STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA YOYOK CAHYONO, SE, MM (Dosen STIE PPI)
Abstract :.Mengenai sistem ekonomi di dunia, kiranya tidak terlepas dari pemikiran pelopor ilmu ekonomi klasik abad XVII dan XIX yaitu Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Couses of the Wealth of Nations yang kita singkat menjadi The Wealth of Nations. Kebiasaan kita menyingkat judul karyanya itu merupakan cermin juga dari cara berpikir yang dianut, yaitu memisahkan teori dari masalah yang nyata dihadapi oleh masyarakat (reality). Salah satu peryataan yang terkenal adalah ”it is not the benevolence of the bucher, the brewer, or the baker that we except our dinner, but from their regard to their own interest” (Bukan dari kedermawan si tukang daging, atau peracik minuman atau si tukang roti, kita mengharapkan bahan pangan kita, melainkan dari kepedulian mereka terhadap kepentingan diri sendiri”) (The Wealth of Nations, 1776). Sehingga mustahil memahami The Wealth of Nations (1776), lepas dari pemikirannya dalam The Theory of Moral Sentiments (1759). Dalam perkembangannya sistem ekonomi dunia secara garis besar terdiri atas, Sistem ekonomi liberal (Liberal Economic System) Sistem ekonomi sosialis (Sosialis Economic System) dan Sistem ekonomi campuran (Mix Economic System). Sistem perekonomian Indonesia adalah sebagai “wadah” kiprahnya kegiatan ekonomi di Indonesia. Dan Sistem Ekonomi Pancasila kiranya merupakan sistem perekonomian Indonesia yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sejalan dengan dasar negara Republik Indonesia. Keywords : Sistem Ekonomi, Sistem Ekonomi Pancasila, Sistem Neoliberal Kapitalis, Teori sentimen-sentimen moral manusia, Low-economic growth trap and low-income percapita trap.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia A. PENDAHULUAN Strategi, kebijakan, serta program pembangunan nasional terutama di bidang ekonomi, yang dijalankan sejak tahun 1970-an sampai saat ini masih belum menunjukkan pencapaian yang mengembirakan. Kelimpahan dan keunggulan sumber daya alam (lahan dan laut serta iklim), sumber daya manusia, dan sumber daya kapita, hanya membuat Indonesia mencapai produk domestik bruto (GDP) perkapita (Purchasing Power Parity) diatas US$ 2 ribu atau sekitar US$ 2,181 pada tahun 2008. Sementara Negara-negara seperti Thailand, Brasil dan Mexico telah melewati angka US$ 2 ribu tahun 1990-an. Selain itu perekonomian indonesia juga rentan dan rapuh
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 219
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
terhadap goncangan regional atau global, terbukti saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008 yang diikuti lagi krisis ekonomi global tahun 2008 yang baru lalu. Ini menunjukkan bahwa perekonomian nasional belum mampu tumbuh secara berkesinambungan. Memang, negara-negar lain juga mengalami goncangan krisis ekonomi, tetapi dampak dan kemampuan Indonesia jauh lebih buruk dan lemah. Kelimpahan, keunggulan komperatif dan kompetitif sumber daya Indonesia belum sepenuhnya dimaksimalkan. Kondisi perekonomian nasional yang masih perlu diperbaiki tersebut, terutama diakibatkan oleh paradigma, ideologi ekonomi yang terlalu bersifat liberal, dan kapitalistik yang tidak terkendali (laissez faire). Paradigma dasar kebijakan perekonomian yang dijalankan selama ini belum sepenuhnya mampu menghayati, apalagi melaksanakan amanat Undang-Undangg dasar 1945 Pasal 33 ayat 1-3. Liberalisasi perekonomian yang tidak terkendali berlangsung di hampir seluruh bidang dan sektor ekonomi, dengan jurus-jurus privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Peran Pemerintah dan negara yang justru diamanatkan oleh Undang-Undang dasar 1945 untuk berperan sentral dan dominan bagi kemakmuran rakyat, dikikis lalu diserahkan ke mekanisme pasar bebas. Asumsinya, dasar mekanisme pasar lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan pemerintah yang dikonotasikan dengan praktekpraktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Padahal, pengalaman negara-negara penganjur utama liberalisasi kapitalistik ini sendiri menunjukan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme pasar bebas (dalam hal ini kekuatan swasta/private) jauh lebih dasyat dan mematikan. Kita tidak belajar dan sadar juga setelah apa yang terjadi pada krisis suprime mortgage yang baru lalu dan krisis global yang berlangsung saat ini, kasus Enron, Washington Mutual (Bank terbesar AS), Bear & Strean, Lehman Brother, Long Term Capital Management, Fannie Mae, Freddy Mae, Citigroups, Merril Lynch, American International Group (AIG), di Inggris, Swiss, Perancis dan Jepang juga banyak perusahaan besar yang bangkrut.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia B. PERMASALAHAN Permasalahan mendasar perkonomian Indonesia yang terjadi cenderung terjebak dalam pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang rendah (Loweconomic growth trap and low-income percapita trap). Dari sisi nominal, memang menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita. Namun, bila dibandingkan dengan negara-nagera lain, pendapatan perkapita nasional masih tetap lebih rendah dan bahkan cenderung semakin besar perbedaannya. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sebanding, seperti Malaysia, Thailand, bahkan mungkin Vietnam, Indonesia masih belum mampu bersaing.
