BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kompetensi absolut Peradilan Agama yang diikuti sengketa hak milik Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis menemukan bahwa dalam perkara-perkara yang menjadi kompetensi Peradilan Agama ada beberapa yang bisa diikuti sengketa hak milik namun ada pula yang tidak bisa diikuti sengketa hak milik, berikut uraian mengenai sengketa hak milik yang mengikuti perkara yang menjadi kompetensi Peradilan Agama yang berdasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama : a. Perkawinan Perkawinan merupakan kompetensi absolut dari Peradilan Agama yang mempunyai jangkauan paling luas. Hal ini merujuk pada penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan yaitu 1) Izin beristri lebih dari seorang; 2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dala hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3) Dispensasi kawin; 4) Pencegahan perkawinan; 5) Penolakan perkawinan; 6) Pembatalan perkawinan; 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8) Perceraian karena talak; 9) Gugatan perceraian; 10)
Penyelesaian harta bersama;
37
11)
Mengenai penguasaan anak;
12)
Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya; 13)
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14)
Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15)
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16)
Penunjukan kekuasaan wali;
17)
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan Agama dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18)
Menunjukkan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; 19)
Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas anak yang ada dibawah kekuasaannya; 20)
Penetapan asal usul anak;
21)
Keputusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campur; 22)
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain. Diantara
banyak
kewenangan
yang
merupakan
bagian
dari
perkawinan tersebut penulis memberikan pendapat bahwa hanya bagian penyelesaian harta bersama saja yang bisa terdapat sengketa hak milik di dalamnya, hal ini mempertimbangkan bahwa sengketa hak milik merujuk pada kepemilikan suatu barang atau harta tertentu, dan diantara bagianbagian tersebut yang berhubungan dengan barang atau harta tertentu adalah mengenai penyelesaian harta bersama. Untuk memperjelas hal tersebut mari kita lihat contoh, A menggugat cerai B ke Pengadilan Agama kemudian dalam perceraian tersebut muncul harta bersama yang digugat oleh B sebagai bentuk gugatan rekonvensi atas harta yang dalam penguasaan A,
38
kemudian A mengatakan bahwa harta yang digugat tersebut telah dijual kepada C tanpa sepengetahuan B sebagai pemilik harta bersama. Nah, dari contoh ini biasa kita lihat bahwa obyek harta bersama telah berpindah tangan hak milik menjadi milik C. Harta yang bukan menjadi milik bersama dan diperoleh dari hasil perkawinan tidak dapat dijadikan obyek harta bersama karena memang bukan lagi berupa harta bersama, tetapi telah berpindah tangan menjadi milik C. Secara prinsip sengketa hak milik murni menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum, sedangkan perkara mengenai harta bersama mutlak milik Peradilan Agama, maka akan menjadi sesuatu yang merepotkan apabila dalam mengadili perkara harta bersama terdapat sengketa hak milik. b. Kewarisan Kewenangan Peradilan Agama dalam bidang kewarisan mengikat seluruh aspek waris menurut hukum islam, aspek-aspek tersebut disebutkan dalam penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu meliputi : 1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris; 2. Penentuan mengenai harta peninggalan; 3. Penentuan bagian-bagian ahli waris; Selain memutus perkara waris tersebut sesuai aspek tersebut, Peradilan Agama juga mempunyai kewenangan dalam hal voluntair atau penetapan waris yang didasarkan pada pembagian melalui putusan Pengadilan Agama dan juga dapat pula berdasarkan pembagiaan berdasarkan
pemohon
pertolongan
yang
berdasarkan
permohonan
pertolongan pembagian harta waris diluar sengketa (Chatib Rasyid, 2009 : 22). Kompetensi mengenai Pewarisan merupakan perkara yang paling rawan terdapat sengketa hak milik, hal ini bisa kita lihat dari obyek waris ini merupakan obyek yang dapat menjadi obyek perkara dalam sengketa hak milik. Lebih jelasnya penulis berikan contoh, A dan B merupakan saudara
39
kandung yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia, keduanya merupakan ahli waris yang tersisa. A yang merasa bahwa harta warisan harus dibagi kemudian datang membuat permohonan kepada Pengadilan Agama untuk diberikan penetapan yang sah bahwa A dan B sebagai ahli waris atas sebidang kebun dan tanah beserta rumahnya dan diberikan putusan atas pembagian warisan tersebut melalui putusan Pengadilan. Namun, dalam dalam proses persidangan munculah C yang mengaku sebagai pemilik yang sah dari kebun yang menjadi obyek waris A dan B melakukan intervensi pada persidangan. C berpendapat bahwa kebun tersebut diperolehnya dari hasil jual-beli C dengan B. Mengingat jual beli yang dilakukan B dengan C tidak diketahui oleh A maka dapat dikatakan hal ini merupakan sengketa hak milik atas suatu obyek yang mengikuti perkara yang menjadi kompetensi Peradilan Agama yaitu tentang pewarisan. c. Wasiat Wasiat merupakan salah satu kompetensi Peradilan Agama apabila dilakukan oleh orang yang beragama Islam. Pengaturan tentang wasiat diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang mengatakan bahwa wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi wasiat tersebut meninggal dunia. Pelaksanaan dari wasiat ini tidak terbatas pada kata “menurut hukum Islam”, hal ini dikarenakan tipisnya perbedaan antara wasiat dalam hukum islam dan wasiat dalam hukum barat, hal ini merujuk bahwa terdapat banyak multi tafsir atas definisi dari wasiat tersebut. Wasiat dalam hukum Islam memiliki ketentuan bahwa wasiat tersebut dapat berupa lisan atau tulisan, sedangkan menurut hukum barat wasiat harus berupa tulisan, ada lagi menurut hukum adat bahwa wasiat itu berupa lisan. Perbedaan dalam bentuk wasiat ini telah menimbulkan keresahan dalam lingkungan peradilan, katakanlah suatu wasiat yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam yang dibuat secara tertulis di depan notaris dan para
40
