IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR PADA MASYARAKAT SUKU BUGIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kelurahan Kalibaru Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Nurul Hikmah NIM : 107044102094
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.
Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 3 Juni 2011
Nurul Hikmah 107044102094
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan HidayahNya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Pemberian Mahar Pada Masyarakat Suku Bugis dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Kalibaru Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara)". Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing pada jalan kebenaran. Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Drs. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakuttas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Alimin Mesra, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi yang tak pernah henti-hentinya. 5. Kamarusdiana, SH., MH., selaku dosen Penasehat Akademik.
i
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat. 7. Orang tua tercinta Bapak Drs. H. Kaharuddin, SH., MH., Ibu Hj. Suhaeti dan Nenekku Hj. Hadirah yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi, adik-adik tercinta Ayu Nurdianti, Wildani Fajri, Maghfirah Laila Salsabila, Ahmad Fadlan Al Ghifari. 8. Sahabat-sahabat penulis Andini Hafizotin Nida, Yossi Febrina, Sari Eka Lestari Putri, Ade Uswatul Jamiliyah, juga Juishimatsu dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi. 9. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007, BEC (Boarding English Course) (Lani, Lya, Disfa, Galuh, Eny, Ana, Rohy, Aen, dll) dan kelompok KKN 2010. Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlamapau jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan besar hati. Penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin Yaa Robbal Alamin
Billahi taufik wal hidayah Wallahu a’lam bish-shawwaf
Jakarta, 03 Juni 2011
Penulis ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. iii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………......... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………….. 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..
9
D. Review Studi Terdahulu………………………………………. 10 E. Metode Penelitian…………………………………………
11
F. Sistematika Penulisan…………………………………………. 13 BAB II
KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR A. Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam…………………….. 15 B. Dasar Hukum Mahar………………………………………….. 17 C. Syarat dan Macam-macam Mahar…………………………….
21
D. Bentuk dan Kadar Mahar……………………………………..
26
E. Gugurnya Mahar………………………………………………
30
iii
BAB III
POTRET WILAYAH KEL. KALIBARU KEC. CILINCING JAKARTA UTARA
BAB IV
A. Gambaran Lokasi Penelitian………………………………….
34
B. Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kalibaru………………
38
C. Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Bugis…………………
41
ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR DALAM PANDANGAN ISLAM A. Konsepsi Masyarakat Bugis Tentang Mahar…………………… 50 B. Praktik Pemberian Mahar…………………………………….... 52 C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Implementasi Pemberian Mahar Dalam Masyarakat Suku Bugis ........................................ 56
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………. 62 B. Saran-saran……………………………………………………. 63
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
64
LAMPIRAN 1. Wawancara……………………………………………………. 67 2. Surat kesediaan menjadi pembimbing skripsi…………………. 73 3. Surat Observasi………………………………………………... 74 4. Surat dari Kelurahan…………………………………………... 75 iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Hukum tradisional dan hukum modern merupakan unsur-unsur yang menyusun tata hukum. Sistem hukum yang pluralistis pada zaman penjajahan dengan juga demikian masih berlaku untuk Negara Indonesia. Komponen yang penting dari pluralisme itu adalah berlakunya hukum Eropa di satu pihak dan di lain pihak hukum yang bersesuaian dengan adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia.1 Hukum dan lembaga-lembaga tradisional Indonesia merupakan bagian kehidupan sosial yang telah melembaga. Menggolongkan aturan-aturan sebagai adat istiadat sampai menjadi hukum apabila ditegakkan, maka hal itu akan mengaburkan suatu masalah penting dalam proses yudisial. Kiranya perlu dicatat bahwa adat istiadat tidak dibedakan dengan cara demikian dengan hukum yang dianggap sebagai keputusan pengadilan di dalam ilmu hukum yang telah berkembang. Seperti adat istiadat tingginya mas kawin yang ada di dalam suku Bugis, sedangkan yang diketahui bahwa Syariat Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar, namun mendorong agar memperingan mahar, tidak terlalu tinggi demi mempermudah urusan pernikahan. Sehingga generasi
1
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1981), h. 154
1
2
muda tidak merasa enggan melaksanakan pernikahan karena demikian banyak atau besar tanggungannya. Tapi mengapa di suku Bugis itu memiliki nilai mahar yang cukup tinggi. Menurut syara’ nikah merupakan ungkapan dari sebuah akad yang mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.2 Fiqh telah menggariskan bahwa nikah mempunyai fungsi untuk mengakibatkan suatu hukum yaitu kehalalan untuk berjima’, maksudnya adalah sebuah jalan alami dan biologis untuk menyalurkan dan memuaskan seksual dan dapat berdampak kesehatan baik jiwa, mata terpelihara ataupun kenikmatan karena kehalalan tersebut.3 Sehubungan dengan hal tersebut, maka Islam menetapkan adanya mahar apabila terjadi suatu pernikahan, sekalipun tidak ditentukan jumlahnya dan diserahkan sesuai persepakatan mereka, yang penting mahar tersebut bermanfaat. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh
2
Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al Husainy, Kifayatul al-Akhyar, (Beirut : Dar al Fikr), Jilid 2, h. 36 3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Daar al-Fath, 2000), Cet. Ke-1, Jilid I, h. 89
3
tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam nikah lebih baik ditentukan maskawinnya, meskipun masalah ini (maskawin) dipersilakan. Ada yang berpendapat bahwa maskawin tidak termasuk rukun nikah, berbeda dengan jual beli yang menyebutkan harga merupakan salah satu rukunnya. Sedang yang dimaksud dalam pernikahan adalah bersatunya suami istri, berbeda dengan jual beli, yang dimaksudkan adalah ganti dari barang yang dijual.4 Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk dalam rukun, karena mahar tesebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.5 Bagi Ulama Hanafiyah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama
4
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2004), h. 143 5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2007), h. 61
4
Syafi’iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istrinya.6 Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama madzhab, yang pada dasarnya memiliki maksud yang sama. Sebagian ulama madzhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad pernikahan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikan sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan diri kepada suami (senggama).7 Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.8 Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka tidak halal menerimanya. Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu
6
Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqh ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, (Dar Al Fikr, Beirut, 1969), h. 2-3 7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cet. Ke-1, h. 220-221 8
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 85
5
dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. 9 Mahar terbagi menjadi dua yaitu pertama, mahar musamma adalah bila mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka kewajibannya itu harus ditunaikannya selama masa perkawinan sampai putus perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Kedua, mahar mitsil adalah bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya, maka kewajibannya adalah sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Dan dibolehkan segera membayar mahar secara tunai, atau seluruhnya dibayar belakangan dan boleh juga sebagiannya dibayar tunai dan sebagiannya lagi dikredit (dibayar kemudian). Apabila maharnya sudah ditetapkan, maka laki-laki tersebut harus membayar mahar yang telah ditetapkan kepada istrinya. Keharusan membayar mahar itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Sunat menyebutkan mahar pada waktu akad nikah karena Nabi selalu menyebutkannya. Kalau perempuan yang dinikahkan itu termasuk orang yang tidak boleh mentasarrufkan (membelanjakan) hartanya karena sesuatu ‘aridh (rintangan) seperti dungu, maka menyebut mahar pada waktu akad nikah adalah wajib.10
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 85
10
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 83
6
Perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang dipiutangnya.11 Di dalam KHI, mahar ini diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38. Pada pasal 30 menyatakan :12 “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Garis hukum Pasal 30 KHI di atas, menunjukkan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita.13 Pasal 31 menyatakan : “Penentuan mahar berdasarkan atas asas kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”.
kesederhanaan dan
Dalam hadis Nabi yang artinya wahai golongan orang-orang muda, barang siapa dari kamu mampu kawin hendaklah ia kawin, karena yang demikian lebih menundukan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan
11
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004), h. 394
12
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), h. 86-88 13
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 24
7
dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena itu untuk meredam hawa nafsu.14 Barang siapa yang berpaling dari sunnah Rasul, maka ia tidak termasuk dalam umat yang lurus dan memudahkan dalam ibadah. Yang ditekankan di sini adalah seseorang berbuka agar mampu melaksanakan puasa, seseorang tidur agar dapat bangun malam untuk melaksanakan shalat malam, dan menikah untuk menjaga pandangan dan kemaluannya. Sehingga orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi, bukan termasuk golongan agama Nabi karena keyakinan yang berlebihan (melebihi Nabi) dapat menimbulkan kekafiran.15 Orang Bugis di Kelurahan Kalibaru adalah sebagai perantau yang menetap. Masyarakat di Kalibaru ini tidak hanya orang Bugis saja ada juga suku-suku lainnya yang bertempat tinggal di Kalibaru. Karena sudah banyak suku-suku lain maka sudah ada tradsi adat yang berubah. Seperti pada penyebutan mahar pada saat aqad, disini sudah ada perbedaan kalau orang Bugis yang ada di Sulawesi Selatan masih menggunakan adat yang beralaku yaitu dalam menentukan mahar dilihat dari stratifikasi sosialnya apakah perempuan tersebut itu ada keturunan dari bangsawan atau tidak.
