Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian - Republik Indonesia
Tinjauan Ekonomi & Keuangan Volume V | Nomor 7 | Edisi Juli 2015 | www.ekon.go.id
DAFTAR ISI
03
EDITORIAL
EKONOMI DOMESTIK 04
PERCEPATAN REALISASI BELANJA PEMERINTAH: SEBUAH KENISCAYAAN
06
APA KABAR DANA DESA
TPI – TPID 08
PEMBINA:
WELCOME, EL NINO
LAPORAN UTAMA
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
PENGARAH:
11
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
KESIAPAN INDONESIA MEMASUKI LIBERALISASI SEKTOR JASA ASEAN
14
KOORDINASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
15
SERTIFIKASI TENAGA KERJA PROFESIONAL ASEAN
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan
KOORDINATOR: Bobby Hamzar Rafinus
INVESTASI
EDITOR:
20
Edi Prio Pambudi Puji Gunawan
SAMPAI MANA WORKING GROUP INDONESIA – SINGAPURA?
EKONOMI INTERNASIONAL
Ratih Purbasari Kania
23
ANALIS:
PENGENDALIAN INFLASI FILIPINA
Puji Gunawan, Benito Rio Avianto. Sri Purwanti, Susiyanti, Trias Melia, Desi Maola Ayu Saputri
KONTRIBUTOR: Universitas Brawijaya, INDEF
02
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
EDITORIAL EDITORIAL REFORMASI KEBIJAKAN SUBSIDI Berdasarkan Undang-Undang Dasar, salah satu alasan penyelenggaraan Pemerintahanan adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, selama ini, berbagai cara telah ditempuh dalam rangka mensejahterakan rakyat, baik dari segi kesehatan, ketahanan pangan, pertahanan dan keamanan negara, hingga pencerdasan warganya melalui jalur pendidikan. Dari sisi perekonomian, salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini adalah dengan memberikan insentif berupa subsidi yang ditujukan baik untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengonsumsi barang kebutuhan hidupnya, maupun untuk mengurangi biaya produksi dari produsen. Perubahan kebijakan subsidi merupakan salah satu perubahan paling mendasar dan paling mencolok dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di awal masa Pemerintahan, terdapat urgensi dilakukannya peningkatan efisiensi dan kualitas belanja negara melalui penyesuaian harga BBM bersubsidi pada bulan November tahun 2014 dan penerapan subsidi tetap untuk minyak solar serta penghapusan subsidi untuk premium mulai awal tahun 2015. Kebijakan fiskal tersebut
bertujuan untuk meningkatkan ruang fiskal bagi program-program yang lebih produktif, dan meminimalkan kerentanan fiskal yang disebabkan oleh fluktuasi harga minyak mentah dan nilai tukar. Kebijakan untuk menata ulang subsidi yang mencapai 211,3 Triliun per tahun dan mengalokasikannya ke pengeluaran yang lebih produktif dan mendukung pembangunan Infrastruktur Kebijakan tersebut tentunya sangat jauh dari kata popular. Bertambahnya beban masyarakat secara umum lewat kenaikan harga menjadi hilir dari seluruh dampak yang ditimbulkan. Namun, terlepas dari dampak tersebut terdapat hal menarik dari data yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2013. Data tersebut menunjukkan bahwa -- dari 20% masyarakat miskin, hanya 7% yang menikmati subsidi bahan bakar minyak dan dari 20% dari masyakat mampu, yang menikmati subsidi telah mencapai 51%. Data dan fakta ini sebenarnya dapat dijadikan gambaran bahwa ternyata kebijakan yang selama ini ditempuh adalah tidak tepat sasaran. Subsidi energi perlu dirancang ulang agar lebih tepat sasaran dengan mengubah obyek subsidi dari harga ke individu (masyarakat miskin), misalnya dengan pemberian dana kompensasi, pemberian Rastera). Kebijakan realokasi belanja subsidi tentunya pasti menimbulkan tekanan kepada Inflasi. Penghapusan subsidi bisa digambarkan sebagai pil pahit yang memang harus dikonsumsi untuk mengatasi ‘tumor’ yang menghambat daya tahan perekonomian indonesia. Pemerintah dan DPR telah sepakat dan menyakini bahwa ‘rasa pahit’ pencabutan subisidi akan bersifat sementara dan pada akhirnya kita akan memiliki perekonomian dengan daya tahan yang lebih besar di kemudian hari.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
03
EKONOMI DOMESTIK
PERCEPATAN REALISASI BELANJA PEMERINTAH:
SEBUAH KENISCAYAAN Realiasi Belanja APBN –P 2015 harus menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di tengah menurunnya konsumsi masyarakat, Investasi dan perdagangan Internasional di Indonesia oleh Puji Gunawan
Pertumbuhan
ekonomi
diyakini
sebagai
dapat
menaikkan
indikator keberhasilan pembangunan suatu
dikarenakan
negara.
internasional
Dalam
sebenarnya,
kegiatan
ekonomi
pertumbuhan
yang
ekonomi
(g)
kinerja
pengaruh
ekspor
domestik
penurunan
harga
andalan
pada
komoditas
penurunan kinerja ekspor masih lebih kuat.
merupakan terjadinya perkembangan ekonomi
Dari
secara
jumlah
mengalami perlambatan di tengah kenaikan
produksi barang, infrastruktur, UMKM dan
harga barang dan jasa di pasar yang dipicu oleh
sebagainya. Badan Pusat Statistik
merilis
faktor internal dan eksternal. Faktor yang
pada
bersifat internal berupa penghapusan bertahap
triwulan I hanya mencapai 4,67%, di bawah
subsidi energi dalam APBN-P, distribusi barang
capaian triwulan II 2014 (5,03%) dan triwulan I
dan
2015 (4,72%).
sedangkan
Salah satu pendekatan untuk menghitung nilai
pelemahan nilai tukar rupiah, pengaruh el nino
g
pada produktivitas pangan)
fisik,
seperti
pertumbuhan
adalah
pertambahan
ekonomi
Indonesia
menggunakan
Pendapatan
Domestik
merupakan
fungsi
pertumbuhan
Bruto
linier
(PDB).
dari
PDB
konsumsi,
sisi
konsumsi
kondisi
masyarakat,
Infrastruktur
faktor
saat
ini
konektivitas,
eksternal
mencakup
Tabel II. Inflasidan asal Inflasi per Juli 2015
Komponen
InflasiJuli 2015 (%)
Tingkat InflasiTahun kalender 2015 (%)
Umum
0,93
1,90
0,34
2,34
pengaruh keempat komponen tersebut pada
Inti Administered Price
1,67
0,17
pertumbuhan ekonomi Indonesia
Volatile Food
2,13
investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih. Kondisi ekonomi nasional maupun global yang tidak menguntungkan saat ini dapat menghambat upaya pemerintah untuk menjaga
pertumbuhan
ekonomi.