STIE Putra Perdana Indonesia Page 220
InoVasi Volume 3; Mei 2010
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
Menjelang 65 (enam puluh lima) tahun Indonesia merdeka seharusnya Indonesia sudah menjadi bangsa yang cukup berhasil dan dapat berada pada posisi kelompok negara-negara dengan pendapatan menengah kelompok atas (up-per-middle income countries) sekitar US$3.705-US$11.455 dengan pertumbuhan diatas 2 (dua) digit namun kenyataannya Indonesia mencapai produk domestik bruto (GDP) perkapita (Purchasing Power Parity) diatas US$ 2 ribu atau sekitar US$ 2,181 pada tahun 2008 dengan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dibawah 2 (dua) digit. Apa ini yang kita harapkan dan mampu kita cita-citakan untuk kondisi Indonesia masa depan? Untuk kondisi Indonesia, hal ini makin diperparah dengan masih besarnya beban utang luar negeri sehingga pemerintah berada dalam tekanan dan ketidak leluasa dalam mengelola dan mengambil keputusan terkait kebijakan atau strategi pembangunan ekonomi. Ditambah lagi sudah mengakarnya dominasi dari kepentingan dana asing dalam sebagian besar bidang dan aspek perekonomian.Penguasaan dan ketergantungan yang sangat kuat dan relatif besar kepada kekuatan dan kepentingan asing jelas tergambar dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya minyak dan gas serta sumberdaya mineral lainnya seperti batu bara, emas, tembaga, dan lain-lain. Dalam dekade belakangan ini, penguasaan dan ketergantungan kepada kekuatan dan kepentingan asing ini telah merambat ke bidang dan sektor ekonomi utama lainnya dengan masuknya modal asing dalam kepemilikan BUMN, Agribisnis pertaniaan, Agribisnis perikanan dan perbankan nasional. Kondisi ini mengarah pada jebakan utang (debt trap) pada perekonomian nasional. Jebakan utang yang dimaksud tidak hanya terpaku pada utang luar negeri kepada kreditor seperti International Monetery Fund (IMF). Akan tetapi jebakan utang yang baru melalui penerbitan Surat Utang Negara atau obligasi pemerintah. Produk ini sebagian besar dikuasai oleh prusahaan investasi asing. Kepentingan rakyat banyak, sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar 1945, menjadi terelimanisi, bahkan dikalahkan oleh kepentingan dan dominasi asing. Dominasi serta arogansi modern ini sangat sulit dikendalikan, apalagi untuk bisa dikalahkan. Untuk membayar pokok dan utang luar negeri Pemerintah melalui APBN harus menyiapkan dana berkisar US $ 12 Milyar setiap tahun (atau Rp. 120 Trilyun dengan kus dollar Rp 10.000). Selanjutnya menurut Prabowo Subianto, 2009, et. al.dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya: ”Haluan baru menuju kemakmuran”. telah terjadinya Net Outflow of Wealth dari bangsa Indonesia yaitu arus keluar kekayaan bangsa dan karenanya bangsa Indonesia tidak menikmati akumulasi kekayaan nasional.Terlihat dari tahun 1997 sampai dengan 2008, terjadi net profit sebagai bangsa yaitu ekspor melebihi impor rata-rata US$ 25 Milyar tiap tahun. Tetapi Bank
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 221
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