14
A. Hasan, terjemah Bulughul al-Maram, Ibnu Hajar al Asqalani, (Bandung : CV. Pustaka Tamam, 1991), h.505 15
Muhammad ibn Isma’il as San’any, Subulu as-Salam syarh Bulughul al-Maram, (Beirut : Dar al-Fikr, 1991), Cet. Ke-III, h. 213-214
8
Adapun urutannnya 88 Real untuk Bangsawan Tinggi, 44 Real untuk Bangsawan Menengah, 40 Real untuk Arung Palili, 28 Real untuk Todeceng, 20 Real To Maradeka, dan 10 Real untuk Ata (hamba). Tetapi sompa (mahar) berdasarkan tingkatan-tingkatan tersebut tidak ada wujudnya, hanya sebagai simbol. Sedangkan orang Bugis di Kalibaru sudah jarang ditemukan dalam perkawinan pada saat aqad menyebutkan maharnya sesuai dengan staratifikasi perempuan. Biasanya masyarakat Bugis di Kalibaru langsung menyebutkan mahar apa yang akan diberikan kepada calon istrinya itu. Sesuai dengan yang Penulis amati dari beberapa perkawinan di Kalibaru, dalam menentukan maharnya dilihat dari keluarganya, pendidikannya dan lain sebagainya. Apabila pendidikan si perempuan tersebut tinggi ditambah lagi ia dari keluarga yang terhormat maka perempuan tersebut mempunyai mahar yang tinggi.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah Agar penelitian ini dapat lebih terarah, jelas dan tidak meluas, maka penulis memberikan batasan penyusunan skripsi ini pada hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis dilihat dari hukum Islam. Batasan masalah dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
9
1. Bagaimana praktek pemberian mahar dalam suku Bugis di Kalibaru? 2. Adakah jumlah mahar yang berlaku saat ini di masyarakat suku Bugis di Kalibaru? 3. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis di Kalibaru?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui praktek pemberian mahar dalam suku Bugis. 2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya jumlah mahar yang berlaku pada masyarakat suku Bugis. 3. Untuk mengetahui pendapat orang Bugis tentang mahar yang ada didaerahnya. Maka manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk menambah ilmu dan wawasan intelektualitas bagi mahasiswa ataupun masyarakat yang membaca hasil penelitian ini khsusnya bagi penulis. 2. Sebagai pengingat bahwa mahar itu penting dalam pernikahan walupun harganya itu kecil khususnya untuk kedua belah pihak kelak.
10
3. Diharapkan dapat menjadi masukaan dan sumbangan pemikiran kepada orang-orang yang hendak menikah dalam penentuan mahar.
D.
Review Studi Terdahulu Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi. 1. Ismayudin bin H. Mohamed Shahid Tahun 2009, dengan judul “Kadar Mahar Suami meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki)”. Menjelaskan jumlah mahar suami meninggal sebelum dukhul menurut Mazhab Maliki. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan pada kadar mahar suami meninggal sebelum dukhul berdasarkan pemikiran Mazhab Maliki. Sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspektif hukum Islam. 2. Eva Fatimah Tahun 2004, dengan judul “Konsep Mahar Menurut Empat Imam Mazhab”. Membahas tentang mahar menurut Imam Mazhab yaitu Imam Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Membahas tentang syarat-syarat, diwajibkannya mahar, macammacam mahar dan hikmah pemberian mahar. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan pada kajian mahar menurut
11
Empat Mazhab sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspektif hukum Islam. 3. Azwar Anas Tahun 2010. Dengan judul Honsep Mahar dalam “Counter Legal Draft” Hukum Islam (CLD KHI), membahas tentang konsep mahar dalam CLD KHI yang berisi tentang syarat mahar, bentu dan kadar mahar. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan perspektif mahar dalam CLD KHI sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspekti hukum Islam.
E.
Metode Penelitian Metode penelitian yang penyusun gunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian tentang pemberian mahar pada masyarakat suku bugis ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini adalah penelitian yang bersumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.16
16
Yayan Sopyan, Metode Penelitian, (Jakarta, 2009), h. 28
12
2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.17 Data-data tersebut selanjutnya dianalisis menurut perspektif hukum Islam. 3. Metode Pengumpulan Data Guna memperoleh data dalam penelitian ini penyusun menggunakan metode sebagai berikut : a. Observasi, yakni mengamati langsung ke lapangan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti untuk dianalisa dan dikumpulkan. b. Interview (wawancara) adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data.18 Dalam hal ini penyusun menggunakan wawancara terpimpin, ini akan memberi kemudahan baik dalam mengemukakan pertanyaan maupun dalam menganalisa untuk mengambil keputusan/kesimpulan. Di samping itu juga menggunakan wawancara bebas, karena hal ini akan memudahkan diperolehnya data secara mendalam. Wawancara dilakukan pada informan, tokoh agama, dan tokoh adat masyarakat setempat.
17
Yayan Sopyan, Metode Penelitian, h. 20
18
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, h. 186
13
c. Dokumentasi yaitu yang dimaksud dengan dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara meneliti dokumentasi-dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. 4. Analisis Data Setelah data-data terkumpul, penyusun berusaha mengklasifikasikan untuk dianalisis sehingga kesimpulan dapat diperoleh. Analisis data ini menggunakan metode analisis kualitatif sebagai berikut : a. Metode induktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari data yang khusus kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penyusun berusaha memaparkan praktik pemberian mahar pada masyarakat bugis, kemudian melakukan analisis sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan yang umum. b. Metode deduktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari suatu kaedah yang umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya ketentuanketentuan umum yang ada dalam nash dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisis status hukum praktik pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis di Kel. Kalibaru.
F.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam pengkajian masalah serta menciptakan sistemisasi penulisan skripsi ini, maka penulis membagi pokok-pokok bahasan sebagai berikut :
14
Bab pertama tentang pendahuluan yang meliputi pokok-pokok permasalahan, yaitu Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. Bab kedua tentang kajian teoretis tentang mahar. Bab ini berisikan Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam, Dasar Hukum Mahar, Syarat dan Macam-macam Mahar, Bentuk dan Kadar Mahar, dan Gugurnya Mahar Bab ketiga tentang potret wilayah Kel. Kalibaru Kec. Cilincing Jakarta Utara. Dalam bab ini dipaparkan mengenai Gambaran Lokasi Penelitian, Masyarakat Suku Bugis di Kel. Kalibaru, Prosesi Perkawinan Masyarakat Suku Bugis. Bab keempat tentang substansi dari penelitian (skripsi) ini. Dalam bab ini dipaparkan tentang Konsepsi Masyarakat Bugis tentang Mahar, Praktik Pemberian Mahar, Tinjauan Hukum Islam tentang Implementasi Pemberian Mahar dalam Masyarakat Suku Bugis. Bab kelima tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, dan ditutup dengan saransaran.
BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR
A.
Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam Dalam istilah ahli fikih, di samping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan “shadaq”, “nihlah” dan “faridhah” dalam bahasa Indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.1 Makna dasar shadaq yaitu memberikan derma (dengan sesuatu), nihlah artinya pemberian, faridhah artinya memberikan.2 Mahar secara etimologi berasal dari bahasa Arab dan termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni mahran َمهْرًاatau kata kerja, yakni fi’il dari َمهْرً ا-ُ يَ ْمهَر-َ َمهَر, lalu dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni َمهْرًا, sedangkan pemakaian katanya َ َمهَ َرهُ المَرَْأةdisebut (memberikan mahar kepada perempuan).ج َعلَ َلهَا َمهْرًا َ artinya (memberinya mahar).3 Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu pemberian
1
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (t.tp,
t.th), h. 36 2
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 121
3
Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid 2, h. 889
15
16
yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).4 Adapun pengertian mahar dalam KHI adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.5 Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar-nya, sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa dalam Al-Qur’an, sebutan mahar dengan lafadz al-Nihlah adalah sebuah pemberian yang ikhlas sebagai bukti ikatan kekerabatan serta kasih sayang.6 Dalam tradisi Arab, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah, dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah. Definisi yang diberikan oleh ulama sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, defnisi tepat yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah “ pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-
4
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 84
5
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 6
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. Ke-1, h. 79
17
laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah “.7 Menurut penulis mahar adalah harta atau pekerjaan yang diberikan kepada perempuan oleh seorang laki-laki kepada perempuan sebagai dalam sebuah pernikahan dengan kerelaan dan kesepakatan bersama. B.
