Tinjauan Ekonomi & Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian - Republik Indonesia
Volume IV | Nomor 10 | Edisi Oktober 2014 | www.ekon.go.id
Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal III 2014
Berakhirnya Kebijakan Quantative Easing The Fed Dimensi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta dan Pemerintah Hubungan Dagang Indonesia dan Tiongkok Perlambatan Ekonomi Domestik Triwulan III Tahun
Selamatkan Tanah dan Air Indonesia Resiko Usahan dan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III2014, Pertumbuhan Kredit Perbankan Melambat
DAFTAR ISI 03 Editorial Koordinasi Kebijakan Ekonomi 04 Pengendalian Inflasi Bidang Energi Ekonomi Internasional 06 Dinamika Pertumbuhan Emerging Market
07 Berakhirnya Kebijakan Quantative Easing The Fed
Ekonomi Domestik 08 Dimensi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Laporan Utama
11
Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta dan Pemerintah
13
Hubungan Dagang Indonesia dan Tiongkok
17
Perlambatan Ekonomi Domestik Triwulan III Tahun 2014
volume IV | Nomor 1 0 | Edisi Oktober 201 4 | www.ekon.go.id
KUR
19 Realisasi Penyaluran KUR Periode September 2014
Keuangan 21 Triwulan III-2014, Pertumbuhan Kredit Perbankan Melambat Kegiatan Menko 22 Menko Perekonomian Canangkan Tiga Proyek MP3EI Koridor Sumatera Artikel Lepas 24 Resiko Usahan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembina : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
25 Selamatkan Tanah dan Air
Pengarah : Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Fiskal & Moneter
Indonesia
Koordinator : Bobby Hamzar Rafinus Editor : Edi Prio Pambudi Puji Gunawan Ratih Purbasari Kania Analis : Sri Purwanti, Dara Ayu P, Annida Masruroh, Juwita Lukytasari, Kontributor : Fatkhu Ridho Fitra, Komite Kebijakan KUR,Peneliti LIPI, Peneliti INDEF
Editorial Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat lagi dan ini tren perlambatan sejak 2011. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir ekonomi Indonesia kuartal III-2014 tumbuh sebesar 5,01 persen dibanding periode sama tahun lalu, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II yang mencapai 5,12 persen. Secara kuartalan, ekonomi kuartal III dibanding kuartal II tahun ini tumbuh 2,96 persen. Sejak harga komoditas dunia yang menjadi andalan ekspor Indonesia menurun, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdorong turun termasuk imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang yang selama ini menjadi mitra dagang utama Indonesia. Meskipun melambat, ada tiga sektor ekonomi yang menjadi penyumbang ekonomi kuartal III-2014 karena tumbuh tinggi adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; sektor jasa-jasa; serta,sektor konstruksi. Berakhirnya musim hujan menambah produksi tanaman bahan makanan seperti jagung, ketela pohon dan kedelai. Revitalisasi tambak juga berhasil mendorong pertumbuhan sektor perikanan.
Bobby Hamzar Rafinus barang non-migas. Impor non-migas pada triwulan III2014 masih melambat pada kisaran 2,7 persen, sementara ekspor produk primer meningkat seiring setelah ekspor mineral berjalan pasca pemberian izin ekspor mineral mentah. Defisit transaksi berjalan dikompensasi oleh surplus transaksi modal dan finansial mencapai USD13,7 miliar berasal dari aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung dan penarikan pinjaman luar negeri korporasi dengan berhasilnya penyelenggaraan pemilu dengan damai. Secara keseluruhan, NPI pada triwulan III-2014 mengalami surplus USD6,5 miliar, atau meningkat dari USD4,3 miliar pada triwulan sebelumnya.
Konsumsi masyarakat masih dominasn menyumbang pertumbuhan ekonomi bahkan meningkat karena ditopang oleh masih kuatnya konsumsi swasta dan peningkatan belanja barang Pemerintah. Pelemahan terjadi pada kegiatan investasi, khususnya investasi nonbangunan. Kinerja ekspor kian melambat terutama dari melemahnya ekspor komoditas primer, sebaliknya ekspor manufaktur terus membaik secara konsisten. Sumber perlambatan secara regional berasal dari melemahnya pertumbuhan ekonomi Sumatera sebagai pengekspor komoditas.
Tren perlambatan ekonomi yang terjadi lagi hingga triwulan III-2014 menjadi motivasi kita untuk melakukan perbaikan secara struktural. Ketergantungan perdagangan pada negara yang juga tengah dirundung perlambatan ekonomi, dan ketidaksiapan kontribusi industri memacu ekspor produk olahan sebagai kompensasi perlambatan ekspor produk primer yang harganya terus menurun. Hal yang perlu kita cermati bahwa sudah lebih dari 25 tahun neraca jasa Indonesia mengalami defisit. Ketergantungan pada angkutan transportasi laut dan udara dari asing membuat perdagangan sektor jasa tetap pada angka merah.
Ada perbaikan pada neraca pembayaran Indonesia (NPI), tekanan defisit transaksi berjalan pada triwulan III2014 berkurang dan mencapai USD6,8 miliar atau 3,07 persen PDB, lebih rendah dibandingkan dengan defisit triwulan II-2014 sebesar USD8,7 miliar atau 4,06 persen PDB dan defisit pada periode yang sama tahun 2013 sebesar USD8,6 miliar atau 3,89 persen PDB. Perbaikan kinerja transaksi berjalan tersebut sumbangan dari surplus perdagangan
Sekali lagi aliran modal dan keuangan menyelematkan neraca pembayaran Indonesia yang masih terlilit defisit pada transaksi berjalan. Kondisi ini makin nyata menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita masih bergantung pada peran asing daripada kapasitas domestik. Secara struktur pertumbuhan ekonomi belum banyak berubah kepada kekuatan produksi dan lebih banyak bergantung pada konsumsi. Momentum peralihan pemerintahan menjadi bagian penting untuk melakukan pembenahan untuk mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik.
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 03
Kebijakan Koordinasi Ekonomi
Pengendalian Inflasi Bidang Energi oordinasi pengendalian inflasi senantiasa K dilaksanakan setiap bulannya baik berupa rapat
koordinasi maupun melalui kajian-kajian yang melibatkan kementerian/lembaga serta Bank Indonesia. Rapat koordinasi bidang energi dilaksanakan karena bidang energi merupakan salah satu penyumpang inflasi dari administered price yaitu melalui harga BBM serta tarif listrik serta sumber energi lainnya yang ditetapkan harganya oleh pemerintah. Melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya apabila terjadi kenaikan harga BBM atau sumber energi lainnya, mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap daya beli dan peningkatan inflasi baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada tahun 2013, dimana terjadi kenaikan BBM, dalam tiga bulan terjadi gejolak harga barang dan terjadi peningkatan inflasi. Dengan adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, peningkatan inflasi sejak terjadinya kenaikan harga BBM dapat ditekan, sehingga harga barang menuju stabil pada akhir tahun. Rapat kordinasi yang dilakukan intensif antara pemerintah dan Bank Indonesia ini, dilatarbelakangi oleh konsumsi BBM bersubsidi menunjukkan tren yang meningkat sehingga diperkirakan melebihi kuota yang tersedia untuk tahun 2014. Oleh karena itu dilaksanakan penghitungan dan simulasi harga BBM dan energi dengan beberapa alternatif yang memungkinkan.
