MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN JALAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh MOH FAHMI BAHARUDIN NIM.1111048000062
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILM U HUK UM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
ii
iii
ABSTRAK
Moh Fahmi Baharudin. NIM 1111048000062. MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN JALAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya) Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 93 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang apakah pengadaan tanah dan konsinyasi terhadap pembangunan untuk kepentingan umum dan faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan pemerintah dalam hal tata cara ganti kerugian dan konsinyasi tanah menurut Undang-Undang yang berlaku. Latar belakang skripsi ini adalah pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya dimana pemerintah Tangerang Selatan mengadakan pembangunann yang dikarenakan Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sudah tidak dapat menampung volume kendaraan yang pada saat jam pergi dan pulang kerja bisa menyebabkan macet hingga berjam-jam. Untuk itu pemerintah Kota Tangerang selatan perlu untuk membebaskan lahan untuk sebagai tempat pembangunan jalan tersebut. Dengan adanya pembebasan lahan ini maka perlu diadakan musyawarah dengan masyarakat yang bertujuan untuk mensosialisasikan harga penawaran tanah. Kegiatan konsinyasi juga harus ditempuh untuk mempercepat kegiatan pengadaan lahan ini mengingat bahwa anggaran belanja daerah harus cepat dikeluarkan guna mengejar target anggaran pendapatan dan belanja daerah Kota Tangerang Selatan. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan nonhukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadaan tanah oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan sudah memenuhi ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2014 dalam hal kegiatan sosialisai, musyawarah dan kegiatan ganti rugi dengan pelepasan hak atas tanah oleh pemilik hak tanah. Kegiatan konsinyasi ganti rugi tanah juga dilakukan dengan baik dan sesuai aturan yang dimana konsinyasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk beberapa bidang yang masih menjadi sengketa oleh pemiliknya dan juga ada pemilik tanah yang sudah meninggal dan tidak diketahui ahli wasirnya. Kata Kunci
: Pengadaan Tanah, Konsinyasi, Kepentingan Umum
Pembimbing
: 1. H. M. Yasir, SH., MH., 2. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM.
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 s.d. Tahun 2015.
iv
KATA PENGANTAR
ِ ِب ْس ِم ه الر ِحيْم َّ الر ْح َم ِن َّ ّللا Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, dan Drs Abu Thamrin SH, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Bapak H. M. Yasir, SH., MH. Dan Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH, MH, MM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu ilmu kepada Penulis serta dengan sabar dalam membimbing dan mangarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan
v
4. Bapak Ahmad Bahtiar M.Hum. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan, cerita dan nasihatnya selama Penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Utama dan Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Setiawan Budiman dan Ibunda Ucu Samawiyah, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberi motivasi,
baik
moril
maupun
materiil
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Nandha Almira Rizky sebagai teman hidup disaat suka dan duka yang telah menemani hidup penulis, yang terus memberi semangat dan menghibur, walaupun saat ini sedang berada di benua seberang sana. Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan kepada penulis. 9. Teman – teman Ilmu Hukum angkatan 2011 terutama TIM HORE yakni Ahmad Haidar Muiny, Ahmad Ulama, Rian Rizky Setiawan yang sering membuat kekacauan, keisengan, kesenangan dan “gak jelas” yang mungkin akan terus diingat. 10. Teman – Teman KKN DHA yang selama sebulan bersama. 11. Pedagang Kuliner di Koperasi Mahasiswa SC, Abang Somay, Abang Mie Ayam, Ibu Ketoprak & Gado – Gado terima kasih sudah menghibur penulis
vi
disaat penulisan skripsi ini dan menyediakan makanan dikala lapar melanda. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca. Tangerang Selatan: 01 Oktober 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………….........………......... i LEMBAR PENGESAHAN……………………….........………..................... ii LEMBAR PERNYATAA.…………………….........………........................ iii ABSTRAK…...……………….........………................................................... iv KATA PENGANT.……………………….........………................................. v DAFTAR ISI……......………………….........………........................................viii BAB I. Pendahuluan A.
Latar Belakang Masalah……………………….........………
1
B.
Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah,……...........
8
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ….…………..…...………..........
10
D.
Review (Kajian) Studi Terdahulu.........................………. ..........
12
E.
Kerangka Konseptual..................................................................... 13
F.
Metode Penelitian.............…………………...........................
14
G.
Metode Analisis Data....................................................................
18
H.
Metode Penulisan..........................................................................
19
I.
Sistematika Penulisan. .......................…...……………….......
19
BAB II. Tinjauan Pustaka A. Pengertian Pengadaan Tanah..............................................................
21
B. Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah..........................
29
C. Hak Atas Tanah.................................................................................... 29 D. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum.............
41
E. Bentuk dan Jenis Ganti Kerugian......................................................
45
BAB III. Kebijakan Pengadaan Tanah dan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif Serta Kebijakan Pengadaan Tanah Ditinjau dari Aspek Hukum Islam viii
A. Kebijakan Pengadaan Tanah Menurut Hukum Positif 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah.......46 2. Kepres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ....................47 3. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... .......48 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012................................. .............50 B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif 1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.......................................
52
2. Kepres No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... ..................53 3. Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.... ...............54 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012................................. .............55 C. Prinsip Pengadaan tanah ditinjau dari perspektif hukum Islam. .............56 1. Sistem Pertanahan dalam Islam........................................................... 56 2. Sejarah Hukum Pertanahan Islam....................................................... 57 3. Prinsip Pengadaan tanah dan ganti kerugian ditinjau dari perspektif hukum Islam........................................................................................ 61 BAB IV.
ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kebijakan Pelebaran Jalan Raya Ciater Rawa Mekar Jaya.................................................................................... 69 B. Mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014..................................................................................... 72 C. Prosedur pengadaan tanah dalam Pembangunan pelebaran jalan CiaterRawa Mekar Jaya sudah sesuai dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014.................................. 78
ix
D. Pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat...................................................................... 88 E. Analisa Penulis mengenai Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya...................................................... 90 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................
92
B. Saran....................................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 95
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap makhluk hidup. Manusia, hewan, tumbuhan membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal dan berpijak. Bagi manusia tanah juga berfungsi sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha pertanian dan perkebunan, berdagang serta sebagai tempat pemakaman saat manusia meninggal dunia. Saat ini kompleksnya kebutuhan manusia menyebabkan semakin kompleks pula aktivitas yang berkembang di masyarakat. Tanah menjadi suatu objek penggerak ekonomi bagi manusia maupun negara yang pengunaannya tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum, sekaligus memiliki fungsi untuk mewujudkan kemanfaatan bersama. Permasalahannya, jumlah tanah yang ada tidak seimbang dengan besarnya kebutuhan masyarakat untuk melakukan pembangunan demi terlaksananya berbagai aktivitas. Kondisi ini yang menjadi ironi, karena di satu sisi tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya tapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya.1 Kondisi ini diperparah karena tanah memiliki sifat permanen, yang artinya tidak dapat bertambah bahkan cenderung berkurang 1
Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, (Yogyakarta : Liberty, 1983), h. 16.
1
2
akibat kenaikan air laut yang disebabkan pemanasan global. Kondisi ini yang menyebabkan stagnansi jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan masalah pembangunan.2 Dengan meningkatnya aktivitas manusia maka dipastikan kebutuhan akan transportasi sebagai penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain akan terus meningkat. Dengan meningkatnya kebutuhan akan transportasi ini maka kebutuhan akan tanah sebagai tempat pijakan alat transportasi akan terus meningkat dan meningkat setiap waktunya. Tanah yang menyangkut hak orang banyak adalah prioritas yang paling dasar atau dipentingkan. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Fungsi sosial ini menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Adanya keseimbangan antara kedua kepentingan tersebut diharapkan dapat tercapai keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.3 Hal tersebut yang kemudian menjadi justifikasi untuk melakukan pengadaan tanah, dalam konteks memprioritaskan kepentingan umum di atas
2
Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Rajawali Press, 1991),
3
Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,(Bandung : Alumni, 1984), h.
h. 55. 21.
3
kepentingan perseorangan sehubungan dengan penggunaan tanah. Pada prinsipnya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.4 Dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah membentuk suatu mekanisme pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang selanjutnya diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012. Undang-undang tersebut mengatur bahwa demi kepentingan umum,tanah perlu dibebaskan dari hak perseorangan yang membebaninya melalui serangkaian prosedur dan berujung pada pemberian gantirugi bagi pihak pengemban hak atas tanah sebelumnya.Hal ini bersesuaian dengan semangat hukum pertanahan Indonesia yang menyatakan bahwa tanah harus memiliki fungsi sosial. Menurut Pasal 36 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: a. uang; b. tanah pengganti; c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
4
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas, 2008), h. 280.
4
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) di atur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hakhak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Dengan adanya perbedaan hak yang diberikan tentunya akan ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima sebagai penggantian bagi pemilik hak tersebut. Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat.5 Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum telah didasari oleh Undang Undang No 5 tahun 1960 : ”untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
5
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Edisi Satu, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 45-46.
5
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang” Tata cara pencabutan hak sebenarnya telah diatur dalam UU No 20 tahun 1961, tetapi hal tersebut jarang digunakan dan cara-cara yang digunakan saat ini adalah Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan yang diatur dengan Perpres No 36 tahun 2005 , kemudian diperbarui dengan Perpres No 65 tahun 2006 dengan Peraturan Kepala BPN No 3 tahun 2007. Yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang No.2 Tahun 2012. Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Undang-Undang No.2 Tahun 2012 yang merupakan penyempumaan dari Perpres No.65 Tahun 2006 yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan tersebut, melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.6 Menurut Pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 dikemukakan bahwa 6
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Edisi Kesatu Cetakan Kedua, h.225.
6
pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan konsultasi publik. Mekanisme musyawarah (konsultasi publik) yang menjadi sarana untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak mencapai kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan umum. para pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung apabila ada pihak yang keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri setempat.7 Setelah ada putusan dari Mahkamah Agung melalui panitia pengadaan tanah dapat menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri setempat melalui prosedur konsinyasi apabila ada pihak yang tetap keberatan terhadap putusan tersebut. Penulis mengambil studi tentang konsinyasi tanah ini karena terdapat banyak tempat tinggal ataupun toko yang menjadi tempat mencari nafkah dan mata pencaharian utama masyarakat sekitar. Dengan adanya rencana pembebasan tanah untuk kepentingan umum seperti pelebaran jalan, jalan tol, jalan layang, jembatan maupun yang lainnya membuat resah para pemilik lahan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik harus mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, hal ini dinyatakan dengan kerelaan untuk mengorbankan tanah mereka untuk pembangunan tersebut. Tetapi di sisi lain sebagai manusia biasa mereka juga membutuhkan tempat tinggal untuk 7
Pasal 38 Undang - Undang No.2 Tahun 2012.
