Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan TRIWULAN II 2014
KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH I SULAWESI MALUKU PAPUA
Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/Publikasi/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh dengan menghubungi: Divisi Asesmen Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I Sulawesi Maluku Papua (Sulampua) Jl. Jenderal Sudirman No. 3 Makassar 90113, Indonesia Telepon: 0411 – 3615188/3615189 Faksimili: 0411 – 3615170
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar Laporan Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) disusun dan disajikan setiap triwulan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I – Sulawesi Maluku Papua (Sulampua), mencakup aspek pertumbuhan ekonomi, keuangan pemerintah, inflasi, sistem keuangan dan pengembangan akses keuangan, sistem pembayaran dan pengelolaan uang, ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat, serta prospek perekonomian ke depan. Kajian ekonomi daerah disamping bertujuan untuk memberikan masukan bagi Kantor Pusat Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan moneter maupun makroprudensial, juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi para stakeholders di daerah dalam membuat keputusan. Keberadaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) di daerah diharapkan dapat semakin berperan sebagai strategic partner bagi stakeholders di wilayah kerjanya. Pada triwulan II 2014, ekonomi Sulsel tetap mampu tumbuh tinggi sebesar 7,34% (yoy), meskipun melambat dibandingkan triwulan I 2014 yang tumbuh 8,01% (yoy). Kinerja perekonomian Sulsel tersebut searah dengan perekonomian nasional dan beberapa daerah lain yang juga tumbuh melambat. Penurunan kinerja sektor pertambangan dan kelompok sektor tersier menjadi penyebab menurunnya laju pertumbuhan ekonomi Sulsel. Pengaturan ekspor mineral mentah secara langsung menurunkan kinerja ekspor pertambangan Sulsel meskipun tidak sedalam yang terjadi pada provinsi lain di wilayah KTI. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tersebut, disisi lain masih mandapat tantangan berupa meningkatnya jumlah penduduk miskin serta relatif tetapnya tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat. Perkembangan harga di Sulsel pada triwulan laporan masih pada level yang relatif stabil yaitu 5,92%. Prestasi tersebut sebagai hasil dari terkendalinya keseimbangan antara pasokan dan permintaan kebutuhan pokok masyarakat, yang antara lain disumbang oleh peran TPID Sulsel dengan pihak yang terkait baik dalam koordinasi maupun penguatan kelembagaan. Dalam penyusunan laporan ini, Bank Indonesia memanfaatkan data serta informasi dari berbagai institusi baik secara langsung yaitu melalui survei dan liaison maupun dari data yang sudah tersedia. Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik berupa pemikiran maupun penyediaan data/informasi secara kontinyu, tepat waktu, dan reliable. Saran serta masukan dari para pengguna sangat kami harapkan untuk menghasilkan laporan yang lebih baik ke depan.
Makassar, 15 Agustus 2014 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I - Sulampua
Suhaedi Direktur Eksekutif
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
iii
VISI BANK INDONESIA Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil.
MISI BANK INDONESIA 1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. 2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. 3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional. 4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka melaksanakan tugas yang diamanatkan UU.
NILAI-NILAI STRATEGIS Merupakan nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity – Professionalism – Excellence – Public Interest – Coordination and Teamwork.
iv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
DAFTAR ISI
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
III
DAFTAR ISI
V
RINGKASAN EKSEKUTIF
1
TABEL INDIKATOR EKONOMI
5
1.
9
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
1.1. PERTUMBUHAN EKONOMI 1.2. SISI PERMINTAAN 1.3. SISI PENAWARAN
10 10 15
2.
25
KEUANGAN PEMERINTAH
2.1. STRUKTUR ANGGARAN 2.2. PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN
26 26
3.
INFLASI DAERAH
29
3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
INFLASI KELOMPOK BARANG DAN JASA INFLASI MENURUT KOTA IHK DISAGREGASI INFLASI KOORDINASI PENGENDALIAN INFLASI
30 35 36 37
4.
SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
41
4.1. KONDISI UMUM PERBANKAN 4.2. STABILITAS SISTEM KEUANGAN 4.3. PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
42 45 46
5.
49
SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
5.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN 5.2. PENGELOLAAN UANG TUNAI
50 51
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
v
DAFTAR ISI
6.
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
53
6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
TENAGA KERJA PENDUDUK MISKIN RASIO GINI NILAI TUKAR PETANI
54 55 56 56
7.
PROSPEK PEREKONOMIAN
59
7.1. PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI 7.2. PROSPEK INFLASI
60 63
LAMPIRAN
67
DAFTAR BOKS BOKS 1.A. KINERJA EKSPOR INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO
22
BOKS 2.A. PENINGKATAN INTENSITAS KOORDINASI TPID SE-SULSEL
38
BOKS 2.B. MENGURAI PERMASALAHAN LOGISTIK: ISU MENDASAR WILAYAH INDONESIA TIMUR
39
vi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
RINGKASAN EKSEKUTIF
Ringkasan Eksekutif
Gambaran Umum Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan II 2014 tumbuh melambat.
Pada triwulan II 2014, ekonomi Sulsel tumbuh sebesar 7,34% (yoy), di bawah triwulan I 2014 (8,01%, yoy). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Sulsel tetap lebih tinggi daripada pertumbuhan nasional triwulan II 2014 sebesar 5,12% (yoy). Sementara tekanan inflasi tercatat stabil di triwulan laporan, sebesar 5,92% (yoy), relatif sama dengan triwulan I 2014. Stabilnya inflasi didorong oleh seimbangnya antara pasokan dan permintaan, disertai koordinasi yang optimal. Kondisi sistem keuangan menunjukkan indikator perbankan masih dalam tendensi yang melambat, namun tetap dalam risiko yang terjaga. Di sisi lain, transaksi nontunai melalui sarana RTGS mampu tumbuh cukup tinggi. Ke depan, tantangan dalam peningkatan produktivitas sektor utama harus diatasi, untuk menjaga tingkat pertumbuhan yang berkualitas. Beberapa faktor risiko tekanan inflasi harus diwaspadai, antara lain ekspektasi masyarakat menghadapi hari besar keagamaan, kenaikan administered price, dan gejala el-nino. Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Konsumsi, investasi, dan ekspor melemah, terkait menurunnya kinerja sektor utama.
Perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) pada triwulan II 2014 mengalami perlambatan, didorong turunnya kinerja sektor tambang dan kelompok sektor tersier non perdagangan. Pertumbuhan ekonomi Sulsel pada triwulan laporan tercatat sebesar 7,34% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,01% (yoy). Dari sisi permintaan, perlambatan yang terjadi disebabkan oleh melemahnya kinerja di hampir seluruh komponen. Dari sisi penawaran atau produksi, perlambatan terjadi pada sektor pertambangan dan kelompok sektor tersier (kecuali sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR)). Melemahnya sektor-sektor ekonomi utama tersebut, berdampak pada melemahnya tingkat pendapatan masyarakat serta deselerasi ekspor. Konsumsi pemerintah yang masih rendah juga turut memengaruhi kinerja subsektor jasa pemerintah. Keuangan Pemerintah
APBD: peningkatan belanja tidak dibarengi kenaikan pendapatan.
Persentase realisasi belanja APBD Provinsi Sulsel semester I 2014 meningkat dibanding semester I 2013. Sementara dari sisi pendapatan, persentase realisasi pendapatan daerah menurun dari periode yang sama tahun 2013. Namun demikian, persentase realisasi belanja maupun pendapatan cenderung masih di bawah 50%. Realisasi belanja pegawai cenderung lebih tinggi daripada penyerapan belanja infrastruktur (belanja modal). Dari sisi pendapatan, realisasi pendapatan daerah masih mengandalkan pajak kendaraan. Untuk meningkatkan pencapaian pendapatan, Pemerintah Provinsi meningkatkan pelayanan dengan menambah kantor dan optimalisasi pajak kendaraan bermotor.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Inflasi Daerah Inflasi Sulsel triwulan II 2014 stabil, antara lain karena peran TPID.
Pada triwulan II 2014, inflasi Sulsel tercatat sebesar 5,92% (yoy), relatif sama dengan inflasi triwulan I 2014. Meskipun tetap ada gangguan produksi ikan dan naiknya tingkat permintaan beberapa komoditas utama, namun koordinasi antar pihak mampu meredam tekanan harga. Pasokan ikan yang terganggu karena kendala cuaca yang tidak menentu serta arah angin yang kurang menguntungkan menyebabkan inflasi pada komoditas bahan makanan. Bahkan permintaan meningkat selama triwulan II 2014, dengan banyaknya kegiatan masyarakat menjelang Ramadhan. Meskipun demikian, terkendalinya inflasi pada skala tertentu tidak terlepas dari kontribusi TPID. Kelembagaan TPID bertambah jumlahnya, seiring terbentuknya TPID kabupaten/kota, dengan kegiatan koordinasi yang semakin intensif.
Sistem Keuangan dan Pengembangan Akses Keuangan Intermediasi perbankan melambat, namun risiko masih dalam batas aman.
Kinerja pembiayaan perbankan di Sulsel pada triwulan II 2014 melambat, namun dengan risiko yang tetap terkendali. Kegiatan intermediasi (LDR) sedikit menurun pada triwulan II 2014 menjadi sebesar 129,21% dari triwulan sebelumnya (130,45%). Kredit konsumsi dan investasi melambat, namun kredit modal kerja masih terakselerasi. Sementara penghimpunan giro dan deposito masih meningkat, mendorong akselerasi penghimpunan DPK. Di sisi lain, risiko kredit perbankan masih terjaga dengan baik. Rasio Non Performing Loans (NPLs) bank umum masih berada pada level aman, antara lain pada sektor korporasi, rumah tangga, maupun UMKM. Namun demikian, perlu ada perhatian khusus pada kualitas kredit yang disalurkan bagi korporasi pertambangan. Sementara itu, pertumbuhan aset bank umum mengalami peningkatan karena didorong oleh pertumbuhan aset bank pemerintah maupun bank asing dan bank campuran.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Masih relative tingginya pertumbuhan ekonomi tercermin pada volume RTGS.
Perkembangan perputaran uang dalam RTGS menunjukkan peningkatan pada triwulan II 2014. Transaksi keuangan nontunai melalui Real Time Gross Settlement (BIRTGS) tumbuh cukup tinggi pada triwulan laporan, setelah sebelumnya mengalami kontraksi. Sementara itu, transasksi keuangan melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) masih turun. Faktor musiman memengaruhi pergerakan aliran uang kartal pada triwulan II 2014. Meski masih mengalami net inflow, aliran uang yang ditarik mulai menunjukkan peningkatan seiring akan dimulainya Ramadhan dan persiapan Lebaran. Kegiatan penarikan uang dinilai akan terus meningkat hingga awal triwulan mendatang. Adapun pengelolaan uang tunai oleh Bank Indonesia dilakukan dengan melakukan layanan penukaran uang, kas keliling, remise, pemusnahan uang tidak layak edar, dan edukasi ciri-ciri keaslian mata uang, sebagai upaya implementasi kebijakan clean money policy.
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Tingkat pengangguran dan kesejahteraan relatif tidak berubah signifikan.
2
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Selatan mencapai 5,80% (Sakernas Februari 2014) atau relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya 5,83% (Februari 2013). Selain itu, tingkat kesejahteraan yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) triwulan I 2014 terpantau membaik dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga Maret 2014 meningkat dibanding September 2013 baik di kota maupun di desa yaitu tumbuh sebesar 9,73% (yoy). Persentase tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat dari naiknya garis batas kemiskinan. Kendati demikian, kenaikan garis batas kemiskinan Maret 2014 tercatat melambat dibandingkan dengan September 2013 yang disebabkan oleh penurunan inflasi Maret 2014.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
RINGKASAN EKSEKUTIF
Prospek Perekonomian Pertumbuhan ekonomi Sulsel pada triwulan III 2014, akan kembali meningkat dengan tingkat inflasi yang terkendali.
Perekonomian Sulsel pada triwulan III 2014 dan untuk keseluruhan tahun 2014, masing-masing diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 7,1% - 8,1% (yoy) dan 7,0% 8,0% (yoy). Pencapaian tersebut akan tetap lebih baik jika dibandingkan dengan ekonomi nasional. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik (konsumsi dan investasi) yang tetap kuat. Sementara itu, kegiatan ekspor diperkirakan masih akan tertekan oleh pelemahan permintaan luar negeri. Di sisi penawaran, hampir semua sektor mengalami akselerasi, didorong oleh faktor musiman dan permintaan domestik. Sektor pertanian diperkirakan melambat, karena curah hujan yang cenderung lebih rendah, dan keterbatasan produksi perkebunan. Tekanan harga hingga triwulan III 2014 dan akhir tahun 2014 diprakirakan tetap terkendali, dengan besaran masuk dalam rentang target inflasi nasional. Masih kuatnya permintaan masyarakat saat Ramadhan/Idul Fitri direspons dengan ketersediaan dan produksi yang mencukupi. Di sisi lain, peningkatan ekspektasi konsumen mengenai tingkat harga ke depan, akan direspons ekspektasi pedagang dengan relatif stabil. Meskipun sepanjang tahun 2014 akan terjadi penyesuaian tarif, namun dampaknya tidak sebesar kenaikan harga BBM subsidi di 2013. Sementara prediksi terjadinya el-nino perlu direspons dengan melalui penyediaan saprodi, atau Sekolah Lapang Iklim (SLI).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
3
RINGKASAN EKSEKUTIF
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
4
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
TABEL INDIKATOR EKONOMI
TABEL INDIKATOR EKONOMI
Tabel Indikator Ekonomi A. INFLASI DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) INDIKATOR MAKRO Indeks Harga Konsumen - Sulawesi Selatan - Sulawesi Utara - Gorontalo - Papua - Papua Barat - Maluku - Sulawesi Tengah - Sulawesi Tenggara - Sulawesi Barat - Maluku Utara
2012* I
II
2013* III
IV
I
II
2014** III
IV
I
II
132.89 128.11 134.65 126.38 144.28 137.57 135.20 137.27 134.57 133.20
133.44 129.75 136.07 127.28 149.65 142.05 137.53 138.93 134.98 134.73
135.69 131.57 137.85 129.07 152.64 142.03 141.14 141.02 137.56 135.68
136.14 133.73 139.32 132.71 152.79 140.74 142.34 141.15 138.24 136.87
139.01 136.86 141.62 133.82 155.28 141.12 143.27 141.41 140.21 138.49
139.26 136.16 140.95 135.00 158.31 144.46 142.88 144.15 140.78 138.68
145.51 141.73 142.53 140.14 167.44 156.03 151.42 151.32 145.61 148.77
144.60 144.59 147.46 143.68 163.87 153.14 153.12 149.50 146.41 150.25
109.16 109.39 108.24 113.54 108.41 110.38 111.45 108.00 108.92 112.16
109.71 110.28 109.32 112.66 109.26 111.97 113.64 109.77 110.28 114.28
4.06 0.95 5.91 1.94 2.07 8.65 2.50 5.10 3.81 4.54
3.84 3.73 5.95 1.80 4.11 6.25 4.99 4.65 3.24 4.30
4.48 5.23 5.40 2.94 5.52 7.07 6.78 2.03 3.71 3.87
4.41 6.04 5.31 4.52 5.07 6.73 5.87 5.25 3.28 3.29
4.61 6.83 5.18 5.89 7.62 2.58 5.97 3.02 4.19 3.97
4.36 4.94 3.59 6.07 5.79 1.70 3.89 3.76 4.30 2.93
7.24 7.72 3.39 8.58 9.70 9.86 7.28 7.30 5.85 9.65
6.21 8.12 5.84 8.27 7.25 8.81 7.57 5.92 5.91 9.78
5.88 5.67 5.10 9.57 5.77 8.95 8.42 5.60 6.24 8.80
5.92 6.26 5.82 7.40 5.27 8.85 10.37 4.84 6.65 9.75
PDRB Penawaran - Harga Konstan (Rp Miliar) 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Konstruksi/Bangunan 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
14,142 3,787 875 1,948 157 841 2,509 1,436 1,129 1,460
15,057 4,095 1,116 1,990 159 868 2,616 1,459 1,240 1,514
15,545 4,321 1,091 2,033 164 903 2,738 1,502 1,272 1,522
14,974 3,329 1,209 2,079 168 955 2,798 1,553 1,338 1,544
15,304 3,831 1,123 2,108 169 913 2,797 1,544 1,323 1,494
15,995 4,059 1,181 2,187 173 964 2,876 1,613 1,414 1,529
16,828 4,491 1,230 2,210 178 1,022 2,966 1,660 1,468 1,604
6,936 3,765 1,153 2,199 181 1,058 3,022 1,663 1,480 1,636
16,530 4,243 1,140 2,238 184 986 3,029 1,642 1,472 1,594
4,501 1,141 2,357 194 1,030 3,139 1,668 1,518 1,622
PDRB Permintaan - Harga Konstan (Rp Miliar) 1. Konsumsi 2. Investasi 3. Ekspor 4. Impor
14,142 9,586 4,070 4,755 4,269
15,057 9,767 4,797 5,323 4,830
15,545 9,984 4,557 5,659 4,655
14,974 10,142 3,387 6,158 4,713
15,304 10,136 4,666 5,322 4,820
15,995 10,336 5,153 5,634 5,128
16,828 10,675 4,323 6,169 4,339
16,157 10,852 4,052 6,176 4,923
16,530 10,777 4,025 6,098 4,371
10,965 4,993 6,285 5,074
Total PDRB (Rp Miliar) Pertumbuhan PDRB (%, yoy)
14,142 7.90
15,057 8.06
15,545 8.70
14,974 8.88
15,304 8.21
15,995 6.23
16,828 8.26
16,157 7.90
16,530 8.01
17,170 7.34
Nilai Ekspor (X) Luar Negeri Non-migas (US$ Juta) Volume Ekspor Luar Negeri Non-migas (Ribu Ton) Nilai Impor (M) Luar Negeri Non-migas (US$ Juta) Volume Impor Luar Negeri Non-migas (Ribu Ton) Neraca Perdagangan (X - M) Non-migas (US$ Juta)
269.15 223.29 155.07 280.95 114.08
334.64 193.78 186.72 500.79 147.92
425.37 152.34 254.70 246.48 170.67
526.60 245.36 219.18 215.54 307.42
403.02 171.92 300.72 160.04 102.30
389.29 198.44 404.72 472.75 (15.43)
417.56 499.94 218.82 216.69 198.75
386.19 230.41 123.23 271.11 262.96
366.41 167.44 139.10 221.11 227.31
460.02 182.55 180.70 258.59 279.31
Laju Inflasi Tahunan (%, yoy) - Sulawesi Selatan - Sulawesi Utara - Gorontalo - Papua - Papua Barat - Maluku - Sulawesi Tengah - Sulawesi Tenggara - Sulawesi Barat - Maluku Utara
Catatan: *) Angka sementara untuk data PDRB; data IHK menggunakan tahun dasar 2007 **) Angka sangat sementara untuk data PDRB; data IHK menggunakan tahun dasar 2012
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
5
TABEL INDIKATOR EKONOMI
B. PERBANKAN (KREDIT LOKASI PROYEK, DPK LOKASI KC/KCP) INDIKATOR
2012 I
II
2013 III
IV
I
II
2014**** III
IV
I
II
BANK UMUM : Total Aset (Rp Miliar)
67,573
72,554
74,754
79,307
80,876
86,366
90,288
90,932
90,909
97,572
DPK - Lokasi Bank Pelapor (Rp Miliar) Giro Tabungan Deposito
45,734 7,471 25,004 13,259
48,024 7,282 27,206 13,536
49,917 7,257 28,545 14,115
53,717 7,345 31,466 14,907
52,302 7,770 29,321 15,211
53,457 8,092 30,068 15,297
57,359 9,221 32,076 16,062
60,444 7,845 35,007 17,592
58,162 7,990 32,446 17,726
61,402 9,730 33,168 18,504
54,585 59,035 61,090 66,221 68,371 72,937 75,014 75,388 75,874 20,516 22,850 22,385 25,506 25,980 26,659 26,160 27,231 27,257 10,025 10,588 10,997 11,380 12,232 14,486 15,769 14,494 14,642 24,044 25,597 27,707 29,335 30,158 31,793 33,085 33,663 33,974 119.35% 122.93% 122.38% 123.28% 130.72% 136.44% 130.78% 124.72% 130.45%
79,336 29,062 15,467 34,807 129.21%
Kredit - Lokasi Bank (Rp Miliar) - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi LDR Kredit - Lokasi Bank (Rp Miliar) - Pertanian - Pertambangan - Industri pengolahan - Listrik, Gas, dan Air - Konstruksi - Perdagangan - Pengangkutan - Jasa Dunia Usaha - Jasa Sosial Masyarakat - Lain-lain
54,585 906 312 3,468 137 2,065 15,459 1,744 2,917 1,570 26,007
59,035 1,128 363 3,904 124 2,448 17,631 1,730 3,178 1,485 27,045
61,090 1,171 375 4,008 135 2,582 17,741 1,794 3,131 1,372 28,781
66,221 1,215 399 5,250 141 2,674 19,027 2,321 3,105 1,404 30,684
68,371 1,403 447 5,335 133 2,565 19,933 2,631 3,240 1,619 31,065
72,937 1,396 449 5,579 116 2,780 22,957 2,763 3,433 1,650 31,814
75,014 1,385 444 5,631 121 2,966 23,360 2,864 3,414 1,733 33,096
75,388 1,400 397 4,186 191 3,034 24,132 2,923 3,550 1,780 33,794
75,874 1,405 377 3,918 218 3,043 24,334 2,960 3,747 1,828 34,043
79,336 1,499 560 4,210 245 3,666 25,587 2,950 3,598 1,968 35,053
Kredit UMKM (Rp Miliar)
18,349
19,582
18,240
20,270
21,818
24,162
24,221
24,684
24,823
26,489
Kredit Mikro* (Rp Miliar) - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi
3,533 3,151 382 -
3,939 3,489 449 -
3,628 3,159 469 -
3,672 3,206 467 -
3,994 3,484 510 -
4,211 3,558 653 -
4,412 3,648 764 -
4,499 3,768 731 -
4,648 3,827 821 -
5,026 4,067 959 -
Kredit Kecil ** (Rp Miliar) - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi
8,932 5,564 3,369 -
8,933 5,848 3,085 -
8,433 5,455 2,978 -
8,938 5,760 3,178 -
9,290 5,678 3,612 -
9,819 6,492 3,328 -
9,877 5,624 4,253 -
10,037 5,750 4,287 -
10,123 5,862 4,261 -
9,821 6,106 3,715 -
Kredit Menengah *** (Rp Miliar) - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi
5,884 4,759 1,125 -
6,710 5,478 1,232 -
6,180 4,833 1,347 -
7,660 5,644 2,016 -
8,534 6,186 2,349 -
10,132 7,205 2,927 -
9,932 6,872 3,060 -
10,148 7,278 2,870 -
10,052 7,079 2,972 -
11,304 8,106 3,198 -
NPL Total gross (%)
3.05%
3.08%
2.87%
2.74%
2.94%
2.83%
2.91%
2.85%
3.14%
3.54%
NPL UMKM gross (%)
4.12%
4.23%
4.18%
3.96%
4.25%
3.95%
4.57%
4.38%
4.87%
4.77%
BANK UMUM SYARIAH Total Aset (Rp Miliar)
3,377
3,689
3,977
4,524
4,802
5,085
5,420
5,576
5,586
5,580
DPK (Rp Miliar) Giro Tabungan Deposito
1,578 196 756 626
1,635 199 803 633
1,817 200 844 773
2,063 296 984 783
2,138 253 969 916
2,138 232 974 932
2,594 243 1,162 1,188
2,884 338 1,307 1,239
2,742 221 1,261 1,260
2,795 262 1,261 1,272
2,759 2,953 3,076 3,502 3,870 4,157 4,265 4,374 4,453 647 645 656 674 673 688 651 631 684 224 212 228 284 329 362 359 438 488 1,887 2,096 2,192 2,544 2,868 3,107 3,255 3,304 3,282 174.80% 180.63% 169.33% 169.77% 181.04% 194.41% 164.44% 151.65% 162.40%
4,869 776 670 3,423 174.20%
Pembiayaan - Lokasi Bank (Rp Miliar) - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi FDR Catatan: * (
6
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
TABEL INDIKATOR EKONOMI
C. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR KAS Inflow (Rp Miliar) Uang Kertas Uang Logam Outflow (Rp Miliar) Uang Kertas Uang Logam Pemusnahan Uang (Rp Miliar) TRANSAKSI RTGS From / Outgoing (Rp Miliar) To / Incoming (Rp Miliar) From - To (Rp Miliar) TRANSAKSI KLIRING Nominal Kliring* (Rp Miliar) Volume Kliring* (Lembar) Kliring Kredit Nominal Kliring Kredit (Rp Miliar) Volume Kliring Kredit (Lembar) RRH** Nominal Kliring Kredit (Rp Miliar) RRH Nominal Kliring Kredit (Lembar) Kliring Debet Penyerahan Nominal Kliring Debet (Rp Miliar) Volume Kliring Debet (Lembar)
2012 III
IV
I
II
III
IV
I
II
3,872 3,871 0.15 1,860 1,859 1.80 893
2,754 2,754 0.13 3,174 3,171 2.53 158
3,925 3,925 0.02 3,575 3,574 0.86 51
3,200 3,200 0.05 3,214 3,214 0.34 272
4,410 4,410 0.03 1,715 1,715 0.28 350
3,236 3,236 0.08 2,885 2,885 0.78 502
4,872 4,872 0.08 5,313 5,310 2.51 989
4,075 4,075 0.10 4,162 4,159 2.63 708
5,299 5,299 0.14 2,346 2,343 2.20 748
4,069 4,069 0.04 3,829 3,826 3.22 620
11,504 29,147 4,578
15,473 37,788 4,355
15,421 34,631 4,424
19,880 40,648 5,049
14,448 32,767 4,245
17,402 36,120 4,921
18,770 37,614 6,755
20,540 41,480 7,299
15,660 27,887 4,748
21,374 33,669 9,765
9,296 281,461
9,439 283,706
9,466 285,156
10,139 294,745
9,737 284,030
9,976 285,559
10,239 280,922
10,670 290,332
9,483 260,069
9,616 266,025
558 37,461 9 595
569 38,646 9 613
579 39,105 9 621
605 40,567 10 644
557 36,457 9 608
576 34,774 10 580
874 37,895 15 632
1,050 41,130 17 663
675 29,191 11 487
637 28,625 11 477
8,737
8,870
8,887
9,534
9,180
9,400
9,365
9,620
8,809
8,978
244,000
245,060
246,051
254,178
247,573
250,785
243,027
249,202
230,878
237,400
139
141
141
151
153
157
156
155
147
150
3,873
3,890
3,906
4,035
4,126
4,180
4,050
4,019
3,848
3,957
Nominal Kliring Pengembalian (Rp Miliar) Volume Kliring Pengembalian (Lembar)
2014***
II
RRH Nominal Kliring Debet (Rp Miliar) RRH Nominal Kliring Debet (Lembar) Kliring Debet Pengembalian
2013***
I
294
305
296
292
322
352
402
325
317
387
7,013
7,732
7,412
7,623
7,549
7,531
7,092
6,659
7,114
7,119
RRH Nominal Kliring Pengembalian (Rp Miliar) RRH Nominal Kliring Pengembalian (Lembar)
5
5
5
5
5
6
7
5
5
6
111
123
118
121
126
126
118
107
119
119
Cek/BG Kosong Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Rp Miliar) Volume Kliring Cek/BG Kosong (Lembar)
208
234
208
206
221
259
307
251
230
328
5,563
6,349
6,033
6,020
5,904
6,187
5,674
5,411
5,695