Berikut
adalah gambaran bagaimana kondisi dan
Harga komoditas pangan dan minyak dunia yang
sedang
dalam
trend
menurun
menyebabkan kontribusi pertumbuhan yang berasal dari ekspor bersih menurun karena mayoritas barang ekspor Indonesia adalah komoditas. Melemahnya Rupiah belum terbukti
04
2,47 Sumber: Bank Indonesia
Dari sisi Investasi, sampai dengan triwulan1 2015 terdapat trend penurunan jumlah realisasi aktivitas
Investasi
langsung
luar
negeri.
Penurunan aktivitas ini sejalan dengan turunnya aliran modal masuk dengan adanya Foreign Direct Investment (FDI) tersebut.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Grafik III. realisasi FDI danaliran modal masuk per QI 2015
diyakini akan berdampak besar pada realisasi belanja secara keseluruhan.
Juta $ FDI BKPM
8000
FDI BI
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Q1 2012 Q2 2012 Q3 2012 Q4 2012 Q1 2013 Q2 2013 Q3 2013 Q4 2013 Q1 2014 Q2 2014 Q3 2014 Q4 2014 Q1 2015
Sumber: BKPMdan, Bank Indonesi
Dari
sisi
terdapat
realisasi
pengeluaran
kondisi
yang
Pemerintah,
berbeda
jika
dibandingkan dengan ketiga faktor yang lain. Walaupun
terdapat
kenaikan
realisasi
pengeluaran jika dibandingkan dengan Semester I tahun 2015, pengeluaran pemerintah belum berhasil
mengeliminir
dampak
pelemahan
kondisi kontributor pertumbuhan yang lain yang terjadi sepanjang tahun 2015 . Hal ini tercermin dari masih rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan tahun lalu. Faktor
utama
yang
menjadi
penghambat
percepatan realisasi belanja Pemerintah di tahun 2015
adalah perubahan
nomenklatur
pada
sejumlah kementerian. Sampai dengan 31 Juli 2015, realisasi belanja K/L baru mencapai Rp 261,0 triliun (atau 32,8% dari APBN-P 2015) sedangkan realisasi belanja non K/L mencapai Rp.227,6 triliun atau 43,3% dari APBN-P 2015. Dari gambaran tersebut, hal percepatan realisasi anggaran
Pemerintah
strategis
untuk
dilakukan..percepatan lebih dipengaruhi oleh kondisi internal yang relatif bisa dikendalikan oleh
Pemerintah.
Misalnya,
perubahan
Percepatan diharapkan akan terjadi dengan telah
dikeluarkannya
beberapa
ketentuan
perundang-undangan,
seperti
Peraturan
Presiden
tentang
No
75/2014
Percepatan
Penyediaan Infrastruktur Prioritas (sebagai cikal bakal
pembentukan
Komite
Percepatan
Penyediaan Infrastruktur Prioritas), Peraturan Presiden no 38/2015 terkait PPP, Peraturan Presiden no 30/2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, , Peraturan Pemerintah terkait Penyertaan Modal Negara tahun 2015, Peraturan dalam rangka penugasan khusus kepada BUMN dalam rangka Pembangunan Infrastruktur,
dan
peraturan
perundangan
lainnya yang bersifat sektoral Selain itu, Pemerintah Pusat perlu mendorong percepatan
realisasi
anggaran
Pemerintah
Daerahuntuk mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat dan Industri setempat.
nomenklatur kementerian yang telah selesai
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
05
EKONOMI DOMESTIK
Apa Kabar,
Dana Desa
?
oleh Susiyanti
foto: anlam.ac.id
Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan adanya alokasi dana bagi desa-desa di seluruh Indonesia. Dana desapun menjadi program pertama kali yang di luncurkan di Indonesia dan menjadi bagian dari salah satu tujuan negara untuk membangun desa-desa di seluruh Indonesia. Lantas sudah sejauh mana realisasinya ? Secara demografi, sebagian besar penduduk Indonesia memang tinggal di daerah pedesaan. Sehingga menggerakkan perekonomian desa, membuka lapangan kerja di desa dan mempercepat pembangunan wilayah perdesaan diharapkan bisa menjadi solusi dan memiliki dampak yang luas dalam pembangunan Indonesia secara menyeluruh. Alokasi Dana Desa pada dasarnya merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya, dana desa sendiri harus digunakan untuk pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan diurus oleh desa. Dana desa menjadi salah satu cara bagi negara untuk mencapai tujuan negara yakni membangun desa sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan dan mensejahterakan masyarakat desa. Prioritas dana desa adalah untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam prioritas belanja desa yang disepakati dalam musyawarah desa. Dana desa juga digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dana desa yang diluncurkan ke seluruh kabupaten dan kota seluruh Indonesia, tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Desa nomor 5 tahun 2015 terkait prioritas penggunaan dana desa tahun 2015. Dan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Kemudian tertuang kembali kedalam Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2014 tentang Dana desa yang Bersusumber dari APBN. Setidaknya ada 74 ribu desa yang tersebar di seluruh Indonesia.