Dalam rangka mengurangi dampak kenaikan BBM terhadap terjadinya peningkatan angka kemiskinan baik dipedesaan maupun perkotaan sebagai dampak langsung dari berkurangnya daya beli masyarakat maka akan segera digulirkan program penyaluran subsidi beras untuk rakyat miskin serta program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dimana kedua program tersebut dapat dilaksanakan karena memiliki target dan mekanisme yang sudah jelas dan waktu persiapan dari aparatur pemerintah yang melaksanakannya di daerah tidak membutuhkan waktu lama. Program penyaluran subsidi beras dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun 2014 serta dilaksanakan juga pada tahun 2015. Dalam rangka meminimalkan dampak kenaikan harga BBM terhadap peningkatan inflasi baik di tingkat nasional maupun daerah maka sebaiknya dilaksanakan beberapa langkah terutama mengendalikan kenaikan tarif angkutan darat, melakukan komunikasi yang efektif untuk mengelola ekspektasi inflasi serta mengatur waktu implementasi kebijakan administered price lainnya. Pada pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten kota perlu juga melaksanakan kegiatan
Selain dilakukan penghitungan dan simulasi harga BBM dan sumber energi lainnya, dilakukan analisa menyeluruh dari dampak ekonomi dan sosial yang terjadi dari berbagai alternatif yang ada. Secara makro dilihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemiskinan. Selain itu, dilihat pula dampaknya terhadap defisit transaksi berjalan serta terhadap inflasi. 04 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
http://indocropcircles.wordpress.com
Ekonomi Internasional serupa dengan mengatur konsumsi BBM di daerah melalui perda daerah masing-masing. Dalam mengantisipasi gejolak sosial terkait habisnya kuota BBM bersubsidi, maka perlu dilakukan beberapa langkah sebagai tindakan antisipatif seperti: menyediakan pasokan BBM non subsidi secara tepat waktu, melakukan komunikasi yang efektif terkait ketersediaan pasokan serta kemudahan akses dalam membeli BBM non subsidi. Pemerintah daerah dalam rangka mengendalikan inflasi daerah setelah terbentuknya TPID pada daerah-daerah diseluruh Indonesia, maka lebih mengintensifkan kerjasama perdagangan antar daerah sehingga sehingga tidak terjadi kelangkaan barang di daerah yang membutuhkan bahan pangan dan tidak terjadi kelebihan pasokan didaerah penghasil bahan pangan. Selain itu, perbaikan infrastruktur jalan perlu dilaksanakan dengan bantuan pemerintah pusat agar distribusi barang dan bahan pangan tidak terhambat oleh adanya kerusakan jalan-jalan yang menghubungkan daerah pemasok daerah yang membutuhkan. Selain peningkatan infrastruktur jalan, sistem logistik nasional perlu di perhatikan dan dikoordinasikan secara intensif terkait distribusi barang yang dilakukan melalui laut dan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia.
Dinamika Pertumbuhan Emerging Markets P
ertumbuhan produki industri pada emerging countries melemah, bahkan terlemah selama krisis
global berlangsung, dimana pertumbuhan industri secara agregat pada EM hanya 2 persen (yoy) pada Agustus 2014. Penilaian agregat tersebut cenderung menutupi kesenjangan yang terjadi pada EM di berbagai wilayah. Industri yang ada di Emerging Asia memiliki pertumbuhan yang baik, berbeda dengan kondisi di Eropa dan Amerika Latin yang output nya cenderung menurun. Perlambatan pertumbuhan industri hampir terjadi di seluruh wilayah Emerging Europe, dimana kondisi terparah terjadi pada Turki dan Rusia. Sementara, perlambatan di Emerging Latin America juga menyebar di seluruh wilayah, khususnya di Chili dan Peru. Perlambatan yang terjadi di Eropa dan Amerika Latin dikhawatirkan juga merambah ke Asia. Walaupun Emerging Asia terbukti kuat menghadapi pertumbuhan ekonomi global yang sempat melemah, namun disinyalir terdapat pelemahan aktivitas industri di Asia. Terlebih lagi, data triwulan III dari China Activity Proxy menunjukan adanya penurunan laju perekonian Cina, khususnya untuk sektor real estate dan heavy industry. Kondisi tersebut melemahkan harapan EM untuk pulih pada triwulan berikutnya. Regional Industrial Production Volumes (%, yoy)
Sumber: Capital economy
Ratih Purbasari Kania
Pertumbuhan consumer spendin g pada EM menurun
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 05
Sumber: Capital economy
dari 3,8 persen (yoy) pada Q1 2014 menjadi 3,2 persen (yoy) pada Q2 2014. Penurunan tersebut diprediksi akan terus berlanjut ke triwulan berikutnya. Pertumbuhan penjualan retail mengalami penurunan terburuknya sejak krisis 2008-2009, dengan pertumbuhan sebesar 5,7 persen (yoy) pada Agustus 2014. Penurunan tersebut tidak terjadi di Cina, dimana retail disana masih terus tumbuh di atas 10 persen (yoy) pada periode yang sama. Rasio kredit rumah tangga pada sejumlah negara diketahui meningkat tajam dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Misalnya saja di Thailand, dimana kredit rumah tangga meningkat dua kali lipat terhadap GPD Thailand, salah satunya yaitu kredit kendaraan bermotor. Prospek dari belanja konsumen di EM Asia cenderung membaik, kecual Thailand, Malaysia dan Korea. Sedangkan belanja konsumen di Amerika Latin belum menunjukan adanya perbaikan akibat tingginya tingkat inflasi disana sehingga berpengaruh terhadap real income dari konsumen. EM Manufacturing PMI & Industrial Production
Cina) cenderung moderat. Performance dari ekspor Cina masih sangat bagus, melebihi ekspektasinya. Negara – negara yang memiliki basis ekspor manufaktur seperti Filipina, Cina, Hungaria, Polandia dan Romania masih memiliki performa ekspor yang lebih baik dibandingkan negara-negara yang menjadi basis ekspor komoditas dalam jumlah besar seperti Afrika Selatan,Rusia dan Peru. Dari sisi tingkat inflasi, rata-rata inflasi dari 54 negara ekonomi terbesar dunia, terjadi penurunan tingkat inflasi dari 4,9 persen (yoy) pada Juli 2014 menjadi 4,8 persen (yoy) pada Agustus 2014. Walaupun tingkat inflasi terkesan rendah dan stabil di Emerging Asia, Timur Tengah dan Afrika, masih terjadi kenaikan tingkat inflasi di emerging europe dan Amerika Latin. Negaranegara yang mengalami inflasi tertinggi yaitu Venezuela (hampir 60%), Rusia, Ukraina, Brazil, Turki dan India. Sedangkan untuk negara yang berbasis manufaktur di Emerging Asia memiliki tingkat inflasi yang rendah. Kedepannya, kombinasi antara perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan harga komoditas seharusnya bisa memastikan adanya penurunan tekanan inflasi pada beberapa bulan ke depan. Turunnya harga komoditas pertanian dunia (yoy) akan mampu mengatasi tekanan volatile foolds inflation pada EM.
Sumber: Capital economy
Laju pertumbuhan ekspor EM menurun di Agustus 2014 pada posisi 3 persen (yoy), dimana pada Juli sebelumnya berada pada posisi 4,8 persen (yoy). Penurunan ekspor tertinggi terjadi pada EM Eropa, sementara ekspor dari Amerika Latin dan Asia (selain 06 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Dara Ayu P
http://vibinews.com
Berakhirnya Kebijakan Quantitative Easing The Fed
K
etelah lebih dari enam tahun dan dalam tiga tahap mengimplementasikan kebijakan Quantitative Easing (QE) dengan membeli 3,5 triliun USD. Kebijakan akomodatif yang dilakukan The Fed dinilai efektif dalam menstabilkan sistem ekonomi di negeri Paman Sam. Setelah mengalami krisis keuangan dengan tingkat pengangguran sebesar 4,4% pada tahun 2007 dengan tingkat inflasi 2,1%. Sedangkan saat terjadinya krisis tahun 2008, tingkat pengangguran di Amerika Serikat meningkat sebesar 6,8% dengan tingkat inflasi sebesar 5,63% dan tingkat pengangguran yang melonjak hingga 10% pada tahun 2009 kemudian merosot menjadi 5,9% pada Bulan September 2014. Kondisi ini semakin meningkatkan kepercayaan pasar pada negara adikuasa tersebut. Namun, penghentian stimulus yang dilakukan The Fed tidak diikuti dengan kebijakan menaikkan suku bunga acuan The Fed (federal fund) yang tetap berada pada 00,25 %, kebijakan tersebut diambil guna menjaga volume dolar tetap melimpah untuk sistem keuangan global. Michael Gregory dari BMO Capital Markets menyatakan bahwa The Fed saat ini telah resmi bergeser ke kebijakan netral, tidak membeli dan menjual aset, tidak memotong atau menaikkan suku bunga acuan. Namun, seberapa lama posisi The Fed mengimplementasikan kebijakan netral akan sangat bergantung pada data. Dengan terjadinya pengenduran pada pasar tenaga kerja di Amerika Serikat semakin menambah keyakinan akan prospek ekonomi yang semakin membaik. Kini The Fed fokus pada inflasi yang masih jauh di bawah target 2,0%. Selain itu, The Fed harus menekan kekhawatiran banyak pihak atas ancaman deflasi di zona euro. Mengingat European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) yang tengah berjuang melawan deflasi.
