KANTOR PERWAKILAN BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Jakarta, Menara II/Lantai 12 Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111 Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433, U.S.A. Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Email:
[email protected] Website: www.worldbank.org
Edisi 2006. Laporan ini merupakan produk staf Bank Dunia. Analisa, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat didalamnya tidak mewakili Dewan Direksi Bank Dunia maupun pemerintahan yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data di dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi lainnya yang tercantum pada peta yang ada di dalam laporan ini tidak mengimplikasaikan pandangan Bank Dunia akan status hukum suatu wilayah ataupun persetujuan akan batas-batas tersebut.
Membuat Pelayanan Bermanfaat bagi Masyarakat Miskin di Indonesia Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bank Dunia | The World Bank East Asia and Pacific Region
Ucapan Terima Kasih Laporan ini disiapkan oleh sebuah tim yang terdiri dari Menno Pradhan, Vic Paqueo, Elizabeth King, (Ketua Tim Pokja), Deon P. Filmer, Scott E. Guggenheim dan Anne-Lise Klausen. Tim ini hendak menyampaikan adanya dukungan yang begitu besar yang diberikan oleh tim dari INDOPOV yang dipimpin oleh Jehan Arulpragasam. Sementara itu biayanya disediakan oleh pemerintah Jepang dan Inggris. Laporan ini dibuat berdasarkan hasil konferensi “Making Services Work for the Poor,” yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan April 2005. Konferensi ini disponsori secara bersama-sama oleh Menkokesra dan Bank Dunia (Kathy Macpherson). Laporan ini juga disusun berdasarkan makalah yang khusus ditulis untuk keperluan penyusunan laporan ini. Pertama, di bawah supervisi dari Stefan Nachuk, ada delapan dokumen mengenai berbagai inovasi lokal tentang penyediaan layanan publik. Kedua, di bawah supervisi Nilanjana Mukherjee, dilakukan penelitian mengenai “Suara Masyarakat Miskin” dalam penyediaan layanan publik. Terima kasih juga atas komentar yang diberikan oleh peninjau, Christopher Pycroft (DFID), Ariel Fiszbein, dan Lant Pritchett (catatan konsep), demikian juga masukan yang disampaikan oleh rekan-rekan dari Bank Dunia.
Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Assalamualaikum Wr. Wb.
Masyarakat miskin di Indonesia tidak menerima layanan publik yang mereka butuhkan. Seringkali layanan bagi mereka tidak tersedia, di luar jangkauan mereka atau mutunya sangat rendah. Upaya untuk memastikan tersedianya tenaga terampil di puskesmas atau memastikan petani menerima informasi yang tepat dari petugas penyuluhan pertanian, masalah yang harus dihadapi masyarakat miskin seringkali sangat mirip. Oleh karena itu, laporan ini berfokus pada isu-isu antar sektor yang dapat menghambat kemajuan upaya memberikan layanan bagi masyarakat miskin.
Catatan Indonesia tentang hal ini memang masih mengecewakan. Selama beberapa dekade yang telah lewat, akses terhadap layanan dasar mengalami kemajuan pesat, demikian juga dengan indikator pembangunan kemanusiaan. Namun tantangan yang dihadapi sekarang telah bergeser yaitu upaya untuk meningkatkan mutu layanan yang telah ada, dan menjangkau mereka yang tidak mampu menggapai akses yang telah semakin meningkat tersebut. Tantangan ini harus dihadapi oleh Indonesia yang semakin demokratis, yang sudah menerapkan desentralisasi.
Kami berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan daerah, dan bagi masyarakat luas yang terlibat dalam penyediaan layanan tersebut di atas. Terdapat banyak contoh inovasi praktis dalam penyediaan layanan yang berasal dari Indonesia yang diuraikan dalam laporan ini, dan banyak dari contoh tersebut bisa dengan segera diterapkan oleh para praktisi untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Masalah yang lebih besar lagi adalah bagaimana menerjemahkan pengalaman lokal tersebut ke dalam kebijakan sektoral dan ke dalam program, untuk memperoleh peningkatan yang berkelanjutan dalam penyediaan layanan publik bagi masyarakat. Rekomendasi dalam laporan ini dapat memberikan rujukan yang bermanfaat dalam rangka menangani masalah-masalah di atas.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Aburizal Bakrie
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
v
Prakata dari Bank Dunia Ketika seorang anak yang sedang sakit dari keluarga miskin berobat kepuskesmas, di sana harus ada petugas kesehatan profesional yang akan menangani anak itu. Ketika seorang ibu hamil yang masih muda berkunjung ke klinik yang dikelola pemerintah untuk meminta nasihat tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan ibu, maka ibu hamil tersebut harus ditangani oleh bidan yang terampil dan terlatih. Semua anak yang berumur di bawah 15 tahun harus bersekolah dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran ilmu matematika dan ilmu pengetahuan dasar yang memadai. Desa juga harus memiliki sistem penyediaan dan penyaluran air bersih yang berfungsi dengan baik.
Pemerintah di seluruh dunia berjuang dengan keras untuk memberikan jaminan bahwa layanan dasar semacam ini dapat diberikan dan diterima oleh seluruh warga negara. Hal ini tidak bukan hanya merupakan pengalokasian anggaran yang lebih besar semata. Seluruh sumber daya untuk publik harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk menjamin bahwa sumber-sumber itu dapat diwujudkan menjadi pemberian layanan publik yang lebih baik.
Indonesia tidak terkecuali dalam hal ini. Negeri ini memang telah mencapai kemajuan pesat dalam peningkatan layanan publik selama beberapa dekade terakhir. Akan tetapi, masih ada begitu banyak bukti bahwa tidak semua warga dapat memperoleh layanan yang mereka butuhkan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dan demokratisasi telah berdampak sangat besar terhadap pengelolaan layanan publik saat ini. Lima tahun setelah pelaksanaan kedua hal ini, laporan ini disusun dengan mendokumentasikan sekaligus mengusulkan strategi untuk mempertahankan peningkatan layanan publik dalam lingkungan yang baru.
Rekomendasi pertama dalam laporan ini adalah mendorong penggunaan perjanjian layanan, dan sejalan dengan perjalanan waktu, meningkatkan kewenangan penyedia layanan terhadap berbagai aspek operasional pemberian layanan. Dengan skenario seperti ini, satu perjanjian layanan antara pemerintah daerah dan penyedia layanan harus mencantumkan dan menegaskan layanan apa yang harus diberikan oleh penyedia dan sumber daya apa yang mereka miliki untuk memberikan layanan tersebut. Perjanjian itu harus juga menentukan standar bagi pengguna layanan agar mereka dapat memantau layanan yang diberikan dan mengambil tindakan yang diperlukan jika standar layanan yang diberikan itu mengalami penurunan.
Rekomendasi kedua adalah memberikan ruang yang lebih besar bagi pengguna layanan dan masyarakat untuk menyuarakan bagaimana layanan itu diberikan. Masyarakat ternyata mampu bertindak lebih efisien terutama dalam membangun dan memelihara infrastruktur daerah. Mereka juga mampu mengambil peran yang lebih besar untuk menjamin bahwa masyarakat miskin dapat memperoleh akses yang lebih baik terhadap layanan dasar. Rekomendasi yang ketiga adalah memperbaiki arsitektur desentralisasi. Upaya untuk meningkatkan pemberian layanan publik merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pusat. Kedua pemerintah ini mengeluarkan anggaran cukup besar untuk meningkatkan layanan publik, dan hal ini perlu dikoordinasikan untuk menjamin bahwa layanan itu berdampak sesuai dengan yang diharapkan. Saya sangat berharap bahwa laporan ini dapat
vi
menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bekerja untuk meningkatkan layanan publik di Indonesia.
Atas nama Bank Dunia, saya ucapkan selamat kepada para penulis dan seluruh mitra pemerintah atas kerja sama produksi yang sangat baik sehingga laporan yang sangat penting ini bisa selesai tepat pada waktunya. Kami juga berharap bahwa laporan ini dapat menggugah dan mendorong diskusi yang gencar dan terus-menerus dengan pihak pemerintah dan masyarakat sipil.
Andrew Steer Country Director Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
vii
Daftar isi Daftar isi Ucapan Terima Kasih
II
Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
v
Prakata dari Bank Dunia
vi
Ringkasan Eksekutif
x
Bab 1. Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua dan Inefisiensi yang terjadi
19
sehubungan dengan pemberlakuan Desentralisasi Bab 2. Pemberian Layanan dalam Era Demokratisasi dan Desentralisasi
33
Bab 3. Penguatan Akuntabilitas dan Struktur Insentif
39
Bab 4. Penguatan Peran Pengguna Layanan
59
Bab 5. Mengefektifkan Hubungan Antar Instansi Pemerintah Untuk Penyedia Layanan Publik
73
Bab 6. Menuju Strategi Operasional Untuk Peningkatan Layanan Publik
85
Epilog
97
Daftar Pustaka
98 Daftar table
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat
xvii
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003)
27
Tabel 3. Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat.
62
Tabel 4. Saran-saran tentang alokasi fungsional untuk penyediaan layanan masyarakat
76
Tabel 5. Saran tindakan kebijakan untuk mengefektifkan layanan publik di Indonesia
92
Daftar diagram Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia
xiii
Diagram 2. Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade
21
terakhir Diagram 3. Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat
23
miskin Diagram 4.
Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan
24
Diagram 5. Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca
24
desentralisasi desentralisasi Diagram 6. Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak
25
pemberlakuan desentralisasi Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah,
28
bahkan masih rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
viii
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang standar layanan publik masih rendah
29
Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT
29
Diagram 10 Kesenjangan dalam hal keluaran dan layanan publik masih tinggi
30
Diagram 11 Alur Pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada sekolah
45
Diagram 12. Penggunaan layanan yang diberikan oleh sektor swasta, berdasarkan kuintil pendapatan
50
Diagram 13. Kerangka kerja untuk melakukan penilaian dan mengurangi risiko ketika melakukan kontrak
53
dengan penyedia layanan sektor swasta Daftar kotak Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja
xv
Kotak 2. Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso
43
Kotak 3 Bagaimana insentif dapat mengubah perilaku penyedia layanan yang berada pada garis depan?
47
Kotak 4. Penyediaan layanan kesehatan pokok melalui LSM
52
Kotak 5 Kontrak dengan sektor swasta untuk menyediakan air bersih di Jakarta
54
Kotak 6 Perampingan pemerintah di Kabupaten Jembrana
58
Kotak 7. Upaya membuat (block grant) berhasil bagi masyarakat miskin di kota Blitar
63
Kotak 8. Mengurangi tindak korupsi dalam program berbasis masyarakat dengan melakukan publikasi
65
hasil audit Kotak 9. Melemahnya posisi pengguna layanan akibat pembagian kupon melalui penyedia layanan
70
Kotak 10 Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan
71
tarif lebih murah dari yang semestinya Kotak 11. Fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih merusak penyediaan layanan di seluruh sektor
75
Box 12. Terlalu banyak birokrat, terlalu sedikit tenaga profesional
81
Box 13. Desentralisasi pendidikan tidak berjalan efektif
82
Kotak 14. Peningkatan transparansi anggaran di Kota Bandung
84
Kotak 15. Tiga kisah tentang inisiatif reformasi
89
Kotak 16. Memperkenalkan Standar Kualitas Kesehatan
90
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
ix
Ringkasan Eksekutif Tentang laporan ini Bagaimana sistem persekolah di Indonesia mampu menyediakan pendidikan yang bermutu tinggi? Bagaimana klinik akan berfungsi lebih baik dalam memberikan tanggapan mereka terhadap kebutuhan pasien? Bagaimana layanan penyuluhan di tingkat lokal mampu memenuhi permintaan petani secara lebih baik? Bagaimana pihak penyedia jasa mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara lebih baik dalam iklim Indonesia yang menganut sistem desentralisasi?
Laporan ini berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan di atas. Dikatakan bahwa penyebab rendahnya mutu penyediaan layanan adalah hal yang sama di setiap layanan, dan oleh karena itu ada beberapa unsur yang serupa terhadap solusi masalah tersebut dalam rangka meningkatkan layanan kepada publik. Laporan ini berfokus pada isu-isu lintas sektoral, dengan rujukan yang semata-mata berasal dari Indonesia. Berita baiknya adalah bahwa ada begitui banyak contoh inovasi dalam pemberian layanan yang menunjukkan hasil yang baik pula. Tantangan kita adalah bagaimana kita bisa belajar dari keberhasilan tersebut, dan bagaimana meningkatkan praktik-ptaktik yang sudah baik itu. Hal ini juga dibahas di dalam laporan ini.
Berita Baik dan Berita Buruk Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan Indonesia dalam pemberian layanan publik dan pembangunan kemanusiaan telah menunjukkan hasil yang mengagumkan. Pada 1960 tingkat kematian balita adalah lebih dari 200 untuk setiap 1.000 orang—lebih dari dua kali lipat tingkat angka yang dicapai oleh Filipina dan Thailand. Pada 2005 angka ini turun menjadi di bawah 50 untuk per 1.000 balita, yang menunjukkan salah satu angka penurunan tertinggi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada 1940 hanya memiliki sekitar 60 persen kesempatan untuk bersekolah, 40 persen kesempatan untuk menamatkan pendidikan dasar, dan 15 persen kesempatan untuk menamatkan pendikan sekolah menengah pertama mereka. Sebaliknya, lebih dari 90 persen anak-anak yang lahir pada 1980 berhasil menamatkan pendidikas sekolah dasar dan hampir sebanyak 60 persen mampu menyelesaikan pendikan sekolah menengah pertama mereka.
Ada persepsi luas yang berkembahg bahwa pemberian layanana publik telah mengalami kemundursan sejak Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pada 2001. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa realita ini hanya merupakan perkiraan belaka. Ketakutan bahwa layanan publik akan runtuh dan hancur setelah pelaksanaan sistem desentralisasi ternyata tidak terbukti. Malah sebaliknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, beberapa aspek pemberian layanana publik dan hasil pembangunan kemanusiaan telah mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang meninggal sebelum genap berumur satu tahun telah mengalami penurunan antara 1997 dan 2003. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor publik meningkatkan kapasitas mereka dalam bidang pendidikan dasar, menengah pertama dan atas. Peningkatan juga terjadi pada pemakaian layanan kesehatan rawat jalan bagi para pasien. Berbagai studi tentang persepsi klien juga menunjukkan tingkat kepuasan secara keseluruhan sehubungan dengan pemberian layanan publik sejak
x
pelaksanaan sistem desentralisasi. Akan tetapi, semua keberhasilan ini tidak berarti bahwa pelaksanaan sistem desentralisasi berpengaruh positif terhadap hasil pemberian layanan. Walaupun anggaran pemerintah telah mengalami peningkatan, sejumlah indikator sosial tampaknya berjalan lambat—dan bahkan terjadi hal sebaliknya sejak pelaksanaan sistem desentralisasi ini. Kasus gizi buruk terus mengalami penurunan sebelum tahun 2000 tetapi kemudian sangat parah karena penurunan kinerja program vaksinasi lanjutan.
Kini, Indonesia menghadapi isu generasi kedua: pengeluaran publik yang tidak efisiensi, mutu layanan yang rendah, dan kesenjangan yang masih terjadi antara akses dan hasil. Semua masalah ini berkaitan dengan model yang berlaku dulu ytang bersifat top-down (dari atas ke bawah). Keterbukaan yang semakin besar dan demokrasi telah menyebabkan semua masalah ini semakin jelas. Produktivitas guru yang sangat rendah dapat dilihat dari tingkat absensi yang tinggi (19 persen) dan kekurangan guru di daerah-daerah terpencil sementara jumlah guru begitu banyak. Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio murid/guru yang paling rendah di dunia, apalagi jika dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Pada saat yang sama, data yang diperoleh dari Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) atau Kecenderungan dalam Bidang Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan: sementara 66 persen soswa kelas delapan di Malaysia mampu menunjukkan tingkat “intermediate (menengah)” atau lebih tinggi dalam skala internasional untuk kemampuan matematikan, hanya 24 persen siswa Indonesia mampu mencapai tingkat tersebut. Kinerja yang tidak efisien dan mutu yang rendah juga tampak pada sektopr kesehatan. Empat puluh persen tenaga kerja kesehatan mangkir dari dari post jaga pada suatu hari. Mutu layanan yang diberikan oleh baik penyedia layanan kesehatan dari sektor publik maupun sektor swasta masih rendah. Sekitar setengah dari tenaga kesehatan tidak mengetahui prosedur klinik yang benar, dan kurang dari sepertiga mampu menguasai prosedur pemberian layanan berdasarkan paraktik terbaik dalam menangani masalah-masalah kesehatan, seperti malaria dan tuberculosis (TBC).
Isu-isu generasi kedua harus diatasi dalam lingkungan kebijakan Indonesia yang baru. Sejak krisis ekonomi 1998, pembangunan yang berbasis pendekatan kebijakan pusat telah diganti dengan satu pendekatan yang bercirikan demokratisasi dan desentralisasi. Pergeseran pendekatan ini telah membuat masalah yang berkaitan dengan pembangunan kemanusiaan dan pemberian layanan semakin jelas di mata masyarakat yang semakin tidak toleran dan bersuara lebih vokal terhadap tindak korupsi, penyelewengan sumber-sumber daya publik, mutu layanan yang buruk, dan kesenjangan. Saat ini para pemimpin negara ini menghadapi tekanan yang berhubungan dengan pemilu (pemulihan umum) langsung. Jika disinyalir ada penyelewengan maka pemilu ulang dipastikan akan dilakukan, seperti yang dialami di 38 dari 103 pemerintah kabupaten selama pemilu ulang tahun 2005 (NDI,2006).
Didorong oleh semangat demokrasi dan desentralisasi, rakyat Indonesia sangat bersemangat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Mereka menuntut agar pemerintah dan penyedia layanan lebih bertanggung jawab, tetapi upaya untuk upaya menuntut akuntabilitas semacam itu tidak mudah. Misalnya, pada 2004 akibat desakan rakyat, sebanyak 55 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan dituntut dengan tuduhan korupsi sebesar $690.000 yang berasal dana publik. Akan tetapi, walaupun
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xi
mereka terbukti bersalah, ternyata upaya untuk memperoleh keadilan terbukti masih sulit (lihat Bab 2). Lingkungan yang baru ini merupakan peluang emas bagi peningkatan pemberian layanan publik melalui partisipasi rakyat yang lebih baik dan tuntutan akuntabilitas yang lebih baik atas kinerja pemerintah.
Kesimpangsiuran mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah di tingkat yang berbeda telah Ringkasan Eksekutif
menimbulkan kinerja yang sangat tidak efisien. Berbagai sumber daya langsung di bawah pengelolaan pemerintah kabupaten/kota—dan dari mereka lalu diteruskan kepada petugas atau penyedia layanan di garis depan—dan kondisi ini masih beragam dan bersifat fragmental sehingga hampir tidak mungkin bagi rakyat pengguna layanan tersebut untuk mengetahui seberapa besar dana yang seharusnya mereka terima dan apakah dana yang dianggarkan sudah dicairkan atau belum. Misalnya, rata-rata setiap klinik kesehatan yang dimiliki pemerintah memiliki 8 sumber pendapatan tunai dan 34 anggaran operasional, banyak dari anggaran ini disediakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (World Bank 2005b). Masalah ini semakin memburuk akibat ketidaksiapan dan lemahnya kapasitas aparat pemerintah dengan wewenang baru ini untuk melaksanakan tanggung jawab mereka secara efisien. Tumpang tindih tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah telah mengakibatkan birokrasi yang semakin panjang dan personalia yang semakin banyak pada jajaran layanan masyarakat dengan jumlah staf yang semakin mubazir. Keadaan ini telah menciptakan peluang baru untuk melakukan tindak korupsi, kebocoran anggaran, dan risiko bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai upaya peningkatan budaya layanan publik yang akan menguntungkan staf tanpa memperhatikan pemberian layanan yang bermutu bagi masyarakat.
Kebijakan dan opsi-opsi strategis Tanpa memandang tingkat keefektifannya, sentralisasi kebijakan dan kontrol di masa lalu tidak lagi cocok karena pendekatan secara menyeluruh atas kepemerintahan dan pemberian layanan yang kini berlaku di Indonesia. Kembali pada pendekatan masa lalu itu pada saat ini merupakan hal yang tidak realistik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan adaptasi terhadap paradigma dengan realitas saat ini. Agar tetap konsisten dengan lingkungan kebijakan yang baru, paradigma yang baru itu harus benar-benar selektif dalam menentukan program peningkatan pelayanan yang didorong oleh pusat. Akan tetapi, hal itu harus tetap mempertahankan faktor-faktor kunci yang berkaitan dengan strategi lama yang masih sesuai dengan keadaan masa kini. Faktor pendorong itu meliputi laju pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penduduk miskin; alokasi pembiayaan sektor publik untuk layanan dasar; dan pemberian kewenangan kepada pembiayaan oleh sektor swasta atas penyediaan layanan yang lain.
Laporan ini berfokus apda gagasan-gagasan yang dapat dilaksanakan, menggunakan kerangka kerja akuntabilitas yang disampaikan Laporan Pembangunan oleh Bank Dunia (World Development Report) tahun 2004 agar gagasan tersebut dikelola dengan strategi yang sesuai dan koheren. Kerangka kerja ini (World Bank 2003b) yang berlaku bagi Indonesia tampak pada diagram berikut. Hubungan akuntabilitas dalam pemberian layanan ada di antara empat kelompok actor: Klien, penyedia layanan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Klien bisa berupa pasien dalam sebuah klinik atau siswa sekolah, memiliki hubungan dengan penyedia layanan seperti guru, dokter, atau perusahaan air minum. Bagi penyedia layanan yang berasal dari sektor swasta, klien menuntut penyedia layanan
xii
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
agar mereka mempertahankan akuntabilitas menggunakan uang yang dibayarkan untuk memperoleh layanan tersebut— klien hanya membayar layanan yang memuaskan atau mereka akan menggunakan jasa pihak lain. Untuk layanan publik, sering tidak ada akuntabilitas langsung antara penyedia layanan dengan klien. Ada “jalur akuntabilitas yang panjang”—bagaimana klien sebagai warga negara bisa mempengaruhi pembuat kebijakan
Indonesia karena pemerintah daerah dan pusat memiliki hubungan langsung dengan penyedia layanan. Dengan demikian segitiga akuntabilitas menunjukkan dua hubungan yang setara antara pemerintah dan penyedia layanan. Pesan utama dalam laporan ini adalah bahwa akuntabilitas memang perlu dan bahwa pemberian insentif yang benar merupakan kunci bagi peningkatan layanan publik yang berkesinambungan.
Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
dalam pemerintah dan bagaimana pembuat kebijakan mempengaruhi penyedia layanan. Ada dua “jalur panjang” di
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat kebijakan daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan umum/pribadi
Source: World Bank (2003a).
Studi ini berfokus pada langkah-langkah yang harus diambil secepatnya dan pada saat yang sama juga mengenali kebutuhan Indonesia untuk menghadapi isu-isu struktur desentralisasi dan reformasi layanan sipil yang lebih besar. Laporan ini adalah tertang aspek-aspek tertentu dari isu-isu tersebut yang secara langsung sesuai dengan pilihan yang usulkan untuk memperbaiki pemberian layanan. Analisa yang lebih mendalam dan luas dari isu-isu ini perlu delakukan secara terpisah.
Rekomendasi utama dari laporan ini adalah: • Tingkatkan penggunaan perjanjian layanan, yang menyatakan secara tegas apa yang harus diberikan oleh penyedia layanan dan apa yang diberikan pemerintah atas penyediaan layanan tersebut. • Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan dengan: • Menggunakan masukan mereka dalam melakukan penyesuaian dan pemantauan perjanjian pemberian layanan. • Membuat agar masyarakat bertanggung jawab terhadap beberapa komponen pemberian layanan. • Memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat miskin agar mereka bisa memperoleh layanan dasar yang tidak bisa mereka peroleh tanpa bantuan tersebut.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xiii
• Desak agar pemerintah bekerja lebih efektif dengan menjelaskan pemerintah tingkat mana yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tertentu dalam pemberian layanan, serta mengelola penentuan staf dan anggaran dengan cermat.
Ringkasan Eksekutif
• Pastikan bahwa upaya peningkatan pemberian layanan disebarkan ke seluruh negeri.
Peningkatan penggunaan perjanjian layanan Perjanjian layanan merupakan alat bagi penyedia layanan dan dinas terkait dalam pemerintah agar mereka semakin berorientasi kepada klien. Perjanjian layanan akan menyebabkan apa yang diberikan kepada masyarakat oleh penyedia layanan menjadi transparan dan semua sumber daya yang tersedia yang mereka miliki untuk melakukan tanggung jawab ini, yaitu dengan menjelaskan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka. Misalnya, sekolah dapat memberikan kesepakatan mereka tentang jumlah jam mengajar yang akan mereka berikan kepada para siswa, sementara pemerintah kabupaten/kota harus memiliki komitmen terhadap jumlah staf dan anggaran sesuai dengan komitmen tersebut. Kotak 2 membahas Target Kontrak Berbasis Kinerja bagi Para Bidan, yang juga menggunakan pendekatan perjanjian layanan. Perjanjian layanan perlu disertai dengan tindakantindakan pelengkap untuk menjamin bahwa tindakan tersebut sudah memiliki dampak. Secara khusus, pengguna layanan, masyarakat sipil, and governments harus memantau penyediaan layanan atas pekerjaan mereka agar selalu sesuai dengan standar yang telah disepakati. Seiring dengan berjalannya waktu, penyedia layanan dapat memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam hal perencanaan operasional, jika hubungan antara akuntabilitas dengan kapasitas sudah mengalami peningkatan. Misalnya, kita dapat membayangkan penentuan anggaran bagi sebuah klinik untuk membeli obat-obatan di perusahaan farmasi setempat dibandingkan dengan penyediaan obat-obatan berdasarkan sistem yang kini sedang dijalankan. Dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada penyedia layanan melalui perjanjian layanan yang jelas serta pemantauan yang ketat atas hasilnya akan memungkinkan penyedia layanan mampu memberikan layanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan setempat dan mengambil keputusan yang semakin dekat dengan pengguna layanan itu sendiri.
xiv
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja Pilot Project Kontrak Berbasis Kinerja Bertarget, pertama diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan, sebagai komponen kunci dari proyek Keselamatan Ibu (Safe Motherhood Project), proyek ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan Bidan di Desa (BDD) dan mengurangi jumlah kematian Ibu dan Bayi (Menelaws, 2000). Perjanjian pelayanan untuk kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan jenis
Bentuk lain dari perjanjian layanan adalah apa yang disebut “relational contract”, yang akan dibahas lebih lanjut di laporan utama. Persamaan yang bisa dilihat dari kedua bentuk kontrak ini adalah bahwa keduanya secara eksplisit mencantumkan komitmen kedua pihak tersebut dalam hal apa saja yang harus mereka penuhi (keluaran dari penyedia layanan dan masukan dari penyandang dana), juga penilaian kinerja dan peninjauan. Kedua jenis perjanjian ini meningkatkan transparansi mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk apa, sehingga keduanya bisa bermanfaat untuk memperjelas peran dan tanggung jawab, juga meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan. Bentuk perjanjian seperti ini terutama akan efektif ketika mereka dijalankan sebagai bagian dari agenda komprehensif untuk mereformasi aspek-aspek di bidang keuangan negara dan sistem penyediaan layanan yang bertujuan untuk meningkatkan sektor kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik lainnya.
Ringkasan Eksekutif
kontrak klasik antara “penyandang dana” dengan penyedia layanan swasta.
Skema kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan salah satu contoh lokal yang baik untuk skema-skema berbasis kinerja dimana pelajaran yang positif bisa diambil. Skema tersebut sudah uji coba dengan sukses, namun untuk mempertahankan dan meningkatkannya dibutuhkan sosok pejuang yang berasal dari institusi pemerintahyang ada dinegara ini. Pada dasarnya, sistem kontrak berbasis kinerja bertarget adalah perjanjian yang melibatkan tiga pihak: Pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Bidan, dan masyarakat penerima manfaat. Dinas kesehatan Kabupaten setuju untuk (1) memberikan hak eksklusif bagi bidan untuk berpraktik sebagai bidan swasta untuk sejumlah layanan kesehatan dasar tertentu di desa yang ditunjuk. (ii) memberikan kompensasi bagi BDD yang memiliki kontrak berbasis kinerja bertarget, honorarium bulanan untuk tiap ”pelayanan umum“ yang mereka berikan, dan (iii) membayar BDD dengan ketentuan seperti yang telah disebutkan diatas, pembayaran untuk layanan yang mereka berikan terutama untuk keluarga miskin, sesuai dengan variable pembayaran untuk layanan berdasarkan jumlah layanan yang diberikan. Dinas kesehatan Kabupaten juga setuju untuk memberikan “modal awal” untuk memulai sebuah pos atau kantor pelayanan bidan di desa. Sebagai gantinya, bidan yang terikat perjanjian setuju untuk mengikuti standar professional yang diakui oleh Persatuan Bidan Indonesia, dan untuk ditempatkan di desa yang ditunjuk, juga untuk di pantau dan di evaluasi dengan sesuai. BDD memberikan komitmen mereka untuk menyediakan layanan-layanan yang sudah disetujui bagi masyarakat desa, termasuk pelayanan keselamatan ibu, perawatan pasca kelahiran dan perawatan lanjutan bagi bayi perawatan bagi penderita diare dan pelayanan KB dan pelayanan umum lainnya seperti; penyuluhan kesehatan, pengawasan/ pelatihan dukun beranak, pengawasan program kesehatan sekolah. BDD diijinkan untuk menagih pembayaran untuk pelayanan yang mereka berikan kepada pasien yang bukan berasal dari keluarga miskin. Sedangkan masyarakat, bertugas untuk membantu promosi program dan jika diperlukan membantu mendirikan polindes (dalam waktu 24 bulan setelah penandatanganan perjanjian) atau memperbaiki fasilitas kesehatan yang sudah ada (dalam waktu 12 bulan setelah penandatanganan perjanjian). Untuk merangsang minat awal masyarakat terhadap pelayanan bidan, keluarga dengan penghasilan rendah di wilayah desa yang sasaran akan mendapat buklet kupon untuk pelayanan tertentu yang diberikan BDD. Pendekatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk membayar layanan dan memberdayakan masyarakat dengan kemampuan untuk memilih penyedia layanan.
Dapatkan layanan yang lebih baik dari sektor swasta bagi masyarakat miskin. Sektor swasta telah memberikan banyak layanan kepada masyarakat miskin, tetapi mutu layanan mereka itu sering masih rendah. Pemerintah di semua tingkatan, terutama pemerintah daerah, perlu bekerja sama sebagai mitra lebih sering dengan penyedia layanan dari sektor swasta dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat meningkatkan akses terhadap peluang mengikuti pelatihan bagi penyedia layanan dari sektor swasta yang memenuhi syarat dan pada saat yang sama memberikan pendidikan dan memberitahu pemakai layanan tersebut untuk berani meminta layanan yang bermutu dari penyedia layanan dari sektor swasta. Jika pendanaan dari anggaran publik memungkinkan,
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xv
penyedia layanan dari sektor swasta seharusnya berhak untuk mendapatkan subsidi, dan berdasarkan seleksi, pemberian layanan dapat dikontrakkan secara penuh kepada penyedia layanan dari sektor swasta, terutama bagi layanan dan masyarakat yang saat ini tidak dapat menerima layanan yang memadai dari sektor publik.
Ringkasan Eksekutif
Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan Keterlibatan pemakai yang lebih besar dalam pemberian layanan merupakan hal yang sangat penting karena pemakailah yang akan memperoleh manfaat paling banyak dari peningkatan layanan dan oleh karena itu mereka harus menjadi pihak yang paling peduli terhadap hal ini.
Dengan cara yang tepat serahkan tanggung jawab pemberian layanan sumber-sumber daya kepada masyarakat atau bentuk kemitraan antara penyedia layanan dari sektor swasta dan masyarakat. Masyarakat memiliki piranti yang lengkap untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa. Infrastruktur desa yang dibangun berdasarkan basis masyarakat dapat menghemat biaya sampai dengan 50 persen dibandingkan dengan pembangunan prasarana yang dilakukan oleh kontraktor (Lihat Tabel 3). Secara bertahap dan terus-menerus masyarakat dapat mengambil tanggung jawab untuk aspek-aspek lain dalam pemberian layanan. Misalnya, masyarakat memiliki piranti yang lebih baik dari pada sekolah untuk memastikan anak-anak benar-benar bersekolah. Hal yang dipelajari dari pengalaman lokal menunjukkan Perlunya keterkaitan antara kebutuhan tanggung jawab masyarakat atas manfaat yang mereka peroleh, bekerja sama dengan lembaga lokal yang telah ada, melakukan investasi dalam proses fasilitasi pengambilan keputusan yang transparan dan benar, penyaluran dana secara langsung kepada rekening penerima layanan, serta melakukan pemantauan terhadap kinerja lembaga pemberi layanan.
