HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ (Analisis Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: AHMAD FIRDAUS NIM : 1111044100084
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( AHWAL SYAKHSIYYAH ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skirpsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakata, 9 Oktober 2015
Ahmad Firdaus
ABSTRAK Ahmad Firdaus, 1111044100084, Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisis Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsyiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2015. Perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Disaat orang tua harus bercerai dan mereka memiliki anak kecil, maka ibu lebih berhak mengasuhnya daripada ayah, selama tidak ada faktor yang menghalangi sang ibu untuk diutamakan, pada dasarnya anak yang belum mumayyiz itu hak asuhnya jatuh pada ibunya, tapi tidak demikian kenyataannya dengan perkara yang terjadi di Pengadilan Agama Depok, bahwa setelah perceraian terjadi hak asuh anak ditetapkan oleh Majlis Hakim kepada Pemohon (suami). Yang menjadi titik fokus pembahasan skripsi ini adalah pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk dengan yang di dasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007. Adapun tujuan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara yang menetapkan hak hadhanah keoada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dan untuk mengetahui ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor. 184/pdt.G/2011.PA.Dpk. yang ditinjau dari hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research). Dalam pengumpulan data diperoleh dari wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa ketentuan hak asuh anak yang belum mumayyiz ditetapkan kepada bapak tidak sesuai dalam KHI pasal 105 huruf a yang menetapkan hak asuh anak pasca perceraian itu diberikan kepada ibu. Menurut pandangan jumhur ulama bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak Namun Majlis Hakim memiliki pertimbangan lain yang menetapkan hak asuh anak diberikan kepada bapak, baik berdasarkan dari keterangan para saksi, juga berlandaskan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak, bukan sematamata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kata Kunci
: Perceraian, Hadhanah, Mumayyiz.
Pembimbing
: Dr. Azizah, M.A.
Daftar Pustaka
: Tahun 1984-2012
KATA PENGANTAR
ِﺑِﺴْ ِﻢ اﻟﻠّﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿْﻢ ﻧَﺒِﯿِّﻨَﺎ،َﺷﺮَفِ ا ْﻟﻤُ ْﺮﺳَﻠِ ْﯿﻦ ْ َ وَاﻟﺼَّﻼَةُ وَاﻟﺴَّﻼَمُ ﻋَﻠَﻰ أ،ِﺴﺘَﻌِﯿْﻦُ ﻋَﻠَﻰ أُﻣُﻮْرِ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ وَاﻟﺪِّﯾْﻦ ْ َ وَﺑِﮫِ ﻧ،َاْﻟﺤَ ْﻤﺪُ ﷲ رَبِّ ا ْﻟﻌَﺎﻟَﻤِ ْﯿﻦ ِﻦ ﺗَﺒِﻌَﮭُﻢْ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎنٍ إِﻟﻰَ ﯾَ ْﻮمِ اﻟﺪِّﯾْﻦ ْ َﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ َوﻋَﻠَﻰ آﻟِﮫِ وَأَﺻْﺤَﺎﺑِﮫِ وَاﻟ َﺘّﺎﺑِ ﻌِﯿْﻦَ وَﻣ Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan. Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisa Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk)” telah selesai ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih dan jazakumullah khoiru jaza kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun para staf yang telah membantu kelancaran administrasi.
i
2.
Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Sekretaris Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah.
3. Dr. Hj. Azizah, MA dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi. 4. Dr. H. Kamarusdiana MH. dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai. 5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaruf Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi. 6. Kepada Ibunda tercinta Hj. Maysyaroh , kakak-kakak (Ka Tuti, Ka Lela, Ka Nurma, Bang Ipay, Bang Juhro, Bang Irfan, Bang Abet, Ka Hilwa) yang telah memberikan motivasi serta memberikan nasehat-nasehat kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabat dari Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) (KBPA). Terimakasih atas kebersamaan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Orang tercinta Atiqoh Fathiyah, sahabat-sahabat Legend Kampus ( Nazir, Syaikhoni, Faris Jamal, Kong Abrar, Badru Tamam (BT) dan seluruh sahabat-sahabat seperjuangan angkatan 2011) yang telah memberikan semangat dan warna kepada penulis selama ini. 9. Serta berbagi pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya, semoga amal baik mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
ii
Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan skripsi ini dan wawasan ilmu penulis. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 12 Oktober 2015
Ahmad Firdaus
iii
DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
BAB II
1 6 7 8 10 12
PERCERAIAN DAN HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. B. C. D.
BAB
Latar Belakang Masalah ...................................................... Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ Review Studi Terdahulu ...................................................... Metode Penellitian ............................................................... Sistematika Penulisan ..........................................................
III
Pengertian perceraian dan Macam-macamnya ..................... Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya ........................ Syarat-sayarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah ...... Pihak-pihak yang Berhak dalam Hadhanah ..........................
PENETAPAN HAK HADHANAH PENGADILAN AGAMA DEPOK
KEPADA
BAPAK
A. Profil Pengadilan Agama Depok .......................................... B. Deskripsi Perkara Putusan No. 184/Pdt.G/2011/PA. Dpk ..... BAB IV
14 20 27 31 DI 38 44
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TERHADAP HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ A. Pertimbangan Hakim Dalam Memtus perkara ...................... 57 B. Analisis Penulis Atas Putusan Majlis Hakim Nomor Perkara 184/Pdt.G/2011/PA. Dpk ..................................................... 60
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... B. Saran-saran ..........................................................................
68 69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
71
iv
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Depok Hasil Wawancara dengan Hakim PA Depok Putusan Nomor148/Pdt.G/2011/PA Dpk
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akad Perkawinan dalam hukum Islam bukan lah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqon galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.1 Pada sisi lain, keharmonisan hubungan suami dan istri merupakan salah satu tujuan utama yang sangat dikehendaki islam. Akad nikah semata-mata dengan harapan akan bertahan selama-lamanya hingga akhir hayat, agar suami dan istri dapat menjadikan rumah sebagai tempat bernaung dan menikmati keindahannya, serta dapat mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang shalih.2 Syara’ membenarkan perkawinan dan mengizinkan perceraian. Dengan terjadinya perceraian tentu akan menimbulkan akibat hukum, diantaranya adalah hak asuh anak (Hadhanah).
1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012). h. 206. 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.), h. 419.
1
2
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.3 Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.4 Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupanya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak kedua orang tuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orang tuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendak lah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orang tua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh
3
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2003), h. 4. 4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo,2007),hal.151.
3
tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerja sama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerja sama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan.5 Harapan diatas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apa pun alasanya merupakan malapetaka bagi si anak. Di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam sebuah hadits diingatkan, bahwa “Sesuatu yang halal
(dibolehkan)
yang
paling
tidak
disukai
Allah
adalah
perceraian”.(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).6
5
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,2010),hal.166. 6 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 1, h. 650. Abu Daud, Sunan Abi Daud , Penerbit SDA, Juz 2, h. 255.
4
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak hukumnya wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.7 Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.8 Pemeliharaan Anak juga mengandung arti sebuah tangung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.9 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa dalam terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam pasal 156 huruf (a), akibat putusnya perkawinan karena perceraian 7
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 293. 8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 235. 9 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 204.
5
ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak asuh dari ibunya.10 Dari ketentuan di atas, dapat di lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayyiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz, bila kita melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz adalah pihak ibu. Pada point yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum mumayyiz itu hak asuhnya jatuh pada ibunya, tapi tidak demikian kenyataannya yang terjadi di Pengadilan Agama, banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hadhanah anak setelah terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini mereka rajut bersama selama perkawinan. Kemudian bagaimana hakim yang menangani perkara hak hadhanah anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang di perebutkan masih dalam keadaan mumayyiz atau masih dibawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada seorang ayah. Tentunya Majelis Hakim memiliki beberapa pertimbangan hukum terhadap putusan yang ditetapkan. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti oleh penulis berupa: putusan Majelis Hakim, dasar hukum,alasanalasan serta implikasi lain dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap 10
Abdurrahman, pressindo,2007),hal.151.
Kompilasi
Hukum Islam
Di
Indonesia,
(Jakarta:
Akademika
6
yang disepakati oleh Majelis Hakim. Inilah yang memotivasi dan mendorong penulis untuk mengkaji dalam skripsi dengan judul “Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz” (Analisa Putusan No. 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk). B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari meluasnya pembahasan, maka studi ini dibatasi hanya pada kasus Hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz yang terdapat
pada
putusan
Pengadilan
Agama
Depok
No.
184/Pdt.G/2011/PA.Dpk 2. Perumusan Masalah Pada dasarnya baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang belum mumayyiz berada pada asuhan ibu, demikian juga diatur dalam hukum materil atau undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayyiz telah diputus oleh hakim, bahwa hadhanah bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayyiz yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di pengadilan agama Depok perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk. Untuk menemukan dan memecahkan masalah yang ada, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
7
a. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim PA Depok dalam menetapkan Ayah sebagai Pemegang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz? b. Bagaimana ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah
kepada
bapak
dalam
putusan
perkara
nomor.
184/pdt.G/2011/PA.Dpk ditinjau dari hukum Islam dan perUndang-undangan di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz. b. Untuk mengetahui ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian
dalam
putusan
perkara
Nomor.
184/pdt.G/2011/PA.Dpk. yang ditinjau dari hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. 2. Manfaat Penelitian a. Secara praktis Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan. b. Secara akademis
8
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang Ilmu hukum Keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan. D. Review Studi Terdahulu Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, tahun 2009 Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah,
konsentrasi
peradilan
agama,
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta. Judul “Pencabutan Hak Asuh dari Ibu (Studi Analisis
Putusan
Pengadilan
Agama
Depok
No.
430/pdt.G/2006/PA.Dpk). berisi tentang landasan teori seputar hak asuh (hadhanah) anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhanah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa terhadap putusan pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu yang kemudian diberikan kepada ayah. Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh (hadhanah)
anak
dari
ibu
kepada
ayah
sedangkan
penulis
memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk. 2. Skripsi oleh Sabarudin, tahun 2008, program studi Ahwal AlSyakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul
9
“Hadhanah Perspektif Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i dan prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/pdt.G/2006/PAJS tentang Hadhanah)”. Pembahasan mengenai hak asuh anak bagi orang tua yang murtad
di
pengadilan
agama
Jakarta
selatan
No.
1185/pdt.G/2006/PAJS serta ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Secara umum, skripsi tersebut berisi tentang hak asuh (hadhanah) anak bagi orang tua yang murtad dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan dan juga membandingkan antara dua perspektif yaitu Mazhab Imam Hanafi dan Mazhab Syafi’i mengenai Hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak membandingkan keduanya akan tetapi penulis memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi
anak
yang
belum
mumayyiz
dengan
perkara
No.
184/pdt.G/2011/PA.Dpk. 3. Skripsi oleh Firman Sulaeman, tahun 2005 Fakultas Syariah dan Hukum , UIN Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi kritis terhadap pasal 105 point A Kompilasi Hukum Islam)’’. Secara umum skripsi ini membahas tentang Syarat-syarat Hadhanah dan fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa hadhanah dilingkungan peradilan agama. Yang menjadi
10
persamaan dengan skripsi penulis yakni sama-sama membahas tentang syarat-syarat hadhanah. Perbedaan nya skripsi yang akan dikaji oleh penulis yakni memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk. Dari
beberapa
judul
skripsi
di
atas,
sudah
jelas
berbeda
pembahasannya dengan skripsi yang akan penulis bahas. Adapun penelitian ini memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No.184/pdt.G/2011/PA.Dpk. E. Metodologi Penelitian Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penulis untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.11 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan optimal dengan menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah adalah pendekatan normatif.
11
Samiaji Sarosa, penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta: permata puri media, 2012), h.3.
11
2. Sumber Data Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian berupa data primer dan data sekunder.12 Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: a. Bahan Hukum Primer Data primer dalam penelitian ini adalah: pertama, putusan Peradilan Agama dengan perkara Nomor 184/pdt.G/2011/PA.Dpk tentang hadhanah, kedua, peraturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang akan digunakan oleh penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan tersebut dan buku-buku yang akan membahas langsung mengenai hadhanah. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder ialah merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.13 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa analisis dari penulis lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya megumpulkan data, metode yang dipergunakan sebagai berikut:
12
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008) h. 141. 13 Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. XXI, hal. 6.
12
a. Interview/ wawancara Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dengan berlandaskan kepada tujuan penyelidian.14 Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang diperlukan penulis yang berupa data yang tidak tertulis.Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Drs. Agus Abdullah, M.H. (Hakim Pengadilan Agama Depok 2007-2012, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan 2012-sekarang). b. Metode Dokumentasi Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal variable berupa catatan, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya. 4. Pedoman Penulisan Skripsi Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman penulisan Skripsi tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainnya memiliki keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
14
Iin Tri Rahayu, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara, Ed-1, Cet-1, (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h. 1
13
BAB I Merupakan bab pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini, dengan uraian bahasan meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Berkenaan dengan Pengertian perceraian dan macammacam nya, Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya, Syarat-syarat Hadhanah dan akibat hukum Hadhanah, dan Pihak-pihak yang berhak dalam Hadhanah. BAB III Bab ini menjelaskan deskripsi hadhanah kepada bapak di pengadilan agama Depok yang meliputi: Profil Pengadilan Agama Depok, Duduk Perkara Putusan, Salinan Putusan. BAB IV Bab ini membahas akanTinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Agama Depok Terhadap Hadhanah Bagi Anak Belum Mumayyiz yang meliputi: Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara, Ijtihad Majelis Hakim Dalam Memutuskn Perkara, dan Analisis penulis dalam perkara Nomor 184/pdt.G/2011/PA.Dpk tentang hadhanah. BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap jawaban
permasalahan
dalam
penyusunan
skripsi
ini.Sekaligus
memberikan saran yang mungkin dapat membantu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
14
BAB II PERCERAIAN DAN HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Perceraian Kata “cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perihal bercerai (antara suami dan istri), perpecahan.
Adapun
kata
“bercerai”
berarti:
tidak
bercampur
(berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami-istri).15 Jadi secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami dan istri atau berhenti berlaki-bini (suami-istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia di atas. Secara singkat, perceraian didefinisikan sebagai melepas tali perkawinan dengan kata talak atau kata yang sepadan artinya dengan talak.16 Perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Namun disisi lain, perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal. Meskipun
demikian,
terkadang
muncul
keadaan-keadaan
yang
menyebabkan cita-cita suci perkawinan gagal terwujud. Namun demikian
15
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 185. 16 Yayan Sopyan, Islam Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional. (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 174.
