BAB III HASIL &PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1.
Kasus Posisi Bahwa awalnya pada hari Sabtu tanggal 23 Februari 2013 Terdakwa Anthon Wahjupramono,SH.M.Hum membeli 2 (dua) buah kartu perdana Indosat Mentari Whats App 12 bulan dari saksi Ririn Wijayanti Als Ririn Binti Sutarno dengan nomor 085868169637 dan 085868169415 di Counter Pegasus yang berada di Plaza Matahari Singosaren, Blok A, No.15-16, Serengan, Surakarta. Selanjutnya pada hari Minggu tanggal 24 Februari 2013 sekira pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB, Anthon pergi ke Ambarukmo Plaza, Yogyakarta, dan berhenti di counter GRA seluler dan bertemu dengan saksi Arlita Handayani Binti Paryono dan saksi Rizki Agung Perkasa Bin Ateng Effendi, dan selanjutnya terdakwa membeli 2 (dua) kartu perdana Indosat Super Gagdet dengan pulsa Rp 10.000,- (Sepuluh ribu rupiah) dengan nomor 085868021912 dan 085868021913, kemudian Terdakwa membayar 2 (dua) kartu perdana dengan uang pecahan Rp 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) dan saksi Arlita Handayani memberikan kembalian uang sebesar Rp 20.000,- ( Dua puluh ribu rupiah), karena harga 2 (dua) kartu perdana tersebut sebesar Rp 30.000,- (Tiga puluh ribu rupiah), selanjutnya Anthon langsung pergi dari counter GRA Celuler. Setelah membeli 4 (empat) kartu yang dibeli di Ambarukmo Plaza Yogyakarta tadi, Anthon kemudian melakukan aktivasi
kartu-kartu
perdana tersebut dengan handphone terdakwa, dan selanjutnya dengan kartu-kartu tersebut. Anthon selanjutnya mengirim pesan singkat yang ia tujukan kepada Lukminto.
Isi pesan singkat tersebut berbunyi : “Hei lukminto asu, kowe ojo seneng ngrusak anak prawan yo, eling sopo sing mborusak, sari, rina, rima lan liyane isih okeh. Awas kowe cino bajingan,tabasmi kowe sak kaluworgomu, entenono” (Hai Lukminto Anjing, Kamu jangan senang merusak anak perawan ya, Ingat siapa saja yang kamu rusak (Nodai), Sari, Rina, Rima dan lain-lain masih banyak. Awas Kamu Cina Bajingan, Saya basmi kamu sekeluarga, Tunggulah), dan pesan singkat tersebut terkirim. Perbuatan dilanjutkan tanggal 24 Februari 2013 sekira pukul 12.26 WIB Anthon menggunakan nomor 085868169415 mengirimkan pesan singkat ke handphone milik saksi H.Muh.Lukminto berbunyi : “Lukminto tai kamu jangan mentang2 bisa beli pejabat, hati2 kamu dan keluargamu akan saya habisi semua spy dunia ini tenang. Ingat! Rusaknya solo itu krn kamu
yg sok kuasa, hati2 ya pembalasanku. Kamu harus MATI”
(Lukminto Tai, Kamu jangan mentang-mentang bisa beli pejabat, hatihati kamu dan keluargamu, akan saya habisi semua supaya dunia ini tenang. Ingat! Kamu harus mati!). Perbuatan berlanjut pada hari Minggu tanggal 24 Februari 2013 sekira pukul 17.56 WIB Terdakwa dengan menggunakan Kartu Nomor 085868021912 mengirimkan pesan singkat ke handphone milik saksi H.Muh.Lukminto dimana isi
pesan singkat
tersebut
berbunyi
:
“Bajingan Lukminto dan begundal2nya, jangan kamu merasa paling kuat di solo krn sekeluarga akan kami bunuh dan basmi semua, kami tahu kamu pakai kopasus, tapi kami bisa bunuh kamu sekel. Tunggu ya waktunya” dan pesan singkat tersebut terkirim. Pada hari Senin tanggal 25 Februari 2013 sekira pukul 09.14 WIB Terdakwa
dengan
menggunakan
Kartu
Nomor 085868021913
mengirimkan pesan singkat ke handphone milik saksi H.Muh.Lukminto yaitu “Bajingan asu Lukminto, ati2 kowe sak kaluwargo. Nyowomu
uwis cedak, ayo njaluk ngapuro karo Gusti Alloh. Siap2 kowe arep tak basmi, aku ora kuatiraro kopasusmu. Ilang menungso koyo kowe Indonesia tentrem. Siap2 yo nunggu mati” .
2.
Tuntutan Jaksa Berdasarkan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor. Reg.Perk:PDM-61/Euh.2/SKRTA/II/2012 tanggal
25 Pebruari 2013
yang menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : a.
Menyatakan terdakwa ANTHON WAHJUPRAMONO, SH., M. Hum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan secara pribadi” sebagaimana diatas dalam Pasal 29 Jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dengan perintah Terdakwa tetap ditahan. c.