5,832
RRH Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Rp Miliar) RRH Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Lembar)
3
4
3
3
4
4
5
4
4
5
88
101
96
96
98
103
95
87
95
97
*) Jumlah transaksi kliring kredit dan kliring debet penyerahan **) Rata-Rata harian: jumlah rata-rata transaksi setiap hari ***) Angka sementara
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
7
TABEL INDIKATOR EKONOMI
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
8
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
1. PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Bab 1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) pada triwulan II 2014 mengalami perlambatan dan tumbuh sebesar 7,34% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,01% (yoy). Dari sisi permintaan, perlambatan yang terjadi disebabkan oleh melemahnya kinerja di hampir seluruh komponen. Dari sisi sektoral, perlambatan terjadi pada sektor pertambangan dan sektor tersier (kecuali sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR)). Perlambatan pada sektor ekonomi tersebut dinilai telah berdampak pada melemahnya tingkat pendapatan masyarakat sedangkan sektor pertambangan yang mengalami penurunan menyebabkan deselerasi pada komponen ekspor. Konsumsi pemerintah yang masih rendah turut memengaruhi perlambatan kinerja subsektor jasa pemerintah.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
9
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
1.1. Pertumbuhan Ekonomi Pada triwulan II 2014, perekonomian Sulsel tumbuh lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar 7,34% (yoy) setelah sebelumnya tercatat 8,01% (yoy). Meski melambat, pertumbuhan ekonomi Sulsel tercatat masih lebih tinggi dari angka pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan laporan yang tercatat sebesar 5,12% (yoy). Sesuai pola historisnya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II biasanya tumbuh positif secara triwulanan, yaitu sebesar 3,87% (qtq) (Grafik 1.1). Melambatnya pertumbuhan ekonomi Sulsel, dari sisi permintaan, disebabkan oleh perkembangan konsumsi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), serta ekspor. Terkait hal tersebut, dari sisi penawaran, kinerja sektor pertambangan dan penggalian serta sektor tersier menjadi sumber perlambatan pertumbuhan ekonomi. yoy Nasional
qtq Sulsel
yoy Sulsel
10
7.34
8 6
5.12 5.12
4
3.87
2 0 (2) (4) (6)
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
% 2011*
2012*
2013**
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan
1.2. Sisi Permintaan Dari sisi permintaan atau pengeluaran, melambatnya perekonomian Sulsel pada triwulan II 2014 terutama didorong oleh perlambatan hampir di semua komponen yang ada. Melemahnya konsumsi disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan baik dari konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Sementara itu, investasi, yang ditunjukkan oleh indikator PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto), masih tumbuh positif walaupun tidak sekuat triwulan sebelumnya. Secara total Investasi, kontraksi yang cukup dalam pada triwulan I sudah mulai terkoreksi oleh penambahan inventory sehingga kontraksinya mulai mereda pada triwulan laporan. Komponen ekspor, terkait dengan sektor pertambangan, pertumbuhannya juga memperlihatkan penurunan, tidak sekuat pertumbuhan pada triwulan sebelumnya. (Tabel 1.1 dan Grafik 1.2). Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran Pertumbuhan Komponen Penggunaan (%, yoy)
2012* I
II
III
IV
2012*
2013** I
II
III
IV
2013**
2014** I
II
PDRB
7.90
8.06
8.70
8.88
8.39
8.21
6.23
8.26
7.90
7.65
8.01
7.34
Konsumsi
7.14
7.21
6.95
5.88
6.79
5.74
5.82
6.92
7.00
6.38
6.32
6.08
6.24
6.47
7.15
6.78
6.67
6.57
6.71
6.83
6.79
6.73
6.74
6.47
10.75
10.11
6.20
2.60
7.24
2.53
2.46
7.28
7.80
5.06
4.69
4.55
39.42
42.14
8.64
-7.88
18.68
14.63
7.42
-5.12
19.63
8.23
-13.74
-3.10
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi PMTB
22.41
23.43
19.97
15.22
20.00
12.81
13.84
16.05
13.48
14.07
11.48
8.39
Ekspor
-19.09
-11.88
3.14
17.35
-3.34
11.92
5.86
9.01
0.29
6.42
14.60
11.56
Impor
-7.93
5.18
-1.28
-0.78
-1.21
12.90
6.17
-6.79
4.45
4.02
-9.32
-1.06
Keterangan: - Konsumsi nirlaba/lembaga nonprofit rumah tangga termasuk ke dalam konsumsi rumah tangga - PMTB = Pembentukan Modal Tetap Bruto - Investasi merupakan penggabungan antara PMTB dan perubahan stok/persediaan/inventori
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara
10
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Investasi 25
Konsumsi
Ekspor
Impor
Pertumbuhan PDRB
%
20 15 10 5 0 (5) (10) (15) (20) (25) I
II
III
IV
I
II
2011*
III
IV
I
II
2012*
III
IV
I
2013**
II
2014**
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Grafik 1.2. Sumbangan Pertumbuhan Menurut Komponen Pengeluaran
1.2.1 Konsumsi Kegiatan konsumsi sedikit mengalami deselerasi pertumbuhan pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan I 2014. Komponen konsumsi tercatat tumbuh sebesar 6,08% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di triwulan sebelumnya (6,32%, yoy). Tingkat penurunan konsumsi rumah tangga masih berada pada kisaran rata-rata pertumbuhannya dalam beberapa periode terakhir. Sementara itu, konsumsi pemerintah juga mengalami perlambatan yang pada akhirnya memengaruhi kinerja konsumsi secara total. Pada triwulan II 2014, konsumsi rumah tangga tumbuh lebih lambat seiring menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor ekonomi yang melambat. Konsumsi rumah tangga (termasuk nirlaba) tercatat tumbuh sebesar 6,47% (yoy) setelah tumbuh 6,74% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan yang terjadi dipengaruhi oleh penurunan kinerja sektor pertambangan serta melambatnya pertumbuhan di sektor angkutan dan komunikasi maupun sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Hal tersebut membuat tingkat pendapatan masyarakat tidak sebaik triwulan sebelumnya. Meski demikian, aktivitas konsumsi pada triwulan laporan dinilai masih cukup kuat seiring stimulus belanja karena adanya hari besar keagamaan, musim liburan dan tahun ajaran baru di akhir periode, dan penyelenggaraan pemilu. Keyakinan konsumen masih menunjukkan perkembangan yang cukup baik sedangkan penjualan eceran belum mengalami peningkatan yang berarti. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Makassar pada April 2014 menurun dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (Grafik 1.3). Namun demikian, pada bulan Mei dan Juni 2014, IKK kembali menunjukkan peningkatan. Selanjutnya, pergerakan Indeks Penjualan Eceran, hasil Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia, tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan karena penurunan penjualan pada kelompok suku cadang dan perlengkapan rumah tangga (Grafik 1.4). Sementara itu, penyaluran kredit konsumsi masih berada dalam tren yang melambat (Grafik 1.5). IKK Makassar (Rata-rata 3 Bulan) 150
IKK Makassar
Indeks Penjualan Eceran
110
Indeks
140 130 120
110
gIndeks - Skala Kanan
Indeks
%, yoy
10
100
0
95
(10)
90
(20)
85
(30)
80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Survei Konsumen Grafik 1.3. Indeks Keyakinan Konsumen
I
II 2014
20
105
(40) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II 2014
Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.4. Indeks Penjualn Eceran
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
11
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Dari sisi komponen konsumsi pemerintah, terjadi perlambatan pertumbuhan pada triwulan II 2014 dibandingkan triwulan I 2014. Konsumsi pemerintah mencatat pertumbuhan sebesar 4,55% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh 4,69% (yoy). Realisasi penyerapan anggaran pemerintah yang masih belum optimal membuat konsumsi pemerintah tidak mengalami percepatan pertumbuhan. Penyerapan anggaran yang berada di bawah target dipengaruhi juga oleh efisiensi anggaran yang dilakukan SKPD, sehingga nilai giro milik Pemerintah Daerah (Pemda) yang tersimpan di BPD masih relatif tinggi. Rekening giro milik Pemerintah Daerah (Pemda) mencatat peningkatan sebesar Rp0,96 triliun dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan yang sama tahun sebelumnya, giro pemerintah daerah mencatat peningkatan sebesar Rp0,30 triliun saja (Grafik 1.6). Kredit Konsumsi 40
gKredit Konsumsi - Skala Kanan
Giro Pemerintah Daerah
%, yoy
Rp Triliun
35
30 25 20
15 10
5 0
I
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Rp Triliun
II
I
II
2014
III
IV
I
II
2011
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.5. Penyaluran Kredit Konsumsi
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
2014
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.6. Giro Pemerintah Daerah
1.2.2 Investasi Pada triwulan II 2014, investasi yang dihitung dari PMTB tetap tumbuh cukup tinggi namun lebih rendah dari triwulan I 2014. PMTB tercatat tumbuh tidak sebaik capaian triwulan sebelumnya, dari 11,48% (yoy) menjadi 8,39% (yoy). Hal ini sejalan dengan masih terjadinya kontraksi realisasi penanaman modal asing (PMA) di Sulsel (-19,83%, yoy) yang pada triwulan laporan tercatat senilai USD121,04 juta (Grafik 1.7). Adapun kinerja penanaman modal yang berasal dari dalam negeri (PMDN) turun pada triwulan II 2014. Setelah tumbuh tinggi pada triwulan I 2014, PMDN mengalami penurunan sebesar -48,50% (yoy) dengan nilai proyek sebesar Rp189,29 miliar. Pertumbuhan investasi yang masih cukup baik didukung oleh tetap maraknya proyek pembangunan di Sulsel, baik milik swasta maupun gabungan. Pembangunan properti seperti perumahan, ruko, hotel, dan apartemen, tetap berlangsung, terutama lanjutan dari periode sebelumnya. Beberapa proyek lain di sektor riil juga direalisasikan pada triwulan berjalan, antara lain di industri pengolahan minyak, industri pengolahan gas, industri pengolahan makanan (khususnya pengolahan kakao), dan proyek pembangkit listrik di Sengkang. Adapun proyek pemerintah diperkirakan 1 belum terealisasi dengan optimal seiring belanja modal yang relatif masih sangat kecil . Total PMA
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
gTotal PMA - Skala Kanan
US$ Juta
Kredit Investasi %, yoy
10,000 8,000
6,000 4,000 2,000
0 (2,000) I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
II
%, yoy
30 20 10
0 (10)
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.8. Penyaluran Kredit Investasi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
50 40
Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi, BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Agustus 2014
12
gKredit Investasi - Skala Kanan
Rp Triliun
I
2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik 1.7. Realisasi Penanaman Modal Asing
1
12,000
I
II
2014
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Perlambatan PMTB pada triwulan II 2014 sejalan dengan melemahnya kinerja beberapa indikator kegiatan investasi. Penyaluran kredit yang digunakan untuk investasi mengalami perlambatan yang cukup dalam pada triwulan laporan. Tren perlambatan penyaluran kredit investasi memang telah terjadi sejak triwulan III 2013 (Grafik 1.8). Perlambatan kinerja PMTB juga dikonfirmasi oleh realisasi pengadaan semen. Pada triwulan laporan, pertumbuhan realisasi pengadaan semen di Sulsel tercatat tidak setinggi triwulan sebelumnya (Grafik 1.9). Realisasi Pengadaan 700
Posisi Stok
gRealisasi - Skala Kanan %, yoy
Ribu Ton
35
600
30
500
25 20
400
200
Perubahan Stok
gPerubahan Stok - Skala Kanan %, yoy 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 (500) (1,000) (1,500) (2,000) (2,500)
US$ Juta
150 100
15
300
10
200
5
100
0
0
(5) I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
50
0 (50)
II
I
2014
II
III
IV
I
II
2011
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah Grafik 1.9. Realisasi Pengadaan Semen
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
II
2014
Sumber: Produsen, diolah Grafik 1.10. Perubahan Stok Produsen Nikel
Di sisi lain, kinerja investasi yang dihitung sebagai jumlah PMTB dengan perubahan stok mengalami perbaikan pada triwulan II 2014. Kontraksi pada triwulan I 2014 tercatat sebesar -13,74% (yoy) yang kemudian menjadi lebih tipis sebesar -3,10% pada triwulan laporan (yoy). Perbaikan ini disebabkan oleh komponen perubahan stok yang kontraksinya tidak sedalam triwulan sebelumnya. Indikasi ini terlihat juga dari perubahan stok salah satu perusahaan terbuka di Sulsel yang mampu tumbuh pada triwulan II 2014 setelah mengalami kontraksi pada triwulan I 2014 (Grafik 1.10).
1.2.3 Ekspor dan Impor Neraca perdagangan bersih Sulsel pada triwulan II 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya seiring melemahnya kinerja ekspor. Kenaikan impor pada triwulan laporan yang lebih besar dibandingkan peningkatan ekspor membuat surplus neraca perdagangan atas dasar harga konstan (ADHK) menjadi lebih kecil dibandingkan triwulan I 2014. Surplus pada triwulan II 2014 berlawanan dengan kondisi pada triwulan yang sama tahun 2013 ketika terjadi defisit neraca perdagangan (Grafik 1.11). Neraca perdagangan luar negeri Sulsel untuk barang nonmigas (Grafik 1.12) juga tercatat mengalami surplus. Pada triwulan laporan, peningkatan nilai ekspor luar negeri nonmigas Sulsel tercatat lebih besar dari impor luar negeri nonmigas.
10,000
8,000
Impor ADHK
Rp Miliar
Rp Miliar
2,500 800 2,000
6,000 4,000
1,500
2,000 1,000
0 (2,000)
500
(4,000) (6,000)
0 I
II
III
2011
IV
I
II
Ekspor Luar Negeri Nonmigas Impor Luar Negeri Nonmigas Neraca Perdagangan Bersih Luar Negeri Nonmigas - Skala Kanan
Neraca Perdagangan Bersih - Skala Kanan
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.11. Neraca Perdagangan Bersih PDRB
600
US$ Juta
US$ Juta
400 200 0 (200) (400) (600) I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
700 600 500 400 300 200 100 0 (100)
Millions
Ekspor ADHK
II
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.12. Neraca Perdagangan Bersih Luar Negeri
Pada triwulan II 2014, komponen ekspor mampu tumbuh tinggi walaupun melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Ekspor tercatat tumbuh sebesar 11,56% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di triwulan I 2014 (14,60%, yoy). Deselerasi kinerja ekspor dinilai merupakan dampak dari melemahnya kinerja baik ekspor ke luar negeri maupun antar daerah yang tercermin dari pertumbuhan volume ekspor nonmigas serta barang yang dimuat di pelabuhan Makassar yang tidak tumbuh sebaik capaian sebelumnya (Grafik 1.13 dan Grafik 1.14).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
13
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Volume Ekspor Luar Negeri 600
gVolume Ekspor
gNilai Ekspor
Ribu Ton
Volume Muat Barang Dalam Negeri 250
%, yoy
200
500
150
400
100
300
50
200
0
100
(50)
0
(100) I
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
%; yoy
Ribu Ton
40 30
20 10 0 (10) (20)
(30) I
II
II
III
IV
I
II
2011
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.13. Volume Ekspor Nonmigas
gVolume Muat - Skala Kanan
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
2014
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik 1.14. Volume Barang yang Dimuat
Beberapa komoditas ekspor utama dengan orientasi penjualan luar negeri mengalami perlambatan pada triwulan II 2014. Ekspor rumput laut, nickel-matte, komoditas pertambangan, serta kayu olahan tumbuh lebih rendah dari triwulan I 2014 (Grafik 1.15). Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kinerja industri manufaktur para negara mitra dagang Sulsel yang melambat (Amerika Serikat dan Zona Eropa) serta mengalami kontraksi (Jepang dan Korea Selatan) (Grafik 1.16). Penopang kegiatan ekspor adalah peningkatan pada ekspor hasil perkebunan dan perikanan selain rumput laut. Rumput Laut Kayu Olahan 140 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) (60)
Nikel Matte Pertambangan - Skala Kanan
%, yoy
%, yoy
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
Jepang 250 200 150 100 50 0 (50) (100) (150)
58
Tiongkok
AS
Zona Eropa
Korea Selatan
Indeks
56 54 52 50 48
46 1
II
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
2013
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.15. Pertumbuhan Volume Ekspor Komoditas
3
4
5
6
2014
Sumber: Bloomberg Grafik 1.16. Purchasing Managers Index
Impor masih mengalami kontraksi pada triwulan II 2014 walaupun pada tingkat yang lebih rendah dan kontraksi tersebut terjadi baik untuk impor barang dari luar negeri maupun dari daerah lain (antar-daerah). Pada triwulan laporan, impor terkontraksi sebesar -1,06% (yoy), membaik dari triwulan sebelumnya yang turun hingga -9,32% (yoy). Masih turunnya impor dikonfirmasi oleh indikator impor antar daerah yaitu volume barang yang dibongkar di pelabuhan Makassar yang mengalami kontraksi meski tidak sedalam triwulan I 2014 (Grafik 1.17). Sebaliknya, volume barang yang diimpor dari luar negeri tidak mampu tumbuh di atas triwulan sebelumnya (Grafik 1.18). Namun demikian, faktor hargaharga internasional barang impor yang relatif terjaga dinilai membuat total nilai barang yang diimpor tidak mengalami penurunan yang drastis dibandingkan dengan triwulan I 2014. Volume Bongkar Barang Dalam Negeri
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
%; yoy
Ribu Ton
600
20
500
10
(10)
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik 1.17. Volume Barang yang Dibongkar
14
30
0
I
Volume Impor Luar Negeri
gVolume Bongkar - Skala Kanan
I
II
2014
gNilai Impor 140 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) (60) (80)
%, yoy
400
300
(20)
200
(30)
100
(40)
0 I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.18. Volume Impor Nonmigas
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
gVolume Impor
Ribu Ton
I
II
2014
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Pada triwulan II 2014, struktur ekspor maupun impor Sulsel relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan periode sebelumnya. Produk industri masih menjadi komoditas yang dominan bagi barang dari Sulsel yang dijual ke luar negeri (Grafik 1.19). Sementara itu, impor bahan baku mencatat pangsa terbesar dari total nilai impor Sulsel di triwulan laporan yang kemudian diikuti oleh impor barang modal dan barang konsumsi (Grafik 1.20).
0.83%
0.21%
Pangsa Triwulan II 2014
Pangsa Triwulan II 2014
22.14% Komoditas Pertanian: US$101.83 Juta Komoditas Industri: US$354.35 Juta
77.03%
42.75%
Bahan Baku: US$53.66 Juta
57.04%
Komoditas Pertambangan: US$3.83 Juta
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.19. Pangsa Ekspor Menurut Komoditas
Barang Modal: US$40.22 Juta
Barang Konsumsi: US$0.20 Juta
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.20. Pangsa Impor Menurut Kategori
Nikel matte masih merupakan komoditas dominan dalam struktur ekspor, sedangkan gabungan hasil industri lainnya menggantikan gandum sebagai komoditas impor dengan pangsa terbesar. Pada triwulan II 2014, komoditas nikel matte mengambil pangsa sebesar 58,55% dalam struktur ekspor luar negeri Sulsel (Tabel 1.2). Selanjutnya, ganggang laut (rumput laut) dan coklat olahan menjadi komoditas dengan pangsa terbesar yaitu masing-masing sebesar 7,81% dan 7,62%. Untuk impor luar negeri, gandum yang menjadi bahan baku terigu mengambil pangsa 26,64% pada triwulan II 2014 dan berada pada urutan kedua setelah impor industri lainnya yang memiliki pangsa 28,54%. Setelah gandum, makanan ternak mengambil pangsa impor terbesar yaitu 22,59% (Tabel 1.3). Tabel 1.2. Peringkat Ekspor Menurut Komoditas Nilai Ekspor Triwulan II 2014 Pangsa (%) Komoditas (US$ Juta)
Tabel 1.3. Peringkat Impor Menurut Komoditas Nilai Impor Triwulan II 2014 Pangsa (%) Komoditas (US$ Juta)
Nikel Matte
269.36
58.55
Hasil Industri Lainnya
51.57
28.54
Ganggang Laut
35.92
7.81
Gandum
48.14
26.64
Biji Coklat
35.04
7.62
Makanan Ternak Lainnya
40.81
22.59
Coklat Olahan
34.26
7.45
Besi/Baja
9.89
5.47
Udang Segar/Beku
18.01
3.91
Produk Keramik
5.37
2.97
Ikan Olahan
12.16
2.64
Biji Coklat
3.99
2.21
Kayu Lapis
9.18
1.99
Coklat Olahan
3.71
2.06
Buah/Sayur Olahan
7.92
1.72
Alat Listrik
3.20
1.77
Hasil Industri Lainnya
5.99
1.30
Pupuk
2.51
1.39
Ikan Tangkap Lainnya
5.53
1.20
Kertas dan Barang dari Kertas
2.38
1.32
Sumber: Bea Cukai, diolah
Sumber: Bea Cukai, diolah
1.3. Sisi Penawaran Dari sisi penawaran atau produksi, perlambatan ekonomi Sulsel dipengaruhi oleh penurunan kinerja pada sektor pertambangan dan kelompok sektor tersier. Sektor tersier yang dimaksud mencakup sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, serta sektor jasa-jasa (Tabel 1.4). Sementara itu, kinerja Sektor Pertambangan pada triwulan laporan berbeda dengan kinerja pada triwulan I 2014 yang masih memberikan sumbangan positif, (Grafik 1.21). Untuk sektor ekonomi utama yang lain seperti sektor pertanian, sektor industri pengolahan, serta sektor PHR memperlihatkan pertumbuhan yang lebih kuat dibandingkan triwulan sebelumnya.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
15
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi 2012*
2013**
2014**
Pertumbuhan Sektor Ekonomi (%, yoy)
I
PDRB
7.90
8.06
8.70
8.88
8.39
8.21
6.23
8.26
7.90
7.65
8.01
7.34
Pertanian
5.30
4.31
8.31
3.22
5.40
1.15
-0.89
3.93
13.10
3.95
10.76
10.89 -3.41
II
III
2012*
IV
I
II
III
IV
2013**
I
II
-10.64
2.23
1.16
26.04
4.44
28.41
5.85
12.78
-4.62
9.26
1.54
Industri Pengolahan
14.58
8.94
5.64
6.99
8.86
8.24
9.88
8.71
5.76
8.12
6.17
7.79
Listrik, Gas & Air Bersih
22.02
13.95
10.73
5.31
12.53
7.81
9.18
8.39
8.06
8.36
8.87
11.75
Pertambangan & Penggalian
Bangunan
11.61
7.91
8.38
11.11
9.73
8.62
11.00
13.20
10.73
10.92
7.98
6.89
Perdagangan, Hotel & Restoran
10.10
9.12
10.41
12.44
10.54
11.48
9.96
8.33
7.98
9.38
8.28
9.15
Angkutan & Komunikasi
19.42
17.75
14.73
8.68
14.87
7.53
10.55
10.54
7.09
8.92
6.34
3.40
Keuangan
9.88
19.03
19.81
14.72
15.87
17.21
14.00
15.40
10.62
14.18
11.23
7.38
Jasa-jasa
1.41
3.19
3.03
1.47
2.27
2.31
0.97
5.38
5.92
3.67
6.72
6.10
Keterangan: - Real estate, persewaan, dan jasa perusahaan termasuk ke dalam Sektor Keuangan
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara
Pertanian 10
Industri
PHR
Sektor Lainnya
PDRB
%
8 6 4 2 0 (2) I
II
III
IV
I
2011*
II
III
2012*
IV
I
II
III
IV
2013**
I
II
2014**
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Grafik 1.21. Sumbangan Pertumbuhan Menurut Sektor Ekonomi
1.3.1 Sektor Pertanian Pada triwulan II 2014, sektor pertanian mengalami sedikit peningkatan seiring peningkatan produksi di sektor perkebunan dan sektor perikanan. Angka pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan laporan tercatat sebesar 10,89% (yoy), sedikit lebih tinggi dari triwulan I 2014 yang tercatat sebesar 10,76% (yoy). Subsektor perkebunan, dalam hal ini komoditas kakao, menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya akselerasi. Produksi biji kakao, di Sulawesi pada umumnya dan di Sulsel pada khususnya, dinilai mengalami peningkatan seiring datangnya musim panen tanaman kakao. Hal tersebut membuat kondisi pasokan terjaga di tengah peningkatan permintaan biji kakao dari perusahaan pengolahan 2 kakao yang meningkatkan kapasitas produksinya untuk mengakomodasi naiknya permintaan dari Tiongkok. Volume ekspor kakao juga menunjukkan peningkatan dengan tren harga yang meningkat (Grafik 1.22 dan Grafik 1.23). Percepatan pertumbuhan juga dialami subsektor perikanan yang didukung oleh kondusifnya aktivitas penangkapan dan budidaya ikan pada triwulan II 2014. Membaiknya kinerja subsektor ini terlihat dari perkembangan volume ekspor udang segar dan aneka ikan yang mencatatkan perbaikan kinerja (Grafik 1.24 dan Grafik 1.25). Hal ini dinilai merupakan dampak dari kondisi cuaca yang lebih baik dari triwulan I 2014. Panen dari perikanan budidaya, khususnya komoditas udang menunjukkan akselerasi seiring program pengembangan potensi kelautan di Sulsel. Selain itu, harga komoditas perikanan sedang berada pada kondisi yang baik sehingga menjadi insentif produksi apalagi dengan meningkatnya permintaan dari mitra dagang di Eropa. Hal ini terjadi seiring penurunan pasokan dari Vietnam dan India karena ganguan 3 penyakit (virus) pada perikanan budidaya mereka .