15
perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.17 Meskipun begitu, perceraian merupakan sesuatu hal yang sangat dibenci dalam Islam meskipun kebolehannya sangat jelas dan hanya boleh dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh kedua belah pihak.18 Ada beberapa bentuk perceraian yang diakui dalam Islam: (a) perceraian karena kematian suami atau istri; (b) talak, yang berasal dari pihak suami; (c) al-ila’; (d) khuluk, dan; (e) mubara’ah, yang berasal dari pihak istri; (f) li’an; (g) fasakh.19 Suatu Perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, baik cerai talak maupun cerai gugat atau karena sebab-sebab lain. Talak sendiri merupakan metode perceraian yang paling sederhana, dan secara hukum hanya bisa dilaksanakan oleh suami karena alasan tertentu atau tanpa alasan sama sekali, pada prinsipnya seorang suami bisa menceraikan istrinya melalui pernyataan sederhana: “Saya menceraikan kamu!” sebaliknya, istri juga bisa mengakhiri perkawinan melalui khuluk dengan kerelaan suami, atau dengan fasakh melalui putusan pengadilan.20
17
Haifah A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan, hlm. 232. Seperti dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh ibnu umar.Lihat dalam sulayman ibn Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al Fikr, tt), juz I, h. 661. 19 Asaf A.A. fyzee, Outline of Muhammad Law, (London:Oxford University Press, 1995), cet. II, h. 139. 20 Mashood A. Baderin, Hukum International dan HAM, h. 152. 18
16
Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Putusannya perkawinan karena kematian sering disebut oleh masyarakat dengan sebutan cerai mati. Sedangkan putusannya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu cerai gugat dan cerai talak.21 1. Cerai Talak Cerai
talak
biasanya
hanya
berlaku
bagi
mereka
yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, Islam menetapkan hak talak itu berada di tangan suami, yakni memiliki hak mentalak tiga kali talak. Namun demikian hak itu tidak dapat digunakan suami begitu saja dengan sewenang-wenang. Suami yang hendak melakukan talak terhadap istrinya harus didepan pengadilan agama yang berwenang. Berikut penjelasan talak lebih rinci: Talak berasal dari bahasa Arab yaitu kata “Thalak” artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.22 menurut istilah syarak talak adalah: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.23 Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Ini 21 22
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), h.192. H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta, Pustaka
Amani, 2002. hlm. 202. 23 H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 191.
17
terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.24 Adapun hukum talak kepada isteri ada kalanya wajib, ada kalanya sunnah, ada kalanya haram, makruh dan halal. Hal itu tergantung kepada keadaan suami isteri itu sendiri.25 a. Macam-macam Talak Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Talak raj’i Talak raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Talak (65) : 1
24
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 191. H.A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Penerbit Pustaka Al-Husna Jakarta, cetakan: Pertama 1994) h. 5. 25
18
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Dan barang siapa melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. Dengan demikian, jelaslah bahwa suami boleh untuk merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Oleh karenanya, manakala istri telah diceraikan dua kali, kemudian dirujuk atau dinikahi setelah sampai masa iddahnya, sebaiknya ia tidak diceraikan lagi. 2). Talak ba’in Talak ba’in adalah talak ketiga, talak sebelum berhubungan badan dan talak karena imbalan harta. Talak ba’in terbagi menjadi dua; ba’in kecil (bainunah sughra), yaitu selain talak tiga, dan ba’in besar (bainunah kubra) dan bain besar, yaitu talak tiga.26 Hukum talak ba’in kecil memutuskan ikatan perkawinan sesaat
talak
tersebut
berlaku.
Dengan
terputusnya
ikatan
perkawinan, maka status istri yang telah dicerai menjadi wanita asing. Bekas suami tidak diperbolehkan berhubungan mesra 26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455.
19
dengannya dan keduanya tidak saling mewarisi, jika suami meninggal di tengah masa ‘iddah ataupun setelahnya. Suami boleh kembali hidup bersama istri yang telah ditalaknya dengan talak ba’in kecil itu dengan akad baru dan memberi mahar baru, tanpa dia harus menikah dulu dengan lelaki lain. Jika itu terjadi, maka sang istri kembali padanya dengan sisa talak yang dimilikinya. Jika sebelumnya ditalak satu, maka setelah pernikahan kedua tersebut tersisa dua talak lagi. Tapi jika sebelumnya ditalak dua, maka hanya tersisa satu talak lagi. 27 Hukum talak ba’in besar juga memutuskan ikatan perkawinan, sama seperti talak ba’in kecil, termasuk juga konsekuensi hukum-hukumnya. Hanya saja, setelah talak ba’in besar dijatuhkan, suami tidak dapat mengembalikan ikatan hubungan suami-istri dengan bekas istrinya kecuali apabila sang istri menikah lebih dulu dengan lelaki lain dengan pernikahan yang sah dan melakukan hubungan badan, bukan dengan niat menghalalkan (nikah tahlil).28 2. Cerai Gugat Gugatan perceraian hanya dilakukan para istri, karena dalam hukum Islam, istri tidak mempunyai hak mentalak suami. Dalam hukum perkawinan agama islam sendiri diberi hak untuk menuntut
27 28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455.
20
perceraian dari sang suami dengan cara khulu’. Adapun alasan terjadinya perceraian terdapat dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.29 B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukum Hadhanah Dalam pegertianya“Hadhanah” berasal dari bahasa arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya). Hadhanah, menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu didekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.30 Adapun Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. QS al-Tahrim (66): 6:
29 30
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 2005), h. 247 H. Abd Rahman Ghazaly. , Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), h. 175.
21
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS Al-Tahrim(66) ayat 6):31
Pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah SWT, untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi laranganlarangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.32 Dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud:
, "ﺍﻧﺖ ﺍﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﱂ ﺗﻨﻜﺤﻲ" )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ:ﻓﻘﺎﻝ ﳍﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﺔ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ,ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﳊﺎﻛﻢ(ﻭﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya: Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, hadist Shahih menurut hakim.33 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan nya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak 31
Al-Quran dan Terjemahanya, Jakarta, kementrian Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 2009. 32 Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 217. 33 Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy as-Sajastani al-Azdiry, Sunan Abi Dawud, (Qahirah: Dar al-Hadit, 1998), Juz II, h. 292.
22
yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunya lah yang berkewajiban melakukan hadhanah.34 Adapun pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu dan bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.35 a. Hadhanah dalam perspektif fikih Para ulama fikih mendefinisikan: Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.36 Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan. Sedangkan pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan 34
Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h. 217. 35
Slamet Abidin dan H. Aminudin, fiqh Munakahat 2, hlm. 172. Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terjemahan), Cet I, jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 237. 36
23
profesional, sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan profesional: dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.37 Peunoh Daly, mengemukakan definisi Hadhanah adalah pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih kecil, bodoh atau lemah fisik.38 Dalam hukum perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.39 Menurut Wahbah al Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.40 Dalam meniti kehidupanya di dunia, seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk kedalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan 37
H. Abd Rahman Ghazaly. , Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), h. 175 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.399. 39 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67. 40 Wahbah al Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu juz VII, (Damaskus: Daar AlFikr,1984), hal. 279. 38
24
dalam Islam, yakni Hadhanah, memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik. Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Neng Djubaedah anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:41 1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan. 2. Hak anak dalam kesucian keturunanya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan. 5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. 6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau warisan demi kelangsungan hidupnya. 7. Hak asuh dalam bidang pendidikan dan pengajaran. b. Hadhanah dalam Perspektif Hukum positif 1) Perspektif UU No 1 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah diberlakukanya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor Tahun 41
Neng Djubaedah,dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.
25
1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.42 Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 point 1 dan 2 dinyatakan: Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah: (1) Baik ibu atau Bapak, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusan. (2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.43 Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat dalam Bab X mulai pasal 45-49 Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
42
Abdul Mannan, “Problematika Hadhanah dan Hubunganya dengan Praktik Hukum Acara DiPeradilan Agama, dalam, mimbar hukum” No. 49 THN.IX 2000, h. 69. 43 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 549.
26
Pasal 46 (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.44 Dalam penjelasan UU No 1 tahun 1974 yang dimaksud “Kekuasaan” dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Pasal-pasal diatas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap diatas segala-galanya. Artinya semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan nonmaterialnya. Semangat pengasuhan material dan nonmaterial inilah yang akan dipertegas oleh KHI seperti dibawah ini. 44
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 551.
27
2.Kompilasi Hukum Islam (KHI) KHI di dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan anak yang dimuat dalam Bab XIV pasal 98-106. Beberapa pasal yang penting akan dikutipkan disini: Pasal 98 : (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal 105 : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharanya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 106 : mengenai harta anak yang belum mumamyyiz itu orang tua wajib merawat dan mengembangkan harta anak tersebut.45 C. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Hadhanah Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu, dan orang 45
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo,2007),hal.151.
28
yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita. Persoalanya, disaat orang tua harus cerai dan mereka punya anak kecil, maka ibu lebih berhak mengasuhnya daripada ayah, selama tidak ada faktor yang menghalangi sang ibu untuk diutamakan, atau anak layak untuk diberi pilihan.46 Peristiwa perceraian apapun alasanya merupakan malapetaka bagi si anak. Disaat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya.Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi partumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak.Itulah sebabnya menurut ajaran Islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Untuk menghindarkan hal itu pula mengapa agama Islam menganjurkan agar lebih hati-hati dalam memilih jodoh, dengan memeperhitungkan faktor-faktor pendukung untuk lestarinya hubungan suami-istri, dan sebaliknya. Memang diakui tidak tertutup kemungkinan adanya perceraian kendatipun dari semula calon suami-istri sudah penuh hati-hati menjatuhkan pilihan. Namun, adanya faktor ketidak hati-hatian akan memperlebar kemungkinan tersebut.47 Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua disebut sebagai hadhin dan anak yang diasuh disebut madhun atau hadhinah.Baik masih 46 47
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455. Satria Effendi M. Zein.Problematika hukum keluarga islam kontemporer, h. 167.
29
dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk memelihara anaknya dengan baik. Adapun syaratsyarat dari hadhin adalah sebagai berikut:48 1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukanya itu belum dinyatakan memenuhi persayaratan artinya ia belum berhak mendapatkan tugas mengasuh anak. 2. Berfikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain dan jelas ia tidak berhak untuk mendapatkan hak mengasuh anak 3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan isalam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya dan akan merasa kesulitan melepaskan diri dari pengaruh agama orang yang mengasuhnya dan inilah bahaya terbesar yang akan dialami si anak. 4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang 48
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006)
30
komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil. 5. Mampu Mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan si anak atau berpotensi membuat anak dilalaikan dan disia-siakan, maka tidak berhak mengasuh anak.49 6. Ibu kandung belum menikah dengan laki-laki lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah pengasuh selain ibu kandung juga disyaratkan tidak menikah dengan orang yang bukan mahram sianak? Para ulama mengajukan syarat seperti itu berdasarkan hadits di atas karena si suami juga akan memperlakukan anak ni dengan keras dan rasa tidak suka. Lebih dari itu, wanita pengasuh yang telah menikah akan disibukan oleh tuntutan memenuhi hak suaminya. Lain halnya jika wanita pengasuh ini adalah kerabat dan mahram anak yang diasuh.50 7. Orang yang mengasuh haruslah seseorang yang merdeka. Syarat ini diajukan oleh mayoritas ulama. Menurut mereka, orang yang dalam kepemilikan orang lain tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, sehingga ia tidak dapat menjadi wali bagai orang lain. Padahal, hak asuh anak ini sama dengan hak perwalian.51
49
Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 674. 50 Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 674. 51 Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 675.
31
Dan apabila syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi oleh orang tua yang mengasuh, maka gugur lah hak asuh nya terhadap anak tersebut. Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang yang mengasuh haruslah berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, bukan peminum khamar, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya.Adapun tujuan dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara dan menjamin keadaan anak dan pertumbuhan moralnya.52 D. Pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah Ketika hak asuh anak merupakan hak dasar asuh ibu, maka para ulama ahli fiqh menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga dari pihak ayah. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut:53 1. Ibu anak tersebut 2. Nenek dari pihak ibu dan terus keatas 3. Nenek dari pihak Ayah 4. Saudara kandung perempuan anak tersebut 5. Saudara Perempuan Ibu 6. Saudara perempuan Ayah 7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 52 53
M. Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet.17, (Jakarta: lentera, 2006), h.416. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid II ,(Beirut Dar Fikr 1983), h. 527.
32
9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengan nya (bibi) 11. Saudara perempuan yang seayah dengannya (bibi) 12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung 14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu 15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah 16. Bibi yang sekandung dengan ayah 17. Bibi yang seibu dengan ayah 18. Bibi yang seayah dengan ayah 19. Bibinya ibu dari pihak ibunya 20. Bibinya ayah dari pihak ibunya 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22. Bibinya ayah dari pihak ayah.54 Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada akan tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab)
denganya
sesuai
dengan
urutan
Pengasuhan anak beralih kepada.55 1. Ayah kandung anak itu 2. Kakek dari pihak ayah dan terus keatas 54 55
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid II, (Beirut Dar Fikr, 1983), h. 527. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid II, (Beirut Dar Fikr, 1983), h. 529.
masing-masing.
33
3. Saudara laki-laki sekandung 4. Saudara laki-laki seayah 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 7. Paman yang seayah dengan ayah 8. Pamanya ayah yang sekandung 9. Pamanya ayah yang seayah dengan ayah56 Apabila tidak ada seorang pun kerabat dari mahram lakilaki tersebut atau ada, tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu: 1. Ayah ibu (kakek) 2. Saudara laki-laki seibu 3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 4. Paman yang seibu dengan ayah 5. Paman yang sekandung dengan ibu 6. Paman yang seayah dengan ibu.57 Selanjutnya jika anak tersebut tidak memiliki kerabat sama sekali, maka Hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.
56
Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, cet-4 (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005) h.
57
Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, cet-4 (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005) h.
452. 452.
34
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf a, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya diganti oleh: 1.
Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2.
Ayah
3.
Wanita-wanita dalam garis lurus keatas
4.
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5.
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu
6.
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 58 Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1tahun 1974
tentang perkawinan dinyatakan : (1) Baik ibu atau Bapak, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusan. (2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
58
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, Akademia Presindo 2007), h. 151.