Menetapkan barang bukti berupa : 1) 1(satu) lembar list data, 1(satu) box XP Mentari Smartphone yang ditandatangani oleh G.SINTA SETYANDARI anak dari WINARSANTO 2) 2 (dua) lembar kwitansi No. 129136 dari CV.Dayamitra Selindo tertanggal 26 Nopember 2012 kepada GRA Cellular
warna
kuning
dan merah masing-masing
dilampirkan dalam berkas perkara 3) 1 (satu) lembar kwitansi No. 139136 dari CV.Dayamitra Selindo
tertanggal
26 Nopember
2012 kepada GRA
Cellular warna putih, 1(satu) lembar kwitansi No. 139136
dari CV. Dayamitra Selindo tertanggal 26 Nopember 2012 kepada GRA Cellular warna putih, dilampirkan dalam berkas perkara 4) 1(satu) unit CPU dengan cashing yang terbuat dari besi dengan warna abu-abu, dan pada bagian atas terdapat stiker
yang
bertuliskan
Microsoft
XP Profesional,
dikembalikan kepada saksi Ahmad Warsono Bin Madiono 5) 1 (satu) unit telephone cellular merk Blacberry Dakota type
9900,
nomor
IMEI 358567.04.281426.5.,warna
hitam, menggunakan App Version 7.0.0261(1346), nomor Pin 2826v9c7 dan nomor kartu panggil 0811263388, dikembalikan pada saksi H. Muh. Lukminto 6) 2 (dua) lembar nota penjualan bertuliskan PEGASUS CELLULAR dengan nomor nota 053556 dan 053557 tanggal 23 Pebruari 2013 terdapat tulisan 085868169637 dan 085868169415, dilampirkan dakam berkas perkara; 7) 1(satu) buah kemeja lengan pendek bermotif garis-garis warna gelap dan terang, merk L’eggs, ukuran XL 8) 1(satu) buah celanan panjang merk M& S MAN,warna putih tulang, ukuran 102 cm, 40 inc, yang terdapat tulisan Travel 9) 1 (satu) pasang sandal merk Carvil, berukuran 43 warna hitam bermotif abu-abu .Masing-masing drampas untuk dimusnahkan. 10) 1 (satu) lembar kwitansi No. 000165 dai Qiu-Qiu Cellular Matahari Singosaren Plaza lantai dasar Blok A-28 B Solo No. 00165 tertanggal 11-12-1012 tentang pembelian 2 (dua)
unit Blackberry Bold seri 9790 warna hitam dan putih dengan jumlah harga Rp. 8.350.000,-(Delapan juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dilampirkan dalam berkas perkara. d.
Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar 2.500,- (Dua ribu lima ratus rupiah).
3.
Putusan hakim dalam perkara a.
Menerima permintaan banding dari Pembanding/Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
b.
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 19 Desember
2013
Nomor
79/Pid.Sus/2013/PN.Ska
yang
dimintakan banding tersebut c.
Memerintahkan agar Terdakwa ditahan
d.
Membebankan kepada Terdakwa untuk
membayar
biaya
perkara dalam kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding sebesar Rp 5.000,-(lima ribu rupiah).
B. Pembahasan 1. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 44/Pid.Sus/2014/PT.Smg
Merujuk kepada Pasal 26 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim pada peradilan tingkat banding yang dilakukan di Pengadilan Tinggi Semarang ini sudah benar. Isi dari Pasal 26 adalah : (1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Menurut ketua majelis hakim banding, yang adalah Iskandar Tjakke,S.H.,M.H, ada beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan untuk membentuk putusan bagi terdakwa Anthon Wahjupramono. Beberapa pertimbangan itu adalah : a.
Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Nomor.
Reg.Perk
:PDM-61/Euh.2/SKRTA/II/2012
tanggal 25 Pebruari 2013. b.
Amar Putusan Pengadilan Negeri Surakarta.
c.
Menimbang,
bahwa
terhadap
putusan
tersebut
Terdakwa
mengajukan permintaan banding dihadapan Panitera Pengadilan Negeri
Surakarta,
tanggal
19
Desember
2013
No.
25/Akta.Pid.Bdg/2013/Ska Jo No.79/Pid.Sus/2013/PN.Ska dan permintaan banding tersebut telah diberitahukan dengan cara sah dan seksama kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 19 Desember 2013. d.
Menimbang, bahwa terhadap putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum
mengajukan permintaan banding dihadapan Panitera
Pengadilan publik Negeri Surakarta, tanggal 19 Desember 2013 No.
25/Akta.Pid.Bdg/20 Ska Jo. No.79/Pid.Sus/2013/PN.Ska dan permintaan banding tersebut telah diberitahukan dengan cara sah dan seksama kepada Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa
pada
tanggal 20 Desember 2013. e.
Menimbang, bahwa Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya mengajukan Memori Banding tanggal 4 Pebruari 2014 dan memori banding tersebut telah diberitahukan dan diserahkan dengan sah dan seksama kepada Jaksa Penuntut Umum sebagaimana
dalam
Surat Pemberitahuan
Dan
Penyerahan
Memori Banding tanggal 5 Pebruari 2014. f.
Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan Memori Banding tanggal 27 Januari 2014 dan memori banding tersebut
telah diberitahukan dan diserahkan dengan sah dan
seksama kepada Terdakwa sebagaimana
dalam
Surat
Pemberitahuan Dan Penyerahan Memori Banding tanggal 3 Pebruari 2014. g.
Menimbang, bahwa terhadap Memori Banding Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya mengajukan Kontra Memori Banding tanggal 11 Pebruari 2014 dan memori banding tersebut telah diberitahukan dan diserahkan dengan sah dan seksama kepada Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dalam Surat Pemberitahuan Dan Penyerahan Kontra Memori Banding tanggal 12 Pebruari 2014.
h.
Menimbang bahwa terdakwa dan jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk belajar terlebih dahulu mengenai berkas perkara
i.
Menimbang, bahwa permintaan akan pemeriksaan dalam tingkat banding oleh Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum telah diajukan dalam tenggang waktu dan cara serta syarat-syarat yang
ditentukan
oleh Undang-Undang, maka permintaan banding
tersebut secara formal dapat diterima j.
Menimbang, bahwa Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya mengajukan Memori Banding yang pokoknya mengemukakan alasan bahwa Terdakwa keberatan terhadap pertimbangan Hukum yudex facti tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Surakarta, karena : 1) tidak mempertimbangkan fakta yang terungkap dipersidangan 2) tidak mempertimbangkan persesuaian antara keterangan saksi saksi, saksi ahli, saksi ade charge dan keterangan Terdakwa. 3) tidak menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya
k.