Indonesia mengumumkan pada tahun 2009 cadangan devisa kita selalu di kisaran US$ 50 Milyar. Berarti terjadi Net Loss of National Wealth sebesar lebih US$ 250 Milyar. Artinya dimana keuntungan dan kekayaan tidak tinggal di Republik Indonesia. Hal ini diperkuat dengan tulisan Simon Saragih di Harian Kompas 5 April 2009 mengenai salah satu kesepakatan penting dari pertemuan G-20 yaitu penyediaan dana 1 (satu) trilyun dollar AS untuk IMF yang bertujuan membantu negara-negara berkembang yang mengalami pelarian modal. Kemiskinan masih menjadi gambaran kehidupan bagi sebagian besar penduduk terutama di pedesaan dan yang bermata pencaharian di sektor pertanian mapun penduduk yang tinggal di perkotaan yang bekerja di sektor informal dan buruh. Dalam sepuluh tahun terakhir sejak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah orang miskin diatas 35 juta orang atau dalam persentase lebih 15% atau sekitar satu dari enam orang penduduk Indonesia adalah orang miskin. Apalagi bila garis batas kemiskinan dipakai batas kemiskinan Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia sangat fenomenal. Gunnar Myrdal, salah seorang ahli ekonomi yang memperoleh Hadiah Nobel Tahun 1974, menulis buku yang monumental, yakni “Asian Drama”. Dalam bukunya inilah Myrdal membahas secara mendalam perihal kemiskinan di Asia, dalam hal ini adalah wilayah Asia Selatan, termasuk Asia Tenggara. Sebagai sub judul bukunya diberikan uraian “An Equiry into the Proverty of Nations”. Myrdal memberikan judul dengan “drama”, sehingga dapatlah dipahami, bahwa panggung kehidupan sandiwara (atau drama) di Asia merupakan drama kehidupan yang dililit dengan masalah “proverty” atau kemiskinan. Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapakah pelaku atau para pelaku dalam drama kehidupan yang melankolis ini? Sudah barang tentu adalah penghuni anak benua Asia, khususnya Asia Selatan (termasuk Asia Tenggara), terutama sebagai pelakunya adalah “kelompok terdidik”. Mungkin tidak salah kalau dikatakan bahwa kita merupakan bagian kelompok ini, sebagai “pelaku utama” dalam permainan sandiwara kehidupan “drama asia”. Hal ini ini diperkuat oleh buku karya Prof. Dr. Paul Ormerod, 1998, yaitu The Death of Economics yang salah satu peryataannya ‘ Jika makin langka orang mau menjadi guru, maka gajinya pasti meningkat” akan tetapi kenyataan yang terjadi malah sebaliknya, “Semakin sedikit orang berminat jadi guru, justru semakin rendah gajinya”. Kondisi mendasar lainnya yang harus menjadi perhatian utama dan serius adalah masalah pengangguran baik pengganguran terbuka maupun setengah menganggur. Kondisi dan kejadian pengangguran merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan penduduk sehingga penyelesaian kemiskinan harus secara mendasar dimulai dengan menghapuskan pengganguran baru lalu diikuti dengan penyelesaian aspek kemiskinan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 222
InoVasi Volume 3; Mei 2010
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
Peranan koperasi di Indonesia yang masih lemah dan masih minimnya informasi mengenai perkembangan koperasi di Indonesia dan di dunia, hal ini sangat berbeda dengan perkembangan koperasi didunia karena menurut laporan yang dirilis International Co-operative Alliance (ICA) General Assembly pada 14 sampai dengan 19 Oktober 2007 di Singapura, dilihat dari perolehan omset dari daftar ICA Global 300 List teryata memberikan konstribusi sebesar US$ 963 milyar (Rp. 9.630 Trilyun dengan kurs US$ 1 = Rp.10.000). Menurut Garry Conan arsitek ICA Global 300, menunjukan bahwa koperasi memainkan peranan penting dalam perekonomian dunia. Kondisi-kondisi mendasar inilah yang membuat penulis menilai bahwa ada sesuatu yang salah pada sistem perekonomian yang kita anut. Apakah kita masih menganut sistem ekonomi Pancasila (sistem ekonomi kerakyatan) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945?