saksi, akan sulit menyimpulkan ini merupakan wasiat yang dibuat berdasarkan hukum barat atau hukum Islam. Perbedaan penafsiran dalam suatu perbuatan dapat menjadi masalah apabila dalam wasiat tersebut nantinya muncul perkara sehingga akan bingung kemana perkara ini akan diajukan, karena Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri memiliki kewenangan. Para pihak yang berperkara dalam hal wasiat pun akan memanfaatkan hal ini untuk memperumit perkara agar kepentingannya terlindungi. Penghapusan bentuk wasiat harus berdasarkan hukum Islam merupakan cara yang tepat dalam perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Kembali lagi membahas mengenai perkara wasiat. Wasiat ini tidak luput juga dari sengketa hak milik, karena seperti yang telah dicantumkan dalam penjelasan bahwa ada kata “benda” disitu yang merujuk pada suatu obyek yang dijadikan wasiat. Obyek disini tentu tidak luput dari sengketa hak milik mengingat tidak ada batasan tertentu dalam pemberian wasiat ini. Sehingga dapat dimungkinkan sekali obyek wasiat dapat diikuti sengketa hak milik. Contohnya, A mengeluarkan surat wasiat yang dicatat oleh notaris dan didepan saksi yang cukup berisi tentang penyerahan tanah secara sah berupa sawah seluas 100 m2 kepada B apabila A meninggal dunia, setelah A meninggal dunia dan wasiat dijalankan dengan penetapan Pengadilan Agama pada prosesnya muncullah C yang mempunyai kepentingan dalam obyek wasiat, kepentingan ini mengatakan bahwa C mempunyai hak milik dalam obyek wasiat yang ditangani Pengadilan Agama tersebut berdasarkan perjanjian jual beli, sehingga dalam obyek yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam hal wasiat dapat diikuti dengan sengketa hak milik (Yahya Harahap, 2003 : 155). d. Hibah Hibah menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam penjelasan Pasal 49 huruf d adalah “pemberian suatu benda secara sukarela
41
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki”. Hibah dapat diartikan sebagai hadiah yang diberikan kepada orang tanpa mengaharapkan imbalan, benda yang dapat dijadikan hibah tidak terbatas terhadap benda tertentu, sehingga segala benda yang dapat dijadikan hak milik dapat dijadikan sebagai obyek hibah. Hibah menurut Pasal 166 BW yaitu “suatu persetujuan dengan mana si penghibah semasa hidup dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan suatu benda guna kepentingan si penerima hibah”. Hibah yang menjadi kompetensi Peradilan Agama adalah hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, sedangkan hibah diluar ketentuan hukum Islam menjadi kewenangan Peradilan Umum. Pengaturan hibah menurut Hukum Islam dengan yang ada di BW secara umum hampir tidak ada perbedaan, sedikit yang membedakan yaitu dalam bentuknya, hibah menurut hukum Islam dapat dilakukan secara lisan maupun secara tertulis, sedangkan hibah dalam BW harus dilakukan secara tertulis dan dicatat melalui akta notaris. Selama hibah berbentuk tertulis maka ditinjau dulu mana yang dasar hukum pembuatan hibah dan juga pihak-pihak dalam hibah ini apakah orang-orang yang beragama Islam atau tidak. Perkara hibah yang diadili dalam Pengadilan Agama biasanya tentang sah atau tidaknya suatu hibah menurut hukum Islam ditinjau dari subyek, obyek dan syarat dari hibah tersebut. Perlu diingat kembali obyek dari hibah berupa benda yang dapat dijadikan hak milik, sehingga sengketa hak milik tentu tidak dapat dihindarkan dari suatu perkara hibah pada Pengadilan Agama. Contohnya A mengugat B atas tanah hibah yang didapat A dari C, B kemudian mengajukan jawaban bahwa tanah yang digugat tersebut diperoleh B dari D berdasarkan perjanjian jual beli yang sah, sehingga hibah pun dapat diikutui oleh perkara hak milik yang melekat pada obyek yang dijadikan hibah (Yahya Harahap, 2003 : 155). e. Wakaf
42
Wakaf menurut penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadaha dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”. Wakaf hanya terdapat pada syari’at Islam saja, dalam hukum barat maupun hukum adat tidak mengenal adanya wakaf, sehingga kompetensi mengenai wakaf hanya milik Peradilan Agama saja, sedangkan alternatif lain dapat dilakukan yaitu melalui mediasi atau arbitrase, hal ini merujuk pada Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, namun penulis hanya aka membahas mengenai wakaf yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama saja. Wakaf menurut pengertiannya memiliki beberapa unsur, salah satunya yaitu obyek wakaf. Obyek wakaf biasanya berupa tanah, namun sebenarnya lebih lengkapnya wakaf dapat meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda tidak bergerak contohnya seperti tanah, sedangkan benda bergerak dapat berupa uang atau lebih dikenal dengan wakaf tunai, dan benda lainnya sesuai dengan syari’at. Pengaturan mengenai wakaf bisa dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan; dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, meskipun wakaf memiliki sebuah aturan tersendiri sampai ada undang-undang yang mengatur khusus tentang wakaf, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perkara wakaf dapat diikuti perkara lain berupa sengketa hak milik, karena pada dasarnya aturan khusus tentang wakaf hanya mengatur secara materil tentang sah atau tidaknya wakaf dan syarat-syarat wakaf menurut syari’at Islam. Munculnya sengketa hak milik dalam obyek wakaf sangat dimungkinkan mengingat obyek sengketa hak milik sama mempunyai kesamaan dengan obyek dalam perkara wakaf.
43
f. zakat, infaq dan shadaqah Zakat menurut pengertian dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah “harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang diiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerima. Zakat menjadi salah satu kompetensi Peradilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Zakat dibedakan menjadi 2 yaitu : zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah dikeluarkan pada saat akhir bulan ramadhan, sedangkan zakat mal dikeluarkan satu tahun sekali sesuai nishabnya. Orang yang menerima zakat memiliki ketentuan tersendiri yang disebut 8 (delapan) Asnab, yaitu : fakir; miskin; pengurus zakat; muallaf; budak; orang yang berhutang tapi tidak sanggup membayar; orang berjuang di jalan Allah. Peradilan
Agama
mempunyai
kewenangan
untuk
memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tentang zakat, semisal sah atau tidaknya zakat yang dilakukan pemberi zakat (muzakki) kepada penerima zakat (Mustaqih). Penerimaan zakat diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap orang yang beragama Islam dan orang yang menerima zakat juga orang-orang tertentu pula yaitu para 8 (delapan) Asnab. Benda yang dijadikan untuk alat pembayaran zakat merupakan komoditas pokok yang dapat digunakan atau dimanfaatkan secara langsung oleh penerima zakat semisal beras atau makanan pokok lain, namun dapat pula berupa uang. Benda bergerak dan benda tidak bergerak secara umum tidak dapat dijadikan sebagai alat pembayaran zakat karena apabila dijadikan pembayaran zakat maka penerima zakat akan kesulitan untuk memanfaatkan barang tersebut, karena untuk menggunakannya harus dijual terlebih dahulu. Inilah yang menjadikan dasar para ulama untuk tidak memperbolehkan benda tetap seperti tanah sebagai alat pembayara zakat. Dengan uraian mengenai alat pembayaran zakat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkara mengenai zakat tidak dapat diikuti oleh sengketa hak milik.