Dasar Hukum Mahar Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.8 Ketentuan ini terdapat di beberapa ayat Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 4 : Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa’ : 4)
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 85 8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 85
18
Demikian pula firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 24 :
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisaa’ : 24) Berdasarkan kedua ayat diatas selain didalam Al-Qur’an, hal mahar juga disebutkan dalam sabda Nabi SAW, diantaranya yaitu : 1. Hadis yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi
Artinya : “Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin Said as-Sa’idi bahwa Nabi 9
Imam Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh:Baitul Afkar Addauliyah, 1998), h. 601
19
berkata:” hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya dengan mahar )sebuah cicin yang terbuat dari besi”(HR Bukhari). 2. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi :
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata; tatkala mengawini Fatimah r.a, maka Rasul bersabda kepadanya: berilah Fatimah itu sesuatu, Ali menjawab: saya tidak mempunyai sesuatu, beliau bertanya: mana baju besi Hutamiyyahmu?” (HR. abu Daud dan Nasi’i dan dinilai Shahih oleh Al-Hakim) 3. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi:
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW, sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya”. (HR. Baihaqi). Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. 10
Muhammad Ibnu Ismail As-San’ani, Subul as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr. t.th), Juz 3, h.
11
Ahmad Ibn Al-hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz 3,
221
h. 13
20
Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib. Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batas maksimalnya. Yang jelas, meskipun sedikit mahar wajib ditunaikan. Dasarnya adalah hadis Sahl ibn Sa’ad al-Sa’idi.
ًﻼ ·
؟
:
· ذ َڪ َ
؟
( · Artinya : Rasulullah SAW didatangi seorang perempuan, kemudian mengatakan “Wahai Rasuullah SAW. sungguh aku telah menyerahkan diriku kepada engkau”, maka berdirilah wanita itu agak lama, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata “Wahai Rasulullah SAW. jodohkan saja dia dengan aku sekiranya engkau kurang berkenan”. Rasulullah SAW. bersabda “Apakah kamu mempunyai sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar)?”. Laki-laki itu menjawab “Saya tidak memiliki apa-apa selain sarungku ini”. Rasul bersabda “Kalau kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk tanpa busana, karena itu carilah sesuatu”! laki-laki itu berkata “Aku tidak mendapati sesuatu”. Rasul bersabda (lagi) “Carilah, walaupun sekedar cincin besi”! Maka laki-laki itu mencari,dan tidak mendapati sesuatu. Lalu Rasul menanyakan lagi “Apakah
21
kamu ada sesuatu dari Al-Qur’an?”. Maka ia menjawab “Ya, surat ini, dan surat ini, menyebut beberapa surat”, maka Rasulullah SAW. bersabda “Sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari AlQur’an”. (Riwayat Muslim) C.
Syarat dan Macam-macam Mahar Mahar yag diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :12 1. Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar. 2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. 3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. 4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
12
40
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 39-
22
Ada perbedaan pendapat tentang syarat-syarat mahar tersebut yaitu : Golongan Malikiyah berpendapat apabila ketika akad disebutkan mahar yang berupa barang ghasab, jika kedua mempelai megetahui kalau mahar tersebut barang ghasab dan keduanya rasyid (pandai) maka akadnya rusak, dan fasakh sebelum dukhul, tetapi akadnya tetap jika telah dukhul serta wajib membayar mahar mitsil apabila keduanya masih kecil (tidak rasyid). Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya saja, maka nikahnya sah. Tetapi kalau pemilik benda (yang dibuat mahar) mengambil benda yang dijadikan mahar. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, akad dan tasmiyah (penyebutan mahar) sah baik keduanya mengetahui atau tidak, bahwa benda yang dibuat mahar adalah ghasab. Jika pemilik barang membolehkan benda tersebut dijadikan mahar, maka benda tesebut jadi mahar, tapi jika tidak membolehkan maka suami wajib mengganti sesuai dengan harga benda tersebut dan tidak membayar mahar mitsil. Dari segi dijelasnya, mahar terbagi menjadi dua yaitu : 1. Mahar Musamma Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan.selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan. Suami wajib
23
membayar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu.13 Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila terjadi dukhul, hal ini didasarkan pada Surat An- Nisaa’ ayat 20 : Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (QS. AnNisaa’ : 20) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’, Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT :
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 89
24
Artinya : “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteriisterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Baqarah : 237) 2. Mahar Mitsil Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.14 Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 89
25
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan, yaitu : a. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. b. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras. c. Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan. Cara menentukan mahar mitsil ialah dengan memperhatikan mahar pihak ashabahnya (pihak bapak permpuan). Apabila wanita itu sama cantiknya, pandainya dan lain-lain dengan saudaranya dari pihak ashabahnya itu, maka maharnya baru disamakan dengan mahar saudara dari pihak ashabah itu. Jika tidak dapat diketahui mahar dari pihak ashabah itu karena belum ada yang kawin, maka beralih kepada pihak ibunya. Jika dari pihak ibu juga tidak ada, maka menurut al-Mawardi, saudara ibu didahulukan daripada nenek. Kalau semua yang tersebut itu sukar diketahui, maka lalu melihat wanita lain (di luar ikatan keluarga) seperti perempuan Arab sesama Arabnya, perempuan merdeka dengan sesama merdekanya dan seterusnya.15
15
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85
26
D.
Bentuk dan Kadar Mahar Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.16 Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Qur’an dan demikian pula dalam hadis Nabi. Contoh
mahar
dalam
bentuk
jasa
dalam
Al-Qur’an
ialah
mengembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan dalam surat Al-Qashash ayat 27 : Artinya : “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, 16
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 40
27
atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".(QS. Al-Qashash : 27) Maksud dari ayat diatas adalah ada orang tua yang berkata dengan seorang laki-laki jika kamu bekerja dengan saya maka saya akan menikahkan kamu dengan salah satu anakku. Dengan kata lain berarti suatu pekerjaan dapat menjadi sebuah mahar. Misalnya, mengajarkan membaca Al-Qur'an, mengajarkan ilmu agama, bekerja dipabriknya, menggembalkan ternaknya, dan lain sebagainya. Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan si istri. Suami hendaklah benarbenar sanggup membayarnya, karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang
kepada
orang
lain.
Kalau
tidak
dibayar,
akan
dimintai
pertanggungjawabannya. Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegahmegah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan dia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya.17 Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar ini. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan
17
393-394
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), Cet. Ke-27, h.
