62
ANALISIS PENGARUH LMX TERHADAP ORGANIZATIONAL JUSTICE: STUDI EMPIRIS PADA INDUSTRI JASA PERHOTELAN
HARRY YULIANTO STIE YPUP MAKASSAR
ABSTRACT The purpose of this study is to test effect of LMX toward construct of organizational justice at hotel industry. Technique sampling in this study based on convenience sampling. Population in this study are hotel employees in Yogyakarta. There are four variables in this research, such as: Leader-Member Exchange (LMX) as independent variable; distributive justice, procedural justice, and interactional justice as dependent variable. Validity test in this studi using Confirmatory Factor Analysis (CFA), and reliability test using cronbach’s alpha correlation. Hypothesis test using regression analyse. The result of this study shows that LMX has effect possitive toward distributive justice, procedural justice and interactional justice. Keywords: Leader-Member Exchange (LMX), Distributive Justice, Procedural Justice and Interactional Justice. PENDAHULUAN Industri perhotelan Indonesia sudah memiliki manajemen usaha dan dukungan sumberdaya manusia yang cukup memadai. Hal tersebut tidak terlepas kebijakan perusahaan yang mengutamakan kepuasan pelanggan. Keramahtamahan karyawan hotel menjadi fundamental karena mereka adalah ujung tonggak perusahaan, perilaku dan sikap karyawan memainkan peran penting terhadap kualitas layanan. Kepuasan dan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan secara signifikan dipengaruhi oleh perilaku dan sikap layanan karyawan (Parasuraman, Zeithaml & Berry, 1988). Riset leader-focused secara implisit mengasumsikan suatu hubungan antara pemimpin dengan pengikut, sehingga memiliki implikasi fundamental terhadap hubungan antara perilaku pemimpin dan tanggapan pengikut (Howell & Merenda, 1999). Bauer dan Green (1996) menyatakan bahwa dalam mengembangkan hubungan Leader-Member Exchange (LMX), tiap-tiap member of dyadic menanamkan sumberdaya terhadap pengembangan hubungan. Misalnya, pemimpin memberi delegasi kepada bawahannya, dan bawahannya memiliki komitmen yang kuat dalam mencapai pekerjaan atau usaha dan kinerja yang tinggi kepada pemimpin. Pemimpin memperlakukan bawahan secara berbeda, tergantung pada kemampuan yang dimiliki bawahan. Penelitian mengenai LMX telah menunjukkan hubungan nilai high-quality LMX di organisasi (Maslyn & Bien, 2001). Pemimpin dan pengikut dalam hubungan high-LMX selalu menunjukkan peningkatan kepuasan dan keefektifan, sebagai hasil mutual influence terhadap keterbukaan komunikasi, akses pada resources serta extrarole behavior. Pada hubungan low-quality, bawahan menerima akses terhadap atasan lebih sedikit, kekurangan sumberdaya dan informasi, mengalami ketidakpuasan dalam pekerjaan, rendahnya komitmen organisasional dan employee turnover. Persepsi karyawan tentang kualitas pertukaran dalam hubungan atasan-bawahan berpengaruh positif terhadap organizational justice (Lee, 2000).