44
Zakat, Infaq, dan Shadaqah secara prinsip adalah sama, karena ketiganya memiliki tujuan yang sama yaitu membantu kepada orang yang membutuhkan, sehingga bentuk dari zakat, infaq, dan shadaqah juga kurang lebih sama karena benda yang digunakan sebagai alat pembayaran zakat, infaq, dan shadaqah adalah sama yaitu benda yang dapat digunakan atau dimanfaatkan secara efektif, artinya benda tersebut dapat langsung digunakan oleh orang yang berhak menerima karena zakat, infaq, dan shadaqah bertujuan untuk mebantu orang atau badan yang membutuhkan secara materil. Sehingga zakat, infaq, dan shadaqah tidak dapat diikuti oleh sengketa hak milik (Chatib Rasyid, 2009: 30). g. Ekonomi Syariah Menurut penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang dimaksud ekonomi syariah adalah “perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : Bank syariah, Lemabaga Keuangan mikro syariah; Asuransi Syariah; Reasuransi syariah; Reksadan syariah; Sekuritas syariah; Pembiayaan syariah; Pegadaian syariah; Dana pensiun lembaga keuangan syariah; Bisnis syariah”. Kegiatan ekonomi syariah memang memiliki kemiripan dengan ekonomi syariah konvensional, misalnya adanya kreditur dan debitur. Selain ada kemiripan namun ada juga perbedaan mengenai syarat dan ketentuan dalam pelaksanaan ekonomi syariah, seperti pada bank syariah dengan dengan bank konvensional, bank syariah menerapkan sistem bagi hasil sedangkan bank konvensional menerapkan sistem bunga. Sebagai bentuk kegiatan ekonomi maka ekonomi syariah tidak akan lepas dari yang namanya jaminan antara kreditur dengan debitur, jaminan disinilah yang rawan terdapat perkara mengenai kepemilikan, sebagai pelaku ekonomi syariah tentunya kreditur akan memberikan syarat mengenai jaminan ini. tetapi ada saja dalam sebuah jaminan apalagi yang berupa sertifikat hak milik. Contohnya, A sebagai debitur meminjam uang kepada B sebagai kreditur sebagai badan bank syariah dengan menggunakan
45
jaminan Sertifikat Hak Milik (SHM) miliknya, namun A kemudian meninggal dunia sehingga tidak dapat melunasi hutangnya sehingga SHM disita oleh B untuk dilakukan pelelangan. Merasa tidak terima dianggap tidak membayar hutang kemudian C merupakan anak A kemudian menggugat B di Pengadilan Agama Kemudian munculah D yang mengaku juga memiliki tanah dalam SHM tersebut dan merasa dirugikan karena tidak tahu menahu mengenai penyitaan oleh B dan SHM yang tersebut telah dibawa ke Pengadilan Agama, dalam hal ini D dapat melakukan gugatan atas sengketa kepemilikan terhadap SHM yang sama. 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 001-SKM/MA/2015 Hasil penelitian berikut Penulis memaparkan mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 001-SKM/MA/2015 yang pada pokoknya memberi kewenangan pada Pengadilan Agama Limboto untuk memeriksa dan memutus sengketa hak milik yang mengikuti perkara Perceraian pada Pengadilan Agama Limboto. Sebelumnya Penulis beranggapan bahwa Putusan dari Mahkamah Agung ini merupakan contoh konkret dari penerapan yang akan dibahas pada rumusan masalah yang pertama, mengingat sengketa hak milik dalam perkara yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama sampai terjadinya sengketa kewenangan mengadili antar lembaga peradilan cukup sulit dijumpai. Berdasarkan kajian penulis mengenai batasan kompetensi absolut Peradilan Agama dalam mengadili perkara yang di dalamnya terdapat sengketa hak milik dikaitkan dengan asas personalitas keislaman dengan studi putusan Mahkamah Agung Nomor 001-SKM/MA/2015. Sebelum masuk ke Pembahasan Penulis akan menelaah permasalahan dalam putusan tersebut dengan uraian tentang para pihak yang berperkara, obyek yang menjadi perkara, pertimbangan hakim dan kasus posisi. Hal ini diperlukan untuk dijadikan dasar menjawab Rumusan Masalah yang kedua. Sedangkan dalam Rumusan Masalah pertama Penulis melakukan penelitian pada perundang-undangan dan juga buku-buku
yang relevan dengan asas
46
personalitas keislaman. Hasil dari penelitian Rumusan Masalah pertama akan langsung dituangkan dalam pembahasan karena dalam rumusan masalah pertama akan menjadi dasar untuk Penulis manganalisis pertimbangan hakim dalam memutus sengketa hak milik menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 001-SKM/MA/2015. a. Pihak-pihak yang berperkara 1) SL bin Mardun Lihawa, sebagai Penggugat Intervensi; MELAWAN : 1) NL
binti
Mardun
Lihawa,
sebagai
Penggugat/Tergugat
Rekonvensi/Tergugat Intervensi I; 2) SSP
bin
S.