Sementara dari sisi bursa saham merespon negatif pengumuman kebijakan The Fed yang mengakhiri quantitative easing. Seperti yang dilansir Rauters, indeks-indeks saham sangat rentan terhadap pelemahan setelah pengumuman resmi The Fed. Akibatnya, S&P 500 sempat menurun sebesar 0,8 persen sebelum akhirnya membaik kembali. Sementara itu, nilai Saham Facebook menekan indeks Nasdaq, namun dengan adanya penguatan pada saham-saham pada sektor energi dan finansial cukup membantu terjadinya pemulihan pasar. Direktur Alokasi Aset Ridge Worth Investment Alan Gayle menyatakan bahwa reaksi yang diakibatkan dari pernyataan The Fed tersebut akan menciptakan aksi beli di dalam pasar. Seperti yang dipublikasikan dalam berita CNN Indonesia, The Dow Jones industrial average turun sebesar 31,44 poin atau 0,18 % menuju 16.974,31, S&P 500 melemah 2,75 poin atau 0,14% ke angka 1.982,3 sedangkan Nasdaq Composite mengalami penurunan sebesar 15,07 poin atau sebesar 0,33% ke angka 4.549,23. Merespon kebijakan tersebut, Indonesia harus tetap mewaspadai dampak dari pengumuman The Fed seperti yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan Chatib Basri. Pemerintah harus mewaspadai kemungkinan memburuknya perekonomian nasional akibat adanya arus modal masuk ke negara berkembang yang mempunyai risiko capital reversal. Merespon kebijakan The Fed dengan formula kebiajakn yang tepat akan sangat membantu dalam menekan risiko tersebut.
Anida Ul Masruroh
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 07
Ekonomi Domestik
DIMENSI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA ondisi Perekonomian Indonesia triwulan III-2014 K ditutup dengan kabar yang kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi masih dalam kecenderungan melambat dimana tercatat pada triwulan III-2014 pertumbuhan ekonomi hanya 5,01 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan II2014 sebesar 5,12 persen (yoy). Tentunya ini bukan suatu berita yang menggemberikan di tengah gegap gempita masyarakat Indonesia menyambut pemerintahan baru, Jokowi-JK yang ingin memasang target pertumbuhan ekonomi 7% tiap tahunnya.
http://footiemap.com
dikontribusikan oleh beberapa sektor kunci yaitu Sektor Industri Pengolahan sebesar 23,7%; Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 15,21%; dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 14,26%. Beberapa sektor yang mengalamai penurunan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia pada triwulan III-2014 dibandingkan triwulan III-2013 adalah Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan dari 15,42% menjadi 15,21%; Sektor Pertambangan dan Penggalian dari 10,81% menjadi 10,49%; dan Sektor Konstruksi dari 9,77% menjadi 9,76% (lihat Tabel 1).
Permintaan global yang masih lemah disinyalir menjadi salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2014. Dalam menghitung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, BPS selalu menggunakan 3 dimensi penghitungan, yaitu dimensi sektoral, dimensi pengeluaran, dan dimensi spasial. Selanjutnya, menarik untuk dilihat apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia jika ditelusuri dari ke-3 dimensi di atas menunjukkan pola pergerakan yang baru ataukah masih dengan cerita lama?
Dimensi Sektoral
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dilihat dari dimensi sektoral ditopang oleh pertumbuhan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 9,01%. Berikutnya Sektor Jasa-jasa tumbuh 6,52%; Sektor Konstruksi tumbuh 6,28%; Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih tumbuh 6,18%; Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan tumbuh 5,96%; Sektor Industri Pengolahan tumbuh 4,61%; Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran tumbuh 4,21%; Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh 3,74%; dan Sektor Pertambangan dan Penggalian tumbuh 0,31% Pada triwulan III-2014, PDB Indonesia yang menjadi dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi banyak
Dimensi Pengeluaran
Dilihat dari dimensi pengeluaran, PDB Indonesia masih tetap didominasi oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang mencakup separuh lebih dari total PDB Indonesia yaitu sebesar 55,11%. Berikutnya komponen pengeluaran lain yang berkontribusi terhadap PDB Indonesia secara berturutturut adalah Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (Investasi) sebesar 30,91%, Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga sebesar 9,25%, Komponen Perubahan Inventori sebesar 3,33%, Komponen Deskripsi Statistik sebesar 3,06%, dan Komponen Ekspor Netto sebesar -1,66% (Lihat Gambar1).
08 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Gambar 1. Komposisi PDB Menurut Pengeluaran Triwulan III (%)
Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak banyak perubahan jika dilihat dari kontribusi masing-masing pengeluaran terhadap PDB. Konsumsi Rumah Tangga masih mendominasi setengah PDB Nasional, diikuti oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto (Investasi), dan Konsumsi Pemerintah. Sementara Ekspor Netto yang masih berkontribusi negatif disebabkan oleh defisit Neraca Perdagangan Indonesia, terutama neraca perdagangan migas akibat impor BBM yang membengkak karena kurs Rupiah yang melemah terhadap dollar. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini dinilai kurang berkualitas karena masih mengandalkan sisi konsumsi masyarakat, alihlaih mengandalkan sektor investasi dan ekspor.
Dimensi Spasial
Dimensi spasial pertumbuhan ekonomi di Indonesia memperlihatkan bahwa pulau Jawa tetap merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia pada triwulan III-2014 (58,51%). PDB Pulau Jawa didominasi secara berurutan oleh sektor industri pengolahan, perdagangan-hotel-restoran, dan sektor pertanian. Pulau Sumatera selanjutnya memberikan kontribusi terhadap PDB Nasional sebesar (58,51%). Sisanya, Pulau Bali & Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku & Papua masing-masing berkontribusi terhadap PDB Indonesia dibawah 10%. Dilihat dari sisi PDRB per kapita per propinsi, terjadi ketimpangan besar. PDRB per kapita yang tinggi terpusat pada daerah provinsi yang kaya sumberdaya alam, seperti Kaltim, Riau dan NAD, serta daerah ibukota. Dominasi sebagian besar aktivitas industri manufaktur modern, terutama skala besar dan sedang, di Indonesia terus berlangsung di pulau Jawa dan Sumatra selama 1976-2010. Jawa dan Sumatra menyerap lebih dari 93% tenaga kerja di sektor industri Indonesia selama periode tersebut. Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian
Indonesia 2006 menggarisbawahi bahwa wilayah Jakarta-Banten, Jabalnusra (Jawa Bali Nusa Tenggara), dan Sumatra umumnya tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan Kali-Sulampua (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua). Dengan kata lain, grativasi ekonomi Indonesia masih bias ke Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2009).
Melihat pola pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 3 dimensi berbeda yaitu, dimensi sektoral, dimensi pengeluaran, dan dimensi spasial sepertinya masih belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dilihat dari dimensi sektoral ditopang oleh beberapa sektor kunci diantaranya Sektor Industri Pengolahan; Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutatanan, dan Perikanan; serta Sektor Perdagangan. Dari dimensi spasial, sektor konsumsi rumah tangga masih diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedepan, kiranya pemerintahan Jokowi-JK dapat mendorong sektor investasi melalui pembangunan infrastruktur dan penyederhanaan izin investasi agar target pertumbuhan ekonomi 7% dapat tercapai. Kemudian dari dimensi spasial sangat terlihat mencolok bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa dan bias ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) sehingga sedikit mengabaikan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pemerintahan Jokowi-JK mendatang diharapkan dapat mengubah pola spasial pembangunan Indonesia ini melalui salah satu dari sembilan agenda prioritas Jokowi-JK saat kampanye pilpres, Nawa Cita yaitu “akan membangun Indonesia pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Fatkhu Ridho
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 09
Laporan Utama
Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta dan Pemerintah Hubungan Dagang Indonesia dan Tiongkok Perlambatan Ekonomi Domestik Triwulan III Tahun 2014
Laporan Utama
PERKEMBANGAN UTANG LUAR NEGERI SWASTA DAN PEMERINTAH http://jurnalis.com
erkembangan utang luar negeri sampai dengan P bulan Agustus tahun 2014 mencapai US$ 290.369 juta.
