BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR IDENTIFIKASI KEBUTUHAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN SEBAGAI LANGKAH PENETAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN Oleh: Dr. ANDIN NIANTIMA PRIMASARI, S.IP, M.Si
Staf Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan
I. Pendahuluan Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari pemerintah. Prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU). Pada tulisan ini akan secara spesifik membahas tentang pelayanan kesehatan terhadap masyarakat yang selalu menjadi isu menarik untuk dicermati serta membahas tentang kebijakan pemerintah dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang kesehatan Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen, dalam Pasal 28 H ayat (1) dikatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di sini secara jelas diatur bahwa hidup secara sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan hal ini menjadi kewajiban bagi negara untuk merealisasikannya. Sejak awal sebelum diatur secara jelas dalam amandemen UUD 1945, kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga negara, termasuk didalamnya telah diatur dalam UN Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, kemudian dituangkan dalam WHO Basic Document, GENEVA 1973, yang berbunyi, “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being”.
Namun sampai saat ini, harus kita sadari bahwa derajat kesehatan masyarakat sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain di Asia. Salah satu masalah kesehatan terbesar yang sampai saat ini masih terus dibenahi adalah proses pelayanan kesehatan. Proses pelayanan kesehatan menyangkut banyak hal, salah satunya adalah penanganan dan tanggap terhadap penyakit yang banyak dan marak diderita oleh masyarakat. Lambatnya penanganan terhadap beberapa penyakit setidaknya banyak menimbulkan kematian (Kompas 2012). Di sisi lainnya adalah kapasitas ketersediaan obat yang masih terbatas untuk medis (Kompas 2012) juga menjadi masalah lainnya di samping permasalahan yang telah dijeaskan sebelumnya. Merumuskan suatu kebijakan tentang hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat yakni kesehatan, bukanlah hal yang gampang dan mudah. Oleh karena itu pemerintah membutuhkan waktu serta proses yang cukup lama dan matang untuk menghasilkan sebuah kebijakan tersebut. Bukan hanya itu, pemerintah juga perlu melihat lebih jauh tentang kondisi real/nyata kesehatan masyarakat secara umum, dan perkembangan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sebelum kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan hal tersebut direncanakan dan ditetapkan menjadi sebuah keputusan atau ketentuan yang berupa standarisasi dan program yang harus dilakukan. Identifikasi terhadap kebutuhan serta fakta yang didapat dari masyarakat itulah yang sering dilakukan oleh pihak swasta sebelum melakukan pemasaran produk. Hal tersebut sering dikenal dengan riset pasar. Dimana konsumen menjadi objek dari pelaksanaan riset ini. Promosi bagi sebuah perusahaan sangat penting sekali peranannya. Bagaimana menanamkan brand image di benak konsumen akan produknya adalah hal yang sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat membuat konsumen menentukan pilihan terhadap produknya. Sebelum sebuah perusahaan melakukan promosi biasanya perusahaan harus mengetahui bagaimana karakter dari konsumen yang nantinya menjadi sasaran atau konsumennya, bagaimana mengetahui situasi pasar yang dihadapi, agar dapat diketahui sejauh mana produknya nanti dapat diterima oleh konsumen. Riset terhadap konsumen merupakan cara dimana perusahaan dapat mengetahui karakter konsumen dan situasi pasar yang nanti akan dihadapi. Pada prinsipnya kegiatan riset diperlukan secara terus-menerus (continuous basis). Memang masih banyak perusahaan yang melakukan riset pemasaran pada saat-saat tertentu saja (ad-hoc basis), karena masalah biaya dan/atau tidak menghayati pentingnya peran riset pemasaran ini bagi pengembangan produk. Perusahaan yang memilih melakukan riset secara ad-hoc diibaratkan memotret keadaaan konsumen dan pasar dalam kondisi tertentu, sehingga diperoleh gambaran sesaat (seperti yang ditampilkan oleh sebuah foto statis). Sedangkan apabila riset pemasaran ini sudah dijadikan sebagai bagian integral dari kegiatan perusahaan, maka yang diperoleh adalah gambaran yang lebih lengkap yang diibaratkan dengan mengambil video konsumen/pasar. Cerita yang disajikan dalam video tersebut bisa mengungkapkan sisi-sisi yang tidak tampak pada saat konsumen/pasar tersebut dipotret. Dengan 'video' ini,
