAN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (1)Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.1 Pada masa kolonial Belanda awalnya kepolisian hanya terdiri dari orang kulit putih saja. Sehingga pada masa pemerintahan Deandels, kepolisian pada waktu itu terbagi menjadi dua yaitu kepolisian bersenjata yang diisi oleh orang-orang Belanda dan kepolisian pamong praja yang diisi oleh orang pribumi dan tidak diperbolehkan memegang senjata. Selain kedua bentuk tersebut, dibentuk pula satuan bernama gewarpende politie yang kemudian berubah menjadi veld politie merupakan bagian dari unit pemadam pemberontakan pada waktu itu. Sejarah pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di kota Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk
1
Markus gunawan dkk, Buku pintar calon anggota dan anggota Polri. (Jakarta:visimedia 2009) h. 5.
34
35
menjaga keamanan mereka.2 Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacammacam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi, orang pribumi tidak diberikan jabatan yang tinggi dikarenakan pada waktu itu belanda waspada rakyat indonesia melakukan perlawanan balik untuk mengusir belanda. Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.3 Pada waktu sebelum kemerdekaan Indonesia pada waktu Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Lahir tumbuh dan berkembangnya kepolisian indonesia tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan republik indonesia sejak proklamasi..
2
Marieke blombergen, Polisi Zaman Hindia Belanda dari kepedulian dan ketakutan. (Jakarta:kompas 2011) h. 27 3
ibid. h.65
36
Sejarah perjalanan Kepolisian Republik Indonesia khususnya yang berkenaan dengan kedudukan struktural organisasi kepolisian, beberapa kali mengalami perubahan.4 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 agustus 1945 menetapkan bahwa polisi dimasukan kedalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Pada tanggal 22 agustus 1945, dideklarasikan kelahiran Polisi Nasional Indonesia. Pada tanggal 1 oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung, yang menyatakan bahwa semua kantor Kejaksaan masuk ke dalam lingkungan Departemen Kehakiman, sedangkan semua kantor badan Kepolisian masuk ke dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.5 Dalam rangka melakukan pembenahan organisasi kepolisian, dua bulan kemudian Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto sebagai kepala polisi pertama. Setelah beberapa waktu berjalan kedudukan kepolisian yang berada dibawah Departemen Dalam Negeri dirasakan menyulitkan peran Kepolisian. Maka diterbitkanlah PP nomor 11/SD tahun 1946 pada tanggal 1 juli 1946, yang mengeluarkan djawatan Kepolisian Negara dari Departemen Dalam Negeri dan menjadikannya sebagai institusi yang mandiri, berdiri sendiri langsung
4
Bibit S.rianto, Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah Kemandirian Dalam Rangka Menegakkan Supremasi Hukum, (Jakarta:ghalia,1999),h.29. 5
Mabes Polri, Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa,(jakarta:Mabes Polri,2008), h.81.
37
dibawah perdana menteri.6 Pada tanggal ini pula ditetapkanya hari kelahiran Polri (Hari Bhayangkara). Perkembangan selanjutnya Kepolisian kemudian disatukan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Undang-Undang No 13 tahun 1961 yang berisi “Polri berada dibawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Kepolisian yang sebelumnya berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) maka melalui Inpres Nomor 2 tahun 1999 kemudian lahir pula Tap MPR nomor VI dan VII tahun 2002 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia
ditetapkanlah pemisahan Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) dari tubuh Tentara Nasional Indonsia (TNI). Pemisahan tersebut dipertegas dengan diubahnya undang-undang nomor 27 tahun 1997 menjadi undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada masa kabinet presidensial, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Kepolisian Republik indonesia dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri. (2)Kedudukan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan presidensil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin
oleh
Presiden,
sehingga
Presiden
bertanggungjawab
atas
penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji tentang kedudukan
6
Ibid. h.83.
38
kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. Setiap lembaga Negara harus menjalankan wewenangnya berdasarkan undang-undang dalam arti materiil, hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensial yang harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, seperti dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo, bahwa konsekuensi dari sistem presidensil, yaitu sebagai sistem yang menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945.7 Selain itu dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum. Pada teori ketatanegaraan, bagi negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial negara dipimpin oleh seorang Presiden dalam jabatannya selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dikaitkan dengan makna kepolisian sebagai “alat negara” sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (4) UndangUndang Dasar 1945, berarti kepolisian dalam menjalankan wewenangnya berada di bawah Presiden selaku Kepala Negara. Disisi lain fungsi kepolisian yang mengemban salah satu “fungsi pemerintahan” mengandung makna bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada lembaga
7
Soewoto Mutyosudarmo, “Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi” :Prosiding workshop:Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans, (Malang,2004), h. 7
39
kepolisian, terutama tugas dan wewenang di bidang keamanan dan ketertiban. Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa “Presiden adalah pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi Negara”. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi yang dikelompokkan ke dalam: 1) Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum. 2) Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain lain. 3) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan. 4) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum.8 Kedudukan lembaga kepolisian tidak diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, lain halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang diatur secara tegas dalam pasal 10 Undang-UndangDasar 1945, yakni “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara” . Akan tetapi ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut pembentukan undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan Polri dalam menjalankan tugasnya. Sehingga konsekuensi logis dari ketentuan pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 terbentuklah
8
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta:GamaMedia-Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,1999), h, 122-123
40
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dimana didalam Undangundang dimaksud lembaga kepolisian diposisikan dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping itu adanya beberapa instrumen hukum yang sebelum lahirnya Undang undang No. 2 Tahun 2002 telah mengatur tentang kedudukan lembaga kepolisian di bawah Presiden, seperti Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. B. Tugas dan Kewenangan Lembaga Kepolisian Tugas pokok kepolisian dimaknai sebagai fungsi utama lembaga kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah disini mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum (public servent), sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan untuk mendukung tujuan negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem ketatanegaraan. Dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas preventif (Pencegahan). Tugas represif ini adalah mirip dengan tugas kekuasaan executive, yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan tugas preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak dilanggar oleh siapapun. Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara
41
keamanan di dalam negeri. Dengan ini nampak perbedaan dari tugas Tentara Nasional Indonesia yang terutama menjaga pertahanan Negara yang pada hakikatnya menunjuk pada kemungkinan ada serangan dari luar negeri. Sementara itu, dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13 dijelaskan bahwasannya tugas pokok kepolisian adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat Selanjutnya pada pasal 14 dijelaskan bahwasanya dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :9 a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Mengenai ketentuan-ketentuan penyelidikan dan penyidikan ini, lebih jelasnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang diantaranya menguraikan pengertian penyidikan, penyelidikan, penyidik dan penyelidik serta tugas dan wewenangnya. h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
9
Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
42
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila dikaji dari cara memperoleh wewenang, kewenangan kepolisian diperoleh secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada undangundang, yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Philipus M.Hadjon membagi cara memperoleh kewenangan atas dua cara yaitu:10 1. Atribusi 2. Delegasi Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwasannya Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
10
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor I (Januari 1998) , h.90.