06
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Dalam dokumen APBN 2015 yang telah disepakati, pagu Dana Desa sebesar Rp9,06 triliun, yang tercantum di dalam postur alokasi Transfer ke Daerah; Rp630,9 triliun bersama dengan komponen Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK) sebesar Rp509,5 triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat dan NAD) Rp16,5 triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp547 miliar serta Dana Transfer Lainnya Rp104,4 triliun. Dalam pasal 2 PP No. 60 Tahun 2014, disebutkan bahwa Dana Desa dikelola secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil perhitungan pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar yaitu Rp1,16 triliun dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 30. Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota Hingga akhir Juli 2015, Mentri DPDTT Marwan Jafar menyatakan penyaluran dana desa tahap pertama telah selesai. Sebagai tahap awal setidaknya 8.28 trilyun dana desa telah disalurkan. Meski tahap pertama cukup sukses, namun masih ada beberapa kendala dalam proses penyaluran tahap awal. Namun lebih pada persoalan internal di kabupaten maupun di kota, seperti peraturan Bupati, Walikota yang menjadi syarat transferan dana desa. Berdasarkan portal resmi kementrian desa, sejumlah daerah yang sempat mengalami keterlambatan dalam tranfer dana desa di antaranya adalah Kab. Kepahiang (Bengkulu), Kab. Majalengka (Jawa Barat), Kota Batu (Jawa Timur), Kab. Konawe Kepulauan (Sulawesi Tenggara), Kab. Merauke, Kab. Paniai, Kab. Sarmi, Kab. Tolikara, Kab. Waropen, Kab. Supiori, Kab. Mamberamo Raya, Kab. Mamberamo Puncak, Kab. Puncak (Papua), Kab. Teluk Bintuni (Papua Barat). Alasan keterlambatan adalah karena belum menyerahkan Peraturan Bupati/Walikota yang menjadi syarat transferan dana desa. Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menyatakan bahwa salah satu hambatan dalam penyaluran dana desa adalah terkait kemampuan desa dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja (APB) desa. Desa-desa yang terlambat menerima kiriman dana desa adalah desa-desa yang terlambat dalam menyerahkan APB. Desa-desa tersebut kurang memahami cara menyusun APB. Kemenkeu berusaha mempercepat penyaluran dana desa dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum desa (RKUD). Tidak hanya itu, pihaknya juga telah menggelar workshop di banyak Kabupaten dan Kota terkait cara menghitung pembagian dana desa per desa dan memberikan template Perbup dan Perwali. Dari sisi Kementrian Desa sendiri, mereka juga telah membentuk Tim Pengendali yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kordinasi kebijakan dan pengendalian pengelolaan Dana Desa, termasuk penyalurannya kepada desa-desa sesuai ketentuan yang berlaku. Menteri Marwan juga menghimbau para Kepala Desa agar jangan hanya pasif menunggu saja tapi bersikap menjemput bola dengan proaktif mendatangi dan menanyakan soal dana desa langsung kepada Bupati/Walikotanya masing-masing. Mengenai penggunaan dana desa, telah diatur dalam Permendesa Nomor 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Diantaranya diprioritaskan untuk membangun atau memperbaiki infrastruktur desa yang sifatnya vital dan mendesak, seperti jalan desa, jalan usaha tani, embung desa, sarana irigasi tersier, saluran budidaya perikanan dan sarana prasarana produksi di desa. Referensi: Kementerian Desa, PDT, danTransmigrasi
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
07
Tpi - tpid
Oleh Yayu Andini
Foto: phys.org
Foto: www.citizendaily.net
El Nino merupakan sebuah gejala alam yang
Pertama curah hujan yang terjadi pada Juli 2015
muncul akibat meningkatnya suhu permukaan
lebih sedikit dibandingkan Juli 2014 dan terjadi
laut
tersebut
hampir di seluruh wilayah Indonesia; Kedua
mengakibatkan terjadinya penyimpangan iklim
mayoritas wilayah di Indonesia menunjukan
di
posisi
intensitas curah hujan di bawah Normal; Ketiga
Indonesia berada pada jalur equator tentunya
beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami
membuat Indonesia tidak bisa terhindar dari El
hari tanpa hujan yang berkepanjangan. Hal ini
Nino. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh
terjadi di sebagian pulau Jawa, Sulsel, Bali, NTB
El Nino di Indonesia adalah berkurangnya curah
dan NTT.; dan Keempat kemarau yang sedang
hujan sehingga menyebabkan kekeringan yang
berlangsung
berujung pada terganggunya kestabilan pangan
hingga akhir Oktober 2015.
di
samudra
wilayah
Pasifik.
sekitar
Kondisi
equator.
Karena
Indonesia khususnya padi.
08
ini
diperkirakan
masih
terjadi
Selain berdampak pada instabilitas pangan, El
El Nino yang terjadi pada agustus hingga
Nino juga berdampak pada penurunan produksi
desember 2015, diperkirakan oleh BMKG berada
komoditas yang rentan pada cuaca kering
pada intensitas moderat hingga lemah. Hal
seperti padi, gandum, jagung, kedelai ,kacang
tersebut
tanah dan umbi umbian. Menilik sejarah, El Nino
diindikasikan
oleh
beberapa
hal.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
dengan intensitas yang kuat pernah terjadi di
Menyoroti hal tersebut Menteri Koordinator
Indonesia
Perekonomian Sofyan Djalil pada akhir bulan juli
pada
tahun
1997/1998.
Hal
ini
mengakibatkan penurunan jumlah produksi padi
lalu
dari 49,4 juta ton GKG pada tahun 1997 menjadi
Kementerian, terkait pembuatan antisipasi El
49,2 Juta ton GKG pada tahun 1998. Hal itu juga
Nino. Hal tersebut telah diajukan dalam rapat
yang menyebabkan Indonesia harus menaikan
terbatas
impor beras dari yang semula 204 ribu ton pada
pembahasan El Nino tersebut terlihat dari
tahun 1997 menjadi 5,96 Juta ton pada tahun
respon Presiden Joko
1998.
memerintahkan
Mengacu
pada
data
prediksi
BMKG
dan
mengadakan
rapat
bersama
dengan
Presiden
RI.
beberapa
Hasil
dari
Widodo yang telah
sejumlah
Menteri
untuk
waspada dalam mengantisipasi dampak El Nino.
pengalaman El Nino sebelumnya, Pemerintah
Pemerintah
memprediksi kenaikan beberapa bahan pangan.
Kementerian Keuangan, menyatakan setidaknya
Harga gabah diperkirakan akan
Rp3,5
meningkat
melalui
triliun
telah
di
siapkan
9%, harga jagung meningkat antara 2-6% dan
digunakan untuk membiayai stok bahan pangan
harga kedelai meningkat antara 4-11%.
jika terjadi kekurangan. Selain itu, dalam APBN-P
dengan seksama. Sesuai dengan arahan BMKG, El Nino pada tahun ini diprediksi berada pada intensitas moderat hingga kuat, maka perlu
Anggaran
untuk
menghandapi
akan terjadi pada tahun ini perlu diperhatikan
Nino.
Anggaran
antara 3-7%, harga beras meningkat antara 5-
Dari pemaparan tersebut, dampak El Nino yang
El
Dirjen
tersebut
2015 juga telah disiapkan anggaran sebesar Rp150 miliar untuk digunakan sebagai asuransi pertanian. Dimana alokasi ini dirancang untuk mengantisipasi pangan
yang
setidaknya terkena
satu dampak
juta
lahan
El
Nino
adanya suatu koordinasi dari setiap stakeholder untuk meminimalisir dampak dari El Nino.
