BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh : ROMI SUKMA, S.H. Staf BKD Provinsi Sumatera Barat
Sebuah isu penting layak dikemukakan karena umurnya yang bertahan lama dan kekuatannya pun sangat kokoh dan besar, ia adalah KORUPSI. Menurut hasil survey Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Tranparency International Indonesia (TII) pada tahun 2013, sebanyak 72% warga Indonesia menyatakan bahwa jumlah korupsi di Indonesia semakin meningkat.
Gambar 1. Pendapat Masyarakat Tentang Peningkatan Jumlah Korupsi Di Beberapa Negara
Selain itu, menurut Menurut Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, sepanjang semester I 2010 hingga semester I 2012, terjadi peningkatan kasus korupsi hingga 61,9 persen. Pada semester I tahun 2010 tercatat ada sebanyak 176 kasus korupsi yang terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Angka tersebut naik drastis menjadi sebanyak 285 kasus pada semester I 2012. Dari jumlah itu, aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum sebanyak 597 orang (Suara Pembaruan, 2013). Dari angka-angka di atas kita bisa simpulkan bahwa pemberantasan korupsi pasca reformasi tidak hilang bahkan tidak berkurang bila dibanding pada masa sebelum reformasi. Situasi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, apalagi semangat reformasi yang didengungdengungkan kurang lebih tujuh belas tahun yang lalu itu adalah berlandaskan semangat menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme hingga ke akar-akarnya. Hari ini kenyataannya sangat bertolak belakang, korupsi malah tumbuh sumbur di negeri yang kita cintai ini.
Tidak Adanya Kepastian Hukum Salah satu penyebab suburnya tindak pidana korupsi ini dikarenakan tidak adanya kepastian hukum. Hal ini dapat dilihat dari proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum itu sendiri. Kepastian hukum tidak ada karena dari proses penyidikan sampai vonis hukum dijadikan ajang komersial, sehingga yang membayar lebih banyak yang menang (Kwik Kian Gie, 2006. Setiap proses hukum yang bersahabat bagi pemilik uang menambah minat para koruptor untuk terus melakukan kejahatannya. Pada kasus tebang pilih kasus korupsi dapat kita lihat pada kasus mantan Presiden Soeharto yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi berbagai yayasan, yang kemudian perkaranya ditangguhkan dengan alasan usia lanjut, sakit, dan tidak mungkin diinterogasi, sampai akhirnya kasus ini di-SKP3-kan oleh Kejaksaan Agung. Kemudian ada pula kasus pengemplang dana BLBI dengan jumlah 600 triliun yang para pelakunya masih diberi perlakuan baik, karpet merah, dan dijamu di istana presiden (Pranoto, 2008). Dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada tahun 2008 terhadap 867 responden di 13 kota di Indonesia, sebanyak 73,2 persen responden menyatakan tidak ada lembaga negara yang bebas dari perilaku korupsi aparatnya. Dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, kejaksaan dan kepolisian disebut sebagai lembaga yang belum bebas dari perilaku korupsi oleh paling banyak responden. Masing-masing lembaga itu disebut oleh 95,4 persen dan 95,2 persen responden. Bahkan KPK pun dinilai oleh 73,4 persen responden tidak bebas dari korupsi (Jangan Bunuh KPK, 2009). Tidak Adanya Keinginan Politik Dan Wajah Lembaga Politik Yang Korup Isu yang selama ini berkembang adalah upaya delegitimasi lembaga Penegak hukum yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh lembaga legislatif, baik melalui lubang yuridis formal yaitu mempertanyakan keabsahan putusan KPK yang dikeluarkan oleh Pimpinan KPK yang tidak lengkap karena salah satu personilnya terjerat kasus hukum, maupun berkaitan dengan kewenangan penyadapan yang dibenturkan dengan isu Hak Asasi Manusia. Kedua lembaga ini kerap menjadi sorotan. KPK dianggap berjalan sendiri, melindungi dirinya sendiri, hingga tak jarang KPK bertindak menurut caranya sendiri.