Paneo
alias
RSP,
sebagai
Tergugat/Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Intervensi II. b. Obyek yang menjadi perkara Satu bidang tanah yang berdiri diatasnya satu unit rumah. Tanah berukuran P : 39 x L : 9 (luas : 351 m2); Rumah berukuran P : 30 x L : 6,5 (luas : 195 m2); Tanah dan rumah tersebut telah bersertifikat dan sertifkat tanah tersebut berada pada Penggugat/Tergugat Rekonvensi, terletak di Lingkungan I, Kelurahan Bolihuangga, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, dengan batas-batas sebagai berikut: 1) Utara
:
berbatasan
dengan
Sekolah
Paud
Matahari,
Kelurahan Bolihuangga, Kecamatan Limboto; 2) Timur
:
3) Selatan :
berbatasan dengan Jalan A. Otoluwa; berbatasan dengan tanah budel rumah milik Dewi
Lihawa; 4) Barat c. Kasus posisi
:
berbatasan dengan tanah Una Paudi;
47
Berawal dari gugatan cerai seorang Istri terhadap Suaminya di Pengadilan Agama Limboto dengan nomor 27/Pdt.G/2015/PA.Lbt, Tergugat dalam perkara ini yaitu suami mengajukan gugatan rekonvensi terhadap Penggugat atas harta milik bersama menjadi 2 bagian, diantara harta bersama yang digugat terdapat sebidang tanah dan rumah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama suami yang distatuskan sebagai harta bersama yang akan dibagi. Satu bidang tanah yang berdiri diatasnya satu unit rumah tersebut mempunyai ukuran : Tanah berukuran P : 39 x L : 9 (luas : 351 m2); Rumah berukuran P : 30 x L : 6,5 (luas : 195 m2), yang terdapat di Kelurahan Bolihuangga Kecamatan Limboto yang batas-batasnya yaitu: 1) Utara
:
berbatasan
dengan
Sekolah
Paud
Matahari,
Kelurahan Bolihuangga, Kecamatan Limboto; 2) Timur
:
berbatasan dengan Jalan A. Otoluwa;
3) Selatan
:
berbatasan dengan tanah budel rumah milik Dewi
:
berbatasan dengan tanah Una Paudi.
Lihawa; 4) Barat
Munculnya sebidang tanah tersebut maka muncul gugatan intervensi dari saudara sang Istri tersebut, yang mengatakan bahwa sebidang tanah tersebut atau dalam perkara ini obyek gugatan merupakan harta peninggalan dari orang tua Penggugat Intervensi, Penggugat dalam perkara perceraian dan saudara-saudaranya yang lain yang belum dibagi. Sekiranya ada SHM atas nama Tergugat merupakan perkara yang telah diajukan kepada Pengadilan Negeri Limboto atas gugatan perbuatan melawan hukum dengan alasan bahwa obyek gugatan masih berstatus harta waris yang belum dibagi, sehingga apabila ada SHM baru atas nama orang lain dan juga Akta Jual-Beli maka adalah suatu perbuatan melawan hukum karena para ahli waris yang lain termasuk Penggugat
48
Intervensi tidak mengetahui bahwa harta peninggalan orang tuanya telah dijual salah satu ahli waris. Dengan adanya intervensi ini Pengadilan Agama Limboto mengeluarkan putusan sela Nomor 27/Pdt.G/2015/PA.Lbt, tanggal 1 Juli 2015 dengan amar sebagai berikut: 1) Menetapkan tuntutan pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara antara Penggugat Rekonvensi
melawan
Tergugat Rekonvensi
dikabulkan; 2) Menetapkan posisi pihak ketiga tersebut sebagai Tergugat II sedangkan Tergugat Rekonvensi berubah menjadi Tergugat I; 3) Menyatakan Pengadilan Agama Limboto berwenang mengadili perkara pihak ketiga tersebut; 4) Menangguhkan pemeriksaan perkara sampai dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI; 5) Menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam putusan sela ini akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir;
Berdasarkan adanya putusan sela tersebut Ketua Pengadilan Agama Limboto mengeluarkan penetapan “Menangguhkan pemeriksaan perkara yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Limboto Nomor 27/Pdt.G/2015/PA.Lbt, tanggal 13 Januari 2015, sampai adanya putusan Mahkamah Agung tentang sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama Limboto dan Pengadilan Negeri Limboto”. Mahkamah Agung dalam memutus perkara sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama Limboto dengan Pengadilan Negeri Limboto mempertimbangkan hal berikut : 1) Bahwa dalam Putusan Sela Nomor 27/Pdt.G/2015/PA.Lbt. tanggal 1 Juli 2015. Salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa
49
"... oleh karena pihak ketiga telah pula mengajukan objek sengketa dimaksud sebagai sengketa hak kepemilikan ke Pengadilan Negeri Limboto dengan Register Perkara Nomor 20/Pdt.G/2015/PN.Lbo, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini terjadi sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. oleh karena itu, untuk adanya kepastian hukum bagi para pihak berpekara dan untuk menghindari kesan rebutan perkara atau terjadinya putusan yang bertolak belakang antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lainnya, berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata, maka Pengadilan Agama Limboto menangguhkan
pemeriksaan
perkara
sampai
adanya
putusan
Mahkamah Agung tentang sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama Limboto dan Pengadilan Negeri Limboto." 2) Bahwa yang menjadi masalah pokok dalam perkara ini adalah bahwa Penggugat Intervensi (SL bin Mardun Lihawa) berpendapat bahwa objek perkara merupakan budel waris (termasuk SL bin Mardun Lihawa sebagai salah satu ahli warisnya) sedangkan SSP bin S. Paneo alias RSP berpendapat bahwa objek sengketa adalah harta bersama SSP bin S. Paneo alias RSP dengan istrinya NL binti Mardun Lihawa sehingga SL bin Mardun Lihawa untuk menentukan milik siapa objek sengketa tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Limboto berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama; 3) Bahwa SL bin Mardun Lihawa (Penggugat Intervensi) adalah saudara laki-laki dari NL binti Mardun Lihawa (Penggugat/Tergugat Rekonvensi/Tergugat Intervensi I) yang merupakan sama-sama ahli waris dari Alm. Mardun Lihawa;
50
4) Bahwa untuk menentukan apakah objek sengketa merupakan harta bersama SSP bin S. Paneo alias RSP dengan NL binti Mardun Lihawa dalam Perkara Gugatan Cerai Nomor 27/Pdt.G/2014/PA.Lbt. adalah wewenang Pengadilan Agama Limboto dan apakah objek sengketa tersebut budel waris yang belum dibagi dalam perkara warisan dari mereka yang beragama Islam juga wewenang Pengadilan Agama Limboto (Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama); Dengan pertimbangan-pertimbangan berikut maka Mahkamah agung mengeluarkan Putusan Nomor 001-SKM/MA/2015 yang amarnya sebagai berikut : Mengabulkan permohonan sengketa kewenangan mengadili dari Pemohon KETUA PENGADILAN AGAMA LIMBOTO tersebut; Menetapkan Pengadilan Agama Limboto berwenang untuk mengadili Perkara Nomor 27/Pdt.G/2014/PA.Lbt. antara 1) SL bin Mardun Lihawa, sebagai Penggugat Intervensi; MELAWAN 1) NL
binti
Mardun
Lihawa,
sebagai
Penggugat/Tergugat
Rekonvensi/Tergugat Intervensi I; 2) SSP bin S. Paneo alias RSP, sebagai Tergugat/Penggugat Rekonvensi/Tergugat Intervensi II; Untuk menetapkan status kepemilikan objek sengketa berupa sebidang tanah yang terdapat di Kelurahan Bolihuangga, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo dengan batas-batas dan luas keseluruhan sebagai berikut: 1) Utara
:
berbatasan
dengan
Sekolah
Paud
Matahari,
Kelurahan Bolihuangga, Kecamatan Limboto; 2) Timur
:
berbatasan dengan Jalan A. Otoluwa;
3) Selatan
:
berbatasan dengan tanah budel rumah milik Dewi
:
berbatasan dengan tanah Una Paudi.