35
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa hak pemeliharaan anak itu diberikan kepada ibunya, jika ia diceraikan oleh suaminya, ketika anak tersebut masih kecil. 59 Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak itu adalah ibu kandungnya sendiri, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara perempuan (kakak perempuan), bibi dari pihak ibu, anak perempuan saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, bibi dari pihak ayah, adn kalangan madzhab kerabat lain sesuai dengan urutan ahli waris.60 Imam Malik berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya.Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.61 Kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari ibu kandung, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapatkkan bagian warisan ashabah sesuai dengan tata urutan pembagian harta warisan. 59
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih para Mujtahid, penerjemah, Drs. Imam Ghazali Said & Drs. Achmad Zaidun. (Jakarta: Pustaka Amani,2007), 60 Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 668. 61 Muhammad bin Abdurrahman, 2004. Fikih Empat Mazhab, (Bandung, h. 416.)
36
Pendapat kalangan mazhab Syafi’i ini sama dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi.62 Kalangan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari ibu kandung, nenek dari pihak ibu, kakek dan ibu kakek, bibi dari kedua orang tuanya, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari kedua orangtua, bibinya ibu, bibinya ayah, bibinya ibu dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kalangan madzhab kerabat dari urutan yang paling dekat.63 Menurut feminis, ketentuan fiqh yang memberikan prioritas hak hadhanah pada isteri dinilai bias jender dan merugikan lakilaki. Alasan yang diapakai oleh fuqoha selama ini bahwa isteri lebih mempunyai jiwa keibuan disbanding suami, ternyata terbantahkan.Karena dalam realitas sehari-hari sungguh banyak bukti yang menunjukan bahwa ibu tidak selamanya berjiwa keibuan dan justru laki-laki lebih semangat dalam mengasuh dan memelihara anak.Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa sebaiknya penentuan hak hadhanah tidak diprioritaskan kepada salah satu pihak suami atau istri saja.Melainkan diserahkan 62
Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 669. 63 Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 669.
37
kepada kebijakan suami istri melalui musyawarah atau kebijakan hakim
bila
musyawarah
tidak
berhasil-
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan obyektif yang memungkinkan dan lebih menjamin perkembangan anak tidak mengalami hambatan. Dengan sendirinya, penentuan hak hadhanah dengan cara demikian diharapkan tidak melahirkan diskriminasi antara suami dan istri.64
64
Mesraini, Fiqh Munakahat (Jakarta ,Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren) cet I, Agustus 2008. h. 172.
38
BAB III PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA DEPOK A. Profil Pengadilan Agama Depok 1. Sejarah Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.
Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.65 Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
65
Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 September 2015
38
39
Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari (sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.66 Pengadilan
Agama
Depok
sesuai
dengan
tugas
dan
kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undangundang.67 Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum 66 67
Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 September 2015 Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 September 2015
40
dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang. selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.68 1. Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama Depok sebagai underbow Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka Pengadilan Agama depok telah menjabarkan visi dan misi tersebut dalam visi dan misi Pengadilan Agama Depok, yaitu :Visi Pengadilan Agama depok adalah "Terwujudnya Pengadilan Agama Depok Yang Agung". Hal ini mengandung makna bahwa Pengadilan Agama Depok siap bersama-sama peradilan lainnya meningkatkan kinerja yang lebih baik
68
Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 september 2015
41
demi menjaga kehormatan dan martabat serta wibawa peradilan yang didedikasikan dalam bentuk misi Pengadilan Agama Depok, yaitu : 1. Meningkatkan pelayanan penerimaan perkara. 2. Membuka akses publik seluas-luasnya. 3. Mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat dan dengan biaya ringan; 4. Mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan dapat dilaksanakan (eksekutabel). 5. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. 6. Meningkatkan pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat Pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.69 2. Tugas Pokok Dan Fungsi Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2010 tentang Peradilan Agama. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
69
Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 september 2015
42
1. Memberikan
pelayanan
teknis
yustisial
dan
administrasi
kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi; 2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya; 3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara); 4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UndangUndang Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya;
43
7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelaksanaan hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya. 3. Kekuasaan atau Yuridiksi Tiap Pengadilan Agama mempnyai wilayah hukum tertentu. Dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.70 Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00” – 6o 28’ 00” Lintang Selatan dan 106o 43’ 00” – 106o 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 70
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 203.
44
sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesansggrahan dan Kali Cikeas. 2. Deskripsi Perkara Putusan No.184/Pdt.G/2011/PA.Dpk Pada perkara Nomor 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk diketahui bahwa antara pemohon dan termohon telah melangsungkan pernikahan pada bulam Desember tahun 2003 yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama kecamatan pancoran mas, Kota Depok. Jadi pernikahan antara pemohon dan termohon itu adalah sah menurut Hukum karena merupakan pernikahan yang dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah. Dari perkawinan tersebut pemohon dan termohon telah dikaruniai dua orang anak. 71 Rumah tangga antara pemohon dan termohon pada awalnya rukun dan harmonis tetapi sejak bulan desember tahun 2004 sampai tahun 2008 antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan termohon sering meninggalkan rumah tangga tanpa seizin pemohon, dan anak-anak ditelantarkan begitu saja. Termohon suka 71
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 1
45
berbohong masalah keuangan seperti termohon mengambil tabungan anakanak, menggadaikan motor tanpa seizin Pemohon dengan alasan untuk operasi orang tuanya, akan tetapi setelah Pemohon mendesak menanyakan kepada orang tuanya ternyata tidak benar orang tuanya tidak dioperasi, Kemudian Pemohon bertanya kepada Termohon dikemanakan uangnya Termohon diam saja malah Termohon minta di kembalikan ke rumah orang tuanya/minta cerai. Termohon tidak ada tanggung jawab dalam rumah tangga dengan pergi meninggalkan anak-anak dan tanpa seizin pemohon.72 Akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut yang terus berlanjut, kemudian sekitar bulan desember tahun 2008 sampai tahun 2011 antara pemohon dan termohon telah pisah rumah, hingga saat ini berjalan selama 3 tahun lamanya dan selama itu pula usaha untuk rukun tidak membuahkan hasil karena termohon tidak berubah sikapnya. Kejadian diatas menuturkan bahwa antara pemohon dan termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi sehingga rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah tidak dapat tercapai. Pemohon merasa menderita lahir dan batin dan sudah tidak mungkin lagi untuk meneruskan rumah tangga dengan pemohon serta tidak ada jalan terbaik kecuali perceraian. Dengan kondisi rumah tangga yang sudah tak dapat di rukunkan kembali maka pemohon memohon kepada majlis hakim untuk dapat bisa mengucapkan
72
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal.2
46
ikrar talak dan memohon agar anak-anaknya dapat ditetapkan kepada pemohon selaku ayah kandungnya. Pada hari sidang yang telah ditetapkan, pemohon dan termohon telah hadir dipersidangan. Sesuai dengan perma nomor 1 tahun 2008 tentang mediasi, majelis hakim berusaha mendamaikan pemohon dan termohon akan tetapi tidak berhasil damai, kemudian dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi pada tanggal 24 februri 2011 oleh Drs. H.A. Baidhowi M.H. Hakim mediator Pengadilan Agama Depok, namun gagal karena tidak tercapai kesepakatan damai. 73 Setelah
proses
mediasi
gagal,
maka
dibacakanlah
surat
permohonan pemohon tersebut dalam persidangan yang tertutup untuk umum yang isinya di nyatakan secara lisan dan pemohon menambahkan keterangan dalam surat permohonanya sebagai berikut: ketika menikah Termohon dalam keadaan hamil sekitar 3 ( tiga ) bulan, Termohon pergi ke rumah orangtuanya lalu termohon tidak bisa menjaga rahasia rumah tangga Contohnya Termohon suka berbicara kepada orang lain ketika pemohon dan termohon sedang bertengkar, kemudian pada akhirnya termohon diantarkan ke rumah orangtuanya oleh Pemohon, dan sejak berpisah Termohon beberapa kali pulang dan nginap di rumah, atas kejadian tersebut keluarga telah berupaya merukunkan tetapi tidak berhasil dan jika terjadi perceraian antara pemohon dan termohon sebagai rasa tanggung jawab Pemohon akan memberikan nafkah iddah kepada 73
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 3.
47
Termohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sehingga jumlah perbulan sebanyak Rp.1.500.000,- ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an.74 Setelah permohonan disampaikan, termohon pun menjawab: Pemohon adalah suami sah Termohon, termohon membenarkan selama berumah tangga kami telah bergaul sebagaimana layaknya suami isteri, dan benar, ketika nikah Termohon dalam keadaan hamil sekitar 3 ( tiga ) bulan dan telah dikaruniai dua orang anak. Termohon membenarkan pada semula rumah tangga kami rukun dan harmonis dan sejak Desember 2004 mulai adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, Termohon pergi tanpa izin dari Pemohon itu tidak benar, karena Termohon minta izin dengan Pemohon terkadang diizinkan dan terkadang tidak diizinkan dan ini menimbulkan pertengkaran, dan benar uang tabungan anak diambil digunakan untuk modal dagang, keperluan Termohon, dipinjam teman, dan memang benar motor juga dijual dan uangnya digunakan untuk menambah modal dagang dan keperluan Termohon serta dipakai untuk membantu berobat orangtua, kemudian tidak benar karena Termohon tidak bergaul dengan tetangga, pemohon sering memberikan nasihat itu tidak benar, justru pemohon sering bicara keras sehingga melakukan kekerasan terhadap termohon sehingga termohon sering meminta cerai kepada pemohon. Selanjutnya termohon tidak membenarkan bahwa dirinya tidak 74
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 5.
48
bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anaknya, dan sejak Desember 2008 kami telah berpisah rumah karena Termohon diantarkan oleh Pemohon ke rumah orangtua, sejak berpisah termohon beberapa kali pulang dan menginap dirumah bersama suami dan anak-anaknya dan ini semua dibenarkan oleh termohon, Pemohon dengan Termohon telah bersabar dan telah berusaha untuk merukunkan kembali tetapi tidak dapat rukun kembali, keluarga juga telah berupaya merukunkan kami tetapi tidak berhasil, dengan kondisi rumah tangga yang sudah tak dapat dirukunkan kembali Termohon tidak keberatan atas permohonan cerai dari Pemohon, dan Termohon menerima mut’ah yang akan diberikan Pemohon berupa alat shalat dan kitab Alquran tersebut akan tetapi untuk nafkah iddah mohon diberikan setiap harinya sebanyak Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) bukan sebanyak Rp 50.000,- seperti yang akan diberikan oleh pemohon, karena sesuai dengan penghasilannya, dan jika perceraian itu terjadi mohon agar anak-anak ditetapkan pada Termohon sebagai ibunya mengingat anak tersebut masih di bawah umur dan masih memerlukan kasih sayang ibunya meskipun selama ini Termohon masih suka bertemu dengan anak-anak dan Pemohon juga tidak mempersulit untuk bertemu dengan anak-anak. 75 Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan bukti tertulis berupa: Fotokopi dari Kutipan Akta Nikah atas nama Pemohon dengan Termohon yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor 75
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 6
49
urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, fotokopi dari Kutipan Akta kelahiran atas nama kedua anak pemohon dan termohon.76 Begitupun Termohon juga untuk memperkuat dalil-dalil nya mengajukan bukti tertulis berupa: Fotokopi dari Kutipan Akta Nikah atas nama Termohon dengan Pemohon yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai,
selanjutnya
fotokopi
dari
Surat
Tanda
Penerimaan
Laporan/Pengaduan yang dikeluarkan oleh Polsek Pancoran Mas kota Depok yang telah bermateraikan secukupnya telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, bukti ini membuktikan bahwa Pemohon pernah menjambak rambut dan mengangkat serta menendang kaki kiri Termohon sampai memar dan bengkak. Kemudian adanya bukti berupa fotokopi dari kwitansi rawat jalan dan kwitansi penebusan obat atas nama Termohon tertanggal 26 Desember 2005, yang aslinya dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bhakti yudha Depok, bukti ini menunjukan bahwa Termohon pernah berobat akibat Pemohon menendang bagian kaki kiri Termohon sampai memar
dan
bengkak.
Fotokopi
dari
Surat
Tanda
Terima
Laporan/Pengaduan dari nama termohon No. pol.nomor restro depok yang aslinya dikeluarkan oleh polri daerah metro jaya dan sekitarnya. bukti ini 76
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 4.
50
membuktikan bahwa tanggal 1 Agustus 2008 pukul 11.30 WIB Pemohon memukul Termohon dengan tangan kosong dan luka pada leher dan sakit pada dada sebelah kanan. Fotokopi Dari Surat Tanda Penerimaan 1 (Satu ) Potong Baju Kaos Warna Merah Dari Nama Termohon Yang Aslinya Dikeluarkan Oleh Polri Daerah Metro Jaya Dan Sekitarya Resort Metro Depok Tanggal 1 Agustus 2008. bukti ini membuktikan bahwa barang tersebut merupakan bukti dalam perkara yang diduga tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga.77 Selain mengajukan bukti-bukti tertulis seperti surat-surat autentik. Pemohon dan termohon diperintahkan untuk memanggil saksi dalam persidangan dari pihak keluarganya atau orang terdekat untuk didengarkan dalam persidangan keteranganya. Untuk itu pemohon telah menghadirkan saksi di persidangan. saksi adalah kakak seibu Pemohon, setelah bersumpah dihadapan majelis hakim saksi memberikan keteranganya sebagai
berikut:
Saksi
kenal
baik
dengan
Pemohon
maupun
denganTermohon, Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang, setelah menikah, Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga dirumah yang di jalan Camar IV, pada awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon baik dan rukun kemudian tidak harmonis sejak satu tahun sebelum berpisah rumah karena Pemohon dengan Termohon sering bertengkar, lalu saksi pernah melihat dan mendengar Pemohon dengan Termohon bertengkar 3 (tiga) kali waktu
77
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 7.
51
saksi berkunjung ke rumah Pemohon dan Termohon tetapi saksi tidak mengetahui sebabnya bertengkar, dan pada akhirnya Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 disebabkan Termohon diantarkan kepada orangtuanya oleh Pemohon, dan sejak diantarkan kerumah orang tuanya Termohon masih sering datang untuk menengok anaknya, dan saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah, kemudian anak-anak Pemohon dengan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon, karena pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anak-anaknya, kemudian Pemohon tidak pernah mempersulit Termohon jika akan bertemu dengan anak-anaknya, masalah kesehatan, kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya, dalam konflik rumah tangga yang terjadi antara pemohon dan termohon, saksi sudah tidak mampu merukunkan kembali.78 Selanjutnya saksi kedua dari pemohon berumur 57 tahun, agama Islam, saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon di bawah sumpahnya dihadapan majelis hakim yang akan memberikan keteranganya sebagai berikut: Saksi kenal baik dengan Pemohon maupun dengan Termohon karena sudah bertetangga lebih dari 5 (lima) tahun, menurut kesaksian pada awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon baik kemudian tidak harmonis dari 1 (satu) tahun sebelum berpisah kemudian saksi melihat Pemohon dengan Termohon tidak harmonis karena Pemohon 78
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 7.
