BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR INDIKATOR KEBERHASILAN PEMBANGUNAN INDONESIA Oleh : ROMI SUKMA, S.H. Staf BKD Provinsi Sumatera Barat
I.
Impikasi Beberapa Indikator Pembangunan Dunia Model-model pembangunan yang dipraktekkan negara-negara di dunia dipengaruhi oleh cara pandang, aliran atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para pimpinan atau elit dari masing-masing negara. Model atau paradigma pembangunan selama ini memiliki implikasi plus minus terhadap keberhasilan praktek pembangunan negara-negara tersebut. Gagasan developmentalisme sangat tepat untuk menggambarkan model pembangunan negara-negara dunia ketiga, dari sekedar teori kemudian gagasan ini berubah menjadi ideologi yang timbul dan berkembang menurut versi negara industri maju dan negara dunia ketiga. Developmentalisme adalah kelanjutan dari program pemulihan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Ideologi ini pada awalnya lahir dari upaya menangkal penyebaran aliran komunisme. Developmantalisme dikritik karena dinilai memperkuat ketergantungan negara-negara dunia ketiga terhadap Amerika atau negara-negara maju lainnya. Beberapa teori tentang pembangunan biasanya selalu berawal dari dua pemikiran ekonomi yaitu paradigma ekonomi klasik dan neoklasik. Paradigma ekonomi klasik merupakan pembangunan ekonomi berlandaskan sistem liberal dimana keuntungan maksimal adalah semangat yang dimunculkan dalam pertumbuhan ekonomi, jika keuntungan meningkat maka tabungan akan meningkat dan investasi akan bertambah. Namun peran teknologi dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas tenaga kerja serta faktor-faktor peningkatan produksi lainnya tidak diperhatikan. Paradigma neo klasik telah meletakkan posisi penting pertumbuhan ekonomi dalam skala makro, paradigma ini telah melihat adanya hubungan antara jumlah konsumsi dengan investasi, masalah pengangguran, konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional. Paradigma neo klasik merupakan kritik atas kelemahan atau penyempurnaan terhadap paradigma dari teori klasik. Salah satu tokoh terkemuka dari aliran ini adalah Rostow, menurutnya, pembangunan ekonomi adalah sebuah proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju dan terdiri atas lima tahapan proses pembangunan, yaitu :
1. Masyarakat tradisional 2. Pra kondisi untuk lepas landas 3. Lepas landas 4. Menuju kedewasaan 5. Era konsumsi massa tinggi Tahap demi tahap pembangunan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, politik, serta budaya dalam sebuah perekonomian. Teori ini pun menuai berbagai kritik diantaranya bahwa teori ini dianggap terlalu sederhana, Rostow tidak mempertimbangkan unsur-unsur lain sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi seperti kualitas SDM dan infrastruktur lainnya, kemudian pada kenyataannya tahapann-tahapan tersebut tidak akan berulang dengan cara yang sama atau dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia tidak sama karena dipengaruhi karakteristik masing-masing. Modernisasi telah menyebar dan diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga. Konsep yang merupakan gambaran dari paradigma barat ini menjanjikan kemajuan atau keberhasilan pembangunan apabila istilah yang digunakan dalam proses kemajuan atau keberhasilan itu mengacu pada developmentalisme atau modernisme. Tiga konsep dasar yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan disini adalah kesejahteraan, yang dapat dikur dari perekonomian dan tingkat pendapatan, kemudian rasionalitas dan kebebasan. Selain dari konsep itu maka tidak dapat dikatakan suatu negara sedang melakukan proses pembangunan. Teori modernisasi memberikan jawaban bahwa kesalahan terletak pada negara-negara dunia ketiga. Keterbelakangan adalah akibat dari keterlembatan negaranegara tersebut melakukan modernisasi dirinya. Di samping itu terdapat beberapa teori pembangunan lain seperti teori Struktural yang berpendapat bahwa kemiskinan yang terdapat di negara-negara dunia ketiga adalah akibat struktur perekonomian dunia yang berifat eksploitatif, di