63
Penelitian yang dilakukan oleh Lee (2000) menyatakan bahwa LMX memiliki hubungan sebagai prediktor yang signifikan positif terhadap procedural justice dan distributive justice. Hal tersebut menunjukkan jika persepsi karyawan tentang kualitas pertukaran dalam hubungan atasan-bawahan meningkat, maka persepsi karyawan meningkat terhadap persepsi procedural justice dan distributive justice. Studi ini bertujuan untuk menguji pengaruh LMX terhadap konstruk organizational justice dalam hubungan interpersonal kerja serta sikap dan perilaku karyawan yang dihubungkan dengan pekerjaan pada industri jasa perhotelan. TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar pemimpin yang berhasil adalah selalu memimpin bawahannya dengan mempelajari dan memberi tanggapan yang sesuai dengan perilaku mereka. Hal itu membuka kemungkinan pengembangan teori kepengikutan dalam melakukan klasifikasi reaksi khas bawahan terhadap pemimpin dalam perilaku yang dapat dikenal, sama seperti gaya kepemimpinan yang dapat diidentifikasi. Juga, membantu pemimpin untuk mengembangkan perilakunya sendiri agar sesuai dalam berinteraksi dengan bawahan. Pada praktik manajemen, peran pemimpin adalah meyakinkan pengikutnya bahwa jika mereka meningkatkan kinerja, maka karyawan patut menerima imbalan yang sesuai. Menurut Steger (dalam Timpe, 1987), ada dua dimensi dasar kepengikutan yaitu keinginan untuk perbaikan kinerja dan pengakuan, serta keinginan menghindari kegagalan. Kedua dimensi tersebut mempengaruhi kesediaan pengikut untuk mengambil risiko terhadap pekerjaan. Sebagian besar pengikut dapat dipimpin secara efektif, jika pemimpin menyadari apa yang dikehendaki dan dihindari oleh pengikut. Teori kepengikutan memiliki implikasi terhadap manajer untuk lebih memahami bawahannya, sehingga dapat bekerja dalam suasana sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh manajemen, serta mereka diberi imbalan untuk meningkatkan motivasi kerja mereka. Riset mengenai pemimpin-bawahan memberikan kontribusi, dapat membawa organisasi ke arah yang lebih baik, karena meninjau kembali hubungan pemimpin dan bawahan yang sudah ada untuk ditingkatkan lebih baik lagi. Hubungan antara pemimpin dan bawahan yang sudah terjalin baik mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Hal itu sesuai dengan teori LMX yang menjelaskan bagaimana pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran yang berbeda selama beberapa waktu dengan berbagai bawahan (Yukl, 1994). Teori LMX sebelumnya disebut sebagai teori Vertical Dyad Lingkage (VDL), karena fokusnya kepada proses timbal balik yang terjadi dalam dyad (dua bagian berupa kesatuan yang berinteraksi). Teori tersebut meneliti hubungan ke bawah maupun ke atas yang dibuat pemimpin, yang memiliki implikasi bagi keefektifan dan kemajuan pemimpin dalam organisasi. Istilah vertical dyad menunjukkan pada hubungan antara pemimpin dan bawahan saja. Dasar pemikiran teori VDL adalah pemimpin biasanya menetapkan hubungan pertukaran yang istimewa dengan sejumlah bawahan yang dipercayainya (in-group) yang berfungsi sebagai asisten. Hubungan pertukaran yang dibangun dengan bawahan yang selebihnya (out-group) secara substansial berbeda. Ada dua pola hubungan LMX yang
64
berpengaruh terhadap persepsi kualitas hubungan pemimpin-bawahan, yaitu pola hubungan out-group yang berdasarkan pertukaran ekonomi, dan pola hubungan in-group yang berdasarkan pertukaran sosial (Moorman, 1991). Menurut teori LMX, hubungan in-group atau out-group awalnya dibangun pada hubungan pemimpin-bawahan sebagai dua pihak yang secara bersamaan menetapkan peran bawahan (Yukl, 1994). Graen dan Cashman (dalam Yukl, 1994) mengatakan bahwa seleksi in-group dibuat atas dasar kesesuaian pribadi, kemampuan serta dapat dipercayai bawahannya. Lebih lanjut, pertukaran out-group lebih pada tingkat saling mempengaruhi yang relatif rendah dan kelompok hanya perlu mematuhi persyaratan yang bersifat formal, seperti: kewajiban, peraturan, prosedur standar serta pengarahan oleh pemimpin. Pertukaran yang bersifat dyadic dengan bawahan pada in-group mengikuti urutan pengembangan yang berbeda dibandingkan dengan pertukaran dengan bawahan pada outgroup. Teori LMX memprediksi bahwa bawahan dalam in-group memiliki kinerja yang tinggi, turnover yang rendah dan kepuasan yang tinggi terhadap atasannya (Robbins, 1998). Teori LMX menjelaskan cara pemimpin mengembangkan hubungan yang berbeda-beda setelah waktu tertentu dengan berbagai bawahannya (Yukl, 1994). Biasanya pemimpin memberi beberapa orang bawahan lebih banyak pengaruh, otonomi dan manfaat-manfaat sebagai imbalan terhadap kesetiaan, komitmen dan bantuan yang lebih besar dalam menjalankan tugas-tugas administratif. Pengaruh ke atas seorang pemimpin adalah sebuah determinan penting terhadap potensi dalam membangun hubungan pertukaran dengan bawahan. Menurut Graen (dalam Lee, 2000), LMX adalah pertukaran hubungan interpersonal antara bawahan dengan atasan. Liden dan Maslyn (dalam Maslyn & Bien, 2001) menyatakan ada empat dimensi hubungan LMX, yaitu: contribution (kinerja tugas melebihi deskripsi pekerjaan yang spesifik), affect (persahabatan dan kesenangan), loyalty (loyalitas dan kesamaan kewajiban) serta professional respect (tanggap terhadap kemampuan profesional). Maslyn dan Bien (2001) menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa dalam hubungan dyad partner antara atasan-bawahan, terdapat hubungan yang signifikan positif pada contribution, professional respect dan loyalty, tetapi tidak ada hubungan signifikan pada affect. Hasil penelitian Maslyn dan Bien (2001) lainnya adalah terdapat hubungan yang kuat antara dyad partner dengan LMX, sehingga hubungan atasan-bawahan secara interaktif mempengaruhi kualitas LMX. Hubungan antara atasan-bawahan sangat berpengaruh terhadap persepsi keadilan bagi karyawan dalam organisasi. Perbedaan in-group dan out-group menentukan persepsi keadilan bawahan. Dansereau, Graen dan Haga (dalam Lee, 2000) menyatakan bahwa bawahan yang tergolong in-group merasakan atasannya lebih adil karena atasan memberikan kebebasan dalam bekerja, memberikan dukungan terhadap tindakan bawahan, serta memberikan keyakinan dan perhatian bagi karyawan, sehingga unsur kepercayaan bawahan terhadap atasan lebih besar dibandingkan out-group. Penelitian Tansky (dalam Lee, 2000) menunjukkan bahwa LMX secara signifikan berhubungan positif terhadap persepsi bawahan dalam organizational justice dan organization citizen behavior. Menurut Cropanzano dan Greenberg (dalam Lee, 2000), organizational justice adalah persepsi keadilan menurut karyawan tentang perlakuan yang diterima dari organisasi. Konsep keadilan di organisasi selalu berhubungan dengan persepsi keadilan karyawan. Karyawan
65
merasakan adil atau tidak berdasarkan ketidakpuasan, baik berupa hasil yang diterima (gaji) atau kebijakan perusahaan. Ketika orang melakukan evaluasi keadilan, mereka menjadi sensitif terhadap dua hal yang berbeda, yaitu structural determinant dan social determinant (Lee, 2000). Pada kasus structural determinant, keadilan dilihat dengan fokus pada bentuk alokasi sumberdaya dan persepsi prosedur, seperti penilaian kinerja, kompensasi karyawan dan resolusi perselisihan managerial. Social determinant tentang keadilan fokus pada perlakuan individu. Structural determinant memastikan keadilan melalui struktur konteks pembuatan keputusan, sedangkan social determinant memastikan keadilan melalui konsentrasi pada perlakuan interpersonal yang diterima karyawan (Yulianto, 2006). Greenberg (dalam Lee, 2000) mengusulkan klasifikasi yang menunjukkan penggolongan peran faktor sosial dalam konsep keadilan. Klasifikasi tersebut didesain untuk menggambarkan perbedaan antara structural determinant dan social determinant tentang keadilan pada sudut pandang distributive justice dan procedural justice. Klasifikasi keadilan mencangkup penggolongan dengan kombinasi kategori keadilan seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Klasifikasi Keadilan Focal Determinant Procedural Justice Struktural Systematic justice Sosial Informational justice Sumber: Greenberg (dalam Lee, 2000).
Distributive Justice Configural justice Interactional justice
Configural justice mengacu pada tipe distributive justice yang disempurnakan melalui pengertian struktural. Distribusi alokasi reward disusun sesuai dengan norma sosial seperti keadilan dan persamaan, atau melalui keinginan untuk mencapai beberapa tujuan instrumental (minimisasi konflik atau promosi produktivitas). Semua hal tersebut merupakan cara menyusun alokasi reward. Interpersonal justice atau disebut juga interactional justice berkenaan dengan aspek sosial distributive justice. Interactional justice menunjukkan kepedulian individual yang berkaitan dengan hasil distributif yang mereka peroleh. Systematic justice berhubungan dengan proses keadilan yang dipengaruhi oleh faktor lainnya diluar proses keputusan dan keputusan pengawasan. Informational justice mengacu pada determinan sosial procedural justice. Informational justice dilihat sebagai pembuktian prosedur knowledge yang menunjukkan kepedulian orang-orang (Yulianto, 2006). Cropanzano dan Folger (dalam Lee, 2000) menyatakan bahwa ada tiga tipe organizational justice, yaitu: distributive justice, procedural justice dan interactional justice. Distributive justice merupakan persepsi keadilan yang berkaitan dengan hasil, misalnya keputusan pengupahan, penilaian kinerja serta keputusan pemutusan hubungan kerja (Yulianto, 2005). Procedural justice berhubungan dengan persepsi ketika proses yang digunakan untuk membuat keputusan adil. Interactional justice berkaitan dengan persepsi ketika agen organisasional mengimplementasikan prosedur secara adil, dengan memperlakukan orang secara hormat dan menjelaskan keputusan secara baik. Kualitas perlakuan interpersonal diperoleh melalui prosedur peraturan organisasional, seperti: menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan karyawan, memperlakukan karyawan dengan rasa hormat, interaksi yang sopan dengan karyawan dan kepekaan hubungan antar individu.