STIE Putra Perdana Indonesia C. PEMBAHASAN Untuk dapat mencapai kemakmuran rakyat, kemajuan perekonomian, serta mengejar ketertinggalan untuk mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, perekonomian Indonesia tentu harus tumbuh relatif tinggi. Pertumbuhan positif itu mesti berkesinambungan dari tahun ke tahun. Dan, ini tak kalah penting, pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan keadilan (pemerataan) bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi ini yang diharapkan dan dimaksudkan sebagai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (quality economic growth). Untuk Indonesia, untuk bisa naik kelas dari negara golongan pendapatan menengah bawah ke menengah atas, sejajar dengan Afrika Selatan, Brazil, Argentina, Malaysia, dan Mexico, diperlukan peningkatan pendapatan lebih dari 2 (dua) kali atau minimal sebesar US $ 3,706. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi baik jangka menengah (2000-2007) saat ini yang hanya 5.1 persen (World Bank, 2009), maupun dengan level jangka menengah yang paling baik sekalipun (1990-2000) yang sebesar 7,5 persen, cita-cita menjadi negara yang berpendapatan menengah kelompok atas yaitu US $ 3,706 atau sekitar Rp. 40 juta per tahun per orang ini tidak akan mungkin tercapai. Indonesia memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi minimal 10 (sepuluh) persen per tahun secara konsisten dan berkesinambungan (Sustainable) dalam jangka 7 (tujuh) tahun untuk bisa naik kelas dari negara berpendapatan menengah kelas bawah ke menengah kelas atas dengan pendapatan per kapita US $ 3.706. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diharapkan juga memiliki karakteristik dan sifat yang berkeadilan (lebih merata). Artinya, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan serta kemajuan ekonomi yang dicapai dan diarahkan untuk dapat dinikmati lebih banyak dan lebih cepat oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang mendominasi jumlah penduduk Indonesia. Hal ini sesuai
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 223
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
dengan tujuan pembangunan nasional kita adalah “mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan Pancasila...........” dan seterusnya. Dalam hubungan ini yang perlu digaris bawahi adalah istilah-istilah adil, makmur dan merata. Untuk mencapai tujuan dimaksud memerlukan waktu yang lama, pembangunan nasional Indonesia bercirikan adil, makmur dan merata yaitu masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilannya,Apabila azas pemerataan diterapkan dalam perwujudan “Tumpeng Pembangunan Nasional” yang berbentuk kerucut, kiranya dapat digambarkan sebagai berikut. Bagian alas atau dasar tumpeng merupakan golongan yang berpenghasilan rendah dan semakin menyempit pada bagian atasnya. Jika sekiranya luas dasar tumpeng ini sepuluh tahun lalu adalah 2 M2 dengan tinggi 1 M, keadaan sekarang haruslah bertambah luas alas atau dasarnya, misalnya menjadi 3 M2 dengan ketinggian 3 M. Dan sepuluh tahun kemudian masing-masing hendaknya menjadi 4,5 M2 dan 1,7 M. Gambaran imajinasi ini akan terwujud dalam gambar tumpeng yang semula ramping menjadi semakin gemuk, sehingga bagian hasil pembangunan nasional semakin banyak dinikmati oleh lapisan berpenghasilan di bawah atau dasar tumpeng. Agar supaya hasil pembangunan nasional lebih cepat dapat dinikmati oleh lapasan bawah tumpeng pembangunan nasional seperti dimaksud, percepatan pembangunan perlu pula ditingkatkan, termasuk Indonesia, merupakan suatu keharusan apabila tidak ingin ketinggalan lebih jauh dengan negara-negara yang sudah maju. Ciri-ciri negara berkembang pada umumnya merupakan titik-titik kelemahan yang sulit ditanggulangi, yakni produksi primer, tekanan penduduk, sumber alam yang belum dikembangkan atua dikelola dengan sebaik-baiknya, keterbelakangan penduduknya. Pokok masalah ini adalah angka ketidak-merataan (inequality) yang tidak ikut menurun seperti halnya dengan angka kemiskinan, akan tetapi justru meningkat, misalnya akibat laju industrialisasi yang cepat, juga pada kesenjangan pendapatan atau kesempatan rakyat untuk menggunakan tanah (Sk. Kompas, 14 April 