7
berlindung dan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka dari itu seluruh warga yang memiliki hak atas tanah akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan hak miliknya. Terdapat beberapa kepentingan yang kelihatannya sangat bertentangan antara satu dengan yang lain dalam hal pengadaan tanah tersebut. Di satu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya dan di pihak lain masyarakat juga membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal serta mata pencaharian untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani maupun rohaniah. Ada beberapa pihak yang beranggapan kalau ada sebidang tanah yang sangat diperlukan untuk kepentingan pembangunan maka mau tidak mau masyrakat harus menyerahkan tanah miliknya untuk menjadi milik negara dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan di lain pihak para pemilik tanah juga mempunyai hak atas tanah miliknya tersebut. Pemerintah tidak dapat begitu saja atau dengan seenaknya membebaskan tanah tersebut tanpa ganti rugi. Meskipun diberikan ganti rugi tetapi besarnya tidak dapat juga dilakukan dengan keputusan sepihak dari pemerintah saja, kalau hal ini dilakukan maka pemerintah akan menginjak hak asasi dari warga negaranya sendiri. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul :
8
”MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN UNTUK JALAN UMUM". (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya) B. Identfikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Pembangunan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya menjadi salah satu prioritas di dalam Rencana Tata Ruang di Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Untuk itu terdapat beberapa aspek-aspek yang menjadi masalah dalam hal pembangunan pelebaran jalan raya Ciater – Rawa Mekar Jaya ini, beberapa aspek masalah tersebut adalah a.
Bagaimanakah rencana tata ruang yang ada di Kota Tangerang Selatan sebagai kota yang sedang dalam pembangunan menuju Kota Mandiri yang maju?
b.
Berapakah jumlah anggaran yang dipersiapkan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk melakukan pembangunan khususnya pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya?
c.
Bagaimana ketepatan prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya jika ditinjau dari Undang-Undang No.2 Tahun
9
2012? d.
Bagaimana pelaksanaan pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran ganti rugi bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat?
2. Batasan Masalah Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah dengan bertujuan untuk memfokuskan pada masalah utama yang akan diangkat sehingga didapatkan hasil yang maksimal dari tujuan awal perumusan. Penelitian ini memfokuskan pada tindakan pengambilalihan tanah yang dilakukan pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berkaitan dengan konsinyasi tanah kepada pengadilan negeri setempat untuk pembebasan lahan guna pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa mekar Jaya. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah digambarkan pada latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Bagaimana mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah yang
digunakan
untuk
Pembangunan
demi
Kepentingan
Umum
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014? b. Bagaimanakah prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater –
10
Rawa Mekar Jaya, sesuaikah dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014? c. Bagaimana pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi
bagi
masyarakat
yang
pembayaran
bidang
tanahnya
dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum b. Untuk mengetahui apakah prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sesuai dengan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012 j.o Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007 c. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan mekanisme ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat 2. Manfaat Penelitian Apabila tujuan penulisan ini tercapai, diharapkan hasil penulisan ini akan
11
membawa manfaat atau kontribusi : a. Manfaat Teoritis 1) Sebagai bagian dari perkembangan kajian-kajian yang digunakan dalam permasalahan hukum, khususnya hukum agraria dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan atas nama kepentingan umum. 2) Sebagai bahan pertimbangan dalam proses rencana pengadaan tanah yang akan digunakan pemetintah untuk pembangunan atas nama kepentingan umum. b. Manfaat Praktis 1) Bagi pembaca, memberi wawasan atau pengetahuan dari penulis mengenai hal-hal yang terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan (kepentingan umum). Pada sisi lain, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi di bidang hukum agraria bagi mereka yang sedang dan akan menempuh mata kuliah hukum agraria khususnya pengadaan tanah guna pembangunan umum 2) Bagi Pemda atau Instansi terkait, memberikan referensi bagi rencana pengadaan tanah untuk pembangunan. Selain itu juga memberikan gambaran tentang apa yang diinginkan masyarakat dari proses pengadaan tanah tersebut, agar nantinya tidak terjadi salah
12
pengertian dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. D. Riview (Kajian) Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian
materi yang akan
dibahas yakni Skripsi yang disusun oleh Dwi Erga Seprizal dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, tahun 2007, dengan judul “Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Ganti Ruginya Terkait Dengan Rencana Pembangunan Jalan Lingkar Timur Kota Malang”. Penelitian ini difokuskan pada segala cara pengambil-alihan lahan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan jalan lingkar timur kota malang serta bagaimana mekanisme penggantian uang kepada masyarakat selaku pemilik lahan. Serta jurnal ilmiah yang disusun oleh Alan Guna Kusuma dari Fakultas Hukum Universitas Mataram, tahun 2013, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Terhadap Pencabutan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.” Jurnal Ilmiah ini difokuskan pada perlindungan hukum atas pencabutan hak atas tanah yang didasarkan pada Undang-Undang No 20 Tahun 1961. Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai tinjauan yuridis mengenai pengadaan tanah dan penulis juga mencari data dari
13
tinajuan hukum islam serta pelaksanaan konsinyasi penggantian tanah dilihat dari Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum. Penelitian yang diangkat oleh penulis bersifat normatif berdasarkan undang-undang yang berlaku, serta empiris yaitu mencari data – data di lapangan berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan. E. Kerangka Konseptual Cita-cita sebuah negara yang berkembang adalah terus dan terus tumbuh berkembang menjadi negara yang maju dan sejahtera. Pembangunan adalah salah satu wujud nyata dari perkembangan sebuah negara apakah negara tersebut berkembang maju atau justru sebaliknya menjadi negara yang semakin terpuruk. Pembangunan sendiri adalah suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus dalam rangka memperbaiki indikator sosial maupun ekonomi pada suatu wilayah dari waktu ke waktu. Dilihat dari hal-hal diatas negara Indonesia sebagai negara berkembang dituntut untuk secara terus menerus melakukan pembangunan untuk mewujudkan cita- cita menjadi sebuah negara maju, pembangunan ini terkadang memerlukan wilayah yang luas yang dapat bertabrakan dengan lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Maka dari itu konsep konsinyasi walaupun terasa cukup kejam, namun hingga saat ini konsep ini masih merupakan sebuah cara yang ampuh untuk menghindari tertundanya pembangunan yang dapat menghambat seluruh
14
mobilitas pada suatu daerah. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang terdapat pada skripsi yang diangkat oleh penulis ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati.8 2. Pendekatan yang dipakai Pendekatan yang dipakai oleh penulis yakni ada 3(tiga) jenis yakni : a. Pendekatan undang-undang (statute approach)Pendekatan perundangundangan digunakan untuk meneliti segala macam aturan baik konstitusi maupun undang-undang serta peraturan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan segala tindakan pengambilalihan tanah dan mekanisme konsinyasi oleh pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum. b. Pendekatan konsep (conceptual approach), digunakan
untuk
memahami
konsep-konsep
pendekatan konsep pembangunan
serta
pengambilalihan tanah oleh pemerintah sehingga didapatkan konsepkonsep yang jelas menghindari sifat ambiguitas dari sebuah peraturan yang ada. 8
h. 9.
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002)
15
c. Pendekatan
perbandingan
(comparative
approach).Pendekatan
perbandingan digunakan oleh penulis untuk membandingkan segala proses pengambil alihan tanah baik dalam undang-undang maupun dalam praktek dilapangan dengan bahan dan sumber penelitian 3. Bahan dan Sumber Penelitian Berdasarkan sumbernya, penulisan ini berdasarkan : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan PerundangUndangan, dalam penulisan bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai berikut : 1)
Undang-Udang Dasar 1945;
2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya.
4)
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti
Kerugian
Oleh
Pengadilan
Tinggi
Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Bendabenda Yang Ada Di Atasnya.
16
5)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
6)
Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.
7)
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
8)
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
9)
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 11) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres
17
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 12) Peraturan menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 13) Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum 14) Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi : 1). Buku-buku yang membahas tentang hukum agraria dan masalah pengadaan tanah untuk pembangunan. 2). Hasil karya ilmiah para sarjana tentang pengadaan/pembebasan tanah. 3). Hasil penelitian tentang pengadaan/pembebasan tanah. 4. Metode Pengumpulan Data a. Library Research
18
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan agraria dan kegiatan pengadaan tanah oleh pemerintah, proses dan sebab akibat dari kegiatan konsinyasi oleh pemerintah, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses konsinyasi pengadaan tanah, pendapat para ahli dan sarjana, jurnal, artikel dan berbagai berita dari sumber lainnya. b. Field Research Selain itu penulis juga menyajikan penelitian lapangan (field research), dengan cara, penulis langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan seperti dengan wawancara dan yang lainnya G. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa dengan interpretasi penulis menggunakan bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
19
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai hal – hal yang ada di dalam Peraturan yang berlaku dengan yang ada di lapangan. H. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. I.
Sistematika Penulisan : Untuk dapat memberikan gambaran yang komprehensip, maka penyusunan hasil
penelitian perlu dilakukan secara runtut dan sistematis sebagai berikut : Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan antara lain latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab kedua merupakan tinjauan pustaka umum mengenai teori-teori pembebasan lahan dan pengadaan lahan oleh pemerintah untuk kepentingan umum, Macam –
9
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, (Malang : Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.
20
macam hak atas tanah yang ada di negara Indonesia serta pengertian dan berbagai bentuk dan jenis ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada warga pemilik hak tanah. Bab ketiga merupakan tinjauan umum tentang kebijakan pengadaan tanah serta pencabutan hak tanah oleh pemerintah menurut Undang – Undang yang ada di Indonesia baik dari Peraturan Menteri Hingga Undang- Undang yang berlaku, serta tentang pengadaan tanah yang ditinjau dari hukum Islam. Bab keempat merupakan bab utama yang berisi tentang analisis tentang pengadaan tanah Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya. Analisis ini berisikan tentang jumlah warga yang terkena pengadaan tanah, harga pelepasan tanah yang diberikan sebagai ganti kerugian oleh pemerintah. Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalah yang telah diuraikan, serta saran dari penulis berkaitan dengan mekanisme konsinyasi atas tanah yang dibebaskan untuk Pembangunan atas nama Kepentingan Umum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pengadaan Tanah Tanah dan Pembangunan adalah dua unsur yang satu dengan lainnya berkaitan, dengan perkataan lain, tidak ada pembangunan tanpa tanah 1. Secara Istilah yang dimaksud Pengadaan tanah adalah mengadakan atau menyediakan tanah oleh pihak tertentu baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Menurut Imam Koeswahyono pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau adan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu.2 Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres 55 tahun 1993 yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.
1
B.F. Sihombing, Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia (Jakarta : Toko Gunung Agung, 2004), h. 46. 2 Imam Koeswahyono, Artikel, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, 2008, h. 1.