66
Menurut Leventhal (dalam Lee, 2000) ada enam atribut procedural justice sebagai persepsi keadilan, yaitu: consistency, bias-suppression, accuracy, correctabilty, ethichality dan representativeness. Consistency adalah prosedur yang harus konsisten terhadap karyawan dan sepanjang waktu. Bias-suppression merupakan bias personal pembuat keputusan yang seharusnya tidak memainkan suatu peran. Accuracy adalah prosedur yang harus dipersepsikan secara akurat, misalnya prosedur yang jelas untuk mengidentifikasi orang yang masuk kualifikasi kerja. Correctabilty adalah mekanisme memperbaiki jika ada kekeliruan yang dibuat. Ethichality merupakan keputusan yang dibuat harus sesuai dengan standar etik yang berlaku. Representativeness adalah mempertimbangkan pengaruh pembuatan keputusan terhadap individu. Hasil penelitian Lee (2000) menunjukkan hubungan yang signifikan positif antara LMX dengan distributive justice dan procedural justice. Hubungan positif antara LMX dan distributive justice konsisten dengan hasil riset Andrew dan Kacmar (2001). Hal itu berarti apabila persepsi karyawan dalam hubungan pertukaran atasan-bawahan meningkat, maka persepsi karyawan terhadap distributive justice dan procedural justice juga meningkat. Hasil penelitian Lamertz (2002) tentang hubungan karyawan dengan manajer terhadap interactional justice menunjukkan hubungan yang signifikan, berarti hubungan tersebut sesuai dengan konsep sosial kapital yang menyatakan bahwa karyawan dengan sejumlah kontrak diantara personel manajemen mendapat perlakuan interpersonal yang adil, karena pengalaman mereka terhadap identifikasi sosial dengan out-group organisasional. Pada hubungan LMX dengan persepsi organizational justice karyawan, atasan memiliki peran penting terhadap persepsi keadilan bawahan, karena secara tidak langsung persepsi keadilan ditentukan oleh penilaian kinerja yang dilakukan oleh atasan. Semakin tinggi kinerja bawahan, maka hasil yang diterima oleh bawahan semakin adil. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disusun hipotesis sebagai berikut. Hipotesis 1: Leader-Member Exchange (LMX) berpengaruh positif terhadap persepsi distributive justice karyawan. Hipotesis 2: Leader-Member Exchange (LMX) berpengaruh positif terhadap persepsi procedural justice karyawan. Hipotesis 3: Leader-Member Exchange (LMX) berpengaruh positif terhadap persepsi interactional justice karyawan. METODE PENELITIAN Teknik penentuan sampel pada studi ini didasarkan convenience sampling, karena jumlah populasi tidak diketahui, sehingga sampel framenya tidak diketahui (Cooper & Emory, 1999). Populasi pada riset ini adalah karyawan hotel di Yogyakarta. Semua bawahan yang mempunyai atasan tercakup dalam studi ini. Penentuan sample size dilakukan berdasarkan rule of thumb, yaitu sample size harus beberapa kali lipat (sepuluh kali atau lebih) dari jumlah variabel penelitian (Sekaran, 1992). Target sampel studi ini adalah karyawan pada berbagai departemen yang ada di tiap hotel, seperti: security, engineering, housekeeper, financial, sales, HRD, serta food and beverage. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan survei yang diisi sendiri oleh responden.