Menimbang, bahwa Memori Banding Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya mengemukakan alasan sebagai berikut : 1) Bahwa Penuntut Umum keberatan/tidak sependapat dengan pertimbangan
Majelis
Hakim
Tingkat
Pertama
dalam
putusannya mengenai Surat Panggilan Jaksa Penuntut Umum kepada saksi H.Muh.Lukminto adalah tidak sah atau setidaktidaknya tidak sempurna, tidak sebagaimana dalam Pasal 146 KUHAP Jo. Pasal 227 KUHAP padahal Jaksa Penuntut Umum sudah melakukan panggilan sebanyak 12 (dua belas) kali kepada saksi H.Muh.Lukminto sebagaimana telah diuraikan secara lengkap panggilan-panggilan tersebut dalam putusan PN.Nomor. 79/Pid.Sus/2013/PN.Ska 2) Bahwa putusan yang telah dijatuhkan kepada Terdakwa belum memenuhi rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat khususnya kejahatan di dunia maya (cyber crime). l.
Menimbang, Penuntut Umum
bahwa
terhadap
tersebut,
Memori
Terdakwa
Banding
melalui
Jaksa
Penasihat
Hukumnya mengajukan Kontra Memori Banding yang pada pokoknya mengemukakan alasan sebagai berikut : 1) Pertimbangan yudex factie keliru dalam menilai surat panggilan Jaksa Penuntut Umum 2) Pertimbangan Yudex Factie yang menyatakan surat keterangan dokter tanpa rekam medis dalam persidangan adalah sah,merupakan pertimbangan hukum yang keliru, sesat dan harus dikesampingkan 3) Pertimbangan
yudex
factie
yang
menyatakan
merahasiakan rekam medis dalam persidangan adalah pertimbangan yang keliru dan kontradeksi dengan faktafakta 4) Pembacaan
BAP
dan
ketidakhadiran
saksi
H.Muh.Lukminto disebabkan halangan yang sah merupakan pertimbangan yang keliru dan menyesatkan 5) Tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang menguntungkan Terdakwa dan keliru dalam menentukan hal-hal yang memberatkannya 6) Keberatan tentang lamanya pemidanaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa, tidak relevan dengan perkara ini. m.
Menimbang, bahwa terhadap Memori Banding dan Kontra Memori banding tersebut, menurut Majelis Hakim Tingkat Banding ternyata tidak mengemukakan hal baru yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut atau dapat membatalkan putusan Majelis hakim Tingkat Pertama.
n.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding setelah mempelajari dan mencermati dengan seksama berkas perkara dan turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 19 Desember 2013,Nomor : 79/Pid.Sus/2013/PN.Ska serta membaca
pula Memori Banding Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum serta Kontra Memori Tingkat
Banding
Banding Terdakwa maka sependapat
Majelis
Hakim
dengan pertimbangan hukum
Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding sendiri dalam memutus perkara ini ditingkat banding demikian pula dengan lamanya pidana yang dijatuhkan. o.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka putusan Pengadilan Negeri Surakarta, tanggal 19 Desember 2013,Nomor. 79/Pid.Sus/2013/PN.Ska dapat dipertahankan dan oleh karenanya haruslah dikuatkan
p.
Menimbang, bahwa pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di
penahanan, namun
Pengadilan di
Negeri,
Pengadilan
Terdakwa
Tingkat
dilakukan
Banding
tidak
dilakukan penahanan dan guna memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf k jo. ayat 2 KUHAP, Majelis Hakim Tingkat Banding perlu
mencantumkan
dalam
amarputusannya
yaitu
memerintahkan agar Terdakwa ditahan q.
Menimbang, bahwa karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan
Mengingat Pasal 29 Juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 KUHAP, dan undang-undang lain.
Pertimbangan-pertimbangan yang dimunculkan oleh hakim tidak tanpa maksud
dan
arti.
Hakim
pengadilan
banding
memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan dari pengadilan Negeri Surakarta, dan merasa sependapat dengan pertimbangan tersebut. Putusan hakim tinggi memperhatikan amar putusan pengadilan negeri Surakarta yang terlebih dahulu mengadili terdakwa. Amar adalah bunyinya suatu putusan, yaitu kata-kata yang terdapat di bawah perkataan “mengadili” atau “memutuskan (R.Subekti dan R.Tjitroesoedibyo, 2003:9). Bahasa latin dari amar adalah dictum. Amar yang dimaksud dalam pertimbangan adalah mengenai putusan yang terdapat dalam putusan pengadilan negeri Surakarta. Putusan menunjukkan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Melalui putusan tersebut maka menjadikan pertimbangan bagi tersendiri untuk meyakinkan hakim banding dalam mengadili terdakwa. Permohonan banding yang diajukan oleh terdakwa, berhubungan dengan beberapa hal yang terkait seperti yang dimuat dalam pertimbangan. Memori banding adalah risalah atau tulisan yang memuat suatu penjelasan. Pihak yang mengajukan banding memuat memori banding untuk menanggapi putusan pengadilan tingkat pertama dan mengajukan hal-hal yang dianggap ada fakta-faktanya atau unsur-unsur yang luput dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya atau terdakwa merasa hukuman (starfmat) yang dijatuhkan terlalu berat. Dalam hal ini peranan memori banding yang didukung oleh data dan dikaitkan dengan abstrak hukum sangat menentukan untuk pertimbangan hakim banding dalam menjatuhkan putusan. Walaupun memori banding bukanlah suatu keharusan untuk diajukan oleh pihak yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri. Karena dalam tingkat banding, hakim wajib untuk membaca kembali seluruh berkas perkara yang dimohonkan banding tersebut. Pertimbangan memori banding tersebut jelas harus mendasari pertimbangan hakim dalam putusan ini mengingat yang bersangkutan mengajukan banding ke pengadilan tinggi.