21
22
Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan pembaharuan dari Perpres Nomor 36 Tahun 2005 pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.3 Sedangkan menurut Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 dengan peraturan pelaksaan Perpress No.71 Tahun 2012 pengertian pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah yang layak dan adil kepada para pihak yang berhak atau juga dengan mekanisme pencabutan hak atas tanah. Secara umum dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang terdiri dari kepentingan umum, sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
1.
Definisi mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara jelas dan baku diketahui setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, sebelumnya tidak ada definisi secara jelas dan baku mengenai 3
Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
23
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut. Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat, selanjutnya dalam Pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan Pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah. Dengan demikian pembangunan untuk kepentingan umum tidak ditujukan untuk mencari untung.4 Hal tersebut selaras dengan pendapat Maria SW Soemardjono yaitu kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial: dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit.5 Menurut Oloan Sitorus kepentingan umum itu sendiri adalah kebutuhan, keperluan, dan kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas, namun menurut Oloan Sitorus sendiri bahwa pengertian tersebut masih terlalu umum dan tidak ada batasnya.6 John Selindeho mengungkapkan kepentingan umum sendiri adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas
4
AA. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1996), h. 291. 5 Maria SW Soemardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, ( Jakarta : Buku Kompas, 2005), h. 78. 6 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), h. 6.
24
atas dasar asas-asas pembangunan nasional ketahanan nasional serta wawasan nusantara.7 Menurut Adrian Sutedi Ada tiga prinsip yang dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :8 a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat
memiliki
jenis-jenis
kegiatan
kepentingan
umum
yang
membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara. b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah. c. Tidak mencari keuntungan Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat umum dan
7
John Selindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 1988), h. 40. 8 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 45.
25
harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemilik lahan memang seharusnya harus merelakan tanahnya dijadikan untuk kepentingan umum sebagaimana tertera di pasal 6 yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”9 dari pasal tersebut tertera secara jelas bahwa pemilik lahan juga harus sadar bahwa tanah yang dimiliki atau hak yang dimilikinya mempunyai fungsi sosial yang diperuntukkan untuk orang banyak. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi:10 a. Pertahanan dan keamanan nasional; b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
9 10
Pasal 6 Undang – Undang No.5 Tahun 1960. Pasal 10 Undang – Undang No 12 Tahun 2012
26
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum; k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. Cagar alam dan cagar budaya; 2.
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta sebenarnya dibagi menjadi 2 (dua) macam yakni pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dan kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum didalamnya. Kepentingan
swasta
murni
adalah
kepentingan
yang diperuntukan
memperoleh keuntungan semata, sehingga peruntukan dan kemanfaatannya hanya dapat diperoleh oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja bukan masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan, industri, pariwisata, dan peruntukan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pihak tertentu. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan saja. Sedangkan kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum adalah kepentingan yang diperuntukkan untuk memperoleh keuntungan untuk pihak-pihak tertentu didalamnya serta terdapat pula kepentingan yang diperuntukkan untuk orang banyak, seperti contohnya pembangunan jalan tol
27
atau jalan bebas hambatan, pembangunan bandar udara, pembangunan pelabuhan dan lain sebagainya. Didasarkan dari pengertian diatas maka Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, baik secara peruntukan dan kemanfaatan maupun tata cara perolehan tanahnya. Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 terdapat 2 (dua) cara pembebasan tanah untuk keperluan swasta yaitu secara langsung dan melalui Panitia Pembebasan Tanah. Namun sejak berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, hanya ada satu cara yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu dilakukan secara langsung atas dasar musyawarah dalam hal memberikan ganti kerugian, dimana bantuan dari Pemerintah hanya berupa pengawasan dan pengendalian, sebagaimana telah diberikan petunjuknya dalam Surat Edaran Kepala
Badan
Pertanahan
Nasional
tanggal
6
Desember
1990
No.580.2D.III11 Pengadaan tanah oleh pihak swasta murni harus berdasarkan kesepakatan dan bersifat sukarela antara kedua belah pihak dan tidak ada yang boleh merasa terpaksa dalam menjual lahan atau tanah miliknya. Pihak swasta juga tidak bisa menentukan harga seperti yang dilakukan oleh tim
11
Arie S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2003), h. 31.
28
penilai tanah pemerintah, dan pemilik lahan bebas untuk tidak menjual tanahnya dengan alasan apapun. Tentunya sangat berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimana pemilik lahan sedikit dipaksa dan harus menjual lahannya dengan dalih untuk kepentingan umum. B.
Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah Pelepasan hak atas tanah adalah suatu penyerahan kembali hak itu kepada Negara dengan sukarela.12 Perbuatan ini dapat bertujuan agar tanah tersebut diberikan kembali kepada suatu pihak tertentu dengan suatu hak tanah baru sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku. Sedangkan menurut Prof Boedi Harsono, SH, yang dimaksud dengan pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi yang berhak atau penguasa tanah itu.13 Pelepasan hak atas tanah dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak baik mengenai teknis pelaksanaannya maupun bentuk atau besar ganti rugi kalau si pemegang hak tidak bersedia melepaskan atau menyerahkan tanahnya maka pemerintah melalui musyawarah baik dengan instansi terkait serta
12
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 1988), h. 40. 13 Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1996), h. 89.
29
para pemilik tanah yang terkena proyek pembangunan pelebaran jalan umum dengan diberikan ganti rugi agar tanahnya dapat digunakan untuk proyek tersebut. Oleh karena itu dalam acara pelepasan hak dilihat dari para pemegang hak yaitu melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama diberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan harga dasar yang ditentukan pada tempat proyek pembangunan tersebut dilaksanakan. Namun untuk pembebasan hak atas tanah apabila dikaitkan dengan kepentingan umum para pemegang hak atas tanah dituntut kesadaran lain tidak hanya terdapat pertimbangan harga ganti rugi yang telah diberikan para pihak yang memerlukan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, karena maksud dan tujuan pelepasan hak atas tanah tersebut sekedar melihat dari pandangan kepentingan individu saja melainkan dihubungkan dengan kepentingan umum. Maka dari itu didilihat dari sudut pandang pelepasan hak atas tanah adalah hak dari pemilik kepada para pihak yang memerlukannya dengan dasar memberikan ganti rugi hak atas tanah yang diperlukan oleh para pihak yang membutuhkan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum. C. Hak Atas Tanah
30
Hak atas tanah adalah hak yang memberikan kewenangan kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.14 Dengan kata lain Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya atau pemilik hak atas tanah. Dalam pasal UUD 1945 serta pasal 2 ayat (1) UUPA berisi yakni “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”15 Berdasarkan ketentuan tersebut, Negara adalah pemilik dari seluruh yang ada didalam wilayah kekuasaannya dan berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam pasal 4 ayat (1) berisi : “Atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang orang lain serta badan-badan hukum”.
14
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229. 15 Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945
31
Sedangkan dalam ayat (2) dinyakatan bahwa : “Hak-hak atas tanah yang dimaksud
dalam
ayat
(1)
pasal
ini
memberikan
wewenang
untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi“. Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan negara menentukan hak atas tanah seperti diatur dalam pasal 16 ayat (1) UUPA , yaitu : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53. Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, diantaranya: Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara. Hak-hak atas tanah primer (orginair) yaitu hak atas
32
tanah yang langsung diberikan oleh Negara kepada subyek hak yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai16 a. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap. Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 16 yaitu : 1) Hak Milik (HM) Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik ini juga bersifat turun temurun yang artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia.17 Subjek dari Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia, dalam hal ini perorangan. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek untuk hak milik. (1) Ciri-Ciri Hak Milik Hak Milik pada dasarnya mempunyai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (a) Hak Milik dapat dijadikan hutang (b) Boleh digadaikan 16
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2. 17 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta, Rajawali,1991), h. 229.
33
(c) Hak Milik dapat dialihkan kepada orang lain (d) Hak Milik dapat dilepaskan dengan sukarela (2) Hapusnya Hak Milik Ketentuan Pasal 27 UUPA menyebutkan bahwa hak milik hapus apabila; (a) Tanahnya jatuh kepada Negara; (b) Pencabutan hak berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA. (c) Karena dengan penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. (d) Karena diterlantarakan (e) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) (f) Tanahnya musnah. Hak milik memang bersifat terkuat dan terpenuh, namun pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. Sifat demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Walaupun hak milik ini tersirat kata memiliki didalamnya namun tetap menurut Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik ini tetap saja memiliki fungsi sosial18 yang apabila sewaktu waktu diperlukan untuk kepentingan umum maka pemilik lahan seharusnya rela memberikan lahannya untuk kepentingan umum, namun tentu saja dengan nilai atau harga yang sesuai. 18
Pasal 6 Undang – Undang Pokok Agraria.
34
2) Hak Guna Usaha (HGU) Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan PP No.40 Tahun 199619 Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun seperti untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman berumur panjang20 dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya. Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.21 Hak Guna Usaha terbatas pada usaha pertanian, perikanan,peternakan. Namun walaupun tanah yang dipunyai dengan hak guna usaha tetapi boleh mendirikan bangunan diatasnya. Bangunan bangunan yang dihubungkan
19
Pasal 8 ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu. 21 Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu. 20
35
dengan usaha pertanian, perikanan, peternakan, tanpa memerlukan hak lain.
-
Hak Guna Usaha mempunyai ciri khusus yaitu; a) Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu hak guna usaha salah satu hak yang wajib didaftar. b) Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang empunya hak. c) Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti berakhir. d) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. e) Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat. f) Hak Guna Usaha dapat dilepaskan oleh pemiliknya, hingga tanahnya menjadi tanah Negara. h) Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Subjek Hak Guna Usaha
36
a) Hak Guna Usaha terjadi karena adanya penetapan pemerintah, subyek dari Hak Guna Usaha adalah siapa-siapa saja yang dapat diberikan Hak Guna Usaha dari pemerintah yakni;22 b) Warga Negara Indonesia. c) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. d) Hapusnya Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha dapat terhapus oleh beberapa faktor yaitu : (1) Jangka waktu berakhir. (2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. (3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. (4) Dicabut untuk kepentingan umum. (5) Tanahnya diterlantarkan. (6) Tanahnya musnah. (7) Karena ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUPA. 3) Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
22
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229.