mana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah. Kemudian teori ketergantungan yang menyatakan bahwa negara-negara dunia ketiga yang pra-kapitalis mempunyai dinamika sendiri, yang bila tidak disentuh oleh negara-negara kapitalis maju, akan berkembang secara mandiri. Teori ini juga beranggapan justru karena sentuhan oleh negara-negara kapitalis maju, perkembangan negara-negara dunia ketiga menjadi terhambat (Budiman, 1995). Selanjutnya paham post developmentalisme lahir sebagai reaksi dari kegagalan paham developmentalisme. Paham ini menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mendefinisikan pembangunan, indikator keberhasilan pembangunan diserahkan kepada masing-masing negara sesuai kehendaknya. Post developmentalisme tidak menolak pembangunan, yang ditolak adalah cara pembangunan, pembangunan masih diterima selama itu adalah keinginan sendiri atau sesuatu yang secara pribadi dinaggap baik. Permasalahan kemudian timbul dikarenakan post developmentalisme tidak memiliki pijakan ontologi, epistemologi, aksiologi dan metodologi yang kuat, dengan cara apa pembangunan ditawarkan, tidak semua pemimpin negara di dunia seperti Raja Bhutan yang
memiliki pandangan sendiri mengenai pembangunan. Negara-negara di dunia masih harus dituntun untuk mengetahui potensi dirinya dan dengan cara apa pembangunan yang berkarakter itu dapat diwujudkan. Klaim-klaim keberhasilan pembangunan yang selama ini ditampilkan oleh negara Indonesia menunjukkan bahwa negara ini tetap mempertahankan developmentalisme sebagai paham pembangunan. Selama elit politik Indonesia masih mempertahankan developmentalisme, maka indikator-indikator pembangunan yang digunakan akan tetap berkutat pada masalah pertumbuhan ekonomi seperti keberhasilan mengendalikan inflasi, swasembada bahan-bahan pokok, stabilitas moneter, peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya dengan mengenyampingkan upaya pembangunan di bidang politik dan hukum.
II.
Pancasila Sebagai Indikator Pembangunan Indonesia Paham pembangunan yang selama ini kita kenal telah berhasil menciptakan krisis multikompleks khususnya pada negara-negara dunia ketiga, kesenjangan antara kaya dan miskin, benturan-benturan agama dan rasial, utang negara yang semakin membengkak, serta kegagalan untuk berperan aktif dalam persaingan ekonomi di pasar dunia tidak bisa dihindari (Budiman, 1995). Begitu juga Indonesia, kegagalan Indonesia mengadopsi pilihan model pembangunan yang ‘ditawarkan’ selama ini, seharusnya membuat negara ini berfikir untuk menentukan indikator apa yang terbaik dan dapat mendukung keberhasilan proses pembangunan secara mandiri. Pancasila yang dimiliki Indonesia harus menjadi paradigma pembangunan nasional, menjadi cara dan tujuan yang hendak dicapai dalam program pembangunan. Misalnya keadilan sosial, mengutamakan mereka yang lemah atau kurang mampu dengan tujuan menghapuskan kemiskinan yang muncul karena struktur-struktur sosial dan ekonomi yang membuat mereka lemah. Bukan hanya sebagai dasar negara, nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila tersebut harus direfleksikan sebagai moral pembangunan nasional. Hal ini penting, karena ketika kita sudah bersepakat meletakkan sila ketuhanan yang maha esa sebagai sila yang pertama, maka konsekuensi logis pembangunan yang harus diterima oleh bangsa Indonesia adalah menghindari sekulerisme dan menjadikan agama sebagai landasan moral setiap individunya. Agama tidak bisa dilepaskan dari pembangunan. Tidak mustahil bila kita menempatkan induk dari ajaran etika ini untuk berperan dalam proses pembangunan suatu negara. Alasannya sederhana, karena agama juga mengatur kehidupan duniawi, agama adalah induk dari segala konsep kehidupan manusia. Kemampuan kita mengambil intisari dari nilai-nilai Pancasila itu lebih diharapkan daripada hanya sekedar meletakkannya sebagai simbol atau lambang negara yang seakan dikultuskan tanpa terwujud secara benar dalam praktek kenegaraan kita. Beberapa turunan dari nilai-nilai luhur itu dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan
nasional, seperti diperlukannya keadilan untuk kesetaraan, kebahagiaan yang menjadi inspirasi kebijakan pembangunan dan Kepemimpinan nasional yang mampu menggerakkan masyarakatnya dalam menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan kepribadian bangsanya. Ketiga konsep dasar ini dibingkai dalam satu ajaran suci yang diakui oleh seluruh umat manusia. Sekarang saatnya agama berbicara banyak dalam konteks aktivitas kenegaraan, hingga masyarakat dunia menyadari bahwa kegagalan pembangunan selama ini diakibatkan karena manusianya telah memisahkan ajaran agama dari urusan dunia. III. Keadilan Sosial Berketuhanan
dari
Hakikat
Keadilan
Manusia
sebagai
Makhluk
yang
Keadilan berarti pembangunan yang tidak terdapat kesenjangan di dalamnya, pembangunan ekonomi yang merata (growth with equity) atau persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Pemanfaatan sumber daya semaksimal mungkin melalui pembagian yang proporsional, merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Pembangunan bersifat komperehensif yang mengandung unsur spiritual, moral dan material serta berorientasi pada tujuan dan nilai, pengharagaan terhadap nilai dalam pencapaian tujuan akan menciptakan keadilan yang substantif, bukan keadilan yang diwujudkan atas kepentingan-kepentingan sementara. Fokus pembangunan yang utama di sini adalah bagaimana memanusiakan manusia dan menjadikan lingkungan sosial budayanya mencerminkan nilai-nilai spiritual dan melekat pada pola pikir para pelaku pembangunan. Keadilan dapat terwujud bila para pelaku pembangunan menyadari bahwa konsep ini terbangun dalam sebuah keharusan perwujudannya. Prinsip-prinsip ekonomi yang diterapkan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakat dengan mengurangi konsumsi pribadi dan mengurangi simpanan dan tabungan pribadi. Upaya ini diarahkan pada tujuan kesejahteraan dengan menjamin tumbuhnya keadilan ekonomi dan keadilan sosial serta menjamin terwujudnya distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, menciptakan kebijakan pendapatan untuk mengontrol tingkat pendapatan terendah masyarakat, dan memperkecil kesenjangan dalam masyarakat. Pada akhirnya nanti wajah pembangunan yang berjalan menunjukkan berkurangnya tingkat kesenjangan pendapatan masyarakat. Untuk menciptakan keadilan dimaksud dibutuhkan peran besar sumber daya manusia pada sebuah negara. Sebagai contoh di negara Tanzania yang menjadikan momen pasca reformasi sebagai upaya penting peningkatan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi jumlah masyarakat miskin. Reformasi di negara itu tidak akan terjadi tanpa modal sumber daya manusia yang memadai dan kemampuan manusianya dalam mengambil manfaat dari setiap perubahan yang terjadi di negara itu. Teori pertumbuhan dan perkembangan ekonomi selalu mengakui pentingnya peran sumber daya manusia (Garces, 2011). Dengan membentuk sumber daya menusia yang berketuhanan, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan peran manusia di dalamnya menjadi jelas, keadilan merupakan orientasi manusia dalam menjalankan aktivitas ekonominya, motivasinya bukan untuk menumpuk
kekayaan sebesar-besarnya, akan tetapi bagaimana kekayaan tersebut dapat menyentuh sebanyak-banyaknya masyarakat. Proses pembangunan suatu negara tidak lepas dari upaya menciptakan keadilan sosial sebesar-besarnya, keadilan sosial dimaksud tersusun dari hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan, adil terhadap tuhannya, masyarakat dan terhadap lingkungan alamnya. Makna keadilan sosial sering timbul dari kondisi ketidakberdayaan atau penindasan pada keterlibatan menentukan keadilan dan berujung pada partisipasi masyarakat secara berkelanjutan dalam menentukan keadilan jangka panjang (Todd, 2012). Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan sebagai strategi pembangunan untuk menentukan kebijakan publik, sehingga dibutuhkan upaya memunculkan kesadaran masyarakat untuk berperan dalam proses pembangunan. Keadilan yang diciptakan dapat merangsang tingkat partisipasi itu, masyarakat akan menilai bahwa kontribusi yang diberikan benar-benar dibutuhkan untuk jalannya pembangunan. Keadilan sosial memberikan kedudukan yang setara pada individu dalam masyarakat, dengan hadirnya keadilan sosial diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat tercipta. Jenis kesetaraan ini dapat dibagi menjadi dua, jenis pertama adalah relevansi moral dalam konteks hubungan saling menghormati antara individu dan membentuk hak dan kewajiban yang sama diantara mereka, jenis kedua adalah relevansi moral dalam konteks hubungan saling menghormati antar warga negara dan individu dan menetapkan hak dan kewajiban yang sama dari negara terhadap warga negara (Carter, 2013). Keadilan dan hukum didasarkan pada etika global yang umum dan dapat diterima dalam kehidupan seluruh umat manusia, maka keanekaragaman budaya dan agama harus menjadi yang pertama dan utama hadir dalam memahami kedua konsep itu. Agama adalah hukum moral dan harus menetapkan inti dasar dari keseluruhan konsep yang unik dan universal. Dasar ini yang akan menjelaskan seluruh realitas kehidupan manusia secara gamblang dalam satu kesatuan pengetahuan, kesatuan pengetahuan ini yang akan disepakati oleh seluruh umat manusia (Choudhury, 2010). Rowan Williams menegaskan bahwa semua yang dapat dijelaskan oleh ajaran Kristen tentang keadilan bertumpu pada ajaran Tuhan (Brewbaker III, 2013). Dalam prinsip umum hukum, keadilan merupakan keseimbangan antara realitas sosial dan pencapaian tujuan. Keadilan menggarisbawahi aspek penting dari kesetaraan, baik sebagai ide, konsep, maupun sebagai prinsip hukum. Ide dipandang sebagai nilai sosial yang paling mendasar, merupakan dimensi yang lebih luas, moral, politik, sosial dan alam filosofis yang harus dipahami dalam dinamika sosio-historis dan sosio-yuridis. Kesetaraan disajikan dalam evolusi waktu, dari ide, konsep, untuk nilai sosial yang dibawa oleh hukum dalam bentuk prinsip umum kesetaraan. Sebagai prinsip hukum, keadilan memiliki karakteristik prinsip-prinsip umum, merupakan konstruksi hirarkis dari prinsipprinsip umum dari hukum, prinsip kesetaraan mengambil posisi sentral, berada di dasar
prinsip keadilan. Di dalam tatanan yuridis, prinsip kesetaraan berhubungan dengan prinsipprinsip umum lainnya, seperti keadilan dan proporsionalitas. (Coman, 2012). Sebenarnya sistem ekonomi Pancasila yang di dalamnya menganut konsep keadilan sosial dapat menganulir kemunculan sistem ekonomi neoklasik, namun para ahli yang mencoba menawarkan alternatif pemikiran tersebut sebagai jalan tengah, tidak bisa berbuat banyak. Alternatif tersebut tidak pernah menjadi prakarsa pemikiran besar dalam diskusi-diskusi teori ekonomi tanah air. Di samping tidak adanya dukungan politik, menjadikan Pancasila hanya sebagai lambang jatidiri bangsa, tapi nilai-nilai luhurnya tidak pernah diadopsi secara murni sebagai alternatif model pembangunan yang mandiri. Sila ke-5, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dapat ditempatkan sebagai sasaran (goal) pembangunan bangsa dalam arti luas, sementara Sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai landasan filosofisnya. Kenapa Sila ke-5 sebagai sasaran? Banyak alasan; tiga diantaranya yang penting : 1. Pembenaran (justifikasi) etis-religius untuk Sila ke-5 tidak sulit dirumuskan sehingga secara politis mudah ‘dijual’ (salable); 2. Pada level kebijakan, Sila ke-5 paling mudah dijabarkan dalam bahasa program kongkrit karena investasi berupa kajian ilmu sosial-ekonomi di bidang ini sudah relatif melimpah;dan 3. Sila ke-5 ini dapat memandu pemikiran keagamaan dan keindonesiaan agar lebih terfokus dan terorientasi secara jelas. Agenda pemikiran keagamaan dapat diorientasikan pada pengembangan aturan sosial yang kontekstual, misalnya, sementara agenda pemikiran keindonesiaan dapat difokuskan pada: Stop poverty now! (Uzair Suhaimi). IV. Kebahagiaan sebagai Inspirasi dan Tujuan Pembangunan Nasional Kebahagiaan harus menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Raja Bhutan ke empat, Jigme Singye Wangchuck pada tahun 1972 menjadikan kebahagiaan sebagai inspirasi
kebijakan
pembangunan
di
negaranya.