52
kalau jalan pagi bersama anak-anaknya dan tidak pernah bareng dengan Termohon, saksi belum pernah melihat dan mendengar Pemohon dengan Termohon bertengkar tetapi saksi mengetahui dari informasi Pemohon kepada saksi jika Pemohon dengan Termohon sering bertengkar disebabkan Termohon sering pergi tanpa izin kepda Pemohon, begitupun sebab yang lainnya saksi tidak mendapatkan informasi dari Pemohon, lalu Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 dan sejak itu saksi tidak mengetahui sebab berpisahnya Pemohon dengan Termohon diusir atau tidak diantarkan atau pulang sendiri, sejak berpisah Termohon masih suka datang untuk melihat anak-anaknya. Saat itu saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah, begitupun dengan anak-anak Pemohon dan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon, anak itu tinggal bersama Pemohon karena Pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anak-anaknya, untuk masalah kesehatan saksi mengemukakan kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya. Bahwa saksi tidak tahu Pemohon di mana bekerja dan berapa gajinya, dan pada akhirnya saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon danPemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali.79 Selanjutnya termohon juga menghadirkan saksi dari pihak keluarganya. saksi adalah ayah kandung Termohon, di bawah sumpahnya 79
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 8.
53
dihadapan Mejelis Hakim, saksi memberikan keterangan sebagai berikut: saksi kenal baik dengan dengan Termohon maupun dengan Pemohon karena saksi adalah ayah kandung dari termohon, baik Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang, setelah menikah Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga dirumah yang di jalan Camar IV, dari awal pernikahan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah ada masalah karena Termohon waktu nikah dalam keadaan hamil kemudian berlanjut sampai sekarang tidak harmonis bahkan telah berpisah rumah sudah beberapa bulan terakhir ini tetapi saksi tidak mengetahui persisnya Pemohon dengan Termohon berpisah, lalu Termohon yang keluar dari rumah disebabkan Termohon trauma karena kasus KDRT yang beberapa kali terjadi yang dilakukan Pemohon kepada Termohon dan sudah dilaporkan baik kepada Polsek maupun ke Polres, karena disebabkan adanya KDRT dikarenakan Pemohon dengan Termohon orangnya sama-sama berwatak keras. kemudian saksi belum pernah melihat langsung Pemohon dengan Termohon bertengkar tetapi dari informasi Termohon kepada saksi bahwa Pemohon dengan Termohon sering bertengkar dan tidak menyebutkan sebabnya, lalu saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah. Dan pada saat ini anak-anak Pemohon dengan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon, lalu saksi tidak tahu Pemohon orangnya sayang atau tidak perhatian dan sanggup untuk
54
merawat anak-anaknya atau tidak meskipun Pemohon tidak pernah mempersulit Termohon jika akan bertemu dengan anak-anaknya. Menurut informasi, kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya.Utnuk masalah pekerjaan, saksi tidak tahu di mana Pemohon bekerja dan berapa penghasilannya, dengan keadaan seperti ini saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon sehingga Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali. 80 Adapun saksi kedua dari pihak termohon, saksi adalah ibu kandung Termohon di bawah sumpahnya memberikan keterangan sebagai berikut: Dari awal saksi kenal baik dengan Termohon maupun dengan Pemohon karena saksi adalah ibu kandung dari termohon, Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang. Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga terakhir di rumah di jalan Camar IV. Pada awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon rukun dan harmonis kemudian tidak harmonis dari tahun 2006 disebabkan adanya pertengkaran karena saksi ditelephon oleh Termohon yang menyebutkan telah bertengkar dan Pemohon mukul
kaki Termohon
sehingga Termohon tidak bisa berjalan kemudian saksi kerumahnya dan ternyata Termohon tidak bisa berjalan kemudian di bawa oleh saksi untuk berobat. Karena adanya masalah KDRT yang saksi ketahui sering dilakukan oleh Pemohon kepada Termohon bahkan telah dilaporkan oleh Termohon kepada pihak yang berwajib, dan saksi sering mendengar 80
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 9.
55
keluhan dari Termohon jika Pemohon dengan Termohon sering bertengkar begitu juga informasi dari tetangganya
kepada saksi, selanjutnya
Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 karena Termohon diantarkan oleh Pemohon kepada saksi, maka sejak berpisah Termohon masih suka datang untuk melihat anak-anaknya, dalam keadaan seperti ini saksi telah mendamaikan dan merukunkan Pemohon dengan Termohon tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah, dan pada saat ini anak-anak Pemohon dengan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon. Menrurut saksi pula Pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anak-anaknya, dan kondisi anak-anaknya pun sehat seperti anak-anak seusianya. Untuk masalah pekerjaan saksi tidak mengetahui Pemohon bekerja dimana dan berapa penghasilannya. Dalam kondisi seperti ini saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon sehingga Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali. 81 Setelah mendengarkan keterangan saksi tersebut pemohon memohon agar dikabulkan izin perceraiannya, Jika dikabulkan perceraiannya akan memberikan nafkah iddah kepada Termohon setiap harinya sebanyak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sehingga jumlah setiap bulannya sebanyak Rp 1.500.000,- (satu juta rupiah) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an, lalu Mohon agar hak asuh anak-anak Pemohon dengan Termohon ditetapkan pada Pemohon, 81
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 10.
56
Menetapkan biaya perkara menurut hukum, dan jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil. Sedangkan termohon perihal permohonan cerai dari Pemohon Termohon tidak keberatan dan mohon supaya dikabulkan, adapun Nafkah iddah mohon setiap harinya sebanyak Rp. 200.000, dan di mohon agar anak-anak agar ditetapkan hak asuhnya pada Termohon sebagai ibunya, karena anak-anak tersebut masih membutuhkan kasih saying dari ibu kandungnya, dan jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil. 82
82
Putusan Pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hal. 11.
57
BAB IV TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TERHADAP HADHANAH BAGI ANAK BELUM MUMAYYIZ A. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Berdasarkan
Hasil
gambaran
perkara
diatas,
dan
segala
pertimbangan yang bersumber baik dari fiqh, KHI, dan Undang-Undang kemudian
majlis
hakim
memutus
perkara
ini
dengan
berbagai
pertimbangan. Melihat dari sudut pandang kitab-kitab fiqih yang begitu hebatnya dengan berbagai pendapat dari para imam mazhab, perbedaan pendapat dalam hal apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa pengasuhan adalah hak anak kecil karena ia sangat bergantung kepada orang yang dapat memberinya perhatian dan perlindungan, memenuhi kebutuhan-kebutuhanya, dan mendidiknya.83 Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak.84 Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 105 huruf a yang menegaskan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.85 Dalam KHI ini terlihat bahwa ibu yang lebih diprioritaskan sebagai pengasuh anak yang paling utama sebelum kepada orang lain, didalam undang-undang 83 84
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 527. Adul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999),
h. 415. 85
Abdurrahman, pressindo,2007),hal.151.
Kompilasi
Hukum Islam
57
Di
Indonesia,
(Jakarta:
Akademika
58
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 41, 45-49 pun tidak dijelaskan secara rinci bagi siapa yang paling berhak mengasuh anak pasca perceraian, akan tetapi baik suami atau istri yang telah bercerai berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.86 Kendati demikian, secara global sebenarnya undang-undang pekawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan dan kewajiban orang tua terhadap anak.87 Ketentuan yang sudah termaktub baik dari fikih, Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ternyata dalam perkara ini Hakim memiliki pertimbangan hukum yang lain. Sesuai dengan pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Meskipun Kompilasi Hukum Islam telah menjelaskan secara detail tentang hak asuh anak yang belum mumayyiz, namun hakim bisa Contra Legem dengan memiliki pertimbangan lain yang berlandaskan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama
86
MR Martiman Prodjohamidjojo, MM, MA, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing. 2011) hal. 45 87 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012. h. 209
59
dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. 88 Mengingat karena anak-anak Pemohon dan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon maka sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut telah cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Pemohon dengan menetapkan kedua anaknya berada di bawah hadhanah Pemohon. Meskipun anak Pemohon dan Termohon hak asuhnya telah ditetapkan kepada Pemohon tetapi Majlis Hakim melarang Pemohon untuk mempersulit jika Termohon ingin bertemu, menyalurkan kasih sayangnya, membawa nya berlibur dengan anak tersebut dan mengembalikannya dengan Pemohon dengan catatan tidak mengganggu kesehatan dan pendidikannya dan semuanya harus seizin dengan Pemohon.89
88 89
Agus Abdullah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 September 2015. Agus Abdullah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 September 2015.
60
B. Analisis Atas Putusan Perkara Nomor 184/pdt.G/2011/Dpk. Hakim menetapkan putusan dalam kasus ini tidak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-undang yang ada, akan tetapi majlis hakim hanya mengikuti Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, karena yurisprudensi Mahkamah Agung hakim dapat menggunakanya sebagai landasan hukum dalam memutus perkara tersebut. karna jika ber ijtihad itu ketika hukum tidak ada landasanya, maka hakim harus berijtihad, dan putusan No.184/Pdt.G/2011/PA.Dpk ini karena sudah ada yurisprudensi Mahkamah Agung maka hakim berpatokan dengan yurisprudensi ini, tidak dengan berijtihad lagi.90 Persamaan dan perbedaan fiqh dan hukum positif tentang hadhanah, menurut Agus Abdullah bahwasanya fiqh klasik itu sehebat apapun fiqh itu dan itu benar-benar hebat bahwa para ulama fiqh semuanya bersandarkan pada hadist Nabi bahwa ibu yang paling berhak mengasuh anak selama anak itu belum mumayyiz, dan selama anak itu sudah mumayyiz maka anak dipersilahkan untuk memilih kepada siapa anak itu akan tinggal, dan menurut peraturan perundang-undanganya UU
90
Agus Abdullah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 September 2015.
61
perlindungan anak, yakni diserahkan kepada hak anak juga, karena Pengadilan Agama hukum acaranya khusus, yaitu Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 54 yang berbunyi hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungnan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.91 Mengamati kasus di atas, perihal hak asuh anak pasca perceraian antara sumi dan isteri menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a, hak asuh anak yang belum mumayyiz itu jatuh kepada ibunya akan tetapi dalam kasus ini hak asuh anak jatuh kepada ayahnya. Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam sudah dipaparkan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.92 Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Memang tidak dijelaskan secara rinci akan hak asuh anak ini,
91
Agus Abdullah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 September 2015. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: pressindo,2007),hal.151. 92
Akademika
62
akan tetapi kedua orang tua wajib memelihara anak tersebut sampai anak itu menikah.93 Duduk perkara Nomor 184/pdt.G/2011/PA.Dpk penulis melihat memang hubungan suami istri tersebut sudah tidak mampu diselamatkan lagi, sehingga timbul perceraian yang mengakibatkan kedua anaknya yang masih kecil itu mengalami tekanan mental yang amat berat. Dari penjelasan keduanya jelas bahwa sang istri pernah melakukan hal-hal yang kurang cakap, misalkan sering keluar rumah tanpa izin suami, kemudian sang istri suka berbohong kepada suami masalah keuangan seperti sang istri mengambil tabungan anak-anaknya dan menggadaikan motor tanpa izin suami, terlebih sang istri tidak bertanggung jawab terhadap rumah tangga
dengan
terbukti
suka
meninggalkan
anak-anak
tanpa
sepengetahuan suami. Meskipun pernah melakukan tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri nya, itupun dikarenakan ulah sang istri yang membuat suami melakukan tindakan kekerasan. Pertimbangan yang disebutkan oleh Majelis Hakim sehingga hakim memutuskan bahwa hak asuh anak jatuh kepada ayahnya (suami), mengingat anak tersebut selama ini tinggal bersama ayahnya dan suami minta hak asuh anak agar ditetapkan kepada ayahnya dan ibunya sendiri tidak keberatan jika hak asuh anak di berikan kepada suami nya, adapun landasan hakim menetapkan hak asuh anak ini jatuh kepada bapak sesuai dengan
93
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 549.
63
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan di ikuti dengan bukti-bukti seperti akta kelahiran dan penjelasan saksi-saksi terkait yang menerangkan tentang perlakuan ayah terhadap anaknya dengan penuh kasih sayang dan mampu memelihara dan memberi kenyamanan terhadap anak-anaknya.94 Melihat
dari
pertimbangan
yurisprudensi
Mahkamah
Agung
menggunakan
kemaslahatan
hakim
Nomor
sebagai
yang
110
landasan
menggunakan
K/AG/2007 untuk
yang
menentukan
hadhanah. Maka dalam hal ini, menurut penulis hakim menggunakan metode ijtihad Maslahah Mursalah. Maslahah Mursalah ialah maslahatmaslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.95 Sedangkan menurut Basiq Djalil bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat.96 Dalam perkara ini, berkenaan dengan penetapan hadhanah, nilai kemaslahatan yang diutamakan dalam menentukan suatu hukum. Walaupun hakim tidak 94
Putusan pengadilan Agama Depok No 184/pdt.G/2011/PA.Dpk h. 14. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum, Slamet Bashir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi, Fuad Falahuddin, (Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 427. 96 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta, Kencana, 2010), h. 160. 95
64
secara tegas menggunakan metode ini namun melihat dari rujukan yurisprudensi tersebut hakim cenderung kepada metode tersebut. Penggunaan metode yang menggunakan kemaslahatan seperti yang digunakan hakim dalam memutus perkara tersebut, seharusnya hakim mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudharatan ketika hadhanah jatuh kepada bapak dan tidak beralasan hanya dengan anak tersebut sudah tinggal bersama ayahnya. Untuk itu seharusnya hakim mempertimbangkan lebih mendalam tentang hadhanah tersebut. Melihat si anak belum mumayyiz, mantan istri belum menikah dengan laki-laki lain dan anak secara psikologis butuh kasih sayang seorang ibu. Untuk itu hadhanah jatuh kepada ibu atau ayah sama-sama memiliki kemudharatan. Ketika ada kedua mudharatan maka dicari mudharat yang paling ringan sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
ﺍﺫ ﺍ ﺗﻌﺎ ﺭﺽ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎ ﻥ ﺭﻭﻋﻲ ﺍﻋﻈﻤﻬﻤﺎ ﺿﺮﺍﺭ ﺑﺎﺭﺗﻜﺎ ﺏ ﺍﺧﻔﻬﻤﺎ “Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil mafsadat yang lebih ringan”.97 Maksud dari kaidah tersebut, jika dilihat secara harfiah pun sebenarnya sudah dapat dipahami dengan jelas, yaitu ketika kita dihadapkan pada dua pilihan dimana keduanya sama-sama memiliki sisi mudharatnya, maka kita harus memilih salah satu yang nilai mudharatnya lebih ringan. Dilihat dari perkara tersebut, penulis memposisikan ijtihad hakim yang berlandaskan kemaslahatan dengan menggunakan metode ijtihad 97
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta, Kalam Mulia, 2001), h. 40.