43
dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:11 a) menerima laporan dan/atau pengaduan; b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i) mencari keterangan dan barang bukti; j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya berwenang : a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; 11
Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
44
k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Beberapa peraturan perundang-undangan, yakni pasal 30 ayat (4) UndangUndang Dasar 1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan terutama dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum. Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan tersebut.
C. Dewan Perwakilan Rakyat 1.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Bunyi pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara”12. Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang, bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan presiden. Hierarki atau 12
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
45
kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.13 Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat sendiri merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar. 2.
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat Pada pasal 67 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatakan bahwa “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum”. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, DPR memiliki beberapa unit kerja yang biasa disebut dengan “alat kelengkapan”. Alat-alat kelengkapan DPR tersebut ada yang bersifat tetap dan sementara. Yang dimaksud dengan alat kelengkapan tetap adalah unit kerja yang terus menerus ada selama masa kerja DPR berlangsung, yakni selama lima tahun. Keanggotaannya juga tidak berubah dari awal sampai akhir, kecuali ada pemberhentian. Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara hanya dibentuk untuk kebutuhan dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Begitu juga dengan keanggotaannya, yang dapat digantikan tanpa ada pengaturan mengenai masa keanggotaannya. Salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap adalah Badan Legislasi yang tertuang dalam Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102 UU No. 27 Tahun 2009. Adapun alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, salah satunya, ialah panitia khusus, yang juga diatur dalam Undang-Undang 13
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:Sinar Grafika,2010) h. 37
46
No. 27 Tahun 2009, pada Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, dan Pasal 140 3.
Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Ketentuan yang terkait dengan tugas dan wewenang Dewan Pewakilan
Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut: Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut-disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20A (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi14, hak angket15, dan hak menyatakan pendapat.16 14
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 15 Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 16 Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau
47
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,17 menyampaikan usul dan pendapat18, serta hak imunitas.19 (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. Pasal 21 (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Pasal 22 (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
D. Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan Sampai saat ini belum ada satupun keputusan presiden yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan kepala kepolisian republik indonesia , yang adanya hanyalah peraturan presiden no. 52 tahun 2010 yang hanya mencantumkan pengangkatan dan pemberhentian kapolri dilakukan oleh Presiden, sebenarnya
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 17 Hak mengajukan pertanyaan adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah bertalian dengan tugas dan wewenang DPR. 18 Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapapun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata karma, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. 19 Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
48
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia disingkat (KAPOLRI) terdapat didalam undang-undang no 2 tahun 2002 yang terdapat didalam pasal 11 yang berisi20: (1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. (3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. (7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. (8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Keterlibatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pengusulan calon Kepala kepolisian republik indonesia oleh Presiden memang secara tegas diatur dalam pasal 38 ayat 1 huruf (b) UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian yang mana Kompolnas bertugas memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala kepolisian republik indonesia. Lembaga Kompolnas dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.17 Tahun 2011 tentang Kompolnas. Susunan keanggotan Kompolnas dari unsur pemerintah tiga
20
Undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
49
orang, pakar kepolisian tiga orang dan tokoh masyarakat tiga orang. Berdasarkan pasal 16 ayat 1 Peraturan Presiden No.17 Tahun 2011, Ketua dan Wakil Ketua Kompolnas dipilih dan ditetapkan presiden.21 Kompolnas merupakan lembaga struktural dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas dapat memberikan evaluasi terhadap kinerja Kapolri dalam rangka pemberhentian. Tentunya Kompolnas merupakan penasehat presiden terhadap kinerja seorang Kapolri apakah mau diusulkan atau diberhentikan. Komjen (purn) Oegroseno pernah menjelaskan, mekanisme pencalonan kepala kepolisian republik indonesia seharusnya melalui sidang Dewan Kebijakan Pangkat dan Karier Tertinggi Polri. Dalam sidang tersebut, seorang Kepala kepolisian republik Indonesia yang masih menjabat bisa ikut mengusulkan namanama calon yang dianggap memenuhi syarat sebagai Kepala kepolisian. Syarat kelayakan untuk menjadi Kepala kepolisian republik Indonesia juga sangat dipertimbangkan. Setelah Dewan memutuskan, sebut nama calon kepala kepolisian akan diserahkan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), untuk mendapat pertimbangan. Setelah itu, Kompolnas akan menyerahkan nama tersebut kepada Presiden.22 Seorang calon Kepala kepolisian republik indonesia tidak dapat berasal dari eksternal lembaga kepolisian dan dari kader partai politik tertentu. Karena berdasarkan pasal 11 ayat 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
21
Perpres no 17 tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional Ogroseno:Sejarah Pengangkatan Kapolri diubah diakses pada tanggal rabu 29-07-2015 pada pukul 14:43 WIB dari http://nasional.kompas.com/read/2015/02/03/17014131/Oegroseno.Sejarah.Pengangkatan.Kapolri. Diubah 22
50
kepolisian bahwa “calon Kepala kepolisian republik indonesia adalah perwira tinggi kepolisian aktif dengan memerhatikan jenjang pangkat dan karir”23. Sebab itu, jabatan seorang Kepala kepolisian bebas dari unsur pihak ekternal kepolisian.