Gambar 1 Fenomena El Nino
Uap Air
KONDISI NORMAL (Des – Feb)
KONDISI EL NINO (Des – Feb) Sumber: Pusat Iklim Agroklimat dan Iklim Maritim BMKG, 2015
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
09
L
APORAN
UTAMA
Kesiapan indonesia memasuki liberalisasi sektor jasa asean Koordinasi kebijakan dalam rangka menyongsong masyarakat ekonomi asean Sertifikasi tenaga kerja profesional asean
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
LAPORAN UTAMA
foto: www.dynamicscafe.com
KESIAPAN INDONESA
MEMASUKI LIBERALISASI SEKTOR JASA ASEAN (ASEAN FRAMEWORK ON SERVICES)
Sektor jasa mempunyai peran semakin terhadap perekonomian nasional baik dari sisi nilai maupun pertumbuhannya, untuk itu pembenahan dan penguatan sektor ini perlu dilakukan dalam rangka memasuki MEA 2015 Oleh: Benito Rio Avianto
Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDB 2014
Pertumbuhan Beberapa Sektor Penting terhadap Perekonomian Indonesia
Manuf acture, 24% Pembentukan Mining, Masyarakat Ekonomi ASEAN Agricult Service Trade, 10% ure , 15% 14% 11% Others, 26%
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
11
(MEA) akan dideklarasikan pada akhir tahun 2015 dan berlaku efektif pada 1 Januari 2016. MEA bukanlah sebuah event, tetapi proses pembentukannya sudah berjalan sejak ditandatanganinya Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC Blueprint) pada penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-13 bulan pada November 2007 di Singapura. Salah satu pilar MEA adalah pasar tunggal dan basis produksi, yang salah satu elemennya adalah arus bebas jasa (free flow of services). Indonesia tentunya perlu memanfaatkan momentum liberalisasi ASEAN tersebut dengan menghasilkan produk jasa yang berkualitas dan kompetitif serta berdaya saing. Berbicara mengenai liberalisasi sektor jasa, berarti berbicara soal kompetisi langsung, antara jasa, perusahaan jasa dan tenaga kerja Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN. Artinya, apabila Indonesia tidak dapat mengambil manfaat dari perdagangan jasa tersebut, maka negara lain yang lebih siaplah yang akan mendapatkan keuntungan dari Indonesia. Kesepakatan liberalisasi sektor jasa ASEAN sudah disepakati dan Indonesia harus berbenah diri guna memanfaatkan peluang tersebut meningkatkan kesiapan dalam berkompetisi. Pada bidang ketenagakerjaan, kendati Indonesia memiliki usia tenaga kerja produktif yang sangat besar, ancaman masuknya tenaga kerja asing (TKA) terampil tidak dapat diabaikan.
Sangat
disayangkan
bahwa
Indonesia
hinggat saat ini belum memiliki regulasi yang memadai
guna
memberi perlindungan bagi tenaga kerja lokal dalam
hal
perdagangan
jasa.
Regulasi yang ada di antaranya No.13/2003
UU tentang
Ketenagakerjaan
dan
Permenakertrans No.34/Men/IX/2006 tentang Ketentuan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing kepada pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing pada Jabatan Direksi dan Komisaris. Kedua aturan tersebut bersifat kontra produktif dengan semangat liberalisasi sektor jasa ASEAN (AFAS) yang masih membatasi mobilitas tenaga kerja terampil. Regulasi tersebut diperlukan agar tenaga kerja dalam negeri tidak tergerus oleh kehadiran TKA khususnya yang memiliki standar kompetensi lebih tinggi. AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) adalah persetujuan dan kerjasama dalam rangka liberalisasi perdagangan bidang jasa dalam forum ASEAN. Perjanjian antar negara ASEAN ini pada prinsipnya mencerminkan keinginan agar sesama anggota ASEAN melakukan liberalisasi perdagangan jasa antar negara ASEAN secara lebih luas dan lebih mendalam dibandingkan dengan liberalisasi yang ditempuh dalam rangka GATS/ WTO (General Agreement on Trade in Services/ World Trade Organization). Kesepakatan AFAS ini ditandangani oleh
12
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Menteri Ekonomi ASEAN pada bulan Desember 1995 di Bangkok, Thailand. Terdapat 12 (dua belas) kategori besar yang tercakup dalam sektor jasa ASEAN. Ke-12 sektor itu, sealur dengan cakupan dalam WTO, adalah (1) jasa bisnis, (2) jasa komunikasi, (3) jasa teknik konstruksi dan teknik terkait, (4) jasa distribusi, (5) jasa pendidikan, (6) jasa lingkungan hidup, (7) jasa keuangan, (8) jasa yang terkait dengan kesehatan dan sosial, (9) pariwisata dan jasa yang terkait dengan perjalanan, (10) jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga, (11) jasa angkutan, dan (12) jasa lainnya yang tak tercantum di sektor lainnya. Berdasarkan roadmap liberalisasi sektor jasa ASEAN (AFAS), perundingan AFAS telah memasuki putaran terakhir (Paket ke-10) dimana terdapat 128 sub-sektor yang telah disepakati untuk diliberalisasi dengan ketentuan tingkat penyertaan modal asing (foreign equity participation/FEP) mencapai 70% dan hambatan domestik (national treatment) maksimal 1 (satu). Indonesia sendiri telah berupaya memenuhi komitmen tersebut yaitu dengan melakukan Rapat Koordinasi tingkat Eselon I pada Juni 2015 yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional, Kemenko Perekonomian. Namun mengingat banyaknya sub-sektor dan tingginya FEP pada AFAS 10, hingga saat ini proses tersebut belum selesai. Pemenuhan komitmen liberalisasi sektor jasa ASEAN sebenarnya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas produk jasa Indonesia sesuai dengan standar ASEAN. Dengan demikian, komitmen ini sekaligus sebagai cara untuk membenahi regulasi, overview kurikulum, perbaikan sistem dan koordinasi yang lebih kuat pada sektor ini. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7%, dalam rangka mengejar target menjadi nomor tujuh kekuatan ekonomi terbesar dunia, tentunya tidak lepas dari peran sektor jasa sebagai pendorong mesin pertumbuhan ekonomi. Untuk itu partisipasi Indonesia dalam perdagangan jasa ASEAN merupakan hal yang mutlak.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
13
LAPORAN UTAMA KOORDINASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA MENYONGSONG
oleh Benito Rio Avianto
MEA bukanlah sebuah event yang berlaku sejak 31 Desember 2015, tetapi merupakan proses panjang sejak tahun 2008 saat Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN ditandatangani oleh Kepala Negara ASEAN. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2008, sejalan dengan kesepakatan MEA, telah menyiapkan berbagai kebijakan dalam menyongsong berlakunya integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Koordinasi
kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain: 1.