1994). Sehubungan dengan itu perhatian terhadap pelaksanaan azas pemerataan perlu lebih ditingkatkan. Dari sudut pandang penulis yang sekiranya perlu mendapatkan perhatian bersama penggunaan sistem perekonomian Indonesia adalah sebagai “wadah” kiprahnya kegiatan ekonomi yang dapat mendukung keberhasilan upaya tersebut. Ekonomi Pancasila kiranya merupakan sistem perekonomian Indonesia yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sejalan dengan dasar negara Republik Indonesia.Karena setelah 63 tahun merdeka, 11 tahun reformasi, 40 tahun sistem neo liberal kapitalistik yang sangat bebas teryata hanya menguntungkan segelintir manusia di Indonesia dan tidak membawa kemakmuran bagi rakyat banyak.. Trickle down-effect yang dijanjikan oleh sistem neo liberal tersebut teryata tidak mungkin untuk membawa bangsa
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 224
InoVasi Volume 3; Mei 2010
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan rendah yang juga berkualitas rendah (not quality economic growth). Hal tersebut sejalan dengan perkembangan yang menandakan lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global telah ditulis oleh Nur Hidayati di koran Kompas 4 April 2009 yaitu telah berakhirnya Konsensus Washington, yang pertama kali disebutkan oleh ekonom Amerika Serikat, Jhon Wiliamson, pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang diinginkan Washington (Gedung Putih) yang dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), terutama saat kedua lembaga ini memberikan bantuan dana kepada Negara yang terpukul krisis ekonomi. Konsensus Washington kemudian dianggap sebagai instrumen neoliberal atau neokapitalisme. Kantor berita Reuters bahkan menuliskan, G-20 menandai berakhirnya kejayaan kapitalisme Anglo-Saxon yang didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris. Bahkan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, yang didukung Kanselir Jerman Angela Merkel mengingatkan yang intinya, “awasilah pasar” dan kendalikan tax haven (safe haven), produk buatan kolonialis Inggris, yang melahirkan Singapura, Hongkong, dan 33 negara atau terotori lainnya dimana negara-negara tersebut telah menjadi pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan seperti apa yang terjadi antara korporasi yang bermakas di Wall Street, New York dan Lombar Street, London, dengan perwakilan mereka yang ada juga di Singapura, Hongkong, dan Negara-negara safe haven. Selain itu muncul pula seruan Sarkozy agar IMF, Bank Dunia dan lembaga internasional lain dirombak karena tidak lagi melayani kepentingan global. Suara serupa sebenarnya sudah dikemukakan oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Venezuela Hugo Chavez, dan Presiden Bolivia Evo Morales. Efek positif dengan adanya perombakan di IMF dan Bank Dunia dikemukan oleh Simon Jhonson, professor dari Sloan School of Management MIT, jika selama ini pemimpin Bank Dunia dan IMF selalu berasal dari AS, berikutnya bisa saja dari China dan ini bermanfaat untuk meningkatkan legitimasi IMF dan Bank Dunia, yang selanjutnya kedua lembaga ini akan memberikan bantuan tanpa persyaratan keras dan keliru, seperti sebelumnya yang justru menjerumuskan banyak Negara yang ditolong. Kembali ke pembahasan mengenai sistem perekomian Indonesia, yaitu sistem ekonomi Pancasila, menurut Boediono, terdapat lima ciri perekonomian Pancasila, yakni : peranan koperasi, pandangan terhadap manusia secara utuh, kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemelaratan sosial, prioritas utama pada terciptanya suatu perekonomian nasional yang tangguh, serta sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi yang diimbangi dengan perencanaan yang kuat
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 225