65
maslahah mursalah ini sudah tepat, karena kemudharatan yang ditimbulkan dari ayah lebih ringan daripada ibu, karena ibu sering berbohong berkenaan dengan nafkah anak, seperti ibu menggunakan tabungan anak untuk hal lain bukan untuk keperluan anak, hal ini yang mengindikasikan ibu akan menggunakan uang yang diberikan oleh ayah tidak untuk keperluan anak-anaknya. Jika hadhanah jatuh keibu dikhawatirkan sifat yang tidak amanah ini akan menelantarkan anakanaknya dalam hal kebutuhan nafkah anak. Perkara hadhanah tersebut, penulis melihat adanya penyimpangan dalam putusan hakim ini dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a) yang mana dijelaskan: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.98 Hakim melakukan penyimpangan terhadap pasal 105 huruf (a) dalam memutuskan perkara Nomor. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk. yang mana hak asuh anak yang terjadi setelah perceraian dan anak itu belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ayahnya. Disini hakim bisa Contra Legem, yakni hakim bisa melawan undang-undang selama putusan hakim itu dapat memberikan kemaslahatan, karna tujuan pengadilan itu memberikan keadilan dan memberikan kepastian hukum. Jika dirasa adil anak itu diberikan kepada ayah nya kenapa tidak!. Disinilah alasan dari putusan majlis hakim membolehkan untuk menyimpang dari KHI pasal 105 (a) dan yurisprudensi Mahkamah Agung 98
Abdurrahman, pressindo,2007),hal.151.
Kompilasi
Hukum Islam
Di
Indonesia,
(Jakarta:
Akademika
66
Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007
adalah sebagai
landasan hukumnya yang disesuaikan pula dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Penulis berpendapat, ketentuan fiqh yang memberikan prioritas hak hadhanah pada isteri dinilai bias jender dan merugikan laki-laki. Alasan yang diapakai oleh fuqoha selama ini bahwa isteri lebih mempunyai jiwa keibuan disbanding suami, ternyata terbantahkan.Karena dalam realitas sehari-hari sungguh banyak bukti yang menunjukan bahwa ibu tidak selamanya berjiwa keibuan dan justru laki-laki lebih semangat dalam mengasuh dan memelihara anak. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa sebaiknya penentuan hak hadhanah tidak diprioritaskan kepada salah satu pihak suami atau istri saja. Melainkan diserahkan kepada kebijakan suami istri melalui musyawarah atau kebijakan hakim bila musyawarah tidak berhasil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan obyektif yang memungkinkan dan lebih menjamin perkembangan anak tidak mengalami hambatan. Dengan sendirinya, penentuan hak hadhanah dengan cara demikian diharapkan tidak melahirkan diskriminasi antara suami dan istri.99 Penulis sependapat dengan kebijakan dan keputusan majlis hakim yang menetapkan hak asuh anak dalam kasus ini kepada ayahnya, sekalipun tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam, dan ada landasan
99
Mesraini, Fiqh Munakahat (Jakarta ,Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren) cet I, Agustus 2008. h. 172.
67
hukum lain yang diambil oleh majlis hakim demi kemaslahatan anak itu sendiri, mengingat masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepetingan anak bukan semata-mata siapa yang paling berhak mengasuh anak.
68
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam perkara Nomor. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk hakim memiliki pertimbangan dalam menetapkan perkara hadhanah ini. Hakim menimbang bahwa kedua anak dari pemohon dan termohon sudah tinggal bersama pemohon sebelum perceraian terjadi, dan dalam perkara ini hakim mengutamakan kemaslahatan anak tersebut. Meskipun dalam pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam telah menjelaskan secara detail tentang hak asuh anak yang belum mumayyiz dilimpahkan kepada ibunya, namun hakim bisa Contra Legem dengan memiliki pertimbangan lain yang berlandaskan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan
bahwa
masalah
utama
dalam
hadhanah
adalah
kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. 2. Menurut Jumhur Ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. Undang-undang Perkawinan sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan nonmaterialnya. Semangat pengasuhan material dan
69
nonmaterial inilah yang akan dipertegas oleh Kompilasi Hukum Islam di dalam pasal-pasalnya dengan menggunakan istilah Pemeliharaan anak yang dimuat dalam Bab XIV pasal 98-106. Namun dalam memutuskan
perkara
ini
hakim
menggunakan
Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 sebagai landasan hukumnya, dengan menitik beratkan kepada kemaslahatan anak tersebut. B. Saran-saran 1. Penjelasan tentang hadhanah ini sudah selayaknya dapat dibahas lebih luas dalam pelajaran yang ada di SMP dan SMA yang dimuat dalam pelajaran Fiqh, setidaknya para siswa memahami tentang dasar hadhanah itu sendiri, dan para siswa dapat melihat betapa miris nya seorang anak yang diperebutkan hak pemeliharaanya yang disebabkan oleh perceraian yang terjadi kepada orang tua nya, sehingga berdampak kepada mental seorang anak yang khususnya masih kecil (belum mumayyiz). Hal ini sangat diharapkan kepada pimpinan sekolah
untuk
memuat
materi
pembelajaran
tersebut,
baik
mendatangkan langsung petugas dari Pengadilan Agama atau dengan mengadakan pesantren kilat ataupun penyuluhan. 2. Kepada pemerintah diharapkan agar dibuatnya Pasal pada UndangUndang No 1 tahun 1974 yang menjelaskan secara rinci tentang yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak ketika anak tersebut belum mumayyiz, karena sejauh ini Undang-Undang No 1 tahun 1974 tidak
70
membahas secara rinci dan belum ada kejelasan tentang siapa yang paling berhak dalam hal mengasuh anak ketika anak tersebut belum mumayyiz. 3. Sering diadakanya Penyuluhan Pernikahan, baik di tingkat RT/RW, sekolah, yayasan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainya yang bertujuan terutama untuk menghindari pernikahan dini yang acap kali sering dan banyak menimbulkan perceraian. Karena hadhanah itu sendiri timbul akibat perceraian yang terjadi, sehingga dampak dari perceraian itu tidak lain adalah anak. Dan anak tersebut (belum mumayyiz) akan menjadi terganggu mental nya, kenyamanan nya, dan kebahagiaanya, karena pasti anak tersebut akan hidup dengan kondisi terpisah dari salah satu orang tua nya.
71
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahanya, Jakarta, kementrian Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 2009 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo, 2007) Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), j.192. Abi Daud Sulaiman bin al- Asy’asy as-Sajastani al-Azdiry, Sunan Abi Daud, (Qahirah: Dar al-Hadis, 1988), Juz II. Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, sahih fikih sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1, (Jakarta: pustaka Azzam, 2007) Agus Abdullah, hasil wawancara Hakim, PA Jakarta Selatan, 21 september 2015 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998) Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) Asaf A.A. fyzee, Outline of Muhammad Law, (London:Oxford University Press, 1995), cet. II. Hasan Ayyub, Syaikh, fikih keluarga, cet-4 (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005) Hasbi Ash-Shidieqiy, peradilan dan Hukum acara Islam, (Yogyakarta, PT Ma’arif September 1994) H.A. Fuad Said, perceraian menurut hukum islam, Cetakan Pertama (Jakarta, Pustaka Al-Husna , 1994)
72
H.S.A. Al-hamdani,Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta, Pustaka Amani, 2002. Iin Tri Rahayu, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara, ,Ed-1, Cet(Malang: Bayu Media Publishing, 2004) Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. XXI M. Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet.17, (Jakarta: lentera, 2006) M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975) Mesraini, fiqh Munakahat Cet:1 (Jakarta ,Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren, Agustus 2008) Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005) Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008) . Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 2005) Rusyd, Ibnu. Bidayatul MujtahidAnalisa Fiqih para Mujtahid, penerjemah, Drs. Imam Ghazali Said & Drs. Achmad Zaidun. (Jakarta: Pustaka Amani,2007) Samiaji Sarosa, penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta: permata puri media, 2012). Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010).
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jild 2, Penerjemah: Asep Sobari dkk (Jakarta: AlI’tishom, 2008). Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terjemahan), Cet I, jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006)
73
Seperti dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Umar.Lihat dalam sulayman ibn Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al Fikr, tt), juz I. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara , 2003). Wahbah al Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu juz VII, (Damaskus: Daar AlFikr,1984) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006)
PEDOMAN WAWANCARA HAKIM
Nama
: Drs. Agus Abdullah, M.H
Jabatan
:Hakim Pengadilan Agama ( Depok 2007-2012, Jakarta Selatan 2012-sekarang)
1. Menurut Bapak apa pengertian hadhanah? 2. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah di Pengadilan Agama? Dan berapa lama proses hadhanah itu selesai sampai putusan dibacakan? 3. Dalam perkara hadhanah siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah) ? 4. Apa saja hambatan dalam penyelesain kasus hadhanah yang selama ini terjadi di Pengadilan Agama? 5. Bagaiman posisi kasus perkara No: 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
tentang hadhanah
berbeda dengan perkara hadhanah yang lain? 6. Bukti apa saja yang ditunjukan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak jatuh pada Pemohon, bukan pada termohon? Dan landasan dalilnya atau perundangundangnnya 7. Menurut bapak hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah anak diberikan kepada Pemohon (Suami), bukan kepada Termohon (ibu)? 8. Para ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batasan usia anak yang belum mumayyiz, lalu menurut bapak hakim, kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayyiz dan mumayyiz?
9. Bagaimanakah landasan dan pertimbangan majlis hakim dalam menetapkan hak asuh anak
(hadhanah)
kepada
Pemohon
(Suami)
dalam
putusan
nomor:
184/Pdt.G/2011/PA.Dpk ? 10. Bagaimana ijtihad yang digunakan majlis hakim dalam memutus perkara nomor: 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk tentang jatuhnya hak asuh anak kepada pemohon atau Suami? 11. Bolehkan dalam memutus perkara tentang hadhanah hakim menyimpangi pasal 105 huruf a? Jika boleh apa landasan hukumnya? 12. Bagaimana segi persamaan dan perbedaan perkara hadhanah dalam fiqh klasik dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia?
HASIL WAWANCARA HAKIM Nama
: Drs. Agus Abdullah, M.H
Jabatan
:Hakim Pengadilan Agama ( Depok 2007-2012, Jakarta Selatan 2012-sekarang)
1. Tanya: Menurut Bapak apa pengertian hadhanah? Jawab: Menurut saya, Hadhanah itu ialah pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu. Terutama diberikan kepada ibu, kecuali ada hal lain yang menyebabkan hak asuh beralih kepada selain ibu, dan selebihnya bisa dilihat dalam buku rujukan lainya. 2. Tanya: Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah di Pengadilan Agama? Dan berapa lama proses hadhanah itu selesai sampai putusan dibacakan? Jawab: Dalam proses persidangan tidak ada patokan khusus dalam proses penyelesaian perkara hadhanhah, akan tetapi Mahkamah Agung memberikan batasan maksmal proses penyelesaian perkara itu selama 6 bulan apabila tidak selsai maka Mahkamah Agung melaporkan ke atasanya berikut alasanya (atasan disini adalah atasan dari pengadilan agama yakni pengadilan tinggi agama) 3. Tanya: Dalam perkara hadhanah siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah) ? Jawab: Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a sudah dijelaskan bahwa hak asuh anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. 4. Tanya: Apa saja hambatan dalam penyelesain kasus hadhanah yang selama ini terjadi di Pengadilan Agama?
Jawab: Adapun hambatan nya adalah yang pertama apabila ibu dan ayah sama-sama menghendaki dalam keinginanya untuk memelihara anak tersebut, maka hakim harus memutus dengan berdasarkan aturan yang berlaku dan kedua berdasarkan kemaslahatan. Namun sekarang ada yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. jadi tidak secara mutlak hadhanah ditetapkan kepada ibu. 5. Tanya: Bagaiman posisi kasus perkara No: 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
tentang
hadhanah berbeda dengan perkara hadhanah yang lain? Jawab: pertama mengingat selama ini dalam duduk perkara anak bersama dengan ayahnya, dan ibu tidak keberatan jika anaknya diasuh oleh ayahnya kemudian didukung juga oleh yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 bahwasanya hak asuh anak lebih diutamakan demi kemaslahatan anak itu sendiri. Karena memang anak tersebut sudah tinggal bersama ayahnya. 6. Tanya: Bukti apa saja yang ditunjukan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak jatuh pada Pemohon, bukan pada termohon? Dan landasan dalilnya atau perundang-undangnnya? Jawab: Adapun bukti-bukti nya yaitu Akta kelahiran, saksi-saksi terkait yang memberikan penjelsanya, bagaimana sikap ayahnya terhadap anak-anak nya yang terbukti sangat menyayanginya dan semangat dalam memeliharanya, sehingga ayah ditetapkan sebagai pengasuh anak, dan hakim dapat menguatkan kehendak daripada pemohon itu, disamping anak selama ini tinggal dengan pemohon, Dan istri tidak
keberatan. Adapun landasan hukum nya yakni yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 7. Tanya: Menurut bapak hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah anak diberikan kepada Pemohon (Suami), bukan kepada Termohon (ibu)? Jawab: pertama, kalo hakim karena diminta. Kedua tak ada larangan aturan yang melarang hak tersebut, kemudian hakim bisa kontralegem, yakni dapat melawan putusan, dapat melawan undang-undang selama putusan hakim itu meberikan kemaslahatan, karna tujuan hakim itu meberikan keadilan dan memberkan kepastian hukum. 8. Tanya: Para ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batasan usia anak yang belum mumayyiz, lalu menurut bapak hakim, kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayyiz dan mumayyiz? Jawab: KHI diciptakan dan diramu oleh berbagai kitab ulama terdahulu. Dan dikaji dari berbagai puluhan kitab kuning Dan dituangkan dalam satu kesepakatan yaitu KHI, dan distu disebutkan bahwa mumayyiz itu adalah 12 tahun, dibawah itu belum mumayyiz, karena kesepakatan bersama akan lebih mendekati kebenaran daripada pendapat pribadi. 9. Tanya: Bagaimanakah landasan dan pertimbangan majlis hakim dalam menetapkan hak asuh anak (hadhanah) kepada Pemohon (Suami) dalam putusan nomor: 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk ? Jawab: Bisa dilihat dalam pertimbangan-pertimbangan hakim yang tertuang dalam putusan. 10. Tanya: Bagaimana ijtihad yang digunakan majlis hakim dalam memutus perkara nomor: 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk tentang jatuhnya hak asuh anak kepada pemohon atau Suami?
