BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR IJAZAH PALSU, ( BERAWAL DARI KEBUTUHAN & BERAKHIR PADA SANKSI DAN HUKUMAN TINDAK PIDANA ) Oleh : MONITA, S.Farm.Apt, M.Sc Pengawas Pemerintahan Madya Pada Inspektorat Provinsi Sumatera Barat
Maraknya peredaran ijazah palsu belakangan ini bukanlah hal baru, aktivitas yang menjurus pada kejahatan ini sudah dimulai sedari dulu oleh orang-orang yang mencari penghasilan dengan memperjualbelikan ijazah palsu. Ijazah palsu sengaja dibuat untuk memperoleh gelar akademik dengan tujuan yang bermacam-macam, apakah itu murni berasal dari keinginan dan kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, untuk memperoleh pekerjaan, untuk memperoleh posisi tertentu atau promosi di tempat kerja, bahkan ada yang hanya sekedar “prestise” untuk dipublikasikan kepada keluarga dan publik. Lalu kenapa dan bagaimana cara memprosesnya hingga bisa diperoleh oleh para peminat? Kenapa disebut “Ijazah Palsu”, keaslian dokumennya atau kemudahan dari proses untuk mendapatkan pengakuan gelar akademik tersebut yang dianggap bagian dari “Ijazah Palsu”? Kenapa orang menghalalkan pemalsuan ijazah kelulusan? Konon kabarnya bahkan ada ijazah program S3 yang bisa diperoleh dari universitas ternama dengan Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK)
yang
memuaskan.
Pengaturan
jadwal
perkuliahan
palsu,
proses
pembelajaran palsu, nilai palsu, penelitian/penulisan karya tulis akhir palsu, bahkan ada juga langsung pemalsuan ke dokumen ijazah. Salah satu alasan yang dikemukakan antara lain: 1. Karena merupakan kebutuhan bagi orang yang putus sekolah; 2. Karena dijadikan persyaratan bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi; 3. Karena dijadikan indikator/persyaratan untuk memperoleh lowongan pekerjaan; 4. Karena tidak sesuainya posisi yang diincar pencari kerja dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki; 5. Karena sulitnya memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan atau promosi jabatan di perkantoran; atau 6. Karena rumitnya dan banyaknya regulasi yang harus dipenuhi Aparatur Sipil Negara (ASN) jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang ditetapkan instansi pemberi izin belajar; 7. Murni berasal dari kemalasan menempuh pendidikan tinggi melalui jalur yang seharusnya.
Dalam pembuatan ijazah palsu tentunya melibatkan oknum dan/atau petinggi di sekolah dan perguruan tinggi, seperti: Guru, Kepala Sekolah, Dekan, Rektor hingga Kementerian Pendidikan. Modus operandi yang dilakukan juga bermacam-macam, dengan menggunakan form, blanko atau kertas asli sesuai data yang benar, sehingga hal ini dapat mempengaruhi ketertarikan seseorang untuk memperoleh ijazah palsu lewat agen tersebut. Bahkan bisa dipesan sesuai keinginan pemesan, baik ijazah S1 maupun ijazah Pasca Sarjana S2, bahkan hingga program Doktoral S3. Praktek jual beli ijazah palsu ini sudah berlangsung lama dan terjadi di sekitar kita, di lingkungan pemerintahan ataupun swasta. Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber secara langsung dan menurut berita di suratkabar dan internet membocorkan beberapa praktek jual-beli ijazah palsu yang terjadi, antara lain: 1. Sdri. M di Kota P bisa memperoleh ijazah SMA dengan membayar sejumlah uang dengan cara mengikuti ujian akhir EBTANAS (pada zaman itu, red) agar memperoleh Nilai Ebtanas Murni (NEM), sedangkan nilai rapor semester V dan VI telah disiapkan oleh guru wali kelas (rekayasa). 2. Sekelompok pejabat di daerah, Sdr. A.R, Sdri. J dan Sdri. D di Kota PP, telah mengikuti jadwal perkuliahan kilat di hotel/tempat tertentu beberapa kali secara intensif/Program Eksekutif
(bukan
pendidikan
jarak
jauh).