Lihawa; 4) Barat
51
3. Aturan-Aturan Hukum a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; c. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996; d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 001-SKM/MA/2015. B. Pembahasan 1. Batasan kompetensi absolut Peradilan Agama dalam mengadili perkara yang di dalmnya terdapat sengketa hak milik terkait asas personalitas keislaman Penulis telah melakukan identifikasi terhadap perkara yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama beberapa diantaranya dapat diikuti oleh sengketa hak milik, yang pada prinsipnya sengketa hak milik tersebut merupakan kompetensi Peradilan Umum atau dalam hal ini Pengadilan Negeri. Pertanyaan yang dapat ditarik dari hal tersebut adalah apakah perkara hak milik harus diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri sebelum dilanjutkan perkara di Pengadilan Agama, bila hal ini terjadi maka akan memperlama proses persidangan dan juga tidak akan terwujud sistem peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Ataukah sengketa hak milik ini akan diadili dengan perkara yang melekat pada kompetensi absolut milik Peradilan Agama. Merujuk pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”, dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila muncul sengketa hak milik maka harus diputus terlebih
52
dahulu oleh Pengadilan Negeri, baru setelahnya Pengadilan Agama dapat melanjutkan perkara yang menjadi kompetensi absolutnya. Melihat ketentuan pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka dapat dikatakan bahwa sistem peradilan yang seperti itu akan memberikan kesan ketergantungan antara lingkungan peradilan yang satu dengan lingkungan peradilan yang lainnya, tentunya hal ini tidak sesuai dengan asas bahwa peradilan itu bersifat mandiri dan independen sehingga tidak terpengaruh atau tergantung pada pihak lain termasuk peradilan lain. Ketergantungan tersebut dapat dilihat bahwa apabila obyek yang digugat sama antara obyek yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dengan obyek yang menjadi kewenangan Peradilan Umum maka Peradilan Umum harus didahulukan dalam membuat keputusan tentang obyek tersebut, sehingga Peradilan Agama akan “mengikuti” putusan Peradilan Umum terhadap obyek yang sama. Sistem peradilan yang seperti ini akan mengulur banyak waktu dan dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menguasai obyek berperkara lebih lama. Selain terkesan peradilan menjadi tidak independen, sistem seperti ini akan membuat asas personalitas keislaman tidak berdaya, mengingat asas personalitas keislaman menjadi asas yang eksklusif yang hanya ada pada Peradilan Agama sehingga asas ini harusnya mampu melindungi kompetensi absolut Peradilan Agama, namun nyatanya asas ini tidak berdaya terhadap pekara hak milik (Yahya Harahap, 2003 : 153). Sistem peradilan yang penuh ketidakpastian inilah yang akhirnya membuat Badan Legislatif sebagai pembuat Undang-Undang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 50 menjadi salah satu yang direvisi dan diubah isinya menjadi 2 (dua) ayat yaitu, ayat (1) “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”, sedangkat ayat (2) “Apabila terjadi sengketa hak milik
53
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orangorang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49” (Chatib Rashid, 2009 : 23). Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) yang membedakan adalah agama dari pihak yang berperkara, jika dalam ayat (1) menyatakan bahwa sengketa hak milik pada prinsipnya memang menjadi kompetensi Peradilan Umum, tapi dalam ayat (2) ditambah pengecualian bahwa apabila sengketa hak milik yang mengikuti atau melekat pada perkara dalam lingkungan Peradilan Agama dalam hal semua pihak adalah orang yang beragama Islam maka semua perkara mengenai sengketa kepemilikan dan juga perkara pokok dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama diselesaikan bersama oleh Peradilan Agama. Subjek orang yang beragama Islam merupakan ciri dari asas personalitas keislaman, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menguatkan kembali sifat personalitas dalam lingkungan Peradilan Agama. Asas personalitas keislaman secara otomatis melekat pada orang yang beragama Islam dengan sendirinya, karena secara prinsip bahwa hanya orang yang beragama Islam sajalah yang memahami syari’at Islam. Namun, hal ini tidak berlaku mutlak karena orang yang beragama selain Islam pun dapat berperkara dalam Peradilan Agama, hal ini dikarenakan bahwa dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang dimaksud dengan “antara orangorang yang beragama islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri denga sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini, dengan begitu maka orang yang beragama selain Islam dapat berperkara pada Peradilan Agama selama orang itu mau menundukkan diri kepada hukum Islam.