Kontra memori banding adalah suatu tulisan yang berupa tanggapan terhadap memori banding atau dengan kata lain kontra banding adalah bertujuan untuk mengcounter memori banding. Makna kontra memori banding untuk menanggapi alasanalasan yang dimuat dalam momori banding. Dan kontra memori banding ini pada hakekatnya mendukung keputusan pengadilan negeri tingkat pertama. Akibat dari pembandingan atas suatu putusan pengadilan negeri, akan mewujudkan pendirian yang dapat berupa : a.
Menguatkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan. Dalam hal ini berarti semua hasil penilaian dan penghargaan pengadilan negeri yang bersangkutan adalah conform dengan pendirian pengadilan negeri.
b.
Mengubah putusan pengadilan negeri yang bersangkutan.Dalam hal ini, sebagian saja dari hasil penilaian pengadilan negeri yang bersangkutan yang conform dengan penilaian pengadilan tinggi, sedangkan lainnya memerlukan perubahan sesuai dengan pendirian pengadilan tinggi.
c.
Muncul putusan baru. Dalam hal ini pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan karena tidak didukung hasil penilaian dan penghargaan atas facti yang ada. Putusan baru ini dapat saja berupa yang tadinya putusan pemidanaan diubah menjadi putusan bukan pemidanaan.
Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai judex facti. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk judex facti.
Pertimbangan yang tertulis di atas merujuk pada putusan yang sama yang dihasilkan kedua hakim pada tingkat lanjutan tersebut. Putusan yang sama dapat diartikan bahwa pertimbangan kedua hakim sama. Kemungkinan adalah dari dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Pasal dalam KUHAP (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana) tepatnya Pasal 182, menunjukkan bagaimana pertimbangan hakim mengacu kepada sebuah dakwaan. Bunyi dari Pasal 182 adalah : (1)
a.
Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
2.
Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.
3.
Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
(2)
Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
(3)
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
(4)
Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(5)
Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
(6)
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut a. putusan diambil dengan suara terbanyak b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
(7)
Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperlua
(8)
n itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
Pertimbangan
hakim
dalam
putusan
Pengadilan
Tinggi
Nomor
44/Pid.Sus/2014/PT.Smg, harus terkait dengan hukum yang berlaku sesuai yang ada di dalam UU ITE. Hal ini disebabkan putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan tingkat pertama, memvonis terdakwa dengan jeratan UU ITE. Memperhatikan Pasal 1 angka 1 di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan pertama-tama, bahwa yang dimaksud dengan: Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDJ), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti. atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Berkaca pada pengertian tersebut, maka perbuatan hukum yang dilakukan oleh terdakwa Anthon terhadap korbannya, Lukminto, sudah benar apabila hukuman yang dijatuhkan berdasarkan UU ITE. Sejalan dengan bunyi pasal tersebut, dalam Pasal 2 UU ITE, secara yurisdiksi hukum, menunjukkan bahwa peraturan tersebut berlaku bagi untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Adapun terdapat asas peraturan perundang-undangan, Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa Anthon adalah : Menyatakan Terdakwa Anthon Wahjupurnomo,SH.,M.Hum, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA
DAN
TANPA
HAK
MENGIRIMKAN
INFORMASI
ELEKTRONIK DAN / ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK YANG BERISI ANCAMAN KEKERASAN ATAU MENAKUT NAKUTI YANG DI TUJUKAN SECARA PRIBADI “. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dan juga menetapkan
masa
penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Sudah sepantasnya memutuskan suatu perkara dengan hati nurani serta tidak melupakan aturan yang mendasari. Penulis sependapat dengan pertimbangan hakim, yang di dalam putusan terdapat rumusan pertimbangannya antara lain adalah menimbang bahwa untuk menyatakan terdakwa telah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana haruslah terpenuhi dan dapat di buktikan semua unsur-unsur yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum. Terdakwa oleh Penuntut Umum di persidangan telah didakwa dengan dakwaan tunggal yang melanggar Pasal 29 jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan trnsaksi elektronik yang didalamnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Setiap orang ; 2. Dengan sengaja dan tanpa hak; 3. Mengirimkan informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik, dan; 4. Yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama yang ditujukan bagi terdakwa, terlihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan, kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaaan orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang telah diketahuinya. Telah dijelaskan oleh penulis dalam tinjauan pustaka terkait dengan pertimbangan hakim di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009, yaitu :
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) Undangundang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi, Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Kutipan ayat diatas tentu ini mengingatkan kita pada asas hukum pidana yang sangat penting dalam pemidanaan terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana yaitu asas legalitas, atau dalam bahasa hukumnya adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek saat ini dituntut adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu. Dalam Pasal 191 dan Pasal 193 (1) KUHAP menyebutkan setidak-tidaknya terdapat tiga macam putusan hakim, yaitu:
a.
Putusan pemidanaan.
b.
Putusan bebas.