Jumlah utang terkaselerasi tumbuh sebesar 11,16% (yoy), dimana utang swasta masih mendominasi sebesar 54% dibandingkan utang pemerintah. Dari nilai utang yang dilakukan pemerintah, sebanyak US$ 37,1 miliar atau 29,4% merupakan surat berharga negara (SBN) domestik yang dimiliki bukan penduduk (domestic government securities owned by non-resident). Angka ini tercatat tumbuh 42,7% (yoy).
dalam negeri. Mengingat kondisi fundamental pada pasar valutas asing masih dangkal. Hal ini sinkron dengan data CEIC yang menyebutkan perdagangan valas harian sepanjang tahun 2014 hanya sekitar US$ 2 miliar. Kemudian ditinjau dari jumlah proporsi dimana swasta cenderung agresif melakukan utang mengingat suku bunga pinjaman (lending rate) untuk investasi dalam negeri cenderung mahal yakni berkisar 12,34% per
Perkembangan Utang Pemerintah (Bank Sentra) dan Swasta Tahun 2009-2014
Sumber: Bank Indonesia
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Agustus 2014. Meskipun LDR bank umum sudah turun Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan tipis sekitar 1,7% (mtm) menjadi 90,63%, sedangkan BI menunjukkan kepemilikan asing atas SBN mencapai Rp menetapkan ambang batas LDR perbankan pada kisaran 434,2 triliun atau 37% per Agustus 2014. Adapun 92%. Kondisi ini masih membatasi kemampuan bank sepanjang Agustus, pemerintah memacu penerbitan umum untuk menyalurkan kredit. SBN dengan nominal mencapai Rp 33,4 triliun. Menteri Keuangan, Chatib Basri menjelaskan bahwa ada dua Seperti yang tersaji pada gambar 1 terlihat bahwa utang indikasi penting terhadap porsi kepemilikan asing atas swasta cenderung naik selama dua tahun terakhir. SBN Indonesia. Pertama, kondisi ini merupakan indikasi Sampai dengan bulan September Gubernur BI, Agus akan ketertarikan atau minat asing untuk berinvestasi di D.W. Martowardoyo menyampaikan bahwa terdapat Indonesia. Di sisi lain, kondisi ini akan memicu sekitar 67% perusahan swasta yang belum menerapkan timbulnya risiko pembalikan modal portofolio (reversal prinsip pengelolaan risiko melalui perlindungan nilai capital) yang besar saat terjadi goncangan ekonomi (hedging). volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 11
Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB
Sumber: Bank Indonesia
Berdasarkan data yang dirilis oleh DJPU seperti yang terlihat pada gambar 2. sampai dengan bulan Agustus terjadi penurunan rasio utang terhadap PDB sebesar 2,3% dibandingkan dengan tahun lalu. Hal ini diikuti oleh penurunan total utang swasta sebesar 0,4% (mtm) atau senilai US$ 156.162 juta. Namun, BI mengingatkan kepada pihak swasta untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent). Mengingat bahwa masih banyaknya korporasi swasta menjalankan proyek yang tidak menghasilkan valas tetap melakukan utang luar negeri. Selain itu, korporasi swasta yang melakukan utang luar negeri belum menerapkan lindung nilai (hedging currency). Untuk menekan kerentanan atas risiko utang luar negeri oleh korporasi non bank, BI telah mengeluarkan beleid yaitu Peraturan Bank Indonesia No.16/20/PBI/2014 Tanggal 28 Oktober 2014 Tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank. Disamping itu, BI juga menekankan pengelolaan utang luar negeri dengan manajemen yang baik, seperti menghindari utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap), dan
menghindari penggunaan utang untuk proyek yang tidak menghasilkan devisa (mismatch currency). Volatilitas rupiah meningkat dalam dua tahun terkahir. Kondisi ini membuat risiko utang luar negeri rentan terutama bagi korporasi yang tidak melakukan hedging currency. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter akan mengendalikan fluktuasi rupiah dengan kebijakan makroprudensial. Selain itu, BI juga akan menyempurnakan peraturan terkait pengelolaan utang luar negeri terutama utang luar negeri yang dilakukan oleh swasta. Adanya beleid PBI No.16/20/PBI/2014 tersebut diharapkan dapat meningkatkan penggunaan transaksi lindung nilai sehingga pasar valuta asing menjadi lebih dalam dan tekanan nilai tukar rupiah dapat diminimalkan. Sehingga risiko pembalikan arus modal portofolio bisa ditekan karena fundamental pasar valuta asing cukup dalam.
Anida Ul Masruroh
12 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
http://lawangsigotaka.blogspot.com
http://lawangsigotaka.blogspot.com
Hubungan Dagang Indonesia dan Tiongkok Perekonomian Indonesia semakin terbuka dan terintegrasi dengan sistem perekonomian global. Kita pun banyak bergabung dalam kelompok-kelompok antar bangsa baik bersifat mengikat maupun tidak. Oleh karena itu saat ini kita terus mencermati kondisi perekonomian global terutama kondisi negara-negara yang menjadi mitra utama, antara lain Republik Rakyat Tiongkok. Kita ketahui bersama bahwa saat ini pemulihan ekonomi di tingkat global terus berlangsung tetapi pada tingkat yang rendah disertai pelebaran ketidakseimbangan antar negara. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun 2014 diperkirakan menguat hingga 2,2%, sementara perekonomian di kawasan Uni Eropa melambat hanya tumbuh 0,8%. Bahkan ekonomi Jepang semakin melambat dengan pertumbuhan hanya 0,9% dan banyak pengamat yang meyakini Jepang mulai memasuki masa krisis. Ekonomi negara-negara berkembang tumbuh tidak merata, Brazil hanya 0,3% dan Tiongkok masih tumbuh di atas 7%. Dengan evaluasi kondisi ekonomi global selama Semester I-2014 yang rentan dan tidak seimbang, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan dunia tahun 2014 menjadi 3,3% atau 0,4% lebih rendah dari proyeksi sebelum-nya pada bulan April 2014. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2015 juga diturunkan menjadi 3,8%. Ketidakseimbangan ekonomi global akan
berisiko meningkatnya volatilitas pasar uang di negara berkembang yang berimbas pada gejolak nilai tukar, terjadi stagnasi dan deflasi di kawasan Eropa yang akan berpengaruh pada perlambatan ekspor Tiongkok, utang negara maju meningkat serta potensi kontraksi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan indikator keuangan terlihat bahwa kerentanan atau volatilitas pasar uang mulai meningkat, terjadi peningkatan utang pemerintah di AS, Uni Eropa dan Jepang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi periode 2008-2014 dibandingkan periode 2003-2007 di AS, Uni Eropa, Jepang, Tiongkok, India dan Brazil. Namun, pertumbuhan kredit perbankan di Tiongkok masih cenderung meningkat mengindikasikan adanya harapan kondisi bisnis yang lebih baik pada saat Purchasing Manager Index (PMI) Tiongkok yang masih terus menurun. Biro Statistik Nasional Tiongkok (NBS) melaporkan manufacturing PMI bulan Oktober lalu turun menjadi 50,8% dari 51,1 bulan September. Faktor
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 13
pengaruh penurunan PMI ini menandai penurunan permintaan baru (new order), produksi, dan bahan baku. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini tengah berada dalam tantangan yang mendorong kita untuk segera berbenah dengan kerja keras. Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2014 sebesar 5,01% berada dalam tren perlambatan sejak 2012 lalu. Penyebabnya antara lain http://jurnalis.com ekspor kita yang hanya bergantung pada perdagangan komoditas primer dengan nilai tambah yang rendah. Pembenahan sisi suplai dan produksi belum optimal, sehingga tidak seimbang dengan kenaikan sisi permintaan. Akibatnya, kita terus berhadapan dengan gejolak harga komoditas di samping hambatan infrastruktur yang tidak mendukung logistik berjalan dengan optimal. Inflasi tahunan hingga Oktober sebesar 4,83% dan berada dalam rentang target inflasi 5% ± 1%. Ekspor kita sedikit menurun, dari Januari hingga September nilai ekspor mencapai USD132,71 miliar atau turun 0,93% YoY. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai USD134,37 miliar atau turun cukup besar 4,26% YoY. Neraca perdagangan surplus USD 1.555 juta karena penurunan impor lebih tajam daripada penurunan ekspor. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya tekanan defisit transaksi berjalan pada Triwulan III-2014 menjadi 3,07% dari PDB. Realisasi Investasi pada Triwulan III-2014 sebesar Rp