54
Selain dari pada faktor agama yang menjadi ciri asas personalitas keislaman, ciri lainnya dalam Peradilan Agama adalah adanya sistem hukum yang dipakai hanya berdasarkan pada hukum Islam saja. Hukum islam digunakan sebagai hukum materil dan sebagian hukum formil sudah diatur sendiri dalam undang-undang Peradilan Agama. Hukum formil yang bersumber dari HIR masih dipakai sebagian dalam beracara dalam Peradilan Agama, sedangkan hukum materil sudah tidak lagi memakai sumber hukum lain selain menurut hukum Islam. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, ada yang disebut dengan “hak opsi” yaitu dalam penjelasan umum angka 2 alinea keenam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menjelaskan bahwa para pihak dapat memilih hukum apa yang digunakan sebagai dasar pembagian waris. Dengan adanya ketentuan hak opsi ini Peradilan Agama tidak dapat memaksakan hukum Islam untuk berlaku dalam pembagian waris pada Peradilan Agama. Namun, ketentaun ini dihapus dengan adanya UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006, hal ini dapat dilihat dari penjelasan umum alinea kedua yang menyatakan bahwa “para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dakam pembagian waris dinyatakan dihapus”. Dengan tidak adanya lagi hak opsi maka hal ini menunjukkan kekuatan personalitas keislaman dalam Peradilan Agama, sehingga apabila dalam perkara waris pada Peradilan Agama yang mana ahli waris ada yang beragama bukan Islam maka harus tunduk kepada hukum waris Islam (Chatib Rasyid, 2009: 23). Batasan yang dapat dilihat dari sengketa hak milik dalam pekara Pasal 49 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 adalah batasan dalam hal agama, yaitu subjek berperkara pada Peradilan Agama adalah orang-orang yang beragama Islam saja, hal ini berlaku apabila dalam suatu perkara ada campur tangan atau intervensi pihak lain akibat dari adanya sengketa hak milik terhadap obyek yang sama yang diadili dalam Peradilan Agama maka pihak yang melakukan intervensi tersebut untuk menerapkan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama maka
55
harus beragama Islam, kalaupun tidak maka yang diterapkan adalah ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang mana hal ini akan memperlama proses persidangan karena akibat dari menunggu putusan dari pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri terlebih dahulu baru dapat dilanjutkan pemeriksaan pada Pengadilan Agama. Pengadilan Negeri secara prinsip berwenang untuk mengadili perkara sengketa hak milik, hal ini berdasarkan pada kompetensi Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, perkara perdata termasuk juga sengketa hak milik, meskipun pada perkara sengketa hak milik itu mempunyai objek yang sama dengan apa yang menjadi perkara dalam Peradilan Agama, selama subjek yang berperkara pada Pengadilan Negeri bukanlah orang yang beragama Islam maka perkara sengketa hak milik tersebut tetap menjadi milik Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri. Batasan mengenai obyek perkara yang menjadi pokok perkara juga merupakan kekhususan tersendiri bagi Peradilan Agama untuk mengadili perkara yang diikuti oleh sengketa hak milik. Keterbatasan hanya pada obyek yang digugat saja, kecuali untuk obyek yang bukan dalam salah satu kompetensi Peradilan Agama sengketa hak milik tersebut tidak akan menjadi kompetensi Peradilan Agama. Berkaitan dengan objek yang digugat, apabila Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tidak dapat diterapkan maka gugatan sengketa hak milik akan tetap menjadi perkara pada Pengadilan Negeri untuk objek yang
56
digugat saja, sedangkan objek diluar gugatan hak milik tetap dapat dilanjutkan pada Pengadilan Agama. Peradilan Agama pada prinsipnya memang tidak berwenang mengadili perkara sengketa hak milik kecuali ditentukan lain dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengekata hak milik yang digugat dalam Pengadilan Negeri memiliki keterkaitan dengan perkara yang menjadi kompetensi di Peradilan Agama yang tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, keterkaitan yang erat antara sengketa hak milik dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, keterkaitan perkara ini bisa berupa objek yang sama antara kedua perkara, dan juga keterkaitan mengenai akibat hukum yang timbul dalam salah satu perkara akan mempengaruhi akibat hukum pada perkara yang lain, keterkaitan mengenai hal-hal semacam ini yang menjadikan dasar adanya gugatan sengketa hak milik dengan perkara pada Peradilan Agama. Artinya, perkara-perkara tersebut tidak berdiri sendiri sehingga menimbulkan keterkaitan antara perkara sengketa hak milik dengan perkara pada Peradilan Agama, dan apabila diputus akan menimbulkan 2 (dua) putusan yang berlainan antar lingkungan peradilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama mengenai objek yang pada pokoknya adalah sama. Oleh karena itu untuk menciptakan kepastian hukum maka perkara tersebut diberikan solusi yaitu dengan adanya Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Perkara sengketa hak milik yang berdiri sendiri dan juga perkara pada Pengadilan Agama yang berdiri sendiri tidak dapat diterapkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, karena pada pokoknya kedua perkara ini berlainan dan tidak ada keterkaitan serta ketergantungan antar perkara, sehingga kedua perkara ini akan kembali ke asalnya yaitu sengketa hak milik menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
57
dan perkara yang menjadi kompetensi Peradilan Agama tetap akan pada tempatnya yaitu Pengadilan Agama.