28
kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik berpendapat “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar”. Berdasarkan hadis sebagai berikut :
Artinya : “Saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu dalah batasan minimal yang mewajibkan adanya potongan tangan”. Sebagian dari penduduk Kufah berpendapat : “Bahwa mahar itu tidak boleh kurang dari sepeluh dirham dan ini (mahar) wajib hukumnya menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah”.18 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Dari apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan alBaihaqi dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
ضيَ اهللُ عَنْوُ قَالَ قَالَ رَسٌُْل اهللِ صلى اهلل عليو ًسلم ِ َعَنْ جَابَر بِنْ عَبْدِ اهلل ر ال يَنْكِحُ النِسَاء إال كفؤا ًَلَا يزًجين إال األًلياء ًَالَ مير دًن عَشَرَ ُة دِرْاىَم َ 19
18
19
)(رًاه البييقي
M. abdul Ghofar, Fiqh Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), Cet. Ke-1, h. 411-412
Al-Kamal bin al-Hammam al-Hanafi, Fathur Qadir’alal Hidayah Syarh Bidayatil Mubtadi, (Mesir: Mathabil al-Halabi, t.th), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 435
29
Artinya : Jangan menikahkan wanita kecuali sekufu’ dan jangan mengawinkan wanita kecuali oleh para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.(HR. Baihaqi) Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya. Sebaiknya di dalam pemberian mahar, diusahakan sesuai dengan kemampuannya, pemberian mahar tersebut baik yang didahulukan atau yang ditangguhkan pembayarannya, hendaklah tidak melebihi mahar yang diberikan kepada isrti-istri Rasulullah SAW dan putri-putri beliau, yaitu sebesar antara empat ratus sampai lima ratus dirham. Bila diukur dengan dirham yang bersih, maka mencapai kira-kira sembilan belas dinar. Ini adalah Sunnah Rasulullah SAW. Barang siapa yang mengerjakannya, maka ia telah mengikuti sunnah beliau di dalam pemberian mahar Betapa besar perbedaan antara kesederhanaan Islam dalam hal pernikahan dan persepsi perkawinan serta tradisi yang berlaku pada zaman jahiliyah. Sehingga perkawinan tidak lagi dianggap sebagai mendatangkan bencana bagi sang suami, sebagaimana pernah diungkapkan melalui pernyataan berikut ini : “Tiga perkara yang memberatkan suami (karena
30
pernikahan), yaitu rumah untuk sang istri, tempat berkumpul dan pesta yang diiringi oleh musik (yang banyak sekali menuntut harta kekayaan)”.20 Apabila dalam praktik yang berlaku di sebagian masyarakat, bahwa calon mempelai laki-laki pada saat tunangan telah memberikan sejumlah pemberian, adalah semata-mata sebagai kebiasaan yang dianggap baik sebagai tukon trisno atau tanda cinta calon suami kepada calon istrinya.21 E.
Gugurnya Mahar Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beli yang mengandung lima persoalan pokok, yaitu :22 1. Barangnya tidak boleh dimiliki 2. Mahar digabungkan dengan jual beli 3. Penggabungan mahar dengan pemberian 4. Cacat pada mahar 5. Persyaratan dalam mahar
20
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Azzam, 1999), Cet. Ke-
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo, 2003), Cet. Ke-6, h.
22
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 48
1, h.
103
31
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya. Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya. Menurut ulama Hanafiyah bila mahar rusak atau hilang setelah diterima oleh istri, maka secara hukum suami sudah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab istri. Bila ternyata istri putus perkawinannya sebelum bergaul, maka kewajiban suami hanya separuh dari mahar yang ditentukan. Jadi separuh mahar yang diterima oleh istri itu menjadi hak suami. Karena mahar itu sudah rusak atau hilang, maka yang demikian menjadi tanggungan istri. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mahar sebelum suami istri bergaul merupakan kewajiban bersama dalam menggati kerusakan atau kehilangan dan sebaliknya juga merupakan hak bersama dalam pertambahan nilai. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah suami bertanggung jawab atas mahar yang belum diserahkan dalam bentuk tanggung jawab akad dengan arti
32
bila rusak atau hilang karena kelalaian suami ia wajib menggantinya, tetapi bila rusak atau hilang bukan karena kelalaiannya tidak wajib menggantinya.23 Ulama Hanabalah berpendapat bahwa mahar yang dinyatakan dalam bentuk yang tertentu dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi tanggungan istri sedangkan bila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan hilang atau rusak sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungan suami. Suatu perceraian datangnya dari pihak suami sebelum persetubuhan dilaksanakan maka maharnya harus dibayar setengah dari jumlah yang sudah diikrarkan, demikianlah menurut ketentuan Al-Qur’an yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 237 : Artinya : Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 237) 23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 96-97
33
Maksud dari ayat yang di atas yaiutu mantan suami hanya boleh mengambil setengah dari mahar yang telah diserahkan, baik berupa uang maupun barang lainnya, karena suami tidak mengharuskan mantan istrinya itu untuk memberikan sesuatu selain yang dikehendaki istri.
BAB III POTRET WILAYAH KEL. KALIBARU KEC. CILINCING JAKARTA UTARA
A.
Gambar Lokasi Penelitian Kalibaru adalah salah satu Kelurahan yang ada di Jakarta Utara, yang memilik area seluas 251,20Ha. Kelurahan Kalibaru memiliki jumlah penduduk sebanyak 44.726 jiwa. Jumlah Rukun Warga (RW) di Kelurahan Kalibaru sebanyak 14 RW dan 172 Rukun Tangga (RT) dengan jumlah KK sebanyak 16.101 KK.1 Kelurahan Kalibaru memiliki batas wilayah yaitu Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jl. Raya Cilincing, Kali Banglio (Kel. Lagoa Kec. Koja, Kel. Semper Barat, Kel. Semper Timur dan Kel. Cilincing). Sebelah Timur berbatasan dengan Jl. Baru dan Jl. Rekreasi Kel. Cilincing. Sebelah Barat berbatasan dengan jembatan /kali Kresek, Kel. Koja Kec. Koja. Adapun kondisi demografis yaitu sebagai berikut : a. Status/Peruntukan Pertanahan di Kelurahan Kalibaru terdiri dari Tanah yang bersertifikat seluas 13,50 Ha, Tanah Negara seluas 233, 20 Ha, Tanah Kering seluas 246, 20 Ha, dan Tanah Empang seluas 05, 00Ha. 1
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
34
35
b. Jumlah dan Kepadatan Penduduk : 1) Jumlah Penduduk di tiap RW Jumlah kepadatan penduduk di kelurahan Kalibaru yang dilihat dari jumlah Kepala Keluarga (KK) yaitu KK laki-laki sebanyak 15.408 KK dan KK perempuan sebanyak 693 KK. Jumlah laki-laki di Kelurahan Kalibaru ada 21.759 jiwa dan perempuan 22.967 jiwa. Lebih jelasnya penulis tampilkan berdasarkan tiap RW. Table 1.12
2
NO.
RW.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
01 02 03 04 05 06 07 08 09 010 011 012 013 014 015 Jumlah
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
WNI LK 1184 1167 1865 1881 1962 2025 2003 1099 796 956 0 1357 2839 1480 1145 21759
PR 2356 2230 2261 1996 1377 1798 2245 2208 906 1045 0 1313 1144 931 1157 22967
Jumlah 3540 3397 4126 3877 3339 3823 4248 3307 1702 2001 0 2670 3983 2411 2302 44726
36
2) Jumlah Penduduk MenurutUmur Table 1.23 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
USIA-TAHUN 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74 75 keatas JUMLAH
L 3245 2306 2530 1334 1079 1205 1197 1975 1249 1874 1152 387 562 618 622 424 21759
P 1824 2764 2763 1851 1513 2373 1592 1417 1586 1227 1173 873 805 942 163 101 22967
JUMLAH 5069 5070 5293 3185 2592 3578 2789 3392 2835 3101 2325 1260 1367 1560 785 525 44726
Berdasarkan tabel di atas penduduk di Kelurahan Kalibaru kebanyakan berumur 10 sampai 14 tahun, sekitar masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama. 3) Data Penduduk menurut Pendidikan Pendidikan di Kelurahan Kalibaru penduduknya kebanyakan berpendidikan tidak tamat sekolah. Walaupun tidak tamat sekolah tetapi mereka tidak buta huruf dengan kata lain masih bisa membaca dan menulis. Lebih jelasnya lihat tabel berikut ini: 3
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
37
Table 1.34 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6.
PENDIDIKAN Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/PT
L 3754 6420 5798 186 4720 889
P 4014 6573 6373 180 4829 993
JUMLAH 7768 12993 12171 366 9549 1882
Kalibaru
banyak
yang
4) Mata Pencaharian Penduduk Penduduk
di
Kelurahan
mata
pencahariannya itu adalah sebagai nelayan baik laki-laki maupun perempuan, karena Kelurahan Kalibaru ini adalah daerah pesisir. Banyak dari mereka yang memiliki tambak, beternak kerang, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya tentang mata pencaharian Kelurahan Kalibaru sebagai berikut : Table 1.45 NO.
NAMA PEKERJAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tani Karyawan/PNS/TNI Pedagang Nelayan Buruh Pensiunan Lain-lain
4
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
5
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
JENIS KELAMIN LK
PR
134 2222 8667 1846 473 1630
290 2024 8837 2727 470 1776
Jumlah 424 4246 17504 4573 943 3406
38
5) Agama Walaupun ada penduduk di Kelurahan Kalibaru beragama non Islam tapi mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam. Mereka saling menghormati satu sama lainnya walaupun berbeda agama. Penulis rinci sebagai berikut tentang agama di Kelurahan Kalibaru di tiap RW. Tabel 2.16 NO RW . 1. 01 2. 02 3. 03 4. 04 5. 05 6. 06 7. 07 8. 08 9. 09 10. 010 11. 011 12. 012 13. 013 14. 014 15. 015 Jumlah B.