perusahaan bisa mengenal konsumen/pasarnya luar dalam. Informasi komprehensif ini berguna agar perusahaan tidak perlu membuat terlalu banyak asumsi tentang keadaan konsumen dan pasar dalam pembuatan strategi pemasaran. Bill Hollins dan Sadie Shinkins (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa “penyebab besar dari kegagalan produk baru yang selama ini ada dan akan terus ada, karena perusahaan tidak memberikan apa yang konsumen inginkan, dalam kata lain tidak memahami pasar.” Salah satu penyebabnya adalah sebelum produk tersebut dibuat dan dipasarkan, perusahaan tidak melakukan riset pasar sebagai pendahulu proses pemasaran. Dalam buku tersebut Bill Hollins dan Sadie Shinkins (2006) juga menjelaskan bahwa riset pasar itu meliputi beberapa hal yakni: 1. Uraian mengenai saluran mana produk dan jasa disampaikan kepada pelanggan, cara produk dan jasa digunakan, dan persepsi dan sikap yang mengarah pada pilihan pelanggan. 2. Penjelasan dari sikap-sikap, persepsi dan prilaku 3. Evaluasi biaya- efektivitas produk baru dan proses penilaian. 4. Prediksi tren dan spesifikasi dari arah yang diusulkan untuk rencana masa depan. Berkaca dan melihat dari apa yang dilakukan oleh sektor private (perusahaan) untuk dapat mengefektifkan serta menjaga keberlangsungan perusahaannya, serta berbagai polemik dan permasalahan kesehatan yang terjadi dalam masyarakat seperti yang digambarkan di atas, maka riset pasar juga perlu dilakukan dalam pemerintahan. Bedanya jika riset pasar yang dilakukan oleh sektor private/perusahaan orientasinya adalah pelanggan/ costumer dalam pemerintahan orientasinya adalah massyarakat/citizen sebagai pengguna dan pemakai layanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Jika output yang dihasilkan oleh sekktor private adalah berupa barang dan jasa secara real, dalam pemerintahan merupakan sebuah kebijakan yang dapat memberikan perubahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai objeknya. Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang kebijakan pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan melihat pada kebutuhan masyarakat berdasarkan tahap riset yang dilakukan apabila di sabdingkan dengan yang dilakukan oleh sektor private. II. Pelayanan Kesehatan Sebagai Bentuk Pelayanan Publik Berbicara tentang kesehatan merupakan hal yang sangat krusial dan penting saat ini, terutama di Indonesia. Karena kesehatan merupakan hak dasar serta merupakan kebutuhan yang menjadi sangat penting karena berkaitan dengan jiwa seseorang. seperti yang di ungkapkan oleh Mike Wallace et all (2007) bahwa “education and health as the largest and most complex public services”, pendidikan dan kesehatan itu merupakan layanan public terbesar dan paling complex. Untuk itu pemerintah sebagai pelayan masyarakat memiliki kewajiban untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan baik,
mungkin tidak hanya cukup baik namun maksimal yang berujung pada kepuasan masyarakat itu sendiri. Pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab besar serta prioritas pemerintah. Sampai saat ini isu mengenai pelayanan kesehatan seakan tidak pernah mati, selalu menjadi bahan evaluasi baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Selama ini yang tampak, pelayanan pemerintah dalam bidang kesehatan belum cukup baik dalam berbagai hal jika dibandingkan dengan private yang bergerak di bidang yang sama. Sehingga organisasi pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan di bawah Dinas Kesehatan terutama rumah sakit umum sebagai sebuah organisasi yang berhubungan langsung dengan masyarakat menjadi kalah bersaing, namun masih saja menjadi idola bagi masyarakat untuk alasan tertentu, apalagi untuk masyarakat yang tidak mampu. Hal ini terlihat dalam proses pemberian layanan di berbagai bidang, baik itu berupa service pelayan publik maupun fasilitas serta keterbatasan-keterbatasan yang selalu menjadi batu sambungan untuk melakukan pelayanan yang maksimal. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk dari pelayanan publik, dimana pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut : (1) efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; (2) sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan; (3) kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : Prosedur/tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif, unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya dan jadwal waktu penyelesaian pelayanan; (4) keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta; (5) Efisiensi, mengandung arti : persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan dan mencegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan; (6) ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan; (7) responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani; (8) Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang. Hal tersebut di atas juga berlaku sama tentunya dalam hal pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam bidang kesehatan. Zeithalm, Parasuraman dan Berry (1990) menjelaskan 10 (sepuluh) dimensi kualitas pelayanan publik yakni : a. Tangibles, yang terdiri dari fasilitas fisik, bahan tercetak dan visual. b. Reliability, merupakan kemampuan untuknmewujudkan pelayaan secara tepat sesuai dengan yang dijanjikan. c. Responsiveness, keinginan membantu pelanggan untuk menyediakan pelayanan dengan segera. d. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan. e. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi. f. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. g. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko.
h. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan. i. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat. j. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Masalah kesehatan yang dihadapi dewasa ini adalah rendahnya kualitas kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin yang memiliki kempuan terbatas untuk akses kesehatan yang lebih baik, beban ganda penyakit, masih rendahnya kualitas, kuantitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang seharusnya dapat disentuh oleh pemerintah sebagai penyedia layanan dasar di bidang kesehatan. Selain itu, pelayanan kesehatan juga dihadapkan pada rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, masalah pendanaan kesehatan, bahkan mungkin lemahnya pemahaman pemerintah tentang desentralisasi itu sendiri. Peran pemerintah di bidang kesehatan kelihatan gagap dan setengah-setengah, hal tersebut tercermin dalam banyaknya kekurangan dalam berbagai hal. Menurut Stephen. P Osborn dan Kerry Brown (2005) bahwa perlu ada kerangka kerja yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu perlu pengukuran kinerja dalam penyediaan pelayanan publik, agar pelayanan publik lebih berorientasi dan menanmpung kebutuhan masyarakat sepenuhnya dalam berbagai kalangan. Ada tiga alasan kenapa kinerja harus diukur dalam pelayanan publik yaitu untuk mengetahui apa yang berhasil, untuk mengetahui kompetensi fungsional, dan untuk mendukung akuntabilitas demokrasi. Semua hal tersebut dapat dijadikan acuan dan pedoman untuk memperbaiki pelayanan publik terutama dalam bidang kesehatan yang selama ini ada. Di samping itu, untuk memperbaiki pelayanan publik juga diperlukan riset pasar, pengamatan serta identivasi langsung tentang apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan dasar dalam pelayanan kesehatan yang menjadi kendala selama ini maupun yang akan datang, apa yang dibutuhkan masyarakat serta masalah-masalah apa saja yang terjadi sehingga dapat dirumuskan kebijakan untuk mengatasinya sehingga pelayanan terhadap masyarakatpun dalam bidang kesehatan menjadi maksimal. III. Identifikasi Kebutuhan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan Sebagai Bagian dari Riset Pasar Pemerintah dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan impian dari berbagai lapisan masyarakat. Terutama dalam bidang kesehatan, hal ini menjadi sorotan utama karena banyaknya kekurangan yang kian terasa. Baik itu dari masyarakat miskin yang tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya di rumah sakit-rumah sakit pemerintah, maupun tentang aspek yang tak kunjung ada mendapat tanggapan dari pemerintah, misalnya
obat-obatan serta tenaga medis. Untuk itu sebelum membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan, ada baiknya perlu dilakukan riset pasar terhadap masyarakat mengenai kesehatan ini. Bill Hollins dan Sadie Shinking (2006) menjelaskan dalam tulisannya bahwa secara sederhana jangan berusaha untuk menjelaskan suatu pelayanan atau secara signifikan meningkatkan sebuah layanan tanpa harus keluar melakukan beberapa research terlebih dahulu. Cooper (1958) dalam buku yang sama juga menjelaskan bahwa penyebab besar dari kegagalan produk baru akan terus ada, karena perusahaan tidak memberikan apa yang konsumen inginkan, singkatnya adalah bahwa perusahaan tidak memahami pasar yang ada. Langkah utama yang paling penting untuk diperjelas adalah tentang apa yang ditemukan dalam riset tersebut. Apa yang diteliti adalah kebutuhan potensial dari kostumer. Focus