23
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
BAB IV PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
A. Landasan Filosofis Sosiologis dan Yuridis Terbentuknya Undang Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian 1.
Landasan Filosofis Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga
penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi nya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.1 Sebagaimana kebanyakan negara-negara di dunia, Negara Indonesia juga tidak luput dari terpaan krisis moneter dan ekonomi yang bersifat global dan yang kemudian berkembang menjadi krisis politik, sosial-budaya, dan hukum. Dalam rangka
mengatasi
krisis
dimaksud,
Indonesia
melaksanakan
reformasi
paradigmatik secara total menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi, antara lain, berlangsungnya proses demokratisasi dengan baik dan benar,2 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
1
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, (Medan:USU press,
2009,h 40 2
Tim Pokja, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, (Jakarta:polri,1999)
51
52
Keseluruhan kebijakan yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 telah berjalan selama tiga belas tahun yang secara yuridis formil telah membawa pengaruh yang besar terhadap eksistensi polisi terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia, dan menjadi kenyataan landasan filosofis dibentuknya undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian atas dasar bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama pendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2.
Landasan Sosiologis Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat
ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik secara fungsi atau organ. Pada dasarnya polisi lahir bersama rakyat untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari warga masyarakat. Ketika masyarakat sepakat untuk hidup didalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi “sicherheitspolitizei”.3 Kehadiran polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai oleh pemerintah agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect) kepada masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah 3
Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI yang Professional, Mandiri, Berwibawa, dan dicintai Rakyat , (Jakarta :PTIK Press dan Restu AGUNG,2006) ,h 36
53
wajah hukum sehari-hari”. Disadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum. Polisi sipil memiliki 3 kriteria yaitu cepat tanggap, keterbukaan dan akuntabilitas. Kriteria tersebut menuntut sikap dan perilaku yang berlandasakan nilai-nilai inti tertentu yang dirumuskan sebagai integritas pribadi (integrity), kewajaran/adil (fairness), rasa hormat (respect), kejujuran (honesty), keberanian/ keteguhan hati (courage) dan welas asih (compassion).4 Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukum akan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum.5 Berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia dengan Tugas militernya yaitu untuk mengamankan negara dari ancaman musuh. Dalam pelaksanaan tugasnya militer dapat menghancurkan dan membunuh musuh dengan kekerasan, dan demi komando dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), sebaliknya aparat kepolisian bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.6 Tugas pokok kepolisian 4
Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Polri, Cet I ,(Jakarta:P.T. Merlyn Press,2009), h. 33 5
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia, (jakarta:Kompas,
2002) 6
Awlloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian Di Indonesia di Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta:yayasan Brata Bhakti Polri,2007) h.470.
54
merupakan tugas-tugas yang harus dikerjakan atau dijalankan oleh lembaga kepolisian, dengan demikian tugas lembaga yang dijalankan oleh anggota kepolisian dapat dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus. Jenis pekerjaan tersebut menjadi tugas dan wewenang kepolisian yang harus dijalankan dengan pengetahuan intelektual, keahlian atau kemahiran yang diperoleh melalui pendidikan atau training, dijalankan secara bertanggung jawab dengan keahlianya, dan berlandaskan moral dan etika.7 Setiap masyarakat selalu mendambakan kehidupan yang damai dan tentram oleh karenanya masyarakat pun harus taat dan patuh terhadap polisi karena polisi merupakan salah satu pilar yang penting dalam suatu negara. Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi ini janji janji dan tujuan tujuan untuk mengamankan dan melindungi masyarakat menjadi kenyataan.8 Keinginan masyarakat untuk hidup dengan aman dan tentram sudah menjadi suatu tugas pemerintah untuk mewujudkan melalui lembaga kepolisian. Secara sosiologis terbentuknya UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian didasarkan bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi:9 1) Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat Keamanan serta ketertiban masyarakat merupakan fondasi awal dalam roda pemerintahan yang berdaulat, karena dengan tertib serta amannya suatu masyarakat maka pemerintah pun dapat menjalankan roda pemerintahanya 7
Sadjijono, Etika profesi hukum, Cet I , (Jakarta:Laksbang Mediatama,2008), h.35
8
DPM. Sitompul, Hukum kepolisian Indonesia, (Bandung:Tarsito,1985) h 133
9
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
55
dengan baik. Sebagai contoh apabila masyarakat ataupun mahasiswa ingin berdemonstrasi maka lembaga kepolisian pun menurunkan personilnya untuk dapat menjaga keamanan dalam hal yang tidak diinginkan seperti kerusuhan,kerusakan fasilitas umum dan lain-lain. Selain itu polisi juga bertugas menjaga ketertiban lalu lintas untuk para pengendara mobil dan motor, 2) Penegakan hukum Keadilan dalam hal penegakan hokum merupakan syarat pendukung keamanan dan ketertiban masyarakat, karena apabila penegakan hukum berjalan dengan baik maka keamanan serta ketertiban pun dapat terjaga. Dalam masyarakat luas banyak kejahatan kriminal seperti pembunuhan, pencopetan, penculikan dan lain-lain. Oleh karenanya lembaga Kepolisian sebagai salah satu lembaga yang bertugas dalam hal penegakan hukum harus dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan penegak hukum guna menunjang penegakan hukum yang berkeadilan, B. M. Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda, yang terkenal dengan katakatanya yang berbunyi, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” artinya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan perkataan lain, “berikan padaku hakim,polisi dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan
56
keadilan.10 Sebagai contoh lembaga Kepolisian tidak boleh tebang pilih atas setiap kasus kriminal yang terjadi dimasyarakat, Polisi harus bertindak tegas dan adil serta harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.11 3) Perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Suatu pemerintahan yang baik lembaga kepolisiannya yang bertugas dalam hal perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polisi harus memiliki etika yang baik, etika adalah tidak bertingkah laku semata-mata menuruti nafsu semata tetapi melakukan perbuatan dengan bertujuan dan bercita – cita yang mulia.12 Agar masyarakat mendapatkan kemudahan dalam setiap menjalankan aktivitasnya, dengan menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia maka kepolisian dalam hal memberikan perlindungan, pengayoman serta pelayanan tidak boleh melanggar hukum dan etika di masyarakat. Sebagai contoh lembaga Kepolisian tidak boleh menerima suap dalam hal pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM) ataupun pembuatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK),
10
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:Kompas 2007) hlm. 6
11
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta:Kompas,2007) hlm. 103 12
Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi Kepolisian, STIK-PTIK, Edisi 075, hal. 18
57
3.