Policy Paper berjudul Kesiapan Indonesia Menghadapi MEA berisi gambaran kesiapan daya saing, termasuk peluang dan tantangan Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 dan berisi langkah-langkah strategis untuk mengambil manfaat MEA.
Penyusunan policy paper ini
dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian untuk Presiden RI dan diterbitkan pada bulan Desember 2012 dan utamanya menitik beratkan pada perdagangan barang, jasa dan investasi 2.
Keppres No. 23/2012 tentang Sekretariat Nasional ASEAN.
Sesuai dengan Pasal 3 Piagam
ASEAN, maka pada tiap negara anggota ASEAN diperintahkan untuk mendirikan Sekretariat Nasional ASEAN yang berfungsi mengkoordinasikan tiga pilar yaitu pilar politik-keamanan, pilar ekonomi dan pilar sosial-budaya. Kementerian Luar Negeri, dalam hal ini merupakan Koordinator Sekretariat Nasional ASEAN-Indonesia. 3.
Instruksi Presiden (Inpres) No. 11 tahun 2011 tentang Tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi Association Of Southeast Asian Nations Tahun 2011. Inpres ini merupakan perintah Presiden kepada Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk melaksanakan rencana aksi strategis yang tertera dalam Cetak Biru Masyakat Ekonomi ASEAN. Inpres ini juga dilengkapi matriks program kerja dari masing-masing Kementerian/Lembaga disertai keluaran dan target penyelesaian.
4.
Inpres No. 6/2014 tentang Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN; Inpres ini bertujuan mendorong K/L dan Pemerintah Daerah agar meningkat daya saingnya dalam menghadapi MEA.
5.
Keppres No. 37/2014 tentang Komite Nasional Persiapan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan Keppres yang membentuk komite terdiri atas unsur pemerintah, akademisi, asosiasi, pengusaha, kalangan profesional untuk melaksanan komitmen-komitmen kerjasama ekonomi ASEAN.
14
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
LAPORAN UTAMA
oleh Benito Rio Avianto
S
ebagai bagian integral dari MEA, yang dicanangkan tercapai pada akhir tahun 2015, liberalisasi sektor jasa akan mengakibatkan mobilitas tenaga kerja terampil intra-ASEAN menjadi tidak terhambat. Hal ini sejalan dengan Pilar Pasar Tunggal dan Basis Produksi dimana di dalamnya
terdapat aliran bebas jasa. Prinsip, Mekanisme, dan Capaian Secara konseptual, ada dua prinsip terminologi dari perpindahan tenaga kerja terampil ini. Pertama, istilah itu sealur dengan prinsip Movement of Natural Persons (MNP) dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Chia Siow Yue (2011), yang berhak melakukan mobilitas adalah individu terampil dan para profesional untuk kurun waktu tertentu, baik sebagai individu yang mempekerjakan dirinya sendiri maupun sebagai pekerja dari suatu perusahaan asing. Karena itu, yang termasuk dalam MNP adalah pengunjung bisnis, investor, dan pedagang yang melaksanakan kegiatan investasi dan perdagangan, pindahan tenaga kerja antarperusahaan (pekerja di perusahaan multinasional), dan kalangan profesional seperti dokter, perawat, pengacara, akuntan, insinyur teknik, dan pekerja profesional teknologi informasi. Kedua, walaupun memiliki hak melakukan mobilitas, perpindahan ini tidak berarti mengacu pada prinsip absolute mobility atau totally free. Menurut Marry Grace L Riguer (2010), istilah yang lebih tepat adalah mobilitas yang terkelola atau facilitated entry. Dalam hal ini, terdiri dari 12 kategori besar yang tercakup dalam sektor jasa ASEAN. Ke-12 sektor tersebut, sealur dengan cakupan dalam WTO, adalah (1) jasa bisnis, (2) jasa komunikasi, (3) jasa teknik konstruksi dan teknik terkait, (4) jasa distribusi, (5) jasa pendidikan, (6) jasa lingkungan hidup, (7) jasa keuangan, (8) jasa yang terkait dengan kesehatan dan sosial, (9) pariwisata dan jasa yang terkait dengan perjalanan, (10) jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga, (11) jasa angkutan, dan (12) jasa lainnya yang tak tercantum di sektor lainnya. Dirinci lebih jauh, 12 kategori sektor ini dapat lagi terurai menjadi sekitar 160 klasifikasi
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
15
Identifikasi yang dilakukan menunjukkan pula mekanisme untuk perpindahan tenaga kerja terampil bebas dalam sektor jasa ini tak dapat dilakukan seketika. Pertama-tama dibutuhkan penciptaan Mutual Recognition Arrangement (MRA). Di bawah payung mekanisme MRA, negara tujuan atau negara penerima mengakui kualifikasi profesional dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau negara asal tenaga kerja terampil. Hal ini menandakan, negara asal memiliki otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Namun, harus pula dicatat bahwa pengakuan yang diberikan melalui MRA tidak otomatis. Ada proses dan konsensus untuk penentuan standar dan syarat lain yang diterapkan, baik di negara penerima maupun di negara asal. Dengan kata lain, MRA tak langsung memberikan hak melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada akses pasar. Meski tak langsung memberikan jaminan akses pasar, MRA merupakan langkah awal penting mempromosikan perpindahan tenaga kerja terampil itu. Sejauh yang dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini ASEAN telah menyepakati delapan MRA, antara lain mencakup profesi seperti jasa teknik, arsitek, jasa keperawatan, praktisi medis-dokter, praktisi dokter gigi, jasa akuntan, hingga profesi penyigian. Upaya lanjutan terus dilakukan untuk menciptakan puluhan MRA lainnya. Tantangan Tentu saja liberalisasi sektor jasa ini dapat dilihat sebagai ancaman. Kompetisi di pasar tenaga kerja pasti semakin meningkat. Namun, karena telah menyatakan komitmennya mewujudkan MEA pada 2015, tidak ada lagi kemungkinan bagi Indonesia untuk mundur. Oleh karena itu, istilah yang lebih tepat barangkali bukanlah ancaman, melainkan tantangan. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan ada empat tantangan utama. Pertama, mengaitkan agenda mobilitas pekerja terampil dengan tidak terampil. Sebenarnya mobilitas tenaga kerja Indonesia di intra-ASEAN sangat tinggi, tetapi untuk yang tak berMEAhlian. Indonesia adalah pengekspor tenaga kerja tidak terampil terbesar di antara negara ASEAN. Namun, gagasan MEA hingga kini belum (tidak) mengakomodasi kepentingan pekerja tidak berketerampilan khusus itu. Barangkali dalam dua tahun yang masih tersisa, pengaitan dua agenda ini cukup strategis untuk melindungi pekerja tidak terampil Indonesia di beberapa negara anggota ASEAN. Kedua, isu tentang inflow dan outflow pekerja terampil tidak merupakan isu besar di Indonesia. Isu inflow tidak signifikan karena ekonomi nasional Indonesia masih didominasi, bersandar, dan digerakkan oleh sektor pertanian dan pertambangan. Isu outflow juga tidak terlalu penting karena sedikitnya jumlah angkatan kerja profesional dan keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris. Indonesia sangat berbeda dengan Singapura dan Filipina. Perdebatan brain drain versus brain gain dalam lalu lintas tenaga kerja terampil ini tidak tampak di Indonesia. Yang mengemuka di Indonesia adalah maraknya protes buruh pabrik. Akibatnya, tidak tampak kebijakan yang jelas dari pemerintah bagaimana mengembangkan daya saing dari pekerja terampil Indonesia. Fokus dan agenda prioritas kebijakan pemerintah masih terserap untuk menangani keresahan buruh pabrik dan bukan pada peningkatan daya saing pekerja terampil. Ketiga, menyiasati regulasi-regulasi domestik di setiap negara ASEAN. Hal ini disebabkan watak MRA itu sendiri yang tak bersifat otomatis. MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan
16
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain. Keempat, kualitas pekerja terampil Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa inggris (44%), keterampilan penggunaan komputer (36%), keterampilan perilaku (30%), keterampilan berpikir kritis (33%), dan keterampilan dasar (13%). Komposisi angkatan kerja di Indonesia juga sangat timpang. Hanya sekitar 7% yang mengecap pendidikan tinggi. Terlebih lagi dari sekitar 550 universitas yang ada di Indonesia (90% adalah swasta), hanya beberapa universitas seperti UI, ITB, dan UGM yang memiliki permintaan pasar tenaga kerja yang baik. Hubungan antara universitas dan industri juga disebutkan sangat lemah. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana memperkecil kesenjangan ini. Dalam kaitan ini, menarik pula menggarisbawahi laporan Center for International Trade Studies Thailand (2012). Kajian terhadap enam profesi yang telah memiliki MRA di ASEAN menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori negara anggota untuk kualitas tenaga kerja terampil, yaitu sangat kompetitif, menengah, dan kurang kompetitif. Singapura selalu menempati urutan paling kompetitif. Keunggulan Singapura tampaknya sangat terkait dengan reputasi dan prestasi lembaga pendidikan tinggi di negeri itu dan lembaga pelatihannya. Dari tiga kategori ini, potensi daya saing Indonesia untuk kategori kompetitif ada di profesi dokter gigi dan akuntan. Namun, dalam profesi ini pun, kompetitor Indonesia juga cukup banyak. Untuk dokter gigi, misalnya, Indonesia harus bersaing dengan Thailand, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Untuk akuntan, Indonesia harus bersaing dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Untuk profesi praktisi medis (dokter), Indonesia berada pada pengelompokan menengah dan harus bersaing dengan Filipina dan Vietnam. Situasi yang sama juga dihadapi profesi perawat. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris dan dikelompokkan sejajar dengan Thailand. Terkait dengan profesi dokter dan perawat, laporan OECD menyebutkan bahwa kebutuhan dokter dan perawat di Indonesia masih sangat besar. Rasio antara jumlah dokter dan perawat di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Rasio dokter dengan jumlah penduduk berada pada angka 0,3 untuk setiap 1.000 penduduk. Jauh tertinggal dibandingkan dengan rasio Singapura (1,7), Malaysia (1,2), dan Filipina (1,1). Demikian juga untuk perawat, rasionya adalah 2,0, sementara Singapura (5,2), Malaysia (2,4), dan Filipina (4,3). Peluang? Komposisi angkatan kerja di Indonesia sangat timpang. Walau Indonesia penyumbang angkatan kerja terbesar di ASEAN (hampir sekitar 50% dari angkatan kerja usia 25-54 tahun), hanya sekitar 7% yang mengecap pendidikan tinggi. Apa yang harus dilakukan? Pengembangan tenaga kerja terampil tak semudah membalik tangan. Kualitas yang baik dan kompetitif di pasar tenaga kerja adalah buah kerja keras dan investasi jangka panjang luar biasa yang membutuhkan konsistensi kebijakan. Sepanjang ketiga hal ini tak dapat dilakukan, liberalisasi
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
17
sektor jasa tak akan memberikan manfaat banyak bagi tenaga kerja terampil Indonesia. Negeri ini akan lebih banyak menerima tenaga terampil dari negara anggota ASEAN dibandingkan sebaliknya. Ada dua langkah praktis yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi masalah ini. Pertama, memperkuat kerja sama pendidikan dengan negara ASEAN yang lebih maju pendidikan tingginya, terutama Singapura. Mekanisme untuk ini sebenarnya telah ada melalui ASEAN University Network. Dengan menggunakan jaringan ini, kegiatan pertukaran pelajar dan pengajar antara lembaga pendidikan tinggi/universitas di Indonesia dan Singapura dapat diintensifkan. Kedua, membuat aturan domestik yang memberikan prioritas bagi tenaga kerja terampil Indonesia untuk profesi yang telah dan akan diliberalkan. Misalnya, dengan menetapkan persentase tertentu dari besaran tenaga kerja terampil asing dalam suatu unit bisnis usaha yang dikategorikan sebagai jasa. Tujuannya agar kita tidak sekadar wilayah pasar saja. Oleh karena itu, identifikasi yang sangat rinci dan mendalam tentang daya saing tenaga kerja terampil Indonesia sangatlah penting. Regulasi restriktif seperti ini masih dimungkinkan karena, seperti yang telah disebutkan, MRA tak berlaku otomatis. Dengan kata lain, Indonesia sebaiknya hanya meliberalkan profesi jasa di mana ia memiliki daya saing yang sangat baik.