pada manfaat bahwa pelayanan yang baru akan memberikan persaingan, ini sangat menentukan apabila banyak orang menginginkan manfaat ini. Bill Hollins dan Sadie Shinking (2006) juga menggambarkan bahwa Riset pasar dapat digolongkan pada dua kategori yakni: pengumpulan data sekunder yang meliputi studi pustaka, pengumpulan dokumentasi yang ada, ahli penilaian dan pengumpulan data primer meliputi interview, observasi dan eksperimen. Begitu juga halnya dengan sektor publik, pemerintah perlu melakukan riset pasar sebagai langkah awal dalam pengambilan suatu kebijkan. Dalam organisasi pemerintahan yang menjadi hasil dan produknya adalah kebijakan. Kebijakan yang dibuat perlu diketahui noleh masyarakat, agar masyarakat dapat dan bisa menilai tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah. Apakah kebijakan tersebut dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Dengan mengetahui bagaimana kondisi pasar yang kita hadapi maka kita bisa menyiapkan beberapa alternatif dan langkah-langkah kebijakan yang nanti akan diambil. Untuk membuat suatu kebijakan di bidang kesehatan, maka pemerintah harus melihat lebih dekat tentang beberapa hal melalui riset seperti yang dilakukan oleh perusahaan atau sektor private, diantaranya dapat berupa: a. Pelayanan Kesehatan Untuk dapat mengetahui tentang pelayanan kesehatan yang ada selama ini, pemerintah harus melihat lebih jelas tentang pelayanan kesehatan yang ada. Bagaimana prosesnya, apa yang menjadi kekurangan dari proses pelayanan selama ini. Dengan demikian menjadi lebih jelas pembenahan dan perbaikan-perbaikan apa yang dapat dilakukan untuk kegiatan pelayanan kesehatan. Selama ini pelayanan kesehatan sangat kurang. Diantaranya adalah pelayanan yang diterima masyarakat dalam mejalani pengobatan di Rumah Sakit Pemerintah, seperti, lambannya penanganan pasien yang disebabkan karena kelalaian tim medis, maupun service yang berupa self service yang diberikan pelayan publik yang kurang memberikan kepuasan dan ketenangan bagi pasien maupun dalam hal sarana dan prasana publik kesehatan.
Belum lagi maraknya kasus penelantaran pasien miskin di beberapa rumah sakit umum cotohnya kasus yang terjadi di Kota Jakarta beberapa waktu lalu, yang pada dasarnya setiap masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan perlindungan dari pemerintah. Biaya pengobatan yang tidak terjangkau serta jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak jelas. Hal-hal semacam ini harus menjadi perhatian pemerintah yang lebih spesifik. Hal ini dapat disentuh apabila pemerintah benar-benar melakukan riset pasar dengan dua cara tadi, yakni dengan sistem pengumpulan data skunder berupa dokumen-dokumen penunjang dari rumah sakit maupun dinas kesehatan maupun data primer dengan melakukan interview atau pengamatan langsung, agar informasi yang didapatkan lebih akurat dan terpercaya. b. Riset pemerintah tentang penyakit yang sering diderita oleh masyarakat. Hal ini kemudian menjadi suatu hal yang sangat penting, karena faktanya banyak sekali kasus-kasus kesehatan masyarakat yang berlarut-larut karena mungkin lamanya penanganan serta antissipasi terhadap penyakit tersebut yang sangat lemah. Melihat kondisi tersebut, pemerintah seharusnya dapat lebih tanggap terhadap persoalan kesehatan khususnya penyakit-penyakit yang sering di derita oleh masyarakat, sehingga dapat mengambil tindakan lebih cepat serta memberi jalan keluar/solusi yang terbaik dalam permasalahan ini. Hasil dari riset ini dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan maupun tindakan pemerintah untuk lebih meningkatkan kesehatan masyarakatnya. c. Riset terhadap wabah penyakit yang sering muncul. Salah satu kelemahan pemerintah kita adalah kurangnya riset tentang kemungkinan wabah penyakit yang sering muncul. Riset tentang ini akan memberikan gambaran awal tentang penyakit apa saja yang dapat tiba-tiba menyerang masyarakat, kapan waktunya/musimnya penyakit tersebut dapat menyerang masyarakat dan lainnya, sehingga memungkinkan pemerintah untuk menyiapkan pencegahan terhadap penyakit tersebut sebelum masyarakat terjangkit. Dengan demikian masyarakat akan merasa lebih terjamin kesehatannya. d. Riset terhadap pola hidup masyarakat dan lingkungan Mengetahui pola hidup masyarakat, berarti sangat mudah untuk memahami masyarakat tersebut. Dengan demikian dapat ditebak dan dijadikan suatu perbandingan untuk dapat menerapkan kebijakan pola hidup sehat dalam lingkungan tempat tinggalnya. Pemerintah akan semakin dekat untuk mengetahui kebiasaan masyarakat, mulai dari pola makan, kebersihan serta lingkungannya. Sehingga tidak sulit bagi pemerintah untuk mencari solusi atau bahkan pencegahan terhadap suatu peristiwa yang mungkin saja terjadi sehingga menimbulkan polemic dan permasalahan baru dalam bidang kesehatan.
e. Riset terhadap ketersediaan obat dan tenaga medis Obat dan tenaga medis adalah dua bagian yang tidak boleh terlupakan jika kita berbicara tentang kesehatan. Karena kedua bagian tersebut merupakan sub terpenting dalam prosesnya. Untuk mendukung proses pelayanan kesehatan, peran obat dan tenaga medis merupakan peran yang sangat mendasar. Faktanya, hampir sdi berbagai daerah di Indonesia mengalami kekurangan tenaga medis. Padahal pada dasarnya tenaga kesehatan yang ada cukup banyak hanya saja penyebarannya tidak merata. Kebanyakan tenaga kesehatan bertumpuk pada daerah-daerah yang makmur dan pusat kota, sementara di daerah-daerah terpencil sangat jarang. Sangat sulit sekali dilakukan pemerataan tenaga medis. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya aturan atau kewenangan untuk menempatkan mereka. Di sisi lain, daerah kesulitan merekrut dokter untuk menjadi pegawai negeri sipil. Kecilnya gaji dan kurang kesempatan berkembang membuat dokter enggan untuk ditempatkan di tempat-tempat terpencil (Kompas 2012). Begitu juga dengan ketersedian obat yang masih sangat terbatas dan minim terutama obat yang berupa kapsul dan injeksi (Kompas 2012). Dengan melakukan riset terhadap ketersediaan obat dan tenaga medis ini, maka pemerintah dapat lebih jauh memberikan kebijakan yang dapat mempermudah penyelesaian persoalan ini, sehingga tidak menjadi berlarut-larut dan terus tertunda. Bentuk riset yang dapat dilakukan oleh pemerintah di atas, informasinya dapat diperoleh dengan menggunakan dua pendekatan yang disampaikan oleh Bill Hollins dan Sadie Shinking yakni melalui data primer maupun sekunder, atau bahkan keduanya untuk lebih akurat. Tentunya dalam riset ini melibatkan tenaga ahli dalam bidang tersebut agar riset menjadi lebih tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Bill Hollins dan Sadie Shinking (2006) bahwa Setiap departrnent memiliki ahli, yang dapat menyediakan informasi gratis atau data yang harus diperoleh sebelum mencari pendapat danmelakukan riset. Dari hasil riset itulah akan tampak secara jelas apa saja yang menjadi kebutuhan dasar/hal mendasar yang sangat dibuhkan masyarakat dalam bidang kesehatan. Dari riset tersebut pemerintah dapat mengambil tindakan serta merumuskan kebijakan sebagai outcome/hasil/produk dari sebuah pemerintahan untuk dapat memenuhi serta memberikan jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang ada. Kebijakan publik merupakan jawapan atas apa yang masyarakat inginkan dan masyarakat harapkan, seperti yang dikatakan oleh Marshal. J Breger (2003) bahwa “All public policy expenditure directly or indirectly sends a message about what society expects of others” Schneider and Ingram (1997) dalam menjelaskan bahwa “Central to the policy design perspective is the notion that every public policy contains a design, aframework of ideas and instruments, to be identifi ed and analyzed. Rather than a “random and chaotic product of a political process,” policies have underlying patterns and logics (inti dari perspektif kebijakan itu adalah gagasan bahwa setiap kebijakan publik adalah desain,
kerangka ide, dan instrument yang diidentifikasikan dan dianalisis. Bukan produk dari proses politik, dan kebijakan mendasari pola dan logika”. Lebih lanjut Schneider and Ingram (1997) menjelaskan “This framework posits policy designs as institutional structures consisting of identifi able elements: goals, target groups, agents, an implementation structure, tools, rules, rationales, and assumptions (kerangka kerja memposisikan kebijakan sebagai truktur kelembagaan yang terdiri elemen dapat diidentifikasikan sebagai: tujuan, kelompok sasaran, agen, struktur pelaksanaan, peralatan, aturan, alasan, dan asumsi)”. W. Dunn dalam Wibawa (1994) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kebijakan publik sebagai tujuan untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Kebijakan publik merupakan suatu pemanfaatan yang strategis terhadap masalah-masalah publik. Proses memformulasikan kebijakan publik tidaklah mudah, karena suatu kebijakan dibuat membutuhkan proses yang panjang untuk mengkajinya. Baik dari sisi atas dasar apa kebijakan itu di buat, bagaimana merumuskan kebijakan itu menjadi sebuah kebijakan yang baik, serta pada implementasinya. Menurut Thomas R. Dye (1995) ada sembilan model formulasi kebijakan, yaitu: model kelembagaan, model proses, model kelompok, model elit, model rasional, model inkremental, model teori permainan, model pilihan publik dan model sistem. Menurut Riant Nugroho D. (2006) diluar sembilan model itu masih ada tiga model lagi yaitu model pengamatan terpadu, model demokratis dan model strategis. Adapun beberapa alternatif kebijakan yang dapat diformulasikan atau dibuat untuk menyikapi persoalan kesehatan melalui riset yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Memperbaiki layanan kesehatan melalui : a. Meningkatkan daya tampung rumah sakit b. Melengkapi sarana dan prasaranan rumah sakit pemerinth yang masih terbatas agar dapat memberikan kenyamanan kepada masyarakat dan memberikan kepuasan pada masyarakat. c. Peningkatan kualitas sumberdaya pelayanan kesehatan melaui pelatihan dan penyuluhan agar dapat memberikan pelayanan yang baik, self service agar masyarakat sebagai pengguna jasa layanan menjadi senang dan merasa nyaman terhadap pelayanan yang diberikan. Selain itu tenaga kesehatan/medis yang handal akan mampu meningkatkan kinerja kinerja tenaga medis untuk meberikan yang terbaik kepada masyarakat.
d. Penyediaan obat kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan puskesmas, maupun rumah sakit-rumah sakit pemerintah, agar ketersediaan obat tidak menjadi masalah baru. 2.
Perbaikan kinerja dan manajemen pemerintahan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Bagi setiap organisasi, penilaian terhadap kinerja merupakan suatu hal yang
penting untuk dapat mengetahui sejauh mana tujuan organisasi tersebut berhasil diwujudkan dalam jangka waktu atau periode tertentu. Kinerja atau performance menurut Suyadi Prawirosentono (1999:2) adalah : “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”. Berdasarkan pendapat di atas, kinerja berhubungan dengan bagaimana melakukan suatu pekerjaan dan menyempurnakan hasil pekerjaan berdasarkan tanggungjawab namun tetap mentaati segala peraturan-peraturan, moral maupun etika. Sejalan dengan pengertian di atas, Bernardin dan Rusell (1993:379) menyebutkan bahwa : “Performance is defined as the record of out comes product on a specified job function or activity during a specified time period (Kinerja merupakan tingkat pencapaian/rekor produksi akhir pada suatu aktivitas organisasi atau fungsi kerja khusus selama periode tertentu)”. Dari beberapa pendapat pakar di atas disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya atau sebagai gambaran mengenai tentang besar kecilnya hasil yang dicapai dari suatu kegiatan baik dilihat secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan visi, misi suatu organisasi yang bersangkutan. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Klitgard (2005) bahwa: “Excellent performance requires organization, leadership, and culture that fit the mission, not just a single theory of administration (kinerja yang baik memerlukan organisasi, kepemimpinan dan budaya yang sesuai dengan misi, bukan hanya teori administrasi).” Sama halnya dengan pelayanan kesehatan. Kinerja pelayanan kesehatan serta organisasi pemerintahan sebagai wadah pelaksana/yang memfasilitasi layanan kesehatan tersebut perlu dilihat dan dipantau. Tujuannya agar pemerintah dapat mengontrol, melihat perkembangan pelayanan kesehatan, serta dapat merumuskan serta menetapkan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang berujung pada peningkatan kesehatan
masyarakat. Namun masih sangat sulit untuk menentukan kriteria kinerja yang sesuai untuk organisasi publik khususnya pemerintah. Dwiyanto mengemukakan ada lima indikator untuk menilai kinerja organisasi publik, yaitu: produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Mirip dengan pendapat tersebut Lenvine (1995:7) dalam Dwiyanto mengusulkan
tiga
konsep
untuk
mengukur
kinerja
organisasi
publik,
yaitu:
responsivenees, responsibility dan accountability. Dalam kaitannya dengan kesehatan, dapat dilihat bahwasanya produktivitas berupa hasil kerja dengan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Martin Fahy (2004) bahwa: “The performance dimension of governance is concerned with developing and deploying effective strategic management processes to ensure that the firm creates value for shareholders
(dimensi
kinerja
pemerintah
adalah
bersangkutan dengan mengembangkan dan menggunakan efektif strategis manajemen proses
untuk
memastikan
bahwa
perusahaan
menciptakan
nilai
pemegang saham)” Lebih kepada capaian yang telah dilakukan dalam pemberian layanan maupun perbaikan kesehatan masyarakat. Kualitas pelayanan menjadi penting dalam penilaian kinerja pelayanan karena menyangkut kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah menyangkut jasa, jika pelayanan yang diberikan dalam bidang kesehatan baik/cukup baik, maka dapat dikatakan bahwa kinerja pelayanan juga baik, demikian pula sebaliknya. Pelayanan kesehatan juga harus cepat tanggap tentang isu-isu kesehatan yang muncul, tentang kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya serta tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Selain itu dituntut tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugasnya agar kinerja pelayanan kesehatan dapat terjaga. Semua indikator inilah yang masih kurang dilakukan oleh organisasi publik dalam penyelenggarakan pelayanan kesehatan. Perbaikan kinerja perlu dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik terhadap masyarakat dalam berbagai hal di bidang kesehatan. Pembenahan dalam manajemen pemerintahan khusus mengelola pelayanan kesehatan juga sangat penting. Dengan manajemen pemerintahan yang baik maka pelayanan public akan kesehatanpun akan terpenuhi dengan baik. Organisasi pemerintahan yang bergerak di bidang kesehatan perlu diatur dan dimanajemen sedemikian rupa agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Mengelola suatu organisasi diperlukan inovasi-inovasi baru yang di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar tidak tertinggal dan selalu bisa memberikan hasil yang maksimal. Sejalan dengan yang di ungkapkan oleh Neil Thomas (2004) bahwa: bahwa sebuah organisasi membutuhkan kemampuan mengatur dan membuat inovasi untuk mencapai kesuksesan dalam bekerja, yakni melalui komitmen, struktur organisasi yang
fleksibel, toleransi terhadap kegagalan, mendorong kerjasama tim dan inovasi, komunikasi yang terbuka dan konsruktif. Organisasi diharapkan memiliki inovasi-inovasi terbaru dengan mengacu kepada keadaan dan situasi serta fakta yang ada. Menurut Rahardjo Adisasmita (2011) paradigma manajemen pemerintahan yang saat ini yang diperlukan adalah berbasis kepada good governance, dimana pertanggungjawaban pemerintah merupakan dasar sebuah kebijakan. Dalam manajemen pemerintahan terdapat lima strategi yakni : Pertama, Core strategy (strategy inti), yang memfokuskan pada tanggungjawab tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. Tanggungjawab pemerintah di sector publik harus jelas. Dalam bidang kesehatan, ini berarti bahwa pemerintah harus dapat focus terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya, seperti peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal; Kedua, Consequences strategy (strategi konsekuensi), strategi yang memperhitungkan dampak dan akibat oleh berbagai pengembangan atau kegiatan yang dilakukan. Strategi ini harus mampu mencegah atau mengatasi konsekuensi negatif yang mungkin saja terjadi; Ketiga, Customer strategy (strategi pelanggan), strategi yang mengutamakan kepentingan pelanggan dalam hal ini adlah masyarakat. Pemerintah harus jeli membaca apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang kesehatan, dan bagaimana cara memenuhinya; Keempat, control strategy (strategi control), pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya, seperti sarana dan prasarana, maupun aparatnya (sumberdaya manusia). Hal ini dalam rangka menoptimalkan kinerjanya dalam pelayanan publik; Kelima, culture strategy (strategi budaya), membangkitkan nilai-nilai budaya untuk digunakan sebagai faktor pendukung pembangunan daerah agar dapat mencapai hasil yang optimal. Perbaikan kinerja dan manajemen pemerintahan perlu dilakukan sebagai upaya untuk melakukan dan memperbaiki pelayanan kesehatan dan keduanya harus berjalan beriringan. 3. Pencegahan penyakit yang telah tridentifikasi melalui riset yang dilakukan dengan cara yang sesuai. 4. Pemerataan penyebaran tenaga medis dengan regulasi yang jelas dan tegas, agar pelayanan kesehatan dapat diberikan ke berbagai pelosok negeri tanpa kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA Bernardin, Jhon, and Russel, E. A. Joyce. 1998. Human Resource Management : An Experiental Aproach Breger, Marshall. 2003. Public policy and social issues : Jewish sources and perspectives. Praeger. New York. Dwiyanto, Agus.1995. Penilian Kinerja Organisasi Publik, Makalah dalam Seminar Sehari : Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya. Fisipol UGM. Yogyakarta. Fahy, Marthin. 2004. Beyonce Governance Creating Corporate Value through Performance, Conformance and Responsibility. John Wiley & Sons Ltd. England Fischer , Frank et. all. 2007. Handbook of public policy analysis: theory, politics, and method. CRC Press. Taylor & Francis Group. New York. Hartly, Jean dkk. 2008. Managing to improve public services. UK: Cambridge University Press Klitgaard, Robert et. all. 2005. High Performance Government Structure, leadership, incentives. RAND Corporation. Santa Monica. Osborn, Stephen. P dan Kerry Brown. 2005. Managing Change and Innovation in Public Service Organizations. Routledge. New York. Prawirosentono, Suyudi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan : Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia. BPFE. Yogyakarta. Thomas, Neil. 2004. The John Adair Handbook of Management and Leadership. Thorogood. London. Wallace, Mike et. all . 2007. Managing Change in the Public Services. Blackwell Publishing. USA Wibawa, samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya. Zeithaml, Valarie A., (et.al), 1990, Delivering Quality Services : Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press, A Division of Macmillan Inc. New York.