2. Pertimbangan Hakim Agung dalam memutuskan perkara kompetensi hak milik menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam putusan nomor 001-SKM/MA/2015 terkait asas personalitas keislaman Sebelum menganalisis pertimbangan Hakim Agung dalam mengadili perkara dengan Nomor 001-SKM/MA/2015, penulis membahas terlebih dahulu mengenai jenis putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung tersebut. Putusan dengan singkatan SKM merupakan kepanjangan dari Sengketa
Kewenangan
Mengadili,
sengketa
mengenai
kewenangan
mengadili merupakan kewengan dari Mahkamah Agung, hal ini berdasarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Pasal 33 menjelaskan bahwa MA memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili a. Antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di lingkungan Peradilan yang lain; b. Antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari lingkungan Peradilan yang sama; c. Antara dua Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan Peradilan yang berlainan. Sementara itu guna menentukan patokan untuk menentukan sengketa kewenangan mengadili menurut yahya harahap (2013: 209). a. Apabila dalam waktu yang bersamaan beberapa pengadilan menerima gugatan yang perkara pokoknya , pihak-pihaknya, dan obyek yang sama, serta peristiwa hukum yang sama;
58
b. Dan masing-masing PN atau pengadilan yang menerima gugtan itu berpendapat, berwenang mengadili perkara tersebut, maka dalam hal yang seperti itu timbul sengketa kewenangan mengadili; c. Jika yang menerima gugatan itu terdiri dari PN, PA atau PTUN, sengketa yang terjadi adalah kewenangan mengadili secara absolut. Sebaliknya kalau yang menerima gugatan terdiri dari beberapa PN atau dalam satu lingkungan peradilan maka terjadi sengketa kewenangan mengadili secara relatif; d. Akan tetapi jika perkara-perkara yang diajukan kepada beberapa pengadilan ternyata dasar gugatannya berbeda, dalam kasus seperti itu tidak terkandung faktor sengketa kewengan mengadili meskipun pihak yang berperkara sama dan obyek yang diperkarakan juga sam. Sehingga dengan berdasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut maka Mahkamah Agung memang berhak mengadili perkara sengketa kewenangan mengadili antar Peradilan
di lingkungan
yang berbeda sesuai dalam kasus bahwa hakim Pengadilan Agama Limboto mengajukan pemohonan pemeriksaan sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung. Ketua Pengadilan Agama Limboto mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung atas dasar bahwa perkara dalam pembagian harta bersama antara Penggugat/Tergugat Rekonvensi dan Tergugat/Penggugat
Rekonvensi
dengan
Nomor
perkara
27/Pdt.G/2015/PA.Lbt memiliki obyek gugatan yang sama dengan perkara sengketa hak milik pada Pengadilan Negeri Limboto dengan Nomor 20/Pdt.G/2015/PN.Lbo yang diajukan oleh Penggugat Intervensi dalam perkara di Pengadilan Agama Limboto. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mengatur siapa yang berhak mengajukan permohonan perkara sengketa kewenangan mengadili pada Mahkamah Agung, namun secara praktik dapat dijelaskan sebagai berikut :
59
a. Pihak yang berperkara Yang
paling
berkepentingan
atas
penyelesaian
sengketa
kewenangan mengadili adalah pihak yang berperkara itu sendiri karena pada prinsipnya perkara para pihak sudah sepantasnya diusahakan penyelesaian oleh para pihak tersebut, baik salah satu pihak atau semua pihak. Tahapan yang dapat ditempuh diantaranya : 1) Mengajukan permohonan Membuat permohonan yang berisi dan menjelaskan fakta tentang adanya beberapa perkara yang pihaknya sama, obyeknya sama, dan dasar gugatannya sama telah diajukan ke pengadilan. 2) Permohonan diajukan ke MA Permohonan dapat dajukan langsung ataupn dapat melalui salah satu pengadilan yang bersangkutan b. Pengadilan yang terlibat Salah satu pengadilan yang terlibat dalam sengketa kewenangan mengadili,
secara
moral
harus
bersikap
proaktif
mengajukan
permasalahan itu kepada MA. Misalnya, setelah salah satu pihak yang berperkara
menjelaskan
melalui
eksepsi
bahwa
perkra
yang
disengketakan sama dengan perkara dalam pengadilan lain. Setelahnya salah satu pengadilan setelah itu meminta penyelesaian kepada MA. Sambil menunggu putusan MA, proses pemeriksaan dihenikan oleh masing-masing pengadilan yang terlibat agar dapat dihindarkan penjatuhan putusan yang bertentangan (Yahya Harahap, 2013 : 210). Tindakan penghentian pemeriksaan berpedoman kepada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 1996, antara lain menegaskan bahwa apabila pihak yang berperkara atau ketua pengadilan karena jabatannya mengajukan sengketa kewenangan mengadili kepada MA maka :
60
1) Pengadilan harus menunda pemeriksaan perkara tersebut; 2) Penundaan dituangkan dalam bentuk penetapan; 3) Mengirikan salinan penetapan penundaan kepada pengadilan yang mengadili perkara yang sama; 4) Pengadilan yang menerima alinan penetapan harus menunda pemeriksaan sampai ada putusan MA tentang hal tersebut. Menurut ketentuan dalam SEMA Nomor 1 Tahun 1996 diatas sudah tepat apabila hakim Pengadilan Agama Limboto mengeluarkan penetapan untuk
menunda
pemeriksaan perkara dengan
nomor
27/Pdt.G/2015/PA.Lbt dan mengajukan sendiri perkara sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama Limboto dengan Pengadilan
Negeri
Limboto,
Pengadilan
Agama
Limboto
juga
Pengadilan Agama Limboto telah memberitahukan pada Pengadilan Negeri Limboto bahwa telah diajukan perkara sengketa kewenangan mengadili pada MA yang menyangkut perkara yang ditangani Pengadilan Negeri Limboto Nomor 20/Pdt.G/2015/PN.Lbo.