Libatkan masyarakat secara langsung dalam penyediaan layanan di garis depan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan undang-undang yang memberikan pengakuan terhadap peran pemakai layanan dan mereka dapat berperan dalam perencanaan dan pemantauan terhadap penyedia layanan. Saat ini, pemerintah di semua tingkatan harus mampu mengembangkan berbagai strategi yang praktis – seperti bekerja dengan masyarakat untuk memantau implementasi perjanjian layanan – untuk menerapkan undang-undang tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan kelompok pemakai dalam pengambilan keputusan dan pemantauan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Gunakan sistem kupon atau penyaluran dana tunai bersyarat untuk merangsang permintaan terhadap layanan oleh masyarakat miskin. Kupon dan program penyaluran dana tunai bersyarat merupakan instrumen yang sangat bagus dan cocok untuk menanggulangi isu-isu yang berkaitan dengan kesenjangan untuk memperoleh akses terhadap layanan. Jika Indonesia memutuskan untuk mengadopsi program semacam ini, program tersebut harus dirancang untuk dapat meningkatkan pilihan mereka, meningkatkan kekuatan klien, dan mempertimbangkan hambatan yang berkaitan dengan penyediaan layanan pada bidang-bidang yang mengalami keterbalakangan penyediaan layanan. Program tersebut telah berhasil diterapkan di berbagai negara, dan program tersebut mampu menurunkan tingkat kemiskinan akibat rendahnya pendapatan dan meningkatkan hasil pembangunan kemanusiaan.
xvi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Dorong agar pemerintah bekerja lebih efisien untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah snagatlah penting dalam rangka peningkatan akuntabilitas penyedia layanan dan penguatan peran pemakai layanan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan
saat ini tidak ada kejelasan mengenai pemerintah tingkat mana yang berwenang untuk membentuk, memberikan akreditasi atau menutup sebuah puskesmas. Begitu tugas fungsional ini ditentukan, proses penentuan anggaran, pemantauan, dan sistem pelaporan perlu dipertegas dalam.
Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan mereka untuk mengimplementasikan ketentuan ini secara lebih efektif. Mereka perlu melakukan penyesuaian kelembagaan dan penentuan staf sesuai dengan
Ringkasan Eksekutif
kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek dalam pemberian layanan. Misalnya,
fungsi yang ditugaskan kepada mereka setelah pelaksanaan sistem desentralisasi serta melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja. Banyak pemerintah telah dan sedang melakukan hal ini, seperti yang tampak pada NEW (BARU) yang ditunjukkan oleh tiga pemerintah daerah di Kabupaten Sumatera Barat. Sering pula, terdapat terlalu banyak birokrat, dan jumlah tenaga profesional yang terlalu sedikit pada kantor pemerintah daerah. Banyak perubahan yang diperlukan saat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan karena ketentuan peraturan kelembagaan dan peraturan sipil yang diatur dari pusat yang dapat diatasi hanya dengan reformasi layanan sipil yang lebih besar.
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat Reformasi
Sumatera Barat
Kabupaten Solok
Kontrak kinerja pejabat eselon II
√
Pembayaran insentif yang lebih adil Uji kelayakan bagi pejabat eselon II atau III-IV
Kota Solok
√ √
√
Ujian eksternal untuk kenaikan pangkat
√
Reorganisasi berdasarkan PP No. 8 (Peraturan tentang
√
√ √
Kelembagaan) Pakta Integritas untuk melakukan transaksi dengan sektor publik
√
dan swasta Kliring rekening giro: transaksi keuangan yang dilakukan bank
√
tanpa interferensi Anggaran berbasis kinerja (Kep. Mendagri No. 29/2002)
√
Perencanaan dan penentuan anggaran partisipatoris untuk
√
√
√
√
√
√
√
√
penyediaan layanan masyarakat Penguatan proses pengadaan (Kepres No. 80/2003) Pakta Integritas untuk proses pengadaan
√
Sumber: (Bank Dunia 2005f )
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xvii
Projek percobaan, pelajaran, dan peningkatan keberhasilan Indonesia perlu mengadopsi strategi untuk menangani proses perubahan yang sangat rumit. Kuncinya adalah memmberikan ruang yang cukup bagi merebaknya berbagai inovasi dan menciptakan insentif bagi mereka yang menunjukkan kinerja yang baik. Investasi untuk kegiatan pilot proyek harus selalu didorong. Proyek seperti Ringkasan Eksekutif
harus diberikan waktu yang cukup untuk dapat melihat hasilnya. Di samping itu, dampak dari proyek tersebut harus dievaluasi secara cermat. Ini merupakan pesan yang sangat penting karena banyak gagasan yang disampaikan di dalam laporan ini perlu diuji untuk mengenai manfaat dan nilai sesungguhnya di lapangan. Tantangannya adalah peningkatan terus-menerus terhadap proyek dan inovasi yang terbukti berhasil dengan baik, yang seringkali mati pelan-pelan atau gagal ketika diterapkan dalam lingkup yang lebih besar.
Strategi manajemen perubahan yang efektif dapat didasarkan pada pedoman di bawah ini: • Diversifikasi portfolio mengenai inisiatif reformasi dan keberhasilan. • Berikan dana hibah untuk reformasi dan pilot proyek yang inovatif. • Berikan insentif personal sesuai dengan tujuan kelembagaan. • Lakukan analisis terhadap mereka yang menang dan mereka yang kalah, lalu berikan perlindungan sosial bagi pihak yang kalah. • Lakukan investasi untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dan penyebarluasan ilmu pengetahuan. • Libatkan masyarakat sipil, dan lakukan investasi untuk pembentukan koalisi yang berpihak pada masyarakat miskin dan kepemilikan lokal.
Laporan ini memuat daftar tindakan kebijakan dan pilot proyek yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat miskin. Daftar ini meliputi proposal nyata yang mencerminkan pandangan stakeholder yang diungkapkan dalam konferensi yang dilakukan tahun lalu di Jakarta dengan tajuk “Making Services Work for the Poor in Indonesia” serta analisis yang dituangkan dalam laporan ini.
xviii
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 1 Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua dan Inefisiensi yang terjadi sehubungan dengan pemberlakuan Desentralisasi
Bab ini berfokus pada tiga pertanyaan: • Bagaimana keadaan pemberian layanan masyarakat di Indonesia? • Bagaimana lingkungan pemberian layanan masyarakat mengalami perubahan beberapa tahun belakangan ini? • Tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi dalam pemberian layanan masyarakat?
Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami kemunduran sejak Indonesia menerapkan desentralisasi tahun 2001. Data yang ada menunjukkan bahwa realitas yang terjadinya sebenarnya lebih berupa perkiraan saja. Indonesia telah membuat kemajuan luar biasa dalam hal penyediaan layanan publik, namun kemajuan itu kini melambat, walaupun belanja publik sudah meningkat tajam. Demokratisasi dan desentralisasi telah menciptakan lingkungan dimana khalayak publik menaruh harapan begitu tinggi terhadap para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada saat yang sama muncul ketidakjelasan di dalam pemerintah sendiri tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk bidang-bidang tertentu. Indonesia kini Bab 1
sedang menghadapi sejumlah isu generasi kedua: bagaimana cara meningkatkan mutu layanan, mengurangi kesenjangan, dan menangani isu korupsi dalam penggunaan berbagai sumber daya publik. Kembali lagi ke masa lalu pada pendekatan dan kontrol sentralistik yang ketat bukan merupakan opsi yang tepat. Kini diperlukan paradigma baru dalam penyediaan layanan publik. Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami kemunduran setelah Indonesia menerapkan desentralisasi
tahun 2001.
Surat kabar memberitakan
munculnya kasus penyakit polio, penyakit yang dianggap menjadi bagian dari masa lalu; berbagai kasus gizi buruk; dan kesulitan keuangan yang dihadapi orang tua untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Para politisi yang sedang menghadapi tantangan pelaksanaan mekanisme pemilihan umum secara langsung, kini semakin merasa tertekan. Pengambilan kebijakan di tingkat pusat telah mengambil langkah besar, seperti realokasi subsidi bahan bakar minyak pada penyediaan kebutuhan pokok, suatu upaya yang bertujuan untuk memberikan dispensasi bagi masyarakat miskin agar mereka bebas dari biaya pendidikan dan kesehatan dasar.
Di tingkat kabupaten, desentralisasi telah menimbulkan berbagai pengalaman. Beberapa kabupaten mengalami kasus korupsi dan pencurian, kabupaten lain masih mempertahankan (status quo) mereka, sementara yang lain berani memperkenalkan berbagai inovasi dalam penyediaan layanan publik.
Lima tahun setelah pemberlakuan desentralisasi, laporan ini menguraikan apa yang telah terjadi dan merekomendasikan sebuah jalan keluar. Data mengenai kondisi pasca-desentralisasi terhadap penyediaan layanan dan pembangunan kemanusiaan kini tersedia dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi apakah perkiraan kemunduran itu memang benar-benar terjadi atau tidak. Pengalaman kabupaten yang begitu melimpah merupakan pelajaran yang sangat berharga mengenai berbagai pilihan yang tersedia untuk meningkatkan layanan publik dan bagaimana lingkungan kebijakan yang baru dapat berpengaruh terhadap peranti yang dimiliki pengambil kebijakan saat ini. Laporan ini mengusulkan sebuah paradigma baru untuk meningkatkan penyediaan layanan yang berdasarkan prinsip desentralisasi dan demokratisasi bagi rakyat Indonesia.
Kemajuan yang menakjubkan, tetapi baru-baru ini menurun Indonesia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Penurunan angka kematian bayi dan peningkatan tertinggi untuk angka partisipasi sekolah telah berhasil dicapai dengan
20
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
gemilang sejak Indonesia merdeka. Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1.000 orang — dua kali lebih besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada 2005 angka tersebut turun hingga kurang dari 50 per 1.000 orang, yang merupakan salah satu penurunan tertinggi yang terjadi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60% kesempatan untuk mengenyam pendidikan, 40% untuk menamatkan sekolah dasar, dan 15% untuk menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, lebih dari 90% anak-anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah dasar mereka dan hampir 60% menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. (Diagram 2).
Angka kematian balita, 1960–2000
Perolehan tingkat pendidikan berdasarkan tahun
Bab 1
Diagram 2 Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade terakhir
100
200
80
Indonesia 150
Malaysia Philippines Thailand
100
Percent
Deaths per 1,000 births
kelahiran, 1940–90 250
Ever attended school
Completed primary school
60
40
Completed lower secondary school
Viet Nam
20 50
0 1960
0 1940 1970
1980
1990
2000
1950
1960
1970
1980
1990
Completed upper secondary school
Year of birth
Sumber: Tingkat mortalitas balita dari data UNICEF (www.childinfo.org); tingkat perolehan pendidikan berdasarkan analisis data Susenas 2003.
Kemajuan yang luar biasa ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang mantap. Sebagian besar dari kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan: pendapatan per kapita berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda lagi pada akhir tahun 1990-an (sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis tentang program keluarga berencana Indonesia yang sangat luas menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan jenjang pendidikan. Namun, analisis tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan angka fertilitas hanya dimungkinkan karena adanya pasokan alat-alat kontrasepsi yang sangat gencar saat itu (Gertler dan Molyneaux, 1994).
Selama kurun waktu tersebut, kebijakan pemerintah masih berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan akses terhadap layanan dasar. Pada pertengahan tahun 1970-an, misalnya, pemerintah menggunakan pendapatan dari sektor minyak untuk mendanai pembangunan sekolah serta untuk mengangkat dan menggaji guru. Inisiatif ini menyebabkan peningkatan jumlah anak yang bisa masuk ke sekolah dasar. Jumlah siswa sekolah dasar saat itu meningkat dari 13 juta tahun 1973 menjadi lebih dari 26 juta pada tahun 1986, dan lebih dari 90% anak usia sekolah berhasil mengenyam pendidikan sekolah dasar (Filmer, Lieberman, dan Ariasingam 2002).
Fokus pada bidang kesehatan dasar mendorong peningkatan cakupan layanan. Misalnya, pada tahun 1989 Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
21
pemerintah Indonesian mengangkat bidan kemudian perawat dan menempatkan mereka di daerah pedesaan, sebuah inisiatif yang resmi diberi nama program Bidan di Desa (BDD). Menjelang akhir tahun 1994, lebih dari 50.000 perawat-bidan yang berhasil ditempatkan (Parker dan Roestam, 2002). Dari komunitas yang diteliti secara berulang-ulang Survei Kehidupan keluarga Indonesia (Indonesian Family Life Survey), kontribusi masyarakat terhadap penempatan bidan-perawat desa meningkat, yang tadinya kurang dari 10% pada tahun 1993 menjadi hampir 46% pada tahun 1997 (Frankenberg. dkk. 2004). Pada tahun 2002 hampir setengah dari seluruh jumlah kelahiran di desa dibantu oleh bidan desa-perawat (Biro Pusat Statistik dan ORC Macro, 2003). Fokus terhadap layanan kesehatan dasar juga mencerminkan peningkatan dengan tingkat cakupan program imunisasi. Sementara pada tahun 1980 Bab 1
kurang dari 20% bayi berumur 12 – 23 bulan menerima vaksin DPT pertama mereka, maka hampir 90% dapat dijangkau pada tahun 2004 (UNICEF 2005).
Semua peningkatan dalam cakupan ini didorong oleh perluasan layanan publik yang dikendalikan pusat dalam penyediaan layanan publik yang meliputi pembangunan gedung sekolah dan fasilitas pokok kesehatan serta pengangkatan pegawai negeri yang ditugaskan untuk itu. Dengan kombinasi perluasan pembangunan ekonomi, pendekatan tersebut memang berhasil dalam mencapai sebagian besar tujuan yang telah ditentukan. Program pembangunan gedung sekolah besar-besaran secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan jumlah anak yang diterima di sekolah—dan analisisnya menunjukkan bahwa pendidikan semacam itu juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja (Duflo 2001). Analisis program bidan-perawat di desa berpengaruh pada peningkatan secara signifikan terhadap kesehatan ibu, anak, dan gizi balita (Frankenburg and others 2004).
Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan belanja publik ini telah memberikan banyak manfaat kepada masyarakat miskin, tetapi program itu masih belum memihak masyarakat miskin.
Dengan
pengecualian pengeluaran untuk pendidikan tinggi, pengeluaran pemerintah baik untuk program pendidikan maupun kesehatan antara tahun 1989-1998, sudah semakin berpihak pada masyarakat miskin. Namun, manfaat adanya belanja publik semacam itu dalam bidang pendidikan, dan kesehatan menjadi tidak berpihak pada masyarakat miskin antara tahun 1998 dan 2003. Dengan menggabungkan data tentang penggunaan layanan publik untuk setiap unit pembiayaan publik, menunjukkan bahwa sementara belanja untuk menyediakan layanan pokok seperti fasilitas kesehatan dasar atau pendidikan dasar masih sedikit berpihak pada masyarakat miskin, belanja untuk fasilitas rumah sakit dan sekolah menengah atas sangat berpihak pada masyarakat mampu (Diagram 1.2). Walaupun terjadi peningkatan keluaran dan peningkatan penggunaan layanan di kalangan masyarakat miskin, manfaat secara keseluruhan atas belanja untuk sektor kesehatan masih sangat berpihak pada masyarakat mampu. Belanja untuk pendidikan sekolah dasar dan menengah pertama berpihak pada masyarakat miskin. Data yang masih statis itu tidak mampu memberikan gambaran mengenai seluruh kisah yang ada di baliknya: bukti menunjukkan bahwa pembiayaan yang baru di masa yang lalu pada dasarnya lebih berpihak pada masyarakat miskin daripada belanja publik yang ada sekarang. Anggaran belanja publik yang baru, terutama jika ditargetkan dengan benar, dapat memberikan manfaat secara proporsional kepada masyarakat miskin (Lanjouw dkk. 2001).
Diagram 3 Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat miskin
22
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
50
Percent
40 30 20 10
Public health centers
Hospitals
All
Primary Health Care
1987 Poorest quintile
Hospitals
All
1998 Quintile 2
Quintile 3
Primary Hospitals Health Care
All
0 Primary
2003 Quintile 4
Richest quintile
Junior Sec.
Senior Sec.
All levels
Primary
Junior Sec.
Senior Sec.
All levels
1998
1989
Poorest quintile
Quintile 2
Quintile 3
Primary
Junior Sec.
Senior Sec.
All levels
2003
Quintile 4
Richest quintile
Sumber: Data kesehatan tahun 1987 berasal dari Van de Walle (1994), data tentang pendidikan untuk tahun 1989 berasal dari sumber-sumber Bank Dunia (http://devdata.worldbank.org/edstats/); data tentang kesehatan dan pendidikan untuk tahun 1998 berasal dari Lanjouw dkk. (2001), tentang
Bab 1
Percent
60
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
kesehatan dan pendidikan untuk tahun 2003 didasarkan pada perhitungan yang dilakukan oleh staff Bank Dunia. Catatan: Kategori “All/Semua” hanya meliputi pengeluaran yang dapat dialokasikan untuk perawatan kesehatan dasar di rumah sakit atau untuk pendidikan sekolah menengah pertama.
Pemberlakuan desentralisasi secara besar-besaran atas penyediaan layanan di Indonesia sejak tahun 2000 telah menimbulkan kekhawatiran yang tidak terbukti. Undang-Undang (UU) No. 22 dan 25 Tahun 1999, merupakan batu landasan hukum bagi pelaksanaan desentralisasi. Di dalam kedua UU tersebut dijelaskan tentang konsep desentralisasi atas penyediaan layanan pokok di berbagai sektor, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur (untuk tinjauan yang lebih komprehensif tentang desentralisasi, lihat [Bank Dunia 2003]. Di bawah UU tentang desentralisasi ini, kementerian pusat menyerahkan pelaksanaan tanggung jawab serta pejabat mereka di bawah pemerintahan kabupaten, hampir untuk seluruh sektor. Pembiayaan untuk seluruh tanggung jawab dan pelaksanaan fungsi di atas harus dilaksanakan berdasarkan (block grant) kepada pemerintah kabupaten. Transisi ini melibatkan pengalihan pegawai negeri pusat yang jumlahnya sangat banyak demikian juga dengan aset-aset negara dengan nilai yang sangat tinggi kepada pemerintah daerah.
Bukti-bukti yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa sejak pemberlakuan desentralisasi atas sejumlah aspek layanan terus mengalami peningkatan. Sebelum desentralisasi penggunaan layanan kesehatan rawat jalan dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas mengalami penurunan. Sejak pemberlakuan desentralisasi layanan-layanan ini mulai mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang memperoleh prestasi terendah dalam bidang tren dalam Bidang Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) masih tetap sama antara tahun 1999 dan 2003, dan tingkat kematian anak pada tahun pertama menurun antara tahun 1997 dan 2002/2003 (Diagram 1.3). Selanjutnya, penelitian tentang persepsi pengguna layanan menunjukkan kepuasan secara umum atas layanan yang diberikan sejak penerapan desentralisasi. Pada tahun 2003 kebanyakan responden berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Indonesia mengatakan bahwa kemudahan anakanak untuk mendaftar di setiap sekolah sama dengan apa yang terjadi tahun 2000. Sebagian besar responden menyampaikan bahwa ketersediaan obat-obatan, mutu layanan perawatan, dan derajat kesehatan anggota keluarga sama dengan keadaan pada kurun waktu tiga tahun sebelumnya.
Diagram 4 Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan desentralisasi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
23
Persentase prestasi siswa-siswa Kelas 8
Jumlah kematian sebelum genap satu tahun untuk
dalam bidang tes MIPA, 1999 dan 2003
per 1.000 kelahiran dalam kurun waktu 13–24 bulan sebelum Survei Sosial Ekonomi Indonesia
60
80
50
70 60 Deaths per 1,000 births
Percent
40 30 20
Bab 1
10
50 40 30 20 10
0 Below low
Low
Intermediate
High
0
Advanced
1991 1999
1994
1997
2002/3
2003
Sumber: Data untuk nilai tes berasal dari Mullis dkk. (2004). Data mengenai tingkat mortalitas berasal dari.(Biro Pusat Statistik dan ORC Macro 2003). Catatan: Kelahiran selama kurun waktu 13–24 bulan sebelum pelaksanaan survei ditelaah untuk menghindari penghitungan bayi sebelum pelaksanaan desentralisasi.
Tetapi ada juga kecenderungan yang mengkhawatirkan muncul. Kasus gizi buruk, yang jumlahnya terus mengalami penurunan sebelum tahun 2000, kembali mengalami peningkatan setelah tahun itu (Diagram 1.4). Program vaksinasi, yang sangat bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan publik telah mengalami penurunan drastis. Selanjutnya, akibat adanya keragaman kondisi di seluruh Indonesia dan keterbatasan cakupan untuk menggunakan aliran dana yang sama untuk setiap kabupaten, timbul kekhawatiran bahwa desentralisasi itu akan mengakibatkan kesenjangan yang semakin besar antara kabupaten satu dengan yang lain.
Diagram 5
Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca
desentralisasi Persentase balita yang mengalami gizi buruk
50
40 Susenas nasional
30
Susenas urban
20
Hellen Keller urban
Susenas rural
Hellen Keller rural
10
0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
Sumber: Analisis data Susenas (berbagai tahun); Pee dkk. (2003). Catatan: Akibat perubahan kode, tingkat kasus gizi buruk tahun 2000 dan 2001 dalam data Susenas tidak bisa dibandingkan.
24
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Berbagai kecenderungan pasca pemberlakuan desentralisasi selama kurun waktu tertentu yang menunjukkan peningkatan anggaran belanja di bidang kesehatan dan pendidikan yang sangat tajam. Antara tahun 2001 dan 2003, baik konsolidasi pendidikan publik maupun belanja untuk kesehatan publik telah meningkat sangat tajam (Diagram 1.5). Anggaran belanja untuk sektor pendidikan meningkat sebanyak 40%, di mana 60% adalah peningkatan pendanaan dari pemerintah pusat. Sebagian besar dari peningkatan ini—59%—adalah pembiayaan pembangunan. Di bidang kesehatan, belanja publik meningkat sebanyak 47%, di mana pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab yang sama. Sebagian besar dari peningkatan ini (85%) adalah dalam
Diagram 6 Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak pemberlakuan desentralisasi
50000 40000 30000 20000 10000
19 96 /9 19 7 97 /9 19 8 98 /9 19 99 9 /2 20 000 00 (1 2m ) 20 01 20 02 20 03
0
20 03
Pendidikan
20 02
60000
Milyar Rupiah harga 2003 18000 16000 Kesehatan 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
19 96 /9 7 19 97 /9 8 19 98 /9 19 99 9 /2 00 20 0 00 (1 2m ) 20 01
Milyar Rupiah harga 2003 70000
Bab 1
bentuk peningkatan belanja pembangunan.
Anggaran Rutin Pusat Anggaran Rutin Pusat
Pembangunan Pusat
Pembangunan Pusat
TOTAL
Sumber: Aran dan Mochtar 2006a, 2006b
Lingkungan kebijakan yang baru dan menjadi prioritas Desentralisasi telah mengakibatkan munculnya paradigma yang sama sekali baru dalam penyediaan layanan publik. Enam tahun setelah diundangkan, masih terjadi kebingungan antara peran dan tanggung jawab pemerintah di berbagai tingkatan. Desentralisasi telah menyebabkan (gegar) yang luar biasa pada seluruh sistem di Indonesia, di mana pendanaan bergerak langsung dalam bentuk (block grant) anggaran ke tingkat pemerintah kabupaten. Akan tetapi, berbagai aliran dana yang mengalir langsung ke kabupaten, dan akhirnya kepada petugas dan pejabat di garis depan. Tersebut masih bersifat fragmental dan berubah-ubah, yang tidak memungkinkan bagi pengguna layanan untuk mengetahui seberapa besar pendanaan yang semestinya mereka terima dan apakah pendanaan tersebut sudah dicairkan atau belum. Keadaan ini telah menimbulkan peluang bagi tindak korupsi dan kebocoran anggaran, dan ini telah membuat penyediaan layanan menjadi tidak efisien. Sistem pelaporan melalui jalur kementerian telah terputus karena sejak pemberlakuan desentralisasi kementerian tidak lagi memiliki wewenang di tingkat kabupaten. Terdapat perbedaan kapasitas untuk menyediakan layanan di setiap kabupaten. Argumen yang biasa
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
25
digunakan jika kementrian ingin berperan di daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup handal dalam bidang perencanaan dan manajemen. Pemerintah pusat telah mengeluarkan peraturan bahwa pemerintah daerah harus melakukan penggabungan dan perampingan kelembagaan mereka. Namun, peraturan ini dikeluarkan secara kaku, dari atas ke bawah, tidak fleksibel, yang akhirnya menyebabkan ketidakpuasan ditingkat pemerintah daerah. Kelemahan utama dari peraturan tersebut adalah tidak adanya ketentuan yang mengizinkan pemerintah daerah untuk merumahkan pegawai jika jumlahnya berlebihan (misalnya, melalui skema pensiun dini). Tidak adanya ketentuan mengenai penentuan kelembagaan semacam ini menyebabkan pemerintah daerah harus menggaji pegawai yang tidak tepat untuk tugas yang tidak sesuai—terjadinya kelebihan Bab 1
pegawai pada sejumlah fungsi atau kekurangan pegawai pada fungsi yang lain—dan tidak terdapat banyak kemungkinan untuk memperbaiki kondisi ini.
UU tentang desentralisasi mengatur sektor, dan bukan fungsi, tertentu yang harus dialihkan ke pemerintah daerah. Hasilnya, timbul kebingungan terutama dalam hal tanggung jawab dan akuntabilitas.
Masih
terjadi tumpang tindih fungsi yang cukup banyak, sementara kementerian tetap memainkan peran mereka dalam implementasi program, bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten. Sistem ini sangat membingungkan, kurangnya koordinasi, dan saling tidak percaya di antara tiga tingkatan pemerintah. Pejabat senior di pemerintahan kabupaten sering kali tidak mampu memahami, apalagi melakukan pemantauan atas apa yang sedang terjadi pada sektor mereka, siapa yang ditugaskan dan apa tugas mereka, dan kapan tindakan harus diambil. Tanggung jawab pemerintah provinsi hanyalah untuk melakukan koordinasi, evaluasi, akreditasi, dan standarisasi, tetap pemerintah provinsi terus menyiapkan dan melakukan implementasi program. Akibatnya, pemerintah pusat dan kabupaten melihat pejabat pemerintah provinsi sebagai kompetitor dan bukan sebagai mitra yang akan diajak bekerja sama.
Desentralisasi telah menimbulkan dinamika dan lingkungan yang heterogen. Sebelum pemberlakuan desentralisasi, jumlah kabupaten dan kotamadya kurang dari 300; tetapi jumlah itu kini membengkak menjadi sekitar 420. Situasi ini masih berkembang, dengan sejumlah pegawai baru menempati posisi pemerintahan yang baru, sering tanpa memiliki pelatihan dan keterampilan yang memadai. Maka terjadilah inefisiensi, karena setiap kabupaten memerlukan struktur pemerintahan mereka sendiri. Pada saat yang sama, perbedaan anggaran untuk kabupaten semakin besar dan berkembang, karena pemerintah kabupaten menerima sumber daya yang lebih besar akibat peningkatan harga bahan bakar minyak.
Demokratisasi, yang terjadi secara simultan dengan desentralisasi, juga menciptakan lingkungan baru pada penyediaan layanan publik. Sistem sentralisasi penyediaan layanan yang diterapkan Indonesia antara akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an sesuai dengan struktur politik saat itu, yang sangat sentralistik dan otorioter. Dengan gerakan reformasi pada akhir tahun 1990-an, proses politik juga mengalami transisi penting menuju sistem demokrasi, baik di tingkat pusat, dengan sistem multipartai dan pemilihan presiden secara langsung, demikian juga dengan pemilu daerah dan pilkada. Kekuatan ini memiliki dua dampak: pertama, sistem ini telah memungkinkan daerah untuk menegaskan keinginan dan aspirasi mereka serta menentukan prioritas investasi publik. Kedua, sistem ini telah menciptakan cara-cara baru untuk membuat pembuat kebijakan agar selalu akuntabel. Demokratisasi di
26
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tingkat daerah juga menghasilkan peningkatan partisipasi rakyat di sejumlah aspek penyediaan layanan. Ini sangat jelas pada sektor pendidikan, di mana peran serta orang tua dan masyarakat telah dilembagakan dalam Komite Sekolah.
Efisiensi yang rendah untuk anggaran belanja publik, mutu layanan yang rendah, dan kesenjangan perolehan akses untuk berbagai keluaran. Semua masalah ini berkaitan dengan sistem di masa lalu yang selalu dari atas ke bawah. Keterbukaan dan demokrasi yang semakin luas telah membuat semua permasalahan masa lalu semakin kentara Kembali ke pendekatan sentralistik masa lalu bukan merupakan opsi saat ini. Upaya untuk
membuat Indonesia menjadi semakin perlu untuk berkompetisi secara ekonomi dengan kawasan Asia Timur dan secara global.
Bab 1
menangani generasi kedua dari permasalahan ini dalam lingkungan yang lebih demokratis dan desentralistis telah
Tingkat ketidakhadiran yang sangat tinggi menunjukkan bahwa sumber daya-sumber daya yang penting dikeluarkan dengan timbal balik yang sangat kecil. Sebuah penelitian dilakukan baru-baru ini dengan melakukan kunjungan mendadak kepada lebih dari 100 sekolah dasar dan puskesmas di Indonesia (Chaudhury dkk. 2005). Penelitian ini menemukan tingkat absensi sekitar 19% di antara para guru dan 40% di antara petugas kesehatan. Indonesia memiliki tingkat absensi tertinggi untuk petugas kesehatan dibandingkan dengan negara lain di dunia (Tabel 1.1). Penelitian lain menunjukkan bahwa 20% siswa yang sudah terdaftar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di wilayah pedesaan tidak hadir di kelas saat kunjungan tersebut (Bank Dunia, 2005b).
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003) Negara
Guru
Petugas Kesehatan
Indonesia
19
40
Banglades
16
35
Ekuador
14
––
India
25
40
Peru
11
25
Uganda
27
37
umber: Chaudhury dkk. (2005). Catatan: –– menunjukkan data tidak tersedia
Indonesia memiliki perbandingan siswa/guru yang paling rendah di dunia, bahkan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Walaupun jumlah guru sangat banyak, ternyata daerahdaerah terpencil masih kekurangan guru (Bank Dunia 2006).
Mutu fisik layanan untuk kebutuhan dasar seringkali sangat rendah. Sebagian besar infrastruktur untuk menyediakan layanan kebutuhan pokok didirikan ketika terjadi (booming) minyak tahun 1970-an. Saat ini, kondisi fisik dari sebagian besar infrastruktur tersebut sangat buruk. Dari sekolah dasar di pedesaan yang dikunjungi yang merupakan bagian dari Goverment and Decentralization Survey (GOS), sekitar 40% dari sekolah tersebut atapnya sudah bocor, tanpa fasilitas penerangan listrik. Hanya 30% puskesmas yang dikunjungi memiliki persediaan obat-
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
27
obatan secara lengkap, dan sekitar 25% kekurangan lebih dari tiga jenis obat-obatan (Bank Dunia 2005b).
Hasil pembelajaran di Indonesia masih sangat lemah, terutama yang berkaitan dengan kompetitor ekonomi. Berdasarkan standar internasional, hasil pembelajaran masih rendah. Program Penilaian Siswa Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) menemukan bahwa siswa Indonesia yang berumur 15 tahun prestasinya sama dengan rata-rata siswa di Brazilia dan jauh di bawah prestasi siswa di Thailand atau Republik Korea (Diagram 7). Selanjutnya, prestasi yang rendah tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kemiskinan. Siswa yang pada ekonomi terkaya memiliki prestasi lebih baik daripada siswa lain di Indonesia, namun nilai rata-rata mereka Bab 1
masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan siswa dengan terkaya di Brazil—dan lebih buruk jika dibandingkan dengan siswa dengan paling miskin di Thailand (Diagram 7). Sebuah studi kasus yang baru-baru ini dilaksanakan mengenai pendidikan di Malang menjelaskan faktor-faktor sistemik yang berkontribusi terhadap mutu pendidikan yang begitu rendah. Faktor-faktor itu muncul di seluruh sistem pendidikan, bahkan juga pada sekolah-sekolah swasta yang sangat bergengsi sekalipun (Bjork 2005). Penelitian serupa juga menyimpulkan bahwa 66% dari siswa kelas 8 di Malaysia menunjukkan prestasi tingkat “menengah atau (intermediate)” atau di atas standar internasional untuk kemampuan matematika, hanya 24% siswa Indonesia yang mampu mencapai tingkat tersebut pada kelas yang sama (Martin dkk. 2004). Di Malaysia, 30% siswa yang berada pada kelas 8 mampu mencapai prestasi pada tingkat “tinggi atau (high)” atau bahkan lebih tinggi, sedangkan hanya 6% dari siswa Indonesia yang mampu mencapai tingkat tersebut.
Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah, bahkan masih rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
300
200
200 Korea
Korea
300
Indonesia
400
Thailand
400
Brazil
500
Indonesia
500
Thailand
Problem solving scores 600
Brazil
Math scores 600
Poorest quintile of students Richest quintile of students Average score
Sumber: Analisis data Program Penilaian Siswa Internasional 2003
Indonesia telah mampu menurunkan angka kematian bayi, tetapi sejumlah indikator menunjukkan adanya berbagai masalah pada mutu layanan publik. Jumlah dokter, perawat, dan bidan yang bertugas memberikan layanan kesehatan baik yang berasal dari sektor publik maupun swasta tidak mampu menyebutkan prosedur yang
28
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
benar ketika menangani kasus hipotesis suatu penyakit (Diagram 1.7). Proporsi prosedur yang benar yang mereka sampaikan masih berkisar antara 42–52% untuk penanganan kuratif orang dewasa, 41–44% untuk penanganan prenatal, dan 55–62% untuk penanganan kuratif anak-anak (Gertler dkk. 2002). Observasi ini sesuai dengan temuan dalam sebuah studi yang berjudul “(Pilot Project) Jaminan Mutu dari Proyek Kesehatan IV”. Observasi dasar mengenai praktik yang dilakukan oleh petugas puskesmas yang dilakukan sebelum dilakukan intervensi berdasarkan (pilot project) tersebut menunjukkan bahwa 20–30% memenuhi persyaratan sesuai pedoman klinis untuk menangani beberapa masalah kesehatan tertentu (Panel kiri pada Diagram 8). Persentase anak-anak yang menerima imunisasi DPT yang ketiga masih di bawah 80% dan bahkan kini sudah mulai mengalami penurunan (Panel kanan pada
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT
Bab 1
Diagram 9).
standar layanan publik masih rendah
Knowledge of service standards in health
Percentage of 12- to23-month-olds that receive their third DTP vaccination
100.0%
100 80.0% 60.0%
80
40.0%
Indonesia
60
Malaysia
Percent
20.0% 0.0%
Philippines Thailand
40
Vietnam Public health centers
Private nurses and midw ives
Adult curative care
Prenatal care
Private MDs and clinics
20
Child curative care
0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
Sumber: Panel kiri dari Barber, Gertler, dan Harimurti 2005 yang didasarkan pada Survei Kehidupan keluarga Indonesia 1997. Panel kanan dari (UNICEF, 2005).