37
paling lama 30 tahun.23 Dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang haknya dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan hapus karena; a) Jangka waktunya berakhir. b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. d) Dicabut untuk kepentingan Umum. e) Diterlantarkan. f) Tanahnya musnah. 4) Hak Pakai (HP) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
23
Pasal 35 ayat (1) Undang – Undang Pokok Agraria.
memberikannya atau
38
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.24 Subyek dari hak pakai adalah; a) Warga Negara Indonesia b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. c) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia. d) Badan-badan hukum yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hapusnya Hak Pakai UUPA pada dasarnya tidak memuat ketentuan khusus mengenai hapusnya hak pakai. Biarpun demikian dapat dikemukakan bahwa hapusnya hak tersebut jika;25 a)
Jangka waktu berakhir
b)
Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu yang harus dipenuhi oleh pemegang haknya yang bersangkutan dengan statusnya.
c)
Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
24
Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pokok Agraria. Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, h. 229. 25
39
d)
Dicabut untuk kepentingan umum.
e)
Tanahnya musnah.
Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. 5) Hak Sewa Pasal 44 UUPA menyebutkan bahwa;26 a)
Seorang atau suatu badan ahukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah
uang
sebagai sewa. b) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan; 1) Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu. 2) Sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. 3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh
disertai
syarat-syarat
yang
mengandung
unsur-unsur
pemerasan. Berdasarkan isi dari ketentuan Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hak sewa adalah hak yang member kewenangan kepada orang lain untuk
26
Pasal 44 Undang – Undang Pokok Agraria.
40
menggunakan tanahnya. Perbedaannya dengan hak pakai adalah dalam hak sewa penyewa harus membayar uang sewa. b. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara (Sekunder) Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain, atau dengan kata lain penggunaan suatu jenis hak-hak atas tanah yang bersumber dari hak milik, terdiri dari: Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi hasil, Hak Menumpang.27 Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut disebabkan karena hak tersebut bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA yaitu, “seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan, namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum dihapus”. Oleh karena itu yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara adalah : 1) Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama. 27
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2.
41
2) Hak Usaha Bagi Hasil Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah disetujui sebelumnya. 3) Hak Sewa Tanah Pertanian Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya. 4) Hak menumpang Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian. D. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum
42
Pengertian ganti kerugian tanah tidak banyak dijelaskan dalam UndangUndang maupun Peraturan Pemerintah dalam hal mengatur undang-undang itu sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 disebutkan bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Dari pengertian tersebut sebenarnya dijelaskan secara singkat bahwa memang seharusnya penggantian tanah yang dilakukan pemerintah harus dinilai layak oleh semua pihak. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menentukan dasar dan cara perhitungan ganti kerugian/harga tanah yang didasarkan kepada nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (selanjutnya disebut NJOP). Namun Perpres ini tidak memperhitungkan pemberian kompensasi untuk faktor nonfisik. Adapun perhitungan kompensasi faktor fisik sebagai berikut: 28 1.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas harga tanah yang didasarkan atas
NJOP
atau nilai
nyata
atau sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia dan dapat berpedoman pada variabel – variabel seperti lokasi dan letak tanah, Status tanah, Peruntukan tanah, Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, Sarana dan prasarana yang tersedia. 28
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166.
43
Faktor lain yang mempengaruhi harga tanah, nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.29 2. Dasar perhitungan ganti rugi, lembaga/tim penilai harga tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur. Kesulitan yang dihadapi dalam perhitungan ganti rugi oleh lembaga/tim penilai dan tim panitia pengadaan tanah pemerintah kota dan kabupaten adalah adanya perbedaan harga pasar dan harga yang telah ditetapkan dalam NJOP. Dalam berbagai kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil musyawarah antara tim panitia pengadaan tanah yang meminta harga lebih tinggi dari NJOP.30 Masalah ganti kerugian merupakan hal yang rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah. Penetapan ganti kerugian untuk tanah dianggap rumit karena di samping nilai nyata tanah yang didasarkan pada NJOP tahun terakhir, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah. Faktor-faktor tersebut adalah lokasi, jenis hak atas tanah, status penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, prasarana, fasilitas dan utilitas, lingkungan dan faktor-faktor lain. Sudah tentu pemegang hak harus sangat
29 30
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166. Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166.
44
berhati-hati dalam menyampaikan keinginan terhadap besarnya ganti kerugian terhadap tanahnya. Hal yang sama juga diutarakan oleh Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH yakni menurut beliau nilai tanah yang nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga umum bisa merupakan harga catut. Sebaliknya pula harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah. Sesungguhnya sering sekali masalah nilai ganti rugi ini merupakan masalah yang sangat kompleks sekali penyelesaiannya. Harga ganti rugi ini seyogyanya adalah harga yang sekiranya seperti terjadi jual beli biasa atas dasar komersil sehingga pencabutan hak tersebut bukan sebagai suatu ancaman dan pemilik bersedia menerima harga tersebut.31 Dalam setiap pengadaan tanah untuk pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas dari masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut merasakan bahwa korban penggusuran pada umumnya belum dapat menikmati makna keadilan sesuai dengan pengorbanannya. Dalam kenyataan ini sudah seharusnya perlu perhatian lebih dalam penerapan peraturan perundangan. Adrian Sutedi mengatakan bahwa begitu vitalnya ganti rugi, maka ganti rugi itu minimal harus sama dan senilai dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah yang akan digusur. Bila tidak senilai, namanya bukan ganti rugi, tetapi sekadar pemberian pengganti atas
31
A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar Maju, 2008), h. 52.
45
tanahnya yang tergusur. Prinsip dan tujuan UUPA harus dimaknai bahwa ditempuhnya prosedur penggusuran tidak berarti akan merendahkan nilai ganti rugi tanah, bangunan dan tanamannya serta benda-benda lain yang melekat pada bangunan dan tanah.32 E. Bentuk dan jenis ganti rugi Dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur mengenai bentuk ganti kerugian dapat diberikan berupa33 : 1. uang 2. tanah pengganti; 3. permukiman kembali; 4. kepemilikan saham; atau 5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud diatas baik terdiri dari satu jenis maupun gabungan dari beberapa jenis ganti kerugian, diberikan sesuai dengan nilai Ganti Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang telah disepakati bersama.
32
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 184 . 33 Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
BAB III Kebijakan Pengadaan dan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan A. Kebijakan Pengadaan Tanah Menurut Hukum Positif Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, tata cara pengadaan tanah diatur dalam beberapa peraturan yaitu : 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan - Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 1975 pengadaan tanah dikenal dengan pembebasan tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1) “Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”1 Permendagri tersebut juga mengatur tentang tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta. Dalam hal pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk
Panitia
Pembebasan
Tanah
(selanjutnya
disebut
PPT)
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedang untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus, pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut 1
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.
46
47
antara para pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki tanah. 2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dinyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli,tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.2 Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993, sedangkan
cara
kedua
dilakukan
untuk
pengadaan
tanah
yang
dilaksanakan selain untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres Nomor 55 tahun 1993, menyatakan bahwa: “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan PPT yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “Panitia Pengadaan Tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan 2
Pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
48
umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres Nomor 55 tahun 1993. 3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk
Kepentingan Umum Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan bahwa: “pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah”.3 Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa: “pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 3
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005.
49
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum
yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun
pemerintah daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini memperjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta. Setelah kurang lebih setahun berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, Perpres tersebut digantikan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, yang berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dinyatakan bahwa “pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
50
umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.4 Prinsip penghormatan hak atas tanah diartikan bahwa pemilik hak atas tanah yang diambil tanahnya, tingkat kehidupan ekonominya harus lebih baik dibandingkan sebelum ia melepaskan hak atas tanahnya.Karena pemilik hak atas tanah tersebut telah merelakan tanahnya untuk keperluan pembangunan, sehingga harus diberikan suatu penghormatan atas jasa pemilik hak atas tanah tersebut. 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundangundangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana. Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini:5“Pengadaan tanah
4 5
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012.
51
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam Undang Undang ini yang menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastian,
keterbukaan,
kesepakatan,
keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.6 Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
pengadaan
tanah
sebelumnya. Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata wajib ditegaskan pada undang undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum
6
Pasal 2 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012.
52
yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak. Sebagai lanjutan dari amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum maka pemerintah mengeluarkan Perpres No. 71 Tahun
2012
tentang
Penyelenggaraan
Pengadaan
Tanah
Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada Perpres ini setiap instansi yang memerlukan lahan untuk kepentingan umum diberi waktu untuk menyelesaikannya maksimal 583 hari. B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, konsinyasi diatur dalam beberapa peraturan yaitu : 1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Dalam garis besar Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. Beberapa ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut:7 a) Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan : “jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya
7
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), Hal. 57.
53
kepada penagdilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.” Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, konsinyasi ini berbeda dengan yang diatur dalam peraturan lain yang dimana dalam hal kegiatan konsinyasi ini dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak misalnya seperti hutang piutang. 2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres No.55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa “Dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah”.8 Dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tidak disebutkan kegiatan konsinyasi yang diakibatkan oleh penolakan pemilik lahan. Konsinyasi 8
Pasal 17 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
54
yang dikenal di dalam Keppres No.55 Tahun 1993 hanyalah untuk keperluan penyampaian ganti rugi yang telah disepakati, akan tetapi orang yang bersangkutan tidak diketemukan9 3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk
Kepentingan Umum Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit perbedaan dalam tata cara konsinyasi tanah untuk kepentingan umum, Menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dinyatakan dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang telah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini terjadi perubahan yang sangat besar dalam hal pengadaan tanah. Pemerintah dapat menitipkan uang kepada pengadilan apabila jalan musyawarah tidak menemukan hasil dalam artian pemilik lahan tetap menolak penawaran harga yang ditentukan
9
oleh
pemerintah.
Namun
ada
dampak
negatif
dari
Abdulrrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, (Bandung : Citra Aitya Bakti, 1994), h. 66.
55
ditetapkannya Peraturan Presiden tersebut yakni pemerintah menjadi seperti sewenang-wenang dalam hal menentukan pengadaan tanah padahal alternatif terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan pengajuan permohonan pencabutan hak atas tanah berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961, dan bukannya dengan mengkonsinyasikan uang ganti rugi ke pengadilan negeri dan menganggap kewajibannya dalam pengadaan lahan sudah selesai, dan dengan serta merta melakukan pembangunan di lahan tersebut. 4. Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Dengan berlakunya Undang-Undang No.2 Tahun 2012 mekanisme konsinyasi kembali diberi tambahan seperti dinyatakan dalam Undan Undang ini yakni “Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat”.10 Dalam Pasak 42 ayat (1) dinyatakan “Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap: a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian: 10
Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
56
1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2. masih dipersengketakan kepemilikannya; 3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau 4. menjadi jaminan di bank. Berdasarkan materi undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa konsinyasi akibat penolakan dari pemilik tanah hanya dapat dilakukan apabila telah menempuh jalur hukum. Apabila pemilik tanah keberatan maka pemilik dapat mengajukan gugatan hingga ke Mahkamah Agung. Dan setelah mendapat pengesahan baik dari pengadilan ataupun dari Mahkamah Agung maka konsinyasi tanah baru bisa dilaksanakan. C. Kebijakan Pengadaan Tanah ditinjau dari Aspek Hukum Islam 1. Sistem Pertanahan dalam Islam Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi‟) tanah.11 Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt:
ِ ض َۖوإِلَى ه ِ َو ِ ه صير ِ س َم َاوا َلِل ُم ْلكُ ال ه ِ ت َو ْاْل َ ْر ِ َّللا ْال َم
11
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukuam Islam, (Yogyakarta : Gama Media , 2008). h. 39.