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti tercermin dalam cita-cita koperasi (Boediono dalam Mubyarto & Boediono, eds., 1990, 157 - 171). Disamping masalah pelaksanaan sistem perekonomian Pancasila sebagai wadah kegiatan ekonomi dalam upaya memerangi masalah-masalah tersebut, terdapat beberapa hal lainnya yang kiranya perlu pula memperoleh perhatian (Mubyarto dan Boediono dalam Mubyarto & Boediono, eds., 1990, Bab I), yakni : a. Prinsip harmoni dalam pelaksanaan sistem perekonomian Pancasila, khususnya untuk usaha bersama koperasi dengan peranannya yang amat penting dalam ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan ssuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945; b. Kedudukan perusahaan swasta dengan tujuan bukanlah semata-mata untuk mencari laba atau keuntungan maksimal, melainkan juga memberikan pelayanan pada kepentingan ekonomi semua golongan yang tersangkut dalam perusahaan (pemodal, buruh, konsumen, masyarakat maupun pemerintah); c. Dalam pengelolaan sumber daya alam yang bersifat “non renewable resources” haruslah dikuasai oleh negara, hal ini dimaksudkan disamping untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, juga untuk menghindari pemborosan yang tidak perlu; d. Strategi pembangunan haruslah bercorak mobilisasi potensi seluruh bangsa dengan pemerintah memegang posisi “kepemimpinan” dalam proses ini. e. Dalam pembangunan harus jelas-jelas menolak “westernisasi” yaitu falsafat “kebarat-baratan” yang menekankan pada materialisme, individualisme dan intelektualisme, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang menuju ke arah keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan materiil dan spirituil, antara kepentingan perorangan dan masyarakat dan bangsa. Sebagai kesimpulan dalam pembahasan ini penulis mengutip peryataan pelopor ilmu ekonomi klasik abad XVII dan XIX yaitu Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Couses of the Wealth of Nations . Salah satu peryataan yang terkenal adalah ”it is not the benevolence of the bucher, the brewer, or the baker that we except our dinner, but from their regard to their own interest” (Bukan dari kedermawan si tukang daging, atau peracik minuman atau si tukang roti, kita mengharapkan bahan pangan kita, melainkan dari kepedulian mereka terhadap kepentingan diri sendiri”) (The Wealth of Nations, 1776). Sehingga mustahil memahami The Wealth of Nations (1776), lepas dari pemikirannya dalam The Theory of Moral Sentiments (1759).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 226
InoVasi Volume 3; Mei 2010
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
D. PENUTUP Sampailah sekarang pada bagian penutup tulisan sederhana ini dengan mengajukan 4 (Empat) buah pokok pikiran : (1). Dalam upaya memerangi masalah-masalah tersebut terutama masalah kemiskinan, diperlukan kebijaksanaan yang dapat memperluas alas kerucut pembangunan nasional sehingga hasil pembangunan dapat secara lebih luas dan merata dinikmati oleh golongan yang berpenghasilan rendah, karena masih terbiarkannya ketimpangan (inquality) dan ketidakadilan (unfairness) dalam penguasaan dan pengusahaan sumberdaya ekonomi pokok. (2). Dalam upaya peningkatan taraf hidup golongan berpenghasilan rendah, para petani merupakan sasaran pokok kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu negara agragris tropis terbesar di di dunia setelah Brasil dengan zona 27% luas zona tropis dunia dengan luas lahan yang dapat ditanami sekitar 119 hektar (Badan Pusat Statistik, 2008), mengingat sektor pertanian masih berperan dominan, sehingga kebijaksanaan intensifikasi, industrialisasi, keluarga berencana dan transmigrasi serta dilengkapi dengan ekstensifikasi dan diversifikasi, diantaranya dengan upaya memperkecil rasio antara petani dan lahan garapannya serta dorongan industrialisasi di luar pulau jawa, perlu ditingkatkan dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya; dan (3). Keberpihakan efektif (effective political will) yang dibarengi dengan reorientasi dan penanjaman kembali (refocusing) strategi dan kebijakan pembangunan nasional juga diperlukan dalam mengatasi hambatan struktural dalam ketimpangan dan ketidak adilan penguasaan dan alokasi modal finansial terutama kredit perbankan baik perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta nasional. Selain itu perlu dinegosiasikan dan diatur kebijakan penundaan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri (foreign debt reschuduling policy) dan inovasi pembiayaan lain untuk meningkatkan penerimaan dan pendapatan pemerintah atau negara, yang terkenal dengan istilah Indonesia Berdikari (Indonesia harus berdiri di kaki sendiri/ Indonesia Mandiri). (4). Dalam rangka pembangunan nasional Indonesia yang adil dan makmur serta merata, perlu lebih ditingkatkan upaya pelaksanaan sistem perekonomian Pancasila dengan memperhatikan berbagai aspek ekonomi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi yang mengisi sistem ini, diantaranya penempatan peranan koperasi serta perusahaan swasta secara proporsional khususnya bagi pengusaha pribumi. Dan sebagai seseorang yang pernah duduk di bangku kuliah selama beberapa tahun di Fakultas Ekonomi sampai selesai, pada umumnya masyarakat memadang,
