66
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Surakarta Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Surakarta Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dalam menjalankan tugasnya bekerja dibawah perintah dari Kasatreskim. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, unit PPA bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Unit PPA Polresta Surakarta dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan anak dan perempuan selain melakukan penyelidikan juga melakukan fungsinya menyediakan pelayanan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana serta melakukan kerja sama dan koordinasi dengan Instansi terkait yang tergabung dalam Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) untuk menangani kasus tindak pidana yang menimpa anak dan perempuan di Kota Surakarta. Secara lebih khusus perkembangan kejahatan terhadap anak atau yang dilakukan oleh anak di Kota Surakarta dalam beberapa tahun terakhir mengalami pasang-surut kenaikan dan penurunan kasus. Beberapa macam kasus yang telah ditangani oleh unit PPA Polresta Surakarta terkait dengan tindak pidana yang korbannya atau pelakunya adalah anak adalah penganiayaan, persetubuhan terhadap anak, pencabulan, penjualan/penculikan anak, membawa lari anak dibawah umur, perjudian yang dilakukan oleh anak, pencurian yang dilakukan oleh anak dan pengroyokan yang dilakukan oleh anak. Berikut adalah data yang diperoleh dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit 66
67
PPA) Polresta Surakarta mengenai kasus pidana anak yang telah ditangani oleh Unit PPA Polresta Surakarta dari Tahun 2013-2015 : Tabel 3. Data Kasus Pidana Anak yang Ditangani Unit PPA Polresta Surakarta Tahun 2013-2015 JENIS TINDAK
PASAL YANG
JUMLAH KASUS
PIDANA
DILANGGAR
TAHUN 2013
2014
2015
2
0
1
6
11
7
7
6
5
Pasal 290 KUHP
0
1
0
Pasal 83 UU No
0
1
1
Penganiayaan/ Kekerasan
Pasal 80 UU No
Fisik
23/2002 jo UU No 35/2014
Persetubuhan/pemerkosaan
Pasal 81 UU No 23/2002 jo UU No 35/2014
Pencabulan
Pasal 82 UU No 23/2002 jo UU No 35/2014
Penculikan anak
23/2002 jo UU No 35/2014 Pengroyokan
Pasal 170 KUHP
0
2
0
Perjudian yang dilakukan
Pasal 303 KUHP
0
0
1
Pasal 332 KUHP
2
1
2
Penganiayaan
Pasal 352 KUHP
0
0
1
Pencurian oleh anak
Pasal 363 KUHP
1
0
1
oleh anak Membawa lari wanita dibawah umur
Sumber : Unit Perempuan dan Anak Polresta Surakarta. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana kesusilaan terhadap anak merupakan tindak pidana yang banyak terjadi di Kota Surakarta dan menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh
68
Unit PPA Polresta Surakarta. Dalam rentang tahun 2013-2015 kasus persetubuhan terhadap anak menjadi kasus tertinggi dengan jumlah 24 (dua puluh empat) kasus diikuti dengan kasus pencabulan terhadap anak dengan jumlah kasus yang telah ditangani sebanyak 18 (delapan belas) kasus. Polresta Surakarta menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pedoman untuk menindaklanjuti kasus-kasus mengenai anak. Untuk kasus yang pelakunya adalah anak seperti kasus perjudian, pencurian, dan pengroyokan yang dilakukan oleh anak Polresta Surakarta dalam menangani kasus tersebut menggunakan pedoman dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan tetap melakukan upaya diversi terhadap anak pelaku. 2. Hasil Wawancara a. Wawancara dengan Kepala Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Polresta Surakarta 1) Narasumber
: Ipda Wahyuriadi, S.H.
2) Tanggal
: Selasa, 22 Maret 2016 dan Kamis, 7 April
2016 3) Waktu
: 10.30 WIB
4) Tempat
: Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Polresta Surakarta
5) Hasil Wawancara : Di Kota Surakarta dari rentang tahun 2013-2015 total terlah terjadi 18 (delapan belas) kasus mengenai pencabulan terhadap anak yang telah ditangani oleh Unit PPA Polresta Surakarta. Jumlah kasus pencabulan terhadap anak tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 7 (tujuh) kasus dan kemudian mengalami penurunan dari tahun ke tahun dengan jumlah kasus terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu sebanyak 5 (lima) kasus. Khusus untuk kasus tindak pidana pencabulan sejenis di Kota
69
Surakarta dari tahun 2013-2015 total terjadi sebanyak 4 (empat) kasus yang terjadi di kecamatan Serengan, Pasar Kliwon, Banjarsari dan Laweyan. Sepanjang tahun 2013-2015, tahun 2014 menjadi tahun dengan jumlah kasus tindak pidana pencabulan sejenis tertinggi di Kota Surakarta dengan jumlah sebanyak 3 (tiga) kasus dan jumlah kasus terendah terjadi pada tahun 2013 yaitu dengan jumlah 0 (nol) kasus. Pelaku dari tindak pidana pencabulan sejenis tersebut seluruhnya dilakukan oleh pelaku berjenis kelamin laki-laki yang rata-rata berusia antara 30-55 tahun dengan korban rata-rata anak laki-laki berusia 10-17 tahun. Secara fisik atau penampilan dari luar pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak yang terjadi di Kota Surakarta pada umum tidak tampak memiliki kelainan karena, secara fisik pelaku seperti laki-laki normal pada umumnya bahkan rata-rata seluruh pelaku telah berkeluarga dan memiliki anak. Namun, dilihat secara fisik khusus untuk pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak yang berada di kecamatan Laweyan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pelaku di 3 kecamatan lainnya pelaku memiliki bahasa tubuh yang tidak normal selayaknya laki-laki pada umumnya hal ini dapat dilihat dari cara bicara, dan gerak tingkah tubuh pelaku. Selain itu para pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta berasal dari luar anggota keluarga korban rata-rata mereka merupakan guru atau tenaga pendidik dari korban, atau memiliki hubungan kekerabatan /rekanan dengan orangtua korban. Posisi kedekatan pelaku dengan korban tersebut kemudian yang dapat memudahkan pelaku untuk mengakses anak untuk menjadi korban hawa nafsunya. Pelaku dalam melancarkan aksi jahatnya terhadap korban memiliki beragam modus yaitu seperti membujuk, dan memberikan iming-iming terhadap anak korban dengan hadiah, uang, atau makanan bahkan tidak jarang
70
pelaku dalam memulai aksinya mempertontonkan video porno kepada anak korban dan menggunakan kekerasan kepada anak korban untuk memaksa dilakukannya perbuatan pencabulan sejenis tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencabulan sejenis terhadap anak sangat beragam. Kelainan seksual merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta. Hal ini karena pelaku yang sebagian besar merupakan orang dewasa lakilaki menjadikan anak laki-laki sebagai obyeknya dalam melakukan hubungan seksual. Secara tidak langsung berarti pelaku dimungkinkan memiliki 2 (dua) tipe kelainan seksual yaitu homoseksual dan pedofilia. Kelainan seksual tersebut pada dasarnya termasuk gangguan kejiwaan atau psikologis. Kelainan seksual yang dimiliki oleh
pelaku dalam jiwanya membuat
pelaku melakukan penyimpangan seksual dengan anak-anak dimana perbuatan menyimpang seksual tersebut selalu diawali dengan adanya nafsu ingin melakukan hubungan seksual dengan korbannya
yang
merupakan
anak-anak
dengan
disertai
penggunaan berbagai modus untuk melancarkan aksinya dan untuk memuaskan nafsunya. Faktor Traumatis Pelaku sebagai korban sewaktu kecil juga dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis. Hal tersebut karena peristiwa tindak pidana pencabulan sejenis yang pernah dialami anak dapat mengganggu mental anak korban dan biasanya anak korban akan mengalami dampak traumatis, namun kasus ini seringkali tidak terungkap karena adanya penyangkalan telah dilakukannya peristiwa kejahatan tersebut. Korban anak-anak akan cenderung tidak terbuka atau menutupi peristiwa kejahatan yang telah menimpanya terhadap keluarga atau orang-orang terdekat yang berada di sekitarnya disebabkan karena