57
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk). (Q.S an-Nur ayat 42) 2. Sejarah Hukum Pertanahan Islam Perkembangan
Undang-undang
pertanahan
Islam
tidak
banyak
dijelaskan secara tersurat baik menurut dalil qur‟an serta hadist-hadist rasul SAW.
Syariah Islam tidak mempunyai satu teori yang lengkap yang
berhubungan dengan sistem pertanahan atau Undang-undang pertanahan, tetapi melalui gabungan beberapa Undang-undang seperti kontrak, peraturanperaturan yang berhubungan dengan pengambilan balik harta, peraturan pajak tanah dan hasil tanah, peraturan penaklukan, pembagian harta rampasan perang dan lain-lain.12 Hukum pertanahan Islam secara ringkas dapat dilihat pada praktekpraktek yang dilaksanakan pada zaman nabi baik oleh Rasulullah SAW maupun para sahabatnya serta generasi penerus beliau dalam pemerintahan mereka masing-masing. Pada zaman Rasulullah SAW tidak banyak timbul persoalan-persoalan yang berhubungan dengan harta dan tanah, kecuali yang berkaitan dengan harta-harta rampasan perang
12
yaitu tanah-tanah orang
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, Tesis Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2002, h. 48-49.
58
Yahudi di sekitar Madinah. Hal ini disebabkan lahan-lahan pertanian di Semenanjung Tanah Arab yang terlalu sedikit.13 Pada sejarahnya Dalam hukum Islam ada beberapa macam tanah yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan umat Islam. Dua macam tanah tersebut yakni: (1) Tanah hak milik orang-orang Islam; (2) Tanah negara; (3) Tanah bebas; (4) Tanah taklukan; (5) Tanah kontrak, dan (6) Tanah gundul.14 a. Tanah Hak Milik Orang-Orang Islam Kebijakan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin memperkenankan pemilikan tanah secara pribadi bagi orang-orang Islam. Negara menjamin hak milik mereka, sepanjang mereka memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim. Tanah milik orang-orang muslim ini hanya dikenakan „ushr, yaitu zakat atas hasil pertanian (jika tanah ini digunakan untuk pertanian). b. Tanah Negara Jenis tanah yang dikuasai oleh negara pada saat itu dapat dikategorikan menjadi:
13
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, h.49-50. Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY ARIAH%2520ISLAM.pdf. 14
59
1) Tanah tandus, yaitu tanah tidak memiliki kesuburan sehingga tidak menarik orang untuk memanfaatkannya. 2) Tanah yang tidak terpakai, yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena sesuatu hal, misalnya kesulitan pengairan. 3) Tanah yang berasal dari daerah taklukan, dapat berupa tanah yang pemiliknya gugur di medan perang atau melarikan diri, tanah negara tersebut yang tidak digunakan, tanah di sekitar danau, sungai, atau hutan,
dan
lain-lain.
Tanah-tanah
negara
digunakan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karenanya banyak diberikan kepada masyarakat. c. Tanah Bebas Yang dimaksud dengan tanah bebas adalah tanah dan segala sesuatu yang ada bukan karena usaha seseorang dan digunakan secara bersama oleh masyarakat. Jadi, tanah ini merupakan barang publik (public goods), sehingga tidak seorangpun secara pribadi diperkenankan memiliki tanahtanah ini.
15
Contohnya adalah tanah himaa, yaitu tanah yang sengaja tidak
dihuni dan ditanami rerumputan sebagai ladang makanan ternak bagi seluruh masyarakat. Contoh lainnya adalah hutan, tanah yang memiliki
15
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY ARIAH%2520ISLAM.pdf.
60
tambang garam, air, barang barang tambang lainnya yang sangat melimpah dan dibutuhkan oleh semua orang. d. Tanah Taklukan Seiring dengan meluasnya negara Islam maka semakin banyak pula tanah yang dikuasainya, baik yang dikuasai melalui peperangan (ghanimah) maupun tidak melalui peperangan (fa‟i). Pemerintahan Islam tetap memperlakukan tanah yang berada di daerah taklukan ini secara adil dan proporsional, sebab pada dasarnya tanah adalah milik Allah dan RasulNya. Tanah taklukan biasanya akan dibagikan kepada : 1) Orang-orang yang ikut berperang menaklukan daerah tersebut. Jadi, jika suatu daerah tidak ditaklukan dengan peperangan maka tidak ada bagian tanah yang diberikan kepada tentara. 2) Penduduk asli daerah taklukan. 3) Orang-orang miskin yang tidak memiliki mata pencaharian. e. Tanah Kontrak, Tanah kontrak yaitu tanah-tanah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kewajiban mereka memberikan suatu besaran atau nilai tertentu kepada pemerintah. Jadi, yang dimaksudkan kontrak di sini
61
adalah kontrak antara masyarakat dengan pemerintah.16Kontrak harus dilakukan dengan adil sebagaimana kesepakatan yang dibuat keduanya. f. Tanah Gundul Tanah gundul yaitu tanah yang karena ketandusannya (gundul) maka menjadi
tidak
diminati
masyarakat
pada
umumnya.
Pada
masa
kekhalifahan, terdapat beberapa cara pengoptimalan tanah tandus ini, yaitu: 1) Negara mengolah sendiri tanah tersebut dengan pembiayaan dari dana negara. Negara membayar para tenaga kerja dan biaya pengolahan lainnya, sehingga juga berhak atas hasil sepenuhnya. 2) Memberikan hak pengolahan sepenuhnya kepada masyarakat, tetapi bukan hak kepemilikan. 3) Memberikan hak kepemilikan sepenuhnya kepada masyarakat.17
3. Prinsip Pengadaan tanah dan ganti kerugian ditinjau dari perspektif hukum Islam Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengajarkan bahwa setiap hal harus mengutamakan mashlahat dan menjauhi segala mudharat. Dalam hal pengadaan tanah dalam Islam harus mengutamakan kemashlahatan kedua
16
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY ARIAH%2520ISLAM.pdf. 17 Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY ARIAH%2520ISLAM.pdf.
62
belah pihak yang terlibat atas pengadaan tanah itu sendiri. Islam juga melarang para pihak yang menzhalimi pihak yang lainnya. Penguasa dalam hal ini pemerintah dilarang melakukan intimidasi maupun tekanan dan paksaan dalam bentuk apapun kepada pemilik lahan (rakyat). Dalam Islam Keberadaan penguasa/pemerintah tidak lain adalah untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya, betapapun kepentingan dan kemaslahatan ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan pandangan manusia terhadap suatu perbuatan atau sesuatu materi, yaitu apakah suatu perbuatan atau materi itu termasuk kemaslahatan atau kemudharatan. Islam telah menetapkan dalam banyak nash bahwa penguasa berkewajiban memelihara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang berasal dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya “Ingatlah Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan ditanya (bertanggung jawab) atas kepemimpinannya.”(HR. Muslim). Pemimpin dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab penuh atas kondisi rakyat termasuk hal-hal yang menyangkut dengan hak-hak rakyat. setiap tindakan atau kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanat penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia sebagai
63
petunjuk
dalam
kehidupan
mereka
serta
harus
memperhatikan
kemaslahatannya.18 Dalam hal pengadaan tanah, untuk memenuhi kemashlahatan untuk semua pihak, pemimpin dalam hal ini pemerintah harus mencari jalan terbaik sehingga tidak menciderai perasaan pemilik hak tanah tersebut dan menhindari tindakan sewenang-wenang yang merugikan pihak tertentu. Dalam Islam tidak membenarkan mencabut hak milik orang lain tanpa adanya kerelaan dari pemiliknya. Karena hak milik pribadidalam Islam benarbenar dihargai dan dihormati. Sehingga cara memperoleh hak milik dalam Islam diatur sedemikian rupa. Bila seseorang menginginkan hak milik setidaknya sesuai dengan hukum syara'. Seperti contoh jual beli, atau menawar harga yang sepadan. Ini sebagai bukti penghargaan dalam Islam terhadap hak milik. Seperti dalam hadits : Artinya : "Menceritakan kepadaku Ishaq menceritakan kepadaku Abdu Somad dia berkata : Saya mendengar dari Bapak Saya Abu Tiyah dia berkata : dari Anas ibn Malik r.a, "Ketika Rasulullah SAW tiba di Kota Madinah dan menyuruh membina Masjid, maka beliau bersabda : "Wahai bani Najjar, juallah kebun kalian ini padaku", kata mereka : "Demi Allah, kami tidak akan
18
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 124.
64
mengharapkan suatu imbalan apapun terkecuali hanya berharap dari Allah." (HR. Bukhori)19 Dalam hadits ini nabi memberi contoh, apabila kita menginginkan hak milik orang lain, maka harus dengan penawaran harga, atau dengan cara jual beli. Meskipun nabi membangun masjid itu dimaksudkan untuk kepentingan umum. Menurut Prof. Dr. TM. Hasby Ash-Shiddieqy mengenai masalah aqad, sebab kepemilikan dapat dibagi menjadi dua :20 a). Uqud Jabariyah, yaitu aqad yang dilakukan berdasarkan pada putusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Aqad ini disebut Tammaluk Jabary. b) Istimlak untuk maslahat umum, umpanya tanah - tanah yang ada disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid, harus dapat dimiliki oleh masjid dan harus menjualnya, ini dinamakan tamalluk bil jabary. Dalam Islam sudah diatur masalah ganti rugi. Dengan tidak melupakan prinsip bahwa apabila seseorang melakukan transaksi jual beli atau menawar harga, harus ada kerelaan diantara kedua belah pihak. Seperti dalam konsep hak milik itu sendiri bahwa seseorang tidak boleh memiliki hak orang lain tanpa adanya kerelaan atau ijin dari pemiliknya.
19
Imam Abi Abdillah Muhammad ibnu Ismail, Shahih Bukhori, Beirut Lebanon, Dar AlKutub Al-Ilmiah, Juz III, 1992, h. 267. 20 TM. Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 11.