Landasan Yuridis Politik hukum yang membuat terbentuknya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian sebagai usaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan institusi kepolisian, telah dimulai dari adanya pergerakan pada masa reformasi yang sifatnya sangat fundamental dalam kehidupan berdemokrasi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta memiliki tujuan untuk kehidupan yang lebih baik. Pengaruh yang besar terhadap eksistensi kepolisian terlihat dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Pemisahan antara Kepolisian dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sekarang telah berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian diikuti dengan berbagai macam produk hukum yaitu Keppres nomor 89 tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang menyatakan bahwa kepolisian berkedudukan langsung dibawah presiden, berikutnya ditegaskan dengan produk politik berupa Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan tentara nasional Indonesia dengan kepolisian republik Indonesia dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Republik Indonesia. Secara yuridis pemisahan antara POLRI dengan ABRI, bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, dengan diubahnya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997 menjadi undang-undang Nomor 2 tahun
58
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia. Begitu banyaknya tugas serta fungsi lembaga Kepolisian maka secara garis besar tugas lembaga Kepolisian adalah pelayanan kepada masyarakat, karena tugasnya yang begitu besar maka lembaga Kepolisian pun harus menjadi institusi yang mandiri, tidak boleh berada dibawah kementerian ataupun lembaga lainya agar terhindar dari intervensi. Oleh karena itu, penulis tidak setuju apabila ada wacana bahwa lembaga Kepolisian ingin diubah kedudukanya semula dibawah presiden lalu diubah menjadi dibawah kementeria
B. Peran Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia termaktub didalam undang undang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian pada pasal 11 yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”. Didalam isi ayat tersebut berisi frasa atas persetujuan dewan perwakilan rakyat, penulis tidak setuju adanya frasa tersebut karena sejauh pengetahuan penulis bahwa Negara indonesia menganut sistem presidensial yang seharusnya pengangkatan calon kepala kepolisian republik Indonesia menjadi hak prerogratif Presiden tanpa pengaruh dewan perwakilan rakyat. Lembaga kepolisian
59
merupakan lembaga yang berada langsung dibawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Seperti yang dikemukan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan eksekutif tidak bergantung pada badan perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat.13 Artinya dalam sistem pemerintahan presidensial kedudukan Presiden tidak dipengaruhi oleh dukungan parlemen atau badan perwakilan. Sehingga aturan mengenai pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia cukup presiden saja tanpa melalui persetujuan dewan perwakilan rakyat. Aturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi Dalam sidang Mahkamah Konstitusi Perkara dengan Nomor 22/PUU-XIII/2015 diajukan oleh denny indrayana dkk, Heru Widodo selaku kuasa hukum dari pemohon berpendapat, “Bahwa seharusnya Yang Mulia, konsisten dengan sistem presidensial itu, Presiden diberikan hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari cabang kekuasaan lainnya, atau dalam uji meteriil ini adalah persetujuan DPR,” papar Heru, yang menjadi juru bicara kuasa hukum Pemohon. Lebih lanjut Heru menyatakan bahwa adanya pembatasan terhadap hak prerogratif Presiden bertentangan dengan sistem presidensial. Jika terdapat pembatasan, maka harus diatur di dalam UUD 1945. Maka pembatasan itu hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945,”14
13
14
Kusnardi, Moh, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hlm 176
“Keterlibatan DPR Dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI Dianggap Membatasi Hak Prerogratif Presiden. Artikel diakses pada tanggal 17-05-2015 pukul 14:00 WIB http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10585#.VhGdTMiqpHw
60
Penulis setuju bahwa dalam menjalankan sistem suatu pemerintahan harus konsisten, karena sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem presidensial yang tertuang didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1 yang berisi15 “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” oleh karena itu Presiden selaku pemegang kekuasaan berhak memilih dan mengangkat jajaran pemerintahanya yaitu menteri, duta konsul, panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolsian Republik Indonesia, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga seharusnya, istilah “mendapatkan persetujuan DPR” dalam proses pengisian Kepala Kepolisian Republik Indonesia tidaklah tepat karena Negara Indonesia menganut sistem presidensiil Berikut tabel perbandingan perekrutan pejabat negara yang melibatkan DPR: Perbandingan Wewenang DPR dalam Proses Pengisian Suatu Jabatan Negara Dasar Yuridis Jabatan
Wewenang
Undang-
DPR
Undang
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Hakim
Memberikan
Agung
persetujuan
15
Pasal 24A ayat (3)
Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
atau
Pasal 17 huruf p UU No. 27 Tahun
pemilihan
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
Undang-Undang Dasar 1945