71
korban merasa takut atau malu kepada pelaku. Trauma tersebut yang kemudian akan memunculkan sebuah dendam atau luka yang akan terus dibawa oleh anak sampai dewasa sehingga, ketika dewasa anak yang pernah menjadi korban akan melampiaskan dendamnya terhadap anak-anak lain dengan melakukan tindak pidana pencabulan sejenis yang pernah menimpa dirinya. Faktor keluarga merupakan salah satu yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta. Hal ini karena keluarga merupakan tempat terjadinya proses sosialisasi manusia untuk pertama kalinya, dan keluarga
merupakan
tempat
seseorang
untuk
membentuk
kepribadian seseorang. Faktor keluarga dapat dihubungkan dengan faktor traumatis pelaku yang semasa kecilnya pernah menjadi korban tindak pidana serupa. Pelaku yang masa kecilnya pernah menjadi korban dan tidak mendapatkan perhatian yang serius dari orangtua dan keluarganya berpotensi akan menjadi pelaku ketika dewasa. Dalam hal anak telah
menjadi korban tindak pidana
pencabulan sejenis, orangtua sebenarnya dapat mengetahui dari adanya perubahan perilaku anak secara drastis misalnya anak menjadi lebih murung, pendiam, mudah menangis, mengalami gangguan tidur dan makan bahkan penurunan berat badan, serta anak juga dapat menarik diri dari lingkungannya. Namun, karena disebabkan masalah yang terjadi dalam keluarga seperti orangtua yang sibuk bekerja atau keluarga yang broken home terkadang membuat orangtua mengabaikan problematika yang terjadi pada masa tumbuh kembang anaknya yang semestinya mendapatkan perhatian dari orangtua. Dengan tidak adanya perhatian dari orangtua, anak yang menjadi korban pencabulan sejenis tersebut akan terus memendam rasa sakitnya atas kejahatan seksual yang pernah menimpanya hingga mereka dewasa dan cenderung akan
72
melampiaskan rasa sakitnya ketika mereka dewasa kepada orang lain. Peran keluarga terutama orangtua sangat penting untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap tumbuh kembang dan perilaku seluruh anggota keluarga terutama perilaku anak. Pengawasan ini dinilai sangat penting mengingat bahwa dalam masa pertumbuhannya anak dimungkinkan menghadapi berbagai permasalahan yang dapat membentuk perilaku serta kepribadian anak. Apabila tidak terdapat pengawasan dari orangtua terhadap perilaku anak maka akan berdampak fatal dan berpotensi menyebabkan anak melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma sosial masyarakat. Faktor kurangnya pendidikan agama yang kuat dalam diri seseorang dapat menyebabkan kerusakan moral yang dapat mempengaruhi perilakunya dalam masyarakat sehingga berpotensi menyebabkan seseorang melakukan tindakan menyimpang dari norma-norma
agama
dan
masyarakat.
Untuk
membentuk
kepribadian yang baik dalam diri seseorang maka diperlukan adanya pendidikan agama dan moral yang kuat sejak seseorang masih dalam tahap perkembangan membentuk kepribadian karena dengan adanya pendidikan agama yang kuat dapat menghindarkan diri seseorang dari perbuatan jahat. Faktor lingkungan pergaulan menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak karena pada dasarnya lingkungan pergaulan dalam masyarakat merupakan tempat kedua setelah lingkungan keluarga bagi seseorang untuk membentuk kepribadian. Dalam lingkungan pergaulan tersebut tidak jarang seseorang mengalami kesalahan dalam pergaulan misalnya kesalahan dalam memilih teman sepermainan dan kesalahan dalam menyerap informasi/tata pergaulan. Sehingga melalui lingkungan pergaulan yang salah atau kurang sehat seseorang dapat terjerumus dalam tindakan-tindakan
73
menyimpang salah satunya adalah tindak pidana pencabulan sejenis. Faktor yang terakhir yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak adalah faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan semua orang baik anak-anak maupun
dewasa pada khususnya dalam kasus ini
mengakses video atau gambar yang berkaitan dengan hal-hal porno. Kemudahan mengakses gambar atau video porno tersebut yang kemudian menjadi stimulus atau mendorong pelaku untuk melakukan tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak yaitu dengan membujuk anak untuk melakukan setiap adegan dalam video porno tersebut. Berbagai bentuk upaya untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak telah dilakukan oleh Polresta Surakarta mulai dari upaya preventif
sampai dengan upaya
persuasive. Dalam melakukan upaya penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta Polresta Surakarta bekerjasama dengan Instansi mitra yang tergabung dalam bekerjasama dengan Instansi-instansi mitra yang tergabung dalam PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta). PTPAS berbentuk konsorsium dan merupakan gabungan Institusi / SKPD / Lembaga / Organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak. Upaya preventif yang dilakukan oleh Polresta Surakarta adalah penyuluhan mengenai bahaya terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak yang diadakan di kecamatankecamatan dan tidak jarang juga diadakan di Balaikota. Sasaran penyuluhan tersebut adalah para orangtua, pelajar, masyarakat umum secara luas ataupun masyarakat yang berada di sekitar wilayah yang pernah menjadi tempat terjadinya tindak pidana
74
pencabulan sejenis terhadap anak. Polresta Surakarta dalam menyelenggarakan kegiatan ini bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surakarta melalui Bapermas yang menangani kasus khusus mengenai anak. Operasi Kepolisian berupa Operasi Penyakit Masyarakat (Operasi Pekat) juga merupakan upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta yaitu dengan melakukan Operasi Pekat yang diadakan sebulan sekali di beberapa tempat-tempat hiburan malam seperti pub, diskotik atau tempat karaoke yang berada di wilayah Surakarta, karena tim Kepolisian dari Polresta Surakarta dalam kegiatan operasinya menemukan beberapa anak di bawah umur yang berada di tempat-tempat hiburan malam tersebut. Upaya preventif yang lain yaitu dengan mengadakan layanan pengaduan masyarakat. Dalam hal ini unit PPA Polresta Surakarta membuka layanan pengaduan masyarakat mengenai temuan-temuan dilakukannya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak oleh masyarakat. Upaya Represif yang dilakukan oleh Polresta Surakarta adalah dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta serta dokes Polresta Surakarta bekerjasama dengan Puskesmas di seluruh Surakarta dan beberapa Rumah Sakit di wilayah Surakarta memberikan bantuan pelayanan dengan melakukan visum terhadap korban untuk mempermudah proses pemeriksaan. Hal ini merupakan upaya pelaksanaan sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan serta mencegah agar pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak tidak lagi mengulangi perbuatannya. Sedangkan Upaya persuasif yang dilakukan oleh Polresta Surakarta ialah dengan melakukan upaya
75
rehabilitasi terhadap korban sebagai upaya untuk mengembalikan psikologis anak korban tindak pidana pencabulan sejenis. b. Wawancara dengan Kasubbag Registrasi Lapas Kelas IIA Sragen 1) Narasumber
: Ratna L.D, S.H., M.H.