Salah satu indikator yang menunjukkan rendahnya mutu layanan publik merupakan fakta yang diungkapkan oleh banyak pasien yang tidak puas yang mengakibatkan mereka beralih ke sektor swasta—walaupun pemerintah selalu menekankan pentingnya penyediaan layanan publik yang bermutu. Ini memang benar terutama dalam bidang layanan kesehatan dan pendidikan non primer. Dari seluruh strata ekonomi, hampir 60% kunjungan untuk mendapatkan layanan kesehatan pada tahun 2004 semuanya ditujukan ke fasilitas yang disediakan oleh sektor swasta. Layanan yang diberikan oleh sektor swasta sering kali lebih baik daripada layanan yang diberikan oleh sektor publik yang melayani masyarakat miskin (lihat Diagram 3.1). Studi yang bertajuk ”Suara Masyarakat Miskin” yang dilakukan untuk menyiapkan laporan ini juga memberikan indikasi bahwa masyarakat miskin menggunakan layanan yang disediakan oleh sektor swasta, bukan saja karena layanan mereka terkadang lebih murah tetapi juga karena lebih baik (Mukherjee 2005). Pola semacam ini bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1993 tingkat dan pola itu begitu mirip. Akan tetapi, sejak pelaksanaan desentralisasi, kunjungan ke sektor publik menunjukkan peningkatan dari lapisan masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi. Kesenjangan untuk memperoleh akses dan kesenjangan keluaran masih tetap tinggi. Model layanan publik
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
29
yang begitu luas yang disediakan oleh Indonesia telah mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat yang membutuhkan berbagai layanan publik. Tetapi, tidak semua jenis layanan dapat disediakan secara luas bagi seluruh masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda (Diagram 1.9). Ketika hampir semua anak Indonesia terdaftar masuk sekolah, dan anak-anak dari keluarga mampu hampir semuanya bisa menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama mereka, banyak anak-anak dari keluarga miskin bahkan tidak bisa masuk sekolah dasar. Tingkat kematian anak di antara keluarga mampu masih di bawah 20 per 1.000 kelahiran, tetapi angkanya mencapai lebih dari 70 di antara penduduk paling miskin. Sudah jelas juga bahwa tidak satu pun anak dari keluarga mampu yang menggunakan air pancuran, sungai atau dam sebagai sumber air minum mereka. Namun, lebih dari 30% masyarakat Bab 1
miskin masih menggunakan sumber-sumber air tersebut. Sebanyak 60% penduduk yang tergolong mampu, menggunakan air dari PDAM sebagai sumber air mereka, hanya 6% masyarakat miskin yang mampu memperoleh fasilitas tersebut (Diagram 1.9). Upaya untuk menjangkau masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil merupakan hal yang sangat penting untuk diperhitungkan jika Indonesia ingin meraih tujuannya yaitu mencapai masyarakat adil makmur yang merata.
Diagram 10 Kesenjangan dalam hal keluaran dan layanan publik masih tinggi Proporsi kelompok cohort dengan prestasi di tiap kelas
Sumber air minum utama berdasarkan kuintil kesehatan 100
proportion 1
80
richest quintile
0.8
quintile 4
60
quintile 3
0.6
quintile 2
0.4
poorest quintile
40
20
0.2 0
0 1
4
7 grade
Poorest quintile
10
2
Piped
3
Well/pump
4
Surface
Richest quintile
Other
Angka kematian balita per 1,000 kelahiran yang selamat berdasarkan kuintil kesehatan
Jenis WC berdasarkan kuintil kesehatan 100
80
70
80
60
Deaths per 1000 births
60 50
40
40
30
20
20
0 Poorest quintile
10
0 Poorest quintile
Quintile 2
Quintile 3
Quintile 4
Richest quintile
2
3
4
Richest quintile
Private with sceptic tank
Private without sceptic tank
Shared/Public None/other
Pit
Sumber: Data anak yang diterima di sekolah berdasarkan analisis data Susenas 2004, kelompok cohort yang ditentukan antara orang berumur 20-25 tahun. Hubungan tingkat mortalitas dengan air minum dan sanitasi yang didasarkan analisis data Survei Demografi dan Kesehatan 2002/2003..
Tantangan dalam penyediaan layanan publik 30
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Walaupun seandainya sistem penyediaan layanan publik yang diterapkan di Indonesia sudah bermutu tinggi, efisien, dan berkeadilan, realitas politik yang baru berkembang saat ini yang terjadi akibat pemberlakuan desentralisasi dan demokratisasi akan memerlukan peninjauan terhadap berbagai instrumen kebijakan untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan itu sendiri. Desentralisasi dan demokratisasi—walaupun tidak mengakibatkan runtuhnya seluruh sistem dan keluaran layanan publik di Indonesia—masih merupakan proyek yang belum rampung, yang masih menyisakan kesalahpahaman tentang tanggung jawab dan akuntabilitas. Hal tersebut, ditambah lagi dengan masalah baru berupa turunan kedua dari permasalahan ini (yaitu peningkatan penyediaan layanan untuk menjamin daya saing, penggunaan sumber daya-sumber daya publik secara efisien, serta upaya
desentralisasi, Indonesia menghadapi tantangan cukup berat dan ada begitu banyak kesempatan dan peluang yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Laporan ini membahas berbagai gagasan tentang bagaimana
Bab 1
menjangkau rakyat yang saat ini masih belum menerima layanan secara layak) dalam kaitannya dengan kerangka
cara menghadapi tantangan tersebut dan mengambil manfaat peluang yang ada sekarang ini.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
31
Bab 1 32
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 2 Pemberian Layanan dalam Era Demokratisasi dan Desentralisasi
Bab ini berfokus pada satu pertanyaan: Bagaimana demokratisasi dan desentralisasi telah mengubah hubungan antara pemakai layanan, pemerintah, dan penyedia layanan? Pembuat kebijakan nasional
Pembuat kebijakan daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan umum/pribadi
Hubungan antara penyedia layanan dan pengguna layanan, serta pemerintah pusat dan daerah telah berubah sejak Indonesia menerapkan desentralisasi dan demokrat. Hal ini juga sangat berdampak signifikan terhadap cara penyediaan layanan publik. Sebagai contoh, situasi yang sebenarnya yang dihadapi oleh masing-masing pemain ini memberikan pelajaran secara umum tentang bagaimana mereka dapat berfungsi efektif dalam lingkungan yang baru. Hubungan akuntabilitas antara pemerintah, penyedia layanan, dan klien telah mengalami perubahan sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dan demokratisasi. Segitiga akuntabilitas yang diperkenalkan pada Bab 2
rangkuman eksekutif dan juga dibahas pada halaman sebelumnya, menunjukkan hubungan akuntabilitas ini. Hubungan antara klien dan pembuat kebijakan telah berubah karena pemimpin pada pemerintahan tingkat pusat dan daerah serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat sekarang dipilih secara langsung. Pemilihan langsung semacam ini telah menimbulkan tekanan pada para pemimpin ini untuk melakukan pemulihan ulang. Misalnya, di 103 pilkada tingkat kabupaten yang dilaksanakan pada 2005, sebanyak 38 kali menyebabkan kekalahan pada pemerintahan yang sedang berkuasa (NDI, 2006). Rakyat tidak saja lebih aktif untuk mendesak pemerintah, tetapi mereka juga lebih siap untuk mengambil peran aktif dalam melakukan pengelolaan pemberian layanan di daerah mereka. Partisipasi masyarakat yang lebih aktif merupakan ciri khas yang menentukan perubahan hubungan antara klien dan penyedia layanan. Hubungan antara penyedia layanan dan pembuat kebijakan juga mengalami perubahan. Dalam pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah kabupaten secara resmi bertanggung jawab terhadap kebanyakan fungsi pemberian layanan, sementara pemerintah pusat tetap memegang peran penting melalui penentuan anggaran yang ditentukan dan dikontrol oleh pusat, peraturan tentang layanan sipil serta jumlah staf yang berpengalaman di kantor kementerian di tingkat pusat. Misalnya, pengeluaran pembangunan untuk Kementerian Kesehatan di tingkat pusat pada 2004 hampir sama dengan pengeluaran pembangunan di bidang kesehatan di tingkat kabupaten dan provinsi, jika keduanya digabungkan (World Bank 2006b). Selanjutnya, segitiga akuntabilitas menunjukkan dua hubungan paralel secara langsung antara pemerintah pusat dan penyedia layanan, dan satu hubungan dengan pembuat kebijakan lokal.
Untuk menunjukkan pentingnya hubungan akuntabilitas ini, bab ini menampilkan tiga kisah tentang bagaimana hubungan ini dapat berpengaruh terhadap pemberian layanan di Indonesia. Kisah ini akan memberikan gambaran bahwa hubungan ini begitu rumit dan secara terus-menerus mengalami perubahan. Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari kisah ini:
•
Sikap profesional penyedia layanan, teman sebaya, dan kelompok dukungan pemakai layanan, dapat menimbulkan perbedaan yang besar tentang bagaimana layanan itu dapat diberikan. Terlalu sering penyedia layanan memiliki insentif yang sangat lemah untuk memberikan layanan yang bermutu tinggi.
•
Pemerintah daerah yang mampu melakukan inovasi dalam pemberian layanan mereka harus menjamin bahwa hasil yang diperoleh dikomunikasikan kepada kelompok pemilih mereka. Bahkan inovator yang berhasil sekali pun tidak ada jaminan kalau mereka akan terpilih lagi dalam pemilu berikutnya.
•
Klien, yang merupakan penerima layanan, tidak banyak ikut campur mengenai bagaimana layanan tersebut harus dikelola. Kini mereka telah diberdayakan untuk meminta akuntabilitas dari pejabat yang telah mereka
34
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
pilih, tetapi dalam kenyataannya hal ini sangat sulit untuk diterapkan.
•
Kondisi pelaksanaan desentralisasi yang tidak lengkap dan dinamis telah menimbulkan kesulitan lingkungan, banyak kesimpangsiuran dan terjadi tumpang tindih peran dan tanggung jawab di berbagai tingkatan pemerintahan.
Penyedia layanan: Ada Yang Berhasil, ada Juga yang Gagal Walaupun jumlah siswa yang terdaftar di sekolah dasar di Indonesia cukup tinggi, perbedaan yang begitu jauh di bidang infrastruktur sekolah, tingkat kehadiran, dan metode pengajaran merupakan hal-hal yang membuat kita Bab 2
perlu prihatin. Kasus dari dua sekolah di bawah ini memberikan perbandingan yang sangat mencolok (Nachuk; Leisher dan Gaduh (2005); Mukherjee (2006)).
Enam kelas yang terdapat di SDN (Sekolah Dasar Negeri) Bajo Pulau, sebuah sekolah yang terdapat di pedesaan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, harus berbagi tiga ruang kelas; karena ruang kelas yang lain sudah rusak berat. Ruang kelas tersebut penuh sampah, bekas pembungkus permen, dan sisa-sisa makanan. Tiga dari empat orang siswa tidak memiliki buku paket atau buku latihan, karena sudah dimakan kambing. Ada beberapa buku paket yang masih tersedia, tetapi sudah dibawa pulang oleh guru agar tidak hilang. Infrastruktur SDN 012, sebuah sekolah yang terdapat di pedesaan Kabupaten Polman, Sulawesi Barat, cukup lumayan. Ruang kelasnya cukup untuk menampung seluruh kelas yang ada, fasilitas air dan sanitasi di sana juga memadai untuk memenuhi kebutuhan seluruh siswa.
Interaksi antara siswa dengan guru di kedua sekolah tersebut jauh berbeda. Situasi kelas di SDN Bajo Pulau sangat kacau; para murid tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar, dan hanya sibuk ke sana ke mari. Murid menjaawab apa yang dikatakan guru, tetapi tidak pernah bertanya. Siswa tidak pernah bekerja kelompok di dalam kelas. Jika siswa bisa membaca tulisan di papan tulis, mereka boleh pulang.
Di SDN 012 guru menggunakan jam tembok untuk menjelaskan pelajaran tentang jam. Mereka menggunakan alat peraga visual dan siaran radio. Para murid belajar dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan mereka, situasi kelas sangat teratur, serta siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar di kelas.
Akibat dari perbedaan yang sangat jauh ini, motivasi siswa sangat beragam. Di SDN Bajo Pulau, sepertiga siswa absen untuk kurun waktu yang sangat lama, dan guru mereka sangat sering datang terlambat. Para murid, biasanya lakilaki, banyak yang putus sekolah sebelum mereka naik ke kelas 5, begitu mereka bisa membaca dan menulis. Alasan mereka sama “Saya bosan belajar a, b, c tiap hari!” Penggunaan metode mengajar yang menarik telah merangsang para siswa di SDN 012. Mereka rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Merasa berhasil dengan alat-alat peraga yang digunakan, guru mulai merancang, menggunakan, dan saling berbagai pengalaman mereka dengan guru-guru lain. Orang tua siswa, yang terinspirasi oleh motivasi anak-anak mereka dan news letter, telah semakin aktif dan ikut terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
35
Pemerintah Daerah: Perubahan berkelanjutan perjuangan merebut hati nurani Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, menggunakan otoritasnya berdasarkan undang-undang desentralisasi untuk memangkas lembaga pemerintah dari 22 menjadi 8, sehingga beliau mampu menghemat anggaran sekitar $1 juta per tahun. Penghematan ini kemudian digunakan untuk membiayai peningkatan infrastruktur sektor publik, termasuk sektor pendidikan. Beberapa peningkatan ini merupakan langkah-langkah inovatif. Contohnya, kabupaten ini memberikan penghargaan kepada guru bahasa Inggris dan kepala sekolah teladan untuk mengikuti pelatihan di luar negeri. Kondisi penyediaan layanan publik juga mengalami perbaikan yang signifikan: motivasi para guru bahasa Bab 2
Inggris dan kepala sekolah bertambah baik, metodologi pengajaran disesuaikan dengan kondisi setempat, minat belajar para siswa juga semakin tinggi, serta terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran inovatif pada pendidikan yang dikelola pemerintah dan seluruh pegawai di sekolah.
Walaupun terjadi begitu banyak peningkatan di berbagai bidang, bupati ternyata kalah pada pilkada (pemilihan kepala daerah) tahun 2005. Beliau ternyata tidak mampu merebut hati rakyat akibat sejumlah kebijakan yang tidak populer. Kegagalan untuk melegalisasi reformasi yang dilakukan akan mengurangi kelanjutan kebijakan yang ada. Akibatnya, pemerintahan yang baru, kembali menerapkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan sebelum reformasi.
Pengguna Layanan: Menuntut akuntabilitas memang sulit, tetapi bukan tidak mungkin Tindak korupsi memang paling kentara pada tatanan pemerintahan di tingkat bawah. Di Padang, Sumatera Barat, seorang dosen Fakultas Hukum, Saldi Isra, melihat terjadinya perubahan mendadak dalam pengeluaran yang dilakukan oleh anggota DPRD. Mereka mengganti sepeda motor mereka dengan mobil mewah. Hal ini telah mendorongnya untuk meneliti anggaran pemerintah provinsi Sumatera Barat. Isra, yang hanya seorang anak petani di sebuah desa di Padang Barat, kesulitan untuk mendapatkan salinan anggaran tersebut, namun dengan perjuangan akhirnya ia berhasil juga memperolehnya. Anggaran ini merupakan bukti nyata bahwa anggota DPRD telah memperkaya diri mereka sendiri. Dengan bukti ini, Isra mendorong masyarakatnya untuk menggugat pejabat pemerintah. Ia menghabiskan waktu tiga tahun untuk menggelar berbagai protes, dan dengan bantuan pers setempat serta siaran media massa untuk mendapatkan jaksa penuntut umum di tingkat provinsi yang akhirnya bersedia menangani para legislator tersebut dan menyeret mereka ke pengadilan.
Pada bulan Mei 2004, sejumlah 43 dari 55 anggota DPRD dituntut atas penyalahgunaan anggaran sebesar $690.000 dan mereka dinyatakan bersalah. Semua anggota DPRD ini lalu mengajukan banding. Pada bulan Agustus 2005, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada 33 tertuduh; sebanyak 10 orang sedang menunggu putusan. Surat putusan resmi dari Mahkamah Agung turun di meja Penuntut Umum di Padang pada bulan Desember 2005. Sampai dengan Februari 2006, ke 33 tertuduh itu masih bebas. Mereka tidak menaati hukuman mereka dengan alasan mereka harus ke Jakarta untuk pembentukan komisi nasional atau sudah terlalu
36
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tua atau sakit-sakitan untuk menjalani hukuman. Penuntut umum dari Pengadilan, Mochtar Arifin, lalu diangkat menjadi wakil di kantor Kejaksaan Agung dan dipindahkan ke Jakarta. Isra lalu ditawari beberapa posisi penting di Jakarta, tetapi ia menolak. “Jika setiap orang yang memiliki potensi harus pindah ke Jakarta, pada akhirnya daerah tidak akan pernah berkembang. Saya merasa perlu untuk memberdayakan masyarakat di sini,” katanya.1
Pemerintah Pusat: Menghormati pemerintah daerah dan menjamin kesesuainan tujuan Pada bulan Februari 2005 pemerintah Indonesian mengumumkan program jaminan kesehatan baru untuk
Karena masih terjadi kebingungan akibat pelaksanaan desentralisasi, pelaksanaannya masih tertunda. Sebelum pengumuman tersebut, beberapa pemerintah kabupaten telah menjalankan program jaminan kesehatan mereka
Bab 2
masyarakat miskin yang bertujuan untuk mencakup pembiayaan perawatan kesehatan lebih dari 36 orang.
sendiri di bawah program yang dulu dikenal dengan nama JPK-Gakin. Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini menyebabkan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten menjadi terancam. Lebih umum lagi dapat dikatakan bahwa karena klinik publik dan rumah sakit bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten, pemerintah pusat memiliki kapasitas yang terbatas untuk melaksanakan program jaminan kesehatan berskala nasional melalui struktur desentralisasi ini.
Jalan keluarnya adalah menunjuk PT Askes, perusahaan asuransi kesehatan nasional yang menyediakan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri sipil dan memiliki kantor cabang hampir di setiap kabupaten. Keputusan ini menghadapi tantangan hukum yang disampaikan oleh pemerintah kabupaten yang telah melaksanakan program jaminan kesehatan mereka. Mahkamah Agung akhirnya menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat untuk melaksanakan program jaminan kesehatan dengan menunjuk PT. ASKES telah melanggar undang-undang tentang desentralisasi. Untuk melaksanakan hal ini, ASKES harus bekerja sama dengan lebih dari 420 pemerintah kabupaten. Program ini menerima pendanaan dari pemerintah pusat, 10% dapat digunakan untuk keperluan administrasi dan publikasi program.2
1
Berdasarkan artikel yang terbit di Washington Post, Jakarta Post, dan keterangan dari Reuters News, 2005, 2006]
2
Berdasarkan pengamatan penulis dan wawancara dengan para ahli
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
37
Bab 2 38
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 3 Penguatan Akuntabilitas dan Struktur Insentif
Ada tiga pertanyaan yang menjadi fokus bab ini: • Bagaimana hubungan antara akuntabilitas dengan penyedia layanan publik dan pemerintah dapat ditingkatkan sehingga penyedia layanan lebih berfokus pada penyediaan layanan yang bemutu bagi masyarakat miskin? • Bagaimana pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta untuk meningkatkan penyediaan layanan bagi masyarakat miskin? • Bagaimana pemerintah kabupaten dapat mengatur diri mereka untuk mengelola layanan publik yang lebih baik dan mengurangi hal-hal yang tidak efisien akibat tindak korupsi?
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat kebijakan daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan umum/pribadi
Untuk meningkatkan mutu layanan, penyedia layanan harus lebih berorientasi pada pengguna layanan dan keluaran. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, perlu meningkatkan akuntabilitas layanan publik yang mereka berikan, bekerja sama lebih banyak dengan sektor swasta untuk memberikan layanan kepada masyarakat miskin, dan memberikan pengakuan serta membangun kapasitas sektor publik untuk mengelola seluruh proses. Bab ini memberikan rekomendasi tentang bagaimana hubungan antara akuntabilitas penyedia layanan dengan pemerintah dapat ditingkatkan untuk menghadapi tantangan masa ini berkenaan dengan Bab 3
penyediaan layanan publik. Hubungan antara pemerintah dan penyedia layanan sangatlah penting untuk meningkatkan mutu layanan yang ditujukan bagi masyarakat miskin. Pemerintah mendanai kebutuhan pokok masyarakat dalam jumlah besar dan oleh karena itu pemerintah dapat menentukan aturan mengenai tata cara penyediaan layanan ini. Pemerintah dapat juga mempromosikan sektor swasta yang sudah bekerja dengan baik untuk penyediaan layanan semacam itu, dengan memberdayakan warga agar mereka mampu membuat keputusan yang benar ketika mereka akan mengeluarkan uang untuk layanan yang akan mereka terima.
Rekomendasi dalam bab ini semata-mata diarahkan pada pemerintah daerah, karena mereka harus menyusun strategi pembangunan serta menjalankan manajemen operasional sehari-hari atas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Namun ketika pemerintah pusat berhubungan langsung dengan penyedia layanan, mengeluarkan peraturan yang berlaku secara nasional, atau mendukung pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik atas layanan yang diberikan kepada masyarakat, rekomendasi ini juga berlaku bagi pemerintah pusat. Rekomendasi ini dirancang dengan pandangan bahwa butuh waktu cukup lama untuk memapankan desentralisasi dan bahwa pada saat yang sama baik pemerintah pusat maupun daerah harus terus mendanai layanan tersebut.
Hubungan akuntabilitas dengan penyedia layanan dari sektor publik dan pemerintah dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan transparansi terhadap layanan yang harus diberikan oleh penyedia layanan dari sektor publik tersebut, serta transparansi terhadap sumber-sumber daya yang mereka miliki untuk memberikan layanan. Kejelasan tentang apa yang menjadi tanggung jawab dan akuntabilitas penyedia layanan—seperti yang dinyatakan dalam perjanjian penyediaan layanan—akan membuat pemantauan oleh pengguna layanan tersebut menjadi lebih efektif. Seiring dengan berjalannya waktu, ketika hubungan antara akuntabilitas dengan kapasitas sudah semakin meningkat, perencanaan kerja sama yang lebih besar dapat diberikan kepada penyedia layanan, dan akuntabilitas dapat ditentukan dengan lebih tajam lagi berdasarkan tolok ukur hasil dan keluaran. Hal ini akan membantu penyedia layanan untuk menyesuaikan layanan mereka dengan kebutuhan lokal dan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan pengguna layanan itu sendiri.
40
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menentukan dan menjelaskan keluaran dan menggunakan perjanjian tentang layanan Banyak kesepakatan kelembagaan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang penyediaan layanan publik masih belum jelas mengatur tentang apa yang harus disediakan oleh lembaga penyedia layanan dan seberapa banyak yang akan mereka peroleh untuk pekerjaan mereka. Pembiayaan dan penyediaan layanan didasarkan pada instruksi dari birokrat, yang memberikan otonomi yang sangat kecil kepada lembaga penyedia atau pengguna layanan tersebut. Rata-rata klinik pemerintah memiliki 8 sumber keuangan dan 34 dana
dan menentukan secara formal kewajiban semacam ini akan dapat memberikan kejelasan kepada pemerintah dan penyedia layanan secara terukur dan akuntabel tentang komitmen pembuat kebijakan, birokrat, dan warga negara/
Bab 3
operasional, sebagian besar disediakan oleh pemerintah pusat (World Bank 2005b). Dengan membuatnya lebih jelas
pengguna layanan. Perjanjian penyediaan layanan yang jelas dan tegas mengenai syarat-syarat yang harus diikuti dapat dijadikan rujukan sehingga penilaian, pemantauan, pemberian sanksi, pemberian hadiah dan penyampaian ke khalayak publik akan lebih efektif dan adil.
Apa yang dimaksud dengan perjanjian layanan dan mengapa hal itu harus dilakukan? Perjanjian layanan antara penyedia layanan publik dan pemerintah yang memuat ketentuan tentang layanan yang harus diberikan oleh penyedia dan sumber daya-sumber daya yang diperoleh untuk menyediakan layanan tersebut. Perjanjian layanan akan meningkatkan transparansi mengenai apa yang diminta oleh pemerintah kepada penyedia layanan yang harus diberikan dan apa yang dituntut oleh pengguna layanan dari penyedia. Perjanjian tersebut harus realistis sesuai dengan kondisi sumber daya dan keadaan di lapangan. Pemerintah daerah akan memiliki manfaat komparatif dalam melakukan negosiasi untuk hal ini. Perjanjian layanan perlu dipantau oleh pemerintah dan pengguna layanan, dan pemerintah harus memiliki komitmen untuk mengambil langkah-langkah perbaikan jika perjanjian itu tidak ditaati.
Perjanjian layanan sangat sesuai untuk tugas-tugas yang dapat diperkirakan sehingga persyaratannya dapat ditulis dengan cermat, diukur, dan diverifikasi dengan biaya yang masuk akal. Untuk hal-hal yang kemunculannya tidak dapat diprediksi namun solusinya dapat dirundingkan untuk melakukan intervensi yang standar (seperti program vaksinasi untuk mencegah wabah yang muncul secara tiba-tiba), pendekatan berdasarkan komando dan kontrol akan lebih sesuai. Akan tetapi, kebanyakan isu-isu generasi kedua bukan merupakan jenis masalah seperti ini. Peningkatan prestasi belajar anak-anak atau penyediaan layanan penyuluhan pertanian, misalnya, memerlukan penyediaan layanan yang sesuai dengan kebutuhan individu.
Isu-isu turunan kedua menjadi lebih penting, sehingga perjanjian layanan akan semakin relevan. Perjanjian layanan yang lebih luas dapat memberikan ruang untuk menangani masalah-masalah generasi kedua. Terdapat tiga alasan penting untuk hal ini. Pertama, perjanjian layanan dapat meningkatkan keadilan dalam penyediaan layanan dengan melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimiliki dengan pihak penyedia. Ketidaksetaraan dalam penyediaan layanan sering terjadi karena sumber-sumber dikendalikan oleh pemerintah (kabupaten), dan akan lebih mudah untuk menyalurkan sumber daya ke penyedia layanan di wilayah perkotaan. Kedua, perjanjian layanan
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
41
dapat berkontribusi terhadap peningkatan mutu layanan dengan memaksimalkan pemanfaatan kemampuan pegawai yang bekerja untuk memberikan layanan. Perjanjian layanan memberikan otonomi yang lebih besar kepada lembaga penyedia layanan. Perjanjian ini juga memberikan kemampuan yang lebih besar bagi penyedia untuk meningkatkan layanan yang diberikan Ketiga, perjanjian layanan dapat mengurangi pemborosan yang tidak perlu dengan meningkatkan keterbukaan dari pendanaan yang disalurkan kepada pihak penyedia layanan dan memberikan peluang bagi pemantauan yang lebih efektif untuk seluruh pengeluaran dana.
Penerapan perjanjian layanan secara politis sangat menarik, karena hal ini memberikan pesan yang sangat Bab 3
kuat mengenai kemauan politik dari pemerintah untuk menciptakan budaya akuntabilitas, keterbukaan, dan basis kinerja. Keberhasilan pelaksanaan pendekatan perjanjian layanan ini akan sangat diminati oleh para pemilih dalam pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Konsep ini akan dengan sangat mudah dipahami oleh publik dan dapat dengan mudah pula dimobilisasi untuk melakukan reformasi di bidang layanan publik. Kebanyakan pemilih sudah sangat mengenal kehidupan mereka sehari-hari dengan kontrak layanan yang mereka lakukan sebagai kunci utama untuk menjamin penyediaan layanan yang memuaskan. Australia, Selandia Baru, dan Inggris telah membuktikan strategi ini sangat bermanfaat dalam pelaksanaan reformasi layanan sektor publik mereka dan mampu mendapatkan dukungan publik untuk agenda reformasi publik mereka. Kontrak penyediaan layanan bisa praktis dan berguna untuk ekonomi yang kurang berkembang, seperti yang diperlihatkan dalam Skema Manajemen berbasis kinerja Burkina Faso (Lihat Kotak 2).
Apa ciri-ciri perjanjian layanan yang baik? Perjanjian layanan yang baik harus memiliki tujuan yang jelas, dan hal-hal yang sudah disepakati untuk diberikan kepada khalayak harus benar-benar dapat diukur, hasil dan keluaran yang dihasilkan sesuai dengan tujuan. Idealnya, keluaran tersebut harus dapat diukur baik dalam hal mutu maupun kuantitas layanan yang disediakan. Terdapat banyak indikator hasil dan keluaran; cara yang baik adalah membuatnya sederhana dan transparan serta hanya melingkupi beberapa hal yang krisis. Contoh indikator keluaran/hasil yang baik dan strategis, yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia dan juga di tempat lain adalah jumlah anak yang terdaftar di sebuah sekolah, jumlah lulusan, dan prestasi belajar siswa dalam bidang studi matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa, kewarganegaraan, dan bidang studi penting lainnya. Indikator di bidang kesehatan meliputi tingkat Pemantauan penyakit menular dan jumlah konsultasi, pasien rawat inap, dan program imunisasi. Indikator untuk penyediaan air bersih dapat meliputi jumlah pengguna layanan, volume air yang dialirkan, dan hari-hari ketersediaan air tersebut.
42
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 2. Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso merupakan ilustrasi dari bentuk relational contract untuk perjanjian pelayanan, yang seringkali dianggap sah sebagai dasar kemitraan antara badan-badan sektor publik atau antara lembaga pemerintah dengan lembaga non pemerintah yang menjadi mitra-nya. Perbedaan utama dari relational contract dengan kontrak model klasik adalah mekanisme penerapannya yang sudah-sudah sebagian besar lebih berdasarkan pada kesilapan administrasi dan intervensi manajemen daripada sanksi dan hukuman yang di atur oleh kode etik hukum penerapan kontrak yang berlaku. Skema tersebut diatur dalam Perjanjian Pelaksanaan quasi contract antar stakeholders.perjanjian-perjanjian ini dianggap quasi contractual karena walaupun mereka mengadopsi bahasa dan bentuk kontrak klasik, mereka tidak memiliki kekuatan dokumen legal. Komponen-komponen dari perjanjian tersebut meliputi pernyataan tujuan dan kewajiban penandatanganan, permodalan bagi transaksi finansial, prosedur akuntansi, persyaratan audit, dan hal-hal yang bisa membatalkan. General dan pihak-pihak yang mengontrak (direktur regional, direktur distrik, dan petugas
Bab 3
yang berwenang di instalasi) diminta untuk memberikan persetujuan secara resmi. Semua pemeran utama di sektor kesehatan mencapai konsensus terhadap serangkaian iindikator kinerja, yang mencerminkan tujuannya di Lembaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Indikator-indikator tersebut mengukur tingkat upaya kedua belah pihak (indikator-indikator proses) dan efektifitas (indikator keluaran). Indikator-indikator ini di integrasikan kedalam rencana kerja pemerintah daerah dan penyedia layanan. Baik tujuan, kegiatan, indikator, dan anggaran yang diajukan pada rencana kegiatan semuanya dipresentasikan, di perdebatkan, dinegosiasikan, diamandemen, dan secara informal di terapkan pada forum tahunan masyarakat di tingkat daerah. Ketika rencana-rencana tersebut sudah di setujui dan diamandemen pejabat pemerintah dan penyedia layanan akan menggunakan rencana rencana itu sebagai dasar hubungan akuntabilitas mereka. Perjanjian tersebut memberikan struktur formal bagi pertukaran kinerja mereka (per indikator proses dan keluaran yang ada di rencana kegiatan), untuk mendapat bantuan teknis dan dana dari pemerintah yang tersedia melalui saluran dana rutin pemerintah. Perjanjian Pelaksanaan yang quasi contractual memperjelas, dalam hal kinerja, apa yang sebelumnya merupakan ekpektasi samar dari pejabat Departemen Kesehatan. Dengan menggabungkan/mengikat dana tambahan , likuiditas fiskal, dan bantuan teknis kedalam ekspektasi ini, pemerintah menciptakan sebuah bursa publik yang terstruktur dan formal, bursa ini menawarkan akuntabilitas bagi penggunaan dana publik yang lebih baik bagi pemerintah dan kepada publik. Perjanjian pelaksanaan tidak hanya menarik focus semua pemain kepada serangkaian prioritas hasil, namun juga mengklarifikasi peranan tertentu dan tanggung jawab semua pemain yang terlibat di bursa.