119,9 triliun terdiri dari PMA sebesar Rp 78,3 triliun dan PMDN mencapai Rp 41,6 triliun. Secara total, investasi sejak awal tahun hingga September 2014 sudah mencapai Rp 342,7 triliun atau 75,1% dari target investasi Rp 456,6 triliun. Perlambatan ekonomi mulai berpengaruh pada penciptaan lapangan kerja. Tingkat pengangguran terbuka bulan Agustus 2014 sebesar 5,94% atau naik dari 5,7% pada Februari 2014, tetapi menurun dari Agustus tahun lalu. Tiongkok merupakan mitra utama dan penopang terbesar perdagangan Indonesia. Pada tahun 2009, perdagangan dengan Tiongkok berada pada urutan ke3 dan pada tahun 2013 sudah berada pada urutan teratas dengan nilai perdagangan naik dua kali lipat. Indonesia menikmati surplus perdagangan tahun 2013 sebesar USD 1.628,9 Juta. Namun, Indonesia belum termasuk dalam 15 mitra dagang utama Tiongkok. Selama lima tahun terakhir (209-2013), 6 mitra dagang utama Tiongkok tidak berubah, yaitu AS, Jepang, HongKong, Korea Selatan, Jerman dan Australia. Indonesia hanya termasuk dalam 15 importir terbesar dan hanya menyumbang 1,2% dari total impor tahun 2013. Jika kita cermati, pertumbuhan ekspor Indonesia yang sangat dominan dengan Tiongkok bergerak selaras dengan pertumbuhan ekspor Tiongkok yang digerakkan oleh kondisi sisi produksi atau dilihat dari Indeks Harga Produksi (Wholesales Price Indeks). Pada triwulan III2014, WPI Tiongkok cenderung menurun, sehingga kita
http://kabartiongkok.wordpres.com
14 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
waspadai hal ini akan berdampak pada kontraksi ekspor kita pada Triwulan IV nanti. Sebagai mitra dagang utama kita juga terus mengamati perkembangan di Tiongkok. Pertumbuhan ekspor dan impor Tiongkok Oktober 2014 lalu melambat tetapi memperolah peningkatan surplus perdagangan. Ekspor melambat dari 15,3% (September) menjadi 11,6% (Oktober). Impor pun melambat dari 7% (September) menjadi 4,6% (Oktober), sehingga terjadi kenaikan surplus perdagangan dari USD 31 miliar (September) menjadi USD 45,4 miliar (Oktober). Ekspor Tiongkok ke ASEAN dan Korea meningkat, ekspor ke US tetap sekitar 11%, ekspor ke EU menurun menjadi 4% dan ekspor ke HK moderat 24%. Impor komoditas pokok naik 17% menurut volume tetapi turun 6% menurut nilai (elastis) Pertumbuhan ekspor Tiongkok didominasi oleh produk telepon seluler dan komponennya, melonjak 41% YoY, ekspor mesin dan elektronik naik 10%, sementara pertumbuhan produk berbasis padat karya melambat menjadi 6,2%. Secara YTD, ekspor naik 5,8% dan impor naik 1,6%. Diperkirakan hingga akhir Desember 2014 ekspor masih tumbuh double-digit sekitar 12%. Ekspor ke ASEAN melonjak dari 13,8% YoY (September) menjadi 18% YoY (Oktober), sedangkan ekspor ke EU terus menurun, terendah dalam 7 bulan terakhir 4,1%
YoY. Impor Tiongkok dari ASEAN moderat pada 24,5% karena kenaikan permintaan dari Singapura dan Thailand. Sementara itu, impor Tiongkok dari US turun drastis 2,2% YoY dari 12,5% bulan lalu. Impor Tiongkok dari EU naik ke 10,4% dari 9,1% bulan lalu. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok terlihat mulai membaik ditandai dengan koreksi proyeksi pertumbuhan dari 7,2% menjadi 7,4% untuk tahun 2014 dan koreksi proyeksi dari 6,9% menjadi 7,2% untuk tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan Indonesia sama-sama bergerak dalam pola yang selaras. Kedua pertumbuhan ekonomi mempunyai kesamaan dalam hal kontribusi ekspor pada pertumbuhan. Ekspor Tiongkok berkontribusi 26,4% terhadap PDB tahun 2013 dan kontribusi ekspor Indonesia pada PDB 2013 sebesar 23,7%. Tiongkok dan Indonesia juga mengalami tren penurunan transaksi berjalan akibat perlambatan ekspor. Jika perlambatan ekspor Tiongkok disebabkan penurunan permintaan di Kawasan Uni Eropa, AS dan Jepang, maka perlambatan ekspor Indonesia disebabkan oleh perlambatan ekspor Tiongkok. Meskipun keduanya tengah menghadapi tren penurunan transaksi berjalan, mata uang Tiongkok (Renminbi) terhadap Dollar AS mengalami apresiasi,
http://tempo.com
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 15
http://oto.detik.com
sedangkan Rupiah justru mengalami depresiasi. Tiongkok masih memperoleh surplus perdagangan walaupun ekspor melambat, sementara Indonesia mengalami defisit perdagangan.
pelaksanaan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan didalamnya terdapat skema insentif yang saling menguntungkan.
Apabila melihat komoditas perdagangan, impor dari Tiongkok ke Indonesia lebih banyak berupa komoditas industri dan manufaktur seperti mesin dan komponennya, peralatan listrik, besi dan baja ditandai dengan kode HS di atas 50 yaitu komoditas dengan nilai tambah yang tinggi. Sebaliknya, ekspor Indonesia ke China lebih banyak berupa komoditas primer atau olahan dengan nilai tambah yang rendah. Akibatnya, secara volume ekspor besar tetapi nilai ekspor relatif rendah. Surplus perdagangan menjadi terbatas karena nilai tambah komoditas yang relatif rendah. Melalui forum ini, pemerintah mengharapkan kerja sama erat dan saling menguntungkan antara lain dengan membangun dan mengembangkan industriindustri yang berorientasi pada penciptaan nilai tambah. Saat in Pemerintah sedang menyelesaikan aturan-aturan
16 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Edi Prio Pambudi
Perlambatan Ekonomi Domestik Triwulan III Tahun 2014 http:/medanbisnisdaily.com
http:/medanbisnisdaily.com
P
ertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2014 masih mengalami moderasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global, terutama perlambatan yang terjadi di Tiongkok dan Jepang yang merupakan negara mitra dagang utama Indonesia. Tiongkok merilis pertumbuhan ekonominya pada kuartal III-2014 turun menjadi 7,3
Bank of Japan (BOJ) di Jepang. Ketiga, seiring dengan
berakhirnya QE, harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti minyak sawit atau CPO (Crude Palm Oil) pun turut melemah. Turunnya harga komoditas batu bara dan berlakunya beleid pelarangan ekspor komoditas mineral mentah juga turut mengkoreksi pertumbuhan ekonomi domestik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2014 masih mengalami moderasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global, terutama perlambatan yang terjadi di Tiongkok dan Jepang yang merupakan negara mitra dagang utama Indonesia. Tiongkok merilis pertumbuhan ekonominya pada kuartal III2014 turun menjadi 7,3 persen dibanding peiode yang sama pada tahun lalu sebesar 7,8 persen. Sementara Jepang juga mengalami erlambatan pada kuartal III-2014. Pertumbuhan Jepang mengalami kontraksi 0,2 persen, sedangkan pada periode yang sama tahun lalu Jepang tumbuh 2,4 persen. persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar 7,8 persen. Sementara Jepang juga mengalami perlambatan pada kuartal III-2014. Pertumbuhan Jepang mengalami kontraksi 0,2 persen, sedangkan pada periode yang sama tahun lalu Jepang tumbuh 2,4 persen. Sementara itu, Menko Perekonomian, Chairul Tanjung menyampaikan bahwa terdapat tiga faktor pemicu perlambatan perekonomian domestik. Pertama, kondisi global yang sampai saat ini masih berkonsolidasi. Kedua, kebijakan otoritas moneter Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) untuk mengakhiri stimulus moneter atau Quantitative Easing (QE). Pemberhentian QE ini cenderung memperlambat negara-negara Emerging Market (EM) yang sebelumnya menikmati kebijakan uang longgar dari AS. Kendati demikian kondisi ini diimbangi oleh kebijakan pelonggaran moneter oleh Europen Central Bank (ECB) di benua biru Eropa dan
Berdasarkan berita resmi statistik Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01 persen (yoy) pada kuartal III 2014 dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,12 persen (yoy). Sementara berdasarkan lapangan usaha, pertumbuhan paling tinggi terjadi pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 6,74 persen (qtq). Musim kemarau yang mulai berkurang dinilai menjadi faktor pendorong pertumbuhan pda sektor primer tersebut. Disusul berikutnya sektor jasajasa 3,71 persen (qtq) dimana pada periode ini bersamaan dengan belanja pemerintah yang mengeluarkan gaji ke-13 sementara sektor konstruksi tumbuh sebesar 3,27 persen (qtq). Sedangkan untuk sektor pertambangan dan penggalian masih melanjutkan tren penurunan mengingat adanya beleid pembatasan ekspor mineral dan batu bara.
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 17
Sementara dari sisi penggunaan, BPS mencatat konsumsi rumah tangga masih mendominasi dengan pertumbuhan sebesar 2,96 persen. Konsumsi rumah tangga tumbuh 2,78 persen (qtq) atau tumbuh 5,44 persen (yoy). Kondisi ini dikarenakan dalam kuartal tersebut ada puasa dan lebaran, namun pertumbuhan tersebut turun tipis dibanding tahun lalu karena ada Pemilihan Umum yang sudah berkahir serta turunnya penjualan ritel motor dan mobil. Penyumbang pertumbuhan kedua yaitu pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi langsung non migas sebesar 0,99 persen. Sedangkan secara kuartal tumbuh sebesar 1,66 persen (qtq) atau tumbuh di kisaran 4,02 persen (yoy). Kemudian untuk konsumsi pemerintah, BPS mencatat pertumbuhan sebesar 11,12 persen (qtq) seiring meningkatnya belanja pemerintah di kuartal III dan tumbuh sebesar 4,37 persen (yoy) seiring dengan meningkatnya belanja bantuan sosial yang dilakukan pemerintah. Namun, proposi sumbangannya terhadap PDB menurun dibandingkan tahun lalu hanya sebesar 0,33 persen.