61
DPRD. Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 71 huruf q UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan Hakim
Melakukan
Konstitus
pemilihan
Pasal 24C ayat (3)
i
DPRD. Pasal 18 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Anggota
Melakukan
BPK
pemilihan
Pasal 23F ayat (1)
Pasal 71 huruf m UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Komisi
Memberikan
Yudisial
persetujuan
Pasal 24B ayat (3)
Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 71 huruf l UU No. 27 Tahun
Duta
Memberikan
Besar
pertimbangan
Pasal 13 ayat (2)
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun
Kapolri
Memberikan
Tidak diatur
persetujuan
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 ayat (2) UU No. 34 Tahun
Panglima
Memberikan
TNI
persetujuan
Tidak diatur
2004
tentang
Tentara
Nasional
Indonesia Pasal 41 ayat (1) UU No. 3 Tahun
62
Gubernur
Memberikan
BI
persetujuan
Tidak diatur
2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2011
Anggota
Melakukan
KPU
pemilihan
Tidak diatur
tentang Penyelenggaraan pemilihan umum Pasal 30 ayat (1) UU No. 30 Tahun
Pimpinan
Melakukan
KPK
pemilihan
Tidak diatur
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi
Anggota
Pasal 83 UU No. 39 Tahun 1999
Komnas
Melakukan
Ham
pemilihan
Tidak diatur
tentang Hak Asasi Manusia
Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis metode pengisian jabatan negara oleh DPR berdasarkan wewenang atribusi, yakni yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Ketiganya ialah memberikan persetujuan, melakukan pemilihan, dan memberikan pertimbangan. DPR memberikan persetujuan untuk pengisian jabatan Anggota Komisi Yudisial, Kapolri, Panglima TNI, dan Gubernur BI. Sementara itu, pemilihan dilakukan oleh DPR dalam proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi, Anggota BPK, Anggota KPU, Pimpinan KPK, dan Anggota Komnas HAM. Adapun dalam pengangkatan Duta Besar, DPR hanya memberikan pertimbangan kepada Presiden.16 Kalaupun membutuhkan peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu sebaiknya hanya sebatas 16
Muhammad ridwan saleh, “Tinjauan Yuridis Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Proses Pengisian Jabatan Hakim Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. (Skripsi S1 Fakultas Hukum,Universitas Hasanuddin Makassar 2014) h.86-88
63
memberikan pertimbangan saja, karena dalam suatu pemerintahan yang baik dikenal dengan sistem check and balance. Indonesia menganut sistem presidensial juga mengenal adanya sistem check and balance karena seyogyanya keterlibatan lembaga lain dalam bentuk mengawasi itu diperlukan untuk menciptakan roda pemerintahan yang bersinergi dan dapat menjalankan tugas serta fungsinya lebik baik. Disisi lain Harjono berpendapat sebagai ahli tata negara yang dihadirkan Denny Indrayana dkk dalam sidang Mahkamah konstitusi. Menyampaikan pendapatnya. Menurutnya,17 “Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI merupakan kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara. Lebih lanjut Harjono mengatakan bahwa tidak tepat ketika menganggap keterlibatan DPR dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagai checks and balances. Hal ini dikarenakan checks and balances antara lembaga negara tempatnya di konstitusi dan menjadi kewenangan MPR, bukan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang”.
Untuk itu, Harjono berpendapat bahwa penunjukan Kapolri dan Panglima TNI adalah kewenangan tunggal Presiden, “Sehingga apabila pembentuk undang-undang ingin mengatur keterlibatan DPR dalam pemilihan Kapolri dan Panglima TNI, maka hak yang dapat diberikan oleh undang-undang adalah hak untuk memberikan pertimbangan, Apabila ketentuan undang-undang akan mengatur keterlibatan DPR dalam pemilihan Kapolri, hak yang dapat diberikan oleh undang-undang maksimal adalah hak untuk memberikan pertimbangan saja dan bukan persetujuan,”18 Khususnya dalam bingkai demokrasi yang dijalani bangsa saat ini, sangat sulit untuk dapat menjalankan sistem presidensial secara murni karena terkait
17
Ahli: DPR Cukup Memberi Pertimbangan Calon Kapolri dan Panglima TNI, artikel diakses pada tanggal 27-04-2015 pukul 04:56 WIB dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10763#.VhGgG8iqpHw 18
ibid
64
mental bangsa Indonesia serta pola pikir masyarakat yang begitu majemuk. Disisi lain pemerintah harus dapat diawasi dalam setiap keputusanya. Saldi Isra selaku pakar hukum tata negara Universitas Andalas berpendapat dalam keteranganya sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh Denny Indrayana dkk dalam sidang Mahkamah Konstitusi, “…hampir semua proses pengangkatan jabatan publik melibatkan DPR, seperti proses pengangkatan hakim agung, hakim konstitusi, komisioner KY-KPK, BPK. Karena itu, dia mengusulkan agar peran DPR cukup memberikan “pertimbangan” dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima yang diusulkan presiden” Lanjut, beliau berpendapat lagi bahwa “posisi Kapolri dan Panglima agak berbeda dengan menteri, sehingga proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI tetap dibutuhkan keterlibatan DPR untuk mengecek otoritas presiden. Kalaupun nantinya persetujuan DPR dihapus sama sekali dikhawatirkan presiden mengajukan calon Kapolri atau Panglima TNI yang bermasalah dan potensial kedua lembaga saling menyandera.19 Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengecek otoritas presiden memang diperlukan, karena negara indonesia menganut sistem check and balance yaitu saling mengawasi antar lembaga negara. Dalam hal pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Senada dengan pendapat dari Saldi Isra bahwa Dewan Perwakilan Rakyat cukup memberi pertimbangan saja tidak perlu atas persetujuan, karena didalam pertimbangan tersebut Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan catatan-catatan khusus tentang calon yang diusulkan presiden sehingga menjadi bahan pertimbangan. Apabila anggota Dewan