Sumber: Bank Dunia 2003c
Penentuan standar layanan secara lokal. Kekhawatiran terhadap nilai yang diberikan oleh warga dan pengguna layanan sangat bervariasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lain,
demikian juga kondisi ekonomi
masyarakat. Standar harus ditentukan untuk mencerminkan kelayakan ekonomi mengingat kondisi pemerintah daerah.3 Untuk itu pemerintah pusat disarankan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah menentukan standar tersebut, yang akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik mengenai realitas yang terus mengalami perubahan di masyarakat, untuk menentukan standar tersebut. Negara-negara yang telah melaksanakan desentralisasi termasuk Amerika Serikat, memberikan ruang yang begitu luas kepada pemerintah negara bagian (provinsi) untuk menentukan standar layanan untuk rakyat. Pemerintah pusat dapat memberikan pedoman kepada pemerintah kabupaten dalam menentukan standar tersebut, misalnya, dengan mengembangkan model perjanjian layanan. 3
Konsep nasional tentang standar layanan minimal diadopsi oleh pemerintah pusat sebagai alat untuk membuat pemerintah daerah dan penyedia layanan menjaga akuntabilitas atas kinerja mereka. Dalam Bab 4 diuraikan adanya kebutuhan untuk memberikan klarifikasi atas konsep ini dan merancang ulang pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan desentralisasi akan semakin terpacu dan bukan malah terhambat. Standar layanan minimal di tingkat lokal harus dibahas dalam bab ini sebagai alat bagi penyedia layanan untuk mempertahankan akuntabilitas mereka. Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
43
Memilih standar yang berpengaruh terhadap hasil pembangunan kemanusiaan. Standar seringkali tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang menjadi titik perhatian pembuatan kebijakan lokal. Misalnya, rasio siswa/guru yang rendah sering dimasukkan ke dalam standar minimal, walaupun tidak berkorelasi secara pasti dengan prestasi belajar. Standar seperti itu tidak sesuai dengan fakta bahwa sebelum rasio siswa/guru menjadi sangat tinggi, baru dilihat sebagai indikator produktivitas (Hanushek 2003, Pritchett,dan Filmer 1999). Pada tahaptahap awal perkembangannya, misalnya, Republik Korea memiliki 60 siswa untuk satu orang guru tetapi mereka
Bab 3
mampu mencapai prestasi belajar yang sangat tinggi (McGinn 1980).
Melaksanakan kontrol dan menjaga jumlah layanan berada pada jumlah minimal. Standar layanan dapat disalahgunakan sebagai pintu belakang untuk melakukan mikromanajemen terhadap penyedia layanan pada garis depan melalui pemberian mandat yang terlalu banyak. Akibatnya, penyedia layanan dapat kehilangan otonomi yang mereka butuhkan, serta kehilangan kemampuan mereka untuk memecahkan berbagai masalah dalam kondisi tertentu. Otonomi penyedia layanan harus terus didorong dan bukan dibebani dengan standar yang ditentukan. Implikasinya adalah baik pemerintah pusat maupun daerah harus selalu melakukan kontrol dan tetap menjaga penggunaan mandat secara minimal. Penekanannya harus pada standar sebagai pedoman untuk mendapatkan informasi untuk melengkapi tugas-tugas pemantauan atas standar layanan yang telah disepakati sebelumnya.
Tinjauan secara teratur terhadap standar layanan. Kesejahteraan akan hilang akibat penentuan standar yang tidak realistis dan tidak fleksibel. Hal ini akan berlangsung terus proses penentuan standar itu dan penyesuaiannya tidak menerima (feedback) dari kondisi pasar dan politik —atau jika tidak terjadi mekanisme pembelajaran yang sesuai (misalnya, penilaian yang dilakukan secara teratur dan sistematis terhadap manfaat standar yang dipilih). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara teratur dan sistematis untuk melakukan tindakan penyesuaian yang diperlukan. Sebuah proses yang bersifat responsif atas kebutuhan pengguna layanan serta hasil penilaian teknis harus dilaksaknakan untuk meninjau dan menyesuaikan standar.
Mengaitkan sumber daya dengan layanan yang diberikan. Dengan membuat hubungan secara eksplisit antara sumber daya dengan layanan yang diberikan, perjanjian layanan dapat membatasi lingkup alokasi sumber daya berdasarkan proksimitas kepemimpinan atau preferensi pegawai mengenai lokasi atau daerah kerja. Contoh yang baik mengenai hubungan antara sumber daya dan layanan pendanaan sekolah berbasis formula. Sekolah diberikan alokasi anggaran dan posisi untuk para guru, infrastruktur, serta biaya operasional berdasarkan jumlah siswa yang terdaftar di sana. Jika terdapat jumlah siswa yang lebih banyak terdaftar di sana, berarti akan lebih banyak layanan yang harus diberikan, dan anggaran akan ditingkatkan secara otomatis.
Mendorong pengumpulan pendapatan terbatas oleh penyedia. Biaya yang dikenakan kepada pengguna layanan yang dipungut oleh penyedia layanan merupakan insentif keuangan langsung untuk layanan yang diberikan, untuk penyedia layanan sektor publik, jumlahnya dapat ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari perjanjian layanan tersebut, dengan tujuan untuk menjamin bahwa layanan kebutuhan pokok
44
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
masyarakat dapat tetap terjangkau oleh masyarakat miskin. Pemerintah Kabupaten Purbalingga menaikkan biaya pengobatan di puskesmas sementara mereka mengeluarkan program jaminan kesehatan yang membebaskan masyarakat miskindari kewajiban membayar (Arifianto dkk. 2005). Dengan memberikan izin untuk menarik pada pengguna layanan hal ini menimbulkan risiko hanya berfokus untuk meningkatkan pendapatan. Untuk mencegah hal-hal seperti ini, dalam pengawasannya pemerintah daerah perlu memperhatikan layanan-layanan yang tidak bertendensi untuk meningkatkan pendapatan daerah .
Bab 3
Diagram 11 Alur Pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada sekolah
Sumber: ‘Pembiayaan Pendidikan di Indonesia’ oleh Abbas Gozali, akan terbit, Kantor Riset dan Pengembangan (Litbang), Departemen Pendidikan Nasional, Indonesia.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
45
Meminimalkan jumlah perjanjian layanan dan memberikan jarak waktu yang sesuai teratur dengan konsolidasi sumber daya. Aliran pendanaan dari pemerintah ke penyedia layanan sangat bercabang.
Diagram 11. menunjukkan perbedaan aliran pendanaan dari pemerintah pusat ke sekolah-sekolah. Namun diagram umum semacam ini tidak memperlihatkan besarnya pendanaan proyek. Anggaran yang dikonsolidasi untuk penyediaan layanan, yang disediakan secara interval, dapat meningkatkan perencanaan di tingkat fasilitas; sehingga hal ini dapat memberdayakan fasilitas; sehingga memberikan layanan sesuai perjanjian. umum, tujuan pemantauan dan pengawasannya adalah untuk memastikan bahwa … dana yang telah diterima benar-benar dimanfaatkan Bab 3
untuk siswa-siswa yang tidak mampu yang diberikan dalam jumlah, waktu, cara, dan pemanfaatan yang benar …. Sanksi tegas yang berkaitan dengan penyelewengan yang dapat merusak nama baik Negara dan/atau sekolah dan/ atau siswa akan dilaksanakan oleh aparat negara/pejabat yang berwenang” (Departemen Pendidikan Nasional dan Departmen Agama 2005).
Perjanjian BOS mencerminkan upaya memutus kebiasaan yang dilakukan di masa lalu yang tidak menjelaskan bagaimana sekolah dapat mencapai tujuan ini Misalnya, hal ini tidak menentukan bahwa semua jumlah uang yang harus digunakan untuk mengurangi penerimaan dari uang sekolah atau untuk memberikan beasiswa. Dalam hal ini, sistem BOS memberikan otonomi yang tidak biasa kepada sekolah agar mereka berhasil mencapai tujuan pendidikan mereka secara efektif sesuai dengan dana yang mereka miliki. Ini merupakan gagasan yang harus diterapkan dengan melibatkan aliran uang sangat besar di sektor pendidikan.
Perjanjian layanan perlu dipantau dengan lebih baik oleh Pemerintah, masyarakat, dan melalui timbal balik yang diberikan oleh penggunaan layanan. Pemerintah yang memperkenalkan perjanjian layanan ini perlu memiliki rencana ke depan untuk memastikan bahwa perjanjian ini mampu memberikan verifikasi atas pelaksanaannya. Pemerintah akan menghadapi risiko dengan mempertaruhkan nama baik mereka jika ternyata pengguna layanan tahu apa yang semestinya harus disediakan oleh lembaga penyedia layanan ternyata tidak disediakan. Masyarakat sipil terutama LSM dan lembaga penelitian lainnya, dapat memberikan bukti-bukti independen untuk melengkapi data-data pemantauan yang dilakukan Untuk itu pemerintah didorong untuk melakukan sistematisasi pemberian masukan oleh pengguna layanan melalui mekanisme pengaduan, dengar pendapat publik, dan perencanaan partisipatoris. Dengan melibatkan pengguna layanan untuk melakukan pemantauan juga akan membantu pemerintah untuk melakukan penilaian apakah syarat-syarat dalam perjanjian layanan itu sudah dipenuhi sesuai dengan kebutuhan pengguna layanan.
Hasil pemantauan perlu diterjemahkan ke dalam bentuk insentif personal bagi pegawai yang bekerja untuk penyedia layanan. Kunci sukses untuk keberhasilan pelaksanaan perjanjian layanan ini adalah memastikan bahwa mereka yang bekerja untuk memberikan layanan tersebut menerima insentif yang diatur dalam perjanjian tersebut. Banyak kabupaten melakukan eksperimen melalui sistem insentif (Kotak 3.1). Dengan melibatkan pengguna layanan dalam pelaksanaan evaluasi terhadap kinerja pegawai akan merupakan alat yang sangat penting untuk meningkatkan layanan yang berorientasi pengguna layanan. Pemerintah dapat selalu mendorong masyarakat
46
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
memberikan tekanan untuk pengguna layanan dengan meningkatkan transparansi mengenai perjanjian layanan yang telah dibuat serta sumber daya yang disediakan di tingkat penyedia. Pembentukan Komite Pengguna (Pengguna layanan) dapat memegang peranan penting untuk menyampaikan keluhan mereka secara langsung kepada lembaga penyedia layanan (lihat Bab 4).
Kotak 3 Bagaimana insentif dapat mengubah perilaku penyedia layanan yang berada pada garis depan? Berbagai eksperimen tentang pemberian insentif bagi penyedia layanan di tingkat lokal telah dilaksanakan di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Dalam semua kasus, terdapat perbedaan yang sangat kentara pada perilaku penyedia layanan dalam memberikan tanggapan
Di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pada tahun 2002 diluncurkan sebuah skema untuk memberikan insentif yang kuat kepada guru-guru bahasa Inggris di daerah itu dengan tawaran tur ke Australia, Malaysia, dan Singapura untuk memperdalam bahasa Inggris mereka dan melakukan
Bab 3
mereka atas perubahan kerangka insentif yang diberikan.
observasi proses pengajaran di sana. Insentif perjalanan semacam ini berhasil memotivasi guru-guru untuk mengubah perilaku mereka dalam beberapa hal: •
Perjalanan itu mampu meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik. Guru-guru yang kembali dari perjalanan ini membuat laporan kepada Bupati dengan tindak lanjut kegiatan observasi dan rekomendasi. Observasi mereka meliputi kebutuhan untuk menerapkan disiplin yang lebih tegas kepada guru-guru, siswa, dan orang tua; dan meningkatkan mutu pendidikan dengan mengajarkan ketrampilan aplikasi komputer, bahasa Inggris; mengubah metodologi pengajaran; dan melakukan konsultasi dengan siswa.
•
Perjalanan tersebut berdampak terhadap perubahan cara mengajar oleh sejumlah guru bahasa Inggris, termasuk mereka yang ikut dalam perjalanan keluar negeri maupun yang tidak, namun selalu berhubungan dengan mereka yang ikut dalam perjalanan tersebut (sebagai teman atau rekan kerja). Salah seorang guru bahasa Inggris mulai mengajarkan pelajaran bahasa Inggrisnya dengan menggunakan ”buku agenda siswa” di mana siswa mencatat kegiatan mereka dalam bahasa Inggris, termasuk apa yang mereka pelajari, sebagai bagian dari proses pengajaran.
•
Minat terhadap prestasi siswa dan jumlah jam mengajar meningkat, yang diakibatkan oleh manajemen berbasis sekolah dan kebijakan penguatan insentif yang lebih baik. Setiap minggu, siswa rata-rata kini belajar selama 15 jam lebih banyak. Untuk menunjukkan komitmen mereka untuk meningkat nilai tes siswa, seorang kepala sekolah menandatangani perjanjian dengan Komite Sekolah yang menyatakan bahwa jika nilai siswa tidak mencapai tingkat tertentu, maka beliau akan mengundurkan diri.
Di Kabupaten Jembrana, Bali, reformasi di bidang kesehatan menghasilkan sebuah pemberian jaminan perawatan kesehatan, yang disebut dengan Jaminan Kesehatan Jembrana. Program ini memberikan perawatan kesehatan dasar secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin. Hal ini juga mendorong pilihan yang ditentukan oleh pengguna layanan sendiri dengan memungkinkan penduduk memilih penyedia layanan kesehatan oleh sektor swasta maupun sektor pemerintah. Masing-masing dari penyedia layanan kesehatan ini akan menerima pembayaran oleh pemerintah. Di samping meningkatkan cakupan layanan kesehatan, program itu secara langsung berpengaruh terhadap perilaku petugas kesehatan yang harus berkompetisi untuk mendapatkan pasien dengan sektor swasta akibat reformasi semacam ini. Akibatnya, penyedia layanan publik meningkatkan layanan mereka secara sangat signifikan yang berorientasi pada klien. Mereka mengrimkan mobil klinik dan dokter mereka menjangkau tempattempat yang terpencil sedikitnya sebulan sekali (daripada sekedar memberikan penyuluhan kesehatan bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil seperti yang mereka lakukan sebelumnya); meningkatkan kemasan obat-obatan; dan melatih para pegawai bagian penerimaan pasien dengan “penuh senyum”. Di samping itu, dewan pimpinan proyek ini melakukan pengawasan untuk kendali mutu yang sangat ketat untuk mendapatkan pembayaran kembali dari pemerintah. Persyaratan itu dicantumkan dengan tegas dalam bentuk standar layanan yang sama bagi seluruh penyedia layanan kesehatan. Dewan ini juga akan menyelidiki kalau-kalau ada penyimpangan dari standar yang ditentukan. Sebagai bagian dari Program Keselamatan Ibu di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, perempuan yang tergolong miskin mendapatkan kupon berobat yang dapat mereka pakai untuk membayar layanan kesehatan yang diberikan oleh bidan di desa. Para bidan ini biasanya bertanggung jawab untuk mendistribusikan kupon tersebut. Dengan tambahan insentif dari pasien pemegang kupon ini, bidan mampu meningkatkan jumlah perempuan miskin yang mendapatkan perawatan. Ini merupakan keuntungan tambahan untuk memperkenalkan perempuan miskin terhadap sistem layanan kesehatan formal dan mendorong mereka agar mereka mendapatkan perawatan yang lebih sering dari penyedia layanan yang resmi. Sumber: Leisher dan Nachuk 2006
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
47
Seiring dengan perjalanan waktu, sejalan dengan peningkatan sistem pemantauan dan peningkatan kapasitas pemerintah, mereka dapat melakukan penyesuaian dari layanan ini untuk meningkatkan pelaksanaan otonomi bagi perencanaan operasional. Untuk melakukan hal tersebut, mereka harus mengurangi pengalihan karena mereka lebih suka pendanaan secara tunai dan mendorong agar layanan kesehatan pemerintah lebih berorientasi pada keluaran dan bukan pada layanan yang diberikan. Keinginan untuk meningkatkan otonomi penyedia layanan berasal dari prinsip pemberian subsidi (memberikan otoritas pembuat kebijakan kepada orangorang yang berada paling dekat dengan pusat informasi). Otonomi penyedia layanan harus ditingkatkan secara bertahap sementara kapasitas pemerintah daerah dan penyedia layanan yang bekerja berdasarkan ketentuan ini Bab 3
juga akan terus ditingkatkan.
Mengurangi pendanaan penyedia layanan. Saat ini penyedia layanan publik menerima sumber dana dalam jumlah yang cukup besar, dalam bentuk bahan-bahan pelajaran, obat-obatan, atau kontraktor untuk memperbaiki atau membangun infrastruktur. Jika penyedia layanan tidak memiliki wewenang terhadap bagaimana sumber daya itu akan digunakan, mereka dianggap tidak akuntabel seperti yang dinyatakan di dalam perjanjian. Daripada menyediakan layanan seperti itu, pemerintah harus menyediakan pengalihan langsung dan fasilitas opsional untuk melakukan pemerolehan secara bersama-sama.
Bagaimana perjanjian layanan dapat digunakan di daerah terpencil? Salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa masyarakat miskin memperoleh manfaat dari penyedia layanan pokok adalah dengan membuat layanan tersebut dapat diakses oleh setiap orang. Namun, walaupun dengan sistem yang bagus, daerah terpencil dan marjinal tetap memerlukan perhatian khusus.
Alokasikan sumber daya yang memadai. Di bawah pelaksanaan desentralisasi, program yang memihak masyarakat miskin pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun menyediakan layanan bagi masyarakat yang paling miskin akan lebih mahal dan oleh karena itu akan menyulitkan pemerintah kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dan sumber daya yang terbatas. Pemerintah pusat memiliki mandat untuk mempromosikan keadilan secara nasional. Hal ini akan dapat mendukung pemerintah kabupaten melalui skema insentif, kemitraan pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah. Pengaturan semacam ini dapat dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) jika program itu dikelola secara lokal, atau melalui pemerintah kabupaten yang memberikan kontribusi mereka berdasarkan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi program-program yang dikelola oleh pusat yang dilaksanakan di tingkat kabupaten. Seperti yang diuraikan pada Bab 4, dengan menghubungkan pendanaan ini dengan target proyek yang secara spesifik berpihak pada masyarakat miskin menjadi sangat penting untuk menjamin adanya akuntabilitas.
Menggunakan solusi inovatif untuk menentukan pegawai dan cara penyediaan layanan publik. Daerahdaerah terpencil mengalami kesulitan untuk menarik pegawai yang memiliki kualifikasi tinggi. Dulu Indonesia memiliki sebuah program yang mewajibkan dokter untuk bersedia ditugaskan di wilayah terpencil selama kurun waktu tertentu. Begitu masa itu sudah berakhir, dokter tersebut segera berhenti bekerja di sana, yang berdampak
48
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
sangat buruk terhadap layanan kesehatan di daerah terpencil. Dengan menyediakan insentif keuangan bagi mereka yang mau bekerja di daerah terpencil juga pernah dilakukan, tetapi hal ini menjadi sangat mahal. Biaya penempatan seorang dokter di wilayah terpencil akan menjadi dua kali lipat dari biaya saat ini (Chomitz, Setiadi dkk. 1998). Jika tidak mungkin kita mendapatkan pegawai yang memenuhi kualifikasi untuk bekerja di daerah terpencil tidak mungkin didapat, pendekatan alternatifnya perlu digunakan untuk menjamin layanan yang diperlukan penduduk di daerah terpencil dapat tersedia. Jika tidak mungkin menyediakan dokter untuk menjangkau daerah seperti itu, misalnya, sebuah pendekatan yang menekankan pada pemberian insentif transportasi harus dijadikan pilihan
Menyesuaikan harapan—dan peraturan—tentang apa yang benar-benar bisa dicapai.
Konsekuensi
dari ketentuan baku yang tidak fleksibel, biaya tinggi, dan satu untuk semuanya, mungkin akan menjadi sangat
Bab 3
terbaik selanjutnya.
signifikan. Mensyaratkan agar guru-guru sekolah dasar memiliki ijazah sarjana dan seluruh persalinan dilakukan oleh dokter, misalnya, akan menghambat orang untuk memperoleh bantuan dari yang diberikan oleh lulusan sekolah menengah atau bidan yang terlatih. Aturan yang tertalu ketat bahwa setiap sekolah dasar harus memiliki 8 guru— seperti yang berlaku di Indonesia saat ini—akan membuat daerah terpencil tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan. Ketentuan nasional harus mengalah demi tersedianya suatu layanan publik (daripada tidak ada sama sekali). Dengan memberikan kemungkinan kelas yang terdiri dari beberapa anak dari berbagai kelas dalam satu ruangan, misalnya, mungkin merupakan salah satu cara untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil. Alternatif lain untuk membuat orang mau bekerja di daerah terpencil adalah mengangkat guru dari daerah setempat. Sementara kualifikasi mereka mungkin tidak memenuhi kriteria nasional, mempekerjakan pegawai yang berasal dari daerah setempat akan mempermudah penyediaan layanan secara berkelanjutan. Dengan cara ini mungkin juga akan diperoleh tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi. Masing-masing dari pendekatan ini akan mengakibatkan penurunan mutu dan oleh karena itu akan mengahasilkan keluaran yang lebih buruk daripada kondisi yang normal. Akan tetapi, setiap alternatif memang bukan kondisi yang paling baik, alternatif itu masih dianggap lebih baik daripada layanan tersebut tidak bisa diberikan sama sekali.
Meningkatkan manfaat dari sektor swasta Sektor swasta sudah sejak dulu memberikan berbagai layanan kepada poenduduk miskin, layanan mereka sangat buruk. Pemerintah dapat meningkatkan layanan kepada masyarakat miskin yang diberikan oleh sektor swasta dengan memberdayakan masyarakat miskin untuk menuntut layanan yang lebih baik dan dengan cara mengontrakkan layanan untuk masyarakat miskin kepada penyedia layanan dari sektor swasta. Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada sektor swasta untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi masyarakat miskin dengan meningkatkan akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan. Kesempatan ini dapat diberikan kepada pihak swasta yang memenuhi persyaratan. Cara lain adalah dengan mendidik dan memberitahu para pengguna layanan agar mereka berani meminta layanan yang lebih baik dan bermutu dari sektor swasta, serta memberikan hak kepada sektor swasta untuk memperoleh subsidi sesuai permintaan atas layanan yang mereka berikan. Berdasarkan seleksi yang ketat, pemerintah dapat melakukan (pilot proyek) dengan mengontrakkan layanan bagi masyarakat miskin kepada sektor swasta, terutama layanan yang tidak mampu disediakan lewat sektor publik (seperti layanan untuk penduduk di daerah terpencil atau layanan baru).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
49
Sektor swasta sudah memiliki pengalaman memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Hampir dalam setiap sektor, selalu ada keterlibatan sektor swasta yang sangat tinggi yang mampu memberikan layanan bermutu tinggi bagi mereka yang mampu membayar jasa mereka. Di pihak lain, sektor swasta juga mampu memeberikan layanan kepada masyarakat miskin (Diagram 3.2). Masyarakat miskin menggunakan layanan ini karena layanan tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka atau karena satu-satunya yang tersedia yang dapat diakses di wilayah mereka. Seringkali, masyarakat membayar jauh lebih banyak daripada layanan yang disediakan oleh sektor publik. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan yang bertajuk “suara masyarakat miskin” menemukan bahwa harga air yang dikenakan pedagang swasta di daerah kumuh Simokerto dan Antasari adalah 15–30% lebih tinggi dari Bab 3
pada biaya yang dikenakan oleh PDAM (Mukherjee 2006). Sekolah Madrasah memberikan layanan pendidikan bagi warga paling miskin, tetapi mutu mereka tidak sama dengan mutu pendidikan sekolah umum (Newhouse dan Beegle 2005).
Diagram 12. Penggunaan layanan yang diberikan oleh sektor swasta, berdasarkan kuintil pendapatan Sumber air minum
Kunjungan pasien rawat jalan Penggunaan
14.4
100%
2.2
8.2
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0%
4.7
3.2
2.7
rata-rata
Terkaya no. urut 5 menurut kuintil pendapatan
Termiskin no. urut 1 menurut kuintil
Public
Private low e nd
private high end
Public
Pendidikan SD 100%
12.2
0.5
Private low e nd
Pendidikan SMP 0.8
100%
3.5
0.4
Pinjaman 0.9
100%
80%
80%
80%
60%
60%
60%
40%
40%
40%
20%
20%
20%
0%
0% Public
Private low end
private high end
pendapatan
private high end
2.6
4.2
Public
Private low end
3.7
0% Public
Private low end
private high end
private high end
Sumber: Data air minum, kunjungan pasien rawat, dan pendidikan yang berasal dari Susenas (2003); data pinjaman yang berasal dari Survei Kehidupan keluarga Indonesia (2000).
50
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Memberitahukan publik tentang standar layanan yang disediakan oleh penyedia sektor swasta. Pengguna layanan dapat menentukan pilihan yang lebih baik apakah mereka akan menggunaan layanan dari sektor swasta jika mereka sadar terhadap mutu layanan yang mereka beli. Khususnya di bidang kesehatan, masih kurangnya kesadaran terhadap pentingnya standar kebersihan, standar layanan untuk perawatan kuratif, dan risiko jika standarstandar tersebut tidak dipenuhi. Pada kondisi di mana pengguna layanan tidak dapat diharapkan untuk mengetahui standar mutu—seperti yang banyak terjadi, misalnya, dalam mengukur tingkat kebersihan air minum—pemerintah memiliki peran untuk memantau mutu layanan yang diberikan dan menginformasikan kepada publik mengenai hal tersebut. Pemerintah kemudian dapat memberitahu pengguna layanan dengan melakukan pengujian layanan
yang didukung oleh Persatuan Bidan Indonesia, membuat para bidan mampu melakukan penilaian sendiri atas keterampilan mereka dan selanjutnya belajar lagi untuk meningkatkan keterampilan mereka. Jika mereka sudah
Bab 3
yang diberikan dan memberikan sertifikasi pengakuan atas mutu layanan yang diberikan. Program Bidan Delima,
mampu mencapai standar objetif yang ditentukan, mereka lalu diuji lagi. Jika berhasil, mereka lalu mendapatkan sertifikat sebagai penyedia layanan dengan predikat bermutu tinggi. Bidan swasta sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam program tersebut, karena dengan sertifikat tersebut mereka berhasil menarik lebih banyak pasien.
Pemberian pelatihan dan pengakuan terhadap penyedia layanan yang memenuhi persyaratan bagi masyarakat miskin. Kombinasi antara pelatihan dan pemberian sertifikat bagi penyedia layanan menyebabkan masyarakat miskin mengetahui mutu layanan yang diterima melalui program sertifikat. Cara ini juga membuat penyedia layanan dari sektor swasta mampu meningkatkan standar layanan yang mereka berikan. Bagi kelompok pemakai yang benar-benar berfungsi, pemerintah dapat memberikan pengakuan dengan cara memberikan status hukum, sehingga mereka bisa dikontrak untuk melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, kelompok arisan sering kali mengelola uang dalam jumlah sangat banyak, tetapi mereka tidak bisa membuka rekening bank atas nama kelompok mereka itu. Seandainya bisa membuka rekening resmi, mereka akan memperoleh manfaat dari sektor bank swasta.
Memberikan hak susidi bagi penyedia layanan yang memenuhi syarat. Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada penyedia layanan swasta atau bisa juga memberikan hak bagi penyedia layanan pada sektor swasta untuk menerima kupon subsidi. (Sejumlah program tersebut akan diuraikan lebih rinci pada Bab 4.) Untuk mengurangi risiko terjadi kolusi, hak semacam ini sebaiknya hanya diberikan kepada penyedia layanan dari sektor swasta yang benar-benar bermutu dan memenuhi persyaratan. Harmonisasi cara pemerintah melakukan kesepakatan dengan penyedia layanan dari sektor publik dan swasta akan memudahkan pengguna layanan untuk menentukan pilihan, yang mana penyedia layanan yang paling efektif. Di samping itu, juga akan memberikan insentif atas kinerja yang bagus dan memuaskan. Beberapa kabupaten seperti Jembrana dan Sumba Timur telah memberikan kesempatan kepada penyedia layanan kesehatan dari sektor swasta untuk menerima pembayaran dari pemerintah kabupaten atas layanan yang mereka berikan melalui program jaminan kesehatan. Kedua kabupaten ini menerapkan ketentuan uang kesehatan yang sama antara penyedia layanan sektor publik dan swasta (Gaduh dan Kuznezov 2006 dan Arifianto dkk. 2005).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
51
Pemberian kontrak secara selektif kepada penyedia layanan swasta. Dalam jangka pendek, sebagian besar kontrak kepada sektor swasta meliputi layanan yang tidak mampu diberikan secara efektif oleh sektor publik. Untuk daerah-daerah terpencil, di mana tidak terdapat layanan dari sektor publik pemerintah daerah dapat melakukan eksperimen dengan memberikan kontrak kepada LSM untuk memberikan layanan untuk kebutuhan dasar. Kotak 4 merupakan contoh di mana LSM yang memberikan layanan kesehatan berbasis sekolah dapat membantu masyarakat miskin. Sektor swasta juga dapat membantu layanan publik berdasarkan perjanjian penyediaan layanan dengan pemerintah. Penyemprotan nyamuk, misalnya, sekarang ini lebih banyak dilakukan oleh klinik swasta. Akan lebih
Bab 3
efisien untuk menggunakan jasa penyedia layanan swasta, dan kita tahu pasar swasta untuk ini cukup banyak.
Kotak 4. Penyediaan layanan kesehatan pokok melalui LSM Yayasan Kusuma Buana, sebuah LSM yang bergerak di Jakarta, melakukan program pengendalian parasit pada tahun 1987. Program ini meliputi komponen pendidikan yang menjelaskan masalah yang disebabkan oleh berbagai infeksi karena parasit, pengaruhnya terhadap kesehatan dan derajat gizi seseorang, serta pentingnya kebersihan untuk mencegah berbagai infeksi. Program ini juga menyelenggarakan pemeriksaan kotoran dua kali setahun yang diikuti dengan tindakan pengobatan. Kontribusi keuangan untuk melaksanakan program ini diberikan oleh Pfizer yang digunakan untuk biaya pengobatan dan pembelian kantong plastik untuk mengumpulkan kotoran. Berdasarkan hasil evaluasi program ini, tingkat prevalensi penyakit cacingan di sekolah-sekolah yang menjalani program ini menurun dari 78.6% pada tahun 1987 menjadi 8.4% tahun 2003. Ini merupakan peningkatan yang luar biasa ketika penyakit cacingan yang mewabah di antara anak-anak sekolah di Indonesia saat itu masih berkisar antara 60–80%. Sumber: Adi Sasongko (2004)
Menghindari kontrak yang mahal tetapi hasilnya tidak sesuai Mengurangi risiko tindak kolusi ketika melakukan kontrak dengan sektor swasta. Kita tahu bahwa memastikan akuntabilitas penyedia layanan dari sektor swasta lebih sulit, karena mereka bukan pegawai negeri dan hanya terikat dengan apa-apa yang tertera di dalam kontrak, yang sering kali sangat sulit untuk dilaksanakan. Sektor swasta harus dituntut untuk selalu akuntabel atas layanan yang berikan kepada masyarakat. Dengan sistem penegakan hukum yang lemah seperti yang terjadi di Indonesia, akuntabilitas harus datang dari pemantauan pemerintah dan tekanan dari para pengguna layanan. Risiko kinerja yang kurang dan tindak korupsi secara langsung berkaitan erat dengan kemampuan kedua pihak tersebut untuk menuntut penyedia layanan sektor swasta agar bertanggung jawab atas layanan yang mereka berikan.
Memindahkan tanggung jawab pelaksanaan dari penyedia layanan dan masyarakat, dapat mengurangi risiko terjadinya korupsi. Dengan cara ini pula, kita dapat menuntut agar penyedia layanan tetap bertanggung jawab untuk mencapai indikator yang terukur, daripada sekedar memberikan layanannya. Strategi ini berkaitan dengan arah anak panah yang terdapat pada Diagram 3.3. Contoh dari strategi yang pertama adalah menyediakan anggaran untuk pembelian buku paket, di mana pemerintah memberikan informasi tentang buku paket yang sesuai dengan standar nasional dan bagaimana cara mendapatkan standar tersebut. Strategi ini akan mengurangi kerentanan terhadap tindak kolusi dibandingkan dengan pembelian buku yang dilakukan secara nasional di tingkat pusat. Sekolah akan dapat merasakan adanya nuansa-nuansa kolusi dan korupsi, dan akan ada tekanan yang begitu kuat dari komite sekolah dan orang tua untuk memastikan bahwa anggaran yang ada digunakan dengan baik. Contoh dari strategi kedua adalah pemantauan terhadap kesehatan anak sekolah—misalnya, dengan
52
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
menelusuri terjadinya kasus diare dan infeksi karena cacingan, daripada sekedar melakukan pemantauan apakah anak-anak telah diberi obat anti cacing atau tidak.
Diagram 13. Kerangka kerja untuk melakukan penilaian dan mengurangi risiko ketika melakukan kontrak dengan penyedia layanan sektor swasta
Bab 3
Hold service provider accountable for observable targets and outputs High ability of end-user to hold provider accountable Q1: Medium risk Example: NGO is put in charge to delivery some components of health delivery Policy: Enhance accountability to end-users; Move to Q2 Low ability of government to hold provider accountable Q3: High risk Example: Large scale contract w ith private w ater provision Policy: Avoid; try to move aw ay from this area
Q2: Low risk Example: public health clinic contracts private firm to spray against mosquitoes Policy: Bring public and private provider to level playing field
Q4: Medium risk Example: large central government procurement of textbooks Policy: Improve procurement ; Move to Q2
Empow er users: Move responsibility dow n to providers and communities
High ability of government to hold provider accountable
Low ability of end-user to hold provider accountable
Sumber: Penulis laporan ini.
Untuk berbagai kontrak dengan tingkat risiko menengah, pemerintah dapat mengurangi risiko dengan meningkatkan sistem pengadaan, melibatkan pengguna dalam melakukan evaluasi kinerja penyedia layanan, atau melakukan keduanya. Proses pengadaan barang dan jasa merupakan hal yang sangat rentan ketika pengguna tidak bisa ikut bertanggung jawab atas pemantauan terhadap akuntabilitas penyedia layanan tersebut. (Kuadran 4 dalam Diagram 3.2). Contohnya, dengan menggunakan agen pengadaan dari luar yang memiliki reputasi internasional digunakan untuk mengurangi risiko terjadinya korupsi untuk kontrak-kontrak pemerintah berskala besar. Jika ternyata pemerintah tidak sanggup melakukan evaluasi kinerja (kuadran 1), pemerintah dapat meningkatkan akuntabilitas dengan jalan melibatkan pengguna untuk ikut melaksanakan evaluasi atas perpanjangan kontrak.