2 3
Hasil liaison kepada eksportir coklat olahan, triwulan II 2014 Hasil liaison kepada eksportir aneka komoditas perikanan, triwulan II 2014
16
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Ekspor Biji Coklat 30
gEkspor - Skala Kanan
Ribu Ton
3.5 80
%, yoy
60
25
15
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
10
0
Ekspor Udang Segar/Beku
Ekspor Aneka Ikan
gEkspor - Skala Kanan 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
50 40
1.0
30 20
0.8
10
0.6
0
0.4
(10)
0.2
(20)
0.0
(30) IV
I
II
2012
III
IV
2013
2014
Sumber: World Bank Grafik 1.23. Harga Internasional Kakao
1.2
III
(40)
2012
%, yoy
II
(30)
0.0
2014
Ribu Ton
I
(20)
0.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.22. Volume Ekspor Biji Coklat
1.4
(10)
1.0
II
2013
20
1.5
(80) I
30
0
(60)
0
40
2.0
(40) 5
50
gHarga - Skala Kanan
20
(20)
10
%, yoy
Harga Internasional Kakao
2.5
40 20
US$/kg
3.0
I
2013
gEkspor - Skala Kanan %, yoy
Ribu Ton
I
II
II
III
IV
I
II
2012
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.24. Volume Ekspor Udang
III
IV
2013
I
25 20 15 10 5 0 (5) (10) (15) (20) (25) (30)
II 2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.25. Volume Ekspor Aneka Ikan
1.3.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian Penerapan UU Minerba ternyata memengaruhi kinerja sektor pertambangan Sulsel pada triwulan II 2014 yang mencatat pertumbuhan negatif (kontraksi). Pada triwulan laporan, kinerja sektor ini menurun sebesar -3,41% (yoy) setelah tumbuh sebesar 1,54% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Fenomena ini disebabkan oleh produksi nikel yang 4 menurun seiring implementasi UU Minerba . Hal ini terkonfirmasi dari arah pertumbuhan ekspor komoditas pertambangan yang kontraksinya semakin besar pada triwulan II 2014 di tengah tren harga nikel yang masih meningkat hingga triwulan laporan (Grafik 1.26). Sementara itu, terlihat bahwa harga internasional beberapa komoditas tambang yang lain seperti timah, timah hitam, dan seng tidak banyak mengalami perubahan (Grafik 1.27). Nikel
gEkspor - Skala Kanan
250
35,000
70
200
30,000
60
150
50
100
20
(50)
10
(100)
0 III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
4
2,000 20,000
1,500 15,000
1,000
10,000
II
500
5,000
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.26. Volume Ekspor Pertambangan
2,500
0
2008
II
3,500 3,000
25,000
(150) I
US$/metrik ton
2014
0
Timah Hitam - Skala Kanan
2013
50
30
Seng - Skala Kanan
2012
40
Timah
US$/metrik ton
2011
%, yoy
2010
Ribu Ton
2009
Ekspor Pertambangan
80
Sumber: World Bank Grafik 1.27. Harga Komoditas Tambang
Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi, BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Agustus 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
17
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
1.3.3 Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan kembali tumbuh lebih cepat pada triwulan II 2014 seiring penguatan pada industri mikro dan kecil maupun industri besar dan sedang. Sektor ini tercatat tumbuh sebesar 7,79% (yoy) pada triwulan laporan setelah sebelumnya tumbuh 6,17% (yoy). Akselerasi pada sektor industri pengolahan didorong oleh tetap membaiknya kinerja industri mikro dan kecil (IMK) pada triwulan laporan. Adapun industri besar dan sedang (IBS) yang sebelumnya tumbuh melambat mampu mencatat akselerasi pertumbuhan pada triwulan laporan (Grafik 1.28). Menguatnya kinerja pertumbuhan sektor industri pengolahan searah dengan perkembangan beberapa subsektor industri. Pada triwulan laporan, subsektor industri makanan olahan, industri percetakan, industri pakaian, serta industri karet alam olahan dinilai mengalami akselerasi. Membaiknya kinerja industri karet alam olahan diindikasikan oleh menguatnya ekspor komoditas tersebut pada triwulan II 2014 (Grafik 1.30). Sementara itu, hasil industri makanan olahan, percetakan, serta pakaian dinilai terdorong oleh maraknya event dan kegiatan masyarakat selama periode triwulan laporan (hari besar keagamaan, pemilu, pesta olahraga, liburan sekolah). Adanya penambahan permintaan produk kakao 5 olahan yang baru dari Tiongkok juga memberi kontribusi positif bagi sektor ini . Produksi terigu juga tumbuh lebih tinggi pada triwulan II 2014 seiring persiapan menghadapi Ramadhan dan Lebaran (Grafik 1.31). Peningkatan di kedua komoditas industri ini mendorong kinerja industri makanan di Sulsel pada triwulan II 2014. IMK 25
IBS 25
%, yoy
20
Produksi Nikel
gProduksi
Ribu Ton Metrik
70 60 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40)
%, yoy
20
15 15
10
5 10
0 (5)
5
(10) (15)
0
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
I
II
2014
III
IV
I
II
2011
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.28. Pertumbuhan Industri
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
II
2014
Sumber: Produsen, diolah Grafik 1.29. Produksi Nikel Matte
Di sisi lain, kinerja industri hasil tambang mengalami perlambatan yang sejalan dengan menurunnya kinerja sektor pertambangan. Produksi nikel matte produsen utama di Sulsel tercatat lebih rendah secara triwulanan (qtq). Hal ini membuat pertumbuhan secara tahunan juga tidak mengalami akselerasi dan cenderung tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik 1.29). Hal ini disinyalir merupakan penyesuaian terhadap capaian target produksi untuk keseluruhan tahun 2014 yang memang ditargetkan tidak tumbuh lebih tinggi dari realisasi produksi tahun 2013. Nikel Matte 140 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) (60)
Karet Alam Olahan - Skala Kanan
Produksi Terigu
%, yoy
%, yoy
20 10
0 (10)
(20) (30)
(40) (50)
I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
I
2013
II 2014
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.30. Volume Ekspor Hasil Industri
5
30
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
40 20 10
0 (10)
(20) (30)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Produsen, diolah Grafik 1.31. Produksi Tepung Terigu
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
%, yoy
30
Hasil liaison kepada produsen dan eksportir kakao olahan, triwulan II 2014
18
gProduksi - Skala Kanan
Ribu Ton Metrik
I
II
2014
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
1.3.4 Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor LGA kembali mengalami peningkatan pertumbuhan pada triwulan II 2014 dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor LGA tercatat tumbuh sebesar 11,75% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh sebesar 8,87% (yoy). Menguatnya kinerja sektor LGA terkonfirmasi dari pertumbuhan penjualan eceran gas yang digunakan oleh rumah tangga (Grafik 1.32). Selain itu, rampungnya pembangunan pabrik dan hotel selama periode triwulan laporan turut meningkatkan konsumsi listrik, khususnya dari sektor bisnis. Adapun kapasitas produksi terpakai sektor LGA yang meningkat dibandingkan triwulan I 2014 juga mengkonfirmasi akselerasi yang terjadi. Penjualan Gas (LPG) untuk Rumah Tangga 120
Total Kapasitas
Indeks 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
115
110 105 100 95 90 85 80
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
I
II
Kapasitas Terpakai Sektor LGA
%
II
III
IV
I
II
2011
2014
Sumber: Survei Penjualan Eceran, diolah Grafik 1.32. Penjualan Eceran Gas
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
2014
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.33. Kapasitas Produksi Terpakai Sektor LGA
1.3.5 Sektor Bangunan Pada triwulan II 2014, sektor bangunan kembali tumbuh melemah yang searah dengan perkembangan komponen investasi. Di triwulan I 2014, sektor ini mampu bertumbuh hingga 7,98% (yoy), sementara pada triwulan laporan, sektor ini mengalami perlambatan dan tumbuh sebesar 6,89% (yoy). Perlambatan di sektor ini sejalan dengan deselarasi pada komponen investasi, khususnya yang dihitung dari PMTB yang juga mengalami perlambatan di triwulan laporan. Hal ini terkonfirmasi oleh melambatnya pertumbuhan penjualan eceran bahan bangunan seperti semen, pasir, dan bahan kontruksi yang terbuat dari tanah liat (Grafik 1.34). Penjualan eceran perlengkapan konstruksi juga mencatat kinerja yang lebih buruk pada triwulan laporan (Grafik 1.35). Semen
15
Pasir
Bahan Konstruksi dari Tanah Liat
Perlengkapan Konstruksi 20
%, yoy
10
15
5
10
%, yoy
5
0
0
(5)
(5)
(10)
(10)
(15)
(15)
I
II
III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
II 2014
Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.34. Perubahan Penjualan Eceran Bahan Konstruksi
I
II
III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
II 2014
Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.35. Perubahan Penjualan Eceran Perlengkapan Konstruksi
1.3.6 Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor PHR tumbuh menguat pada triwulan II 2014 yang didorong oleh membaiknya kegiatan perdagangan, khususnya impor, serta terjaganya kinerja pariwisata. Pertumbuhan sektor ini tercatat meningkat dari 8,28% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 9,15% (yoy) pada triwulan laporan. Akselerasi kinerja sektor PHR salah satunya didorong oleh menguatnya kegiatan impor (barang yang dibongkar) meskipun kegiatan ekspor (barang yang dimuat) relatif tidak tumbuh sebaik capaian sebelumnya (Grafik 1.36).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
19
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Volume Muat
3,500
Volume Bongkar
gTotal Volume - Skala Kanan
Ribu Ton
%, yoy
3,000 2,500
30
50
20
45
10
2,000
0
1,500
55
40
(10)
35
500
(20)
30
0
(30)
1,000
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
Sulawesi Selatan
%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
II
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah Grafik 1.36. Volume Bongkar dan Muat Barang
III
IV
I
2013
II 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.37. Tingkat Penghunian Kamar Hotel
Subsektor hotel mampu menopang pertumbuhan sektor PHR pada triwulan laporan seiring tingkat penghunian kamar hotel yang menunjukkan peningkatan. Secara musiman, tingkat penghunian kamar hotel bergerak naik pada triwulan laporan seiring dimulainya masa liburan, khususnya di akhir periode. Hal ini terlihat dari pergerakan TPK hotel yang sempat menurun pada April dan Mei 2014 namun naik cukup signifikan pada Juni 2014 (Grafik 1.37). Sementara itu, realisasi kegiatan usaha sektor PHR tercatat lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sehingga mengkonfirmasi percepatan yang terjadi (Grafik 1.38). Kegiatan usaha yang membaik tersebut dinilai dipengaruhi juga oleh realisasi harga jual pada sektor PHR yang naik cukup signifikan pada triwulan laporan (Grafik 1.39). Realisasi Kegiatan Usaha Sektor PHR 20
15
Perkiraan
Harga Jual Sektor PHR
20
%, Saldo Bersih Tertimbang
15
10
Perkiraan
%, Saldo Bersih Tertimbang
10
5 5
0
0
(5) (10)
(5) I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.38. Kegiatan Usaha Sektor PHR
I
II
I
2014
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.39. Harga Jual Sektor PHR
1.3.7 Sektor Angkutan dan Komunikasi Pertumbuhan sektor angkutan dan komunikasi mengalami perlambatan pada triwulan II 2014 karena kontraksi pada subsektor transportasi. Sektor ini tumbuh dari 6,34% (yoy) menjadi 3,40% (yoy) pada triwulan II 2014. Perlambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh melambatnya kinerja moda angkutan udara. Hal ini terkonfirmasi dari kontraksi yang cukup dalam pada lalu lintas penumpang penerbangan domestik maupun internasional (Grafik 1.40). Penurunan jumlah penumpang yang terjadi pada triwulan laporan dinilai dipengaruhi oleh naiknya tarif angkutan udara. Kredit ke sektor pengangkutan pun menunjukkan perlambatan pada triwulan laporan (Grafik 1.41).
1.3.8 Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pada triwulan II 2014, sektor keuangan tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, didorong oleh dua subsektor utama. Sektor keuangan tercatat tumbuh 7,38% (yoy) pada triwulan laporan, lebih rendah dari pertumbuhan di triwulan I 2014 (11,23%, yoy). Faktor penyebab perlambatan salah satunya datang dari kinerja subsektor perbankan yang melemah. Penyaluran kredit perbankan di Sulsel yang sedang berada dalam tren yang melambat menyebabkan nilai tambah bruto perbankan di Sulsel turut mengalami deselerasi pertumbuhan pada triwulan II 2014 (Grafik 1.42).
20
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Keberangkatan 2.5
Kedatangan
Pengangkutan
gPenumpang - Skala Kanan
Juta Orang
%, yoy
25 20
2.0
15
1.5 1.0
0.0 I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
2012
II
III
IV
2013
I
%, yoy
5
1.5
70 50
40 30
1.0
20
(10)
0.5
(15)
0.0
10 0
II
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
Sumber: Angkasa Pura Grafik 1.40. Lalu Lintas Penumpang Pesawat Udara
80 60
2.0
(5)
gKredit Pengangkutan
Rp Triliun
2.5
10
0
0.5
3.0
III
IV
I
2013
II 2014
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.41. Kredit Sektor Pengangkutan
Selain subsektor bank, subsektor properti juga menunjukkan tendensi pertumbuhan yang melambat pada triwulan laporan. Total nilai penjualan salah satu perusahaan properti terbesar di Sulsel menurun pada triwulan II 2014. Kondisi ini berlawanan dengan triwulan II 2013 ketika nilai penjualan mengalami kenaikan. Hal ini membuat pertumbuhan secara tahunan mengalami perlambatan setelah tumbuh hingga di atas 20% pada triwulan I 2014 (Grafik 1.43). Konsumsi masyarakat yang melemah dinilai memberikan andil pada perlambatan penjualan properti. Nilai Tambah Bank 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
gNTB
Penjualan Properti %, yoy
Rp Triliun
35
120
gPenjualan - Skala Kanan
Rp Miliar
%, yoy
100
30
100
80
25
80
60
20
60
40
15
40
20
20
0
10 5 0 I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
0
(20)
I
II
III
IV
I
II
2011
2014
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.42. Nilai Tambah Bank
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
2014
Sumber: Perusahaan Properti Grafik 1.43. Penjualan Properti
1.3.9 Sektor Jasa-jasa Sektor jasa-jasa tumbuh melambat pada triwulan II 2014 yang terutama didorong masih rendahnya belanja pemerintah. Sektor ini tercatat tumbuh sebesar 6,10% (yoy) setelah tumbuh sebesar 6,72% (yoy) di triwulan I 2014. Perlambatan tersebut diduga adalah dampak dari melambatnya konsumsi pemerintah pada triwulan laporan. Kegiatan belanja pemerintah yang belum mencapai target penyerapan realisasi anggaran memengaruhi kinerja sektor ini. Adapun indikator penyaluran kredit ke sektor jasa sosial masyarakat tercatat sedikit melambat pada triwulan II 2014 sehingga mengkonfirmasi perlambatan yang terjadi (Grafik 1.44).
Jasa Sosial Masyarakat 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
gKredit Jasa Sosial Masyarakat %, yoy
Rp Triliun
40 30
20 10 0
(10) (20) I
II
III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
II 2014
Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.44. Kredit Sektor Jasa Sosial Masyarakat
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
21
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Boks 1.A.
Kinerja Ekspor Industri Pengolahan Kakao
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sesuai data Direktorat Jenderal Perkebunan, luas area perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 1.853 ribu Ha dengan status kepemilikan didominasi oleh perkebunan rakyat seluas 1.641 ribu Ha (94,43%). Lahan kakao sebagian besar tersebar di Sulampua seluas 1.188 ribu Ha (64,11%) dan Sumatera seluas 385 ribu Ha (20.77%). Selaras dengan luas lahan kakao, sumbangan terbesar produksi kakao nasional berasal dari Sulampua 72,59% dengan rata-rata produktivitas sebesar 500-800 Kg/Ha. Devisa dari ekspor komoditas kakao pada tahun 2013 adalah sebesar US$1.162,41 juta (volume 416 ribu ton) atau mengalami pertumbuhan sebesar 8,19% dibandingkan tahun sebelumnya (US$ 1.067,18 juta). Ekspor kakao berupa coklat olahan senilai US$719,04 juta (61,86%), kemudian biji coklat senilai US$443,37 juta (38,14%).
2011
2014
Grafik V.C.1. Ekspor-Impor Kakao Indonesia
4.145 Ton 3.137 Ton
2011
2012
2013
JAN
APR
JUL
OKT
JAN
APR
JUL
OKT
JAN
APR
JUL
251 Ton
OKT
JAN
APR
JUL
2013
OKT
JAN
APR
JUL
2012
OKT
JAN
APR
JUL
OKT
6.449 Ton
JAN
7.935 Ton
APR
JAN
21.301 Ton
Impor Biji Kakao Sulampua (Ton) - LHS Ekspor Biji Kakao Sulampua (Ton) - RHS Ekspor Coklat Olahan Sulampua (Ton) - RHS
Ribu Ton 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
APR
Impor Biji Kakao Nasional (Ton) -LHS Ekspor Biji Kakao Indonesia (Ton) - RHS Ekspor Coklat Olahan Indonesia (Ton) - RHS
Ribu Ton 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
2014
Grafik V.C.2. Ekspor-Impor Kakao Sulampua
Ketergantungan pasar ekspor kakao Indonesia cenderung rendah. Pasar kakao olahan indonesia terdiversifikasi ke beberapa negara. Berdasarkan data ekspor 2014 (hingga Mei), ekspor kakao olahan ke Amerika Serikat tercatat sebesar US$114,93 juta (27,24%), Malaysia US$83,92 juta (19,89%), dan Jerman US$47,52 juta (11,26%), dan negara lainnya US$175,49 juta (41,61%) . Potensi permintaan Eropa dan Amerika masih sangat tinggi karena benua tersebut merupakan pengimpor kakao olahan dan negara penghasil permen coklat terbesar di dunia. USD Juta
800
10%
Amerika Serikat
700
5%
600
6,86% 3,85%
5,35%
Malaysia 0%
500
2010
Jerman
400
Australia
300 200
2011
2012
2013*
-5% -10%
Tiongkok
-15%
Lain-lain
-20%
-15,88%
100 0 2012
2013
2014*
Grafik V.C.3. Negara Tujuan Ekspor Kakao Olahan
Sumber: Ditjen Perkebunan, 2014
Grafik V.C.6. Pertumbuhan Produksi Kakao Sulampua
Namun demikian, produksi biji kakao Sulampua cenderung menurun ditengah kenaikan permintaan global maupun industri manufaktur coklat setengah jadi domestik sebagai hasil kebijakan hilirisasi. Fakta tersebut terkait dengan isu sustainabilitas pasokan kakao domestik yang semakin terbatas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pertumbuhan produksi kakao Sulampua mengalami perlambatan dari 6,86% di tahun 2012 menjadi 5,35% di tahun 2013. Kondisi demikian belum mampu mengembalikan kemampuan produksi Sulampua ke titik optimalnya setelah kontraksi hingga -15,88% di tahun 2011. Berdasarkan hasil diskusi bersama asosiasi dan organisasi yang bergerak di pengembangan kakao, peningkatan realisasi investasi manufaktur tidak diikuti oleh kecukupan pasokan kakao yang memadai. Usaha yang melibatkan sekitar 500.000 orang petani tersebut cenderung mengalami penurunan. Beberapa permasalahan yang terjadi, terkait
22
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
capaian produksi dan produktivitas tanaman kakao adalah: a. Karakteristik Tanaman Kakao. Sekitar 20%-45% lahan kakao yang dimiliki petani berukuran tidak lebih dari 1 hektar. Selanjutnya, usia tanaman kakao yang ada saat ini relatif tua (> 30 tahun). Selain itu, sifat tanaman dan bibit kakao yang tersedia saat ini masih rentan terhadap penyakit PBK (Penggerek Buah Kakao) yang menyebabkan biji kakao busuk. Karakteristik yang dimiliki kakao tersebut berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar. b. Perawatan Tanaman. Perawatan tanaman kakao semakin sulit dilakukan ketika usia tanaman tersebut relatif tua. c. Paradigma Petani. Sebagian besar petani menganggap tanaman kakao merupakan tanaman rakyat bukan tanaman industri yang bernilai komersial tinggi d. Perhatian Pemerintah. Program Gernas Kakao yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2009-2012 kurang berdampak pada peningkatan produksi dan produktivitas karena area yang dilakukan peremajaan terbatas 450 ribu ha atau 25% dari luas areal kakao nasional sekitar 1,8 juta Ha. e. Alih Fungsi Lahan. Berdasarkan fakta lapangan, tidak sedikit petani yang memutuskan untuk mengalihkan fungsi lahan dari yang sebelumnya tanaman kakao menjadi tanaman industri seperti kelapa sawit yang lebih mudah perawatannya. f. Akurasi Data. Saat ini data yang dimiliki BPS, Ditjenbun, dan Askindo terkait luas area, produksi, dan produkitivitas tanaman kakao berbeda satu sama lainnya. Hal demikian menjadikan pemantauan perkembangan kakao secara akurat sulit dilakukan. Hasil diskusi dengan Askindo, tanaman kakao di Sulampua masih memiliki potensi prospek yang cerah. Hal ini terutama didukung oleh permintaan kakao global dan domestik yang cenderung meningkat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi kakao secara berkesinambungan antara lain: a. Dukungan Pemerintah. Dalam menggenjot produksi kakao Indonesia dan menjamin pasokan yang berkesinambungan diperlukan perencanaan pengembangan komoditas secara menengah dan jangka panjang bukan berdasarkan proyek jangka pendek semata b. Ketersediaan Bibit Unggul. Dengan memperhatikan kondisi kakao yang rentan penyakit PBK, maka perlu dikembangkan penelitian bibit unggul yang tahan penyakit dan cocok ditanam di Sulampua. c. Perawatan Tanaman. Pemerintah perlu mengalokasikan tenaga pendamping dan penyuluh yang besar dalam mendukung proses peningkatan pengetahuan perawatan tanaman kakao oleh petani. d. Insentif. Untuk menjamin kesinambungan kakao, saat ini pemerintah harus memberikan insentif agar petani kakao semakin berminat dalam merawat tanaman kakao yang dimiliki. e. Pembagian Zona Pemanfaatan Lahan. Peningkatan produksi tanaman pangan dan perkebunan harus dituangkan dalam Masterplan zona pemanfaatan lahan yang jelas dan dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha dan petani. f. Infrastruktur. Dalam mendukung tumbuhnya industri pengolahan di daerah penghasil kakao dibutuhkan sarana infrastruktur yang memadai. g. Pasar Kakao Fermentasi. Hampir seluruh biji kakao yang dijual oleh petani saat ini masih dalam kondisi basah sehingga nilai tambah yang diperoleh petani kurang maksimal. h. Kebijakan Bea Masuk Kakao. Pasokan kakao domestik yang terbatas berdampak pada meningkatnya impor bahan baku dari luar negeri. Pelaku usaha mengharapkan agar bea masuk kakao sebesar 5% dicabut oleh pemerintah. Namun begitu, petani kakao domestik menilai rencana keputusan tersebut tidak berpihak pada daya saing dan tingkat kesejahteraan petani. i. Kebijakan Pendirian Industri Pengolahan Kakao. j. Pemantauan kinerja kakao. Diperlukan penguatan koordinasi kelembagaan yang melakukan penghitungan data terkait kakao.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
23
BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
24
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
2. KEUANGAN PEMERINTAH
Bab 2 Keuangan Pemerintah
Realisasi pendapatan maupun belanja fiskal daerah relatif masih rendah. Namun demikian, realisasi pos belanja hingga pertengahan tahun 2014 cenderung meningkat dari periode yang sama tahun 2013. Sementara dari sisi pendapatan, persentase realisasi pendapatan daerah menurun dari periode yang sama tahun 2013. Penyerapan belanja infrastruktur (belanja modal) masih kecil dan diharapkan akan terakselerasi pada triwulan mendatang hingga penghujung tahun 2014 sehingga menjadi stimulan bagi investasi. Sementara realisasi belanja pegawai yang lebih tinggi, turut memberi dorongan pada pertumbuhan konsumsi swasta.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
25
BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH
2.1. Struktur Anggaran Struktur APBD Provinsi Sulsel mengalami perubahan pada bagian pendapatan maupun belanja dalam kurun 5 (lima) tahun terakhir. Dari sisi realisasi pendapatan, selama tiga tahun terakhir, porsi pendapatan asli daerah (PAD) relatif stabil, padahal potensi pertumbuhan ekonomi Sulsel relatif besar. Dari sisi belanja, proporsi belanja modal pada triwulan II 2014 mulai meningkat, meskipun tidak setinggi tahun 2011 dan 2012. Sementara itu dalam PDRB, belanja modal sebagai stimulus ekonomi masih rendah, porsi terhadap PDRB Provinsi Sulsel masih relatif kecil yaitu sekitar 1,5%. 100%
100%
90%
90%
80%
80%
70%
70%
60%
60%
50%
50%
40%
40%
30%
30%
20%
20%
10%
10%
0%
0% Tw II-2009
Tw II-2010
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
Tw II-2011
Tw II-2012
Dana Perimbangan
Tw II-2013
Tw II-2014
Tw II-2009
Pendapatan Asli Daerah
Grafik 2.1. Proporsi Pendapatan APBD
Tw II-2010
Tw II-2011
Belanja Modal
Tw II-2012
Tw II-2013
Tw II-2014
Belanja Operasi
Grafik 2.2. Proporsi Belanja APBD
2.2. Perkembangan Realisasi Anggaran 2.2.1 Pendapatan Realisasi persentase pendapatan daerah pada pertengahan tahun 2014, masih belum setinggi pencapaian realisasi pertengahan tahun 2013. Nilai realisasi anggaran pendapatan daerah pada triwulan II 2014 mencapai Rp2,54 triliun atau 45,41%, sementara pada triwulan II 2013 dapat mencapai 46,85%. Peningkatan terutama didorong oleh realisasi pendapatan pajak daerah sebesar Rp1,13 triliun (39,96% dari target), dana alokasi umum Rp0,71 triliun (58,33% dari target), dan transfer pemerintah pusat lainnya Rp455,81 miliar (50,74% dari target). 6
Peran realisasi komponen pendapatan asli daerah (PAD) terhadap ekonomi daerah pada triwulan II 2014 relatif menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yang tercermin dari penurunan persentase realisasi terhadap targetnya dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio PAD terhadap PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) memperlihatkan pergerakan yang sedikit turun pada triwulan II 2014. Rasio PAD per PDRB ADHB pada triwulan II 2014 sebesar 2,38%, sementara triwulan II 2013 sebesar 2,51% (Grafik 2.3). Meskipun dari sisi dana perimbangan per PDRB ADHB, rasio hingga triwulan II 2014 sebesar 2,52%, lebih tinggi daripada triwulan II 2013 yang sebesar 1,74%. Meski mengalami perlambatan, ekonomi Sulawesi Selatan masih tumbuh cukup tinggi diatas nasional. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan APBD, antara lain melalui perluasan basis penerimaan pajak, meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya pemungutan, ataupun pemberdayaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pendapatan asli daerah (PAD) triwulan II 2014 mencatat persentase realisasi per anggaran yang sedikit lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2013. Realisasi komponen PAD triwulan II 2014 sebesar Rp1,23 triliun atau 39,71% dari anggaran yang ditetapkan, secara nominal meningkat dibandingkan realisasi triwulan II 2013 (Rp1,13 triliun), meskipun secara presentasi relatif lebih rendah dari triwulan II 2013 (43,76%). Peningkatan nilai tersebut terutama didorong oleh pendapatan pajak daerah yang persentase realisasinya sebesar 39,96% (Rp1,13 triliun). Hal ini disebabkan masih cukup kuatnya konsumsi rumah tangga di Sulsel dan upaya Pemprov Sulsel untuk terus mengoptimalkan pungutan pajak di daerah dalam rangka meningkatkan tax ratio. Sementara itu, pencapaian dan target retribusi daerah masih belum mencapai yang diharapkan. Pajak daerah antara lain terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Hingga pertengahan 2014, realisasi 7 BBNKB masih sangat kecil dibandingkan dengan populasi kendaraan yang semakin padat.Untuk meningkatkan
6
Dihitung dengan rumus realisasi komponen pendapatan APBD dibagi dengan PDRB ADHB kumulatif
7
Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Sulsel, Tau Toto, 13 Juni 2014, Siaran Pers.
26
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH
pendapatan, Pemprov Sulsel menambah jumlah kantor pelayanan dan optimalisasi pendapatan pajak kendaraan bermotor. Tabel 2.1. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Triwulan II 2014 (Milyar Rupiah)
ANGGARAN ANGGARAN Realisasi s/d TRIWULAN II 2013 Realisasi s/d TRIWULAN II 2014 PERUBAHAN 2013 Nominal % REALISASI PERUBAHAN 2014 Nominal % REALISASI
URAIAN PENDAPATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH - Pendapatan Pajak Daerah - Pendapatan Retribusi Daerah - Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan - Lain-lain PAD yang Sah DANA PERIMBANGAN - Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak - DAU - DAK Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya Lain-lain Pendapatan yang Sah JUMLAH PENDAPATAN
2,587.85 2,333.13 65.41 66.79 122.52 1,457.68 303.64 1,089.77 64.26 977.04 5,022.57
1,132.40 1,032.80 28.21 0.67 70.72 782.64 127.66 635.70 19.28 437.85 2,352.89
43.76% 44.27% 43.12% 1.00% 57.72% 53.69% 42.04% 58.33% 30.00% 44.81% 46.85%
3,107.04 2,822.47 74.28 71.85 138.44 2,473.37 292.49 1,209.60 72.98 898.31 13.52 5,593.93
1,233.93 1,127.77 30.50 0.78 74.88 1,305.85 122.55 705.60 21.89 455.81 0.44 2,540.21
39.71% 39.96% 41.05% 1.09% 54.09% 52.80% 41.90% 58.33% 30.00% 50.74% 3.25% 45.41%
3,862.55 969.07 969.95 46.25 1,224.98 650.30 923.79 15.00 4,801.34
1,305.04 357.56 229.70 7.50 552.06 158.22 52.99 2.05 1,360.07
33.79% 36.90% 23.68% 16.22% 45.07% 24.33% 5.74% 13.67% 28.33%
3,971.42 1,058.29 1,301.75 39.50 930.60 641.28 754.20 15.00 4,740.61
1,382.41 406.99 328.35 5.47 468.96 172.64 126.66 1,509.07
34.81% 38.46% 25.22% 13.84% 50.39% 26.92% 16.79% 0.00% 31.83%
843.05
316.12
37.50%
1,098.76
450.36
40.99%
1,676.19 676.70
29.70% -108.82%
5,839.38 (245.44)
1,959.43 580.78
33.56% -236.62%
189.23 189.23
63.83% 0.00% 77.10%
-
BELANJA BELANJA OPERASI - Belanja Pegawai - Belanja Barang - Belanja Bunga - Belanja Hibah - Belanja Bantuan Keuangan BELANJA MODAL BELANJA TIDAK TERDUGA JUMLAH BELANJA TRANSFER TOTAL BELANJA SURPLUS / (DEFISIT)
5,644.40 (621.83)
PEMBIAYAAN PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH JUMLAH PEMBIAYAAN
623.46 1.63 621.83
1.00 (1.00)
0.00% -0.16%
296.44 51.00 245.44
Keterangan: angka sementara (APBD Provinsi Sulawesi Selatan Unaudited) Sumber: Badan Pengelola Keuangan Sulsel, Dinas Pendapatan Daerah Sulsel, Biro Bina Perekonomian Sulsel
Persentase realisasi dana perimbangan (DAU dan DAK) relatif sama dengan pola tahun sebelumnya. Persentase realisasi subkomponen dana alokasi umum (DAU) yang sebesar Rp705,60 miliar (58,33%) dan dana alokasi khusus (DAK) yang sebesar Rp21,89 miliar (30,00%), sesuai dengan anggaran yang disampaikan oleh pemerintah pusat. Secara umum, persentase realisasi hampir semua komponen PAD berada berada di bawah realisasi tahun sebelumnya antara lain pendapatan pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain PAD yang sah, meski demikian secara nominal total realisasi PAD sampai dengan triwulan II 2014 lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu mencapai Rp1,23triliun (39,71%), dimana realisasi tahun sebelumnya (Rp1,13triliun atau 43,76%). 5.20
%
4.50
4.55
4.70
4.20
1.06 2.90
3.00
2.31
2.62
2.54
2.66
2.38
2.50
2.52
2.00
2.51
2.20
1.56
1.80
1.74
1.00
1.20
3.13
2.31
0.40
0.35 0.24
0.22
Tw II-2010
Tw II-2011
Pendapatan Asli Daerah
Tw II-2012
Tw II-2013
Tw II-2014
Dana Perimbangan
Grafik 2.3. Rasio Realisasi Pendapatan APBD Terhadap PDRB ADHB
0.20
0.12
-
Tw II-2009
0.80 0.60
0.50
0.70
2.67
1.85
1.50
1.90
1.00
0.98
3.50
3.20
1.70
1.20 3.83
4.00
3.70
2.70
%
Tw II-2009
Tw II-2010
Tw II-2011
Belanja Operasi
Tw II-2012
Tw II-2013
Tw II-2014
Belanja Modal
Grafik 2.4. Rasio Realisasi Belanja APBD Terhadap PDRB ADHB
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
27
BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH
2.2.2 Belanja Persentase penyerapan belanja APBD pada triwulan II 2014 masih rendah, meskipun meningkat dibanding periode yang sama tahun 2013. Realisasi anggaran belanja daerah sampai dengan akhir triwulan II 2014 sebesar 33,56%, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan capaian pada triwulan II 2013 yang hanya sebesar 29,70%. Secara nominal, realisasi anggaran belanja APBD pada periode laporan sebesar Rp1,96 triliun sedikit diatas realisasi tahun 2013 sebesar Rp1,68 triliun atau naik Rp283,24 miliar. 8
Pada triwulan II 2014, peran realisasi komponen belanja APBD untuk stimulus investasi daerah sedikit meningkat. Rasio belanja modal terhadap PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB), terlihat meningkat pada triwulan II 2014, yang menunjukkan terdapat dorongan stimulus fiskal untuk mengakselerasi laju investasi di Sulsel. Rasio belanja modal per PDRB ADHB periode laporan sebesar 0,24%, sementara tahun 2013 sebesar 0,12%. Namun demikian, peran belanja operasional per PDRB ADHB ditengarai menurun sesuai dengan penurunan komponen konsumsi pemerintah dalam PDRB. Rasio belanja operasional triwulan II2014 hanya sebesar 2,67%,sedikit lebih rendah dari 2013 yang sebesar 2,90%. Realisasi belanja operasional yang bersifat rutin, baik secara nominal maupun persentase,tercatat sedikit lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya. Total pos belanja operasional triwulan II 2014 terealisasi Rp1,38triliun (34,81%) lebih tinggi dari triwulan II 2013 (33,79%). Penyerapan terbesar pada belanja hibah, yaitu sebesar 50,39% dan terkecil adalah belanja bunga (13,84%). Sementara untuk belanja rutin yang terdiri dari belanja pegawai dan belanja barang, persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013, yaitu sebesar 38,46%. Sedangkan belanja barang terserap 25,22%, namun masih sedikit lebih tinggi dari tahun 2013 (23,68%) atau secara nilai sebesar Rp328,35 miliar. Sementara itu, belanja modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, meskipun penyerapannya masih rendah, namun mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi pos belanja modal pada triwulan II 2014 baru mencapai Rp126,66 miliar (16,79%), terutama untuk belanja peralatan dan mesin, belanja jalan, irigasi, dan jaringan. Pemerintah perlu melakukan upaya percepatan pada periode yang akan datang sehingga realisasinya dapat optimal. Dengan penyerapan yang optimal tentunya memberikan dampak yang lebih baik, karena investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dapat berperan sebagai multiplier effect dalam pertumbuhan investasi dan ekonomi Sulsel. Pada triwulan II 2014, transfer yang merupakan bentuk hubungan vertikal dengan kabupaten/kota, terealisasi lebih tinggi dibanding triwulan II 2013. Transfer pada periode laporan terealisasi sebesar 40,99% atau sebesar Rp450,36 miliar, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp316,12 miliar (37,50%). Kemudian, anggaran 2013 yang diperkirakan defisit, tertutupi dengan penerimaan pembiayaan. Lebih lanjut, berdasarkan perbandingan antara realisasi belanja dan pendapatan daerah pada triwulan II 2014, masih terjadi defisit (selisih kurang) anggaran sebesar Rp236,62 miliar. Kemudian, pengeluran pembiayaan daerah pada triwulan II 2014, APBD Sulsel mencatatkan sisa lebih anggaran (SILPA) sebesar Rp189,23 miliar.
8
Dihitung dengan rumus realisasi komponen belanja APBD dibagi dengan PDRB ADHB kumulatif
28
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
3. INFLASI DAERAH
Bab 3 Inflasi Daerah
Pada triwulan II 2014, inflasi Sulsel tercatat sebesar 5,92% (yoy), sedikit lebih tinggi dari triwulan I 2014 (5,92%, yoy), seiring adanya gangguan produksi ikan dan naiknya tingkat permintaan beberapa komoditas utama. Pasokan ikan yang terganggu karena kendala cuaca yang tidak menentu serta arah angin yang kurang menguntungkan menyebabkan inflasi pada komoditas bahan makanan. Sementara itu, banyaknya kegiatan masyarakat selama periode triwulan II 2014 seiring perayaan hari besar keagamaan membuat permintaan akan beberapa barang kebutuhan pokok meningkat dan menambah tekanan inflasi yang ada. Terkendalinya inflasi pada skala tertentu tidak terlepas dari kontribusi TPID. Secara kelembagaan jumlah TPID yang dibentuk oleh kabupaten/kota terus bertambah selama periode laporan dengan kegiatan koordinasi yang semakin intensif.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
29
BAB 3 INFLASI DAERAH
3.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa9 Laju inflasi Sulsel pada triwulan II 2014 tercatat sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang disebabkan oleh peningkatan tekanan inflasi pada beberapa kelompok barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat. Inflasi tercatat sebesar 5,92% (yoy) setelah pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 5,88% (yoy). Naiknya inflasi didorong oleh menguatnya tekanan inflasi pada kelompok bahan makanan, kelompok sandang, kelompok pendidikan, serta kelompok kesehatan (Tabel 3.1). Pada triwulan laporan, inflasi kelompok bahan makanan mengalami peningkatan dari 4,76% (yoy) menjadi 6,15% (yoy). Inflasi kelompok sandang tercatat sebesar 5,65% (yoy), naik dari triwulan I 2014 yang tercatat sebesar 3,73% (yoy). Selanjutnya, inflasi kelompok kesehatan dan kelompok pendidikan pada triwulan II 2014 adalah sebesar 5,22% (yoy) dan 1,38% (yoy), lebih tinggi dari triwulan lalu yang masing-masing tercatat sebesar 3,79% (yoy) dan 1,33% (yoy). Tabel 3.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa
TAHUN
2010
2011
2012
2013
2014
Bahan Makanan
1 2 3 4 I II III IV I II III IV I II III IV I II
Makanan Perumahan Jadi
2.68 7.64 13.43 14.27 13.96 12.10 1.43 0.24 4.04 4.94 7.81 6.56 8.01 6.22 10.76 6.97 4.76 6.15
6.22 5.23 6.21 5.90 4.47 5.27 4.40 4.40 4.49 4.29 4.97 5.03 4.57 4.63 4.70 4.47 5.39 5.38
Sandang Kesehatan Pendidikan
3.48 4.11 4.13 4.14 4.16 4.57 3.70 3.67 4.18 3.98 3.41 3.35 3.43 3.60 4.76 6.06 6.25 5.96
2.16 7.56 7.65 7.35 8.30 8.83 10.96 8.69 9.57 6.99 6.51 7.08 6.03 2.61 2.77 2.36 3.73 5.65
2.98 2.73 2.92 3.06 3.08 6.41 7.60 7.67 7.53 4.53 3.18 2.83 2.28 1.99 3.23 3.71 3.79 5.22
7.08 7.08 4.07 1.80 1.48 2.43 3.00 2.90 2.94 2.12 1.37 3.41 3.54 3.33 3.66 1.39 1.33 1.38
Transpor 1.18 1.06 1.76 1.75 1.84 2.08 0.77 0.73 0.57 0.47 0.63 1.16 0.89 3.96 12.01 11.58 10.31 7.91
UMUM 3.45 5.00 6.58 6.56 6.32 6.37 3.37 2.88 4.06 3.85 4.48 4.40 4.61 4.36 7.24 6.22 5.88 5.92
Sumber: Badan Pusat Statistik
Sementara itu, kelompok lainnya tercatat mengalami penurunan laju inflasi tahunan pada triwulan II 2014. Penurunan terbesar terjadi pada kelompok transpor, diikuti oleh kelompok perumahan dan kelompok makanan jadi. Adapun secara berurutan, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok transpor (7,91%, yoy), kelompok bahan makanan (6,15%, yoy), kelompok perumahan (5,96%, yoy), kelompok sandang (5,65%, yoy), kelompok makanan jadi (5,38%, yoy), kelompok kesehatan (5,22%, yoy), dan kelompok pendidikan (1,38%, yoy). Inflasi tahunan Sulsel juga masih lebih rendah dari laju inflasi tahunan nasional yang pada triwulan II 2014 tercatat sebesar 6,70% (yoy) (Grafik 3.1). Dilihat secara triwulanan, inflasi Sulsel pada triwulan II tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,50% (qtq) pada triwulan II 2014. 10
Nasional (yoy) 8
Sulawesi Selatan (yoy)
6.70
Sulawesi Selatan (qtq)
6
5.92
4 2
0.50
0 (2)
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
% 2010
2011
2012
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.1. Perkembangan Inflasi Sulawesi Selatan
9
Terdapat 7 (tujuh) kelompok barang dan jasa dalam perhitungan inflasi
30
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
2014
BAB 3 INFLASI DAERAH
3.1.1 Kelompok Bahan Makanan Pada triwulan II 2014, inflasi kelompok bahan makanan mengalami peningkatan seiring faktor musiman dan gangguan pasokan. Kenaikan inflasi terjadi dari 4,76% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 6,15% (yoy) pada triwulan II 2014 (Grafik 3.2). Naiknya harga terutama terjadi pada subkelompok daging serta hasilnya, telur, susu, serta hasilnya, subkelompok ikan segar, dan ikan yang diawetkan. Naiknya harga komoditas daging serta hasilnya seperti daging sapi dan daging ayam dinilai merupakan dampak musiman terutama pada akhir triwulan seiring dengan dimulainya masa puasa dan persiapan Lebaran. Kegiatan masyarakat yang cukup banyak pada triwulan laporan juga menjadi pemicu naiknya harga komoditas-komoditas tersebut.
15
yoy
10
qtq
5
0 (5) (10) I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
%
2011
2012
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.2. Inflasi Kelompok Bahan Makanan
Sementara itu, pasokan yang tidak sebaik perkiraan menyebabkan kenaikan harga baik ikan tangkap yang masih segar maupun ikan yang telah diolah melalui proses pengawetan. Pada awal triwulan laporan, terjadi gangguan pasokan ikan bandeng karena kegagalan petani tambak untuk melakukan panen dari bibit yang dimiliki karena kualitas bibit yang menurun. Nelayan juga disinyalir enggan untuk melaut karena prakiraan cuaca yang masih tidak menentu serta adanya pemilu legislatif yang menyebabkan kenaikan harga ikan kembung dan jenis ikan tangkap lainnya. Berdasarkan kunjungan ke TPI Paotere pada 22 Juni 2014, tangkapan yang belum optimal dipengaruhi oleh arah angin yang tidak menguntungkan para nelayan. Adapun secara keseluruhan, laju inflasi kelompok bahan makanan tertahan oleh harga bumbu, sayur, serta buah yang tidak tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Aneka Ikan Bandeng 40
Udang Basah
Aneka Sayur dan Buah Cakalang
Tomat Sayur
Kembung 200
%, yoy
30
150
20
100
10
50
0
Tomat Buah
Kangkung
0
(10)
(50)
(20)
(100)
(30)
I
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
2012
II
III
IV
2013
I
I
II
II
III
IV
Bawang Putih
I
II
2011
2014
III
IV
I
II
2012
Aneka Bumbu Bawang Merah 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100)
Jeruk
%, yoy
III
IV
I
2013
II
2014
Daging, Telur, dan Susu Cabe Merah
Daging Ayam Ras
Cabe Rawit 30
%, yoy
Telur Ayam Ras
Daging Sapi
Susu Bubuk
%, yoy
20 10 0
(10 ) (20 ) (30 )
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
I
II
III
IV
I
II
2011
III
2012
IV
I
II
III
IV
I
2013
II
2014
Sumber: Survei Pemantauan Harga Grafik 3.3. Perubahan Harga Komoditas Kelompok Bahan Makanan
Berdasarkan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH), harga komoditas aneka ikan, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam ras, serta susu bubuk memang mengalami kenaikan. Setelah mengalami penurunan pada triwulan I 2014, laju inflasi pada komoditas aneka ikan kembali meningkat, khususnya ikan cakalang, kembung, serta udang basah (Grafik 3.3). Inflasi tahunan komoditas daging dan telur pun terlihat mengalami peningkatan seiring pengaruh dari banyaknya kegiatan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
31
BAB 3 INFLASI DAERAH
masyarakat dan persiapan menyambut hari besar keagamaan. Di sisi lain, inflasi untuk bawang merah, cabe, serta aneka buah dan sayur cenderung mengalami penurunan yang dinilai karena kondisi pasokan yang lebih baik seiring masih berlangsungnya panen dan cuaca yang lebih bersahabat.
3.1.2 Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau pada triwulan II 2014 tercatat relatif sama dengan triwulan I 2014. Kelompok ini mencatat laju inflasi tahunan sebesar 5,38% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik 3.4). Pada triwulan sebelumnya, laju inflasi yang tercatat adalah sebesar 5,39% (yoy). Inflasi subkelompok makanan jadi meningkat pada triwulan II 2014 seiring menguatnya permintaan karena intensitas kegiatan masyarakat yang banyak serta dimulainya Ramadhan pada akhir triwulan. Di lain pihak, inflasi subkelompok minuman tidak beralkohol serta subkelompok tembakau dan minuman beralkohol tercatat lebih rendah dibandingkan triwulan I 2014 sehingga inflasi kelompok ini tidak terakselerasi lebih lanjut dan cenderung stabil.
6 yoy
qtq
5
4 3
2 1 0 I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
% 2011
2012
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.4. Inflasi Kelompok Makanan Jadi
Adanya peningkatan laju inflasi pada subkelompok makanan jadi serta penurunan laju inflasi pada dua subkelompok yang lain juga tercermin pada hasil SPH. Masih naiknya harga minyak goreng membuat harga makanan jadi yang sebelumnya diolah dengan minyak goreng mengalami peningkatan. Harga kue dan mie kering instant juga terlihat mengalami kenaikan (Grafik 3.5). Permintaan yang kuat seiring Paskah, Waisak, awal Ramadhan, liburan sekolah, persiapan dan penyelenggaraan pemilu, serta masih cukup ramainya kegiatan masyarakat turut memengaruhi inflasi di kelompok ini. Meski demikian, laju inflasi secara umum bergerak stabil karena adanya penurunan pada beberapa komoditas di dalam subkelompok yang lain seperti gula pasir dan rokok kretek (Grafik 3.5). Makanan dan Minuman 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40) (50)
%, yoy
I
II
III
2011
Rokok
Minyak Goreng
Mie Kering Instant
Kue Basah
Gula Pasir
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
Rokok Kretek 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
III
2013
IV
I
II
2014
Rokok Kretek Filter
%, yoy
I
II
III
IV
I
2011
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Sumber: Survei Pemantauan Harga Grafik 3.5. Perubahan Harga Komoditas Kelompok Makanan Jadi
3.1.3 Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar Pada triwulan II 2014, laju inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar menurun dibandingkan triwulan I 2014 terutama karena turunnya inflasi hampir di semua subkelompok. Laju inflasi tercatat sebesar 5,96% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya (6,25%, yoy) (Grafik 3.6). Turunnya laju inflasi tahunan didorong oleh penurunan pada subkelompok biaya tempat tinggal, subkelompok bahan bakar, penerangan, dan air, serta subkelompok perlengkapan rumah tangga sedangkan subkelompok penyelenggaraan rumah tangga masih mencatat peningkatan laju inflasi pada triwulan II 2014. Tidak berlanjutnya penyesuaian harga bahan bakar menjadi salah satu faktor pendorong penurunan laju inflasi kelompok ini. Harga LPG (liquefied petroleum gas) 12 kg mengalami kenaikan pada Januari 2014 namun kembali
32
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 3 INFLASI DAERAH
diturunkan agar tidak terlalu membebankan masyarakat dan tidak memicu inflasi hingga ke triwulan II 2014. Penurunan inflasi tersebut didukung juga oleh harga bahan bakar rumah tangga (RT) jenis lainnya yang tidak mengalami perubahan signifikan seperti yang terjadi pada tahun 2013 akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kemudian, harga bahan bangunan (pasir) masih cukup stabil di tengah pergerakan harga properti yang cenderung meningkat, tercermin dari Indeks Harga Properti Residential di Makassar (IHPR) (Grafik 3.7 dan Grafik 3.8). Adapun komoditas yang mengalami peningkatan laju inflasi berdasarkan hasil SPH salah satunya adalah sabun detergen bubuk yang dinilai memengaruhi peningkatan inflasi subkelompok penyelenggaraan rumah tangga. 7
Bahan Bakar Rumah Tangga
6
yoy
qtq
30 25 20 15 10 5 0 (5) (10)
5 4 3
2 1 0
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
%, yoy
I
II
Pasir
Sabun Detergen Bubuk
Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga > 500% (yoy).
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
%
2011
2012
2013
2011
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.6. Inflasi Kelompok Perumahan
2012
2013
2014
Sumber: Survei Pemantauan Harga Grafik 3.7. Perubahan Harga Alat dan Bahan Kebutuhan RT
3.1.4 Kelompok Sandang Inflasi kelompok sandang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang didorong oleh peningkatan laju inflasi subkelompok barang pribadi dan sandang lainnya. Pada triwulan I 2014, inflasi tercatat sebesar 3,73% (yoy) yang kemudian naik menjadi 5,65% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik 3.9). Naiknya harga komoditas dari subkelompok barang pribadi dan sandang lainnya, khususnya komoditas emas perhiasan, juga diikuti oleh inflasi yang terjadi pada subkelompok yang lain, khususnya sandang laki-laki. Permintaan yang meningkat seiring banyaknya momen perayaan dinilai menjadi penyebab naiknya harga komoditas sandang yang merupakan salah satu kebutuhan primer. IHPR
300
12
gIndeks - Skala Kanan
%, yoy
Indeks
250
200 150
100 50
0 I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
2014
Sumber: Survei Harga Properti Residensial Grafik 3.8. Indeks Harga Properti Residensial
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
10
yoy
qtq
8 6
4 2 0
(2) (4) I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
% 2011
2012
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Sandang
Dari sisi nominal, harga emas pada dasarnya tercatat lebih rendah dibandingkan triwulan I 2014 namun secara tahunan tetap tumbuh lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga pada triwulan laporan tidak sebesar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Rata-rata harga emas di pasar global tercatat turun sebesar -13,23% (qtq) pada triwulan II 2013 sedangkan pada triwulan II 2014 hanya turun sebesar -0,35% (qtq). Harga emas perhiasan yang disurvei pun terlihat mengikuti pola yang serupa (Grafik 3.10 dan Grafik 3.11). Penurunan harga emas di pasar global tersebut dipengaruhi antara lain oleh sentimen positif terhadap perekonomian Amerika Serikat (AS) serta faktor pola musiman.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
33
BAB 3 INFLASI DAERAH
Harga Emas Perhiasan 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
gHarga - Skala Kanan
I
II
Harga Emas 35 30 25 20 15 10 5 0 (5) (10) (15)
%, yoy
Rp Ribu
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
%, yoy
50
40 30 20 10 0
(10) (20) (30)
II
I
2014
II
III
IV
I
II
2011
Sumber: Survei Pemantauan Harga Grafik 3.10. Perubahan Harga Emas Perhiasan
gHarga - Skala Kanan
US$/troy oz
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
II
2014
Sumber: World Bank Grafik 3.11. Perubahan Harga Emas Internasional
3.1.5 Kelompok Kesehatan Inflasi kelompok kesehatan kembali mengalami peningkatan pada triwulan II 2014 yang didorong oleh masih kuatnya permintaan dan pengaruh perubahan nilai tukar pada tahun 2013. Pada triwulan laporan, kelompok ini mencatat inflasi sebesar 5,22% (yoy) setelah sebelumnya tercatat sebesar 3,79% (yoy) pada triwulan IV 2013 (Grafik 3.12). Sumber utama peningkatan tersebut berasal dari inflasi pada subkelompok obat-obatan, subkelompok jasa perawatan jasmani, serta subkelompok perawatan jasmani dan kosmetika. Dampak penyesuaian harga produk impor seiring apresiasi mata uang dollar Amerika Serikat (US$) masih terus berlanjut. Hal ini membuat harga komoditas obat-obatan, produk komestika, maupun produk perawatan jasmani yang lainnya ikut mengalami penyesuaian (imported inflation). Apalagi permintaan terhadap produk komestika, produk perawatan jasmani, maupun jasa perawatan jasmani dinilai masih kuat seiring masih tingginya intensitas kegiatan masyarakat dalam menyambut berbagai event.
3.1.6 Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga mengalami sedikit peningkatan tekanan inflasi pada triwulan II 2014. Pada triwulan laporan, inflasi kelompok ini tercatat sebesar 1,38% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (1,33%; yoy) (Grafik 3.13). Naiknya laju inflasi tersebut didorong oleh peningkatan inflasi di beberapa subkelompok meski tidak terjadi secara signifikan. Adapun laju inflasi dari subkelompok olahraga mengalami penurunan sehingga mampu menahan peningkatan inflasi yang terjadi pada kelompok ini. 9
4.0
8
3.5
7
3.0
yoy
qtq
6
2.5
5
2.0
4
1.5
3
1.0
2
0.5
1
0.0
0
(0.5)
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
%
2011
2012
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.12. Inflasi Kelompok Kesehatan
2014
yoy
I %
II
III
2011
IV
qtq
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.13. Inflasi Kelompok Pendidikan
Kenaikan yang terjadi pada beberapa komoditas masih disebabkan oleh tingkat permintaan yang lebih tinggi dari para konsumen. Permintaan yang meningkat mendorong terjadinya peningkatan laju inflasi pada komoditas untuk perlengkapan sekolah, peralatan sekolah, maupun jasa rekreasi. Apalagi, akhir triwulan laporan ditandai dengan segera dimulainya liburan sekolah yang akan disusul oleh periode sekolah (semester) yang baru. Terkait inflasi yang masih cukup
34
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 3 INFLASI DAERAH
terkendali, hal tersebut didukung oleh dampak kenaikan biaya pendidikan yang terus mereda sejak triwulan IV 2013 setelah kenaikan biaya pendidikan yang terjadi pada triwulan IV 2012.
3.1.7 Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan Pada triwulan II 2014, tekanan inflasi kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan terus menurun dari triwulan sebelumnya. Laju inflasi tercatat sebesar 7,91% (yoy), turun dari 10,31% (yoy) pada triwulan IV 2013 (Grafik 3.14). Inflasi kelompok ini yang kembali menurun didukung oleh tidak adanya kebijakan dari sisi pemerintah untuk menaikkan harga komoditas strategis seperti BBM bersubsidi yang sebelumnya terjadi pada triwulan II 2013, tepatnya tanggal 22 Juni 2013. Hal ini membuat laju inflasi tahunan menjadi tidak setinggi triwulan sebelumnya. 14
Harga Karet
gHarga - Skala Kanan
12
7
10
6
80
5
60
yoy
8
qtq
US$/kg
%, yoy
100
40
6
4
4
3
2
2
(20)
0
1
(40)
(2)
0
%
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
20 0
(60) I
II
II
III
IV
I
II
2011
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.14. Inflasi Kelompok Transpor
III
IV
I
2012
II
III
IV
2013
I
II
2014
Sumber: World Bank Grafik 3.15. Perubahan Harga Karet Internasional
Selanjutnya, angka inflasi yang masih cukup tinggi pada kelompok ini didorong oleh kenaikan tarif transportasi. Pada triwulan laporan, tarif angkutan antarkota serta tarif tranportasi laut dan udara mengalami peningkatan seiring persiapan Lebaran yang dibarengi oleh arus mudik dan arus balik. Meski kegiatan mudik baru akan terjadi pada awal triwulan III 2014, proses pemesanan dan pembelian tiket jasa transportasi telah berlangsung sejak triwulan II 2014. Tekanan inflasi juga dinilai datang dari komoditas penunjang transpor seperti ban mobil seiring meningkatnya inflasi pada harga bahan baku (karet) meskipun memang tidak signifikan (Grafik 3.15).
3.2. Inflasi Menurut Kota IHK10 Pada triwulan II 2014, tekanan inflasi yang sedikit meningkat didorong oleh peningkatan inflasi yang terjadi di Watampone, Palopo, dan Bulukumba. Inflasi di Watampone, Palopo, dan Bulukumba pada triwulan II 2014 secara berurutan tercatat sebesar 8,14% (yoy), 7,36% (yoy), dan 14,10% (yoy). Pada triwulan sebelumnya, laju inflasi di tiga kota IHK tersebut tercatat sebesar 7,86% (yoy), 6,22% (yoy), dan 13,94% (yoy). Selanjutnya, inflasi di Makassar dan Parepare mengalami penurunan. Inflasi di kedua kota IHK tersebut masing-masing tercatat sebesar 5,38% (yoy) dan 5,57% (yoy) setelah sebelumnya tercatat sebesar 5,46% (yoy) dan 5,58% (yoy) (Grafik 3.16). Tabel 3.2. Sumbangan Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota Kota
2011
2012
2013
2014
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
Watampone
0.30%
0.32%
0.17%
0.14%
0.20%
0.19%
0.22%
0.22%
0.23%
0.22%
0.36%
0.31%
0.45%
0.47%
Makassar
5.32%
5.35%
2.87%
2.42%
3.42%
3.24%
3.77%
3.71%
3.88%
3.68%
6.10%
5.25%
4.27%
4.20%
Palopo
0.35%
0.35%
0.19%
0.16%
0.22%
0.21%
0.25%
0.24%
0.25%
0.24%
0.40%
0.34%
0.40%
0.47%
Parepare
0.34%
0.35%
0.18%
0.16%
0.22%
0.21%
0.24%
0.24%
0.24%
0.23%
0.39%
0.33%
0.39%
0.39%
Bulukumba Sulawasi Selatan
6.32%
6.37%
3.37%
2.88%
4.06%
3.85%
4.48%
4.40%
4.61%
4.36%
7.24%
6.22%
0.38%
0.39%
5.88%
5.92%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
10
Mulai Januari 2014, inflasi Sulawesi Selatan dihitung dari agregasi lima kabupaten/kota yaitu Makassar, Palopo, Parepare, Watampone (Bone), dan Bulukumba
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
35
BAB 3 INFLASI DAERAH
Gangguan pasokan ikan serta musim perayaan yang memicu peningkatan permintaan dinilai tetap menjadi penyebab utama kenaikan inflasi di beberapa kota. Hal tersebut memicu peningkatan sumbangan inflasi dari beberapa kota IHK di Sulsel. Peningkatan sumbangan terbesar diberikan oleh Palopo yaitu dari 0,40% menjadi 0,47% pada triwulan laporan. Sementara itu, Watampone dan Bulukumba mencatat peningkatan yang tidak terlalu besar. Adapun sumbangan dari Makassar terhadap inflasi mengalami penurunan sedangkan sumbangan dari parepare tercatat stabil (Tabel 3.2).
16
%, yoy
14 12 10
Sulawasi Selatan
Bulukumba
Makassar
Palopo
Parepare
Watampone
8 6
4 2 0
I
II
III
IV
I
II
2010
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
III 2013
IV
I
II 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.16. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota
3.3. Disagregasi Inflasi11 Meningkatnya tekanan inflasi di Sulsel pada triwulan II 2014 terutama didorong oleh komponen volatile food dan core inflation. Komponen volatile food mencatat inflasi 6,11% (yoy), setelah tercatat sebesar 4,62% (yoy) pada triwulan I 2014 (Grafik 3.17). Adanya faktor yang bersifat musiman yaitu perayaan hari besar keagamaan dan liburan sekolah di akhir triwulan memengaruhi harga bahan makanan seperti daging sapi, daging ayam, dan telur ayam meskipun produksi pada dasarnya masih cukup memadai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Gangguan pasokan justru terjadi pada komoditas perikanan. Penyebabnya antara lain adalah kondisi curah hujan yang tidak menentu serta arah angin yang belum menguntungkan bagi para nelayan. Nelayan juga disinyalir tidak melakukan penangkapan pada minggu pelaksaan pemilu legislatif yang jatuh pada awal triwulan laporan. Inflasi IHK 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Administered Price
Core
Volatile Food
%, yoy
11.22 5.92
6.11 4.47 I
II
III 2013
IV
I
II 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.17. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Komponen Disagregasi
Selanjutnya, inflasi inti (core inflation) meningkat karena tekanan inflasi dari berbagai faktor fundamental. Inflasi tercatat menjadi 4,47% (yoy) setelah sebelumnya tercatat sebesar 3,93% (yoy). Permintaan masyarakat yang meningkat seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terutama untuk barang kebutuhan primer dan sekunder, menjadi salah satu pendorong utama kenaikan pada inflasi inti yang bersumber dari komoditas makanan jadi, perlengkapan/peralatan rumah tangga, pakaian, produk kosmetika dan perawatan jasmani, perlengkapan/peralatan sekolah, maupun jasa rekreasi. Faktor fundamental lainnya yang memengaruhi inflasi inti adalah pergerakan harga di pasar global, seperti emas dan karet, yang turut memberi dampak pada peningkatan inflasi komoditas emas perhiasan dan penunjang transpor. 11
Analisis disagregasi membagi inflasi menjadi inflasi inti (core inflation) dan inflasi noninti (volatile food dan administered price). Hal ini dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
36
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 3 INFLASI DAERAH
Adapun pengaruh penguatan nilai tukar US$ membuat adanya faktor imported inflation pada komoditas obat-obatan yang masih mengalami kenaikan pada triwulan laporan. Inflasi administered price menjadi faktor penahan inflasi sehingga tidak tercatat lebih tinggi lagi pada triwulan II 2014. Di triwulan I 2014, inflasi komponen ini tercatat sebesar 15,31% (yoy) dan kemudian menurun menjadi 11,22% (yoy) pada triwulan laporan. Turunnya inflasi administered price disebabkan oleh tidak adanya kebijakan pemerintah yang cukup signifikan seperti kenaikan harga LPG 12 kg pada triwulan I 2014 yang kemudian telah diturunkan kembali maupun penyesuaian BBM bersubsidi pada triwulan II 2013. Hal ini membuat laju inflasi secara tahunan tercatat lebih rendah dari triwulan sebelumnya meski dengan adanya risiko kenaikan tarif angkutan seiring perayaan Lebaran.
3.4. Koordinasi Pengendalian Inflasi Perkembangan koordinasi pengendalian inflasi di Sulsel kembali menunjukkan perkembangan yang lebih baik lagi dari sisi kelembagaan yang ditunjukkan oleh bertambahnya TPID di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara aktif terus mendorong pembentukan TPID di Daerah Tingkat II (DATI II) agar koordinasi dan harmonisasi program pengendalian harga di Sulsel berjalan semakin baik. Tercatat hingga triwulan laporan, telah terbentuk 22 (dua puluh dua) TPID di tingkat kabupaten/kota (Tabel 3.3). Jumlah tersebut bertambah dari angka pada triwulan I 2014 yang tercatat sebanyak 18 TPID. Ke-18 kabupaten/kota yang telah memiliki TPID pada triwulan sebelumnya adalah Makassar, Parepare, Palopo, Bone (Watampone), Bulukumba, Soppeng, Pangkep, Tana Toraja, Sinjai, Maros, Takalar, Barru, Enrekang, Luwu Timur, Bantaeng, Wajo, Jeneponto, dan Toraja Utara. Selanjutnya, empat kabupaten/kota yang membentuk TPID selama periode triwulan laporan adalah Selayar, Pinrang, Sidrap, serta Luwu Utara. Selama triwulan II 2014, TPID Sulsel telah melakukan koordinasi baik di tingkat wilayah, provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), selain melakukan Rakorwil Pertama TPID 2014 pada 14 April 2014 di Makassar untuk membahas langkah penguatan kelembagaan dan sosialisasi awal slogan TPID Sulampua, juga telah dilakukan Rakorwil Kedua TPID 2014 pada 14 Mei 2014 di Palu. Rakorwil Kedua tersebut lebih khusus membahas isu konektivitas antardaerah dengan mengundang pihak Pelindo sebagai narasumber. Di tingkat provinsi, TPID Provinsi Sulbar telah menyelenggarakan high level meeting pada 25 Juni 2014 dalam rangka memperkuat kelembagaan di tingkat DATI II serta diseminasi informasi harga komoditas utama kepada masyarakat. Sementara itu, koordinasi di tingkat kabupaten/kota dilakukan sebanyak dua kali di Zona Bulukumba yaitu rapat teknis pada 19 Mei 2014 serta high level meeting pemantauan pergerakan harga barang saaat Lebaran pada 12 Juni 2014. Tabel 3.3. Perkembangan TPID Tingkat Kabupaten dan Kota Menurut Zona
No
Nama Zona
Kabupaten/Kota
Belum Memiliki TPID
1
Zona Palopo
Palopo, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, Toraja Utara, Tana Toraja
Luwu
2
Zona Parepare
Parepare, Enrekang, Pinrang, Sidrap, Barru
-
3
Zona Bone
Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai
-
4
Zona Bulukumba
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Selayar
-
5
Zona Makassar
Makassar, Pangkep, Maros, Gowa, Takalar
Gowa
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
37
BAB 3 INFLASI DAERAH
Boks 2.A.
Peningkatan Intensitas Koordinasi TPID se-Sulsel
Sepanjang tahun 2014, kelembagaan TPID semakin berkembang. Kabupaten dan Kota se-Sulsel terlihat antusias membentuk TPID kab/kota. Hingga akhir triwulan II 2014, sudah terbentuk 22 TPID kab/kota, dari 24 Kab/Kota se-Sulsel. Dan untuk meningkatkan efektivitas koordinasi, Pemprov. Sulsel beserta KPw BI Wilayah I – Sulampua berinisiatif membagi TPID Kab/Kota se-Sulsel menjadi 5 zona atas dasar kota inflasi, lokasi antar TPID, dan keseimbangan sebaran wilayah administratif. Sejak kemunculan TPID Sulsel, koordinasi yang lebih intens selalu digelar menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Tahun ini adalah kali keenam. Diawali dengan surat Gubernur Sulsel selaku pengarah TPID Sulsel, kepada 24 bupati/walikota seSulsel pada tanggal 26 Mei 2014 sebagai antisipasi Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Menghadapi Puasa, Pilpres, dan Idul Fitri Tahun 2014 di Sulsel. Perintahnya adalah melakukan koordinasi pelaku usaha/asosiasi, aktif melakukan kunjungan ke pasar tradisional/gudang pengecer/sentra distribusi, mengintensifkan pemantauan pasokan dan harga kebutuhan pokok, menyiapkan jalur distribusi alternatif apabila ada hambatan transportasi, menyelenggarakan pasar murah minimal 2-3 kali, dan membentuk dan mengintensifkan posko kebutuhan pokok, dalam rangka memberikan informasi kepada masyarakat. Menindaklanjuti instruksi Gubernur, selanjutnya dilakukan pertemuan koordinasi menjelang Ramadhan. Koordinasi untuk lebih memastikan terjaminnya pasokan/stok, kelancaran distribusi, dan sekaligus komunikasi menghadapi ekspektasi permintaan saat Ramadhan/Idul Fitri 1435 H. Gubernur Sulsel mengumpulkan Bupati dan Dinas Perindustrian/Perdagangan di 24 Kabupaten/Kota, Bank Indonesia, anggota TPID, Asosiasi distributor, Kadin, perbankan, Pertamina, dan Pelindo pada tanggal 18 Juni 2014. Kesimpulannya, stok Aman untuk beras hingga 28 bulan, gula hingga 5 bulan, terigu hingga 4 bulan, migor hingga 3 bulan, sementara daging dan telur hingga 3 bulan.
Gambar 1. Rapat Koordinasi Gubernur Sulsel beserta jajaran Muspida dan Kepala BI Wilayah I
Gambar 2. Koordinasi TPID Zona Bulukumba oleh Bupati Bulukumba beserta Deputi Kepala BI Wilayah I dan Edukasi Keuangan
Sementara di level teknis, menindaklanjuti himbauan Gubernur, TPID Sulsel melakukan koordinasi dan monitoring ke TPID Zona Bulukumba. Zona Bulukumba terdiri dari TPID Kabupaten Bulukumba, TPID Kabupaten Bantaeng, TPID Kabupaten Jeneponto, dan TPID Kabupaten Selayar. Zona Bulukumba dipilih karena Bulukumba sebagai kota inflasi yang baru, mengalami inflasi tinggi mencapai 14,5% (yoy) hingga Mei 2014. Koordinasi se-zona Bulukumba tanggal 12 Juni 2014, dipimpin langsung oleh Bupati Bulukumba, H. Zainuddin Hasan dan Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I, Causa Iman Karana, serta Sekda Kabupaten Sinjai sebagai TPID berprestasi Tahun 2013. Pengukuhan Kabupaten Sinjai sebagai TPID berprestasi dilakukan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) V Tim Pengendalian Inflasi Tahun 2014 di Jakarta pada 21 Mei 2014. Hasil identifikasi awal, pengendalian inflasi di Bulukumba masih terkendala faktor-faktor non struktural yang berlangsung secara persisten. Komoditas ikan-ikanan tergantung penentuan harga jual dan lokasi penjualan oleh nelayan pemilik kapal (punggawa). Kuatnya jaringan punggawa, mendorong pengentasan masalah mengalami kendala. Hingga saat ini, kemiskinan masih terjadi pada nelayan penggarap. Punggawa lebih bankable, sehingga kredit perbankan justru disalurkan kepada punggawa, bukan nelayan penggarap. Oleh karena itu, secara paralel di waktu yang berbarengan diselenggarakan pula Edukasi Keuangan dan Gerakan Indonesia Menabung kepada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan Kelompok Tani/Nelayan Kabupaten Bulukumba. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 10 PPL dan 100 nelayan di Kabupaten Bulukumba.
38
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 3 INFLASI DAERAH
Boks 2.B.
Mengurai Permasalahan Logistik: Isu Mendasar Wilayah Indonesia Timur
Tekanan inflasi di wilayah Indonesia Timur seperti yang sudah banyak diketahui dan sering menjadi bahan diskusi adalah hambatan di bidang logistik, sehingga mengakibatkan level harga barang kebutuhan masyarakat menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia Barat. Dengan level harga yang tinggi, membentuk pendapatan masyarakat yang jauh dibawah rata-rata Indonesia. Menyadari kompleksnya isu ditinjau dari aspek perlunya koordinasi antar instansi, maka TPID sebagai wadah koordinasi antara Pemda, Instansi Pemerintah, dan Bank Indonesia, melalui Rakorwil TPID Sulampua, turut berkontribusi positif melalui pembahasan intensif dan akan ditindaklajuti berbagai rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada masing-masing pemangku kebijakan untuk ditindaklajuti.
Gambar 1. Suasana Rakorwil II Tahun 2014
Rakorwil TPID Sulampua yang ke-2 2014 yang diselenggarakan di Palu adalah menindaklajuti salah satu rekomendasi Rakorwil ke-1 2014 di Makassar, yaitu perlunya pemetaan permasalahan logistik. Pelaksanaan Rakorwil pada 13 Mei 2014, mengundang PT. Pelindo IV, operator utama kepelabuhanan di wilayah Sulampua, serta seluruh TPID Prov/Kab/Kota se-Sulampua, diselenggarakan di Kota Palu dengan pertimbangan sebagai salah satu gerbang logistik yang melayani wilayah timur Indonesia selain Makassar. Kegiatan Rakorwil II Tahun 2014 TPID Sulampua, dibuka oleh Gubernur Sulawesi Tengah disampingi oleh Kepala KPw BI Wilayah I, Direktur Utama Pelindo IV, dan Direktur Operasional (Alif Abadi) Pelindo IV, serta Syahbandar Pelabuhan Sulteng. Tantangan logistik di Sulampua cukup berat. Dari kacamata PT. Pelindo IV, wilayah Sulampua yang terdiri atas pulaupulau, kondisi logistik kelautannya memiliki beberapa tantangan kuat antara lain, ketidakseimbangan muatan (jumlah muatan dari wilayah timur ke wilayah barat relatif rendah sedangkan arah sebaliknya besar), kapal yang digunakan umunya kapasitas kecil sehingga nilai ekonomisnya berkurang, biaya investasi pembangunan infrastruktur yang tinggi, profit yang relatif kecil sehingga kurang menarik bagi investor, serta waktu tunggu kapal di pelabuhan yang lama. Selain itu, di kawasan timur, terdapat banyak angkutan peti kemas yang membutuhkan trailer yang panjang sehingga muatan harus dibongkar dulu di dalam pelabuhan dalam wujud cargo. Armada internasional telah melayani pengiriman barang secara langsung dari Sulampua. Dirut PT Pelindo IV menyampaikan berita positif, yaitu sejak 14 April 2014 pengiriman barang dari Bitung dapat langsung menuju Malaysia, tanpa harus melalui pelabuhan di Surabaya/Jakarta. Pengiriman dilakukan oleh MAERSK Line, perusahaan pelayaran yang berkantor pusat di Copenhagen, Denmark. Pengiriman akan dilakukan sebulan dua kali dengan rute dari Papua Nugini ke Bitung lalu ke Tanjung Pelepas di Johor, Malaysia.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
39
BAB 3 INFLASI DAERAH
Pengembangan kegiatan operasional terus menerus dilakukan oleh Pelindo IV. Direktur Operasional Pelindo IV menyampaikan pengembangan pelabuhan yang akan dilakukan ke depan antara lain, (1) Process excellence and improving port performance (tahun 2013-2014) dengan meningkatkan service level, melakukan perbaikan hard&soft infrastruktur, dan meningkatkan koordinasi pengelolaan tenaga kerja bongkar muat (TKBM); (2) Growing throughput and port development (tahun 2015-2016) antara lain keterhubungan antara jalur utama dan jalur pendukung antara lain melakukan transshipment service (mengurangi jumlah muatan yang transit di Jakarta dan Surabaya dengan mengalihkan ke pelabuhan di Makassar, Bitung dan Ambon) dan menawarkan kepada perusahaan pelayaran untuk menggunakan pelabuhan di KTI sebagai homebase; serta (3) Global terminal and quantum leap (tahun 2017-2018): meningkatkan fasilitas untuk bisa melayani lebih banyak kapal, menambah kapasitas dermaga, dan mengirimkan sumber daya manusia untuk belajar di pelabuhan luar negeri. Armada laut untuk komoditas khusus belum tersedia. Syahbadar Sulteng menyampaikan bahwa hingga April 2014, terdapat 13.938 unit kapal niaga, dimana 87% dimiliki oleh perusahaan angkutan laut nasional (pemegang SIUPAL) dan 13% dimiliki oleh perusahaan angkutan laut khusus (pemegang SIOPSUS). Pemerintah akan mendorong adanya angkutan sapi antar pulau. Saat ini, tidak adanya asuransi untuk pengiriman sapi antar pulau, dan belum ada kapal nasional & sistem bongkar muat khusus pengangkut sapi antar pulau. Rekomendasi Rakorwil II Tahun 2014 TPID Sulampua mengharapkan permasalahan dapat terurai. Rekomendasi peserta Rakorwil II Tahun 2014 TPID Sulampua antara lain, (1) pengiriman barang dari Makassar – Singapura dilakukan secara langsung; (2) pengkajian pembangunan pelabuhan dan transportasi angkutan laut di Sulampua sebaiknya dilihat dari sisi ekonomi, dan pertimbangan keuntungan jangan menjadi prioritas; (3) Sebaiknya dividen oleh PELINDO antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI) dibedakan, sehingga PELINDO akan lebih tertarik untuk melakukan investasi di KTI; (4) Dalam rangka menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015, peran dari Balai Karantina perlu ditingkatkan untuk menghindari pemberlakuan hambatan non tarif (technical barriers) dari negara lain sehingga produk Indonesia dapat diterima di negara tersebut. Untuk itu diperlukan fasilitas CIQ (Custom Immigration Quarantine) di pelabuhan; (5) Struktur biaya terbesar di salah satu pelabuhan ialah biaya TKBM dikarenakan adanya monopoli oleh salah satu pihak. Diusulkan untuk mendorong adanya kompetisi sehingga dapat menurunkan biaya TKBM; serta (6) untuk itu mengatasi permasalahan logistik, diperlukan dukungan dari pemerintah pusat, antara lain agar alokasi APBN untuk pembangunan infrastruktur harus diprioritaskan untuk KTI. Kementerian Perhubungan diharapkan mampu mendorong terciptanya jalur kereta api di Sulawesi sehingga mengurangi ketergantungan terhadap angkutan laut, serta adanya integrasi moda transportasi yang menghubungkan pelabuhan dan kawasan industri.
40
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
4. SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
Bab 4 Sistem Keuangan dan Pengembangan Akses Keuangan Kinerja perbankan di Sulsel pada triwulan II 2014, dari indikator utama yaitu aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan yang disalurkan, memperlihatkan arah pertumbuhan yang masih cukup baik. Pertumbuhan aset bank umum mengalami peningkatan karena didorong oleh pertumbuhan aset bank pemerintah maupun bank asing dan bank campuran. Sementara itu, kegiatan intermediasi (LDR) sedikit menurun pada triwulan II 2014 menjadi sebesar 129,21% seiring perlambatan pertumbuhan kredit di tengah akselerasi penghimpunan DPK. Sementara itu, risiko kredit perbankan masih terjaga dengan baik. Rasio Non Performing Loans (NPLs) bank umum masih berada pada level aman. Masih amannya rasio NPL juga mendukung ketahanan sektor keuangan baik pada sektor korporasi, rumah tangga, maupun UMKM meski perlu ada perhatian khusu pada kualitas kredit yang disalurkan bagi korporasi daerah.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
41
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
4.1. Kondisi Umum Perbankan12 4.1.1 Perkembangan Kelembagaan Dari sisi kelembagaan, pada triwulan II 2014, jumlah bank umum di Sulsel relatif tidak berubah dari triwulan sebelumnya yaitu sebanyak 46 bank. Kemudian, jumlah BPR juga tercatat masih tetap sama seperti periode sebelumnya yaitu sebanyak 29 BPR. Tidak adanya penambahan kantor perbankan baik itu kantor cabang (KC), kantor cabang pembantu (KCP), kantor kas (KK), maupun kantor fungsional (KF) membuat jumlah kantor bank di Sulsel juga tidak berubah (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Perkembangan Kelembagaan Bank Umum dan BPR RINCIAN Bank Umum (Konv. + Syariah)
2011 I
II
2012 III
IV
I
II
2013 III
IV
I
II
2014 III
IV
I
II
36
37
38
40
41
41
41
41
42
44
45
46
46
46
31
32
32
34
35
35
35
35
36
38
39
40
40
40
UUS
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Syariah
5
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
689
724
812
844
848
895
925
936
940
950
959
971
974
974
27
27
27
27
27
27
28
28
28
29
29
29
29
29
Konvensional
Jumlah Kantor* BPR
*) Termasuk Kanwil, KP, KC, KCP, BRI Unit, KK, KF
4.1.2 Aset Perbankan Total aset bank umum pada triwulan II 2014 tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan triwulan sebelumnya. Aset perbankan tercatat tumbuh sebesar 12,97% (yoy) atau menjadi Rp97,57 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2014 yang tumbuh sebesar 12,41% (yoy) (Tabel 4.2). Percepatan pertumbuhan aset perbankan pada periode laporan disebabkan terutama oleh meningkatnya pertumbuhan aset bank pemerintah serta bank asing dan bank campuran, masing-masing dari 8,97% (yoy) dan 2,01% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi sebesar 11,72% (yoy) dan 12,12% (yoy) pada triwulan laporan. Sementara itu, bank swasta nasional menunjukkan perlambatan pertumbuhan aset yaitu dari 17,82% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 14,87% (yoy) pada triwulan laporan. Tabel 4.2. Aset Bank Umum Menurut Kelompok Bank Pertumbuhan (%, yoy) Aset Menurut Kelompok Bank
2013
2014
Nominal (Rp Miliar) 2013 II III IV
I
II
III
IV
I
II
I
Total Aset
19.69
19.04
20.78
14.66
12.41
12.97
80,876
86,366
90,288
Bank Pemerintah
17.84
17.14
19.37
11.54
8.97
11.72
48,337
51,537
Bank Swasta Nasional
22.81
22.38
23.30
19.18
17.82
14.87
31,919
9.85
(0.02)
2.89
21.38
2.01
12.12
621
Bank Asing dan Bank Campuran
2014 I
II
90,932
90,909
97,572
53,300
52,533
52,670
57,579
34,293
36,341
37,682
37,606
39,391
537
647
717
633
602
4.1.3 Intermediasi Perbankan Dana Pihak Ketiga (DPK) jenis giro dan deposito yang dihimpun oleh Bank Umum pada triwulan II 2014 tumbuh lebih cepat dibandingkan triwulan sebelumnya. Dana yang dihimpun mencapai Rp61,40 triliun atau tumbuh sebesar 14,86% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 11,20% (yoy) (Tabel 4.3). Akselerasi pertumbuhan DPK disebabkan oleh membaiknya kinerja jenis simpanan giro dan deposito. Giro tumbuh lebih cepat dari 2,83% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 20,24% (yoy) sedangkan deposito tumbuh dari 16,53% (yoy) menjadi 20,97% (yoy) pada triwulan laporan. Adapun tabungan tumbuh melambat dari 10,66% (yoy) menjadi 10,31% (yoy). Kredit yang disalurkan perbankan mencatat perlambatan pertumbuhan pada triwulan II 2014 seiring perlambatan pada kredit yang digunakan untuk investasi dan konsumsi. Kredit tercatat tumbuh sebesar 8,77% (yoy) menjadi Rp79,34
12
Dimulai dengan publikasi pada triwulan I 2014, asesmen perkembangan indikator perbankan menggunakan data lokasi bank untuk kredit yang disalurkan serta menggunakan data lokasi bank pelapor untuk DPK yang dihimpun
42
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
triliun setelah tumbuh 10,97% (yoy) pada triwulan I 2014. Perlambatan ini didorong oleh melambatnya penyaluran kredit untuk investasi dan konsumsi sedangkan kredit untuk modal kerja dapat mencatat akselerasi pertumbuhan (Tabel 4.3). Secara sektoral, penyaluran kredit juga tumbuh melambat terutama pada sektor tersier yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan, dan sektor jasa dunia usaha (Tabel 4.4). Tabel 4.3. Penghimpunan Dana dan Penyaluran Kredit Bank Umum Pertumbuhan (%, yoy) Komponen
DPK a. Giro
Nominal (Rp Miliar)
2013 I
II
14.36
2014 III
IV
11.31
14.91
12.52
I
2013 II
11.20
14.86
I 52,302
2014
II
III
53,457
57,359
IV
I
60,444
II
58,162
61,402
4.00
11.13
27.07
6.82
2.83
20.24
7,770
8,092
9,221
7,845
7,990
9,730
b. Tabungan
17.27
10.52
12.37
11.25
10.66
10.31
29,321
30,068
32,076
35,007
32,446
33,168
c. Deposito
14.72
13.01
13.79
18.01
16.53
20.97
15,211
15,297
16,062
17,592
17,726
18,504
25.25
23.55
22.79
13.84
10.97
8.77
68,371
72,937
75,014
75,388
75,874
79,336
a. Modal Kerja
26.63
16.67
16.86
6.76
4.92
9.01
25,980
26,659
26,160
27,231
27,257
29,062
b. Investasi
22.01
36.81
43.39
27.36
19.70
6.77
12,232
14,486
15,769
14,494
14,642
15,467
c. Konsumsi
25.43
24.21
19.41
14.76
12.65
9.48
30,158
31,793
33,085
33,663
33,974
34,807
130.72
136.44
130.78
124.72
130.45
129.21
2.94
2.83
2.91
2.85
3.14
3.54
Kredit
LDR (%) NPLs Gross (%)
Dengan pertumbuhan kredit yang melambat, indikator intermediasi perbankan juga tercatat sedikit menurun yang tercermin dari angka Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR menjadi 129,21% pada triwulan I 2014, sedikit lebih rendah dari triwulan I 2014 yang tercatat sebesar 130,45% (Tabel 4.3). Sesuai pola historisnya, perkembangan intermediasi perbankan selalu tinggi, lebih dari 100%. Penyaluran kredit dengan pangsa yang besar terutama diberikan kepada sektor perdagangan, sektor jasa dunia usaha, sektor konstruksi, dan sektor industri pengolahan. Melemahnya kinerja penyaluran kredit diikuti dengan risiko kredit yang tetap terkendali. Ditinjau dari sisi manajemen risiko, kondisi perbankan Sulsel pada triwulan II 2014 masih menunjukkan kinerja yang baik. Hal ini tercermin dari rasio Non Performing Loans (NPLs) Bank Umum yang masih terjaga pada level aman (di bawah 5%), yaitu sebesar 3,14%. Angka ini tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,14% (Tabel 4.3). Di tengah perlambatan pertumbuhan kredit, perbankan harus tetap menjaga kualitas kredit para nasabanya agar rasio NPLs terus terjaga di bawah batas aman. Tabel 4.4. Kredit Bank Umum Menurut Sektor Ekonomi Pertumbuhan (%, yoy) Komponen
Nominal (Rp Miliar) 2014
2013 I
II
Kredit
25.25
Pertanian
54.83
Pertambangan Industri Pengolahan
I
2014
2013 II
23.55
22.79
13.84
10.97
8.77
68,371
72,937
75,014
75,388
75,874
79,336
23.84
18.27
15.20
0.18
7.37
1,403
1,396
1,385
1,400
1,405
1,499
43.43
23.79
18.29
(0.70)
(15.62)
24.84
53.82
42.92
40.51
(20.26)
(26.55)
(24.54)
Listrik, Gas, Air
(2.83)
(6.75)
(10.02)
35.05
63.77
111.80
Konstruksi
24.20
13.54
14.85
13.44
18.62
31.89
2,565
2,780
2,966
3,034
3,043
3,666
Perdagangan
28.94
30.21
31.67
26.83
22.08
11.45
19,933
22,957
23,360
24,132
24,334
25,587
Pengangkutan
50.88
59.70
59.68
25.96
12.48
6.76
2,631
2,763
2,864
2,923
2,960
2,950
Jasa Dunia Usaha
11.07
8.05
9.04
14.32
15.65
4.79
3,240
3,433
3,414
3,550
3,747
3,598
3.11
11.08
26.31
26.84
12.94
19.27
1,619
1,650
1,733
1,780
1,828
1,968
19.45
17.63
14.99
10.14
9.58
10.18
31,065
31,814
33,096
33,794
34,043
35,053
Lain-lain
II
III
IV
II
IV
Jasa Sosial Masyarakat
I
I
III
447
449
444
397
377
560
5,335
5,579
5,631
4,186
3,918
4,210
133
116
121
191
218
245
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
43
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
4.1.4 Bank Syariah Total aset perbankan syariah pada triwulan II 2014 tumbuh lebih lambat dari capaian di triwulan sebelumnya. Aset perbankan syariah tercatat tumbuh sebesar 9,72% menjadi Rp5,58 triliun, lebih rendah dari pertumbuhan di triwulan I 2014 yang tumbuh sebesar 16,31% (Tabel 4.5). Perlambatan pertumbuhan aset perbankan syariah pada periode triwulan laporan terutama didorong oleh melambatnya pertumbuhan aset baik milik bank pemerintah maupun bank swasta nasional dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tabel 4.5. Perkembangan Indikator Bank Umum Syariah Pertumbuhan (%, yoy) Komponen
Nominal (Rp Miliar) 2014
2013 I
Aset
II
III
IV
II
I
2014
2013 I 4,802
II
II
III
IV
I
5,085
5,420
5,576
5,586
5,580
42.22
37.86
36.26
23.26
16.31
9.72
Bank Pemerintah 55.66
27.91
28.78
20.35
15.27
9.78
913
958
1,033
1,045
1,052
1,051
Bank Swasta Nasional 39.40
40.39
38.14
23.95
16.55
9.71
3,890
4,128
4,387
4,531
4,534
4,529 2,795
DPK
35.46
30.77
42.76
39.80
28.28
30.73
2,138
2,138
2,594
2,884
2,742
a. Giro
29.19
16.82
21.33
14.22
(12.64)
12.69
253
232
243
338
221
262
b. Tabungan
28.09
21.23
37.71
32.91
30.17
29.51
969
974
1,162
1,307
1,261
1,261
c. Deposito
46.32
47.26
53.83
58.10
37.60
36.51
916
932
1,188
1,239
1,260
1,272
Pembiayaan
40.30
40.75
38.64
24.87
15.07
17.14
FDR (%)
3,870
4,157
4,265
4,374
4,453
4,869
181.04
194.41
164.44
151.65
162.40
174.20
1.73
1.81
1.56
1.42
1.65
2.97
NPF Gross (%)
Kinerja indikator perbankan syariah Sulsel pada triwulan II 2014 menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terutama dilihat dari indikator pertumbuhan DPK dan pembiayaan. Pertumbuhan penghimpunan dana dan pembiayaan tercatat lebih cepat dari triwulan sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 30,73% (yoy) dan 17,14% (yoy) pada triwulan laporan. Financing to Deposit Ratio (FDR) tercatat masih tinggi sebesar 174,20% yang menunjukkan masih belum berimbangnya penghimpunan DPK dibandingkan pembiayaan seiring minat masyarakat untuk mengambil pembiayaan dari perbankan syariah yang masih tumbuh tinggi. Sementara itu, kualitas pembiayaan tetap terjaga pada level aman, tercermin dari Non Performing Financing (NPF) sebesar 2,97% pada triwulan laporan yang meningkat dibandigkan triwulan sebelumnya (1,65%).
4.1.5 Bank Perkreditan Rakyat Di triwulan II 2014, kinerja BPR (termasuk BPR Syariah) tetap tumbuh dengan cukup baik meski indikator menunjukkan adanya perlambatan. Fungsi intermediasi BPR masih sangat tinggi dan sedikit meningkat dibanding triwulan sebelumnya, tercermin dari membesarnya rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) dari triwulan I 2014 sebesar 177,98% menjadi 187,46%. Di sisi penghimpunan DPK, BPR mengalami perlambatan pertumbuhan dari 29,15% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 17,41% (yoy). Sementara itu, kredit yang disalurkan tumbuh melambat dari 25,62% (yoy) menjadi sebesar 18,54% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik 4.1 dan Grafik 4.2). Adapun aset BPR mengalami penurunan pertumbuhan sebesar -0,50% (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 12,46% (yoy). 1,400
Aset
Rp Miliar
%, yoy
60 1,000
DPK
80 70
gAset - Skala Kanan
1,200
1,200
Kredit
LDR - Skala Kanan
%
Rp Miliar
1,000
200
50
800
40
600
30 20
400
800
150
600 100
400
10
200
0
0
(10) I
II
III
2010
IV
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
2013
Grafik 4.1. Perkembangan Aset BPR
44
III
IV
I
II
2014
50
200 0
0 I
II
III
2010
IV
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Grafik 4.2. Perkembangan Intermediasi BPR
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
250
I
II
2014
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
4.2. Stabilitas Sistem Keuangan 4.2.1 Ketahanan Sektor Korporasi Daerah Di triwulan II 2014, penyaluran kredit korporasi masih didominasi oleh sektor perdagangan. Sektor perdagangan memiliki pangsa terbesar dalam struktur kredit kepada korporasi yang tercatat sebesar Rp17,93 triliun (kredit produktif non-UMKM). Rendahnya porsi sektor pertanian dan sektor pertambangan menunjukkan bahwa peran perbankan bagi sektor utama, khususnya sektor primer, masih memiliki ruang untuk ditingkatkan (Grafik 4.3). Dari sisi pertumbuhan, penyaluran kredit kepada sektor korporasi tumbuh lebih baik di triwulan II 2014. Menguatnya pertumbuhan kredit korporasi ditopang oleh kredit bagi sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan. Di sisi lain, kredit korporasi kepada sektor perdagangan tidak tumbuh sebaik capaian triwulan I 2014 sedangkan kredit kepada sektor pertanian mengalami kontraksi yang lebih dalam (Grafik 4.4).