19
Ahli: Keterlibatan DPR Dibutuhkan Dalam Pengangkatan Kapolri Tetapi, hanya memberikan pertimbangan, bukan persetujuan., diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 09:00 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552e73bee0622/ahli--keterlibatan-dpr-dibutuhkandalam-pengangkatan-kapolri
65
Perwakilan Rakyat melihat ada catatan buruk terhadap calon kepala kepolisian tersebut maka presiden pun dapat mencari calon lain yang kriteria serta track record nya lebih baik. Saldi Isra berpendapat lagi bahwa: “…kalaupun ada catatan-catatan keberatan dari DPR seharusnya dimaknai ada penolakan. Lalu, presiden bisa mencari dan mengusulkan calon lain demi mengatasi pola hubungan presiden dan DPR agar lebih baik. “Kalau ‘persetujuan’ kata putusnya ada pada DPR yang sering ‘dibumbui’ kepentingan politik, tetapi kalau ‘pertimbangan’ ini kan ada modal relasi positif menjaga hubungan kedua lembaga,”20 Harjono berpendapat “:…Terlebih, dalam praktiknya “persetujuan” DPR dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI ini rentan dipolitisasi. Meski begitu, apabila persetujuan diubah menjadi pertimbangan DPR pun dia sepakat. Sebab, persoalan politik presiden dan DPR mengenai proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI belum ada norma ketatanegaran yang mengaturnya secara jelas” . Penulis tidak menampik memang kepentingan politik itu ada, akibatnya Kekuasaan itu tidak bekerja karena tidak mampu melaksanakan apa yang dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai apa yang telah direncanakan, yang terjadi hanyalah krisis kekuasaan dan dapat terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Krisis kekuasaan dapat terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukan legitimasinya yaitu kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan rakyat. Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaaan tertinggi negara sejauh pengamatan penulis belum mampu menunjukan kapasitasnya sebagai kepala negara dalam hal ini pengangkatan calon kepala kepolisian yang berjalan alot dan sarat akan kepentingan. Presiden Jokowi masih mudah terpengaruh oleh tekanan politik, ibarat “Kekuasaan tanpa kuasa” tentu sebuah ironi. Bagaikan sebuah kata tapi tidak 20
ibid
66
bermakna atau konsep tanpa realitas. Namun justru “ironi kekuasaan” itu yang kini dialami yaitu ketika rezim kekuasaan tak mampu menunjukan kekuatanya dalam memecahkan persoalan yang ada hanya ketidakberdayaanya dalam menghadapi berbagai macam tekanan: Sosial, politik, ekonomi dan hukum, salah satu penyebab ironi kekuasaan karena kentalnya pertarungan kepentingan didalam tubuh pemerintahan itu sendiri dan kemudian terabaikanya lah kepentingan bangsa yang lebih besar.21 Kekuasaan tidak bekerja ketika ia tidak mampu mengarahkan elemen bangsa menuju perbaikan atau perubahan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan untuk mencapai sebuah tujuan secara singkatnya yaitu kemampuan melakukan perubahan. Kekuasaan juga kemampuan untuk mengawasi, mengecek, mengendalikan, menciptakan kepatuhan, membuat ketegasan, serta menciptakan kepatuhan. Nyatanya semua kemampuan tersebut belum mampu ditunjukan secara maksimal oleh Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara, ”revolusi mental” merupakan sebuah konsep yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi untuk perubahan mental bangsa, sampai saat ini belum mampu terealisasikan secara nyata untuk perubahan bangsa yang lebih baik, jokowi juga pernah berjanji bahwa beliau sangat mendukung penegakan Hak Asasi Manusia dan pemberantasan korupsi. Beberapa waktu lalu terjadi polemik dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu pada pencalonan Komjen Budi Gunawan yang menuai berbagai macam kontroversi, berawal pada tanggal 10 Januari 2015 21
Yasraf amir pilliang, 2015 “kekuasaan tanpa kuasa”. Kompas, 7 september 2015
67
dari Sembilan nama yang diajukan, Presiden Joko Widodo memilih Budi Gunawan sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Sutarman. Keputusan Jokowi mengundang kritik karena keterkaitan Budi dengan kasus rekening gendut pejabat Polri serta pengaruh Megawati Sukarnoputri, karena Budi Gunawan pernah menjadi ajudan Megawati saat ia menjadi presiden, terlihat keputusan jokowi tidak lepas dari pengaruh Megawati selaku ketua umum dari partai pengusungnya, tanggal 13 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Pada tanggal 14 dan 15 Januari 2015 Budi Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR, Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Komisaris Jenderal Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Sutarman, Keputusan sidang paripurna itu didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanggal 19 Januari 2015 Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo menyatakan sikapnya terkait konflik ini. Namun pernyataan Jokowi disambut kekecewaan oleh sebagian publik karena dianggap tidak menyelesaikan masalah.