Pertimbangan hakim Agung dalam memutus perkara sengketa hak milik menjadi Kompetensi Pengadilan Agama Limboto Putusan Sela Nomor 27/Pdt.G/2015/PA.Lbt. tanggal 1 Juli 2015. Salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa "... oleh karena pihak ketiga telah pula mengajukan objek sengketa dimaksud sebagai sengketa hak kepemilikan ke Pengadilan Negeri Limboto dengan Register Perkara Nomor 20/Pdt.G/2015/PN.Lbo, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini terjadi sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. oleh karena itu, untuk adanya kepastian hukum bagi para pihak berpekara dan untuk menghindari kesan rebutan perkara atau terjadinya putusan yang bertolak
61
belakang antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lainnya, berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata, maka Pengadilan Agama Limboto menangguhkan pemeriksaan perkara sampai adanya putusan Mahkamah Agung tentang sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama Limboto dan Pengadilan Negeri Limboto. Juga dalam amar putusan sela yang menyatakan bahwa menerima tuntutan pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara antara Penggugat Rekonvensi melawan Tergugat Rekonvensi dikabulkan Pertimbangan yang pertama Hakim Agung sependapat dengan apa yang diuraikan hakim Pengadilan Agama Limboto bahwa dengan adanya intervensi oleh pihak ketiga atas suatu perkara dalam Pengadilan Agama Limboto terhadap obyek gugatan yang sama dengan perkara yang telah didaftarkan
pada
Pengadilan
20/Pdt.G/2015/PN.Lbo
maka
Negeri telah
Limboto
terjadi
dengan
sengketa
Nomor
kewenangan
mengadili antara Pengadilan Agama Limboto dengan Pengadilan Negeri Limboto. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Limboto yang merujuk pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung untuk meminta petunjuk dan penetapan pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara sengketa kewenangan mengadili sudah tepat sehingga Hakim Agung juga mempertimbangkan hal tersebut guna melanjutkan proses pemeriksaan, juga dengan status penggugat sengketa hak milik pada Pengadilan Negeri Limboto menjadi salah satu pihak yang berperkara pada Pengadilan Negeri Limboto sebagai Penggugat Intervensi. Pertimbangan yang kedua Bahwa yang menjadi masalah pokok dalam perkara ini adalah bahwa Penggugat Intervensi (SL bin Mardun
62
Lihawa) berpendapat bahwa objek perkara merupakan budel waris (termasuk SL bin Mardun Lihawa sebagai salah satu ahli warisnya) sedangkan SSP bin S. Paneo alias RSP berpendapat bahwa objek sengketa adalah harta bersama SSP bin S. Paneo alias RSP dengan istrinya NL binti Mardun Lihawa sehingga SL bin Mardun Lihawa untuk menentukan milik siapa objek sengketa tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Limboto berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tantang Peradilan Agama. Pertimbangan hakim agung yang kedua ini menjelaskan bahwa sebenarnya inti dari perkara sengketa kewenangan hak milik antara Pengadilan Agama Limboto dengan Pengadilan Negeri Limboto terletak pada sengketa hak milik atas suatu obyek perkara yang berupa budel waris antara Penggugat Intervensi dan Tergugat Intervensi I beserta ahli waris yang lain sedangkan menurut Tergugat Intervensi II obyek perkara adalah harta bersama antara dirinya dengan Tergugat Intervensi I. Dengan adanya hal tersebut maka telah terjadi sengketa hak milik atas obyek perkara. Sehingga Penggugat intervensi mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Limboto baru kemudian mengajukan gugatan intervensi ke Pengadilan Agama Limboto. Pertimbangan hakim agung sudah tepat untuk mendapatkan pokok perkara dalam perkara sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama Limboto dengan Pengadilan Negeri Limboto. Pertimbangan ketiga yaitu Bahwa SL bin Mardun Lihawa (Penggugat Intervensi) adalah saudara laki-laki dari NL binti Mardun Lihawa (Penggugat/Tergugat Rekonvensi/Tergugat Intervensi I) yang merupakan sama-sama
ahli
waris dari Alm.
Mardun
Lihawa.
Pertimbangan hakim ketiga yaitu tentang hubungan hukum antara para pihak yang mana hakim agung mempertimbangkan bahwa Penggugat Intervensi adalah saudara laki-laki dari Tergugat Intervensi I yang keduanya bersama ahli waris yang lain merupakan ahli waris yang sah dari Alm. Mardun Lihawa. Pertimbangan hakim agung untuk
63
menentukan apakah ada hubungan hukum antara para pihak yang berperkara di dalam perkara tersebut, sehingga terlihat bahwa Penggugat Intervensi beserta Tergugat Intervensi I merupakan ahli wari dari Alm. Mardun Lihawa. Guna menentukan apakah objek sengketa merupakan harta bersama SSP bin S. Paneo alias RSP dengan NL binti Mardun Lihawa dalam Perkara Gugatan Cerai Nomor 27/Pdt.G/2014/PA.Lbt. adalah wewenang Pengadilan Agama Limboto dan apakah objek sengketa tersebut budel waris yang belum dibagi dalam perkara warisan dari mereka yang beragama Islam juga wewenang Pengadilan Agama Limboto (Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tantang Peradilan Agama). Pertimbangan hakim agung yang terakhir yaitu mengenai fakta hukum yang terjadi dimana perkara perceraian antara SSP bin S. Paneo alias RSP dengan NL binti Mardun Lihawa dalam Perkara Gugatan Cerai Nomor 27/Pdt.G/2014/PA.Lbt. adalah wewenang Pengadilan Agama Limboto karena para pihak yang bercerai merupakan orang yang beragama Islam dan sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perceraian memang salah satu kewenangan Peradilan Agama mengenai perkawinan. Kemudian mengenai kepemilikan obyek perkara, hakim agung menyimpulkan bahwa obyek tersebut merupakan bagian dari budel waris yang belum dibagi hal ini dapat dilihat dari dasar gugatan intervensi dari Penggugat Intervensi yang menyatakan hal tersebut, adapun Penggugat Intervensi mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Limboto itu juga dikarenakan obyek gugatan adalah harta waris yang belum dibagi dan bukan harta bersama meskipun sudah adanya SHM atas nama SSP atau Tergugat Intervensi II. Hakim agung berpendapat bahwa harta waris tersebut dapat dibagi menurut hukum Islam karena Para Pihak yang berperkara adalah orangorang yang beragama Islam, dengan pertimbangan dasar gugatan
64
Penggugat Intervensi adalah waris yang belum dibagi, dan secara prinsip hukum waris orang yang beragama Islam adalah menurut hukum Islam dan hal tersebut menjadi bagian dari kompetensi Peradilan Agama menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Sehingga sangat tepat bahwa Hakim Agung menerapkan Pasal 50 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama guna menjadikan sengketa hak milik Nomor 20/Pdt.G/2015/PN.Lbo pada Pengadilan Negeri Limboto menjadi milik Pengadilan
Agama
Limboto
digabung
dengan
perkara
Nomor
27/Pdt.G/2015/PA.Lbt, prinsip asas personalitas keislaman tercermin dalam pertimbangan hakim agung ini, hal ini diperlihatkan dalam pertimbangan-pertimbangannya yang mengerucut pada status dan hubungan hukum para pihak yang menjurus pada perorangan yang beragama Islam dan hubungan hukum waris dengan agama para pihak, yaitu orang yang beragama Islam sehingga hukum waris Islam sebagai dasar gugatan sengketa hak milik antara keluarga besar tersebut merupakan
hukum
privat
yang
berdasarkan
Hukum
Islam
(http://news.detik.com/berita/3089469/pertama-di-indonesia-ma-adiliduel-pengadilan-agama-vs-pengadilan-negeri, diakses pada hari 5 April 2016 Pukul 21.20 WIB).