Filosofinya
adalah
bagaimana
menyelaraskan antara pertumbuhan ekonomi dengan unsur spiritual dan emosional masyarakat, yang dituju adalah kebahagiaan bukan kekayaan. Inilah yang menjadi konsep kebahagiaan, nilai spiritual yang dimiliki setiap individu didapat dari sejauh mana individu tersebut berusaha memahami ajaran agamanya. Konsep kebahagiaan tertinggi ada pada ajaran agama, orang miskin akan tetap bahagia bila ia dekat dengan tuhannya, karena menurutnya tuhannyalah yang memberikan masalah dan hanya tuhannyalah yang dapat membantunya keluar dari semua permasalahan hidup. Istilah Gross National Happiness (GNH) pertama kali oleh Pemerintah Kerajaan Bhutan tahun 2009. Gross National Happiness mengukur kualitas suatu Negara atau wilayah dengan cara yang lebih holistik (dibandingkan GNP) dan dipercaya bahwa manfaat pembangunan bagi masyarakat akan dapat dirasakan jika pembangunan material dan
spiritual terjadi secara bersamaan, saling melengkapi dan saling memperkuat satu sama lain. Sifat-sifat indeks GNH: 1. Holistik, karena mencakup semua aspek yang dibutuhkan manusia, baik fisik atau psikis, maupun spiritual dan material. 2. Seimbang, menekankan perkembangan yang seimbang terhadap komponen GNH. 3. Kolektif, menggambarkan aspek kebahagiaan sebagai kumpulan dari fenomena yang terjadi bersama-sama. 4. Merata, mencapai tingkat kesejahteraan yang masuk akal dan terdistribusi secara merata (Faharuddin). Sebagian orang menganggap kebahagiaan itu dapat dicapai dengan bekerja keras dalam menghimpun harta, sebagian lain menyangka bahwa kebahagiaan itu ada pada tahta atau kekuasaan. Kesehatan itu dinilai sebagai kebahagiaan bagi orang yang sakit dan orang miskin menyangka kebahagiaan itu terletak pada harta kekayaan. Kebahagiaan yang hakiki terletak pada kondisi hati yang dipenuhi keyakinan atau iman kepada tuhan, mereka berperilaku sesuai dengan apa yang diyakininya itu, kebahagiaan dalam menjalankan keyakinan itu adalah yang paling utama. Kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah harus mempertimbangkan kebahagiaan bagi sebesar-besarnya anggota masyarakat. Dalam konteks teoritis mungkin sulit mengadopsi nilai-nilai kebahagiaan ini, namun tampaknya dalam praktek nilai-nilai ini relevan untuk dijalankan. Kebahagiaan sesuai dengan cita-cita lain seperti sikap saling menghargai yang di dalamnya termasuk jaminan kebebasan dan kebahagiaan menentukan hal-hal yang kita hargai seperti kesehatan dan perilaku yang baik (Veenhoven, 2010). Kebahagiaan adalah sebuah konsep sekaligus praktek, hanya saja cara pandang yang digunakan lebih bertumpu pada tingkah laku individu, kelompok dan masyarakat yang menggambarkan kebahagiaan itu, daripada sekumpulan norma awal yang harus dipersiapkan dulu untuk mengatur mana yang dikategorikan kebahagiaan dan mana yang bukan. Cara mengaitkan kebahagiaan dengan kebijakan pembangunan dapat dilakukan dengan mengetahui beberapa hal yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan, diantaranya : Pertama, rasa aman. Kejadian yang tidak menyenangkan ataupun menimbulkan khawatir (takut) dapat menurunkan kebahagiaan. Bisa dihubungkan dengan kebijakan keamanan, pertahanan, menjaga stabilitas harga-harga, mencegah munculnya krisis ekonomi, dan menekan tingkat kriminalitas. Kedua, membangun ekspektasi dan harapan yang positif bagi masyarakat sesuai kemampuan yang kita miliki. Ketiga, meningkatnya pendapatan berkorelasi positif dengan peningkatan kebahagiaan. Walaupun penelitian di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi tidak linier. Tambahan kebahagiaan cenderung tidak sebesar tambahan pendapatan. Keempat, menurunnya kesenjangan. Meski perbedaan merupakan hal yang alamiah, kesenjangan dapat memicu ketidakbahagiaan dalam masyarakat. Kelima, berhubungan dengan modal sosial. Hubungan antarindividu yang baik