No 1
Tempat/Tanggal
MRA
Status
Penandatanganan
MRA on Engineering Services
Malaysia / 9 Des 2005
Sudah ada MRA dan pengakuan Sertifikasi ASEAN
2
MRA on Nursing Services
Filipina / 8 Des 2006
Sudah ada MRA, namun masih dalam proses pengakuan Sertifikasi
3
MRA on Architectural Services
Singapura / 19 Nov 2007
Sudah ada MRA dan pengakuan Sertifikasi ASEAN
4
Framework Arrangement for
Singapura / 19 Nov 2007
Mutual Recognition on Surveying
Masih dalam bentuk Framework dan sedang dalam proses menuju MRA
Qualification 5
MRA on Tourism Professional
Vietnam / 9 Jan 2009
Sudah ada MRA, namun masih dalam proses pengakuan Sertifikasi
6
MRA on Medical Practitioners
Thailand / 26 Feb 2009
Sudah ada MRA, namun masih dalam proses pengakuan Sertifikasi
7
MRA on Dental Practitioners
Thailand / 26 Feb 2009
Sudah ada MRA, namun masih dalam proses pengakuan Sertifikasi
8
18
MRA on Accountancy
Myanmar / 25 Agust 2014
Dalam pembahasan Road Map
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Engineering
Architecture
(ACPEs)
(AAs)
Brunei Darussalam
2
1
Cambodia
-
-
Indonesia
478 (38%)
73 (28%)
Lao PDR
-
5
Malaysia
207
35
Myanmar
101
12
Philippines
77
49
Singapore
229
67
Thailand
24
6
Viet Nam
134
7
Total
1.252
255
Member States
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
19
INVESTASI
MANA WORKING GROUP INDONESIA – SINGAPURA? oleh Susiyanti
Membahas hubungan bilateral antara Singapura-Indonesia tak lain merupakan sebuah sejarah panjang kerjasama dua negara bertetangga. Bahkan jauh sebelum keduanya memperoleh kemerdekaannya masing-masing. Meski diwarnai pasang surut, namun komitmen kerjasama terus berlangsung dalam berbagai bidang. Salah satunya melalui working group atau kelompok yang sudah disepakati dalam beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2015 ini menjadi tahun ke lima bagi kesepakatan kedua negara untuk menjalin working group setelah dirintis pertama kali pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2010 lalu. Dari tahun ke tahun, kerjasama yang menyangkut enam bidang ini terus berlanjut seiring dengan pergantian kepemimpinan di Indonesia. Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Singapura beberapa waktu lalupun mempertegas komitmen yang serupa. Work group menurut Stephen P. Robbins dalam Essentials of Organization Behavior adalah kelompok yang para anggotanya saling berinteraksi terutama untuk saling berbagi informasi untuk membuat keputusan guna membantu satu sama lain dalam wilayah kewenangannya masing-masing. Dalam konteks working group antara Indonesia dan Singapura, kedua negara ini telah menyepakati kelompok kerjasama yang difokuskan pada enam bidang yakni investasi, perhubungan udara, pariwisata, ketenagakerjaan, agribisnis, dan kerja sama di kawasan pertumbuhan Batam, Bintan, Karimun serta kawasan ekonomi lainnya. Mitra dagang dan Investasi terbesar Tak dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir, Singapura merupakan salah satu dari lima besar investor dan mitra dagang terbesar di Indonesia. Singapura dengan kemampuan pengetahuan dan teknologi yang tinggi, jaringan ekonomi serta sumber daya keuangan yang besar telah tumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang besar. Di satu sisi, Indonesia dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah membuat hubungan kerjasama antar kedua negara ini saling melengkapi satu dengan lainnya.
20
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Dari data yang diperoleh, realisasi nilai investasi Singapura di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan sejak 2010 hingga 2012 Singapura menduduki peringkat pertama untuk negara yang realiasi investasinya paling besar di Indonesia. Pada 2010 realisasi investasi Singapura di Indonesia mencapai US$5,01 miliar atau 30,9 % dari total nilai investasi yang masuk ke Indonesia. Sementara tahun 2014, nilai investasi singapura mencapai US$5,8 miliar. Begitupun di sektor perdagangan, pada 2012 nilai perdagangan mencapai US$43,2 miliar. Sementara data Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa perdagangan bilateral mencapai US$ 41,99 miliar pada 2014. Enam bidang Working Group yang disepakati oleh kedua negara setidaknya mencakup enam bidang-bidang yang cukup strategis. Terlebih dalam rangka menyambut era pasar bebas di Asia Tenggara di mana Singapura dan Indonesia termasuk di dalamnya. Keenam jenis working group yang telah disepakati antara lain WG di bidang Investasi. Sebagaimana disebuat di atas, Singapura secara konsisten merupakan salah satu negara investor terbesar di Indonesia. Sejumlah daerah yang menjadi tujuan investasi Singapura antara lain adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan Sumatra Selatan. Adapun tujuan utama investasi Singapura di Indonesia yakni di bidang transportasi, agrofood dan perkebunan, pertambangan serta industri makanan dan kimia-farmasi. Hingga saat ini setidaknya telah diadakan kerjasama information sharing dan joint promotion ke perusahaan-perusahaan Singapura terkait proyek-proyek infrastruktur MP3EI dan fasilitasi kemungkinan bermitra dengan perusahaan-perusahaan Indonesia. Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan realisasi investasi baru di kawasan Batam dengan nilai US$126,7 juta. Selain itu, kerjasama dalam bentuk kolaborasi investasi asing dan korporasi dalam negeri juga meningkat seperti masuknya produk-produk makanan dari Singapura ke retailer lokal. Sementara dalam kerjasama pengembangan kawasan Batam-Bintan-Karimum (BK) dan Kawasan Ekonomi Khusus telah melahirkan sejumlah kesepakatan program-program atau kegiatan diantaranya adalah Joint Investment Promotion untuk mempromosikan BBK ke negara-negara Asia Timur, program Capacity Development untuk meningkatkan pelayanan investasi di BBK, serta Joint Expert Study on Competitiveness of Batam-Bintan-Karimun untuk melakukan benchmarking terhadap kawasan sejenis di Asia dalam rangka meningkatkan daya saing kawasan BBK. Kerjasama lainnya adalah dalam hal perhubungan udara. Hasil dari kerjasama ini adalah kerja sama dalam meningkatkan kapasitas hak angkut bagi maskapai penerbangan kedua negara. Yakni bagaimana menata bidang ini menjadi lebih efisien, murah, sehingga barang-barang pergerakan domestik jauh lebih efisien. Hasilnya, konvektivitas penerbangan, amandemen yang dilakukan Indonesia-Singapura, Air Service Agreement telah berhasil memberikan dampak positif pada peningkatan lalu lintas udara diantara kedua negara. Di bidang pariwisata, working group berkerjasama untuk mengembangkan pariwisata di kedua negara ini. Kerjasama ini akan membuka daerah-daerah wisata potensial di Indonesia terutama di kawasan Timur. Realisasi dalam kerjasama di bidang pariwisata ini salah satunya adalah kerjasama di bidang wisata kapal persiar (cruise tourism). Yakni dilakukannya famtrip dan cruise workshop di Indonesia hasil kerjasama dua negara. Kedua negara juga telah bersepakat kerjasama promosi tempat-tempat tujuan wisata di Indonesia