2) Tanggal
: Rabu, 11 Mei 2016
3) Waktu
: 11.00 WIB
4) Tempat
: Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen
5) Hasil Wawancara : Jumlah warga binaan yang terdapat di Lapas Kelas IIA Sragen secara keseluruhan berjumlah 366 orang. Warga binaan tersebut merupakan pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi putusan oleh hakim dari berbagai Pengadilan Negeri yang berada disekitar wilayah Sragen salah satunya adalah dari wilayah Solo. Di Lapas Kelas IIA Sragen terpidana yang melakukan tindak pidana pencabulan rata-rata berumur 30-60 tahun. Khusus untuk pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak yang berada di Lapas Kelas IIA Sragen hanya terdapat 1 (satu) orang yang merupakan terpidana yang telah di vonis oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta yaitu atas nama Abdul Rashid bin Abdul Rahman. Faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pencabulan sejenis adalah disebabkan karena pengalaman perlakuan yang sama. Maksudnya dalam hal ini adalah bahwa pelaku sebelumnya pernah menjadi korban tindak pidana pencabulan sejenis. Seseorang yang pernah mengalami suatu tindak pidana pencabulan sejenis di dalam hidupnya sangat besar berpotensi untuk menjadi pelaku tindak pidana pencabulan sejenis. Potensi seorang korban pencabulan sejenis akan menjadi pelaku tindak pidana serupa tidak terbatas pada usia. Seseorang dalam usia dewasa yang menjadi korban juga akan berpotensi
76
untuk
menjadi
pelaku
setelah mengalami
tindak pidana
pencabulan sejenis yang menimpanya namun, potensi tersebut akan menjadi lebih rentan terjadi apabila korbannya adalah anakanak. Faktor lingkungan yang buruk menjadi faktor penyebab utama seseorang dapat melakukan kejahatan. Kecenderungan seseorang untuk memiliki orientasi homoseksual (gay/lesbi) dapat diperoleh seseorang dari faktor lingkungan. Seseorang yang pada awalnya adalah orang yang memiliki orientasi seksual yang normal akan berubah menjadi abnormal apabila ia bergaul dan berada dalam lingkungan homoseksual. Lingkungan akan membentuk serta merubah kepribadian seseorang sehingga dengan keberadaan seseorang pada lingkungan yang kurang baik memungkinkan seseorang berpotensi untuk melakukan tindakantindakan menyimpang. Penyebab selanjutnya seseorang melakukan tindak pidana pencabulan sejenis adalah disebabkan karena faktor trauma dengan lawan jenis. Rasa trauma tersebut disebabkan karena seseorang mengalami luka batin yang begitu mendalam sebagai akibat perlakuan buruk yang pernah diterima seseorang dari lawan jenisnya dan gagalnya hubungan antara lawan jenis misalnya trauma akibat kekerasan dari lawan jenis, seorang anak yang memiliki ayah/ibu yang sering melakukan kekerasan, dan trauma karena sering disakiti oleh lawan jenis dalam hubungan pacaran. Luka batin itu perlahan akan menyebabkan dendam dan ketidak percayaan seseorang terhadap lawan jenisnya sehingga seseorang akan mencari kenyamanan batin dari sesama jenisnya yang dianggap lebih mengerti dirinya. Hal tersebut yang kemudian
menyebabkan
seseorang
mengalami
disorientasi
seksual atau rasa ketertaikan terhadap sesama jenisnya. Rasa ketertarikan dengan sesama jenis tersebut yang kemudian menjadi
77
latar belakang awal dari dilakukannya tindak pidana pencabulan sejenis. Faktor yang lain adalah adanya layanan jasa seksual waria. Layanan jasa seksual waria tersebut yang kemudian dapat menyebabkan para pemakai jasa perlahan mengalami perubahan orientasi seksual. Hal ini disebabkan karena tarif pemakaian jasa pelayanan seks yang dilakukan oleh waria terbilang lebih murah daripada jasa pelayanan seks yang dilakukan oleh wanita. Pertimbangan tersebut kemudian yang menjadi alasan para pelanggan jasa layanan seks yang mayoritas adalah laki-laki lebih memilih jasa layanan seks yang dilakukan oleh waria. Terkait dengan tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak, seseorang yang telah memiliki orientasi seksual yang abnormal sebagai akibat dari kebiasaannya menjadi pelanggan layanan jasa seksual waria dimungkinkan berpotensi melakukan pencabulan sejenis terhadap anak ketika dihadapkan dengan ketiadaan dana untuk menggunakan jasa layanan seks tersebut. Pelaku memilih anak untuk dijadikan korban daripada orang dewasa disebabkan karena anak lebih mudah diintimidasi dan anak-anak lebih mudah diarahkan serta belum memiliki kekuatan untuk menolak ajakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh pihak Lapas dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak
hanya berupa pemberian pembinaan-pembinaan yaitu
pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian yang diberikan sejak pelaku berstatus tahanan. Pembinaan-pembinaan tersebut berupa pembinaan kepribadian seperti pemberian pembinaan kerohanian, kejujuran, kedisiplinan, dan pembinaan tanggung jawab. Sementara pembinaan kemandirian berupa pemberian kegiatan kerja seperti memberikan keahlian kerja bagi seluruh warga binaan, keterampilan jahit-menjahit, membuat
78
kerajinan tangan atau memberikan keahlian bengkel cuci motor serta kegiatan assessment atau menggali potensi warga binaan yang sudah ada sebelum terjerat kasus hukum tujuannya adalah agar warga binaan tidak melupakan potensi yang sudah ada di dalam dirinya serta dapat mengembangkannya. c. Wawancara dengan Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Terhadap Anak 1) Narasumber 1
:
a) Nama
: Abdul Rashid bin Abdul Rahman
b) Umur
: 43 Tahun
c) Pekerjaan
: Wiraswata ( menjual madu dan jasa pijat/bekam)
d) Agama
: Islam
e) Alamat
: Jalan Yos Sudarso RW 13 RT 06 Kel. Ilir Timur, Palembang, Sumatera Selatan
f) Vonis
: pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda Rp 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan .
g) Tanggal masuk : 17 Februari 2015 h) Tanggal bebas : 11 Juni 2018 2) Tanggal
: Rabu, 11 Mei 2016
3) Waktu
: 10.00 WIB
4) Tempat
: Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen
5) Hasil Wawancara : Pelaku merupakan terpidana pencabulan sejenis terhadap anak berusia 17 tahun yang terjadi di Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Di Lapas Kelas IIA Sragen pelaku adalah narapidana titipan dari Rutan Kelas I Surakarta. Pelaku saat ini berstatus telah berkeluarga dengan 1 (satu)
istri dan 1 (satu) orang anak
perempuan yang saat ini berdomisili di Palembang, Sumatera
79
Utara. Pelaku pada awalnya sampai ke kota Solo dengan tujuan ingin mengobati sakit tulang akibat kecelakaan yang dideritanya. Pelaku mengaku mengenal anak korban karena ibu korban adalah rekan dekatnya yang ia kenal sejak 3 (tiga) tahun yang lalu dan mengaku pernah beberapa kali datang ke Kota Solo karena pelaku memiliki kerabat di daerah Sragen. Pada saat peristiwa itu, pelaku datang ke solo dan menginap di Masjid Muhajirin yang terletak di Semanggi Pasar Kliwon Kota Solo di dekat tempat tinggal anak korban. Selama di Solo pelaku melakukan segala aktivitas bersama dengan anak korban yaitu pelaku sering mengajak anak korban melaksanakan ibadah shalat berjamaah di masjid tersebut. Selepas shalat Isya’ pelaku mengajak anak korban ke tempat sepi di sekitar dekat masjid. Di tempat
tersebut
pelaku
mengawali
aksinya
dengan
mempertontonkan video porno dari handphone nya kepada anak korban. Video porno tersebut berisi adegan porno yang dimainkan oleh pelaku sendiri bersama dengan laki-laki lain. Pada saat itu pelaku meminta anak korban untuk menirukan tiap adegan yang ada di dalam video tersebut namun, karena anak korban menolak maka, pelaku kemudian memukul kepala anak korban dan memaki anak korban. Akhirnya anak korban menuruti perintah dari pelaku
sehingga pelaku melakukan aksinya
sebanyak 2 (dua) kali dalam waktu yang berbeda yaitu melakukan oral seks dan hubungan seksual melalui anus. Pelaku dalam hal ini mengiming-imingi anak korban dengan menjanjikan untuk membelikan anak korban mobil dan motor apabila anak korban bersedia untuk melakukan perbuatan seperti yang di inginkan oleh pelaku. Pelaku melakukan perbuatan tersebut karena pelaku merasa sangat bernafsu ketika melihat anak korban. Pelaku juga mengaku sebelumnya sering melakukan hubungan seksual sesama jenis
80
dengan laki-laki lain sehingga ia terkadang sering menyimpan dan merekam adegan hubungan seksual sesama jenisnya dengan kamera handphone nya. Selain itu pelaku juga merasa hasrat seksualnya ketika melakukan hubungan seksual dengan istrinya kurang merasa terpenuhi sehingga akhirnya ia melakukan perbuatan tersebut dengan anak korban. Selama menjalani masa pidananya di Lapas Kelas IIA Sragen pelaku telah mendapatkan berbagai macam bentuk pembinaan seperti pembinaan kerohanian, pembinaan kerohanian itu yang kemudian membuat pelaku sering menjadi guru mengaji bagi teman-teman sesama napi. Selain pembinaan kerohanian pelaku juga sering mengikuti berbagai macam penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh pihak Lapas seperti penyuluhan HIV/AIDS dan sebagainya. Dalam hal pengembangan kemandirian seperti pembekalan kegiatan kerja dan keterampilan, pelaku mengaku tidak terlalu tertarik karena pelaku ingin lebih terfokus pada kegiatan mengajarnya sebagai guru ngaji sesama napi, karena ia berkeinginan setelah menjalani masa pidananya pelaku ingin menjadi seorang guru mengaji. 1) Narasumber 2
:
a) Nama
: Muhammad Adnan bin Burhanudin
b) Umur
: 55 Tahun
c) Pekerjaan
: Wiraswata ( designer kartu ucapan)
d) Agama
: Islam
e) Alamat
: Jalan Honggowongso No. 164 RT 03/RW 05 Tipes, Serengan, Solo
f) Vonis
: pidana penjara 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan
g) Tanggal masuk : 15 Maret 2016 h) Tanggal bebas : 30 Oktober 2021 2) Tanggal
: Rabu, 17 Mei 2016
3) Waktu
: 09.00 WIB
81
4) Tempat
: Rumah Tahanan Negara Kelas I Surakarta
5) Hasil Wawancara : Pelaku merupakan terpidana pencabulan sejenis terhadap anak berusia 16 tahun yang terjadi di Gremet, Manahan, Solo. Pelaku saat ini berstatus telah berkeluarga dengan 1 (satu) istri dan 1 (satu) orang anak perempuan yang saat ini berdomisili di Boyolali. Pelaku mengenal anak korban sudah sejak 4 (empat) tahun yang lalu karena anak korban sering meminta pekerjaan dengan pelaku. Didasarkan pada rasa iba pelaku terhadap anak korban maka, pelaku akhirnya memberikan pekerjaan terhadap anak korban 2 (dua) kali seminggu untuk ikut mendesain kartu ucapan di workshop milik pelaku di daerah Gremet, Manahan. Awal pertemuan pelaku dengan anak korban bermula dari seringnya anak korban bermain di warung makan di dekat workshop pelaku. Pada awalnya hubungan pelaku dengan anak korban hanya sebatas pekerjaan biasa namun, lama kelamaan anak korban sering meminta pelaku agar pelaku mengangkatnya sebagai anak. Hal tersebut disebabkan karena orangtua dari anak korban sudah tidak lagi memperhatikan anak korban. Kejadian tersebut bermula ketika workshop milik pelaku dalam keadaan sepi, dan saat itu hanya terdapat anak korban beserta pelaku. Pada saat itu pelaku memijit anak korban di dalam sebuah kamar dan seketika pelaku bernafsu terhadap anak korban dan melakukan perbuatan tersebut. Pelaku mengaku melakukan perbuatan cabul tersebut sebanyak 2 (dua) kali dalam waktu yang berbeda yaitu dengan memaksa anak untuk melakukan hubungan seksual melalui anus. Secara tidak langsung pelaku mengaku selain dirinya bernafsu terhadap anak korban, pelaku sejak muda pernah mengalami beberapa pengalaman di goda oleh sesama laki-laki dengan sentuhan-sentuhan secara intim pada tubuhnya yang
82
kemudian menjurus pada sentuhan-sentuhan pada organ vitalnya. Meskipun saat ini pelaku telah memiliki 1 (satu) orang anak dari istrinya ia mengaku sejak awal pernikahan sulit melakukan ereksi ketika melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Pelaku sebelum terjun dalam dunia bisnis desain kartu ucapan ia pernah bekerja sebagai seorang desainer karena memang pada dasarnya ia sangat menyukai dunia desain, sejak saat itu pelaku sering memiliki hubungan yang special dengan beberapa laki-laki, Selama di dalam Rutan Kelas I Surakarta pelaku banyak mendapatkan bimbingan seperti bimbingan rohani sehingga ia menjadi tamping masjid dan terlibat dalam berbagai kepanitian dalam lomba-lomba bertemakan kerohanian seperti lomba baca Alquran atau lomba tauziah. Di dalam Rutan Kelas I Surakarta potensi pelaku dalam dunia desain juga terus digali sehingga pelaku tidak melupakan potensi yang ada dalam dirinya. Dari potensi di bidang desainnya tersebut pelaku juga mampu melahirkan karya-karya kerajinan tangan seperti kerajinan bunga kertas dan terkadang pelaku juga dijadikan sebagai pembimbing bagi napi-napi lain dalam membuat kerajinan tangan tersebut.