Islam 3249 2320 2893 2263 3111 3146 3120 3531 2953 2616 3622 3529 3153 3318 42824
AGAMA JUMLAH Protestan Katolik Hindu Budha 108 32 4 5 3398 47 23 5 8 2403 103 35 10 12 3053 108 35 7 26 2439 11 35 9 28 3298 115 35 10 16 3322 113 36 7 26 3302 79 15 6 5 3636 86 30 8 26 303 59 20 7 9 2711 61 21 6 7 3717 89 30 7 15 3670 76 27 6 5 3267 60 19 5 5 3407 1219 393 97 193 44726
Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kalibaru Masyarakat Bugis adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa
6
Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru
39
orang-orang Bugis pada masa lalu sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa yang akan datang masih terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Bagi suku-suku lain di sekitarnya, orang Bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Namun demikian di balik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya. Suku
Bugis
juga
dikenal
sebagai
perantau
sehingga
tidak
mengherankan jika di beberapa tempat di kepulaan Nusantara ini, bahkan sampai ke negeri lain terdapat perkampungan suku Bugis, contohnya saja di Kelurahan Kalibaru ini terdapat sekumpulan orang-orang Bugis. Hampir di seluruh pesisir pantai di pelosok nusantara akan ditemukan komunitas orang Bugis. Mereka hadir di daerah tersebut menjadi perantau (pasompe). Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Tapi dikarenakan di daerah Kalibaru tidak terdapat lahan untuk bercocok tanam maka orang Bugis di Kelurahan Kalibaru ini bekerja sebagai nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan
40
menekuni bidang pendidikan. Orang Bugis perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli. Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Kelurahan Kalibaru itu sendiri. Kelurahan Kalibaru memiliki potensi sumber daya alam serta dukungan SDM untuk perkembangan Kelurahan Kalibaru. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat suku Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru sekitar 65% dari 44.726 jiwa di Kelurahan Kalibaru. Kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan sekitar 57% dari 17.504 jiwa yang bekerja sebagai nelayan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain orang Bugis ada juga suku Sunda sebanyak 3%, Betawi sebanyak 5%, Madura sebanyak 8%, Jawa sebanyak 17%, dan suku lainnya sebanyak 2%.7 Pada umumnya orang Bugis mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu.8 Sedangkan garis keturunannya berdasarkan ayah.
7
8
Hasil wawancara dengan wakil ketua Kel. Kalibaru
Gita, Tata Cara Perkawinan Adat Makassar, artikel diakses pada 1 Juli 2010 dari http://jendelabugis.blogspot.com/2010/03/tata-cara-perkawinan-adat-bone.html
41
Orang bugis yang tinggal di Kelurahan Kalibaru sudah menyatu dengan adat yang lainnya sehingga melebur mengikuti suku lain yang ada di Kelurahan Kalibaru, karena masyarakat di Kelurahan Kalibaru berbagai macam suku seperti Sunda, Betawi, Madura, Jawa, dan lain sebagainya. Walaupun berbeda suku mereka saling menghormati dan menghargai suku lainnya. C.
Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Bugis di Kalibaru Perkawinan bagi suku Bugis dipandang sebagai suatu yang sakral, religious dan sangat dihargai. Tata cara perkawinan adat suku Bugis diatur sesuai dengan adat dan agama sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh tata krama dan sopan santun serta saling menghargai. Perkawinan ideal pada masyarakat suku Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Bahwa seorang laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk mendapatkan jodohnya dalam lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Perkawinan dalam lingkungan keluarga makin mempererat hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan yang paling baik dalam lingkungan keluarga ialah yang berada dalam hubungan horizontal sebagai berikut :9
9
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, h. 75
Adat dan Upacara
42
1) Siala massapposiseng ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu sekali. Hubungan semacam ini yang paling ideal dahulu dikalangan bangsawan tinggi (raja-raja) untuk menjaga kemurnian darah. Perjodohan tersebut disebut juga assialang marola (perjodohan yang sesuai). 2) Siala massappo kadua ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu dua kali biasa pula disebut assialanna memeng maksudnyanya perjodohan yang baik sangat serasi. 3) Siala massappo katellu ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu tiga kali disebut ripasilorongngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh, biasa juga dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe mabelae. Hubungan perkawinan yang ideal selalu dalam lingkungan kerabat ialah hubungan yang berdasarkan karena kedudukan assikapukeng maksudnya mempunyai hubungan sejajar karena kedudukan sosial yang setaraf tujuannya untuk memperkokoh kedudukan dengan mempererat hubungan kekerabatan. Perkawinan kerabat yang dalam lingkungan kerabat dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak baik atau tidak ideal, yaitu perkawinan antara paman dan kemenakan atau antara bibi dan kemenakan.10
10
Bekti Lasmini, Adat Istiadat dan Pakaian Pengantin Sulawesi Selatan, (Jakarta : Institut Kesnian, 1981), h. 19
43
Peminangan adalah suatu proses perbuatan, cara meminang atau melamar, atau meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Peminangan merupakan suatu proses awal dari suatu rangkaian kegiatan suatu pernikahan yang dilaksanakan secara norma, beradab, beradat dan beragama.11 Adapun tata cara perkawinan masyarakat suku Bugis yaitu sebagai berikut : a. Mattiro / Paita Yang dimaksud mattiro ini adalah seorang laki-laki yang mencari perempuan untuk dinikahinya yang belum dikenalnya dan informasi tersebut datangnya dari orang lain, kemudian ia datang tanpa ada yang tahu bahwa ia ingin melihat perempuan dan begaimana keluarganya. b. Mappese-pese Mappese-pese atau mammanu-manu atau mabbaja laleng adalah suatu cara untuk mengetahui sudah terikat atau tidaknya si gadis yang telah dipilihnya dan untuk mengetahui kemungkinan diterima atau tidaknya pinangannya nanti.12
11
Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar : CV. Telaga Zamzam, 2001), h. 18 12
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, (Makassar : CV. Aksara, 2002), h. 8-9
44
c. Madduta Madduta adalah pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang telah disepakti oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan itu harus orang yang dituakan dan tahu seluk-beluk madduta. Ia harus pandai membawa diri agar keluarga si gadis tidak merasa tersinggung. Tahap ini adalah kelanjutan dari tahap petama (Mappese-pese). d. Mappettu Ada Mappettu Ada ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan yang telah diambil pada waktu pelamaran dilakukan yang bahasa Bugis dinamakan “Mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, mas kawin, penentuan hari akad nikah/perkawinan dan lain sebagainya. Di Kabupaten Bone sejak dahulu sampai sekarang Mappetu Ada ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak laki-laki dengan juru bicara pihak perempan.13 Dalam acara Mappetu Ada, dibicarakanlah berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan yang meliputi :
13
Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Makassar : Indobis, 2006), h. 140
45
1) Tanra Esso (Penentuan Hari) Penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga pada umumnya. Jika pihak keluarga, baik laki-laki atau perempuan berstatus petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada saat musim tanaman padi, biasanya hari yang dipilih ialah hari sesudah tanam padi atau sesudah panen.14 2) Doi Menre (Uang Belanja) Sesudah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal yang paling penting adalah besarnya uang naik diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.15 Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan kelaziman atau kesepakatan
lebih
dahulu
antar
anggota
keluarga
yang
melaksanakan pernikahan.16 Selain uang belanja ada pula hadiah-hadiah yang biasa disebut Leko atau seserahan. Leko ini diberikan pada waktu mengantar 14
Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h. 32-33
15
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, (Makassar : Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007), h. 16 16
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, h. 12
46
pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya Leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari, make up, handuk, sepatu, dan lain sebagainya Di depan pengantin lakilaki ada beberapa laki-laki tua yang berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan berikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting.17 3) Sompa Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi
17
Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h.51
47
menurut
tingkatan
strata
sosial
atau
tingkatan
sosialnya
seseorang.18 Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan mata uang lama (orang Bugis menyebutnya Rella). Bagi bangsawan tinggi sompa atau maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu orang hamba (ata) senilai 40 Real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut Sompa Bocco ( sompa puncak) yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to deceng) setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati.19 Adapun tingkatan-tingkatan sompa menurut adat Bugis, adalah sebagai berikut : a) Bangsawan Tinggi
= 88 Real
b) Bangsawan Menengah
= 44 Real
c) Arung Palili
= 40 Real
d) Todeceng
= 28 Real
e) To Maradeka
= 20 Real
18
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
19
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
h. 16
h. 17
48
f) Hamba Sahaya (ata)
= 10 Real
Orang Bugis di Kelurahan Kalibaru ada juga yang menikah dengan suku lain maka biasanya dalam acara mappettu ada salah satu yang dibicarakannya adalah pakaian yang akan digunakan pada waktu pesta pernikahan. Misalkan jika pihak laki-laki dan perempuan berasal dari suku Bugis maka pakaian yang dipakai adalah pakaian adat Bugis. Sedangkan jika salah satu dari pihak laki-laki dan perempuan berbeda suku maka ditentukanlah pakaian apa yang akan dikenakan pada acara pernikahan. Adanya kompromi antara keluarga perempuan dengan laki-laki untuk menentukan pakaian apa yang akan digunakan. Pada dasarnya prosesi perkawinan masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru dengan masyarakat Bugis yang di Sulawesi tidak berbeda dengan kata lain prosesinya sama, hanya saja masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru menyederhanakan tahapan-tahapan tersebut. Maksudnya menyederhanakan disini adalah prosesi perkawinannya tidak semua dilaksanakan seperti mattiro dengan mappese-pese dijadikan dalam satu pelaksanaan. Hasil wawancara dari penulis dengan orang Bugis di kalibaru, pihak laki-laki hanya datang dua kali yaitu pada waktu madduta (melamar) dan saat mappettu ada. Pada saat mappettu ada dibicarakanlah tanra esso. Penulis sudah mengamati beberapa perkawinan masyarakat Bugis, ternyata orang Bugis di
49
Kalibaru saat menentukan hari pernikahannya kedua belah pihak keluarga yang akan menikah menunjuk salah seorang yang mereka percayai sebagai orang yang tahu tentang hari-hari yang baik untuk melakasanakan pernikahan. Biasanya orang yang ditunjuk itu sudah berumur dan orang tersebut biasanya masih ada hubungan keluarga dengannya.
BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR DALAM PANDANGAN ISLAM
A.
Konsepsi Masyarakat Bugis tentang Mahar Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.1 Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada salah satu tokoh masyarakat yang ada di Kelurahan Kalibaru memberikan pengertian mahar yaitu suatu perintah untuk diberikan kepada mempelai perempuan, dan oleh Agama tidak ditentukan jumlahnya.2 Mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya yang diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, saham, kontrakan atau benda berharga lainnya.
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Inonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi 3, Cet. Ke-3, h. 696 2
Wawancara Penulis dengan tokoh masyarakat Kelurahan Kalibaru, Bapak H. Kaharuddin
50
51
Adanya kerelaan dan kesederhanaan, dalam arti disesuaikan dengan kemampuan si suami tidak ada paksaan jumlah tertentu. Bahkan Islam lebih mengedepankan kesederhanaan dalam hal mahar. Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya Sompa. Sompa artinya maskawin atau mahar sebagai syarat sahnya perkawinan. besarnya Sompa telah ditentukan menurut golongan dan tingkatan si perempuan. Menurut Ibu Ros salah satu warga yang bertempat tinggal di kelurahan Kalibaru mengatakan bahwa orang Bugis sangat menjaga harga diri keluarga mereka, contohnya saja dalam menjodohkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki. Beliau mengatakan bahwa mahar itu penting untuk masa depan calon istri, menurutnya mahar itu diberikan sesuai dengan stratifikasi perempuan tersebut, karena mahar perempuan itu mencerminkan bahwa keluarganya itu dari kalangan yang baik. Makanya kebanyakan orang Bugis menikah dengan orang Bugis juga karena selain sudah mengetahui bagaimana keadaan keluarga masing-masing, tapi agar keturunannya itu tidak terlepas dari keluarganya.
52
B.
Praktek Pemberian Mahar Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan.3 Kroeber dan Klukhon (1950) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsesus) yang mendekati. Definsinya adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama ditirukan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.4 Masyarakat Bugis sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, laki-laki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Hubungan mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan. Pemberian mahar disebut dan diberikan pada waktu akad nikah yang dibawa ketika mappenre botting5. Tetapi sebelumnya mahar tersebut sudah 3
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), Cet. Ke-23, h. 1 4
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 1998), Edisi 3, Cet. Ke-6, h. 11 5
Mappenre botting merupakan kegiatan menganta pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah
53
dibicarakan pada saat acara mappetu ada, yang telah diputuskan jumlah mahar yang akan diberikan pengantin perempuan. Bahkan sebelum mappetu ada juga sudah disepakati jumlah mahar yang akan diberikan. Sedangkan doi menre diberikan pada waktu mappetu ada, untuk membiayai pesta perkawinan. Biasanya masyarakat suku Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru akad nikah dengan pestanya dilaksanakan dalam satu hari. Adapun perkawinan yang telah penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan salah satu warga Kelurahan Kalibaru. Wawancara dengan Siti Salmawati di kalibaru pada 16 Mei 2011. Ia berasal dari suku Jawa yang menikah dengan laki-laki Bugis yang menikah pada 25 Oktober 2010 di Masjid yang ada di sekitar rumahnya, mengatakan bahwa ia diberikan mahar berupa perhiasan cincin dan gelang dengan berat 5 gram yang diberikan pada akad nikah. Sedangkan doi menre atau uang naiknya sebesar Rp. 10.000.000 yang diberikan 1 minggu sebelum pernikahan semuanya itu ditanggung oleh pihak laki-laki. Karena laki-laki dari suku Bugis pada saat melamar keluarganya mengutus orang dari salah satu keluarga laki-laki untuk datang ke rumah perempuan dengan kata lain untuk berbicara dengan keluarga perempuan tersebut. Beliau mengatakan bahwa
54
pihak laki-laki datang 2 kali, pertama datang untuk melamar si perempuan dan membicarakan mahar, kedua menentukan waktu pernikahan.6 Bermacam-macam jumlah mahar yang diberikan oleh pengantin lakilaki kepada mempelai perempuan, biasanya dilihat dari stratifikasi yang ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis yang akan dijadikan istri. Salah satu penyebab mahar perempuan Bugis tinggi adalah karena anak perempuan tersebut berasal dari keturunan bangsawan. Jadi orang tua mereka berkeinginan untuk menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sederjat dengan keluarga mereka. Misalkan perempuan tersebut keturunan dari Andi maka perempuan tersebut menikah dengan laki-laki yang memiliki keturunan dari Andi juga atau sederajatnya.7 Penulis berpendapat bahwa berdasarkan apa yang diamati yaitu pemahaman masyarakat suku Bugis khususnya di Kelurahan Kalibaru pada masalah pemberian mahar sudah berkembang, seperti pada waktu Ijab Kabul dalam menyebutkan maharnya. Seperti perkawinan salah satu warga dari hasil wawancara dengan Hj. Ros di Kalibaru pada 16 Mei 2011, mengatakan bahwa pada waktu anaknya menikah pada 3 April 2011 dengan laki-laki dari suku Betawi,
ketika
mengucapkan
maharnya
mempelai
laki-laki
6
Wawancara Penulis dengan masyarakat Kelurahan Kalibaru, Siti Salmawati
7
Wawancara Penulis dengan warga masyarakat Kelurahan Kalibaru Ibu Asih
hanya
55
mengucapkan jumlah maharnya saja yaitu uang sebesar Rp.500.000 dan cincin 5 gram tidak ada menyebutkan seperangkat alat shalat tidak seperti perkawinan lain yang ada di Kelurahan Kalibaru, beliau mengatakan ia ingin mengikuti adat Bugis tetapi seserahannya tetap ada seprangkat alat shalat. Sebelumnya orang tua laki-laki datang ke rumah perempuan untuk melamar tanpa ada orang lain. Ibu Hj. Ros mengatakan orang tua laki-laki sendiri yang langsung melamar tanpa ada utusan dari keluarganya. Perkawinannya mengikuti adat Bugis, tetapi ada juga tradisi Betawi seperti memberikan roti buaya pada seserahan, menyalakan pletasan.8 Ada juga perkawinan antara orang Bugis dengan orang Bugis juga seperti hasil wawancara penulis dengan Ibu Enni di Kalibaru pada 16 Mei 2011 yang menikah pada 31 Januari 1999 dengan laki-laki berasal dari suku Bugis. Ibu Enni yang sekarang sudah mempunyai 4 orang anak mengatakan bahwa pada waktu menikah beliau diberikan mahar sebuah cincin yang beratnya 3 gram, uang sebanyak Rp. 7.777.000, dan seperangkat alat shalat. Beliau menuturkan pada waktu calon suaminya ingin melamar yang datang ke rumahnya hanya orang utusan dari keluarga laki-laki yang mencari tahu apa sudah dilamar orang lain atau belum. Perkawinannya dilakukan berdasarkan adat Bugis.9
8
Wawancara Penulis dengan masyarakat Kelurahan Kalibaru, Ibu Hj. Ros
9
Wawancara Penulis dengan masyarakat Kelurahan Kaliburu, Ibu Enni
56
Rata-rata masyarakat suku Bugis di Kelurahan Kalibaru pada saat aqad maharnya hanya disebut seperangkat alat shalat. sedangkan suku Bugis yang ada di Sulawesi Selatan yang belum bercampur dengan adat-adat lain masih menyebutkan maharnya dengan simbol seperti 88 Real, jika si perempuan tersebut keturunan bangsawan. Seperti contoh sebagai berikut: “Saudara A bin B saya menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali kepada saya dengan………….dengan mahar 88 Real karena Allah” kemudian dijawab
oleh
pengantin
Laki-laki
“Saya
terima
nikahnya
dengan
…………..dengan mahar 88 Real karena Allah”. 88 Real tidak mempunyai nilai itu hanya sebagai simbol bahwa perempuan tersebut adalah masih keturunan bangsawan. Tetapi sompa atau mahar 88 Real ini sudah jarang kebanyakan maharnya adalah 44 Real. C.
