BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR Penerapan Perilaku Tulus dalam Organisasi (Organizational Citizenship Behavior) Oleh :
Dr. Elsanra Eka Putra, S.Pd, M.Si Kasubid Perencanaan AKD dan Sertifikasi Badan Diklat Prov. Sumbar
I.
Pendahuluan OCB menurut Organ (1988) didefinisikan sebagai berikut: “OCB is individual behavior that is discretionary, not directly or explicity recognized by the formal reward system, and that in the aggregate promotes the effective functioning of the organization. The stipulation of discretionary creates ambiguity because employees construe many behavior included in OCB as part of the job. Dari pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa OCB adalah tingkah laku individual yang diskret, tidak langsung atau secara eksplisit dikenal oleh system reward yang formal dan ini mempromosikan secara luas fungsi efektif dari organisasi. Research has shown considerable overlap between these behaviors and the employee’s job behabior (Eastman, 1994; Morrison, 1994). Hal ini berarti riset menujukkan bahwa pertimbangan yang terlalu banyak antara tingkah laku ini dan perilaku pegawai. Definisi OCB sebagai tingkah aku yang tidak formal reward adalah sama dengan begitu luas. OCB disarankan sebagai penjelasan alternative dari satisfaction-causes performance. Seseorang mengargumentasikan bahwa label OCB berkaitan dengan: altruism, courtesy, conscientiousness, sportsmanship and civic virtue. Dalam buku terbarunya Organ menyatakan
OCB merupakan perilaku yang
berdasarkan kesukarelaan yang tidak dapat dipaksakan pada batas-batas pekerjaan dan tidak secara resmi menerima penghargaan tetapi mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan produktifitas dan kefektifan organisasi. II. Pembahasan 1. Sumbangan OCB terhadap Organisasi OCB dapat memberikan sumbangan peningkatan sistem sosial dalam ruang lingkup keseluruhan organisasi. Dengan adanya OCB yang tinggi diharapkan berdampak baik bagi pelayanan terhadap konsumen. Dalam hal ini karyawan dapat lebih cakap, lebih responsive, lebih sigap, ramah terhadap konsumen dalam menjalankan tugas dan tetap bertahan di perusahaan serta merasa memikiki tanggung jawab atas kebrhasilan perusahaan.
OCB adalah perilaku yang berdasarkan kesukarelaan yang berada di luar syarat formal dari pekerjaan. Perilaku yang dilakukan tersebut mempunyai kontribusi bagi kefektifan organisasi. OCB sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi dan tidak menerima penghargaan secara tegas karena perlaku yang dilakukan bukan dituntut pekerjaan atau bukan termasuk dalam pekerjaan formal di tempat kerja. OCB sangat berpengaruh dalam kesuksesan dari suatu organisasi. Hal ini bisa dilihat dari dimensi-dimensi OCB yang mempunyai hubungan setara dengan kepuasan kerja,komitmen organisasi, kejujuran, sikap ketelitian dan dukungan pimpinan (Lepine et al. 2002). Hambatan pekerjaan yang tinggi kemungkinan besar akan mempunyai OCB yang tinggi, Sehingga karyawan dapat mempunyai rasa memiliki karyawan terhadap perusahaannya atau tempat ia bekerja. OCB meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi dengan memberikan kontribusi terhadap sumberdaya, inovasi, dan daya adaptasi (William dan Nderson, 1991). Kepuasan kerja seharusnya merupakan penentu utama daqri organizational citizenship
organization
(OCB).