B. Pembahasan
1. Faktor yang Menjadi Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Terhadap Anak di Kota Surakarta Kejahatan merupakan suatu fenomena sosial yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Sebagian besar para kriminolog mengumpulkan pengetahuan ilmiah tentang kejahatan dengan maksud agar dapat membantu ke arah penanganan kejahatan secara lebih baik, lebih efektif, dan lebih manusiawi. Dengan menggabungkan pengetahuan ini
83
maka pandangan dan metodenya disesuaikan dengan pengetahuan yang lain. Oleh karena itu di dalam kriminologi terdapat pembicaraan tentang berbagai pandangan teoritis tergantung dari sudut mana kejahatan itu ditinjau (Van Dijk, dkk., 1999: 10-11). Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak luput dari adanya faktor-faktor yang menjadi pendorong pelaku kejahatan untuk melakukan tindak kejahatan tersebut maka perlu adanya penyajian mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta. Untuk mempelajari mengenai sebab-sebab kejahatan, dan cara menanggulangi kejahatan terdapat beberapa teori kriminologi yang tepat digunakan dalam penelitian ini yaitu teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif psikologis dari Cesare Lombroso dan Enrico Ferri (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 38-40). Teori yang menjelaskan kejahatan dari
prespektif
psikologi
menjelaskan
bahwa
kejahatan
dapat
disebabkan dari suatu variasi kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, serta perkembangan moral yang lemah. Teori ini mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi yang mendorong terjadinya kekerasan, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor kepribadian serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pelaku untuk melakukan tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Faktor Kelainan Seksual Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang sempurna, sehingga manusia mampu untuk mencintai dirinya (autoerotic), mencintai orang lain beda jenis (heteroseksual) dan juga mencintai
84
sesama jenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh cinta dengan makhluk lain atau benda, sehingga manusia dimungkinkan untuk melakukan perilaku menyimpang seksual. Kelainan seksual pada manusia dilatar belakangi oleh tindakan menyimpang seksual yang dilakukan dengan mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya yaitu dengan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab dari terjadinya penyimpangan seksual ini bersifat psikologis atau kejiwaan. Menurut Wanchai Roujanavong (dalam konferensi Regional Asia Tenggara tentang Perlindungan dan Rehabilitasi bagi Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial Senin, 14 Desember 2015 di Jakarta). Direktur Jenderal Masalah Internasional Kejaksaan Agung Thailand kejahatan seksual yang terjadi pada anak bukan hanya berasal dari pelaku yang memiliki latar belakang pedofilia tetapi juga dapat dilakukan oleh pelaku yang oportunis. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang bersifat oportunis ialah orang dewasa yang tetap melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa lainnya, menikah dan memiliki anak, namun memilih mengeksploitasi seks anak ketika ada kesempatan. Sedangkan pedofilia adalah orang dewasa yang pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan hubungan seks dengan orang dewasa. Pelaku pedofilia pada dasarnya memiliki ciri yang beragam dan tidak dapat diklasifikasikan melalui umur, kelas sosial, ras, profesi, agama, atau status dalam keluarga, tetapi pelaku pedofilia sering kali dapat dikenali melalui pemeriksaan kebiasaan seksual yang dilakukannya. Pelaku pedofilia secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut (Kylie Miller, 1997: 33): 1) Pada umumnya berjenis kelamin laki-laki ; 2) Memiliki multiple korban atau korban lebih dari satu ; 3) Biasanya pelaku berasal dari luar anggota keluarga (extrafamilial offenders) ;
85
4) Memiliki pola tingkah laku yang dilakukan secara terus menerus ; 5) Biasanya lebih memilih anak laki-laki sebagai korbannya, ditandai dengan banyaknya korban anak laki-laki daripada korban anak perempuan, hal ini karena anak perempuan lebih cenderung melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya daripada anak laki-laki ; 6) Pada umumnya tertarik pada anak-anak usia tertentu ; 7) Memiliki
metode
canggih
dan
teknik
terencana
untuk
mengakses korban. Pelaku pedofil, aktif mencari akses ke anakanak dan sering menempatkan dirinya dalam posisi di mana mereka dapat memperoleh secara sah hak tak terbatas tanpa pengawasan kepada anak-anak . Akses ini dapat diperoleh melalui pekerjaan, kegiatan yang melibatkan rekreasi anak-anak, atau dengan infiltrasi keluarga yaitu sebagai rekan atau kerabat dari salah satu anggota keluarga atau sebagai mitra keluarga ; dan 8) Memiliki kecenderungan untuk mengumpulkan jumlah ekstensif materi yang berhubungan dengan pedofilia, termasuk pornografi anak dan erotika anak. Secara teoritis pedofilia dapat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe yaitu pedofilia yang menetap, pedofilia yang sifatnya regresi, pedofilia seks lawan jenis (pedofilia heteroseksual), pedofilia sesama jenis (pedofilia homoseksual), dan pedofilia wanita. Pada umumnya pada kasus tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak, pelaku dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk pedofilia seks sesama jenis (pedofilia homoseksual). Orang dengan pedofilia homoseksual lebih suka berhubungan seks dengan anak laki-laki ataupun anak perempuan yang sejenis dengannya dibanding berhubungan dengan orang dewasa. Anak-anak yang menjadi korban berumur antara 10-12 tahun. Aktivitas seksnya berupa
86
masturbasi dengan cara stimulasi oral oleh anak-anak tersebut, dan berhubungan lewat anus (Istar Yuliadi, 2012: 37). Terdapat 2 (dua) penyimpangan pilihan objek seksual dalam perilaku ini yaitu usia dan jenis kelamin. Pedofil homoseksual biasanya memiliki riwayat perilaku homoseksual sebelumnya. Kebanyakan
pelaku
pedofil
homoseksual
telah
memiliki
pengalaman homoseksual sebelumnya, dan sedikit diantaranya telah menikah. Perilaku ini adalah suatu bentuk pilihan gaya hidup, mereka biasanya telah memiliki identitas sebagai seorang homoseksual. Menurut Gigeroff dan kawan-kawan, seorang pedofil homoseksual lebih egosintonik dan lebih sulit untuk berubah dibanding pedofil heteroseksual. Angka kekambuhan pedofil homoseksual
2
(dua)
kali
lebih
tinggi
daripada
pedofil
heteroseksual. Menurut Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi), beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat dari: 1) Faktor Biologi yaitu dapat dilihat dari Susunan Kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak, dan kelainan susunan syaraf. 2) Faktor Psikodinamik yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak. 3) Faktor
Sosiokultural
yaitu