c.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Terkait kasus tindak pidana ancaman kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan melalui media elektronik. Media elektronik yang dimaksud penulis adalah melalui pesan singkat / short message service. Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang akan lolos dari jerat-jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya elektronik (Ahmad M Ramli, 2006:3). Menurut ahli teknologi dan informasi, Prof., DR. EDWARD
OMAR
SHARIF HIARIEJ, SH.,M.Hum dimana beliau menjadi saksi ahli dalam persidangan tersebut, bahwa kalau kita bicara dalam kontek kejahatan dunia maya yang kemudian melahirkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik no 8 tahun 2011, ini sebetulnya merupakan perjalanan panjang dan merujuk dari sebuah European Convention of Cyber Crime di Budapest Honggaria tahun 2000 dan secara kebetulan ia bersama dengan kolega-kolega dari Fakultas Tehnik UGM dan Prof Mashudi dipercaya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kantor Menteri Riset dan Tehnologi untuk melakukan riset deregulasi tentang dunia maya dan itu kami lakukan sejak tahun 2002 sampai dengan 2004. Adapun tujuan dari riset tersebut adalah dalam rangka menyusun undang-undang yang kemudian lahirlah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan kebetulan pula sejak undang-undang tersebut dirumuskan sejak tahun 2007 yang kemudian disahkan, kami terlibat didalamnya dan dengan kejahatan dunia maya. Bahwa supaya kita memahami secara utuh apa itu
kejahatan dunia maya, sebenarnya alam pikiran kita saat membentuk UU ITE, secara garis besar kejahatan dunia maya itu dibagi 3, yang pertama : 1. Kejahatan dunia maya dimana dia menggunakan komputer sebagai suatu sarana, yang dalam hukum pidana dikenal dengan Instrumentum Deliktie (sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan). 2. Kejahatan dunia maya yang menggunakan komputer sebagai tempat menyimpan data, jadi data tersebut kemudian hanya dilihat kemudian selesai. 3. Kejahatan dunia maya dalam pengertian Againts of Network dimana tujuan dari kejahatan ini adalah untuk merusak jaringan atau sistem dalam komputer yang ada, dalam benak kami waktu itu dalam membentuk UU tersebut, saya mengadopsi ada 5 (lima) kata kunci dalam European Convention of Cyber Crime di Budapest Honggaria tahun 2000 tersebut yang kemudian saya ambil dan masukkan dalam UU ITE ini, kata kunci tersebut adalah: a. Ilegal Acces, dia menggunakan komputer sebagai tempat menyimpan data; b. Ilegal
Intercept,
penyadapan
melalui
komputer
dan
dia menggunakan komputer sebagai tempat menyimpan data; c. Sistem Interfren, ini tujuannnya adalah merusak jaringan sistem yang ada dalam komputer; d. Data Interfren, ini tujuannya adalah merusak data, sebagai contoh di Pemilu tahun 2004 ada terdakwa yang bernama Firman dan di adili di Jogja karena dia mengganti nama partai dan lambang partai dengan nama buah-buahan, hanya saja karena UU ITE belum ada maka dia diadili dengan UU Telekomunikasi.
e. Miss Use of Device, penyalahgunaan komputer, disini komputer benar-benar sebagai sarana. Penggunaan komputer sebagai sarana ini, sebagaimana yang ditanyakan oleh Penasehat Hukum, termasuk semua yang kejahatan yang masuk dalam KUHP dan ketika modus operandinya menggunakan komputer sebagai sarana maka yang namanya pengertian dari tindak pidana tersebutharuslah merujuk dari KUHP. Kalau pertanyaannya apakah harus di rujukkan dengan KUHP, maka dengan tegas beliau jelaskan bahwa yang namanya miss use of device harus merujuk pada KUHP. Persoalan menakut-nakuti, istilah ini tidak diketemukan dalam KUHP atau dalam interpretasi otentik, tapi ada interpretasi yuridis dan
interpretasi
gramatikal
yang lain dalam terminologi kata menakut-nakuti, kita boleh memeriksa Pasal 7 UU Pemberantasan Terorisme yang menjelaskan “setiap orang yang melakukan perbuatan yang berupa ancaman kekerasan yang bertujuan untuk menimbulkan suasana teror atau yang bersifat menakut-nakuti”, jadi membuat orang merasa takut dengan cara ini yang harus tetap ada, karena untuk mempositifkan ancaman kekerasan itu atau menakut-nakuti itu harus ada penjelasan bagaimana caranya agar terpenuhi unsur delik ancaman kekerasan atau dalam hal menakut-nakuti. Substansi dalam putusan Pengadilan Tinggi No. 44/Pid.Sus/2014/PT.Smg hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan terhadap dirinya. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut hakim pada akhirnya memiliki putusannya. Berbagai pertimbangan diperhatikan oleh hakim dalam menentukan apa yang tepat bagi terdakwa. Akhirnya, pada putusannya, hakim menguatkan putusan dari Pengadilan Negeri Surakarta. Beberapa pertimbangan dipertimbangkan oleh hakim agar putusannya tidak mencederai keadilan, kepastian hukum. Secara formil pun upaya hukum banding dapat dilakukan. Tenggang waktu dan cara serta syarat-syarat secara formil untuk mengajukan upaya banding sudah tepat dan dapat dilakukan.