Penyedia
jasa
mengumpulkan
dan
menyelenggarakan pendidikan non formal, membuat dan terakhir memberikan ijazah dalam jadwal perkuliahan yang singkat, tidak diketahui apakah melalui proses wisuda selayaknya mahasiswa biasa atau tidak. Hasilnya, saat ini pejabat tersebut telah mencapai beberapa jabatan eselon II di kabupaten/kota, Provinsi bahkan di Kementerian. Bukannya tidak ada yang mengetahui, banyak yang mengamati namun suara pengaduan ini terhambat, seolah-olah tidak ada yang menanggapi. Toh sekarang sebagian diantara mereka juga sudah banyak yang pensiun. 3. Karena terkendala dengan dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi, Sdr. D di Kota B terpengaruh oleh oknum dari Universitas B yang menawarkan dirinya untuk melanjutkan program pendidikan dengan cara transfer nilai yang diperoleh dari tempat kuliah lama, dan dia sendiri tidak terlalu meneliti prosesnya lagi, hingga tertipu yang baru diketahuinya kemudian. 4. Sebuah perguruan tinggi di Bekasi telah memberikan ijazah kepada mahasiswanya tanpa mengikuti proses perkuliahan secara formal. Hal ini diketahui dari pihak pengadu yang melaporkan bahwa mahasiswa hanya mengikuti perkuliahan selama 1 s.d 2 tahun sudah memperoleh ijazah S1, tentunya dengan membayar sejumlah uang tertentu yang diminta penyelenggara. 5. Beberapa perguruan tinggi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (Jabodetabek) telah mengeluarkan ijazah palsu S1. Bahkan konon ada salah satu Rektor memperoleh gelar doktor (S3) dari Berkeley University di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, merupakan cabang dari Amerika Serikat (aslinya University of California). Dari pengusutan baru diketahui ternyata universitas tersebut tidak pernah ada dan disana
ditemukan sejumlah ijazah palsu. Bukan hanya itu, dari penyidikan diketahui bahwa perguruan tinggi tersebut ternyata tidak berizin. Lalu bagaimana pula halnya jika ijazah sarjana mahasiswa S1 ditandatangani oleh seorang Rektor yang gelar doktornya dinilai tidak sah atau tidak diakui? Dari seluruh alasan yang dikemukakan, alasan terbesar adalah sulitnya memperoleh pekerjaan atau memperoleh promosi di perkantoran yang telah membuat orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga fenomena ijazah palsu ini sangat meresahkan dan telah menyebar ke seluruh perkantoran dan kalangan akademisi. Hampir seluruh lapangan kerja baik swasta maupun instansi pemerintahan telah menempatkan gelar akademik sebagai indikator dalam proses rekruitmen, baik tenaga kerja profesional maupun non-profesional. Dalam memperoleh kenaikan pangkat dan promosi karir, gelar diploma menjadi impian bagi seluruh ASN, sesuai persyaratan untuk kenaikan pangkat dan jabatan yang harus dipenuhi, tidak peduli asli atau palsu, yang ujung-ujungnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan gaji dan tunjangan. Belum lagi dengan tingginya tingkat pertumbuhan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi swasta, walaupun belum mengantongi perizinan apalagi akreditasi, setiap tahunnya telah melepas ratusan hingga ribuan lulusan. Lalu bagaimana caranya memperoleh informasi atas jasa ini? Kemudahan akses melalui berbagai situs internet membuat praktek pembuatan ijazah palsu ini tumbuh subur di tengah-tengah kita. Iklannya sangat mudah ditemukan dan biasanya diawali dengan kalimat sapaan sebagai berikut: Anda putus sekolah/kuliah ?! Butuh ijazah untuk bekerja atau melanjutkan sekolah/kuliah ?! Ingin merubah masa depan menjadi jauh lebih baik ?! Atau anda membutuhkan dokumen penting lain ?! Kami jasa pembuatan ijazah siap melayani dan membantu kesulitan anda untuk memenuhi dokumen dokumen penting yang anda butuhkan. Pelayanan secara profesional karena kami memberikan bukti, bukan sekedar janji. Dokumen yang disediakan aman - terdaftar dan tidak akan ada masalah dikemudian hari karena untuk keamanan kami berani menjamin. Rahasia identitas pemesan akan dipastikan aman dan terjaga. Aman untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Aman untuk melamar kerja. Aman untuk test CPNS. Aman untuk masuk TNI/POLRI. Bahkan daftar tarifnya juga telah disediakan tinggal dipilih, antara lain: Ijazah SD
: Rp. 4.000.000,-
Ijazah SLTP
: Rp. 4.000.000,-
Ijazah SMU
: Rp. 4.000.000,-
Ijazah D3
: Rp. 6.000.000,-
Ijazah S1
: Rp. 8.000.000,-
Ijazah S2
: Rp.16.000.000,-
Untuk pemesanan silahkan klik website berikut ini: http://bla.bla.bla.ijazahpalsu.com
Wah... kalau begini penetapan tarifnya tentu saja sangat menggiurkan bagi para peminatnya. Bayangkan saja, dengan menyediakan sejumlah uang langsung bisa langsung mendapat pengakuan diploma gelar akademis kependidikan. Coba kalau harus melalui berbagai kesulitan menjalani jadwal perkuliahan, dari aspek biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit, berapa malam yang harus dilewati dengan begadang membuat tugas-tugas dari dosen, atau bagaimana stressnya jika akan menghadapi ujian-ujian semester hingga ujian akhir skripsi dan tesis. Tentunya banyak hal yang dapat dihematkan, memperoleh gelar secara instan tidak perlu membuat skripsi atau tesis lagi. Beberapa waktu yang lalu sewaktu penulis mengikuti perkuliahan, penawaran yang biasa terjadi di antara mahasiswa, baru sampai pada jasa pembuatan tugas-tugas di kampus, translate makalah berbahasa Inggris, pembuatan tugas akhir mahasiswa berupa skripsi dan tesis dengan tarif tertentu. Hal ini tergantung pada kepribadian dan hati nurani mahasiswanya, apakah ingin cara mudah atau benar-benar berasal dari keinginan mencari ilmu. Dari hasil penyidikan pihak yang berwenang diketahui bahwa memang telah banyak beberapa kasus ditemui untuk ijazah palsu ini, antara lain: 1. Kampus yang tidak berizin; 2. Pemalsuan tanda tangan untuk pengeluaran ijazah palsu. Menurut aturan hukum secara Yuridis-Formal, penggunaan ijazah palsu sudah pasti melanggar ketentuan hukum di Indonesia yang diancam dengan sanksi dan hukuman tindak pidana. Antara lain: 1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana pada pasal 263: Ayat (1): “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Ayat (2): “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”. Pasal 264 ayat (1) dan (2); Ayat (1): “Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: 1. akta-akta otentik; 2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: 4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Ayat (2): “Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian”. 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 68 dan 69 berbunyi: Pasal 68 ayat (1): “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Ayat (2): “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Ayat (3): “Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Ayat (4): “Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Pasal 69 ayat (1): “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Ayat (2): “Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 28 ayat (7) yang berbunyi: “Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar profesi, gelar vokasi dan/atau gelar profesi”. Dan sanksi bagi yang melanggar diatur dalam pasal 93 yang berbunyi: ”Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana dengan paling banyak 1 miliar rupiah”. Jangankan ijazah palsu, kasus “plagiat” dalam melakukan penelitian juga dilarang dan diancam. Terkait dengan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, apakah hal ini tidak dibolehkan? Banyak sekali ASN yang menempuh cara ini karena terkendala peraturan tidak bisa meninggalkan kantor tempat tugasnya. Tentu saja boleh, asalkan tidak menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 67 yang berbunyi: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 31: Ayat (1): “Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan”. Ayat (2): “Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler”. Ayat (3): “Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Ayat (4): “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”. 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 67: Ayat (1): “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ayat (2):
“Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ayat (3): “Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ayat (4): “Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Dari beberapa ketentuan hukum diatas telah dinyatakan dengan jelas bahwa siapa saja yang terlibat dalam mata rantai atau sindikat praktek jual-beli ijazah palsu pasti dijatuhi sanksi dan hukuman secara pidana. Baik peminat, penyedia jasa, ataupun pendidikan tinggi yang jelas-jelas telah mengeluarkan ijazah palsu. Lalu bagaimana caranya kita mencegah hal ini agar tidak terjadi? Selama sistem pengawasan tidak berjalan optimal, praktek-praktek seperti ini akan tetap berjalan. Tentunya membutuhkan dukungan dan peran serta seluruh masyarakat untuk mendorong penegakkan hukum, khususnya untuk menjerat oknum yang terlibat dalam penggunaan ijazah palsu. Masyarakat diminta bekerja sama untuk melaporkan jika menemui tindak pemalsuan ijazah. Untuk pengusutan kasus ijazah palsu, Institusi Kepolisian harus menerima pengaduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kasus ijazah yang diduga palsu tersebut. Selanjutnya dibuktikan dalam pemeriksaan oleh penyidik maupun dalam persidangan. Perlawanan terhadap ijazah palsu harus dijatuhkan sanksi pidana berat dan denda, serta dapat dilaporkan ke pihak berwajib atau ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di Negara Jepang dan India, setelah pemerintahnya mengumumkan kepada seluruh warga negara bagi yang menggunakan ijazah palsu secara sportif masyarakat, pegawai dan guru-guru langsung menyerahkan diri agar tidak terjebak dalam mengganti kerugian Negara yang lebih besar atas penggunaan gelar yang tidak sah. Bagaimana halnya dengan negara kita, apakah ada pelaku yang secara sportif mengakui dan menyerahkan diri? Bagaimana sanksi dan hukuman pidana bagi ASN yang terlibat atau telah memanfaatkan ijazah palsu ini? Apakah ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat berani mengakui dan siap untuk mengganti kerugian Negara/Daerah yang telah terlanjur dibayarkan? Dari kasus yang ditemui, ASN di salah satu SKPD pelaku tindak pemalsuan melalui proses pendidikan jarak jauh yang telah dibuktikan melalui Berita Acara Pemeriksaan, masih juga mengelak ketika dimintai tanggungjawab atas kerugian Negara/daerah yang terjadi. Sama halnya dengan korupsi, kesadaran serta perasaan malu dari ASN pengguna ijazah palsu itu sendiri yang belum ada. Kalau tidak diketahui oleh pihak yang berkepentingan atau dilaporkan oleh lingkungan kerja, ya didiamkan dulu.
Bagi pejabat atau pemeriksa yang ditugaskan dalam hal ini adalah Aparat Pemeriksa Internal Pemerintah (APIP), Badan Kepegawaian daerah (BKD) selaku instansi yang memberikan Izin Belajar, Tugas Belajar serta memberikan penyesuaian Pendidikan dan Pemakaian Gelar Akademis, juga bagi staf Bagian Kepegawaian pada masing-masing SKPD, harus mengecek kebenaran ijazah ASN di lingkungannya dan melaporkan perkembangan penanganannya. Hal ini dapat diketahui dengan mudah dengan mengecek melalui website: http://forlap.dikti.go.id/mahasiswa. Selanjutnya akan dipandu untuk mengisi menu atau form yang tersedia sebagai berikut: Pencarian Data Mahasiswa Perguruan Tinggi
Kata kunci nama perguruan tinggi
x
Program Studi
„- semua -
▼
Kata Kunci
Nama Mahasiswa atau NIM
Pengaman klik gambar jika captcha tidak jelas
Cari Mahasiswa
1. Langkah 1: Lakukan pengisian form diatas sesuai data mahasiswa yang dimiliki, terakhir klik “Cari Mahasiswa”; Pencarian Data Mahasiswa Perguruan Tinggi
001001 Universitas Gadjah Mada
Program Studi
Ilmu Farmasi S2
Kata Kunci
MONITA
Pengaman klik gambar jika captcha tidak jelas Aqu7a
Cari Mahasiswa
selanjutnya akan diperoleh hasil seperti ini: No
NIM
1
07263998PFA635
Nama mahasiswa Jenjang MONITA, S.FARM, APT
S2
Perguruan tinggi
Program Studi
Universitas Gadjah Mada
Ilmu Farmasi
2. Langkah 2: Klik link atau nama yang bergarisbawah selanjutnya akan diperoleh hasil seperti ini: Biodata Mahasiswa
Kembali ke Hasil Pencarian
Biodata Riwayat Kuliah Nama
: MONITA, S.FARM, APT
Nomor Induk Mahasiswa
: 07263998PFA635
Perguruan Tinggi
: Universitas Gadjah Mada
Program Studi
: Ilmu Farmasi S2
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Mahasiswa Saat ini
: Lulus
Tanggal Lulus
: 27 Maret 2009
Status Awal Mahasiswa : Peserta didik baru 3. Langkah 3: Jika diklik pada riwayat kuliah, selanjutnya akan diperoleh hasil seperti ini: Biodata Riwayat Kuliah No
Tahun
Semester
SKS
1
2007
Genap
17
2
2008
Ganjil
14
3
2008
Genap
8
Menindaklanjuti maraknya penerbitan ijazah palsu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan berkoordinasi dengan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah mengeluarkan Surat Edaran yaitu melalui Surat Nomor 03 tahun 2015 tentang Penanganan Ijazah Palsu Aparatur Sipil Negara/TNI/POLRI di lingkungan Instansi Pemerintah, Surat Edaran ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para Kepala LPNK, para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Non Struktural, para Gubernur, Bupati dan Walikota, serta tembusannya disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden, yang pada intinya memuat 5 (lima) poin yaitu:
1. Menugaskan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan pejabat yang menangani fungsi kepegawaian/SDM untuk melakukan penelitian terhadap keaslian ijazah anggota ASN/TNI/POLRI; 2. Apabila diperoleh adanya indikasi pemalsuan ijazah oleh oknum anggota ASN/TNI/POLRI agar dilakukan investigasi lebih lanjut; 3. Bagi anggota ASN/TNI/POLRI yang terbukti menggunakan ijazah palsu agar diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Menugaskan pejabat yang menangani fungsi kepegawaian/SDM agar lebih teliti dalam memeriksa berkas persyaratan termasuk keaslian ijazah dalam berbagai kegiatan pembinaan kepegawaian/SDM seperti rekruitmen, kenaikan pangkat, pengangkatan dalam jabatan dan sebagainya; 5. Menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan penanganan ijazah palsu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi paling lambat bulan Agustus 2015. Sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk saat ini belum dinyatakan dengan jelas melalui suatu ketentuan hukum kepegawaian, namun Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah berkomitmen bahwa bagi ASN berijazah palsu yang berdampak pada kerugian Negara/daerah agar diberikan sanksi administratif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, berupa pemberhentian dari jabatan dan penurunan pangkat satu tingkat. Hal ini terlihat lebih ringan dibandingkan ketentuan dalam KUHP dengan adanya pertimbangan pengabdian oleh ASN yang bersangkutan. Melalui Surat Edaran diatas, masing-masing APIP pada Inspektorat Provinsi/kabupaten/kota diminta segera mendata dan melakukan pengusutan mengenai kebenaran dan keabsahan ijazah ASN di wilayah kerja masing-masing. Pada saat ini masih sedang dalam proses penelitian untuk dilaporkan ke Kemenpan dan RB. Untuk tindakan preventif terkait Surat Edaran KEMENPAN dan RB Nomor 03 tahun 2015 diatas, tentunya harus dilakukan pengawasan terhadap peredaran ijazah palsu oleh semua pihak termasuk pemberi kerja dengan cara meneliti kebenaran ijazah pelamar kerja. Baik Perusahaan swasta atau di lingkup pemerintahan yang berperan tentunya adalah BKD. Jangan sampai ijazah yang dikeluarkan perguruan tinggi untuk proses kenaikan pangkat dan jabatan PNS adalah abal-abal. Dari kasus yang masuk dan diperiksa Inspektorat Provinsi ditemui proses kenaikan pangkat dan jabatan ASN yang lolos menggunakan praktek ijazah palsu, baru diketahui kemudian setelah salah seorang rekan kerjanya melaporkan kepada APIP, hingga dilakukan audit investigatif. Hasilnya dengan konsekuensi bahwa segala keterlanjuran pembayaran yang bukan merupakan hak ASN yang bersangkutan harus disetor/dikembalikan kepada kas Negara/Daerah, serta dibarengi pula dengan penurunan pangkat dan jabatan kembali ke pangkat dan jabatan semula. Untuk mempermudah APIP dan staf Bagian Kepegawaian SKPD dalam melakukan pengawasan, dapat dimulai dengan melakukan pendataan biodata pegawai, melakukan trasir masing-masing gelar akademis dan status akreditasi perguruan tinggi yang memberikannya
untuk setiap jenjang pendidikan, perkuliahan secara formal atau non formal. Untuk perkuliahan jarak jauh, tentunya lebih difokuskan. Bagi pejabat yang jadwalnya sangat padat apakah memungkinkan baginya untuk mengikuti perkuliahan, apakah jadwal tatap mukanya logis untuk menyelesaikan jumlah SKS yang dipersyaratkan dan memungkinkan untuk menyelesaikan tugas akhir berupa tesis atau desertasi? Bagi Pergururan Tinggi yang terbukti melakukan transaksi jual beli ijazah seharusnya ditutup atau dibubarkan. Dari data terakhir diketahui Kementerian Riset dan Teknologi sudah mengaudit sekitar 18 (delapan belas) perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan praktek jual-beli dan mengeluarkan ijazah palsu di wilayah Jabodetabek dan Kupang - Nusa Tenggara Timur, mulai dari pendaftaran surat izin, proses pembelajaran dan penerbitan ijazah, namun nama-nama perguruan tinggi tersebut belum dirilis. Untuk menelusuri para pemegang ijazah palsu, Kemenristek Dikti telah membentuk Tim Khusus bekerjasama dengan sejumlah pihak, termasuk membuka media online untuk pengaduan, dan sudah menerima sekurangnya 642 pengaduan ijazah palsu dari masyarakat. Selain itu juga diharapkan evaluasi dan reviu oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) di masing-masing wilayah kerjanya. Ke depan untuk upaya preventif diharapkan pihak kampus mencetak ijazah dengan hologram khusus atau security printing lainnya, dan tidak boleh lagi mencetak ijazah kosong (tanpa nomor ijazah). Dan nomor ijazah ini harus dilaporkan ke Kemenristek DIKTI atau Kopertis, sebagai indikator jumlah lembar ijazah yang dikeluarkan harus sama dengan jumlah mahasiswa yang terdaftar mengikuti kuliah. Secara regulasi rencananya akan diberlakukan pada Tahun Akademik 2016-2017. Bagi ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, tentunya perlu semangat ekstra bagi pejabat yang ditugaskan untuk meneliti hal ini dan aksi gerakan malu bagi pengguna ijazah palsu, gerakan revolusi mental dan moral terpuji, berkarakter, agar terwujud ASN yang bermartabat. Mari sejawat! Jika anda berani, langsung saja melaporkan diri ke Inspektorat Provinsi atau melalui Bagian Kepegawaian SKPD nya masing-masing.