Organizational
citizenship
behavior
(OCB)
meningkatkan efisiensi. dan efektifitas organisasi dengan memberikan kontribusi terhadap transformasi sumber daya, inovasi, dan daya adaptasi Karyawan yang puas akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain dan jauh lebih melebihi harapan yang normal dalam pekerjaan mereka. Akan tetapi bukti terbaru mengemukakan bahwa kepuasan mempengaruhi organizational citizenship behavior, namun melalui persepsi keadilan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa komitmen organisasi mempunyai hubungan negatif dengan absen kerja maupun pindah kerja. Faktor-faktor yang kondusif terhadap tingkat kepuasan kerja karyawan yaitu pekerjaan yang mental menentang, imbalan yang layak, kondisi kerja yang mendukung dan rekan kerja yang mendukung. Tindakan-tindakan indisipliner yang masih sering terjadi merupakan sebagian bukti rendahnya kualitas kerja karyawan terutama masalah mentalitas dan budaya kerja. Pada umumnya karyawan tidak memiliki inisiatif sendiri untuk bekerja dengan baik, harus ada tekanan dari atasan baru kemudian mereka bekerja lebih baik. Dari pengamatan didapatkan banyak karyawan yang datang terlambat dan pulang lebih awal, dan upacara pagi hanya diikuti oleh beberapa orang saja. Disamping itu pada saat jam kerja ada beberapa karyawan berbincang-bincang dengan santai yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, merokok saat jam kerja bahkan ada karyawan yang bermain game di komputer untuk mengisi waktu. Kebanyakan karyawan berpendapat rajin tidak rajin tidak berpengaruh terhadap imbalan yang mereka terima. Rendahnya perhatian atasan terhadap bawahan menimbulkan perasaan kekecewaan karyawan. Hubungan atasan dengan bawahan bersifat formal dan mekanistis sehinga kurang memberikan motivasi intrinsik bagi karyawan.
2. Demografi ( Karakteristik Biografis ) Ada beberapa pengertian tentang karakteristik biografis menurut beberapa pendapat sebagai berikut : 1. Menurut Sentanoe Kertonegoro, (2001 : 21 ), sifat-sifat biografis adalah sifat-sifat pribadi seperti : umur, jenis kelamin, dan status perkawinan yang objektif dan mudah diperoleh dari arsip/catatan personil. Analisis variable-variabel tersebut adalah mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. 2. Menurut Gibson, ( 1996 :130 ), klasifikasi paling penting dari demografi adalah jenis kelamin dan ras. Keragaman budaya juga dapat mempengaruhi situasi kerja. 3. Menurut Sunarto, (2004 : 25), Pada hakekatnya karakteristik biografis ini menekuni penemuan dan analisis variable-variabel yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. Karakteristik tersebut berupa usia, jenis kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan, dan masa kerja dalam organisasi. 4. Menurut Robbins, (2001 : 42), Pada hakekatnya karakteristik biografis menekuni penemuan dan analisis variable-variabel yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. Karakteristik
tersebut
yang
jelas
berupa
:
usia,
jenis
kelamin,
status
kawin,banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang pengertian karakteristik biografis dapat disimpulkan bahwa karakteristik tersebut terdiri dari : usia, jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja karyawan, yang semuanya mempunyai dampak terhadap keluar-masuknya karyawan (turnover), absensi (kemangkiran), produktivitas dan kepuasan kerja karyawan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan kami uraikan satu-persatu sifat-sifat biografis sebagai berikut : 2.1. Usia / umur Menurut Robbins ( 2001:42 ), Kemungkinan besar hubungan antara usia dan kinerja merupakan isu yang mungkin penting selama dasawarsa yang akan dating. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yaitu : Pertama, ada keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya usia. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, banyak orang meyakininya dan bertindak atas dasar keyakinan itu. Kedua, adalah bahwa angkatan kerja menua. Misalnya, pekerja usia 55 dan yang lebih tua merupakan sektor yang berkembang paling cepat. Ketiga adalah perundang-undangan Indonesia baru-baru ini menyatakan bahwa, untuk segala maksud dan tujuan, menyatakan pensiunan yang bersifat perintah sebagai melanggar hukum.