67
Ada empat variabel dalam penelitian ini, yaitu: Leader-Member Exchange (LMX) sebagai variabel independen; distributive justice, procedural justice, dan interactional justice sebagai variabel dependen. 1. Kualitas LMX diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Scandura dan Graen (dalam Lee, 2000), dengan 7-item skala Likert antara (1) sangat tidak setuju sampai (7) sangat setuju. Terdapat tujuh item pertanyaan, contoh item adalah atasanku mengenali potensiku. 2. Persepsi distributive justice diukur dengan Distributive Justice Index (DJI) yang dikembangkan oleh Price dan Mueller (dalam Lee, 2000). Terdapat lima item pertanyaan, contoh item adalah atasanku memberi penghargaan yang adil kepada saya ketika saya menganggap telah melakukan pekerjaan dengan baik. DJI mengukur tingkat penghargaan yang diterima oleh karyawan dihubungkan dengan performance input. Masing-masing item menjelaskan tingkat kepercayaan responden bahwa ia wajar diberi penghargaan atas dasar responsibility, education, training, effort, stresses dan strains of job, serta performance. Distributive justice diukur menggunakan 7-item skala Likert dengan range yang berkisar antara (1) sangat tidak setuju sampai (7) sangat setuju. 3. Persepsi procedural justice diukur menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Niehoff dan Moorman (dalam Lee, 2000). Terdapat lima belas item pertanyaan yang terdiri atas dua faktor, yaitu systematic (contoh item adalah atasanku membuat keputusan pekerjaan dengan cara yang tidak memihak) dan informational justice (contoh item adalah ketika keputusan mengenai pekerjaanku telah dibuat, atasanku memperlakukan aku dengan baik dan perhatian). Di antara 15 item, enam item mengukur job decision dan sembilan item mengukur appeals process. Procedural justice diukur dengan 7-item skala Likert dengan range yang berkisar antara (1) sangat tidak setuju sampai (7) sangat setuju. 4. Persepsi interactional justice diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Moorman (dalam Masterson, 2001). Terdapat enam item pertanyaan, contoh item adalah atasanku menunjukkan kepeduliannya terhadap hak-hak karyawan. Interactional justice diukur menggunakan 7-item skala Likert dengan range yang berkisar antara (1) sangat tidak setuju sampai (7) sangat setuju. Data riset menjadi tidak berguna apabila instrumen penelitian yang digunakan tidak memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi (Cooper & Emory, 1999). Suatu instrumen memiliki validitas tinggi, jika dapat memberikan hasil ukuran yang sesuai dengan tujuan pengujian instrumen tersebut. Pengujian validitas pada studi ini menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), yaitu suatu proses identifikasi konstruk yang relevan pada fenomena tertentu. Menurut Hair, Anderson, Tatham dan Black (1998), nilai loading factor sebesar 0.4 dianggap lebih baik dan sesuai dengan rule of thumb. Studi ini menggunakan nilai loading factor sebesar sebesar 0.40, sehingga apabila indikator lebih besar dari nilai tersebut dianggap valid. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan korelasi cronbach’s alpha, yaitu proses identifikasi reliabilitas dan konsistensi instrumen penelitian. Nilai korelasi cronbach’s alpha yang dianggap acceptable antara 0.6 – 0.8 (Cooper & Schindler, 2001). Penelitian ini menggunakan Cronbach’s alpha sebesar 0.6, sehingga apabila instrumen mencapai nilai tersebut sudah dianggap reliable. Pada studi ini, uji hipotesis menggunakan analisis regresi.
68
HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitan Total kuesioner yang telah didistribusikan pada 11 hotel adalah 380. Kuesioner yang telah kembali sejumlah 367, dengan respond rate 96.58%. Ada 49 kuesioner yang terliminasi, karena data yang tidak lengkap diisi oleh responden. Sample size untuk analisis data adalah 318. Karakteristik reponden menunjukkan sebagian besar responden berstatus karyawan fulltime (96.22%) dan berpendidikan diploma (53.45%). Jumlah responden pria sebesar 213 (66.98%) dan jumlah responden wanita sebesar 105 (33.01%). Lama kerja responden yang lebih dari 10 tahun sampai 15 tahun adalah 37.42%. Jenis pekerjaan responden sebagian besar adalah food and beverage (22.01%). Hasil deskriptif statistik variabel penelitian ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2. Deskriptif Statistik Variable
Min Max Mean SD
1. Leader-member exchange 18 49 35.28 6.99 2. Distributive justice 11 35 25.50 5.28 3. Procedural justice 33 105 74.88 15.50 4. Interactional justice 19 42 31.66 4.97 All correlation is significant at level 0.01 (2-tailed). Sumber: data diolah.
