Tinjauan Ekonomi & Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian - Republik Indonesia Volume V | Nomor 4 | Edisi April 2015 | www.ekon.go.id
Mendorong Pembangunan Infrastruktur Demi Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
volume V | Nomor 4 | Edisi April 201 5 | www.ekon.go.id
03 Editorial Koordinasi Kebijakan Ekonomi 04 Koordinasi Penyusunan Roadmap Pengendalian Inflasi Ekonomi Internasional 05 Potensi Dibalik Melemahnya Ekonomi Tiongkok Pembina : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Pengarah : Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Fiskal & Moneter Koordinator : Bobby Hamzar Rafinus Editor : Edi Prio Pambudi Puji Gunawan Ratih Purbasari Kania Analis : Sri Purwanti, Trias Melia, Aryo Mufti, Alexcius WBS, Bronson Marpaung, Kontributor : INDEF, FISIP UI,
02
Ekonomi Daerah 06 Implementasi E-Budgeting: Wujud Berjalannya Good Governance
08 Penerapan Konsep
Manajemen Resiko Dalam Pengendalian Inflasi di Daerah
Ekonomi Domestik 08 Maret 2015 Surplus USD 1,1 Miliar, Kinerja Neraca Perdagangan Meningkat, Laporan Utama
13
Lika-Liku Pengadaan Tanah
15
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Percepa tan Penyediaan Infrastruktur
17
Arah Kebijakan Pembangunan Infrastruktur 2015
20
Optimalisasi Investasi: Kebijakan Pelayanan Terpadu Satu pintu
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
DAFTAR ISI Resensi Buku 23 Kearifan Lokal dan Keunggulan Global APBN 101 24 APBN 101 : Bagian I Fiskal 26 Tax Allowance: Kebijakan Untuk Mendorong Investasi di Indonesia Keuangan 28 Sukuk Negara Negara: Investasi Aman dan Nyaman Kegiatan MenkoN 30 Peningkatan Kerjasama Selatan - Selatan
Editorial
S
konsultan Bank Bobby Hamzar Rafinus Dunia dalam seminar BUMN yang diadakan oleh Kemenko Melalui reformasi BUMN maka Perekonomian Mei 2014, diharapkan terjadi perbaikan pada menyampaikan pentingnya tiga tataran. Pertama, pada tataran Pemerintah melakukan rangkaian perekonomian akan tercipta reformasi BUMN yang utuh. Selain kesetaraan kondisi persaingan penambahan kapasitas modal juga antara BUMN dengan perusahaan perlu dilakukan perbaikan swasta, dan disiplin yang ketat transparansi dan akuntabilitas, dalam pengelolaan keuangan penerapan manajemen resiko yang perusahaan. Kedua, dalam lebih akurat, serta peningkatan pengembangan sektor BUMN kinerja dan disiplin. didorong terjadinya kejelasan sasaran BUMN termasuk kewajiban Salah satu negara yang menjadi pelayanan publik yang ditugaskan, rujukan pelaksanaan reformasi dan pemisahan fungsi kepemilikan BUMN adalah Swedia. Ada tiga pilar dengan fungsi pengaturan dan program yang dilaksanakan kebijakan, serta kepatuhan pada Pemerintah Swedia yaitu political ketentuan yang ada. Ketiga pada insulation, transparancy, clear tataran BUMN sendiri terjadi objectives seperti yang diutarakan peningkatan penerapan tata kelola Dag Detter, mantan pejabat BUMN yang baik serta pelaksanaan fungsi di negara tersebut. Political jajaran manajemen dan badan insulation dimaksudkan untuk pengawas yang semakin efektif. terjadinya pemisahan yang tegas terhadap beberapa sasaran yang Penugasan BUMN membantu ditugaskan kepada BUMN. Pemerintah menghadapi tantangan Selanjutnya transparancy dan clear kedepan di bidang konektivitas, objectives untuk mendorong Langkah penguatan kapasitas kelistrikan, dan pangan, perlu diikuti keterbukaan perusahaan keuangan BUMN tersebut selain pembenahan kedalam (‘clean up’) menyampaikan kinerja dan kondisi meningkatkan perannya sebagai disamping penguatan sumber daya keuangannya kepada pemegang agen pembangunan kiranya juga produksi (modal, sumber daya saham dan masyarakat secara perlu dipandang sebagai bagian manusia, dan teknologi). akuntabel. reformasi BUMN. Sunita Kikery, Pembenahan berupa pembentukan holding disarankan untuk Indonesia Snapshot merampingkan birokrasi dan peningkatan pengelolaan perusahaan yang saat ini mencapai 139 buah. Dua langkah tersebut bagaikan dua sisi pedang, harus diasah secara simultan. Jika salah satu diabaikan maka cenderung terjadi pemborosan dan kinerja yang tidak memenuhi harapan. Tentu bukan hal ini yang diharapkan. Semoga. alah satu kebijakan penting Presiden Joko Widodo pada RAPBNP 2015 adalah rencana alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp. 70,4 T kepada 40 BUMN. Langkah kebijakan pemberian PMN dalam jumlah besar dan masif baru pertama kali diadakan. Kebijakan terobosan ini ditempuh untuk mewujudkan program dan kebijakan prioritas Presiden Joko Widodo, seperti percepatan pembangunan infrastruktur prioritas. Beberapa proyek infrastruktur yang akan dibangun antara lain jalan tol Balikpapan-Samarinda, kereta api cepat bandara Soekarno-Hatta, pembangunan smelter, revitalisasi bandara Palu, Lampung, dan Labuan Bajo. Selain pembangunan infrastruktur, alokasi anggaran ini juga ditujukan untuk melaksanakan program kedaulatan pangan, program pembangunan maritim, program pembangunan pertahanan dan keamanan, serta program kemandirian ekonomi.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
03
Koordinasi Kebijakan
Koordinasi Penyusunan Roadmap Pengendalian Inflasi Ratih Purbasari Kania
D
alam upaya mencapai target inflasi sebesar 3,5% ± 1% pada tahun 2018, maka diperlukan upaya yang ekstra serta strategi yang terintegrasi dalam pengendalian inflasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah pusat bersama dengan Bank Indonesia membuat sebuah roadmap pengendalian inflasi yang mengcover seluruh kawasan nusantara. Hal ini dilatarbelakangi oleh masih bergejolaknya angka inflasi diluar inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan BBM. Oleh karena itu penyusunan roadmap tersebut sebagai upaya preventif dalam pengendalian inflasi serta tercapainya target inflasi sesuai waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara garis besar, pengendalian inflasi di tingkat nasional diarahkan untuk mengatasi beberapa tantangan diantaranya meliputi: terbatasnya peningkatan kapasitas perekonomian domestik, ketergantungan yang tinggi pada ekspor berbasis sumber daya alam dan bahan baku impor, produksi pangan yang rentan terhadap gangguan pasokan, inefisiensi struktur mikro pasar, pemenuhan kebutuhan energi nasional yang tergantung dari impor BBM dan LPG serta masih lemahnya konektivitas antar daerah. Oleh karena itu koordinasi yang lebih intensif antara Kementerian dan lembaga yang terkait dengan permasalahan diatas sangat penting
04
dalam upaya mengendalikan inflasi nasional. Dalam upaya pengendalian harga yang didasarkan pada harga yang ditetapkan pemerintah yakni dalam penetapan harga BBM dan listrik, hal ini merupakan salah satu permasalahan dalam inflasi energi. Oleh karena itu, senantiasa dilakukan koordinasi dalam mereview kebijakan penetapan harga BBM dan komponennya. Selain itu, koordinasi lainnya dalam merumuskan komponen dan struktur tarif untuk angkutan barang serta berbagai mekanisme lainnya perlu dilakukan secara optimal. Dalam jangka menengah dan jangka panjang telah diupayakan untuk melaksanakan diversifikasi energi seperti bio gas dan penggunaan bahan bakar non fosil dengan dukungan infrastruktur yang cukup dalam menghasilkan energi non BBM. Sementara itu, pada tingkat daerah pengendalian inflasi baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah disusun sesuai dengan permasalahan spesifik yang ada di daerah masing-masing. Namun permasalahan yang umumnya ada disetiap daerah terkait dengan kendala produksi diantaranya lahan produktif, sarana produksi termasuk bibit dan pupuk, irigasi serta pemanfaatan teknologi. Peranan Dinas pertanian didaerah dalam penyediaan lahan produktif serta penyuluhan bagi petani sangat
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
diperlukan, begitu pula dengan sarana dan prasarana pertanian serta teknologi pertanian diperlukan dalam meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Permasalahan lainnya terkait penanganan inflasi daerah adalah ketidaklancaran distribusi pasokan pertanian serta kurangnya dukungan infrastruktur. Kerja sama antar daerah dilakukan dalam hal memperlancar distribusi pasokan hasil pertanian terutama dari daerah surplus pangan ke daerah yang kekurangan pangan. Rapat koordinasi wilayah yang senantiasa dilakukan minimal setiap tiga bulanan disetiap kawasan ataupun provinsi sangat mendukung upaya kerja sama antar daerah tercipta secara optimal. Dalam mendukung optimalisasi penenganan inflasi daerah, dibentuknya Tim pengendalian inflasi daerah(TPID) sangat membantu pemerintah daerah dalam melakukan koordinasi yang lebih fokus menangani inflasi daerah dengan SKPD terkait didaerah masing-masing. Sebelum terbentuknya TPID didaerah, program pengendalian inflasi senantiasa tersebar di berbagai SKPD, oleh karena itu dengan adanya TPID maka kebijakan daerah terkait dengan pengendalian harga akan cepat teratasi karena adanya koordinasi baik dengan pokjanas TPID maupun dengan SKPD serta TPID dari daerah yang merupakan perbatasan dengan daerahnya.
Ekonomi Internasional
Potensi dibalik Melemahnya Ekonomi Tiongkok Bhima Yudhistira Peneliti INDEF
Peran Pemerintah daerah
Pelemahan perekonomian Tiongkok
Beberapa pengamat ekonomi memperediksi era pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pernah mencapai angka dua digit akan segera berakhir. Ekonomi Tiongkok pada Triwulan I 2015 hanya tumbuh dibawah 7 persen. Tingkat investasi Tiongkok pun menurun ke level 13,9 persen, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 15,7 persen. Output industri terseok dibawah 6,8 persen. Penjualan properti ikut turun 16,3 persen (yoy). Tekanan lain juga datang dari penurunan daya saing akibat naiknya upah pekerja sebesar 12 persen per tahun. Mengutip laporan The Economist, pada tahun 1990 lebih dari 26,5 persen produksi manufaktur global berasal dari Asia. Di tahun 2013 kemudian mencapai 46,5 persen, hampir setengahnya dikuasai oleh Tiongkok. Maka penurunan perekonomian Tiongkok dapat dipastikan berdampak besar pada stabilitas perekonomian dunia.