Menghindari risiko tinggi atas pelaksanaan kontrak dengan sektor swasta. Melakukan kontrak dengan sektor swasta harus dihindari jika persyaratan kontrak tidak dapat diukur baik oleh pengguna langsung maupun oleh pemerintah (kuadran 3 dalam Diagram 3.2). Risiko terjadinya korupsi dan kinerja yang tidak bagus dari penyedia layanan sangatlah tinggi. Dalam hal ini, akan lebih baik jika layanan tersebut diberikan oleh sektor publik (Kotak 5).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
53
Kotak 5 Kontrak dengan sektor swasta untuk menyediakan air bersih di Jakarta Pada tahun 1997 dibuat perjanjian air Jakarta yang disebut dengan “Konsesi,” yang secara teoritis memberikan kesempatan kepada warga Jakarta untuk mendapatkan manfaat atas peningkatan reliabilitas dan mutu persediaan air dengan memberikan delegasi mengenai pengelolaan, operasi, dan investasi dalam layanan penyediaan air bersih untuk kota Jakarta. PAM Jaya, yang merupakan perusahaan milik Pemda Jakarta, secara langsung melakukan negosiasi dalam perjanjian kerja sama dengan melibatkan dua konsorsium swasta. Muncul sejumlah isu dan permasalahan, sebagian besar muncul sebelum konsesi tersebut dimulai, yang merusak kinerja operator dan secara fundamental menghambat keinginan dan kemampuan mereka untuk melakukan ekspansi cakupan wilayah dan memberikan layanan mereka kepada masyarakat miskin. Banyak dari masalah tersebut berkaitan dengan kapasitas mitra dari sektor publik yang tidak siap untuk melakukan pengelolaan secara memadai terhadap pengaturan yang telah dibuat dengan sektor swasta. Masalah ini meliputi kurangnya pemahaman, terutama dari PAM Jaya, tentang mengapa kerja sama dengan sektor swasta semacam itu diperlukan; kurangnya persiapan proyek untuk menghasilkan consensus; dan kurangnya transparansi dalam proses pelaksanaan tender.
Bab 3
Akan tetapi, masalah ini juga mencerminkan kurangnya pemahaman tentang bagaimana cara mempromosikan keberhasilan sektor swasta dalam menyediakan air bersih kepada penduduk. Secara khusus, terjadinya perdebatan mengenai pemisahan tarif dengan sektor swasta (yang biasa terjadi dalam setiap situasi) tidak ditangani secara baik di Jakarta. Konsesi ini berusaha untuk melakukan mobilisasi sebelum terjadinya peningkatan tarif dan lalu membebankan hal itu kepada strategi pemerintah untuk membantu masyarakat miskin. Tidak adanya regulator operasional yang independen di lapangan, diikuti dengan upaya untuk menciptakan lembaga regulator dari operator sebelumnya tanpa memiliki keterampilan dan ketidakmampuan untuk bertindak independen secara benar, berarti bahwa regulasi yang bersifat independen tidak berhasil dicapai. Walaupun pembentukan fungsi-fungsi berhasil dilakukan pada tahun 2001, mereka masih berkutat untuk menyampaikan kemandirian mereka. Ketidakjelasan mengenai peran operator yang masih berjalan dan tidak adanya struktur insentif bagi operator swasta berarti perhitungan risiko/imbalan tidak terkait dengan penyediaan air bagi masyarakat miskin. Semua masalah ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu sekejap. Kuncinya terletak pada upaya untuk membentuk badan regulator yang mandiri, mengembangkan kapasitas yang lebih besar dalam sektor publik untuk melakukan dialog dengan operator sektor swasta, dan mengembangkan permintaan yang lebih besar di antara para konsumen atas layanan yang bertanggung jawab. Sumber: Wawancara dengan penulis laporan ini
Meningkatkan lembaga dan kapasitas pemerintah Pemerintah daerah perlu melakukan perombakan terhadap lembaga-lembaga mereka untuk melakukan reformasi secara efektif. Mereka perlu melakukan penyesuaian dan menentukan pegawai sesuai dengan tanggung jawab yang ada setelah pelaksanaan desentralisasi serta mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja mereka. Banyak perubahan yang diinginkan menjadi tidak mungkin dilaksanakan karena pengaturan dan ketentuan yang ditentukan dari pusat. Reformasi layanan publik yang lebih besar akan diperlukan untuk menjawab perubahan tersebut.
Pemerintah daerah dan penyedia layanan di garis depan di seluruh Indonesia tengah berjuang keras untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada dan meningkatkan penyediaan layanan melalui perubahan kelembagaan dan perbaikan manajemen. Contoh-contoh ini meliputi re-organisasi dalam unit atau sektor, reformasi di bidang pengangkatan pegawai, reformasi dalam unsur-unsur kinerja manajemen, perjanjian dengan pegawai bahwa mereka tetap “bersih”, mereka akan mendapat “bonus financial”, peningkatan pembayaran gaji, dan perjanjian mengenai pemantauan layanan dan tugas oleh kelompok konsumen mandiri (Tabel 1 di rangkuman eksekutif ). Dengan adanya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung terhadap jabatan bupati, walikota, dan gubernur, para pemimpin daerah berhasil memperoleh kepercayaan dalam melakukan uji coba pendekatan baru mereka. Saling bertukar pengalaman antar yurisdiksi akan menjadi sesuatu yang sangat penting, karena kini para pemimpin tersebut memiliki kemampuan untuk melaksanakan janji-janji mereka. Memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada penyedia layanan publik merupakan langkah yang logis dalam upaya yang berkelanjutan untuk menguji setiap pendekatan, untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat.
54
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Pada saat yang sama, pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk bergerak karena terdapat sejumlah permasalahan peraturan yang tidak terpecahkan, ketergantungan keuangan, dan pembagian tanggung jawab yang tidak jelas pada tingkatan pemerintahan setelah pelaksanaan desentralisasi. Perhelatan antara lapisan pemerintahan untuk mendapatkan kontrol terhadap sumber-sumber daya menghambat penyediaan layanan efektif kepada masyarakat. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi kontrol pusat terhadap pengeluaran anggaran, pengelolaan kegiatan dan program, yang sering berjalan secara bersamaan, tidak terkoordinasi dengan pengeluaran pemerintah daerah. Di tingkat penyedia layanan, hal ini telah menimbulkan hambatan dan kadang-
perlu. Dalam satu penilaian disampaikan bahwa “Obat-obatan yang dikirimkan pemerintah pusat ke puskesmas melalui kantor Dinas Kesehatan Kabupaten lebih sering tidak sesuai dengan kebutuhan, tetapi kepala puskesmas
Bab 3
kadang terjadi pengiriman barang yang tidak dibutuhkan, seperti pengiriman obat-obatan dan buku yang tidak
tidak punya pilihan lain kecuali menerima kiriman tersebut. Akibatnya, obat-obatan tersebut akhirnya dijual kembali kepada pihak yang berminat atau dibiarkan saja sampai kadaluwarsa. Jika dijual, proses ini akan memerlukan biaya tambahan untuk pegawai” (Morga dan Manuel 2003).
Desentralisasi telah memperlihatkan dengan jelas bahwa reformasi layanan publik dan administrasi masyarakat masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan publik yang lebih baik. Lembaga yang mengaturnya harus cukup; sistem kepegawaian dan keuangan harus direformasi sehingga keterampilan, insentif, dana sistem manajemen dapat mendorong kinerja yang optimal. Pemerintah harus siap untuk menghadapi agenda-agenda ini dengan urutan yang benar, dengan kebijakan dan sumber daya yang benar. Bab 5 membahas bagaimana pemerintah pusat dapat melakukan modernisasi terhadap layanan masyarakat dan menyesuaikannya dengan desentralisasi.
Sementara itu, lembaga dan aksi yang didirikan dan dikelola di tingkat daerah akan memainkan peran yang sangat penting dalam peningkatan keluaran layanan masyarakat dalam kondisi kelembagaan yang ada sekarang ini. Ketidaksesuaian antara fungsi, kelembagaan, dan personel serta kurangnya insentif atas kinerja yang bagus di tingkat daerah, menyulitkan pemerintah untuk melakukan manajemen secara efektif atas pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah kabupaten dapat menangani beberapa dari masalah ini secara mandiri terlepas dari pemerintah pusat. Rekomendasi yang diberikan di bawah ini didasarkan pada pengalaman kabupaten lain yang telah berhasil melakukan reformasi administrasi sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi.4
Kesepakatan mengenai pembagian tanggung jawab antara pemerintah kabupaten dan provinsi. Pemerintah kabupaten tidak perlu menunggu sampai pemerintah pusat memberikan klarifikasi atas alokasi fungsional dan anggaran. Pemerintah provinsi dan kabupaten dapat memecahkan sebagian besar masalah koordinasi tersebut dengan melakukan kesepakatan di antara mereka tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi tertentu. Berdasarkan perjanjian ini, lembaga dan personel dalam disesuaikan. Analisis seperti ini juga harus mampu
4
Diskusi mengenai administrasi dan kepegawainegerian yang mendalam tidak bisa di cakup dalam laporan ini, sehingga jika membutuhkan pembahasan mendalam mengenainya bisa melihat di World Bank (2000).
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
55
menentukan dan memecahkan hal-hal yang tumpang tindih dalam garis administrasi yang sama (horizontal). Walaupun masih ada ketidakpastian yang tidak dapat dipecahkan, kabupaten dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai tugas mereka sendiri dan menentukan tujuan dan target yang hendak dicapai. Perjanjian kerja antara Pemerintah provinsi dan kabupaten, yang meliputi kegiatan saling berbagi informasi mengenai kegiatan dan sumber daya, dapat memudahkan dan memperbaiki lingkungan pelayanan kepada masyarakat seperti yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Menyelesaikan masalah kelebihan pegawai dan menyesuaikannya dengan kebutuhan fungsi dan Bab 3
kemampuan. Sistem kepegawaian yang kaku dalam layanan masyarakat mengakibatkan munculnya masalah yang hampir tidak terpecahkan menyangkut kapabilitas, yang akhirnya mengurangi mutu layanan yang diberikan kepada masyarakat. Kelebihan pegawai merupakan hal biasa terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Seringkali kabupaten tidak memiliki pegawai yang terampil dan memiliki jumlah pegawai yang terlalu banyak untuk hal-hal yang bersifat umum. Akibatnya, mereka akhirnya mempekerjakan tenaga kontrak untuk memenuhi kebutuhan teknis mereka. Pemerintah provinsi memiliki tugas baru dan sering kali mereka kelebihan pegawai dan memiliki kondisi keuangan yang lebih baik daripada kabupaten. Banyak kabupaten di daerah terpencil kekurangan pegawai. Pemindahtugasan merupakan perkecualian daripada peraturan yang ditetapkan, dan pegawai negeri yang berada pada jabatan dan posisi yang tidak sesuai berada pada tempat yang sama terus-menerus. Beberapa daerah mengambil keuntungan atas struktur layanan masyarakat dan membiarkan posisi-posisi yang tidak penting tetap kosong dan disediakan bagi pegawai yang akan memasuki masa pensiun. Misalnya, di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, dulu terdapat 700 pegawai. Karena mereka pensiun usia, jumlah itu kini tinggal 480, dan bagian administrasi berharap agar jumlah itu akan terus menurun menjadi 200 dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Ini merupakan pilihan kedua terbaik, sebab pengurangan pegawai tidak menyebabkan hasil yang lebih baik antara jumlah jabatan dan pegawai yang ada. Selanjutnya, ada beberapa rekomendasi mengenai apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah (dan beberapa sudah dilakukan) seperti yang terurai di bawah ini.
Memindahkan kelebihan pegawai secara temporer pada daftar tunggu. Pegawai yang sudah termasuk dalam daftar tunggu selanjutnya ditugaskan kembali pada posisi baru setelah dilakukan re-organisasi dan disertai uraian tugas dan jabatan yang jelas. Jika keterampilan pegawai sesuai dengan yang dibutuhkan dan yang bersangkutan bersedia dilatih lebih lanjut, pegawai yang bersangkutan dapat kembali dipekerjakan pada lembaga. Pegawai yang tidak memiliki potensi untuk dipekerjakan kembali tetap berada pada daftar tunggu, untuk membantu pelaksanaan pekerjaan yang sedang berjalan, dan didorong untuk mencari kesempatan di luar sektor pemerintah. Jika mereka
56
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
tidak mau mengundurkan diri secara sukarela dan pegawai yang mubazir itu tetap sebagai pegawai negeri, lebih baik mereka berada pada daftar tunggu daripada pada garis depan dalam pelayanan masyarakat.
Memastikan bahwa pengangkatan dan promosi selalu terbuka dan transparan dan didasarkan pada uraian tugas yang jelas. Untuk meningkatkan profesionalisme dalam posisi-posisi kunci, banyak pemerintah daerah menggunakan perusahaan khusus untuk melakukan pengujian terhadap calon saat melakukan pengangkatan dan promosi. Hal ini juga dapat mengurangi campur tangan politik dalam pengangkatan tenaga lokal, yang merupakan masalah besar pada sebagian besar pemerintah kabupaten. Walaupun kandidat dicalonkan untuk dipromosikan
mengenai standar profesionalisme. Draft uraian tugas dan jabatan harus jelas bagi mereka yang diangkat atau yang dipromosikan, karena hal itu akan menjelaskan tugas-tugas yang spesifik, memungkinkan pelaksanaan evaluasi
Bab 3
mereka harus tetap memenuhi persyaratan tertentu, sistem penilaian harus mencantumkan unsur-unsur
terhadap kinerja yang bersangkutan, dan memeperkenalkan skema insentif berbasis kinerja. Pemerintah daerah dapat memperkenalkan insentif berbasis kinerja, tetapi manajemen skema semacam itu memerlukan penentuan uraian tugas, uraian jabatan, dan target secara jelas.
Menetapkan ketentuan dan persyaratan secara tepat bagi pegawai kontrak dan menggunakan angkatan kerja ini sebagai aset untuk melayani masyarakat. Kekurangan posisi dalam layanan masyarakat dan kekurangan pegawai dalam profesi tertentu telah menyebabkan munculnya tenaga kontrak yang begitu banyak. Kontrak kerja untuk guru dan dokter awalnya merupakan pilihan kedua terbaik untuk menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil. Akan tetapi, kontrak kini digunakan untuk mempekerjakan tenaga kerja tidak terampil sebagai tenaga pendukung. Jika digunakan dengan bijaksana, kontrak kerja merupakan kondisi yang sangat bagus untuk layanan masyarakat. Tenaga kontrak dapat digunakan ketika pegawai negeri sipil tidak mungkin melakukan tugas-tugas tersebut yang bersifat temporer. Angkatan kerja kontrak yang dikelola dengan baik dapat merupakan jalur langsung untuk meningkatkan keterampilan lembaga penyedia layanan masyarakat dan pemerintahan setempat. Hal ini akan membantu memecahkan hambatan yang dihadapi akibat ketentuan pegawai negeri yang sangat ketat. Pemerintah setempat dapat membuat peraturan lokal mengenai imbalan kerja, hak, jaminan keamanan, dan tunjangan pensiun. Tenaga kontrak dapat memberikan fleksibilitas dalam sistem perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia.
Mengembangkan skema insentif lokal berbasis individu dan kelembagaan bagi kinerja yang memuaskan dan pemberian sanksi atas kinerja yang buruk dan indikasi tindak korupsi. Berbagai skema untuk mendorong kehadiran dan disiplin yang tinggi merupakan cara yang bagus dalam sistem administrasi dan pegawai layanan pada garis depan. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai reformasi, sehingga pemerintah daerah dapat memberikan insentif berbasis kinerja, baik secara kelompok maupun individu. Pengenaan sanksi dan pembangunan semangat kebersamaan sebagai anggota tim, untuk mencapai tujuan yang sama, yang akan diberikan pengakuan dalam bentuk kenaikan gaji, dapat dilakukan sejalan dengan peningkatan layanan kepada masyarakat (Kotak 6). Hal ini telah berhasil dilakukan di DI Jogyakarta dan daerah lain, dengan mengubah “tunjangan kesejahteraan” di dalam
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
57
anggaran menjadi tunjangan prestasi kerja.5 Pemberian kesempatan untuk mengikuti pelatihan merupakan insentif lain yang dapat dilakukan secara strategis untuk mendorong kinerja yang baik. Skema insentif keuangan harus dilakukan secara tansparan. Sistem yang berbasis kelembagaan dapat dipantau dan dievaluasi oleh masyarakat umum yang menerima layanan dari mereka. Sanksi negatif yang bisa diberikan meliputi mutasi pegawai ke posisi administrasi, di mana bonus selain gaji pokok relatif kecil.
Kotak 6 Perampingan pemerintah di Kabupaten Jembrana Kabupaten Jembrana di Provinsi Bali terdiri dari 4 kecamatan dan 40 kelurahan. Pemerintah kabupaten ini mempekerjakan sebanyak 4.628 pegawai negeri sipil (termasuk guru), 3.084 dari jumlah ini menduduki jabatan fungsional. Jumlah PNS di kabupaten ini dikurangi dengan tidak mengganti
Bab 3
pegawai yang telah pensiun, menerapkan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin, dan dengan cara melakukan mutasi pegawai. Pelaksanaan kunjungan belajar dan pertukaran siswa ke Jepang telah membantu lahirnya berbagai gagasan baru. Pegawai harus melakukan absensi sebanyak empat kali tiap hari menggunakan Mesin Absensi Sidik Jari Elektronik. Ketidakhadiran akan mendapatkan sanksi berupa pemotongan cuti tahunan. Dalam kasus yang lebih ekstrim lagi, pegawai akan diskors dan tunjangan pensiun mereka dipotong. Kehadiran dan prestasi kerja mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 1 juta yang akan dibayarkan pada akhir tahun. Penyatuan berbagai Dinas sebagai bagian dari program reorganisasi di Kabupaten ini mampu memangkas sebanyak 125 posisi di tingkat manajemen. Tugas-tugas tertentu, seperti pengelolaan sampah, telah didelegasikan kepada pemerintah tingkat kecamatan. Semua pemerintah kecamatan dihubungkan dengan pemerintah kabupaten melalui jaringan LAN (local area network) sehingga pengiriman informasi menjadi semakin cepat dan lebih baik. Sumber: Catatan dari kunjungan lapangan staf Bank Dunia, Yayasan TIFA, dan GTZ
5
Di Indonesia istilah pembayaran insentif sering digunakan sebagai tunjangan yang dibayarkan di atas gaji pokok yang berlaku untuk semua guru, terlepas dari kinerja mereka. Dalam laporan ini tunjangan kinerja mengacu pada pembayaran tunjangan berdasarkan prestasi kerja. Penghargaan sebagai guru terbaik, misalnya, termasuk dalam kategori ini. Contoh di atas merupakan program jangka pendek yang tidak menunjukkan reformasi pada tataran yang lebih dalam. Pembayaran tunjangan berbasis kinerja merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan dan dikelola; sebagai upaya memperbaiki sistem penggajian yang banyak kelemahannya di Indonesia dengan pembayaran tunjangan di luar gaji. Indonesia memerlukan reformasi besar-besaran terhadap sistem penggajian sebagai salah satu unsur dalam reformasi administrasi dan layanan masyarakat. Sistem merit harus menjadi landasan reformasi dalam hal sistem gaji, kepangkatan, dan klasifikasi yang memberikan pengakuan terhadap tanggung jawab kerja dan prestasi yang berarti.
58
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 4 Penguatan Peran Pengguna Layanan
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat kebijakan daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan umum/pribadi
Peningkatan kekuatan pengguna layanan dalam penyediaan layanan masyarakat mampu meningkatkan perbaikan-perbaikan layanan itu sendiri. Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada pengguna layanan dengan memberikan tanggung jawab dan sumber daya yang sesuai kepada masayarakat, melalui pembentukan kemitraan antara penyedia layanan dan masyarakat, dengan cara melibatkan masyarakat secara langsung dalam penyediaan layanan di garis depan, dan dengan menggunakan kupon layanan atau subsidi langsung bersyarat untuk mendorong permintaan layanan untuk masyarakat miskin. Sepintas lalu, upaya membuat agar penyedia layanan masyarakat menjadi akuntabel bagi pengguna Bab 4
layanan langsung tampaknya merupakan perubahan yang signifikan jika dilakukan dari pusat dan dikelola oleh lembaga besar. Namun selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi pelopor di dunia melalui program BRI Unit Desa atau Program Pengendalian Hama Terpadu, yang telah membantu pengguna layanan ini untuk mengelola, memantau, dan memberikan layanan tersebut sampai ke wilayah pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya miskin. Dapatkah program berbasis masyarakat ini ditingkatkan dan dikaitkan satu sama lain untuk mendukung dan meningkatkan layanan masyarakat yang lebih luas di seluruh Indonesia yang memiliki kondisi geografis dan sosial ekonomi yang demikian luas dan kompleks? Walaupun banyak sekali bukti-bukti kuantitatif yang mendokumentasikan efektivitas dari penyediaan layanan berbasis masyarakat, penelitian ini memberikan masukan bahwa Indonesia memiliki kemampuan dan alat untuk menyediakan layanan masyarakat yang efektif bagi masyarakat miskin di wilayah pedesaan.
Bab ini memberikan tinjauan terhadap tiga cara untuk membuat penyedia layanan masyarakat akuntabel dan bertanggung jawab kepada pengguna layanan mereka. Cara yang pertama adalah menyerahkan pelaksanaan layanan masyarakat langsung kepada masyarakat (atau dengan membentuk kemitraan antara masyarakat dengan badan penyedia layanan). Dengan cara seperti ini, pemerintah akan mampu memotong jarak antara masyarakat dengan penyedia layanan. Cara yang kedua adalah meningkatkan peran serta pengguna layanan dalam menyediakan layanan bagi masyarakat. Cara yang ketiga adalah dengan menyediakan kupon bagi masyarakat miskin yang bisa digunakan untuk memperoleh layanan yang dikehendaki.
Pemerintah harus lebih sistematis menyerahkan tanggung jawab atas beberapa aspek layanan kepada masyarakat (atau dengan pembentukan kemitraan antara penyedia layanan dan masyarakat),
dengan
mempertimbangkan pelajaran yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan program berbasis masyarakat. Masyarakat memiliki perangkat yang lengkap untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa dan secara terus-menerus dapat meningkatkan tanggung jawab mereka terhadap aspek-aspek lain dalam layanan masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa kita perlu memberikan tanggung jawab kepada masyarakat, bekerja dengan lembaga setempat yang ada, mengalihkan dana langsung ke rekening masyarakat, dam memantau kinerja mereka.
60
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menggunakan masyarakat untuk menyediakan layanan dasar bagi masyarakat miskin adakah bukti empiris yang mendukung perluasan penyedia layanan berbasis masyarakat? Apakah pendekatan ini lebih sesuai untuk beberapa layanan tertentu? Pilihan kebijakan dan program apa sajakah yang tersedia bagi pemerintah untuk menerapkan penyediaan layanan berbasis masyarakat? Apa yang menjadi kriteria kunci dari program berbasis permintaan?
Bukti-bukti yang semakin banyak menunjukkan bahwa keterlibatan kelompok masyarakat dalam
kebutuhan masyarakat. sebagian besar bukti yang ada ini dipresentasikan pada Kongres Kemiskinan Dunia di Shanghai (Shanghai World Poverty Congres) tahun 2004, dalam bentuk studi kasus di Brazilia, Kambodia, India,
Bab 4
penyediaan layanan sangat efektif dan menghasilkan layanan masyarakat yang lebih sesuai dengan
Indonesia, dan Yaman (Bank Dunia 2005d). Tinjauan terhadap program konstruksi masyarakat di seluruh dunia secara konsisten menunjukkan penghematan anggaran sebanyak 30–50% dibandingkan dengan cara-cara tradisional yaitu metode penyediaan layanan berbasis pasokan. (Bank Dunia 2005c).
Ada tiga alasan utama yang menjelaskan kinerja yang bagus terhadap program pembangunan berbasis masyarakat. Pertama, khususnya untuk infrastruktur dasar di pedesaan, layanan yang merupakan tanggapan atas kebutuhan masyarakat bisa memberikan peringkat yang tinggi terhadap kontribusi lokal, baik untuk proses konstruksi maupun pemeliharaan infrastruktur, hal ini mampu menghemat anggaran pemerintah yang terbatas. Kedua, keterlibatan yang serius dari masyarakat lokal akan memberikan dampak pemantauan yang positif, yang mampu mencegah terjadinya tindak korupsi, salah sasaran, dan pemborosan. Ketiga, keterlibatan masyarakat akan meningkatkan kemungkinan pencapaian tujuan secara lebih efektif sehingga pencapaian hasil akan lebih efektif.
Indonesia telah berhasil banyak memetik hasil dari pembangunan infrastruktur dengan pendekatan berbasis masyarakat. Bukti-bukti mengenai penghematan anggaran dari empat proyek pembangunan berbasis masyarakat menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat mampu menghemat biaya sampai sebesar 66% dibandingkan jika dikerjakan oleh kontraktor (Tabel 3). Penghematan ini jelas sekali baik dalam satu sektor saja (air bersih) maupun dalam program multisektor. Dengan pendekatan berbasis masyarakat untuk menangani proyek-proyek berskala besar akan dapat menghemat ratusan juta dolar. Penghematan biaya yang berhasil dilakukan melalui metode pembangunan berbasis masyarakat sering kali bernilai sangat tinggi terutama pembangunan di dataran tinggi atau di daerah terpencil, di mana biaya penggunaan kontraktor dapat lebih tinggi daripada biaya konstruksi itu sendiri.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
61
Tabel 3. Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat.
Total nilai ($juta)
Kontribusi masyarakat (%)
Persentase penghematan atas penggunaan tenaga masyarakat daripada traktor
P2D (Fase 3)
200.0
—
23
Penyediaan air bersih bagi penduduk
106.7
23
49
310.0
21
55
100.0
35
66
Proyek
berpendapatan rendah 2 Pembangunan di tingkat Development Bab 4
Kecamatan 2 Proyek Penanganan Kemiskinan di Perkotaan — Data tidak tersedia. Sumber: Hasil Temuan Analisis Dampak Ekonomi Pasca Konstruksi, Bappenas, Jakarta, 2005. TF-05382¬IND.
Peluang terhadap layanan berbasis masyarakat di Indonesia Program-program yang melibatkan masyarakat berskala besar untuk meningkatkan layanan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama: program pengalihan terhadap sumber daya dan tanggung jawab langsung kepada masyarakat dan program kemitraan. Masing-masing dari program ini memiliki potensi untuk ditingkatkan di Indonesia.
Program pemberian block grant meningkatkan kontrol masyarakat terhadap kebutuhan dan mutu layanan. Program pemberian (block grant) memberikan sejumlah sumber daya secara langsung kepada masyarakat, yang dilakukan setelah terjadi proses musyawarah secara luas yang dirancang agar masyarakat memperoleh layanan dan barang secara langsung dari pemerintah atau lewat penyedia layanan sektor swasta. Indonesia sangat berpengalaman untuk melakukan program seperti ini baik dalam satu sektor maupun multi sektor, walaupun program yang ada masih berkisar di sektor kesehatan. Perbandingan menunjukkan bahwa program semacam itu dapat memberikan layanan dasar tertentu kepada masyarakat miskin dengan cara yang sangat efektif dan efisien. Program semacam ini sekarang sedang diujicobakan dan perlu dianggarkan, yang akan meningkatkan prediktibilitas dan kelanjutan. Beberapa pemerintah daerah telah bergerak ke arah ini. Pemerintah kota Blitar, misalnya, telah mengadopsi pendekatan berbasis masyarakat dengan sistem pendanaan (blok grant) untuk membiayai pembangunan di tingkat RT/RW (Kotak 7).
62
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 7. Upaya membuat (block grant) berhasil bagi masyarakat miskin di kota Blitar Program (Block grant) untuk Masyarakat Blitar, yang dilaksanakan pada tahun 2002, menyediakan dana hibah untuk pembangunan proyek di 20 wilayah kelurahan di kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Partisipasi masyarakat merupakan unsur utama dalam program ini. Masyarakat dilibatkan dalam pemilihan dan penentuan proyek, melalui musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) kota yang dilaksanakan sekali tahun. Dalam rapat itu masukan dari warga didata dan diperhitungkan dalam perencanaan kota. Sebelumnya kota menyelenggarakan rapat pra- Musrenbang di tingkat lokal. Dalam kegiatan pra-Musrenbang dan Musrenbang peserta musyawarah didorong untuk aktif memberikan masukan. Hal seperti ini adalah hal yang sangat langka di Indonesia. Kontribusi finansial dan non uang dari masyarakat berkisar antara 13-22% dari seluruh block grant yang diberikan setiap tahun (dana ini sendiri telah meningkat dari Rp. 3.62 milyar, sekitar $380.000, pada tahun 2002 menjadi Rp. 6.14 triliun, sekitar $646.000, tahun 2004). Proyek yang didanai didorong untuk berperan aktif (menurut perkiraannya) untuk melaksanakan proyek-proyek secara lebih efisien seperti, pelaksanaan pelatihan: mulai tahun 2005, blok grant yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur tidak lebih dari 60%. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) memegang peran yang sangat penting untuk melakukan mobilisasi masyarakat.
Bab 4
ini mencerminkan sesuatu yang lebih diinginkan oleh masyarakat mengenai infrastruktur yang mereka butuhkan, namun pemerintah kota juga
Meskipun program ini pada awalnya tidak secara eksplisit menargetkan masyarakat miskin, ternyata tetap terjadi bias pendanaan yang menjadi berpihak pada masyarakat miskin di dua dari tiga kecamatan yang ada di Blitar; hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adamya kriteria baru dalam pemilihan proyek (mulai tahun 2003), yaitu “jumlah warga miskin penerima manfaat”. Pada program renovasi pemukiman kumuh, pemerintah kota melihat bahwa program ini memberikan manfaat langsung bagi warga miskin, sehingga setelah mengetahui hal ini, pemerintah memberikan mandat bahwa mulai tahun 2005 dan seterusnya, 13% dari dana blok grant harus dialokasikan untuk program serupa. Program community block grant kelihatannya jauh lebih cocok, baik dari segi tinjauan teknis, kelembagaan, keuangan maupun sosial. Proyek ini juga memerlukan dana yang tidak banyak, kurang dari 2% dari anggaran pemerintah kota. Keinginan walikota untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat melakukan kesalahan ternyata meningkatkan kelanjutan program, bukan saja karena program ini mampu memberikan dampak berupa peningkatan berdasarkan pelajaran yang diperoleh tetapi juga karena masyarakat dapat belajar tentang bagaimana melaksanakan program yang akan menjadi milik mereka sendiri. Sumber: Kuznezov dan Ginting (2005)
Sampai saat ini, program (block grant) Indonesia masih tanpa syarat, yang hanya meminta agar masyarakat memenuhi ketentuan pokok dalam proyek. Akan tetapi, dengan keberhasilan program tak bersyarat ini, tidaklah sulit untuk menghibahkan tanggung jawab lewat sebuah “kontrak” di mana masyarakat sepakat untuk mencapai standar kinerja yang diminta, imbalan suatu suplemen. Program subsidi langsung bersyarat dalam jumlah besar yang dilakukan berdasarkan pelaksanaan program berbasis masyarakat, bisa menghasilkan peningkatan yang sangat berarti dalam pelayanan bagi masyarakat miskin.
Transfer block grant merupakan transfer dari pemerintah pusat atau bagian dari desentralisasi alokasi anggaranyang didesentralisir. Pemerintah untuk menentukan sejauh mana block grant tersebut dijadikan bagian dari anggaran pemerintah daerah setempat yang ditentukan dalam desentralisasi atau bagian dari program pengentasan kemiskinan nasional yang merupakan suplemen dari desentralisasi dana yang disediakan untuk penyediaan layanan masyarakat secara rutin. Dengan adanya kenyataan bahwa dinas terkait yang paling lemah berada pada kabupaten yang paling miskin, beberapa program pengentasan kemiskinan nasional yang mampu melakukan hal ini diminta untuk melaksanakan proyek ini.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
63
Kemitraan dengan pendanaan mampu mengembangkan kemampuan penyedia layanan untuk menjangkau kantong-kantong masyarakat miskin. Sejumlah kabupaten telah melakukan eksperimen dengan melakukan kemitraan dengan masyarakat untuk mendiagnosa dan memecahkan masalah. Masyarakat dapat menggunakan dana dari block grant ini untuk mengembangkan program layanan mereka. Kemitraan itu harus diformalkan, melalui perjanjian kontrak atau perjanjian penyediaan layanan antara masyarakat dengan pihak penyedia. Perjanjian ini harus secara jelas mencantumkan tujuan yang hendak dicapai dan layanan yang disediakan. Kupon yang dibagikan secara langsung kepada masyarakat dan bukan kepada penyedia layanan merupakan cara lain untuk meningkatkan Bab 4
kemitraan dengan penyedia layanan yang pada akhirnya akan meningkatkan akuntabilitas dan memberikan insentif baik bagi masyarakat maupun penyedia layanan, atas kinerja mereka.
Karakteristik keberhasilan pengelolaan program berbasis masyarakat Menyesuaikan jenis program berbasis masyarakat dengan jenis layanan. Indonesia baru saja mulai melakukan eksplorasi mengenai fungsi layanan mana yang harus diserahkan kepada masyarakat. Bukti awal namun cukup signifikan menunjukkan bahwa sebagian besar tanggung jawab serta anggaran untuk pemeliharaan infrastruktur tersier dapat dan sebaiknya diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat. Standar untuk menyediakan layanan dasar harus melibatkan masyarakat secara langsung. Jika hasil yang diinginkan sudah ditentukan, masyarakat harus semakin meningkatkan akuntabilitas mereka untuk memastikan bahwa tujuan ini benar-benar akan dicapai.