Persepsi tentang pekerja yang sudah tua, Bukti menunjukan bahwa para majikan mempunyai perasaan yang campur aduk. Mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dibawa orang tua ke dalam pekerjaan mereka khususnya : pengalaman, pertimbangan , etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun pekerja-pekerja tua juga dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Di bawah ini akan kami jelaskan mengenai dampak yang ditimbulkan dari umur / usia sebagai berikut : 1. Dampak umur terhadap keluar masuknya karyawan (turnover ) Menurut Sunarto, (2004:22), Yang dimaksud dengan keluar masuknya karyawan adalah merupakan hilangnya orang-orang yang keluarnya tidak diinginkan oleh organisasi itu. Suatu tingkat keluar masuknya karyawan yang tinggi dalam suatu organisasi berarti naiknya biaya perekrutan, seleksi dan pelatihan. Tingginya tingkat keluar/masuknya karyawan juga menghambat suatu organisasi secara efisien bila personil yang berpengalaman dan berpengetahuan keluar dan penggantian harus ditemukan dan disiapkan untuk mengambil posisi yang bertanggung jawab. Makin tua umur akan makin kecil kemungkinan untuk berhenti dari pekerjaan. Itulah kesimpulan yang sering sekali ditarik berdasarkan studi-studi mengenai hubungan antara usia dengan keluar masuknya karyawan. Dengan makin tuanya para pekerja , makin sedikit kesempatan alternatif pekerjaan bagi mereka. Di samping itu pekerjaan yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan kepada mereka tingkat upah yang lebih tinggi , liburan dengan tingkat upah yang lebih panjang, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik (Sunarto, 2004 : 26). 2. Dampak umur terhadap absensi (kemangkiran) Menurut Sunarto, (2004 : 21), Dalam organisasi yang sangat mengandalkan pada teknologi lini-perakitan , kemangkiran lebih daripada sekedar gangguan itu dapat mengakibatkan suatu pengurangan yang drastis dalam kualitas keluaran , dan dalam beberapa kasus , dapat mengakibatkan suatu penutupan total dari fasilitas produksi. Menurut Robbins, ( 2001:43 ), Ada usaha untuk mengasumsikan bahwa usia juga berhubungan terbalik dengan kemangkiran (tingkat absensi), Apabila pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan untuk berhenti bekerja, tetapi juga menunjukan kemantapan yang lebih tinggi dengan masuk kerja secara teratur. Umumnya karyawan tua mempunyai tingkat kemangkiaran yang dapat dihindari lebih rendah disbanding karyawan muda. Tetapi mereka mempunyai tingkat kemangkiran yang tak dapat dihindarkan lebih tinggi, mungkin karena
kesehatan yang lebih buruk sehubungan dengan penuaan dan lebih lamanya waktu pemulihan yang diperlukan pekerja tua bila cidera. 3. Dampak umur terhadap produktivitas Menurut Sunarto , (2004 : 21 ), Sebuah organisasi adalah produktif jika organisasi itu mencapai tujuan-tujuannya, dan mencapainya dengan merubah masukan menjadi keluaran dengan biaya paling rendah. Misal produktivitas menyiratkan suatu kepedulian baik akan efektivitas maupun efisiensi. Ada suatu keyakinan yang meluas bahwa produktivitas merosot dengan makin tuanya seseorang. Sering diandaikan ketrampilan seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi mengikis/menurut dengan berjalannya waktu , dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarutlarut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya menyumbang pada berkurangnya produktivitas. Suatu tinjauan ulang menyeluruh terhadap riset baru-baru ini menemukan bahwa usia dan kinerja tidak ada hubungannya. Lagi pula, ini tampaknya benar untuk hampir semua jenis pekerjaan, professional dan tidak professional. Kesimpulan yang wajar adalah bahwa tuntutan dari kebanyakan pekerjaan, bahwa untuk pekerjaan dengan persyaratan
kerja
tangan
yang berat,
tidaklah
cukup
ekstrim
untuk
kemerosotan ketrampilan fisik apapun yang disebabkan oleh usia berdampak pada produktivitas, atau jika ada suatu kemerosotan karena usia, sering diimbangi oleh perolehan karena pengalaman. 4. Dampak umur terhadap kepuasan kerja Menurut Sunarto, (2004 : 23), Yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah merupakan perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Keyakinan bahwa karyawan yang puas akan lebih produktif daripada karyawan yang tidak puas merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun . Kebanyakan studi menunjukan suatu hubungan positif antara usia dan kepuasan kerja, sekurangnya sampai usia 60. Tetapi studi yang lain, menunjukkan hubungan yang berbentuk U. Beberapa penjelasan dapat menjernihkan hasil temuan ini, yang paling masuk akal adalah bahwa studi ini mencampuradukkan karyawan professional dan tak professional. Jika kedua tipe itu dipisah, kepuasan cenderung terus-menerus meningkat pada para professional dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan pada non professional kepuasan itu merosot selama usia setengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun berikutnya.