Jawab: Dalam kasus ini hakim tidak ber ijtihad akan tetapi Majlis Hakim hanya mengikuti aturan yang berlaku yakni yurisprudensi Mahkamah Agung, karena yurisprudensi MA itu dapat dijadikan landasan hukum bagi hakim dalam mnjatuhkan suatu putusan, jadi hakim disini tidak perlu berijtihad lagi 11. Tanya: Bolehkan dalam memutus perkara tentang hadhanah hakim menyimpangi pasal 105 huruf a? Jika boleh apa landasan hukumnya? Jawab: boleh, istilah hukum itu disebut kontralegem. Hakim memutus keluar dari aturan yang berlaku, dan itu dibenarkan selama putusan hakim itu memberikan kemaslahatan dan keadilan serta kepastian hukum. 12. Tanya: Bagaimana segi persamaan dan perbedaan perkara hadhanah dalam fiqh klasik dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia? Jawab: bahwasanya fiqh klasik itu sehebat apapun fiqh itu dan itu benar-benar hebat bahwa para ulama fiqh semuanya bersandarkan pada hadist Nabi bahwa ibu lah yang paling berhak mengasuh anak selama anak itu belum mumayyiz, dan selama anak itu sudah mumayyiz maka anak dipersilahkan untuk memilih kepada siapa anak itu akan tinggal, dan menurut peraturan perundang-undanganya UU perlindungan anak, yakni diserahkan kepada hak anak juga, karena kita PA hukum acaranya khusus, KHI diberlakukan, UU perlindungan anak juga diberlakukan. Maka kami kutip juga UU tentang perlindugan anak No: 23tahun 2002. Adapun kesimpulan dalam perbedaan antara UU dan dalam fiqh klasik yakni, dalam UU perlindungan anak orang tua mempunyai hak yang setara dan sama untuk mengasuh dan memelihara anak sedangkan hak pengasuhan anak pada hukum Islam diberikan secara eksplisit kepada ibunya pasca perceraian.
PUTUSAN Nomor : NOMOR PERKARA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Depok yang memeriksa dan mengadili perkara Perdata tertentu cerai talak pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan seperti terurai di bawah ini dalam perkara antara :
NAMA PEMOHON, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di ALAMAT Kota Depok, selanjutnya di sebut Pemohon; Melawan NAMA TERMOHON , umur 29 tahun , agama Islam, pekerjaan - tempat tinggal di ALAMAT , Kota Depok selanjutnya di sebut Termohon ; Pengadilan Agama tersebut ; Telah memeriksa berkas perkara yang bersangkutan ; Telah mendengar keterangan Pemohon dan Termohon; Telah memeriksa bukti-bukti dalam persidangan ; TENTANG DUDUK PERKARANYA Bahwa Pemohon dengan suratnya tertanggal TANGGAL
telah mengajukan
permohonan cerai talak terhadap Termohon ke Pengadilan Agama Depok, yang kemudian terdaftar dalam register sebagai perkara Nomor : NOMOR PERKARA , tanggal TANGGAL dengan mengajukan hal-hal yang pokoknya sebagai berikut ; 1.
Bahwa pemohon adalah suami sah Termohon, yang pernikahanya dilaksanakan pada tanggal TANGGAL, di Kantor KUA Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, kutipan akta nikah nomor : NOMOR tanggal TANGGAL , yang dikeluarkan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok;
2.
Bahwa selama berumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah bergaul bagai mana layaknya suami istri (ba’dadukhul) da telah dikaruniai 2(Dua) orang anak bernama : a. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; b. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005;
Halaman 1 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
3.
Bahwa semula rumah tangga antara Pemohon dan Termohon rukun dan harmonis, tetapi sejak bulan Desember 2004 sampai sekarang antara Pemohon dan Termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, disebabkan: a. Termohon sering meninggalkan rumah tangga tanpa seizin pemohon dan anak-anak ditelantarkan begitu saja ; b. Termohon suka berbohong masalah keuangan, seperti Termohon
mengambil
tabungan anak-anak menggadaikan motor tanpa seijin Pemohon dengan alasan untuk operasi orang tuanya, akan tetapi setelah Pemohon mendesak menanyakan kepada orang tuanya ternyata tidak benar orang tuanya tidak dioperasi, Kemudian Pemohon bertanya kepada Termohon dikemanakan uangnya Termohon diam saja malah Termohon minta di kembalikan ke rumah orang tuanya/minta cerai ; c.
Apabila ada masalah Termohon suka berbicara kepada orang tuanya bahkan kepada teman-temannya, artinya Termohon tidak bisa menjaga rahasia rumahtangga ;
d. Apabila Pemohon menasehati Termohon tidak mau menerima malah Termohon suka minta cerai ; e.
Termohon tidak ada tanggung jawab terhadap rumah tangga dengan terbukti suka meninggalkan pergi anak-anak dan tanpa sepengetahuan Pemohon ;
4.
Bahwa bulan Desember 2008 merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, hal ini disebabkan Pemohon memberi nasehat kepada Termohon malah Termohon marah-marah dan minta pulang ke rumah orang tuanya, akhirnya Termohon pulang kerumah orang tuanya:
5.
Bahwa sejak bulan Desember 2008 sampai sekarang antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah:
6.
Bahwa Pemohon telah berupaya bersabar selama lebih kurang 3(tiga) tahun agar rumah tangga Pemohon dan Termohon kembali rukun, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil karena Termohon tidak berubah sikapnya:
7.
Bahwa anak Termohon dan Pemohon Bernama : NAMA ANAK tgl lahir TANGGAL LAHIR dan NAMA ANAK , laki-laki, lahir TANGGAL LAHIR sekarang tinggal bersama Pemohon untuk itu mohon hak asuhnya di tetapkan berada pada Pemohon sebagai ayah kandungnya ;
8.
Bahwa dengan beberapa kejadian tersebut di atas, rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi, sehingga rumah tangga yang sakinah, mawaddah,dan rahma,tidak tercapai,pemohon merasa menderita lahir bathin da sudah tidak mungkin lagi untuk meneruskan rumah tangga dengan Termohon serta tidak ada jalan terbaik kecuali perceraian;
Halaman 2 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Berdasarkan alasan – alasan tersebut di atas, maka mohon dengan hormat kiranya Bapak ketua pengadilan Agama Depok majelis hakim yang menggadili perkara ini berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut : 1. Mengabulakn permohonan pemohon; 2. Menetapkan, memberikan izin kepada Pemohon
(NAMA PEMOHON ) untuk
mengucapkan ikrar talak talak Tergugat terhadap Termohon ( NAMA TERMOHON.) di depan sidang Penggadilan Agama Depok; 3. Menetapkan hak asuh dua orang anak bernama NAMA ANAK , perempuan tanggal TANGGAL LAHIR
dan NAMA ANAK , laki-laki,lahir TANGGAL LAHIR
berada pada pemohon sebagai ayah kandungnyA ; 4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum; Apabila Pengadilan Agama Depok berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ; Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon dan
Termohon
hadir dalam persidangan; Bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon agar rukun kembali namun tidak berhasil ; Bahwa Pemohon dengan Termohon juga telah diupayakan mediasi tanggal
24
Februari 2011 dengan Mediator Drs. H.A. BAIDHOWI, M.H., dan pada waktu mediasi yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon hadir namun mediasi gagal merukunkan Pemohon dengan Termohon ; Bahwa kemudian persidangan dilanjutkan kepada pemeriksaan pokok perkara dengan diawali pembacaan surat permohonan Pemohon, dan Pemohon menyatakan secara lisan menambahkan keterangan dalam surat permohonannya sebagai berikut ;
Bahwa waktu nikah Termohon dalam keadaan hamil sekitar 3 ( tiga ) bulan;
Bahwa Termohon pergi ke rumah orangtuanya;
Contohnya Termohon suka berbicara kepada orang lain adalah jika di rumah bertengkar diberitahukan kepada orang lain;
Bahwa Termohon diantarkan ke rumah orangtuanya oleh Pemohon;
Bahwa sejak berpisah Termohon beberapa kali pulang dan nginap di rumah;
Bahwa keluarga telah berupaya merukunkan tetapi tidak berhasil;
Bahwa jika terjadi perceraian sebagai rasa tanggung jawab
Pemohon
akan
memberikan nafkah iddah kepada Termohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- ( lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah perbulan sebanyak Rp.1.500.000,- ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an;
Halaman 3 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Bahwa terhadap permohonan Pemohon berikut keterangan tambahannya tersebut, Termohon memberikan jawaban secara lisan sebagai berikut; 1.
Bahwa benar
Pemohon adalah suami sah Termohon yang menikah tanggal
TANGGAL; 2.
Bahwa benar selama berumah tangga kami telah bergaul sebagaimana layaknya suami isteri, benar waktu nikah Termohon dalam keadaan hamil sekitar 3 ( tiga ) bulan dan telah dikaruniai anak 2 (dua) orang yang bernama
3.
a.
NAMA ANAK , perempuan tgl lahir TANGGAL LAHIR;
b.
NAMA ANAK , laki-laki, lahir TANGGAL LAHIR;
Bahwa benar semula rumah tangga kami rukun dan harmonis dan sejak Desember 2004 mulai adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus; a. Bahwa tidak benar Termohon pergi tanpa izin dari Pemohon karena Termohon menta izin dengan Pemohon terkadang diizinkan dan terkadang tidak ketika pulangnya jadi bertengkar; b. Bahwa benar uang tabungan anak sekitar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah ) diambil digunakan untuk modal dagang, keperluan Termohon, dipinjam teman, benar motor juga dijual seharga Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah ) uangnya digunakan untuk nambah modal dagang dan keperluan Termohon serta dipakai untuk membantu berobat orangtua; c. Tidak benar karena Termohon tidak bergaul dengan tetangga; d. Tidak benar Pemohon menasihati Termohon tetapi Pemohon bicaranya kurang baik, tangan melayang dan benar saya suka minta cerai; e. Tidak
benar
Termohon
tidak
bertangungjawab,
karena
Termohon
bertanggungjawab dengan keluarga; 4.
Bahwa benar Desember 2008 merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran di antara kami;
5.
Bahwa benar sejak Desember 2008 kami telah berpisah rumah karena Termohon diantarkan oleh Pemohon ke rumah orangtua, dan benar sejak berpisah beberapa kali pulang dan menginap;
6.
Bahwa benar Pemohon dengan Termohon telah bersabar tetapi tidak dapat rukun kembali;
7.
Bahwa benar keluarga juga telah berupaya merukunkan kami tetapi tidak berhasil;
8.
Bahwa Termohon tidak keberatan atas permohonan cerai dari Pemohon ;
9.
Bahwa Termohon menerima mut’ah yang akan diberikan Pemohon tersebut tetapi untuk nafkah iddah mohon agar Pemohon memberikan setiap harinya sebanyak Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) karena sesuai dengan penghasilannya;
Halaman 4 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
10.
Bahwa jika terjadi perceraian mohon agar anak-anak ditetapkan pada Termohon sebagai ibunya mengingat anak tersebut masih di bawah umur dan masih memerlukan kasih sayang ibunya meskipun selama ini Termohon masih suka bertemu dengan anak-anak dan Pemohon juga tidak mempersulit untuk bertemu dengan anak-anak ; Bahwa terhadap jawaban dari Termohon tersebut, Pemohon menyampaikan dalam
replik secara lisan yaitu
mencukupkan dengan yang telah disampaikan
dalam
permohonannya dan benar Termohon jika akan pergi juga terkadang minta izin dan terkadang tidak minta izin dengan Pemohon; Bahwa terhadap replik Pemohon tersebut, Termohon menyampaikan
dupliknya
secara lisan yaitu mencukupkan dengan yang telah disampaikan dalam jawabannya; Bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya, Pemohon telah menyerahkan bukti tertulis berupa: 1. Fotokopi dari Kutipan Akta Nikah atas nama Pemohon dengan Termohon Nomor : NOMOR yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok tanggal TANGGAL yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, Kemudian oleh Ketua Majlis diberi kode P 1; 2. Fotokopi dari Kutipan Akta kelahiran atas nama NAMA ANAK Nomor : NOMOR yang aslinya dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan Kota Depok tanggal 01 Juni 2004 yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, Kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P 2; 3. Fotokopi dari Kutipan Akta kelahiran atas nama NAMA ANAK Nomor : NOMOR yang aslinya dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Depok tanggal 14 Agustus 2006 yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, Kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P 3; Bahwa terhadap bukti surat tersebut ( P1,P2 dan P3 ) Termohon mengakui dan membenarkannya; Bahwa Termohon juga untuk menguatkan dalil –dalilnya telah mengajukan bukti tertulis berupa; 1.
Fotokopi dari Kutipan Akta Nikah atas nama Termohon dengan Pemohon Nomor : NOMOR yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok tanggal TANGGAL yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai, Kemudian oleh Ketua Majlis diberi kode T1;
2.
Fotokopi dari Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan Nomor Pol. NOMOR tanggal TANGGAL
oleh NAMA TERMOHON
yang
aslinya dikeluarkan oleh
Polsek Pancoran Mas kota Depok yang telah bermateraikan secukupnya telah Halaman 5 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai kemudian diberi kode T2, bukti ini membuktikan bahwa Pemohon pernah menjambak rambut dan mengangkat serta menendang kaki kiri Termohon sampai memar dan bengkak; 3.
Fotokopi dari kwitansi rawat jalan dan kwitansi obat atas nama Termohon tertanggal 26 Desember 2005, yang aslinya dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bhakti Yudha yang telah bermateraikan secukupnya telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai kemudian diberi kode T3, bukti ini menunjukan bahwa Termohon pernah berobat akibat Pemohon menendang bagian kaki kiri Termohon sampai memar dan bengkak;
4.
