KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Afnanul Huda NIM : 105045201507
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan. Skripsi yang berjudul “KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUUIII/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air)” penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
iv
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang lama dan Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan Bapak Afwan Faizin, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang baru. 3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, sebagai Dosen pembimbing yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap Dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta atas pelayanan referensi bukubukunya. 6. Orang tua penulis Bapak H. Ahmad Faiq dan Ibu Hj. Zakiyah, penulis memohon maaf atas segala perilaku penulis yang tidak berkenan di hati, penulis juga menyucapkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih dan sayangnya kepada penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
v
7. Kepada semua paman dan bibi ku: mbak Bad, pakde Abu, mbak Wik, kak Yasin, dan mas Zen, terima kasih atas kasih sayang dan motivasi yang kalian berikan kepada penulis, baik moril maupun materil. Penulis tidak bisa membalas jasa-jasa kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu diberkahi oleh Allah SWT dan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan. 8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Budi, Latif, Andi, Lia, Rahma, Isti, Dinnur, Iqie, Dawam, Salman, Fadholi, Hendri, Fery, Alwan, Niam (SS 2005) yang senantiasa menemati penulis dalam studi, Anas, Widi, Rahman, Ulin, dll (Komunitas SaunG) yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, dan Jazuli, Syadzali, Mufti, Usup, dan mas Iput (SIMAHARAJA) terima kasih atas semua keceriaan selama ini, terima kasih semua. Terakhir, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien..
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Rumusan dan Batasan Masalah ......................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9 D. Tinjauan Kepustakaan ....................................................................... 9 E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM........................................................................... 15 A. Pengertian Kepemilikan ....................................................................15 B. Macam-Macam Kepemilikan ............................................................19 C. Penguasaan atas Sumber Daya Air ...................................................33
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 058-059-060063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005................................. 38 A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi ..................................38 1. Hukum Acara ....................................................................................38 2. Putusan Mahkamah Konstitusi ..........................................................45 B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air .....................................................................................53 1.
Pemohon dan Jenis Permohonan .....................................................53
vii
2.
Bagian yang dimohonkan ................................................................56
3.
Dalil-dalil Pemohon (isu hukum) dan Petitum ................................60
4.
Pertimbangan Hukum dan Putusan ..................................................64
5.
Dissenting Opinion ..........................................................................69
BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI....................................................... 72 A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi .....................................................72 1.
Analisis Formil Pembentukan Undang-Undang .............................73
2.
Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ............................................80
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah ....................86
BAB V PENUTUP............................................................................................... 91 A. Kesimpulan .............................................................................................91 B. Saran-Saran .............................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 94
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional yang terbentuk dalam wadah yang disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 di samping mengatur tata kenegaraan juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34. Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya hanya memuat materi-materi konstitusi yang bersifat politik. Tradisi yang dianut Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis seperti negara-negara di Eropa Timur.1 Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: 1
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 124.
1
2
1) Perekonomian
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasar
atas
asas
kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu: 4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33 disebutkan bahwa: "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-
3
anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."2
Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian besar sekali. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.3 Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar.4 Dapatkah kita mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi penguasaan
2
Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, (Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999), hal. 1. 3
4
Arimbi HP dan Emmy Hafid, Makalah: Membumikan...., hal. 2.
Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas – dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi. Lihat Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, (Bandung: Angkasa, 1990), hal 35.
4
negara sangat besar dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar jiwa dari pasal tersebut dapat terjaga. Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 33 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun undang-undang yang disahkan pada tanggal 19 Februari 2004 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 2004 ini menuai banyak kontroversi, karena terdapat beberapa pasal yang diindikasikan akan memicu privatisasi5 pengelolaan air dan komersialisasi air yang bertentangan dengan semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi
5
Privatisasi adalah sebuah proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perseorangan. Privatisasi merupakan salah satu unsur dari agenda besar liberalisasi ekonomi dalam arti seluas-luasnya. Lihat I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 206.
5
ini lebih dikenal dengan istilah judicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Sole of Interpreter Constitution) Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan uji materiil UU Sumber Daya Air (UU SDA) ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU SDA terhadap pasal 33 UUD 1945. Bahkan undang-undang ini mencetak rekor sebagai undang-undang yang paling banyak diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.6 Tercatat ada 19 pasal yang dimintakan uji materiil kepada Mahkamah konstitusi dengan berbagai alasan, di antaranya: 1. pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 karena dianggap dapat mendorong privatisasi sumber daya air 2. pasal 26 ayat (7) yang dapat mengakibatkan adanya komersialisasi air 3. pasal 90, 91, 92 yang bersifat diskriminatif, karena membatasi pihakpihak yang dapat mengajukan gugatan apabila terjadi kerugian
6
Tercatat ada lima uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 058/PUU-II/2004, 059/PUU-2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004, dan 008/PUUIII/2005. Rekor sebagai undang-undang yang paling banyak diujimateriilkan ini akhirnya dikalahkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang lebih dari lima kali diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.
6
Setelah melalui persidangan yang cukup panjang, pada tanggal 13 Juli 2005 majelis hakim membacakan putusannya yang
menolak permohonan
pembatalan UU SDA karena majelis hakim menganggap UU SDA tidak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menganggap bahwa tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya air akibat diberlakukannya UU SDA tersebut. Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam terdiri dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah); (ii) kepemilikan umum (milk ’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).7 Terminologi konsep kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan. Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya dalam arti seluas-luasnya. Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola/mengendalikan
dan
memanfaatkan
sumber
daya
alam
demi
menyejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945 jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. 7
hal. 41.
Rofiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishod al-Islami, (Beirut: Dar as-Syamiyah,1993),
7
Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
Artinya: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)8 Yusuf Qardhawi dalam bukunya Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi alIqtishadi al-Islami menyatakan bahwa Islam menetapkan adanya kepemilikan bersama terhadap benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan) bagi semua manusia. Oleh karena itu, Islam mengeluarkan segala sesuatu yang keberadaan dan kemanfaatannya tidak bergantung usaha-usaha khusus dari ruang lingkup kepemilikan individu,sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum serta tidak boleh dilakukan oleh perseorangan yang akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.. Rasulullah SAW menyebutkan benda-benda jenis ini sebanyak empat hal, yaitu: air, padang rumput, api, dan garam.9 Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam perspektif Islam dalam sebuah skripsi yang berjudul KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM 8
Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal.
537. 9
Yusuf Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 118.
8
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Sumber daya Air).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Pembatasan tersebut berupa analisis yang menggunakan tinjauan fiqh siyasah dalam menjawab permasalahan tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya air dalam perspektif Islam. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air? 2. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan skripsi ini antara lain: 1. Untuk mengetahui konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 2. Untuk memberikan perspektif Islam mengenai penguasaan negara terhadap sumber daya air. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut bidang politik ekonomi 2. Bagi dunia akademis menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah-kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan 3. Memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya air.
D. Tinjauan Pustaka (Study Preview) Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema-tema yang membahas dan tematema yang hampir sama dengan pembahasan judul skripsi ini. Adapaun sumber-
10
sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, artikel pada media massa,dan karya ilmiah berupa skripsi. Buku Soegeng Sarjadi dan Imam Sugema, Ekonomi Konstitusi:Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta 2009, buku ini menjelaskan konsep ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi UUD 1945 yang menafikan privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya alam dan mengupayakan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat. Buku Yusuf Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi alIslami, Maktabah Wahbah, Kairo 1995, Buku ini menjelaskan tentang nilai dan karakteristik ekonomi islam. Dalam buku ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ekonomi islam adalah ekonomi pertengahan antara paham kapitalis dan sosialis. Beliau juga menjelaskan tentang konsep kepemilikan dalam islam yang mengakui adanya kepemilikan bersama atas benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Buku Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta 2006, Buku ini menjelaskan tentang tata cara pengajuan uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Makalah Yance Arizona, Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme, Jakarta 2008. makalah ini menjelaskan politik ekonomi Indonesia dari era Orde lama sampai era reformasi dan potensi adanya privatisasi dalam setiap undang-undang yang disahkan bersama oleh Pemerintah dan DPR.
11
Skripsi
Siti
Makbullah,
Konsep
Perekonomian
Nasional
dalam
Pandangan Ekonomi Islam: Tinjauan terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang konsep perekonomian nasional berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dalam pandangan ekonomi islam. Skripsi ini hanya menjelaskan secara global konsep perekonomian nasional tanpa menyinggung konsep penguasaaan negara atas sumber daya alam. Skripsi M. Waliyul Fahmi, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif UUD 1945 dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Skripsi ini menjelaskan sistem demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa Indonesia sesuai UUD 1945 dan sistem ekonomi islam sebagai alternatif dalam sistem ekonomi di Indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya alam.