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan. Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad. Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam Pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 5 UU No. 1/1951 (Undangundang Darurat No. 1/1951), Pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi. Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo Pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah Pasal 46 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang kini telah diubah menjadi UU Nomor 5 tahun 2004. Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang
diajukan
untuk
pembuktian
dalam
pemeriksaan
banding
tidak
dapat
dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk
kepentingan-kepentingan mereka
yang permohonan
bandingnya tidak dapat diterima. Secara normatif, putusan yang dijatuhkan oleh hakim memang benar. Memutus sebuah perkara, harus menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum sudah terpenuhi dengan unsur-unsur yang telah dipenuhi sepenuhnya oleh terdakwa. Penulis menilai bahwa hakim di tingkat banding tidak memperhatikan kondisi psikis terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah disebabkan untuk melakukan pembelaan diri. Terdakwa oleh sebab keadaan tertekan akibat apa yang telah dilakukan oleh korban melakukan pengancaman terhadap korban sebagai bentuk untuk menunjukkan bahwa terdakwa patut diperhitungkan. Terdakwa menilai bahwa korban yang adalah seorang konglomerat dapat berbuat sewenang-wenang, termasuk membeli aparat bahkan menggoda istri terdakwa. Hal tersebut harus dihentikan. Keadilan bagi para pihak, apakah juga telah dipenuhi dalam putusan kasus kejahatan modern tersebut menjadi pertanyaan yang muncul di benak pembacanya. Korban yang melaporkan kasus ini, yakni Lukminto tidak pernah hadir dalam persidangan sementara ia dibutuhkan dalam persidangan terkait keterangannya sebagai saksi korban. Ketidakhadirannya pun tidak disertai dengan rekaman medis yang dapat menjadi bukti bahwa yang bersangkutan memang benar-benar tidak dapat menghadiri sidang. Seorang hakim dalam memutus sebuah perkara tidak hanya memperhatikan norma hukum saja. Hakim juga dituntut untuk menggunakan hati nurani dan menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar tidak berat sebelah. Peran hakim disini adalah sebagai “tuhan”, dialah yang menentukan nasib seseorang yang sudah sampai ke tahap peradilan. Beberapa teori keadilan yang diusung oleh
Aristoteles memiliki kaitan yang erat dengan putusan mengenai ancaman kekerasan dan pembunuhan di atas yang sarat dengan harta atau kekayaan yang berujung pada kekuasaan dan ketidakadilan. Teori keadilan yang diusung oleh Aristoteles berkaitan dengan harta serta tahta yang memengaruhi keadilan itu sendiri. Bukti pesan singkat yang dikirimkan oleh terdakwa, yang berisi mengenai bahwa korban yakni Lukminto, dapat membeli aparat dan “dibekingi” oleh tentara karena kekayaan yang dimilikinya. Hal tersebut bertentangan dengan teori keadilan komutatif dan konvensional. Kedua teori keadilan Aristoteles tersebut memiliki poin bahwa semua orang sama dan tidak boleh memandang bulu, harta atau ha-hal yang memengaruhi keadilan itu sendiri. Teori tersebut membuat seorang hakim seharusnya juga lebih memerhatikan kesaksian serta pengakuan dari pihak terdakwa. Hukuman yang diterima terdakwa memang sudah sesuai dengan keadilan Kodrat alam yang diberikan oleh Aristoteles, seseorang harus menanggung sesuatu atas apa yang telah diperbuat.
2. Pertimbangan Hakim Dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dan Undang-undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa Anthon Wahjupurnomo dapat diketahui bahwa Hakim menggunakan dasar pemidanaan dengan UU ITE. Pasal yang digunakan adalah Pasal 29 jo Pasal 45 ayat (3). Rumusan yang terdapat pada kedua Pasal tersebut penulis merasa sudah tepat diterapkan. Mengutip dari pembahasan pertama, unsur yang terdapat dalam kedua Pasal undang-undang yang tergolong baru di Indonesia tersebut sangat sesuai dengan fakta persidangan. Setiap orang, dengan sengaja dan tanpa hak, Mengirimkan informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik, dan yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi adalah unsur-unsur yang dipenuhi oleh terdakwa. Dimulai dengan unsur pertama, yakni setiap orang. Terdakwa Anthon adalah termasuk orang. Orang yang dimaksud undang-undang adalah subyek hukum. “Subyek hukum atau subject van een recht yaitu “orang” yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan
hukum”(Soedjono
Dirdjosisworo,2012:128).
Pengertian
tersebut
memberi keyakinan bahwa terdakwa termasuk dalam unsur di dalamnya, yaitu manusia pribadi. Terdakwa melakukan tindak pidananya atas namanya sendiri dan dengan dirinya sendiri. Unsur kedua yang dipenuhi oleh terdakwa adalah dengan sengaja dan tanpa hak. Setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Hubungan inilah kita dapat mengetahui alasan tercelanya (melawan hukum) perbuatan yang dilarang dalam setiap tindak pidana, termasuk tindak pidana penghinaan dalam UU ITE tersebut diatas. Hubungan yang dekat dengan unsur “tanpa hak” dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik, terdapat pada 2 (dua) unsur.
Pertama secara objektif. Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang didistribusikan, ditransmisikan oleh si pembuat. Sifat isi informasi atau dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentukbentuk pengancaman pembunuhan dan kekerasan yang ditujukan secara pribadi. Pada unsur inilah melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana. Kedua secara subjektif. Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). MvT WvS Belanda mengatakan bahwa “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Secara singkat sengaja artinya menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens). Mengenai keterangan dalam MvT WvS Belanda tersebut, Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya, apa yang mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya. Mengkaji unsur selanjutnya yang dipenuhi oleh terdakwa adalah mengirim informasi elektronik atau data elektronik. Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDJ), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti. atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan data elektronik terdapat pada Pasal 1 angka 4 yaitu setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Kutipan dua pengertian yang terdapat dalam UU ITE tersebut memberi pencerahan bahwa pesan singkat yang dikirimkan oleh terdakwa atau yang disebut pesan singkat itu termasuk sebagai informasi eletronik atau data elektronik. Pesan singkat yang dikirimkan tersebut termasuk tulisan, dan tulisan tersebut dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik. Kajian unsur selanjutnya atau yang terakhir adalah unsur berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Mengenai unsur yang terakhir ini memenuhi atau tidak harus dilihat pada fakta persidangan yang ada. Korban yang disini adalah Lukminto ini merasa keselamatan diri dan keluarganya terancam akibat beberapa pesan singkat yang dikirimkan padanya oleh terdakwa. Perasaan itu menjadikan kehidupannya tidak tenang dan merasa was-was akan dirinya serta keluarganya, karena dalam beberapa pesan yang dikirimkan, terdakwa juga mengancam akan membunuh anggota keluarga korban. Mengkaji unsur-unsur dalam Pasal yang dijatuhkan pada terdakwa, dapat dilihat bahwa majelis hakim tinggi sudah benar dalam menerapkan hukum dan penulis sependapat dengan putusan yang dijatuhkan. Pemidanaan yang dijatuhkan diharapkan dapat mencegah pelaku serta orang lain akan melakukan perbuatan pidana yang sama, yaitu menimbulkan efek jera. Muncul kegundahan dalam benak, mengapa majelis hakim dapat begitu saja menggunakan dasar UU ITE sebagai dasar hukum pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa. Asas lex specialis derogat lex generale menjadi jawabannya. Tentu hakim mengetahui asas ini maka dapat menggunakan undang-undang diluar KUHP untuk sebagai dasar pemidanaan. Penerapan UU ITE tidak dapat langsung diterima begitu saja karena banyak perbedaan atau kontradiksi dengan kejahatan yang
dilakukan
pembuktiannya.
secara Apabila
konvensional. dalam
Salah
kejahatan
satunya
adalah
konvensional,
mengenai
seperti
contoh
pembunuhan, dapat dibuktikan dengan alat maupun barang bukti dan juga nyawa yang hilang yang diwujudkan dengan tubuh manusia. Lain halnya dengan kejahatan modern seperti dalam kasus ini. Bagaimanakah sebuah pesan singkat bisa menjadi sebuah bukti untuk sebuah kasus. Pasal 5 dan 6 UU ITE menjawab kegundahan tersebut. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Bahkan alat bukti ini adalah perluasan dari peraturan yang terdapat dalam KUHAP. Sudah jelas sekarang bahwa alat bukti sudah memenuhi untuk dipertanggungjawabkan perbuatannya. Pengakajian diatas menurut penulis sudah menunjukkan bahwa majelis hakim tinggi sudah bijaksana dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa. Sudah sesuai dengan apa yang terdapat dalam UU ITE. Melalui pertimbangan hukum serta rumusan masalah yang terdapat pada rumusan pada bab I (pertama), dapat dilihat bahwa hakim tidak memasukkan KUHP ataupun Pasal maupun ayat dalam KUHP sebagai pedoman putusan hakim. Melalui kegundahan tersebut, penulis mengambil pembahasan rumusan kedua adalah mengenai bagaimana putusan yang diambil oleh majelis hakim dalam perspektif KUHP juga dalam UU ITE yang dijadikan dasar putusan. Penulis ingin melihat lebih jauh apakah melalui kedua peraturan tersebut terdapat pertentangan diantara keduanya. “KUHP masih dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjaring cyber crime, khususnya jenis cyber crime yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal-Pasal KUHP. Ketika produk ini dinilai belum cukup memadai untuk menjaring beberapa jenis cyber crime, maka di samping mencoba menggunakan dasar hukum di luar KUHP, juga menggunakan interpretasi hukum” (Ahmad M. Ramli, 2006 : 145). Sebelum berbicara lebih jauh, harus dilihat terlebih dahulu apakah kasus yang menimpa bos Sritex ini termasuk dalam hukum pidana atau bidang hukum yang lain. Dari kasus posisi yang telah dicantumkan kasus ini melibatkan 2 (dua) pihak, yakni Lukminto dan Anthon. Sebagai inti kasusnya adalah mengenai bagaimana Lukminto merasa terancam diri dan keselamatannya setelah menerima pesan singkat (pesan singkat) dari mantan teman kerja samanya, yakni Anthon yang akhirnya menjadi terdakwa
dalam kasus ini. Ditinjau dari apa yang dilaporkan pihak Lukminto, maka hal ini sesuai dengan Pasal yang terdapat dalam KUHP mengenai ancaman kekerasan dan Pasal pembunuhan. Dikomparasikan dengan hukum perdata, kasus ini bukanlah persengketaan antara beberapa pihak ataupun hukum administrasi negara karena tidak melibatkan pemerintah sebagai salah satu pihak. Lebih lajut, terdakwa Anthon berhadapan dengan negara karena perbuatannya terhadap korban mengenai ancaman kekerasan serta pembunuhan yang dilakukan melalui pesan singkat. “Bentuk tindak pidana pemerasan yang ada di dalam KUHP, yang sesuai dengan substansi penulisan hukum ini adalah tindak pidana pengancaman. Pengancaman dalam bahasa Inggris disebut dengan blackmail, sedangkan dalam bahasa perancis dikenal dengan istilah chantage “(Tongat, 2006 : 50). Pada dasarnya, Pasal pemerasan tersebut (Pasal 368 dan 369), termasuk dalam pemerasan, keduanya hanya berbeda cara melakukannya saja. “Pemerasan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan pengancaman dilakukan dengan cara pencemaran baik lisan maupun tertulis” (Tongat, 2006 : 51). Dalam putusan Pengadilan Tinggi Semarang, melalui Putusan Nomor 44/Pid.Sus/2014/PT. Smg, telah dikuatkan bahwa terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Maka terdakwa dijatuhi hukuman dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Tidak hanya itu, juga terdakwa diharuskan membayar biaya perkara ke pangadilan negeri maupun tinggi. Tindak pidana pengancaman diatur dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II tentang kejahatan Pasal 369 yang berbunyi: (1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain; atau
supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan. Dari rumusan Pasal diatas diperoleh sejumlah unsur-unsur yang diuraikan sebagai berikut: (P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, 1995:106) 1. Barang siapa Kata barang siapa menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut ternyata memenuhi semua unsur dari tindak pidana pengancaman yang didakwakan oleh jaksa, maka ia harus dipandang sebagai dader atau pelaku dari tindak pidana pengancaman tersebut. C. Memaksa Dalam hal ini bahwa seseorang menyuruh untuk melakukan sesuatu atau mengajak seseorang untuk melakukan kejahatan dengan ancaman. D. Untuk menyerahkan sesuatu benda Dalam hal ini perlu dicatat bahwa benda yang dimaksud tidak perlu harus diserahkan sendiri oleh orang yang diancam kepada orang yang mengancam E. Untuk membuat suatu pinjaman Pinjaman di sini bukanlah untuk mendapatkan uang pinjaman dari orang diperas, melainkan memaksa orang tersebut untuk membuat suatu perikatan yang menyebabkan ia harus membayar suatu jumlah uang tertentu. F. Untuk menguntungkan diri sendiri Menguntungkan diri sendiri adalah menambah kekayaannya semula.