Pada komponen ekspor dan impor porsinya menurun, masing-masing pertumbuhannya terkontraksi minus 0,7 persen dan minus 3,63 persen. Sementara Produk Domestik Bruto (PDB) nominal atas dasar harga berlaku terkoreksi sebesar Rp 2.619,9 triliun, meningkat apabila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya Rp 2.483,8 triliun maupun dibandingkan tahun sebelumnya pada kuartal yang sama sebesar Rp 2.359 triliun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir melambat. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk menekan angka defisit neraca berjalan. Selain itu, Indonesia juga sedang mengalami defisit APBN. Dalam kondisi twin deficit seperti ini shortfall pajak semakin melebar sehingga terjadi efisiensi anggaran pemerintah yang turut mengerek turun pertumbuhan.
Anida Ul Masruroh
http:/bisnis.liputan6.com
18 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
KUR
redit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu K instrumen peningkatan akses pembiayaan bagi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merupakan amanat Instruksi Presiden No. 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Inpres tersebut diterbitkan dalam rangka pemberdayaan UMKM, penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan akses pembiayaan, pengembangan kewirausahaan, peningkatan pasar produk UMKM, dan perbaikan regulasi bagi UMKM. KUR diluncurkan pada November 2007 dan mensasar usaha produktif yang layak namun belum bankable.
dengan sebaran wilayah penyaluran yang mencakup seluruh provinsi di Indonesia. Sampai dengan September 2014, kinerja penyaluran KUR oleh Bank Nasional yang terbanyak adalah Bank BRI dengan total penyaluran sebesar Rp 89,9 triliun pada KUR Mikro dan Rp 20 triliun pada KUR Ritel dengan jumlah debitur sebanyak 10,9 juta pada KUR Mikro dan 114.591 pada KUR Ritel. Bank Nasional yang juga memiliki kinerja penyaluran KUR dengan kategori baik adalah Bank Mandiri dengan jumlah penyaluran sebesar Rp 16,8 triliun untuk 382.124 debitur dengan tingkat NPL sebesar 3,9% dan Bank BNI dengan jumlah penyaluran sebesar Rp 15,2 triliun untuk 215.178 debitur dengan tingkat NPL sebesar 3,8%. Sedangkan pada BPD, kinerja penyaluran KUR 3 terbanyak sampai dengan September 2014 adalah Bank Jatim dengan jumlah penyaluran sebesar Rp 4,47 triliun untuk 42.383 debitur, diikuti oleh Bank Jabar Banten dengan jumlah penyaluran sebesar Rp 3,45 triliun untuk 29.792 debitur dan Bank Jateng dengan jumlah penyaluran sebesar Rp 2 triliun untuk 29.092 debitur. Penyaluran KUR menurut sektor ekonomi dari Januari sampai dengan September 2014 yaitu sektor perdagangan sebesar 56,8% (30,8% diantaranya terintegrasi dengan sektor hulu), sektor lain-lain sebesar
Secara akumulatif, penyaluran KUR Nasional sejak tahun 2007 sampai dengan September 2014 sebesar Rp 168,31 triliun dengan debitur sebanyak 11,9 juta. Rata-rata kredit per debitur sebesar Rp 14,1 juta dengan ratarata Non Performing Loan (NPL) sebesar 4,2%. Sedangkan penyaluran KUR nasional selama 2014 yaitu dari Januari sampai September 2014 telah mencapai Rp 29,76 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 1,7 juta. Penyaluran KUR dilakukan oleh 7 Bank Nasional dan 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD) volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 19 http://beritamoneter.com
terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 9 triliun dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp 8,2 triliun.
10,3%, sektor pertanian dan perikanan sebesar 18%, industri pengolahan 2,8% dan gabungan sisa lainnya sebesar 12,1%. Total penyaluran KUR pada sektor hulu (pertanian kelautan dan perikanan, kehutanan, industri pengolahan dan sektor hulu terintegrasi) sebesar 51,6%.
Pada September 2014, telah diadakan Rapat Koordinasi penyusunan basis data dan calon debitur KUR yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah 3 provinsi yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, dan Lampung. Melalui Rapat Koordinasi tersebut dicapai suatu komitmen bersama untuk antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam penyusunan basis data debitur dan calon debitur KUR. Basis data inilah yang nantinya dapat digunakan dalam upaya peningkatan kualitas penyaluran KUR agar lebih tepat sasaran
Kontributor:
Asisten Deputi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Berdasarkan sebaran regional, penyaluran KUR yang tinggi pada periode 2007 sampai dengan September 2014 masih didominasi di pulau Jawa yaitu di Provinsi Jawa Tengah dengan total penyaluran sebesar Rp 27 triliun, Provinsi Jawa Timur dengan total penyaluran sebesar Rp 25,6 triliun, dan Provinsi Jawa Barat dengan total penyaluran sebesar Rp 21,7 triliun. Sedangkan untuk luar Pulau Jawa, penyaluran KUR yang tinggi
http://manajemenppm.wordpress.com
20 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
KEUANGAN
TRIWULAN III‐2014 PERTUMBUHAN KREDIT PERBANKAN MELAMBAT
http:/bisniskeuangan.kompas.com
M
enyusul masih melambatnya perekonomian global dan rencana The Fed menaikkan Fed Funds Rate lebih cepat dari perkiraan turut memberi dampak pada kinerja industri perbankan, terutama untuk pertumbuhan penyaluran kredit perbankan yang terkontraksi di triwulan III-2014. Selain itu, faktor pemicu melambatnya kredit perbankan juga dikarenakan karena melambatnya aktivitas perekonomian domestik di tengah masih terjadinya twin deficit dan tidak optimalnya penerimaan negara yang ditunjukkan dengan shortfall pajak yang masih cenderung melebar. Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan kredit perbankan mengalami perlambatan pada triwulan III2014 menjadi 13,01 persen (yoy). Perlambatan ini cenderung lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit pada triwulan II-2014 sebesar 15,81 persen (yoy). Perlambatan ini sejalan dengan masih berlangsungnya proses penyesuaian perekonomian Indonesia yang mengalami perlambatan. Disamping itu, BI juga melaporkan bahwa perlambatan kredit perbankan juga masih terjadi baik pada bank kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III (bank dengan modal inti sebesar Rp 5 triliun sampai dengan kurang dari Rp 30 triliun) dan bank kelompok BUKU IV (bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun). Pada bank BUKU III dan BUKU IV terkoreksi masing-masing sebesar 9,09 persen (yoy) dan 10,9 persen (yoy). Namun demikian, perlambatan juga terjadi pada bank BUKU I (bank dengan modal inti kurang dari 1 triliun) dan bank kelompok BUKU II (bank dengan modal inti Rp 1 triliun sampai dengan kurang dari Rp 5 triliun). Dimana perlambatan yang terjadi di bank BUKU I relatif lebih
tinggi 19,1 persen (yoy), kemudian disusul perlambatan pada bank BUKU II sebesar 14,75 persen (yoy). Perlambatan penyaluran kredit perbankan nasional merupakan sumbangan kredit perbankan kawasan/regional. Bank Indonesia mencatatkan penyaluran kredit perbankan ke wilayah Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami perlambatan paling dalam dibanding wilayah lain di tanah air. Kondisi ini terutama dikarenakan terkontraksinya kredit untuk sektor pertambangan dan perdagangan. Hal ini terjadi mengingat adanya peraturan pelarangan ekspor tambang mineral dan batu bara mentah serta masih rendahnya harga komoditas tersebut, sedangkan komoditas pertambangan merupakan komoditas andalan di Wilayah Sumatera dan kawasan timur Indonesia. Perlambatan penyaluran kredit berdasarkan jenis kredit, terutama terjadi untuk Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). KMK tercatat Rp 1.674,1 triliun, tumbuh 13,6 persen yoy, sementara Kredit Investasi tercatat Rp 849 triliun, tumbuh 17 persen yoy. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan Juli yang masing-masing hanya tumbuh 16 persen (yoy) dan 18 persen (yoy). Sementara itu, kredit properti juga mengalami perlambatan senilai Rp 526,5 triliun atau tumbuh 15,7 persen yoy dibandingkan bulan Juli yang tumbuh 17 persen (yoy). Pemicu perlambatan ini dikarenakan adanya perlambatan KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) serta konstruksi pada bulan Agustus, masing – masing sebesar 13,6 persen (yoy) dan 16,9 (yoy). Pertumbuhan kredit ini cenderung melambat
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 21
apabila dibandingkan Bulan Juli dimana masing-masing tumbuh 14,5 persen (yoy) dan 19,8 prsen (yoy). Sejauh ini BI memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun 2014 berada di kisaran 15-17 persen dan tahun 2015 BI memproyeksikan pertumbuhan kredit di kisaran yang masih sama dengan tahun ini yakni 15-17 persen (yoy). Kendati demikian, apabila dilihat dari sisi risiko kredit bermasalah (NPL), secara agregat risiko kredit masih dalam tren yang cenderung meningkat akan tetapi masih di bawah 5 persen posisi NPL.
relatif rendah dan stabil di kisaran 2 persen pada triwulan III-2014. Otoritas Jasa Keuangan melaporkan telah melakukan revisi atas pertumbuhan kredit dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) pada kisaran 15-16 persen. Angka tersebut lebih rendah dari angka yang ditargetkan OJK pada awal tahun yaitu pada level 15-17 persen. Pertumbuhan kredit yang menurun mengindikasikan kebutuhan likuiditas yang mulai mereda.