65
Ganti rugi dalam Islam adalah harga rugi yang diberikan itu harus setidaknya setara dengan harga yang di jual. Dan dalam konsep jual beli juga terdapat hak suf'ah yaitu hak untuk membatalkan perjanjian itu. Dalam Islam seseorang tidak boleh memaksa atau menganiaya, seperti dalam hadits sebagai berikut : Artinya : "Said bin Zaid ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : siapa yang mengambil agak sejengkal tanah orang lain secara aniaya, maka tanah itu dipikul ke atasnya, oleh malaikat Allah pada hari kiamat dari tujuh bumi."21 Dan siapa saja
yang melakukan aniaya itu dianggap telah melakukan
perbuatan ghasab. Dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang penghasab adalah : a) Mengembalikan barang yang diambilnya dengan segera b) Mengganti
kerusakan
dengan
harga
yang
paling
mahal
sejak
menghasabnya dan harga dari rusaknya (yang termahal diantaranya) atau menggantinya dengan barang yang seimbang/ sepadan.22 Dalam undang-undang diatur bahwa kegiatan pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam Islam kegiatan musyawarah ini juga sering dilakukan terutama pada zaman Rasulullah SAW. Dalam suatu musyawarah setiap peserta saling mengemukakan pikiran, pendapat atau pertimbangan
21 22
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid VI, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, 677 H, h. 41. A. Rahman I Doi, Mu'amalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1996), h. 18.
66
kemudian
lahir
kesimpulan
bersama.
Apabila
suatu
musyawarah
menghasilkan kesimpulan bersama maka masing-masing peserta terikat dengan kesimpulan tersebut dan bertanggung jawab terhadap putusan tersebut baik moril dan formil.23 Musyawarah tersebut juga dilakukan harus sejalan dengan tujuan syari'at yaitu terpe1iharanya hak atau jaminan dasar manusia yang meliputi kehormatan, keyakinan agama, jiwa, akal, keluarga, keturunan dan keselamatan hak milik. Masalah yang diselesaikan harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam yaitu: a) Penentuan ganti rugi tersebut tidak menyalahi hukum syari‟at Islam b) Harus sama ridha dan ada pilihan antara kedua belah pihak tanpa ada unsur paksaan dan tipuan dari pihak lain. c) Harus jelas tujuannya agar tidak ada kesalah pahaman diantara para pihak tentang apa yang telah dikerjakan dikemudian hari24 Selain dari pada hal diatas, dalam hal kegiatan pengadaan tanah dan ganti rugi setidaknya Islam mengatur beberapa aspek dibawah ini yakni : a) Menjaga kehormatan manusia Nilai kehormatan manusia telah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat AIsraa‟ ayat 70 yang artinya yakni 23 24
M. Yunan Nasution, Keadilan dan Musyawarah, (Semarang : Ramadhani, 1993), h. 26. Chairuman P, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 3.
67
“Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam” Dalam menetapkan bentuk dan besar ganti rugi, manusia (pemilik tanah) harus dihormati apalagi mereka sudah mengorbankan hak miliknya demi kepentingan umum. Oleh karena itu pemilik tanah perlu diberi jasa tersendiri yang dapat meningkatkan tarap hidupnya, bukan sebaliknya rakyat akan semakin lebih sengsara. b) Keadilan Keadilan berarti memberikan kepada seseorang sesuatu haknya secara seimbang (proporsional) antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang diterimanya. Dalam penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi pembebasan tanah ini pemerintah (investor) selayaknya memperhatikan asas keadilan ini dikarenakan jasa yang telah dikorbankan pemilik tanah sudah begitu besar, tidak hanya mengorbankan tanahnya saja, tapi juga kehilangan mata pencaharian. c) Menarik dan Mengutamakan Manfaat dan Menghindarkan Madarat Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk kemaslahatan umum jangan sampai rakyat justru menjadi korban pembangunan. d) Kesukarelaan Islam memandang bahwa pada dasarnya pembebasan tanah rakyat untuk kepentingan apapun hanya bisa dilaksanakan atas dasar prinsip kesukarelan dari pihak pemilik baik dalam bentuk jual beli atau hibah,
68
wakaf atau sedekah lainnya. Dalam bentuk jual beli prinsip sukarela kedua belah pihak baik dalam penentuan harga, penyerahan barang maupun hal-hal lain yang menjadi keperluan kedua pihak tetap berlaku.
BAB IV ANALISI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kebijakan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kecamatan Serpong yaitu di Desa Ciater dan Desa Rawa Mekar Jaya sebagian besar terdiri dari tanah kosong, rumah tinggal, kios dan rumah toko tempat usaha dan berdagang. Kota Tangerang Selatan berada 30 km di sebelah barat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan berada 90 km sebelah tenggara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten . Secara administratif, Kota Tangerang Selatan
dibagi
menjadi
7
(Tujuh)
kecamatan
dan
37
desa/kelurahan.1 Kecamatan dengan desa/kelurahan terbanyak Di Kota Tangerang Selatan adalah Kecamatan Pondok Aren yaitu, sebanyak 11 desa/kelurahan. Sedangkan kecamatan
dengan desa/kelurahan paling
sedikit
adalah
Kecamatan Setu dan Ciputat Timur yaitu dengan 6 desa/kelurahan.2 Luas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah 147,19 KM2. Tanah seluas itu sebagian besar adalah berupa tanah datar yang secara umumnya berupa tanah merah yang sangat cocok untuk pertanian, namun dalam kenyataannya pemanfaatan lahan di Kota Tangerang Selatan ini sebagian
1
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 2 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
68
70
besar untuk pemukiman serta sentra perdagangan baik itu pasar, minimarket maupun supermarket dan mall-mall yang sangat besar.3 Rencana pengembangan sistem transportasi yang berkaitan dengan jaringan jalan di Kota Tangerang Selatan meliputi penyediaan dan pengembangan jaringan jalan, dan sarana angkutan umum. Rencana pengembangan aktivitas dan pola pergerakan di Kota Tangerang Selatan diarahkan mampu mengakomodir seluruh aktivitas di tiap-tiap wilayah kecamatan di Kota Tangerang Selatan. Pengembangan jalan merupakan aspek penting dalam pengembangan suatu wilayah, karena jalan berfungsi untuk merangsang perkembangan, mengarahkan perkembangan, membuka isolasi suatu wilayah, mengatasi permasalahan transportasi, dan meningkatkan aksesibilitas antar wilayah. Pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya didasarkan pada sempitnya kondisi jalan yang dimana hanya dapat dilalui oleh dua kendaraan, sehingga menimbulkan kemacetan sangat parah terlebih lagi pada jam– jam sibuk serta dalam rangka pengembangan perkotaan agar lebih merata. Dengan adanya pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya ini maka akses untuk menuju tempat tujuan tersebut menjadi semakin cepat dan mudah. Mobilitas penduduk diharapkan akan meningkat serta pertumbuhan ekonomi dapat membaik.4
3
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 4 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
71
Rencana pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya didasarkan pada kondisi lingkungan setempat, termasuk diantaranya menampung aspirasi rakyat, sehingga suatu proyek yang ditujukan untuk kepentingan umum tersebut dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan masalah karena masyarakat dapat merasakan adanya manfaat dari proyek itu. Partisipasi masyarakat sejak tahap awal perencanaan, terutama untuk proyek-proyek yang menyangkut kepentingan umum, akan membuat masyarakat merasa ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Bila suatu rencana pembangunan ditempuh melalui mekanisme yang tepat, maka sifat keterbukaan pada setiap rencana dalam segala tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi akan merupakan hal yang wajar. Luas lahan yang diperlukan untuk pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya sesuai hasil pengukuran dan penentuan batas-batas jalan oleh Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan dan SKPD terkait yang tergabung dalam Tim Teknis pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya adalah 33.607m2. luas lahan yang telah dibebaskan sampai akhir bulan Desember 2014
adalah
33.607 m2 atau sudah 100 % rampung dari total luas lahan yang perlu dibebaskan untuk pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya.5 Dasar hukum dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya yaitu: 1.
Undang Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum 5
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
72
2.
Perpres No. 99 Tahun 2014 sebagai perubahan kedua atas Peraturan Presiden No.71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
4.
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
5.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan;
6.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma
dan
Standart
Mekanisme
Ketatalaksanaan
Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten; B. Mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014 1. Mekanisme Pengadaan Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
73
2012 Undang-Undang No 2 Tahun 2012 merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undangundang ini diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Pengertian Pengadaan Tanah menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.6 Dilihat dari isi pasal tersebut diketahui bahwa dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah harus dengan cara memberi ganti kerugian yang layak.
Dalam pasal 11 disebutkan “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah Dalam hal Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah Badan Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi milik Badan Usaha Milik Negara”.7 dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah dan tanahnya juga dimiliki oleh pemerintah. Mekanisme pengadaan tanah menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dibagi atas beberapa tahapan yakni :
6 7
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 11 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
74
a. Perencanaan Perencanaan
Pengadaan
Tanah
untuk
Kepentingan
Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disusun dalam bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang paling sedikit memuat:8 1) Maksud dan tujuan rencana pembangunan; 2) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah; 3) Letak tanah; 4) Luas tanah yang dibutuhkan; 5) Gambaran umum status tanah; 6) Perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah; 7) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; 8) Perkiraan nilai tanah; dan 9) Rencana penganggaran. b. Persiapan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:9 1) Pemberitahuan rencana pembangunan; 2) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan 3) Konsultasi Publik rencana pembangunan Pemberitahuan rencana 4) pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik langsung maupun tidak langsung. c. Pelaksanaan
8 9
Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
75
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan. Pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud diatas meliputi: 1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yakni berisi tentang pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah serta pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.10 2) Penilaian Ganti Kerugian, Dalam hal
penilaian
ganti
kerugian, lembaga pertanahan
menetapkan penilai sesuai undang-undang yang berlaku. Penilai ini bertugas untuk melakukan penilaian besaran ganti kerugian bidang per bidang tanah yang meliputi :11 a) Tanah; b) Ruang atas tanah dan bawah tanah; c) Bangunan; d) Tanaman; e) Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f) Kerugian lain yang dapat dinilai. 3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga
10 11
Pasal 28 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 33 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
76
Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian. 12 Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian.13 4) Pemberian Ganti Kerugian Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:14 a) Melakukan pelepasan hak; dan b) Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan
Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah
melalui Lembaga Pertanahan. 5) Pelepasan tanah Instansi. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:15
12 13 14 15
Pasal 37 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 38 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 41 ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 46 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
77
a) Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan
secara
aktif
untuk
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan; b) Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau c) Objek Pengadaan Tanah kas desa. d. Penyerahan hasil. Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah:16 1) Pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan; dan/atau 2) Pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri. Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil Pengadaan Tanah. 2. Mekanisme Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Konsinyasi Tanah menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 yakni penitipan uang ke pengadilan negeri setempat. Penitipan uang dapat dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah jika memenuhi beberapa syarat yakni : a.
16
Adanya pihak pemilik hak tanah yang menolak bentuk dan/atau
Pasal 48 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
78
besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung.17 b.
Pihak pemilik hak yang menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; 18
c.
Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian sedang menjadi objek perkara di pengadilan dan masih dipersengketakan kepemilikannya;
d.
Objek Pengadaan Tanah diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
e.
Objek Pengadaan Tanah menjadi jaminan di bank.
C. Prosedur pengadaan tanah dalam Pembangunan pelebaran jalan CiaterRawa Mekar Jaya sudah sesuai dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014 Untuk menunjang pembangunan yang semakin kompleks, diperlukan jaringan transportasi yang memadai, sehingga pembangunan dapat merata ke semua daerah di seluruh Indonesia. Salah satu jaringan transportasi tersebut adalah pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya. Pembangunan/ pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya dimaksudkan untuk meningkatkan mobilitas kendaraan dalam perjalanan menuju ke pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan yang sebelumnya hampir setiap saat menimbulkan kemacetan dan sangat parah pada jam pergi dan pulang kerja. Selain meningkatkan akses ke pusat 17 18
pemerintahan,
pelebaran
jalan
Ciater-Rawa
Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pasal 42 ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
Mekar
Jaya
ini
79
dimaksudkan untuk menjadikan Kota Tangerang Selatan menjadi salah satu Kota mandiri dengan kegiatan ekonomi yang maju. Prosedur pengadaan tanah adalah sebagai berikut: 1. Pemberitahuan/sosialisasi Dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai maksud dan tujuan dilaksanakannya Pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya, telah dilakukan kegiatan pemberitahuan / sosialisasi di sepanjang jalan yang mengaitkan 2 desa yaitu Desa Ciater dan Desa Rawa Mekar Jaya; 2.
Pengukuran dan penentuan batas-batas jalan Untuk menentukan luas lahan yang direncanakan akan dibangun sebagai pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya, telah dilakukan pengukuran dan penentuan batas-batas jalan oleh kantor Bina Pertanahan Kota Tangerang Selatan;
3.
Pendataan Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci terkait dengan kepemilikan tanah, bangunan dan tanaman yang terkena Pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya, dilakukan pendataan dengan melibatkan: a. Petugas dari Kantor Bina Pertanahan Kota Tangerang Selatan yang mendata tanah yang terkena pelebaran / pembangunan jalan; b. Petugas dari Dinas Tata Kota Kota Tangerang Selatan yang mendata bangunan- bangunan yang terkena pelebaran / pembangunan jalan.
80
c. Petugas dari Dinas Gabungan Instansi / Unit Verja yang mendata asetaset pemerintah dan lembaga lain yang terkena pelebaran / pembangunan jalan; d. Petugas dari Sekretariat Panitia yang bertugas memfasilitasi kelancaran pelaksanaan petugas serta melakukan rekapitulasi terhadap hasil pendataan; 4.
Pengolahan data Hasil pendataan oleh petugas dari Kantor Pertanahan, dan Dinas Tata Kota tersebut di atas, ditandatangani oleh petugas yang bersangkutan, pimpinan Instansi Petugas dan pemilik lahan, serta diketahui oleh Kepala Desa / Kelurahan dan Camat setempat. Setelah itu data direkapitulasi oleh Petugas Sekretariat Panitia yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan cheking lokasi untuk mencocokkan kepemilikan tanah, bangunan, dan tanaman;
5.
Cross cek hasil pendataan Untuk meminimalkan kesalahan dalam melakukan pendataan dan pengolahannya, dilakukan cross cek data dengan pemilik dengan tujuan apabila ada kekeliruan segera dapat dilakukan perbaikan;
6.
Pengumuman hasil pendataan Dalam rangka memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengajukan keberatan atas hasil pendataan tanah dan bangunan yang terkena Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan, maka dibuat pengumuman hasil pendataan yang
81
ditempel di Kantor Desa / kelurahan dan Kecamatan setempat serta di Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan selama 30 (tiga puluh) hari; 7.
Musyawarah harga Sebagai dasar untuk menghitung besarnya ganti rugi yang akan diterima oleh masing-masing warga / pemilik, maka dilakukan musyawarah harga terkait
dengan
tanah,
bangunan
dan
tanaman.
Sebagai
dasar
pertimbangan menentukan besarnya nilai tanah per meter perseginya digunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dan harga pasaran sesuai nilai kenyataan yang ada di masyarakat; 8.
Penghitungan besar ganti rugi Perhitungan besaran ganti rugi ini berdasarkan kesepakatan harga atau nilai tanah, bangunan dan tanaman antara pemerintah dengan warga masyarakat;
9.
Cross cek hasil penghitungan ganti rugi Untuk memberikan kesempatan kepada warga masyarakat dalam pengajuan keberatan atas penghitungan besarnya ganti rugi / ganti murwat maka dilakukan kegiatan cross cek hasil penghitungan;
10. Rekapitulasi penghitungan ganti rugi Setelah dilakukan cross cek hasil penghitungan besarnya ganti rugi yang akan diterima oleh masing-masing warga, dilakukan rekapitulasi yang berisi perincian luas tanah, luas bangunan dan tanaman untuk masingmasing warga;
82
11. Pengajuan pembayaran ganti rugi berdasarkan rekapitulasi penghitungan besarnya ganti rugi, dilakukan permohonan pembayaran pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan; Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Panitia Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Raya CiaterRawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) orang ditambah dengan Camat dan Kepala Desa/Lurah setempat. Susunan Panitia Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :19 1. Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan sebagai Ketua 2. Asisten Tata Pemerintahan dan Kesatuan Rakyat Sekda Kota Tangerang Selatan sebagai Wakil Ketua 3. Kepala Subseksi/Eselon Pengaturan Tanah Pemerintah pada Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan sebagai Sekretaris 4. Kepala Dinas Tata Kota Tangerang Selatan sebagai Anggota 5. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan sebagai Anggota 6. Kepala DPPKAD Kota Tangerang Selatan sebagai Anggota 7. Kepala Bagian Bina Pertanahan Sekretaris Daerah Tangerang Selatan Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut : 19
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
83
1) Melaksanakan penyuluhan pada masyarakat yang terkena pembebasan tanah; 2) Melaksanakan inventarisasi untuk menetapkan batas lokasi tanah yang terkena pembebasan; 3) Mengumumkan hasil inventarisasi kepada masyarakat pemilik tanah yang terkena pembebasan tanah; 4) Melaksanakan musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian pembebasan tanah; 5) Menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian pembebasan tanah; 6) Menaksir nilai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada pada lokasi pembebasan tanah; 7) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah; 8) Melaksanakan pelepasan hak dan penyerahan tanah dengan surat pernyataan pelepasan hak tanah oleh pemegang hak atas tanah dan; 9) Mengajukan permohonan hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah Obyek pengadaan tanah meliputi bidang-bidang tanah termasuk bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan. Untuk melakukan inventarisasi, Panitia Pengadaan Tanah menugaskan petugas inventarisasi dari Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang yang bersangkutan. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dengan menunjuk salah satu lembaga
84
jasa penilai publik yakni dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Firman Aziz dan Rekan yang beralamat di Ruko Acropolis A2 No. 2, Bukit Serpong Mas, Jalan Raya Serpong, Tangerang.20 Proses berlangsungnya musyawarah tentang bentuk dan besar ganti rugi Penentuan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah diawali dengan penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah, bangunan dan/atau tanaman yang terkena Pembangunan Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya. Musyawarah ini dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Panitia mengundang Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah (Pemerintah Kota Tangerang Selatan) dan pemegang hak yang bersangkutan untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah dilangsungkan di tempat yang telah ditentukan Panitia Pengadaan Tanah. Dalam hal ini dipilih lokasi yang mudah dijangkau oleh warga masyarakat pemegang hak yang bersangkutan. Dalam hal pembebasan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya kegiatan dilakukan dimasing-masing kantor kelurahan baik di kantor kelurahan Desa Ciater maupun kantor kelurahan Desa Rawa Mekar Jaya. Musyawarah berlangsung pada
tanggal 14 dan 28 Desember 201221. Setiap pihak
diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan usul/pendapat, sehingga 20
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 21
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
85
musyawarah dapat berlangsung secara kekeluargaan. Menurut keterangan dari narasumber bahwa pemegang hak diberi kesempatan secara bebas untuk mengemukakan pikiran dan pendapat berupa pertanyaan, usul dan saran mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Musyawarah dilakukan sampai tercapai kata sepakat mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Jika musyawarah telah menghasilkan kesepakatan maka panitia mengeluarkan keputusan tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian. Sebaliknya jika musyawarah telah diadakan berkalikali kesepakatan belum juga tercapai, maka terhadap pemegang hak atas tanah tersebut akan dilakukan pendekatan secara persuasif melalui tokoh masyarakat setempat. Dalam
penyuluhan
telah
dijelaskan
mengenai
hal-hal
yang
diperhatikan dalam penilaian ganti kerugian, yang meliputi : a. Untuk tanah nilainya didasarkan pada nilai nyata dengan memperhatikan NJOP tahun terakhir; b. Faktor yang mempengaruhi harga tanah, yaitu lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, sarana dan prasarana yang tersedia, dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. c. Nilai taksiran bangunan/tanaman Faktor-faktor tersebut di atas pada saat penulis melakukan penelitian memiliki arti yaitu :
86
a. Lokasi tanah : Terletak di pinggir jalan raya atau di dalam pemukiman namun karena pelebaran jalan ini terletak di lokasi yang sama yakni 1 (satu) jalan saja, maka faktor ini diabaikan b. Jenis hak atas tanah : hak milik yang sudah bersertifikat atau belum bersertifikat c. Status penguasaan tanah : pemegang hak yang sah atau penggarap d. Prasarana yang tersedia : berupa listrik, saluran air Cara penilaian ganti kerugian terhadap tanah adalah didasarkan pada nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan. Menurut keterangan dari narasumber bahwa besarnya NJOP untuk tanah yang bersangkutan ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setiap setahun sekali. Penetapan nilai nyata terhadap tanah yang akan terkena Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan dilakukan oleh suatu lembaga penilai harga tanah swasta bukan oleh Tim Penilai Harga Tanah Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya penilaian yang telah disepakati sebagai ganti kerugian per-meter persegi tanah untuk Kota Tangerang Selatan ini cukup unik yakni atas permintaan warga pemilik tanah, maka harga yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan yaitu seharga Rp.3.000.000.- dan 3.250.000,- atau senilai tiga juta rupiah atau tiga juta dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk setiap meternya.22 22
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
87
Sedangkan untuk ganti kerugian pada bangunan pada awalnya untuk mengetahui nilai jual bangunan harus menetapkan klasifikasi bangunan terlebih dahulu. Karena nilai jual bangunan dipengaruhi oleh kondisi bangunan ( umur dan keadaan ) serta bahan bangunan yang dipergunakan. Dari harga tersebut maka cara penghitungan ganti kerugian atas bangunan adalah jumlah luas bangunan dikalikan dengan harga satuan permeter atau permeter persegi untuk bangunan yang dimaksud. Ganti kerugian tersebut diberikan dengan melihat kondisi fisik bangunan serta bahan yang dipergunakan. Namun, untuk pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya ini ganti kerugian yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk ganti kerugian untuk bangunan ini hampir tidak ada yang dikarenakan jarak bangunan yang lumayan jauh dari jalan yang berkisar antara 3-4 meter dari jalan
yang dikarenakan ada Garis Sempadan Jalan (GSJ) dan Garis
Sempadan Bangunan (GSB). Bangunan yang terkena pelebaran jalan hanya berupa tembok pembatas ruko (rumah toko) serta beberapa pagar rumah warga. Harga yang diberikan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan yaitu 2.000.000 per meternya. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan ternyata cara penghitungan ganti kerugian tersebut cukup baik dan tidak merugikan para pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan keterangan dari narasumber diketahui bahwa hingga tahun 2015 jumlah keseluruhan ganti kerugian yang telah dibayarkan adalah Rp. 103.947.000.000,- (Seratus tiga milyar sembilan
88
ratus empat puluh tujuh juta rupiah) dengan luas tanah yang telah dibebaskan mencapai 33.607 m² untuk kedua Desa Ciater dan Rawa Mekar Jaya.23 Kesepakatan mengenai ganti rugi antara Pemerintah Kota Tangeran Selatan dengan masyarakat pemilik tanah Berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dengan masyarakat pemilik tanah maka diperoleh kesepakatan mengenai harga tanah, tanaman, bangunan dan atau benda lain yang ada di atasnya. Kesepakatan mengenai ganti rugi adalah sebagai berikut: 1. Kelurahan/Desa Ciater Jumlah luas tanah yang dibebaskan adalah 21.103 m2 dan bangunan seluas 101,5 m2 dengan ganti rugi sebesar Rp. 63.713.000.000,- dengan rincian: a. Ganti rugi tanah sebesar Rp.63.510.000.000,b. Ganti rugi bangunan sebesar Rp. 203.000.000,-24 2. Desa Rawa Mekar Jaya Jumlah luas tanah yang dibebaskan adalah 12.504 m2 dan bangunan seluas 206m2 dengan ganti rugi sebesar Rp. 41.050.000.000 rincian: a. Ganti rugi tanah sebesar Rp. 40.638.000.000b. Ganti rugi bangunan sebesar Rp.412.000.000,D. Pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat 23
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 24
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
89
Dalam kegiatan pengadaan tanah pasti ada saja hambatan-hambatan yang terjadi sehingga memperlambat rencana tata ruang pemerintah itu sendiri. Hambatan-hambatan itu terjadi baik karena ada sengketa atau karena gugatan oleh pemilik lahan untuk mempertahankan tanahnya yang membuat kegiatan pembebasan lahan atas beberapa bidang tanah menjadi sulit dilakukan.
