BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR PEMBELAJARAN INFORMASIONAL SEBAGAI UPAYAMASYARAKAT TENTANG HAK PENYANDANG DIFABEL Oleh : ALIM HARUN P. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang
I.
PENDAHULUAN Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa di Indonesia, penyandang difabel sampai dengan tahun 2007 mencapai sepuluh persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia atau sekitar 20 juta jiwa penduduk Indonesia adalah penyandang difabel (Cheshire, 2010). Penyandang difabel adalah masyarakat marginal yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh. Kondisi terasingkan, terpingggirkan tersebut adalah sebab dari kokohnya stigma tentang “normal” dan “cacat” yang lestari di dalam masyarakat. Fakih (2005) menyebut bahwa “cacat” merupakan konstruksi sosial. “Cacat” adalah sejenis pelabelan, yang semena-mena dilekatkan oleh orang-orang normal pada kaum difabel. Selain itu, nalar developmentalisme yang memang selalu menghendaki kerapian dan ketertiban demi terciptanya pembangunan ekonomi yang diimpikan masyarakat kelas atas. Akibatnya penyandang difable hidup tanpa kesadaran masyarakat rendah tentang kondisi penyandang difable dan perhatian serius dari pemerintah, khususnya akses layak untuk membantu kehidupan mereka. Perubahan dari istilah “disabilitas” menjadi “difabel” tidak sekadar perubahan maksud kebahasaan namun juga penggantian makna dari “cacat” yang dinilai secara “tragedi personal” yang berorientasi gerakan bersifat “bantuan” menjadi arah gerakan sosial politik yaitu sebagai orang dengan kemampuan berbeda (differently abled people) (Fakih, 2005). Menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, kondisi ini terkatogori sebagai diskriminasi. Diskriminasi adalah penolakan atas hak asasi dan kebebasan dasar. Diskriminasi juga dapat dihubungkan dengan ketidakadilan pelayanan terhadap individu tertentu, dimana pelayanan dirancang-terapkan berdasar pada ciri-ciri yang diwakili individu tersebut. Misal, aturan peayanan atas dasar warna kulit, ras, dan fungsi fisik.
II. KENYATAAN PENDIDIKAN PENYANDANG DIFABEL Bentuk diskriminasi yang dialami oleh penyandang difabel secara umum adalah kurangnya akses untuk bersosialisasi, khususnya hak pendidikan yang tidak diskriminatif. Di Indonesia kondisi ini didasarkan pada UUD 1945 pasal 28C, pasal 28E (ayat 1), pasal 28 H (ayat 2), dan pasal 28I (ayat 2). Hak pendidikan non-diskriminatif bagi penyandang difabel dilindungi oleh: (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM; (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (4) Konvensi Internasional Hakhak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights for Persons with Disabilities/ CRPD) tahun 2006; (5) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD; (6) Undang-Undang Nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan; (7) Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2010-2014; (8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa; (9) Permendikbud No.46 Tahun 2014 tentang Pembelajaran Layanan Khusus pada Perguruan Tinggi. Para penyandang difabel di Indonesia telah disiapkan layanan pendidikan formal dengan model pendidikan “segregatif” melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah khusus (sekolah asrama). Para penyandang difabel di sekolah ini ditempatkan dalam lingkungan yang dilengkapi fasilitas mudah diakses untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sesuai data Kemensos (2010) hanya 0,90% jumlah penyandang difabel yang dapat melanjutkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin sedikit jumlah penyandang difabel yang dapat mengaksesnya. Kondisi tersebut selanjutnya dipahami sebagai rendahnya kemungkinan penyandang difabel untuk mencapai tingkat pendidikan formal yang tinggi. Selain itu juga menunjukkn bahwa pelayanan pendidikan bagi penyandang difabel masih kurang. Pelayanan pendidikan tersebut utamanya adalah berhubungan dengan ketersediaan akses. Untuk memenuhi kebutuhan penyandang difabel, penyelenggaraan pendidikan idealnya didukung dengan ketersediaan dan ketercukupan akses, sarana, dan prasarana yang mengakomodasi kebutuhan penyandang difabel. Rendahnya kesadaran terhadap kemudahan akses fasilitas umum untuk penyandang difabel merupakan penyebab utama para penyandang difabel sulit memperoleh akses seharihari. Kondisi ini menyebabkan munculnya kenyataan bahwa penyandang difabel menjadi peminta-minta di kendaraan umum, pasar, stasiun, terminal, dan persimpangan jalan. Stereotip bagi penyandang difabel inilah yang seterusnya memberi pengaruh terhadap perlakuan masyarakat. Penyandang difabel (disabilitas) sering dianggap sebagai obyek “belas kasih”, cacian, dan sebagainya.
III. PERAN PENDIDIKAN UNTUK PENYADARAN MASYARAKAT Pendidikan tidak dapat cuci tangan dari terpinggirkannya penyandang disabilitas. Pendidikan bertanggungjawab atas terjadi atau tidaknya diskriminasi masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Hal ini karena pendidikan merupakan suatu upaya sosial yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan sosial (Durkheim, E. 1961). Bagi manusia, pendidikan merupakan hal yang secara kodrati berada dalam kehidupan masyarakat mana pun dan kapan pun untuk menciptakan dan mengembangkan sendiri cara hidup yang dikehendaki. Melalui upaya pendidikan, masyarakat dapat memastikan kelangsungan hidupnya dan memproduksi masyarakat sesuai yang diharapkan. Cara hidup dan tujuan masyarakat yang berbeda antara satu sama lain merupakan hasil dari konstruksi budaya yang diciptakan, dipelihara, diwariskan dan dikembangkan di setiap generasi (Keesing, RM. 1981:20). Marjinalisasi yang dialami penyandang disabilitas adalah diproduksi dan direproduksi secara turun temurun, dan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Hal tersebut dimungkinkan oleh manusia yang memiliki kodrat untuk belajar dan membelajarkan. Tanpa kemampuan belajar dan membelajarkan orang lain di lingkungannya, tak akan mungkin tercipta budaya yang terpelihara, terwariskan, dan terkembangkan dari generasi ke generasi di masing-masing kelompok masyarakat. Marjinalisasi yang dialami oleh penyandang disabilitas adalah hasil dari kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fenomena difabel. Ketidaktahuan yang terwariskan secara turun temurun inilah yang menghasilkan “pandangan sebelah mata” masyarakat terhadap disabilitas. Ketidaktahuan ini juga bisa jadi, turut dan justru dilestarikan oleh kepentingan dari institusi-institusi masyarakat tertentu yang barangkali memperoleh kentungan secara sosial dan budaya dari memarginalkan penyandang disabilitas. Apabila memang demikian, maka penting dirumuskan suatu pola layanan pendidikan masyarakat yang berfokus pada penyadaran untuk mengubah warisan pandangan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Pendidikan memiliki peran utama dalam menjamin kelangsungan masyarakat seiring dengan proses perkembangan zaman. Baik itu pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Terlepas dari apa pun tujuannya, siapa kelompok sasarannya, dan siapa pun penyelenggaranya (Rogers, 1993). Secara khusus pada pendidikan luar sekolah, adalah melayani kelompok masyarakat yang tertinggal, tertindas dan terpinggirkan. Jumlah kelompok masyarakat yang terkategori lemah, tertinggal dan terpinggirkan ini sangat tidak terhitung jumlahnya, dan kesemuanya adalah membutuhkan layanan pendidikan luar sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun perorangan. Namun demikian, pendidikan juga memiliki peran utama untuk menyadarkan masyarakat tentang realita yang terjadi di masyarakatnya (Freire, 2007), dalam konteks ini adalah fenomena disabilitas.
IV. MUATAN PENTING PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH Muatan penting dari pendidikan luar sekolah sesungguhnya tidak terlepas dari kebutuhan universal manusia yang menginginkan kemerdekaan, kesejahteraan, keadilan, dan aktualisasi diri sebagai nilai-nilai universal yang berlangsung selamanya (Brameld,T. 1955:318). Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah pengingkaran atas kebutuhan universal manusia. Penyadaran anti diskriminasi terhadap penyandang disabilitas melalui pendidikan baik bersistem persekolahan ataupun di luar sistem persekolahan harus diciptakan sebagai suatu kebutuhan bersama masyarakat. Kedua sistem pendidikan tersebut harus secara kolaboratif menjadi suatu sistem yang terintegrasi untuk melayani kebutuhan pendidikan yang berkembang dalam masyarakat (Coombs, P. 1973: 102). Dalam konteks ini, tidak dipungkiri bahwa terdapat sejumlah orang di masyarakat yang memang tertinggal kualitas pengetahuan, wawasan, nilai dan sikapnya mengenai disabilitas. Ketertinggalan tersebut dapat berarti absolut ataupun relatif. Kalangan akademisi misalnya, dalam arti absolut tidaklah tergolong sebagai kaum tertinggal. Namun, dalam arti relatif, kalangan akademisi tersebut, bisa saja tidak mengikuti perkembangan paradigma kemanusiaan dalam hal persamaan hak dan anti diskriminasi bagi penyandang disabilitas, sehingga pantas digolongkan sebagai kaum tertinggal. Dalam contoh ini, kalangan akademisi tersebut sesunguhnya sangat membutuhkan layanan program pendidikan luar sekolah. Inilah yang dikenal sebagai continuing education. V. PROGRAM PEMBELAJARAN INFORMASIONAL Pendidikan luar sekolah adalah semua bentuk pembelajaran di luar sistem persekolahan yang diorganisasi, disengaja, direncana untuk membantu masyarakat memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk memperbaiki kehidupannya. Layanan pendidikan luar sekolah dapat dipahami melalui tipologi program berikut: pengembangan masyarakat (developmental), program kelembagaan (institutional), program penerangan atau informasional (informational). Tipe program pembelajaran informasional tepat untuk membantu berubahnya pandangan masyarakat terhadap para penyandang difabel. Program pendidikan luar sekolah ini bertujuan untuk terjadinya pertukaran informasi antar kelompok masyarakat mengenai isu-isu mutakhir dalam pembahasan disabilitas yang mengacu pada hasil kajian dan atau regulasi pemerintah. Pertukaran informasi dapat dilakukan melalui suatu kegiatan penyuluhan dan peyebaran informasi melalui media masa. Sedangkan program bertipe kelembagaan diperuntukkan bagi para fasilitator yang terlibat langsung dalam akifitas pendampingan bagi para penyandang disabilitas, berupa pelatihan keterampilan yang dapat segera digunakan untuk membantu belajar bagi para penyandang disabilitas.
Secara informasional, penumbuhan kesadaran masyarakat berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Berbagai gerakan telah muncul sebagai hasil pertukaran informasi.
Pertukaran
informasi
yang
berlangsung
diantara
masyarakat
telah
mengembangkan suatu gerakan yang menghasilkan pengakuan hak bagi kaum difabel oleh pemerintah, walaupun memang masih ditemui paradox dari peraturan lain yang diskriminatif.
Kemunculan
berbagai
lembaga
masyarakat
yang
memperjuangkan
terwujudnya akses bagi kaum difabel menandai lahirnya era kesadaran masyarakat tentang fenomena marjinalisasi penyandang difabel. VI. PERMASALAHAN PENGELOLAAN PEMBELAJARAN Walau demikian, implementasi program pendidikan luar sekolah di lapangan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Terdapat banyak permasalahan yang menghambat pelaksanaan dan pengembangannya (Moedzakir, 2010). Pertama, keterlibatan masyarakat sebagai warga didik, beberapa program pendidikan luar sekolah di masyarakat cenderung
dilaksanakan
oleh
lembaga
formal
(berbasis
persekolahan)
sehingga
menyebabkan kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai warga didik. Kedua, kebutuhan, niat penyelenggara dan sasaran program. Penyelenggara program pendidikan luar sekolah hanya mencari cara yang paling mudah untuk memperoleh “proyek” sehingga kurang dapat menyentuh aspek kebutuhan nyata dari masyarakat sebagai warga didik. Ketiga, program yang seimbang dan perbedaan warga didik. Munculnya berbagai program pendidikan luar sekolah perlu disesuaikan dengan spesifikasi kebutuhan masyarakat. Banyak program pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dengan target terlalu masal (mobilisasi besarbesaran) justru berdampak pada ketidakjelasan arah program dan target pencapaian hasil pembelajaran. VII. KESIMPULAN DAN SARAN Penyadaran masyarakat untuk peduli dan terlibat langsung dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas adalah suatu keharusan. Keterlibatan masyarakat dalam upaya sosial tersebut membawa konsekuensi pada penyelenggaraan berbagai bentuk program pendidikan luar sekolah di masyarakat, baik dari segi jumlah maupun kualitas programnya. Dengan demikian, beragam upaya yang bersifat swadaya, swadana dan swakelola yang berdasarkan kesukarelaan adalah menjadi modal utama.
DAFTAR PUSTAKA Bertrand, AL. 1967. Basic sociology: An Introduction to Theory And Method. New York. Meredith Publishing Company. Brameld, T. 1955. Philosophies Of Education: In Cultural Perspective. New York. HRW. Coombs, P. 1973. New Paths To Learning For Rural Childdren And Youth. NewYork. International Council for Educational Development. Durkheim, Emille. 1961. Moral Education: A Study in the Theory & Aplication of the Sociology of Education. New York. The Free Press. Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. (Penerjemah: Agung Prihantoro & Fuad Arif Fudiyartanto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Keesing, RM. 1981. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Sydney. CBS Publishing Asia Ltd. McLelland, D. 1988. Karl Marx Selected Writings. Oxford. Oxford University Press. Moedzakir, MD. 2010. Metode Pembelajaran Untuk Program Pendidikan Luar Sekolah. Malang. UM Press. Rogers, A. 1993. Adult Learning For Development. London. CASSELL