Correlation 2 3 4 1 0.78 1 0.85 0.83 1 0.75 0.74 0.83 1 1
Hasil uji MANOVA menunjukkan ada tidaknya perbedaan yang nyata antara variabelvariabel penelitian (LMX, DJ, PJ, dan IJ) dengan karakteristik demografi responden. Asumsi yang digunakan pada pengujian MANOVA adalah Box’s M dan Levene. 1. Asumsi Box’s M digunakan untuk menguji ada tidaknya kesamaan matrik varianskovarians antara variabel penelitian dengan variabel karakteristik responden. Apabila probabilitas Box’s M lebih besar dari 0.001, maka variabel penelitian (LMX, DJ, PJ, dan IJ) mempunyai matrik varians-kovarians yang sama dengan group karakteristik responden (jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan dan lama kerja). Tetapi, jika probabilitas Box’s M lebih kecil dari 0.001, berarti keempat variabel penelitian mempunyai matrik varians-kovarians yang berbeda dengan group karakteristik responden. 2. Asumsi Levene digunakan untuk menguji ada tidaknya kesamaan matrik varians-kovarians antara variabel penelitian tertentu dengan group karakteristik responden. Apabila hasil signifikasi Levene lebih besar dari 0.001, berarti keempat variabel penelitian tertentu (LMX atau DJ atau PJ atau IJ) mempunyai matrik varians-kovarians yang sama dengan group karakteristik responden. Tetapi, jika hasil signifikasi Levene lebih kecil dari 0.001, berarti keempat variabel penelitian tertentu (LMX atau DJ atau PJ atau IJ) mempunyai matrik varians-kovarians yang berbeda dengan group karakteristik responden. Hasil pengujian MANOVA disajikan pada tabel berikut ini.
69
Tabel 3. Hasil Uji MANOVA Asumsi Variabel Gender Education Status 0.093* 0.027* 0.007* Box's M 0.16* 0.227* 0.031* LMX 0.02* 0.916* 0.056* DJ Levene 0.017* 0.613* 0.06* PJ 0.824* 0.998* 0.515* IJ * Signifikan pada level 0.001 Sumber: data diolah.
Title Tenure 0 0.001 0.437* 0.088* 0.599* 0.041* 0.096* 0.024* 0.565* 0.056*
Box’s M menunjukkan nilai signifikasi jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status pekerjaan pada level 0.093, 0.027, dan 0.007. Hasil tersebut jauh diatas 0.001, sehingga matrik varians-kovarians pada variabel dependen (LMX, DJ, PJ dan IJ) adalah sama untuk setiap group jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status pekerjaan responden. Pada asumsi Levene untuk keempat variabel penelitian tertentu (LMX atau DJ atau PJ atau IJ) jauh diatas 0.001. Hal tersebut berarti matrik varians-kovarians pada variabel penelitian secara individu adalah sama untuk setiap group jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan dan lama kerja responden. Penelitian ini menggunakan nilai loading factor sebesar 0.40, sehingga apabila indikator mencapai nilai tersebut dianggap valid. Perhitungan analisis faktor konfirmatori disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Hasil CFA dan Reliabilitas Variabel
Estimasi
Alpha
Variabel
0.9175
Estimasi
Alpha
Variabel
0.9626 0.818
DJ dj 1
Estimasi
Alpha
Variabel
Estimasi
0.8925 0.893
IJ ij 1
0.767
LMX lmx 1
0.735
PJ pj 1
lmx 2
0.824
pj 2
0.771
dj 2
0.633
ij 2
0.223*
lmx 3
0.828
pj 3
0.848
dj 3
0.925
ij 3
0.843
lmx 4
0.781
pj 4
0.787
dj 4
0.562
ij 4
0.851
lmx 5
0.781
pj 5
0.821
dj 5
0.896
ij 5
0.375*
lmx 6
0.731
pj 6
0.793
ij 6
0.817
lmx 7
0.811
pj 7
0.85
pj 8
0.841
pj 9
0.614
pj 10
0.856
pj 11
0.847
pj 12
0.831
pj 13
0.881
pj 14
0.836
pj 15
0.56
* tidak signifikan
Sumber: data diolah.