Berdasarkan kredit sektoral, terdapat kenaikan NPL di sektor industri pengangkutan dan pertambangan, sementara di sektor lain yaitu sektor konsumsi dan perdagangan yang mengalami kondisi sedikit membaik tapi trennya masih meningkat, meskipun demikian NPL
Anida Ul Masruroh
Kegiatan Menko
Menko Pe rekonomian Canangka n Tiga Proyek MP3EI Koridor Sumatera http://analisadaily.com
enko Perekonomian, Chairul Tanjung M mencanangkan tiga proyek MP3EI koridor Sumatera.
Pencangan tersebut dilakukan di lokasi pembangunan jalan tol Medan-Binjai di Kebun Sei Semayang, Deli Serdang, Sumatera Utara sekaligus peresmian tol tersebut. Ketiga proyek yang dicanangkan tersebut kesemuanya adalah proyek insfratruktur yaitu jalan tol Trans Sumatera, Proyek Transmisi 500 kV Sumatera dan Transmisi HVDC Interkoneksi Sumatera-Jawa. Jalan tol Medan-Ninjai membentang sepanjang 17 km melintasi tiga kabupaten/kota yaitu Deli Serdang, Medan dan Binjai dan merupakan bagian dari Trans Sumatera yang menghubungkan Bakauheni sampai
dengan Banda Aceh sepanjang 2.600 km. Jalan ini direncanakan terdiri atas 23 ruas yaitu 15 ruas koridor utama dan 8 ruas koridor pendukung. Jalan ini memerlukan investasi Rp1,6 triliun (di luar biaya pembebasan lahan) dengan rencana masa konstruksi 3 tahun. Proyek itu sangat penting untuk Sumatera, karena dengan dibangunnya proyek jalan tol Trans Sumatera, biaya logistik untuk pengangkutan hasil industri dan pengangkutan orang akan lebih murah akibat efisiensi dan terjadinya efisiensi harga. Hal ini akan meningkatkan kompetisi, industri menjadi lebih baik, serapan tenaga kerja jauh meningkat.ini sangat monumental dan bersejarah bagi perkembangan ekonomi Sumatera.
22 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Proyek kedua adalah proyek Transmisi 500 kV Trans Sumatera akan menghubungkan pembangkit listrik di manapun di Sumatera sehingga pemadaman listrik yang serinng terjadi di Sumatera akan segera reratasi dan bisa mengalirkan di seluruh Sumatera tanpa terkecuali. Listrik menjadi penting sebagai daya tarik pembangunan ekonomi melalui energi. Proyek ketiga yang diresmikan yaitu proyek pembangunan kabel bawah laut interkoneksi jaringan Sumatera dengan jaringan Jawa dan Bali, di mana dengan kabel bawah laut ini akan terkoneksi listrik Sumatera dan Jawa-Bali sehingga keandalannya akan sama. Proyek ini membutuhkan investasi USD 2 miliar. Dengan pembangunan kabel ini nantinya akan ada kerja sama dengan Malaysia untuk koneksikan dengan Malaka.
Diharapkan nantinya kabel bawah laut tersebut dapat mengalirkan transmisi listrik 500kV. Menko Perekonomian juga merencanakan untuk mengkoneksikan dengan Malaka sehingga diperkirakan pada tahun 2025 PDB Sumatera akan meningkat hingga USD 1.114 miliar dari yang sebelumnya tahun 2011 yaitu USD 200 miliar.
Sri Purwanti
http://m.bisnis.com
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 23
Resiko Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi http://m.bisnis.com
eberapa waktu yang lalu Zurich Risk Room, sebuah B lembaga riset global menerbitkan laporan terbaru
tentang peringkat resiko menjalankan usaha di berbagai negara. Peringkat resiko ini sangat penting, sebagai bahan refleksi bagi Pemerintah untuk menjamin iklim usaha yang stabil bagi dunia bisnis. Indonesia masuk ke dalam 15 negara paling beresiko di dunia dan berada di urutan ke 14. Skor resiko Indonesia cukup buruk yaitu 55,5. Bahkan dibandingkan dengan Thailand yang sedang dilanda konflik politik, posisi Indonesia jauh lebih rendah. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, sejauh apakah Pemerintah kita berperan? Pada dasarnya pengukuran resiko tersebut berdasarkan pada resiko finansial seperti resiko suku bunga kredit, resiko pasar saham dan perbankan, kemudian dilihat dari resiko ekonomi seperti kondisi makro ekonomi, fiskal, dan neraca perdagangan, riset ini juga menggunakan variabel resiko politik yaitu jumlah konflik sosial, dan kepastian hukum. Dari segi resiko suku bunga kredit misalnya posisi BI rate yang masih dipatok tinggi 7,75 persen per 18 November 2014 menjadikan biaya untuk meminjam dana di bank domestik menjadi mahal. Bahkan bunga kredit kini sudah melampaui batas normal, diatas 15 persen. Hal ini tentu salah satu faktor yang menyumbang poin dalam penentuan besaran resiko. Dari sisi makro ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% (yoy) pada triwulan II 2014, diperlukan kerja ekstra untuk mencapai target pertumbuhan 6% di akhir tahun. Jika dikaitkan dengan kepercayaan bisnis, maka hal pertama yang dapat dilakukan adalah mempermudah perizinan usaha, terutama membantu UMKM untuk mendapatkan pinjaman murah, serta fokus pada penataan birokrasi yang efektif dan efisien. Beberapa kasus walaupun tidak mewakili semua sektor namun dapat dijadikan acuan, misalnya perizinan di industri minyak dan gas membutuhkan waktu lebih dari 365 hari. Selain waktu, biaya izin yang mahal juga
menjadi sarang pemburu rente di tubuh Pemerintahan. Target yang harus dicapai adalah memotong seluruh birokrasi penghambat, sehingga resiko bisnis pun dapat dikurangi dan pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Untuk resiko politik, walaupun sempat menjadi kekhawatiran di awal pemilu namun tidak terlalu menjadi hal utama yang diperhatikan oleh dunia bisnis. Hal ini tercermin dari sentimen di pasar modal yang cenderung wait and see menyikapi perkembangan pemilu. Indeks harga saham yang cenderung stagnan bahkan menurun dibawah 4.800 pada triwulan I 2014 dan melonjak drastis diatas 5.100 sehari setelah pemilu usai menjadi bukti bahwa pasar sebenarnya tidak begitu peduli terhadap Presiden yang terpilih. Yang menjadi indikator utama bagi dunia usaha adalah apakah pemilu berjalan damai atau sebaliknya. Pada dasarnya, fenomena IHSG hanya mengungkap gambaran yang lebih besar bahwa pengusaha maupun investor melihat pemilu sebagai cerminan kesiapan negara menghadapi gejolak yang lebih besar, semacam test case. Namun terlepas dari turunnya rating Indonesia di tahun 2014 karena naiknya resiko politik, terdapat beberapa poin yang dapat mengangkat posisi Indonesia. Pertama, survei ini diambil sebelum pemilu usai, artinya kondisi keamanan dan stabilitas politik Indonesia saat ini terbukti aman sehingga diprediksi posisi Indonesia sebagai negara yang beresiko tinggi bisa berubah. Menaikkan peringkat Indonesia sebagai negara yang aman bagi dunia usaha tentu bukan persoalan mudah, ini menuntut tanggung jawab bersama dari seluruh jajaran di Pemerintahan.