Padahal
anggaran
belanja
untuk
pembiayaan
rencana
pembangunan tersebut harus segera keluar demi memenuhi target realisasi APBD yang lancar .Untuk itu pemerintah menggunakan prosedur konsinyasi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dalam hal pembangunan Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya juga terdapat beberapa hambatan yang akhirnya dilakukan prosedur konsinyasi. Beberapa bidang tanah yang dikonsinyasikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri setempat yaitu :25 1. Desa Ciater -
Sebidang tanah seluas 93 m2 yang dikonsinyasikan dikarenakan pemiliknya tidak mempunyai ahli waris maupun saudara kandung. Dan pada saat pembebasan lahan, pemilik lahan tersebut diketahui sudah meninggal dunia.
-
Sebidang tanah dengan luas 40 m2 yang dikonsinyasi dikarenakan surat atas tanah tersebut hilang dan pemilik sah tanah tersebut enggan untuk mengurus.
25
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
90
2. Desa Rawa Mekar Jaya -
Sebidang tanah seluas 900 m2 yang dikonsinyasikan akibat adanya sengketa kepemilikan surat atas tanah yang masih berlangsung di Mahkamah Agung.
-
Sebidang tanah seluas 200 m2 yang dikonsinyasikan akibat adanya sengketa para ahli waris dari pemilik tanah tersebut
E. Analisa Penulis mengenai Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Analisa penulis dari data diatas diketahui bahwa Pemerintah Kota Tangerang Selatan sudah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya dengan baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Ini terlihat dari reaksi warga yang setuju dengan harga penawaran yang diberikan oleh pemerintah yakni seharga Rp.3.000.000,- untuk Desa Ciater dan Rp.3.250.000 untuk Desa Rawa Mekar Jaya. Padahal pada saat proyek pengadaan tersebut nilai nyata harga tanah tersebut adalah Rp.2.500.000,-. Penetapan harga yang ditetapkan oleh lembaga penilai harga tanah didasarkan pada nilai nyata dan biaya lain seperti dipergunakan untuk pembangunan kembali bangunan yang nyatanya harus dimundurkan untuk mengikuti Garis Sempadan Bangunan (GSB) yang berlaku.
91
Dalam hal proses konsinyasi juga pemerintah sudah bertindak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan didalam Undang-Undang No.12 Tahun 2012 yaitu proses konsinyasi yang dititipkan kepada pengadilan negeri setempat terhadap tanah-tanah yang sedang dalam sengketa maupun tanah yang pemiliknya sudah tidak ada serta tidak terdapat ahli waris dari pemilik tersebut. Dalam penetapan ini memang terjadi beberapa konflik kepentingan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu/pribadi. Penolakan warga akibat adanya pelebaran jalan ini memang cukup beralasan, karena mereka sudah bertahun-tahun melakukan kegiatan usaha serta tinggal, lalu pemerintah datang dan melakukan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan ini pun cukup memakan waktu, tercatat kegiatan sosialisasi dilakukan pada akhir 2011 dan hingga kini pelaksanaan pembangunan jalan raya Ciater – Rawa Mekar Jaya ini masih belum rampung. Pembangunan yang berlarut – larut ini menyebabkan hampir selama 3 (tiga) tahun kegiatan usaha warga masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah maupun yang mengontrak yang menjadi korban pengadaan tanah mengalami penurunan pendapatan/omzet yang dikarenakan pelaksanaan pembangunan jalan raya Ciater – Rawa Mekar Jaya.
92
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 sebagaimana pelaksaan Undang Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah melalui pemberian ganti rugi atas pelepasan hak atas tanah bagi pemilik hak atas tanah tersebut. Apabila pemilik hak tanah tidak menyetujui dengan adanya kebijakan pengadaan tanah atau besaran ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah maka dia dapat mengajukan gugatan kepengadilan negeri setempat dan dapat naik hingga ke Mahkamah Agung. Setelah ada putusan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat dan pemilik tetap bertahan tidak mau melepaskan hak atas tanahnya, maka pemerintah dapat menitipkan anggaran kepengadilan negeri setempat (Konsinyasi). Konsep juga berlaku untuk tanah yang sedang sengketa, pemilik tanah tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada ahli waris atas tanah tersebut. 2. Prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
93
dalam Perpres No.99 Tahun 2014 j.o UU No. 2 Tahun 2012 baik dalam proses musyawarah, ganti rugi dan mekanisme konsinyasi ganti rugi penggantian tanah dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan raya Ciater-Rawa Mekar Jaya. 3. Kegiatan Konsinyasi oleh pemerintah kota Tangerang Selatan dilakukan atas dasar-dasar yang tertuang dalam pasal 42 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 yakni berdasarkan pasal 42 Ayat (2) yang berisi tentang syarat apa-apa saja yang diperbolehkan untuk pemerintah melakukan kegiatan konsinyasi tanah. B. SARAN Berdasarkan kesimpulan penelitian maka penulis dapat mengemukakan saransaran sebagai berikut: 1.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal pembebasan lahan ini sudah cukup baik namun dalam hal ganti rugi juga jangan hanya mengganti rugi nilai tanah yang ada, perlu juga memperhatikan bangunan-bangunan yang pasti harus mundur kebelakang untuk memenuhi Garis Sempadan Jalan (GSJ) untuk itu pemilik lahan perlu dana yang lebih besar sekedar yang diberikan oleh pemerintah, serta ada juga yang bangunannya tidak bisa mundur sehingga pemilik lahan tersebut tidak bisa memanfaatkan tanah tersebut sama seperti sebelum dilakukan pelebaran jalan. Dalam hal pengadaan tanah dan pembangunan jalan, pemerintah Kota Tangerang Selatan juga harus mengantisipasi penurunan omzet dari para pengusaha yang menjadi korban pelebaran dan pembangunan jalan Ciater – Rawa
94
Mekar Jaya. Pengadaan dan pembangunan yang memakan waktu hingga 3 tahun (2012-2015) menyebabkan penurunan pendapatan yang luar biasa bagi korban yang terkena pelebaran jalan. 2.
Panitia Pengadaan Tanah dan aparat terkait agar melakukan tindakan yang tegas terhadap kelompok lain yang berusaha menghasut ataupun mencari keuntungan pada proses pengadaan tanah untuk pembangunan Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya. Sehingga masyarakat pemilik hak atas tanah tidak terpengaruh dengan memanfaatkan hasutan pihak ketiga untuk menaikkan harga tanah yang dapat menghambat proses musyawarah kesepakatan ganti kerugian.
Daftar Pustaka Buku : AA. Oka Mahendra, 1996. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, Jakarta: Sinar Harapan. Ali Ahmad Chomzah, 2002. Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri Hukum Pertanahan I, Jakarta: Prestasi Pustaka. Abdulrrahman, 1994. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bandung : Citra Aitya Bakti. Tri Cahyo, Bambang, 1983. Ekonomi Pertanahan, Yogyakarta: Liberty. Perangin, Effendi, 1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta:Rajawali Press. Sutedi ,Adrian, 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Ed. 1, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika. Gautama ,Sudargo, 1991. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung: Alumni. Sumardjono,Maria S.W, 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:Kompas. J.Moleong ,Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,: Remaja Rosdakarya. Ibrahim., Johnny, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, Malang: Bayumedia Publishing. B. Sihombing, 2004. Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung. Sitorus, Oloan, 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Selindeho, John, 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika.
95
Parlindungan, A.P., 2008. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju. Sutedi, Adrian, 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar Grafika. Musbikin, Imam, 2001. Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Nasution, M. Yunan, 1993. Keadilan dan Musyawarah, Semarang : Ramadhani. P, Chairuman., 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika. Arie S Hutagalung, 2003. Condominium dan Permasalahannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Harsono, Boedi, 1996. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan. Mahasari, Jamaluddin, 2008. Pertanahan dalam Hukuam Islam, Yogyakarta: Gama Media.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Udang Dasar 1945; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya. Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan 96
Untuk Kepentingan Umum.
97