adanya
memberlakukan
adat-istiadat
hubungan
yang
homoseksual
dengan alasan yang tidak benar. 4) Faktor Lingkungan dimana memungkinkan dan mendorong hubungan
para
pelaku
homoseksual
menjadi erat. Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika
87
seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, dengan cara menjauhi lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara terhadap 2 (dua) sample pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta, kedua pelaku memenuhi sebagian karakteristik dari ciri-ciri pedofilia yang telah dijelaskan di atas yaitu pelaku berjenis kelamin laki-laki, dan memilih korban anak laki-laki berusia antara 16-17 tahun. Pelaku juga berasal dari luar anggota keluarga (extra-familial offenders) yang terbukti dengan adanya pengakuan dari kedua sample pelaku bahwa para pelaku tidak memiliki hubungan keluarga dengan anak korban dan hanya mengenal anak korban melalui hubungan kekerabatan dengan orangtua anak korban serta mengenal dari adanya hubungan yang timbul dari pekerjaan. Hubungan tersebut kemudian yang menjadi dasar untuk memudahkan pelaku bebas mengakses anak korban sebagai korban perilaku menyimpang seksualnya tanpa adanya pengawasan dari orangtua anak korban. Sample pelaku juga memenuhi karakteristik sebagai seorang pedofilia homoseksual yaitu dengan adanya ketertarikan pelaku untuk melakukan hubungan seksual dengan anak berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terbukti dengan dilakukannya aktivitas seksual antara pelaku dengan anak korban melalui stimulasi oral dan hubungan seksual melalui anus. Kelainan seks homoseksual yang menjadi syarat seseorang dapat dikategorikan menjadi pedofilia homoseksual juga terbukti diderita oleh para pelaku yaitu dengan adanya bukti video porno yang menampilkan hubungan sesama jenis antara pelaku dengan laki-laki lain dan adanya pengakuan dari pelaku bahwa pelaku sering memiliki hubungan special dengan sesama jenisnya.
88
Apabila dihubungkan dengan teori kriminologi, pelaku sesuai dengan teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif psikologi yaitu teori criminoloids dari Cesare Lombroso dan dapat diklasifikasikan sebagai tipe penjahat insane criminals dari Enrico Ferri. Penjahat dalam teori criminoloids “termasuk dalam penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan karena nafsu dan berbagai tipe lain” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 38-39). Penjahat kategori ini merupakan golongan terbesar dan terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki ciri-ciri badaniah yang khas, yang tidak menderita penyakit jiwa yang nampak, akan tetapi mempunyai susunan mental dan emosional sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu mereka melakukan perbuatan kejam dan jahat. Dalam hal ini secara fisik pelaku tidak tampak memiliki kelainan seksual dalam dirinya, para pelaku tampak seperti laki-laki normal pada umumnya bahkan para pelaku seluruhnya telah berkeluarga dan memiliki anak. Kelainan seksual yang diderita oleh pelaku hanya dapat dilihat dari aktivitas seksual pelaku yang menyimpang. Kelainan seksual pelaku tersebut menjadi kejahatan karena adanya nafsu yang dirasakan oleh pelaku ketika melihat anak koban sehingga pelaku kemudian melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan tipe penjahat insane criminals
menurut teori
Enrico Ferri yaitu “ penjahat yang dikarenakan kondisi sakit mental atau kejiwaan”. Kelainan seksual yang diderita oleh pelaku berdasarkan identifikasi terhadap aktivitas seksualnya merupakan kelaianan seksual pedofilia homoseksual. Kelainan seksual tersebut merupakan suatu masalah kejiwaan sehingga dalam hal ini pelaku dapat dikategorikan sebagai tipe penjahat insane criminal. b. Faktor Traumatis Pelaku sebagai Korban Dari beberapa kasus tindak pidana pencabulan sejenis yang terjadi, sebagian besar disebabkan karena pelaku pernah menjadi
89
korban perlakuan serupa. Akibatnya korban mengalami kerugian dan luka sebagai akibat kejahatan yang dialaminya. Keadaan menjadi korban kejahatan mengandung akibat psikis dan emosional yang berlangsung
selama
berbulan-bulan,
bahkan
bertahun-tahun.
Penelitian secara psikologis menunjukkan bahwa sejumlah korban kejahatan kekerasan menunjukkan psikotrauma. Gejala yang muncul seperti seolah-olah dialaminya kembali kejahatan yang pernah dialaminya
pada
saat-saat
yang
tidak
dapat
diperkirakan,
kekhwatiran dan perasaan yang tidak mempercayai orang. Korban kekerasan seksual yang tidak dapat mencerna atau menghayati traumanya dengan baik, kadang-kadang di dalam perjalanan hidup selanjutnya justru akan memperlihatkan perilaku kejahatan itu sendiri (Van Dijk, dkk., 1999: 296-298). Berdasarkan hasil wawancara dengan Muhammad Adnan bin Burhanudin terpidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta, secara tidak langsung dari
proses
wawancara
tersebut
pelaku
mengaku
sebelumnya sering sekali mengalami beberapa pengalaman di goda oleh sesama laki-laki dengan sentuhan-sentuhan secara intim pada tubuhnya yang kemudian menjurus pada sentuhan-sentuhan pada organ vitalnya. Dari pengakuan tidak langsung oleh pelaku tersebut, faktor yang melatabelakangi pelaku melakukan tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak korban dapat disebabkan karena perlakuan buruk yang pernah dialaminya sehingga memunculkan dampak trauma bagi pelaku sehingga kemudian pelaku melakukan perbuatan yang sama seperti yang pernah dialaminya kepada orang lain. Menurut teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif psikologis dari Enrico Ferri pelaku dapat diklasifikasikan sebagai penjahat tipe passion of criminals yaitu “ penjahat yang melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental atau keadaan emosional yang panjang dan kronis”. Problem mental tersebut diperoleh pelaku
90
sebagai akibat luka batin yang dialaminya sebagai korban dari perlakuan serupa yang pernah dialaminya sehingga menimbulkan trauma jangka panjang dan menimbulkan keinginan pelaku untuk membalas luka hatinya terhadap orang lain. Dalam hal ini potensi seorang korban pencabulan sejenis akan menjadi pelaku tindak pidana serupa tidak terbatas pada usia. Seseorang dalam usia dewasa yang menjadi korban juga akan berpotensi untuk menjadi pelaku setelah
mengalami
tindak
pidana
pencabulan
sejenis
yang
menimpanya namun, potensi tersebut akan menjadi lebih rentan terjadi apabila korbannya adalah anak-anak. Oleh karena itu, meskipun pelaku dalam hal ini mengalami perlakuan pencabulan sejenisnya bukan pada masa kanak-kanaknya namun, pelaku tetap berpotensi untuk menjadi pelaku pencabulan sejenis seperti pengalaman yang pernah dialaminya. c. Faktor Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terdiri atas suami-istri atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. keluarga adalah tempat untuk membesarkan anak secara
normal
dan
wajar.