Tinjauan Hukum Islam Tentang Implementasi Pemberian Mahar Dalam Masyarakat Suku Bugis Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan atau pernikahan. Begitu pentingnya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung atau tidak langsung berbicara mengenai perkawinan. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus
57
sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia diatas bumi.10 Dasar hukum perkawinan berdasarkan Sabda Rasulullah Saw: 11
Artinya:
Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. ( HR. Muttafaqun „Alaih) Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya,
sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Sesuai dengan hadis yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi
Artinya: “Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi‟ dari sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin Said as-Sa‟idi bahwa nabi 10
Tim Penyusun Lembaga Adat Saoraja, Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone, (Bone: Pustaka Wanua, 2009) 11
12
Imam Muhyiddin Annawawi, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Ma'rifah, 2007), h. 176.
Imam Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998), h. 601
58
berkata:” hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya dengan mahar )sebuah cicin yang terbuat dari besi”(HR Bukhari). Penentuan mahar dalam Islam itu tidak ada batasan minimal atau maksimal mahar yang akan diberikan laki-laki kepada perempuan yang ingin menikah. Jumlah tidak ada masalah, pemberian mahar itu sebagai rasa cinta kasih seorang laki-laki kepada perempuan, dan mahar sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Walaupun seberapa jumlah mahar yang akan diberikan. Islam bukanlah tujuan utama dan bukan pula sebagai pemberian harga bagi seorang perempuan, bahkan disyari’atkan dalam Islam meringankan dan memudahkan mahar dan tidak berlebih-lebihan dalam memberi mahar, berdasarkan hadis Rasulullah SAW.
Artinya : “Dari Aisyah ,sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Nikah yang paling banyak berkatnya adalah yang paling sedikit maharnya” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Penentuan mahar dalam masyarakat suku Bugis juga sama seperti Islam yang sebenarnya mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, tapi ada yang membedakan yaitu seperti perempuan itu keturunan dari bangsawan yaitu maharnya 88 Rella, tapi itu hanya sebagai
59
simbol verbal saja dan tidak ada wujudnya, untuk mencirikan bahwa perempuan tersebut masih keturunan bangsawan. Selain Sompa 88 Rella untuk ana‟ arung, ada juga Sompa tau deceng (orang baik-baik) 44 Rella, Sompa tau sama (orang biasa) 22 Rella, Sompa ata‟ (budak) 11 Rella. Penggunaan tingkatan sompa atau mahar, sebagai implikasi klasifikasi masyarakat menggambarkan stratifikasi sosial calon pengantin perempuan menurut Adat berdasarkan keturunan. Dalam Islam pada dasarnya mahar itu diserahkan pada waktu aqad, begitu juga pada masyarakat suku Bugis yang maharnya langsung diterima oleh pengantin perempuan. Ada pun mahar yang dibayar secara kontan dan dibayar dengan hutang, penjelasannya sebagai berikut : Mahar Mu'ajjal adalah mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan ketika akad nikah atau setelah akad nikah dengan catatan keduanya belum berhubungan badan.13 Sedangkan apabila mahar tersebut dihutang atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar belakangan setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini disebut Mahar Muajjal (mahar yang ditangguhkan). Mahar Muajjal diperbolehkan dengan catatan ada keridhaan 13
Aep Saepulloh Darusmanwiati, Mahar, Resepsi Dan Adab Malam Pengantin Menurut Petunjuk Al-Qur‟an (Qatamea, 2005), h. 8
60
dan izin dari calon mempelai wanita. Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa mahar yang belum dibayar menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai kapanpun. Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar mu'ajjal, yakni dibayar ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama. Hal ini didasarkan pada dalil berikut ini:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS AlMumtahanah : 10)
61
Ada berbagai macam bentuk mahar yang akan diberikan kepada calon istri seperti, emas, seperangkat alat shalat, mengajarkan ilmu agama, bekerja dipabriknya, mengajarkan Al-Qur’an, menghafal Al-Qur’an berdasarkan hadis berikut :
ك َ َ فَثَ ْد زَوَجْتُكَهَا بِمَا مَع: هلل عَهَيْ ِه وَسَهَ َم ُ ي صَهَى ا َ ل انَن ِب َ م بِهْ سَعَد قَالَ قَا َ عَهْ سَ ْه ِمِه انقُرْاَن Artinya : “Sahl bin Sa‟di berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda (kepada lakilaki tersebut) : sungguh telah kunikahkan kalian berdua dengan Alquran yang ada padamu (kau hafal)”. (HR. al-Bukhari). Masyarakat Bugis memberikan mahar berupa benda yang bermanfaat untuk calon istrinya seperti sawah, rumah, emas, dan lain-lain. Rumah bisa dijadikan tempat tinggal bersama, sawah dapat dijadikan sebuah usaha, dan lain sebagainya. Mahar atau Sompa di dalam Islam dianggap sebagai ungkapan kasih sayang. Mahar juga merupakan isyarat atau tanda kemuliaan seorang perempuan. Allah mensyari’atkan mahar seperti sebuah hadiah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dilamarnya ketika telah mencapai kesepakatan diantara keduanya (unuk menikah). Mahar juga merupakan bentuk pengakuan terhadap kemanusiaan dan kemuliaan manusia.
14
Abu Abdillah Muhammad bin Imail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar alMa’rifah. t.th), Juz. 3, h. 232
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang terdahulu, penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan : 1. Pemberian mahar disebut dan diberikan pada waktu akad nikah yang dibawa ketika mappenre botting. Tetapi sebelumnya mahar tersebut sudah dibicarakan pada saat acara mappetu ada, yang telah diputuskan jumlah mahar yang akan diberikan pengantin perempuan. Masyarakat suku Bugis khususnya yang ada di Kelurahan Kalibaru sudah tidak memakai dengan penyebutan kata Rella yang berdasarkan status sosial mempelai perempuan menurut adat Bugis, tetapi langsung menyebutkan wujud mahar (sompa) seperti sepetak sawah, seperangkat alat salat, ataukah satu stel perhiasan, dan lain sebagainya sesuai kesepakatan yang akan diberikan kepada calon istrinya pada saat ijab qabul. 2. Tidak ada batas minimal dan maksimal dalam memberikan mahar kepada perempuan yang akan dinikahinya pada zaman sekarang. Tetapi masyarakat dilihat dari stratifikasi yang ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis yang akan dijadikan istri. sebagai implikasi klasifikasi masyarakat menggambarkan stratifikasi sosial calon pengantin
62
63
perempuan menurut Adat berdasarkan keturunan. Stratifikasi sosial masyarakat, khususnya masyarakat Bugis di Kelurahan Kalibaru mulai bergeser sehingga stratifakasi sosial masyarakat tidak diukur lagi berdasarkan keturunan, tetapi diukur dari kekayaan dan jabatan yang disandang oleh keluarga calon mempelai perempuan. 3. Islam bukanlah tujuan utama dan bukan pula sebagai pemberian harga bagi seorang perempuan, bahkan disyari’atkan dalam Islam meringankan dan memudahkan mahar dan tidak berlebih-lebihan dalam memberi mahar. Pada dasarnya hukum mahar adalah wajib dan sesuai dengan kemampuan suami dan kesepakatan atau persetujuan isteri. Sehingga tidak ada nash yang mengatur secara pasti tentang ukuran mahar atau jumlah mahar. Selanjutnya pada perkembangannya memang mahar itu bisa berbentuk materi dan bukan materi karena nabi sendiri pernah menikahkan seseorang dengan maskawin hanya hafalan Al-Qur’an. B.