E. Metode Penelitian Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai penelitian ini, maka metodologi yang digunakan adalah: 1. Jenis Penelitian Melihat pada pendekatan keilmuan yang digunakan dalam skripsi ini, maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian hukum normatif, karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
12
Selain itu, titik tekan penelitian ini juga terletak pada aturan-aturan dan pandangan para ahli hukum Islam baik klasik maupun kontemporer tentang konsep kepemilikan dan penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam Islam terutama yang terkait erat dengan analisis yang akan dilakukan oleh penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumenter di mana data diperoleh dengan cara meneliti dokumen-dokumen hukum yang ada, baik berupa peraturan yang mengatur tentang uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 maupun tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya air , serta buku-buku referensi yang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan tersebut. 3. Sumber data a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Pasal 33 UUD 1945 beserta Perubahannya, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 058-059060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
13
b. Data Sekunder, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan. c. Data Tersier, yang terdiri dari kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.
4. Teknik Analisis Data Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, maka analisis data yang akan dilakukan adalah analisis isi (content analysis). Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi islam yang berkaitan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content) baik berupa katakata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi putusan tersebut. 5. Teknik Penulisan Skripsi Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri , Jakarta, 2007.
14
F. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab, dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu: Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas konsep kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya air dalam perspektif Islam, yang berisi tentang pengertian kepemilikan, macammacam kepemilikan, dan penguasaan atas sumber daya air Bab III membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Bab ini membahas seputar hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air. Bab IV membahas analisis fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang berisi tentang analisis fiqh siyasah terhadap pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis fiqh siyasah terhadap amar putusan Mahkamah Konstitusi. Bab V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM
A. Pengertian Kepemilikan Secara etimologis kepemilikan (milkiyyah) berarti1:
ِﺘ “Memiliki sesuatu dan mampu untuk bertindak secara bebas terhadapnya” Dengan demikian kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap sesuatu sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap sesuatu tersebut.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu berarti mempunyai kekuasaan terhadap sesuatu tersebut sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan sesuatu yang dimilikinya itu.2 Sedangkan pengertian kepemilikan menurut terminologi fuqaha, terdapat beberapa definisi tentang kepemilikan yang disampaikan oleh para ulama , antara lain: 1
Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), hal. 492.
2
Ikhwan Abidin Basri, Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010 di http://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/
15
16
1. definisi yang disampaikan oleh Jamaluddin al-Ghaznawi3:
ِﻊِ ﺮِ ﻣ
ِﺑ
ِﺘ
ِﻄِﻲ ﻟِ ﺎﺣِﺒِﻪ
ِﺬ
ِﺎﺟ
ِﺘ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang bersifat menghalangi, artinya memberi pemiliknya hak untuk memanfaatkannya beserta mencegah orang lain untuk memanfaatkannya. 2. definisi yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa4:
ٍﺎ ﻟِ ﺎﻧِﻊ
ِﺎﺣ
ِﺎﺟ
ِﺘ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang menghalangi (orang lain) secara syara’ yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk bertasharruf ketika tidak adanya halangan. 3. definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily5:
ِﻋ
ٍﻟﱠﺎ ﻟِ ﺎﻧِﻊ
ِﺘ
ِﺎﺣِ ﻣ
ِﻜ
ِﻣ
ِﺑ
ِﺘ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i. 4. definisi yang disampaikan oleh Ali al-Khafifi6:
3
Jamaluddin al-Ghaznawi, al-Hawi al-Qudsi, sebagaimana dikutip oleh Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 49. 4
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 241. 5
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr), 1985, hal. 57. 6
Ali al-Khafifi, Ahkam al-Mu’amalah as-Syar’iyyah, sebagaimana dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2002), hal. 54.
17
ِﻋ
ِﺎﻧِﻊ
ِﻋ
ِﺘ
ِﺒِ ﺑ
ِﺎﺣ
ِﻜ
ِﺘ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknya bebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak adanya halangan syara’. Dari beberapa definisi tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan kata kunci kepemilikan adalah penggunaan term ikhtishash. Dalam definisi tersebut terdapat dua ikhtishash/keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada pemilik harta: 1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak atau izin pemiliknya 2. keistimewaan dalam bertasharruf. Tasharruf adalah7:
ِﻗ
ِﻪِ ﺎﺋ
ِﺺٍ ﺑِ ﺗِﻪ
ِﻣ
ﻞﱡ
Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak) nya dan syara’ menetapkan batasnya beberapa konsekwensi yang berkaitan dengan hak Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan (milkiyyah), seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama
7
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri al-Islami, Dar al-ma’arif , Mishr, 1976, hal 78 sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2005, hal 49.
18
tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ (al-mani’). Adapun yang dimaksud dengan al-mani’ adalah8:
ِﻦ “Sesuatu yang mencegah (membelanjakan harta)”
pemilik
dari
melakukan
tasharruf
Penghalang (mani’) dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf dalam harta terdiri atas dua hal: 1.
kurangnya keahlian, seperti anak kecil
2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang digadaikan. Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang. Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak atau benda mati) dan atau kegunaanya yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat tersebut. 8
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 242
19
Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat dan atau kegunaannya (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.9 Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebut secara sah.10
B. Macam-macam Kepemilikan Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan (mahal al-milk) dapat dibedakan menjadi dua bagian: 1. kepemilikan sempurna (milkiyah tammah), yaitu: kepemilikan atas materi harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait 9
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 66. 10
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun........., hal. 67.
20
dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain. Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah: a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya, artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing. 2. kepemilikan tidak sempurna (milkiyah naqisah), yaitu: kepemilikan atas salah satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya. Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian: 1. kepemilikan yang jelas (mutamayyizah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya. 2. kepemilikan yang bercampur (sya’iah), yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik banyak atau sedikit, yang tidak tertentu dari sebuah harta benda sebagai hasil
21
dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian rumah yang belum jelas pembagiannya. Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya dapat dibagi menjadi dua bagian11: 1. kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai pemilik harta 2. kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama bagian dari masyarakat tersebut. Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan menambah satu bagian, yaitu12: 3. kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara,
dimana
khalifah/negara
berhak
memberikan
atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan
11
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 46. 12
Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 41.
22
ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
1. Kepemilikan Pribadi (milkiyah fardiyah) Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain (seperti disewa), atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya (seperti dibeli)-dari barang tersebut. Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah13: a. Penguasaan terhadap harta bebas (Ihraz al-mubahat14 ) Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan almubahat (harta bebas atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan
13
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 56. 14
Wahbah al-Zuhaily menyebut dengan istilah al-istila’ ala al-mubah dengan pengertian “menguasai harta yang belum dimiliki seseorang dan tidak ada halangan syara’ untuk memilikinya”. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, (Beirut: Dar alFiqr, 1985, hal 69-70.
23
tidak ada larangan hukum (mani’ syar’i) untuk memilikinya.. seperti air di sumbernya, rumput di padang rumput, kayu dan pohon-pohon di hutan belantara atau ikan di sungai dan di laut. Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya. 2) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu: a) belum ada orang lain yang mendahului melakukan ihraz (penguasaan). Dalam hal ini berlaku kaidah:
“Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguh ia telah memilikinya” b) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya.jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah penguasaan untuk tujuan dimiliki. b. Adanya transaksi (al-aqd) Yang dimaksud dengan al-aqd adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh
24
terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang mebutuhkan distribusi harta kekayaan. c. Penggantian (al-khalafiyah) Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, seperti pewarisan Dalam pewarisan, seorang ahli waris menggantikan posisi kepemilikan orang yang wafat terhadap terhadap harta yang ditinggalkannya (tirkah). 2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti tadhmin (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui tadhmin dan ta’widh, terjadilah peralihan kepemilikan dari pemilik lama kepada pemilik baru. d. Turunan dari sesuatu yang dimiliki (al-tawallud) Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang dimiliki adalah milik orang yang memiliki ssesuatu yang awal. Hal ini berlaku kaidah:
ِﻣ
ﻟﱠ
25
Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya. Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang baru) seperti binatang yang dapat beranak, menghasilkan air susu dan pohon yang dapat berbuah. Benda mati yang tidak produktif seperti rumah, perabotan rumah, dan uang tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan yang didapat dari bendabenda mati tersebut sesungguhnya berasal dari hasil usaha (tijarah).15
2. Kepemilikan Umum (milkiyah ‘ammah) Kepemilikan umum adalah hak yang ditetapkan bagi setiap individu untuk memanfaatkan benda-benda tertentu yang ditetapkan oleh syara’ atas dasar individu tersebut merupakan bagian dari komunitas masyarakat, bukan sebagai individu yang memiliki barang tersebut. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam
15
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah...., hal. 61-62.
26
melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.16 Islam menjelaskan bahwa setiap sumber alam yang produktif adalah menjadi hak milik umum apabila memenuhi dua syarat, yaitu: 3. Sumber alam tersebut mempunyai manfaat yang penting bagi masyarakat 4. Sumber alam tersebut tumbuh dengan sendirinya, dan tidak membutuhkan pekerjaan besar untuk mendapatkan hasilnya. Apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka sumber alam tersebut menjadi milik umum dan negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada seseorang. Sedangkan apabila salah satu kedua syarat di atas tidak ada, maka pemerintah boleh memberikan hak pengelolaan sumber daya alam tersebut kepada perorangan atau membiarkan tetap sebagai hak milik umum sebagaimana asalnya.17 Adapun jenis-jenis benda milik umum dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: a. Barang tambang (sumber alam) yang tak terbatas jumlahnya Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud
16
Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar Press, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 238. 17
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 220-221.
27
tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:
"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).18 Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya. Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau 18
hal. 507.
Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (‘Amman: Dar al-A’lam), 2003,
28
lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bayt al-mal. Ketentuan bahwa barang tambang adalah termasuk kepemilikan umum jika barang tambang tersebut ditemukan di dalam tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang. Apabila barang tambang tersebut ditemukan di tempat yang masuk dalam kepemilikan pribadi, para fuqaha berbeda pendapat. Ada dua pendapat yang meengemuka di kalangan fuqaha menanggapi persoalan barang tambang yang ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang, yaitu: 1) Barang tambang tersebut tetap menjadi milik umum, sekalipun ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang. pendapat ini dipilih oleh sebagian besar ulama mazhab Maliki. 2) Barang tambang tersebut menjadi milik sang pemilik tanah karena ikut kepada tanah, sebagaimana tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut. Inilah pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii.19 b. Sarana umum dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
19
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizam al-Iqtishadi fi al-Islam, terj: Imam Saefudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal: 71.
29
Semua harta yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia dan jika tidak ada akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia tidak boleh dikuasai oleh seseorang dan menjadi milik bersama, seperti air. Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini seperti yang dimaksud dalam hadits beliau yang berkaitan dengan sarana umum ini. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)20
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah untuk seluruh umat manusia. Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh
20
hal. 537.
Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998),
30
memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang golongan lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan melakukan pengaturan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama anggota masyarakat dalam memanfaatkan sarana umum tersebut.21 Sarana umum yang menjadi milik bersama dan tidak boleh dimiliki secara pribadi tidak hanya terbatas pada ketiga benda yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Para ulama berpendapat bahwa hadits di atas hanya menyebutkan beberapa jenis benda sebagai contoh, bukan merinci secara pasti bahwa hanya ketiga benda tersebut yang menjadi milik umum. Para ulama mengqiyaskan (menyamakan) dengan benda yang disebutkan dalam hadits untuk semua benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Seperti minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi disamakan dengan api yang merupakan sumber energi pada masa Rasulullah dan dibutuhkan oleh seluruh manusia.
c. Harta
yang asal pembentukannya
menghalangi seseorang untuk
memilikinya Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-banda yang sejak awal pembentukannya diperuntukkan bagi kepentingan umum dan dapat 21
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 244.
31
dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Contohnya adalah benda-benda yang diwaqafkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan jalan raya. Dalil dari harta jenis ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi:
Artinya: Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai. (HR. Tirmidzi dari Aisyah)22 Maksud dari perkataan munakhu man sabaq adalah bahwa Mina merupakan milik seluruh rakyat. Barangsiapa yang lebih awal datang di tempat Mina, lalu menempatinya, maka bagian tersebut adalah baginya, karena Mina adalah milik umum bagi seluruh manusia. Hal yang sama juga terjadi pada harta yang diwaqafkan pemiliknya untuk kepentingan umum, seperti masjid, sekolah dan jalan raya. Semuanya merupakan harta milik umum yang dilarang dimiliki oleh individu dengan alasan apapun.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah) Kepemilikan negara merupakan kekhususan yang dimiliki oleh negara dalam mengelola harta yang merupakan milik umum (seluruh rakyat), dimana
22
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, Beirut, (Dar al-Ma’rifah: 2002), hal: 379.
32
kepala negara selaku pemegang kekuasaan bisa memberikan harta tersebut kepada sebagian rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk dalam harta milik negara adalah harta yang tersimpan di baitul mal (kas negara) yang berasal dari harta fai’, kharaj, dan jizyah (pajak).23 Ada perbedaan yang mendasar antara harta milik negara dan harta milik umum, meskipun pengelolaannya sama-sama dilakukan oleh negara. Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan harta milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada siapapun yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan negara. Sebagai contoh: air, garam, padang rumput yang merupakan milik umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj (pajak) yang merupakan milik negara boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga diperbolehkan harta kharaj dipergunakan untuk membeli senjata saja tanpa diberikan kepada seorangpun.24
23
Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 45-46. 24
Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishad....., hal. 46.
33
Dalam konteks Inndonesia, harta milik negara adalah semua penerimaan negara yang masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), baik penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan negara non-pajak. Semua penerimaan negara tersebut akan dikeluarkan (dibelanjakan) sesuai dengan kebijakan pemerintah.
C. Penguasaan atas Sumber Daya Air Air, Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu benda yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Sedangkan air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air sungai, air sumur, dan air dari mata air.25 Ketiganya akan dijelaskan secara rinci beserta siapa saja yang berhak untuk menguasai dan memanfaatkannya. 1. Air Sungai Air sungai sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama, sungai besar yang dialirkan oleh Allah SWT yang tidak dibuat manusia, seperti sungai Nil, sungai Dajlah. Air dari sungai macam ini dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk minum, mengairi lahan pertanian, sampai pembangkit listrik. Tidak ada yang boleh melarang seseorang untuk mengambil air darinya, termasuk pemerintah. Pemerintah
25
Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 226.
34
tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar. Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini ada dua macam: a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan. Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga. b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW.26 Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka.
26
Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah........, hal. 227.
35
2. Air Sumur Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan: Pertama, orang yang menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah mewaqafkan
sumur
hasil
galiannya
kepada
setiap
orang
yang
membutuhkannya. Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan airnya. Seperti kalangan badui yang nomaden (berpindah-pindah) saat mereka menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi milik umum. Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air, maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya setelah selesai menuntaskan penggaliannya.27 Hukum di atas adalah ketika
27
Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah....., hal. 229.
36
seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang (bumi mati). 3. Air dari mata air Mata air terbagi atas 3 (tiga) macam: Pertama, mata air yang dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang dihidupkan (dikelola) dengan air dari mata air tersebut. Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta. Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga. Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak berhak atas airnya, kecuali untuk orang yang amat membutuhkan untuk
37
diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.28
28
Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah......., hal. 232.
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Hukum Acara Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum tentu dapat dijadikan dasar permohonan.1 Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara pengujian undang-undang, persyaratan legal standing atau kedudukan hukum
1
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, (Jakarta: MKRI, 2006), hal. 94.
38
39
dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam undangundang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.2 Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan: (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
2
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konsitusi Press, 2006), hal. 67-68.
40
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Tentang Iegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUUIII/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undangundang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
41
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.3 Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri
3
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta MKRI, 2006), hal. 96-97.
42
inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya. Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang, hukum acara lain yang timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek. Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK); c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada; d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;
43
e. Pendapat sarjana (doktrin); f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.4 Secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:5 1. Pengajuan permohonan a. Ditulis dalam bahasa Indonesia; b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya; c. Diajukan dalam 12 rangkap; d. Jenis perkara; e. Sistematika: 1) Identitas dan legal standing 2) Posita 3) Petitum f. Disertai bukti pendukung 2. Pendaftaran 3. Penjadwalan Sidang a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
4
5
Maruarar Siahaan, Hukum Acara…., hal. 82-84.
Lihat Bab V Hukum Acara Pasal 28-85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsti tusi.
44
b. Para pihak diberitahu/dipanggil. c. Diumumkan kepada masyarakat. 4. Pemeriksaan Pendahuluan a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa: 1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan. 2) Kejelasan materi permohonan. b. Memberi nasehat: 1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan. 2) Perbaikan materi permohonan. c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki. 5. Pemeriksaan Persidangan a. Terbuka untuk umum. b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti. c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan. d. Lembaga Negara dapat dimintai keterangan, Lembaga Negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta. e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan. f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain. 6. Putusan
45
Adapun susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa. b. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: 1) Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; 2) Identitas pihak; 3) Ringkasan permohonan; 4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; 5) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; 6) Amar putusan; 7) Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan
46
kepadanya.6 Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan kemanfaatan (zweekmasigkeit).7 Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu putusan secara proporsional. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya, melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benarbenar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan.8
6
Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), 2006, hal. 235. 7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal.
145. 8
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 117.
47
Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa: 1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a) Perorangan warga negara Indonesia;
48
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c) Badan hukum publik atau privat; atau d) Lembaga negara. 2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a) Pembentukan
undang-undang
tidak
memenuhi
ketentuan
berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Permohonan ditolak (ontzigd) Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.
49
c. Permohonan dikabulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, amar
putusan
menyatakan
permohonan
dikabulkan.
Dalam
hal
permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem). Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir. Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial
50
terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.” Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief. Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 adalah meniadakan
51
keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.9 Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas, kebanyakan jenisnya, terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: a. Kekuatan Mengikat Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak
9
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta: MKRI, 2006), hal. 240-242.
52
yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang. b. Kekuatan pembuktian Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewijsde). Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
53
berkekuatan tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar. c. Kekuatan eksekutorial Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undangundang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Untuk itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita negara agar setiap orang mengetahuinya. Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas dari suatu undang-undang, maka karakteristik putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
B. Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 1. Pemohon dan Jenis Permohonan Permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan permohonan pengujian undang-undang yang paling banyak pemohonnya sepanjang terbentuknya Mahkamah Konstitusi
54
(sebelum dikalahkan oleh pengujian Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pengujian ini terdiri dari 5 berkas permohonan, yaitu permohonan dengan Nomor Registrasi Perkara 058/PUUII/2004,
059/PUU-II/2004,
060/PUU-II/2004,
063/PUU-II/2004,
dan
008/PUU-III/2005. Lebih rincinya, permohonan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
No 1
2 3
4 5
No 1
2 3
a. Permohonan 058/PUU-II/2004. Kategori Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004 Pemohon Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air yang meliputi beberapa LSM dan perorangan sebanyak 53 orang Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang) Tanggal Registrasi 18 Juni 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan Permohonan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli 2004 Jenis Perngujian Pengujian formil dan materil Objek Permohonan 1. Konsideran mengingat dalam UU No.7 Tahun 2004 yang tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1) sampai ayat (5) secara utuh 2. Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No.7 Tahun 2004
b. Permohonan 059/PUU-II/2004 Kategori Nomor Registrasi Perkara 059/PUU-II/2004 Pemohon 16 orang dari organisasi non-pemerintah yang menamakan diri Rakyat Menggugat, antara lain terdiri dari WALHI, FSPI dan lain-lain Kategori Pemohon Badan Hukum Tanggal Registrasi 2 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan Permohonan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli
55
4 5
No 1 2 3
4 5
No 1 2 3
4 5
Jenis Pengujian Objek Permohonan
2004 Pengujian formil dan materil UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan
c. Permohonan 060/PUU-II/2004 Kategori Nomor Registrasi Perkara 060/PUU-II/2004 Pemohon 868 perorangan WNI Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang) Tanggal Registrasi 29 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan Permohonan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8 September 2004 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil Objek Permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan d. Permohonan 063/PUU-II/2004 Kategori Nomor Registrasi Perkara 063/PUU-II/2004 Pemohon Suta Widya, perorangan WNI Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia Tanggal Registrasi 26 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan Permohonan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 September 2004 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil Objek Permohonan Pasal 9, Pasal 26 ayat (7), Pasal 45 dan Pasal 46 UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air e. Permohonan 008/PUU-III/2005 Permohonan
ini
merupakan
permohonan
yang
bersifat
ad
informandum10. Hal ini berdasarkan saran dari Mahkamah Konstitusi karena permohonan 008/PUU-III/2005 diajukan pada saat empat permohonan sebelumnya telah berjalan dan tinggal menunggu putusan saja. ad informandum yang dimaksud adalah jika suatu permohonan mempunyai
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 167
56
kepentingan terhadap pasal-pasal sama dengan yang telah dimohonkan sebelumnnya,
maka
permohonan
diajukan
untuk
memperkuat
dalil,
argumentasi menyangkut pasal-pasal yang telah dimohonkan oleh pemohon sebelumnya. No 1
2 3
4 5
Kategori Pemohon
Nomor Registrasi Perkara 008/PUU-III/2005 2063 orang WNI yang memberi kuasa kepada Bambang Widjojanto, S.H., LLM., dkk, dari “Tim Advokasi Keadilan Sumber Daya Alam” Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang) Tanggal Registrasi 1 Maret 2005, kemudian setelah diperbaiki, diserahkn Permohonan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2005 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil Objek Permohonan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), pasal 7, pasal 8 ayat (1), ayat (2), pasal 9 ayat (1), pasal 11 ayat (3), pasal 29 ayat (3), pasal 38, pasal 39, pasal 40 ayat (4), pasal 49 UU No. 7 tahun 2004 2. Bagian yang dimohonkan Secara umum, para pemohon dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memohon pengujian formil sekaligus permohonan pengujian materil. Hal ini karena pemohon mendalilkan bahwa filosofi pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sebagian materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan adalah sebagai berikut:
Pasal atau Bagian Penjelasan Konsideran mengingat dalam UU No.7 Tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1) Tahun 2004 sampai ayat (5) secara utuh
57
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Penjelasannya (1) Hak guna air sebagaimana Ayat (1) dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) Cukup jelas berupa hak guna pakai air dan Ayat (2) hak guna usaha air. Yang dimaksud tidak dapat disewakan (2) Hak guna air sebagaimana atau dipindahtangankan artinya hak dimaksud pada ayat (1) tidak dapat guna air yang diberikan kepada disewakan atau dipindahtangankan, pemohon tidak dapat disewakan dan sebagian atau seluruhnya. dipindahkan kepada pihak lain dengan alasan apapun. Apabila hak guna air tersebut tidak dimanfaatkan oleh pemegang hak guna air, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut hak guna air yang bersangkutan. Pasal 8 ayat (2) huruf c Penjelasannya (2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila: c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada Pasal 9 ayat (1) Penjelasannya Hak guna usaha air dapat diberikan Ayat (1) kepada perseorangan atau badan usaha Yang dimaksud dengan perseorangan dengan izin dari Pemerintah atau adalah subjek non-badan usaha yang pemerintah daerah sesuai dengan memerlukan air untuk keperluan kewenangannya. usahanya misalnya usaha pertambakan dan usaha industri rumah tangga. Pasal 26 ayat (7) Penjelasannya Pendayagunaan sumber daya air Ayat (7) dilakukan dengan mengutamakan Yang dimaksud dengan prinsip fungsi sosial untuk mewujudkan pemanfaat membayar biaya jasa keadilan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan adalah penerima manfaat pemanfaat air membayar biaya jasa ikut menanggung biaya pengelolaan pengelolaan sumber daya air dan sumber daya air baik secara langsung dengan melibatkan peran masyarakat. maupun tidak langsung. Ketentuan ini tidak diberlakukan kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80. Pasal 29 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Penjelasannya
58
(3) Penyediaan air untuk memenuhi Ayat (3) kebutuhan pokok sehari-hari dan Apabila terjadi konflik kepentingan irigasi bagi pertanian rakyat dalam antara pemenuhan kebutuhan pokok sistem irigasi yang sudah ada sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan merupakan prioritas utama air irigasi untuk pertanian rakyat penyediaan sumber daya air di atas misalnya pada situasi kekeringan yang semua kebutuhan. ekstrim, prioritas ditempatkan pada (4) Urutan prioritas penyediaan sumber pemenuhan kebutuhan pokok seharidaya air selain sebagaimana hari. dimaksud pada ayat (3) ditetapkan Ayat (4) pada setiap wilayah sungai oleh Cukup jelas Pemerintah atau pemerintah daerah Ayat (5) sesuai dengan kewenangannya. Kompensasi dapat berbentuk ganti (5) Apabila penetapan urutan prioritas kerugian misalnya berupa keringanan penyediaan sumber daya air biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat yang dilakukan atas dasar kesepakatan (4) menimbulkan kerugian bagi antar pemakai. pemakai sumber daya air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada pemakainya. Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7) Penjelasannya (1) Pemenuhan kebutuhan air baku Ayat (1) untuk air minum rumah tangga Yang dimaksud dengan air minum sebagaimana dimaksud dalam rumah tangga adalah air dengan standar Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan dapat langsung diminum tanpa harus pengembangan sistem penyediaan dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan air minum. sehat menurut hasil pengujian (4) Koperasi, badan usaha swasta, dan mikrobiologi (uji ecoli). Yang masyarakat dapat berperan serta dimaksud dengan pengembangan dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum adalah pengembangan sistem penyediaan memperluas dan meningkatkan sistem air minum. fisik (teknik) dan sistem non fisik (7) Untuk mencapai tujuan pengaturan (kelembagaan, manajemen, keuangan, pengembangan sistem penyediaan peran masyarakat, dan hukum) dalam air minum dan sanitasi kesatuan yang utuh untuk menyediakan sebagaimana dimaksud pada ayat air minum yang memenuhi kualitas (5) dan ayat (6), Pemerintah dapat standar tertentu bagi masyarakat membentuk badan yang berada di menuju kepada keadaan yang lebih bawah dan bertanggung jawab baik. Pengembangan instalasi dan kepada menteri yang membidangi jaringan serta sistem penyediaan air sumber daya air. minum untuk rumah tangga termasuk
59
Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4)
pola hidran dan pola distribusi dengan mobil tangki air. Ayat (4) Dalam hal di suatu wilayah tidak terdapat penyelenggaraan air minum yang dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, penyelenggaraan air minum di wilayah tersebut dilakukan oleh koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat. Ayat (7) Cukup jelas Penjelasannya
(3) Pengusahaan sumber daya air selain Ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat Yang dimaksud dengan badan usaha (2) dapat dilakukan oleh pada ayat ini dapat berupa badan usaha perseorangan, badan usaha, atau milik negara/badan usaha milik daerah kerja sama antar badan usaha (yang bukan badan usaha pengelola berdasarkan izin pengusahaan dari sumber daya air wilayah sungai), badan Pemerintah atau pemerintah daerah usaha swasta, dan koperasi. sesuai dengan kewenangannya. Kerja sama dapat dilakukan, baik dalam (4) Pengusahaan sebagaimana pembiayaan investasi pembangunan dimaksud pada ayat (3) dapat prasarana sumber daya air maupun berbentuk: dalam penyediaan jasa pelayanan a. penggunaan air pada suatu dan/atau pengoperasian prasarana lokasi tertentu sesuai sumber daya air. Kerja sama dapat persyaratan yang ditentukan dilaksanakan dengan berbagai cara dalam perizinan; misalnya dengan pola bangun guna b. pemanfaatan wadah air pada serah (build, operate, and transfer), suatu lokasi tertentu sesuai perusahaan patungan, kontrak persyaratan yang ditentukan pelayanan, kontrak manajemen, kontrak dalam perizinan; dan/atau konsesi, kontrak sewa dan sebagainya. c. pemanfaatan daya air pada suatu Pelaksanaan berbagai bentuk kerja lokasi tertentu sesuai sama yang dimaksud harus tetap dalam persyaratan yang ditentukan batas-batas yang memungkinkan dalam perizinan. pemerintah menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumber daya air secara keseluruhan. Izin pengusahaan antara lain memuat
60
Pasal 46 ayat (2)
substansi alokasi air dan/atau ruas (bagian) sumber air yang dapat diusahakan. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Pemanfaatan wadah air pada lokasi tertentu antara lain adalah pemanfaatan atau penggunaan sumber air untuk keperluan wisata air, olahraga arung jeram, atau lalu lintas air. Huruf c Pemanfaatan daya air antara lain sebagai penggerak turbin pembangkit listrik atau sebagai penggerak kincir Penjelasannya
Alokasi air untuk pengusahaan sumber Ayat (2) daya air sebagaimana dimaksud pada Alokasi air yang diberikan untuk ayat (1) harus didasarkan pada rencana keperluan pengusahaan tersebut tetap alokasi air yang ditetapkan dalam memperhatikan alokasi air untuk rencana pengelolaan sumber daya air pemenuhan kebutuhan pokok sehariwilayah sungai bersangkutan. hari dan pertanian rakyat pada wilayah sungai yang bersangkutan. 3. Dalil-dalil Pemohon (isu hukum) dan Petitum a. Dalil-dalil pemohon (isu hukum) Dalam pengajuan uji materil (judicial review) suatu undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi, pemohon selalu menyebutkan dalil-dalil sebagai dasar hukum atas pengujian tersebut. Dalil-dalil atau isu hukum yang dikemukakan oleh pemohon dalam kelima berkas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat disederhanakan dalam satu kumpulan dalil permohonan.
61
Hal ini supaya tidak terjadi pengulangan, karena terdapat materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang sama yang dimohonkan oleh satu pemohon dan dimohonkan juga oleh pemohon lainnya. Disamping itu, alasan-alasan permohonan yang dikemukakan pemohon tidak akan dijelaskankan keseluruhannya dalam ringkasan ini, melainkan hanya terfokus kepada beberapa isu hukum yang penting dan berhubungan dengan konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air. Hal tersebut meliputi: 1) Dalam sidang paripurna persetujuan RUU Sumber Daya Air terdapat beberapa anggota DPR RI yang berpendirian tidak setuju terhadap pengesahan Undang-Undang tersebut. Namun pimpinan rapat tetap memaksakan persetujuan terhadap RUU tersebut. Akibatnya, beberapa anggota DPR tersebut melakukan walk out. Tindakan pimpinan rapat paripurna yang tetap memaksakan pengambilan suara dengan mufakat dan tidak dengan suara terbanyak, padahal ada perbedaan pendirian di antara anggota rapat paripurna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 192 dan Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR RI. 2) Pertimbangan hukum sebagai dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan semangat dan jiwa UUD 1945, karena tidak mencantumkan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 secara utuh dan lengkap(ayat 1 sampai 5). 3) Hak atas air adalah hak asasi manusia.
62
4) Komersialisasi dan swastanisasi pengelolaan sumber daya air, yaitu penguasaan
dan
monopoli
sumber-sumber
air
oleh
swasta,
terkonsentrasinya penggunaan air bagi kepentingan komersil, dan Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mengandung muatan Privatisasi atas Penyediaan Air Minum, Pengelolaan Sumber Daya Air dan lrigasi Pertanian. 5) Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam hal penyediaan fasilitas pelayanan umum kepada rakyat, termasuk dalam hal ini adalah penyediaan air yang bersih dan sehat sebagai turunan dari Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 34 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. b. Petitum Petitum atau tuntutan yang sampaikan oleh seluruh pemohon kepada Mahkamah Konstitusi hampir sama, jadi penulis mengambil petitum yang dimohonkan oleh pemohon Nomor Perkara 058/PUU-II/2004 karena petitumnya dipandang dapat mewakili petitum dari pemohon lainnya, yaitu sebagai berikut: 1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undangundang para Pemohon; 2) Menyatakan pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Undang Dasar
63
1945 dan menyatakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; 3) Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945; 4) Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; 5) Memerintahkan amar Putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Undangundang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang Undang Dasar 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
64
4. Pertimbangan Hukum dan Putusan a. Pertimbangan Hukum Dalam memutuskan perkara pengujian undang-undang, majelis hakim Mahkamah Konstitusi selalu mendasarkan putusannya pada pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan majelis hakim. Ada banyak pertimbangan hukum yang mendasari putusan pengujian UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun penulis hanya akan menyebutkan pertimbangan hukum yang berhubungan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air yang menjadi fokus penelitian ini. Pertimbangan hukum tersebut adalah: Isu Hukum
Pertimbangan Hukum
Prosedur pengesahan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang bertentangan dengan: a. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 b. Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) UU No.4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD c. Keputusan DPR RI No.03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib
Bahwa berdasarkan Risalah Rapat Paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada tanggal 19 Pebruari 2004, dihadiri 282 orang dari 494 orang anggota DPR RI dari seluruh fraksi. Dengan demikian Rapat Paripurna tersebut telah memenuhi kuorum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 189 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR. Bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan, keterangan saksi, keterangan tertulis DPR dan Risalah Rapat DPR, prosedur pengesahan UU No. 7 Tahun 2004 sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa masih adanya satu fraksi yang minta ditunda dan satu fraksi yang belum jelas sikapnya, maka diadakan lobby antar fraksi. Proses ini sering dan biasa dilakukan apabila dalam pengambilan keputusan secara
65
DPR RI Tidak seluruh Pasal 33 UUD 1945 menjadi konsideran “mengingat” UU SDA, maka UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Hak atas air adalah hak asasi manusia
musyawarah dan mufakat mengalami kebuntuan. Meskipun hanya sebagian dari Pasal 33 UUD 1945 yang dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA, yaitu ayat (3) dan ayat (4) dan tidak keseluruhan dari Pasal 33 UUD 1945, hal tersebut tidak menyebabkan secara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. 1. Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupan manusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang demikian pentingnya sebagaimana kebutuhan mahluk hidup terhadap oksigen (udara). 2. Bahwa sumber daya air tidak hanya semata-mata dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari secara langsung, akan tetapi dalam fungsi sekundernya sumber daya air banyak diperlukan dalam kegiatan industri, baik industri kecil, menengah maupun besar dimana kegiatan tersebut dilakukan oleh pihak non Pemerintah. 3. Menimbang bahwa pengakuan akses terhadap air sebagai hak asasi manusia mengindikasikan dua hal; di satu pihak adalah pengakuan terhadap kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan yang demikian penting bagi hidup manusia, di pihak lain perlunya perlindungan kepada setiap orang atas akses untuk mendapatkan air. Sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya posisi negara dalam hubungannya dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh hak asasi manusia, negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill); 4. Menimbang bahwa para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dengan tepat dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan batin yang artinya mejadi substansi dari hak asasi
66
manusia. Privatisasi dan 1. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 komersialisasi ayat (3) yang menyatakan bahwa; ”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan air melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“ cukup mencerminkan keterbukaan dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air. Adanya kalimat “seluas-luasnya“ tidaklah ditafsirkan hanya memberikan peran yang besar kepada dunia usaha saja tetapi juga kepada masyarakat. Pelibatan masyarakat dan dunia usaha dimaksudkan untuk memberi masukan atas rencana penyusunan pengelolaan sumber daya air, dan tanggapan atas pola yang akan digunakan dalam pengelolaan sumber daya air. Peran negara sebagai yang menguasai air, demikian perintah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan yang termuat dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU SDA; 2. Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena menganut prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial; 3. PDAM harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU SDA, dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis. Kewajiban dan tanggung 1. Menimbang bahwa air tidak hanya diperlukan untuk jawab negara terhadap hak memenuhi kebutuhan hidup manusia secara langsung (asasi manusia) atas air saja. Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya,
67
seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri. Oleh karenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukup hanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhan dasar manusia yaitu sebagai hak asasi, tetapi juga perlu diatur pemanfaatan sumber daya air untuk keperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagi manusia agar dapat hidup secara layak. Kehadiran Undang-undang yang mengatur kedua hal tersebut sangatlah relevan. 2. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 5 UU SDA yang berbunyi: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD. Meskipun jaminan negara dalam Pasal 5 UU SDA tersebut tidak dirumuskan kembali dalam bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah provinsi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14, Pasal 15 UU SDA, namun tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah provinsi, sebagaimana dirinci dalam kedua pasal tersebut harus didasari atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi atas air. Hal demikian harus tercerminkan dalam peraturan pelaksanaan UU SDA.
b. Putusan Dalam pengujian Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber daya Air ini, majelis hakim akhirnya menolak seluruh permohonan para pemohon. Majelis hakim berpendapat bahwa Undang-Undang SDA tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pembentukannya maupun ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut.
68
Artinya secara formil maupun materil, Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga menafsirkan frase “dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Majelis hakim berpendapat bahwa penguasaan negara atas air meliputi kegiatan: 1) merumuskan kebijakan (beleid), yaitu merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air. 2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad). Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). 3) melakukan pengaturan (regelendaad). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). 4) melakukan
pengelolaan
(beheersdaad).
Fungsi
pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen
kelembagaan
melalui
mana
negara
c.q.
Pemerintah
69
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 5) Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Fungsi pengawasan (toezichthoudendaad) dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil negara terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya air.11 Majelis juga berpendapat bahwa Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melaksanakan kelima hal di atas dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Dissenting Opinion Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUUII/2004 dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, majelis hakim tidak mengambil
11
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 498-499
70
keputusan dengan suara bulat. Ada dua orang hakim yang berbeda pendapat dengan mayoritas hakim yang dalam istilah Mahkamah Konstitusi disebut dissenting opinion. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda secara substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda. Misalnya mayoritas hakim
menolak
permohonan,
tetapi
hakim
minoritas
mengabulkan
permohonan yang bersangkutan, atau sebaliknya. Jadi perbedaan itu berasal dari argumentasi dan pertimbangan hukum yang mendasari putusan hakim sehingga putusannya pun jadi berbeda. Kalau perbedaan hanya pada argumentasi dan pertimbangan hukum saja, namun kesimpulan akhir dan putusannya sama, maka tidak disebut sebagai dissenting opinion, melainkan disebut concurrent opinion atau consenting opinion.12 Kedua hakim tersebut adalah A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan. Mereka berpendapat bahwa ada beberapa bagian dari UU SDA yang bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena membuka secara lebar peluang privatisasi yang dilarang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahkan menurut Maruarar Siahaan, UU SDA harus dibatalkan secara
12
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 287-288.
71
keseluruhan karena bagian yang bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan ruh dari keseluruhan UU SDA.13
13
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 519-522
BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang norma-norma hukum ekomomi Islam, terutama masalah kepemilikan dan penguasaan negara atas sumber daya air, sekarang penulis mencoba menganalisis pendapat Mahkamah Konstitusi tentang pertimbangan hukum atas putusan majelis hakim baik dari sisi formil maupun materil dari perspektif fiqh siyasah. Dalam pokok permohonan, para pemohon mengajukan dua permohonan sekaligus, yaitu permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air secara formil maupun materil. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi harus memutuskan apakah proses pembentukan dan pengesahan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air telah memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undangundang sesuai dengan yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil) dan apakah materi yang diatur dalam UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (uji materil).
72
73
1. Analisis formil pembentukan undang-undang Dalam kajian fiqh siyasah, kekuasaan legislatif disebut juga dengan alsulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun yang berhak menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Namun dalam kehidupan bernegara, diperlukan aturan-aturan yang mengatur kehidupan bernegara menjadi lebih baik sehingga diperlukan lembaga yang bertugas untuk membuat dan menetapkan hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Di sinilah peran al-sulthah al-tasyri’iyah dalam menetapkan hukum yang tidak diatur oleh Allah dan Rasul-Nya. Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadhaiyah). Dalam konteks ini, kekuasaan legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi: a.
Pemerintah (lembaga legislatif) sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;
74
c.
Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.1 Sebenarnya pembagian kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan
perbedaaan, telah terdapat dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemikirpemikir Barat merumuskan teori mereka tentang trias politica. Ketiga kekuasaan tersebut telah berjalan sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah. Sebagai kepala negara, Nabi membagi tugas-tugas tersebut kepada para shahabat yang mampu dan menguasai bidang-bidangnya. Meskipun secara umum, semuanya bermuara kepada Nabi juga.2 Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan terpenting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini akan dilaksanakan secaraa efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.3 Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga eksekutif ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu, terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-
1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 162 2
3
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah:......, hal. 163
Abdul Wahhab Khalaf, Al-Siyasahh al-Syari’ah, (Kaiiro: Dar al-Anshar, 1977), hal. 42 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 162
75
hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan adalah undang-undang ilahiyah yang disyari’atkan-Nya dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya. Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya, yaitu
melakukan
penalaran
kreatif
(ijtihad)
terhadap
permasalahan-
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka mencari illat (sebab
hukum)
yang
ada
dalam
permasalahan
yang
timbul
dan
menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudaratan). Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka.
76
Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia Islam sejak abad ke-19, ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun memulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam. Di antaranya adalah ide tentang legislasi hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini mendapat respons dari kalangan pemikir Islam. Di antara mereka mencoba menanggapinya dan melontarkan gagasan pula tentang legislasi hukum dalam negara Islam. Di antara mereka adalah Muhammad Iqbal. Gagasan Iqbal tentang legislasi berpangkal pada konsep pemikirannya tentang negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis. Namun, teokrasi di sini harus dibedakan dengan teokrasi di Barat. Teokrasi Islam adalah pemerintahan yang berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai (prinsip-prinsip) persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung di dalam tauhid. Negara adalah suatu alat untuk mentransfer prinsip-prinsip tersebut ke dalam ruang dan waktu. Dalm pengertian ini, lanjut Iqbal, negara yang tidak didasarkan pada dominasi dan keistimewaan suatu kelompok manusia atas manusia yang lainnya dan bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spritual tauhid adalah negara teokratis. Negara inilah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana maksud Ttuhan yang menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya (khalifah) di bumi.4 4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 170-171
77
Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu, maka sekarang diperlukan ijtihad yang kreatif dan berani terhadap garis-garis besar syariat Islam yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah agar dapat diterapkan dalam masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang. Dalam semangat ini, Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn Khattab:
“Hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat di negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani mendekatinya dengan semangat Umar, otak kritis yang pertama dalam Islam”
Bardasarkan ini, Iqbal memandang bahwa satu-satunya upaya untuk membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan pada periode kemunduran Islam adalah menggalakkan kembali ijtihad dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang. Sekarang ini perlu mengalihkan kekuasan ijtihad pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’ yang paling tepat. Hanya dengan cara inilah umat islam dapat menggerakkan semangat di dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari dalam tubuh umat Islam. Keuntungan lain dari adanya ijtihad kolektif dari lembaga legislatif adalah dapat menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif yang cenderung lebih besar.
78
Orang-orang yang berhak menduduki lembaga legislatif ini tidak hanya para ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran Islam, namun juga harus diisi oleh orang yang awam tentang hukum Islam, tetapi mempunyai pandangan yang luas terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu orang-orang yang ahli dalam berbagai bidang, misalnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan. Sayangnya, dalam idenya tentang lembaga legislatif ini, Iqbal tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana mekanisme pemilihan anggotaanggotanya. Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara untuk mengekspresikan kehendak umat. Namun Iqbal tidak mengelaborasi secara tuntas bagaimana bentuk dan caranya pemilihan anggota legislatif serta kontrol masyarakat terhadap lembaga ini. Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas, bahwa proses pembentukan undang-undang dalam Islam mempunyai kesamaan dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani pembentukan undang-undang yang disebut parlemen (dalam Islam sering disebut ahl alhalli wa al-aqdi). Namun ada perbedaan yang mendasar di Islam yaitu yang menjadi nilai dasar atau prinsip yang dianut dalam pembuatan undang-undang adalah al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, yang diatur dalam undangundang adalah aturan yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad para anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih
79
dan daf’ al-mafasid (mengambil kebaikan dan menolak keburukan). Khusus di Indonesia, yang menjadi dasar pembentukan undang-undang adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai norma hukum tertinggi Indonesia dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara Indonesia. Merujuk pada pendapat pemohon yang mendalihkan pengesahan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dan keputusan DPR RI No. 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sehingga UU No. 7/2004 adalah cacat hukum. Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU No. 7/2004 telah sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang dan tidak menemukan unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dibuktikan dari proses yang telah dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah dalam menyusun UU SDA dari proses rancangan, pembahasan, dan pengesahan rancangan undang-undang menjadi undangundang dilalui sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun rapat paripurna DPR RI pada tanggal 19 Februari 2004 yang mengesahkan RUU SDA menjadi Undang-Undang telah sesuai dengan keputusan DPR RI No.
03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata
Tertib DPR RI pasal 192 yang berbunyi: “Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana
80
dimaksud dalam pasal 189 ayat (1) dan disetujui oleh semua yang hadir” Hal ini tercermin dalam risalah rapat paripurna pada tanggal 19 Februari 2004 yang dihadiri 282 orang dari 494 anggota DPR dari semua fraksi. Adapun adanya keberatan dari beberapa anggota DPR tidak menggugurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam lobby antar fraksi sebelumnya. Sehingga UU SDA disahkan dengan kesepakatan yang bulat dari semua anggota DPR. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa pendapat majelis hakim konstitusi tentang formil pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan proses pembentukan undang-undang dalam pandangan fiqh siyasah, karena dibentuk oleh lembaga yang sah dan berwenang yaitu DPR dan tidak bertentangan dengan norma dasar yang ada dalam UUD 1945 serta menjamin keadilan hukum dan menjaga martabat manusia.
2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Sebelum menyampaikan putusannya, majelis hakim mnyampaikan pertimbangan hukum yang menjadi dasar dalam memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan para pemohon dalam pengujian UU SDA. Pertimbangan tersebut adalah:
81
a. Hak atas air adalah hak asasi manusia Islam memandang bahwa air merupakan komponen terpenting bagi mahluk hidup, terutama manusia. Air menjadi sebab bagi kehidupan di muka bumi ini. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat alAnbiya’:30:
,
.
ﻞﱠ
Artinya:.... dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS: 30)
Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat di atas bahwa setiap mahluk hidup diciptakan dari unsur air. Air merupakan unsur terpenting dari mahluk hidup di dunia ini. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa setiap mahluk hidup tidak bisa hidup
tanpa adanya air. Air menjadi sebab
kehidupan bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu Islam sependapat bahwa hak atas air termasuk hak yang paling dasar bagi manusia untuk kelangsungan hidupnya di dunia ini.5 Selain ayat di atas, Nabi Muhammad juga mengakui bahwa air adalah kebutuhan pokok bagi manusia dan mengelompokkannya dalam barang-barang yang menjadi milik umum dan tidak dimiliki oleh
5
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz IX, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003), hal. 48-51
82
perseorangan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sepakat bahwa hak terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia. b. Privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa air termasuk barang yang menjadi milik umum, maka tidak seorang pun yang dapat memilikinya kecuali dalam keadaan tertentu, seperti air sumur yang berada di tanah milik seseorang. Seseorang hanya diperbolehkan untuk memanfaatkannya tanpa harus memiliki. Dalam pasal Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa: ”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“, para pemohon menyatakan bahwa pasal ini akan membuka pintu privatisasi (proses pemilikan pribadi) terhadap sumber-sumber air yang dapat merugikan orang lain dikarenakan adanya kata “seluas-luasnya”. Kata inilah yang menurut pemohon akan membuka lebar-lebar pintu privatisasi terhadap air. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Peran negara sebagai yang menguasai air (sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945) yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta. Pemerintah dapat berperan sebagai regulator (yang mengatur dan
83
menyusun peraturan) yang mengatur eksplorasi sumber daya air supaya berlangsung dengan baik dan tidak merugikan kepentingan umum. Para pemohon juga mendalihkan UU SDA akan mengakibatkan terjadinya komersialisasi terhadap air, karena UU SDA menganut prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan (pasal 26 ayat (7) UU SDA). Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Dalam kajian fiqh siyasah, terutama siyasah maliyah, barang yang termasuk kepemilikan umum tidak dapat diberikan kepada seseorang oleh pemerintah. Pemerintah hanya punya kewenangan untuk mengatur pemanfaatannya oleh masyarakat supaya berjalan dengan tertib dan baik. Oleh karena itu privatisasi terhadap sumber daya air tidak dapat dibenarkan, karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan masyarakat secara keseluruhan dikarenakan tertutupnya akses mereka dalam mendapatkan air yang telah dikuasai oleh satu pihak dengan izin dari pemerintah. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang sahabat Abyad yang diberi tambang garam oleh Rasulullah SAW, namun ketika Rasulullah SAW tahu bahwa tambang garam tersebut mengeluarkan garam secara terus
84
menerus seperti air yang mengalir dan merupakan kebutuhan pokok manusia, maka Rasulullah mencabut kembali pemberiannya. Hal ini menunjukkan bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok manusia dan terus mengalir (berproduksi) tidak dapat diberikan kepada perseorangan, karena akan menutup akses orang lain untuk memanfaatkannya. Berkaitan dengan komersialisasi air, seperti yang didalihkan oleh para pemohon, An-Nabhani berpendapat bahwa pada dasarnya air tidak boleh dikomersialkan, kecuali pada saat-saat tertentu, seperti air yang keluar dari sumur pribadi. Namun untuk jasa pengelolaan air, Islam berpendapat bahwa negara harus menyediakan sarana dan pra sarana agar air yanga ada di sumbernya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui pembangunan pipa-pipa saluran air ke rumah-rumah warga. Biaya untuk membangun sarana tersebut diiambil dari uang negara dan menjadi milik umum sebagaimana air.6
c. Kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap hak (asasi manusia) atas air Sebagai konsekuensi pengakuan bahwa hak atas air merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka ada kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menjamin hak tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam
6
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 165
85
UU SDA, majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan pasal 5 yang berbunyi: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan adanya tanggung jawab pemerinntah dalam pemenuhan hak atas air tersebut dalam pasal 14, 15, dan 16 UU SDA yang berisi adanya tanggung jawab pemerintah untuk menetapkan kebijakan nasional sumber daya air dan mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai. Dalam pandangan fiqh siyasah, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi: 7
Artinya: Kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus dibebankan (diarahkan) kepada kepentingan umum. Dengan demikian, negara harus mampu membuat kebijakan yang dapat menjamin kepentingan seluruh rakyat. UU SDA yang dibuat untuk 7
Abdur Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 84.
86
mengatur pemanfaatan sumber daya air oleh masyarakat dan mencegah terjadinya perselisihan antar warga cukup mampu mengatasi persoalanpersoalan yang timbul dari kegiatan eksplorasi sumber daya air di Indonesia.
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan yang diajukan oleh para pemohon dalam pengujian konstitusionalitas UU SDA terhadap UUD 1945. Majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa secara formil maupun materiil, UU SDA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar putusan, majelis hakim juga menafsirkan frase “ dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Majelis hakim berpendapat bahwa frase “dikuasai negara” harus diartikan sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam. Penguasaan ini mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945.
87
Majelis hakim juga berpendapat bahwa penguasaan negara atas air meliputi kegiatan: 1. Merumuskan kebijakan (beleid),
yaitu merumuskan kebijakan
yang
berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air. 2. Melakukan
tindakan
(bestuursdaad)
oleh
pengurusan negara
(bestuursdaad).
dilakukan
oleh
Fungsi
pengurusan
pemerintah
dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). 3. Melakukan pengaturan (regelendaad). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). 4. Melakukan pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumbersumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 5. Melakukan
pengawasan
(toezichthoudendaad).
Fungsi
pengawasan
(toezichthoudendaad) dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil negara terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya air.
88
Faruq Nabhan dalam bukunya, al-Ittijah al-Jima’i menyatakan bahwa air dikategorikan sebagai benda milik umum, artinya semua orang dapat memanfaatkannya tanpa ada yang dapat menghalanginya, karena air merupakan unsur terpenting bagi kehidupan.8 Tidak dibenarkan seseorang menguasai sumber air karena dapat menutup akses orang lain terhadap air sehingga akan merugikan kepentingan umum. Pemerintah sebagai wakil negara tidak dibenarkan untuk memberikan sumber air kepada pihak tertentu, karena air termasuk milik umum dan bukan milik negara. Dalam pemanfaatan sumber daya air, negara berperan sebagai pihak yang mebuat aturan yang mengatur pemanfaatan sumber daya air agar berlangsung dengan tertib dan tidak ada yang merasa dirugikan. Negara juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam memnfaatkan air. Akan tetapi negara bukanlah pemilik dari sumber daya air tersebut. Dengan demikian putusan majelis hakim yang menafsirkan penguasaan negara dengan kewenangan pemerintah, yang mewakili negara, melakukan lima kegiatan meliputi: merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan adalah sesuai dengan hukum Islam. Merumuskan kebijakan dan pengaturan merupakan upaya pemerintah untuk mengatur pemanfaatan air berlangsung dengan adil dan baik. Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
8
Said Muhammad Basyuni, Al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 244
89
juga diperbolehkan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya air agar dapat bermanfaat untuk seluruh rakyat. Sedangkan tindakan pengawasan dilakukan dengan tujuan memberi sangsi kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pemanfaatan air. Adapun tindakan pengurusan dengan memberi izin pengelolaan kepada swasta
atau
perorangan,
fiqh
siyasah
memandang bahwa
pemerintah
diperkenankan untuk memberi izin pengelolaan sumber daya air kepada swasta atau perorangan dengan syarat tidak menutup akses orang lain dalam mendapatkan air dari sumbernya.. Hal ini dapat dituangkan dalam peraturan yang mengatur tentang syarat mendapatkan izin pengelolaan sumber daya air. Yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memberi penguasaan yang mutlak atas sumber daya air kepada perorangan atau swasta, karena dikhawatirkan akan merugikan kepentinngan umum yang lebih besar. Adanya pasal yang menjelaskan keterlibatan swasta dalam pengelolaan air dalam UU SDA (pasal 11 ayat (3) yang dikhawatirkan akan membuka privatisasi air yang dapat merugikan kepentingan umum harus diminimalisir dengan memberikan syarat yang ketat terhadap setiap kegiatan eksplorasi terhadap sumber daya air. Jadi, kewenangan pemerintah dalam memberi izin pengelolaan air kepada swasta harus dibatasi selama tidak merugikan kepentingan umum. Adapun kedudukan negara dalam mengelola sumber daya air adalah sebagai wakil dari rakyat yang merupakan pemilik air. Negara harus bertindak untuk kebaikan rakyatnya. Ini tentu sama dengan konsep kedaulatan rakyat yang
90
dianut oleh UUD 1945 dimana rakyatlah yang memiliki kedaulatan, termasuk kedaulatan di bidang ekonomi. Hal ini tercermin dalam rumusan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
BABV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah: a. Terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 1) Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945. 2) Dalam
konsep
penguasaan
negara,
rakyat
secara
kolektif
dikonstruksikan oleh Undang Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk: a) Merumuskan kebijakan (beleid), yaitu merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air. b) Melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad).
91
92
c) Melakukan pengaturan (regelendaad). d) Melakukan pengelolaan (beheersdaad). e) Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). b. Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 1) Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, tetapi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 2) Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air membayar jasa pengelolaan sumber daya air” 3) Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat dilakukan dibawah izin dari pemerintah. 4) Adanya kewajiban tanggung jawab negara terhadap hak atas air. 2. Pandangan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Sumber Daya Air adalah: a. Air termasuk barang yang menjadi milik umum (bersama). Tidak ada seorangpun yang dapat memonopoli pemanfaatan sumber daya air.
93
b. Negara berkewajiban menjamin ketersediaan pasokan air bagi seluruh rakyat dengan
membuat peraturan
yang mengatur pemanfaatan air
dengan baik dan menjamin tidak adanya perselisihan antar anggota masyarakat dalam memanfaatkan air. c. Negara berperan sebagai wakil rakyat yang merupakan pemilik atas air untuk melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap sumber daya air agar bermanfaat dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. d. Islam menilai pemerintah boleh memberikan izin pengelolaan air kepada swasta dengan persyaratan tidak menutup akses untuk mendapatkan air bagi masyarakat luas. karena itu pintu privatisasi air harus dibatasi , sebab pihak swasta ketika mengelola sumber daya air dapat dipastikan untuk mencari keuntungan (profit oriented) sehingga mengabaikan kepentingan umum.
B. Saran 1. Dalam membuat Undang-Undang, pemerintah dan DPR diharapkan benarbenar memperhatikan kepentingan rakyat dan mengacu kepada konstitusi kita, terutama masalah ekonomi harus sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang menganut paham kedaulatan ekonomi.
94
2. Pemerintah diharapkan tidak dengan mudah memberikan izin pengelolaan sumber daya air kepada swasta, apalagi pihak asing, karena merugikan kepentingan rakyat dan mengancam kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. 3. Pemerintah segera melakukan revisi terhadap UU SDA, terutama pasal-pasal yang membuka pintu privatisasi sumber daya air serta undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku: Al-Qur’an dan Terjemahannya. A. Mas’adi, Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, RajaGrafindo Persada,2002. Assal, Ahmad Muhammad al- dan Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizam al-Iqtishadi fi al-Islam, terj: Imam Saefudin, Bandung, Pustaka Setia, 1999. Asshiddiqie, Jilmly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Konstitusi Press, 2005. ________________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, Konsitusi Press, 2006. Basyuni, Said Mahammad, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, Kairo, Dar al-Wafa’, 1988. Gunadi, Tom, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, Bandung, Angkasa, 1990. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007. Islahi, A.A, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj: Anshari Thayib, Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1997. Khalaf, Abdul Wahhab , Al-Siyasahh al-Syari’ah, Kairo, Dar al-Anshar, 1977. Lathif, Ahmad Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005. Mandhur, Ibn, Lisan al-Arab, jilid X, Beirut, Dar al-Fikr,tt. Mawardi, Ali ibn Muhammad al-, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat alDiniyah, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Edisi IV, Yogyakarta, Liberty, 1995.
94
95
Mishry, Rofiq Yunus al-, Ushul al-Iqtishad al-Islami, Beirut, Dar as-Syamiyah,1993. Nabhani, Taqiyuddin al-, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar Press, Bogor, Al-Azhar Press, 2009. Qardhawi, Yusuf, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, Kairo, Maktabah Wahbah, 1995. Sarjadi, Soegeng dan Imam Sugema (ed.), Ekonomi Konstitusi: Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Jakarta, Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009. Sholahuddin, Muhammad, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007. Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, (Jakarta, MKRI, 2006. Sijistani, Abi Daud Sulaiman al-, Sunan Abi Daud, Amman, Dar al-A’lam, 2003. Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006. Suyuthi, Abdur Rahman ibn Abu Bakr al-, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Beirut, Dar al-Fikr, 1995.
Tirmidzi, Muhammad bin Isa al-, Sunan at-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 2002. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003. Zarqa, Mushtafa Ahmad al-, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, Beirut, Dar alFikri, t.t. Zuhaili, Wahbah al-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, Beirut, Dar al-Fikr), 1985. ________________, Tafsir al-Munir, juz IX, Damaskus, Dar al-Fikr, 2003.
2. Peraturan Perundang-Undangan:
96
Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 beserta Amandemennya. Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98. Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32. Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
3. Makalah: Arimbi dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999.
4. Data Internet: Ikhwan Abidin Basri, Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010 di http://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/