Potensi negara-negara berkembang
Untuk mengatasi pelemahan
industri diTiongkok, kini Pemerintah Tiongkok fokus untuk melakukan penetrasi pasar di dalam negeri. Akibatnya, supply pasar global yang sebelumnya dipenuhi oleh barang dari Tiongkok mulai terbuka bagi pesaing-pesaing baru, termasuk dari negara berkembang. Sebagai contoh,Tiongkok merupakan salah satu pemasok baja terbesar di dunia, telah mengekspor lebih dari 90 juta ton di tahun 2014. Penurunan pasokan dari Tiongkok akan membuat industri baja sedikit mengalami kontraksi. Disitu kesempatan bagi Indonesia untuk dapat mengambil alih tujuan ekspor baja Tiongkok selama ini. Namun dibalik potensi tersebut, terdapat catatan akan kurangnya tingkat produktifitas pekerja di Indonesia yang tertinggal jauh dari Tiongkok. Pada tahun 2007 ke 2012, Tiongkok berhasil meningkatkan produktifitas kerja sebesar 11 persen, sedangkan Indonesia masih dikisaran 7 persen. Perlu kerja ekstra bagi industri nasional untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Peran sentral Pemerintah daerah terletak pada upaya-upaya untuk mendorong kluster-kluster industri daerah. Manufaktur tidak selalu dilakukan dalam skala besar. Pemerintah daerah Zhengzhou di Tiongkok justru fokus pada industri skala rumah tangga. Manufaktur dibuat berdasarkan spesialisasi setiap rumah tangga yang kemudian digabung dalam satu pabrik perakitan bersama (final assembly). Poin penting lain terletak pada subsidi. Pemerintah daerah tidak sekedar memberikan pelatihan, namun pemberian kredit lunak, keringanan pajak penjualan, atau penghapusan pajak pembelian barang mentah, serta berperan menghubungkan setiap industri kecil ke industri yang lebih besar. Konektifitas ini juga dibangun oleh Korea. Samsung dapat berhasil menjadi pemain global dengan mengandalkan kluster-kluster industri kecil pemasok chip dan perangkat keras lainnya. Strategi ini perlu diadopsi agar daerah punya kekuatan untuk bersaing dengan produk buatan Tiongkok.
Regulasi pemerintah dalam mendorong manufaktur
Disisi yang lain Pemerintah pusat perlu melakukan terobosan dari segi regulasi, seperti insentif fiskal kepada perusahaan yang ingin berinvestasi di Indonesia. Pemberian tax holiday misalnya jadi
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
05
salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan dalam jangka waktu dekat. Selain itu dengan Rp.230 triliun ruang fiskal yang berhasil dihimpun dari penghematan subsidi energi dapat dialihkan untuk membuat kawasan industri baru di luar Jawa. Belanja infrastruktur utama juga perlu dipercepat terutama dalam rangka mendukung moda transportasi. Hal ini sejalan dengan masalah krusial industri di Indonesia. Pengusaha di Indonesia menghabiskan 50 persen biaya logistik lebih mahal dibandingkan Thailand. Ekonomi biaya tinggi bisa dipotong melalui pembangunan sarana transportasi industri. Sebagai contoh, jalur rel kereta api yang menghubungkan kawasan industri ke pelabuhan utama dapat
memotong biaya logistik sekaligus waktu pengiriman barang. Masalah lain terletak pada biaya jasa angkutan barang negaranegara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang tertinggal jauh dari Tiongkok. Sebagai contoh, riset yang dilakukan oleh McKinsey menyebutkan bahwa biaya transit di pelabuhan, dan angkutan darat di kawasan ASEAN lebih tinggi 24 persen dibandingkan Tiongkok. Selain itu dibandingkan negara yang tergabung di OECD, kawasan ASEAN dalam soal prosedur ekspor memakan waktu 66 persen lebih lambat. Maka hal yang tidak kalah krusial adalah pemotongan waktu tunggu di pelabuhan serta evaluasi dokumen-dokumen penghambat
proses ekspor barang jadi. Ini membutuhkan regulasi yang sangat spesifik lintas Kementerian terkait. Jika daya saing Indonesia meningkat maka pelemahan ekonomi Tiongkok dapat menjadi peluang baru untuk menjadi pemain manufaktur global yang dominan. Referensi :
- The Economist, Bad Beginnings (Report on China growth) - The Economist, The Future of Factory Asia: A Tightening Grip - The Economist, Steelmaking: Twin Peaks - World Bank, China Economic Growth Indicator 2015
Ekonomi Daerah
Implementasi EBudgeting: Wujud Berjalannya Good Governance Melanthon Tumpal. H & Tumpak Simangunsong FISIP UI
E
-Government pada
umumnya dikenal dengan
e-gov yaitu penggunaan teknologi
06
informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. Dalam hal ini, e-government digunakan sebagai sarana penyelenggaraan permerintahan yang berbasis elektronik. EGovernment dapat diaplikasikan pada level legislatif, yudikatif, atau administrasi publik untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses pemerintahan yang
demokratis. E-government digunakan sebagai alat pengambil kebijakan publik secara merata baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Dalam penggunaan e-government pemerintah menghadapi berbagai hambatan, salah satunya yaitumasyarakat pada umumnya masih belum yakin terhadap efektivitas dari program egovernment ini. Disinilah tantangan bagi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya program e-government. Dengan kata lain pemerintah harus menyakinkan mereka yang masih
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
menggunakan cara konvensional dalam berhubungan dengan pemerintah sehingga dapat merasakan adanya perbaikan pelayanan dan peningkatan kinerja pemerintah. Salah satu penerapan dari egovernment adalah e-budgeting. Daerah yang saat ini sudah menerapkan e-budgeting adalah kota Surabaya. Pemerintah kota Surabaya menggunakan ebudgeting untuk memberikan panduan dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, revisi dan PAK (Perubahan Anggaran Kegiatan). Dalam
membuat sebuah anggaran dengan sistem e-budgeting, dibutuhkan komponen-komponen penyusun yang merupakan hasil dari survey di lapangan. Komponen tersebut terdiri dari tiga jenis pengelompokan, yaitu : Standar Harga Satuan Dasar (SHSD), Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), dan Standar Analisa Belanja (SAB). Sistem ini dibuat secara online agar dapat diakses oleh dinas dimanapun lokasinya dan juga dapat diakses pada saat pembahasan dengan dewan. Penggunaan sistem online ini telah berdampak pada penghematan anggaran. Contoh untuk kota Surabaya, biaya untuk perjalanan dinas selama satu tahun, anggaran dari masing-masing dinas harus melalui satu atap dan ternyata bisa menghemat Rp5 miliar dari Rp14 miliar menjadi Rp9 miliar. Dilain sisi, e-budgeting sangat penting dalam rangka transparansi dana anggaran sebagai salah satu wujud implementasi upaya serius pemerintahan pusat dalam memberantas penyimpangan anggaran di daerah. Berbeda dengan Surabaya, penerapan e-budgeting di Jakarta masih banyak menemui kendala. Kendala yang dihadapi Pemprov
DKI dalam pelaksanaan e-budgeting antara lain dikarenakan proses komputerisasi yang belum optimal dan sumber daya manusia sebagai pengelola dan pelaksana yang belum sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Dalam hal sistem komputerisasi, masih diperlukan pelatihan-pelatihan bagi SDM di Pemprov untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyusun anggaran secara online. Sebagai contoh masih diperlukannya peningkatan kapasitas dalam penyusunan anggaran melalui ebudgeting adalah kasus pengadaan truk sampah di Dinas Kebersihan. Pada tahun 2014 pengadaan truk kebersihan tidak akan dilakukan secara lelang tapi pembelian secara e-catalog oleh ULP di Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Akan tetapi, ketika akan melakukan pembayaran ke pemegang merek kendaraan, truk yang dibeli tidak bisa dibayarkan karena kekurangan Anggaran di Dinas Kebersihan sebanyak Rp11 miliar,
Hal tersebut dikarenakan kurangnya transparansi dalam laporan keuangan.Padahal jika pengawasan e-budgeting dapat diperkuat, penyusunan RAPBD DKI dapat lebih efisien dan transparan. Misalnya, dengan adanya perubahan proses input data dari yang sebelumnya dilakukan secara manual menggunakan Microsoft Excel menjadi secara elektronik atau online yang dilengkapi sistem keamanan melalui password, maka dapat mengantisipasi dugaan anggaran fiktif dan mencegah pemborosan. Dengan demikian, APBD DKI 2015 yang telah disahkan oleh dewan bisa menghemat anggaran cukup besar. Apabila dilihat dari postur anggaran sektor publik di Indonesia, jumlah pengadaan barang dan jasa di institusi publik cukup besar. Besarnya nilai pengadaan barang dan jasa di institusi pemerintah tersebut merupakan potensi risiko yang sangat tinggi untuk terjadinya korupsi. Dengan adanya pembenahan e-goverment salah satunya melalui e-budgeting diharapkan mampu mengurangi bahkan meniadakan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Selain itu, kegiatan lelang melalui ebudgeting di Pemprov DKI Jakarta masih harus diperkuat pengawasannya mengingat peluang terjadinya penyogokan dan penyuapan masih mungkin terjadi.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
07
PENERAPAN KONSEP MANAJEMEN RESIKO DALAM PENGENDALIAN INFLASI DI DAERAH Trias Melia Wawancara dengan TPID Kabupaten Jember
U
ntuk dapat mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera, salah satu kondisi yang diperlukan adalah inflasi yang rendah dan stablil. Di Indonesia, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari sisi permintaan, tetapi juga dipengaruhi oleh sisi penawaran berkenaan dengan gangguan produksi dan distribusi, kebijakan pemerintah terkait harga komoditas (BBM) dan komoditas energi lainnya (administered prices). Inflasi Indonesia juga memiliki karakteristik karena sebagian besar merupakan kontribusi inflasi daerah dengan bobot mencapai 80,77% (Bank Indonesia, 2012). Untuk mencapai inflasi daerah yang terkendali, maka kerjasama dan koordinasi lintas instansi seperti