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 227
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
sebagai salah seorang ahli ekonomi, meskipun harus diakui pengetahuan ekonominya sangat minim bahkan mungkin mendekati tingkat marginal, meskipun dengan catatan, dulu tidak sampai dinyatakan lulus secara marginal. Dalam hal ini bukan masalah ini yang ingin dijadikan kata-kata penutup, melainkan suatu fenomena barangkali, bahwa menurut Prof. Benjamin Higgins, “economists never agree” (Higgins, Benjamin, 1951, Bab III). Jadi jika dalam pembahasan sesama yang belajar di Fakultas Ekonomi saja sudah sulit untuk sependapat, apalagi jika dipandang dari sudut bahasan rekan-rekan di fakultas lain, kecenderungan tidak sependapat atau beda pendapat bisa lebih besar lagi. Sebagai penutup penulis perlu mengarisbawahi bahwa , kiranya berbeda pendapat sangat baik apabila hal ini mendorong ke arah kreativitas dan bersifat konstruktif dalam upaya bersama untuk mencapai Sistem perekonomian Indonesia yang kita cita-citakan yaitu Sistem Ekonomi Pancasila (Sistem Ekonomi Kerakyatan).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 228
InoVasi Volume 3; Mei 2010
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi Mei 2010 STIE Putra Perdana Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2008, Statistik Indonesia 2008. BPS. Jakarta . Bank Indonesia, 2007, Menjaga Stabilitas Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian Indonesia 2007. Bank Indonesia, Jakarta. BAPENNAS, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20042009. BAPPENAS. Jakarta. Becthold Karl-Heinz W, 2000, Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian, Edisi 5, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Food and Agriculture Organization, 2008, The State of Food and Agriculture: Biofuels, Prospects, Risks and Opportunities. FAO, Roma. International Monetary Fund, 2008, World Economic Outlook October 2008. International Monetary Fund. Washington. Greenwald, Douglas,2004, Encylopedia of Economic, 10 th Mc. Grow Hill,New York . Higgins, Benjamin, 1951, What Do Economists, 11 th Melbourne University Press, Melbourne.. Kasryno, Faisal,2000, Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, Edisi 5, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Meier, Gerald M & Robert E. Baldwin,2002, Economics Development; Theory, History, Policy, 11th John Willy & Sons, New York. Mubyarto & Boediono,2003, Ekonomi Pancasila, Edisi 8, FE-UGM, Yogyakarta. Myrdal, Gunnar,2001, Asian Darma : An Inquiry into the Proverty of Nations, 8 th Pantheon, New York. Ormerold, Paul, 1998, Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics), Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, KPG (Kepustakaan Popoler Gramedia), Jakarta. Ormerold, Paul, 1998, Matinya Ilmu Ekonom 2 (The Death of Economics), Jilid 2: Menuju Ilmu Ekonomi Beru , KPG (Kepustakaan Popoler Gramedia), Jakarta. Pusat Informasi Perkoperasian (PIP), (berbagai tahun), Media Perkoperasian dan UKM , Berbagai edisi, Dewan Kopersi Indonesia (Dekopin), Jakarta.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Sen, Amartya., 2001, Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin. Mizan. Bandung. Subiyanto, Prabowo, et. al., 2009, Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru Menuju Kemakmuran, Institut Garuda Nusantara (Pusat Studi Kebijakan Strategis Indonesia), Jakarta. World Bank, (berbagai tahun), World Development Report, Berbagai edisi. The World Bank., Washington.
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 3; Mei 2010
Page 229