Gambar 2. Jumlah Anggota Partai yang Terlibat Korupsi Periode 2002 - 2014
Menurut data di atas, banyak sekali anggota parlemen yang sekaligus anggota partai politik yang terlibat dalam kasus korupsi. Sekitar 311 orang anggota parlemen sejak periode 2002 hingga 2014 terjerat kasus korupsi. Lembaga politik yang korup sulit diharapkan untuk ikut membantu memperbaiki sistem kerja dan kelembagaan politik ke arah yang lebih transparan dan akuntabel, karena itu sama saja dengan menutup keran-keran pendapatan mereka. Sehingga sedapat mungkin efektivitas kinerja lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi dihambat, salah satunya dengan strategi kriminalisasi pimpinan lembaga penegak hukum yang sudah berulang kali terjadi. Hal ini secara langsung dapat mempengaruhi efektivitas tersebut. Praktek Korupsi sejak Zaman Kolonial Belanda Praktek korupsi yang terjadi sejak zaman Belanda juga ikut menentukan konsistensi tradisi korup di tanah air ini yang dijiwai dalam semangat kerja para birokrat, pejabat negara hingga Ketua RT. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank menyebutkan faktor yang ikut menyumbang pada berlangsungnya korupsi terutama di Indonesia adalah pemerintahan kolonial (Semma, 2008). Di samping itu, rezim politik yang terus melestarikan praktek korupsi selama ini, telah berhasil melatih mental aparaturnya dengan kebiasaan memberi atau menerima hadiah sebagai imbalan pelayanan yang telah diberikan. Kecilnya Gaji Pegawai Negeri Sipil dan Peluang Penyelewengan di Daerah Korupsi yang mewabah di berbagai negara yang sedang berkembang adalah karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Ketidakcukupan ini, kemungkinan disebabkan oleh adanya perencanaan yang buruk. Kondisi-kondisi struktural dan lingkungan adalah sarana bagi koruptor untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka yang telah terbiasa melakukan korupsi kerap menciptakan lingkungan dan kondisi yang cocok bagi korupsi (Semma, 2008). PNS yang kaya biasanya adalah mereka yang mampu dan lihai memanfaatkan kondisi lingkungan birokrasi yang kondusif bagi penyelewengan. Sehingga tidak sedikit pula mereka yang kurang lihai, menikmati hasil usahanya di penjara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tipikor Manado, memperlihatkan cukup banyak Pegawai Negeri Sipil di daerah itu yang terjerat kasus korupsi. Otonomi daerah sebagai strategi mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat justru telah menjadi ajang pemerataan tindak korupsi atau pembudayaan korupsi yang jauh lebih meluas sampai simpul-simpul terkecil masyarakat kita (Supeno, 2009). Dalam proses pembangunan di daerah tiba-tiba ada dana mengalir, kemudian membuka peluang terjadinya penyimpangan, penyelewengan hingga penjarahan terang-terangan oleh para penguasa daerah (Supeno, 2009). Korupsi yang telah membudaya Sejak zaman kolonial Belanda, setelah proklamasi kemerdekaan, hingga ditumbuh suburkan pada masa orde baru yaitu tradisi patrimonial dalam corak pembangunan. Birokrasi patrimonial, menjadi sesuatu yang membudaya sebagai kelaziman dalam masyarakat, dan memapankan bentuknya dalam pemerintahan negara ketika Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Korupsi menjadi budaya dalam sistem tersebut, dimana
kekuasaan dan keutamaan, menjadi harga mati bagi kalangan ningrat dan golongannya (Semma, 2008). Dalam sejumlah kebudayaan (barangkali diantara pejabat-pejabat pemerintahannya saja) ada nilai-nilai yang sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut ke pengadilan, lebih dapat diterima, atau barangkali bahkan ”merupakan bagian dari adat-istiadat itu” (Klitgaard, 1998). Meta Masalah : Tiga Aspek Pelestari Korupsi Aspek Budaya Korupsi sebagai suatu gejala sosial telah berada setua dengan umur umat manusia (Klitgaard, 1998). Namun, korupsi dipahami Mochtar Lubis sebagai fenomena budaya. Dalam arti bahwa korupsi bukanlah budaya. Namun ia dapat saja membudaya atau menjadi budaya, tatkala, struktur politik, sosial, ekonomi, ataupun birokrasi berlangsung dalam kebekuan serta kekakuan (Klitgaard, 1998). Salah satu indikasi bahwa korupsi telah menjadi budaya dalam sebuah sistem pelayanan publik adalah ketika solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah telah dianggap sebagai hal yang biasa, karena terbiasa atau dibiasakan secara turun temurun. Ingin urusan lancar berarti harus ada yang dikorbankan, supaya urusan tidak berbelit-belit harus kenal pejabat penting disana. Satu kata yang dapat mewakili : SUAP. Ini adalah buah dari kebiasaan yang terbangun sejak lama dan hingga kini beberapa orang masih menganggap hal ini sebagai hal yang biasa dan merupakan bagian dari ikhtiar. Sang pemberi berfikir, “tidak ada yang gratis di dunia ini”, sedangkan sang penerima berpendapat, “tidak ada do’a penolak rezeki”. Maka jadilah suap berkembang dengan pesatnya dari tahun ke tahun. Sebagaimana terlihat pada Gambar 4, bahwa jenis perkara penyuapan memberi sumbangsih paling besar dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Gambar 4. Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004 - 2014
Aspek Hukum Keprihatinan dalam usaha penegakkan hukum di Indonesia selama ini semakin bertambah, karena rakyat hampir-hampir tak mempercayai lagi lembaga penegak hukum kita (Lopa, 2001). Kejaksaan dan Kepolisian menjadi dua lembaga penegak hukum dengan jumlah ketidakpercayaan masyarakat terbesar dan dinilai sebagai lembaga yang belum bebas dari perilaku korupsi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam praktiknya, masyarakat sering
berhadapan dengan kebiasaan suap aparat penegak hukum sebagai prasyarat kelancaran proses hukum yang sedang dijalaninya. Penegakkan hukum yang tebang pilih dan tajam kebawah namun tumpul ke atas, tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi kelas kakap dan justru menjadi contoh bagi pelaku kelas teri untuk tidak segan melakukan perbuatan serupa. Hukuman yang diberikan bagi para pelaku korupsi tidak berhasil memberikan efek jera. Sebagian besar vonis yang dijatuhkan hingga tingkat kasasi, maksimal selama lima tahun. Vonis yang dijatuhkan oleh lembaga peradilan di bawahnya tergolong masih rendah. Berdasarkan catatan ICW, vonis yang dijatuhkan hakim PN dan PT sepanjang 2014, rata-rata hanya 32 bulan atau 2 tahun 8 bulan. Dibandingkan dengan 2013, vonis perkara korupsi bahkan lebih rendah, yaitu rata-rata 35 bulan atau 2 tahun 11 bulan.
Gambar 5. Tren Vonis Kasasi Kasus Korupsi
Aspek Politik Minimnya dukungan politik terhadap keberlangsungan upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dari upaya para politikus untuk mengutak-atik lembaga penegak hukum baik dari segi kewenangan maupun secara kelembagaan. Ironisnya, praktek korupsi justru sangat marak terjadi di parlemen dan partai politik. Dua lembaga yang seharusnya menjadi pendukung utama dalam usaha pemberantasan korupsi. Tren itu dapat dilihat dari daftar anggota DPR yang pernah ditangani KPK. Sejak tahun 2004 hingga 2014 sudah puluhan kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen kita.
Gambar 6. Daftar Anggota DPR Yang Terjerat Kasus Korupsi
Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi (Jangan Bunuh KPK, 2009). Masalah Substantif : Konseptualisasi Masalah Korupsi Ke Dalam Aspek Hukum Dari ketiga aspek yang dijelaskan pada tahap pemetaan masalah korupsi diatas, aspek hukum dianggap sebagai faktor penting atau akar permasalahan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penegakkan hukum dan jaminan kepastian hukum, misalnya sejauh mana aparat penegak hukum secara konsekuen menerapkan hukum tanpa terpengaruh oleh intervensi berbagai kelompok kepentingan atau elit politik, apakah vonis yang dikeluarkan bukan didasarkan pada deal-deal politik tertentu. Pemberian remisi bagi para koruptor mendapat sorotan tajam dari masyarakat, antara lain karena dianggap bertentangan dengan semangat anti korupsi dan mencederai rasa keadilan masyarakat (Soemodihardjo, 2012). Disinilah kepastian hukum dipertanyakan. Apakah ada jaminan para koruptor mendapatkan hukuman yang berat, jawabannya belum tentu, apalagi ditambah remisi, hal ini semakin tidak memperjelas arah pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi lahir salah satunya disebabkan oleh kelonggaran-kelonggaran itu. Bukan aturan hukumnya yang salah tapi penegakkan hukum yang tidak konsisten. Ancaman hukum yang lebih berat (pantas) pasti akan mendorong orang untuk berpikir berkali-kali sebelum melakukan niatnya melakukan kolusi atau korupsi (Lopa, 2001). Kalau kita menerapkan ancaman hukuman mati dan denda ratusan juta rupiah, jauh akan lebih efektif daripada ancaman maksimum seumur hidup dan denda (Lopa, 2001). Apalagi, penerapan undang-undang yang sekarang ini masih sangat tidak sesuai atau kurang mendidik (Lopa, 2001). Masalah Formal : Penegakkan Hukum yang lemah Dan Ketidakpastian Hukum Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci dan spesifik mengenai aspek hukum apa yang sebenarnya memang menjadi akar permasalahan pemberantasan korupsi berdasarkan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu pada tahap perumusan masalah substantif. Proses memindahkan dari masalah substantif ke masalah formal diselenggarakan melalui spesifikasi masalah, yang berupa pembuatan sajian (model) matematis formal terhadap masalah substantif (Dunn, 2003). Sehingga muncullah rumus seperti di bawah ini : Korupsi = Lemahnya Law Enforcement + Ketidakpastian Hukum Kedua hal ini menjadi kunci penting penyebab kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia. Aparat penegak hukum belum memiliki kesadaran dan mental yang tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan (Lopa, 2001). Lemahnya penegakkan hukum dapat dilihat dari penerapan sanksi hukum bagi para koruptor selama ini, yang cenderung mengenyampingkan nilai keadilan dan jauh dari tujuan menimbulkan efek jera.
Ketidakpastian hukum membuat penegakkan hukum hilang arah. Hukum ditafsirkan semaunya oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Banyak koruptor dan bandit berdasi yang mempunyai kekuasaan dan lolos dari hukuman karena hukum itu dibebankan pada aspek prosedurnya, sehingga aspek substansi kebenaran dan keadilan menjadi kabur (Pranoto, 2008). Mereka berhasil menggiring arah hukum menjadi tidak substantif dengan modal kekuasaan. Di samping itu, pemberian remisi bagi koruptor berarti mengabaikan tujuan pemidanaan untuk menjerakan pelaku korupsi, sehingga remisi dapat melemahkan upaya pencegahan korupsi (Soemodihardjo, 2012).
DAFTAR PUSTAKA BUKU Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : PT. Hanandita Graha Widya Jangan Bunuh KPK. 2009. Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Klitgaard, Robert. 1998. Membasmi Korupsi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Lopa, Baharudin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Pranoto, Suhartono, W. 2008. Bandit Berdasi : Korupsi Berjamaah, Merangkai Hasil Kejahatan Pasca-Reformasi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Soemodihardjo, R. Dyatmiko. 2012. Memberantas Korupsi di Indonesia. Yogyakarta : Shira Media Supeno, Hadi. 2009. Korupsi di Daerah. Yogyakarta : Total Media INTERNET http://politik.kompasiana.com/2014/02/13/ternyata-partai-terkorup-itu-bukan-partai-demokrat634882.html, Ternyata Partai Terkorup Itu Bukan Partai Demokrat, diakses tanggal 11 April 2015 http://mcw-malang.org/suara-kalimetro/platform-kepemerintahan-baru-tinjauan-analitis-isustrategis-lokal-dan-nasional-pasca-pemilu-di-kota-malang, diakses tanggal 12 April 2015 http://baranews.co/web/read/35826/vonis.berat.tak.diikuti.pn.dan.pt.ma.diharapkan.ingatkan. para.hakim#.VSlziJPtm94, Vonis Berat Tak Diikuti PN dan PT, MA Diharapkan Ingatkan Para Hakim, diakses tanggal 12 April 2015 https://azfiamandiri.wordpress.com/2014/04/11/infografik-partai-partai-2/, partai, diakses tanggal 12 April 2015
Infografik
SURAT KABAR Suara Pembaruan. Korupsi Meningkat; KPK Hanya Didukung Publik. 11 Juli 2013
partai-