Bank Indonesia, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah mutlak untuk dilaksanakan. Kementerian Dalam negeri sebagai Instansi Pembina Pemerintah Daerah telah menerbitkan Instruksi Nomor 027/1696/SJ sebagai pedoman bagi daerah dalam pelaksanaan koordinasi TPID dalam menjaga stabilitas harga. Upaya pengendalian inflasi di daerah memang memerlukan penanganan yang spesifik tergantung dengan karakteristik penyumbang inflasi daerah masingmasing. Namun demikian, Aspekaspek seperti pasokan, distribusi, infrastruktur, stuktur pasar, mekanisme pembentukan harga dan Ekspektasi masyarakat atas inflasi bisa dikatakan dialami oleh
tiap daerah dengan probabilitas dan frekuensi dan pengulangan yang bervariasi. Konsep Manajemen resiko (Risk Management-RM) dapat bermanfaat dalam pengambilan keputusan. TPID Kabupaten Jember adalah salah satu contoh daerah yang telah menerapkan RM. Penerapan RM di TPID Kabupaten Jember dilatarbelakangi oleh tidak adanya tools dalam pengendalian inflasi. Akan tetapi, struktur pasar, jalur distribusi, dan data-data terkait komoditas yang kenaikannya signifikan dan persisten telah diketahui. Dengan data-data tersebut, tim TPID Jember menyadari adanya kepentingan untuk membentuk sebuah sistem untuk mengukur besaran risiko,
Sumber:
Bank Indonesia Jember
Foto:
Sri Purwanti
08
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
Gambar 1. Matriks Risiko Inheren
sehingga dapat dibentuk tools untuk mengendalikan risiko yang terjadi. Selain itu, Bank Indonesia juga didorong untuk jadi advisor bagi Pemda sehingga BI menggunakan RM ini untuk menjembatani pihak Pemda dalam melakukan langkah-langkah antisipatif dengan berbagai tools yang dimiliki Pemda. Metode yang digunakan dalam RM ini diadopsi dari manajemen risiko pasar keuangan. Tahapan pertama yang dilakukan adalah proses Identifikasi risiko inheren (Gambar 1), yaitu melalui matriks kombinasi antara identifikasi dampak dan identifikasi probabilitas. Identifikasi dampak dilakukan berdasarkan nilai konsumsi. Terdapat 3 (tiga) kategori Dampak, yaitu dampak Tinggi, Sedang, dan Rendah. Dampak dikatakan tinggi bila bobot nilai konsumsinya lebih besar dari 0,50%. Sedangkan dampak sedang adalah bila bobot nilai konsumsinya antara 0,50 – 0,05% dan dampak dikatakan rendah apabila bobot nilai konsumsinya lebih kecil dari 0,05%. Komoditas yang termasuk adalah komoditas volatile food dan administered price, sedangkan komoditas yang termasuk inflasi inti tidak diperhitungkan karena tidak bergejolak dan tidak terpengaruh dengan kebijakan kecuali emas perhiasan dan gula pasir karena relative berfluktuasi. Untuk identifikasi probabilitas, dilakukan berdasarkan faktor internal, yaitu musim, siklus, trend, kebijakan, dan
faktor eksternal yang terdorong dari nilai tukar dan gejolak/shock. Identifikasi ini juga dilakukan berdasarkan riset terhadap struktur pasar, ketahanan pangan, determinan pembentukan harga serta survei penjualan eceran dan survei konsumen. Setelah proses identifikasi risiko, tahapan selanjutnya adalah inventarisasi beberapa instrumen risk contro l dan mengidentifikasi efektivitasnya. Beberapa contoh instrumen tersebut diantaranya adalah operasi pasar, pasar murah, moral suasion melalui media, inspeksi mendadak, operasi pasar khusus melalui kerjasama dengan Asosiasi Produsen, mengusulkan Perda alih fungsi lahan (RTRW), percepatan raskin, dll tergantung karakteristik daerah masing-masing. Setelah diperoleh identifikasi risiko inheren serta efektivitas instrumen manajemen risiko, akan diperoleh risiko akhir (Gambar 2) yang merupakan matriks kombinasi antara pengendalian risiko (risk control system ) dengan risiko inheren.
Identifikasi mitigasi risiko yang diperoleh tentunya tidak dapat berjalan efektif tanpa adanya koordinasi yang baik dengan Pemda setempat. Di Kabupaten Jember, pertemuan TPID antara Bank Indonesia dengan Pemda setempat seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, dll rutin dilakukan. Dalam pertemuan TPID tersebut, Pemda juga selalu diingatkan akan risiko-risiko kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, misalnya kenaikan atau penurunan harga BBM. Dengan demikian, dapat disusun respon Pemda terhadap kemungkinan pengimplementasian kebijakan tersebut melalui ketentuan. Contohnya dengan menetapkan range kenaikan harga transportasi yang disesuaikan dengan nilai kenaikan BBM. Selain koordinasi antara pemangku kepentingan di daerah setempat, kerjasama antar daerah juga memegang peran penting dalam implementasi mitigasi risiko inflasi di Jember. Kerjasama antar daerah sebenarnya merupakan hasil modifikasi risk control system dan langkah ini sejalan dengan pembahasan Rapat Koordinasi Nasional TPID. Dalam pertemuan tersebut, terungkap bahwa distribusi ke daerah-daerah lain penting untuk dilakukan agar oversupply komoditas di satu daerah dapat terserap ke daerah lain yang kekurangan komoditas
Gambar 2. Matriks Risiko Akhir
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
09
Gambar 3: Contoh Usulan Eksekusi Strategi Mitigasi Per Komoditas yang Berisiko
tersebut. Inisiasi untuk melakukan kerjasama antar daerah sudah dimulai sejak 2013 setelah diketahui melalui RM bahwa kerjasama ini merupakan instrumen penting dalam pengendalian inflasi. Pelaksanaan kerjasama antar daerah sesuai dengan PP No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah mengatur kuota dan jalur distribusi komoditas yang akan disalurkan ke daerah lain. Pemasarannya bisa melalui BUMD, resi gudang, dan koperasi. Salah satu kendala yang harus dibenahi agar proses kerjasama antar daerah dapat berlangsung lebih baik, yaitu masalah infrastruktur yang dirasa belum memadai. Saat ini, Pelindo berencana untuk mengembangkan terminal peti kemas di Banyuwangi. Jika proyek ini selesai, maka akan sangat membantu TPID Jember dan TPID lain di Jawa Timur dalam melakukan kerjasama antar daerah.
tahun 2014. Tidak hanya itu, penerapan sistem Manajemen Risiko ini juga menjadi salah satu faktor yang membawa TPID Kabupaten Jember menjadi TPID terbaik tahun 2013 dan 2014. Hingga saat ini, upaya peningkatan efektifitas RMS dalam Pengendalian Inflasi terus dikembangkan. Seperti Contoh, salah satu anggota TPID Kota Pontianak, yang juga Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat, Dwi Suslamanto sedang mengembangkan RM tools dengan mencoba melakukan perhitungan efektifitas tiap tools (operasi pasar, dll) dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti waktu dan biaya sehingga pemilihan tools bisa lebih tepat.
Setelah dua tahun berjalan, penerapan RMS dirasa efektif. Hal ini terlihat dari angka inflasi Jember yang menjadi lebih stabil. Selain itu, inflasi Kabupaten Jember menjadi yang terendah di Jawa Timur pada
10
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
Ekonomi Domestik
Sri Purwanti
K
inerja perdagangan bulan Maret 2015 mengukuhkan posisi surplus hingga USD 1,1 miliar. Pencapaian peningkatan surplus neraca perdagangan pada Maret 2015 terutama ditopang oleh meningkatnya surplus pada neraca nonmigas, sementara neraca migas kembali mengalami defisit. Surplus nonmigas sebesar USD 1,4 miliar dan defisit migas yang tercatat USD 279 juta. Total ekspor tercatat mencapai USD 13,7 miliar, sedangkan total impor mencapai USD 12,6 miliar. Suplus neraca perdagangan nonmigas terutama pada ekspor bahan bakar mineral (23,6%; mtm), lemak dan minyak hewan/nabati (9,0%; mtm), perhiasan/permata (24,2%; mtm), kayu dan barang dari kayu (33,3%; mtm) serta mesin/peralatan listrik (10,0%; mtm). Sedangkan neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar USD USD 279 juta
terutama disebabkan oleh peningkatan impor migas yang dipicu oleh meningkatnya volume dan harga impor minyak mentah dan hasil minyak.
93,8%); perhiasan/permata (naik 51,8%); tembaga (naik 42,3%); dan alas kaki (naik 17%).
Secara kumulatif, neraca perdagangan tahun ini hingga Maret mengalami surplus USD 2,4 miliar, terdiri dari surplus nonmigas sebesar USD 2,8 miliar dan defisit perdagangan migas sebesar USD 401,3 juta. Sepanjang Januari s.d Maret 2015, ekspor nonmigas ke beberapa negara mitra dagang seperti Taiwan, Vietnam, Arab Saudi dan Swiss menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ekspor ke Taiwan naik 13,2%; ke Vietnam naik 11,8%; ke Arab Saudi naik 13,7%; dan ke Swiss naik lebih dari 30 kali lipat. Sedangkan komoditas produk ekspor nonmigas yang meningkat pada Januari-Maret 2015 adalah bijih, kerak, dan abu logam (naik
Kinerja impor sepanjang JanuariMaret 2015 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Nilai impor mencapai USD 12,6 miliar atau naik 9,3% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Namun, kinerja impor secara kumulatif selama Januari-Maret 2015 masih mengalami penurunan sebesar 15,1% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini dipicu oleh anjloknya permintaan impor migas sebesar 44,5%, yang terdiri atas penurunan impor hasil minyak sebesar 45,8%; minyak mentah sebesar 42,4%; dan gas sebesar 42,8%. Referensi: BPS dan Bank Indonesia.