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
keluarga harus menjadi sarana bagi terjadinya proses sosialisasi yang sempurna, sehingga anak dapat berperilaku normal sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga juga memiliki fungsi sebagai pembentuk karakter dari seorang anak karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama seorang anak tumbuh dan berkembang serta mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Di dalam keluarga para orang tua meletakkan dasar-dasar kepribadian kepada anak-anaknya, dengan tujuan untuk memproduksikan serta melestarikan kepribadian mereka kepada keturunannya yang berakar dari etika, estetika, moral, keagamaan, dan kebudayaan yang berkorelasi fungsional dengan sebuah struktur masyarakat tertentu.
91
Pada saat ini baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil terkadang ditemukan bahwa keluarga dalam hal ini adalah orangtua tidak memiliki kesempatan lagi memperhatikan kebutuhan tumbuh kembang anak-anaknya. Hal ini dapat disebabkan karena adanya suatu ketidak harmonisan hubungan antara anak dengan orangtuanya. Misalnya akibat broken home, orang tua yang tinggal berjauhan atau orang tua yang sibuk bekerja. Apabila masa anak yang sedang mengalami proses sosialisasi tidak diperhatikan dengan baik, maka akan ada kecenderungan bagi anak untuk mempelajari hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya. Dampaknya, anak tidak memiliki kepribadian sebagaimana yang sesungguhnya diharapkan oleh keluarga bahkan anak berpotensi untuk melakukan tindakan menyimpang yang mengarah pada tindak kejahatan. Faktor keluarga dapat memicu terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta karena kurangnya peran keluarga terutama orangtua dalam mengawasi pergaulan anakanaknya. Hal tersebut akan memudahkan akses bagi pelaku pencabulan sejenis terhadap anak untuk menjadikan anak sebagai target korban dalam aktivitas menyimpang seksualnya. Selain itu dilihat dari sisi keluarga pelaku tampak pula bahwa keluarga pelaku tidak memberikan pengarahan yang benar mengenai orientasi seksual pelaku sejak dini. Keadaan tersebut yang kemudian menyebabkan pelaku memiliki orientasi seksual yang salah sehingga berakibat pada terbentuknya perilaku seksual yang abnormal (abnormal sexual). Selain itu pembiaran efek traumatis yang dialami pelaku sebagai korban tindak pidana pencabulan sejenis oleh pihak keluarga tanpa adanya upaya untuk mengembalikan psikologis korban dapat memicu trauma tersebut berdampak panjang yang berakibat pada munculnya rasa dendam pelaku yang perlahan semakin memuncak
92
sehingga pelaku melampiaskan rasa dendamnya tersebut kepada orang
lain
dengan
melakukan
perbuatan
serupa.
Apabila
dihubungkan dengan teori kriminologi dari Enrico Ferri, faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis karena faktor keluarga dapat diklasifikasikan sebagai tipe penjahat Occasional criminals yaitu “penjahat yang disebabkan produk dari kondisikondisi keluarga dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal”. d. Faktor Lingkungan Manusia sebagai mahluk individu tidak bisa terlepas dari kehidupan
bermasyarakat.
Di
dalam
masyarakat,
seseorang
dikelilingi oleh orang-orang yang menghormati atau mentaati hukum dan pada waktu yang sama juga dikelilingi oleh mereka yang tidak menghormati
hukum.
Pergaulan
dalam
lingkungan
sangat
mempengaruhi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat dalam pergaulan. Dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama yang dikenal sebagai norma hukum. Dimana dalam pergaulan manusia bersama, penyimpangan norma hukum ini disebut sebagai kejahatan. Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah di tengahtengah masyarakat, dimana pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat itu sendiri. Menurut hasil wawancara dengan pelaku pencabulan sejenis terhadap anak di Surakarta diperoleh hasil bahwa pelaku secara tidak langsung mengakui pada awalnya memiliki ketertarikan terhadap sesama jenisnya setelah bergaul dalam lingkungan homoseksual. Lingkungan homoseksual tersebut yang kemudian membuat pelaku juga tidak jarang sering melakukan hubungan
93
seksual dengan sesama jenisnya. Dari data tersebut dapat dibuat sebuah analisis bahwa lingkungan homoseksual tersebut secara tidak langsung akan mengajarkan pelaku mengenai pola-pola hubungan antara sesama homoseksual termasuk dalam cara melakukan hubungan seksualnya. Keadaan di dalam lingkungan homoseksual tersebut yang perlahan akan merubah orientasi seksual pelaku yang awalnya memiliki perilaku seksual yang normal kemudian berubah menjadi perilaku seksual yang abnormal. Riwayat pengalaman homoseksual tersebut yang kemudian menjadi dasar pelaku memiliki kelainan seksual berupa pedofilia homoseksual sehingga pelaku melakukan tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak. Dihubungkan dengan teori kriminologi penyebab kejahatan yang disebabkan karena faktor lingkungan dapat dikategorikan dalam klasifikasi penjahat habitual criminal dari Enrico Ferri yaitu “penjahat yang melakukan kejahatan karena memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial” 2. Upaya-Upaya Aparat Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Terhadap Anak Kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang dapat merusak generasi penerus bangsa mengingat bahwa dampak yang ditimbulkan akibat dari kejahatan seksual tersebut begitu luar biasa seperti
kejahatan
pencabulan
sejenis
terhadap
anak
dapat
mengakibatkan mata rantai kejahatan tersebut semakin meluas. Hal tersebut disebabkan dengan adanya kecenderungan dan potensi bagi korban untuk menjadi pelaku ketika dewasa. Untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta agar tidak semakin meluas, Kepolisian Resor Kota Surakarta melakukan berbagai upaya-upaya mulai dari upaya preventif hingga upaya persuasif dengan bekerjasama dengan Instansi mitra yang tergabung dalam bekerjasama dengan Instansi-instansi mitra yang tergabung
94
dalam PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta). PTPAS berbentuk konsorsium dan merupakan gabungan Institusi / SKPD / Lembaga / Organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Polresta Surakarta dalam rangka menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta adalah: a. Upaya Pencegahan (Preventif) Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum sebelum kejahatan terjadi agar suatu tindak kejahatan dapat diredam atau dicegah sebelumnya. Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan sebagai upaya untuk mencegah timbulnya kejahatan untuk pertama kali. Upaya penanggulangan kejahatan secara preventif
sangat penting dilakukan karena
merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan pertama kali untuk meminimalisir munculnya kejahatan. Dalam upaya preventif untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta, Polresta Surakarta melakukan beberapa kegiatan-kegiatan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Mengadakan Penyuluhan Mengenai Bahaya Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Terhadap Anak Penyuluhan mengenai bahaya terjadinya tindak pidana pencabulan