Pangsa Triwulan II 2014 Pertanian (0.9%)
Pertambangan (1.9%) Industri (15.0%) Perdagangan (53.1%) Lainnya (29.1%)
Grafik 4.3. Pangsa Kredit Menurut Sektor Korporasi
300
Total - Skala Kanan Pertambangan Perdagangan
%, yoy
250
Pertanian Industri
%, yoy
60 50
200
Lebih lanjut terkait aspek pertumbuhan, total kredit tercatat tumbuh 5,61% (yoy), lebih tinggi dari triwulan I 2014 (3,81%, yoy). Sektor pertambangan mencatat peningkatan pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu dari kontraksi sebesar -3,77% (yoy) menjadi 42,06% (yoy) pada triwulan laporan. Faktor pendorong pertumbuhan lainnya adalah sektor industri pengolahan yang kontraksinya semakin menipis dari -39,37% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi -35,53% (yoy). Kredit ke sektor lainnya seperti sektor LGA, sektor konstruksi, dan sektor pengangkutan juga tercatat mengalami pertumbuhan yang lebih baik pada triwulan II 2014.
Dari sisi kualitas, penyaluran kredit korporasi secara keseluruhan harus mendapat perhatian dari pihak perbankan agar tetap terjaga di level aman. Pada triwulan laporan, kualitas penyaluran kredit yang diukur dari NPLs tercatat menjadi 4,99% setelah sebelumnya tercatat sebesar 3,34% (Grafik 4.5). Naiknya NPLs di semua sektor korporasi, kecuali sektor jasa dunia usaha, mendorong peningkatan NPLs secara keseluruhan. Tercatat NPLs di sektor pertanian dan pertambangan telah melebihi batas aman sebesar 5%. NPLs sektor perdagangan juga menunjukkan peningkatan sehingga perbankan diharapkan dapat memperbaiki kinerja ketahanan sektor korporasi daerah.
40
150
100
30
50
20
0 10
(50)
(100)
0 I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II 2014
Grafik 4.4. Pertumbuhan Kredit Korporasi
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Total Perdagangan Pertambangan - Skala Kanan
%
Industri Pertanian - Skala Kanan %
50 40 30
20 10 0 (10)
I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II 2014
Grafik 4.5. NPLs Kredit Korporasi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
45
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
4.2.2 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah Kredit pemilikan rumah (KPR) mengambil pangsa yang terbesar dalam struktur kredit rumah tangga pada triwulan II 2014. Dari total kedit yang disalurkan kepada rumah tangga sebesar Rp35,05 triliun, KPR memiliki pangsa mencapai lebih dari 30%, disusul kredit multiguna, kredit kendaraan bermotor (KKB), dan terakhir kredit rumah tangga lainnya (termasuk di dalamnya adalah kredit untuk perlengkapan/peralatan rumah tangga maupun kebutuhan rumah tangga lainnya) yang memiliki pangsa terkecil (Grafik 4.6). Adapun kredit lain-lain merupakan kredit bukan lapangan usaha serta kredit yang belum diklasifikasikan secara jelas.
Pangsa Triwulan II 2014 Kredit Pemilikan Rumah, KPR (36.4%) Kredit Kendaraan Bermotor, KKB (11.8%) Kredit Multiguna (30.5%) Kredit Rumah Tangga Lainnya (3.1%) Kredit Lain-lain (18.1%)
Grafik 4.6. Pangsa Jenis Kredit Rumah Tangga Total KKB Multiguna - Skala Kanan
%, yoy 60
Penyaluran kredit kepada sektor rumah tangga mencatat akselerasi kinerja pada triwulan II 2014. Total kredit tumbuh dari 9,58% (yoy) menjadi 10,18% (yoy). Akselerasi tersebut didorong oleh perkembangan penyaluran KKB dan kredit multiguna pada triwulan II 2014 yang tumbuh lebih baik dari capaian di triwulan sebelumnya. Angka pertumbuhan KKB tercatat meningkat dari 3,50% (yoy) menjadi 35,46% (yoy). Sementara itu, setelah terkontraksi sebesar -10,10% (yoy) pada triwulan I 2014, kredit multiguna berhasil tumbuh sebesar 2,26% (yoy) di triwulan II 2014. Di sisi lain, KPR serta kredit rumah tangga lainnya tercatat menunjukkan perlambatan pertumbuhan pada triwulan laporan (Grafik 4.7).
KPR %, yoy RT Lainnya - Skala Kanan 450
40
350
20
250
0 150
(20)
50
(40) (60)
(50) I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II 2014
Grafik 4.7. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Total
4.0
KPR
KKB
RT Lainnya
Multiguna
%
3.5
3.0 2.5 2.0
Kualitas kredit ke sektor rumah tangga tetap terjaga pada tingkat yang aman. Seluruh jenis kredit rumah tangga memiliki NPLs di bawah batas aman 5%. Rasio NPLs tercatat sedikit meningkat dari 1,78% menjadi 1,86% pada triwulan laporan. KPR yang mencatat angka NPLs tertinggi tetap memiliki rasio yang masih aman sebesar 3,30%. Berdasarkan kondisi ini, dapat dikatakan bahwa ketahanan sektor rumah tangga Sulsel masih cukup baik hingga triwulan II 2014 (Grafik 4.8).
1.5 1.0 0.5 0.0 I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II 2014
Grafik 4.8. NPLs Kredit Rumah Tangga
4.3. Pengembangan Akses Keuangan Penyaluran kredit bagi UMKM pada triwulan II 2014 kembali tumbuh lebih lambat dari triwulan I 2014. Melambatnya pertumbuhan kredit di UMKM menggambarkan masih belum optimalnya pengembangan akses keuangan sehingga berpotensi untuk ditingkatkan lagi (Grafik 4.9). Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 9,63% (yoy) pada triwulan laporan setelah sebelumnya tumbuh 13,77% (yoy). Pangsa kredit UMKM (produktif) terhadap total kredit adalah 33,39% atau sebesar Rp26,49 triliun. Dari nilai tersebut, sekitar 68% merupakan kredit UMKM yang digunakan untuk modal kerja sedangkan sisanya digunakan untuk investasi (Grafik 4.10). Angka NPLs kredit UMKM bergerak turun pada triwulan II 2014 sehingga tetap berada di bawah batas aman yaitu sebesar 4,77% (Grafik 4.9).
46
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
Upaya pengembangan UMKM yang memiliki peran penting dalam perekonomian Sulsel dilakukan untuk memberikan mereka akses kepada sumber pembiayaan. Namun demikian, hal ini tidak mudah untuk diwujudkan mengingat tidak semua masyarakat sudah memahami mengenai produk dan jasa keuangan. Oleh karena itu, KPw BI Wilayah I Sulampua terus mencoba melakukan kegiatan edukasi keuangan yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai produk dan jasa keuangan yang dimaksud serta untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pada umumnya untuk mulai menabung. Pada 29 April 2014, telah dilakukan kegiatan edukasi keuangan dan perbankan kepada Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Kabupaten Soppeng. Kegiatan serupa kemudian dilakukan juga bagi Petugas Penyuluh Lapangan dan Kelompok Tani/Nelayan di Kabupaten Bulukumba pada 12 Juni 2014. Pada 19-20 Juni 2014, telah dilakukan juga pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan petani/peternak di Kabupaten Barru dan Bulukumba yang bertujuan untuk (1) memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada petani/peternak binaan dalam pengelolaan organisasi dan usaha kelompok yang baik menuju kemandirian petani; serta (2) memberikan informasi mengenai prosedur dab persyaratan akses pembiayaan pada sumber-sumber pembiayaan formal. NPLs UMKM 6
Pertumbuhan Kredit UMKM - Skala Kanan %, yoy
%
Pangsa Kredit UMKM 35
Modal Kerja
30
5
Investasi
25
4
Total Kredit UMKM 33%
20
3
15
2
10
1
5
0
0
I
II
III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
32%
Total Kredit Non-UMKM 67%
68%
II 2014
Grafik 4.9. Pertumbuhan dan NPLs Kredit UMKM
Grafik 4.10. Pangsa Kredit UMKM
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
47
BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
48
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
5. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
Bab 5 Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Perkembangan kinerja sistem pembayaran menunjukkan tendensi yang membaik pada triwulan II 2014. Transaksi keuangan nontunai melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) mampu tumbuh cukup tinggi pada triwulan laporan setelah sebelumnya mengalami kontraksi. Sementara itu, transasksi keuangan melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) masih sedikit mengalami kontraksi. Faktor musiman memengaruhi pergerakan aliran uang kartal pada triwulan II 2014. Meski masih mengalami net inflow, aliran uang yang ditarik mulai menunjukkan peningkatan seiring akan dimulainya Ramadhan dan persiapan Lebaran. Kegiatan penarikan uang dinilai akan terus meningkat hingga awal triwulan mendatang. Adapun pengelolaan uang tunai oleh Bank Indonesia dilakukan dengan melakukan layanan penukaran uang, kas keliling, remise, pemusnahan uang tidak layak edar, dan edukasi ciri-ciri keaslian mata uang. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudnyatakan clean money policy.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
49
BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
5.1. Perkembangan Sistem Pembayaran 5.1.1 Perkembangan Transaksi RTGS Pada triwulan II 2014, transaksi nontunai melalui sarana RTGS ditandai dengan pertumbuhan yang positif setelah terkontraksi pada triwulan sebelumnya. Secara total, nilai transaksi BI-RTGS Sulsel di triwulan II 2014 sebesar Rp64,81 triliun atau tumbuh hingga 10,89% (yoy), jauh lebih tinggi jika dibandingkan triwulan I 2014 sebesar Rp48,30 triliun yang mengalami kontraksi -6,15% (yoy). Transaksi BI-RTGS pada periode laporan masih didominasi aliran transaksi yang masuk (to/incoming) ke perbankan Sulsel dengan nilai Rp33,67 triliun, lebih tinggi dari aliran transaksi yang keluar (to/outgoing) dari perbankan Sulsel yang tercatat sebesar Rp21,37 triliun maupun dari aliran transaksi antarbank yang ada di Sulsel (from-to) sebesar Rp9,76 triliun. Pertumbuhan aliran transaksi RTGS baik yang masuk dari Sulsel, yang keluar dari Sulsel, serta antara bank-bank di Sulsel menunjukkan perbaikan pada triwulan laporan. Transaksi RTGS dari perbankan di Sulsel kepada perbankan di luar Sulsel tumbuh lebih cepat pada triwulan II 2014 yaitu dari 15,66% (yoy) menjadi 21,37% (yoy) (Grafik 5.1). Transaksi RTGS yang masuk ke perbankan Sulsel dari perbankan di luar Sulsel mengalami kontraksi yang lebih tipis pada triwulan II 2014 yaitu sebesar -6,79% (yoy) setelah sebelumnya tercatat sebesar -14,89% (yoy) (Grafik 5.2). Kemudian, transaksi dari perbankan di Sulsel kepada perbankan yang juga berada di Sulsel tumbuh cukup signifikan yaitu dari 11,85% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 98,44% (yoy) (Grafik 5.3). RTGS From
Rp Triliun
%, yoy
gRTGS From - Skala Kanan
25
30 25
20
20 15
15
10 10
5 0
5
(5)
0
(10) I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
2012
II
III
IV
2013
I
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
II
RTGS From-To
50
20
10 0 (10) (20)
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
II
2014
Grafik 5.2. Transaksi RTGS To/Incoming (ke Bank di Sulsel)
gRTGS From-To - Skala Kanan
6
%, yoy
%, yoy
30
2014
Rp Triliun
gRTGS To - Skala Kanan
40
I
Grafik 5.1. Transaksi RTGS From/Outgoing (dari Bank di Sulsel)
12
RTGS To
Rp Triliun
120
Rp Triliun
%, yoy Inflow
5
gInflow - Skala Kanan
300 250
100
10
80 8
60
6
40 20
4
0 2
(20)
0
(40)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
2014
4
200
3
150
2
100
1
50
0
0
I
II
III
2011
Grafik 5.3. Transaksi RTGS From-To (antarbank di Sulsel)
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I 2014
Grafik 5.4. Aliran Uang Kartal Inflow
5.1.2 Perkembangan Transaksi Kliring Transaksi nontunai melalui sarana kliring yaitu kliring debet penyerahan serta kliring kredit masih mengalami penurunan pada triwulan II 2014. Pertumbuhan total nilai kliring pada triwulan laporan masih menunjukkan penurunan. Nilai kliring pada triwulan laporan turun sebesar -3,61% (yoy) dimana sebelumnya juga mengalami penurunan sebesar 2,61% (yoy). Penurunan ini juga terindikasi dari menurunnya rata-rata perputaran harian transaksi kliring pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Penurunan rata-rata perputaran harian tersebut terjadi baik secara nominal maupun volume lembar transaksi (Tabel 5.1). Sementara itu, secara nominal, penolakan warkat (Cek/Bilyet Giro atau BG) menunjukkan peningkatan pada triwulan II 2014 yaitu dari 2,61% menjadi 3,66%. Meski
50
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
demikian, dari sisi jumlah warkat, rasio penolakan menunjukkan pergerakan yang stabil yaitu dari 2,47% menjadi 2,46%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai transaksi yang warkatnya ditolak pada triwulan II 2014 lebih besar dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tabel 5.1. Perputaran Kliring dan Cek/BG Kosong 2011
URAIAN
I
II
2012 III
2013
IV
I
II
III
IV
I
II
2014 III
IV
I
II
Total Perputaran Kliring Kredit dan Kliring Debet Penyerahan - Nominal (triliun rupiah)
8.17
8.04
8.60
9.32
9.30
9.44
9.47
10.14
9.74
9.98
10.24
10.67
9.48
9.62
- Lembar (ribuan)
265
271
276
283
281
284
285
295
284
286
281
290
260
266
Rata-rata Harian Total Perputaran Kliring Kredit dan Debet Penyerahan - Nominal (triliun rupiah)
0.13
0.13
0.14
0.15
0.15
0.15
0.15
0.16
0.16
0.17
0.17
0.17
0.16
0.16
- Lembar (ribuan)
4.27
4.37
4.45
4.57
4.47
4.50
4.53
4.68
4.73
4.76
4.68
4.68
4.33
4.43
Nisbah Rata-rata Penolakan Cek/BG Kosong (terhadap Kliring Debet Penyerahan) - Nominal (%)
2.55
2.20
2.63
2.27
2.38
2.63
2.34
2.16
2.41
2.75
3.28
2.60
2.61
3.66
- Lembar (%)
2.38
2.66
2.80
2.52
2.28
2.59
2.45
2.37
2.38
2.47
2.33
2.17
2.47
2.46
5.2. Pengelolaan Uang Tunai 5.2.1 Perkembangan Aliran Uang Kartal Pada triwulan I 2014, perkembangan aliran uang kartal di Sulsel masih menunjukkan net inflow sebesar Rp0,24 triliun. Aliran uang masuk (inflow) tercatat sebesar Rp4,07 triliun pada triwulan laporan, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp5,30 triliun (Grafik 5.4). Selanjutnya, aliran uang yang keluar (outflow) dari Bank Indonesia mengalami peningkatan dari Rp2,35 triliun pada triwulan I 2014 menjadi Rp3,83 triliun pada triwulan laporan (Grafik 5.5). Net inflow yang terjadi namun diikuti oleh mulai meningkatnya intensitas penarikan uang dipengaruhi oleh faktor musiman dimulainya Ramadhan untuk menyambut Lebaran (Grafik 5.6). Pada awal triwulan III 2014, kegiatan penarikan uang diperkirakan akan semakin meningkat dan lebih tinggi dibandingkan penyetoran sehingga akan terjadi net outflow yang sesuai dengan pola historis pada Lebaran di tahun yang lalu. 6
Rp Triliun
%, yoy
5
Outflow
gOutflow - Skala Kanan
4 3 2
1 0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Grafik 5.5. Aliran Uang Kartal Outflow
I
II
2014
400
3.5
350
3.0
300
2.5
250
2.0
200
1.5
150
1.0
100
0.5
50
0.0
0
(0.5)
(50)
(1.0)
Rp Triliun
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
2014
Grafik 5.6. Selisih Inflow dan Outflow
5.2.2 Penyediaan Uang Layak Edar Bank Indonesia secara kontinyu terus berupaya untuk menjaga ketersediaan uang layak edar (ULE) di masyarakat. Dalam rangka penerapan clean money policy, di samping membuka layanan penukaran uang terpusat di gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia, telah dilakukan juga kas keliling yang menjangkau seluruh wilayah di Sulsel, bahkan hingga wilayah terpencil yang cukup sulit dijangkau. Berdasarkan administrasi kegiatan yang ada, pada akhir Maret 2014 yaitu dari tanggal 18 sampai dengan 22, kas keliling dibuka di daerah Mambi, Pana, dan Sumarorong di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Kemudian, pada tanggal 19 sampai dengan 23 Mei 2014, telah dilakukan kegiatan kas keliling di daerah Jalang dan Doping, Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. Di samping itu, kegiatan remise ke luar dari Sulsel juga ditempuh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Sulampua) dalam melakukan distribusi uang ke daerah lain. Selama periode triwulan II 2014, telah dilakukan sebanyak KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
51
BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG
6 (enam) kali kegiatan remise ke daerah lain di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yaitu Papua Barat (4-21 April), Ambon (1417 April serta 23 Juni), Kendari (28 April sampai dengan 2 Mei serta 19 Juni), dan ke Kupang (15 April). Bank Indonesia juga melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE). Kegiatan pemusnahan UTLE pada triwulan II 2014 tercatat sebesar Rp0,62 triliun, menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar Rp0,75 (Grafik 5.7).
5.2.3 Perkembangan Temuan Uang Palsu Pecahan besar masih mendominasi peredaran uang palsu yang ditemukan sebanyak 615 lembar pada triwulan II 2014. Pecahan uang palsu yang paling banyak ditemukan pada triwulan laporan adalah pecahan Rp50.000 (72,20%), diikuti Rp100.000 (26,02%), Rp20.000 (1,14%), Rp5.000 (0,49%), dan Rp10.000 (0,16%) (Grafik 5.8). Sebagai upaya untuk mengantisipasi peredaran uang palsu sekaligus memberikan edukasi bagi masyarakat mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Sulampua) juga telah melakukan kegiatan sosialisasi dengan materi dimaksud hingga ke pelosok daerah, baik di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
Rp Triliun
%, yoy Nominal UTLE
2,000
1.79%
1,500
Pecahan 100.000
gUTLE - Skala Kanan
26.02%
1,000 500
Pecahan 50.000
0 (500) I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
72.20%
2014*
Grafik 5.7. Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar
52
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
Pecahan Lainnya
Grafik 5.8. Temuan Uang Palsu
6. KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Bab 6 Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Selatan mencapai 5,80% (Sakernas Februari 2014) atau relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya 5,83% (Februari 2013). Selain itu, tingkat kesejahteraan yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) triwulan I 2014 terpantau membaik dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga Maret 2014 meningkat dibanding September 2013 baik di kota maupun di desa yaitu tumbuh sebesar 9,73% (yoy). Persentase tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat dari naiknya garis batas kemiskinan. Kendati demikian, kenaikan garis batas kemiskinan Maret 2014 tercatat melambat dibandingkan dengan September 2013 yang disebabkan oleh penurunan inflasi yoy pada Maret 2014.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
53
BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
6.1. Tenaga Kerja TPT Sulsel mencapai 5,80% (Sakernas Februari 2014) atau menurun tipis (0,03%) dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,83% (Februari 2013). Secara nominal jumlah pengangguran terbuka Sulsel naik dari 211,06 ribu orang per Februari 2013 menjadi 212,57 ribu orang per Februari 2014 (Tabel 6.1). Namun demikian, karena jumlah angkatan kerja juga meningkat pada Februari 2014 yang mencapai 3.677,57 ribu orang dari 3.619,99 ribu orang pada Februari 2013 atau naik 57 ribu orang, tingkat pengangguran menjadi cenderung sama. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Sulsel yang tergolong tinggi telah mengakibatkan terjadinya perubahan pola penyerapan tenaga kerja. Sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa berhasil menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Secara sektoral, penyerapan tenaga kerja pada sektor primer (sektor pertanian) lebih rendah hampir 2 (dua) ribu pekerja dibandingkan tahun 2013, yang disebabkan oleh makin menurunya aktivitas sektor pertanian. Namun demikian, secara pangsa, sektor pertanian masih memegang peranan penting karena menyerap 40,70% dari tenaga kerja produktif di Sulsel pada Februari 2014. Sebaliknya, sektor industri mengalami kenaikan penyerapan 5 (lima) ribu pekerja atau sebesar 2,23% (yoy) menjadi 231,97 ribu orang di bulan Februari 2014. Kenaikan tertingi dicatat oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran yaitu sebesar 42 ribu pekerja atau sebesar 6,22% (yoy) menjadi sekitar 729,35 ribu orang (Tabel 6.2). Sementara itu, sektor jasa meningkat 2,82% (yoy) atau menjadi 644,25 ribu orang. Berdasarkan pekerjaan utama hingga Februari 2014, terjadi peningkatan pada jumlah pekerja formal (buruh/karyawan) yang tumbuh 7,19% (yoy) menjadi 1,13 juta orang. Demikian pula untuk pekerja yang berusaha sendiri yang tumbuh 12,24% (yoy) menjadi 638,26 ribu orang. Tabel 6.1. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Kegiatan Utama
Kegiatan Utama 1.
2. 3.
Angkatan Kerja – Bekerja – Tidak Bekerja (Pengangguran Terbuka) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Feb-13 3.619.993 3.408.929 211.064 63,60% 5,83%
Feb-14 3.677.576 3.464.719 212.570 62,00% 5,80%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sulsel sedikit menurun karena kenaikan jumlah angkatan kerja yang bekerja lebih sedikit dari kenaikan jumlah penduduk usia kerja. TPAK turun dari 63,60% pada Februari 2013 menjadi 62,00% pada Februari 2014. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2014 mencapai 3,46 juta orang, lebih tinggi daripada periode setahun sebelumnya sejumlah 3,41 juta orang (Tabel 6.1). Secara sektoral, ditengarai penurunan TPAK terjadi karena pengurangan angkatan kerja di sektor pertanian dan sektor lainnya. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia untuk ketersediaan lapangan kerja, juga menunjukkan rata-rata pertumbuhan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini (IKLK) pada triwulan laporan menurun sebesar -2,34% (yoy). Penurunan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan penurunan pada triwulan sebelumnya yang sebesar -9,98% (yoy). Sementara itu, Indeks Penghasilan Saat Ini Dibanding 6 Bulan Lalu (IPD6) juga turun dibandingkan periode sebelumnya (Grafik 6.2). Pertumbuhan IPD6 turun sebesar -2,13% (yoy) lebih kecil dibandingkan penurunan triwulan sebelumnya (-7,44%, yoy).
Sumber: Survei Konsumen, diolah Grafik 6.1. Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini
54
Sumber: Survei Konsumen, diolah Grafik 6.2. Indeks Penghasilan Saat Ini
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Kategori
Tabel 6.2. Persentase Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Februari 2013 Februari 2014 Jumlah Pangsa Pertumbuhan Jumlah Pangsa Pertumbuhan
Pertanian 1.410.845 41,39% Industri 226.919 6,66% Perdagangan 686.653 20,14% Jasa 626.566 18,38% Lainnya 457.946 13,43% Jumlah 3.408.929 100,00% Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
-3,98% -4,48% 4,17% 7,53% -0,10% 0,05%
1.408.447 40,65% 231.974 6,70% 729.346 21,05% 644.253 18,59% 450.699 13,01% 3.464.719 100,00%
-0,17% 2,23% 6,22% 2,82% -1,58% 1,64%
6.2. Penduduk Miskin13 Jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga Maret 2014 meningkat dibanding September 2013 baik di kota maupun di desa. Jumlah penduduk miskin di Sulsel mengalami kenaikan menjadi 864,3 ribu pada Maret 2014, dari 857,44 ribu per September 2013, atau naik sebesar 9,73% (yoy). Persentase tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat dari naiknya garis batas kemiskinan. Jumlah penduduk miskin kota mengalami peningkatan sebesar 10% (yoy) menjadi 162,49 ribu orang (Grafik 6.3). Hal yang sama juga dialami oleh penduduk pedesaan yang mengalami kenaikan sebesar 10% (yoy), menjadi 701,91 ribu orang (Grafik 6.3). Penduduk miskin di pedesaan menyumbang 81,20% dari total penduduk miskin yang ada, sedangkan sisanya sebesar 18,80% disumbang oleh penduduk kota. Diperlukan upaya terpadu melalui pengembangan kewirausahaan di pedesaan dengan pengembangan komoditas unggulan daerah untuk memperluas lapangan kerja di pedesaan. Hal tersebut selain dapat mengurangi pengangguran, juga dapat mengurangi kemiskinan di pedesaan. Selain itu, diharapkan juga minat masyarakat untuk tetap bekerja di desa dapat ditingkatkan agar dapat mengurangi tingkat urbanisasi.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.3. Jumlah Penduduk Miskin Sulawesi Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.4. Persentase Jumlah Penduduk Miskin Sulampua Menurut Provinsi September 2013
Pertumbuhan garis kemiskinan pada Maret 2014 baik di kota maupun di desa mengalami perlambatan di bandingkan dengan September 2013. Perlambatan tersebut sejalan dengan penurunan inflasi pada Maret 2014 menjadi sebesar 5,88% (yoy) dari yang sebelumnya sebesar 7,24% (yoy) pada September 2013. Turunnya inflasi didorong oleh pelemahan tekanan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok transpor, serta kelompok pendidikan. Pelemahan tekanan inflasi kelompok bahan makanan terjadi pada komponen volatile food yang didukung membaiknya kondisi cuaca hingga akhir triwulan I 2014 sehingga aktivitas penangkapan ikan juga ikut membaik.
13
BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
55
BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Tabel 6.3. Garis Kemiskinan Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bln)
Pertumbuhan YoY
Inflasi YoY
Mar-12
Sep-12
Mar-13
Sep-13
Mar-14
Mar-13
Sep-13
Mar-14
Mar-13
Sep-13
Mar-14
Kota
206,201
215,790
221,892
235,488
240,276
7.61%
9.13%
8.29%
4.61%
7.24%
5.88%
Desa
191,195
183,959
192,161
207,023
211,271
0.51%
12.54%
9.94%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Persentase jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan relatif cukup rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain seSulampua. Jumlah penduduk miskin Sulawesi Selatan berada pada urutan ketiga terendah (10,28%) setelah Provinsi Maluku Utara (7,30%) dan Sulawesi Utara (8,75%) (Grafik 6.4). Urutan Provinsi Maluku Utara dan Sulawesi Utara tersebut juga tidak mengalami perubahan dibandingkan kondisi pada September 2014. Sedangkan persentase jumlah penduduk miskin tertinggi di Sulampua tercatat sebesar 30,05% dan masih terdapat di Provinsi Papua.
6.3. Rasio Gini14 Gini ratio Provinsi Sulawesi Selatan cenderung meningkat dan lebih tinggi dari provinsi lain di Sulampua. Nilai gini ratio selama empat tahun terakhir (2010 sampai dengan 2013) cenderung terus membesar yang menunjukkan ketimpangan pendapatan penduduk yang semakin besar (Tabel 6.4). Pada 2012, gini ratio Sulsel masih sama dengan nasional yakni 0,41. Namun demikian, pada 2013, gini ratio Sulsel justru meningkat menjadi 0,43 atau lebih tinggi daripada nasional (0,41). Dibandingkan provinsi lain di Sulampua, nilai gini ratio Sulawesi Selatan termasuk tinggi. Angka gini ratio tertinggi (0,44) terjadi di Gorontalo dan Papua yang terjadi selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Setelah dua provinsi tersebut, berlanjut nilai gini ratio terbesar kedua (0,43) adalah Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Sementara itu, nilai gini ratio terendah (0,32) terjadi di Provinsi Maluku Utara dan nilainya lebih baik daripada tahun 2012. Tabel 6.3. Nilai Gini Ratio
Provinsi
2010
2011
2012
2013
Gorontalo
0,43
0,46
0,44
0,44
Papua
0,41
0,42
0,44
0,44
Sulawesi Selatan
0,40
0,41
0,41
0,43
Sulawesi Tenggara
0,42
0,41
0,40
0,43
Papua Barat
0,38
0,40
0,43
0,43
Sulawesi Utara
0,37
0,39
0,43
0,42
Sulawesi Tengah
0,37
0,38
0,40
0,41
Maluku
0,33
0,41
0,38
0,37
Sulawesi Barat
0,36
0,34
0,31
0,35
Maluku Utara
0,34
0,33
0,34
0,32
0,38
0,41
0,41
0,41
Indonesia
Sumber: Booklet Indikator Kersejahteraan Rakyat, BPS, Agustus 2013
6.4. Nilai Tukar Petani15 Indikator kesejahteraan sektor unggulan (pertanian) relatif membaik, tercermin dari naiknya Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. NTP Sulsel pada triwulan II 2014 membaik menjadi sebesar 105,81 lebih tinggi dibandingkan NTP pada triwulan sebelumnya (105,56) (Grafik 6.5). Kenaikan tersebut secara umum disebabkan oleh indeks harga hasil produksi pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama triwulan II 2014. Namun demikian, berdasarkan hasil pemantauan harga-harga pedesaan selama triwulan II 2014, terjadi penurunan NTP untuk subsektor tanaman pangan, peternakan, dan perikanan di bulan Juni 2014 dibandingkan Mei 2014. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan tipis 14
Angka koefisien gini adalah ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Angka koefisien gini terletak antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nol mencerminkan kemerataan sempurna dan satu menggambarkan ketidakmeraaan sempurna. 15 NTP merupakan keseimbangan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan yang dibayar petani (Ib).
56
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
NTP sebesar 0,07% (mtm) yaitu dari 105,89 menjadi 105,81. Sementara itu, Indeks yang Diterima Petani triwulan II 2014 mengalami kenaikan sebesar 9,53% (yoy) dari sebesar 106,92 menjadi 117,11 (grafik 6.7) begitu pula halnya dengan Indeks yang Dibayar Petani yang juga mengalami kenaikan sebesar 8,70% (yoy) dari sebesar 101,82 menjadi 110,67 (grafik 6.6).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.5. Perkembangan Rata-rata Nilai Tukar Petani
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.6. Perkembangan Rata-rata Indeks yang Dibayar Petani
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 6.7. Perkembangan Rata-rata Indeks yang Diterima Petani
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
57
BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
58
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
7. PROSPEK PEREKONOMIAN
Bab 7 Prospek Perekonomian
Perekonomian Sulsel pada triwulan III 2014 dan untuk keseluruhan tahun 2014, masing-masing diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 7,1% - 8,1% (yoy) dan 7,0% - 8,0% (yoy). Jika dibandingkan dengan ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi Sulsel 2014 tetap lebih baik. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik (konsumsi dan investasi) yang tetap kuat. Sementara itu, kegiatan ekspor diperkirakan tertekan oleh pelemahan permintaan luar negeri. Di sisi penawaran, hampir semua sektor mengalami akselerasi, didorong oleh faktor musiman dan permintaan domestik. Hanya saja, sektor pertanian diperkirakan melambat, karena curah hujan yang cenderung lebih rendah, dan keterbatasan produksi perkebunan. Laju inflasi triwulan III 2014 diprakirakan akan terjaga ke rentang target inflasi nasional. Masih kuatnya permintaan masyarakat direspons dengan ketersediaan dan produksi yang mencukupi. Di sisi lain, peningkatan ekspektasi konsumen mengenai tingkat harga ke depan, direspons ekspektasi pedagang dengan relatif stabil. Meskipun sepanjang tahun 2014 akan terjadi penyesuaian tarif, namun dampaknya tidak sebesar kenaikan harga BBM subsidi di 2013. Respons yang seimbang dari sisi permintaan maupun produksi tersebut, salah satunya melalui intensitas kegiatan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sulsel maupun TPID di tingkat kabupaten/kota, dengan skala dan frekuensi kegiatan yang lebih tinggi.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
59
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN
7.1. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sulsel di triwulan III 2014 diperkirakan masih didorong oleh aktivitas konsumsi maupun investasi, sementara aktivitas perdagangan ekspor cenderung melemah. Pertumbuhan ekonomi Sulsel pada triwulan III 2014 diperkirakan tetap stabil dengan kecenderungan meningkat dalam kisaran 7,1% - 8,1% (yoy). Dari sisi permintaan, permintaan konsumsi rumah tangga tetap baik, dengan adanya peningkatan permintaan lokal saat Ramadhan dan Idul Fitri, serta aktivitas kampanye. Aktivitas konsumsi lokal ini, mendorong impor Sulsel yang lebih tinggi, karena untuk memenuhi permintaan masyarakat, industri di Sulsel mengimpor bahan baku sekitar 60% total impor. Di sisi lain, kegiatan ekspor dan pengiriman ke luar pulau diperkirakan masih melemah. Dari sisi sektoral, konsumsi lokal mendorong aktivitas sektor industri pengolahan, sektor transportasi dan sektor perdagangan. Masih melemahnya perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014, negara permintaan mitra dagang Sulsel dan tren perlambatan ekonomi dunia, mendorong melemahnya ekspor. Meskipun ekonomi global membaik, namun lebih rendah dan tidak secepat prakiraan sebelumnya. Perbaikan berasal dari ekonomi negara maju, sementara ekonomi negara berkembang melambat. Secara kawasan, China dan ASEAN cenderung melemah, sementara ekonomi Jepang meningkat. Dengan mempertimbangkan kondisi domestik dan global, ekonomi Sulsel keseluruhan tahun 2014 diperkirakan cenderung stabil pada kisaran 7,0% - 8,0% (yoy), dibandingkan pertumbuhan tahun 2013 (7,65%, yoy). 12
%, yoy
11 10
2012 : 8,4%
9
2015: 7,3% - 8,3%
8 7 6
2015
2014 Q4
2014 Q3
2014 Q2
2013 Q4
2013 Q3
2013 Q2
2013 Q1
2012 Q4
2012 Q3
2012 Q2
2012 Q1
2014 Q1
2014: 7,0% - 8,0%
2013 : 7,6% 2011 Q4
2011 Q3
2011 Q1
4
2011 Q2
2011 : 7,6%
5
Grafik 7.1. Perkembangan PDRB Sulsel dan Proyeksinya
Sementara untuk tahun 2015, ekonomi Sulsel diperkirakan kembali meningkat, didukung pertumbuhan sektor utama dan kuatnya permintaan. Sektor utama yang diperkirakan meningkat antara lain sektor Pertambangan, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, dan sektor Transportasi. Peningkatan beberapa sektor tersebut terkait beroperasinya tambahan smelter dan kegiatan pendukungnya, mulai beroperasinya hotel di Makassar, serta pembangunan infrastruktur transportasi dan distribusi. Kegiatan sektor-sektor tersebut secara tidak langsung meningkatkan permintaan barang/jasa masyarakat (konsumsi) dan kegiatan ekspor/impor.
7.1.1 Prospek Sisi Permintaan Pada triwulan III 2014, komponen sisi permintaan lokal cenderung masih kuat dibandingkan triwulan II 2014. Komponen permintaan lokal yang berasal dari komponen konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah, serta komponen investasi, cenderung masih kuat. Pendorong peningkatan konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 adalah adanya tambahan pendapatan (THR dan gaji ke-13), namun masih didukung ekspektasi konsumen yang relatif terjaga. Hasil survei BPS menunjukkan turunnya ekspektasi masyarakat terutama didorong oleh melemahnya pendapatan maupun rencana masyarakat untuk melakukan pembelian barang tahan lama. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan juga akan cenderung meningkat. Hingga semester I 2014, penyerapan anggaran APBD Sulsel sudah lebih tinggi dibandingkan tahun 2013, dan termasuk provinsi yang penyerapannya melebihi rata-rata nasional.
60
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN
120,0 115,0 110,0 105,0 100,0
105,5
108,1
111,8
110,1
111,1
110,1
110,5
II
III
IV
I
II
IIIp
Sumber : BPS
95,0 I
2013 Indeks Tendensi Konsumen Rencana pembelian barang durable
2014 Perkiraan Pendapatan RT
Sumber: Badan Pusat Statistik p) Perkiraan BPS Grafik 7.2. Indeks Tendensi Konsumen
Komponen investasi Sulsel diprakirakan masih akan meningkat tinggi pada triwulan III 2014. Keberlanjutan proyekproyek yang bersifat multiyears masih menjadi penopang pertumbuhan investasi Sulsel. Beberapa proyek besar yang akan berlangsung antara lain pembangunan industri pengolahan/pemurnian (smelter) tambang/mineral dan dukungan daya listriknya, proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Jeneponto (PLTU, 2x100 MW), pembangunan LNG di Kabupaten Wajo, kelanjutan proyek pembangunan 31 hotel dengan tambahan kapasitas mencapai 5.125 kamar di Makassar, Pembangunan Stadion Barombong dengan 40.000 tempat duduk, dan pembangunan pusat belanja terintegrasi. Kinerja perdagangan eksternal (ekspor dan impor) diprakirakan melemah sehubungan dengan melambatnya perekonomian negara mitra dagang. Pertumbuhan neraca perdagangan bersih (ekspor netto) cenderung belum membaik pada tahun 2014. Adapun negara-negara tujuan ekspor utama Sulsel antara lain adalah Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, Tiongkok, Singapura, dan Vietnam. Menurut proyeksi World Economic Outlook (IMF) (Tabel 7.1), perkembangan perekonomian tahun 2014 untuk negara China dan ASEAN diperkirakan melambat, sedangkan Jepang sedikit membaik. Sementara ekonomi negara maju di Amerika dan Eropa, cenderung masih melemah. Tabel 7.1. Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara WEO (IMF) WEO (IMF) Pertumbuhan Ekonomi April 2014 Juli 2014 (%, yoy) 2013 2014p 2015p 2013 2014p Amerika Serikat 1,9 2,8 3,0 1,9→ 1,7↓ Kawasan Eropa -0,5 1,2 1,5 -0,4↑ 1,1↓ Kawasan Asia China 7,7 7,5 7,3 7,7→ 7,4↓ Jepang 1,5 1,4 1,0 1,5→ 1,6↑ Kawasan ASEAN* 5,2 4,9 5,4 5,2→ 4,6↓ *) Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam p) Proyeksi Keterangan: ↑ Lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya → Sama dengan perkiraan sebelumnya ↓ Lebih rendah dari perkiraan sebelumnya
2015p 3,0→ 1,5→ 7,1↓ 1,1↑ 5,6↑
Pada tahun 2014, indeks harga internasional komoditas utama (nikel dan kakao) diperkirakan meningkat. Harga nikel dan kakao mulai membaik awal 2014, dan masing-masing tumbuh sebesar 32,97% (yoy) 38,4% (yoy), hingga Juli 2014. Naiknya harga nikel karena berkurangnya pasokan, dengan berlakunya pembatasan ekspor ore oleh Indonesia. Sementara peningkatan harga kakao terkait pasokan yang ketat karena faktor musiman, sehingga masih akan kemungkinan kenaikan 5-6% (yoy) hingga akhir tahun 2014.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
61
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN 30.000
$/mt
yoy
Harga Internasional Nikel g.Harga Internasional Nikel - sisi kanan
25.000
20.000 15.000
50%
4
40%
3,5
30%
30%
3
20%
20%
2,5
10%
2
0%
10.000 5.000
0 II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
10% 0%
1,5
-10%
1
-20%
-20%
0,5
-30%
-30%
0
-40% I
II
III
2012
2013
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
Jul
Jul
2011 2011
40%
-10%
-40% I
yoy
USD/kg
2014
Sumber: World Bank Grafik 7.3. Perkembangan dan Proyeksi Harga Internasional Nikel
2012
Harga Internasional Coklat
2013
2014
g.Harga Internasional Coklat - sisi kanan
Sumber: World Bank Grafik 7.5. Perkembangan dan Proyeksi Harga Internasional Coklat
Sementara itu, perdagangan dalam negeri (antarpulau) diperkirakan juga akan menjadi pendorong pertumbuhan ekspor dan impor Sulsel. Dukungan infrastruktur yang semakin membaik, dengan penambahan dermaga peti kemas, serta mulai beroperasinya lintas penyeberangan Pelabuhan Paciran, Jawa Timur dengan Pelabuhan Garongkong di 16 Kabupaten Barru , akan memudahkan lalu lintas pengiriman barang antar pulau saat ini menggunakan truk dan fasilitas kapal roro. Pengiriman barang dengan metode tersebut mengurangi biaya bongkar muat barang. Namun demikian, metode tersebut masih berlangsung untuk pengiriman dalam partai kecil. Selama triwulan III 2014, menghadapi kenaikan permintaan menjelang Ramadhan/Idul Fitri, diperkirakan pengiriman barang industri dari Jawa diperkirakan meningkat.
7.1.2 Prospek Sisi Penawaran Pada triwulan III 2014, hampir seluruh sektor ekonomi diperkirakan meningkat, seiring faktor musiman dan tetap kuatnya permintaan domestik. Hampir semua sektor ekonomi di Sulsel meningkat, kecuali sektor pertanian yang cenderung karena faktor musiman. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Sulsel tersebut masih akan tetap berada di atas level pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat mendukung target perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2014 (5,1% - 5,5%, yoy). Sektor pertanian, terutama subsektor tabama, diprakirakan akan melambat pada triwulan III 2014. Beberapa daerah areal utama padi, cenderung dalam masa tanam gadu (musim tanam antara penghujan dan kemarau), sehingga hasilnya lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh curah hujan yang sudah rendah di sebagian besar wilayah Sulsel. Curah hujan tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2013, dimana di Sulsel bagian utama masih mengalami curah hujan menengah. Di sisi lain, peningkatan harga kakao cenderung berdampak minimal, karena keterbatasan produksi. Sektor pertambangan diprakirakan akan tumbuh meningkat, seiring kenaikan harga nikel yang diperkirakan 17 mendorong produksi. Sektor pertambangan di Sulsel terutama berupa produk nikel. Implikasi UU Mineral dan Batubara 18 19 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM dan Menteri Keuangan , diperkirakan dampaknya minimal di Sulsel. Besarnya produksi cenderung dipengaruhi oleh harga internasional nikel. Hingga Juli 2014, harga nikel naik 32,97% (yoy) hingga level harga USD 19.118 per metric ton. Sektor industri pengolahan diprakirakan akan meningkat pada triwulan III 2014. Untuk merespons peningkatan permintaan musiman, industri tepung terigu akan meningkatkan produksinya untuk menghadapi kenaikan permintaan saat Ramadhan dan Idul Fitri. Sementara keseluruhan 2014, industri tepung masih optimis dengan meningkatkan target penambahan produksi sampai dengan 25% per bulan sebagai upaya antisipasi kenaikan permintaan tahun 2014 sekitar 20 5% (yoy). Industri pengolahan biji nikel di Sulsel diperkirakan akan meningkatkan produksinya untuk merespons
16 Diresmikan tanggal 29 April 2013. 17
UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014: Pemerintah masih mengizinkan ekspor enam komoditas mineral yang sudah diolah atau berbentuk konsentrat hingga 2017 19 PMK Nomor 6/PMK.011/2014: Tarif BK ditetapkan naik mulai dari 20% atau 25% sampai dengan 60% secara bertahap setiap semester 18
20 Produksi sudah mencapai 78% dalam bentuk nikel matte. Bahkan biji nikel (ore) dari provinsi lain masih potensial dapat menjadi tambahan produksi industri pengolahan biji nikel di Sulsel, karena industri pemurnian logam di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) masih memiliki potensi yang besar untuk ditingkatkan. Potensi biji nikel Sulampua yang masih dapat diolah sekitar 64 juta ton.
62
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN 21
kenaikan harga internasional nikel dan membaiknya negara Jepang. Sementara itu, dua industri semen di Sulsel diperkirakan meningkatkan produksinya untuk mengimbangi pembangunan infrastruktur dan sektor konstruksi yang masih meningkat. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) diprakirakan masih akan tumbuh menguat pada triwulan III 2014. Kapasitas infrastruktur perhubungan semakin tinggi, yaitu Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Garongkong. Selain itu, diperkirakan kegiatan perdagangan relatif meningkat, terutama untuk pengiriman barang dari luar Sulsel, untuk 22 mengantisipasi Ramadhan/Idul Fitri. Selain itu, dimulainya proses pelaksanaan kampanye pemilu eksekutif akan meningkatkan kegiatan di sektor PHR. Kemudian, sektor keuangan diperkirakan sedikit meningkat, sesuai pola historisnya. Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia triwulan II 2014, memperkirakan peningkatan pertumbuhan kredit triwulan III 2014. Sementara keseluruhan tahun 2014 akan sebesar 18,20% (yoy) lebih tinggi dari hasil survei sebelumnya (18,00%, yoy), maupun realisasi tahun 23 2013 (21,8%) . Perlambatan sektor keuangan tahun 2014 sesuai perkiraan Bank Indonesia, untuk mengantisipasi 24 ketidakpastian ekonomi global dan domestik, sehingga Bank Indonesia pun hanya memperkirakan pertumbuhan kredit/DPK nasional tahun 2014 berkisar antara 15% - 17% (yoy) lebih rendah dari tahun 2013. Diperkirakan perbankan telah menyesuaikan rencana bisnis bank 2014 untuk menjaga prinsip kehati-hatian.
7.2. Prospek Inflasi Laju inflasi triwulan III 2014 secara umum berpotensi kembali ke rentang target 4,5%±1%. Tekanan inflasi yang relatif mereda berasal dari komponen volatile food dan administered price, sementara inflasi inti cenderung tetap stabil. Relatif stabilnya inflasi karena, tekanan permintaan konsumen yang meningkat, direspons dengan ketersediaan barang yang relatif mencukupi. Beberapa sektor yang menyediakan kebutuhan barang kebutuhan masyarakat telah merespons dengan produksi yang tetap tinggi dan ketersediaan yang mencukupi. Sementara dari harga yang ditentukan pemerintah, kenaikan tarif dasar listrik cenderung berdampak minimal. Respons yang seimbang dari sisi permintaan maupun produksi tersebut, salah satunya melalui pengoptimalan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sulsel maupun TPID di tingkat kabupaten/kota, dengan skala kegiatan yang lebih menyebar dan intensitas lebih tinggi. Diperkirakan inflasi Sulsel 2014 akan mampu mendukung pencapaian target nasional (4,5% ± 1%), dalam rentang 4,60% - 5,60% (yoy). 10% 9%
Nasional yoy
Sulsel yoy
8%
Inflasi Tahunan
7% 6%
5% 4% 3% 2% 1%
Sasaran Inflasi 2011: 5% + 1 Sulsel 2011: 2,87% Nasional 2011: 3,79%
Sasaran Inflasi 2012: 4,5% + 1 Sulsel 2012: 4,41% Nasional 2012: 4,30%
Sasaran Inflasi 2013: 4,5% + 1 Sulsel 2013: 6,22% Nasional 2011: 8,38%
Sasaran Inflasi 2014: 4,5% + 1
0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 ... 12 2011
2012
2013
2014
Grafik 7.4. Perkembangan Laju Inflasi Sulsel dan Proyeksinya
Inflasi volatile food diperkirakan cenderung turun dengan pasokan yang mencukupi. Faktor yang mendukung adalah 25 stok pangan yang cukup sampai dengan beberapa bulan ke depan. Panen raya padi serta komoditas hortikultura juga dinilai masih berlangsung di sektor transisi Sulsel maupun sektor timur Sulsel sedangkan sektor barat Sulsel memasuki masa tanam. Dari aspek cuaca, curah hujan yang relatif rendah dibandingkan triwulan sebelumnya akan mendukung
21 Dua industri tersebut meningkatkan kapasitas produksi tahun 2014, sehingga masing-masing akan meningkatkan penjualannya sebesar 33,30% (yoy) dan 42,60% (yoy). 22 Periode pelaksanaan kampanye Pilpres 4 Juni - 5 Juli 2014. 23 Statistik Perbankan Indonesia 24 Sambutan akhir tahun Gubernur Bank Indonesia, Pertemuan Tahunan Perbankan, 14 November 2013 25 Hasil Rapat Koordinasi TPID antara Gubernur Sulsel dengan seluruh Kab/Kota dan asosiasi tanggal 18 Juni 2014, stok Aman untuk beras hingga 28 bulan, gula hingga 5 bulan, terigu hingga 4 bulan, migor hingga 3 bulan, sementara daging dan telur hingga 3 bulan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
63
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN
kegiatan penangkapan ikan maupun pengolahan lahan pertanian. Namun demikian, penangkapan ikan akan terkendala angin kencang yang masih berlangsung hingga Juli 2014. Juli 2014
Agustus 2014
September 2014
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Grafik 7.5. Prakiraan Curah Hujan Sulawesi Selatan
Inflasi administered price tahun 2014 diperkirakan relatif melemah. Penurunan inflasi administered price juga didorong faktor dasar perhitungan dari semester II 2013 yang cenderung tinggi setelah kenaikan BBM bersubsidi, sehingga pada semester II 2014 cenderung terkoreksi. Kenaikan harga yang diatur pemerintah masih terjadi, namun dampaknya tidak sebesar kenaikan harga BBM bersubsidi di 2013. Terjadi kenaikan tarif angkutan dan harga rokok. Kenaikan tarif angkutan karena pengusaha transportasi memanfaatkan kenaikan permintaan saat arus mudik dan arus balik dalam rangka Lebaran. Sementara itu, inflasi pada rokok kretek filter ditengarai dampak penyesuaian dari pajak daerah seiring naiknya harga bahan baku yang diimpor (tembakau). Adapun kebijakan pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi yaitu dari pukul 08.00 – 18.00 diterapkan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali sehingga belum akan memberi dampak yang signifikan bagi Sulsel pada khususnya. Inflasi komponen core inflation diperkirakan stabil, karena peningkatan ekspektasi konsumen tidak disertai dengan kenaikan harga di tingkat pedagang. Ekspektasi konsumen terhadap harga 3 bulan yang akan datang meningkat, yang tercermin dari hasil Survei Konsumen (SK) (Grafik 7.7) yang indeksnya meningkat menjadi 184 dari triwulan sebelumnya (167,83). Di sisi lain, indeks ekspektasi pedagang terhadap harga 3 (tiga) bulan yang akan datang relatif stabil (Grafik 7.8), menjadi 100 dari triwulan sebelumnya (100,06). Selain itu, harga emas perhiasan meningkat, ditengarai akibat pergerakan harga emas di pasar global yang tumbuh dalam tren meningkat seiring impor emas oleh India yang cukup signifikan. Kenaikan harga emas juga dipengaruhi oleh permintaan yang meningkat untuk menyambut hari raya. Informasi pedagang menyatakan bahwa konsumen menyisihkan THR untuk membeli emas untuk investasi. 200
100,5
Indeks perubahan harga umum 3 bulan yad
195
100,4
190
100,3
185
100,2
180
100,1
175
100,0
170
99,9
165
99,8
160
99,7
155
99,6 99,5
150 I
II
III 2012
IV
I
II
III
IV
I
2013
II
III*
IV*
I
2014
Sumber: Survei Konsumen Grafik 7.6. Indeks Ekspektasi Konsumen terhadap Harga
64
Ekspektasi Harga Umum 3 bln yad
III 2012
IV
I
II
III 2013
IV
I
II
III* 2014
Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 7.7. Indeks Ekspektasi Pedagang terhadap Harga
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
II
IV*
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN
Tabel 7.2. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Provinsi Sulsel Sisi Permintaan Konsumsi Konsumsi swasta Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Sisi Produksi Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perush. Jasa-jasa PDRB (%,yoy) Inflasi IHK (%,yoy)
2012
2013
2014 P III
P
p
Total
2015
I
II
III
IV
Total
I
II
6,8 6,7 7,2 18,7 (3,3) (1,2)
5,7 6,6 2,5 14,6 11,9 12,9
5,8 6,7 2,5 7,4 5,9 6,2
6,9 6,8 7,3 (5,1) 9,0 (6,8)
7,0 6,8 7,8 19,6 0,3 4,5
6,4 6,7 5,1 8,2 6,4 4,0
6,3 6,7 4,7 11,5 14,6 (9,3)
6,1 6,5 4,6 8,4 11,6 (1,1)
6,4 - 7,4 6,1 - 7,1 6,2 - 7,2 6,5 - 7,5 6,3 - 7,3 6,0 - 7,0 6,0 - 7,0 5,1 - 6,1 4,8 - 5,8 14,9 - 15,9 12,5 - 13,5 13,4 - 14,4 7,8 - 8,8 10,1 - 11,1 4,0 - 5,0 4,4 - 5,4 (1,5) - (0,5) 9,4 - 10,4
5,4 4,4 8,9 12,5 9,7 10,5 14,9 15,9 2,3 8,4
1,2 28,4 8,2 7,8 8,6 11,5 7,5 17,2 2,3 8,2
(0,9) 5,9 9,9 9,2 11,0 10,0 10,5 14,0 1,0 6,2
3,9 12,8 8,7 8,4 13,2 8,3 10,5 15,4 5,4 8,3
13,1 (4,6) 5,8 8,1 10,7 8,0 7,1 10,6 5,9 7,9
3,9 9,3 8,1 8,4 10,9 9,4 8,9 14,2 3,7 7,6
10,8 1,5 6,2 8,9 8,0 8,3 6,3 11,2 6,7 8,0
10,9 (3,4) 7,8 11,7 6,9 9,1 3,4 7,4 6,1 7,3
6,3 - 7,3 4,5 - 5,5 3,7 - 4,7 2,9 - 3,9 5,2 - 6,2 6,8 - 7,8 7,9 - 8,9 8,0 - 9,0 8,9 - 9,9 11,3 - 12,3 10,7 - 11,7 9,5 - 10,5 8,6 - 9,6 11,9 - 12,9 6,9 -7,9 8,7 - 9,7 9,3 - 10,3 9,5 - 10,5 6,8 - 7,8 7,6 - 8,6 7,6 - 8,6 9,7 - 10,7 9,3 - 10,3 10,0 - 11,0 5,9 - 6,9 4,9 - 5,9 5,6 - 6,6 7,1 - 8,1 7,0 - 8,0 7,3 - 8,3
4,4
4,6
4,4
7,2
6,2
6,2
5,9
5,9
4,0 - 5,0
4,6 - 5,6
4,0 - 5,0
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
65
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
66
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
LAMPIRAN
Lampiran A. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tabel A.1. PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Konstan (Rp Miliar) PDRB SEKTORAL 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik,Gas & Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Angkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa - jasa PDRB
2011*
2012*
14,737 4,108 7,394 575 3,251 9,645 5,179 4,297 5,907
15,533 4,290 8,050 648 3,567 10,661 5,950 4,979 6,041
I 3,831 1,123 2,108 169 913 2,797 1,544 1,323 1,494
55,094
59,718
15,304
2013** II III 4,059 4,491 1,181 1,230 2,187 2,210 173 178 964 1,022 2,876 2,966 1,613 1,660 1,414 1,468 1,529 1,604 15,995
16,828
IV 3,765 1,153 2,199 181 1,058 3,022 1,663 1,480 1,636 16,157
2013** 16,145 4,688 8,704 702 3,957 11,661 6,480 5,685 6,262 64,284
2014** I II 4,243 4,501 1,140 1,141 2,238 2,357 184 194 986 1,030 3,029 3,139 1,642 1,668 1,472 1,518 1,594 1,622 16,530
17,170
Tabel A.2. PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Berlaku (Rp Miliar) PDRB SEKTORAL 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik,Gas & Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Angkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa - jasa PDRB
39,617 8,962 19,408 1,439 9,071 28,748 12,983 11,803 27,828
I 10,242 2,670 5,314 390 2,406 7,778 3,423 3,272 7,390
2013** II III 10,822 12,499 2,783 2,971 5,673 5,775 404 426 2,575 2,839 8,016 8,488 3,604 3,885 3,552 3,816 7,686 8,559
IV 10,600 2,640 5,797 441 2,968 8,750 3,955 3,945 8,430
159,860
42,886
45,115
47,525
2011*
2012*
34,788 8,346 16,789 1,246 7,761 24,241 10,850 9,514 23,985 137,520
49,257
2013** 44,163 11,064 22,559 1,661 10,788 33,032 14,867 14,585 32,064 184,783
2014** I II 12,148 13,071 2,645 2,646 5,924 6,417 460 485 2,808 2,961 8,956 9,331 3,959 4,050 3,970 4,106 8,472 8,714 49,342
51,781
Tabel A.3. PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Konstan (Rp Miliar) PDRB PENGGUNAAN 1. Konsumsi 2. Investasi 3. Ekspor 4. Dikurangi Impor PDRB
39,480 16,811 21,895 18,467
I 10,136 4,666 5,322 4,820
2013** II III 10,336 10,675 5,153 4,323 5,634 6,169 5,128 4,339
IV 10,852 4,052 6,176 4,923
59,718
15,304
15,995
16,157
2011*
2012*
36,971 14,165 22,651 18,694 55,094
16,828
41,999 18,194 23,301 19,209
2014** I II 10,777 10,965 4,025 4,993 6,098 6,285 4,371 5,074
64,284
16,530
2013**
17,170
Tabel A.4. PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Berlaku (Rp Miliar) PDRB PENGGUNAAN 1. Konsumsi 2. Investasi 3. Ekspor 4. Dikurangi Impor PDRB
127,528 47,012 31,813 46,493
I 34,889 13,497 8,232 13,732
2013** II III 36,028 39,053 15,772 14,148 9,019 9,906 15,704 13,849
IV 40,313 14,340 9,871 16,999
159,860
42,886
45,115
47,525
2011*
2012*
107,798 34,883 30,199 35,361 137,520
49,257
150,284 57,756 37,028 60,284
2014** I II 40,351 41,829 14,182 17,637 10,255 10,779 15,446 18,464
184,783
49,342
2013**
51,781
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
67
LAMPIRAN
B. Indeks Harga Konsumen (IHK) Tabel B.1. IHK Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Kelompok Pengeluaran
Bahan Makanan
Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau
Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar
Sandang
Kesehatan
2010
148.73
131.96
122.00
135.79
119.24
116.86
104.73
126.75
2011
149.06
137.77
126.48
147.55
128.36
120.24
105.50
130.39
Triwulan I
156.33
139.19
128.22
149.63
129.86
120.33
105.61
132.89
Triwulan II
156.50
140.33
129.03
150.10
130.61
120.60
105.92
133.44
Triwulan III
161.48
143.21
129.73
154.94
130.98
121.38
106.22
135.69
Triwulan IV
158.86
144.70
130.72
158.05
132.02
124.35
106.72
136.14
Triwulan I
168.84
145.55
132.61
158.64
132.82
124.59
106.55
139.01
Triwulan II
166.24
146.83
133.67
154.02
133.21
124.61
110.11
139.26
Triwulan III
178.85
149.93
135.89
159.22
135.20
125.82
118.97
145.51
Triwulan IV
169.92
151.18
138.64
161.74
136.89
126.08
119.08
144.60
Triwulan I
111.25
108.80
109.10
108.00
105.49
103.66
110.65
109.16
Triwulan II
111.33
109.77
109.58
108.46
107.25
103.72
111.33
109.71
IHK (Akhir Periode)
Pendidikan, Transpor dan Rekreasi, dan Komunikasi Olahraga
Umum
2012
2013
2014*
Tabel B.2. IHK Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Kota Kota Inflasi
134.91
I 137.86
2013 II III 138.15 144.29
IV 143.33
143.33
2014* I II 108.94 109.26
142.22
144.84
144.26
150.25
149.68
149.68
108.84
110.28
130.22
134.76
137.33
137.57
144.44
143.26
143.26
108.29
109.33
143.59
148.83
151.29
151.92
159.23
159.04
159.04
109.81
111.58
117.21
118.31
2011
2012
Makassar
129.02
Palopo
136.61
Parepare Bone (Watampone)
2013
Bulukumba**
Tabel B.3. Angka Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Kota Kota Inflasi
2011
2012
2013 II III 4.54 7.41
IV 6.24
Makassar
2.87
4.57
I 4.76
Palopo
3.35
4.11
4.34
3.03
5.33
Parepare
1.60
3.49
4.67
4.49
7.41
Bone (Watampone)
3.94
3.65
2.90
3.28
6.72
Bulukumba** Sumber: Badan Pusat Statistik *) Sejak tahun 2014 data IHK menggunakan tahun dasar 2012
68
5.25
5.25
6.22
7.36
6.31
6.31
5.58
5.57
6.86
6.86
7.86
8.14
13.94
14.10
**) Dihitung sebagai Kota Inflasi sejak tahun 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
6.24
2014* I II 5.46 5.38
2013
LAMPIRAN
C. Perbankan Tabel C.1. Dana Pihak Ketiga (Lokasi Bank Pelapor) dan Kredit (Lokasi Bank) Bank Umum (Rp Miliar) DPK Periode
Giro
2011 2012
KREDIT
Tabungan
Deposito
Jumlah
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
LDR
Jumlah
6,275
26,446
13,085
45,807
20,074
9,626
23,198
52,898
115.48%
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
7,471 7,282 7,257 7,345
25,004 27,206 28,545 31,466
13,259 13,536 14,115 14,907
45,734 48,024 49,917 53,717
20,516 22,850 22,385 25,506
10,025 10,588 10,997 11,380
24,044 25,597 27,707 29,335
54,585 59,035 61,090 66,221
119.35% 122.93% 122.38% 123.28%
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
7,770 8,092 9,221 7,845
29,321 30,068 32,076 35,007
15,211 15,297 16,062 17,592
52,302 53,457 57,359 60,444
25,980 26,659 26,160 27,231
12,232 14,486 15,769 14,494
30,158 31,793 33,085 33,663
68,371 72,937 75,014 75,388
130.72% 136.44% 130.78% 124.72%
Triwulan I Triwulan II
7,990 9,730
32,446 33,168
17,726 18,504
58,162 61,402
27,257 29,062
14,642 15,467
33,974 34,807
75,874 79,336
130.45% 129.21%
2013
2014
Tabel C.2. Penyaluran Kredit (Lokasi Bank) Menurut Sektor Ekonomi (Rp Miliar) Kredit (Lokasi Bank) Periode
Pertanian
2011
Tambang
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
Konstruksi
Perdagangan
Jasa Dunia Usaha
Angkutan
Jasa Sosial Masyarakat
Total
Lain-lain
869
309
3,460
144
2,155
15,072
1,629
2,770
1,555
24,935
52,898
Triwulan I
906
312
3,468
137
2,065
15,459
1,744
2,917
1,570
26,007
54,585
Triwulan II
1,128
363
3,904
124
2,448
17,631
1,730
3,178
1,485
27,045
59,035
Triwulan III
1,171
375
4,008
135
2,582
17,741
1,794
3,131
1,372
28,781
61,090
Triwulan IV
1,215
399
5,250
141
2,674
19,027
2,321
3,105
1,404
30,684
66,221
Triwulan I
1,403
447
5,335
133
2,565
19,933
2,631
3,240
1,619
31,065
68,371
Triwulan II
1,396
449
5,579
116
2,780
22,957
2,763
3,433
1,650
31,814
72,937
Triwulan III
1,385
444
5,631
121
2,966
23,360
2,864
3,414
1,733
33,096
75,014
Triwulan IV
1,400
397
4,186
191
3,034
24,132
2,923
3,550
1,780
33,794
75,388
Triwulan I
1,405
377
3,918
218
3,043
24,334
2,960
3,747
1,828
34,043
75,874
Triwulan II
1,499
560
4,210
245
3,666
25,587
2,950
3,598
1,968
35,053
79,336
2012
2013
2014
Tabel C.3. Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank Bank Pemerintah Periode
Modal Kerja
Bank Swasta Nasional
Investasi
Konsumsi
Modal Kerja
Bank Asing dan Campuran
Investasi
Konsumsi
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
Bank Umum Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
2011 2012
13.55
11.83
12.83
13.34
13.61
14.09
10.62
6.81
28.61
13.45
12.84
13.32
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 2013
13.49 13.24 13.21 12.63
11.69 11.34 11.11 10.92
12.79 12.70 12.54 12.23
13.16 12.74 12.55 12.28
13.60 13.62 13.36 13.09
14.56 14.36 14.31 14.01
8.50 9.32 9.53 8.85
7.29 7.91 8.36 8.07
27.35 27.67 26.16 23.83
13.30 13.00 12.90 12.47
12.77 12.60 12.39 12.19
13.46 13.35 13.19 12.88
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 2014
12.56 12.77 12.94 13.00
10.74 10.57 10.79 11.08
12.20 12.12 12.11 12.18
12.31 12.01 12.72 13.04
12.89 12.71 12.99 13.53
14.04 13.89 13.83 13.91
7.21 8.12 9.14 10.20
8.21 8.37 9.16 10.06
23.67 20.92 21.14 20.92
12.40 12.38 12.80 12.99
12.05 11.65 12.02 12.57
12.85 12.74 12.72 12.78
13.10 13.26
11.15 11.41
12.24 12.37
13.23 13.51
13.67 13.47
14.06 14.14
10.49 10.26
10.68 10.72
22.14 22.72
13.13 13.33
12.71 12.70
12.86 12.97
Triwulan I Triwulan II
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
69
LAMPIRAN
D. Sistem Pembayaran Tabel D.1. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Depo KPw BI Wilayah I (Sulampua) (Rp Triliun) Periode
2012
I II III IV
2012 2013
I II III IV
2013 2014
I II
Inflow 3.87 2.75 3.93 3.20 13.75 4.41 3.24 4.87 4.07 16.59 5.30 4.07
Jumlah Outflow 1.86 3.17 3.57 3.21 11.82 1.71 2.88 5.31 4.16 14.07 2.34 3.83
Net Flow 2.01 (0.42) 0.35 (0.01) 1.93 2.69 0.35 (0.44) (0.08) 2.52 2.96 0.24
Inflow 66.24% 31.17% 5.71% 30.62% 29.83% 13.90% 17.51% 24.12% 27.33% 20.66% 20.17% 25.76%
yoy Outflow 48.52% 66.32% 9.93% 25.87% 31.86% -7.74% -9.03% 48.58% 29.43% 19.06% 36.67% 32.62%
Net Flow 86.83% 316.30% -23.94% 87.00% 18.68% 33.88% 184.18% 224.77% -531.87% 30.49% 9.67% -30.61%
Tabel D.2. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Depo KPw BI Wilayah I (Sulampua) (Rp Miliar) Periode
2012
I II III IV
2012 2013
I II III IV
2013 2014
I II
Inflow 0.15 0.13 0.02 0.05 0.34 0.03 0.08 0.08 0.10 0.29 0.14 0.04
Jumlah Outflow 1.80 2.53 0.86 0.34 5.53 0.28 0.78 2.51 2.63 6.20 2.20 3.22
Net Flow (1.65) (2.40) (0.84) (0.29) (5.19) (0.25) (0.70) (2.43) (2.53) (5.91) (2.05) (3.18)
Inflow -69.71% 0.09% 200.52% -72.94% -57.62% -80.04% -39.81% 335.68% 95.78% -16.80% 388.70% -47.69%
yoy Outflow 714.38% 60.57% -75.69% -86.00% -28.79% -84.46% -69.23% 192.39% 670.88% 12.07% 685.69% 314.31%
Net Flow 720.99% -65.80% 76.17% 87.11% 25.43% 84.86% 70.77% -189.28% -772.95% -13.98% -720.65% -353.25%
Tabel D.3. Perkembangan Transaksi Nontunai Melalui Real Time Gross Settlement (Rp Triliun) Jumlah
Periode 2011 2012
I II III IV
2012 2013
I II III IV
2013 2012
70
I II
From 52.23 11.50 15.47 15.42 19.88 62.28 14.45 17.40 18.77 20.54 71.16 15.66 21.37
To 117.78 29.15 37.79 34.63 40.65 142.21 32.77 36.12 37.61 41.48 147.98 27.89 33.67
yoy From-To 21.45 4.58 4.35 4.42 5.05 18.41 4.25 4.92 6.75 7.30 23.22 4.75 9.76
From 5.19% 3.26% 27.09% 17.91% 25.54% 19.24% 25.59% 12.46% 21.72% 3.32% 14.26% 8.39% 22.83%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
To 26.86% 24.82% 45.01% 1.86% 18.28% 20.75% 12.42% -4.41% 8.61% 2.05% 4.06% -14.89% -6.79%
From-To 13.94% -1.96% -18.06% -17.49% -17.24% -14.18% -7.28% 13.00% 52.66% 44.57% 26.15% 11.85% 98.44%
LAMPIRAN
E. Ekspor dan Impor Tabel E.1. Perkembangan Ekspor dan Impor Antardaerah Provinsi Sulawesi Selatan (Rp Miliar) Indikator Ekspor-Impor
2013
2011
2012
Ekspor Antar Provinsi (Rp miliar)
12,879
15,383
4,289
Kontribusi Thd Seluruh Ekspor
42.65%
48.36%
Impor Antar Provinsi (Rp miliar)
22,348
Kontribusi Thd Seluruh Impor
63.20%
Sulawesi Selatan
I
II
2013
III
IV
4,787
5,029
5,504
19,608
52.10%
53.08%
50.76%
52.91%
52.21%
32,625
8,724
9,834
9,681
12,020
40,259
70.17%
63.53%
62.62%
69.90%
74.39%
67.73%
2014 I
II
N.A
N.A
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tabel E.2. Perkembangan Komoditas Ekspor Non-migas Provinsi Sulawesi Selatan (US$ Juta) KOMODITAS EKSPOR UTAMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nikel Biji Coklat Rumput Laut Coklat Olahan Udang Segar/Beku Ikan Olahan Kayu Lapis Biji Mete Semen Makanan Ternak NILAI EKSPOR SULSEL Sumber: Bea Cukai
2011 1,271.61 186.73 78.71 71.62 52.89 31.61 41.84 17.46 11.81 17.26 1980.92
2012 967.33 132.48 69.87 39.02 43.07 65.68 35.63 17.71 8.37 26.84 1555.76
I 258.41 50.60 15.88 4.70 11.81 11.11 9.27 6.75 2.53 5.97 403.02
2013 II 247.29 28.35 21.04 14.72 13.91 10.33 8.84 6.10 2.44 4.84 389.29
III 215.37 59.06 27.43 17.22 16.46 15.23 7.77 6.66 13.55 4.62 417.56
IV 200.77 39.02 26.94 28.38 19.58 14.38 9.93 5.54 3.28 3.93 386.34
2013 921.84 177.03 91.29 65.02 61.76 51.05 35.81 25.06 21.80 19.38 1596.21
2014 I 213.11 19.95 33.32 29.33 14.59 8.80 10.53 5.91 1.71 4.60 366.41
II 269.36 35.04 35.92 34.26 18.01 12.16 9.18 7.81 0.92 5.23 460.02
Tabel E.3. Perkembangan Ekspor Non-migas Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Negara Tujuan (US$ Juta) KOMODITAS EKSPOR UTAMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jepang Malaysia Tiongkok Amerika Serikat Singapura Korea Selatan Vietnam Taiwan Jerman Belanda NILAI EKSPOR SULSEL Sumber: Bea Cukai
2011
2012
1,350.43 1,047.31 146.55 94.45 96.75 76.40 95.47 97.70 33.51 37.50 28.33 25.90 22.30 24.20 10.51 7.91 36.04 17.60 11.52 9.08 1980.92 1555.76
I 276.92 37.19 15.54 15.90 10.75 2.71 7.42 1.20 3.06 2.04 403.02
2013 II 265.50 20.35 21.97 23.79 6.51 4.22 5.41 2.55 4.27 2.73 389.29
III 236.10 49.65 30.38 26.97 13.67 5.96 3.65 2.90 3.09 3.25 417.56
2013 IV 222.27 1,000.78 46.97 154.15 35.10 102.99 24.96 91.62 4.89 35.82 5.03 17.93 5.51 21.99 2.56 9.21 5.85 16.27 2.98 11.00 386.34 1596.21
2014 I 229.81 31.36 28.28 26.41 5.23 5.46 6.54 1.14 6.49 3.12 366.41
II 285.80 43.73 38.25 32.15 8.68 5.99 3.61 1.43 9.62 4.08 460.02
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
71
LAMPIRAN
Tabel E.4. Perkembangan Komoditas Impor Non-migas Provinsi Sulawesi Selatan (US$ Juta) KOMODITAS EKSPOR UTAMA
2011
2012
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
242.33 83.49 39.33 7.33 50.00 36.19 6.17 13.88 31.82 109.14 702.15
251.76 4.52 0.20 0.00 5.46 8.93 38.20 6.97 1.33 1.39 423.42
Gandum Mesin Khusus Industri Makanan Ternal Pesawat dan Komponen Mesin Industri Umum Besi dan Baja Pupuk Bahan Kimia Mesin Listrik Mesin Pembangkit Listrik NILAI IMPOR SULSEL Sumber: Bea Cukai
2013 II III 56.62 29.66 0.26 1.14 0.00 0.05 0.00 0.00 1.12 0.97 0.77 0.18 0.00 7.18 0.15 0.30 0.01 0.01 0.04 0.07 76.79 45.66
I 37.23 0.88 0.00 0.00 0.94 0.31 0.10 0.05 0.00 0.66 44.31
IV 62.32 1.51 0.03 0.00 1.28 1.06 6.25 0.17 0.43 0.20 77.69
2013 185.84 3.79 0.08 0.00 4.32 2.32 13.53 0.67 0.45 0.97 244.45
2014 I II 55.11 48.14 3.97 2.57 0.16 0.04 0.00 0.00 2.07 3.22 1.19 1.13 1.66 2.51 0.25 0.28 0.05 0.05 0.22 0.10 71.89 69.18
Tabel E.5. Perkembangan Impor Non-migas Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Negara Asal (US$ Juta) KOMODITAS EKSPOR UTAMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Australia Tiongkok Thailand Malaysia Argentina Amerika Serikat Jerman Singapura Rusia Kanada NILAI IMPOR SULSEL Sumber: Bea Cukai
2011
2012
145.69 188.78 18.10 3.42 35.90 71.98 49.19 37.86 18.50 26.48 702.15
168.55 79.33 16.76 0.38 0.00 31.16 2.73 0.31 8.80 51.07 423.42
I 27.98 1.88 0.00 0.16 0.00 0.32 0.94 0.08 0.55 9.25 44.31
2013 II III 40.60 28.80 0.50 7.83 0.09 0.05 0.05 0.51 0.00 0.00 0.16 1.54 0.83 0.39 0.00 0.06 1.28 0.75 18.38 0.00 76.79 45.66
IV 27.35 8.35 0.03 0.33 0.00 7.24 0.55 0.12 11.98 10.31 77.69
2013 124.74 18.57 0.17 1.05 0.00 9.26 2.71 0.26 14.56 37.94 244.45
2014 I 38.03 3.78 0.03 0.00 0.00 17.69 0.38 0.10 0.59 0.00 71.89
II 34.79 3.90 0.14 4.02 0.00 0.62 2.06 0.40 0.56 13.65 69.18
F. Inklusi Keuangan Tabel F. Perkembangan Rasio Jumlah Rekening terhadap Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Jumlah Rekening DPK Lokasi KC/KCP (Ribu Rekening) 2012 4,070
2013 4,794
2014**
934
2013 986
2012
4,784
Jumlah Rekening Kredit Lokasi Proyek (Ribu Rekening) 2012
Jumlah Penduduk (Ribu Orang)*
2014**
8,207
2013 8,309
2014** 8,408
Jumlah Penduduk (Ribu Orang)* 2012
1,006
8,207
2013 8,309
2014** 8,408
Rasio Jumlah Rekening DPK terhadap Jumlah Penduduk (%) 2012 49.59
2013 57.70
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
56.90
Rasio Jumlah Rekening Kredit terhadap Jumlah Penduduk (%) 2012 11.38
2013 11.86
*) Jumlah penduduk merupakan proyeksi dari proporsi jumlah penduduk miskin berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS **) Data terkini perbankan dan jumlah penduduk miskin
72
2014**
2014** 11.96
LAMPIRAN
G. Daftar Istilah Istilah
Keterangan
Administered price
Komponen inflasi berupa harga-harga barang dan jasa yang diatur pemerintah
Abenomics
Mencakup serangkaian langkah-langkah kebijakan yang dirancang untuk mengatasi masalah ekonomi makro Jepang dari resesi berkepanjangan di negara itu, isu-isu seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan investasi swasta untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri sekaligus meningkatkan ekspor
Austerity program
Program kebijakan ekonomi yang bertujuan mengurangi defisit atau belanja pemerintah
Bail out
Injeksi dana talangan bagi pihak yang mengalami kesulitan dana/likuiditas
Balance sheet
Neraca
Banking union
Kerangka kerja perbankan yang terintegrasi dengan tujuan menjaga stabilitas perbankan
Barrel
Satuan pengukur volume yang biasa digunakan dalam perdagangan minyak internasional
Basel III
Standar regulasi global mengenai tingkat kesehatan bank yang didasarkan pada kecukupan modal bank, stress testing, dan risiko likuiditas pasar; disepakati oleh ang gota Basel Committee on Banking Supervision dan akan diimplementasikan 20132018
BI rate
Suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
Branchless banking
Strategi pemberian pelayanan jasa keuangan perbankan tanpa bergantung pada keberadaan kantor cabang
Bullish
Kecenderungan harga untuk meningkat
Clean money policy
Kebijakan penggantian uang rusak dengan uang layak edar
Consensus forecast
Prediksi masa depan yang dibuat dengan menggabungkan bersama beberapa perkiraan terpisah yang sering dibuat menggunakan metodologi yang berbeda
Core-deposit
Sumber dana andalan bank yang bersifat stabil sebagai basis pinjaman bank
Cost push inflation
Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya
Cost of capital
Biaya riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana baik hutang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi perusahaan
Credit Limit
Batas kredit
Credit rating
Sebuah penaksiran kelayakan kredit dari individu atau korporasi
Crisis management protocol
Prosedur manajemen krisis ini menetapkan protokol penggelaran tim manajemen dan mendefinisikan peran dan tanggung jawab anggota tim itu
Debt ceiling
Pagu hutang
Debt service ratio
Rasio beban pembayaran utang terhadap penerimaan ekspor suatu negara
Debt swap
Serangkaian transaksi yang mempertukarkan pembayaran utang oleh dua entitas ekonomi
Deflasi
Penurunan harga-harga barang dan jasa secara umum
Dependency ratio
Rasio ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk yang produktif
Deposit facility
Fasilitas deposit untuk membuat deposito overnight dengan bank sentral
Deposit rate
Tingkat suku bunga simpanan
Deposito
Produk bank sejenis jasa tabungan yang memiliki jangka waktu penarikan, berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah
Depresiasi rupiah
Penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
Devisa
Semua barang yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional
Disposable income
Jumlah pendapatan pribadi individu memiliki setelah pajak dan biaya pemerintah, yang dapat dihabiskan pada kebutuhan, atau non-penting, atau diselamatkan
Double-dip recession
Peristiwa dimana resesi menimpa suatu negara setelah sempat membaik dari resesi sebelumnya dalam waktu yang pendek
Double taxation
Pengenaan pajak oleh suatu yurisdiksi lebih dari satu kali
Down payment
Pembayaran awal sebelum melunasi pembelian
Dropshot
Pembayaran uang layak edar (ULE) setoran dari bank kepada bank yang sama (bank penyetor) atau kepada bank berbeda, dimana terhadap setoran ULE dari bank tersebut, Bank Indonesia tidak melakukan perhitungan rinci dan penyortiran
Ekspansi fiskal
Kebijakan peningkatan fiskal dengan cara menambah pengeluaran pemerintah
Emerging market
Kelompok negara-negara dengan ekonomi yang berkembang pesat yang antara lain tercermin dari perkembangan pasar keuangan dan industrialisasi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
73
LAMPIRAN
Istilah
Keterangan
E-money
Uang elektronik
Exchange rate pass through
Persentase perubahan dalam mata uang lokal harga impor akibat perubahan satu persen dalam nilai tukar antara negaranegara pengekspor dan pengimpor
External imbalance
Keseimbangan eksternal terjadi ketika transaksi berjalan tidak terlalu positif atau negatif berlebihan
Fee based income
Pendapatan bank yang berasal dari transaksi jasa-jasa bank selain dari selisih bunga
Financial sophistication
Kecang gihan dalam pengelolaan keuangan financial exclusion pemberian layanan keuangan dengan biaya terjangkau untuk bagian segmen yang kurang beruntung dan berpenghasilan rendah masyarakat
Fiscal space
Ruang ekspansi kebijakan fiskal
Flight to quality
Istilah yang digunakan untuk menyatakan fenomena di pasar keuangan, dimana investor menjual apa yang mereka anggap sebagai investasi berisiko dan membeli investasi yang lebih aman
Fiscal sustainability
Kemampuan pemerintah untuk menjaga kesinambungan belanja, pajak, dan kebijakan lainnya dalam jangka panjang tanpa risiko gagal bayar
Giro
Simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran lain atau dengan pemindahbukuan
Good corporate governance
Tata kelola yang baik
Growth-supporting funding facility
Fasilitas pendanaan yang disediakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Hedging
Strategi untuk melindung nilai dengan membatasi risiko atau probabilitas kerugian yang dapat ditimbulkan
Holding company
Perusahaan induk dari beberapa perusahaan
Idle money
Uang yang tidak terpakai
Imported inflation
Inflasi yang disebabkan kenaikan harga barang-barang impor
Indeks kedalaman kemiskinan
Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin
Indeks keparahan kemiskinan
Ukuran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin
Industrial upgrading
Peningkatan industri produk nonkomoditas
Inflasi
Kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum
Inflasi inti
Komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang dan ekspektasi Inflasi
Inter-bank lending
Penempatan dana bank pada bank lain
Intercompany loans
Pinjaman yang dilakukan oleh suatu departemen kepada departemen lain dalam satu struktur organisasi
Intra-regional trade
Perdagangan internasional negara-negara dalam satu kawasan
Investasi portofolio
Investasi dalam bentuk surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar keuangan
Investment grade
Peringkat layak investasi
Leading indicator
Indikator penuntun yang menunjukkan arah variabel acuan ke depan
Lending facility
Sebuah mekanisme yang digunakan saat bank sentral meminjamkan dana kepada dealer utama
Less cash society
Masyarakat yang terbiasa memakai alat pembayaran nontunai
Long-term financing
Skema fasilitas pinjaman murah (bunga 1%) dari ECB bagi perbankan eropa dalam rangka mencegah keketatan likuiditas
operation
Credit crunch dengan jangka waktu 3 tahun
M1
Uang dalam arti sempit (uang kartal dan giral)
M2
Uang dalam arti luas (uang kartal, giral, dan deposito)
Makroprudensial
Pendekatan regulasi keuangan yang bertujuan memitigasi risiko sistem keuangan secara keseluruhan
Margin
Selisih
Mikroprudensial
Kehati-hatian yang terkait dengan pengelolaan lembaga keuangan secara individu agar tidak membahayakan kelangsungan usahanya
Monetary union
Penggunaan satu mata uang tunggal dalam satu kawasan
Monetisasi
Proses konversi/perubahaan sesuatu (aset) menjadi uang
74
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
LAMPIRAN
Istilah
Keterangan
Moral hazard
Kecenderungan untuk melakukan kecurangan
Mtm
Month-to-month growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, atau bulan) terhadap satu bulan sebelumnya
Online banking
Transaksi keuangan yang dilakukan dengan memanfaatkan koneksi internet
Operation twist
Kebijakan The Fed pada akhir 2011, dimana The Fed mengambil inisiatif membeli surat berharga jangka panjang dan secara simultan menjual yang jangka pendek untuk menurunkan tingkat suku bunga jangka panjang
Operasi Pasar
Kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter
Pagu hutang / debt ceiling
Jumlah total utang pemerintah Amerika Serikat yang boleh diterbitkan dalam periode tertentu
Pasar obligasi
Tempat diperdagangkannya obligasi
Pendapatan disposibel
Bagian dari pendapatan yang siap untuk dibelanjakan
Price taker
Pengambil harga
Primary reserves
Cadangan utama, bisanya bersifat likuid (dapat diuangkan sewaktu-waktu)
Push factor
Faktor pendorong
Quantitative easing
Kebijakan dimana The Fed mencetak uang baru dan menyalurkannya pada bank untuk memberikan dukungan pembiayaan/pendanaan usaha/bisnis dengan bunga terjangkau
Qtq
Quarter-to-quarter growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, atau kuartal) terhadap titik waktu yang sama tiga bulan (1 kuartal) sebelumnya
Rasio gini
Suatu ukuran yang biasa digunakan untuk memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan
Second round effect
Dampak lanjutan
Short-term liquidity
Likuiditas jangka pendek
Sistem pembayaran
Sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain
Solvabilitas
Kemampuan perusahaan untuk membayar segala kewajibannya
Sovereign debt crisis
Krisis timbul akibat kegagalan pemerintah negara penerbit surat berharga untuk memenuhi kewajibannya (bunga dan pokoknya)
Stimulus fiskal
Kebijakan fiskal pemerintah yang ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang selanjutnya (diharapkan) akan berpangaruh pada aktivitas perekonomian dalam jangka pendek
Sukuk
Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah
Tenor
Masa pelunasan pinjaman, dinyatakan dalam hari, bulan atau tahun
Term of trade
Perbandingan harga ekspor suatu negara terhadap impornya
Unbanked
Orang-orang atau bisnis yang tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan utama biasanya ditawarkan oleh bank-bank ritel
Velositas uang
Kecepatan perputaran uang yang beredar
Volatile food
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional
Yield
Imbal hasil
Yoy
Year-on-year growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, triwulan, semester, atau tahun) terhadap titik waktu yang sama satu tahun sebelumnya
Ytd
Year-to-date growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, triwulan, semester) terhadap titik waktu terakhir pada tahun sebelumnya (31 Desember). Ytd biasanya untuk mengukur pertumbuhan secara akumulatif.
Yuan
Mata uang Tiongkok
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN | Triwulan II 2014 Tetap Bertahan dengan Dukungan Sektor Sekunder
75