G. Membuka sesuatu rahasia
Membuka rahasia dalam kejahatan ini bukanlah semata-mata rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak, kecuali sejumlah orang tertentu melainkan juga suatu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang tertentu. Di dalam Pasal tersebut beberapa bentuk pengancaman dibagi menjadi: a.
Ancaman akan menista dengan lisan.
b. Ancaman akan menista dengan surat atau tulisan. c.
Ancaman akan mengumumkan atau membuka rahasia.
Berdasarkan bentuk pengancaman diatas, maka dapat dipahami bahwa pengaturan tindak pidana pengancaman di dalam KUHP yakni Pasal 369 masih bersifat konvensional atau dengan kata lain pengancaman yang dimaksud rumusan Pasal tersebut adalah pengancaman secara lisan dan tulisan/surat, selain itu tindak pidana pengancaman yang dirumuskan di dalam KUHP juga merupakan delik aduan, ini bisa dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 369 ayat (2). Penerapan Pasal 369 KUHP dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 ITE dalam tindak pidana pengancaman lewat pesan singkat telah memenuhi unsur objektif suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu memaksa orang lain untuk menyerahkan suatu benda dengan cara ancaman pencemaran, baik lisan maupun tulisan, dan juga telah memenuhi unsur objektif yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sedangkan tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pengancaman melalui pesan singkat adalah dengan menggunakan Pasal 369 dan 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan penafsiran ekstensif dapat pula dijerat dengan Pasal 29 juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Pesan singkat adalah suatu informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik, perihal penjelasan ini ada pada ketentuan umum pada Pasal 1 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU ini disebutkan
bahwa
pemanfaatan
ITE
harus
berdasarkan
asas
kepastian
hukum/manfaat, serta itikad baik dalam penggunaannya seperti yang ada dalam Pasal 3 UU ITE Isi putusan yang terdapat di dalam putusan pengadilan tinggi Nomor 44/Pid.Sus/2014/PT.Smg, menunjukkan bahwa hukum yang digunakan oleh hakim yang memutus, Iskandar Tjakke, adalah dengan dasar UU ITE. Hal ini tentu sejalan dengan asas hukum yang berbunyi “Lex specialis derogat legi generali”yang artinya adalah bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Hakim dalam memutus perkara ini tidak salah menerapkan hukum, bahkan dari asal asas yang dipakai. Terlebih lagi putusan dengan dasar UU ITE ini sudah dipakai pada pengadilan tingkat pertama, karena pada putusan pengadilan tinggi hanya menguatkan dari pengadilan negeri Surakarta. Asas Lex specialis derogat legi generali pada dasarnya tidak dapat berdiri sendiri. Di Indonesia, hukum pidana yang digunakan adalah KUHP. Melalui hal tersebut, maka UU ITE harus disesuaikan dengan KUHP. Mengkaji kasus ancaman kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Anthon, dalam bukti pesan singkat yang dikirimkan kepada Lukminto, tidak ada cara yang dijelaskan di dalamnya mengenai bagaimana Anthon akan membunuh Lukminto. Hanya berupa ancaman semata, berupa kata-kata namun belum ada keterangan bahkan tindakan lebih lanjut. Sementara di dalam KUHP, seseorang yang dihukum harus ada tindakan nyata terlebih dahulu baru dapat dihukum. Disparitas keadilan juga muncul dalam putusan ini, mengingat saksi korban tidak pernah diperiksa dalam pengadilan tanpa alasan yang jelas. Sementara kejahatan ini adalah aduan. “Hukum progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan meanstream utama aliran hukum di Indonesia. Paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia”(Mahrus Ali, 2013:23).
BAB IV PENUTUP A.
Simpulan
1. Tindak pidana ancaman kekerasan dan pembunuhan melalui media elektronik diatur dalam Pasal 29 juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 29 menyatakan bahwa seseorang yang melakukan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Sebagai pengaturan pemidanaannya tercantum dalam Pasal 45 ayat (3) yaitu pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Secara konvensional, dalam KUHP tindak pidana yang sama diatur dalam Pasal 369 mengenai ancaman kekerasan yang hukumannya adalah diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2. Putusan
hakim
pengadilan
Tinggi
Semarang
yang
bernomor
44/Pid.sus/2014/PT.Smg adalah putusan yang menguatkan putusan pengadilan negeri Surakarta nomor 79/Pid.Sus/2013/PN.Ska. Putusan ini dijatuhkan atas perkara pengancaman kekerasan dan pembunuhan melalui media elektronik yang disini adalah pesan singkat (sms). Melalui pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan dapat diketahui bahwa sudah sesuai dengan norma hukum yang terdapat di Indonesia. Hakim menggunakan dasar UU ITE sebagai dasar hukum pemidanaan terdakwa yakni Pasal 29 juncto Pasal 45 ayat (3). Aturan tersebut pun tidak bertentangan dengan dasar dari hukum pidana di Indonesia yaitu KUHP. Terkait dengan pembuktian pun hakim dapat menggunakan bukti sms yang dikirimkan karena sebagai perluasan atas pembuktian di dalam KUHAP seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 UU ITE.
B. Saran 1. Diharapkan hakim lebih menekankan adanya teori keadilan dalam mengambil sebuah keputusan tidak hanya putusan yang seketika waktu karena dapat merugikan pihak tertentu.
2. Bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya kasus ini, lebih tepat dalam menggunakan teknologi informasi yang ada karena apabila tidak digunakan dengan bijaksana akan merugikan diri sendiri dan orang lain.