2.2. Jenis Kelamin / Gender Menurut Robbins, ( 2001 : 44 ), Beberapa isu mengawali lebih banyak debat, kesalah pahaman, dan pendapat-pendapat tanpa dukungan mengenai apakah kinerja wanita sama dengan kinerja pria ketika bekerja. Dalam bagian ini kami meninjau ulang riset mengenai isu ini. Ada bukti bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan pengakuan bahwa terdapat beberapa, jika ada, perbedaan penting antara pria dan wanita yang mempengaruhi kinerja mereka. Misalnya, tidak ada perbedaan yang konsisten pria wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. Sementara studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita telah bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinanya daripada wanita dalam memiliki pengharapan (ekspektasi) untuk sukses, tapi perbedaan ini kecil adanya. Dengan perubahan-perubahan yang signifikan yang berlangsung dalam 25 tahun terahir ini terhadap peningkatan kadar partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan memikirkan kembali apa yang membentuk peran pria dan wanita. Anda hendaknya
mengasumsikan
bahwa
tidak
ada
perbedaan
berarti
dalam
produktivitas pekerjaan antara pria dan wanita. Sama halnya tidak ada bukti yang menunjukkan jenis kelamin karyawan mempengaruhi kepuasan kerja. Mengenai dampak dari jenis kelamin dengan tingkat keluar masuknya karyawan ini bersifat campur aduk . Beberapa telaah telah menjumpahi bahwa wanitamempunyai tingkat keluar masuk yang lebih tinggi, telaah yang lain menemukan bahwa tidak ada perbedaan. Tampaknya tidak ada cukup informasi untuk bisa menarik kesimpulan yang berarti. Tetapi lain dengan riset mengenai kemangkiran. Bukti secara konsisten menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria. Secara histeris menempatkan tanggung jawab rumah tangga dan keluarga pada wanita. Jika ada anak yang sakit atau seseorang perlu tinggal di rumah untuk menunggui tukang ledeng, maka wanitalah yang secara tradisional mengambil cuti dari kerjanya. Tetapi tidak diragukan riset ini terikat pada waktu. Peran histeris wanita dalam perawatan anak dan sebagai pencari nafkah sekunder dengan pasti telah berubah sejak dasawarsa 1970-an, dan sebagian besar pria, dewasa ini mempunyai kepentingan yang sama seperti wanita dalam hal perawatan harian dan masalah-masalah yang dikaitkan dengan perawatan anak. 2.3. Status Perkawinan Tidak cukup studi untuk menarik kesimpulan mengenai dampak status perkawinan pada produktivitas. Berdasrkan hasil riset menunjukan bahwa karyawan yang menikah (berkeluarga) mempunyai absensi yang lebih sedikit,
mengalami turnover lebih rendah, dan sebaliknya lebih mendapatkan kepuasan kerja, daripada karyawan yang tidak berkeluarga (menikah). Sebaliknya karena perkawinan memberikan tanggung jawab yang lebih besar, sehingga memerlukan pekerjaan yang tetap. Perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Tetapi pertanyaan tentang alasanya tidaklah jelas. Sangat mungkin bahwa karyawan yang tekun dan puas lebih besar kemungkinannya terdapat pada karyawan yang menikah. 2.4. Masa Kerja Dengan kekecualian isu beda pria-wanita, agaknya tidak ada isu yang lebih merupakan subyek kesalah – pahaman dan spekulasi daripada dampak senioritas pada kinerja. Telah dilakukan tinjauan ulang yang meluas terhadap hubungan senioritas-produktivitas.
Jika
kita
mendefinisikan
senioritas
sebagai
masa
seseorang menjalankan pekerjaan tertentu, kita dapat mengatakan bahwa bukti paling baru menunjukkan suatu hubungan
positif
antara senioritas dan
produktivitas pekerjaan. Kalau begitu masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja, tampaknya menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas karyawan. Riset yang menghubungkan masa kerja dengan kemangkiran sangatlah terbuka. Secara konsisten studi-studi menunjukkan bahwa senioritas berkaitan negatif dengan kemangkiran. Memang, baik dalam seringnya absen maupun dalam total hari yang hilang pada saat bekerja, masa kerja merupakan variable penjelas tunggal yang paling penting. Masa kerja juga merupakan variable yang ampuh dalam menjelaskan keluar masuknya karyawan. Secara konsisten ditemukan bahwa masa kerja berhubungan negatif dengan keluar masuknya karyawan dan telah dikemukakan sebagai salah satu peramal tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan. Lagi pula, konsisten dengan riset yang menyatakan bahwa perilaku masa lalu merupakan peramal yang terbaik dari perilaku masa depan, bukti menunjukkan bahwa masa kerja pada suatu pekerjaan sebelumnya dari seorang karyawan merupakan peramal yang ampuh tentang keluar masuknya karyawan itu dimasa mendatang.
3. Ability ( Kemampuan ) Ada beberapa definisi / pengertian tentang kemampuan (ability) berdasarkan pendapat beberapa ahli yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Sentanoe Kertonegoro, (2001 : 22) Kemampuan adalah kapasitas individu untuk menjalankan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
2. Sedangkan menurut Angelo kinicki ( 2000: 185) Kemampuan menunjukan ciri luas dan karakteristik tanggung jawab yang stabil pada tingkat prestasi yang maksimal fisik dan mental seseorang. Ketrampilan adalah kapasitas khusus untuk memanipulasi objek secara fisik 3. Menurut Robbins, (1998:46 ), Kemampuan (Ability) adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. 4. Menurut Gibson, (1996 : 127), Kemampuan adalah sifat biological dan yang bisa dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu baik bersifat mental ataupun fisik. Ketrampilan adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas, seperti ketrampilan mengoperasikan komputer, ketrampilan berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan tujuan dan misi kelompok. 5. Sedangkan menurut Sunarto, ( 2004 : 30 ), Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut tentang pengertian kemampuan (ability) pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kita semua tidak sama dalam hal kemampuan tidaklah tersirat bahwa beberapa individu secara inheren ( tertanam ) lebih asor (inferior) daripada yang lain. Semua orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam hal kemampuan yang membuatnya relatif unggul atau rendah dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu. Dari titik pandang manajemen, masalahnya bukanlah apakah orang-orang berbeda dalam hal kecakapannya atau tidak. Yang menjadi masalah adalah mengetahui bagaimana orang-orang yang kemampuannya berbeda dan menggunakan pengetahuan
tersebut
untuk
meningkatkan
melakukan pekerjaan dengan baik.
kemungkinan
seorang
karyawan
Itulah penilaian dewasa ini akan apa yang
dapat dilakukan seseorang. Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik (Robbins, 2001 : 46). 3. 1. Kemampuan Intelektual (Intellectual ability) Menurut Robbins, (2000 : 186), Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan mental. Misal tes IQ, tes saringan masuk universitas. Adapun dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 : Dimensi Kemampuan Intelektual Dimensi Kecerdasan Numerik
Penjelasan
Contoh Pekerjaan
Kemampuan untuk berhitung dengan Akuntan:Menghitung pajak cepat dan tepat
Pemahaman verbal/lisan
penjualan
Kemampuan memahami apa yang Manajer pabrik : mengikuti dibaca atau didengar serta hubungan kebijakan-kebijakan kata satu sama lain
Persepsi cepat
perusahaan
Kemampuan mengenali persamaan Penyelidik dan perbedaan visual secara cepat kebakaran:mengenali dan tepat
petunjuk-petunjuk
untuk
mendukung tuduhan arson Penalaran induktif
Kemampuan mengenali suatu urutan Peneliti pasar:Meramalkan logis
dalam
suatu
masalah
dan permintaan
kemudian memecahkan masalah itu
akan
suatu
produk dalam kurun waktu berikutnya
Penalaran deduktif
Kemampuan
menggunakan
logika Penyelia:Memilih
dan
implikasi
suatu dua saran yang berlainan
menilai
dari
argumen
yang
antara
dikemukakan
karyawan Visualisasi Ruang
Kemampuan
membayangkan Dekorator
bagaimana suatu obyek akan tampak interior:Meredekorasi suatu seandainya posisinya dalam ruang kantor diubah Ingatan
Kemampuan mengenang
menahan kembali
dan Juru jual:Mengingat nama-
pengalaman nama pelanggan
masa lalu Sumber : Stephen P. Robbins, (1998:46) 3.2. Kemampuan Fisikal (Physical Ability) Kemampuan Fisikal adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecepatan, kekuatan, dan ketrampilan serupa. Kemungkinan besar kinerja karyawan yang tinggi dicapai bila manajemen telah memastikan sejauh mana suatu pekerjaan menuntut masing-masing dari sembilan kemampuan itu dan kemudian menjamin bahwa karyawan dalam pekerjaan tersebut mempunyai kemampuan tersebut. Terdapat sembilan kemampuan fisikal dasar sebagai berikut : Faktor – faktor Kekuatan : 1. Kekuatan dinamis Kemampuan menggunakan kekuatan otot berulang-ulang atau terus-menerus
2. Kekuatan tubuh Kemampuan menggunakan kekuatan otot dengan memakai tubuh (Khususnya perut) 3. Kekuatan statis Kemampuan menggunakan kekuatan terhadap obyek luar 4.Kekuatan Eksplosif Kemampuan mengeluarkan energi pada serangkaian tindakan eksplosif. Faktor - faktor Fleksibilitas : 1. Fleksibilitas ekstensif Kemampuan untuk menggerakkan otot tubuh dan punggung sejauh mungkin 2. Fleksibilitas Dinamis Kemampuan melakukan gerakan cepat dan berulang-ulang Faktor – faktor Lain : 1. Koordinasi badan Kemampuan mengkoordinasi kegiatan berbagai bagian badan secara simultan 2. Keseimbangan Kemampuan memelihara keseimbangan 3. Stamina Kemampuan melakukan upaya maksimum berkelanjutan Oleh karena setiap pekerjaan menuntut kemampuan manusia yang berbeda, dan manusia memiliki kemampuan yang berbeda, maka prestasi karyawan dapat ditingkatkan bila terjadi kecocokan kemampuan pekerjaan. III. Kesimpulan Dengan adanya perilaku tulus setiap karyawan pada organisasi dapat meningkatkan kepuasan kerja setiap karya yang pada akhirnya bisa meningkatkan kinerja organisasi.
DAFTAR PUSTAKA Manajemen
Sumberdaya
Manusia
Strategis;
Repositioning
Peran,
Perilaku
Plus
Kompetensi Serta Peran SDM Strategis, Jakarta Mancusi, Joseph L.Dr., 2004, Center For Organizational Excellence, www.goodwhale.com Milkovich, George, T, and Boudreau, Jhon W, 1997, Human Resource Management, Eigth Editon, Cornel University, Printed In The United State Of America. Porter, M. E. 1996. Keunggulan Bersaing : Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Binarupa Aksara, Jakarta. Ruky, Achamd, S, 2003, Sumberdaya Manusia Berkualitas, Mengubah Visi Menjadi Realitas, PN. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta.
Sedarmayanti, 2001, Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja, PN. CV. Mandor Maju, Bandung Siagian, Sondang, P, 1998, Manajemen Abad 21, PN. Sinar Grafika Off Set. Jakarta Ulrich, Dave, 1997, Human Resource Champions, Boston_: Harvard Business School Press. Ulrich, Dave, 1998, Human Resource Champions, Boston_: Harvard Business School Press. http://voices.yahoo.com/what-difference-between-tangible-intangible-4984324.html http://en.wikipedia.org/wiki/Computer_literacy