foto:seputarforex..com
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
11
Laporan Utama Lika Liku Pengadaan Tanah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Percepatan Penyediaan Insfrastruktur Arah Kebijakan Pembangunan Infastruktur 2015 Optimalisasi Investasi : Kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
12
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
Ekonomi Utama
LIKALIKU PENGADAAN TANAH Bronson Marpaung
S
Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah dengan kegiatan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat pembukaan UUD 1945 yang tercantum dalam alinea yang ke empat, khususnya untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Termasuk di dalamnya adalah pembangunan untuk kepentingan umum yang bertujuan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Ketersediaan tanah dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum merupakan faktor utama yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut. Yang menjadi kendala adalah pada masa sekarang ini sangat sulit melakukan pembangunan di atas tanah negara. Sebagai jalan keluarnya adalah dengan mengambil tanah-tanah hak (tanah rakyat). Kegiatan inilah yang kemudian disebut dengan pengadaaan tanah. Kegiatan perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara jual-beli, tukarmenukar atau dengan cara lain yang disepakati oleh para pihak (dengan cara bermusyawarah). Tanah mempunyai arti penting bagi kehidupan, karena tanah sebagai pemenuhan kesejahteraan baik untuk kebutuhan pribadi maupun
keluargannya. Hal ini sama halnya dengan fungsi tanah untuk pemerintah, dalam rangka melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang melibatkan tanah. Pembangunan nasional untuk kepentingan umum diperlukan lahan yang sangat luas dan kepemilikan tanah yang banyak. Istilah “pengadaan tanah” secara yuridis pertama kali dikenal sejak keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagai penganti Keppres diatas, disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Terakhir Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah.Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan dan tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Pengertian Pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Masalah tanah adalah masalah bangsa dan Negara, sehingga juga masalah kita semua anak bangsa yang hidup di seluruh nusantara. Artinya tanah merupakan hal yang fundamental bagi kita semua. Karena itu sangat ironis kalau masalah tanah tidak ditangani secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Dalam perkembangannya masalah tanah makin kompleks, sehingga dimensinyapun bertambah terus mengikuti dinamika.Dalam hal proses ganti rugi maupun permukiman kembali harus diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Perlu
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
13
memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya. Bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset kerena dipindahkan ketempat pemukiman yang baru. Pemulihan lokasi pemukiman yang baru seharusnya didukung dengan perencanaan pembangunan infrastruktur mendukung kegiatan dalam upaya pemulihan kehidupan sosial ekonomi warga masyarakat. Setidak-tidaknya masyarakat tidak akan menjadi lebih miskin sebelum tanah dibebaskan. Permasalahan lain yang cukup rumit yang sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan dinamika aspirasi masyarakat, tuntunan pembangunan untuk kepentingan umum. Keinginan melakukan pembangunan umum menghadapi masalah ketersediaan lahan yang terbatas dan fasilitas umum yang ada belum di tata dengan baik. Harga tanah yang meningkat cukup besar terutama di perkotaan, mendorong para spekulan tanah melakukan tindakan mencari keuntungan (rent seeking) terhadap setiap kegiatan jual-beli tanah. Tindakan rent seeking sering menganggu kegiatan dan kelancaran alokasi pembangunan yang memerlukan tanag sehingga menyebabkan kesulitan dalam pengadaan tanah terutama untuk pembangunan kepentingan umum dan menimbulkan biaya ekonomi yang cukup tinggi.
14
Permasalahan atau hambatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adanya sikap anitesis berupa penolakkan terhadap kebijakan
pemerintah dalam pengadaan tanah meskipun kebijakan tersebut sungguh-sungguh dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan umum. Masyarakat cenderung bersikap skeptis dan penuh kecurigaan, bahwa kebijakan pelaksanaan pembangunan pemerintah tidak selalu berorientasi pada kepentinganbangsa atau kepentingan masyarakat banyak, artinya dicurigai hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Sikap antitesis berupa penolakan terhadap tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat pemilik tanah. Selama orde baru masyarakat pemilik tanah selalu di hadapkan pada tindakan pemaksaan ketika terjadi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.Pemilik tanah dihadapkan pada tekanan dalam berbagai bentuk yang menimbulkan kondisi ketakutan dan didalamnya terkandung potensi penolakan. Sikap skeptis, curiga dan ketidakpercayaan pada pemerintah itu mendapatkan sarananya ketika lahirnya era reformasi yang dimana terjadi perubahan politik dari pola otoriter kearah demokrasi. Ketertekanan yang di alami masyarakat sebelumnya meletup dalam wujud penolakan terhadap kewajiban menyerahkan tanah bagi kepentingan umum. Akibatnya masyarakat pemilik tanah mengajukan tuntutan harga tanah yang tidak masuk akal. Fenomena di masyarakat dapat dicermati dari adanya sikap beraninya masyarakat untuk menyatakan penolakan menyerahkan tanahnya sekalipun untuk kepentingan umum. Kalaupun masyarakat bersedia menyerahkan tanahnya biasanya
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
menuntut harga yang tinggi, malah kadang-kadang tidak masuk akal. Artinya sikap ini menunjukan bahwa masyarakat pemilik tanah tidak ingin mengorbankan kepentingan dirinya dikorbankan hanya untuk sebuah kepentingan kolektif. Masyarakat bersedia menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum jika kompensasinya sesuai dengan tuntutan mereka. Pada hakekatnya masyarakat menyatakan, untuk apa harus berkorban untuk kepentingan umum, jika kepentingan dirinya tidak terlindungi. Atau dengan perkataan lain pemilik tanah menyatakan, saya hanya akan menyerahkan tanah untuk kepentingan umum jika saya mendapat keuntungan. Ungkapan pernyataan tersebut juga merupakan suatu bentuk antitesis dari kondisi sebelumya yang selalu menuntut dan memaksa individu pemilik tanah harus berkorban untuk kepentingan negara. Era reformasi telah memberikanpeluang bagi pengembangan nilai antitesis tersebut, sehingga menyebabkan tidak mulusnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum saat ini. Berkembangya sikap individualistis tersebut juga berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang selama ini lebih bersifat liberal dibidang pertanahan. Sedangkan bagi mayarakat yang berekonomi lemah pemerintah tidak memberikan akses dan aset untuk memiliki tanah.
KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA DALAM PERCEPATAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR Trias Melia
P
engembangan infrastruktur di Indonesia merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata di seluruh kawasan. Sebagai negara kepulauan, tentunya mewujudkan ketersediaan infrastruktur yang merata bukanlah hal yang mudah. Padahal, jika infrastruktur di seluruh wilayah dapat tersedia dengan baik, beberapa faktor penghambat pertumbuhan dan pemerataan serta faktor penghambat pertumbuhan investasi seperti tingginya biaya logistik dapat diminimalisir. Selain itu, dengan diterapkannya AEC di akhir tahun 2015 ini, tentunya konektivitas regional yang baik menjadi hal yang vital agar dapat mendukung kerjasama kawasan dalam menjawab tantangantantangan global. Oleh karena itu, percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi sebuah urgensi untuk dilakukan. Apa sajakah yang telah dipersiapkan Pemerintah Indonesia untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur? Pembangunan infrastruktur selama ini adalah hal yang diprioritaskan dalam agenda pembangunan Indonesia dan tetap menjadi salah satu agenda utama pembangunan di Pemerintahan yang baru. Hal tersebut dapat terlihat dalam
rencana pembangunan di RPJMN 2015-2019 maupun penganggaran pembangunan infrastruktur dalam APBN. Dalam kurun waktu 20152019 sendiri, total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai sekitar Rp 5.519,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Pemerintah diperkirakan hanya mampu membiayai sekitar 40% dari total kebutuhan. Oleh karena itu, Pemerintah telah menyiapkan skema lain untuk mencukupi total pembiayaan pembangunan infrastruktur, yaitu melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
dari dua atau lebih jenis infrastruktur.
Skema KPBU dalam penyediaan infrastruktur sebelumnya telah diatur dalam Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Pada bulan Maret lalu, telah diterbitkan Perpres no. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagai pengganti Perpres no. 67 tahun 2005. Dalam Perpres baru tersebut, terdapat beberapa hal baru yang menjawab permasalahanpermasalahan yang selama ini dihadapi dalam proses KPBU untuk percepatan penyediaan infrastruktur seperti pengadaan tanah dan penjaminan. Perpres ini juga menyebutkan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan gabungan
Di dalam Perpres baru ini, jenis infrastruktur yang dikerjasamakan juga diperluas dari yang sebelumnya hanya sebatas infrastruktur dasar seperti jalan, tenaga listrik dan air menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Proyek infrastruktur yang termasuk ke dalam jenis tersebut diantaranya adalah infrastruktur transportasi, jalan, sumber daya air dan irigasi, air minum, sistem pengelolaan air limbah terpusat, sistem pengelolaan air limbah setempat, sistem pengelolaan persampahan, telekomunikasi dan informatika, ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi dan energi terbarukan, konservasi energy, fasilitas perkotaan, fasilitas pendidikan, fasilitas sarana dan prasarana olahraga serta kesenian, kawasan, pariwisata, kesehatan, lembaga pemasyarakatan, dan perumahan rakyat. Tujuan dilakukannya KPBU berdasarkan Perpres no. 38 Tahun 2015 adalah untuk (i) Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta; (ii) Mewujudkan Penyediaan Infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
15
Gambar 1. Tahapan KPBU
Sumber: Direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta, Bappenas
sasaran, dan tepat waktu; (iii) Menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat; (iv) Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna; dan/atau (v) Memberikan kepastian pengembalian investasi Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur melalui mekanisme pembayaran secara berkala oleh Pemerintah kepada Badan Usaha. Tahapan pelaksanaan proses KPBU terbagi ke dalam 4 (empat) tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap penyiapan, tahap transaksi dan tahap manajemen pelaksanaan yang secara lebih rinci dapat dilihat dalam Gambar 1 . Dalam membantu upaya percepatan penyediaan
16
infrastruktur, khususnya infrastruktur prioritas, pada tahun 2014 lalu telah dibentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) melalui Perpres no. 75 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas. Komite ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan Perpres tersebut, tugas KPPIP adalah untuk menetapkan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, memantau dan mengendalikan pelaksanaan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur prioritas, dan memfasilitasi peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaan terkait dengan penyediaan infrastruktur prioritas.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
Di tahun 2015 ini, KPPIP telah memilih 22 proyek infrastruktur prioritas dan 4 proyek diantaranya telah siap untuk ditender melalui skema KPBU. 4 proyek tersebut adalah kereta ekspress Bandara Soekarno-Hatta, SPAM Semarang Barat, jalan tol BalikpapanSamarinda, dan jalan tol ManadoBitung. Dengan adanya dukungan perbaikan regulasi terkait KPBU serta pembentukan KPPIP ini, diharapkan hambatan-hambatan dalam proses penyediaan infrastruktur dapat segera teratasi sehingga konektivitas antar daerah di Indonesia dapat terwujud secara merata.
Arah Kebijakan Pembangunan Insfrastruktur 2015 Wawancara dan Penulis oleh : Puji Gunawan dan Alexcius W.B.S
Sebagaimana Bapak paham, penyediaan infrastruktur, khususnya infrastruktur di bidang energi, pangan, dan kemaritiman merupakan prioritas Pemerintahan baru Indonesia untuk lima tahun ke depan. Bagaimana arah kebijakan infrastruktur ke depannya? Sebetulnya yang kita inginkan, kita melanjutkan program pemerintah sebelumnya. Kalo kita bicara infrastruktur tidak bisa jangka pendek, bahkan jangka menengah, kalo soal infrastruktur harus jangka panjang. Dan itu sudah jelas sejak awal tahun 2000 backlognya sudah banyak untuk infrastruktur. Waktu kita makin lama makin pendek, karena dengan persaingan yang semakin meruncing antar negara, kalo kita tidak mau ketinggalan, kita harus mau mengejar pembangunan infrastruktur, harus ada percepatan. Beberapa negara yang lain sudah mulai, Filipina, tadinya di belakang
kita sekarang sudah memiliki mekanisme untuk percepatan pembangunannya. Dan ini banyak diapresiasi dalam beberapa diskusi internasional, karena banyak dibantu ADB. Kemudian Vietnam sudah mulai gencar mereka membangun. Thailand sudah di atas kita. Sedangkan India, sempat beberapa tahun belakangan pertumbuhan di bawah kita, namun sekarang sudah mulai menyusul,dengan komitmen infrastrukutur sebesar 8% dari PDB . Kita dari RPJMN 2015-2019 komitmennya tinggi, menurut saya belum sampai 7% namun sudah mendekati sekitar, 6,5% pada tahun 2019. Namun intinya 7% mungkin 5.000 T kebutuhan 5 tahun ke depan, namun tidak semua berasal dari pemerintah. Pembiayaan Pemerintah kurang dari 50%. Selebihnya diharapkan dari BUMN, Public Private Partnership (PPP),
Swasta. Sebetulnya yang harus dicontoh sebelum krisis 1997, kita sampai dengan 7%. Cuma memang 7% saat itu secara nominal berbeda dengan sekarang, namun intinya komitmen tersebut pernah ada atau pernah terealisasi. Sejak tahun 2000 desentralisasi ekonomi terlalu banyak hal yang ditangani, sehingga sempat infrastruktur selama beberapa tahun nilainya bahkan dibawah subsidi BBM dan pendidikan. Sektor Infrastruktur diharapkan didorong dari pihak non pemerintah. Apa yang kita lakukan saat ini dengan kabinet kerja sebenarnya dengan komitmen yang tinggi kita manfaatkan dalam artian terobosan di dalam kebijakan. Sudah dimulai sejak pemerintahan sebelumnya, contohnya kebijakan pengadaan tanah . Pengadaan tanah sekarang lebih fleksibel, sebetulnya bisa dibayar dulu tidak oleh pemerintah. Memang sebetulnya oleh anggaran APBN
Luki Eko Wuryanto
Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
foto:theworldfolio.com
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
17
dan APBD tapi demi fleksibiilaitas boleh dibayar dulu oleh swasta untuk kemudian diganti dengan anggaran pemerintah. Skema PPP memperluas sektor yang dipartisipasi swasta, dukungan , jaminan diberikan secara lebih pasti, proses tendernya disimplifikasi. Proses tender dahulu 2 kali gagal baru ditunjuk langsung, kalo sekarang hanya sekali gagal bisa dilakukan proses penunjukan langsung.
Pemerintah telah mengeluarkan Perpres 30/2015 tentang Pengadaan lahan untuk Kepentingan Umum dan Perpres 30/2015 terkait PPP. Selain kedua Perpres tersebut, peraturan perundangan yang saat ini sedang digarap untuk mengawal percepatan pembangunan infrastruktur prioritas di tahun 2015 dan untuk lima tahun mendatang? Untuk pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, harus dilakukan dengan cepat, insentifnya harus revolusioner, karena UndangUndang sendiri tidak ikut UU Pajak. Hal ini tergantung situasi politik bisa dikendalikan. Skema yang lebih mudah Pemerintah akan membuat komitmen kepada swasta untuk membangun infrastruktur. Mestinya infrastruktur di luar jawa dikaitkan dengan kegiatan ekonomi sektor usaha, mayoritas pada sektor mineral. Mestinya on top dari insentif, pemerintah memberikan kompensasi apabila swasta membangun infrastruktur yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk disekitarnya. Kewajiban pemerintah dilakukan oleh swasta, walaupun itu juga mereka butuhkan untuk beroperasi. Jika ada infrastruktur usaha mereka akan berkembang dan usaha swasta akan memiliki
18
multiplier. Apabila swasta membiayai 100 miliar untuk membangun infrastruktur,fasilitas yang diberikan tidak harus 100miliar, namun ada. Pemanfaatan masyarakat tidak murni 100 miliar namun mungkin hanya 30 miliar. Fasilitasi tersebut sudah merupakan kepedulian. Selama pemerintah belom bisa membangun, swasta dapat membangun dan dihargai.
Infrastruktur prioritas utamanya banyak yang dilaksanakan di luar Pulau Jawa dan melibatkan Pemerintah Daerah. Bagaimana penanganan proyek infrastruktur yang berkaitan dengan tanah adat (seperti Tanah Ulayat)?
Tanah ulayat tidak semua daerah mengalami permasalahan, paling rumit papua, memang nantinya tanah ulayat diakui dalam bentuk perda, memang nantinya pemerintah provinsi harus bisa memfasilitasi. Keberadaan tanah ulayat harus disepakati bersama antara pemda dan pimpinan masyarakat adat. Kesepakatan yang dapat diambul melalui sebuah peta yang dibuat bersama-sama antara pemerintah daerah dan pimpinan adat. Diharapkan pimpinan adat dapat mengatur masyarakatnya. Tentu ada pertimbangan sosial, intinya investor tidak bisa dibiarkan sendirian jadi harus di fasilitasi. Sekarang ini ada merauke jadi pusat produksi pangan modern, mekanisasi, penduduk sedikit. Persoalannya, kesepakatan antar suku yang ada disana. Once itu disepakati harus dihormati, ketika ada orang datang baru harus jangan diakuai, karena waktu kesepakatan gak ikut.
Bagaimana bentuk koordinasi ideal dengan Pemerintah Daerah? (misal: terkait pengadaan lahan,
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
RT/RW)
Pembangunan daerah tidak merata, Pulau Jawa Sumatera 80% PDB nasional, sementara 20% dari Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur.Kebijakan diarahkan untuk pembangunan wilayah timur, makanya pembangunan harus all out: salah satunya insentif tadi, apabila membangun wilayah harus dipilih wilayah yang potensial dan punya multiplier bagus. Namun harus terintegrasi antar proyek infrastruktur. Perlu disadari bahwa kemampuan Pemda terbatas, terutama sumber daya manusia lokal masih harus ada pola pendekatan affirmatif. Peningkatan kemakmuran masyarakat daerah sesuai kemampuannya. Dalam jangka pendek dan menengah, memiliki kesulitan untuk langsung dilibatkan, minimal, jika terdapat kegiatan ekonomi di situ, akan timbul kesempatan untuk bisa mengikuti dan ada peningkatan kemakmuran disitu. Munculnya kegiatan ekonomidi daerah merupakan sesuatu yang bagus, walaupun pelaku usaha dari Jawa. Kita harus membangun ekonomi secara terintegrasi. Sebelumnya, di tahun 2011, Pemerintah juga telah membentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (disingkat KP3EI) yang bertugas untuk (i) melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI; (ii) melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI; dan (iii) menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan MP3EI. Seberapa efektifkah pelaksanaan program MP3EI?
Penyusunan MP3EI telah melibatkan pemerintah, dunia usaha, daerah, cendekiawan disertai dengan komitmen nasional untuk strategi ekonomi jangka panjang. Pemilihan daerahnya disesuaikan dengan koridor ekonomi yang potensial. Secara strategi jangka panjang sudah mapan, selanjutnya yang menjadi bahan pemikiran adalah bagaimana metode yang dilakukan agar MP3EI masih tetap berjalan meski masa kerja pemerintahan telah usai. Dalam tahap pelaksanaan terdapat beberapa hambatan. Komitmen awal sebesar Rp4.000 triliun namun memiliki tahapan kesiapan yang berbedabeda: ada yang sedang tahap awal, medium, dan ada yang final. Sehinggga pada akhirnya Ground breaking hanya Rp1.000 triliun antara tahun 2011-2014.
Apakah peraturan daerah, berdasarkan pengalaman Bapak, selama ini berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur?
Selama ini yang kita lakukan adalah debottlenecking, melalui koordinasi antara pemerintah daerah, pemerintah pusat dan sektor terkait untuk pembahasan pada project level dan permasalahannya. Aturan daerah ada beberapa yang menghambat namun tidak terlalu banyak. Misalnya di Kalimantan terkait ijin pendirian pabrik besi yang siap berproduksi namun akses jalan ke situs tidak diberikan oleh pemerintah daerah karena beberapa masalah. Selain itu pelaku usaha dalam rangka memperoleh bahan baku, terhambat karena regulasi yang menentukan daerah kawasan hutan tidak boleh kurang dari 30%. Terdapat juga kurangnya harmonisasi antara peraturan pemerintah pusat dan daerah, namun dengan langkah koordinasi
dan penyusunan regulasi di peraturan menteri dapat diakomodasi.
Bagaimana pembangunan infrastruktur pada daerah perbatasan dan kebijakan ke depannya?
Menurut informasi yang saya dengar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah memiliki rencana untuk merealisasikan proyek yang membanggakan, yang akan disampaikan pada triwulan III tahun 2015. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melakukan langkah-langkah untuk membangun sejumlah daerah perbatasan. Terutama perbatasan dengan daerah yang lebih maju Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur yang berbatasan darat dan beberapa pulau kecil. Apabila mau mendirikan infrastruktur yang penting adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pun harus terintegrasi.
Apakah insentif fiskal dalam menunjang infrastruktur sudah dirasa cukup dan bagaimana insentif dalam pembangunan infrastruktur dihadapkan pada optimalisasi penerimaan negara?
Insentif fiskal/ fasilitas apapun terkait dengan infrastruktur dan regulasinya sudah cukup. Yang dibutuhkan oleh investor terutama adalah kepastian hukum dan kecepatan prosedural proses investasi. Selain itu juga dibutuhkan informasi yang jelas terkait proyek yang ditawarkan serta komitmen pemerintah, terutama terkait kebijakan lintas sektor. Menurut Bapak, hal-hal apa saja kah yang membedakan antara KPPIP dengan KP3EI? Instrumen apa saja
yang digunakan KPPIP dalam rangka percepatan infrastruktur? Apabila kita harus membahas 1.000 proyek tentu akan memerlukan waktu yang lama.Akan lebih efektif apabila dipilih shortlist memiliki signifikansi ekonomi tinggi, proyek relatif siap, telah diteliti secara akademis dan tidak melanggar tata ruang. Dalam penentuan daftar tersebut ditetapkan 20-25 kriteria dengan melibatkanKementerian Keuangan,Bappenas dan instansi lain. Meski telah terdapat kajian akademisnya kita ingin evaluasi proyek ini dilakukan oleh tim ahli untuk nantinya kita tetapkan pembiayaannya. Dalam KPPIP terdapat tim yang melakukan evaluasi secara independen dan tindak lanjutnya dilakukan oleh menteri Keuangan. Beberapa proyek yang siap ditenderkan antara lain i) proyek Kereta Api Ekspres Bandara SHIA (Soekarno Hatta International Airport), ii) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Semarang Barat, iii) Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dan iv) Jalan Tol Manado-Bitung.
Bagaimana realisasi dan efektivitas pertemuan bisnis tersebut dalam percepatan pembangunaninfrastruktur?
Pertemuan bisnis menghasilkan banyak komitmen,namun permasalahannya di tahap tindak lanjut komitmen tersebut. Kadang investor malah proaktif menanyakan, namun dari kita kurang responsif. Indonesia masih dianggap menarik dari sisi investasi, namun langkah tindak lanjut dan kepastian birokrasinya harus dipercepat.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
19
OPTIMALISASI INVESTASI: KEBIJAKAN PELAYANAN Bronson Marpaung
I
nvestasi mempunyai makna strategik terhadap pembangunan ekonomi. Oelh karena itu, beberapa waktu yang lalu, pemerintah Indonesia mulai lebih berupaya untuk menggalakkan investasi nasional dengan pelaksanaan kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat. Kebijakan PTSP Pusat ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasi potensi investasi, baik asing maupun domestik, untuk pembangunan ekonomi nasional. Melalui kebijakan PTSP, pemerintah akan memberi kemudahan berinvestasi dari sisi administrasi birokratif dengan memotong banyak tahap perizinan. Ini dilakukan dalam rangka mewujudkan iklim penanaman modal yang berdaya saing sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Dirumuskannya kebijakan PTSP Pusat ini tidak terlepas dari iklim investasi yang kurang kondusif untuk mendukung pertumbuhan investasi nasional (kebijakan PTSP pertamakali dilaksanakan pada tahun 2009). Fakta ini tercermin dari laporan yang dirilis oleh lembaga-lembaga internasional pada periode sebelum kebijakan PTSP dilaksanakan. Laporan The
harus melalui proses perizinan yang panjang sehingga membutuhkan biaya yang besar (high cost economy). Laporan ini didukung oleh hasil kajian Doing Business 2007 yang menunjukkan kalau posisi Indonesia berada di peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, peringkat daya saing ekonomi Indonesia bahkan melorot 4 peringkat (sebelumnya peringkat 131 pada tahun 2006). Dari berbagai laporan tersebut dapat diidentifikasi bahwa salah satu faktor penggerus utama daya saing ekonomi nasional adalah hambatan birokrasi (Basri, 2005). Sebagai ilustrasi rumitnya birokrasi perizinan di Indonesia dapat dilihat pada investasi bidang migas yang memerlukan 341 jenis izin yang tersebar di 17 instansi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Jika dihitung, lamanya waktu pengurusan izin ini bahkan bisa mencapai 10 sampai 15 tahun. Oleh karena itu, bergerak dari realitas yang ada, pelaksanaan kebijakan PTSP Pusat yang menawarkan kemudahan berinvestasi, utamanya Gambar 1. Ilustrasi proses perizinan dan non-perizinan di PTSP Pusat
Political and Economic Risk Consultancy pada tahun
2005, misalnya, menunjukkan bahwa untuk dapat berinvestasi di Indonesia, seorang investor
20
Sumber: BKPM
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
dari sisi administrasi birokratif, menjadi suatu keniscayaan bagi perbaikan daya saing ekonomi nasional. Penyelenggaraan PTSP Pusat ditujukan untuk memberi pelayanan perizinan yang cepat, sederhana dan terintegrasi. Dengan dilaksanakannya kebijakan PTSP Pusat, investor hanya perlu datang ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengurus berbagai perizinan investasi yang selama ini diajukan ke berbagai kementerian atau lembaga. Dengan begitu, investor tidak perlu lagi berkeliling kementerian/lembaga untuk mengurus perizinan investasi. Proses penyederhaan perizinan ini membuat jangka waktu pengurusan izin menjadi lebih singkat. Sebagai contohnya, jangka waktu penerbitan izin usaha saat ini paling lama 7 hari kerja, dari yang sebelumnya 14 hari kerja, terhitung sejak diterimanya dokumen perizinan secara lengkap. Dari gambar 1, dapat dilihat bahwa proses pengurusan perizinan di PTSP Pusat meliputi dua saluran, yakni offline dan online. Untuk pengurusan bisnis offline, setiap kementerian yang terlibat di dalam PTSP Pusat menempatkan petugas penghubungnya (liaison officer) masingmasing. Pada prosesnya, pemohon atau investor dapat langsung menuju desk kementerian terkait
untuk mengonsultasikan dan mengajukan perizinan agar kemudian proses dokumentasinya dapat diteruskan sampai pada tahap pengesahan usaha. Secara rinci berikut dituliskan nama kementerian-kementerian yang telah terlibat dan meleburkan proses perizinannya ke BKPM. Dari total 150 izin yang dilayani di PTSP Pusat, 118 diantaranya didelegasikan kepada BKPM. Sementara, 32 izin lainnya meski tidak didelegasikan, tetap bisa diakses di PTSP Pusat. Di PTSP Pusat, pengurusan izin tidak hanya terkait dengan pendirian usaha saja. Untuk pengurusan surat persetujuan visa tidak dalam rangka bekerja bagi penanaman modal asing yang dikeluarkan oleh Kemenkumham, atau izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh Kemenaker, misalnya, investor tidak perlu mengurusnya ke kementerian teknis, karena saat ini dapat diurus di BKPM. Secara ringkas, PTSP pusat siap melayani seluruh perizinan investasi bidang usaha, kecuali untuk sektor hulu migas dan perbankan. Selain secara offline, investor juga dapat mengajukan permohonan perizinannya secara online. Jenis perizinan investasi yang dapat diurus (dan dimonitor) secara online di BKPM diantaranya meliputi: Karena seluruh perizinan yang diterbitkan oleh BKPM di atas dapat diajukan dan dimonitor secara online, investor dapat mengajukan permohonan dari kantor masingmasing. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan transparansi dalam hal pengurusan perizinan. Proses ini tentu akan
ekonomi khusus dan 1 kawasan perdagangan bebas pelabuhan bebas (KPBPB). Untuk itu, saat ini BKPM akan menyiapkan desk atau konter perwakilan daerah di PTSP Pusat. Dengan demikian, daerah-daerah dapat mengirimkan perwakilannya untuk menjelaskan kondisi daerahnya kepada calon investor. Proses pengintegrasian sendiri akan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki proyek-proyek macet yang besar. Dengan begitu, pengintegrasian PTSP Pusat dan Daerah akan lebih berdampak nyata pada iklim investasi di daerah.
Tabel 1. Daftar Kementerian
Sumber: BKPM
Tabel 2. Daftar Jenis Perizinan online
Sumber: BKPM
sangat mengefesienkan proses pengurusan perizinan di Indonesia. Untuk dapat lebih meningkatkan efesiensi pada PTSP, tidak hanya dengan kementerian teknis, dalam jangka panjang, pelaksanaan PTSP Pusat diharapkan akan juga terintegrasi dengan PTSP Daerah. Sepanjang tahun 2015, BKPM menargetkan pengintegrasian 144 PTSP daerah, terdiri dari 24 provinsi, 94 kabupaten, 20 kota, 5 kawasan
Adanya upaya untuk mengintegrasikan PTSP Pusat dengan Daerah dinilai penting. Ini karena pelaksanaan PTSP di daerah belum berjalan dengan maksimal. Fakta tersebut tercermin dari hasil laporan evaluasi pelaksanaan PTSP Daerah oleh BKPM. Pada laporan itu disampaikan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum optimal dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non-perizinan secara terpadu satu pintu. Pada pengukuran pelaksanaan PTSP tahun 2010, dari 130 instansi penyelenggara PTSP Provinsi dan Kabupaten/Kota, hanya sekitar 1.54 persen yang diberi bintang 3. Sementara itu, sekitar 23.84 persen masih berkategori bintang 1. Bahkan, 50.77 persen diantaranya masih berstatus non penanaman modal. Pada 2011, kondisinya juga tak jauh berbeda. Fenomena pemerintah daerah yang belum optimal dalam merumuskan peyelenggaraan PTSP masih terus
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
21
foto:bareksa.com
berlangsung. Dalam penilaian terhadap 265 PTSP kabupaten dan kota, tidak ada satupun PTSP yang berkategori Bintang 4 maupun Bintang 3. Sekitar 10,57 persen PTSP berkategori Bintang 2, dan 17,74 persen PTSP berstatus Bintang 1. Lainnya, sebanyak 71,7 persen masih menyandang sebagai PTSP Non-Penanaman Modal. Bergerak dari fakta di atas, penggabungan PTSP Pusat dan Daerah guna mendorong kinerja investasi daerah menjadi penting adanya. Untuk itu, agar proses pengintegrasian dapat berjalan dengan baik ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, seperti kesiapan infrastruktur dan komitmen pemerintah daerah untuk menyamakan standar perizinannya dengan PTSP Pusat. Khusus untuk persoalan komitmen pemerintah daerah ini perlu kiranya mendapat perhatian khusus. Karena, sampai dengan tahun 2015, masih ada 47 pemerintah daerah yang belum memiliki komitmen untuk membentuk dan melimpahkan kewenangan perizinan dan nonperizinan kepada PTSP. Akibatnya, proses pengurusan izin investasi masih terfragmentasi. Sebab, kewenangan penandatanganan izin dan nonizin
22
masih berada di bawah kendali kepala/perangkat daerah. Selain itu, fokus pada komitmen pemerintah daerah menjadi semakin penting karena dari 355 Pemda yang telah melimpahkan izin dan non-izin, baru sekitar 192 Pemda yang telah merampungkan SOP. Dengan kata lain, meski sudah mengadaptasi PTSP, karena belum merampungkan SOP, investor juga masih tidak memperoleh kepastian waktu dan biaya penyelesaian izin dan non-izin di PTSP Daerah tersebut. Ini tentu bertolak belakang dari salah satu misi PTSP sendiri, yakni memberikan kepastian dari sisi waktu investasi. Sejauh ini, impelementasi kebijakan PTSP, yang mulai lebih digalakkan pada awal tahun 2015, telah memberi efek positif. Hal ini dicerminkan dengan adanya peningkatan realisasi investasi pada triwulan-I 2015 sebesar 16.9 persen dibandingkan realisasi investasi pada triwulan-I 2014. Seperti yang dilaporkan oleh BPKM, realisasi investasi pada triwulan-I 2015 mencapai Rp 124.6 triliun, meningkat dibandingkan capaian pada triwulan-I 2014 yang hanya sebesar Rp 106.6 triliun. Lebih lanjut, realisasi investasi triwulan-I 2015 berasal dari PMDN sebesar Rp 42.5 triliun, dan PMA sebesar Rp
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
82.1 triliun. Tingginya realisasi investasi selama triwulan-I 2015 menunjukkan bahwa minat investasi di Indonesia cukup besar. Minat investasi ini perlu untuk dioptimalisasi, agar target investasi nasional tahun 2015 sebesar Rp 519.5 triliun dapat tercapai. Untuk mencapai hal itu, kemudahan proses dan kepastian waktu perizinan, yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan PTSP Pusat dan Daerah, perlu secara konsisten diwujudnyatakan untuk menciptakan iklim investasi nasional yang kondusif.
Resensi Buku
Kearifan Lokal dan Keunggulan Global
Pengarang : Hanna Panggabean, Hora Tjitra, Juliana Muniarti Penerbit : PT Elex Media Komputindo Tebal : 230 halaman
I
ndonesia saat ini dipandang sebagai salah satu negara yang bersinar di Asia karena mampu bertahan dalam krisis ekonomi global dengan stabilitas moneter dan kebijakan fiskal yang mendorong pertumbuhan ekonomi. World Economic Forum pada tahun 2012 memasukkan Indonesia dalam jajaran “Trillion Dollar Club” karena telah membukukan pendapatan domestik bruto yang melampaui satu triliun dollar AS. Potensi ini membuat Indonesia menjadi pusat perhatian global dan menjadi target investasi dunia. Potensi yang besar tentu didukung oleh identitas masyarakat Indonesia sebagai bangsa. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat agraris. Karena berlatar belakang masyarakat agraris, maka orang Indonesia dikenal memiliki rasa toleransi yang tinggi, sikap kooperatif dan gotong royong demi tujuan bersama. Seiring dengan perkembangan zaman, mata pencaharian masyarakat berubah, tidak hanya menggantungkan dari sektor pertanian. Namun karakteristik sebagi masyarakat agraris tetap tertanam dan melekat dalam diri masyarakat.
Budaya, cara pandang, cara berpikir dan kearifan lokal bersumber dari karakteristik masyarakat tersebut. Beberapa karakter yang dimiliki masyarakat Indonesia antara lain : Guyub, yang menggambarkan suasana kelompok yang nyaman dan harmonis karena semua komponen yang ada dalam keadaan selaras. Suasana guyub dipertahankan dengan menjaga kerukunan melalui upaya menghindari konflik. Namun dalam hubungan kinerja global, upaya menghindari konflik dapat dipandang sebagai karakter yang tidak berani berpendapat atau kurang memiliki kualitas. Sebenarnya nilai guyub dalam kearifan lokal dapat menjadi keunggulan global bagi orang Indonesia. Selama tidak mengedepankan sikap pasif dan menghindari konflik, nilai guyub yang berorientasi pada keselarasan hubungan antar individu dalam kelompok ternyata efektif untuk mencapai target dan kinerja bagi orang Indonesia. Masyarakat Indonesia juga dipandang sebagai masyarkat yang religius. Nilai Religiusitas telah ditanamkan sejak usia dini, baik oleh orang tua,masyarakat, maupun lingkungan pendidikan melalui
pendidikan agama. Dalam dunia bisnis baik lokal maupun global, nilai religiusitas menjadi perhatian penting. Religiusitas mengindikasikan sikap integritas yang merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki dalam dunia bisnis. Selain itu terdapat beberapa budaya kearifan lokal yang diungkapkan penulis dalam buku ini. Budaya Kearifan lokal ini sudah terdapat dalam masyarakat Indonesia dan dapat dimanfaakan untuk meningkatkan keunggulan pada skala global. Buku ini menjadi menarik karena mengungkapkan potensi kearifan lokal dapat mendorong keunggulan komparatif Indonesia dalam persaingan global. Organisasi memiliki peran yang penting dalam membentuk pribadi yang memiliki daya saing pada tingkat global. Selain itu juga disampaikan juga Implementasi dalam dunia bisnis dan metode-metode yang dapat dilakukan dalam membentuk tenaga profesional yang memiliki daya saing dalam tingkat global.
Oleh : Alexcius WBS
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
23
APBN 101
APBN 101 (bagian I) Puji Gunawan
" Perubahan utama T-account menjadi I-account diperuntukan agar masyarakat dapat lebih mudah memahami dan menilai perkembangan kinerja kebijakan fiskal, kondisi keuangan, kesinambungan fiskal, serta akuntabilitas Pemerintah".
A
nggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibangun melalui beberapa tahapan-tahapan. Yang dimulai dari penetapan kapasitas fiskal (resource envelope), penyusunan pagu indikatif, sampai dengan penetapan APBN. Inti dari tahapan-tahapan tersebut terangkum dalam Postur APBN. Postur APBN dapat didefinisikan sebagai bentuk rencana keuangan pemerintah yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk mencapai tujuan bernegara (Kementerian Keuangan, 2015). Postur APBN sendiri telah mengalami perubahan format dari yang sebelumnya disusun menggunakan format T-account menjadi menggunakan I-account.
Perubahan ini utamanya diperuntukan agar masyarakat dapat lebih mudah memahami dan menilai perkembangan kinerja kebijakan fiskal, kondisi keuangan, kesinambungan fiskal, serta akuntabilitas Pemerintah. Pasca krisis keuangan 1998/1999 di Indonesia, terdapat perubahan mendasar berupa perubahan tahun fiskal (April - Maret diubah menjadi Januari–Desember) dan format APBN yang mendekati standar internasional untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas Pemerintah. Format dan struktur APBN yang dalam periode sebelumnya disusun dalam bentuk (T-account) berdasarkan prinsip anggaran berimbang dan dinamis
Sumber: Kementerian Keuangan
24
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
diubah menjadi I-account. Dalam format baru tersebut, dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara. Penyesuaian format dan struktur APBN memberikan beberapa keuntungan, yaitu lebih meningkatkan transparansi dalam penyusunan, pelaksanaan, dan perhitungan, mempermudah pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan dan pengelolaan APBN.Selain itu, format APBN baru mempermudah dilakukannya analisis terhadap strategi kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah, termasuk jika ingin dilakukan benchmarking operasi fiskal Indonesia dengan negara lainnya.
Ruang Fiskal dalam Postur APBN
Ruang fiska l (fiscal space)sendiri
KETERKAITAN ANTARA POSTUR APBN DENGAN TAHAPAN-TAHAPAN SIKLUS APBN
Sumber: Kementerian Keuangan
Perubahan struktur dan format APBN tersebut juga dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaksanaan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan reklasifikasi pos-pos pendapatan, seperti pajak penghasilan dari penerimaan migas, dan penerimaan yang berasal dari sumber daya alam lainnya, yaitu pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan, maka akan dapat dengan mudah dihitung dan diketahui besarnya dana bagi hasil dan dana alokasi khusus untuk daerah.
Siklus
Penyusunan postur APBN merupakan langkah penting dalam memulai proses penganggaran. Postur APBN tersebut disusun sesuai dengan siklus APBN. Dalam hal ini, siklus APBN adalah tahapan kegiatan dalam masa atau jangka waktu, dari sejak proses perencanaan APBN, pembahasan APBN dengan DPR, dan pengesahan UU APBN, hingga pelaksanaan APBN, dan pengesahan undang-undang pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN (Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat/LKPP) oleh DPR. Sesuai dengan siklus APBN, postur APBN dibedakan antara postur Resource Envelope dan Pagu Indikatif Belanja Kementerian Negara dan Lembaga (K/L) yang disusun satu tahun sebelum berlakunya APBN tahun yang direncanakan, postur Rancangan APBN (RAPBN) yang diajukan Pemerintah ke DPR, postur APBN hasil pembahasan dengan DPR, postur RAPBN Perubahan, postur APBN Perubahan(APBNP), dan juga postur realisasi APBN dalam LKPP. Secara keseluruhan, seluruh postur-postur tersebut disusun selama dua setengah tahun, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan laporan pertanggung jawaban atas realisasi.
didefinisikan sebagai total pengeluaran dikurangi dengan belanja non diskresioner/terikat seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran yang dialokasikan untuk daerah. Ruang fiskal menjadi salah satu hal yang sering dibahas. Banyak orang yang selama ini memiliki pemikiran bahwa jika pendapatan negara naik sebesar X triliun maka Pemerintah akan memiliki tambahan kapasitas fiskal untuk dibelanjakan sebesar X triliun. Namun faktanya tidak demikian, karena adanya keterkaitan antar komponen APBN sesuai dengan formula perhitungan tertentu termasuk mandatory spendin g menyebabkan fiscal space yang terjadi tidak sebesar tambahan pendapatan.