68
Penulis sangat menyayangkan atas sikap Presiden Jokowi yang seharusnya bertindak secara tegas, pada tanggal 25 januari 2015 presiden membentuk tim sembilan untuk dapat meredakan ketegangan antara KPK dan POLRI, tanggal 28 januari 2015 Tim sembilan mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri karena Budi sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Melantik pejabat negara yang berstatus tersangka merupakan pelanggaran, jika dibiarkan terjadi, maka yang ada akan terjadi chaos di masyarakat. Walaupun presiden memiliki hak prerogatif, tetapi hal tersebut memiliki batasan-batasan. Apabila terjadi Pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, Presiden Jokowi akan mencoreng sejarah Indonesia karena pertama kalinya presiden Indonesia mengangkat seorang tersangka sebagai Kapolri, jika presiden tetap memaksakan mengangkat Kapolri dengan status tersangka maka diyakini tidak akan mendapatkan kepercayaan rakyat apalagi Polri juga dituntut untuk secara aktif menegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi, Selanjutnya menurut ketua tim sembilan, Jimly Asshidiqie kepada nuraki aziz dari BBC indonesia "Kita harapkan tidak dilantik dan kemudian diajukan calon baru. Alasannya karena dia telah berstatus tersangka sehingga bukan hanya rule of law tetapi juga rule of ethics yang harus dijadikan pegangan, "22 Rule of ethics memang sangat diperlukan disamping rule of law karena penilaian publik itu sangat menentukan, apabila seseorang dinilai sudah buruk oleh masyarakat maka sebaiknya untuk tidak dipaksakan pelantikanya karena satu dan 22
Wawancara dengan jimly asshidiqie oleh nuraki aziz dari BBC indonesia diakses pada tanggal 10-08-2015 dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk
69
lain hal, jika tetap dipaksakan maka yang ada nantinya masyarakat akan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Tim bentukan presiden tersebut memberikan usulannya untuk mendesak Presiden Jokowi agar segera bertindak agar keadaan negara tidak terombangambing. Terlihat contoh kasus diatas pada situasi tersebut terjadilah kekosongan pada pucuk pimpinan lembaga Kepolisian padahal seharusnya sebagai lembaga tinggi Negara dalam tugasnya yang vital jangan sampai ada kekosongan, oleh sebab itu penulis mengutarakan bahwa pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia “atas persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat dinilai tidak tepat, lebih baik diganti dengan “atas pertimbangan” agar sistem check and balance pada fungsinya. Karena sesuai dengan Surah Al-Quran : Surat an- Nisa ayat 58 َّللاَ ِن َِ َّما ِ َّللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا ِ ت ِإلَ ٰى أ َ ْه ِلهَا َو ِإذَا َح َك ْمت ُ ْم َب ْينَ ال َّن َّ َِّإن َّ َّاس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا ِبا ْل ََ ْْ ِِ ِإن ُ َِ َي يرا َ ََّللاَ كَان َّ َّظ ُك ْم بِ ِه ۗ إِن ً س ِميًَا بَ ِص “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” Didalam surah annisa ayat 58 pun telah dijelaskan bahwa apabila menetapkan hukum diantara manusia, harus menetapkannya secara adil. Maka dari itu DPR selaku pembuat undang-undang harus menetapkan aturan secara adil, disisi lain presiden pun harus bertindak secara adil dengan memperhatikan manfaat bagi masyarakat serta kemaslahatan khalayak ramai, dalam memutuskan sesuatu. Lembaga tinggi Negara dalam hal ini lembaga legislatif yaitu DPR dan lembaga eksekutif yaitu Presiden harus menjalankan amanat rakyat dengan
70
sebaik-baiknya, Allah berfirman bahwa janganlah menghkianati amanat yang telah dipercayakan kepadamu (wakil rakyat). C. Dampak Adanya Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam Hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga yang mewakili suara rakyat menurut penulis memiliki dampak negatif apabila Negara ini tetap berpedoman pada pasal 11 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian yang menyatakan bahwa “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” Apabila masih berpedoman pada pasal diatas yaitu pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) “dengan persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat maka yang terjadi adalah : 1. Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensil Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab, selain berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan biasanya melekat pada jabatan kepala negara (head of state).23 Dalam sistem presidensil dikenal dengan adanya hak prerogratif presiden yaitu hak yang dimiliki presiden dalam hal mengangkat jajaran pemerintahanya tanpa intervensi dari lembaga lain, dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
Ada
pergeseran
kekuasaan
presiden
dalam
menggunakan hak prerogratifnya karena dibatasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden Selaku Kepala Negara sulit untuk memutuskan pilihan
23
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h. 48-49
71
karena harus melewati Dewan Perwakilan Rakyat dulu yang banyak diwarnai kepentingan politik. Dilihat dari kasus Komjen Budi Gunawan bahwa presiden merasa kesulitan untuk segera menentukan pilihanya antara mengangkat komjen budi gunawan atau tidak, secara undang-undang memang harusnya presiden segera mengangkat komjen budi gunawan karena telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi secara moril presiden akan ditanyakan integritasnya oleh masyarakat luas karena mengangkat calon kapolri yang bermasalah dan dapat menjadi masalah yang lebih serius lagi apabila presiden mengangkat komjen budi gunawan, karena baru dalam sejarah indonesia presiden mengangkat tersangka korupsi menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan ini sangat berdampak bagi roda pemerintahan presiden Jokowi
2. Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia Secara tidak langsung Pembatasan yang dilakukan oleh Dewan Pewakilan Rakyat dengan ikut memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia telah mereduksi hak prerogratif Presiden, dengan begitu jelas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah melampaui kewenanganya. Karena presiden berhak memilih dan mengangkat jajaran pemerintahanya berlaku atas sistem presidensil
3. Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat serta kedudukan Presiden yang tidak dapat dijatuhkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kecuali seperti diatur dalam pasal 7A UndangUndang Dasar 1945, menghilangkan segi-segi parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa: “….sistem (pemerintahan) Indonesia secara hakiki adalah sistem presidensiil bukan dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Karena
72
di masa depan Presiden di satu pihak dipilih langsung, dan di pihak lain tidak bertanggung jawab kepada MPR, maka sistem presidensil menjadi lebih murni (tidak ada lagi unsur campuran)” Sistem pemerintahan presidensial dapat dikatakan sebagai subsistem pemerintahan republik, karena hanya dijalankan dalam negara yang berbentuk republik salah satu Negara itu adalah Negara Indonesia.24 Ciri-ciri model sistem presidensial Amerika Serikat yang disebut sebagai pencerminan sistem pemerintahan presidensial murni, menurut Bagir Manan bahwa “ Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal”.25 Karena lembaga Kepolisian merupakan bagian dari eksekutif maka presiden selaku pemegang eksekutif tunggal berhak memilih dan mengangkat Kepala Kepolisian Republik Indonesia tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Negara Indonesia sistem pemerintahanya menganut sistem presidensil tetapi tidak dijalankan secara konsisten. karena hak prerogratif presiden terbatasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut penulis Negara Indonesia menganut sistem yang disebut dengan presidensil tidak murni karena Dewan Perwakilan Rakyat hampir setiap proses pengangkatan jabatan publik melibatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketatanegaraan menjalankan fungsi pengawasan terhadap presiden yang terdapat pada pasal 11 uu no 2 tahun 2002 dengan cara ikut menyetujui pengangkatan kapolri, menurut penulis kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia memang telah membatasi hak prerogratif presiden. 24
Ibid h.14-16.