Alpha 0.894
70
Pada hasil tabel CFA, menunjukkan kesemua indikator variabel LMX (7 item), DJ (5 item), dan PJ (15 item) menunjukkan hasil lebih besar dari 0.40. Hal tersebut berarti semua indikator variabel LMX, DJ, dan PJ yang digunakan merupakan indikator-indikator unidimensional (memberikan dimensi tunggal pada faktor yang dianalisis). Sedangkan, indikator variabel yang memiliki nilai loading factor dibawah 0.4, yaitu IJ (ij 2 dan ij 5) sehingga tidak diikutkan pada pengujian selanjutnya. Hasil uji reliabilitas pada tabel menunjukkan bahwa cronbach’s alpha variabel LMX (0.9175), DJ (0.8925), PJ (0.9626) dan IJ (0.894) menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0.6. Hal tersebut berarti variabel yang dipergunakan dalam studi tersebut adalah reliable. Hipotesis diuji menggunakan alat analisis IBM SPSS Statistics 21. Hasil pengujian hipotesis studi ini sebagai berikut: 1. Pengaruh LMX terhadap distributive justice Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengaruh LMX terhadap distributive justice menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai 0.945 pada taraf signifikansi sebesar 0.01 (1%). Hal ini berarti bahwa hubungan kausal LMX DJ tidak sama dengan nol, dengan kata lain LMX berpengaruh pada DJ. Hasil perhitungan tersebut mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi kualitas hubungan atasan-bawahan dengan karyawan, maka semakin tinggi persepsi distributive justice. Hasil ini mendukung hasil riset Lee (2000) yang menyatakan bahwa LMX mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap distributive justice. 2. Pengaruh LMX terhadap procedural justice Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengaruh LMX terhadap procedural justice menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai 1.023 pada taraf signifikansi sebesar 0.01 (1%). Hal ini berarti bahwa hubungan kausal LMX PJ tidak sama dengan nol, dengan kata lain LMX berpengaruh pada PJ. Hasil perhitungan tersebut mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi kualitas hubungan atasan-bawahan dengan karyawan, maka semakin tinggi persepsi procedural justice. Hasil ini mendukung hasil riset Lee (2000) yang menyatakan bahwa LMX mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap procedural justice. 3. Pengaruh LMX terhadap interactional justice Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengaruh LMX terhadap interactional justice menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai 0.954 pada taraf signifikansi sebesar 0.01 (1%). Hal ini berarti bahwa hubungan kausal LMX IJ tidak sama dengan nol, dengan kata lain LMX berpengaruh pada IJ. Hasil perhitungan tersebut mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi kualitas hubungan atasan-bawahan dengan karyawan, maka semakin tinggi juga persepsi interactional justice. Hasil ini mendukung hasil riset Lamertz (2002), serta Cropanzano, Prehar dan Chen (2002) yang menyatakan bahwa LMX mempunyai korelasi positif yang signifikan terhadap interactional justice.
71
Gambar 1. Hasil Pengujian Hipotesis DJ 0,94 5 LM X
1,02 3 0,95 4
PJ
IJ
Signifikan pada level 0.01 (1%). Sumber: data diolah. Pembahasan LMX menunjukkan hasil yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap distributive justice, procedural justice dan interactional justice, sebagaimana yang dihipotesiskan. Apabila persepsi karyawan tentang kualitas hubungan pertukaran pemimpin-anggota meningkat, maka persepsi karyawan tentang distributive justice, procedural justice dan interactional justice juga meningkat. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wech (2002), Lee (2000), serta Andrew dan Kacmar (2001) tentang pengaruh kualitas hubungan pemimpin-bawahan terhadap persepsi keadilan bawahan. Pada karyawan in-group, procedural justice menunjukkan hasil yang lebih besar terhadap kualitas hubungan karyawan dengan atasan yaitu 1.023, jika dibandingkan dengan distributive justice (0.945) dan interactional justice (0.954). Persepsi karyawan tentang keadilan dapat meningkat, ketika karyawan merasakan mereka lebih memiliki nilai sebagai anggota group. Hasil penelitian ini juga menunjukkan konfirmasi hubungan antara konstruk LMX dan organizational justice (distributive justice, procedural justice dan interactional justice). Asumsi yang ada selama ini adalah variabel interactional justice hanya menjadi bagian dari variabel procedural justice, hal sama juga dialami oleh variabel procedural justice yang pada awalnya juga menjadi bagian dari variabel distributive justice. Studi ini mengindikasikan bahwa variabel interactional justice dapat berdiri sendiri sebagai konstruk yang menggambarkan hubungannya dengan variabel LMX, padahal selama ini variabel interactional justice tidak banyak disorot dalam penelitian organizational justice. Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian Cropanzano, Prehar dan Chen (2002), bahwa interactional justice merupakan konstruk yang berbeda dengan procedural justice. Hasil studi ini juga mengindikasikan bahwa LMX memiliki pengaruh langsung yang lebih besar terhadap variabel interactional justice (0.95) apabila dibandingkan dengan distributive justice (0.94), padahal distributive justice merupakan konstruk organizational justice yang seringkali dipergunakan pada studi organizational justice. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa persepsi keadilan dari hasil perlakuan hubungan interpersonal antara subordinate dengan supervisor lebih besar apabila dibandingkan persepsi keadilan yang berkaitan dengan hasil (keputusan pengupahan, penilaian kinerja atau keputusan pemutusan hubungan kerja). Karyawan merasa telah diperlakukan dengan baik dan perhatian oleh atasan, karena menunjukkan kepeduliannya terhadap hak-hak karyawan, sehingga akibat hal tersebut terjalin suatu hubungan kerja yang efektif antara atasan dan bawahan.