sejenis
terhadap
anak
di
Kota
Surakarta,
dilaksanakan oleh Unit PPA Kepolisian Resor Kota Surakarta yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surakarta melalui Bapermas yang menangani kasus khusus mengenai anak dengan kedudukan Unit PPA Polresta Surakarta yang menjadi narasumber dalam penyuluhan hukum tersebut. Unit PPA Polresta Surakarta dalam kurun waktu satu tahun telah mengadakan penyuluhan dengan Bapermas sebanyak 10
95
(sepuluh) kali yang diadakan di kecamatan-kecamatan dan tidak jarang juga diadakan di Balaikota. Penyuluhan mengenai bahaya terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta yang diberikan oleh Unit PPA Polresta Surakarta dilaksanakan dengan sasaran para orangtua, pelajar, masyarakat umum secara luas ataupun masyarakat yang berada di sekitar wilayah tempat terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak tersebut. Sebagai narasumber dalam penyuluhan tersebut Unit PPA Polresta Surakarta memberikan peringatan kepada orangtua atau masyarakat untuk lebih waspada terhadap munculnya predator anak yang berada di sekitar masyarakat dan menghimbau agar orangtua serta masyarakat untuk segera melaporkan kasus tindak kejahatan pencabulan sejenis terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekitarnya kepada Unit PPA Polresta Surakarta agar penegakan hukum terhadap para pelaku dapat berjalan dengan lancar. Tujuan utama dilaksanakannya kegiatan penyuluhan mengenai bahaya terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak di Kota Surakarta tersebut adalah agar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat akan bahaya dari dampak tindak pidana pencabulan sejenis tersebut terhadap anak korban, serta untuk mencegah agar tindak pidana serupa tidak terulang kembali di tengah masyarakat Kota Surakarta. 2) Operasi Penyakit Masyarakat (Operasi Pekat) Polresta Surakarta dalam rangka menanggulangi tindak pidana kesusilaan seperti pencabulan sejenis terhadap anak melakukan kegiatan Operasi Pekat yang dilakukan di beberapa tempat-tempat hiburan malam seperti pub, diskotik atau tempat karaoke yang berada di wilayah Surakarta. Operasi Pekat dilakukan sekali di tempat-tempat hiburan tersebut karena
96
tempat tersebut merupakan tempat yang berpotensi untuk dilakukannya berbagai jenis tindak pidana kesusilaan, tidak jarang tim Kepolisian dari Polresta Surakarta dalam kegiatan operasinya menemukan beberapa anak di bawah umur yang berada di tempat-tempat hiburan malam tersebut. Dengan ditemukannya anak-anak di dalam tempat hiburan tersebut maka potensi anak untuk menjadi korban tindak pidana kesusilaan semakin tinggi. Untuk itu Polresta Surakarta melakukan Operasi Pekat tersebut bertujuan untuk mencegah anak menjadi korban tindak pidana kesusilaan. 3) Mengadakan Layanan Pengaduan Masyarakat Didasari karena adanya rasa malu, takut, dan trauma yang dirasakan oleh korban serta adanya rasa malu yang juga dirasakan oleh pihak keluarga korban atas tindakan pencabulan sejenis yang dilakukan oleh pelaku membuat penegakan hukum oleh pihak Kepolisian bagi pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhambat. Oleh karena itu unit PPA Polresta Surakarta membuka layanan pengaduan masyarakat mengenai temuantemuan dilakukannya tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak oleh masyarakat. Layanan pengaduan tersebut bertujuan agar secara cepat pihak Kepolisian dapat menangkap pelaku dan proses hukum selanjutnya dapat dijalankan sebagaimana mestinya. b. Upaya Penanggulangan (Represif) Upaya represif merupakan tindakan aktif yang dilakukan penegak hukum pada saat kejahatan terjadi agar kejahatan yang sedang terjadi dapat dihentikan. Upaya represif dilaksanakan setelah upaya preventif dilakukan. Upaya represif dilakukan sebagai upaya penanganan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam
rangka
bekerjanya
sistem
peradilan
pidana
untuk
menanggulangi kejahatan serta mencegah agar pelaku tindak
97
pidana pencabulan sejenis terhadap anak tidak lagi mengulangi perbuatannya. Upaya represif penting dilakukan oleh aparat penegak hukum agar memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan
dan
merupakan
suatu
bentuk
upaya
untuk
memasyarakatkan kembali (resosialisasi) pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak. Adapun upaya represif yang dilakukan oleh Polresta Surakarta dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak
yaitu dengan melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan sejenis terhadap anak. Diawali dengan proses melakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan barang bukti hingga pelimpahan berkas yang telah lengkap (P-21) ke kejaksaan. Selain itu dalam upaya represif Dokes Polresta Surakarta bekerjasama dengan Puskesmas di seluruh Surakarta dan beberapa Rumah Sakit di wilayah Surakarta diantaranya RS. Dr. Moewardi, RS. Brayat Minulya dan RSUD Surakarta memberikan bantuan pelayanan dengan melakukan visum terhadap korban untuk mempermudah proses pemeriksaan. Upaya represif ini juga dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain yaitu Pengadilan dengan menjatuhkan hukuman yang akan dikeluarkan dalam bentuk putusan agar segera dapat dilaksanakan eksekusi atas putusan Pengadilan tersebut. Tujuan dari dilaksanakan upaya represif adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi korban tindak pidana dan mencegah pelaku untuk mengulang kembali perbuatannya dengan menjatuhkan hukuman yang memberikan efek jera bagi pelaku. c. Upaya Persuasif Upaya
persuasif merupakan tindakan penanggulangan
kejahatan dengan jalan tanpa kekerasan melalui cara mengajak, menasihati atau membimbing agar bertindak sesuai dengan nilai
98
dan norma dalam masyarakat. Upaya persuasif ini dilakukan terhadap korban tindak pidana dengan melakukan rehabilitasi terhadap korban. Dalam upaya melakukan rehabilitasi korban tidak berperan secara langsung dalam proses rehabilitasi akan tetapi, Polresta Surakarta hanya
berperan dalam
membuat
surat
rekomendasi agar korban dapat di rehabilitasi dan menyerahkan korban ke tempat rehabilitasi. Dalam melaksanakan proses rehabilitasi terhadap korban, Polresta Surakarta bekerjasama dengan Rumah Sakit Jiwa Surakarta, Solo Youth Center dan penyedia layanan rehabilitasi yang bergabung dengan Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS). Rehabilitasi terhadap korban merupakan suatu upaya pemulihan psikologis korban terhadap korban tindak pidana pencabulan sejenis yang pada dasarnya korbannya adalah anakanak. Tujuan dari rehabilitasi terhadap anak korban pencabulan sejenis bertujuan untuk mengurangi efek traumatis terhadap korban, dan dengan adanya rehabilitasi diharapkan anak menjadi lebih bersikap waspada terhadap orang dewasa yang agresif dan memiliki kecenderungan pedofilia. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk mencegah munculnya predator anak di masa yang akan datang sebagai akibat dari efek traumatis pernah menjadi korban pencabulan sejenis semasa anak-anak. Hal ini mengingat bahwa kecenderungan dari anak yang pernah menjadi korban tindak pidana pencabulan sejenis akan menjadi pelaku tindak pidana serupa ketika dewasa.