24 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Bhima Yudhistira Peneliti INDEF
Selamatkan Tanah dan Air Indonesia Pemerintahan yang baru harus mampu
menyelamatkan tanah dan air Indonesia dari ekploitasi besar-besaran, tetapi minim kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Amanat UUD’45 Pasal 33 jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, pratiknya dilapangan hal demikian tidak terjadi. Salah satu yang mengemuka dipermukaan ialah UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian diatur kembali dalam Permen ESDM 7 Tahun 2012 kemudian direvisi menjadi Permen 11 Tahun 2012, tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Munculnya kedua perundang-undangan dan peraturan menteri membuat getir investor asing dan dalam negeri serta negara luar yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam Indonesia.
Berbagai alasan disampaikan oleh investor dan negara penerima benefit bahwa munculnya peraturan perundang-undangan tentang pelarangan ekspor bahan mineral mentah menurunkan skala keekonomian mineral. Disisi lain, investor beranggapan bahwa biaya membangun smelter yang sangat mahal dan tidak ekonomis. Tak pelak negosiasi pun terbuka diantara investor dan pemerintah Indonesia. Bahkan, negara penerima benefit pun tampaknya mulai getir karena suplai bahan mentah industri mencapai 40% berasal dari Indonesia. Hal ini jelas akan mengancam keberlangsungan perekonomian negara penerima benefit. Lalu, bagaimana sikap NKRI? Entah apa yang terjadi di bumi pertiwi ini, negosiasi ekspor bahan mentah untuk perusahaan sebesar Freeport dan Newmont bisa terbit begitu cepat, kendati implementasi belum dilakukan. Padahal renegosiasi kontrak tambang antara Freeport dengan pemerintah Indonesia tidak pernah ada hasilnya. Bahkan, ada indikasi perpanjangan kontrak tambang di Papua dengan perusahaan tersebut. Disisi lain renegosiasi kontrak besar dibidang migas dan batubara tampaknya belum menghasilkan kata sepakat. Impian Almarhum Prof Widjajono, yang mengubah renegosiasi kontrak batubara dengan skema bagi hasil tidak berjalan. Sedangkan, disektor migas rencana untuk mengambil alih pengelolaan migas tidak berjalan mulus. Bahkan, rencana besar membangun infrastruktur gas di Indonesia lagi-lagi terhambat. Disisi lain, negara seperti Singapura tidak pernah kekurangan pasokan listrik. Bahkan, mampu menyelenggarakan balapan Formula 1, meski tidak memiliki sumber daya alam yang memadai.
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 25 http://asmarie.blogdetik.com
http://kaskusco.id
Di Era pemerintahan Presiden SBY, belum ada kesadaran besar akan prioritas di negeri ini pasca runtuhnya pemerintah orde baru. Kita memang perlu belajar dari pemerintah orde baru, dimana prioritas utama ialah NKRI dan Pancasila. Hal apa pun yang bersinggungan atau melemahkan dasar negara akan diruntuhkan. Sikap satria yang mengedepankan kepentingan bangsa seolah runtuh pasca orde baru. Saat ini yang ada hanya nasionalisme yang terkotak-kotak, baik karena kepentingan individu maupun kelompok. Kendati orde baru tidak baik seutuhnya, tetapi sikap nasionalisme yang digadang dengan otoriterisasi sangat kuat mencengkram ideologi bangsa. Di era demokrasi ini, setiap sektor bekerja sendirisendiri tidak adanya prioritas yang jelas. Disisi lain tidak ada reward dan punishment dalam pemerintahan. Hanya ada penilaian kinerja dengan tingkat tertentu tanpa adanya kedua poin tersebut. Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa perjuangan membebaskan diri dari penjajahan bangsa asing jauh lebih mudah dibandingkan melawan penjajahan bangsa sendiri. Hal itulah yang terjadi saat ini, kita telah dibelenggu oleh penjajah lokal, dimana pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan golongan. Dimasa mendatang pemimpin negeri ini harus berani mengambil sikap tegas dengan menentukan arah kebijakan nasional sesuai dengan ideologi bangsa.
Hal yang harus diperhatikan
Pada dasarnya era demokrasi telah memberikan jalan yang tepat bagi perkembangan ekonomi dan kebebasan bersuara. Namun, perlu diperhatikan bahwa menaruh ideologi bangsa diatas kepentingan individu dan golongan merupakan harga mati. Bagaimana mungkin intervensi asing dapat mengatur kehidupan bangsa ini? Kita lihat reaksi Jepang, terhadap pelarangan ekspor mineral dalam bentuk bahan mentah. Disisi lain kepentingan Amerika agar Freeport tetap berada dibumi Papua untuk mengeruk kekayaan negeri ini. Selain itu, pemda DKI Jakarta yang sedang sibuk mengatasi kemacetan disisi lain pemerintah pusat meluncurkan kendaraan LCGC. Disektor migas pun kita dipaksa harus melakukan impor BBM dari pihak ketiga, akibatnya ketahanan BBM nasional sangat rentan. Jelas intervensi asing sangat terasa dalam konteks ini. Mantan Presiden SBY pernah berpesan kepada presiden mendatang “Kita menganut all direction foreign policy, politik segala arah. Jangan ada musuh. Sejuta kawan, dan tidak satupun menjadi musuh.” Harus dipahami secara cermat, pada dasarnya kita tidak bisa bermanismanis kepada negara-negara yang mengeruk kepentingan dari bangsa ini. Disisi lain, ada yang namanya kepentingan bangsa yang harus di utamakan. Kemandirian energi, pangan, dan ekonomi harus menjadi landasan utama mengupayakan kesejahteraan bangsa.
26 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014
Keempat, penguatan sistem pertahanan nasional harus di segera dilakukan. Jika kita berbicara NKRI Harga Mati, berarti tidak ada kata tidak memperkuat sistem pertahanan dan persenjataan. Saat ini pelanggaran perbatasan sering dilakukan negara tetangga, mulai dari pencurian ikan, menggeser patok perbatasan, dan pelanggaran batas negara. Hal yang pernah mencuat pembangunan mercusuar di zona abu-abu oleh negara jiran.
http://ncuzalleen.blogspot.com
Indonesia membutuhkan pemimpin yang menjunjung ideologi bangsa sebagai landasan pembangunan. Kedaulatan bangsa harus menjadi prioritas diatas kepentingan individu dan golongan. Ada beberapa tugas besar Pemerintahan Indonesia dibawah Presiden Jokowi dalam satu periode kepemimpinannya ke depan. Pertama, menciptakan ketahanan energi melalui diversifikasi energi nasional. Saat ini ketergantungan terhadap BBM sangat tinggi. Bahkan, tahun ini saja subsidi BBM dalam APBN P 2014 dialokasikan sebesar Rp246,5 triliun. Padahal Indonesia memiliki banyak sumber daya energi alternatif yang belum digali secara optimal. Disisi lain, pasokan gas kita masih cukup besar sehingga perlu infrastruktur yang memadai agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kedua, pengamanan sumber daya alam nasional dengan mengutamakan kepentingan bangsa. Presiden yang baru harus berani mencabut izin ekspor mineral mentah sesuai amanah UU 4 Tahun 2009. Selain itu, renegosiasi kontrak tambang harus segera dilakukan dan memastikan masyarakat merasakan kemanfaatannya. Ketiga, ketahanan pangan nasional pun harus menjadi perhatian serius. Negara yang kuat ialah yang mampu berdaulat dalam pangan. Kemandirian pangan akan menciptakan kestabilan ekonomi dan pemerintahan.
Kelima, menciptakan ketahanan produk-produk nasional dengan melakukan substitusi impor dan produksi dalam negeri. Ketergantungan produk impor sangat mengkhawatirkan bangsa ini. Hal itu tampak dari serbuan produk asing yang kian meraja lela, baik untuk sektor manufaktur, industri, elektronik, maupun pangan. Pemerintahan saat ini dibawah Presiden Jokowi harus mampu mengambil sikap tegas terhadap intervensi asing yang melemahkan kedaulatan bangsa Indonesia. Tidak ada kata tidak untuk mempertahankan NKRI. Membangun relasi dengan negara asing baik, tetapi jika menyangkut kepentingan bangsa Pemerintah Indonesia harus tegas. Kelima hal tersebut harus diwujudkan secara beriringan dan saling melengkapi. Jangan ada lagi oknum negeri ini yang kembali menjual “tanah dan airnya” untuk bangsa lain. Pemerintahan saat ini harus kuat, tegas, dan santun dalam menjalankan dan menegakkan ideologi bangsa berbasis demokrasi. Regulasi dan blue print yang ada sudah cukup baik, tinggal eksekusi dan penegakkan peraturannya saja di lapangan yang perlu diperbaiki.
Felix Wisnu H Peneliti LIPI
volume IV nomor 10 edisi Oktober 2014 | TINJAUAN EKONOMI & KEUANGAN | 23
Untuk informasi lebih lanjut hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 1 071 0 Telepon. 021 -3521 843, Fax. 021 -3521 836 Email :
[email protected] Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id