25
Ibid h. 48-49
73
pembatasan itu ada baiknya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengawasi presiden sebagai bentuk relasi positif menjalankan sistem check and balance tetapi cukup dengan memberi pertimbangan saja.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah uraian yang telah dijelaskan pada Bab 1 sampai Bab 4 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Landasan filosofis terbentuknya uu no 2 tahun 2002 atas dasar bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama pendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Landasan sosiologisnya adalah bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui
upaya
penyelenggaraan
fungsi
kepolisian
yang
meliputi:
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, landasan yuridis bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum
serta
ketatanegaraan Republik Indonesia. 2. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia terdapat didalam uu no 2 tahun 2002 tentang
74
75
kepolisian yaitu pasal 11 yang berisi bahwa “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. 3. Dampak adanya peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu : a. Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensil b. Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia c. Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten B. Saran 1. Pelaksanaan sistem presidensial secara konsisten dalam hak prerogratif presiden itu dapat dilakukan dengan cara merubah isi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang terdapat didalam undang-undang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian pasal 11 oleh Mahkamah Konstitusi, yang berisi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dari memberikan persetujuan diubah menjadi memberikan pertimbangan. 2. Presiden selaku kepala Negara harus dapat bertindak tegas agar tidak terjadi lagi kekosongan pada pucuk pimpinan polri, karena lembaga polri merupakan salah satu lembaga yang vital peranya dimasyarakat. 3. Presiden harus bertindak cepat dengan memperhatikan suara rakyat agar roda pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan program-program serta janji pemerintah untuk dapat mensejahterakan masyarakat.
76
DAFTAR PUSTAKA BUKU Blombergen Marieke. Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari kepedulian dan ketakutan. Jakarta: Kompas, 2011. Djamin Awlloedin. Sejarah Perkembangan Kepolisian Di Indonesia di Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti Polri, 2007. Gunawan Markus, dkk. Buku pintar calon anggota dan anggota Polri. Jakarta:Visimedia, 2009. Hamidi Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara. Jakarta: Salemba Humanika, 2012. H.R. Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007. Ismail Chairuddin, Polisi Sipil dan Paradigma Polri, Jakarta, P.T. Merlyn Press, Cet.Pertama, 2009. Kusnardi Moh, dkk. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti, 1988. ---------------------------. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut UndangUndang Dasar 1945. Jakarta:PT Gramedia, 1989. Mahmud Marzuki Peter. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana, 2010. Mahfud moh MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka cipta, 2001. __________. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogjakarta:PT Gama Media, 1999. __________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogjakarta: PT Gama Media, 1999. Manan Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: GamaMedia-Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1999. Mr. R. Tresna. Praperadilan di Indonesia dari abad ke abad. Jakarta: W. Versluys N.V, 1957. Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Universitas Michigan: Balai Pustaka, 1961.
77
Purbopranoto Kuntjoro. Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi. Jakarta-Bandung.PT Eresco, 1978. Rahardjo Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007. __________, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007. R Bintan Saragih. Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia. Jakarta:Gaya Media Pratama, 1988. Rhona K.M Smith, at.al.---, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:PUSHAM UII, 2008 Sadjijono, Etika profesi hukum, cet I Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008. Sidharta B Arief. Kajian Kefilsafatan Tentang Negera Hukum. Jurnal Hukum. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008. Sitompul DPM, Hukum kepolisian Indonesia, Bandung:Tarsito, 1985. Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986 S Bibit Rianto. Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah Kemandirian Dalam Rangka Menegakkan Supremasi Hukum. Jakarta: Ghalia, 1999. Tahir M Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007. Tutik Triwulan Titik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. __________. kontruksi hukum tata negara indonesia pasca amandemen UUD 1945. Jakarta:PT Kencana, 2011 Von Schmid S.J. Pemikiran Tentang Negara dan Hukum. Jakarta: Pembangunan, 2004. Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi Kepolisian, STIK-PTIK, Edisi 075
78
JURNAL Fadlil Ahmad Sumaidi, dkk. Independesi Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2011. Gaffar Janedri M. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012. Mabes Polri. Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa. Jakarta: Mabes Polri, 2008. M. Philipus Hadjon. Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid). Pro Justitia Tahun XVI Nomor I, 1998 Mutyosudarmo Soewoto. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans, Malang, 2004. Purnama Eddy . Lembaga Perwakilan Rakyat. Aceh: Syiah Kuala University Press, 2008. Santoso Topo. Makalah Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif. Depok: Universitas Indonesia, 2005 Yasraf amir pilliang, “kekuasaan tanpa kuasa”. Kompas, edisi 7 september 2015 SKRIPSI Ridwan muhammad saleh, “Tinjauan Yuridis Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Proses Pengisian Jabatan Hakim Agung Berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Skripsi S1 Fakultas Hukum,Universitas Hasanuddin Makassar, 2013. WEBSITE http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10585#. e6sshGqpHw diunduh pada tanggal 17-05-2015 pukul 14:00 WIB http://www.tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html. Diunduh pada hari sabtu tanggal 30 mei 2015 pada pukul 09:50 https://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif dilihat pada selasa 16 juni 2015, pkl 13.05 WIB
79
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/03/17014131/Oegroseno.Sejarah.Penga ngkatan.Kapolri.Diubah diakses pada tanggal rabu 29-07-2015 pada pukul 14:43 WIB http://www.polri.go.id/tentang-sejarah.php diakses pada hari selasa 04-08-2015 pukul 14:27 WIB http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552e73bee0622/ahli--keterlibatan-dprdibutuhkan-dalam-pengangkatan-kapolri diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 09:00 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_k pk diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 08:20 WIB http://www.voaindonesia.com/content/sidang-paripurna-dpr-loloskan-budigunawan-sebagai-kapolri/2599217.html diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 08:15 WIB http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_k pk diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 08:20 WIB
PERUNDANG-UNDANGAN Undang Undang Dasar 1945 Kep. DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 2006 Tentang Tata Tertib DPR RI Keppres No 70 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Perpres No 17 Tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional