IMPLEMENTASI PEMIKIRAN ZAINUDDIN AL-MALIBARI TERHADAP PRAKTIK QADHA DAN FIDYAH SHALAT DI MASYARAKAT KELURAHAN CIBADAK KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA BOGOR SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh : DELY FADLI NIM : 109043100007
PROGRAM STUDIPERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1438 H
ABSTRAK Dely Fadli : 109043100007 Berjudul “Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibari terhadap Praktek Qadha dan Fidyah Shalat di Masyarakat Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”. Di bawah bimbingan DR. H. Yayan Sopyan S.H, M.A, M.H. Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal (tidak gila) sesuai dengan kemampuanya. Begitu pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, sakit, perang ataupun bepergian. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh dalam problematika kehidupan manusia, maka perihal shalat pun tidak lepas dari berbagai problematika, yaitu adanya dispensasi shalat untuk orang sakit yang tidak dapat mengerjakannya. Demikian juga dengan orang yang masih memiliki tanggungan shalat, ada keringan untuk mengqadha atau membayar fidyah. Dalam al-Quran dan hadist tidak ada satupun dalil yang membahas terhadap fidyah shalat, sedangkan dalam hadist dijelaskan tentang adanya penggantian shalat atau mengqadha shalat yang disebabkan karna lalai atau tertidur, sehingga masih terdapat perdebatan di kalangan masyarakat. Berbeda dengan fidyah Puasa yang dalilnya tertera dalam al-qur’an sehingga tidak lagi ada perdebatan dalam pelaksanaannya. Imam Zainuddiin al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in berpendapat shalat yang telah ditinggalkan oleh orang yang wafat (mayit) maka shalat tersebut tidak bisa diqadha dan dibayarkan fidyah, namun ada juga yang berpendapat bahwa shalatnya harus diqadha oleh orang lain, baik si mayit berwasiat maupun tidak. Namun dalam prakteknya di masyarakat Cibadak bagi si mayit yang memiliki tanggungan shalat maka digantikan dengan melaksanakan fidyah. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu cara menuliskan, mereduksi dan menyajikan datadata. Jenis data primer yang berasal dari wawancara, observasi yang dilakukan di kampung Cibadak Tanah Sareal. Data sekunder yang didapat dari buku-buku, artikel, dokumen. Data tersier yang mendukung dalam penulis skripsi ini. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat dan seseorang yang menunaikan fidyah. Selanjutnya menganalisis data dengan menggunkan metode deskriptif analisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat difahami. Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah pelaksanaan fidyah shalat yang dilaksanakan di masyarakat Cibadak adalah tidak sepenuhnya menggantikan shalat yang telah ditinggalkan si mayit namun hanya sebagai penambah pahala dan penambal ibadah shalat yang tidak sempurna. Dengan demikian bahwa apabila mayit masih memiliki tanggungan shalat semasa hidupnya maka tidak dapat digantikan dengan membayar fidyah untuk menggantikan shalatnya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Zainuddin al-malibari dalam kitab Fathul Mu’in.
v
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. Semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita. Shalawat dan salam tercurahkan kepada manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Implementasi Pemikiran Zainuddin al-Malibari terhadap Praktik Qadha dan Fidyah Shalat di kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Pada Program Studi Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini banyak berbagai kekurangan. Namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi khalayak. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dari itu penyusun menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Ayahanda bapak H. Ahmad Riva’I dan Ibunda Hj. Ahyana yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayangnya dan yang paling penting adalah doa dari mereka sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
vi
2.
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
3.
Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan pemikirannya layaknya orang tua kami
4.
Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan pembimbing Akademik
5.
Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, S.H, M.A, M.H Dosen Pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu dan kesempatan serta nasehat kepada kami
6.
Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali ilmu kepada penulis selama perkuliahan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini
7.
Seluruh guru-guruku yang ada di Pondok Pesantren Nurul Furqon khusus KH. Zezen Syukrillah, S.Pdi yang selalu memberikan nasehat kepada penulis
8.
Bapak KH. Musa dan Uay Setiawan dan segenap Staf Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor yang telah menyempatkan waktunya dan bersedia memberikan informasi dan data yang dibutuhkan dan membantu dalam penelitian ini
9.
Calon istriku Susi Stiawati yang senantiasa memberikan kebahagian yang tak terduga. Senyuman, dukungan, doa dan keberadaanmu adalah ketenangan bagiku.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih, yang selalu memberikan kebahagian dalam canda dan tawa ketika di kelas
vii
11. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulisan berupaya semaksimal mungkin agar dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan dan kehilafan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini dikarenakan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu sumbang saran dan kritik juga saya butuhkan demi perbaikan pada skripsi saya. Terakhir saya berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan menjadi amal yang sholeh sehingga ini dapat bermanfaat untuk ummat. Akhirnya saya ucapkan banyak terimakasih.
Jakarta, 8 Agustus 2016
DELY FADLI NIM: 109043100007
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iv
ABSTRAK .....................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...............................................................
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................
8
D. Tujuan dan manfaat Penelitian ..............................................
8
E. Metode Penelitian ..................................................................
9
F. Review Studi Terdahulu ........................................................
12
G. Sistematika Penulisan ............................................................
13
SEKILAS TENTANG KITAB FATHUL MU’IN A. KajianTeori ........................................................................
15
B. Biografi Zainuddin Al-Malibari .........................................
17
C. Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari ......................
18
D. Kitab Fathul Muin ..............................................................
18
E. Sejarah Kitab Kuning di Indonesia ....................................
22
F. Kitab Fathul Muin sebagai Kitab Mukhtabaroh di
ix
Kalangan Fuqoha Indonesia ............................................... G. Kitab
Fathul
Muin
menjadi
Kitab
25
Mukhtabaroh
Pengadilan Agama .............................................................
28
H. Pembahasan Qadha shalat dan fidyah dalam Kitab Fathul
BAB III
Muin ...................................................................................
33
I. Pendapat Ulama Tentang Kadar Fidyah ............................
39
DESKRIPSI
UMUM
TENTANG
CIBADAK KECAMATAN
KELURAHAN
TANAH SAREAL KOTA
BOGOR A. Kondisi Geografi dan Sosial Kultural ................................
42
B. Peran Ulama Bagi Masyarakat Kelurahan Cibadak...........
45
C. Kedudukan Kitab Kuning dalam Pengkajian dan Fatwa Ulama di Cibadak ..............................................................
47
D. Pemakaian Kitab Fathul Muin di dalam Bermuamalah
BAB IV
di Masyarakat Kelurahan Cibadak ....................................
49
E. Teknis Pelaksanaan Fidyah Shalat di Cibadak ..................
50
ANALISIS
PEMBAYARAN
FIDYAH
SHALAT
DI
KELURAHAN CIBADAK TANAH SAREAL KOTA A. Adat Istiadat .......................................................................
55
B. Analisis Pembayaran Fidyah Shalat di Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor .....................................
56
C. Analisis Pembayaran Fidyah Shalat di Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor ....................................
x
58
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................
62
B. Saran-Saran ........................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
64
LAMPIRAN ....................................................................................................
65
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammd SAW ke muka bumi ini untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah (habl min allah), hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nas), serta hubungan manusia dengan alam. Di dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah, Allah SWT memberikan seperangkat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam adalah agama yang sempurna dan telah disempurnakan, sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Al Maidah (4): 3 :
...
… Artinya :“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Islam adalah tali yang menghubungkan antara hamba dan pencipta, dan pergaulanlah yang menghubungkan antara sesama ciptaan-Nya, sedangkan di antara keduanya erat hubungannya dengan akhlak. Di dalam tata pergaulan terdapat bermacam-macam tata aturan dan kewajiban baik yang dibedakan menurut tingkatan usia maupun menurut jenis kelamin. Di samping itu umatnya menjadi tentram sebab hati mereka selalu mengingat Allah SWT, yang kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan kewajiban dari Allah SWT . Salah satu kewajiban umat islam adalah ibadah shalat fardu yang lima
1
2
waktu yang diperintahkan Allah SWT baik dilaksanakan di waktu sehat ataupun di waktu sakit, sebab shalat itu merupakan dasar dan fondasi keimanan seseorang. Dari segi sosial kemasyarakatan shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis dan kesamaan pemikiran dalam menghadapi segalam problema kehidupan sosial kemasyarakatan.1 Begitu pentingnya shalat, sehingga perintah untuk mengerjakan shalattidak terbatas pada saat badan sehat saja, situasi aman dan saat mukim (tidaksedang bepergian), tetapi shalat juga diperintahkan dalam setiap keadaanseorang
muslim
sakit,
perang
ataupun
bepergian.
Dalam
keadaanbagaimanapun seorang muslin tetap dituntut untuk mengerjakan shalat, hanyasaja dalam keadaan-keadaan tertentu, diberi keringanankeringanan dalammelaksanakannya (rukshah), seperti diperbolehkannya meringkas (qashar),mengumpulkan (jama‟) dan keringanan-keringanan yang lain. Shalat merupakan ibadah badaniyah. Menurut Zakariya Anshary bahwa Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara‟ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia. 2 Seseorang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau tidak, maka tidak ada penggantinya kecuali dengan qadha pada waktu hidupnya Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW, antara lain hadits riwayat Bukhari dan Muslim : 1
A. Rahman Ritoga, Zainuddin, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h.
90.
2
Zakariya Anshary, Ghayah al-Wushul, (Usaha Keluarga, Semarang). h. 66.
3
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R. Annas)3 Menurut Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, bahwa barang siapa yang meninggal dunia dan ia meninggalkan shalat fardu, maka shalatnya tidak perlu diqadhakan dan tidak perlu difidyahkan. Menurut pendapat yang lain, shalatnya boleh diqadhakan baik mayat itu berwasit ataupun tidak.4 Menurut kebanyakan sahabatnya Imam Syafi‟I memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkan”5 Dalam
kondisi-kondisi
tertentu
dimana
seseorang
mengalami
kesulitan, seperti karena sakit sehingga orang itu ia tidak dapat berdiri, maka diperbolehkan
baginya shalat dengan duduk. Jikalau tidak dapat dengan
duduk, ia boleh melakukannya sambil berbaring, dan di waktu rukuk dan sujud cukuplah dengan
memberi isyarat, seperti menundukan
kepala,
dengankedipan mata. Dasar hukum atas adanya rukhshah (keringanan) tersebut termaktub dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nisa‟: 103 :
3
Muhyiddin an-Nawawi, Shohih Muslim, jus V (Lebanon: Darul Ma‟arif), h. 198 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu‟in (Bandung: Syirkah al-Ma‟arif Lithof‟I wannasyri), h. 3 5 Al-Bakri ad-Damyathi, I‟anah at-Thalibin, Darul fikri, h. 33 4
4
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa)”. Seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh dalam problematika kehidupan manusia, maka perihal shalat pun tidak lepas dari berbagai problematika, yaitu adanya dispensasi shalat untuk orang sakit yang tidak dapat mengerjakannya. Demikian juga bagi orang yang masih mempunyai tanggungan hutang shalat, ada keringanan untuk mengqadha atau membayar fidyah. Hal seperti inilah yang terjadi di Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, di mana ada sebagian masyarakat yang membayarkan fidyah sebagai ganti dari hutang shalat yang masih dimiliki oleh salah satu keluarganya (ayah/ibunya atau suami/isteri) yang telah meninggal dunia. Cibadak adalah kelurahan yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Bogor. Mayoritas warganya adalah sebagai wiraswasta. Masyarakat Cibadak kehidupan beragamanya sangat bagus, sebagian besar masyarakat Cibadak beraliran NU (Nahdlatul„Ulama) atau lebih dikenal dengan sebutan Nahdliyin. Mereka mempunyai seorang kyai yang biasa mereka jadikan tumpuan untuk belajar maupun bertanya berbagai macam hal keagamaan, tidak terkecuali masalah fidyah sebagai pengganti hutang shalat bagi salah satu keluarganya yang telah meninggal dunia. Alasan konkrit sebagian masyarakat Cibadak dalam melakukan pembayar fidyah atas shalat, karena anggota keluarga mereka yang telah meninggal dunia masih mempunyai tanggungan hutang shalat. Hutang shalat Hutang shalat berawal pada saat si mayit sakit sangat parah dan tidak
5
memungkinkan melakukan shalat walaupun dengan duduk, berbaring maupun dengan isyarat. Sehingga si mayit mempunyai tanggungan meninggalkan shalat sampai meninggal dunia dan hal ini dihitung sebagai hutang. Untuk menjaga kesempurnaan ibadah si mayit dan atas saran bapak kyai setempat maka keluarga si mayit membayarkan sejumlah fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya dan diberikan kepada fakir miskin. Pelaksanaan fidyah dan qadha merupakan rukhshah atau kemudahan terhadap seorang hamba yang tidak mampu melaksanakan peraturanperaturan karna adanya hal-hal yang memberatkan. Rukhshah adalah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan „azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok („azimah).6 Al-Quran menerangkan bahwa kewajiban membayar fidyah hanya bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa dengan memberi makan seorang miskin. Namun yang terjadi di kampung Cibadak bahwa Fidyah itu diperuntukan bukan hanya ibadah puasa saja tetapi untuk ibadah shalat, yang dalam pelaksanaanya masih memakai tradisi adat yang turun menurun. Sehingga dalam berbagai upacara keagamaan tidak terlepas dari tradisi dan budaya yang berlaku di masyarakat sekitar. Dari sisi pelaksanaan, fidyah biasanya dilaksanakan pada bulan puasa atau bulan-bulan setelah dan tentu saja bagi orang-orang yang masih hidup. Berbeda dengan itu pelaksanaan fidyah yang dilaksanakan di Kelurahan Cibadak Justru dilaksanakan setelah seseorang meninggal dunia sebelum ia di 6
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,(Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004), h. 54
6
kuburkan atau setelahnya yang dilaksanakan oleh ahli warisnya. Bahkan dalam prosesi pembayaran fidyah tersebut masih memakai tradisi budaya adat sekitar. Al-„Alamah Abi Bakri Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati alBakri dalam kitabnya “I‟anatu Thalibin Syarah dari Fathul Mu‟in” menjelaskan, “Barang siapa meninggal dan masih berkewajiban shalat, maka tidak ada qadhanya dan fidyahnya”. Kemudian ulama Syafi‟iyah sepakat memilih kewajiban shalat yang ditinggalkan orang yang mati dan dilimpahkan bebannya kepada ahli warisnya. Ibnu Burhan menukil dari qaul qadimnya imam Syafi‟I, “ditetapkan bagi wali si mayit supaya menyisipkan harta peninggalan si mayit untuk membayar shalat yang telah ditinggalkannya seperti halnya puasa. Sedangkan imam Abu Hanifah r.a mengharuskan melakukan pembayaran fidyah dari shalat yang telah ditinggalkan mayit jika mayitnya berwasiat, dan setelah itu tidak diharuskan mengqadha.7 Namun permasalahan fidyah sebagai penganti shalat ini menjadi perdebatan, karena baik di al-Qur‟an maupun hadits tidak secara detail menjelaskan tentang hal ini. Al-quran sendiri hanya memberikan penjelasan mengenai keringanan-keringanan shalat bagi orang yang mengalami kesulitan melakukan shalat dikarenakan sakit. Sedangkan dalam hadits dijelaskan tentang adanya pengganti shalat atau mengqadha shalat yang disebabkan karena lalai atau tertidur. Al-Quran memang menerangkan masalah fidyah, tetapi hanya dalam 7
Al-„Alamah Abi Bakri Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Bakri, “I‟anatu Thalibin Syarah dari Fathul Mu‟in”, Jus I, (Bairut, Dar al Kitab al-Ilmiah, t.th), h. 41
7
masalah puasa, ini sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184:
… Artinya: “dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” Dalam ayat di atas diterangkan bahwa kewajiban membayar fidyah hanya bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa dengan memberi makan seorang miskin. Sedangkan mengenai pembayaran fidyah sebagai pengganti shalat tidak ada keterangan, baik di al-Qur‟an maupun hadits, sehingga dalam menanggapi permasalahan fidyah shalat sebagian fuqaha (ahli hukum Islam) ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Dari beberapa kenyataan di atas, penulis tertarik untuk melihat secara lebih mendalam dan mendasar mengenai fidyah. Penulis akan mengulasnya dalam kripsi ini dengan judul “Implementasi Pemikiran Zainuddin AlMalibarri terhadap Praktik Qadha dan Fidyah Shalat di Masyarakat Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Mengapa masyarakat Cibadak membayar Fidyah bagi orang yang wafat? 2. Apa dasar hukum membayar fidyah? 3. Berapa ukuran fidyah untuk satu shalat? 4. Dibagikan kepada siapa dan kapan dibagikannya?
8
5. Masyarakat Cibadak menganut mazhab apa? 6. kitab Muktabaroh apa saja yang dipakai di Cibadak? 7. Mengapa kitab Fathul Mu‟in ini dipakai di Cibadak? 8. Dalam masalah Qadha dan Fidyah Shalat apakah memakai kitab Fathul Mu‟in atau kitab yang lain?
C. Batasan dan Rumusan Masalah Mengacu kepada realitas-realitas sekitar fidyah di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah fidyah yang dilakukan oleh warga Cibadak sesuai dengan aturan fiqih? Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Apa alasan masyarakat Cibadak membayar Fidyah shalat bagi orang yang sudah wafat? 2. Apa yang menjadi sumber atau landasan pendapat masyarakat Cibadak? 3. Apa relevansinya fidyah yang dilakukan warga Cibadak dengan pendapat Zainuddin al-Malibari? 4. Apa alasan kitab Fathul Mu‟in dijadikan rujukan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui alasan masyarakat Cibadak membayar Fidyah shalat bagi orang yang sudah wafat b. Untuk mengetahui landasan hukum pendapat masyarakat Cibadak
9
c. Untuk mengetahui relevansinya fidyah yang dilakukan warga Cibadak dengan pendapat Zainuddin al-Malibari d. Untuk mengetahui alasan kitab Fathul Mu‟in dijadikan rujukan 2. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk: a. Memberikan tuntunan pengetahuan kepada pembaca mengenai qadha dan fidyah shalat b. Untuk mengetahui landasan hukum perbedaan pendapat terhadap praktik qadha dan fidyah shalat c. Sebagai khazanah bagi peneliti dan masyarakat terhadap praktek fidyah yang terjadi di Kelurahan Cibadak Kec.Tanah Sareal d. Agar dijadikan rujukan sebagai bahan data skripsi untuk priode berikutnya.
E. Metode Penelitian Dalam pembahasan masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini, diperlukan suatu penelitian tidak lain untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dan masalah tersebut secara jelas dan akurat. Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain : 1. Jenis Penelitian. Dalam skripsi ini peneliti berusaha mengupas secara konprensif tentang analisis pendapat Syaik Zainuddin al-Malibari tentang praktik
10
qadha dan fidyah shalat. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan kajian pustaka, yaitu cara menuliskan, mereduksi, dan menyajikan data-data.
8
Pendekatan yang dilakukan penulis adalah
pendekatan survey terhadap masyarakat Cibadak dalam persoalan fidyah yang terjadi. 2. Jenis Data Dalam penelitian ini menggunakan “orang” dan “tempat”. Keduanya merupakan objek untuk menggunakan metode observasi. Metode observasi dilakukan di wilayah Kelurahan Cibadak. Data-data yang penulis dapat adalah : a. Primer, adapun data primer berasal dari observasi, wawancara, dimana observasi dilakukan di Kelurahan Cibadak. Sedangkan mengenai wawancara, penulis menggunakan wawancara terstruktur yaitu wawancara yang pewawancaraannya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan.9 Wawancara dilakukan dengan ulama salafi yang berpedoman kepada kitab fiqh yang berada di kelurahan Cibadak dan tokoh masyarakat. Wawancara ini guna untuk mendapatkan informasi mengenai letak geografis dan kondisi sosiologis, argumentasi terhadap pelaksanaan membayar fidyah. b. Sekunder, sedangkan data sekunder yaitu didapat dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. c. Tersier, sumber data tersier adalah sumber data yang diharapkan 8
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1993), h. 21 Burhan Burgin, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 109. 9
11
mendukung dalam penulisan skripsi ini seperti: kamus-kamus, Koran, majalah dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui Indepth Interview (wawancara mendalam) dengan mengajukan pertanyaan secara lisan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan kepada seseorang yang menunaikan fidyah itu sendiri.10 4. Analisis Data Data-data yang ditemukan dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskritif analisis yaitu memaparkan terlebih dahulu data-data yang ditemukan kemudian dianalisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah terhadap permasalahan yang penulis ambil. 5. Teknik Menarik Kesimpulan Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan, teoriteori dan kesimpulan yang bersifat umum serta melalui data-data yang diambil melalui wawancara atau buku-buku, artikel yang penulis dapat poin-poin penting dari data tersebut. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang
10
Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, (Yogyakarta: Andi, 2000), h. 381.
12
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun buku acuan yang digunakan adalah Buku Pedoman Penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Studi Review Terdahulu Dari judul di atas dapat dikorelasikan dengan literatur-literatur yangberhubungan dengan skripsi ini, seperti: 1. Pada tahun 2010 telah ditulis skripsi oleh Ruston
Nawawi,
mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora yang berjudul “Analisis Kalimat Efektif Bahasa Indonesia terhadap Tarjemahan Irsyadul Ibad Ila Sabilirrosyad” karangan Syaik Zainuddin al-Malibari pada bab iman dan ilmu yang di dalamnya membahas secara rinci terjemahan dan penerjemah, biografi Zainuddin al-Malibari, dan gambaran umum kitab Irsyadul Ibad Ila Sabilirrosyad. 2. Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqh as-Sunnah” yang membahas pemberian rukhsah pada orang yang sakit dalam menjalankan ibadah shalat. Barang siapa berhalangan shalat karena sakit dan karena itu ia tidak dapat berdiri dalam mengerjakan shalat fardhu maka diperbolehkan bagi penderita mengerjakan shalat dengan duduk. Kalau tidak mampu bisa dengan berbaring dan bila tidak
13
mampu lagi maka bisa dengan isyarat.11 3. Sedangkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” juga membahas seputar permasalahan fidyah. Dalam kitab ini Ibnu Rusyd membahas siapa saja orang-orang yang diwajibkan membayar fidyah, macam-macam fidyah, kadar fidyah, perbuatan yang bisa mengakibatkan seseorang harus membayar fidyah, tempat dan waktu memberikan fidyah.12
G. Sistematis Penulisan Selanjutnya agar pembaca mudah memahami skripsi ini dan untuk memberikan gambaran
secara rinci mengenai pokok pembahasan maka
penulis menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi pustaka, metode penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, untuk memberikan gambaran yang memadai kepada pembaca agar lebih mudah memahami skripsi ini, maka terlebih dahulu penulis memberikan pengertian-pengertian mengenai isi dari apa yang akan ditulis yaitu mejelaskan tentang sejarah tentang pengarang kitab fathul muin, kitab fathul muin menjadi kitab muktabaroh di kalangan Fuqoha Indonesia dan Pengadilan Agama, dan pembahasan Shalat dan Qadha shalat didalam kitab 11
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,, Jilid. I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), h. 234 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang, Toha Putra, t.th). h.129.
12
14
Fathul Muin yang kemudian dalam bab ini penulis memberikan judul gambaran umum sekilas tentang Kitab Fathul Muin. Bab III, untuk memberikan pemaparan tentang objek dan hasil penelitian kepada pembaca, maka penulis memberikan pemaparan mengenai pelaksanaan fidyah dan apakah pelaksanaan fidyah shalat yang dilaksanakan masyarakat Kampung Cibadak, memiliki landasan yang kuat, yang kemudian dalam bab ini penulis memberi judul Implementasi Pemikiran Zainuddin AlMalibarri tentang kewajiban Fidyah Shalat di Masyarakat Cibadak Tanah Sareal Bogor . Bab IV, Bab ini akan memuat dasar hukum yang digunakan dalam pembayaran fidyah oleh warga Islam Kelurahan Cibadak Kota Bogor dan analisis terhadap Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi dalam pelaksaan Fidyah di Kelurahan Cibadak Tanah Sareal. Bab V, membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
BAB II SEKILAS TENTANG KITAB FATHUL MU’IN A. KajianTeori 1. Kearifan Budaya Lokal Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi1 merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sedangkan dari sisi sosial, pengertian kebudayaan dapat digambaran dalam hubungan-hubungan kekerabatan baik individu maupun masyarakat dalam tradisi dan adat istiadat yang dipelihara dan terselenggara dalam kegiatan organisasi-organisasi, baik yang berdasarkan profesi, asal-usul keturunan, maupun hobi, yang kemudian membentuk struktur sosial kemasyarakatan, sehingga mencakup nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama anggota masyarakat. Dari pengertian budaya secara umum, maka budaya lokal adalah budaya yang bersifat lokal (setempat) atau lokasi tertentu terdapat budaya regional atau bias disebut sebagai kebudaya antra disional suku-suku bangsa.2 1. Masyarakat dan Kebudayaan Sunda Secara Antropologi Budaya bahwa yang disebut suku sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa bahasa sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah 1
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, “Setangkai Bunga Sosiologi”, dalam Afif dan SaifulBahri (ed), Harmoni Agama dan Budaya di Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Peelitian dan Pembangunan Agama, 2009), h. 19 2 Anisatun Muti‟ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia jilid I, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama), h. 20
15
16
Pasundan atau Tatar Sunda.3 Dalam lingkup Kebudayaan Sunda, terdapat sub kebudayaan Cirebon, sub kebuayaan Banten, dan sub kebuayaan Priangan. Namun pada akhir tahun 2000, pemerintah pusat telah meresmikan Banten menjadi Provinsi baru. Dengan demikian, secara administrative, pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya memiliki dau kebudayaan yaitu sub kebudyaan Cirebon dan sub kebudayaan Priangan.4 Menurut Juhaya S. Praja bahwa manusia Sunda dituntut untuk memiliki sifat-sifat Rasul, yakni shidiq, fathonah, amanah, yang tergambar dalam kalimat cageur, bageur, singer, tur pinter.5 Untuk mencapai sifat-sifat tersebut, manusia Sunda diwajibkan menuntut ilmu dan mencari rizki yang tercermin dalam kalimat ilmu tuntut dunya siar. Sedangkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga maupun sebagai anggota masyarakat, maka ia harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan sebagaimana terungkap dalam pribahasa fardu kalaku sunah kalampah. Pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat, seperti ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” yang disampaikan pertama kali oleh Endang Saefudin Anshori pada tahun 1967. Menurut Ajip Rosidi ungkapan tersebut merupakan strategi kebudayaan dalam upaya membendung gerak paham komunis yang mulai merajalela di tengah-tengah 3
Koentjaraningrat, ManusiadanKebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2010), h.
307 4
IyusRusliana, Wayang Wong Priangan Kajian Mengenai Petunjukan Drama tari Tradisional di Jawa Barat, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2002), h.23 5 Juhaya S. Praja. 2003. hukum Islam Dalam Tradisi dan Budaya Masyarakat Sunda, h. 6
17
masyarakat Sunda.6 B. Sejarah Zainuddin Al-Malibari Syekh Zainuddin Al-Malibari, tak banyak riwayat yang menjelaskan ketokohan dari Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari, ulama asal Malabar, India selatan ini. Kalau ada, itu hanya sebatas mengungkapkan keterangannya dalam berbagai karya yang ditulisnya. Tak banyak diketahui secara percis, kapan Syekh Zainuddin Al-Malibari lahir.Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan di makamkan di pinggiran Koro Ponani, India.Beliau adalah cucu dari Syeh Zeinuddin bin Ali pengarang kitab Irsyadul Qoshidin ringkasan kitab munhajul Abidin, sejak kecil, Syeh Zaenuddin al-malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al Madrasy yang didirikan oleh kakek beliau, beliau juga berguru kepada beberapa Ulama' Arab, termasuknya adalah Ibnu Hajar al Haitami dan Ibnu Ziad. Syekh Zainuddin Al-Malibari merupakan keturunan bangsa Arab. Ia dikenal pula dengan nama Makhdum Thangal. Julukan ini dikaitkan dengan daerah tempat dirinya tinggal. Ada yang menyebutnya dengan nama Zainuddin
Makhdum, atau Zainuddin Thangal atau Makhdum Thangal.
Julukan ini mencerminkan keutamaan dan penghormatan masyarakat setempat kepada dirinya. Masjid Agung Ponani atau Funani, 6
adalah masjid Agung yang
Hasan Bisri, Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan Ke -1. Bandung: Kaki Langit. 2005, h. 139.
18
pertama kali dibangun oleh Makhdum Thangal. Ia termasuk seorang ulama yang mengikuti madzhab Syaf‟i. tidak seperti masjid
masa kini, masjid
agung Ponani ini menggabungkan arsitektur lokal dengan arsitektur Hindu. Hal ini dikarenakan, islam masuk ke India yang di bawa oleh pedagang Arab yang datang melalui laut dan diterima oleh raja-raja Hindu setempat. Makam Syekh Zainuddin Al-Malibari
terletak di samping masjid. Tak hanya
arsitektur masjid, masyarakat Muslim di India ini juga mengadopsi gaya bangunan, pakaian dan makanan dengan menyesuaikan pada kondisi yang ada. Seperti kebanyakan ulama lainnya, Syekh Zainuddin Al-Malibari juga dikenal sebagai ulama yang sangat tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Ia pernah menjadi seorang hakim dan penasehat kerajaan, dan diplomat. C. Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari Syaikh Zainuddin Al-Malibari selain dikenal sebagai ulama fiqih ia juga dikenal ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Karya-karyanya adalah: a. Fathul Muin ( pintu pertolongan), adalah syarahnya atas kitab Qurrat al-Ayan Hidayat al-Azkiyat ila Thariq b. Irsyad al-Ibad ila Sabili al-Rasyad c. Tuhfah al-Mujahidin. D. Kitab Fathul Muin KitabFathul Mu‟in merupakan karya Syaikh Zainuddin Ibn Syaikh Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah al-Adzkya Ila Tariqa alAulya) Ibn syeikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi‟i Al-Malibary al-
19
Fannani. Zainuddin lbn Abdul Aziz M. Malibary menyelesaikan karyanya ini pada hari Jum‟at, 24 Ramadhan 892 H.7 Kitab Fathul Mu‟in terdiri dari 160 halaman yang memuat beberapa bab. Menelalah kitab Fathul Mu‟in ini seakan-akan kita membaca banyak kitab, karena di samping memuat pendapat Imam Zainuddin al-Malibary sendiri juga disebutkan pendapat-pendapat lain dari berbagai sumber yang terkadang menjadi pro dan kontra dalam suatu masalah. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan Azyumardi Azra, bahwa dalam penulisan kitab kuning tidak disertakan rujukan (referensi) dan foot note dikarenakan tradisi akademik yang berlaku pada waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang dengan demikian sulit untuk melacak secara pasti apakah yang ditulis di dalam kitab kuning merupakan pendapat pribadi atau pendapat orang lain.8 Kitab ini merupakan kitab fiqh yang tergolong lengkap, karena di dalamnya memuat berbagai permasalahan fiqh dengan berbagai hal, disertai dasar-dasar hukum al-Qur'an maupun al-Hadist serta pendapat-pendapat ulama mujtahid yang lain dan juga ijtihad pengarang sendiri. Dalam penulisan kitab ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary pada setiap bab menyebutkan al-Fashl9, aI-Fur‟i10, dan masalah-masalah
7
Zainuddin Ibn Abdulul Aziz al Malibary, Fathul Mu‟in Bisyarhi Qurrata A„AinBiMuhimmati Al-Din, (Semarang Toha Putera, tt), hlm. 152.. 8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara Abad VII-IX, (Bandung : Mizan, 1998), h. 76. 9 Al-Fashl secara bahasa pemisah diantara dua hal, menurut istilah nama untuk kata-kata khusus yang mencakup Al-Far‟i dan masalah-masalah umum. 10 Al-Far‟i secara bahasa sesuatu yang dibangun pada sesuatu yang lain, menurut Istilah namauntuk kata-kata yang mencakup masalah-masalah umum.
20
umum, juga di tambahkan dengan al-Tanbih11, al-Khatmah12 dan Titima13. Adapun kajian dalam kitab Fathul Mu'in ini merupakan bahasan ilmu fiqih yang membahas berbagai permasalahan fiqih dalam madzhab Syafi'iyyah. Sebagaimana kitab-kitab fiqh Iainnya, Kitab Fathul Mu‟in secara garis besar ditulis dengan sistematika sebagai berikut : 1.
Khutbah al-Kitab (Muqaddimah), dalam bagian ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz AI-Malibary menguraikan tentang posisi kitab (sebagai syarah),isi tulisan, tujuan penulisan dan pengambilan sumber hukum.
2.
Bab Shalat, dalam bagian ini diuraikan mengelul had orang yang meninggalkan shalat, syarat-syarat shalat, al-Thaharah (yang mengulas
tentang
wudhu,
tayamum.
mandi,
pembahasan
mengenai haid dan nifas najis cara buang air besar dan kecil). Lebih lanjut dalam bab ini diuraikan tentang rukun shalat. sunnah-sunnah shalat, sujud sahwi dan tilawah, hal-hal yang membatalkan shalat, adzan dan iqamat, shalat-shalat sunnah (shalat ied shalat gerhana dan shalat istisqa), shalat jamaah. shalat jum‟at, shalat musafir dan di akhiri dengan shalat jenazah. 3.
Bab zakat dalam bab ini diuraikan mengenai harta yang wajib di zakati zakat fitrah, orang-orang yang berhak menerima zakat (mastahiq al- zakat) dan macam-macam shadaqah.
11
Titel/Judul pembahasan yang sesuai dengan isyarah yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya yang dapat di pahami seara global 12 Nama untuk kata-kata khusus yang di letakan pada akhir kitab atau bab. 13 Akhir dari kitab atau bab, kata titimah sepadan dengan Al-Khatimah. Lihat syeik sayyid Al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, Op-Cit, hlm. 21.
21
4.
Bab al-shaum, dalam bagian ini diuraikan tentang syarat-syarat puasa, i‟tikaf dan puasa sunnah.
5.
Bab al-Hajj dan Umrah pada bagian ini dikaji seputar haji yakni rukun dan wajib haji, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang ikhram, al-udhiyah dan al-aqiqah serta nadzar.
6.
Bab al-Bai‟, dalam bab ini dibahas mengenai riba, al-Qiradl, alrahn, orang yang bangkrut dalam usaha (al-muflis), hawalah, sulh, wakalah, syirkah, syuf‟ah, ijarah, „ariyah, ghosob, hibah, wakaf, ikrar dan wasiat.
7.
Bab al-faraidh, dalam bagian ini dikaji tentang pembagian harta waris, hijab, ashabah, barang titipan, (wadi „ah) dan barang temuan (luqathah).
8.
Bab al-Nikah, dalam bagian ini dikaji tentang syarat, rukun nikah, kafa‟ah, mahar, walimah, ila, dhihar, thalak, ruju‟, nafaqah, dan Hadhanah.
9.
Bab al-Jinayat, pada bagian ini ditulis mengenai riddah, had, ta‟zir, ash shiyal, jihad, qadha, gugatan (al-Da‟wa), pembuktian (albayyinat) kesaksian dan sumpah.
10. Bab memerdekakan budak, dalam bab terakhir ini dibahas mengenai al khitabah, aI-tadbir dan umm al walad. 11. Bagian penutup, yakni ucapan pujian dan shalawat atas selesainya penulisan kitab oleh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary dan harapan-harapannya dengan wujudnya kitab Fathul Mu‟in.
22
E. Sejarah Kitab Kuning di Indonesia Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan alSunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan madzhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madzhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,14 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi. Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak
hanya
dalam
tradisi
pesantren
yang
sudah
jelas-jelas
“memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madzhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermazhab 14
Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
23
di kalangan umat Islam pada umumnya. Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di Indonesia, terutama di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku tersebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al-mu‟tabara (buku-buku yang layak dipelajari dan dipedomani). Sedangkan label “kuning” dalam termonologi tersebut lebih disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan kertas berwarna kuning. Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermadhhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermadhhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abadabad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mulamula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab,15 dan harus diingat, para pedagang kan kaum sufi tadi rata-rata bermadzhab fiqh Shāfi„ī. Ibn Batūta (W. 1378), tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfa al-Nazzār fī Gharā‟ib al- Amsār wa „Ajā‟ib al-Asfār atau Rihla Ibn Batūta (Ekspedisi Ibn
15
Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 26-27.
24
Batūta),16 ketika, pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagumkagum kepada Sultan Malik al-Zāhir , seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam madhhab Shāfi„ī. Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas bermadhhab Shāfi„ī.17 Demikianlah, madzhab Shāfi„ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menyebar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madzhab Shāfi„ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madzhab yang lain. Pertama, jaringan intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama-ulama yang bermadhhab Shāfi„ī. Kedua, letak geografis yang begitu jauh dengan tempat asal dan pusat madhhab Shāfi„ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkembangan madhhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum Islam kemadzhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madzhab Shāfi„ī sendiri, terdapat aturan main yang ketat dalam bermadzhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan bermadzhab (al-„āmī) diwajibkan ber-taqlīd kepada salah satu dari madzhab empat (madhāhib arba„a). Selain empat madzhab tersebut tidak boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dari
16
Ferdinaud Toutle, al-Munjid fī al-Adab Wa al-„Ulūm: Mu„jam li A„lām al-Sharq wa alGharb (Beirut:Al-Matba„a al-Kāthūlīkiyya, 1975), h. 78. 17 Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tjun Surjaman (ed. ), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, ctk. 1 (Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya, 1991), h.69.
25
sistematis (lam yudawwan). Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu (1) talfīq, yakni menggabung dua mazhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, (2) tatabbu„ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan.18 Hanya saja, perpindahan madzhab kemudian terkesan negatif, manakala dihubungkan dengan “doktrin” kemadzhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadzhab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madzhab Shāfi„ī, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu‟. Persoalan bahwa orang tersebut, berdasarkan ketentuan madzhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan.19 Tiga faktor ini lah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadzhab Shāfī„ī. F. Kitab fathul Muin sebagai Kitab Muktabaroh di Kalangan Fuqoha Indonesia Kitab Fathul Mu‟in merupakan kitab yang banyak dijadikan sebagai bahan rujukan di Indonesia, terutama oleh kaum nahdliyyin (warga Nahdlatul Ulama). Kitab ini juga banyak dipelajari di pondok-pondok pesantren baik pondok salaf maupun yang sudah menganut sistem pondok modern. Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai 18
Abū Bakr ibn Muhammad Shatā al-Dimyātī, I„āna al-Tālibīn „ala Fath al-Mu„īn (Mesir: Matba„a al-Maymaniyya, t.t.), IV: 218-219. 19 Ibrāhīm al-Bājūrī, Hāshia al-Bājūrī (Indonesia: Dār Ihya„ al- kutub al-„Arabiyya, t.t.), I: 198.
26
merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati posisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan alSunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan mazhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam mazhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,20 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi. Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak
hanya
dalam
tradisi
pesantren
yang
sudah
jelas-jelas
“memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermazhab di kalangan umat Islam pada umumnya. Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermazhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermazhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad20
M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
27
abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mulamula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.21 Bagi kalangan Fuqoha Indonesia, tidak asing dengan kitab Fathul Mu‟in. Kitab yang membahas seputar fikih bermadzhab Syafi‟i tersebut seperti menjadi kitab pegangan wajib untuk dikaji dalam mengajar para santri. Bahkan disebuah Pesantren sang Guru pernah berkata "Seorang santri belum bisa jadi Kiyai kalau dalam fiqihnya belum ngaji kitab Fathul Mu'in." Meski diungkapkan dengan nada yang tidak serius, namun ungkapan beliau nampaknya cukup untuk memberi makna untuk kitab yang dikarang oleh Syeikh Zanuddin Abdul Aziz Al-Malibary tersebut. Ungkapan beliau menandakan
begitu
pentingya
kedudukan
kitab
Fathul
mu'in
dan
pengaruhnya dalam fiqih Islam. Sehingga kajian-kajiannya apabila dapat dikuasai dan diamalkan cukup mampu untuk megantarkan seseorang pada pemahaman dalam fiqih. Hampir seluruh pesantren yang ada di Indonesia kebanyakan semuanya menjadikan kitab Fathul Mu'in sebagai standarisasi kajian ilmu fiqihnya. Ini menunjukan kedudukan kitab Fathul Muin yang diangap mampu mewakili pelajaran ilmu fiqih secara mendasar. 21
Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 26-27.
28
Beberapa kesimpulan terhadap kitab yang sudah banyak di syarahi ini, diantanya: 1. Kitab ini memiliki penjelasan yang ringkas namun padat akan makna 2. Penggunaan bahasa arab yang mudah dimengerti serta didalamnya tidak banyak kosakata yang maknanya sulit diterjemahkan 3. Isi pembahasannya cukup lengkap 4. Penyusunannya sudah sistematis sesuai kebutuhan pembaca dan pembahasannya diurut sesuai tingkat kebutuhan dan kepentingan ilmu fiqih. G. Kitab Fathul Muin menjadi Kitab Muktabaroh Pengadilan Agama Perjalanan sejarah kitab kuning dalam legislasi hukum Islam di Indonesia bisa dibedakan menjadi dua periode. Pertama, periode ketika kitab kuning menjadi sumber hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa, dan, kedua, periode ketika ia menjadi sumber material hukum nasional. Peralihan dari periode pertama ke periode kedua dimulai ketika UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 diberlakukan, dan semakin berlanjut ketika, pada 1991, Kompilasi hukum Islam (KHI) diinstruksikan oleh Presiden RI agar disebarluaskan. Peralihan tersebut, bisa dikatakan, menandakan dimulainya era pembaruan hukum Islam di Indonesia, dari sistem hukum tradisional menuju sistem hukum modern. Tahir Mahmood menuturkan, salah satu kriteria telah dilakukannya pembaruan hukum Islam di sebuah negara adalah dilakukannya kondifikasi
29
dan legislasi hukum, dari aturan-aturan hukum yang tersebar dalam berbagai teks fiqh klasik menjadi aturan hukum tertulis yang baku, semisal undangundang, peraturan pemerintah, ordinasi, dekrit dan sebagainya.22 Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah tidak lain dari sebuah bukuhukum ataubuku kumpulan yang memuat uraian atau bahanbahanhukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.23 Lebih jauh lagi Abdurrahman menjelaskan, dalam konteks KHI kompilasi diartikan sebagai upaya untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Bahan-bahan yang diangkat dari berbagaikitab yang bisadigunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapanhukum yang dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainya yangberhubungan dengan itu.24 Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam dapat kita artikan sebagaikumpulan atau ringkasan berbagai pendapat hukum Islam yang diambil dariberbagai sumber kitab hukum (fiqh) yang mu‟tabar yang dijadikan sebagai sumber rujukan atau untuk dikembangkan di Peradilan Agama yang terdiridari bab nikah, waris, dan wakaf. Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agamadi semua tingkatan Peradilan menggunakan UU No. 1 tahun 1974 yang cenderung liberal dan sekuler untuk dijadikan sebagai sumber hukum 22
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comprative Analysis, ctk. 1 (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 1. 23 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.(Jakarta: Akademika Presindo,1992).h. 11. 24 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, h. 14.
30
materiil. Selain itu dalam memutuskan perkara para Hakim dilingkungan Peradilan Agama juga disarankan oleh pemerintah untuk menggunakan kitabkitab mu‟tabar sebagai pedoman rujukan hukum. Sesuai dengan Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah diluar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini: 1.
Al-Bajuri.
2.
Fath al-Mu‟in dan Syarah.
3.
Syarqawi „Ala al-Tahrir.
4.
Qalyubi /Al-Mahalli.
5.
Tuhfah.
6.
Tarqib al-Musytaq.
7.
Al-Qawanin al-Syar‟iyyah (li „Usman ibn Yahya).
8.
Fath al-Wahab dan Syarahnya.
9.
Al-Qawanin al-Syar‟iyyah (li Sadaqah Dahlan).
10. Syamsuri li al-Faraid. 11. Bughyah al-Mustarsyidin. 12. Kitab al-Fiqh „ala al-Mazhabil al-Arba‟ah.
31
13. Mugni al- Muhtaj25 Dengan merujuk 13 buah kitab yang dianjurkan ini, maka langkahkearah kepastian hukum semakin nyata. Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik merupakan pergeseran bagian dari hukum Islam kearah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, dan lain-lain yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama masih berada di luar hukum tertulis.26 Menurut Abdurrahman dalam bukunya yang dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguti dari Bustanul Arifin menjelaskan bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakain kitab/pendapat
yang
tidak
menguntungkanya
itu,
seraya
menunjuk
kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan diantara ke 13 kitab pegangan itu jarang digunakan sebagai rujukan dan sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akanterjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun Hakim tidak menutupkemungkinan setuju dengan 25
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media Offset,2001), h. 85-86. 26 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahiddan Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 7
32
pendapat pengarang sebuah buku (doktrin hukum) yang mempengaruhi putusannya.27 Sementara Masrani Basran mengemukakan beberapa hal yang melatar belakangi diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pertama, adanya ketidak jelasan persepsi antara syari‟ah dan fiqh. Hal ini menurutnya akan dan telah menyebabkan hal-hal : (1) ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan hukum Islam (2) kita tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.28Kedua, situasi hukum Islam di Negara Indonesia. Menurutnya bahwa situasi hukum Islam di Indonesia tidak berbeda dengan Negara-negara lain, yaitu tetap tinggal dalam “kitab-kitab kuning” yang merupakan karangan dan bahasan sarjana-sarjana hukum Islam, yang tiap-tiap kitab kuning diwarnai dengan pendapat dan pendirian masingmasing pengarangnya. Oleh sebab itu, dalam memandang hal ini, Basran menemukan dua kesulitan (1) mengenai bahasa dari kitab kuning yang tidak semua orang dapat memahaminya (2) persepsi yang belum seragam mengenai din, syari‟ah dan fiqh, terutama sejak abad-abad kemunduran umat Islam di segala bidang.29 Maka tujuan diadakannya Kompilasi Hukum Islam menurut Yahya Harahap adalah melengkapi pilar Peradilan Agama, menyamakan persepsi penetapan hukum, mempercepat proses taqrib bayna al-ummah, dan
27
Abdurrahman, Presindo,1992),h. 23 28 Ibid. 29 Ibid., 24-25
Kompilasi
Hukum
Islam
di
Indonesia.
(Jakarta:
Akademika
33
menyingkirkan faham-faham private affairs.30 Di samping masih adanya tarik ulur dalam memahami kitab fiqh.31 Kalau kita cermati secara seksama dari 13 rujukan kitab yang disarankan, kesemuannya lebih bersifat eksklusif. Ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan tersebut merupakan kitab-kitab yang bermazhab Syafi‟i. Kecuali untuk kitab nomor 12 yang termasuk kedalam kitab komparatif (perbandingan madzhab). Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali kitab Nomor 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.32 H. Pembahasan Qadha shalat dan fidyah dalam Kitab Fathul Muin Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal (tidak gila) sesuai dengan kemampuanya. Shalat merupakan sendi agama didalam syari‟at Islam dan bisa dijadikan standar ibadah-ibadah lain. Begitu pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, namun dalam kondisi sakit sekalipun belum gugur kewajiban untuk shalat, akan tetapi dalam kondisi tersebut ada keringanan-keringanan bagi orang sakit di dalam menjalankan shalatnya, diterangkan di dalam al-Qur‟an:
30
Yahya Harahap. “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam. Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993/1994), 149-157. 31 Fiqh hanya dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat(fatwa). Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalamTata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h 144-145. 32 Fiqh hanya dipandang sebagai …,h. 22
34
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa)”.(Q.S.:anNisa‟: 103)
Pemberian Rukhshah juga telah diungkapkan Nabi dalam beberapa hadits:
Artinya: “Dari Amran bin Hushain r.a. menceritakan bahwa dia ditimpa penyakit bawasir, lalu ia menanyakan bagaimana caranya shalat. Rasulullah SAW menjawab:“ shalatlah sambil berdiri! bila anda tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk! bila tidak mampu, maka shalatlah sambil berbaring!”.33 Para
ulama
sepakat
pendapatnya
bahwa
orang
yang
sakit
diperintahkan mengerjakan shalat, dan bahwa kewajiban berdiri hapus dari padanya, jika tidak dapat berdiri dan ia dalam hal ini shalat dalam keadaan duduk. Demikian kewajiban ruku‟ dan sujud hapus dari padanya, apabila ia tidak dapat mengerjakan kedua-keduanya atau salah satunya dan sebagai gantinya berisyarat.34 Dari hadits di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk ataupun berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka, menurut pendapat yang 33
Muhammah bin Ismail al-Yamani ash-Shon‟ani, Subul as-Salam: Syarah Bulughul alMaram, (Jeddah, al-Haramain, t.th.), h. 453. 34 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , _(Semarang, Toha Putra, t.th). h.129
35
mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya. fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik di dalam Al-Qur‟an maupun hadits. Sedangkan fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama. Masalah qadha dan fidyah terhadap shalat yang ditinggalkan mayyit terdapat Khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan Ulama. Berikut pendapat ulama mengenai hukum fidyah shalat, antara lain : 1. Berkata Zakariya Anshary : “Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara‟ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia”35 2. Berkata al-Kurdy : “al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku pernah melihat ulama dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya.”36 3. Berkata Zainuddin al-Malibary : “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan:“Ada pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu
35
Zakariya Anshary, Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, h. 66 Al-Bakri ad-Damyathi, I‟anah at-Thalibin,(Thaha Putra, Semarang), Juz. II, h. 244
36
36
mud makanan”.37 Di dalam kitab fathul muin dijelaskan
،ُّيٍ ياث عهٍّ صالة فرض نى تقط ونى تفذ ع ً أوصى بها أو ال يا حكاِ انعبادي عٍ انشافع- ُّوفً قىل أَها تفعم ع ّ وفعم بّ انسبكً عٍ بعط أقارب،ٍّنخبر ف Artinya: “Orang yang mati (mayyit) dan masih memiliki tanggungan shalat fardhu, maka shalat tersebut tidak bisa di qadha dan tidak bisa dibayarkan fidyah, sebagaimana yang disebutkan diatas. Namun, dikatakan pula bahwa terdapat ada sebuah pendapat bahwa shalat harus diqadha' oleh orang lain, baik si mayyit berwasiat maupun tidak, berdasarkan pada sebuah hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'I”.38 Demikian juga Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i kepada kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam AsSubki meninggal, beliau mengqadha' shalat yang pernah ditinggalkan oleh kerabatnya. Menurut sebagian ulama, boleh difidyahkan dengan satu mud bagi setiap waktu shalat fardu.39 Maksud dari kalimat di atas adalah, jika mengacu pada dalil al-Qur‟an dan hadits jelas, bahwa orang meninggalkan shalat sampai saat kematian datang maka tidak wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah sebagaimana dalam masalah puasa. Karena dalam puasa jelas bahwa orang yang meninggalkan puasa sampai kematiannya datang, maka wajib baginya membayar fidyah, ini seperti yang telah diterangkan di atas. Tetapi menurut 37
Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I‟anah at-Thalibin,Thaha Putra, Semarang, Juz. II, h. 244. 38 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu‟in (Bandung: Syirkah al- Ma‟arif Lithof‟I Wannasyri ), h. 3 39 Ibid. h. 3
37
pendapat yang dapat dipercaya, seperti yang dinukil Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, diharuskan ahli waris si mayit melaksanakan shalat yang ditinggalkan mayit (mengqadhanya) baik itu diwasiatkan oleh mayit ataupun tidak diwasiatkan. Hal senada juga diterangkan dalam kitab “I‟anatuth Thalibin” syarah dari kitab “Fathul Mu‟in”:
Artinya: “Faedah : barang siapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban shalat (yang tertinggal), tidak diharuskan mengqadha dan tidak pula fidyah (baginya, sebab yang demikian itu tidak wajib). Menurut satu qaul (pendapat), sebagaimana banyak pendapat para mujtahid. Yang demikian itu harus mengqadhakan karena ada hadits Bukhari dan lainnya”.40 Tetapi ungkapan “ahli warits harus menqadha” tersebut ternyata tidak hukum yang patent, karena Imam Syafi‟I dalam qaul qadimnya (fatwanya yang lama) mengharuskan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti halnya puasa (untuk membayar fidyah). Imam Syafi‟I mengharuskan ahli waris (wali) mengeluarkan makanan (fidyah) sebanyak satu mud (untuk fidyah) untuk setiap shalat fardu. Ini seperti yang diungkapkan oleh Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha:
Artinya: Ibnu Burhan mengutip darikaul Qadim (imam Syafi‟I), “ditetapkan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan 40
Al-„Alamah Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Bakri, I‟anat athThalibin Syarah dari Fathul Mu‟in, Juz I, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiah, t.th., hlm. 41.
38
orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti puasa”.41 Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari‟at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk mengqadha‟nya di hari lain di luar bulan Ramadhan, Mereka yaitu: “Musâfir42, orang yang sakit yang masih memiliki harapan untuk sembuh43, wanita yang sedang haidh (menstruasi), dan nifas44”. Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 184}. Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari‟at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk membayar Fidyah (tebusan) Mereka adalah: “Orang-orang yang telah lanjut usia (tua), orangorang yang tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh, wanita hamil dan
41
Ibid. Musâfir adalah: Seseorang yang sedang menempuh perjalanan menuju suatu tempat atau orang yang sedang bepergian menuju suatu tempat. 43 Menurut Madzhab Bukhârî, „Athâ‟ dan Ahlu Zhâhir: “Sakit apapun bentuknya maka dperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan, dan diwajibkan menqadha‟ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan yang telah dtinggalkannya”. {Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 180181}. 44 Nifas yaitu: Seorang wanita yang sedang melahirkan maupun pasca (setelah) melahirkan hingga ia (wanita yang melahirkan tersebut) suci. Mengenai tuntunan (aturan) Islam bahwa wanita hamil diharuskan mengqadha‟ (membayar ataupun mengganti) puasa bulan Ramadhan (bukan diharuskan membayar fidyah) itu diqiyaskan (dianalogikan) kepada wanita yang sedang haidh (menstruasi). 42
39
wanita yang sedang menyusui, serta orang-orang yang melakukan pekerjaan yang berat seperti: kuli bangunan, kuli pelabuhan, supir angkutan berat antar kota dan provinsi, tukang becak, pekerja tambang, cleaning service dan sebagainya”. Dalam Tafsîr al-Manar karya Syaikh Muhammad „Abduh ditegaskan bahwa: “Al-ladzîna yuthîqûnahu bermakna: “Orang-orang yang sangat berat dan sangat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan, akan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat maupun sukar) yang besar”.45 Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: “….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar Fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”. {Q.S: al-Baqarah (2), Ayat: 184}.
I.
Pendapat Ulama Tentang Kadar Fidyah Mengenai berapa kadar makanan yang diberikan kepada tiap-tiap orang miskin terdapat perbedaan pendapat mengenai berapa kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin. Menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi‟i serta para pengikutnya kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin adalah sebayak satu mud (0,6875 liter) .46
45
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Manar, Juz II, h. 126 46 Zurinal z, Amiudin. Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 152
40
Jumhur ulama berijtihad menyamakan kadar (jumlah) fidyah dengan kifarat, yaitu 1 mud biji gandum (makanan pokok seperti beras) untuk setiap hari.47 Dan kadar 1 mud ini sesuai dengan beberapa riwayat seperti hadis riwayat Imam ad-Daruqutuni:
ٍ يُ ٌذ ٍ ٍْم ِيسْ ِك ِّ ستٍٍَِّْ يِسْكًٍُِْا نِ ُك ِ تُطْ ِع ُى Artinya: (Engkau memberi makan enam puluh orang miskin, untuk setiap seorang miskin satu mud).
Dan juga dalam hadis lain yang juga riwayat Imam ad-Daruqutuni disebutkan:
ٍ يِسْكًٍُِْا َ ٍْل َأطْعًُِّْ سِ ِّت َ خًْسَ َت عَشَ َر صَاعًا َفقَا َ ً ِب َ فَُأ ِت Artinya: Maka dibawakan kepada Nabi SAW lima belas sha` kurma, dan Nabi SAW bersabda [kepada lelaki yang bertanya], berikanlah ini untuk dimakan oleh enam puluh orang miskin.48
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha„ setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha„ itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha„ setara dengan 2,75 liter.49 Kesimpulan diatas berdasarkan hadits riwayat an-Nasai dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (IV/43) dan at-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga Ibn al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh (hal. 239). Semuanya berasal dari Ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi : 47
Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah, j.5), h.608. 48 Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bakhaariy, j.4, h. 676. 49 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid I. h. 143
41
خُْطًا ِ م ٌَىْ ٍو يُذًا ِّ ٌُ ك َ عُْ ُّ يَاكَا َ ٍُ ٌُطْ ِعى ْ ٍ أَحَ ٍذ َونٰ ِك ْ َم أَحَ ٌذ ع ِّ ص َ ٌُ نَا Artinya:“Seseorang tidak dapat menggantikan shalat atau puasa orang lain, tetapi dia dapat menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud (±1 liter) gandum.”50
Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf sebab bersandar pada seorang sahabat, Ibnu Abbas R.A 51 Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka memiliki landasan dan dalil di atas. Tentu dengan catatan, hadits Ibnu Abbas itu tidak dapat dijadikan dalil kebolehan meninggalkan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat.
50
Ahmad Zubaidi dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah., (Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2001), hlm. 183 51 Ibnu Abi al-‟Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al-„Aqiqoh al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu‟aib al-Arnauth, Dar‟Alam al-Kutub, (Riyadh, 1418H/1997M), cet. Ke-3, h. 664-676.
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG KELURAHAN CIBADAK KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA BOGOR
A. Kondisi Geografi dan Sosial Kultural 1. Lokasi dan Luas Kelurahan Kelurahan Cibadak merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kelurahan Cibadak terdiri atas satu wilayah, dan Kelurahan Cibadak mempunyai luas wilayah Kelurahan 464700 Ha. Untuk tanah asset Pemerintahan Provinsi 2 Ha, kota 2 Ha. Adapun wilayah Kelurahan Cibadak berbatasan : a. Sebelah Utara
: Kelurahan Kayu Manis
b. Sebelah Selatan
: Kelurahan Suka Darmai
c. Sebelah Barat
: Kelurahan Curug
d. Sebelah Timur
: Kelurahan Mekar Wangi
2. Topografi dan Keadaan Alam Wilayah Kelurahan Cibadak memiliki ketinggian kurang lebih 200003 M di atas permukaan laut, dan Tofografi daratan tinggi. 3. Keadaan Penduduk Jumlah dan perkembangan penduduk di Kelurahan Cibadak pada tahun 2016 mencapai jumlah penduduk sebanyak 23.218 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 6.636 untuk lebih jelas mengenai jumlah penduduk dapat dilihat dalam tabel berikut.
42
43
Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kelurahan Cibadak Tahun 2016 No
Jenis kelamin
Jumlah penduduk (jiwa)
1
Laki-laki
11.832
2
Perempuan
11.386
Jumlah
23.218
Sumber monografi Kelurahan Cibadak tahun 2016 4. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Cibadak sebagian besar berupa Pedagang/wiraswasta mengingat letak dan kondisi Kelurahan yang berdekatan dengan Pusat Kota. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.2. Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cibadak tahun 2016 No
Mata pencaharian
1
Karyawan
Jumlah (jiwa)
a. PegawaiNegriSipil
45
b. TNI
5
c. Polri
10
d.Swasta BUMN/BUMD
2671
2
Tani
25
3
Pertukangan
15
4
Wiraswasta/pedagang
4251
44
5
Pensiunan
203
6
Jasa/lain-lain
178
Jumlah
9878
5. Pendidikan dan Agama Penduduk Kelurahan Cibadak tingkat pendidikan yang paling dominan adalah tamatan SD yaitu sebanyak 4.901 jiwa, tamat SMP 3.222 jiwa, tamat SMA 3.812 jiwa, tamat D3 172 jiwa, tamat Sarjana 224 Jiwa. Agama
masyarakat Kelurahan Cibadak adalah muslim, sebagai mana
dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 1.3. Agama Penduduk Kelurahan Cibadak tahun 2016 No
Jenis Kelamin
Jumlah jiwa
1
Islam
20.536
2
Kristen
1.414
3
Katolik
753
4
Hindu
291
5
Budha
224
Jumlah
23.218
6. Keadaan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Kehidupan mayoritas masyarakat Kelurahan Cibadak sepenuhnya menggantungkan potensi wiraswasta, 4251 jiwa penduduknya adalah
45
bermata pencaharian wiraswasta/pedagang, dapat dikatakan bahwa kondisi social ekonomi masyarakat Kelurahan Cibadak pada umumnya adalah makmur dan sejahtera. Sedangkan
mengenai
keadaan
social
budaya,
masyarakat
Kelurahan Cibadak masih kental dengan nuansa gotong royongnya. Dimana hal ini tercermin dengan adanya tradisi sambatan antar warga, baik yang bertujuan untuk membangun masjid atau untuk orang gawe bahkan untuk biaya orang sakit, untuk orang yang akan melaksanakan hajat, membangun rumah dan dalam upacara pernikahan masing kental dengan budaya adat set empat. Sosial budaya masyarakat Kelurahan Cibadak tidak dipengaruhi budaya mereka, kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib sudah tidak relatife tinggi, tidak seperti dahulu mungkin saat ini hanya beberapa orang saja yang masih percaya akan mitos. Mayoritas warga sudah memiliki pola fikir yang rasional karna saat ini tingkat pendidikan warga sudah lebih baik dan letak geografisnyapun berada di tengah perkotaan. Dalam penggunaan bahasapun meski letak Kelurahan Cibadak berada di Bogor tapi tidak seluruh warga menggunakan bahasa Sunda, terkecuali warga pribumi dan orang-orang tua. Bahasa yang sering digunakan sehari-hari adalah bahasa betawi. B. Peran Ulama Bagi Masyarakat Kelurahan Cibadak Ulama merupakan elemen yang paling esensial dari suatu masyarakat. Keberadaan seorang ulama dalam lingkungan masyarakat adalah laksana
46
jantung dalam kehidupan manusia. Begitu urgen dan esensialnya seorang ulama. Secara ideal seorang ulama diharapkan sebagai figure panutan serta tokoh sentral dalam masyarakatnya, sebab di bahu merekalah terletak cita-cita dan eksistensi umat. Kelompok ulama saat ini merupakan kelompok elit di masyarakat, dalam kehidupan utama di pedesaan memiliki cultural dengan karekretistik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi social dan keyakinan budaya setempat. Dalam masyarakat Cibadak bahwa peran ulamanya sangat tinggi dan lingkungannya agamis, sebab dalam setiap wilayah ini ulamaya banyak melakukan kegiatan-kegiatan seperti pengajian, majlis taklim, dan lain-lain. Sehingga permasalahan-permasalahan kehidupan agama cukup kondusif dan tidak ada permasalahan yang merugikan orang lain. Terbukti Kelurahan Cibadak dapat menjadi juara dalam MTQ Tingkat kecamatan Tanah Sareal.1 Dalam semua aspek kehidupan masyarakat Cibadak itu tidak terlepas dari peran ulama setempat. Ulama-ulama di Kelurahan Cibadak selalu berupaya agar lingkungan Cibadak meski sudah modern tetapi nilai agama islam masih tetap terjaga. Mulai dari kalangan kanak-kanak sampai orang tua di Cibadak masih teradapat pengkajian ilmu Agama. Kelurahan Cibadak memiliki pendidikan Agama Formal dan Non formal, seperti Madrastah dan Pesantren.Ruang lingkup pesantren ini tidak 1
Wawancara langsung dengan kepalaKelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor yaitu UaySutiawan pada 29 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.
47
hanya sekedar kalangan warga Cibadak saja tetapi sudah meluas diluar dari lingkup warga Cibadak. C. Kedudukan Kitab Kuning dalam Pengkajian dan Fatwa Ulama di Cibadak Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan alSunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan mazhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam mazhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,2 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi. Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermazhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermazhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abadabad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi
2
Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
48
dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mulamula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.3 Dengan demikian, dikarenakan Mayoritas masyarakat Cibadak adalah bermazhab Syafi‟I, maka sudah tidak dipungkiri lagi Ulama di Kelurahan Cibadak memakai kitab kuning sebagai sebuah rujukan dalam muamalah dan rujukan untuk fatwa-fatwa Ulama. Namun tidak dipungkiri ada juga ulama yang mengajar dengan memakai kitab terjemah. Bagi ulama yang keluaran pondok pesantren pasti memakai kitab kuning sebagai rujukan atau referensi dalam mengajarnya, karena untuk mengharapkan barokah dan keutamaan dalam mengajarnya. Adapun kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan ulama Cibadak adalah: 1. Kitab fathul Mu‟in 2. Kitab Kasyifah syarah dari kitab Safinatunnajah 3. Kitab Busyrokarim 4. Kitab Riyadul Bari‟ah 5. Kitab Sulamun najad 6. Kitab SulamunTaufik
3
AzyumazdiAzra, JaringanUlamaTimur Tengah danKepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: MelacakAkar-akarPembaruanPemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 26-27
49
Kitab kuning harus tetap dijaga dan jagan sampai kita meninggalkan kitab kuning. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan terputusnya matarantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur keilmuan yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.4 D. Pemakaian Kitab Fathul Muin di dalam Bermuamalah di Masyarakat Kelurahan Cibadak Kitab fathul Mu'in ini adalah kitab yang sangat barokah sekali, dengan format dan manhaj yang ditawarkan tentunya mempunyai sebuah rahasia yang tidak bisa di mengerti oleh orang lain. Sehingga banyak sekali ulama' yang mengaguminya, bahkan ada yang mengatakan bahwa kitab fathul Mu'in ini adalah Kitab al Tuhfah al Tsani atau Kitab Tuhfah yang kedua, selain karena pengarang adalah murid dari pengarang kitab Tuhfah, juga karena kitab Fathul Mu'in ini juga banyak sekali mengadopsi masalah dari kitab al Tuhfah. Kitab Fathul Mu‟in ini tak jauh bedanya dengan kitab-kitab fiqh yang lain, yaitu membincangkan semua permasalahan Fiqhiyah, mulai dari 'Ibadah, Mu‟amalah, Munakahah dan juga Jinayah dengan di klasifikasikan sesuai dengan bab-babnya. Dalam pembahasan Sholat, kitab ini lebih enak untuk di telaah, karena dalam membahas kaifiyah atau tata cara Sholat, kitab Fathul Mu‟in ini lebih 4
Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2004). Hal. 39
50
runtut dibanding dengan kitab lain, karena dalam penyebutan, tidak di klasifikasikan sesuai dengan Fardlu dan Sunahnya, melainkan disebutkan sesuai dengan letak kaifiyah itu, metode seperti ini juga di terapkan dalam pembahasan Haji dan Umroh. Kitab Fathul Mu‟in oleh ulama Cibadak dijadikan sebagai rujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan permasalahan muamalat masyarakat, tetapi tidak dipakai dalam pengajian warga Cibadak dikarenakan pembahasan di dalam kitab fathul Mu‟in itu sudah sedikit lebih tinggi.5 Dalam pembahasan qadha dan fidyah shalat yang terjadi di Cibadak Memakai kitab rujukan fathul mu‟in. karena dalam kitab fathul mu‟in sudah sangat jelas pembahasan tentang shalat, dan ditambah dengan syarhanya yaitu yang berjudul I‟anatuth Tahlibiin yang dikarang oleh Syaikh Muhammad alBakri bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyati. E. Teknis Pelaksanaan Fidyah Shalat di Cibadak Shalat merupakan ibadah badaniyah. Oleh karena itu, ibadah shalat tidak dapat diganti dengan amalan lainnya kecuali ada dalil yang membolehkannya. Berdasarkan ini, maka menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi‟i, shalat tidak dapat diganti dengan fidyah, meskipun dalam kasus orang telah meninggal. Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW, antara lain hadits riwayat Annas :
5
Wawancara langsung dengan KH.Musa pada29 maret 2016 pukul 13.30 WIB.
51
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R.Annas)6 Fidyah secara kebahasaan adalah ﻮﺍﻠﻓﺪ ﻳﺔ- ﻮﺍﻠﻓﺪﺍﺀ- ﺍﻠﻓﺪﻯyang berarti tebusan.7 Tebusan ini biasanya berupa makanan pokok misalnya beras dan sebagainya, yang harus dibayarkan oleh seorang muslim seperti karena ia meninggalkan puasa yang disebabkan oleh penyakit menahun, penyakit tua dan sebagainya yang menimpa dirinya. Sedangkan menurut syara‟ (istilah) fidyah adalah sejenis denda yang dikenakan kepada orang Islam yang melakukan beberapa kesalahan tertentu dalam ibadah, atau menebus ibadah (karena uzur) dan disyari‟atkan dengan memberi sedekah kepada fakir miskin berupa makanan yang mengenyangkan. Fidyah adalah meberikan makan kepada orang miskin, dengan dalil Syar‟I Firman Allah Swt : … …
Artinya : Dan wajib bagi orang-orang yang berat melaksanakannya (ibadah puasa) membayar Fidyah yaitu memberi makan seorang muslim (Al baqoroh ayat 184) Dari ayat tersebut jelas bahwa fidyah berupa memberi makan pada orang miskin. Para ulama sepakat bahwa makanan yang harus diberikan adalah makanan pokok, dengan ukuran 1 mud (0,6875 liter beras) untuk mengganti puasa 1 hari, yang diserahkan langsung kepada fakir miskin sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkan dan tidak membolehkan 6
Muhyiddin an-Nawawi, Shohih Muslim ,jus V (Lebanon: Darul Ma‟arif ), h. 198 A.W.Munawir, Kamus Arab – Indonesia al-Munawir, Yogyakarta, PonPes alMunawir, 1984, hlm.1117 7
52
memberikan makanan kepada orang yang menjadi tanggungan si pemberi fidyah.8 Dari sisi pelaksanaan, fidyah biasanya dilaksanakan pada bulan puasa atau bulan-bulan setelah dan tentu saja bagi orang-orang yang masih hidup. Berbeda dengan itu pelaksanaan fidyah yang dilaksanakan di Kelurahan Cibadak Justru dilaksanakan setelah seseorang meninggal dunia sebelum ia dikuburkan atau setelahnya yang dilaksanakan oleh ahli warisnya. Yakni pembayaran fidyah dilakukan secara simbolik dengan cara mengundang orang banyak dan para mualim/Ustadz dengan Menghela. Prakteknya adalah ahli waris menyerahkan sejumlah beras yang jumlahnya tidak ditetukan kepada Mualim atau Ustadz untuk menghelah fidyah tersebut. Kalimat yang diucapkan ahli waris dalam menyerahkan beras tersebut adalah sebagai berikut : “ Saya atas nama ahli waris fulan bin fulan menyerahkan beras ini sebanyak (disebutkan jumlahnya) untuk dijadikan Fidyah bagi Al marhum/Al marhumah”. Biasanya ini dilaksanakan di depan para jama‟ah yang hadir yang kemudian dibagi kepada dua kelompok, sebelah barat dengan timur atau sebelah utara dengan selatan sesuai dengan keadaan tempatnya, dan masingmasing kelompok tersebut memiliki juru bicara yang mewakili bagian dari kelompoknya, dan di tengahnya telah tersedia beras yang diserahkan tadi yang diletakan pada tempat yang dapat digerakan, karena dalam pelaksanaan 8
Zurinal Z, Aminuddin. Fiqih Ibadah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.152
53
tersebut beras akan digerakan berulangkali. Mulailah Mu‟alim/ustad atau orang yang telah diserahkan beras tadi melakukan pelaksanaan pembayaran fidyah, dengan berkata : “Para jamaah sekalian saya telah diserakan sejumlah beras ( disebutkan jumlahnya bahkan ada yang telah menjadikan dalam bilangan Mud ) agar beras ini dijadikan sedekah fidyah atas Almarhum fulan bin fulan karena semasa hidupnya beliau telah meninggalkan puasa beberapa hari (tidak perlu disebutkan jumlah harinya dikhawatirkan menjadi fitnah)” Beras ini kami serahkan kepada Jama‟ah yang berada di sebelah utara (misalkan) dan spontan beras itu digerak-gerakan sebagai symbol pemindahan hak dari muallim kepada jamaah yang berada di sebelah utara. Dengan demikian beras yang tadinya milik ahli waris yang telah diserahkan mualim telah berubah menjadi milik orang-orang atau jamaah yang disebelah utara, kemudian dengan spontan jamaah tersebut yang disebelah utara mengucapkan “alhamdulillah” sebagai bukti penerimaan hak tersebut. kemudian orang yang telah disepakati menjadi perwakilan jamaah sebelah utara mengucapkan kalimat “wakil”yang memilki arti atas nama jamaah disebelah utara menyerahkan beras tersebut kepada mualim agar dilakukan hellah kembali, hal ini menunjukan bahwa secara hukum beras tersebut telah beralih hak lagi dari jamaah yang ada disebelah utara kepada mualim,
selanjutnya
mualim
mengucapkan
kalimat
saya
terima
perwakilannya dan melanjutkan…. Hadirin sekalian saya telah menerima beras (sebutkan jumlahnya) dari jamaah yang berada disebelah utara, mereka memiliki beras sebanyak (sebutkan jumlahnya) yang diniatkan sebagai fidyah qodho’ puasa almarhum/almarhumah karena beliau semasa hidupnya telah meninggalkan puasa selama beberapa hari beras ini saya serahkan kepada jamaah yang ada disebelah selatan.
54
Seketika beras tersebut digerakkan lagi,sama seperti yang pertama tanpa diwakili seluruh jamaah yang ada disebelah selatan mengucapkan “alhamdulillah” sebagai penerimaan atas mereka,kemudian salah satu jamaah dari sebelah selatan mengucapkan “wakil” yang artinya sama dengan yang pertama tadi setelah proses pembayaran fidyah puasa selesai maka dilanjutkan proses pembayaran fidyah sholat, dengan cara yang sama, hanya saja kata-kata puasa diganti dengan kata sholat. Sedangkan pemberian kepada muallim (guru/ustad) yang melebihi dari jamaah yang semestinya adalah tidak menjadi suatu keharusan, hal tersebut dilakukan sebagai penghormatan atas mereka. Adapun ukuran satu Mud dalam proses pembayaran fidyah adalah dibulatkan menjadi 1 liter beras.9 Akan tetapi pelaksanaan fidyah ini bertujuan untuk menyempurnakan ibadah-ibadah simayit ketika semasa hidupnya ibadahnya adanya yang tidak sempurna. Atau dapat dikatakan sebagai penambah pahala simayit. Sebab pendapat ini tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang masih hidup yang malas melakukan sholat, janganlah berkata “ Tidak perlu sibuk-sibuk sholat karena nantinya bisa diqodho oleh ahli waris atau diganti dengan fidyah” karena mengeluarkan kata-kata tersebut adalah termasuk meringan-ringankan sholat dan hukum agama, karena orang yang meringan-ringankan sholat dan hukum agama bisa menyeret kepada kemurtadan (keluar dari agama).
9
Wawancara langsung dengan KH. Musa pada 29 Maret 2016 pukul 13.30 WIB.
BAB IV ANALISIS PEMBAYARAN FIDYAH SHALAT DI KELURAHAN CIBADAK TANAH SAREAL KOTA BOGOR
A. Adat istiadat Istilah hukum adat pertama kali digunakan oleh Snouch Hurgronje karena hukum adat itu adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa belanja yaitu “adatrecht”. Snouch Hurgronje menggunakan istilah
“adatrecht” di
dalam karyanya De Atjehihers yang isinya membahas prihal adat istiadat suku bangsa aceh.1Adatrecht disini adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan orang Timur Asing yang mempunyai memaksa lagi pula tidak dikodifikasikan.2 Sedangkan kata adat itu sendiri berasal dari bahas arab yang berarti “kebiasaan”.3 Kebiasaan yang dimaksud disini adalah semua prilaku yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Sedangkan menurut para Ahli Hukum Islam, yang mana mereka melihat bahwa prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sekunder. Artinya adat („Urf ) terjadi ketika sumber-sumber yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul.4
1
A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), cet, ke II, h.4 2 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), cet. Ke IV, h.25 3 A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), cet, ke II, h.83 4 Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h.8
55
56
B. Kajian Teori 1. Kearifan Budaya Lokal Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi5merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sedangkan dari sisi sosial, pengertian kebudayaan dapat digambaran dalam hubungan-hubungan kekerabatan baik individu maupun masyarakatdalam tradisi dan adat istiadat yang dipelihara dan terselenggara dalam kegiatan organisasi-organisasi, baik yang berdasarkan profesi, asal-usul keturunan, maupun hobi, yang kemudian membentuk struktur sosial kemasyarakatan, sehingga mencakup nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama anggota masyarakat. Dari pengertian budaya secara umum, maka budaya lokal adalah budaya yang bersifat lokal (setempat) atau lokasi tertentu terapat budaya regional atau bisa disebut sebagai kebudayaan tradisional suku-suku bangsa.6 2. Masyarakat dan Kebudayaan Sunda Secara Antropologi Budaya bahwa yang disebut suku sunda adalah orang-orang yang secara turun-emurun menggunakan bahasa-ibu bahasa sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut
5
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, “Setangkai Bunga Sosiologi”, dalam Afif dan Saiful Bahri (ed), Harmoni Agama dan Budaya di Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Peelitian dan Pembangunan Agama, 2009), h. 19 6 Anisatun Muti‟ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia jilid I, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama), h. 20
57
Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.7 Dalam lingkup Kebudayaan Sunda, terdapat subkebudayaan Cirebon, subkebuayaan Banten, dan subkebuayaan Priangan. Namun pada akhir tahun 2000, pemerintah pusat telah meresmikan Banten menjadi Provinsi baru. Dengan demikian, secara administrative, pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya memiliki dau kebudayaan yaitu subkebudyaan Cirebon dan subkebudayaan Priangan.8 Menurut Juhaya S. Praja bahwa manusia Sunda dituntut untuk memiliki sifat-sifat Rasul, yakni shidiq, fathonah, amanah, yang tergambar dalam kalimat cageur, bageur, singer, tur pinter.9Untuk mencapai sifat-sifat tersebut, manusia Sunda diwajibkan menuntut ilmu dan mencari rizki yang tercermin dalam kalimat ilmu tuntut dunya siar. Sedangkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga maupun sebagai anggota masyarakat, maka ia harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan dan simultan sebagaimana terungkap dalam pribahasa fardu kalaku sunah kalampah. Pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat, seperti ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” yang disampaikan pertama kali oleh Endang Saefudin Anshori pada tahun 1967. Menurut Ajip Rosidi ungkapan tersebut merupakan strategi kebudayaan dalam upaya 7
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2010), h.
307 8
Iyus Rusliana, Wayang Wong Priangan Kajian Mengenai Petunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2002), h.23 9 Juhaya S. Praja. 2003. hukum Islam Dalam Tradisi dan Budaya Masyarakat Sunda, h. 6
58
membendung gerak paham komunis yang mulai merajalela di tengah-tengah masyarakat Sunda.10
C. Analisis Pembayaran Fidyah Shalat di Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor Sebagai
manusia
yang
beriman,
manusia
diwajibkan
untuk
menjalankan syari‟at Islam yang telah Allah tentukan di dalam al-Qur‟an, terutama Lima pilar utama yang menjadi rukun Islam. Shalat adalah salah satu bentuk ibadah mahdhoh yang harus dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam, oleh karena itu didalam melaksanakan shalat sudah ditentukan dan dijelaskan tatacaranya baik di dalam al-Qur‟an maupun di dalam hadits-hadits nabi. Dalam
ajaran
Islam
shalat
mempunyai
kedudukan
yang
sangatpenting. Secara hukum keberadaannya adalah fardlu „ain, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh orang muslim baik laki-laki ataupun perempuan yang mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal) sesuai waktu yang telah ditentukan syara‟. Karena fungsi pentingnya ini shalat dalam rukum Islam menempati urutan kedua setelah syahadat. Kedudukannya dapat dikatakan sebagai soko guru agama, bahkan lebih tegas lagi Nabi Muhammad Saw menjadikan shalat sebagai pembatas antara keimanan dan kekufuran seseorang. Bagi orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat
10
Hasan Bisri, Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan Ke -1. Bandung: Kaki Langit. 2005, h. 139.
59
padahal ia tahu bahwa shalat adalah wajib maka Nabi Saw mengklaim orang tersebut telah berbuat kekufuran.
Artinya: “pembatas antara seorang dengan kekufuran dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.11 Sebagai sebuahkewajiban, shalat tidak dapat ditinggalkan begitu saja, kewajiban shalatakan selalu melekat padadiri orang-orang Islam sampai akhir hayat, kecuali bagi orang-orang yang telah hilang ingatannya (gila) dan belum akil baligh. Keyakinan akan arti penting atas kewajiban shalat dalam ajaran Islam inilah yang melekat dalam hati orang-orang Islam warga Kelurahan Cibadak Kecamatan tanah Sareal Kota Bogor. Dalam survei di lapangan yang penulis lakukan, orang-orang Islam warga Cibadak adalahorang-orang yang taat menjalankan perintah agama. Sedangkandalam
masalah
cara
pembayaran
shalat
yang
ditinggalkanmayit karena sakit dalam al-Qur‟an dan hadits tidak diterangkan dengan jelasseperti dalam permasalahan puasa. Namun di antara ulama ternyata tidak menjadi pembayaran fidyah sebagai satu-satunya jalan untuk melakukanpembayaran atas shalat yang ditinggalkan si mayit. Imam
Syafi‟i
dalam
permasalahan
pembayaran
shalat
yang
ditinggalkan mayit karena sakit pun ada dua pendapat yang bertentangan. Dalam satu pendapat seperti yang dikutip Ibnu Burhan dari qaul qadim bahwa Imam Syafi‟i mewajibkan seorang wali mengqadha shalat mayat, walaupun 11
Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung, al-Ma‟arif, t.th., hlm. 49
60
mayat itu meninggalkan harta, hal ini seperti halnya dalam
mengqadha
puasa. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Subki untuk mengqadha shalat sebagia kerabatnya.12 Argumen yang mewajibkan qadha ini didasarkan pada salah satuhadits
Nabi
Saw
yang
diriwayatkan
oleh
Daruqutni,
bahwa
Rasulullah saatditanya seseorang tentang bagaimana ia berbuat baik kepada orang tuanyayang sudah meninggal Rasulullah menjawab:
Artinya: “Sesungguhnya ia harus shalat yang diniatkan untuk mereka, dan ia harus puasa yang diniatkan untuk mereka”13 Sedang dalam qaul (fatwa) jadid Imam Syafi‟I mewajibkan wali mengeluarkan makanan (fidyah) sebanyak satu mud untuk satu salat fardhu.14 Qaul jadid imam Syafi‟I ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasai‟i:
Artinya: “Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk orang lain dan seseorang tidak boleh melakukan puasa untuk orang lain, tetapi harus memberi makan sebagai gantinya setiap hari dengan satu mud gandum” (HR. an-Nasa‟I).15 Zainuddin al-Malibary dalam kitabnya berkata “Kalau seseorang 12
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu‟in (Bandung: Syirkah al- Ma‟arif Lithof‟I Wannasyri ), h. 3 13 Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, (Bandung, al-Ma‟arif, t.th), h. 647 14 Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, (Bandung, al-Ma‟arif, t.th), h. 49 15 Ahmad Zubaidi dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah., ( Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2001), h. 183
61
meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan:“Ada pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu mud makanan”.16 Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i kepada kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As-Subki meninggal, beliau mengqadha' shalat yang pernah di tinggalkan oleh kerabatnya. Menurut sebagian ulama, boleh difidyahkan dengan satu mud bagi setiap waktu shalat fardu. 17 Dari pendapat-pendapat di atas penulis berkesimpulan bahwa seorang wali dapat memilih alternatif seperti yang dikatakan Imam Syafi‟i. Sedangkan pembayaran fidyah meninggalkan shalat karena sakit sebab adanya wasiat dari si mayit seperti yang dilakukan oleh orang Islam warga Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pembayaran fidyah yang dilakukan karena adanya wasiat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, menurut beliau membayar fidyah diharuskan jika si mayit berwasiat dan tidak diharuskan mengqadhanyasetelah itu.18
16
Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I‟anah at-Thalibin, (Semarang:Thaha Putra), Juz. II, h. 244 17 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Terjemahan Fathul Mu‟in (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014) Cet ke-9, h. 20 18 Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha, loc.cit.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibari terhadap Praktik Qadha dan Fidyah Shalat di Masyarakat Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembayaran fidyah yang dilakukan oleh warga Cibadak bagi orang yang sudah wafat tidak bertujuan untuk menggantikan shalat yang ditinggalkannya. Namun, hanya sebagai penambah pahala sedekah untuk si mayit. 2. Masyarakat Cibadak dalam melaksanakan qadha shalat mengacu kepada pendapat Syeik Ubadi muridnya Imam Syafi’I bahwa syeik Subki pernah mengqadhakan shalat sebagian kerabatnya. 3. Pelaksanaan Qadha dan Fidyah di Kelurahan Cibadak tidak semua warga menjalankan Qadha dan Fidyah Shalat untuk ahli waris yang telah meninggal. Sebab pelaksanaan qadha dan fidyah ini tidak menjadi
keharusan
atau
kewajiban
bagi
ahli
waris
yang
ditinggalkannya. 4.
Pelaksanaan qadha shalat warga Cibadak mengacu kepada pendapat Imam Zainuddin al-Malibari dalam Kitab Fathul Mu’in dan dalam kitab I’anatu at-Tholibin karangan Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati bahwa diharuskan ahli waris si mayit
62
63
melaksanakan shalat yang ditinggalkan mayit (mengqadhanya) baik itu diwasiatkan oleh mayit ataupun tidak diwasiatkan. B. Saran-Saran 1. Hendaklah orang-orang Islam menjaga agamanya dengan melaksanakan syari’at Islam dengan penuh kesadaran, di antaranya shalat yang merupakan pilar agama kedua setelah kesaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Dan hendaklah menjaga shalat agar tetap sebagai ruh Islam sampai akhir hayatnya. 2. Hendaknya para pemuka agama selalu memberikan nasihat kepada warga bahwa melaksanakan shalat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditingkalkan dalam kondisi dan keadaan apapun. 3. Hendaknya setiap warga menghormati perbedaan pendapat terhadap adanya praktik Qadha dan fidyah shalat. Sebab dalam hal Furu’iyah dalam agama tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan Ulama. 4. Hendaknya warga aktif mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan baik itu kajian ilmu agama ataupun kegiatan Syiar Islam yang lainnya, dengan tujuan agar dapat menambah pengetahuan agama khususnya warga Cibadak dan meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt. Sehingga terciptanya lingkungan yang kondusif dan mengjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Daftar Pustaka
Al- Quran dan terjemah A. Rahman Rotiga, Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1992) Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung: Al-Ma’arif, t..th A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989) Cet, ke-II Ahmad Zubaidi dkk, Menjawab PersoalanFiqh Ibadah, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gamma Media Offset, 2001). Al- Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, (Semarang: Thaha Putra, Juz II) Alaidin Kotto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahidin Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Cet-2 A. W. Munawir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir, Yogyakarta: Ponpes alMunawir, 1984 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara Abad VII-IX, (Bandung: Mizan, 1998 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), Cet-IV Burhan Burgin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Hasan Bisri, Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, (Bandung: Kaki Langit, 2005), Cet-1 Ibnu Hajar al-Astqolani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahih al-Bukhoriy, Juz-4
64
65
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Toha Putra) Iyus Ruliana, Wayang Wong Priangan Kajian Mengenai Petunjukan Drama Tari Tradisional di Jawa Barat, (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2002) Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2010) Neong Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1993) Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995) Muhyiddin an-Nawawi, Shohih Muslim ,jus V (Lebanon: Darul Ma’arif ) Syaid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, Beirut, Dar al_fikr, 1983 Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, (Yogyakarta: Andi, 2000) Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, HukumAdat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), cet. Ke IV Yahya Harahap. “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam. Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993/1994) Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid I Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, (Bandung: Syirkah al-Maarif Lithof’I Wannasyri) Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (Semarang: Toha Putra), juz II Zurinal z, Amiudin. Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) Wawancara langsung dengan Kepala Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor yaitu Uay Sutiawan pada 29 Maret 2016 Wawancara dengan Ulama Kelurahan Cibadak KH. Musa pada tanggal 29 Maret 2016
LAMPIRAN-LAMPIRAN
66
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI 1. Nama Lengkap Nama Panggilan
: DELY FADLI : DELY
2. Tempat/Tgl.Lahir
: Bogor, 10 Desember 1990
3. Jenis Kelamin
: Laki-laki
4. Tinggi & Berat Badan
: 163 cm / 62 kg
5. Status Perkawinan
: Menikah
6. Agama
: Islam
7. Kewarganegaraan
: Indonesia
8. Nomor KTP
: 3201011012900009
9. Alamat lengkap
: Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat
10. Email
:
[email protected]
11. Nomor Telepon
: +628991626700
12. Golongan Darah
:-
13. Blackberry PIN
:
II. DATA PRIBADI 1. Nama Ayah
: H. Ahmad Riva’i
2. Tempat/Tanggal Lahir
: Bogor, 24 April 1957
3. Pekerjaan
: Wiraswasta
4. Agama
: Islam
5. Alamat
: Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat
6. Nama Ibu
: Hj. Ahyana
7. Tempat/Tanggal Lahir
: Bogor, 17 Februari 1962
8. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
9. Agama
: Islam
10. Alamat
: Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat
III. RIWAYAT PENDIDIKAN Pendidikan Formal Tingkat
Nama Sekolah
Kab.
Jurusan Dari Th Sampai Th
SD
SDN Cikaret 1
Bogor
-
1997
2003
Bogor
Mts
2003
2006
Bogor
IPS
2006
2009
2009
Sekarang
MTsS Nurul Furqon SLTP MAS Nurul Furqon SLTA UIN Syarif Hidahatullah Universitas Jakarta
Tangsel PMF