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
21
yang merupakan sinergi dari dua working group yaitu pariwisata dan Air connectivity dengan signifikannya peningkatan lalu lintas kedua negara. Di bidang ketenagakerjaan, telah dihasilkan sejumlah kesepakatan kerjasama dalam bentuk Tripartile Workshop on Manpower Management guna menemukan solusi atas masalah outsourcing dan minimum wage yang seringkali menjadi kendala dalam hubungan industrial antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja (tripartit). Indonesia dan Singapura juga sepakat melakukan kerjasama dalam meningkatkan kompetensi caregiver dan perawat/nurse dari Indonesia sehingga dapat memenuhi standar untuk dapat bekerja di Singapura. Sementara di sektor agribisnis, Indonesia dan Singapura telah melaksanakan program capacity building untuk petani dan produsen pertanian di Indonesia untuk meningkatkan ekpor produk pertanian dari Indonesia ke Singapura. Termasuk juga Business Matching antara produsen di Indonesia dengan supplier dari Singapura serta kegiatan In-Store Marketing di Singapura. Menyambut kerjasamana yang terus meningkat, Indonesia jelas tidak tinggal diam. Dalam sebuah kunjungannya beberapa waktu lalu ke Singapura sebagaimana di kutip dari kantor berita Antara, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa
Indonesia sedang dalam proses reformasi fundamental untuk
memperkokoh perekonomian nasional. Saat ini
Indonesia
telah melakukan berbagai langkah untuk
menciptakan iklim investasi kondusif melalui perbaikan regulasi, penyederhaan perijinan investasi dan jaminan stabilitas keamanan dan politik. Secara teknik berbagai persiapan lain juga dilakukan. Misalnya saja terkait dengan working group di bidang agribisnis dimana
pemerintah mulai menata dan memperbaiki rantai pasok sayur dan buah
melalui sejumlah upaya. Salah satunya adalah dengan menggerakan
Kementerian Pertanian yang
mendorong pengembangan agribisnis sayur dan buah oleh perusahaan Negara dalam bidang pertanian dan perkebunan.
22
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
EKONOMI INTERNASIONAL
Perkembangan Terbaru
Pengenda l ia n Infl a si Fil ipina
Di tengah perlambatan ekonomi global, sektor ekonomi di Filipina dapat tumbuh sebesar 7,2% di tahun 2013. Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Filipina adalah besarnya konsumsi rumah tangga serta remmitance atau uang dari tenaga kerja Filipina di luar negeri yang tumbuh hingga 5,6% per tahunnya. Pada tahun 2013, Filipina
oleh Bhima Yudhistira Adhinegara
terkena
serangan
topan
Yolanda
yang
menyebabkan arus distribusi bahan makanan tersendat dan mengakibatkan harga bahan makanan meningkat. Namun, bencana tersebut ternyata tidak menyebabkan inflasi di Filipina meningkat tajam. Salah satu hal penting yang dilakukan Pemerintah adalah melakukan pembangunan paska bencana secara cepat dan masif dalam program Reconstruction Assistance on Yolanda (RAY). Program ini berhasil mengatasi mahalnya bahan makanan dan kenaikan bahan konstruksi. Terdapat kesamaan antara Indonesia dan Filipina dalam hal penyebab inflasi. Pertama letak geografis yang terpisah oleh laut menyebabkan biaya transportasi menjadi pendorong inflasi utama. Pada akhirnya berdampak juga terhadap salah satu faktor pendorong inflasi yaitu volatile food. Kedua, sebagai negara yang rawan bencana, Filipina dipandang lebih siap dibandingkan Indonesia, baik dari segi penanggulangan maupun program paska bencana. Hal ini berpengaruh secara signifikan terhadap dampak bencana alam terhadap kenaikan harga-harga barang umum. Ketiga, Filipina dan Indonesia sama-sama menerapkan inflation targetting walaupun pada akhirnya Filipina lebih berhasil dalam mengendalikan inflasi.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
23
Gambar 1. Realisasi Inflasi Filipina dan India 14 12 10 8
6 4 2 0 2006
2007
2008
2009
2010
Filipina
2011
2012
2013
India
Sumber: World Bank, 2014 Tantangan Filipina menghadapi tantangan penanggulangan inflasi yang sedikit berbeda dari Indonesia, jumlah uang domestik yang beredar berperan signifikan terhadap kenaikan inflasi. Penyebab utama dari kenaikan uang domestik ini terdiri dari dua hal, pertama, rekonstruksi paska bencana topan dan rencana Pemerintah untuk melipatgandakan anggaran infrastruktur. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan Indonesia, instrumen pengendali inflasi di Filipina melalui suku bunga dirasakan lebih berpengaruh. Namun perlu dicatat bahwa inflasi dari supply side tidak dapat ditangani dengan pendekatan moneter belaka. Misalnya kenaikan harga pangan karena el nino perlu diatasi dengan menaikkan pasokan di dalam negeri melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
.
Foto: blogs.wsj.com
24
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
Pelajaran Keberhasilan Filipina dalam mengendalikan inflasi tahunan terletak pada kebijakan inflation targetting. Bank Sentral Filipina bekerjasama dengan Kementerian terkait terutama dibidang bahan pangan dan transportasi untuk mengendalikan harga. Inflation targetting dapat berhasil apabila koordinasi antar lembaga dapat berjalan. Sebagai bukti, koordinasi yang baik dalam penentuan target inflasi serta upaya merendam hyperinflation terlihat dari Gambar 3. dan 4 dimana program inflation targetting Filipina lebih berhasil daripada Malaysia. Gambar 3. Inflation Targetting dan Realisasi Inflasi Filipina
Gambar 4. Realisasi Inflasi Malaysia tanpa Inflation Targetting
Sumber: Filardo, dan Genberg, 2014
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 7 EDISI JUlI 2015
25
Untuk informasi lebih lanjut hubungi: REDAKSI TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2 – 4 Jakarta, 10710 Telp. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email:
[email protected]
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat diunduh pada website www.ekon.go.id