dan saling mendukung dalam masyarakat memegang peran penting guna meningkatkan kebahagiaan. Keenam, mengoptimalkan fungsi keluarga. Keluarga menjadi wahana pertama dan utama dalam membangun manusia Indonesia yang produktif, harmonis, dan bahagia (Sonny Harry B. Harmadi). Kebahagiaan secara berkelanjutan mempengaruhi ketahanan ekologis atau dengan kata lain kebahagiaan dan kesejahteraan yang berkelanjutan merupakan satu kesatuan dalam membangun masa depan yang berkelanjutan. Kebahagiaan dan kesejahteraan bersama-sama menumbuhkan potensi transformatif bagi individu, masyarakat, bangsa, dan bagi planet kita. Kebahagiaan mempengaruhi sikap, kebijakan, praktek, dan perilaku (O’Brien, 2012). Efek positif jangka panjang kebahagiaan akan berpengaruh pada kualitas, daya juang, dan wajah pembangunan yang sedang diperjuangkan, karena proses pembangunan dengan kebahagiaan lebih utama dari hasil yang akan dicapai, ketika pembangunan diperjuangkan dengan kebahagiaan sebenarnya pembangunan telah mencapai hasilnya, hasil akhir pembangunan tetap akan memberikan kebahagiaan bagi masyarakat karena proses yang mereka jalankan. Kebahagiaan yang berkelanjutan adalah kebahagiaan yang memberi kontribusi untuk individu, masyarakat dan global yang sejahtera tanpa mengeksploitasi orang lain, lingkungan atau generasi mendatang. Ihal ini lebih menegaskan lagi ketrkaitan antara perkembangan manusia dengan ketahanan ekologis. Pada tingkat nasional dan internasional, kebahagiaan yang berkelanjutan memiliki relevansi yang cukup besar untuk mendukung kesehatan, gaya hidup, dan masyarakat yang berkelanjutan (O’Brien, 2013). Dalam setiap masyarakat yang demokratis, warga negara harus memutuskan apa konsep kebahagiaan atau kesejahteraan dan sejauh mana kedua konsep itu berperan dalam pembuatan kebijakan. Dalam rangka mendidik warga negara, para akademisi dan pegawai negeri sipil senior perlu lebih memperjelas berbagai konsep kebahagiaan. Kondisi dan kebijakan yang mempengaruhi kebahagiaan dan kesejahteraan harus dikaji untuk membantu lebih memahami konsep kebahagiaan dan kesejahteraan yang lebih cocok dalam lanskap ekonomi dan lemparan isu untuk perdebatan publik tentang manfaat yang relevan dari beberapa jenis kebahagiaan dan hal-hal lainnya (Weijers, 2013). Survei politik barubaru ini tentang kebahagiaan menyatakan bahwa kebahagiaan yang besar tidak memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan kekayaan, hal ini telah mengubah prioritas pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi dan terhadap nilai-nilai sosial lainnya (Duncan, 2010). Tuhan telah menetapkan bahwa kebahagian hanya bisa didapat dengan melaksanakan ajaran agama, kebahagiaan seseorang bukan diukur dari banyak hartanya tapi lebih kepada darimana asal harta itu diperoleh dan bagaimana orang tersebut memenafaatkannya. Agama bukan melarang seseorang untuk menjadi kaya dari segi materi, tapi agama menuntun seseorang untuk mendapatkan kekayaan itu dengan cara yang benar. Kebahagiaan juga dipengaruhi dari posisi sosial seseorang di tengah-tengah
masyarakat, memiliki harta yang banyak tapi tidak memberikan pengaruh atau kontribusi apapun terhadap lingkungan di sekitarnya, maka sesungguhnya itu bukanlah kebahagiaan, kebahagiaan dapat dicapai dengan membahagiakan orang lain. Intinya jangan jadikan kekayaan sebagai tujuan akhir kebahagiaan. Ada sembilan domain yang menjadi ukuran GNH yaitu : 1. Kesejahteraan/ Kebahagiaan Psikhologis (Psychological Wellbeing) 2. Kesehatan 3. Pendidikan 4. Keragaman dan Ketahanan Budaya 5. Penggunaan Waktu 6. Pemerintahan yang Baik 7. Vitalitas (Dinamika) Masyarakat 8. Keragaman dan Ketahanan Ekologis 9. Taraf Hidup (Living Standard) Indeks kebahagiaan Indonesia Tahun 2013 menurut Badan Pusat Statistik sebesar 65,11 pada skala 0-100. Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu di Indonesia. Nilai indeks 100 merefleksikan kondisi sangat bahagia. Sebaliknya, angka indeks 0 menggambarkan kehidupan individu yang sangat tidak bahagia. Indeks Kebahagiaan Indonesia merupakan indeks komposit yang diukur secara tertimbang dan mencakup indikator kepuasan terhadap 10 (sepuluh) domain kehidupan yang esensial. Sepuluh domain secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan, meliputi kepuasan terhadap : 1. Pekerjaan 2. Pendapatan rumah tangga 3. Kondisi rumah dan aset 4. Pendidikan 5. Kesehatan 6. Keharmonisan rumah tangga 7. Hubungan sosial 8. Ketersediaan waktu luang 9. Kondisi lingkungan 10. Kondisi keamanan (Badan Pusat Statistik) Konsep kebahagiaan di sini menafikan bahwa kepuasan material atau jasmaniah menjadi sumber utama kebahagiaan. Kebahagian yang diharapkan adalah keadaan hati yang dipenuhi cahaya iman, kebahagiaan berasal dari dalam raga dan jiwa, bagaimana seseorang mampu memaksimalkan potensi pada dirinya dengan berbagai sarana yang tersedia. Intinya kebahagiaan itu ditentukan dari cara seseorang menyikapi proses kehidupan, perilaku yang etis dalam menjalani kehidupan dapat membawa kita pada kebahagiaan dan keselamatan.