Tidak semua penyediaan layanan dapat atau seharusnya diserahkan kepada masyarakat. Pengelolaan secara langsung oleh masyarakat akan berhasil baik untuk bidang-bidang yang menerapkan teknologi yang sangat sederhana dan investasinya tidak membutuhkan perencanaan jaringan dan analisis yang canggih dan rumit. Jalan tingkat kecamatan dan jalan desa, penyediaan air bersih, saluran irigasi, pembangunan sekolah, dan klinik merupakan contoh jenis proyek yang dapat dikelola di tingkat kelurahan. Sebaliknya, layanan yang menerapkan teknologi canggih atau yang melibatkan rantai pasokan yang panjang lebih memerlukan kemitraan yang lebih terstruktur antara penyedia layanan dan penerima layanan tersebut. Strategi yang akan digunakan akan sangat tergantung pada sifat dari layanan yang akan diberikan.
Transfer dana secara langsung ke rekening setempat. Beberapa contoh program berskala besar berbasis masyarakat yang telah berhasil menerapkan transfer dana dalam jumlah besar kepada kecamatan atau kelurahan. Tidak semua jenis dana perlu ditransfer, tetapi memang ada beberapa yang harus ditransfer langsung kepada pengguna layanan sehingga mereka bisa menentukan sendiri penyedia mana yang akan digunakan. Hal ini juga menimbulkan mekanisme yang sederhana, efektif, yang dapat memaksa penyedia layanan untuk mempertahankan akuntabilitas mereka.
Bekerja sama dengan lembaga lokal yang sudah ada. Program yang menggunakan (dan telah meningkatkan) lembaga administrasi dan lembaga sosial yang telah ada di tingkat kelurahan biasanya akan lebih baik dan lebih berkelanjutan daripada lembaga yang baru dibentuk khusus untuk proyek secara spesifik. Jika telah dibentuk
64
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
kelompok baru, mereka harus digandeng untuk memperkuat fungsi (seperti dalam hal penyediaan pendidikan atau sarana air bersih) dan diberikan peran yang memungkinkan mereka masuk dalam sistem administrasi kelurahan.
Lakukan pengambilan keputusan yang transparan dan berkeadilan. Mendorong terjadinya diskusi publik mengenai program yang akan dilaksanakan; memastikan bahwa semua pihak memiliki akses yang sama terhadap informasi; pembukuan yang terbuka dan dapat diakses setiap saat; dan mencegah para elit untuk menguasai pengambilan keputusan publik merupakan syarat untuk mencapai keberhasilan. Standar baru untuk block grant dan akuntabilitas di tingkat penyedia layanan akan mempermudah adanya transparansi (selain itu juga akan mengalami
Menggunakan fasilitator dari sektor swasta dan LSM untuk menjelaskan aturan, melakukan mediasi, dan
Bab 4
lebih sedikit distorsi), dibanding alokasi yang terlalu beragam.
menyebarkan informasi. Perbandingan dari program berbasis masyarakat yang berhasil maupun yang tidak berhasil secara konsisten memberikan indikasi peran yang dimainkan oleh fasilitator lokal, paling tidak pada tahuntahun pelaksanaan proyek. Fasilitasi merupakan hal penting untuk menghadapi kelompok penduduk yang paling miskin dan paling marjinal, yang biasanya berpartisipasi dalam kelembagaan dan program di kelurahan. Fasilitator yang mampu menjelaskan sistem yang baru ini akan sangat diperlukan pada awal rencana proyek. Dari sini, ketika rencana proyek sudah digulirkan kemitraan lokal, yang kelak akan mengambil alih tugas dan fungsi fasilitator, harus dipertahankan.
Meningkatkan pilihan untuk penyedia layanan. Salah satu manfaat program yang dikelola dengan basis masyarakat adalah bahwa program semacam itu akan memudahkan untuk melibatkan peran serta penyedia layanan sektor swasta. Pemerintah pusat dan daerah harus menentukan standar dan melakukan mediasi jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak, namun upaya untuk mendorong masyarakat agar mereka menemukan penyedia layanan swasta yang memenuhi persyaratan akan meningkatkan mutu dan tingkat kepuasan tanpa harus meningkatkan jumlah pengeluaran. Untuk daerah terpencil yang tidak dapat dijangkau oleh penyedia layanan swasta, pemerintah diharapkan meningkatkan layanan mereka.
Pemantauan terhadap kinerja. Program berbasis masyarakat meliputi blok grant bersyarat dan blok grant tidak bersyarat, yang merupakan penghargaan kepada masyarakat atas pencapaian sasaran yang ditentukan. Masyarakat perlu didorong agar selalu bisa mempertahankan akuntabilitas kinerja mereka. Pemantauan, pemeriksaan, dan kemauan pemerintah untuk menerapkan sanksi sangat penting untuk keberhasilan program semacam ini (Kotak 8).
Kotak 8. Mengurangi tindak korupsi dalam program berbasis masyarakat dengan melakukan publikasi hasil audit Hasil dari eksperimen dengan melibatkan 600 proyek pembangunan jalan di Jawa yang dipilih secara acak, menunjukkan bahwa peningkatan audit dan publikasi hasil audit dapat menurunkan angka korupsi (Olken 2005). Dengan membaca hasil pemeriksaan di depan rapat desa akan meningkatkan pengetahuan tentang tindak korupsi dan memberitahukan kebocoran yang terjadi pada sektor publik sehingga dapat ditindaklanjuti oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah audit harus ditingkatkan untuk standar Indonesia yang ada sekarang dari 2.5-7.5 menjadi 7.5–l0%.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
65
Untuk menerbitkan undang-undang yang sesuai, pemerintah Indonesia telah melihat peran yang bisa dimainkan oleh pengguna layanan dalam hal perencanaan dan pemantauan terhadap penyedia layanan. Untuk memberikan dukungan kepada mereka, pemerintah harus dapat menstabilkan landasan mereka dan melibatkan kelompokkelompok ini secara lebih luas lagi dalam hal pemantauan dan pengambilan keputusan tentang penyediaan layanan.
Kelompok pengguna layanan dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan layanan yang Bab 4
berorientasi pengguna layanan. Asosiasi pengguna layanan dapat meningkatkan kapasitas untuk mengambil tindakan secara kolektif untuk menuntut layanan yang lebih baik dan bertanggung jawab. Mereka juga dapat memainkan peranan penting dalam proses pemantauan dan mendorong terjadinya kerjasama antara penyedia layanan dan masyarakat untuk meningkatkan layanan yang diberikan.
Pemerintah perlu memberikan pengakuan secara hukum terhadap kelompok ini dalam berbagai sektor. Komite Sekolah (Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44/2002) dan pembentukan Badan Penyantun Puskesmas (Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004) secara formal memberikan pengakuan terhadap peran pengguna layanan dalam membantu penyedia layanan untuk meningkatkan mutu, kesetaraan, dan pengelolaan fasilitas dan layanan yang mereka berikan. Kedua keputusan menteri ini memberikan landasan hukum untuk mendorong partisipasi yang lebih besar dari pengguna layanan. Demokrasi di tingkat desa juga ditingkatkan dengan pembentukan badan perwakilan desa (BPD [Antlov 2003]), tetapi gejolak yang terjadi belakangan ini telah menyebabkan penurunan fungsi tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan efektivitas kelompok pengguna layanan ini. Komite sekolah mirip dengan persatuan orang tua siswa yang sudah ada sebelum lahirnya keputusan ini. Komite ini hanya berfokus pada pengumpulan sumbangan orang tua siswa, dan hanya memainkan peranan kecil pada manajemen berbasis sekolah. Di bidang kesehatan, sebelumnya tidak ada satu mekanisme pun yang melibatkan pengguna layanan secara sistematis; badan penyantun yang baru dibentuk ini masih harus mencari jalan yang efektif agar mereka bisa berfungsi dengan baik. Perubahan dalam kerangka kerja peraturan telah menghambat efektivitas kerja BPD. Lembaga ini diujicobakan pada masa awal pelaksanaan tinjauan sistem administrasi desa.
Stabilisasi landasan hukum dan administrasi di tingkat masyarakat. Kelembagaan masyarakat memerlukan stabilitas agar dapat diterima sebagai lembaga yang kredibel. Agar dapat memberikan arsitektur perundanganundangan yang kokoh bagi kegiatan berbasis masyarakat, Departemen Dalam Negeri sebaiknya meningkatkan ketentuan hukum yang mangatur keberadaan BPD, untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga kemasyarakatan dan memberikan tugas kepada lembaga ini untuk memberikan layanan masyarakat; agar secara aktif mempromosikan keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan; yang meliputi pengaturan yang melarang manajemen kontrak dengan masyarakat; dan meminta transparansi di tingkat masyarakat.
66
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Mendukung komite pengguna layanan untuk memantau penyediaan layanan masyarakat. Perjanjian penyediaan layanan harus meliputi standar layanan spesifik, yang dapat dimonitor oleh komite tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan tidak akan berhasil tanpa investasi yang cukup besar untuk menciptakan transparansi. Mekanisme dan media yang digunakan oleh penyedia layanan untuk memberikan informasi dapat menimbulkan perbedaan yang sangat besar dalam menentukan apakah masyarakat mampu memahami dan bertindak sesuai dengan informasi yang diberikan. Kota-kota di India (Paul, 1999) dan Philipina (Bank Dunia, 2001) secara berhasil memfungsikan “kartu laporan” warga dan survei sosial untuk mengukur kepuasan pengguna layanan, dengan cara mengaitkan tingkat kepuasan dengan peningkatan anggaran, promosi, dan penerimaan mereka
Mendukung komite pengguna layanan dalam mengambil peran aktif pada proses pengambilan keputusan.
Bab 4
terhadap penyedia layanan.
Penyedia layanan secara terus-menerus meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam hal perencanaan dan pengambilan keputusan yang melibatkan penyedia layanan yang bertugas pada garis depan. Keterlibatan masyarakat dalam mekanisme semacam ini untuk menentukan standar lokal dapat menciptakan sebuah mekanisme untuk melakukan pemantauan dan melaporkan apakah standar tersebut sudah dipenuhi atau belum. Beberapa contoh dari upaya semacam itu kini sedang dilakukan oleh Indonesia, walaupun sebagian besar masih dalam tahap pembelajaran. Komite sekolah anggotanya kini sudah mencakup tokoh masyarakat, orang tua serta guru dan kepala sekolah. Kelompok pengguna air bersih terus melibatkan perwakilan dari masyarakat miskin bersama-sama tim penyuluh dan insinyur di bidang irigasi.
Program pemberian kupon, atau program subsidi langsung bersyarat, cocok untuk mengatasi kesenjangan pendapatan yang menyebabkan kesulitan untuk memperoleh akses layanan masyarakat. Jika Indonesia memutuskan untuk mengadopsi program serupa, maka program itu harus dirancang untuk dapat mempromosikan pilihan dan meningkatkan kekuatan pengguna layanan. Program itu juga harus mempertimbangkan hambatan yang berkaitan dengan faktor pasokan pada wilayah-wilayah di mana penyediaan layanan masyarakatnya terbelakang.
Kupon dapat memberikan lebih banyak pilihan bagi pengguna layanan dan mempromosikan kompetisi antar penyedia layanan. Program pemberian kupon memungkinkan masyarakat atau pengguna layanan untuk secara berkala memilih penyedia layanan mana yang terbaik. Baik program kupon maupun program berbasis formula—yang dilaksanakan untuk menggalakkan kompetisi di antara penyedia layanan—berpendapat bahwa pengguna akan dihadapkan pada sejumlah penyedia layanan yang akan mereka pilih dan pihak penyedia akan mampu memantau pilihan masyarakat secara cermat untuk kemudian memberikan tanggapan sebagaimana mestinya. Hal semacam ini sangat jarang terjadi di daerah-daerah terpencil. Akan tetapi, di wilayah perkotaan dan daerah yang penduduknya padat, baik program pemberian kupon maupun strategi pendanaan berbasis formula berpotensi untuk meningkatkan kinerja penyedia layanan masyarakat.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
67
Merancang permintaan penyediaan layanan bagi masyarakat miskin dan kelompok marjinal Pemberian subsidi langsung bersyarat dapat digunakan untuk merangsang permintaan layanan bagi masyarakat miskin. Biasanya hasilnya akan lebih buruk dan wilayah cakupan akan menjadi lebih sempit untuk layanan yang bagi masyarakat miskin karena mereka tidak mampu membayar biaya langsung atau biaya tidak langsung untuk layanan tersebut. Uang sekolah dan pakaian seragam bisa sangat mahal, demikian juga waktu tempuh perjalanan ke puskesmas terdekat. Program yang membagikan bantuan secara langsung kepada masyarakat miskin terbukti efektif untuk meningkatkan tingkat penggunaan dan hasil program penyediaan layanan masyarakat. Salah Bab 4
satu contoh yang sangat terkenal dari program semacam ini adalah program yang pernah dilaksanakan di Meksiko dengan nama (Mexico’s Oportunidades) (sebelumnya diberi nama Progresa). Program ini memberikan bantuan tunai dalam jumlah yang cukup besar kepada petani miskin dengan syarat bahwa anak-anak mereka harus bersekolah dan tingkat kehadirannya harus baik di sekolah mereka; selain itu ibu-ibu yang baru melahirkan dan anak-anak mereka harus mengunjungi klinik secara teratur; dan para ibu juga harus mengikuti pelatihan tentang gizi keluarga yang menyediakan suplemen gizi untuk mereka. Evaluasi program ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak yang masuk ke jenjang sekolah pendidikan menengah pertama serta peningkatan status gizi keluarga dan penurunan angka morbiditas (Bank Dunia 2003b). Program subsidi langsung bersyarat yang serupa yang diterapkan di negara-negara Amerika Latin lain juga menunjukkan hasil yang menjanjikan (Rawlings dan Rubio 2005). Dalam program ini, keluarga penerima bantuan dapat menggunakan bantuan uang tunai yang diberikan untuk apa saja, tetapi bantuan hanya akan terus diberikan selama mereka memenuhi kebutuhan sekolah dan kesehatan keluarga mereka.
Pemberian subsidi tunai tanpa syarat juga merangsang peningkatan permintaan untuk layanan masyarakat. Sementara bukti-bukti internasional yang tersedia sebagian besar adalah tentang pemberian subsidi langsung bersyarat, pemberian subsidi tunai tanpa syarat juga telah banyak digunakan. Pemberian bantuan ini mampu meningkatkan permintaan bagi tunjangan pensiun untuk kelompok usia lanjut di Afrika Selatan (Case dan Deaton 1998), dan hal ini baru saja diterapkan di Indonesia. Pemberian subsidi tunai tanpa syarat kepada masyarakat miskin untuk melakukan tindakan tertentu secara implisit memberikan asumsi bahwa kebutuhan masyarakat miskin itu bervariasi dan bahwa merekalah yang paling tahu tentang peruntukan bantuan yang diberikan. Sejak pelaksanaan program subsidi langsung bersyarat, ternyata dapat menurunkan biaya untuk memperoleh layanan tersebut, dan diharapkan bahwa program ini akan mampu meningkatkan permintaan untuk layanan publik, tetapi program ini lebih mahal dibandingkan dengan subsidi tunai tanpa syarat.
Pendekatan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan layanan masyarakat dapat juga dipertimbangkan. Pendekatan mana yang paling sesuai masih merupakan isu empiris. Sebelum mengadopsi sebuah pendekatan yang akan digunakan, pembuat kebijakan harus meninjau pengalaman di berbagai negara yang menerapkan program pemberian subsidi tunai tanpa syarat dan melakukan beberapa skema uji coba alternatif.
68
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Program-program kupon dan BTS (Bantuan Tunai Bersyarat), adalah jenis program yang sesuai untuk menangani halhal ynag berhubungan dengan kesenjangan pendapatan di bidang akses pelayanan. Jika Indonesia memutuskan untuk menerapkan, program seperti ini, maka program tersebut harus dirancang agar bisa meningkatkan pilihan dan kekuatan pengguna layanan, juga harus bisa mempertimbangkan hambatan dari segi ketersediaan untuk jenisjenis layanan yang kondisinya tertinggal.
Sistem kupon bisa memberi lebih banyak pilihan bagi pengguna layanan akhir dan menggalakkan kompetisi antar penyedia layanan. Sistem ini juga memungkinkan masyarakat atau pengguna layanan untuk secara periodik
kupon, keduanya diterapkan untuk menggalakkan kompetisi diantara penyedia layanan – dengan anggapan bahwa pengguna memiliki lebih dari satu pilihan serta bisa dengan akurat memantau pilihan lokal yang tersedia, dan bisa
Bab 4
memutuskan pengguna layana mana yang memberikan layanan terbaik. Baik program berbasis formula maupun
memberi tanggapan yang sesuai. Kondisi-kondisi tersebut diatas sangat jarang ditemui di daerah-daerah terpencil. Tetapi, pada daerah perkotaan atau daerah padat penduduk, baik sistem berbasis formula maupun kupon bisa dibilang potensial untuk meningkatkan kinerja penyedia layanan.
Menentukan sasaran program untuk menjangkau masyarakat miskin Penentuan sasaran bisa efektif, namun hal itu bisa sangat sulit dicapai dan mahal. Indonesia telah menunjukkan bahwa negara ini mampu melaksanakan program dengan sasaran tertentu, tetapi sebenarnya sasaran dari program tersebut masih bisa, dan perlu ditingkatkan lagi. Untuk mengurangi dampak sosial akibat krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, Indonesia melaksanakan sejumlah program pemberian bantuan uang tunai dengan sasaran tertentu. Sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari program semacam ini adalah bahwa pencapaian target bisa dilaksanakan di Indonesia. Namun hasilnya menunjukkan masih begitu banyak ruang untuk melakukan perbaikan, karena pada sebagian program ternyata lebih menguntungkan mereka yang tergolong tidak miskin (Sumarto, Suryahadi, dan Widyanti 2000). Walaupun sasaran yang dipersempit dapat memaksimalkan hasil dari program yang diterapkan, tujuan program semacam itu perlu dievaluasi sehubungan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan, dan risiko hilangnya dukungan politis jika ternyata penerima bantuannya terlalu sedikit.
Prosedur penentuan sasaran harus dibuat sederhana dan transparan. Ada dua jenis pendekatan penentuan sasaran yang biasa digunakan untuk menentukan program bantuan kepada masyarakat miskin. Pendekatan yang pertama menggunakan sejumlah indikator, yang kemudian dilakukan agregasi higga menjadi satu indikator untuk mengurutkan dari penduduk yang paling miskin sampai dengan yang paling kaya. Pendekatan yang kedua menggunakan sekelompok perwakilan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang tergolong miskin. Kedua pendekatan ini bisa berhasil dengan baik, dan keduanya juga bisa gagal, ketika digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap masyarakat miskin. Keberhasilan pendekatan ini ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan pendekatan tersebut (Coady dkk. 2004). Jika digabungkan dengan penetapan sasaran geografis (mungkin dengan penggunaan peta kemiskinan yang sudah diperbaharui) masing-masing mungkin bisa menjadi cara yang praktis untuk melakukan identifikasi masyarakat miskin.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
69
Kecuali penyedia memiliki insentif langsung untuk menjangkau masyarakat miskin, kupon dengan sasaran tertentu tidak boleh dibagikan lewat penyedia layanan. Jika penyedia layanan diberikan kekuasaan untuk menentukan calon layanan, mereka akan berfokus pada klien mereka yang sudah ada. Kecuali jika mereka akan menerima insentif untuk mencari klien baru, program pemberian kupon yang dibagikan lewat penyedia layanan ini dengan sangat mudah berubah menjadi program pemberian block grant kepada penyedia layanan (Kotak 9). Kupon dapat dibagikan melalui jalur yang independen, dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat. Cara ini akan dapat kemungkinan pemberian kupon kepada pengguna layanan yang sudah ada.
Bab 4
Kotak 9. Melemahnya posisi pengguna layanan akibat pembagian kupon melalui penyedia layanan Kupon yang dibagikan melalui penyedia layanan akan membatasi kekuatan pengguna layanan karena hal itu tidak memberikan peluang kepada mereka untuk memilih penyedia yang mereka inginkan. Indonesia memiliki dua pengalaman mengenai hal ini: pemberian beasiswa melalui program JPS (Jaring Pengaman Sosial) dan program pemberian kupon layanan bidan. Selain memberikan gambaran mengenai masalah keterbatasan pengguna layanan, kedua contoh ini juga menunjukkan adanya insentif yang begitu kuat bagi penyedia layanan untuk mencari klien baru sehingga hal ini akan meningkatkan efektivitas kerja mereka. Program beasiswa JPS menyediakan bantuan beasiswa kepada siswa sekolah menengah pertama. Beasiswa ini dibagikan melalui sekolah. Sementara program ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah siswa yang masuk ke sekolah menengah pertama, kebanyakan beasiswa ini diberikan kepada siswa yang sudah terdaftar di sekolah tersebut daripada mereka yang putus sekolah. Pelaksanaan program JPS tidak selalu sesuai dengan fokus klien yang menjadi sasaran program. Ketika program ini diubah dengan memberikan bantuan tunai langsung (yang dibagikan melalui kantor pos), maka segera program berubah menjadi block grant. Lalu, uang beasiswa itu sering diambil “atas nama orang tua siswa” oleh kepala sekolah atau bendahara sekolah. Dengan memberikan peluang kepada penyedia untuk memiliki penerima bantuan semacam itu, dan tidak menyediakan imbalan kepada sekolah untuk mencari siswa baru (siswa yang putus sekolah) akan membatasi efektivitas program tersebut. Sebagai bagian dari Program Keselamatan Ibu, pemerintah membagikan kupon yang ditujukan bagi masyarakat miskin di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Kupon ini digunakan untuk memperoleh berbagai layanan dari bidan. Hasil dari program ini adalah terjadinya peningkatan penggunaan jasa bidan oleh masyarakat miskin dari hampir nol pengguna pada akhir tahun 1990-an menjadi 1.164 pengguna pada tahun 2000. Perempuan miskin di sana melaporkan bahwa mereka mulai menggunakan layanan yang diberikan bidan untuk pertama kali hanya setelah program kontrak berbasis kinerja Bidan dilaksanakan di desa mereka. Gaji bidan terdiri dari gaji pokok, ditambah tunjangan berdasarkan jumlah kupon yang mereka kumpulkan. Cara ini telah memberikan insentif langsung yang begitu kuat kepada bidan untuk mencari pasien miskin pemegang kupon. Sumber: Ridao-Cano dan Filmer (2004); Tan, Kusharto, dan Budiyati (2005).
Pengenaan biaya kepada pengguna layanan. Perlindungan terhadap pengguna layanan yang tergolong masyarakat miskin dengan membebaskan mereka dari biaya yang dikenakan dan mengharapkan penyedia layanan melakukan subsidi silang dapat berdampak sebaliknya. Jika sulit memantau pengumpulan pembayaran uang jasa ini maka bukan tidak mungkin akan terjadi tindak penggelapan. Sedangkan, jika pemantauan bisa dilakukan, pembebasan masyarakat miskin dari ketentuan membayar layanan mungkin dapat mengurangi insentif penyedia layanan untuk melayani mereka (Kotak 10). Kotak 10. Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan tarif lebih murah dari yang semestinya
70
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 10 Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan tarif lebih murah dari yang semestinya Kebijakan yang memiliki niat baik memerlukan penyedia layanan yang dapat membebaskan masyarakat miskin dari segala macam biaya. Hal ini bisa saja menjadi bumerang jika penyedia layanan tidak diberikan kompensasi untuk melayani masyarakat miskin. Jika penyedia layanan bagi masyarakat miskin tidak diberi insentif, mereka pasti akan cenderung memilih pengguna yang membayar secara penuh. Akses layanan air bersih yang diberikan oleh PDAM hanya terbatas pada sekitar 16% masyarakat miskin di perkotaan dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi. Salah satu alasannya adalah karena tidak adanya insentif finansial bagi perusahaan PDAM untuk menambah jaringan mereka bagi masyarakat miskin. Departemen Dalam Negeri mengeluarkan tarif sosial untuk mendorong agar tarif air terjangkau oleh masyarakat miskin, namun tarif ini terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan penyedia air ini menutupi pusat didasarkan pada jumlah pengguna layanan dari kelompok masyarakat miskin yang dapat mereka jangkau. Penelitian tentang keinginan membayar menunjukkan bahwa masyarakat miskin sudah membayar untuk air yang mereka gunakan, bahkan sering biaya yang mereka bayarkan
Bab 4
biaya produksi mereka, walau dengan subsidi silang sekali pun. Wilayah cakupan akan bisa diperluas jika dana yang diterima PDAM dari pemerintah
lebih tinggi daripada tarif per meter kubik yang ditentukan oleh PDAM . Update Project (2002) Contoh lain bahwa peraturan bisa menjadi bumerang adalah Pasal 8 PP No. 7/2004, yang memberikan hak untuk menggunakan air bagi petani tanpa izin dan ini merupakan prioritas dari segala kebutuhan. Peraturan ini membebaskan petani dari kewajiban membayar pemakaian air untuk kebutuhan irigasi. Mereka yang bukan petani, seperti sektor industri dan pengusaha irigasi komersial harus membayar. Akibatnya adalah hak penggunaan secara komersial atas air, seperti yang diatur dalam kontrak langsung antara pengguna dan pengelola penampungan air mendapatkan perlindungan yang lebih baik dari pada penggunaan air oleh petani. Bukti yang ada menunjukkan bahwa memasukkan organisasi petani selain mengurangi konflik, juga merupakan perlindungan kedalam pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak petani, dan manajemen yang lebih baik atas pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur. Sumber: Bank Dunia (2004a, 2004b)
Menjadikan hambatan pasokan sebagai bahan pertimbangan saat memacu peningkatan permintaan Peningkatan permintaan terhadap layanan dapat menjadi bumerang jika ternyata layanan untuk itu tidak tersedia secara memadai untuk memenuhi permintaan yang ada. Pemerintah memiliki dua pilihan untuk menjamin bahwa ketersediaan layanan meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan.
Di daerah-daerah yang mengalami hambatan ketersediaan layanan, sektor publik dapat berperan untuk menyediakan layanan tersebut, dengan menambah infrastruktur dan tenaga kerja atau dengan meningkatkan akuntabilitas layanan seperti yang diuraikan pada Bab 3 dan 4. Untuk mencegah tidak tersedianya layanan tidak bisa hanya dilakukan dengan menambah jumlah pegawai pada penyedia layanan. Akuntabilitas penyedia sektor publik dapat juga dipacu dengan membagikan kupon kepada pengguna dan memberikan kepada penyedia layanan uang yang terkumpul berdasarkan jumlah kupon yang berhasil mereka kumpulkan. Hal ini akan menciptakan kompetisi untuk melayani pengguna yang memiliki kupon, sehingga dengan demikian akan terjadi peningkatan penyediaan layanan yang berorientasi pada pengguna.
Untuk layanan yang sudah memiliki pasar yang mapan, penyedia layanan sektor swasta yang memenuhi syarat dapat memberikan layanan tersebut. Pasokan akan selalu mengikuti permintaan atas layanan, jika pengguna mampu membayar layanan tersebut. (Pilot project) pembagian kupon layanan bidan (lihat Kotak 9)
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
71
merupakan penggabungan dari kedua pendekatan di atas. Bidan ditempatkan di daerah-daerah yang kurang mendapatkan layanan dan mereka diberikan gaji pokok, namun pendapatan bulanan yang akan diterima sangat tergantung pada banyaknya pasien berkupon yang mereka layani, mirip dengan penyedia layanan oleh sektor
Bab 4
swasta.
72
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 5 Mengefektifkan Hubungan Antar Instansi Pemerintah Untuk Penyedia Layanan Publik
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat kebijakan daerah
Klien dan masyarakat
Penyediaan layanan umum/pribadi
Peningkatan akuntabilitas dari penyedia layanan dan peran serta masyarakat yang semakin besar memiliki potensi untuk meningkatkan penyediaan layanan masyarakat. Namun efektivitas dari kebijakan ini sangat tergantung pada efektivitas institusi pemerintah daerah dan pusat. Pemerintah pusat dan daerah harus meningkatkan arsitektur penyediaan layanan sesuai dengan prinsip desentralisasi. Untuk melakukan hal itu, mereka perlu melakukan klarifikasi mengenai tugas-tugas fungsional antara pemerintah pusat dan daerah, melakukan modernisasi manajemen sumber daya manusia, melakukan penyesuaian proses penentuan anggaran dan pemantauan sesuai dengan prinsip desentralisasi.
Bab 5
Hubungan antara kepemerintahan yang baik dan akuntabilitas dalam setiap tingkatan pemerintahan, penyedia layanan, dan pengguna layanan sangatlah penting dalam peningkatan penyediaan layanan. Jika tanggung jawab terhadap penyediaan layanan publik sudah beralih dari pemerintah pusat ke daerah, hubungan ini akan semakin penting. Fungsi, tugas, tanggung jawab, kekuasaan, dan sumber daya juga diharapkan untuk dibagi, tetapi hal ini sering menimbulkan kebingungan dan konflik. Desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang semakin besar memiliki potensi besar untuk meningkatkan penyediaan layanan—data dan pengalaman yang diuraikan di atas memberikan landasan untuk selalu optimis bahwa hal itu benar-benar bisa dilaksanakan. Akan tetapi, buktibukti itu juga menunjukkan bahwa kemajuan untuk menjangkau masyarakat paling miskin dan meningkatkan mutu layanan yang diberikan secara keseluruhan akan tergantung pada peran pemerintah pusat, bagaimana peran itu dikaitkan dengan peran pemerintah daerah dan masyarakat, dan bagaimana fungsi-fungsi itu berjalan efisien dan efektif.
Rekomendasi yang disampaikan di bawah ini merupakan pilar untuk meningkatkan arsitektur penyediaan layanan masyarakat di Indonesia. Beberapa dari rekomendasi itu dibahas secara lebih rinci lagi pada bab-bab sebelumnya.
Menjelaskan tugas-tugas fungsional antara pemerintah pusat dan daerah Di bawah Undang-undang Otonomi Daerah, kantor jajaran kementerian menyerahkan tanggung jawab serta pegawai mereka kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, tugas utama mereka adalah membuat kebijakan dan memantau hasil dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Akan tetapi, undang-undang tersebut tidak menentukan secara spesifik tugas dan tanggung jawab yang diserahkan sesuai dengan sesuai dengan prinsip desentralisasi. Beberapa pemerintah daerah menerjemahkannya penghapusan ini berarti bahwa mereka memikul seluruh tanggung jawab sesuai dengan sektor yang diserahkan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih yang luar biasa di mana kantor jajaran kementerian masih terus melaksanakan fungsi-fungsi mereka. Hal ini
74
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
sangat membingungkan, kurangnya koordinasi, dan timbul saling tidak percaya pada tiga lapisan pemerintahan.6 Pejabat dinas senior di daerah sering tidak memahami apa yang sedang terjadi di sektor mereka, siapa yang harus melakukan tugas, dan kapan harus mengambil tindakan. Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab untuk melakukan koordinasi, evaluasi, dan menangani proses akreditasi dan standarisasi, namun terus menyiapkan dan melaksanakan program, yang semestinya ditangani oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah pusat dan kabupaten memandang pemerintah provinsi lebih sebagai saingan mereka daripada sebagai pemain yang sah dan mitra yang potensial. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah, peraturan yang mengikutinya mengenai sektorsektor tertentu telah berusaha untuk melakukan klarifikasi terhadap peran dan fungsi, tetapi hal ini masih belum
Kotak 11. Fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih merusak penyediaan layanan di seluruh sektor
Bab 5
mampu memecahkan masalah mengenai fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih (Kotak 11).
Keputusan tentang guru—mulai dari pelatihan dan pengangkatan guru, penempatan, evaluasi pekerjaan, database kepegawaian, pembayaran gaji, dan penugasan kembali—dilakukan oleh tingkatan pemerintahan yang berbeda, yang sering menimbulkan kesimpangsiuran dan inefisiensi dalam manajemen guru. Beberapa fungsi, seperti pengangkatan dan pemecatan guru, dilakukan pada pemerintahan tingkat bawah, tetapi hal-hal lain seperti penentuan tingkat kompensasi masih dilakukan di tingkat pusat. Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) menunjukkan terjadinya manajemen yang tumpang tindih ini. Menurut guru, fakta yang ada yaitu bahwa persetujuan pemerintah pusat masih diperlukan untuk proses kenaikan pangkat, dan ini mengakibatkan lambatnya tindakan dari bagian kepegawaian, karena pelaksanaan desentralisasi ini telah menambah satu lapisan baru dalam tatanan birokrasi. Mereka mengatakan bahwa proses manajemen tidak transparan dan tidak lebih baik, walaupun semuanya berjalan di tingkat kabupaten. Di bidang kesehatan, tidak jelas siapa yang akan memberikan persetujuan atas pembukaan atau penutupan suatu fasilitas demikian juga dengan pemberian izinnya. Berdasarkan Keputusan Menteri tahun 1986, Menteri Kesehatan masih memegang tugas ini, namun bagaimana perubahan yang akan terjadi akibat pelaksanaan desentralisasi dan peran apa yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten belum juga ditegaskan.