72
KESIMPULAN Tujuan studi untuk menguji pengaruh LMX terhadap konstruk organizational justice dalam hubungan interpersonal kerja serta sikap dan perilaku karyawan yang dihubungkan dengan pekerjaan pada industri jasa perhotelan. Terdapat tiga hipotesis dalam studi ini yang kesemua hasilnya menunjukkan bahwa LMX secara signifikan berpengaruh positif terhadap distributive justice, procedural justice dan interactional justice. Hasil studi ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wech (2002), Lee (2000), serta Andrew dan Kacmar (2001) tentang pengaruh kualitas hubungan pemimpin-bawahan terhadap persepsi keadilan bawahan. Hasil studi ini dapat dimaknai bahwa persepsi karyawan tentang keadilan dapat meningkat, ketika karyawan merasakan mereka lebih memiliki nilai sebagai anggota group dan diperlakukan dengan baik oleh atasannya. DAFTAR PUSTAKA Andrew, M.C., & Kacmar, K.M. 2001. Discriminating among organizational politics, justice and support. Journal of Organizational Behavior. 22: 347-366. Bauer, T.N., & Green, S.G. 1996. Development of leader-member exchange: a longitudinal test. Academy of Management Journal, 39 (6): 1536-1567. Cooper, D.R., & Emory, C.W.1999. Business Research Methods. 5th edition. Richard D. Irwin. Inc. Cooper, D.P., & Schindler, P.S. 2001. Business Research Methods. 7th edition. McGraw Hill. Cropanzano, R., Prehar, C.A., & Chen, P.Y. 2002. Using social exchange theory to distinguish procedural from interactional justice. Group & Organization Management. 27 (3): 324-351. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C. 1998. Multivariate Data Analysis. 4th edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Howell, J.N., & Merenda, K.E.H. 1999. The ties that bind: the impact of leader member exchange, transformational and transactional leadership, and distance on predicting follower performance. Journal of Applied Psychology, 84 (5): 680-694. Lamertz, K. 2002. The social construction of fairness: social influence and sense making in organizations. Journal of Organization Behavior. 23: 19-37. Lee, H.R. 2000. An empirical study of organizational justice as mediator of the relationship among leader-member exchange and job satisfaction, organizational commitment, and turnover intentions in the lodging industry. Unpublished Ph.D dissertations. Department of Hospitality and Tourism Management. Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg, Virginia. Maslyn, J.M., & Bien, M.U. 2001. Leader-member exchange and its dimensions: effects of self-effort and other’s effort on relationship quality. Journal of Applied Psychology, 86 (4): 697-708. Masterson, S.S. 2001. A trickle-down model of organizational justice: relating employees’ and customers’ perceptions of and reaction to fairness. Journal of Applied Psychology, 86 (4): 594-604. Moorman, R.H. 1991. Relationship between organizational justice and organizational citizenship behaviors: Do fairness perceptions influence employee citizenship? Journal of Applied Psychology, 76 (6): 845-855. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., & Berry, L.L. 1988. SERVQUAL: A multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service quality. Journal of Retailing, 64 (1): 1240.
73
Robbins, S.P. 1998. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. 8th edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Upper Saddle River. Sekaran, U. 1992. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. New York: John Wiley & Sons. Inc. Timpe, D.A. 1987. The Art and Science of Business Management Leadership. New York: KEND Publishing, Inc. Wech, B.A. 2002. Trust context. Effect on organizational citizenship behavior, supervisory fairness, and job satisfaction beyond the influence of leader-member exchange. Business and Society. 41 (3): 353-360. Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs. Yulianto, H. 2005. Analisis Pengaruh Distributive Justice Terhadap Turnover Intentions Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Pemediasi. Jurnal Fenomena,2 (2): 131-147. Yulianto, H. 2006. Dimensi-Dimensi Organizational Justice: Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Fenomena,3 (2): 156-170.