V.
Kepemimpinan Nasional sebagai Penggerak Masyarakat dan Penentu Arah Pembangunan Nasional Indikator ketiga yang dianggap penting adalah faktor kapabilitas seorang pemimpin, bagaimana pemimpin mengarahkan program pembangunan, mengadopsi nilainilai yang terkandung di dalam masyarakat menjadi nilai-nilai yang universal diterima oleh masyarakatnya. Peran pemimpin sangat menentukan keberhasilan program pembangunan, keteladanan seorang pemimpin dapat menjadi inspirasi kemakmuran, menanggulangi kesulitan, menciptakan iklim yang penuh dengan kasih sayang, pemimpin juga dapat menjadi inspirasi kematian korupsi, kelaparan dan perpecahan. Pemimpin yang memiliki spirit kerohanian yang baik dapat merealisasikan nilainilai ketuhanan dalam setiap individu maupun masyarakatnya secara keseluruhan. Pemimpin yang tidak dekat dengan tuhannya, maka perbuatan dan kebijakan yang dikeluarkannya tidak akan terarah dan tidak memberikan manfaat apapun bagi pengikutnya. Pemimpin harus mengeluarkan kebijakannya yang berorientasi pada kesejahteraan pengikutnya dan menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat. Keteladanan dari seorang pemimpin yang memiliki sikap mulia mampu menggerakkan pengikutnya untuk bersama-sama menciptakan perubahan yang lebih baik, mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada. Bila ada keteladanan yang baik dari seorang pemimpin, maka rakyat akan menjadi lebih segan dan simpati. Keteladan bagi seorang pemimpin adalah cara yang paling jitu untuk membentuk masyarakat yang kuat secara moral, spiritual dan sosial. Berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang memungkinkan campur tangan pemerintah atau sistem ekonomi sosialis komunis yang memiliki kecenderungan memiliki, peran pemerintah dalam sistem ekonomi ini hanya bersifat mengatur dan melaksanakan tugas-tugas pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kepemilikan seluruh sumber daya adalah di tangan tuhan, pemerintah hanya memanfaatkannya sesuai dengan kehendak tuhan atau dibatasi sesuai koridor-koridor yang telah ditetapkan dalam ajaran agama. Kepribadian pemimpin dapat menunjang perilaku pemimpin etis, ciri-ciri kepribadian seperti apa yang mencerminkan perilaku pemimpin etis, beberapa kriteria tentang perilaku pemimpin etis yaitu keadilan, kejelasan peran, pembagian kekuasaan, kesadaran dan keramahan, kestabilan emosi, dan sikap keterbukaan terhadap pengalaman. Kesadaran dan keramahan menjadi yang paling konsisten terkait dengan kepemimpinan etis (Kalshoven, 2011). Titik tekannya bukan pada apakah seorang pemimpin akan menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan hal-hal tertentu, akan tetapi apakah ia akan melakukannya dengan penuh kebijaksanaan dan tanggung jawab. Keteladanan seorang pemimpin yang baik dapat mengenali paradigma terkini pembangunan dan menggerakkan masyarakatnya melalui proses itu. Paradigma manajemen dan sumber daya materi tidak lagi menjadi prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan atau jangka panjang dari suatu negara. Untuk mencapai pembangunan strategis, negara harus berpartisipasi dalam jaringan lokal dan global, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
dan berusaha menanamkan identitas nasional menjadi budaya media global. Untuk melaksanakan strategi pembangunan ini platform media global lebih ditekankan tanpa adanya pembatasan wilayah negara sebagai ruang tradisional dalam menjalankan strategi pembangunan. Untuk mencapai pembangunan ini, pemerintah harus mencurahkan lebih banyak perhatian pada aspek intelektualisme, keunikan, inovasi, isu cyber, keamanan ekologi, teknologi pintar, sumber energi alternatif, termasuk aspek tidak berwujud seperti informasi, pengetahuan, ide, gambar, identitas, hubungan masyarakat, dan komunikasi yang efektif. Kompleksitas geografis masing-masing negara berpeluang menciptakan peluang baru bagi penyebaran identitas nasional yang unik dan inovatif dalam skala global dan untuk menciptakan sinergi yang berkelanjutan pada tingkat geografis dan kelembagaan yang berbeda untuk pelaksanaan tujuan nasional (Baubinaite, 2013). Pemimpin harus mampu mengembangkan modal sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, menggabungkan ide-ide dari nilai dan manfaat yang tertanam dalam jaringan sosial. Faktor kepercayaan telah menjadi unsur penting dalam perkembangan masyarakat dan kelembagaan. Paham modernitas telah mencegah pemahaman yang lebih baik terhadap kepercayaan sebagai entitas manusia, konsep ketuhanan dalam pembangunan telah memberikan pemahaman yang lebih besar dari peran kepercayaan dalam masyarakat melalui konsep iman (Zaman, 2013). Peran pemimpin sangat diperlukan dalam pembentukan modal sosial untuk mendukung tujuan pembangunan, pencapaian tujuan pembangunan sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kepercayaan adalah faktor pembentuk modal sosial yang urgen, cara pemimpin dalam mencapai tujuan sangat dipengaruhi oleh modal sosial yang terbentuk. Peran pemimpin mengurangi angka korupsi dapat meningkatkan mekanisme dan penghapusan diskriminasi di arena ekonomi dan sosial, korupsi dapat meningkatkan pemborosan sumber daya dan inefisiensi juga, pemberantasan korupsi adalah ukuran dalam rangka mengoptimalkan kegiatan ekonomi. Hasil perubahan yang menunjukkan pengurangan korupsi dapat berakibat pada peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pengurangan korupsi dapat meningkatkan kepercayaan di antara anggota masyarakat dan meningkatkan partisipasi warga sipil yang lebih tinggi, selanjutnya persatuan akan lebih terjaga. Pengaturan perkembangan ini menunjukkan efek positif pada tingkat pembangunan manusia di masyarakat dan memberikan manfaat yang lebih tinggi dari modal sosial atau tingkat korupsi yang lebih rendah (Razmi, 2013). Seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas dapat menjadi penggerak dan pemberi keteladanan yang baik bagi masyarakatnya. Pemimpin harus terlibat langsung dalam dinamika kehidupan masyarakat yang dipimpinnya, mencari tahu bagaimana kondisi masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Keberhasilan proses pembangunan yang berjalan harus dilihat dari siapa aktor penggerak keberhasilan itu, bukan semata-mata pada jenis aliran, sistem, atau paham pembangunan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA Baubinaite. (2013). Globalizacijos poveikis valstybių plėtros ilgalaikei (didžiajai) strategijai. Public Policy and Administration, 12 (2), 248-259. Brewbaker III. (2011). God, Justice and Law: Reflections on Christian Legal Thought. Law, Culture and the Humanities, 9 (1), 13-25. Carter. (2013). Basic Equality and The Site of Egalitarian Justice. Cambridge University Press, 29, 21-41. Coman. (2012). Equity, Fundamental Principle of Law. Contemporary Readings in Law and Social Justice, 4 (2), 462-469. Choudhury. (2010). An Epistemological Inquiry on The Definition of Law and Justice. International Journal of Law and Management, 52 (5), 346-355. Duncan. (2010). Should Happiness-Maximization be the Goal of Government. J Happiness Study, 11, 163-178. Kalshoven, et. al. (2011). Ethical Leader Behavior and Big Five Factors of Personality. Journal of Business Ethics, 100, 349-366. O’Brien. (2012). Sustainable Happiness and Well-Being: Future Directions For Positive Psychology. Scientific Research, 3:12A, 1196-1201. O’Brien. (2013). Happiness and Sustainability Together at Last! Sustainable Happines. Canadian Journal of Education, 36:4, 228-256. Ozanne. (2011). The Millenium Development Goals: Does Aid Help?. Tennessee State University College of Business, 44 (2), 27-39. Razmi. (2013). A Study of The Effect of Social Capital on Human Development in Islamic Countries. Atlantic Review of Ecoonomics, 1. Todd, et. al. (2013). Social Justice and Religious Participation: A Qualitative Investigation of Christian Perspectives. Am J Community Psychol, 51, 315-331. Veenhoven. (2010). Greater Happiness For a Greater Number, Is That Possible and Desirable?. J Happiness Stud, 11, 605-629. Weijers, et. al. (2013). The Science of Happiness for Policymakers An Overview. Journal of Social Research and Policy, 4 (2), 21-40. Zaman. (2013). Sustainable Islamic Development: Recognizing The Primacy of Trust, Iman and Institutions. International Journal of Economics, Management and Accounting 21, 1, 97-117. Budiman. (1995). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Badan Pusat Statistik