Fotokopi dari Surat Tanda Terima Laporan/Pengaduan dari NAMA TERMOHON No. Pol.NOMOR Restro Depok yang aslinya dikeluarkan oleh
POLRI DAERAH
METRO JAYA DAN SEKITARYA RESOR METRO DEPOK yang telah bermateraikan secukupnya telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai kemudian diberi kode T4, bukti ini membuktikan bahwa tanggal 1 Agustus 2008 pukul 11.30 WIB Pemohon memukul Termohon dengan tangan kosong dan luka pada leher dan sakit pada dada sebelah kanan; 5.
Fotokopi dari SURAT TANDA PENERIMAAN 1 (satu ) potong baju kaos warna merah dari NAMA TERMOHON yang aslinya dikeluarkan oleh POLRI DAERAH METRO JAYA DAN SEKITARYA RESOR METRO DEPOK tanggal 1 Agustus 2008 yang telah bermateraikan secukupnya telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai kemudian diberi kode T5, bukti ini membuktikan bahwa
barang tersebut
merupakan bukti dalam perkara yang diduga tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga; Bahwa terhadap bukti tertulis tersebut ( T1, T2,T3,T4 dan T5 ) Pemohon mengakui dan membenarkannya; Bahwa Pemohon juga telah menghadirkan saksi keluarga dan orang dekat dengan Pemohon yang bernama : 1.
NAMA SAKSI I , umur 51 tahun, agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di ALAMAT SAKSI , saksi adalah kakak seibu Pemohon di bawah sumpahnya dihadapan Mejelis Hakim memberikan keterangan
yang pada pokoknya adalah
sebagai berikut : - Bahwa saksi kenal baik dengan Pemohon maupun dengan Termohon; - Bahwa Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang; - Bahwa setelah menikah Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga dirumah yang di jalan Camar IV ;
Halaman 6 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
- Bahwa awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon baik dan rukun kemudian tidak harmonis dari 1 (satu ) tahun sebelum berpisah karena Pemohon dengan Termohon sering bertengkar; - Bahwa saksi
pernah melihat dan mendengar Pemohon dengan Termohon
bertengkar 3 (tiga) kali waktu saksi berkunjung ke rumah Pemohon dan Termohon tetapi saksi tidak mengetahui sebabnya bertengkar; - Bahwa Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 disebabkan Termohon diantarkan kepada orangtuanya oleh Pemohon; - Bahwa sejak diantarkan Termohon masih ada datang untuk menengok anaknya; - Bahwa saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah; - Bahwa anak-anak
Pemohon dengan Termohon
sekarang bersama dengan
Pemohon; - Bahwa Pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anakanaknya; - Bahwa Pemohon tidak pernah mempersulit Termohon jika akan bertemu dengan anak-anaknya; - Bahwa kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya; - Bahwa saksi tidak tahu Pemohon bekerjanya di mana dan berapa gajinya; - Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon; - Bahwa Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali ; Bahwa terhadap keterangan saksi tersebut,
Pemohon dan
Termohon
membenarkannya; 2.
NAMA SAKSI II, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di ALAMAT SAKSI , saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon di bawah sumpahnya memberikan keterangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut; - Bahwa
saksi kenal baik dengan Pemohon maupun dengan Termohon karena
bertetangga lebih dari 5 (lima) tahun; - Bahwa Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang; - Bahwa awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon baik kemudian tidak harmonis dari 1 (satu ) tahun sebelum berpisah; - Bahwa saksi melihat Pemohon dengan Termohon tidak harmonis karena Pemohon kalau jalan pagi bersama anak-anaknya dan tidak pernah bareng dengan Termohon; - Bahwa saksi belum pernah melihat dan mendengar Pemohon dengan Termohon bertengkar tetapi saksi mengetahui dari informasi Pemohon kepada saksi jika
Halaman 7 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Pemohon dengan Termohon sering bertengkar disebabkan Termohon sering pergi tanpa izin kepda Pemohon; - Bahwa sebab yang lainnya saksi tidak mendapatkan informasi dari Pemohon; - Bahwa Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 ; - Bahwa saksi tidak mengetahui berpisahnya Pemohon dengan Termohon diusir atau tidak diantarkan atau pulang sendiri; - Bahwa sejak berpisah Termohon masih ada datang untuk melihat anak-anaknya; - Bahwa saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah; - Bahwa anak-anak
Pemohon dengan Termohon
sekarang bersama dengan
Pemohon; - Bahwa Pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anakanaknya; - Bahwa kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya; - Bahwa saksi tidak tahu Pemohon di mana bekerja dan berapa gajinya; - Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon; - Bahwa Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali ; Bahwa Terhadap keterangan saksi tersebut
Pemohon dan Termohon
membenarkannya; Bahwa Termohon juga telah menghadirkan saksi keluarga dari Termohonyang bernama : 1.
NAMA SAKSI , umur 55 tahun, agama Islam, Pekerjaan Advokat, tempat tinggal di ALAMAT SAKSI , saksi adalah ayah kandung Termohon di bawah sumpahnya dihadapan Mejelis Hakim memberikan keterangan
yang pada pokoknya adalah
sebagai berikut : - Bahwa saksi kenal baik dengan dengan Termohon maupun dengan Pemohon ; - Bahwa Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang; - Bahwa setelah menikah Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga dirumah yang di jalan Camar IV ; - Bahwa dari awal pernikahan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah ada masalah karena Termohon waktu nikah dalam keadaan hamil kemudian berlanjut sampai sekarang tidak harmonis bahkan telah berpisah rumah sudah beberapa bulan terakhir ini tetapi saksi tidak mengetahui persisnya Pemohon dengan Termohon berpisah;
Halaman 8 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
- Bahwa Termohon yang keluar dari rumah disebabkan Termohon trauma karena kasus KDRT yang beberapa kali terjadi yang dilakukan Pemohon kepada Termohon dan sudah dilaporkan baik kepada Polsek maupun ke Polres; - Bahwa sebabnya KDRT karena Pemohon dengan Termohon orangnya sama-sama berwatak keras; - Bahwa saksi belum pernah melihat langsung Pemohon dengan Termohon bertengkar tetapi dari informasi Termohon kepada saksi bahwa Pemohon dengan Termohon sering bertengkar dan tidak menyebutkan sebabnya; - Bahwa saksi telah menyarankan baik kepada Pemohon maupun kepada Termohon agar rukun kembali tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah; - Bahwa anak-anak
Pemohon dengan Termohon
sekarang bersama dengan
Pemohon; - Bahwa
saksi tidak tahu Pemohon orangnya sayang atau tidak
perhatian dan
sanggup untuk merawat anak-anaknya atau tidak; - Bahwa Pemohon tidak pernah mempersulit Termohon jika akan bertemu dengan anak-anaknya; - Bahwa menurut informasi kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya; - Bahwa saksi tidak tahu di mana Pemohon bekerja dan berapa penghasilannya; - Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon; - Bahwa Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali ; Bahwa terhadap keterangan saksi tersebut,
Pemohon dan
Termohon
membenarkannya; 2.
NAMA SAKSI , umur 52 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS di RRI, tempat tinggal di ALAMAT SAKSI , saksi adalah ibu kandung Termohon di bawah sumpahnya memberikan keterangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut; - Bahwa saksi kenal baik dengan Termohon maupu dengan Pemohon; - Bahwa Pemohon dengan Temohon adalah suami istri dan telah mempunyai anak 2 (dua) orang; - Bahwa Pemohon dengan Termohon hidup berumah tangga terakhir di rumah di jalan Camar IV; - Bahwa awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon rukun dan harmonis kemudian tidak harmonis dari tahun 2006 disebabkan adanya pertengkaran karena saksi ditelephon oleh Termohon yang menyebutkan telah bertengkar dan Pemohon mukul kaki Termohon sehingga Termohon tidak bisa berjalan kemudian saksi kerumahnya dan ternyata Termohon tidak bisa berjalan kemudian di bawa oleh saksi untuk berobat;
Halaman 9 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
- Bahwa masalah KDRT yang saksi ketahui sering dilakukan oleh Pemohon kepada Termohon bahkan telah dilaporkan oleh Termohon kepada pihak yang berwajib; - Bahwa saksi sering mendengar keluhan dari Termohon jika Pemohon dengan Termohon sering bertengkar begitu juga informasi dari tetangganya kepada saksi; - Bahwa Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari akhir tahun 2008 karena Termohon diantarkan oleh Pemohon kepada saksi; - Bahwa sejak berpisah Termohon masih ada datang untuk melihat anak-anaknya; - Bahwa saksi telah mendamaikan dan merukunkan Pemohon dengan Termohon tetapi tidak berhasil karena sudah sama-sama mau berpisah; - Bahwa anak-anak
Pemohon dengan Termohon
sekarang bersama dengan
Pemohon; - Bahwa Pemohon orangnya sayang, perhatian dan sanggup untuk merawat anakanaknya; - Bahwa kondisi anak-anaknya sehat seperti anak-anak seusianya; - Bahwa
saksi
tidak
mengetahui
Pemohon
bekerja
dimana
dan
berapa
penghasilannya; - Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan Termohon; - Bahwa Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali ; Bahwa Terhadap keterangan saksi tersebut
Termohon dan Pemohon
membenarkannya; Bahwa pada tahap kesimpulan, Pemohon telah menyampaikan kesimpulan akhirnya secara lisan yaitu; 1.
Mohon dikabulkan izin perceraiannya;
2.
Jika dikabulkan perceraiannya akan memberikan nafkah iddah kepada Termohon setiap harinya sebanyak Rp. 50.000,- ( lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah setiap bulannya sebanyak Rp 1.500.000,- (satu jta rupiah ) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an;
3.
Mohon agar hak asuh anak-anak Pemohon dengan Termohon yang bernama NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal TANGGAL dan NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal TANGGAL ditetapkan pada Pemohon;
4.
Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
5.
Dan jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil; Bahwa pada tahap kesimpulan Termohon juga menyampaikan kesimpulannya
secara lisan yaitu; 1.
Masalah permohonan cerai dari Pemohon Termohon tidak keberatan dan mohon supaya dikabulkan;
2.
Nafkah iddah mohon setiap harinya sebanyak Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah ); Halaman 10 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
3.
Menerima pemberian mut’ah yang akan diberikan oleh Pemohon;
4.
Mohon agar anak-anak yang bernama NAMA ANAK , perempuan
lahir tanggal
TANGGAL dan NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal TANGGAL ditetapkan hak asuhnya pada Termohon sebagai ibunya ; 5.
Dan jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil; Bahwa mengenai jalannya pemeriksaan perkara ini, selengkapnya telah dicatat
dalam berita acara yang bersangkutan. Maka untuk meringkas putusan ini hal-hal yang tercantum dalam berita acara tersebut sepanjang berkaitan dengan putusan ini. Majelis Hakim menunjuk berita acara tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini ;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud dan tujuan dari pada permohonan Pemohon adalah seperti terurai di atas ; Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon agar rukun kembali namun tidak berhasil ; Menimbang, bahwa Pemohon dengan Termohon juga telah diupayakan
mediasi
tanggal 24 Februari 2011 dengan Mediator Drs.H. A. BAIDHOWI, M.H. pada waktu mediasi yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon hadir namun mediasi gagal merukunkan Pemohon dengan Termohon hal tersebut dilakukan untuk memenuhi maksud Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan; Menimbang, bahwa yang menjadi dalil Permohonan Pemohon untuk melakukan perceraian di dasarkan atas adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara Pemohon dengan Termohon dari Desember 2004 disebabkan; a.
Termohon sering meninggalkan rumah tangga tanpa seizin pemohon dan anak-anak ditelantarkan begitu saja Termohon pergi ke rumah orangtuanya ;
b.
Termohon suka berbohong masalah keuangan, seperti Termohon mengambil tabungan anak-anak menggadaikan motor tanpa seijin Pemohon dengan alasan untuk operasi orang tuanya, akan tetapi setelah Pemohon mendesak menanyakan kepada orang tuanya ternyata tidak benar orang tuanya tidak dioperasi, Kemudian Pemohon bertanya kepada Termohon dikemanakan uangnya Termohon diam saja malah Termohon minta di kembalikan ke rumah orang tuanya/minta cerai;
c.
Apabila ada masalah Termohon suka berbicara kepada orang tuanya bahkan kepada teman-temannya, artinya Termohon tidak bisa menjaga rahasia rumahtangga contohnya jika di rumah bertengkar diberitahukan kepada orang lain; Halaman 11 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
d.
Apabila Pemohon menasehati Termohon tidak mau menerima malah Termohon suka minta cerai;
e.