Saran-saran 1. Diharapkan bagi masyarakat suku Bugis agar di dalam suatu pernikahan penentuan mahar tidak terlalu memberatkan pihak laki-laki. 2. Diharapkan agar Masyarakat Islam tidak terlalu melihat dari stratifikasi sosial seseorang. 3. Diharapkan kepada laki-laki untuk memberikan mahar kepada calon istrinya walaupun maharnya tidak besar, asalkan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dan Terjemahnya. Jakarta : Departemen Agama RI. Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press, 1994. Ahmad, Abd. Kadir. Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makassar : Indobis, 2006. Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-hasan Ibn Ali. Sunan al-Kubra. Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz 3. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Imail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar alMa’rifah, Juz. 3, t.th. Al-Bukhari, Imam Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail. Shahih Bukhari. Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah. 1998. Al-Hanafi, Al-Kamal bin al-Hammam. Fathur Qadir’alal Hidayah Syarh Bidayatil Mubtadi. Mesir: Mathabil al-Halabi, Jilid II, t.th, Cet. Ke-1. Al Husainy, Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad. Kifayatul Akhyar. Beirut : Dar al Fikr. Jilid 2. Al Istanbuli, Mahmud Mahdi. Kado Perkawinan. Jakarta : Pustaka Azzam, 1999, Cet. Ke-1. Al Jaziri, Abdu Ar Rahman. Kitab al Fiqh ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah. Beirut : Dar Al Fikr. 1969. Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Annawawi, Imam Muhyiddin. Shahih Muslim. Beirut: Darul Ma'rifah, 2007. As San’any, Muhammad ibn Isma’il. Subulu as-Salam syarh Bulughul al-Maram. Beirut : Dar al-Fikr, 1991. Cet. Ke-III Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 2005.
64
65
Darusmanwiati, Aep Saepulloh. Mahar, Resepsi Dan Adab Malam Pengantin Menurut Petunjuk Al-Qur’an. Qatamea, 2005. Departemen Kehakiman RI. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Gita. Tata Cara Perkawinan Adat Makassar. artikel diakses pada 1 Juli 2010 dari http://jendelabugis.blogspot.com/2010/03/tata-cara-perkawinan-adatbone.html Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana, 2006. Ghofar, M. abdul. Fiqh Wanita. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998, Cet. Ke-1. Hasan, A. terjemah Bulughul Maram Ibnu Hajar al Asqalani. Bandung : CV. Pustaka Tamam. 1991. Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2004. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia, 2008. Cet. Ke-23. Kountur, Ronny. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Lamallongeng, Asmat Riady. Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone. Makassar : Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007. Lasmini, Bekti. Adat Istiadat dan Pakaian Pengantin Sulawesi Selatan. Jakarta : Institut Kesnian, 1981. Madkur, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Jilid 2. Nonci. Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis. Makassar : CV. Aksara, 2002. Nurnaga, Andi. Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. Makassar : CV. Telaga Zamzam, 2001. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa, 1981. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004.
66
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : RajaGrafindo, 2003, Cet. ke-6. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Kairo: Daar al-Fath. Jilid I, 2000, Cet. Ke-1. Soelaeman, M. Munanda. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Refika Aditama, 1998, Edisi 3, Cet. Ke-6. Sopyan, Yayan. Metode Penelitian. Jakarta, 2009. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2007. Tihami, M. A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap. t.tp : t.th. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Inonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Edisi 3, 2005, Cet. Ke-3. Tim Penyusun Lembaga Adat Saoraja. Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone. Bone: Pustaka Wanua, 2009. Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010, Cet. Ke-1. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990.
67
Nama
: Siti Salmawati
Umur
: 22 Tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
1. Pertanyaan : Tahun berapa anda menikah ? Jawab
: 25 Oktober 2010
2. Pertanyaan : Suami anda berasal dari suku apa ? Jawab
: Bugis
3. Pertanyaan : Apakah anda dijodohkan ? Jawab
: Tidak, pilihan sendiri
4. Pertanyaan : Berapa jumlah mahar yang diberikan pada waktu menikah dan berupa apa ? Jawab
: Hanya seperngkat alat Shalat, Cincin dan Gelang 5 gram
5. Pertanyaan : Berapa uang naik (uang pesta) yang diberikan ? Jawab
: Rp. 10.000.000
6. Pertanyaan : Waktu menikah menggunakan adat apa ? Jawab
: Jawa, Sunda dan Bugis
7. Pertanyaan : Apakah masih menggunakan tahapan-tahapan pernikahan adat Bugis? Jawab
: Iya, karna suami saya orang Bugis
68
8. Pertanyaan : Bagaimana anda menanggap tentang mahalnya mahar perempuan Bugis ? Jawab
: Kalau bisa jangan terlalu menghambat pernikahan anak dengan
jumlah mahar yang mahar yang besar.
69
Nama
: Hj. Ros
Umur
: 43 Tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
1. Pertanyaan : Apakah ibu mempunyai anak perempua yang sudah menikah ? Jawab
: Iya, ada baru 2 bulan yang lalu
2. Pertanyaan : Berapa umur anak ibu sekarang ? Jawab
: 23 Tahun
3. Pertanyaan : Tahun berapa anak ibu menikah menikah ? Jawab
: 3 April 2011
4. Pertanyaan : Suami anak ibu berasal dari suku apa ? Jawab
: Betawi
5. Pertanyaan : Apakah anak ibu dijodohkan ? Jawab
: Tidak, itu pilihan anak saya sendiri
6. Pertanyaan : Berapa jumlah mahar yang diberikan anak ibu pada waktu menikah dan berupa apa ? Jawab
: Rp. 500.000 dan cincin 5 gram
7. Pertanyaan : Berapa uang naik (uang pesta) yang diberikan ? Jawab
: Rp. 50.000.000
8. Pertanyaan : Waktu menikah anak ibu menggunakan adat apa ? Jawab
: Bugis
70
9. Pertanyaan : Apakah masih menggunakan tahapan-tahapan pernikahan adat Bugis? Jawab
: Tidak, karena pihak laki-laki tidak mengerti bagaimana adat
Bugis. 10. Pertanyaan : Bagaimana anda menanggap tentang mahalnya mahar perempuan Bugis ? Jawab
: Sebenarnya pemberian mahar menurut orang Bugis adalah harga
diri keluarga mereka.
71
Nama
: Enni
Umur
: 37 Tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
1. Pertanyaan : Tahun berapa anda menikah ? Jawab
: 31 Januari 1999
2. Pertanyaan : Suami anda berasal dari suku apa ? Jawab
: Bugis
3. Pertanyaan : Apakah anda dijodohkan ? Jawab
: iya, saya dijodohkan
4. Pertanyaan : Berapa jumlah mahar yang diberikan pada waktu menikah dan berupa apa ? Jawab
: Rp. 7.777.000 dan cincin 3 gram
5. Pertanyaan : Waktu menikah menggunakan adat apa ? Jawab
: Bugis
6. Pertanyaan : Apakah masih menggunakan tahapan-tahapan pernikahan adat Bugis? Jawab
:
Saya menggunakan tahapan-tahapan pernikahan adat Bugis
karena suami saya juga orang Bugis
72
7. Pertanyaan : Bagaimana anda menanggap tentang mahalnya mahar perempuan Bugis ? Jawab
: Saya kurang setuju karena hal tersebut akan mempersulit laki-laki
untuk menikahi perempuan Bugis