Penentuan secara jelas mengenai alokasi fungsional antara berbagai instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, petugas penyedia layanan di garis depan, dan masyarakat, sehingga mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Penentuan secara jelas mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab atas suatu fungsi akan dapat mencegah munculnya kesenjangan dan tumpang tindih yang tidak perlu. Alokasi fungsional yang disarankan harus memberi penekanan pada peran pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan, pihak yang menangani hal-hal secara lintas wilayah; memberikan pengakuan kepada pemerintah provinsi atas fungsi-fungsi tertentu, terutama yang berskala ekonomi; menjelaskan tanggung jawab dan kekuasaan pemerintah kabupaten; menentukan peran yang dimiliki oleh petugas penyedia layanan di garis depan dan peran masyarakat (Tabel 4). 6
. Argumen yang biasa digunakan jika kementerian ingin berperan di daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup handal dalam bidang perencanaan dan manajemen. Pemerintah pusat telah berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mengeluarkan aturan bahwa pemerintah daerah harus melakukan penggabungan dan perampingan kelembagaan mereka (PP08/2003). Akan tetapi, ternyata peraturan ini ternyata tidak berhasil mengatasi masalah, karena tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk merumahkan pegawai yang mubazir (melalui program pensiun dini). Banyak pemerintah daerah yang lebih memilih untuk tidak merampingkan pegawai mereka. Mereka melihat bahwa tindakan tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya analisa fungsional yang lebih luas sebelum proses rasionalisasi dan perampingan. Ada peraturan baru yang tengah disusun yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah pegawai dalam jabatan struktural dan memindahkan mereka ke jabatan fungsional, tetapi hal ini tetap tidak bisa memecahkan masalah yang berkenaan dengan alokasi yang tidak jelas dan tumpang tindih secara fungsional.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
75
Tabel 4. Saran-saran tentang alokasi fungsional untuk penyediaan layanan masyarakat Penyedia layanan Pemerintah pusat
Fungsi/peran Merumuskan kebijakan
Tindakan •
Menyelesaikan penyerahan fungsi secara rinci untuk tiga lapisan pemerintahan.
•
Menyusun kriteria untuk desentralisasi yang asimetris, karena tidak semua pemerintah daerah siap untuk menerima tugas dan kekuasaan yang baru.
•
Mengembangkan kerangka peraturan untuk
Bab 5
menggunakan penyedia layanan dari sektor swasta dan oleh LSM. •
Menentukan sistem di mana pemerintah daerah dapat bekerja sama untuk memperoleh manfaat atas program berskala ekonomi tinggi.
Mengorganisir dan
•
Melakukan pelatihan ulang terhadap pegawai yang
menentukan pegawai
berada di bawah departemen tentang peran dan
kementerian di tingkat
fungsi mereka dalam desentralisasi.
pusat sesuai fungsi-
•
Melakukan audit terhadap sistem manajemen dan keterampilan tata pemerintahan sesuai dengan fungsi-
fungsi di tingkat pusat.
fungsi manajemen yang diberikan. Menentukan standar
•
Menyusun standar pokok untuk setiap sektor.
layanan.
•
Menyebarkan informasi tentang standar tersebut melalui program penyuluhan bagi pegawai negeri dan institusi penyedia layanan masyarakat.
•
Mengembangkan sistem untuk melakukan pemantauan pencapaian standar pokok (misalnya, nilai ujian nasional, sistem pemantauan kesehatan nasional).
•
Meningkatkan manajemen dan sistem tata pemerintahan untuk mengurangi tindak korupsi.
Memilih program kunci yang dibiayai di tingkat pusat menggunakan dana dekonsentrasi Mengurangi kesenjangan antarwilayah
76
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
•
Menyusun mekanisme nasional untuk meningkatkan kesetaraan antar wilayah.
Mengumpulkan dan menyebarkan informasi tentang berbagai inovasi dan praktikpraktik yang berhasil di seluruh wilayah Mengembangkan
•
Memastikan agar pejabat di tingkat kabupaten dan
pedoman pelaksanaan
provinsi bertanggung jawab dan akuntabel atas tugas
dan peraturan yang jelas
yang diberikan.
dan rinci. Menyusun sasaran
•
layanan wilayah.
Memperoleh dukungan dari pemerintah kabupaten
Bab 5
Pemerintah provinsi
dan provinsi untuk mencapai sasaran program. •
Mengembangkan sistem “scorecard” untuk menentukan peringkat kabupaten dalam melaksanakan tugasnya.
Menentukan standar
•
Menyebarkan informasi tentang standar melalui
layanan sesuai dengan
program pelatihan bagi pejabat pemerintah dan
standar pokok nasional.
lembaga penyedia layanan masyarakat. •
Memantau pencapaian standar layanan di seluruh wilayah provinsi.
Mengembangkan
•
Melakukan inventaris terhadap manajemen keuangan,
kapasitas implementasi
personalia, dan sistem pengadaan barang dan jasa di
di tingkat kabupaten.
seluruh kabupaten; menanggulangi kesenjangan dan memperkuat sistem yang masih lemah. •
Mengembangkan program pelatihan tentang manajemen keuangan, manajemen personalia, dan prosedur pengadaan barang dan jasa.
•
Meminta seluruh kabupaten untuk menyerahkan anggaran belanja lengkap untuk kemudian dibandingkan dengan sasaran yang hendak dicapai.
Mendanai dan mengelola layanan yang berskala ekonomi tinggi (mis. program pelatihan untuk kabupaten), tetapi jangan bersaing dengan pemerintah kabupaten.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
77
Pemerintah kabupaten
Menyusun rencana dan
•
Membuat inventaris keterampilan di setiap kabupaten
anggaran lokal, dengan
dan melakukan pelatihan untuk menanggulangi
sasaran kinerja spesifik.
kesenjangan ini. •
Memantau kinerja sesuai sasaran lokal.
•
Memberikan laporanstruktur institusi vertikal, atau atasan (bupati/walikota) dan secara horisontal kepada DPRD
Bab 5
Mengelola layanan
•
untuk memenuhi sasaran, menerapkan
kabupaten. •
standar layanan tingkat nasional dan regional.
Memantau dan menilai standar layanan di tingkat
Membuat laporan kinerja sesuai dengan standar yang dicapai.
•
Mengelola sistem keuangan berdasarkan desentralisasi, personalia, pengadaan barang dan jasa, dan sistem informasi.
•
Memberitahukan penyedia dan pengguna layanan tentang layanan yang disediakan dan sasaran yang harus dicapai.
•
Memastikan agar daerah-daerah terpencil dan kelompok marjinal terjangkau oleh layanan.
Penyedia layanan garis
Memberikan layanan
depan (sektor publik
sesuai dengan
berfokus pada keluaran dan penyediaan layanan,
atau swasta)
perjanjian penyediaan
dan memberikan otonomi kepada penyedia untuk
layanan yang telah
mencapai sasaran yang diharapkan.
•
Meningkatkan perjanjian penyediaan layanan yang
disepakati Bagi penyedia
•
Menentukan (block grant) dan sumber daya manusia
layanan sektor publik:
bagi penyedia layanan berdasarkan kebutuhan dan
Memantau dan
sasaran program. Mengurangi pendanaan yang tidak
melaporkan hasil
perlu.
layanan di daerah
•
mereka.
Membuat pegawai negeri sipil yang bekerja untuk penyedia layanan menjadi lebih akuntabel terhadap mereka.
•
Menggabungkan penilaian pengguna layanan dalam evaluasi kinerja penyedia layanan.
Masyarakat
Memelihara dan membangun infrastruktur desa.
78
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
•
Menjamin adanya proses yang demokratis di dalam masyarakat (lihat Bab 3).
Mengelola program
•
Memindahkan program dengan dana proyek dan
dengan sasaran warga
program berbasis masyarakat ke dalam program
miskin di masyarakat
dengan anggaran tetap.
Menyediakan (feedback)
•
Memperkuat dan menciptakan mekanisme untuk
untuk layanan yang
memungkinkan (feedback) dari pengguna, seperti
diberikan oleh penyedia
halnya dalam komite sekolah.
layanan dan hasil yang
Pemberian insentif atas agregasi unit-unit administrasi yang berfungsi secara efisien. Beberapa fungsi dapat ditangani dengan lebih efisien oleh lembaga-lembaga yang lebih kecil atau lebih besar. Manajemen yang
Bab 5
dicapai
berfungsi efisien atas sebuah waduk air yang besar, misalnya, sepertinya akan memerlukan kerja sama dari beberapa pemerintah kabupaten atau bahkan provinsi. Penyebaran penyakit menular dapat melewati yurisdiksi satu kabupaten tertentu dan memerlukan pendekatan yang terkoordinasi untuk menanganinya. Sekolah untuk anak-anak cacat berada di bawah tanggung jawab provinsi berdasarkan UU Pendidikan 20/2003, dan bukan di bawah pemerintah kabupaten. Akan tetapi, akan lebih masuk akal untuk memberikan tanggung jawab ini kepada kabupaten karena mereka akan lebih mudah untuk melakukan integrasi sekolah tersebut ke dalam sistem persekolahan di tingkat kabupaten. Pada saat yang sama, dengan membiarkan pemerintah-pemerintah kabupaten untuk melakukan kerjasama dengan kabupaten lain akan dapat menyelesaikan potensi masalah karena sekolah luar biasa seperti itu terlalu kecil atau kurang efisien. Dengan menambah jumlah kabupaten (kini telah mencapai lebih dari 430) sejak pelaksanaan desentralisasi, ukuran maksimal untuk setiap unit administrasi semakin menjadi isu yang penting. Pihak yang menentang pelaksanaan desentralisasi mengatakan bahwa kabupaten-kabupaten yang berukuran kecil di beberapa tempat telah mengurangi kapasitas dan skala ekonomi kabupaten yang bersangkutan. Akan tetapi, ukuran maksimal untuk sebuah unit pemerintahan selanjutnya dapat ditangani dengan menyediakan insentif bagi unit pemerintahan yang lebih kecil (seperti kabupaten atau penyedia layanan masyarakat) untuk melakukan menggabungkan diri mereka seperti yang diuraikan di bawah ini dan pada Bab 3.
Menentukan peran pemerintah pusat. PP No. 25/2000 menyatakan bahwa pemerintah pusat bertindak sebagai pelaku utama dalam perumusan kebijakan perundang-undangan nasional serta dalam menentukan standar layanan masyarakat. Pemerintah pusat harus memberikan kesempatan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah untuk menangani pelaksanaan hal-hal tersebut, kecuali untuk hal-hal yang menyangkut fungsi yang pelaksanaannya tidak didesentralisir. Hal ini harus berfokus pada peran-peran sbb: •
Menentukan standar pokok tentang penyediaan layanan masyarakat, memantau dan menilai kemajuan dengan membandingkannya dengan standar yang telah ditentukan (namun tetap memberikan ruang bagi standar lokal), dan mengembangkan kerangka peraturan untuk penyediaan layanan yang sesuai dengan standar yang sudah ditentukan baik yang disediakan oleh penyedia dari sektor publik maupun sektor swasta. Standar ini perlu ditinjau dan diperbarui secara berkala. Kerangka kerjanya harus dijadikan dasar baik untuk layanan masyarakat maupun penentuan sistem yang jelas untuk menyampaikan pengaduan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
79
•
Mendanai dan melakukan organisasi atas layanan yang paling efektif jika dikoordinasikan secara nasional mengingat skala ekonomi kegiatan tersebut yang begitu besar atau karena berkaitan dengan pengembangan kebangsaan. Hal ini harus dilakukan dengan cermat sehingga tidak mengesampingkan berbagai inisiatif dari pemerintah daerah. Contohnya adalah penyusunan kurikulum inti untuk pendidikan dasar dan sistem pemantauan nasional di bidang kesehatan.
•
Membantu daerah-daerah paling miskin dalam bentuk pendanaan, penyediaan, dan dukungan terhadap layanan kebutuhan dasar, sesuai dengan sistem desentralisasi dengan tujuan untuk mempersempit disparitas antar daerah. Desentralisasi telah melemahkan kemampuan pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan
Bab 5
antara orang kaya dan miskin di daerah perkotaan dan pedesaan. Saat ini, nilai bantuan antar-pemerintah ke tingkat kabupaten sedikitnya berjumlah dua kali lipat nilai pendapatan mereka sendiri; jika digunakan dengan baik, pendanaan ini akan menjadi mekanisme yang sangat ampuh untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.
•
Memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk menangani prioritas nasional melalui Dana Alokasi Khusus, dengan menyesuaikannya dengan prioritas pemerintah kabupaten.
•
Melakukan koordinasi, atau menyediakan insentif untuk melakukan koordinasi, antar-kabupaten atas penyediaan layanan yang lebih efisien dalam skala yang lebih besar daripada layanan di tingkat kabupaten (misalnya, rumah sakit).
•
Menciptakan mekanisme keuangan untuk tugas-tugas dan fungsi yang dialokasikan untuk masyarakat.
•
Meninjau dan menyebarluaskan pelajaran yang diperoleh dari berbagai daerah yang berbeda.
Melakukan Modernisasi Pengelolaan Kepegawaian Sistem administrasi yang kaku dan ketinggalan zaman dan layanan masyarakat yang tidak efisien telah menjadi beban bagi penyediaan layanan masyarakat. Seperti halnya layanan masyarakat di berbagai negara, layanan yang ada di Indonesia juga berorientasi pada bertindak sesuai perintah daripada pencapaian hasil secara efektif. Akuntabilitas manajemen dilihat sebagai ketaatan pada proses yang telah ditentukan. Promosi jabatan juga tergantung pada tingkat senioritas, dan tidak ada ruang yang jelas untuk memasuki status layanan masyarakat. Sistem ini memberikan imbalan kepada pegawai yang memiliki kemampuan umum (mereka yang menduduki posisi struktural) daripada tenaga spesialis (mereka menduduki jabatan fungsionalmenjadi bidang profesional). Cara seperti ini sudah barang tentu menghambat upaya menjadikan pelayanan masyarakat. Pembayaran dan pengangkatan pegawai tidak terkait dengan prestasi dan kinerja dalam tugas, dan penilaian yang berfokus pada pencapaian hasil sama sekali tidak ada. (Kotak 12).
80
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Box 12. Terlalu banyak birokrat, terlalu sedikit tenaga profesional Sebelum pelaksanaan desentralisasi, sekitar seperlima dari pegawai negeri sipil Indonesia yang berjumlah sekitar 3,6 orang ditugaskan di tingkat daerah. Jumlah ini secara dramatis berubah sejak tahun 2001, di mana lebih dari dua pertiga pegawai negeri sipil menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Tenaga guru merupakan lebih dari setengah yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Kelebihan dan ketidaksesuaian antara jumlah pekerjaan dan pegawai merupakan masalah yang belum terpecahkan sejak penerapan desentralisasi. Dari seluruh unit organisasi, pegawai yang ditugaskan di pemerintah provinsi masih sama, walaupun fungsi mereka telah dipindahkan ke tingkat kabupaten. Seringkali unit-unit semacam itu membuat tugas-tugas rutin hanya sebagai “pembenaran” atas keberadaan mereka, padahal tugas serupa sudah dilakukan di tingkat kabupaten.
memberikan layanan kepada masyarakat, seperti guru dan dokter. Jabatan struktural adalah mereka yang terdaftar dalam struktur organisasi pemerintahan. Sistem kepangkatan diberlakukan terhadap pegawai negeri baik yang menduduki jabatan fungsional maupun struktural.
Bab 5
Layanan masyarakat dibagi menjadi jabatan fungsional dan jabatan struktural. Jabatan fungsional meliputi pegawai yang bertugas untuk
Pegawai yang menempati jabatan struktural memperoleh gaji yang lebih besar dan menerima tunjangan yang lebih besar, sehingga jabatan seperti itu lebih diminati daripada jabatan fungsional. Ada kelebihan jabatan dan personalia dalam jabatan struktural dan terlalu sedikit pegawai yang menduduki jabatan fungsional—dengan kata lain terlalu banyak birokrat dan terlalu sedikit tenaga profesional dalam pelayanan masyarakat. Sistem yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman dan sudah saatnya untuk mengadopsi sistem manajemen personalia modern. UU PNS No. 43/1999 menyatakan bahwa setiap pegawai negeri sipil harus diangkat untuk menduduki posisi tertentu dengan pangkat tertentu, namun data terbaru dari biro kepegawaian menunjukkan bahwa sebagian besar PNS diangkat dengan tidak mempertimbangkan jabatan tertentu. Sumber: Data dari Biro Kepegawaian Nasional (BKN).
Meninjau fungsi-fungsi pemerintahan dan uraian tugas, menciptakan sistem manajemen SDM berbasis kinerja, dan mengadopsi praktik-praktik berbasis sistem merit di tingkat lokal. Tujuan untuk melakukan tinjauan terhadap fungsi pemerintah daerah dibahas dalam Bab 3. Akan tetapi, pemerintah kabupaten, terikat oleh peraturan yang ditentukan pemerintah pusat, dan terdapat sejumlah kesimpangsiuran mengenai otoritas penempatan manajemen kepegawaian. Langkah-langkah strategis berikutnya bagi pemerintah pusat adalah sbb: •
Menyusun kerangka kerja dan kerangka kelembagaan yang jelas untuk manajemen kepegawaian. Terlalu banyak departemen yang kini terlibat dalam manajemen kepegawaian, yang semakin membingungkan. Tumpang tindih atas fungsi dari sejumlah kelembagaan yang mengatur kebijakan pegawai negeri sipil, seperti Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Sekretariat Kabinet, dan Kantor Sekretaris Negara, perlu dihapuskan.
•
Meniadakan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi dan ketentuan tentang pegawai negeri sipil (Kotak 13). Untuk mencegah terjadinya kelebihan pegawai atau kekurangan pegawai di sejumlah daerah, kebijakan untuk melakukan mutasi pegawai dan pensiun perlu disesuaikan, dan ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) tentang sejumlah pegawai negeri sipil yang diangkat perlu dipertimbangkan ulang. Ketergantungan ini telah merupakan insentif yang buruk bagi pemerintah kabupaten untuk meningkatkan jumlah pegawai negeri sipil, karena tidak ada konsekuensi anggaran untuk itu.
• Menerapkan sistem kepegawaian yang tidak terlalu kaku, menghapus sistem untuk jabatan struktural dan jabatan fungsional dan jabatan atau kepangkatan yang kaku, dan melakukan reformasi terhadap sistem penggajian.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
81
Box 13. Desentralisasi pendidikan tidak berjalan efektif Dengan pemberlakuan desentralisasi, manajemen kepegawaian untuk guru SD (Sekolah Dasar) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk sekolah negeri dan swasta (kecuali madrasah) dialihkan ke pemerintah kabupaten. Namun demikian, terdapat sejumlah anomali dan kesulitan yang menghambat kebebasan pemerintah kabupaten untuk mengelola dan mereformasi tenaga pengajar. Kantor Kementerian Pendidikan Nasional masih mengangkat dan memperkerjakan guru kontrak; guru-guru di madrasah yang memiliki status sebagai PNS masih berada di bawah Departemen Agama, dan bukan di bawah pemerintah kabupaten; prosedur pengalihan status guru berdasarkan UU No. 22/99 telah menghambat guru untuk pindah ke kabupaten lain, hal ini menurunkan semangat mereka; dan guru-guru masih membayar uang suap untuk mendapatkan pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemilihan untuk mengikuti pelatihan. Begitu banyaknya masalah dalam manajemen pendidikan dan guru, terutama yang berkaitan dengan kurangnya mobilitas sejak pemberlakuan desentralisasi, telah meningkatkan tekanan dari para guru di tingkat sekolah dan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) agar dilakukan re-
Bab 5
sentralisasi manajemen guru. Dalam wawancara yang dilakukan untuk keperluan laporan ini, sejumlah pejabat di tingkat kabupaten menyatakan bahwa re-sentralisasi harus segera dilakukan untuk pengangkatan guru. Sumber: Bank Dunia (2005a).
Pemisahan pendanaan dan pelaksanaan fungsi dalam layanan masyarakat. Layanan masyarakat merupakan gabungan orang-orang yang membuat kebijakan dan mereka yang melakukan pemantauan terhadap penyediaan layanan dan hasil yang dicapai (yaitu sejumlah orang bekerja dalam jajaran kelembagaan di bawah sejumlah departemen) dan sejumlah orang yang melaksanakan kebijakan tersebut (yaitu orang-orang yang bekerja sebagai penyedia layanan di garis depan). Struktur ini sesuai dengan strategi komando dan kontrol untuk pengembangan jaringan layanan. Namun hal ini tidak cocok untuk meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan kepada lembaga pemberi dana atau tidak sesuai untuk mengembangkan jangkauan layanan yang meliputi penyedia dari sektor swasta, LSM, dan masyarakat. PNS yang bekerja sebagai penyedia layanan harus memenuhi sejumlah standar seperti halnya yang ditentukan untuk penyedia layanan dari sektor swasta; mereka harus memenuhi aspek-aspek akuntabilitas atas layanan yang mereka berikan dan hasil yang mereka capai. Keputusan kenaikan pangkat bagi PNS yang bekerja sebagai penyedia layanan harus menjadi semakin berorientasi pada layanan yang mereka berikan. Di bawah sistem yang berlaku sekarang, seorang guru yang absen dari tugasnya, misalnya, dapat diberikan peringatan resmi oleh pemerintah setempat.
Menyesuaikan Proses Anggaran Dan Pemantauan Dengan Pelaksanaan Desentralisasi. Jalur yang digunakan untuk menyalurkan sumber-sumber daya ke tingkat kabupaten dan kepada penyedia layanan masih sangat banyak dan terlalu fragmental. Hal ini telah mengakibatkan tidak mungkin bagi masyarakat penerima layanan untuk mengetahui seberapa besar pembiayaan yang semestinya mereka terima dan apakah pendanaan itu telah dicairkan atau belum. Keadaan semacam ini telah menyebabkan keadaan yang tidak efisien dan berbagai
82
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
peluang untuk melakukan tindak korupsi dan kemungkinan kebocoran.7 Untuk meningkatkan akuntabilitas di bidang pelayanan, diperlukan informasi yang akurat dan tepat waktu yang harus disampaikan oleh pemerintah kepada penyedia layanan, dan antara masyarakat pengguna layanan dan pemerintah.
Memberikan kejelasan layanan mana saja yang akan didanai dan dikelola oleh pemerintah pusat. Anggaran operasional bagi fungsi-fungsi yang mengalami desentralisasi perlu dipindahkan ke tingkat yang sudah ditentukan. Peningkatan desentralisasi dari dekonsentrasi anggaran merupakan bukti bahwa lembaga-lembaga pusat masih
Memberikan informasi jauh sebelumnya kepada pemerintah kabupaten mengenai pengeluaran pemerintah pusat dan provinsi untuk fungsi-fungsi yang sudah mengalami desentralisasi. Departemen
Bab 5
mendominasi pengeluaran untuk tingkat lokal.
Dinas provinsi memiliki fungsi yang sangat strategis untuk berbagi dan melakukan koordinasi rencana belanja pemerintah kabupaten.
Meningkatkan transparansi mengenai aliran dana kepada penyedia layanan masyarakat. Melakukan penelusuran pengeluaran yang dilakukan oleh penyedia layanan masyarakat dan mengumumkan hasilnya dapat mengurangi kebocoran di dalam sistem, tetapi akan diperlukan transparansi penentuan mekanisme anggaran yang lebih besar untuk dapat melakukan hal ini. Pada saat ini, sangat sulit untuk melakukan penelusuran pengeluaran penyedia layanan masyarakat. NGO yang melakukan pengawasan terhadap pengeluaran anggaran memegang peranan penting untuk menyebarkan akses informasi yang rumit dan sulit ini kepada publik (Kotak 14). Pengiriman dana melalui transfer bank ke rekening atas nama penyedia layanan masyarakat akan meningkatkan transparansi dan dengan demikian akan meningkatkan kemampuan bagi pengamat independen untuk melakukan pemantauan apakah sumber daya yang diberikan sudah sampai kepada penyedia layanan masyarakat yang berada di garis depan.
7
Dalam sektor pendidikan dan sektor kesehatan, misalnya, pejabat di tingkat kabupaten tidak mengetahui seberapa besar pendanaan yang seharusnya mereka terima, apakah dana itu sudah cair atau belum, atau kapan mereka akan menerima dana tersebut. Beberapa pejabat di sektor pendidikan mengungkapkan kekesalan mereka mengenai hal ini. Tanpa adanya informasi dan transparansi, akan sangat sulit bagi mereka untuk membuat rencana atau mengembangkan program pendidikan yang efektif. Sekolah harus berhadapan dengan berbagai sumber pembiayaan yang sangat membingungkan. Mereka menerima gaji, uang tunai, dan tunjangan lain dari tiga tingkatan pemerintah. Untuk itu mereka harus menyiapkan penyusunan anggaran yang berbeda. Ketiadaan sistem dan protokol yang jelas menghambat perbaikan prosedur dan perintah atau kepastian aliran dana melalui sistem manajemen yang sederhana.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
83
Kotak 14. Peningkatan transparansi anggaran di Kota Bandung Bandung Institute for Governance Studies (BIGS) adalah sebuah LSM yang didirikan untuk meningkatkan transparansi anggaran di kota Bandung, Jawa Barat. LSM ini menerbitkan dan membagikan anggaran pemerintah kota yang diuraikan secara rinci, dengan tujuan untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah agar mereka menyampaikan rencana secara rinci dan mengurangi kebocoran anggaran yang terjadi. Sebelum BIGS mulai menerbitkan anggaran pemerintah secara rinci, pemberian informasi dimonopoli oleh instansi pemerintah yang hanya menerbitkan laporan penggunaan anggaran dalam bentuk rangkuman singkat. Informasi yang diterbitkan oleh BIGS digunakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota, dan partai politik untuk menggunakan hak bertanya mereka mengenai anggaran yang digunakan pemerintah. Sebuah sistem pendidikan berbasis LSM menggunakan informasi anggaran yang diterbitkan BIGS untuk melakukan advokasi untuk sektor yang tertentu. Masyarakat umum dan wartawan sering menghubungi BIGS untuk melakukan wawancara tentang alokasi anggaran pemerintah Kota. BIGS telah berhasil mengurangi penggunaan alokasi anggaran yang tidak jelas, seperti anggaran lain-lain dan perjalanan dinas untuk tahun 2005.
Bab 5
Informasi yang dikeluarkan BIGS telah membongkar tindak korupsi yang dilakukan anggota DPRD untuk pos anggaran dana lain-lain tahun 2002, yang besarnya adalah 45% dari seluruh anggaran. Para donor juga memegang peranan penting dalam mendanai lembaga-lembaga seperti BIGS (BIGS mendapat dukungan dari Ford Foundation). Untuk memperoleh dana operasional dari pemerintah sangatlah sulit seperti yang dialami BIGS ketika LSM ini menolak memberikan ”komisi” untuk kontrak ombudsman yang ia menangkan. Sumber: Kuznezov (2005b).
Mengembangkan database nasional untuk memantau penyediaan layanan masyarakat. Indonesia memiliki sistem pengumpulan data nasional yang sangat baik mengenai masyarakat dan rumah tangga, namun pelaksanaan desentralisasi telah melemahkan kapasitas untuk melakukan pemantauan karena kemampuan nasional sangat tergantung pada ketaatan pemerintah daerah. Pemerintah perlu melakukan investasi untuk mengembangkan kembali kapasitas ini di tingkat nasional, mungkin melalui Biro Pusat Statistik berkoordinasi dengan jajaran kementerian terkait.
84
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bab 6 Menuju Strategi Operasional Untuk Peningkatan Layanan Publik
Untuk melakukan operasionalisasi agenda antar-sektor untuk meningkatkan penyediaan layanan yang diusulkan dalam laporan ini, kantor kementerian dan pemerintah daerah perlu menerjemahkan rekomendasi dalam laporan ini untuk menyusun rencana aksi dan strategi yang nyata. Sebagai langkah awal untuk diperdebatkan, dalam bab ini diberikan sejumlah saran mengenai tindakan-tindakan apa saja yang bisa dilakukan. Banyak tindakan inovasi akan dimulai sebagai pilot proyek; dalam banyak hal, upaya telah dimulai di tingkat lokal. Kita perlu memastikan bahwa inovasi yang sudah berhasil dilakukan harus terus dipertahankan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Perlu melakukan diversifikasi terhadap portofolio tentang inisiatif reformasi mereka, menyediakan hibah untuk setiap inovasi dan pilot project yang mendorong Bab 6
terjadinya reformasi, menciptakan insentif pribadi yang sesuai dengan tujuan kelembagaan, menentukan para pemenang dan mereka yang kalah, serta memberikan perlindungan sosial terhadap pihak yang kalah, melakukan investasi yang akan berdampak pada penyebarluasan pendidikan dan informasi, melibatkan masyarakat sipil, melakukan investasi yang berpihak pada masyarakat miskin, dan memberikan jaminan adanya rasa memiliki di tingkat lokal. Laporan ini memberikan penekanan pada pentingnya hubungan akuntabilitas dengan pemerintah, pengguna layanan, penyedia layanan masyarakat. Ada dua jalur yang berasal dari pembuat kebijakan nasional ke penyedia layanan masyarakat, yaitu jalur langsung atau jalur melalui pemerintah pusat (Diagram 6.1).
Pemerintah dapat meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan masyarakat dengan melakukan perjanjian penyediaan layanan. Perjanjian semacam itu akan meningkatkan transparansi dalam hal layanan yang semestinya diberikan oleh penyedia dan dalam hal sumber daya yang seharusnya mereka terima. Perjanjian penyediaan layanan dapat juga bermanfaat untuk melakukan identifikasi atas tumpang tindih yang terjadi di pemerintah. Perjanjian semacam ini memerlukan kapasitas untuk menentukan dan melakukan pemantauan oleh pemerintah dan pengguna layanan; pemerintah harus mengorganisir sumber daya mereka agar dapat mendukung terjadinya transisi ini.
Salah satu fungsi penting dari pemerintah adalah membuat agar sektor swasta yang sudah berjalan dengan baik bersedia menyediakan layanan masyarakat. Pemerintah dapat melakukan hal ini dengan meningkatkan informasi tentang mutu layanan yang diberikan, membantu dan mendorong pengguna untuk berani meminta layanan yang mereka butuhkan. Efisiensi dapat juga ditingkatkan dengan mengontrakkan beberapa aspek layanan, terutama untuk sektor swasta yang pasarnya sudah berkembang baik di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh sektor publik.
Kekuatan klien (pengguna layanan) dapat ditingkatkan dengan memberikan tugas-tugas tertentu seperti pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur lokal yang langsung dikerjakan oleh masyarakat. Ada banyak kisah sukses mengenai pelaksanaan proyek berbasis masyarakat; untuk itu sudah saatnya untuk menganggarkan proyek semacam itu dan memandangnya sebagai strategi untuk meningkatkan penyediaan layanan publik.
86
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kelompok-kelompok masyarakat merupakan kendaraan lain untuk meningkatkan kekuatan pengguna layanan. Kemajuan Indonesia di bidang ini sudah sangat dikenal dan perlu dilanjutkan. Pengalihan sumber daya langsung kepada pengguna merupakan cara yang sangat ampuh untuk mengurangi kesenjangan terhadap akses layanan. Program sebelumnya yang dilakukan di Indonesia tidak begitu berhasil karena jajaran kementerian di tingkat pusat tetap memegang kendali terhadap seleksi dan pembagian kupon, sehingga mengurangi kekuatan di pihak penggguna. Pengalaman baru-baru ini mengenai pembagian subsidi tunai tanpa syarat menunjukkan alternatif lain untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat secara langsung. Cara-cara seperti ini perlu digali
Demokrasi telah memperkuat hubungan antara masyarakat pengguna layanan dengan pembuat kebijakan di tingkat lokal. Demokrasi juga telah meningkatkan akuntabilitas pembuat kebijakan. Sebagai akibat dari sistem
Bab 6
lebih banyak lagi.
pilkada langsung, kini rakyat bisa tidak memilih politisi yang tidak mampu melakukan reformasi untuk rakyat.
Sebagian besar rekomendasi yang diuraikan dalam laporan ini masih harus dibuktikan manfaatnya di lapangan. Oleh karena itu, Indonesia direkomendasikan agar Indonesia mengadopsi strategi yang mendorong terjadinya berbagai inovasi untuk memberikan insentif kepada mereka yang menunjukkan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas mereka. (Pilot proyek) harus diujicobakan dan diberikan waktu yang cukup untuk mengembangkannya agar hasilnya benar-benar dapat dilihat dan dirasakan. Selanjutnya, segala tindak lanjut harus didasarkan pada hasil evaluasi dampak program tersebut. Pemerintah pusat memiliki peran penting dalam memberikan pedoman dan arahan mengenai inovasi yang dilakukan, bagaimana memprakarsai inovasi, dan saling berbagi informasi tentang hasil inovasi yang telah dilakukan. Dalam laporan ini dibahas prinsip-prinsip yang digunakan dalam pendekatan tersebut dan memuat daftar tentang tolak ukur tindakan nyata yang dapat digunakan untuk menerapkannya.
Bagaimana cara mempertahankan inovasi yang berhasil—dan menyingkirkan yang tidak berhasil? Indonesia memiliki banyak pengalaman lokal dan internasional, (pilot proyek), dan berbagai gagasan inovatif, untuk memperbaiki penyediaan layanan misalnya desentralisasi, demokrasi, sistem pembelajaran aktif di bidang pendidikan, dan manajemen pendidikan berbasis sekolah, telah semakin meluas. Masih banyak lagi yang belum diadopsi secara luas atau tetap dilaksanakan walaupun telah terbukti efektif. Contoh untuk Indonesia meliputi pemberian kontrak terhadap bidan desa, guru kontrak, dan pemberian otonomi terhadap rumah sakit.
Bagaimana praktik-praktik dan prinsip yang bagus dapat diterapkan dalam rangka pelayanan masyarakat yang lebih baik? Bagaimana hal ini dapat diadopsi secara luas dan disesuaikan di seluruh negeri dan tetap dipertahankan? Bab ini memberikan beberapa gagasan tentang bagaimana pendapat para pembuat kebijakan mengenai tantangan yang semakin meningkat tantangan. Laporan ini juga memberikan prinsip pokok dan praktik yang telah berhasil untuk mengembangkan berbagai inovasi, adopsi, peningkatan layanan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
87
Pesan utama yang ingin disampaikan adalah bahwa untuk mempertahankan peningkatan layanan yang telah berjalan dengan baik, Indonesia memerlukan strategi untuk mengatasi proses yang sangat rumit. Proses ini melibatkan pemberian insentif, politik ekonomi, rasa memiliki, perlindungan sosial, informasi, dan dukungan keuangan.
Memberikan fokus bagi reformasi yang “bernilai tinggi”. Kita perlu memberikan fokus untuk mendukung terjadinya reformasi yang“bernilai tinggi”. Beberapa reformasi semacam ini telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Mereka yang mengadopsi ide inovatif untuk pertama kali selalu mempertimbangkan (feedback) ekonomi dan sosial Bab 6
yang bernilai tinggi untuk memperbaiki cara-cara mereka. Politisi tidak akan mau mengambil risiko untuk melakukan reformasi yang hanya menghasilkan sesuatu yang lebih kecil dari sumber daya yang digunakan. Di dalam dunia politik, tindakan inovasi juga harus mampu memberikan manfaat politik bagi yang melakukan.
Memberikan hibah bagi pelaksanaan reformasi yang inovatif dan (pilot proyek). Risiko politik dan ekonomi yang dihadapi oleh para pihak yang baru pertama kali melakukan reformasi yang sangat sulit namun bernilai tinggi harus selalu diperhitungkan dengan cermat. Pelaku reformasi yang bergerak pada tahap-tahap awal, biasanya rentan terhadap risiko dan kekalahan, dan pelaku yang melakukan reformasi pada tahap-tahap akhir akan cenderung memperoleh manfaat dari pendahulunya dan dari penelitian selanjutnya. Tambahan informasi dan pengurangan risiko yang dinikmati oleh pelaku reformasi yang muncul belakangan mencerminkan hal-hal eksternal positif yang dihasilkan oleh pendahulunya. Untuk mencapai tingkat adopsi yang lebih optimal di seluruh wilayah, pemerintah pusat dapat memberikan subsidi kepada pelaku reformasi pada tahap awal dan atas kerja keras mereka. Untuk (pilot project) yang bermanfaat, kita perlu memberikan waktu yang cukup untuk melihat hasilnya dan secara hati-hati melakukan evaluasi terhadap dampaknya sebelum mengakhiri atau mengubahnya.
88
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Kotak 15. Tiga kisah tentang inisiatif reformasi Dari sembilan studi kasus yang berhasil dilakukan pada tahun 2005 tentang inovasi pelayanan masyarakat di Indonesia, tiga di antaranya mengalami kesulitan karena kurangnya dukungan kelembagaan di tingkat lokal (salah satunya adalah apa yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar seperti yang telah dibahas pada Bab 2). Sebuah proyek reformasi yang dilakukan oleh Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, yang digagas oleh Bupati setempat, tiba-tiba mengalami kesulitan karena kurangnya dukungan dari pegawai negeri sipil, dan bahkan dari masyarakat sipil sendiri. Reformasi ini menyangkut pemberian sanksi yang sangat tegas kepada PNS dengan mengenakan denda atas perilaku buruk dan memotong tunjangan mereka. Sementara Bupati sendiri adalah seorang reformis sejati, dan telah “membuka pintu” mengenai kebijakan di kantornya, ia tidak berhasil dalam melaksanakan reformasi ini karena hal-hal yang berada di luar kendalinya. Kantor-kantor yang beliau kunjungi secara teratur menunjukkan peningkatan disiplin, namun kantor yang letaknya lebih jauh masih belum jelas apakah PNS di sana telah meningkatkan perilaku mereka secara signifikan atau tidak. Kelompok masyarakat sipil yang masih muda dan tidak terorganisir dengan baik, bersama PNS sangat enggan menawar yang sulit secara kelembagaan agar tujuan inisiatif dapat didalami lagi. Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, inisiatif untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan juga mengalami
Bab 6
untuk melaksanakan reformasi itu karena mereka tidak memperoleh manfaat darinya. Sehingga, reformasi itu masih mengalami posisi tawar-
hambatan karena lemahnya fasilitas di tingkat desa kurangnya komunikasi antar-desa serta kurangnya alokasi anggaran yang dicanangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sementara hal ini melibatkan koalisi kelompok masyarakat dalam bentuk Forum Warga dan pemerintah kabupaten telah mengeluarkan peraturan daerah mengenai transparansi, tidak satu pun dari faktor-faktor itu berhasil diterjemahkan menjadi perencanaan partisipatif. Pedoman pelaksanaan untuk peraturan daerah yang baru itu belum juga diterbitkan, yang menimbulkan situasi di mana tidak ada pihak yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa perencanaan secara lokal dilaksanakan dengan benar. Forum Warga yang begitu antusias tidak memiliki keterampilan dan kemampuan atau pendanaan untuk mempromosikan pelaksanaan perencanaan partisipatif, dan pemerintah kabupaten yang telah mengalokasikan anggaran untuk program ini menundanya sebanyak dua kali. Tanpa penentuan akuntabilitas yang jelas, fasilitasi lokal yang lebih baik, dan jaminan pendanaan anggaran, sepertinya inisiatif ini akan menghadapi berbagai macam kesulitan di masa yang akan datang. Sumber: Leisher dan Nachuk (2005)
Menyediakan dan menyesuaikan insentif untuk kelanjutan program. Program yang baik dan berhasil sering tidak bisa diteruskan karena insentif yang tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Proyek Kesehatan IV yang memperkenalkan jaminan mutu dan inovasi berdasarkan penerapan standar untuk melakukan diagnosis dan pengobatan atas sejumlah penyakit tertentu yang ditangani di puskesmas pada tahun 1990-an (lihat Kotak 16). Program itu berhasil dalam arti peningkatan mutu layanan memang tercapai, terbukti dengan layanan yang sesuai standar dan kepuasan pasien yang semakin besar. Namun penerapan model jaminan mutu secara lebih luas lagi tidak mengalami perubahan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah ketidaksesuaian antara insentif ekonomi dan insentif moral atas jaminan mutu layanan yang direkomendasikan. Puskesmas dan pegawai hanya menerima tanda penghargaan atas keberhasilan mereka. Walaupun mereka bekerja lebih keras dan cerdas untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat dengan mentaati standar yang ada, gaji dan anggaran yang mereka terima sama dengan yang lain. Alasan yang kedua adalah terjadi pergeseran prioritas isu di tingkat pusat, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi dan politik yang terjadi tahun 1990-an.
Melakukan diversifikasi terhadap portfolio inisiatif reformasi dan mereka yang berhasil.
Risiko dapat
dikurangi dengan melakukan diversifikasi portfolio. Kegagalan satu inovasi berskala besar dapat menyebabkan bencana politik dan mengakhiri karir politik seorang pemikir yang berhasil. Desentralisasi dapat mengurangi risiko dengan melakukan diversifikasi portfolio negara untuk melakukan inovasi dan portfolio yang disusun oleh seorang pemikir ulung. Oleh karena, pendekatan dengan prinsip “biarkan seribu bunga mengembang” merupakan strategi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
89
yang snagat beralasan untuk menangani risiko politik dan ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan reformasi dan inovasi.
Melakukan investasi mengenai dampak penyebarluasan hasil evaluasi dan pengetahuan.
Dampak
sosial dan ekonomi dari suatu proyek atau program di Indonesia telah dievaluasi secara sistematis dan gencar. Investasi pemerintah pusat dalam melakukan analisis, evaluasi, sintesis, dan penyebarluasan informasi mengenai kegiatan (pilot proyek), eksperimen, dan pengalaman lokal di seluruh provinsi dan kabupaten dapat membantu untuk menyebarkan penerapan inovasi yang berhasil dilaksanakan. Tanpa bantuan keuangan dan bantuan teknis Bab 6
pemerintah pusat, penyebarluasan hasil-hasil suatu program akan mengalami hambatan karena stakeholder lokal tidak bertanggung jawab atas penyebarluasan manfaat program, penelitian, pengembangan, dan eksperimen yang berlangsung di wilayah di luar yurisdiksi mereka. Program Revolusi Hijau merupakan contoh manfaat evaluasi yang mampu memfasilitasi penyebaran praktik-praktik baru di bidang pertanian di Indonesia dan di tempat lain.
Kotak 16. Memperkenalkan Standar Kualitas Kesehatan Meningkatkan kualitas layanan perawatan kesehatan dasar, tidak harus mahal; seperti yang digambarkan oleh pelaksanaan program jaminan kualitas yang diperkenalkan di Indonesia sekitar pertengahan tahun 90-an. Program tersebut memperkenalkan tata cara perawatan penyakit yang umum ditemui. Pengenalannya dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit memperluas cakupan jenis penyakit dan klinik kesehatan yang berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 2000, enam tahun setelah (pilot project), terdapat 1588 klinik kesehatan yang berpartisipasi dalam program ini. Bahkan program ini juga mendapat penghargaan sebagai “praktik terbaik” (Best Practices) dari dunia Internasional. Penghargaan diberikan karena program ini berhasil memenuhi 80 persen dari semua isi tata cara -di mana tingkat pencapaian pada masa pelaksanaan pra-program hanya 20-30 persen. Lebih jauh lagi tingkat kepuasan dokter dan pasien pun meningkat. Para Dokter mendapat kebanggaan profesi, seiring dengan peningkatan kesadaran mereka terhadap layanan yang mereka berikan. Sayangnya program tersebut tidak berlanjut akibat timbulnya krisis ekonomi, pergantian kepemimpinan, dan penerapan desentralisasi, dimana sejumlah daerah menghindari pelaksanaan program dari pemerintah pusat, sebagai wujud dari otonomi yang baru mereka terima. Sumber : Bernhart (1998a,b)
Memastikan rasa memiliki yang lebih luas. Rasa memiliki merupakan faktor kunci dalam pelaksanaan praktikpraktik yang berhasil. Ketergantungan yang terlalu besar kepada sekelompok orang akan menyebabkan inovasi menjadi rentan untuk dibatalkan jika para reformis kehilangan kekuasaan atau jika terjadi perubahan jabatan dan posisi (lihat Kotak 16). Di Indonesia banyak ide bagus yang digagas pemerintah pusat ditolak karena hal itu tidak akan menunjang keberhasilan pemerintah daerah, atau sebaliknya. Misalnya, walaupun program kontrak untuk bidan desa tampaknya sangat efektif, hal itu tidak bisa dipertahankan, karena hal itu hanya dilihat sebagai program dari pusat yang akan dapat mengurangi sumber daya yang langsung di bawah kontrol puskesmas. Perlu diingat bahwa pemerintah daerah akan mendapatkan pujian atas pengenalan inovasi dan reformasi yang akan dilaksanakan.
Melakukan analisis terhadap pihak yang menang dan yang kalah. Analisis politik ekonomi mengenai reformasi sangat penting untuk dilakukan. Analisis semacam itu akan dapat memprediksi bahwa birokrasi kesehatan dan pendidikan akan menolak memberikan layanan kepada masyarakat miskin melalui sistem kupon atau melalui pemberian beasiswa secara langsung kepada keluarga atau penerima. Mereka akan menolak upaya-upaya
90
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
semacam itu, karena cara itu akan mengurangi kontrol terhadap sumber daya dari birokrat di sektor kesehatan atau pendidikan. Untuk mengurangi ancaman seperti ini, birokrasi di sektor pendidikan menempatkan dana beasiswa ini langsung di bawah kendali mereka dan bukan memberikannya kepada orang tua, sehingga menyebabkan program ini tidak berjalan efektif.
Memberikan perlindungan sosial kepada pihak yang kalah. Jika pihak yang kalah melakukan blokir terhadap pengenalan reformasi tertentu, strategi yang biasa dilakukan adalah dengan memberikan bantahan atas kekhawatiran dan kemungkinan kekalahan (baik secara ekonomis, politik, maupun psikologis) dari mereka yang terkena dampak
membantu memperlancar pelaksanaan reformasi. Memberikan bantuan finansial kepada mereka terkena dampak atas reformasi yang dilakukan. Bantuan lain juga diperlukan agar mereka mampu melakukan penyesuaian terhadap
Bab 6
atas reformasi ini. Upaya menjangkau mereka dan memberikan penjelasan tentang perlunya perubahan dapat
perubahan yang terjadi. Strategi ini sangat relevan bagi PNS sebagai akibat dari kebijakan kenaikan harga minyak.
Melakukan investasi dalam masyarakat dan membangun koalisi yang berpihak pada masyarakat miskin. Pembuat kebijakan dapat mengambil manfaat atas kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia, yang telah berhasil melakukan refomasi gerakan anti korupsi di Indonesia. Masyarakat sipil di Indonesia dapat mengambil peran yang penting untuk mengembangkan “akuntabilitas sosial.” Hal ini dapat berperan dalam mendorong lahirnya para pemikir ulung mendorong kebangkitan masyarakat miskin dan mengelola organisasi masyarakat miskin sebagai kekuatan kontrol yang sangat efektif. Hal ini sangat penting untuk menghadapi para elit yang menentang kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin.
Saran pelaksanaan kebijakan dan pilot project Daftar yang memuat saran pelaksanaan kebijakan dan pilot project untuk keberhasilan pelayanan kepada masyarakat terdiri dari usulan yang sangat nyata yang mencerminkan pandangan para stakeholder yang disampaikan pada sebuah Konferensi di Jakarta tahun 2005 tentang “Making Services Work for the Poor in Indonesia” (Tabel 5). Daftar ini dapat dijadikan titik awal untuk melakukan pembahasan.
Pemerintah pusat dapat memberikan dukungan mereka dengan mengalokasai dana untuk melaksanakan inovasi layanan masyarakat. Dana yang dikelola oleh Menkokesra atau Bappenas dapat berupa dana hibah kepada pemerintah kabupaten untuk melaksanakan inovasi. Jajaran lembaga kementerian dapat memberikan daftar kegiatan yang mungkin untuk didanai (secara bersama), dengan memberikan insentif kepada kabupaten untuk mengembangkan kegiatan ini sesuai dengan strategi nasional dan prinsip pelaksanaan desentralisasi. Partisipasi yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dapat bersifat sukarela. Akan lebih baik jika fasilitas yang disediakan itu juga memiliki peluang untuk melakukan berbagai inisiatif di tingkat kabupaten. Departemen di pusat dapat bekerja sama dengan pemerintah kabupaten untuk melaksanakan inisiatif ini dan memastikan bahwa inovasi itu dievaluasi, serta pelajaran dan pengalaman yang diperoleh darinya harus disampaikan kepada para stakeholder.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
91
Tabel 6.1 Saran tindakan kebijakan untuk mengefektifkan layanan publik di Indonesia Rekomendasi
Lembaga
Melakukan rasionalisasi
1. Bekerja dengan enam perwakilan
terhadap alokasi fungsi
di tingkat daerah dan lembaga
Kesehatan yang memimpin masing-
dan struktur.
masyarakat/para ahli untuk
masing sektor. Menteri Dalam Negeri
menentukan tanggung jawab
dan Menteri Keuangan ikut berperan.
fungsional dan operasional untuk
Menkokesra atau Bappenas menangani
setiap tingkatan pemerintahan
koordinasi
Menjalin hubungan Bab 6
Tindakan
2. Melakukan konsultasi dengan
antar-pemerintah untuk
pemerintah daerah dan stakeholder
pelayanan masyarakat
lain untuk memperoleh pandangan
Menteri Pendidikan dan Menteri
Menteri Keuangan, MenPan, sektor dalam departemen
mereka meninjau draft yang sudah dibuat, untuk melakukan revisi, dan menyebarkannya draft akhir. Melakukan dokumentasi proses dan membuatnya sebagai model untuk sektor lain. 3. Menentukan besarnya pengeluaran
Menteri Keuangan, sektor dalam
untuk kegiatan pemerintah pusat yang departemen ada sekarang yang dilakukan di daerah dan oleh badan-badan pusat yang berada di daerah. 4. Seiring dengan perjalanan waktu, gunakan informasi pembiayaan untuk
Menteri Keuangan, sektor dalam departemen
menentukan alokasi anggaran yang lebih rendah dan lebih sesuai untuk departemen, mengalihkan sumber anggaran pusat ke Dana Alokasi Khusus (DAK). 5. Menyediakan informasi tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk tingkat provinsi dan kabupaten pada saat mereka menyusun anggaran tahunan mereka. Juga menyebarluaskannya kepada publik, dengan menjelaskan tingkat dan tujuan dekonsentrasi pengeluaran yang dialokasikan untuk sejumlah program di provinsi dan kabupaten.
92
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menteri Keuangan, sektor dalam departemen
Rekomendasi
Tindakan
Lembaga
Melakukan modernisasi 6. Melakukan analisis diagnosis terhadap
Menteri Pendidikan dan Menteri
administrasi sektor
berbagai isu yang berhubungan
Kesehatan yang memimpin masing-
publik
dengan angkatan kerja; bersama
masing sektor. MenPan dan Menteri
MenPan, perwakilan organisasi
Keuangan ikut berperan.
profesional (IDI untuk sektor kesehatan dan PGRI untuk sektor pendidikan); dan tiga tingkatan pemerintahan. Bab 6
7. Gunakan hasil analisis diagnostik untuk membuat rekomendasi untuk melakukan perbaikan jangka pendek (melalui pendekatan yang dapat dilakukan oleh kabupaten untuk menarik minat dokter agar mau bekerja di daerah terpencil dan daerah yang kurang diminati, misalnya, sistem insentif atas kinerja yang bagus serta pelaksanaan reformasi secara sistemik. 8. Membentuk pokja independen di bawah presiden, yang didukung oleh kelompok tenaga ahli untuk memberikan nasihat atas isu-isu yang bisa berdampak luas serta berbagai opsi dan melakukan sekuensi reformasi layanan masyarakat. 9. Menghasilkan rencana aksi yang strategis yang bertujuan untuk melakukan reformasi, dengan menggunakan masukan dan analisis diagnostik sektoral dan bentuk konsultasi lain. 10. Pilot project reformasi yang disulkan kepada pemerintah kabupaten yang melakukannya secara suka rela.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
93
Rekomendasi Menyesuaikan
Tindakan 11. Melakukan kompilasi data mengenai
pemantauan
mutu layanan yang diberikan;
dengan pelaksanaan
menerbitkan informasi tersebut (jika
desentralisasi.
mungkin, untuk tiap provinsi dan
Lembaga BPS memimpin, sektor di berbagai departemen/dinas ikut berperan
kabupaten; dan melakukan identifikasi atas kesenjangan informasi. Buat rancangan dan lakukan survei untuk Bab 6
mengumpulkan informasi untuk mengisi kesenjangan tersebut. 12. Lakukan tinjauan terhadap standar minimum pemberian layanan
Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan
berdasarkan dengan temuan. Pembentukan dana
13. Lakukan inovasi sesuai dengan dana
untuk pelaksanaan
yang tersedia dan dorong untuk
berbagai inovasi.
melakukan inovasi layanan masyarakat
Menkokesra dan sektor-sektor dalam departemen
di tingkat kabupaten sesuai dengan saran berikut. 14. Tingkatkan kapasitas untuk melakukan
Menkokesra dan sektor-sektor dalam
pemantauan dampak dari inovasi yang departemen dilakukan dan sebarluaskan hasilhasilnya. Meningkatkan
15. Lakukan pilot project penandatanganan Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan,
akuntabilitas penyedia
perjanjian penyediaan layanan pada
layanan terhadap
kabupaten yang hendak mencoba
pemerintah.
secara sukarela.
Menteri Pertanian
Menteri Keuangan memimpin, sektorsektor dalam departemen dan dinas juga berperan.
94
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Rekomendasi
Tindakan 16. Ciptakan sistem untuk memudahkan akses terhadap informasi yang dapat
Lembaga Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Pekerjaan Umum.
menelusuri pengeluaran sampai dengan tingkat penyedia layanan atas program bantuan kompensasi subsidi BBM. Buat kontrak dengan lembaga masyarakat untuk melakukan Bab 6
pemantauan terhadap implementasi program bantuan kompensasi subsidi BBM. Sebarkan hasil-hasil pemantauan (INT) 17. Lakukan (pilot project) pada sejumlah kabupaten yang ditentukan, tentukan
Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian.
anggaran untuk penyedia layanan – berdasarkan tingkat pemakaian layanan oleh masyarakat (pendanaan berbasis formula, pembayaran kapitasi berdasarkan pilihan penyedia layanan oleh pengguna, dan sebagainya). Kembangkan strategi nasional berdasarkan pengalaman yang diperoleh. (CP) 18. Dorong pemerintah di daerah terpencil Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, untuk melakukan kontrak dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten
LSM dalam menyediakan layanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar bagi masyarakat. Kembangkan strategi national berdasarkan pengalaman yang diperoleh.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
95
Rekomendasi
Tindakan 19. Lakukan tinjauan terhadap standar dan peraturan yang ada dan berlaku
Lembaga Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan
saat ini yang mungkin menghambat daerah terpencil untuk menyediakan layanan kepada masyarakat miskin (misalnya, peraturan yang mengharuskan setiap sekolah harus Bab 6
memiliki enam guru dan ketentuan yang mengatakan bahwa paramedis tidak dapat memberikan layanan kesehatan sesuai peraturan asuransi kesehatan nasional). Menggunakan
20. Pertegas ketentuan UU No. 22/1999
kekuatan masyarakat
tentang tugas dan tanggung jawab
pengguna untuk
Bank Pembangunan Daerah (BPD) (CP)
Menteri Dalam Negeri
meningkatkan layanan masyarakat yang berbeda 21. Alokasikan dana yang memadai
Pemerintah kabupaten/kota, Menteri
pada desa/kelurahan atas tugas yang
Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri
dibebankan kepada mereka, dengan
Pekerjaan Umum
diawasi oleh lembaga perwakilan dan proses yang benar. 22. Lakukan (pilot project) untuk pemberian bantuan tunai langsung bersyarat melalui pendekatan berbasis individu dan masyarakat.
96
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan
Epilog Selama pembahasan dengan Pemerintah, tampak jelas bahwa ada banyak permasalahan kebijakan yang belum bisa dijawab tuntas dalam laporan ini. Kami mengakui hal tersebut. Laporan ini bertujuan untuk memberikan tinjauan terhadap permasalahan yang paling penting yang menghambat kemajuan dalam upaya penyediaan layanan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, akan diperlukan penelitian lebih dalam untuk melaksanakan rekomendasi ini sesuai dengan permasalahan kebijakan yang ada sekarang.
Secara khusus, Pemerintah masih perlu melakukan upaya lebih lanjut untuk: 1. Melakukan penilaian terhadap dampak dari program bantuan operasional sekolah (BOS) yang ada sekarang. Apakah program yang saat ini dikelola oleh pusat berhasil menurunkan pengeluaran pada pemerintah daerah di bidang pendidikan? Apakah hal ini mampu menurunkan besarnya uang sekolah bagi anak-anak miskin sesuai peruntukan program ini? Apakah program ini telah menghasilkan peningkatan jumlah anak yang diterima? 2. Memahami bagaimana menbentuk kemitraan yang efektif antara sektor publik dengan sektor swasta dalam pemberian layanan masyarakat. 3. Memutuskan alokasi secara optimal atas sumber daya publik. Bagaimana meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang? Bagaimana mengalokasikan pengeluaran di bidang kesehatan untuk kebutuhan pembiayaan untuk program-program pencegahan, promosi dan kuratif? 4. Memahami insentif yang efektif bagi guru untuk meningkatkan kinerja mereka. Apakah ketentuan yang ditentukan dalam peraturan reformasi keguruan yang baru diterbitkan (sertifikat dan kenaikan gaji) sudah berjalan efektif? 5. Mengumpulkan bukti mengenai efisiensi terhadap pengadaan barang dari pusat diabandingkan dengan pengadaan yang dilakukan di tingkat daerah, seperti pengadaan obat-obatan. 6. Memahami seberapa efektif penyediaan layanan masyarakat untuk daerah terpencil. 7. Merancang sistem informasi yang sesuai untuk mendukung desentralisasi pelayanan masyarakat dan mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti implementasi program. 8. Memahami alasan-alasan yang menyebabkan peningkatan kasus gizi buruk.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
97
Daftar Pustaka Antlov, H. 2003. “Village Government and Rural Development in Indonesia: The New Democratic Framework.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 39-2: 193–214. Aran, M., M. Mochtar 2006a. “Benefit Incidence of Health Expenditures in Decentralized Indonesia” Working Paper, World Bank. Jakarta. Aran, M., M. Mochtar 2006b. “Benefit Incidence of Education Expenditures in Decentralized Indonesia” Working Paper, World Bank. Jakarta. Arifianto, A., R. Marianti, S. Budiyati, and E.S.M. Tan. 2005. “Making Services Work for the Poor in Indonesia:A Report on Health Financing Mechanisms in Kabupaten Tabanan, Bali: A Case Study”, SMERU field report, Jakarta. www. smeru.or.id Badan Pusat Statistik and ORC Macro. 2003. Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro. Barber, S.L., P.J. Gertler, P. Harimurti 2005. “Promoting high quality care in Indonesia: Roles for public and private ambulatory care providers”, working paper, Institute of Business and Economic Research, University of California, Berkeley. Bernhart, M. 1998a. “Briefing Paper Quality Assurance in HP IV”, Report, World Bank office Indonesia, Jakarta Bernhart, M. 1998 b. “Quality Assurance.”, Report, World Bank office Indonesia, Jakarta Bjork, C. 2005. Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. New York: Routledge. Case, A., and A. Deaton. 1998. “Large Cash Transfers to the Elderly in South Africa.” Economic Journal 108(450): 1330– 61. Chomitz, K. M., G. Setiadi, A. Azwar, N. Ismail,Widiyarti 1998. “What do Doctors Want? Developing Incentives for Doctors to Serve in Indonesia’s Rural and Remote Areas.” Policy Research Working Paper 1888, World Bank, Washington DC. Coady, D., M. Grosh, and J. Hoddinott . 2004. “Targeting Outcomes Redux.” World Bank Economic Review. 19(1):6185. Duflo, E. 2001. “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment.” American Economic Review 91-4(4): 795–813. Filmer, D, S. Lieberman, and D. Ariasingam. 2002. “Indonesia and Education for All.” Development Research Group and Human Development Unit of East Asia Region, World Bank Washington, D.C. Processed. Frankenberg, E., W. Suriastini, and D. Thomas.2004. “Can Expanding Access to Basic Health Care Improve Children’s Health Status? Lessons from Indonesia’s Midwife in the Village Program.” eScholarship Repository, University of California, ,.Los Angeles. http://repositories.cdlib.org/ccpr/olwp/ccpr-018-04/ Gaduh, A. and L. Kuznezov 2006 “Health Insurance Reform in Jembrana District, Bali Province” Background case study for Making Services Work for the Poor Report, World Bank, Jakarta Gertler, P.L., and J.W. Molyneaux. 1994. “How Economic Development and Family Planning Programs Combined to Reduce Indonesian Fertility.” Demography 31-(1): 33–63. Gertler,P.J. and and S.L. Barber.2002. “Child Health and the Quality of Medical Care.”Working Paper. Haas School of Busi-
98
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
ness, University of California, Berkely. http://faculty.haas.berkeley.edu/gertler/working_papers/02.28.02_ childheight.pdf Hanushek, E. A. (2003). “The Evidence on Class Size.” in The economics of schooling and school quality. Elgar Reference Collection. International Library of Critical Writings in Economics, vol. 159. Cheltenham, U.K. and Northampton, Mass. INDOPOV (Indonesia Poverty) team. [2006] “Poverty Assessment.” World Bank Office Jakarta. Kuzenezov, L., and J. I. Ginting. 2005. “The Community Block Grant Program in Blitar City, East Java Province.” INDOPOV World Bank Office Jakarta. Background case study for Making Services Work for the Poor Study, World Bank, Jakarta. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295 Kuzenezov, L , J.I. Ginting, G. Kelik and A. Endarso 2005b. “Improving Budget Transparency in Bandung City, West Java Province.” Background case study for Making Services Work for the Poor Study, Jakarta. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295 Lanjouw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. HaneenSayed, and R. Sparrow. 2001. “Poverty, Education, and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?” World Bank Policy Research Working Paper No. 2739. World Bank. Washington, DC. Leisher, S.H., S. Nachuk. 2006 “Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia.”, World Bank, Jakarta. Lieberman, S. and J. Capuno and H. Van Minh 2005. “Decentralizing Health: Lessons from Indonesia, the Philippines, and Vietnam,” in East Asia Decentralizes (Making Local Government Work). The World Bank, Washington DC. McGinn, N. 1980 Education and development in Korea, Harvard University Press, 1980, Cambridge. Ministry of National Education, and Ministry of Religion. 2005. “Implementation Guidelines on Operational Aid for Schools: Compensation for Fuels Subsidy Decrease Program PKPS-BBM in the Field of Education.” Jakarta. Morga and Manuel 2003. “Study of the Recurrent Budget in the Health Sector in Subang District, Jakarta.” Report to the World Bank Office. Mukherjee, N. 2005. “Qualitative Study: Making Services Work for the Poor. Consultations with the Poor at Eight Sites in Indonesia.” World Bank WSP, Washington, DC. Mullis, I.V.S., M.O. Martin, E.J. Gonzalez, and S.J. Chrostowski. 2004. “TIMSS 2003 International Mathematics Report.” TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA. Nachuk S., S. Hopkins Leisher, A.B. Gaduh. 2005. “Creating Learning Communities in Polman District, West Sulawesi Province.” Background case study for Making Services Work for the Poor Report, World Bank, Jakarta Nazmul C., J. Hammer, M. Kremer, K. Muralidharan, and F. H. Rogers. 2005. “Missing in Action: Teacher and Health Worker Absence in Developing Countries.” Forthcoming in Journal of Economic Perspectives. Newhouse, D., and K. Beegle 2005. “The Effect of School Type on Academic Achievement: Evidence from Indonesia.” World Bank Policy Research Working Paper No. 36043604, Washington, DC. Olken, B.A. 2005. Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia. NBER Working Paper 11753. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Parker E. and Roestam A., 2002 “The Bidan di desa program: a literature and policy review” Mimeo, JHPIEGO Corpora-
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
99
tion, CEDPA, JHU/CCP, and PATH, Baltimore. Rawlings, L.B., and G.M. Rubio. 2005. “Evaluating the Impact of Conditional Cash Transfer Programs.” World Bank Research Observer 20-(1):29-55., pg. 29-55. Paul, S. (1999). “Making Voice Work: The Report Card on Bangalore’s Public Service.”, Policy Research Working Paper Series nr 1921, World Bank, Washington DC. Pee S. de, E Martini, R. Moench-Pfanner, M.A. Firdaus, A Stormer, S. Halati, M. Sari, J. Palmer, S. Kosen and M.W. Bloem (2004) “Nutritional and Health Trends in Indonesia 1999-2003. Nutrition & Health Surveillance System Annual Report 2003”, Jakarta, Indonesia, Helen Keller International. Pritchett, L. and D. Filmer 1999 “What education production functions really show: a positive theory of education expenditures” Economics of Education Review 18 (1999) pg 223–239. Ridao-Cano, C., and D. Filmer. 2004. “Evaluating the Performance of SGP and SIGP: A Review of the Existing Literature and Beyond.” Working Paper Series 2004-3, World Bank, Human Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region, Washington, D.C. Sasongko, A. 2004. “NGO and Private Sector Collaboration in Improving the Health of Primary School Children in Jakarta, Indonesia.” INDES Japan Program, Workshop draft. Sumarto, S., A. Suryahadi, and W. Widyanti. 2000. “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefited from Two Indonesian Crisis Programs, the ‘Poor’ or the ‘Shocked’?” World Bank Policy Research Working Paper 436, Washington, D.C. Tan, E.S.M., C.C. Kusharto, S. Budiyati 2005. “Vouchers for Midwife Services in Pemalang District, Central Java Province.” Background case study for Making Services Work for the Poor Study, Jakarta. Available online at: http://www. innovations.harvard.edu/showdoc.html?id=6295 Torrens, A. 2005. “Findings on Post-Construction Economic Impact Analysis.” ,report, Bappenas, Jakarta, 2005. TF05382¬IND Van de Walle, D. 1994. “The Distribution of Subsidies through Public Health Services in Indonesia, 1978-87.” The World Bank Economic Review. 8(2):279-309. UNICEF. 2005. “WHO/UNICEF Review of National Immunization Coverage 1980-2004”, Geneva. Available online at http://www.childinfo.org/areas/immunization/database.php UPDATE Project. 2002. “Urban Poor Data Acquisition and Technical Evaluation.” United States Asia Environmental Partnership (USAEP), FORKAMI, and Research Triangle Institute. World Bank. 2000. “Priorities for Civil Service Reform.” Draft Report. World Bank, Jakarta. ______. 2001. “Filipino Report Card on Pro-Poor Services” Report No. 22181-PH, World Bank, Washington DC ———. 2003a. “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report.” R.N. 26191-IND, World Bank, Jakarta. ———. 2003b. World Development Report 2004: Making Services Work for Poor People. Washington, D.C.: World Bank. ———. 2004a. Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization. Washington, D.C.: World Bank. ———. 2004b. Indonesia: Averting an Infrastructure Crisis: A framework for Policy and Action, World Bank, Jakarta. _____. 2004c. “Improving Indonesia’s Health Outcomes.”, World Bank, Jakarta.
100
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
———. 2005a. “Civil Service Reforms at the Regional Level: Opportunities and Constraints.” Jakarta Office. ———. 2005b. “Decentralization, Service Delivery, and Governance in Indonesia: Findings from the Governance and Decentralization Survey GDS 1+/2004.” Jakarta Office. ———. 2005c. “The Effectiveness of World Bank Support for Community-Based and -Driven Development.” Operation Evaluation Department, Washington, D.C. ______.2005d “Reducing Poverty on a Global Scale: Learning and Innovating for Development: Findings from the Shanghai Global Learning Initiative”, edited by Blanca Moreno-Dodson, World Bank, Washington DC (see also see http://info.worldbank.org/etools/ reducingpoverty/Conference.html). ______. 2005e Indonesia - Water Use Rights Study - Second Stage (Vol. 1 and 2): Main Report, World Bank, Jakarta ______. 2005f “Civil Service Diagnostic and Road Map for Reform (West Sumatera)”, report prepared for World Bank Office, Jakarta. October 2005, page.4. Volume No: 1 of 2 ———. 2006. “Teacher Employment and Deployment Study.”, Mimeo, World Bank. Jakarta
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia: Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
101