Termohon tidak ada tanggung jawab terhadap rumah tangga dengan terbukti suka meninggalkan pergi anak-anak dan tanpa sepengetahuan Pemohon bulan Desember 2008 merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, hal ini disebabkan Pemohon memberi nasehat kepada Termohon malah Termohon marah-marah dan minta pulang ke rumah orang tuanya, akhirnya Termohon pulang kerumah orang tuanya dengan diantarkan oleh Pemohon dan sejak bulan Desember 2008 sampai sekarang antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah tetapi sejak berpisah Termohon beberapa kali pulang dan nginap di rumah ; Menimbang, bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon
memberikan jawabannya secara lisan
yaitu mengakui dan membenarkannya dalil
permohonan Pemohon jika semula semula rumah tangganya rukun dan harmonis tetapi sejak Desember 2004 mulai adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tetapi dibantah penyebabnya seperti yang dikemukakan Pemohon kecuali mengenai mengambil tabungan anak dan menjual motor, benar suka minta cerai, diakui pula jika Desember 2008 merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon kemudian berpisah rumah karena Termohon diantarkan oleh Pemohon ke rumah orangtua, dan benar sejak berpisah beberapa kali pulang dan menginap; Menimbang, bahwa dengan memperhatikan permohonan Pemohon berikut repliknya dan jawaban Termohon berikut dupliknya dapat disimpulkan bahwa Termohon mengakui dan membenarkan dalil permohonan Pemohon tersebut tentang adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara Pemohon dengan Termohon dari Desember 2004 meskipun ada yang dibantah penyebab terjadinya pertengkaran tersebut bahkan diakui pula jika dari Desember 2008 telah berpisah rumah meskipun Termohon suka pulang dan nginap; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 174 HIR jo. pasal 1925 KUH Perdata, kedudukan pengakuan
merupakan bukti yang mengikat dan memiliki nilai
pembuktian sempurna. Untuk itu harus dinyatakan telah terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dari bulan Desember 2004 bahkan dari bulan Desember 2008
Pemohon dengan Termohon telah
berpisah rumah meskipun Termohon masih suka pulang dan nginap ; Menimbang, bahwa
meskipun dalil permohonan Pemohon telah diakui dan
dibenarkan oleh Termohon namun
karena perkara perceraian menyangkut putusnya
ikatan perkawinan yang bernilai sakral, maka Majelis Hakim tetap akan memberikan pertimbangan-pertimbangan dengan melihat bukti lainnya untuk menentukan patut dan Halaman 12 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
tidak patutnya perkawinan antara Pemohon dan Termohon diputuskan. Karena perceraian bukan hanya menyangkut kepentingan Pemohon dan Termohon semata, akan tetapi juga menyangkut masa depan dan kemaslahatan anak keturunannya; Menimbang, bahwa dalam perkara ini untuk menguatkan dalil permohonannya Pemohon telah mengajukan bukti surat berupa bukti yang diberi kode P1 di mana bukti tersebut merupakan fotokopi
dari Kutipan Buku Nikah atas nama Pemohon dengan
Termohon yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya telah bermateraikan cukup dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai dan Termohon pun membenarkan terhadap bukti yang diberi kode P1 tersebut bahkan dikuatkan pula dengan T1, oleh karenannya bukti tersebut dapat diterima sebagai alat bukti dalam perkara ini, dengan demikian telah terbukti bahwa Pemohon dengan Termohon itu suami isteri; Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadirkan saksi keluarga dan orang dekat dengannya
yang bernama
NAMA SAKSI
dan
NAMA SAKSI kemudian masing-
masing saksi bersumpah menurut agamanya dan memberikan keterangan dihadapan Majelis Hakim yang keterangannya sebagaimana dalam duduk perkara ini ternyata keterangan saksi-saksi tersebut saling bersesuaian yaitu menguatkan dalil permohonan Pemohon dan pengakuan Termohon
tentang bahwa rumah tangga Pemohon dengan
Termohon sudah tidak harmonis lagi karena seringnya bertengkar yang diketahuinya secara langsung oleh saksi pemohon yang pertama sedangkan saksi pemohon yang kedua hanya sebatas mengetahui informasi dari Pemohon tetapi saksi-saksi mengetahui jika Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah saksi-saksi juga telah berusaha menyarankan Pemohon dengan Termohon tetapi tidak berhasil bahkan saksi-saksi- juga tidak sanggup lagi untuk merukunkan Pemohon dengan Termohon karena Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan ; Menimbang, bahwa Termohon juga telah mengajukan bukti yang diberi kode T2, T3, T4 dan T5, yang bukti tersebut merupakan bukti yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya telah bermateraikan cukup dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai dan Pemohon juga mengakui dan membenarkannya terhadap bukti tersebut; Menimbang, bahwa karena bukti T2, T3, T4 dan T5 tersebut merupakan bukti yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya maka Majelis Hakim dapat menerima bukti tersebut sehingganya dapat dijadikan bukti dalam perkara ini kecuali T3 itu hanya merupakan
kwitansi pembayaran saja dengan demikian terbukti bahwa
Termohon pernah melaporkan adanya
tindak kekerasan yang dilakukan oleh Pemohon
kepada Termohon;
Halaman 13 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Menimbang, bahwa Termohon juga telah telah menghadirkan saksi keluarga dari Termohon yaitu ayah dan ibunya yang keterangannya sebagaimana dalam duduk perkara ini saling bersesuaian bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah tidak harmonis lagi karena antara Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah bahkan adanya tindak kekerasan oleh Pemohon terhadap Termohon dan telah pula dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan saksi-saksi juga telah berusaha merukunkan dan mendamaikan Pemohon dengan Termohon tetapi tidak berhasil, saksi-saksi juga tidak sanggup lagi untuk merukunkan Pemohon dengan Termohon karena Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali; Menimbang, bahwa saksi-saksi keluarga dan orang dekat dari Pemohon dan Termohon tersebut di dengar kesaksiannya adalah untuk memenuhi maksud pasal 22 PP Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 134 Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa karena keterangan saksi-saksi menguatkan dalil Permohonan Pemohon berikut pengakuan Termohon maka terhadap saksi tersebut Majelis Hakim dapat menerima keterangannya sehingganya dapat dijadikan bukti dalam perkara ini dengan demikian terbukti bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah tidak harmonis lagi karena antara Pemohon dengan Termohon sering bertengkar bahkan telah berpisah rumah ; Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap surat
permohonan
Pemohon berikut repliknya dan jawaban Termohon berikut dupliknya serta bukti-bukti yang diajukan
oleh Pemohon dan Termohon maka Majelis Hakim menemukan fakta
sebagai berikut;
Bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri ;
Bahwa Pemohon dengan Termohon sering berselisih dan bertengkar dari
bulan
Desember 2004 ;
Bahwa Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah dari Desember 2008;
Bahwa pernah ada tindakan kekerasan oleh Pemohon kepada Termohon;
Bahwa saksi-saksi tidak sanggup lagi untu merukunkan Pemohon dengan Termohon ;
Bahwa Pemohon dengan Termohon sulit untuk dirukunkan kembali ; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka telah terbukti antara
Pemohon dan Termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus dari bulan Desember 2004 bahkan
Pemohon dengan Termohon berpisah rumah dari
bulan Desember 2008 dan Pemohon juga telah melakukan tindak kekerasan terhadap
Halaman 14 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Termohon sehingganya tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangganya; Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan antara Pemohon dan Termohon dalam membina rumah tangga sudah tidak harmonis sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana maksud dari Al Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1 Tahun 1991); Menimbang, bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; Menimbang, bahwa ikatan batin menurut penjelasan pasal tersebut merupakan unsur yang penting dalam suatu perkawinan, apabila ikatan batin sudah tidak ada lagi, maka perkawinan tersebut sudah tidak utuh lagi, sehingga mempertahankan perkawinan tersebut merupakan hal yang sia-sia dan tidak akan bermanfaat bagi kedua belah pihak; Menimbang, bahwa adanya kehendak yang kuat dari Pemohon untuk bercerai dari Termohon
dan Termohonpun tidak keberatan terhadap permohonan cerai dari
Pemohon dalam perkara a quo sudah merupakan petunjuk bahwa antara Pemohon dan Termohon sudah tidak terdapat ikatan batin lagi; Menimbang, bahwa dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis Hakim berpendapat ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon tidak utuh lagi (broken Marriage)
yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut
di atas, tanpa
mempersoalkan siapa yang salah sehingga antara Pemohon dan Termohon sulit untuk dapat dirukunkan kembali untuk membina rumah tangga bersama sehingga
permohonan
Pemohon telah memenuhi maksud Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta penjelasannya Jis pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2004, Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian permohonan Pemohon untuk bercerai dari Termohon cukup beralasan dan tidak melawan hukum; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-petimbangan tersebut di atas cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan Pemohon dengan memberi izin kepada Pemohon terhadap Termohon
( NAMA PEMOHON
) untuk menjatuhkan talak satu raj’i
( NAMA TERMOHON ) di depan sidang Pengadilan Agama
Depok ; Menimbang, bahwa sebagai akibat dari pada perceraian Pemohon akan memberikan kepada Termohon berupa nafkah iddah kepada Termohon setiap harinya sebanyak Rp Halaman 15 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
50.000,- ( lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah setiap bulannya sebanyak Rp 1.500.000,- ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an; Menimbang, bahwa
terhadap hal tersebut Termohon memberikan jawabannya
secara lisan yaitu tidak menerima pemberian nafkah iddah tersebut dan Termohon minta kepada Pemohon untuk memberikan nafkah iddahnya setiap hari sebanyak Rp.200.000,(dua ratus ribu rupiah )
tetapi Termohon menerima mut’ah yang akan diberikan oleh
Pemohon tersebut oleh karenanya Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut ; Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 149 Kompilasi hukum Islam bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib; a.
Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda;
b.
Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama
dalam
iddah; Menimbang, bahwa Pemohon akan memberikan mut’ah kepada Termohon berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an dan Termohonpun menerima terhadap kesanggupan dari Pemohon tersebut, dengan diterimanya kesanggupan dari Pemohon tersebut oleh Termohon maka Majelis Hakim menghukum Pemohon untuk memberikan mut’ah kepada Termohon berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa sesuai dengan maksud pasal 153 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, jika perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari ; Menimbang, bahwa karena Pemohon akan memberikan nafkah iddah terhadap Termohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah sebulannya sebanyak Rp 1.500.000,- ( satu juta lima
ratus ribu rupiah)
namun
Termohonpun tidak menerimanya dan minta agar Pemohon memberikan nafkah iddah setiap harinya sebanyak Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah ); Menimbang, bahwa Pemohon dengan Termohon sama-sama tidak membuktikan tentang penghasilan Pemohon
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk
mengeluarkannya tetapi berdasarkan keterangan saksi-saksi baik dari Pemohon maupun dari Termohon menerangkan bahwa saksi-saksi tidak mengetahui di mana Pemohon bekerja dan berapa gajinya; Menimbang, bahwa dengan memperhatikan kesanggupan dari Pemohon yang akan memberikan nafkah iddah setiap harinya kepada Termohon sebanyak Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian
Halaman 16 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
Pemohon tersebut cukup layak oleh karenanya Majelis Hakim mengabulkan sesuai dengan kesanggupan dari Pemohon tersebut; Menimbang, bahwa karena nafkah iddah sesuai dengan kesanggupan dari pemohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah ) dikali sebulan sehingga berjumlah Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) tentunya harus dikali 3 (tiga) bulan sesuai dengan pasal 153 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam seluruhnya selama masa iddah sebanyak
sehingga
jumlah
Rp. 4.500.000,- ( empat juta lima ratus ribu
rupiah) yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa Pemohon juga mohon agar anak –anak Pemohon dengan Termohon yang bernama : 1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal TANGGAL; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal TANGGAL ; Mohon supaya ditetapkan hak asuhnya pada Pemohon dengan alasan anak-anak tersebut sekarang bersama dengan Pemohon; Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Termohon juga memberikan jawabannya secara lisan yaitu mohon agar anak-anak Pemohon dengan Termohon supaya ditetapkan hak asuhnya ada pada Termohon mengingat anak-anak masih di bawah umur yang masih memerlukan kasih sayang ibunya meskipun selama ini Termohon masih suka bertemu dengan anak-anak dan Pemohon juga tidak mempersulit untuk bertemu dengan anak-anak tersebut; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalilnya bahwa Pemohon dengan Termohon mempunyai anak 2 (dua) orang sebagaimana tersebut, Pemohon mengajukan bukti tertulis berupa P2 dan P3; Menimbang, bahwa terhadap bukti
P2 dan P3 tersebut Majelis Hakim dapat
menerima bukti tersebut karena bukti tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya dan telah bermateraikan cukup dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai dan Termohon juga mengakui dan membenarkannya; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2 dan P3 tersebut terbukti bahwa Pemohon dengan Termohon mempunyai anak 2 (dua) orang yang bernama : 1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005; Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon kecuali ayah Termohon menerangkan bahwa Pemohon sayang, perhatian, sanggup untuk merawat dan memelihara anak-anaknya ; Menimbang, bahwa setelahnya memperhatikan usia anak-anak Pemohon dengan Termohon tersebut yang masih di bawah umur dan Pemohon juga menghendaki agar hak
Halaman 17 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
asuk anak ditetapkan pada Pemohon bahkan Termohon juga sebagai ibunya mohon agar anak ditetapkan hak asunya pada Termohon; Menimbang, bahwa sesuai dengan pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; Menimbang, bahwa karena anak-anak Pemohon dan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon
maka sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110
K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadlanah ( pemeliharaan anak ) adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut telah cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Pemohon dengan menetapkan anak yang bernama ; 1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005; berada di bawah hadlanah Pemohon
yang amarnya akan disebutkan dalam amar
putusan ini; Menimbang, bahwa meskipun anak Pemohon dengan Termohon
hak asuhnya
ditetapkan pada Pemohon tetapi Majelis Hakim melarang Pemohon untuk mempersulit jika Termohon akan atau ingin bertemu, menyalurkan kasih sayangnya, membawanya berlibur anak tersebut dan mengembalikannya kepada Pemohon dengan catatan tidak mengganggu kesehatan dan pendidikannya tetapi harus seizin Pemohon ; Menimbang, bahwa karena perkara ini dalam bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 (1) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 dan telah diubah pula dengan Undang-Undang Nomor : 50 tahun 2009 segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon; Memperhatikan segala pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta hukum syara’ berhubungan dengan perkara ini ;
MENGADILI
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Halaman 18 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
2.
Memberikan izin kepada Pemohon ( NAMA PEMOHON talak satu raj’i
terhadap Termohon
) untuk menjatuhkan
( NAMA TERMOHON ) di depan sidang
Pengadilan Agama Depok; 3.
Menghukum Pemohon untuk membayar atau memberikan kepada Termohon berupa; 3.1. Mut’ah seperangkat alat shalat dan Al-qur’an; 3.2. Nafkah selama masa iddah seluruhnya berjumlah Rp.4.500.000,-
(
empat juta lima ratus ribu rupiah); 4.
Menetapkan anak yang bernama : 4.1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 4.2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005; berada di bawah hadlanah Pemohon ;
5.
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 171.000,- ( seratus tujuh puluh satu ribu rupiah )
Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok pada hari Kamis tanggal
05 Mei
2011 M. bertepatan dengan
tanggal 01 Jumadil Akhir 1432 H. oleh Drs. AGUS ABDULAH, M.H., sebagai Ketua Majelis, Hj. SUCIATI S.H., dan Dra. Hj. ROGAYAH masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari itu juga dibacakan oleh Ketua Majelis tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh Drs. H. ASOP RIDWAN, M.H., sebagai Panitera yang dihadiri oleh Pemohon dan Termohon.
HAKIM-HAKIM ANGGOTA
KETUA MAJELIS
Ttd
Hj. SUCIATI, S.H.
ttd
Drs. AGUS ABDULAH, M.H.
ttd
Dra. Hj. ROGAYAH
PANITERA Halaman 19 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk
ttd
Drs. H. ASOP RIDWAN, M.H. Perincian biaya perkara : 1. Pendaftaran
Rp. 30.000,-
2. Proses
Rp. 30.000,-
3. Panggilan Pemohon
Rp. 50.000,-
4. Panggilan Termohon
Rp. 50.000,-
5. Redaksi
Rp.
5.000,-
6. Materai
Rp.
6.000,+
Jumlah
Rp. 171.000,-
Putusan ini telah di anonimasi Panitera Pengadilan Agama Depok
Drs Entoh Abd Fatah
Halaman 20 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk