BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DIMENSI PROSES BELAJAR DAN PEMBELAJARAN (Dapat Dijadikan Bahan Perbandingan dalam Mengembangkan Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lembaga Diklat Aparatur) Oleh:
Dr. Drs. H. Maisondra, S.H, M.H, M.Pd, Dipl.Ed Staf Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat
I. PENDAHULUAN Berbeda dengan hewan, manusia lahir ke dunia tidak dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukannya untuk menjalani kehidupan. Untuk bisa mendapatkan makanan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya manusia harus mempelajarinya terlebih dulu, baik secara mandiri atau dengan perantaraan orang lain. Untuk bisa menjadi seorang anak manusia yang paripurna maka banyak sekali yang harus dipelajari dan yang kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu belajar dan pembelajaran merupakan aktifitas yang utama dalam pendidikan dan dapat dilakukan dalam berbagai situasi dan lingkungan, baik secara formal, informal maupun non formal. Pendidikan dapat melengkapi ketidaksempurnaan dalam kodrat alamiah kita. Pendidikan meskipun memiliki multimakna dalam berbagai macam konteks, secara khas merupakan sebuah kegiatan manusiawi. Inilah kekhasan yang membedakan kita dari binatang. Menurut Prayitno (2010), membuat sesorang berkarakter adalah tugas pendidikan. Esensi pendidikan yaitu membangun manusia seutuhnya, manusia yang baik dan berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang kita anut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila. Maka seharusnya nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang menjadi dasar dan basis pendidikan. Dalam hal ini paradigma pendidikan yang dikembangkan dan diimplementasikan adalah memuliakan kemanusiaan manusia. II. PEMBAHASAN a. Dimensi Belajar dan Pembelajaran Meskipun terjadi perdebatan atas berbagai definisi belajar, akan tetapi secara umum apa yang disebut belajar adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman. Konsep perubahan perilaku masih belum operasionil karena tidak jelas perilaku yang mana yang berubah apakah perasaanya, sikapnya atau proses berpikirnya. Oleh karena itu diperlukan konsep yang lebih jelas dan operasional tentang belajar,
yaitu upaya untuk menguasai sesuatu yang baru. Usaha
untuk menguasai merupakan aktifitas belajar yang sesungguhnya dan sesuatu yang baru merupakan hasil yang diperoleh dari aktifitas belajar tersebut. Sedangkan
pembelajaran
merupakan
usaha-usaha
yang
dilakukan
untuk
membelajarkan siswa (Dageng, 1989). Usaha tersebut bisa dalam berbagai bentuk seperti pemberian stimulus, penggunaan strategi yang tepat, pemilihan materi, penciptaan lingkungan dan juga manajemen pengelolaan yang baik. Dengan demikian pembelajaran merupakan rangkaian proses yang dilakukan untuk memungkinkan terjadinya proses atau aktifitas belajar. Pembelajaran adalah suatu proses, dimana guru menciptakan suasana sedemikian
rupa
sehingga
para
siswa
aktif
bertanya,
mempertanyakan,
dan
mengemukakan gagasan. Sebagaimana lazimnya, belajar memang menuntut adanya aktivitas siswa (learning
activities). Prof. Ansyar menyatakan bahwa dengan learning activities berbagai informasi, fakta dan data yang ditangkap indra akan menjadi pengetahuan (knowledge). Dengan
learning activities, knowledge akan menjadi knowing, dengan learning activities, knowing akan menjadi experience, dan akhirnya dengan learning activities juga, experience akan menjadi competence. Oleh karena itu proses pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Pendidikan terwujud melalui proses pembelajaran menyangkut sepenuhnya esensi kegiatan belajar, usaha menguasai sesuatu yang baru, dengan lima dimensinya yaitu tahu, bisa, mau, biasa dan ikhlas. Ke dalam dimensi-dimensi belajar itulah nilai-nilai karakter dimuatkan. Dengan demikian proses pembelajaran yang terjadi tidak hanya sekadar transfer pengetahuan (knowledge) semata, melainkan juga transfer keterampilan (skill) dan transfer nilai (values), yaitu nilai-nilai kehidupan pada umumnya dan nilai-nilai spiritual keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip belajar terpadu yang mengandung di dalamnya penguasaan pengetahuan (thought), kemampuan bertindak (action), kebiasaan (habit) yang akhirnya mengarah kepada pembentukan karakter (character). Jadi pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter peserta didiknya. Pendidikan memiliki nilai strategis dan urgen dalam pembentukan karakter bangsa (character building), sebab melalui pendidikan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh suatu bangsa. b. Dimensi Pendidikan Karakter Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang hampir sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Niccolo Machiavelli memahami pendidikan dalam kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Ini terjadi karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan ketidaklengkapan. Intervensi manusia melalui pendidikan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melengkapi apa yang kurang dari kodratnya. Pendidikan dapat melengkapi ketidaksempurnaan dalam
kodrat alamiah kita. Pendidikan meskipun memiliki multimakna dalam berbagai macam konteks, secara khas merupakan sebuah kegiatan manusiawi. Inilah kekhasan yang membedakan kita dari binatang. Sementara karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Saat ini berbagai pihak mempertanyakan, “mengapa pendidikan kita (di Indonesia) tampaknya kedodoran dalam menjawab berbagai macam persoalan dalam masyarakat kita. Diakui dari segi tradisi pendidikan, dibandingkan dengan negara-negara maju, kita memiliki tradisi pendidikan yang relatif masih muda. Kita baru dipertengahan abad ke-20 ini membuat program pendidikan secara terencana. Pendidikan kita juga dikatakan belum mampu melahirkan anak bangsa yang bermartabat. “apa sebenarnya permasalahan pendidikan kita saat ini?”. Pertanyaan ini diajukan kepada semua orang, baik yang berada pada jajaran pendidik atau pun kepada orang yang berada pada jalur lainnya. Barangkali sebahagian besar mereka akan menjawab bahwa mutu pendidikan kita rendah atau mungkin sangat rendah. Kita mungkin setuju
atau tidak dengan jawaban tersebut. Tetapi benarkah demikian? Tidakkah
pendidikan kita sudah maju?.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal ini
disebabkan oleh karena kurikulum kita tidak konsisten terhadap “membangun karakter anak didik” Pendidikan kita hari ini tampaknya lebih diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual peserta didik, sedangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual agak terlupakan. Hal ini terlihat dari adanya pemisahan antara sekolah umum dan sekolah madrasah, pendidikan agama dengan pendidikan umum. Seolah kita mempunyai sekolah umum untuk memberikan bekal kehidupan di dunia saja, sedangkan sekolah madrasah untuk bekal kehidupan akhirat saja. Tentu saja seharusnya tidak ada dikotomi antara keduanya, karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi orang-orang yang berfikir dan bertindak sekuler. Dalam hal ini ada suatu Hadist Nabi yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemudahan hidup (kebahagiaan) di dunia hendaklah berilmu, barangsiapa yang inginkan bahagia hidup akhiratnya hendaklah berilmu, dan barangsiapa yang inginkan mudah hidupnya di dunia dan bahagia hidupnya di akhirat, maka hendaklah dia berilmu.”
Seorang yang telah memperoleh pendidikan (educated people), dalam artian sesungguhnya dia telah memiliki ilmu/pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai. Hal itu akan tercermin dari bagaimana dia eksis di tengah-tengah komunitasnya. Pendidikan semestinya membuat dia bisa eksis di tengah komunitasnya secara layak, dihargai dan yang paling penting dia menjadi orang yang berbahagia. Kelayakan hidupnya akan diperoleh dari pendapatan ekonomi yang diperoleh dari hasil kerjanya. Penghargaan didapat dari penampilan (performance) dirinya di tengah pergaulan masyarakat. Pada akhirnya semua itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya dalam hidup di dunia. Sedangkan kebahagiaan akhirat pastinya akan didapat nanti sebagai buah dari amal ibadahnya atas dasar ilmu pengetahuan yang telah diamalkannya di dunia ini, baik dalam kaitan hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia (hablum
minallah wa hablum minannas). Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Untuk itulah pendidikan karakter diperlukan. Pada pusat pendidikan formal, pendidikan karakter dapat dilakukan dengan mengendalikan seluruh aktivitas di satuan pendidikan melalui proses pembelajaran yang bermuatan nilai-nilai luhur dalam suasana interaksi yang cerdas. Pendidik dan tenaga kependidikan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi termasuk satuan pendidikan kedinasan dan satuan pendidikan nonformal, secara terus menerus memelihara suasana kehidupan mendidik yang secara konsisten mengikuti tahapan thought, action, habit and character.Institusi diklat yang ada di berbagai instansi pemerintah maupun swasta turut bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter. Pelaksanaan diklat tidak hanya sebatas pemberian pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga ikut diarahkan kepada pendidikan karakter. Saat ini, ada sejumlah satuan pendidikan yang memprakarsai pendidikan karakter dengan berbagai istilah yang berbeda, seperti integrasi soft skill dalam kurikulum, pendidikan budi pekerti dan sejenisnya. Namun pendidikan budi pekerti yang dilakukan itu secara tersendiri tidak menjadi butir rekomendasi. Pendidikan karakter justru hendaknya dimasukkan menjadi bagian integral dari seluruh program pembelajaran. Karena guru adalah aktor utama dalam proses pembelajaran yang akan merumuskan tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, maka strategi pembelajaran yang pada umumnya dipakai adalah ceramah, demonstrasi dan pembelajaran secara langsung, dengan penggunaan reward dan punishment untuk respon yang diberikan siswa. Pada
umumnya pengetahuan yang diberikan kepada siswa bersifat instant atau lengkap sehingga tidak memerlukan pengolahan dan pemikiran lebih lanjut dari siswa tentang informasi tersebut.
Karena itu
guru berperan sebagai pemberi informasi utama pada
siswa dalam belajar sedangkan siswa sebagai penerima dan penyerap informasi.
III. Kesimpulan Ilmu yang disampaikan dalam suatu proses pendidikan dan pelatihan harusnya adalah ilmu yang akan berguna untuk menunjang hidupnya (kontekstual) peserta didik setelah pendidikan itu selesai. Dengan kata lain ilmu itu harus bermanfaat bagi pemiliknya, dan ilmu yang diamalkan, bukan banyaknya ilmu yang penting, tetapi seberapa banyak amal yang dilakukan berdasar ilmu tersebut. Dapat dikatakan bahwa pendidikan kita telah melenceng dari arah yang sebenarnya. Dalam istilah lain kondisi negatif tersebut dinamakan dengan kecelakaan pendidikan. Pada hal secara tegas dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan maksimal sebagai manusia. Menurut Elmubarok (2008: 29) Kegagalan pendidikan yang paling fatal adalah ketika produk didik tak lagi memiliki kepekaan nurani yang berlandaskan moralitas,
sense of humanity. Dalam pandangan saya kita telah mengalami kegagalan dalam meraih tujuan pendidikan sebagai mana yang dimaksudkan di atas. Kegagalan pendidikan kita menyebabkan sebagian bangsa ini telah kehilangan muru’ah atau karakternya. Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilainilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga Negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena
itu,
Pendidikan
Budaya
dan
Karakter
Bangsa
diarahkan
pada
upaya
mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga Negara.