Berbagai faktor yang menentukan kondisi postur APBN yang disusun pada setiap tahapan siklus penganggaran. Setidaknya ada empat faktor utama yang menentukan postur APBN, yaitu meliputi (1) Asumsi Dasar Ekonomi Makro,(2) Kinerja tahun-tahun sebelumnya,(3) Parameterparameter, serta (4) Kebijakan Pemerintah.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
25
Fiskal
Kebijakan Tax Allowance: Kebijakan Untuk Mendorong Investasi di Indonesia Aryo Mufti
D
alam rangka mendorong investasi di Indonesia pemerintah mengeluarkan kebijakan PP Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang – Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah – Daerah Tertentu. Kebijakan ini sering disebut kebijakan fasilitas Tax Allowance, fasilitas Tax Allowance adalah fasilitas PPh yang diberikan berupa pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah investasi yang dibebankan selama 6 (enam) tahun, masing – masing 5% per tahun, ada 52 bidang usaha yang menerima fasilitas ini. Pada Tanggal 6 April 2015 pemerintah mengeluarkan PP Nomor 18 Tahun 2015 yang merupakan revisi PP Nomor 52 Tahun 2011. Dalam PP Nomor 18 Tahun 2015 ada beberapa
perubahan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya diantaranya: (1). Dalam peraturan sebelumnya, Pemerintah memberikan syarat minimal nominal investasi dan penyerapan tenaga kerja, dalam peraturan terbaru persyaratan tersebut tidak ada; (2). Dalam peraturan terbaru total ada 66 bidang usaha yang mendapatkan fasilitas Tax Allowance; (3). Pemerintah memperlunak persyaratan pengajuan insentif; (4). Untuk kewajiban penggunaan komponen lokal dan minimal luas lahan, persyaratan tersebut tak lagi tertera pada daftar bidang usaha tertentu penerima fasilitas; (5). Dalam pelaksanaan PP Nomor 18 Tahun 2015, diterbitkan juga Peraturan Menteri Keuangan sebagai petunjuk pelaksanaan. PP Nomor 18 Tahun 2015 mulai berlaku 30 hari setelah peraturan ini
foto:property118.com
26
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
dikeluarkan atau mulai berlaku per 6 Mei 2015. Fasilitas utama Tax Allowance dalam PP Nomor 18 Tahun 2015 yaitu: (1). Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, dibebankan selama 6 tahun masing – masing sebesar 5% per tahun yang dihitung sejak saat mulai berproduksi secara komersial; (2). Penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka penanaman modal baru dan/atau perluasan usaha; (3). Pengenaan pajak penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; (4). Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Selain fasilitas utama dalam PP Nomor 18 Tahun 2015 ada fasilitas tambahan kompensasi kerugian yaitu: (1). Penanaman modal baru pada bidang usaha tertentu di kawasan industri dan/atau kawasan berikat (Tambahan 1 Tahun); (2). Mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar 10 Miliar (Tambahan 1 Tahun); (3). Menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil
Surat Usulan ini dikeluarkan 3 (Tiga) hari kerja setelah dilaksanakan Rapat Trilateral.
foto:pemeriksaanpajak.com
produksi dalam negeri paling sedikit 70% sejak tahun ke-4 (Tambahan 1 Tahun); (4). Mempekerjakan sekurangkurangnya 500 atau 1000 orang tenaga kerja Indonesia selama 5 tahun berturut – turut (Tambahan 1 atau 2 Tahun); (5). Mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produk paling sedikit 5% dari jumlah penanaman modal dalam jangka waktu 5 tahun (Tambahan 2 Tahun); (6). Melakukan perluasan usaha pada bidangbidang usaha tertentu dan/atau daerah – daerah tertentu yang sebagian sumber pembiayaan berasal dari laba setelah pajak (earning after tax). (Tambahan 2 Tahun); (7). Melakukan ekspor paling sedikit 30% dari nilai total penjualan, untuk penanaman modal untuk bidang-bidang usaha tertentu yang dilakukan diluar kawasan berikat ( Tambahan 2 Tahun). Bagi Wajib Pajak Badan yang akan mengajukan fasilitas Tax Allowance, berikut prosedur yang harus dijalani: (1). Wajib Pajak Badan mengajukan surat permohonan fasilitas pajak penghasilan (PPh) Badan / Tax Allowance (TA) dengan
melampirkan dokumen persyaratan ke PTSP Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM); (2). BKPM akan melakukan pemeriksaan dokumen permohonan; (3). Jika semua dokumen persyaratan sudah lengkap dan tidak ada kesalahan maka akan diadakan Rapat Trilateral, Rapat Trilateral adalah rapat pembahasan pengambilan keputusan usulan pemberian fasilitas pengurangan PPh Badan/ TA, dihadiri oleh pejabat setingkat Eselon I atau yang mewakili dari BKPM, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak dan Staf Ahli Menteri Keuangan serta Kementerian Teknis sesuai dengan bidang usaha yang diajukan dalam permohonan; (4). Rapat Trilateral dilaksanakan selambat – lambatnya 15 hari kerja sejak klarifikasi teknis, hasil dari Rapat Trilateral berupa Berita Acara yang menyatakan menyetujui pemberian fasilitas Tax Allowance, menolak, atau belum dapat diambil keputusan menyetujui atau menolak; (5). Untuk hasil Rapat Trilateral belum dapat diambil keputusan, maka akan diadakan Rapat Trilateral Lanjutan; (6). Untuk hasil Rapat Trilateral fasilitas Tax Allowance disetujui maka akan ada Surat Usulan BKPM kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak, pengajuan
Ada Wajib Pajak Badan yang dikecualikan untuk menerima Fasilitas Tax Allowance ini, yaitu: (1). Wajib Pajak Badan yang kegiatan usahanya berlokasi di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET); (2). Wajib Pajak Badan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Diharapkan dengan kebijakan fasilitas Tax Allowance ini dapat mendorong investasi di Indonesia.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
27
Keuangan
Sukuk Negara Ritel : Investasi Aman dan Nyaman Sri Purwanti
foto:kanalsatu.com
P
emerintah menerapkan kebijakan anggaran ekspansif untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi agar lebih tinggi. Konsekuensinya adalah timbul pengeluaran yang lebih besar dari penerimaan negara atau sering kita kenal dengan defisit anggaran. Defisit anggaran dibiayai denan berbagai instrumen baik berupa pinjaman langsung atau penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat adalah Sukuk Negara Ritel. Penerbitan instrumen ini diibaratkan sebuah “simbiosis mutualis” antara Pemerintah dan Masyarakat. Pemerintah selaku penerbit memperoleh keuntungan berupa dana yang diperoleh dari masyarakat, sedangkan masyarakat memperoleh keuntungan dari hasil investasi yang mereka dilakukan. Sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 2009, nominal penerbitan Sukuk Negara Ritel terus mengalami peningkatan. Demikian halnya dengan jumlah masyarakat yang berinvestasi juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sukuk Ritel didesain oleh Pemerintah untuk menjadi instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia secara perseorangan,
28
maka instrumen investasi ini dapat dinikmati pula oleh masyarakat luas karena hanya dengan Rp5 juta saja masyarakat sudah dapat memiliki SBSN. Sebagai instrumen yang diterbitkan oleh Pemerintah, Sukuk Ritel dapat dikategorikan sebagai instrumen investasi bebas risiko (zero risk investment). Hal ini dikarenakan seluruh nilai investasi masyarakat baik pembayaran nominal ketika jatuh tempo maupun imbal hasilnya dijamin oleh Pemerintah melalui Undang-Undang no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) dan Undang-Undang APBN yang diterbitkan setiap tahun. Selain harus memenuhi hukum positif yang berlaku di negeri ini, penerbitan Sukuk Ritel juga harus
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
ada pernyataan syariah compliance untuk menyakinkan para investor bahwa sukuk telah distruktur sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Pernyataan syariah compliance tersebut dalam konteks Indonesia diperoleh dari Dewan Syariah Nasional – MUI. Untuk itu, DSN MUI telah mengeluarkan 4 fatwa terkait dengan penerbitan Sukuk Negara, yaitu: 1. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara 2. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara 3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back 4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008
Tabel Realisasi Penjualan Sukuk Ritel
Sumber: Kementerian Keuangan
foto:valburysecurities.co.id
tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back. Sejak tahun 2009 s.d 2015, Indonesia telah menerbitkan Sukuk Ritel sebanyak 8 (delapan) kali. Total permintaan paling banyak adalah Sukuk Ritel seri SR 007 yang mencapai Rp21,9 triliun dengan besar imbal hasil sebesar 8,25 % dengan jumlah investor sebanyak 29.706 investor. Banyak keuntungan yang bisa didapat dari berinvestasi pada Sukuk Negara Ritel yang berkode SR. Selain memberikan “rasa tentram” karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah
seperti riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling), investor juga mendapat manfaat yang sama seperti halnya obligasi konvensional seperti pembayaran imbalan (nisbah bagi hasil dalam sukuk) yang kompetitif dan sesuai dengan jatuh tempo karena dijamin oleh pemerintah. Selain itu, Sukuk Negara Ritel juga dapat diperjualbelikan di pasar sekunder sesuai dengan harga pasar, sehingga investor berpotensi mendapatkan capital gain di pasar sekunder serta prosedur pembelian dan penjualan yang mudah dan transparan.
yaitu dari segi penjualannya yang masih banyak pada bank konvensional dan perusahaan efek ketimbang bank Syariah. Kedepannya perlu perhatian khusus dalam hal menggadeng agen penjualan yang nantinya akan menawarkan Sukuk Negara Ritel tersebut ke masyarakat sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat yang benar-benar ingin berinvestasi “bersih” dan dapat berpartisipasi pula dalam pembangunan nasional.
Tentunya dengan segala kelebihannya, Sukuk Negara Ritel masih mempunyai kekurangan,
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
29
Kegiatan Menko
Peningkatan Kerjasama Selatan - Selatan Aryo Mufti
M
enko Perekonomian menghadiri World Economic Forum East Asia 2015 pada Tanggal 21 April 2015. Menko Perekonomian melakukan diskusi interaktif dengan menteri negara lain yang menghadiri forum ini. Tema World Economic Forum East Asia 2015 bertema “Anchoring Trust East Asia’s New Regionalism. Tujuan World Economic Forum East Asia 2015 adalah meningkatkan kerjasama antara Negara sebagai usaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada 2015. Indonesia memiliki tenaga kerja yang melimpah dan jumlah konsumen yang besar sebagai kekuatan fundamental pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pertumbuhan ekspor negara – negara berkembang
30
meningkat dari 33 persen pada Tahun 2001 menjadi 44 persen pada Tahun 2014. Peningkatan ini terjadi bukan hanya karena perdagangan antara negara maju dengan negara berkembang, namun juga antar negara berkembang. Sejak awal 1990, perdagangan negara selatan – selatan atau negara berkembang telah meningkat dua kali lipat dari rata – rata perdagangan dunia. Sejak saat itu, negara – negara selatan bergerak sebagai pusat perdagangan internasional. Dari sisi investasi Pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan investasi dengan meluncurkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). PTSP yang diluncurkan pada Tanggal 26 Januari 2015 dibentuk untuk menyediakan pelayanan perizinan
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
volume V nomor 4 edisi April 2015
dan non perizinan yang mudah, cepat, akurat, transparan dan akuntabel. Menko Perekonomian menutup dengan pesan bahwa tren menarik dari perdagangan dan investasi selatan – selatan merupakan sebuah potensi positif dari negara berkembang untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi global, memperkuat jaringan ekonomi global, dan meminimalisir gap antara negara berkembang dan maju.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN volume V nomor 4 edisi April 2015
31
Untuk informasi lebih lanjut hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 1 071 0 Telepon. 021 -3521 843, Fax. 021 -3521 836 Email :
[email protected] Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id